You are on page 1of 16

Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis

di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat


425
ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENINGKATAN STOK KARBON
PADA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN SANGGAU,
KALIMANTAN BARAT
Feasblty Analyss oj Carbon Stok lncrease on Crtcal Land n
Sanyyau Reyency, West Kalmantan
Herman
1
, Fahmuddin Agus
2
, dan Eleonora Runtunuwu
2
1
Riset Perkebunan Nusantara, Jl. Salak No. 1A Bogor
2
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian,
Jl. Tentara Pelajar No.12 Cimanggu Bogor
ABSTRACT
The research was carried out using survey method during June November 2010.
Farming analysis and Financial analysis method were used to analyze collected data.
Research results showed that average land holding of respondents was relatively wide (9.76
ha) but unfortunately 32.20 % of it was fallowed. Several factors influencing land use in the
research area were shifting cultivation culture, soil fertility, accessibility to investor and
Government policy. During 2009/2010, average farmer income was Rp 39,76
million/household/year and this was still possibly to be increased through better land
management and land use improvement. Increase utilization of unused land by developing
estate crop plantation and timber estate would increase farmer income and also carbon
stok since estate crops and forest trees are classified into commercial crops having biggest
ability for carbon absorption amongst other agricultural crops. Rubber, oil palm and timber
estate would require investment cost Rp 30.03 million/ha,Rp 30.10 million/ha and Rp 13.25
million/ha respectively. With such investment, net present value (NPV) which is going to be
obtained at 12.5% interest rate (NPV df=12.5%) for rubber, oil palm and timber estate
plantation is Rp 21.96 million/ha, Rp 17.75 million/ha and Rp 1.92 million/ha respectively.
Each of them could increase carbon absorption 57.5 ton/ha, 49.5 ton/ha dan 14.5 ton/ha
respectively. Considering those findings, rehabilitation on degraded land was feasible to be
implemented, not to mention if carbon stok is marketable. In order to realize those efforts,
comprehensive planning and involvement of investor for technology transfer to gain added
value through utilization of carbon trade option were extremely needed.
Key words: feasibility study, land rehabilitation, estate crop, timber estate, carbon stok
ABSTRAK
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei pada bulan Juni-
November 2010. Data dan informasi yang berhasil dikumpulkan diolah dan dianalisis secara
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan metode analisis
usaha tani dan analisis finansial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani menguasai
lahan cukup luas yaitu rata-rata 9,76 ha, tetapi sekitar 32,20 persen diistirahatkan.
Penggunaan lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: budaya berladang,
kesuburan tanah, kehadiran investor, dan kebijakan pemerintah. Pada tahun 2009/10,
pendapatan petani rata-rata Rp 39,76 juta/KK/tahun dan berpeluang untuk ditingkatkan
melalui perbaikan pengelolaan kebun dan peningkatan pemanfaatan lahan. Peningkatan
pemanfaatan lahan terlantar melalui pengembangan tanaman perkebunan dan hutan
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
426
tanaman industri (HTI) akan meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan stok
karbon, karena tanaman perkebunan dan tanaman hutan merupakan tanaman komersial
dan penambat karbon terbesar diantara berbagai jenis tanaman pertanian. Pengembangan
perkebunan karet, kelapa sawit dan HTI memerlukan biaya investasi masing-masing
sebesar Rp 30,03 juta/ha, Rp 30,10 juta/ha dan Rp 13,25 juta/ha. Dengan dana investasi
tersebut akan dihasilkan pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5
persen/tahun (NPV df=12,5%) masing-masing sebesar Rp 21,96 juta/ha untuk karet, Rp
17,75 juta/ha untuk kelapa sawit, dan Rp 1,92 juta/ha untuk HTI, serta meningkatkan
serapan karbon rata-rata masing-masing sebesar 57,5 ton/ha, 49,5 ton/ha, dan 14,5 ton/ha.
Kegiatan rehabilitasi tersebut layak untuk dilaksanakan, lebih-lebih jika stok karbon dapat
dipasarkan. Untuk merealisasikan upaya tersebut diperlukan perencanaan yang matang dan
keterlibatan pihak investor untuk transfer teknologi dan meraih nilai tambah melalui
pemanfaatan peluang perdagangan karbon.
Kata kunci: kelayakan usaha, rehabilitasi lahan, tanaman perkebunan, stok karbon
PENDAHULUAN
Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi
masyarakat dunia di abad 21, sehingga perubahan iklim menjadi topik
pembicaraan hangat, baik di media masa, seminar, lokakarya, maupun pada saat
pembahasan kerja sama antarnegara di dunia. Pada bulan Desember 1977 dan
Desember 2000, Panel Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim, badan yang
terdiri dari 2.000 ilmuwan, mengajukan sejumlah pandangan mengenai realitas
sekarang ini antara lain: (a) terjadi bencana alam yang lebih sering dan dahsyat
seperti gempa bumi, banjir, angin topan, siklon, dan kekeringan, (b) bencana badai
besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun 1960, (c) suhu global meningkat
sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, dan (d) permukaan es di
kutub utara makin tipis (Kelompok Kerja Pemanasan Global, 2002).
Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang
dikenal dengan gas rumah kaca, yg terus bertambah di udara khususnya CO
2
yang dihasilkan oleh tindakan manusia. Penggunaan batubara, minyak bumi, dan
gas serta penggundulan dan pembakaran hutan merupakan penyebab
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Karbon dioksida, chlorofluorocarbon,
metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan
menjaring panas dari matahari. Sementara itu, lautan dan vegetasi yang biasanya
menangkap banyak CO
2
makin berkurang kemampuannya, sehingga konsentrasi
CO
2
di udara makin tinggi. Menurut Koropitan (dalam Kompas, 2009), Penelitian
Global Carbon Project menunjukkan, bahwa indeks CO tersimpan di air laut turun
dari 0,3 pada tahun 1960 menjadi 0,25 pada tahun 2008. Sebaliknya, indeks
kandungan CO dalam atmosfer naik dari 0,41 pada tahun 1960 menjadi 0,43 pada
tahun 2008.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh masyarakat dunia untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca melalui berbagai kesepakatan antara lain: pengurangan
konsumsi bahan bakar fosil, penambatan karbon ke dalam jaringan tanaman
melalui mekanisme pembangunan bersih (CDM), dan pasca-Kyoto Protocol tahun
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
427
2012 melalui mekanisme reducing emissions from deforestation and degradation
(REDD).
Untuk sektor pertanian, salah satu pendekatan yang menjanjikan rosot
karbon yang cukup berarti adalah melalui rehabilitasi lahan alang-alang atau
semak belukar menjadi lahan perkebunan. Tanaman perkebunan merupakan
penambat (sequester) karbon terbesar di antara berbagai jenis tanaman pertanian
dan berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat lokal karena dapat
memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar.
Ada beberapa peluang pendanaan rehabilitasi lahan alang-alang dan
semak belukar menjadi lahan pertanian berbasis pohon-pohonan. Peluang utama
dan yang sekarang sudah berjalan adalah melalui berbagai proyek pembangunan
kehutanan dan pertanian, misalnya gerakan rehabilitasi hutan dan lahan
(GERHAN) serta berbagai proyek perkebunan seperti revitalisasi perkebunan
karet, kelapa sawit, dan kakao. Kemungkinan kedua adalah melalui investasi
swasta untuk perkebunan. Kemungkinan ketiga, yang prosedurnya relatif rumit
adalah melalui pasar karbon sukarela berskala kecil (small scale voluntary market),
baik berupa reducing emissions from deforestation and degradation (karena
dengan penggunaan lahan alang-alang dapat dikurangi penebangan hutan dan
emisi karbon) maupun melalui mekanisme afforestation and reforestation clean
development mechanism (AR-CDM).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan dan
menganalisis biaya dan kelayakan serta merumuskan strategi peningkatan stok
karbon sekaligus meningkatkan pendapatan petani di Kabupaten Sanggau,
Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sanggau menjadi pilihan lokasi penelitian
karena merupakan salah satu kabupaten yang telah mengalami degradasi lahan
cukup luas dan hanya menyisakan sedikit kawasan hutan dengan tutupan lahan
yang baik. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat (2008), di
Kabupaten Sanggau terdapat areal padang alang-alang dan semak belukar seluas
700.824 ha atau 54,51 persen dari total areal Kabupaten Sanggau, sementara
areal hutan yang tersisa hanya sekitar 66.829 ha atau hanya 5,20 persen dari total
wilayah Kabupaten Sanggau.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang mengalami
degradasi lahan paling luas di Indonesia. Pada tahun 2006, lahan kritis di
Kalimantan Barat tercatat seluas 10,06 juta ha atau 12,93 persen dari total lahan
kritis nasional (Badan Planologi Kehutanan, 2007). Luas lahan kritis tersebut
meningkat menjadi 14,46 juta ha tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah Kalimantan Barat yang luasnya 14,68 juta ha di klasifikasikan
sebagai lahan kritis (Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, 2008).
Terlepas dari definisi kekritisan lahan dan data luasan lahan kritis yang
telah dipublikasi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi penggunaan
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
428
lahan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, manganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pengggunaan lahan dan mencarikan alternatif pemanfaatan lahan
yang layak dan menguntungkan bagi pengelolanya dalam rangka mengurangi
luasan lahan kritis. Pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut
adalah dengan melakukan survei dan pengumpulan data di lapangan.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kembayan dan Kecamatan Kapuas,
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada Bulan Juni sampai November 2010.
Kedua kecamatan tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki
kawasan padang alang-alang dan semak belukar cukup luas serta menjadi daerah
pengembangan perkebunan karet, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI)
acacia mangium.
Data primer dikumpulkan melalui kegiatan wawancara dengan petani,
pengusaha, dan tokoh masyarakat. Responden petani ditentukan secara acak
berstrata. Stratifikasi dilakukan berdasarkan jenis tanaman utama yang diusahakan
petani. Responden yang diwawancara berjumlah 30 orang, masing-masing 15
orang petani karet, 15 orang petani kelapa sawit. Disamping itu juga dilakukan
diskusi kelompok dengan petani dan masyarakat yang berada di kawasan Hutan
Tanaman Industri.
Data sekunder dikumpulkan melalui diskusi dan konsultasi dengan
pemerintah daerah, Bappeda, Bapedalda, dan dinas kehutanan dan perkebunan,
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan hutan tanaman industri
serta studi literatur dari berbagai sumber antara lain: Badan Pusat Statistik dan
perguruan tinggi/universitas.
Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang berhasil dikumpulkan diolah secara tabulasi dan
di analisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif
dilakukan untuk memberikan gambaran kondisi umum daerah penelitian, kondisi
sosial ekonomi keluarga petani dan persepsi petani tentang perladangan.
Sedangkan analisis kuantitatif meliputi analisis usaha tani dan analisis finansial.
Analisis usaha tani dilakukan untuk memberikan gambaran penerimaan,
biaya dan keuntungan bersih berbagai cabang usaha tani serta kegiatan di luar
usaha tani. Analisis usaha tani dilakukan melalui pendekatan penerimaan bersih
yaitu selisih antara penerimaan (benefit) dan biaya (cost) untuk semua cabang
usaha dan kegiatan petani beserta keluarganya. Penerimaan bersih keluarga
petani dirumuskan sebagai berikut:
= B - C .(1)
dimana:
= Penerimaan bersih,
B = Total Penerimaan,
C = Total Biaya.
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
429
Analisis finansial dilakukan untuk memperoleh gambaran secara utuh
keuntungan kini bersih yang dihasilkan tanaman tahunan yaitu: kelapa sawit, karet
dan HTI dalam satu siklus hidup tanaman. Analisis dilakukan dengan
menggunakan kriteria Nilai Kini Bersih (Net Present Value = NPV), Tingkat
Pengembalian Internal (Internal Rate of Raturn = IRR), dan Rasio Penerimaan -
Biaya (Benefit Cost Ratio = B/C) yang dirumuskan sebagai berikut (Gray et. al.
1987):
a.

n
t 0
t
i) (1
Ct Bt
NPV ............................................. (2)
dimana:
NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih),
Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = Biaya pada tahun t,
i = Tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku),
n = Umur ekonomis proyek (cakrawala waktu).
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0
b. ) i1 (i2
NPV2 NPV1
NPV1
i1 IRR

........................................ (3)
dimana:
IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat pengembalian internal),
i1 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol,
NPV1 = Nilai NPV mendekati nol positif,
i2 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati nol,
NPV2 = Nilai NPV negatif mendekati nol.
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih besar dari tingkat
suku pinjaman di Bank.
c.

n
0 t
t
n
0 t
t
i) (1
Ct
i) (1
Bt
B/C ................................................... (4)
di mana:
B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya),
Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = Biaya pada tahun t,
i = Tingkat diskonto,
n = Umur ekonomis proyek.
Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
430
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Sanggau secara geografi terletak di bagian tengah Provinsi
Kalimantan Barat antara 1 00 LU-0 06 LS dan 109 08BT - 111 03 BT dengan
luas wilayah 12.857,70 km atau 8,76 persen dari luas daerah Provinsi Kalimantan
Barat (146.807 km). Secara administratif Kabupaten Sanggau terbagi dalam 15
kecamatan dengan Kecamatan Jangkang sebagai kecamatan terluas dan
Kecamatan Balai merupakan kecamatan terkecil (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Sanggau, 2009).
Pada saat penelitian ini dilakukan, kondisi sosial ekonomi masyarakat di
daerah ini sudah mengalami perkembangan, meskipun budaya berladang masih
melekat kuat di masyarakat. Sebagian besar masyarakat sudah sangat
menggantungkan hidup mereka dari hasil perkebunan terutama karet dan kelapa
sawit, tetapi mereka masih tetap berladang atau menggarap sawah tadah hujan
untuk menghasilkan beras guna menjamin kecukupan kebutuhan konsumsi
keluarga mereka.
Responden pada umumnya telah berpengalaman cukup lama sebagai
peladang dan pekebun karet. Di samping itu sebagian dari mereka juga
berpengalaman mengelola perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan oleh
perusahaan perkebunan melalui program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan
(PIR-Bun), maupun yang dikembangkan secara mandiri. Responden rata-rata
berumur cukup tua yaitu 48 tahun dengan kisaran umur 34 tahun hingga 74 tahun
dengan tingkat pendidikan beragam mulai dari tidak lulus SD hingga berijazah D2.
Ukuran keluarga responden relatif kecil yaitu rata-rata 4 orang per kepala keluarga
dengan kisaran 2 orang sampai 6 orang dan umumnya hanya memiliki 2 sampai 3
orang tenaga kerja produktif.
Petani umumnya menguasai lahan yang relatif luas yaitu rata-rata 9,76
ha, tetapi yang dimanfaatkan rata-rata sekitar 6,62 ha atau 67,80 persen dari total
lahan yang dikuasai petani, sementara 32,20 persen diistirahatkan. Lahan yang
diistirahatkan umumnya adalah lahan untuk perladangan. Pada saat penelitian ini
dilakukan, hanya sekitar 0,33 ha ladang yang digunakan dan 2,97 ha
diistirahatkan. Penggunaan lahan terluas adalah untuk perkebunan kelapa sawit
yaitu rata-rata 2,96 ha, disusul karet 2,88 ha, dan sawah 0,44 ha (Tabel 1).
Tabel 1. Penggunaan Lahan yang Dikuasai Petani, 2009/2010
Petani
Penggunaan Lahan (ha)
Pekarangan Karet
Kelapa
Sawit
Ladang Sawah Total
Karet 0,19 3,08 0,81 2,07 0,73 6,88
Kelapa Sawit 0,18 2,67 5,10 4,53 0,15 12,63
Rata-rata 0,19 2,88 2,95 3,30 0,44 9,76
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
431
Pada tahun 2009/2010, petani responden memperoleh pendapatan rata-
rata sebesar Rp 39,76 juta/kepala keluarga/tahun dengan sumber pendapatan
utama dari perkebunan karet disusul perkebunan kalapa sawit, luar usaha tani dan
perladangan atau sawah tadah hujan (Tabel 2).
Tabel 2. Pendapatan Petani dari Berbagai Sumber Pendapatan (Rp/tahun), 2009/2010
Petani
Sumber Pendapatan
Karet
K elapa
Sawit
Ladang/
Sawah
Nonusaha
Tani
Total
Karet 24.815.200 - 3.468.667 6.666.667 34.950.533
Kelapa Sawit 7.608.000 27.984.867 1.220.000 7.746.667 44.559.533
Rata-rata 16.211.600 13.992.433 2.344.333 7.206.667 39.755.033
Persentasi (%) 40,78 35,20 5,90 18,13 100,00
Apabila petani dibedakan berdasarkan sumber pendapatan utamanya,
maka akan tampak bahwa petani kelapa sawit memiliki pendapatan yang lebih
tinggi dari petani karet. Hal ini terjadi karena lahan usaha yang dimiliki/dikelola
petani kelapa sawit jauh lebih luas dari lahan yang dikelola petani karet. Meskipun
demikian, petani karet lebih efisien dalam menggunakan lahan untuk
menghasilkan pendapatan dibandingkan petani kelapa sawit. Perkebunan kelapa
sawit yang dimiliki petani pada umumnya kurang produktif karena tidak dikelola
dengan baik. Produktivitas perkebun kelapa sawit sangat rendah yaitu rata-rata
8,17 ton TBS/ha/tahun dengan kisaran 3-13,5 ton/ha/tahun pada saat tamanan
berusia 9 hingga 25 tahun. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena perkebunan
kelapa sawit pada usia puncak produksi hanya mampu menghasilkan produksi
maksimum 13,5 ton/ha/tahun atau kurang dari 40 persen potensinya, malah ada
yang hanya berproduksi sekitar 10 persen dari potensi produksinya dan kondisi ini
dapat dikatakan sebagai pemborosan investasi.
Sebenarnya pengelolaan perkebunan karet yang dilakukan oleh petani
karet juga hampir sama dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, tetapi
penurunan produktivitas karet tidak setajam produktivitas kelapa sawit. Karet yang
tidak dikelola dengan baik dan tidak ubahnya seperti hutan karet, masih mampu
menghasilkan produksi cukup tinggi. Produktivitas perkebunan karet lokal rata-rata
800 kg karet kering/ha/tahun dengan kisaran 350 kg/ha/tahun hingga 1.600
kg/ha/tahun, sementara produktivitas karet unggul rata-rata mencapai 1.865
kg/ha/tahun dengan kisaran 800 kg/ha/tahun sampai 2.700 kg/ha/tahun.
Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa petani belum
menggunakan lahan secara optimal dan mereka masih memiliki pola pikir/perilaku
peladang dengan mengistirahatkan lahan yang cukup luas. Kondisi ini hampir
sama dengan kondisi umum penggunaan lahan di Kabupaten Sanggau. Pada
tahun 2008, lahan yang untuk sementara tidak digunakan di Kabupaten Sanggau
tercatat seluas 319.281 ha atau 24,83 persen dari total wilayah Sanggau dan pada
umumnya berupa padang alang-alang dan semak belukar. Luasan tersebut
menempati urutan kedua setelah penggunaan lahan untuk usaha perkebunan yaitu
seluas 359.391 ha atau 27,95 persen dari total wilayah Kabupaten Sanggau.
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
432
Lebih lanjut, hasil analisis dengan menggunakan data citra satelit Landsat
ETM7 tahun 2009 serta data pendukung lainnya seperti peta rupabumi, peta
RePROT dan informasi lainnya menunjukkan bahwa Kabupaten Sanggau memiliki
lahan padang alang-alang dan semak seluas sekitar 60 ribu ha dengan kandungan
karbon yang rendah yaitu rata-rata 10,5 ton/ha (Agus et al., 2010). Simpanan
karbon untuk kawasan tersebut dapat ditingkatkan melalui rehabilitasi dengan
menggunakan tanaman karet dan kelapa sawit maupun tanaman hutan akasia.
Pengembangan perkebunan karet dan kelapa sawit berpotensi menyerap
karbon masing-masing 128 ton/ha dan 109 ton/ha (Boer et al., 2006), sedangkan
menurut Agus et al. (2008), secara rata-rata perkebunan karet dan kelapa sawit
berpotensi menyerap karbon masing-masing sebesar 68 ton/ha, dan 60 ton/ha.
Sementara itu pengembangan HTI akasia berpotensi menyimpan karbon hingga
32 ton/ha pada saat tanaman berusia 8 tahun (Heriansyah, 2005). Disamping itu
pengembangan perkebunan dan HTI akan meningkatkan produktivitas lahan dan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam
pengelolaannya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh banyak faktor
yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor utama yang sangat
mempengaruhi penggunaan lahan adalah budaya berladang dan pola pikir
subsisten, kesuburan tanah dan ketersediaan bahan tanam bernilai ekonomis,
ketersediaan tenaga kerja, serta ketersediaan modal dan pihak investor, serta
dukungan kebijakan pemerintah.
Budaya Berladang dan Pola Pikir Subsisten
Perladangan merupakan suatu budaya bagi masyarakat Dayak maupun
Melayu yang tinggal di pedalaman Kalimantan karena dari hasil perladangan itulah
mereka hidup. Perladangan biasanya dilakukan dengan cara: tebas-tebang-bakar-
tanam, kemudian diistirahatkan untuk beberapa tahun atau dijadikan perkebunan
karet apabila kondisinya mendukung dalam artian tersedianya bahan tanam,
kesuburan tanah cukup memadai dan tidak terjadi kebakaran. Jika terjadi
kebakaran maka ladang yang disiapkan untuk menjadi kebun karet tersebut akan
menjadi semak belukar/diberakan.
Lebih lanjut, para peladang pada umumnya belum memiliki tuntutan
kebutuhan hidup yang tinggi, dan merasa cukup dengan hidup sederhana sebagai
petani subsisten. Menurut Arkanudin (2009), kearifan tradisional orang Dayak
dalam megelola sumber daya hutan, secara hakiki pada dasarnya berpangkal dari
sistem religi yang menuntun agar senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika
alam semesta. Meskipun apa yang dilakukan orang Dayak tersebut, ada yang tidak
logis karena mereka masih percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan
kekuatan gaib, namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang dilakukan
orang Dayak tersebut adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan
pemeliharaan lingkungan.
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
433
Dengan lahan yang cukup luas, masyarakat Dayak umumnya tidak
melakukan kegiatan pertanian yang intensif dan sulit untuk dipacu menjadi petani
intensif. Oleh karena itu dalam upaya mengatasi makin terbatasnya ketersediaan
lahan masyarakat peladang sebaiknya diarahkan untuk mengelola perkebunan
karet. Peladang tampaknya belum siap untuk melakukan lompatan budaya dari
budaya berladang dan meramu hasil hutan ke pertanian menetap yang intensif
khususnya perkebunan kelapa sawit, kecuali dibina dengan baik.
Sebagai gambaran, pemerintah telah berupaya untuk membantu peladang
melalui berbagai proyek pembinaan seperti pengembangan karet melalui proyek
Smallholder Rubber Development Project (SRDP), namun karena budaya
berladang tersebut masih melekat kuat dimasyarakat, dan mereka belum
memahami bahwa perkebunan dengan bahan tanam unggul membutuhkan
pengelolaan yang baik. Kebun karet mereka biarkan tidak terpelihara seperti hutan
karet, sehingga produktivitasnya tidak optimal. Meskipun demikian, hasil yang
mereka peroleh dari perkebunan karet masih cukup memadai.
Kondisi yang cukup memprihatinkan dialami oleh para peladang yang
menjadi peserta proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun) kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit yang mereka terima umumnya tidak dikelola
sesuai dengan anjuran, sehingga produktivitasnya sangat rendah dan hal ini dapat
dikatakan sebagai pemborosan investasi.
Kesuburan Tanah Ketersediaan Bahan Tanam Bernilai Ekonomi
Kesuburan tanah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi siklus
perladangan, lamanya lahan digunakan dan keberlanjutan usaha menjadi
perkebunan. Di lahan yang relatif subur, peladang bisa melakukan penanaman
tanaman pangan lebih dari satu kali, tetapi di lahan yang kurang subur hanya bisa
dilakukan satu kali penanaman dan selanjutnya pindah ke lahan yang baru.
Jika peladang memiliki bahan tanam tanaman tahun yang bernilai
ekonomis seperti karet dan buah-buahan, maka bahan tanam tersebut biasanya
mereka tanam/sisipkan diantara tanaman pangan, sehingga pada saat lahan tidak
bisa digunakan lagi untuk tanaman pangan, lahan tersebut menjadi kebun karet
atau kebun buah-buahan. Keberhasilan tanaman sisipan menjadi kebun sangat
tergantung pada kesuburan tanah dan kondisi alam.
Di lahan yang subur, perawatan tanaman tahunan menjadi agak panjang
dan kondisi ini memperbesar peluang keberhasilan ladang menjadi lahan
perkebunan. Disamping itu kondisi alam terutama adanya kemarau panjang dan
kebakaran ladang merupakan penyebab utama kurang berhasilnya ladang menjadi
perkebunan.
Ketersediaan Tenaga Kerja
Ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor yang ikut menentukan pola
pemanfaatan lahan. Peladang pada umumnya memiliki anggota keluarga yang
relatif kecil dengan 2 sampai 3 orang tenaga kerja produktif. Kondisi ini sangat
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
434
mempengaruhi kemampuan mereka dalam melakukan usaha tani intensif di lahan
yang mereka kuasai. Disamping itu adanya berbagai keterbatasan, terutama modal
usaha dan penguasaan teknologi budidaya menyebabkan kurang optimalnya
pengelolaan usaha mereka, sehingga produktivitas lahan menjadi rendah.
Peningkatan pengetahuan dan penyediaan fasilitas modal usaha sangat
penting untuk membantu peningkatan produktivitas lahan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan peladang. Tanpa pembinaan yang memadai khususnya di
perkebunan kelapa sawit terbukti telah memboroskan investasi yang ditanamkan.
Ketersediaan Modal dan Keterlibatan Pihak Investor
Modal dan keterlibatan investor sangat mewarnai pemanfaatan lahan
terutama melalui pola kemitraan usaha perkebunan. Di Kabupaten Sanggau,
perluasan usaha perkebunan mengalami perkembangan cukup pesat terutama
melalui pola perkebunan besar dan pola kemitraan, sejak awal tahun 1980-an.
Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 31 perusahaan perkebunan besar
yang telah memiliki izin untuk mengembangkan usaha perkebunan di Kabupaten
Sanggau dan sebagian (66.139 ha) sudah memiliki hak guna usaha (HGU). Lahan
usaha yang dicadangkan untuk pengembangan perkebunan tersebut tercatat
seluas 648.395 ha dengan areal yang sudah ditanami kelapa sawit mencapai
150.450 ha dan sekitar 57 persen diantaranya adalah kebun plasma (Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau, 2009).
Perusahaan perkebunan besar tidak begitu berminat untuk
mengembangkan tanaman karet, sehingga perkembangan areal perkebunan karet
relatif lambat dan sebagai akibatnya perkebunan karet yang dulunya mendominasi
areal perkebunan di Kabupaten Sanggau, posisinya digeser oleh perkebunan
kelapa sawit yang mengalami perkembangan sangat pesat sejak awal
pengembangannya. Pada saat ini areal perkebunan kelapa sawit mendominasi
areal perkebunan di Kabupaten Sanggau.
Meskipun demikian, tanaman karet masih cukup prospektif untuk
diusahakan dan masyarakat sudah terbiasa mengusahakan tanaman karet dengan
berbagai keterbatasannya. Pemerintah telah berupaya untuk membantu pekebun
karet dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan serta bantuan bibit unggul
dan sarana produksi. Melalui bantuan yang relatif terbatas tersebut, areal
perkebunan karet di Kabupaten Sanggau terus berkembang.
Dukungan Kebijakan Pemerintah
Berladang merupakan budaya bagi masyarakat Dayak dan Melayu di
Kalimantan Barat. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk melakukan
perubahan pola pikir dan kebiasaan hidup dari masyarakat peladang berpindah
yang subsisten menjadi pertanian menetap dan komersial. Pola pikir bahwa
kebutuhan pangan harus dipenuhi sendiri mulai digeser apabila kondisi lahannya
tidak memungkinkan dan ada alternatif lain yang lebih menguntungkan serta
ramah lingkungan. Pemerintah daerah melalui dinas terkait dan jajarannya perlu
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
435
memberikan dukungan khususnya memfasilitasi pendidikan, penyuluhan dan
perbaikan infrastruktur serta mendukung tersedianya pendanaan perbankan
dengan bunga yang rendah.
Biaya dan Manfaat Penggunaan Lahan
Asumsi dan Batasan
Untuk analisis finansial digunakan beberapa asumsi, dan batasan sebagai
berikut:
a. Produktivitas perkebunan kelapa sawit diasumsikan mengikuti pola produksi
lahan kelas III dengan pola pengelolaan petani di lokasi penelitian yaitu rata-
rata 12,50 ton TBS/ha/tahun. Sementara produktivitas perkebunan karet
diasumsikan rata-rata 950 kg karet kering/ha/tahun dan produktivitas HTI
sebesar 200 m
3
pada saat panen usia 8 tahun.
b. Harga Tandan Buah Segar (TBS) diasumsikan Rp 1.200/kg TBS, harga bokar
(bahan olah karet) Rp 11.000/kg dan harga kayu akasia Rp 250.000/m
3
.
Asumsi harga tersebut didasarkan pada perkembangan harga tiga tahun
terakhir di lokasi penelitian. Harga TBS berfluktuasi antara Rp 800- 1.500/kg,
bokar berfluktuasi antara Rp 5.000-17.000/kg dan harga kayu berfluktuasi
antara Rp 200.000-300.000/ton.
c. Upah tenaga kerja diasumsikan Rp 40.000/hari kerja (HK).
d. Analisis finansial dilakukan untuk satu siklus produksi tanaman (25 tahun untuk
tanaman perkebunan dan 8 tahun untuk HTI) dengan tahun dasar 2009 dan
menggunakan tingkat diskonto sebesar 12,5 persen/tahun.
Biaya Investasi dan Kelayakan Usaha
Investasi yang diperlukan untuk membangun kebun karet sangat beragam,
tergantung pada kondisi lahan, penggunaan pupuk, bibit, dan sarana produksi
lainnya serta pola pengelolaan kebun. Pada perkebunan besar biasanya mengikuti
standar teknis pengelolaan perkebunan secara komersial. Sementara di
perkebunan rakyat, besarnya investasi tergantung pada pelaksanaan
pembangunan. Kebun yang dibangun sendiri oleh petani, biasanya biaya
investasinya rendah, sedangkan kebun yang dibangun melalui proyek PIR atau
SRDP umumnya lebih tinggi karena mengikuti standar teknis.
Dengan asumsi bahwa rehabilitasi padang alang-alang dan semak
dilakukan sesuai dengan standar teknis maka diperlukan dana investasi masing-
masing sebesar Rp 30,03 juta/ha untuk tanaman karet, Rp 30,10 juta/ha untuk
tanaman kelapa sawit, dan Rp 13,25 juta/ha untuk tanaman HTI akacia mangium.
Disamping itu masih dibutuhkan biaya pemeliharaan tanaman menghasilkan
hingga tanaman berumur 25 tahun. Namun biaya pemeliharaan dan biaya
investasi tersebut dapat ditutupi oleh nilai produksi yang dihasilkan, bahkan dapat
menghasilkan surplus penerimaan bersih bagi pengelolanya.
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
436
Dengan biaya investasi sebesar Rp 30,03 juta/ha tanaman karet ditambah
dengan biaya pemeliharaan dan pengelolaan kebun berkisar antara Rp 5,75-8,57
juta/ha/tahun akan diperoleh pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto
12,5 persen/tahun (NPV df=12,5%) sebesar Rp 21,96 juta/ha, IRR=19,81, dan
B/C= 1,2849 yang berarti layak untuk dilaksanakan (Tabel 3). Disamping itu,
menurut Boer et al. (2006), tanaman karet berpotensi menyimpan karbon sebesar
128 ton/ha dan menurut Agus et al. (2008) rata-rata 68 ton/ha. Dengan demikian,
rehabilitasi padang alang-alang dan semak menjadi perkebunan karet dapat
meningkatkan simpanan karbon hingga 117,5 ton/ha atau secara rata-rata sebesar
57,5 ton/ha.
Tabel 3. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Karet, 2010
Uraian (Rp/ha) Uraian Nilai
TBM-0 10.797.500 Harga Karet (Rp/kg) 11.000
TBM-1 4.371.000 Prod rata2 (kg/ha) 950
TBM-2 3.634.000 NPV (Rp) 21.964.226
TBM-3 3.674.000 IRR (%) 19,81
TBM-4 3.676.500 B/C 1,4533
TBM-5 3.876.500
Total Invts 30.029.500 NPV/tahun (Rp) 878.569
Sementara itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit membutuhkan
biaya investasi sebesar Rp 30,10 juta/ha ditambah dengan biaya pemeliharaan
dan pengelolaan berkisar antara Rp 3,98-13,22 juta/ha/tahun akan diperoleh
pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/tahun (NPV
df=12,5%) sebesar Rp 17,75 juta/ha, IRR=19,08 dan B/C = 1,2768 yang berarti
layak untuk dilaksanakan. Kelayakan usaha tersebut seharusnya lebih baik lagi
jika petani mengelola kebun kelapa sawit sesuai dengan standar teknis yang
dianjurkan dan produktivitas kebun akan mencapai rata-rata 20 ton TBS/ha/tahun.
Pada kondisi demikian petani akan menerima NPV df=12,5 persen sebesar Rp
41,14 juta/ha, IRR= 24,73 dan B/C = 1,6486 (Tabel 4). Pengembangan
perkebunan kelapa sawit di areal padang alang-alang dan semak akan
meningkatkan simpanan karbon sebesar 98,5 ton karbon/ha, atau rata-rata 49,5
ton/ha.
Tabel 4. Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Kelapa Sawit, 2010
Uraian (Rp/ha) Uraian
Nilai kondisi
saat ini
Nilai seharusnya
TBM-0 13,215,000 Harga TBS 1.200 1.200
TBM-1 6,493,250 Prod rata-2 12.500 20.045
TBM-2 5,321,250 NPV (Rp) 17.747.952 41.140.749
TBM-3 5,072,500 IRR (%) 19,08 24,73
Total Invts 30,102,000 B/C 1,2768 1,6486
NPV/tahun (Rp) 709.918 1.645.630
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
437
Sedangkan untuk pengembangan hutan tanaman industri dibutuhkan
biaya investasi sebesar Rp 13,25 juta/ha akan dihasilkan pendapatan bersih nilai
kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/tahun (NPV df=12,5%) sebesar Rp
1.915.907/ha atau Rp 239.488/ha/tahun, IRR=15,32 dan B/C =1,1244 yang berarti
cukup layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis ini tidak jauh berbeda dengan yang
dihasilkan oleh Martin (2008). Lebih lanjut, hutan tanaman industri tersebut mampu
menyimpan karbon sebesar 32 ton/ha pada saat berumur 8 tahun (Heriansyah,
2005). Dengan demikian tanaman akasia akan meningkatkan serapan karbon
sebesar 21,5 ton/ha dari kondisi padang alang-alang dan semak.
Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa rehabilitasi semak dan padang
alang-alang menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri
mampu menghasilkan pendapatan bersih kini bagi pengelolanya dan
meningkatkan serapan atau simpanan karbon di suatu wilayah. Dengan kondisi
pengelolaan yang dilakukan petani saat ini, pendapatan bersih nilai kini tertinggi
diperoleh petani perkebunan karet disusul kelapa sawit. Sementara itu
pengelolaan hutan tanaman industri yang dilakukan oleh perusahaan PT
Finnantara Intiga hanya mampu menghasilkan pendapatan bersih nilai kini relatif
rendah. Oleh karena itu menanam tanaman hutan industri tidak menarik minat
petani.
Strategi Penurunan Emisi dan Peningkatan Simpanan Karbon
Dengan memperhatikan kondisi pada saat ini dan kecenderungan
perubahan penggunaan selama 20 tahun terakhir, diperkirakan kondisi hutan akan
terus menyusut, padang alang-alang dan semak belukar, serta perladangan masih
terus berkembang. Demikian pula halnya dengan perkebunan karet dan
perkebunan kelapa sawit akan berkembang. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin
menurunkan emisi dan meningkatkan simpanan karbon di Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat, maka perlu disusun langkah yang strategis, operasional, dan
konsisten. Untuk itu, perlu disusun suatu perencanaan yang matang dan
dilaksanakan secara konsisten.
Perencanaan merupakan unsur penting dalam proses pencapaian
sasaran. Secara garis besar, langkah-langkah dalam perencanaan dapat dibagi
menjadi empat langkah dasar perencanaan yang dapat dipakai untuk semua
kegiatan. Langkah-langkah tersebut meliputi penetapan sasaran, perumusan
kondisi saat ini, mengidentifikasi faktor pendukung, dan penghambat pencapaian
sasaran, dan menyusun langkah-langkah untuk mencapai sasaran yang
ditetapkan.
Menetapkan Sasaran
Kegiatan perencanaan dimulai dengan memutuskan apa yang ingin
dicapai. Jika sasaran yang ingin dicapai adalah penurunan emisi dan peningkatan
simpanan karbon sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya maka
langkah yang cukup strategis adalah pengembangan perkebunan pada lahan
terlantar yaitu padang alang-alang dan semak. Dengan mengikuti perkembangan
areal perkebunan kelapa sawit dan karet selama 3 tahun terakhir masing-masing
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
438
dengan laju 4,68 persen per tahun dan 3,71 persen per tahun maka 5 tahun ke
depan perkebunan kelapa sawit dan karet akan bertambah masing-masing seluas
35.203 ha dan 18.444 ha. Perluasan areal perkebunan tersebut dapat
meningkatkan serapan karbon dan memperluas kesempatan kerja serta akan
meningkatkan pendapatan petani pada saat tanaman perkebunan menghasilkan.
Merumuskan Posisi atau Kondisi pada Saat Ini
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan telah mengetahui bagaimana
kondisi simpanan karbon pada saat ini dan sumber daya apa saja yang
dimiliki/dikuasai oleh para pelaku kegiatan. Secara legal telah terdaftar sebanyak
31 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan ijin pemanfaatan lahan seluas
648.395 ha dan areal yang sudah ditanami kelapa sawit mencapai 150.450 ha.
Kondisi ini menunjukkan masih luasnya cadangan lahan yang belum dimanfaatkan
dan yang menjadi prioritas adalah lahan-lahan yang terlantar dengan penutupan
tanaman rendah.
Mengidentifikasi Faktor Faktor Pendukung dan Penghambat Menuju Sasaran
Selanjutnya perlu diketahui faktor-faktor, baik internal maupun eksternal
yang diperkirakan dapat membantu dan menghambat organisasi mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Faktor internal dalam pengertian masih dapat
dikendalikan pengambil kebijakan menunjukkan bahwa kondisi perusahaan cukup
memadai untuk melaksanakan kegiatan pengembangan usaha perkebunan kelapa
sawit maupun hutan tanaman industri. Sementara pengembangan perkebunan
karet rakyat menghadapi sedikit kendala karena pelaku perkebunan besar kurang
tertarik mengembangkan usaha perkebunan karet. Untuk kegiatan pengembangan
perkebunan karet perlu dukungan pemerintah.
Menyusun Langkah-langkah untuk Mencapai Sasaran
Langkah terakhir dalam kegiatan perencanaan adalah mengembangkan
berbagai kemungkinan alternatif atau langkah yang diambil untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan, mengevaluasi berbagai alternatif dan memilih
alternatif mana yang dianggap paling baik, cocok, dan memuaskan. Pada periode
5 tahun pertama paling tidak areal semak dan padang alang-alang seluas 53.647
ha dapat ditanami kelapa sawit dan karet masing-masing seluas 35.203 ha kelapa
sawit dan 18.444 ha karet
Untuk merealisasi langkah-langkah operasional tersebut, para pelaku
bisnis khususnya para investor dan petugas dinas terkait perlu melakukan kegiatan
lokakarya penyusunan rencana tindakan pemanfaatan tata ruang wilayah
Kabupaten Sanggau lima tahun dan sepuluh tahun ke depan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Analisis Kelayakan Usaha Peningkatan Stok Karbon pada Lahan Kritis
di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
439
1. Petani Kabupaten Sanggau pada umumnya menguasai lahan cukup luas yaitu
rata-rata 9,76 ha bervariasi dari 2,1 ha sampai dengan 59,75 ha. Namun yang
diusahakan rata-rata hanya 6,62 ha atau 67,80 persen dari total lahan yang
dikuasai petani. Sebagian besar lahan usaha digunakan untuk perkebunan
kelapa sawit dan karet yaitu masing-masing 2,96 ha dan 2,88 ha, selebihnya
untuk sawah 0,44 ha dan perladangan seluas 0,34 ha serta diistirahatkan 2,97
ha.
2. Pendapatan rata-rata petani sebesar Rp 39,76 juta/KK/tahun bervariasi antara
Rp 12,9-126,78 juta. Pendapatan petani kelapa sawit rata-rata relatif tinggi
yaitu Rp 44,56 juta/KK/tahun, sedangkan pendapatan rata-rata petani karet
sebesar Rp 34,95 juta/KK/tahun.
3. Pemanfaatan lahan umumnya belum optimal dan kegiatan usaha tani
dilakukan belum sepenuhnya mengikuti anjuran. Sekitar 32,20 persen lahan
yang dikuasai petani diistirahatkan atau diberakan dan umumnya ditumbuhi
semak belukar atau padang alang-alang. Banyak faktor yang mempengaruhi
penggunaan lahan antara lain budaya berladang, pola pikir subsisten,
kesuburan tanah, ketersediaan bahan tanam, modal usaha, kehadiran
investor, dan kebijakan pemerintah.
4. Rehabilitasi padang alang-alang dan semak belukar membutuhkan investasi
sebesar Rp 30,03 juta/ha untuk karet, Rp 30,10 juta/ha untuk kelapa sawit dan
Rp 13,25 juta/ha untuk HTI akacia mangium. Dengan dana investasi tersebut
akan dihasilkan pendapatan bersih nilai kini pada tingkat diskonto 12,5 persen/
tahun (NPV df=12,5%) masing-masing sebesar Rp 21,96 juta/ha untuk karet,
Rp 17,75 juta/ha untuk kelapa sawit dan Rp 1,92 juta/ha untuk akacia
mangium, serta meningkatkan serapan karbon rata-rata masing-masing
sebesar 57,5 ton/ha, 49,5 ton/ha dan 14,5 ton/ha. Kegiatan rehabilitasi
tersebut layak untuk dilaksanakan.
5. Untuk menjamin kelancaran rehabilitasi kawasan padang alang-alang dan
semak tersebut perlu disusun perencanaan yang matang mulai dari
menentukan target atau sasaran yang ingin dicapai, identifikasi kondisi saat ini,
identifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung pencapaian sasaran,
serta penyusunan langkah-langkah operasional. Penyusunan perencanaan
tersebut seyogyanya dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait dalam
suatu kegiatan Lokakarya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., Herman, Wahyunto, E. Runtunuwu, E. Susanti, W. Wahdini. 2010. Neraca Karbon
pada Lahan Perkebunan Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Laporan
Akhir Tahun 2010 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan
Pertanian, Bogor.
Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, and M. van
Noordwijk. 2009. Carbon Dioxide Emission in Land Use Transitions to Plantation.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 28(4):118-126.
Herman, Fahmuddin Agus, dan Eleonora Runtunuwu
440
Agus, F., T. June, H. Syahbudin, E. Runtunuwu and E. Susanti. 2008. Field Scale Carbon
Budget in Land Use Transition into Plantations in Indonesia. Laporan Tahunan
Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim pada Sektor
Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan
Pertanian, Bogor.
Arkanudin. 2009. Sistem Perladangan dan Kearifan Tradisional Orang Dayak dalam
Mengelola Sumber Daya Hutan. Universitas Kapuas Sintang Universitas Kapuas
Sintang. http://www.unka.ac.id/index.php?page=baca1&id=48 diakses 6 Mei 2009.
Badan Planologi Kehutanan, 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Badan Planologi
Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau, 2009. Kabupaten Sanggau dalam Angka 2009.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau. Sanggau.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2008. Kalimantan Barat dalam Angka
2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Boer, R., Upik R., Wasrin, Perdinan, Hendri, B.D. Dasanto, W. Makundi, J. Hero, M. Ridwan
dan N. Masripatin. 2006. Assessment Of Carbon Leakage In Multiple Carbon-Sink
Projects: A Case Study In Jambi Province, Indonesia.
http://ies.lbl.gov/iespubs/61463.pdf diakses tanggal 15 April 2011.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau, 2009. Statistik Perkebunan
Kabupaten Sanggau Menurut Kecamatan Tahun 2006-2009. Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Sanggau, Sanggau.
Gray, C., P. Simanjuntak, L.K., Sabur dan P.F.L. Maspaitella, 1987. Pengantar Evaluasi
Proyek. Gramedia, Jakarta. 272p.
Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequester Karbon : Studi
Kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Inovasi Online Vol.3/XVII/Maret 2005.
http://io.ppijepang.org/article.php?id=66, diakses tanggal 15 April 2011.
Kelompok Kerja Pemanasan Global, 2002. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim.
http:/www.ofm-jpic.org/globalwarming/pdf/indonesia.pdf diakses tanggal 15 April
2011.
Kompas, 2009. Pemanasan Global: Pelepasan Karbon dari Lautan Bertambah. Kompas, 9
Desember 2010. http://www1.kompas.com/read/xml/2010/12/09/13070297/
pelepasan.karbon.dari.lautan.bertambah, diakses tanggal 20 April 2011.
Martin, E. (2008). Evaluasi Kinerja Ekonomi Hutan Tanaman Industri Pulp Pola Kemitraan.
Info Sosial Ekonomi Vol. 8 No. 2: 87 98.

You might also like