You are on page 1of 8

JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2011 Vol. 1 No. 3.

Hal 119-126 ISSN: 2087-7706

PERKEMBANGAN TANAH DARI LAPUKAN BATUAN ULTRABASA PADA DUA TOPOSEKUEN DI SULAWESI TENGGARA Soil Genesis of Ultramafic Rocks Weathered on Two Toposequence in Sulawesi Tenggara
SYAMSU ALAM1*), BAMBANG HENDRO SUNARMINTO2), dan SYAMSUL ARIFIN SIRADZ2)
1) Jurusan 2)

Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Andounuhu Kendari. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

ABSTRACT
The study of soil development of weathering ultramafic rocks have been performed on several toposequence in Sulawesi Tenggara in Puriala Subdistrict of Konawe District and in Lasusua Subdistrict of Kolaka District from December 2010 until Juni 2011. The results showed that soils developed from ultramafic rocks weathering low rainfall (torric) in Puriala have a more coarse texture (LS, SL, L, SiL, CL, C), impervious container which was more shallow (20-90 cm), land of color tend to be brown (7.5 YR), pH 6.8 to 7.6, C-organic 0.57 to 0.93%, CEC 26.20 to 69.61 cmol(+)kg-1, the number of base 11.90 to 15.86 cmol(+)kg1, Fe-d 3.79 to 16.12%, Al-d 0.14 to 1.65%, smectite clay minerals, sand mineral feldspar hematite compared soils developed from ultramafic rocks weathering high rainfall (udic) in Lasusua color tends to be more red (2.5 YR), with a finer texture (SiCL, C) and impervious container deeper (70 -> 150 cm), pH 6.1 to 7.0, C-organic 1.20 to 1.86%, CEC 11.29 to 31.60 cmol(+)kg-1, the number of bases 2.72 to 13.33 cmol(+)kg-1, Fe-d 21.62 to 27.04%, Al-d 0.87 to 3.58%, gutit smectite clay minerals, sand mineral feldspar-magnetite-hematite. Soil weathering from ultramafic rocks with high rainfall experienced base cations leaching was higher mainly characterized by high mobility of cations with CEC and a lower base amount, and the accumulation of low mobility of cations is characterized by high Fe-d and Al-d. Level of soil development began from P2 (Entisol), P1 (Vertisol), L2 (Inceptisol), P3 (Inceptisol), L1 (Alfisol) and the last L3 (Oxisol) the most advanced of soil is on the middle slope, the next is soil on summit, and the last is soil on toeslopes. Keywords: Key words: soil development, toposequence, climate, ultramafic

PENDAHULUAN

Batuan induk yang berbeda mempunyai komposisi mineral yang berbeda dan penting dalam proses pembentukan tanah (Foth, 1991; Tan, 1992; Sutanto, 2005). Kecepatan pelepasan unsur hara dari batu sangat tergantung pada intensitas faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan, misalnya: suhu, curah hujan dan kelembaban (Tan, 1992; Kusdarto, 2006). Batuan ultrabasa umumnya didominasi oleh mineral olivin dan serpentin

Alamat korenpondensi: 081341512265 E-mail: alamhaluoleo@gmail.com


*)

yang termasuk mineral mudah melapuk. Kelompok batuan ini memiliki SiO2 yang rendah dan secara nisbi kaya akan Fe, Ca, dan Mg yang dapat dijadikan sebagai bahan pembenah tanah untuk tanah-tanah marginal. Sulawesi Tenggara termasuk salah satu daerah yang memiliki sebaran formasi geologi kompleks ultrabasa yang cukup luas (325.556 ha) dengan iklim, relief, dan penggunaan lahan yang beragam. Intensitas pelapukan selain dipengaruhi oleh iklim dan batuan induk juga dipengaruhi oleh keragaman topografi (Jenny, 1941). Peranan topografi dapat mempercepat atau memperlambat intensitas pelapukan (van Breemen dan Buurman, 1980; Schaetzl dan Anderson, 2005). Peranan topografi terhadap

120

ALAM ET AL.

J. AGROTEKNOS

intensitas pelapukan dan tingkat perkembangan tanah ditunjukkan dengan keragaman karakteristik tanah yang dihasilkan pada setiap profil tanah yang terbentuk pada keragaman topografi mulai dari lereng atas sampai lereng bawah. Sebaran jenis tanah yang terbentuk dapat berbeda meskipun berasal dari bahan induk (termasuk umur) yang sama karena adanya pengaruh faktor iklim dan relief yang berbeda. Deretan tanah-tanah yang pembentukannya dikuasai oleh faktor pembentuk tanah yang sejenis kecuali timbulan, dinamakan toposequence (Notohadiprawiro dan Suparnowo, 1978). Perkembangan tanah dapat disidik berdasarkan sifat-sifat morfologi, fisika, kimia dan mineralogi tanahnya yakni dengan membandingkan sifat horizon dalam satu profil secara vertikal maupun antar profil secara horizontal. Gerrad (1981) mengungkapkan bahwa perkembangan tanah dicirikan oleh terjadinya diferensiasi horison sebagai wakil proses pedogenik baik fisika, kimia, maupun biologi yang oleh reaksi dalam profil tanah terjadi penambahan, penghilangan, alih tempat, serta alih rupa senyawa mineral dan bahan organik dalam tubuh tanah. Menurut Buurman (1980), nisbah diantara debu halus dengan fraksi yang lebih halus (lempung) dapat digunakan juga dalam penilaian perkembangan tanah (intensitas pelapukan). Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa semakin lanjut pelapukan maka akan semakin banyak fraksi debu yang terlapuk menjadi fraksi yang lebih halus, sehingga nisbah debu/lempung akan semakin rendah seiring dengan tingkat perkembangan tanah. Rachim (2007) mengungkapkan bahwa nisbah mineral mudah lapuk dan resisten juga dapat dijadikan indikator derajat pelapukan. Nisbah mineral mudah lapuk/resisten semakin rendah seiring tingkat perkembangan tanah atau nisbah kuarsa/feldspar makin besar menunjukkan tingkat perkembangan tanah makin lanjut. Maas (1997) juga mengungkapkan bahwa komposisi mineralogi dapat menjadi parameter tingkat perkembangan tanah. Tanah muda didominasi mineral primer, tanah dengan pematangan awal tipe lempung 2:1, pematangan akhir tipe lempung 1:1, dan tanah tua dominasi oksida).

Beberapa parameter lain untuk menilai perkembangan tanah yaitu nisbah Si/Al dan Fe oksida dimana antara Si dengan Al dan Fe oksida mempunyai tingkat pelapukan yang berbeda. Sesuai dengan prinsip pelapukan batuan (Birkeland, 1974; Schaetzl dan Anderson, 2005), bahwa oksida Fe dan Al merupakan senyawa yang cukup tahan terhadap pelapukan. Sementara itu, senyawa lainnya mudah hilang dari tempat asalnya, termasuk silika. Oleh karena itu, nisbah oksida dari Si terhadap Fe dan atau Al digunakan sebagai Indeks Pelapukan. Semakin rendah nisbah SiO2/Al2O3, Al2O3/Fe2O3, dan nisbah SiO2/(Al2O3+Fe2O3) menunjukkan tingkat perkembangan tanah yang semakin lanjut. Mehra dan Jackson (1960) dalam Pai et al. (2007) juga menyatakan bahwa nisbah Feo/Fe-d atau Fe-d dan Al-d semakin rendah menunjukkan tingkat perkembangan tanah semakin lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat perkembangan tanah dari lapukan batuan ultrabasa pada dua toposekuen berbeda di Sulawesi Tenggara.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011. Penelitian lapangan dilakukan pada dua lokasi yang berbeda yaitu Kecamatan Puriala Kabupaten Konawe dan Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara Propinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian laboratorium dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium Tanah UGM dan Laboratorium Tanah Unhalu, sedangkan analisis mineral dan batuan dilakukan di Laboratorium Teknik Geologi UGM dan Laboratorium Geokimia Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah yang memiliki sebaran batuan ultrabasa yang cukup luas, dari duabelas kabupaten/kota yang ada, enam kabupaten diantaranya terdapat formasi geologi kompleks ultrabasa yaitu : Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kabupaten Bombana. Lokasi penelitian ini ditetapkan pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten

Vol. 1 No.3, 2011

Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa

121

Konawe berdasarkan beberapa pertimbangan diantaranya kondisi iklim serta penggunaan lahan. Selanjutnya dalam setiap kabupaten ditetapkan satu kecamatan sebagai lokasi penelitian yang memiliki landscape yang berkembang di atas batuan ultrabasa. Kecamatan Puriala (Kabupaten Konawe) memiliki curah hujan rata-rata 800 mm tahun1 dengan komoditi utama lada. Kecamatan Lasusua (Kabupaten Kolaka Utara) memiliki curah hujan rata-rata 1.800 mm tahun-1 dengan komoditi utama kakao dan cengkeh. Jumlah profil pada setiap landscape ditentukan dengan menggunakan konsep katena (toposekuen) yaitu dengan membuat profil pewakil berdasarkan posisi di lereng (lereng atas, tengah dan lereng bawah) (Lee et al., 2003; Pai et al., 2007; Garnier et al., 2009; Graham and OGeen, 2010), sehingga dalam penelitian ini karakterisasi difokuskan pada enam profil pewakil. Analisis laboratorium untuk karakteristik fisika dan kimia tanah dilakukan pada setiap lapisan/horison mengikuti metode analisis Balai Penelitian Tanah (2009), sedangkan untuk karakteristik mineralogi tanah (fraksi lempung dan fraksi pasir) hanya dilakukan pada satu lapisan yaitu horison B dengan kadar lempung paling tinggi untuk masingmasing profil (Lee et al., 2003; Muggler et al., 2007). Khusus untuk analisis dengan larutan selektif dilakukan pada tiga lapisan/ horison utama (horison A, B dan C) (Irmak et al., 2007; He et al., 2008). Data hasil analisis tanah yang diperoleh dari lapangan dan laboratorium kemudian diolah berdasarkan perhitungan rata-rata imbang untuk membandingkan sifat-sifat tanah antar horison dan antar profil, serta pembandingan secara deskripsi komparatif baik atas dasar toposekuen ataupun klimosekuen. Tingkat perkembangan tanah dievaluasi selain berdasarkan differensiasi horison (Gerrad, 1981), juga didasarkan atas perhitungan intensitas pelapukan (nisbah debu/lempung) (Buurman, 1980), derajat pelapukan (nisbah mineral mudah lapuk dan resisten) (Rachim, 2007), indeks pelapukan (nisbah oksida dari Si terhadap Fe dan atau Al) (Birkeland, 1974; Schaetzl dan Anderson, 2005). Selain itu pendapat Mehra dan Jackson (1960) dalam Pai et al. (2007) juga dapat digunakan yaitu bahwa nisbah Fe-o/Fe-d atau

Fe-d dan Al-d semakin rendah menunjukkan tingkat perkembangan tanah semakin lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penilaian terhadap tingkat perkembangan tanah dapat ditentukan berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya pertama melalui kenampakan morfologi tanah dalam hal ini melalui identifikasi diferensiasi horison yang terbentuk. Kedua melalui pendekatan karakteristik fisika tanah dalam hal ini ditentukan berdasarkan nisbah debu/lempung dalam tanah untuk menilai intensitas pelapukan, khususnya pada tanahtanah yang berkembang dari bahan induk yang sama. Ketiga tingkat perkembangan tanah dapat pula diukur berdasarkan karakteristik mineral fraksi pasir yaitu berdasarkan nisbah mineral mudah lapuk/resisten atau nisbah kuarsa/feldspar dalam tanah untuk menilai derajat pelapukan. Keempat berdasarkan nisbah bentuk-bentuk Al dan Fe dalam tanah diantaranya Fe-o/Fe-d, Fe-d dan Al-d yang digunakan untuk menilai indeks pelapukan atau biasa pula disebut sebagai leaching factor. Diferensiasi Horison. Diferensiasi horison memberikan gambaran tentang banyaknya horison yang terbentuk pada suatu penampang vertikal tubuh tanah. Banyaknya horison yang terbentuk dapat dijadikan dasar dalam menilai tingkat perkembangan tanah. Horison yang terbentuk semakin banyak dan semakin tebal maka tanah tersebut telah mengalami perkembangan lanjut, karena terjadi pelapukan secara intensif. Hasil identifikasi morfologi tanah pada lokasi penelitian profil P1 (horison A, Assc, Crss), dan profil P2 (A, AC, Crss) memiliki ketebalan solum yang tipis dengan susunan horison yang terbentuk sedikit dan belum ditemukan adanya horison B serta masih langsung ditemukan horison bahan induk tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah pada profil ini belum memiliki tingkat pelapukan yang lanjut dan termasuk tanahtanah yang baru berkembang (Gerrad, 1981). Profil P3 (horison IAp, IB, IIAcb, IIBwb) dan profil L2 (horison A, B, BC) memiliki ketebalan solum sedang, susunan horison yang lebih lengkap dengan kehadiran horison B, meskipun masih ditemukan horison bahan induk tanah profil ini termasuk tingkat

122

ALAM ET AL.

J. AGROTEKNOS

pelapukan yang sedang berkembang. Profil L1 dan L3 menunjukkan tingkat perkembangan tanah yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan profil lainnya, sebab selain jumlah horison yang lebih banyak, juga ketebalan dan jeluk tanah juga cukup tebal/dalam serta tidak dijumpai lapisan/horison bahan induk tanah. Menurut Hardjowigeno (1993) bahwa seiring dengan tingkat perkembangan tanah meningkatnya proses pelapukan yang berjalan lanjut sehingga terjadi perubahan yang nyata pada horison.
Intensitas pelapukan (nisbah debu/ lempung). Tingkat pelapukan tanah dapat

diukur dari hasil nisbah debu/lempung, khususnya pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk yang sama. Semakin tinggi presentase nisbah debu/lempung menunjukkan intensitas

pelapukan yang kurang intensif sebaliknya jika nilai nisbah debu/lempung tinggi menggambarkan intensitas pelapukan yang cukup intensif (Jackson, 1968). Rasio Si/C semakin rendah seiring tingkat perkembangan tanah. Tabel 1. menunjukkan bahwa profil P1 dan P2 mempunyai nisbah debu/lempung yang cukup tinggi (2,2 dan 1,4), hal ini mengindikasikan bahwa intensitas pelapukan pada tanah ini berlangsung sangat lambat karena masih dirajai oleh fraksi debu. Pada profil L1 dan L3 mempunyai nisbah debu/lempung yang rendah (0,4 dan 0,5), hal ini mengindikasikan bahwa tanah ini telah mengalami pelapukan intensif sehingga termasuk tingkat pelapukan lanjut yang dirajai oleh fraksi lempung (Buurman, 1980).

Tabel 1. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan susunan morfologi horison dan rasio debu (Si)/lempung (C) pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara Toposekuen di Puriala Profil Horison P1 A, Assc, Crss P2 A, AC, Crss P3 IAp, IB, IIAcb, IIBwb Si/C 2,2 1,4 0,9 Toposekuen di Lasusua Profil Horison L1 O, A, Bt1, Bt2, Bt3, Bt4 L2 A, B, BC L3 A, Bo1, Bo2, Bo3 Si/C 0,5 1,1 0,4

Menurut Jackson (1968) bahwa nilai nisbah debu/lempung sekitar 0,2% maka tanah tersebut telah berkembang lanjut. Sedangkan profil P3 dan L2 memiliki nisbah debu/lempung yang relatif sedang (0,9 dan 1,1), hal ini mengindikasikan bahwa intensitas pelapukan belum cukup intensif, sehingga tingkat perkembangan tanahnya tidak dapat berkembang lanjut. Profil P3 selain memiliki muka air tanah yang dangkal juga karena termasuk tanah tertimbun yang menampung hasil erosi dari lereng atasnya, sedangkan profil L2 lebih disebabkan karena erosi yang besar akibat lereng yang curam dan curah hujan yang tinggi. Derajat pelapukan (Nisbah mineral mudah lapuk/resisten). Nisbah ini memberikan gambaran bahwa semakin rendah nilai nisbah mineral mudah lapuk/resisten maka tingkat perkembangan tanahnya semakin berkembang. Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai nisbah mineral mudah lapuk/resisten pada profil P3, L1, L2, dan L3 memiliki nilai yang rendah hal ini mengindikasikan bahwa pada profil ini memiliki derajat pelapukan yang lebih lanjut.

Profil P1 dan P2 memiliki nilai nisbah yang lebih tinggi dibandingkan dengan profil lainnya, hal ini mengindikasikan bahwa derajat pelapukan belum intesif, karena pada tubuh tanah tersebut masih didominasi oleh partikel yang mudah lapuk. Menurut Rachim (2007), nisbah mineral mudah lapuk dan resisten dapat dijadikan sebagai indikator derajat pelapukan, semakin rendah derajat pelapukan maka semakin lanjut tingkat perkembangan tanahnya. Nisbah kuarsa/feldspar memberikan gambaran tentang perkembangan tanah, semakin tinggi nilai nisbah kuarsa/feldspar maka tanah tersebut memiliki perkembangan lanjut. Tanah yang didominasi oleh kuarsa merupakan tanah yang telah berkembang lanjut, karena sifat kuarsa yang inert yang sukar melapuk. Pada tanah yang didominasi oleh feldspar merupakan tanah yang mengalami tingkat pelapukan yang sedang berkembang. Hasil pengamatan pada semua profil menunjukkan nilai nisbah kuarsa/feldspar yang relatif bervariasi, hal ini lebih disebabkan oleh pendekatan metode pengambilan sampel yang berbeda setiap

Vol. 1 No.3, 2011

Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa

123

profil, sehingga kurang menggambarkan kesesuaian tingkat perkembangan tanah dengan nisbah kuarsa/feldspar yang ada.

Menurut Rachim (2007) nisbah kuarsa/feldspar yang besar menunjukkan tingkat perkembangan tanah lanjut.

Tabel 2. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan rasio mineral mudah lapuk/resisten dan rasio kuarsa/feldspar pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara Profil/ Komposisi mineral fraksi pasir (%) Rasio Mineral Lapisan M O Ho He Q F Lithic Q/F ML/TL Horison (a,c) (b,c) (b,c) (a,c) (a,d) (b,d) P1 II Assc 0,8 8,3 4,1 4,1 35,5 45,5 1,7 0,78 1,43 P2 II AC 6,3 3,3 2,1 2,9 27,2 54,0 4,2 0,50 1,63 P3 IV Bwb 14,3 0 3,6 44,6 12,5 6,3 18,7 1,98 0,14 L1 VI Bt4 38,4 0 10,2 11,3 1,7 27,7 10,7 0,06 0,74 L2 II B 20,0 0 0 16,4 29,3 33,8 0,5 0,87 0,51 L3 IV Bo3 12,0 0 1,3 42,9 18,0 10,8 15,0 1,67 0,17 Keterangan : M:Magnetit, O:Olivin, Ho:Hornblenda, He:Hematit, Q:Kuarsa, F:Feldspar ( ) Golongan mineral a: Tahan Lapuk (TL), b: Mudah Lapuk (ML), c: Berat, d: Ringan

Tipe Mineral Lempung. Tipe mineral lempung (clay=liat) pada lokasi penelitian didominasi oleh smektit pada profil P1, P2, P3, dan L2 mineral ini merupakan mineral lempung tipe 2:1 yang memiliki sifat kembang kerut. Tanah yang didominasi oleh mineral tipe 2:1 termasuk tanah yang memiliki tingkat

perkembangan tahap awal (Jackson, 1968). Profil L1 dan L3 didominasi oleh mineral lempung gutit, mineral ini merupakan kelompok oksida-hidroksida besi. Tanah yang memiliki mineral lempung gutit merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut.

Tabel 3. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan tipe mineral lempung, mineral fraksi pasir mudah lapuk serta KPK lempung pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara Profil/ lapisan horison P1 II Assc Mineral Fraksi Pasir Dominan Feldspar Pengiring Kuarsa, Olivin, Hornblenda, Hematit, Magnetit Kuarsa, Magnetit, Olivin, Hematit, Hornblenda Magnetit, Kuarsa, Feldspar, Hornblenda Feldspar, Hematit, Hornblenda, Kuarsa Kuarsa, Magnetit, Hematit Kuarsa, Magnetit, Feldspar, Hornblenda Mineral Fraksi Lempung Dominan Smektit Pengiring Kaolinit-Smektit, Gutit KPK Lempung cmol(+)kg-1 123,90

P2 II AC P3 IV IIBwb L1 VI Bt4 L2 II B L3 IV Bo3

Feldspar Hematit Magnetit Feldspar Hematit

Smektit Smektit Gutit Smektit Gutit

Kaolinit-Smektit, Gutit Kaolinit-Smektit, Kaolinit, Gutit Kaolinit, Gibsit Gibsit, Kaolinit

136,65 41,68 13,37 38,38 15,85

Kapasitas pertukaran kation (KPK) tanah penting untuk menduga proses pembentukan tanah yang terjadi. Uehara dan Gilman (1980), bahwa KPK ditentukan oleh intensitas muatan dan luas permukaan partikel tanah. KPK tanah dipengaruhi oleh jenis mineral lempung, tekstur (kadar lempung) dan kadar bahan organik. Tabel 3. menunjukkan bahwa profil P1 dan P2 memiliki nilai KPK >25 cmol(+)kg-1, hal ini menunjukkan bahwa tanah pada profil ini memiliki perkembangan tahap awal, bila

dibandingkan dengan profil L1 dan L3 sudah dalam tahap perkembangan lanjut. Makin tinggi kadar lempung (clay) maka nilai KPK makin tinggi. Menurut Jackson (1968) fraksi lempung (clay) mempunyai KPK <25 cmol(+)kg-1 menggambarkan tingkat pelapukan lanjut. Indeks pelapukan (Nisbah bentukbentuk Al dan Fe). Larutan dithionit-sitrat mengekstrak besi, aluminium dan mangan bebas, yaitu dalam bentuk hidrus-oksida.

124

ALAM ET AL.

J. AGROTEKNOS

Larutan asam oksalat dapat melarutkan senyawa besi, aluminium dan silika yang aktif, yaitu senyawa-senyawa dalam bentuk amorf. Larutan natrium pirofosfat dapat melarutkan senyawa besi dan aluminium yang terikat dengan bahan organik. Larutan natrium pirofosfat secara selektif mengekstrak besi dan aluminium yang membentuk senyawa kompleks dengan bahan organik tanah. Nisbah Fe-o/Fe-d merupakan petunjuk untuk mengetahui intensitas pelindian (leaching factor). Intensitas pelindian semakin kuat apabila nisbah Fe-o/Fe-d semakin rendah. Tabel 4. menunjukkan bahwa hasil perhitungan nisbah Fe-o/Fe-d untuk profil P1 dan P2 memiliki nilai >0,1 hal ini menunjukkan bahwa tanah pada profil ini memiliki pelindian masih relatif rendah jika dibandingkan dengan profil P3, L1, L2, dan L3 yang memiliki nisbah Fe-o/Fe-d <0,1 yang menunjukkan intensitas pelindian yang cukup intensif sekaligus menjadi indikator di lokasi

penelitian Lasusua sudah termasuk intensitas pelapukan tinggi. Faktor pencucian menggambarkan intensitas pelindian, tanah yang didominasi besi merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut. Kadar Fe-d dan Al-d memiliki nilai tinggi menunjukkan bahwa tanah pada lokasi profil ini telah terjadi pengkristalan, hal ini memberikan gambaran tentang perkembangan tanah di lokasi ini sudah lanjut. Horison yang mengalami proses pedogenesis lanjut mineralnya mengalami evolusi menjadi fase kristalin (Mikuta et al., 2002). Proses pedogenesis melindi berbagai unsur, dimulai dari yang paling lincah yaitu Na, Ca, K, Mg, Si, Ti, Fe dan Al, sehingga secara umum tanah yang telah berkembang lanjut akan mengalami peningkatan/pemekatan secara relatif kadar unsur Al dan Fe (Buol et al., 1980). Tanah yang mengalami pelapukan lanjut mempunyai kandungan oksida besi yang relatif tinggi (Schwertmann, 1993 dalam Devnita, 2009).

Tabel 4. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan rasio Fe dan Al dalam tanah serta dalam batuan pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara Rasio tanah Rasio total tanah/batuan Fe-o/Fe-d Fe-d/Fe-t Fe-t/Fe-b Al-t/Al-b P1 0,13 0,74 0,85 0,17 P2 0,15 0,73 1,08 0,14 P3 0,06 0,85 3,11 1,08 L1 0,03 0,94 5,28 1,43 L2 0,04 0,90 4,52 0,72 L3 0,01 0,91 5,56 2,54 Keterangan : Fe-o= Fe oksalat, Fe-d= Fe dithionit, Fe-t= Fe tanah total, Fe-b= Fe batuan, Al-t= Al tanah total, Al-b= Al batuan Profil

Curah hujan yang lebih tinggi cenderung mengarahkan terjadinya pelapukan yang lebih intensif pada posisi sekuen lereng yang sama. Hal ini dibuktikan oleh perbedaan Fe-d, rasio Fe-d/Fe-t, dan komposisi mineral lempung yang terbentuk. Pada curah hujan yang lebih rendah di daerah Puriala lereng atas (P1) Fe-d 3,57-4,17%, lereng tengah (P2) Fe-d 3,905,69%, lereng bawah (P3) Fe-d 14,03-16,91%, dan didominasi oleh mineral lempung smektit. Tanah yang terbentuk pada curah hujan yang lebih tinggi di daerah Lasusua lereng atas (L1) Fe-d 23,74-35,87%, lereng tengah (L2) Fe-d 20,84-22,73%, lereng bawah (L3) Fe-d 16,8030,13%, dan didominasi oleh mineral lempung gutit. Keragaman kelerengan menghasilkan karakteristik tanah yang berbeda meskipun

berkembang pada bahan induk dan iklim yang sama. Karakteristik tanah yang terbentuk pada lereng bawah diantaranya mempunyai kandungan kation basa yang lebih rendah dan terjadi akumulasi Fe dan atau Al. Intensitas pelapukan yang tinggi pada lereng bawah sekaligus mengarahkan terbentuknya tubuh tanah dengan tingkat perkembangan yang lebih lanjut yang ditunjukkan dengan diferensiasi horison yang lebih lengkap dengan jeluk yang lebih tebal, nilai nisbah debu/lempung yang lebih rendah, pH yang cenderung lebih besar atau positif, nilai nisbah mineral mudah lapuk/resisten yang cenderung lebih rendah, nisbah kuarsa/feldspar yang cenderung lebih tinggi, serta kandungan mineral mudah lapuk cenderung berkurang.

Vol. 1 No.3, 2011

Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa

125

Daerah penelitian Puriala menunjukkan bahwa pengaruh faktor bahan induk terhadap pembentukan tanah lebih dominan dibandingkan pengaruh faktor lain. Tanah yang baru berkembang menampakkan karakteristik yang masih mewarisi bahan induknya, terutama dari komposisi mineralogi. Daerah penelitian Lasusua menunjukkan bahwa pengaruh faktor iklim terhadap pembentukan tanah lebih dominan dibandingkan pengaruh faktor lain. Tanah yang memasuki tingkat perkembangan lanjut menampakkan karakteristik tanah dan komposisi mineralogi yang berbeda dengan bahan induknya. Hasil deskripsi keenam profil juga menunjukkan bahwa meskipun tanah berasal dari bahan induk yang sama (umur awal pembentukan sama) namun menghasilkan tanah dengan tingkat perkembangan berbeda baik karena perbedaan topografi (toposekuen) pada iklim yang sama maupun karena perbedaan iklim (klimosekuen) pada topografi yang sama. Urutan tingkat perkembangan tanah berdasarkan timbulan/relief berturut-turut mulai dari lereng tengah < lereng atas < lereng bawah menunjukkan tingkat perkembangan tanah yang makin berkembang lanjut. Hal ini berlaku baik pedon daerah penelitian Puriala P2 < P1 < P3 maupun pedon daerah penelitian Lasusua L2 < L1 < L3. Tingkat perkembangan tanah berdasarkan perbedaan iklim menunjukan bahwa pedon yang terbentuk pada daerah yang curah hujannya lebih tinggi dari pada evapotranspirasinya di Lasusua cenderung lebih berkembang dibandingkan dengan pedon yang berkembang pada daerah yang curah hujannya lebih rendah dari pada evapotranspirasinya di Puriala pada posisi lereng yang sama. Hasil penelitian ini senada dengan temuan beberapa peneliti sebelumnya yang mengungkapkan bahwa hasil pelapukan batuan induk ultrabasa dapat terjadi dua proses utama. Proses pertama dapat berupa penyingkiran atau pelindian Si dan Mg serta terjadi konsentrasi Fe. Proses ini terjadi dalam kondisi basah (iklim basah) dan pada profil tanah berdrainase baik serta dapat terbentuk tanah Feralitik, dalam hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada lokasi Lasusua. Proses kedua dapat berupa rekombinasi Si

dan Mg membentuk lempung smektit tipe 2:1. Proses ini terutama terjadi pada kaki lereng dan dalam kondisi kering (iklim kering) serta dapat terbentuk tanah Inceptisol atau Vertisol, dalam hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada lokasi Puriala.

SIMPULAN
1. Urutan tingkat perkembangan tanah dari yang baru mulai berkembang P2 (Entisol), P1 (Vertisol), L2 (Inceptisol), P3 (Inceptisol), L1 (Alfisol) dan terakhir L3 (Oxisol) yang paling lanjut. 2. Tanah di Lasusua yang curah hujannya lebih tinggi daripada evapotranspirasinya cenderung lebih berkembang dari pada tanah di Puriala yang curah hujannya lebih rendah dari pada evapotranspirasinya. 3. Terdapat hubungan tingkat perkembangan tanah dengan posisi di lereng berdasarkan toposekuen dari yang baru mulai berkembang pada lereng tengah, selanjutnya lereng atas dan terakhir lereng bawah yang paling berkembang lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Birkeland, P.W. 1974. Pedology, Waethering and Geomorphological Research. Oxford University Press. New York. 285p. Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Cracken. 1980. Soil Genesis and Classification. Iowa State Universty Press. Ames Iowa. 360p. Buurman, P. 1980. Red Soil in Indonesia, a State of Knowledge. Center for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen. Devnita, R. 2009. Karakteristik Mineralogi, Muatan Permukaan dan Ameliorasi Andisol di Jawa Barat. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung. Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar Ilmu Tanah Edisi Ketujuh. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 782p. Garnier, J., C. Quantin, E. Guimares, V.K. Garg, E.S. Martins, and T. Becquer. 2009. Understanding the Genesis of Ultramafic Soils and Catena Dynamics in Niquelndia, Brazil. Geoderma 151:204214. Graham, R.C. and A.T. O'Geen. 2010. Soil Mineralogy Trends in California Landscapes. Geoderma 154:418437.

126

ALAM ET AL.

J. AGROTEKNOS

Gerrard, A.J. 1981. Soil and Landforms an Integration of Geomorphology and Pedology. Department of Geography, University of Birmingham. George Allen and Unwin. London. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapress. Jakarta. 274p. He, H., D.C. Li, B. Velde, Y.F. Yang, C.M. Huang, Z.T. Gong, and G.L. Zhang. 2008. Clay Minerals in a Soil Chronosequence Derived from Basalt on Hainan Island, China and its Implication for Pedogenesis. Geoderma 148:206212. Irmak, S., A.K. Surucu and I.H. Aydogdu. 2007. Effect of Different Parent Material on the Mineral Characteristics of Soil in the Arid Region of Turkey. Pakistan Journal of Biological Sciences 10:528-536. Jackson, M.L. 1968. Wheatering of Primary and Secondary Minerals in Soils Trans. 9th International Congres Soil Science. Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. A System of Quantitative Pedology. McGrawHill Book Company, Inc. New York. 281p. Kusdarto. 2006. Potensi Agromineral di Indonesia Salah Satu Alternatif Pengganti Pupuk Buatan. Subdit Mineral Non Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. Lee, B.D., S. K. Sears, R. C. Graham, C. Amrhein, and H. Vali. 2003. Secondary Mineral Genesis from Chlorite and Serpentine in an Ultramafic Soil Toposequence. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:13091317.

Maas, A. 1997. Tanah dan Lingkungan. Program Matrikulasi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 50p. Muggler, C.C., P. Buurman, and Jan D.J. van Doesburg. 2007. Weathering Trends and Parent Material Characteristics of Polygenetic Oxisol from Minas Gerais, Brazil: I. Mineralogi. Geoderma 138:39-48. Notohadiprawiro, R.M.T. dan S.H. Suparnowo. 1978. Asas-asas Pedologi (Pedogenesis). Departemen Ilmu Tanah Faperta UGM. Yogyakarta. 139p. Pai, C.-W., M.-K. Wang, and C.-Y. Chiu. 2007. Clay Mineralogical Characterization of a Toposequence of Perhumid Subalpine Forest Soils in Northeastern Taiwan. Geoderma 138:177184. Rachim, D. A. 2007. Dasar-dasar Genesis Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Faperta IPB. Bogor. 364p. Sunarminto, B.H. 2000. Genesis Oxisol dan Ultisol di Atas Batuan Dunit (Ultrabasis) di Daerah Malili, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):43-52. Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 208p. Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 295p. Uehara, G. and G. Gillman. 1981. The Mineralogy, Chemistry, and Physics of Tropical Soils With Variabel Charge Clays. Westview Press/Boulder. Colorado. 170p. van Breemen, N. dan P. Buurman. 2003. Soil Formation. Second Edition. Kluwer Academic Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. 404p.

You might also like