You are on page 1of 42

peraturan yang disebut Ordonansi laut

teritorial, serta lingkungan maritim


Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie atau disingkat menjadi
TZMKO) yang berlaku sejak tahun 1939.
Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik
pulau yang berukuran besar maupun pulau
yang berukuran kecil di dalam lingkungan
wilayah Hindia Belanda mempunyai laut
teritorial sendiri-sendiri.
Laut territorial Hindia Belanda atau laut
teritorial Indonesia adalah jalur laut yang
membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut
yang diukur dari garis air rendah pada setiap
pulau atau bagian pulau yang merupakan
wilayah daratan Indonesia. Dengan demikian
wilayah perairan Indo-nesia meliputi jalur-jalur
laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian
pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut
Karena masing-masing pulau ataupun bagian
pulau mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri
dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung
dari garis air rendah pada setiap pulau atau
bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan
terbentuknya ruangan-ruangan dan kantung-
kantung laut bebas atau perairan internasional
antara satu pulau atau bagian pulau dengan pulau
lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa
dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi
kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia.
Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial
(TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas)
harus dihentikan atau diatasi, melalui pengaturan hukum nasional. Hal
ini telah dirintis sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18
Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II),
dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal 13
Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerin-tah mengenai
wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini me-nyatakan bahwa segala
perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, tanpa meman-dang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan
dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada
di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Repub-lik Indonesia
Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada tanggal
13 Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan
(Mochar Kusumaatma-dja, 1978:187) sebagai berikut :
1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat, dan corak
tersendiri sehingga memer-lukan pengaturan tersendiri;
2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Repub-lik Indonesia,
semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap
sebagai satu kesatuan yang bulat;
3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari
Pemerintah kolonial sebagaimana tercan-tum di dalam “Territoriale Zee en
Maritieme Kriengen Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi
de-ngan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik
Indonesia;
4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk
mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi
keutuhan dan keselamatan negaranya.
Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-
dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi
Juanda pada tanggal 13 Desember 1957
kemudian ditetapkan menjadi undang-undang
dengan menggunakan prosedur Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Adapun isi dari Perpu yang diundangkan
berlakunya pada tanggal 18 Februari 1960 dan
kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang
No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut
1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan
ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar;
2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di
dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut dan
tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya dengan
segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur
atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini;
4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui
perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama
tidak merugikan kepentingan negara pantai dan meng-
ganggu keamanan serta ketertibannya.
Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4
pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan laut wilayah
Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil
diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low water
line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis
pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seperti diketahui,
cara penetapan garis pangkal lurus ini untuk pertama kalinya
memperoleh pengakuan dalam hukum internasional melalui
putusan Mahkamah Internasio-nal (International Court of
Justice) dalam perkara sengketa perikanan Inggeris-Norwegia
(Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 (lihat kasusnya
dalam L.C. Green, International Law through the Cases,
1978:325) dan kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi
Geneva 1958 tentang Laut Teritorial, dan Jalur Tambahan
maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum
Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung
pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua akibat :
1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan
Indonesia;
2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis
pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut wilayah
ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman
(internal waters). Agar supaya perubahan status ini tidak
mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada
sebelum cara penetapan batas wilayah, maka Pasal 3
menyatakan bahwa perairan pedalaman tersebut terbuka
bagi lalu lintas damai kendaraan air asing.
Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang-
Undang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia,
maka para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan
atau keperluan untuk mempertegas, serta
menterjemahkan ketentuan hak lintas damai bagi kapal
asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah
dijamin dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960.
Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal
asing yang berada atau berlayar melalui perairan
nusantara, maka Pemerintah menetapkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962
tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan
Indonesia.
Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-
alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari
yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang
sauh atau jangkar kapal dan atau mondar mandir tanpa
alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam
pengertian lalu lintas damai menurut peraturan pemerintah
ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi kapal
asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu
dari perairan pedalaman untuk sementara waktu, apabila hal
ini dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan
keselamatan negara. Kapal asing yang akan melakukan riset
ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin
dari Presiden Republik Indo-nesia
Kapal perang asing yang akan melintasi perairan
Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan
pemberitahu-an atau notifikasi kepada
Menteri/KSAL (Kepala Satuan Ang-katan Laut).
Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas
permukaan laut selama melintasi perairan
Indonesia, dan dengan demikian juga harus
mengibarkan benderanya yang tentu
dimaksudkan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi negara yang merupakan negara
bendera (Flag State)
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan
tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini
sudah ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut,
maka kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan
kapal niaga serta kapal nelayan atau kapal ikan harus
melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang
lewat di alur-alur pelayaran tidak perlu memenuhi
syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di
perairan nusantara. Karena alur-alur pelayaran itu
belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek
kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban
pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara
Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal
nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang
antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan
menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan
tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati,
karena banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi
kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-
kasus pencu-rian ikan (illegal fishing), kapal asing yang
terlibat pada umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan
menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan,
sehingga kerugian yang begitu besar, akibat pencurian ikan
di perairan nusan-tara harus ditanggung oleh bangsa dan
negara
Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut
pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya
Konvensi Geneva 1958 mengenai hukum laut
(Konvensi mengenai laut teritorial dan jalur
tambahan, Konvensi mengenai laut bebas, Konvensi
mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan
hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas
kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman
Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas
Kontinen Indonesia yang memuat pokok-pokok
sebagai berikut
1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan
alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme
hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di landas
kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik dari
bangsa dan negara Republik Indonesia dan dengan demikian
tunduk di bawah yurisdiksinya yang bersifat eksklusif.
Pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan
tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial
Indonesia, tetapi berbatasan dengan-nya sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960, hingga
suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau
melebihi batas kedala-man tersebut sepanjang kemampuan
teknologi Indonesia masih memungkinkan penggalian dan
pengusahaannya
2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis
batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui
perundingan.
3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas
kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-
tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar
wilayah negara tetangga.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mem-
pengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas landas
kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula ruang
udara di atasnya yang tetap berstatus seba-gai ruang udara
internasional.
Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut memperlihatkan
adanya keterkaitan antara konsepsi landas kontinen Indonesia dengan
konsepsi nusantara. Arti nyata konsepsi landas kontinen Indonesia
sebagaimana diatur di dalam Pengumuman tersebut, adalah
bertambahnya lagi luas daerah di bawah permukaan laut (submarine
areas) dengan jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas kontinen
Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini lahir atas dorongan
kebutuhan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya
mineral yang terdapat di daerah-daerah di bawah permukaan laut,
terutama di Laut Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia.
Karena Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang mempunyai
hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka pemerintah Republik
Indonesia perlu menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen
dengan negara-negara tetangga sebelum ditemukan deposit atau cadangan
minyak dan gas bumi di landas kontinennya.
Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas Kontinen pada Departemen
Pertambangan yang ditugaskan terutama untuk menyelesaikan masalah garis
batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian garis
batas landas kontinen antara Republik Indonesia dengan Malaysia tahun 1969
menyangkut garis batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan;
perjanjian antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun 1971 mengenai garis
batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara dan di Laut Andaman;
perjanjian antara Republik Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971
mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara; perjanjian
antara Republik Indonesia dengan Australia tentang penetapan garis batas dasar
laut tertentu (Laut Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun
1973; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia tahun 1973
mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut tertentu (Selatan
Pulau Tanimbar dan Pulau Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan
India mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974. Semuanya ini
merupakan hasil kerja dari Departemen Pertambangan, terutama Team Teknis
Landas Kontinen yang dibentuk oleh Departemen tersebut.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi landas kontinen
Indonesia sebagaimana termaktup di dalam Pengumuman Pemerintah
tahun 1969 kemudian dituangkan ke dalam suatu bentuk peraturan
perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia.
Prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu
pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (Geneva
Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas
kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights), penetapan
garis batas landas kontinen Indonesia dengan negara-negara tetangga
maupun status hukum dari perairan yang berada di atas landas
kontinen Indonesia, namun dengan tetap mengutamakan kepentingan
nasional.
Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang
terdapat di landas kontinen yang artinya pengua-saan dan
pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia, juga
negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas peneli-tian
ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan
mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat
dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha
melaksanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang
terdapat di landas kontinen Indonesia.
Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang terdapat
di landas kontinen terhadap gangguan pihak ketiga, maka Pemerintah
dapat menetapkan apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area)
yang radiusnya 500 meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal
dan atau alat lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat
ditetapkan daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250
meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu di mana
kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membong-kar sauh. Di
landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal dan alat-alat lain di
landas kontinen, maka hukum dan segala peraturan perundang-
undangan Indonesia dapat diterapkan atau diberlakukan, bahkan
instalasi dan alat-alat lain yang dipergunakan untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah
Kepabeanan Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah
karantina dan daerah keimigrasian.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumu-man Pemerintah
Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada
tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini
dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut yang
selain diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai
hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah menghasilkan
rancangan konvensi hukum laut baru (Draft Convention on the Law of
the Sea) yang di dalamnya memuat pengaturan hukum tentang zona
ekonomi eksklusif secara umum, juga diwarnai berbagai klaim atau
pernyataan sepihak yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari
berbagai kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil, zona
perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis pangkal), zona
ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi eksklusif.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 20 Maret
1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara yang telah
diterima secara luas terkait dengan rezim hukum Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE Indonesia
adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial Indonesia,
tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut itu lebarnya
dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung dari garis
pangkal sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pe-ngertian ZEE
Indonesia yang mengikuti kecenderungan perkembangan
hukum laut internasional pada waktu itu, tetapi dengan tetap
mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang
berlandaskan wawasan nusantara.
Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Republik
Indonesia tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak berdaulat
serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai atau negara
Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat
(souvereign rights), yaitu hak-hak untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi maupun pengelolaan sumber daya alam
baik hayati maupun non hayati yang terdapat di dalam badan
air (water column), dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed
and subsoil); juga hak untuk melakukan kegiatan yang
bertujuan ekonomi seperti membangkitkan energi yang
berasal dari arus laut, ombak dan gelombang laut maupun
angin yang berada di dalam jalur laut 200 mil.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat ini, maka Republik
Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau kewenangan yang berkaitan dengan
pembangunan dan pe-manfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi
(installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona tersebut; juga yurisdiksi
terkait dengan penelitian ilmiah ke-lautan (marine scientific research) di ZEEI;
juga yurisdiksi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingku-ngan
laut (protection and preservation of the marine environ-ment).
Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagian-bagian laut tertentu ZEE
Indonesia (ZEEI), tumpang tindih (overlapping) dengan ZEE negara-negara
tetangga, maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk mengadakan
perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyang-kut penetapan garis
batas ZEE masing-masing negara. Selama belum tercapai kesepakatan soal garis
batas tersebut, maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengah-tengah
antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan wilayah pantai dari negara
tetangga yang bersangkutan.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut juga menegaskan bahwa
sepanjang dasar laut dan tanah di bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas
kontinen Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewa-jiban-
kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut Undang-Undang Landas
Kontinen Indonesia tahun 1973, perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen
dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional
lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerin-tah tersebut dinyatakan bahwa
status perairan ZEE Indonesia yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya
tetap ber-status sebagai perairan internasional sehingga di perairan tersebut
tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam bidang-bidang tertentu,
seperti kebebasan untuk berlayar (freedom of navigation), kebebasan untuk
melakukan pener-bangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE
Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan saluran pipa bawah
laut di ZEE Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang
berlaku.
Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia
tahun 1980, sebagaimana halnya dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957
(Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tahun
1969, pada akhirnya dituangkan pula ke dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang dinama-kan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga memiliki kekuatan
yuridis formal dan tidak sekedar suatu pengumuman dan pernyataan semata-
mata.
Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan umum yang mencakup definisi
dari berbagai istilah seperti sumber daya alam hayati, sumber daya alam non
hayati dan lain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat, yurisdiksi dan
kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang dapat dilakukan di ZEE Indonesia,
soal gantirugi, masalah penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya
(lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Undang-Undang
ini kemudian ditindaklanjuti dengan peratu-ran pelaksanaan yang berupa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur
tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.
Sumber daya alam hayati yang istilah populernya ada-lah ikan tidak mengenal
batas-batas wilayah negara sesuai dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan
dengan praktek negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat
internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut inter-nasional yang
melandasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tersebut,
maka sumber daya alam hayati yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah
milik Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum inter-nasional, misalnya kewajiban
RI untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable
Catch), besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan Indonesia
(Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk pelaksanaan konservasi serta
kesediaan Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada usaha perikanan
asing, untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang jumlah
tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya dimanfaatkan melalui usaha-
usaha perikanan Indonesia.
Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan,
maka sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu
sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan
penangkapan ikan serta sebagai pendukung sumber daya alam hayati di perairan
Indonesia. Mengingat fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya
perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini berkaitan pula dengan
sifat sumber daya alam hayati yang tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar
pemikiran yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di
ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23).
Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Repub-lik Indonesia adalah
diundangkannya Undang-Undang Perika-nan Indonesia, yakni Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara
lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan atau pengertiannya,
seperti misalnya istilah perikanan yang artinya semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelola-an dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya
ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lain-nya.
Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber
daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus.
Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau
pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai istilah yang mengemuka
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih
banyak lagi istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang ini).
Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah perikanan Republik
Indonesia meliputi perairan Indonesia (laut teritorial, perairan kepulauan,
perairan pedalaman), sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di
dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona ekonomi eksklusif
Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 juga mengatur tentang
pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang
ditujukan bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia, dan untuk
mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan penge-lolaan sumber daya ikan
secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta
lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan
ketentuan-ketentuan mengenai alat tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang
harus dipenuhi oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran; jumlah
ikan yang boleh ditangkap, jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap;
daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran dan
kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
penebaran ikan jenis baru, pem-budidayaan ikan dan perlindungannya.
Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan melalui usaha perikanan di
dalam wilayah perikanan Repub-lik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh
warganegara Repub-lik Indonesia atau badan hukum Indonesia, dengan penge-
cualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia
berdasarkan ketentuan persetujuan inter-nasional atau hukum internasional
yang berlaku. Pihak yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin
usaha perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun perorangan
lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 telah dicabut
berlakunya sejak diundangkannya Undang-Undang Perikanan
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2004 yang azas-azasnya pada waktunya akan dibahas secara lengkap
dalam Pokok Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tamba-
han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004,
dikemukakan pelbagai macam istilah yang terkait dengan masalah
perikanan, seperti istilah perikanan yang diartikan sebagai semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingku-ngannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Lingkungan sumber daya ikan
adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor
alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Penangkapan
ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegi-atan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah
semua upa-ya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan ke-putusan, alokasi sumber daya
ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau oto-ritas
lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya
hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Sedang mengenai azas pengelolaan
perikanan dikemu-kakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan
atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keter-paduan, keterbukaan,
efisiensi dan kelestarian yang berkelan-jutan. Tujuan pengelolaan perikanan
adalah: a) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.;
b) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong perluasan dan
kesempatan kerja; d) meningkatkan keter-sediaan dan konsumsi sumber potensi
ikan; e) mengoptimal-kan pengelolaan sumber daya ikan; f) meningkatkan
produk-tivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan ketersediaan
bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h)mencapai pemanfaatan sumber
daya ikan, lahan pembudi-dayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara
opti-mal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembu-didayaan ikan
dan tata ruang.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya Undang-Undang
Perikanan yang baru adalah bahwa undang-undang ini berlaku untuk
a) setiap orang, baik warganegara Indonesia maupun warganegara
asing, badan hukum Indo-nesia maupun badan hukum asing, yang
melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indo-nesia; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia
dan kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-nesia; c)
setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia; d) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing.
Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan maka wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia, ZEE
Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik
Indonesia. Pengelo-laan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, persyaratan dan atau standar internasional yang diterima
secara umum. Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terda-pat
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004.
Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik In-donesia mengesahkan atau
meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehingga sejak waktu itu Konvensi
Hukum Laut yang dihasilkan melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun
1973 hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum positif Indonesia.
Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985, maka Konvensi
yang isinya bersifat komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi
Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah menjadi hukum positif kita.
Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif pada waktu itu atau belum
“come into force”, namun bagi Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara
individual sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
1985. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 308 ayat (2) KHL 1982 yang
menyatakan bahwa bagi setiap negara yang meratifikasi atau menyatakan aksesi
pada konvensi ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, konvensi
mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendeposit-an piagam ratifikasi
atau aksesinya, dengan tunduk pada ketentuan ayat (1). Ayat 1 pasal yang sama
(Pasal 308, ayat 1) menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan
setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-60.
Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara internasional pada tahun 1985
sebab ketika itu jumlah ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan,
namun bagi Indonesia sendiri konvensi tersebut telah berlaku secara individual.
KHL baru berlaku secara internasional atau secara umum pada tanggal 16
November 1994, sebab satu tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November
1993, Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi KHL 1982 dan
mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen PBB.
Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menin-daklanjuti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 mengenai pengesahan Indonesia
terhadap KHL 1982, dengan mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang ini selain
mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, juga pada
dasarnya undang-undang ini menguatkan kembali dasar-dasar penga-turan
wilayah perairan Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang
Nomor 4/Prp. 1960, namun lebih disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL
1982, dengan mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar Negara Kepulau-an
(Archipelagic State), sebagaimana diatur di dalam Bab IV KHL 1982. Demikian di
dalam undang-undang ini terdapat pengertian Indonesia sebagai Negara
Kepulauan, berbagai ma-cam garis pangkal, terutama garis pangkal lurus
kepulauan yang tidak berdiri sendiri, sebab harus dipergunakan secara silih
berganti dengan garis-garis pangkal lainnya, seperti garis pangkal normal, garis
pangkal lurus, garis penutup pada teluk, pelabuhan, sungai dan lain-lainnya.
Di dalam Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia yang baru (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai
macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit dan lintas alur kepulauan serta
hak akses dan komunikasi (terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga).
Pemerintah Republik Indonesia kemudian menindak-lanjuti ketentuan pasal dari Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal lurus
kepulauan atau garis pangkal kepulauan, dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 sebagai salah satu peraturan pelaksanaan
undang-undang tersebut. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut Natuna
(lihat PP RI Nomor 61 Tahun 1998). Kendati sifatnya tambal sulam, sebab hanya mengatur
masalah penarikan garis pangkal lurus kepulauan di wilayah Kepulauan Natuna, namun
dikeluarkannya Peraturan pemerintah tersebut dila-tarbelakangi dengan pemikiran di
mana panjang maksimal setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai
100 mil laut, malahan kadang-kadang (dengan persentase tertentu) bisa mencapai
maksimal 125 mil laut sehingga tidak semua pulau-pulau terluar terutama yang terletak
di sekitar laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan digunakan sebagai titik
pangkal.
Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan ke-sempatan untuk
memperoleh atau memiliki wilayah perairan khususnya perairan
kepulauan yang jauh lebih luas daripada kita menggunakan seluruh
pulau terluar sebagai titik pang-kal. Selanjutnya sesuai dengan
ketentuan KHL 1982 yang mensyaratkan Republik Indonesia untuk
membuat peta garis pangkal lurus kepulauan atau sebagai gantinya
harus membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal lurus
kepulauan, maka ketentuan pasal mengenai garis pangkal lurus
kepulauan Indonesia sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 ditindaklanjuti lagi melalui
pengundangan Peraturan Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 (lihat
Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72 ).
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah Repub-lik Indonesia
dapat menarik garis pangkal kepulauan Indo-nesia. Dalam
menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat dipergunakan
garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis
pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang tentu saja teluk
ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup pada sungai atau
muara sungai, garis penutup pada pela-buhan, pada kuala,
terusan dan lain-lainnya sepanjang semuanya itu berada pada
suatu pulau terluar.

You might also like