You are on page 1of 43

FARMAKOTERAPI

ASMA
Fetri Lestari
Asma
 Asma adalah gangguan inflamasi kronik
pada jalan nafas, yang mana banyak
elemen selular yang berperan.
 menyebabkan episodik whezzing

berulang, sesak nafas (breathlessness),


rasa dada tertekan (chest thigtness), dan
batuk terutama pada malam hari dan dini
hari.
Prevalensi
 (WHO) 300 juta orang di dunia (+) asma
 225 ribu orang meninggal tahun 2005 lalu.
 Di Indonesia prevalensi asma usia 13-14
tahun 1-2%, Jawa Tengah 6,2%. Asma
menyebabkan hilangnya 16% hari sekolah
pada anak-anak
Etiologi
 Faktor penyebab berkembangnya asma, disebut
sebagai Host Factor
 Faktor yang memicu gejala asma, disebut sebagai
Environmental Factor

 Sumber : GINA (Global Initiative For Asthma)


Host Factor
 Genetic : kecenderungan untuk memproduksi IgE
tinggi
 Obesity: belum jelas
 Sex:
 Anak: . Hingga umur 14 tahun, prevalensi asma 2x
lipat lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan
 Dewasa: prevalensi pada wanita lebih tinggi dari pria
Genetik
 Asthma memiliki komponen yang dapat diwariskan.
 bahwa nomor region kromosom berhubungan dengan asthma
susceptibility. Contohnya, kecenderungan untuk memproduksi level
total serum IgE yang meningkat merupakan co-inherited (faktor
yang mendampingi pewarisan) dengan airway hyperresponsiveness
dan gen yang menentukan airway hyperresponsiveness ini berlokasi
dekat dengan major locus yang meregulasi level serum IgE pada
chromosome 5q.
 Sebagai tambahan, gen predisposisi asma berkaitan dengan respon
treatment asma. Sebagai contoh, variasi pada gen encoding beta-
adrenoreceptor terkait dengan perubahan pada subject respon
terhadap β2-agonist.
 Allergens: Domestic mites, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), Pollen (serbuk), dan cuaca
 Infections (predominantly viral)
 Occupational Sensitizer
 Tobacco smoke
 Diet ?
 Bakteri
Environmental factors
 Allergens
 Infections (predominantly viral)
 Occupational Sensitizer
 Tobacco smoke
 Diet
 Bakteri: Chlamydia pneumoniae
Infeksi
 Selama infancy (0-12 bulan), jumlah virus terkait
dengan insepsi asthmatic phenotype. Respiratory
syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus
memproduksi pola gejala, termasuk bronchiolitis,
yang mirip asma. Meskipun begitu, menurut
penelitian, 40% anak yang terkena RSV
berkembang menjadi wheezing atau menjadi asma.
Patofisiologi
 Inflamasi
 Terutama karena keterlibatan leukotriene
 Leukotriene adalah hasil dari perubahan asam
arakhidonat oleh enzim lipooksigenase
 Bronkokonstriksi (penyempitan bronkus)
 Karena kontraksi otot polos bronkus dan inflamasi
yang menyebabkan pembengkakan saluran nafas
dan hipersekresi mukus.
Sel mast Eosinofil

DregranulasiSel Pelepasan granul-


mast granul dan mediator

Primary
(histamine, Secondary
protease, (Leukotrienes, Leukotrienes,
chemotactic Prostaglandin) Growth factor
factors)

Inflamasi jalan
napas
Inflamasi jalan
napas

vasodilatasi Perubahan saraf sensoris infiltrasi sel-sel


struktur disensitisasi inflamasi di
oleh inflamasi mukosa
↑Permeabilitas
pembuluh darah
Hipertropi dan ↑jumlah sel
hyperplasia goblet dan
otot polos ↑ukuran
jalan napas kelenjar
extravasasi cairan
submukosa
bronkonstriksi

↑ketebalan hipersekresi
airway edema jalan napas mukus

Airway hyperresponsiveness
Airway obstruction
Faktor berkontribusi terhadap perkembangan penyempitan jalan napas pada
pasien yang mengidap asthma, diantaranya:

 Airway smooth muscle contraction


Kontraksi otot polos jalan napas dalam merespon berbagai
mediator bronkonstriksi dan neurotransmiter merupakan
mekanisme utama penyempitan jalan napas.

 Airway edema
Edema jalan napas disebabkan oleh peningkatan kebocoran
mikrovaskular dalam merespon mediator-mediator inflamasi.
Mekanisme ini penting selama kekambuhan akut (acute
exacerbation)
 Airway thickening
Penebalan jalan napas dikarenakan perubahan struktur,
sering kali disebut "remodelling", proses ini penting pada
penyakit yang lebih parah dan tidak sepenuhnya
reversible dengan pengobatan.

 Mucus hypersecretion
Hipersekresi mukus dapat mengakibatkan oklusi luminal
(mucus plugging). Oklusi luminal merupakan hasil dari
peningkatan sekresi mukus dan inflammatory exudate.
Physical and Lab finding
 Respiratory rate ↑ >30x/menit
 Jantungnya (monitoring irama jantung)
 Askultasi  wheezing
 Lab : CBC/hitung darah lengkap 
eosinofilia, IgE meningkat, Blood Gas
Analysis (BGA) : Saturasi O2 <90%
Test for Diagnosis & Monitoring

 Measurement of lung function (tes fungsi paru)


Spirometry  FEV1 < 80% (menunjukan asma)
(dengan membandingkan tabel prediksi BB
dengan Tinggi Badan)
 Measurement of allergic status
Skin tests dengan allergen merupakan tes
diagnostic primary untuk menggambarkan status
allergi pada seorang indivudu.
Klasifikasi asma

Pharmacotherapy-a Pathophysiologic Approach 7th ed (Joseph T Dipiro,


et al, 2008)
Asthma Management Handbook (National Asthma Council Australia/ NAC, 2006)
Terapi non farmakologi
 Menghidari pemicu asma
Terapi farmakologi
 Terdiri dari 2 kelas :
 Quick relief medication atau “relievers”
 Long-term control medication atau “controller”
i. Reliever : bronkodilator
 Agonis β2 adrenergik
 Antikolinergik
 Turunan xanthin
Agonis β2
 mengikat reseptor β2 adrenergik di bronkus sehingga
bronkus berdilatasi
 Short acting β2-agonist (SABA): salbutamol, terbutalin
 Long Acting β2-agonist (LABA): eformoterol (onset cepat),
salmeterol (onset lambat). Keduanya tersedia dalam bentuk
inhaler tunggal ataupun yang dikombinasi dengan ICS
(inhaled corticosteroid).
 LABA juga merupakan symptom controller (pengontrol
gejala) yang memperpanjang bronkodilatasi sampai 12 jam,
dan memproteksi adanya penyempitan saluran nafas karena
alergen atau stimulus lain.
Antikolinergik:
 bekerja menghambat kerja saraf parasimpatik.
Sehingga efek mirip saraf simpatik (adrenergik).
Obatnya: ipratroprium bromida (MDI, nebulizer).
Turunan xanthin:
 theophylline (oral), bekerja merelaksasi otot polos
bronkhus, antiinflamasi dan meningkatkan
kontraktilitas diaghfrahma. Hanya untuk asma akut
yang parah karena mempunyai indeks terapi yang
sempit sehingga rentang keamanan sempit dan
perlu dimonitor konsentrasi obat dalam darah.
 aminophylline
ii. Antiinflamasi:
 sebagai preventer (pencegahan) serangan asma
 Inhaled corticosteroid (ICS)
 Leukotriene Reseptor Antagonist (LTRA)
 Cromone
 Antiimmunoglobulin therapy
 Oral atau parenteral Corticosteroid
Inhaled corticosteroid (ICS)
 bekerja menghambat kerja enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat.
Sehingga otomatis leukotriene ( hasil perubahan
asam arakhidonat oleh enzim lipooksigenase) juga
tidak terbentuk.
Leukotriene Reseptor Antagonist (LTRA)

 montelukast, zafirlukast (oral)


 Bekerja memblok reseptor leukotriene
Cromone
 Sodium cromoglycate, nedocromil sodium
(MDI)
 Menghambat respon alergi dengan menstabilkan
membran sel mast sehingga tidak mudah
terdegranulasi dan mengeluarkan mediator
inflamasi (histamin, leukotriene, sitokin).
 Histamin terlibat dalam asma pada anak, sehingga
cromone digunakan untuk terapi preventif pada
anak.
Antiimmunoglobulin therapy
 omalizumab (injeksi)
 Antibodi monoklonal rekombinan terhadap IgE
(mengikat IgE yang terikat di sel mast) sehingga
mencegah pelepasan mediator inflamasi (histamin,
leukotriene).
Oral atau parenteral Corticosteroid

 prednisolone, prednisone, methylprednisolon.


 Untuk serangan yang parah yang terjadi walaupun
sudah menggunakan ICS atau kombinasi ICS-
LABA.
Prinsip pengobatan asma dewasa
 Short acting β2-agonist (SABA) merupakan terapi
reliever (pelega) standar pada gejala asma
Bagi yang menggunakan kombinasi budesonid (suatu ICS) dan
eformoterol (suatu LABA) sebagai pemeliharaan dan reliever
bisa menggunakannya tanpa memerlukan lagi SABA terpisah.
 Pencegahan asma diperlukan bagi yang terserang gejala
asma lebih dari 3 kali seminggu atau yang menggunakan
SABA lebih dari 3 kali seminggu
 Pencegahan mulai dengan inhaled corticosteroid (ICS)
dosis rendah. Pasien moderate-persistent mungkin
membutuhkan long acting β2 agonist (LABA).
Prinsip pengobatan asma dewasa
 Pada dewasa, terapi awal dengan ICS lebih baik
dibandingkan Leukotriene receptor antagonis (LTRA),
cromone atau theophylline untuk meningkatkan fungsi
pernafasan dan mengurangi gejala.
 Pada dewasa yang asma persistent sedang (moderate)
sampai parah (severe) walaupun telah menggunakan
ICS, penambahan LABA akan memperbaiki gejala dan
mengurangi kebutuhan terhadap ICS, dibandingkan bila
hanya menggunakan ICS tunggal.
 LABA: eformoterol memiliki onset yang cepat (1-3
menit), salmeterol memiliki onset yang lebih lambat (15-
20 menit)
Prinsip pengobatan asma dewasa
 Kombinasi budesonide (kortikosteroid) dengan
eformoterol digunakan untuk terapi pemeliharaan,
maupun untuk terapi pemeliharaan sekaligus
reliever.
 Kombinasi fluticasone (kortikosteroid) dan
salmeterol hanya digunakan untuk terapi
pemeliharaan (karena onset yang lambat)
 Penggunaan SABA secara rutin tidak
menguntungkan (karena durasi kerja pendek). Jadi
SABA digunakan bila dibutuhkan saja.
Prinsip pengobatan anak dan remaja

 SABA digunakan sebagai Reliever pada gejala


asma
 Pada anak, terapi pencegahan menggunakan ICS
dosis rendah, montelukast, atau cromone inhalasi
 Sebagian besar anak mempunyai episode yang
jarang, sehingga dapat diatasi dengan bronkodilator
saat dibutuhkan dan tidak membutuhkan
pengobatan pencegahan jangka panjang.
 Bukti efikasi LABA pada anak terbatas.
Penggunaan obat asma pada dewasa

Klasifikasi Asma Golongan Obat


Intermittent Asthma SABA
Persistent Asthma (mild-moderate-severe) ICS atau ICS+LABA
LTRA pengganti ICS jika pasien harus
menghindari ICS
Guideline terapi asma anak
Serangan di RS

You might also like