You are on page 1of 87

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

POLA SPASIAL KASUS MALARIA DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


(SIG) DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH 2008
A. Arsunan Arsin1, Sarbaini A. Karim 2
1

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


2
Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Tengah
ABSTRACT

Malaria disease is one of the main health problem in Indonesia. The province of North Maluku
was the endemic Malaria Area, the layout and analysis, periodic and the planned observation was very
important to know the location of spreading , the development and the decision of risk area. The aim of
this research was to know the spatial model of Malaria case in the central Halmahera regency. The type
of this research was observational with cross sectional study. This research was carried out from March
to June 2009. Data analysis for spatial used Archview GIS. The result showed that there were not
relationship between the climate with Malaria occurrence, the distribution of Malaria patient in the
Central of Halmahera Regency spread to all the district with the amount 859 points. The most points of
case existing at Weda District with the number of points amount 233 case point. The tendency on the
distribution of Malaria indicated the tendency on Weda River band with the number 201 cases . the
tendency on the river side with the amount of case points amount 674 cases points ( 78.46%) and the
tendency on the central of health service with the number of point amount 532 case points ( 61,935). The
development of health facility in the remote area and the implementation of routinely entomology survey
and the scale lay out necessary conducted in effective and efficient.
Keywords : Malaria case, spatial, GIS
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium
yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa
Italia, yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah
rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk, penyakit ini juga mempunyai beberapa nama lain, seperti deman
aroma, demam rawa, demam tropik dan demam pantai.
Hingga saat ini, penyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama di Indonesia. Selama periode tahun 1997-2000 angka insiden malaria di tanah air cenderung
menunjukan peningkatan. Wilayah Pulau Jawa dan Bali insiden malaria meningkat 0,12 per 1000 penduduk
pada tahun 1997 menjadi 0,38 per 1000 pada tahun 2000. Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria selama tahun
1998 dan 1999 telah melanda 10 propinsi dan meliputi 84 desa dengan jumlah penderita 19.688 dan 71
kematian dengan CFR 36%.
Propinsi Maluku Utara adalah daerah endemis malaria prevalensi malaria 12 bulan terakhir sebesar
7,2% dan angka prevalensi tertinggi di kabupaten Halmahera Barat 16,2% dan terendah di Kota Tidore
Kepulauan yaitu 2,6%, sedangkan Kabupaten Halmahera Tenggah prevalensi malaria sebesar 13,0%
(Riskesdas 2007)
Situasi kasus malaria di Kabupaten Halmahera Tenggah pada tahun 2005 jumlah kasus sebesar
2653 dengan Annually Malaria Incidence (AMI) 68,90 per 1000 penduduk dan menurun pada tahun 2006
yaitu 2575 kasus dengan AMI 66,88 per 1000 penduduk kemudian meningkat pada tahun 2007 yaitu 3187
dengan AMI 82,77 per 1000 penduduk.
Geografis Informasi System (GIS) digunakan untuk mengetahui serta mengontrol kejadian malaria
dengan pemetaan insiden maupun prevalen malaria. Pengunaan GIS hanya berfokus pada pemetaan dasar
bukan untuk pengembangan model-model risiko kejadian malaria.
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengvisualisasikan mengeksplorasi, memilah-milah data dan menganalisis data pola spasial penyakit
malaria dengan karakteristik wilayah tertentu sebagai sarana pendukung kebijakan, sehingga kebijakan yang
diambil lebih terarah, efisien dan efektif. SIG menyediakan fasilitas untuk (1) mengukur/ inventarisasi, (2)
memetakan, (3) memonitor dan (4) modeling Penelitian.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain cross sectional studi (potong lintang)
dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG) yang memiliki kemampuan untuk menvisualisasikan,
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

84

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

mengeksplorasi, memilah-milah data, dan menganalisis data pola spasial penyakit malaria dengan
karakteristik wilayah tertentu dalam waktu satu tahun. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten
Halmahera tengah.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah Semua kasus malaria di wilayah Kabupaten Halmahera
tengah. Sedangkan sampel pada penelitian ini adalah Semua kasus malaria yang berdasarkan hasil
pemeriksaan secara klinis terdapat gejala-gejala yang sesuai kriteria malaria seperti : demam, sakit kepala,
pucat, perasaan dingin / menggigil dan berkeringat dan terdaftar di buku register penyakit serta
berdasarkan hasil pemeriksaan darah positif malaria dan terdaftar di buku register pemeriksaan laboratorium
pada Puskesmas dan Puskesmas pembantu. Penderita malaria di Kabupaten Halmahera tengah pada tahun
2008 sebanyak 1122 penderita namun yang memenuhu kriteria sampel sebanyak 859 penderita.
Analisis Data
Analisis data spasial dengan aplikasi ArcView GIS. Data titik koordinat yang dikumpulkan oleh
GPS, selanjutnya ditransfer ke map sources. Titik koordinat berdasarkan alamat penderita malaria yang
harus dikomversikan dalam bentuk derajat. Analisis data selanjutnya dengan arcView dalam memetakan
informasi keruangan berdasarkan data yang dikumpulkan.
HASIL
Hubungan Iklim dengan Kasus Malaria
Suhu
Berdasarkan Hasil uji Korelasi antara kasus malaria klinis dan suhu(c) pada tabel 14 menunjukan
bahwa nilai r = 0,188 dan p = 0,559 yang berarti korelasi antara kasus malaria klinis dan suhu di kabupaten
Halmahera Tengah tahun 2008 memiliki kekuatan korelasi moderat (Tabel 1).
Tabel 1 Hubungan kasus malaria dengan suhu rata- rata perbulan di Kabupaten Halmahera Tengah
2009
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Jumlah
Data Primer

Malaria klinis
132
137
94
59
75
116
120
66
48
93
82
100
1122

Suhu (c)
27.7
27.3
27.3
27.5
27.6
27.4
27.1
26.8
27.2
27.6
27.6
27.4

r = 0,188
p = 0,559

Kelembaban
Tabel 2 Hubungan kasus malaria dengan Kelembaban rata- rata perbulan di Kabupaten Halmahera
Tengah 2009.
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember

Malaria klinis
132
137
94
59
75
116
120
66
48
93
82
100

Kelembaban (%)
83
83
85
85
83
81
85
84
83
85
85
85

r = - 0,237
p = 0,458

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

85

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Jumlah
1122
Data Primer
Tabel 2 menunjukkan distribusi Kelembaban pada tahun 2008 dan kasus malaria klinis pada tahun
2008 di Kabupaten Halmahera tengah dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut ini: Berdasarkan hasil
analisa data antara kelmbaban dan kasus malaria klinis di Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2008
diperoleh nilai r = - 0,237 dapat dikatakan tidak bermakna.
Curah Hujan
Hasil Analisis tabel 3 korelasi antara curah hujan dengan keadian malaria klinis diperoleh r = 0,143
dan p = 0,685 menunjukan bahwa korelasi antara curah hujan dan kasus klinis kuat hal ini dapat terlihat pada
grafik trend linier.
Tabel 3 Hubungan kasus malaria dengan Curah Hujan rata- rata perbulan di Kabupaten Halmahera
Tengah 2009.
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Jumlah
Data Primer

Malaria klinis
132
137
94
59
75
116
120
66
48
93
82
100
1122

Curah Hujan
27
26.7
26.3
26.6
26.9
26.5
26.1
26
26.6
26.7
26.8
26.8

r = 0,143
p = 0,658

Pemetaan distribusi kasus malaria


Gambar 1 menunjukan bahwa distribusi penderita malaria di kabupaten Halmahera Tengah tersebar
merata di seluruh kecamatan dengan jumlah keseluruhan titik kasus malaria sebanyak 859 titik kasus.
Kecamatan yang memiliki jumlah titik kasus terbanyak adalah kecamatan Weda dengan jumlah titik kasus
sebanyak 233 titik kasus, sedangkan kecamatan dengan jumlah titik kasus paling sedikit adalah kecamatan
Gebe dengan jumlah titik kasus sebanyak 68 titik kasus.
Gambar 2 menunjukkan bahwa berdasarkan jarak dari pusat kota, kasus malaria di kabupaten
Halmahera Tengah menunjukkan kecenderungan atau tren berada di daerah pusat kota dengan jumlah titik
kasus sebanyak 532 titik kasus (61,93%).

Gambar 1
Peta Distribusi Kasus Malaria di Kabupaten Halmahera Tengah

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

86

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Gambar 2
Peta distribusi kasus malaria berdasarkan jarak dari pusat Pelayanan Kesehatan
PEMBAHASAN
Hubungan Kasus Malaria dengan Iklim
Penyakit malaria masih merupakan masalah global terutama di negara-negara tropis yang beriklim
hangat, diperkirakan 40 % penduduk dunia tinggal di daerah berisiko tinggi terkena infeksi malaria. Penyakit
malaria adalah penyakit akut, dan pada beberapa kasus menjadi kronis, yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium, yang termasuk famili Plasmodiidae, ordo cocciidae dan sub orde Haemosporiidae. Hanya 4
spesies yang berkembang dalam tubuh manusia yaitu : Plasmodium vivax, plasmodium malariane,
plasmodium ovale dan plasmodium falsiparum .
Hasil penelitian ini menunjukkan tren atau kecenderungan kasus malaria yang menurun dari bulan
januari hingga bulan desember 2008. Hasil penelitian dapat disebabkan oleh kecenderungan curah hujan dan
suhu rata-rata pada tahun 2008 yang juga menurun sepanjang tahun. Curah hujan yang tinggi dapat
menyebabkan terciptanya daerah-daerah perindukan nyamuk baru sehingga dapat meningkatkan jumlah
nyamuk anopheles. Kecenderungan curah hujan yang menurun sepanjang tahun dapat menyebabkan
berkurangnya daerah perindukan nyamuk sehingga jumlah nyamuk berkurang. Berkurangnya jumlah
nyamuk dapat menyebabkan menurunnya kasus malaria.
Faktor suhu juga dapat mempengaruhi peningkatan jumlah nyamuk anopheles. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa terjadinya kenaikan suhu Bumi antara 1,5 sampai 4,5 derajat celcius pada
akhir abad 21 membuat suhu bumi lebih hangat sehingga mempercepat perkembangbiakan nyamuk
anopheles sekaligus mengurangi periode matang plasmodium yang berada di dalam tubuh nyamuk .
Akibatnya, siklus hidup nyamuk menjadi lebih pendek dan populasinya mudah meledak. Ledakan populasi
nyamuk anopheles menyebabkan penularan penyakit malaria juga semakin besar, sehingga kasus malaria
yang terjadipun semakin meningkat
Selain mempengaruhi nyamuk, suhu juga dapat mempengaruhi siklus pertumbuhan plasmodium
dalam tubuh nyamuk. Siklus ini membutuhkan 9 - 21 hari pada suhu 25C atau 77F. Suhu lingkungan yang
lebih hangat memendekkan jangka waktu dari siklus disebabkan oleh keadaan luar, begitu meningkat
kesempatan transmisi. Dan sebaliknya, di bawah suatu suhu lingkungan minimum (15C atau 59F untuk
Plasmodium vivax, 20C atau 68F untuk Plasmodium falciparum), siklus yang disebabkan oleh keadaan
luar tidak bisa diselesaikan dan malaria tidak bisa transmisikan. Ini menjelaskan pada sebagian mengapa
transmisi malaria adalah lebih besar dalam area yang lebih hangat di bumi ( tropis dan semitropical area dan
ketinggian yang lebih rendah), terutama untuk Plasmodium falciparum. Saat ini muncul dugaan bahwa
kecenderungan naiknya suhu global dapat meningkatkan cakupan malaria secara geografis dan mungkin
mengakibatkan wabah malaria.
Suhu Udara, makin tinggi suhu makin pendek siklus sporogoni, makin rendah suhu makin panjang
siklus sporogoni. Nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan karenanya proses-proses metabolisme dan
siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya
sendiri terhadap perubahan-perubahan diluar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan
nyamuk adalah 25-27C.
Kelembaban Udara, kelambaban adalah banyaknya uap air dalam udara. kelembaban rendah akan
menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan tubuh
nyamuk sehingga dapat memperpendek umur nyamuk. Berdasarkan hasil uji korelasi anatara kejadian
malaria klinis dengan kelembaban di kabupaten Halmahera tengah tahun 2008 yang terdapat pada tabel 15
menunjukan bahwa niilai r = - 0,237 dan p = 0,458 yang berarti arah hubungannya negatif.
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemik malaria.
Besar kecilnya tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis nyamuk dan jenis tempat perindukan. Hujan
yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk anopheles
Ditemukannya malaria sebagian besar tergantung pada faktor Iklim seperti temperatur, kelembaban,
dan curah hujan. Transmisi Malaria terjadi dalam area subtropis dan tropis. Faktor temperatur sangat
menentukan. Sebagai contoh, pada temperatur di bawah 20C (68F), Plasmodium falciparum (yang
menyebabkan malaria berat) tidak bisa melengkapi siklus hidupnya dalam tubuh nyamuk anopeles dengan
demikian tidak dapat ditularkan (CDC 2004).
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

87

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Saat nyamuk dewasa sudah muncul, suhu lingkungan, kelembaban, dan hujan akan menentukan
kesempatan survival mereka. Untuk mentransmisikan malaria, Nyamuk anopheles betina harus survive
cukup panjang setelah terinfeksi (melalui makanan darah pada manusia yang terinfeksi) untuk memberikan
kesempatan parasit untuk melengkapi siklus pertumbuhannya(siklus ekstrinsik). Siklus ini membutuhkan 9 21 hari pada suhu 25C atau 77F.
Dari hasil uji korelasi antara kejadian malaia klinis dengan curah hujan diperoleh hasil r = 0,143
dan p = 0,658 yang memiliki makna arah hubungn positif dengan kekuatan hubungan korelasi kuat. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa faktor iklim tidak berhubungan dengan kejadian malaria di kabupaten
halmahera tengah. kejadian malaria menunjukan tren yang menurun sepanjang tahun 2008 sedangkan iklim
berupa curah hujan, suhu udara dan kelembaban udara di Kabupaten Halmahera Tengah tidak menunjukan
perubahan yang berarti sepanjang tahun 2008 sehingga penurunan kejadian malaria dapat dipengaruhi faktor
lain seperti perilaku penduduk serta program-program penanggulangan penyakit malaria yang dilakukan
oleh dinas kesehatan kabupaten Halmahera Tengah seperti pembagian kelambu berinsektisida kepada
masyarakat.
Pemetaan Distribusi Kasus Malaria
Peta spasial distribusi kasus malaria merupakan gambaran wilayah/geografis penyebaran kasus
malaria di permukaan bumi berdasarkan lokasi/titik koordinat kasus malaria dengan penggunaan alat GPS
(Global Positioning System) di Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2008.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa daerah distribusi penderita malaria di kabupaten Halmahera
Tengah pada tahun 2008 tersebar merata di seluruh kecamatan. Kecamatan dengan jumlah titik kasus malaria
terbanyak adalah kecamatan Weda dengan jumlah titik kasus sebanyak 233 titik kasus, sedangkan kecamatan
dengan jumlah titik kasus paling sedikit adalah kecamatan Gebe dengan jumlah titik kasus sebanyak 68 titik
kasus.
Kecamatan weda menjadi kecamatan dengan jumlah titik kasus paling banyak karena Kecamatan
Weda adalah kecamatan yang menjadi ibukota dari Kabupaten Halmahera Tengah dengan jumlah penduduk
paling padat sehingga jumlah penduduk yang berpeluang untuk menderita penyakit malaria juga semakin
besar.
Secara umum pemetaan penyakit malaria memang sudah poluler seperti penyakit lainnya (Sipe dan
Dale, 2003 dalam Aprisa 2007). Pada umumnya penelitian malaria dengan Sistem Informasi Geografis
hanya meninjau sisi manfaat Sistem Informasi Geografis, faktor keterjangkauan dan aksesibilitas fasilitas
pelayanan kesehatan.
Pemetaan terhadap penyakit menular termasuk penyakit malaria akan memberikan tiga kontribusi
utama yaitu (1) dengan menggunakan peta diharapkan muncul gambaran deskriptif mengenai distribusi serta
penyebaran penyakit. Peta yang akurat dalam bentuk sekuens diharapkan dapat menjawan pertanyaan apa
yang terjadi dan mengapa. (2) keeradaan peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran
penyakit menular. (3) model interaktif, jika pada tahap dua, pola prediksi hanya sebatas ramalan penyakit,
tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif, kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa
depan (Anis,2007).
Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Daerah Pusat Pelayanan Kesehatan
Daerah perkotaan merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang padat dengan segala
aktifitas dan mobilitas penduduk yang sangat beragam. Keberadaan pusat pelayanan kesehatan di daerah
pusat kota menyebabkan masyarakat yang berdomisili di pusat kota lebih mudah untuk mengakses fasilitas
pelayanan kesehatan sehingga masyarakat yang berdomisili di daerah perkotaan banyak berada dalam daftar
register pasien malaria.
Hasil penelitian ini menemukan adanya kecenderungan titik kasus penderita malaria berada di pusat
kota. Hal ini dapat dikarenakan oleh proporsi penduduk yang lebih banyak berada di pusat kota serta
kemudahan masyarakat yang berdomisili di daerah pusat kota untuk mengakses sarana pelayanan kesehatan
seperti puskesmas.
Jarak dan transportasi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menuju ke
suatu unit pelayanan kesehatan kepada masyarakat, bagi puskesmas yang lokasinya strategis, dekat dengan
pemukiman penduduk, sarana dan prasarananya lengkap, dan mudah mendapatkan sarana tranportasi maka
banyak dikunjungi oleh pasien, akan tetapi bila lokasi pelayanan jauh dari pemukiman penduduk dan jauh
dari sarana transportasi maka kunjungan pasiennya akan lebih sedikit
Pola Spasial Epidemiologi Kasus Malaria.
Epidemiologi spasial adalah ilmu untuk mendeskripsikan dan menganalisis keragaman geografis
pada penyakit dengan memperhatikan dimensi geografis, lingkungan,prilaku, sosial ekonomi,genetika, dan
faktor risiko penularan. Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit, perbandingan
menurut batas-batas alam lebih berguna daripada batas-batas administrasi pemerintahan.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

88

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Pemanfaatan aplikasi SIG dalam menganalisis pola spasial malaria bertujuan untuk mengetahui
batas-batas wilayah dimana terjadi tren/kecenderungan distribusi kasus malaria, serta memprediksikan akses
geografis unit pelayanan kesehatan terhadap pemukiman/lokasi kasus malaria
Pengetahuan mengenai pola spasial malaria akan memberikan tiga kontribusi utama yaitu : (1)
dengan menggunakan peta diharapkan dapat menjawab apa yang terjadi dan mengapa. (2) Keberadaan peta
diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran penyakit menular. Sebagai penyakit yang menular
yang diidentifikasi dengan kontak dengan penderita melalui gigitan nyamuk, keberadaan peta kasus malaria
secara individual tentu sangat penting. Jika peta akurat dari masa lalu dapat diidentifikasi polanya, maka
dengan asumsi yang sama kita mungkin dapat memprediksi masa depan. Seiring dengan tingkat keakuratan
yang semakin tinggi, para ahli mengambil kebijakan diharapkan menggunakan peta prediktif untuk
memprediksi masa depan. (3) Model interaktif. Jika pada tahap dua pola prediksi hanya sebatas ramalan
penyakit, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif, kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya
bagi masa depan ( Anis, 2006).
Berdasarkan hasil analisis SIG dalam mengetahui kekhususan pola spasial distribusi kasus malaria
di Kabupaten Halmahera Tengah yaitu berupa pemetaan kasus malaria, dan kecenderungan kasus malaria
pada karakteristik geografis tertentu di Kabupaten Halmahera Tengah, maka dapat dilihat adanya
kekhususan pola wilayah yang mendukung penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Halmahera tengah.
Hasil penelitian ini menemukan adanya kekhususan pola spasial distribusi kasus malaria berupa
tren kasus malaria di bantaran sungai dan tepi panatai. Hal ini dikarenakan sebagian besar daerah
pemukiman penduduk dibangun mengikuti aliran sungai dan disekitar kawasan pesisir tepi pantai.
Kekhususan pola spasial yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah yaitu distribusi kasus
malaria yang merata di semua wilayah karena adanya faktor geografis maupun sosial-demografis
masyarakat. Peranan migrasi atau mobilitas geografi juga turut memberikan kontribusi didalam mengubah
pola penyakit di berbagai daerah menjadi lebih penting dengan makin lancarnya perhubungan darat, udara
dan laut.
Analisis spasial yang mampu menjadi bahan dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaian
masalah penyakit menular termasuk malaria yaitu membuat suatu sistem terpadu secara spasial dengan
aplikasi Sistim Informasi Geografis (SIG) dalam memetakan, memantau kejadian penyakit menular,
menganalisa lokasi rentan, menganalisa faktor-faktor lingkungan, cuaca serta modus bepergian masyarakat.
Gambaran akan penyebaran kasus malaria berupa peta diharapkan akan memberikan informasi bagi
perencanaan malaria terutama dalam jaminan penyediaan reagen, alat laboratorium, obat serta sarana dan
prasarana untuk menjamin kelancaran kegiatan pemberantasan malaria, mengendalikan penderita serta
pengebotan. Selain itu perlu dipikirkan pula upaya tambahan seperti penyediaan makanan tambahan pada
pasien. Dan kiranya dapat digunakan secara kontinu dalam menilai dan memperbaiki kinerja program, serta
dapat memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di bidang malaria.
KESIMPULAN
Tidak ada hubungan antara iklim dengan kejadian malaria di Kabupaten Halmahera tengah dengan
tren kejadian malaria yang menurun. Pemetaan distribusi kasus malaria di Kabupaten Halmahera Tengah
dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG), dapat dipetakan berdasarkan titik koordinat (lintangbujur) dengan jumlah titik kasus malaria sebanyak 859 titik kasus.
Kasus malaria berdasarkan jarak dari pusat kota memiliki kecenderungan berada di daerah pusat
kota. Pola spasial malaria di Kabupaten Halmahera Tengah memiliki ke khususan berupa distribusi kasus
malaria yang merata di setiap wilayah Kelurahan serta adanya kecenderungan kasus malaria pada bantaran
sungai, tepi pantai dan pusat kota. Disarankan agar Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Tengah perlu
melaksanakan survey entomologi rutin dan pemetaan secara berkala untuk mengetahui kondisi vektor
penular malaria sehingga upaya-upaya penanggulangan penyakit malaria dapat dilakukan lebih efektif dan
efisien
DAFTAR PUSTAKA
Prabowo Arlan 2004. Malaria. Mencegah dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta.
Depkes R.I, 2001, Entomologi, buku 3 Malaria, Dirjen PPM dan PLP Depkes RI, Jakarta
Dinkes Kab. Halteng, 2008. Profil Dinas Kesehatan. Kab. Halteng
Neil. G and Dale. P. 2003. Challenges in Using Geographic and Control Malaria in Indonesia.
http/www.malariajournal.com/content/2/1/36. Diakses maret 2009.
Harijanto. 2000, Malaria. Epidemiologi, Phatogenesis Manifestasi Klinis dan Penanganan. Kedokteran
EGC, Jakarata.
Arsunan, A.A., 2004. Analisis Epidemiologi Kejadian Malaria Pada Daerah
Kepulauan di Kabupaten
Pangkajene Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Makassar : Program
Pascasarjana Unhas.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

89

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

PENGARUH INTERVENSI PROGRAM HIV DAN AIDS TERHADAP PERUBAHAN


PENGETAHUAN DAN SIKAP BURUH DI PROYEK PEMBANGUNAN
TEHNIK UNHAS GOWA 2012
Abdul Gafur1, A. Arsunan Arsin2
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT

One of the issues that are currently affecting the world of work is the increasing HIV and AIDS
cases in which more than 90%, where as affecting the productive age between 20-50 years old. The research
air is to determine the effect of intervention programs against HIV and AIDS knowledge and attitudes of the
construction project technique workers at Unhas Gowa. The method was used is a quasi-experimental pre
and post test design with the application of a single subject in which a single subject is given by several
different treatments and each treatment were observed. Sample size of this study was 191 people consisting
of marble and ceramics workers are 91 respondents, iron workers are 46 respondents and finishing workers
are 54 respondents The results of the research indicates that all methods of intervention are given such as
approaching Peer Educator (PE) or peer education, KIE media, film, PE with KIE media, KIE media and
films and PE with KIE media, KIE with films media has influence on the knowledge and attitudes of the
workers, there is a mean difference from all the intervention methods to the knowledge and attitudes of
workers.
Key words : HIV and AIDS Intervention Programs, Knowledge and Attitudes
PENDAHULUAN
Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang
diderita seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dimana hingga saat ini
belum ada obat untuk mencegah HIV atau AIDS (Harahap, 2000). Sejak kasus AIDS dilaporkan yang
pertama kali oleh Gottlieb dan rekannya di Los Angeles pada tanggal 5 Juni 1980, pada pertengahan 1980an, kasus-kasus AIDS pun meningkat dengan cepat dan menyebar ke seluruh dunia. Data tahun 2008,
UNAIDS (United Nation Programme on HIV dan AIDS) mengatakan bahwa estimasi orang dewasa dan
anak-anak yang menderita HIV didunia sekitar 33,4 juta orang dengan angka kematian sekitar 2 juta orang.
Benua Afrika adalah benua dengan penderita HIV dan AIDS terbanyak (25,5 juta kasus) dimana Afrika
Utara sebagai negara dengan HIV dan AIDS terbanyak (sekitar 5 juta kasus). Di benua Asia juga
menunjukkan prevalensi kasus yang tinggi dimana India menduduki urutan ketiga dengan estimasi 2 juta
kasus, (UNAIDS, 2008).
Salah satu isu yang saat ini telah mempengaruhi dunia kerja adalah meningkatnya kasus HIV dan
AIDS dimana lebih dari 90% dari mereka berusia produktif antara 20-50 tahun. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan ILO tahun 2001, Population Mobility and HIV in Indonesia, pola dan kecenderungan penyebaran
HIV terkait dengan perpindahan pekerja baik secara domestik maupun internasional. Meski belum diperoleh
data memadai yang membuktikan adanya korelasi antara perpindahan pekerja dan penyebaran HIV,
diasumsikan kelompok penduduk dengan mobilitas tinggi dan berperilaku seks berisiko, termasuk pekerja
sektor pertambangan, pembangunan, perkebunan, transportasi, perikanan dan buruh migran rentan terhadap
penularan HIV (ILO, 2001 dalam Arlin).
Kasus HIV dan AIDS di propinsi Sulawesi Selatan antara tahun 2009-2010 mengalami lonjakan
yang signifikan yaitu tahun 2009 sudah dilaporkan sebanyak 2616 orang dengan status HIV 1943 kasus dan
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

90

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

yang sudah AIDS 673 orang dan mengalami peningkatan pada akhir tahun 2010 sebanyak 3899 orang
dimana yang terinfeksi HIV sebanyak 2878 orang dan AIDS 1021 orang. Angka ini diperoleh hanya pada
orang yang mengikuti tes secara sukarela. Tentu kasus yang sebenarnya jauh lebih banyak karena HIV dan
AIDS ini termasuk dalam fenomena gunung es (Dinkes Sul-Sel, 2011).
Kabupaten Gowa sendiri juga sudah dilaporkan adanya kasus HIV sebanyak 63 kasus. Perlindungan
tenaga kerja terhadap penularan HIV dan AIDS sesungguhnya merupakan perlindungan terhadap masyarakat
sekitar lokasi. Kontak yang terjadi antara sesama pekerja dan antara pekerja dan masyarakat merupakan
relasi sosial yang memungkinkan terjadinya perilaku-perilaku beresiko seperti hubungan seks ganti-ganti
pasangan tanpa pemakain kondom, Kontak darah pada kasus kecelakaan kerja, dan berbagai pola interaksi
sosial yang dapat menjembatani perpindahan virus HIV dari pengidap ke orang sehat (KPAP Sulsel, 2010).
Tingginya jumlah pekerja atau buruh dari luar kota ke Makassar dan Gowa merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan tingginya jumlah kunjungan ditempat-tempat hiburan malam, mengingat bahwa
buruh/pekerja yang dari luar tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk pergi ke tempat hiburan
malam sebab mereka jauh dari keluarga dan memiliki uang, serta tersedianya tempat prostitusi (Retno,
2007). Buruh/pekerja yang jauh dari keluarga dengan mobilitas tinggi merupakan kelompok yang berpotensi
menggunakan jasa pekerja seks komersial guna memenuhi kebutuhan biologisnya dimana ini merupakan
masalah tersendiri yang memerlukan pertimbangan dalam menerapkan strategi komunikasi yang efektif.
Disamping itu, karakteristik individu seperti tingkat pendidikan dan pengetahuan yang relatif rendah
memiliki kesulitan dalam menerima dan menerjemahkan berbagai informasi HIV dan AIDS yang lebih
banyak dikembangkan untuk masyarakat umum. Situasi yang memungkinkan buruh/pekerja semakin
mengalami keterpurukan dan keterpaparan (Akbar, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut maka
dianggap penting untuk melakukan program intervensi HIV & AIDS di proyek pembangunan Tehnik Unhas
Gowa.
METODE PENELITIAN
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian penelitian yang digunakan adalah ekperimen kuasi pre dan post test design dengan
penerapan subjek tunggal (single subject) dimana subjek tunggal diberikan dengan beberapa perlakuan
berbeda dan diobservasi setiap perlakuan. Penilitian ini dilakukan di Proyek pembangunan Fakultas Tehnik
Unhas Gowa. Penelitian ini dilakukan pada saat-saat tertentu seperti melatih peer edukator dilakukan pada
hari minggu agar tidak mengganggu aktifitas atau pekerjaan buruh, kemudian distribusi media KIE
dilakukan pada saat jam istirahat yaitu pukul 12.00-13.00 atau pada malam hari rumah kontrakan buruh,
untuk pemutaran film dilakukan pada malam hari di rumah kost buruh atau pada hari minggu dirumah
kontrakan buruh.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua buruh yang bekerja di proyek pembangunan tehnik
Unhas Gowa. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian buruh yang bekerja di proyek pembangunan
Tekhnik Unhas Kabupaten Gowa yaitu sebanyak 191 buruh.
Analisis Data
Analisis data ini dilakukan dengan maksud untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan perilaku
antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan melakukan
pengujian terhadap hipotesis menggunakan program komputer SPSS 18.0.
HASIL
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran,
penciuman rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan dalam penelitian ini yang dimaksud adalah informasi-informasi yang telah diketahui responden
tentang HIV dan AIDS baik sebelum intervensi maupun sesudah intervensi.
Tabel 1. Analsis perbedaan nilai rata-rata pada masing-masing jenis intervensi terhadap
pengetahuan buruh tentang HIV dan AIDS di proyek pembangunan tehnik Unhas Gowa
tahun 2012
Jenis intervensi
PE
Media KIE
Film

n
45
23
27

Pengetahuan
Pre
Post
2,80
6,62
3,30
7,30
3,48
8,56

Selisih Pre-Post

p value (sign)

3,82
4,00
5,07

0,00

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

91

JURNAL
PE + KIE
PE + Film
Film + KIE
Film+ PE + KIE
Data Primer

46
72
23
27

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
2,83
6,28
3,17
2,81

7,15
15,18
8,43
10,26

INDONESI A

4,32
8,90
5,26
7,44

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua jenis intervensi memliki pengaruh terhadap perubahan
pengetahuan buruh, dimana pada kelompok yang diintervensi Peer Educator (PE) + media KIE + pemutaran
film merupakan jenis intervensi yang paling efektif dengan nilai selisih rata-rata pre dan post 7,44. Hasil
analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap pengetahuan
buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan pengetahuan buruh tentang
HIV dan AIDS antara semua jenis intervensi
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus suatu
obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan
suatu pola pemberian. Sikap masih merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek dilingkungan
tertentu sebagai penghayatan terhadap obyek, (Notoatdmodjo, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semua jenis intervensi memliki pengaruh terhadap perubahan sikap buruh, dimana pada kelompok yang
diintervensi Peer Educator (PE) + media KIE + pemutaran film merupakan jenis intervensi yang paling
efektif dengan nilai selisih rata-rata pre dan post 18,55. Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova
berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap sikap buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00
(p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan sikap buruh tentang HIV dan AIDS antara semua jenis intervensi.
Tabel 2. Analsis perbedaan nilai rata-rata pada masing-masing jenis intervensi terhadap sikap
buruh tentang HIV dan AIDS di proyek pembangunan tehnik Unhas Gowa tahun 2012
Jenis intervensi
PE
Media KIE
Film
PE + KIE
PE + Film
Film + KIE
Film+ PE + KIE
Data Primer

n
45
23
27
46
72
23
45

Pengetahuan
Pre
Post
28,2
32,0
28,8
31,0
28,6
42,0
27,2
33,8
56,8
74,0
26,2
42,1
28,2
32,0

Selisih Pre-Post

p value (sign)

3,9
2,2
13,4
6,6
17,2
15,9
3,9

0,00

PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data primer melalui kuesioner pada responden
yang berjumlah 191 orang, setelah dilakukan pengolahan dan analisis data, maka akan dibahas sebagai
berikut :
Pengetahuan
Pengetahuan buruh terhadap HIV dan AIDS bervariasi. Umumnya memahami HIV dan AIDS
dalam tingkatan pengertian dasar, namun pada aspek pencegahan dan jenis penularan dan tanda-tanda orang
yang tertular HIV kelihatan masih mengalami penyimpangan.
Cara pencegahan yang dipahami masih terkesan adanya penghindaran terhadap penderita secara
sosial. Hal ini ditafsirkan sebagai akibat dari pemahamannya tentang cara penularan HIV dan AIDS yang
dapat terjadi melalui hubungan interaksi sosial biasa seperti jabat tangan, bertukar pakaian, bersin, makan
bersama, mandi bersama, dan lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 191 responden sebelum
dilakukan intervensi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan buruh tentang HIV dan AIDS masih kurang,
namun setelah mendapatkan informasi atau dilakukan intervensi pengetahuan dan sikap secara signifikan
mengalami peningkatan.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap
pengetahuan buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan pengetahuan
tentang HIV dan AIDS antara jenis intervensi Peer educator, media KIE, Film, PE+KIE, Film + KIE, serta
Film,+ PE + KIE, ini menunjukkan bahwa walaupun masing-masing intervensi memberikan pengaruh
terhadap pengetahuan buruh tetapi tingkat perubahan yang diberikan berbeda antara satu intervensi dengan
intervensi yang lainnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Latief, (2010) menunjukkan bahwa rendahnya pengetahuan
tentang HIV dan AIDS serta perilaku seks yang tidak sehat meningkatkan tingginya kejadian penyakit
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

92

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

tersebut dari tahun ke tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus HIV positif semakin bertambah
dimana yang teridentifikasi 2 kasus AIDS. Salah satu diantaranya telah meninggal tetapi keluarga malu
untuk menyatakan bahwa yang bersangkutan mengidap penyakit AIDS. Hal ini akan menyulitkan tenaga
kesehatan untuk mendeteksi lebih jauh serta masyarakat yang pernah berhubungan seks dengan penderita
tidak akan menyadari kemungkinan mereka telah terinfeksi penyakit tersebut.
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus suatu
obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan
suatu pola pemberian. Sikap masih merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan
tertentu sebagai penghayatan terhadap obyek, (Notoatdmodjo, 2003).
Hasil penelitian ini didapatkan informasi bahwa dari 6 jenis intervensi yang dilakukan semua jenis
intervensi memberikan pengaruh yang bermakna terhadap perubahan sikap buruh tetapi jenis intervensi yang
memiliki selisih rata-rata paling tinggi adalah pada intervensi Film+PE+KIE yaitu 18,5, sedangkan terendah
media KIE yaitu 2,3.
Perbandingan selisih rata-rata sikap responden antara jenis intervensi yang hanya 1 perlakuan saja
menunjukkan bahwa pemutaran film memiliki nilai selisih rata-rata tertinggi dibandingkan dengan PE dan
media KIE, dimana nilai selisih rata-rata sikap yang diintervensi pemutaran film yaitu 13,5, dan secara
statistik film memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik dibandingkan dengan PE dan media KIE,
hal ini menunjukkan bahwa pemurtaran film lebih efektif untuk dilakukan untuk melihat perubahan perilaku.
Adanya peningkatan terutama sikap buruh setelah menonton film tentang HIV dan AIDS,
mengindikasikan bahwa pemutaran film lebih efektif seperti penelitian yang dilakukan oleh (Rahmatullah,
2011) Adanya sinyalemen positif yang terlihat dari peningkatan hasil belajar dan juga meningkatnya
motivasi belajar siswa menunjukkan bahwa film animasi memang memiliki kelebihan-kelebihan yang terkait
dengan optimalisasi peranan dan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran selain itu film animasi
sebagai faktor pemikat dan mampu meningkatkan motivasi dan pendapat Agina (2003) yang menyebutkan
bahwa film animasi dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan siswa pada sejumlah aspek.
Perbandingan selisih rata-rata sikap antara jenis intervensi yang diberikan 2 perlakuan yaitu antara
PE+KIE dengan film + media KIE menunjukkan bahwa pemutaran film + media KIE lebih efektif, dimana
nilai selisih rata-ratanya yaitu15,9.
Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap
sikap buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan sikap buruh tentang
HIV dan AIDS antara jenis intervensi Peer educator, media KIE, Film, PE+KIE, Film + KIE, serta Film,+
PE + KIE.
Variabel faktor intrinsik dipersepsikan responden berdasarkan pemahaman yang diketahui dari
dirinya meliputi pengetahuan, sikap dan pencegahan, pada penelitian yang dilakukan Latief (2010)
menunjukkan bahwa persepsi siswa SLTP tentang dirinya masih dirasakan kurang terutama dalam hal
pengetahuan, sikap dan pencegahan HIV dan AIDS melalui perilaku berisiko tertular. Hasil ini
mengindikasikan bahwa edukasi dan promosi yang dilakukan pemerintah maupun pihak lain masih belum
merata.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa upaya pencegahan HIV dan AIDS melalui perilaku berisiko
tertular memerlukan peningkatan pemahaman tentang pengetahuan, sikap dan upaya pencegahan secara
terus menerus dan sebaliknya para siswa seyogyanya selalu siap dan sadar untuk mempelajarinya. Hal ini
sesuai dengan psikologi pembelajaran yang efektif dimana materi yang diberikan hanya akan memberikan
efek positif terhadap perilaku apabila menarik, diberikan secara bertahap, terus menerus, dan penerima
pengetahuan siap secara fisik dan mental. 16 Keefektifan belajar akan meningkat bila diberikan melalui
peningkatan motivasi berpikir kritis.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, intervensi peer educator (PE) atau pendidik sebaya, distribusi media
KIE, pemutaran film, peer educator (PE) + media KIE, pemutaran film + media KIE, Peer Educator (PE) +
media KIE + pemutaran film memiliki pengaruh terhadap perubahan pengetahuan dan sikap buruh. Perlunya
dilakukan peningkatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dalam memilih dan menentukan alat
kontrasepsi yang akan digunakan oleh PUS dan penggunaan alat kontrasepsi yang efektif serta
meminimalkan KB tradisional dengan melakukan motivasi pemakaian alat kontrasepsi modern, sosialisasi
tentang pentingnya merencanakan jumlah anak dalam pembentukan norma keluarga kecil bahagia sejahtera
(NKKBS) kepada setiap pasangan usia subur maupun calon pasangan usia subur.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas kesehatan Sulawesi Selatan,(2011), Situasi HIV/AIDS di Sulawesi Selatan.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

93

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Halim Akbar, (2011). Pencegahan HIV/AIDS, PKVHI. Makassar


Harahap, Juliandi, Lita Sri Andayani, (2004). Pengaruh PEER Education Terhadap Pengetahuan dan Sikap
Mahasiswa dalam Menanggulangi HIV/AIDS di Universitas Sumatera Utara. Medan. Avaliable
from: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juliandi.pdf [Accesed : 14 April 2011]
Arlin, Adam. Informasi Dasar HIV/AIDS. Makassar
Komisi Penanggulangan AIDS, (2010). Rencana Aksi nasional Penaggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
2007-2010.
Latief, (2010). Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan Penerimaan Keluarga Penderita HIV&AIDS Terhadap
Penderita HIV, http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juliandi.pdf [Accesed : 21 Mei 2012]
Notoatmodjo, (2003). Promosi Kesehatan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta,43-59.
Raden, (2011). Data jumlah penderita HIV/AIDS di Sulawesi Selatan Tahun 2011.Makassar.
Rahmatullah, (2011). Pengaruh pemanfaatan media pembelajaran film animasi terhadap hasil belajar siswa
Tahun 2011. http://projects.edte.utwente.nl/pi/Papers/ AnimationPaper.html [9 Juni 2011]
Retno Dwi, (2007). Determinan Perilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS pada karyawan Laki-laki di
Perusahaan Besar. IU. Depok
UNAIDS, (2008). Report on the Global AIDS Epidemic. Switzerland UNAIDS.
PENGARUH PEMBERIAN PROPOLIS TERHADAP GANGGUAN GLUKOSA DARAH PUASA
DAN GANGGUAN TOLERANSI GLUKOSA PENDERITA PREDIABETES
A. Nilawati Usman, A.Zulkifli Abdullah2, Buraerah Abdul Hakim3, A.Ariyandi Asir4
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Biostatistik/ KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
4
Fakultas Kedokteran Universitas hasanuddin
ABSTRACK

Prediabetes has been becoming a pandemic that its prevalence higher than diabetes. Prediabetes
increases risk for type 2 diabetes, heart disease and stroke. We need evidence the benefit of propolis with
research subject are human after evidence by animal research has been proven.The objective of the research
was to analyze the effect of propolis on Fasting blood Glucose and Glucose Tolerance Prediabates Patients.
The research was a Randomized Clinical Trial (RCT). The intervention done was to give propolis extract
20% with the result of Biofarmaka Laboratory test of Hasanuddin University containing quercetin content
25.29 mg/L and health education with counseling strategy. Fasting blood glucose and glucose tolerance
tested by Health Laboratory Great Hall of Makassar with venous Blood specimen. The samples were 64
people consisting of 32 people given propolis and 32 given health education. The result of Wilcoxon with
0.05 significance level proves that the giving of propolis for 20 days, after eat with low doses (50 mg/Kg or 6
dots per day) significantly decreased fasting blood glucose and glucose tolerance test with respectively
-14.28 (p=0.000) and -23.16 (p=0.000). Fasting Blood Glucose and glucose tolerance test of Health
Education group decreased significantly, with respectively -14.9 (p=0.001) and -13.98 (p=0.000). Giving
Propolis and Education are effective for changing of blood glucose and glucose tolerance. Propolis is
potential to use as a pharmacology therapy for prediabetes
Key words: Propolis, Prediabetes, Fasting Blood Glucose, Glucose Tolerance
PENDAHULUAN
Prediabetes adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal tetapi tidak
cukup tinggi untuk dikatakan diabetes dan hal ini dapat berkembang menjadi diabetes mellitus (DM) tipe 2,
dua kondisi yang berkaitan dengan prediabetes adalah gangguan toleransi glukosa (GTG) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) (Garber AJ, dkk., 2009). Glukosa darah puasa terganggu (GDPT) didefenisikan
sebagai peningkatan glukosa plasma puasa dengan Bagian 100 mg/dl dan <126 mg/dl. Gangguan toleransi
(GTG) glukosa didefenisikan sebagai peningkatan glukosa plasma 2 jam, yaitu 140 and <200 mg/dl setelah
pembebanan 75 gram glukosa (Nathan, 2007). Berdasarkan konsensus PERKENI 2011, dikategorikan
sebagai GDPT bila bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL dan
dikategorikan sebagai GTG bila pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram
adalah 140 199 mg/dL Menurut Ford dkk (2010) Glukosa darah puasa terganggu dan gangguan toleransi
glukosa meningkatkan risiko kardiovaskuler dan Hardiman (2008) mengemukakan bahwa awal terjadinya
penyakit makrovaskuler (kardiovaskuler) adalah pada periode prediabetes.
Prediabetes telah menjadi pandemi yang prevalensinya lebih tinggi dari diabetes, di Amerika
Serikat prevalensi diabetes adalah 24, 1 juta sementara prediabetes mencapai 57 juta orang (Garber AJ, dkk,
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

94

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

2009), CDC (2012) merilis bahwa diperkirakan 79 juta orang dewasa yang berusia 20 tahun ke atas telah
menderita prediabetes. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2007) mendapatkan prevalensi GTG di daerah urban Indonesia adalah 10,5% dan
prevalensi diabetes sebesar 5,7%. Salah satu daerah dengan prevalensi gangguan toleransi glukosa tertinggi
adalah adalah Sulawesi Selatan 17.6%.
Meskipun perubahan gaya hidup adalah langkah yang paling efektif dalam pencegahan diabetes
berdasarkan penelitian klinik, implementasinya membutuhkan kedisiplinan yang sangat tinggi, sehingga
pengobatan yang efektif dan aman akan menjadi pilihan yang tepat untuk intervensi (Don, Cheng, 2005).
Propolis merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari 55% resin, 30% lilin lebah, 10% minyak aromatik
dan 5% bee pollen. Propolis mengandung: semua vitamin kecuali vitamin K, semua mineral yang
dibutuhkan kecuali sulfur, enam belas asam amino essensial yang dibutuhkan untuk regenerasi sel,
bioflavonoid yaitu zat antioksidan sebagai suplemen sel (Hammad, 2009). ). Hasil penelitian yang
menggunakan ekstrak propolis sebagai perawatan oral diabetik dengan dosis 200 mg/kg selama periode 5
minggu menunjukkan perubahan yang signifikan pada berat badan, glukosa serum, lipid, lipoprotein, nitrit
okside, glutathionin dan katalase. Disimpulkan bahwa ekstrak propolis menawarkan efek hipolipidemik dan
antidiabetik yang menjanjikan dan memungkinkan juga menjadi anti oksidan (El-Sayed, 2009). Jika pada
obat sintesis dikhawatirkan akan mempengaruhi ginjal, sebaiiknya pada pemberian propolis dapat mencegah
kerusakan ginjal karena efek antioksidannya yang bisa menurunkan gangguan metabolik dan stress oksidatif
yang sangat berhubungan dengan diabetes. Pada penderita diabetes ketika glukosa darah, lipid, oksidasi
LDL dan oksigen radikal bebas meningkat maka bisa memicu glomerolusklerosis dan kerusakan kronik pada
tubulus interstisial yang mengantarkan pada kerusakan ginjal (Abo-salem dkk, 2009). Riset Mulyati Sarto,
peneliti universitas Gadjah Mada yang dimuat dalam majalah trubus edisi 482 tahun 2010 telah menguji
toksisitas propolis dan efeknya jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, hasilnya tidak
mempengaruhi darah, ginjal dan hati. Siregar, dkk. (2011) mengemukakan bahwa Beijing Propolis Research
Network meriset propolis untuk pengobatan diabetes mellitus. Senyawa terpene vinil pada propolis dapat
menurunkan kandungan gula dalam darah.Terpen vinil mendukung penggunaan sumber glukosa eksogen
dari peran glikogen. Salah satu kandungan propolis adalah pterostilbene yang menurut peneliti kimia dari
Oxford, Rimando R.M. (2002) pterostilbene bisa menurunkan glukosa plasma dan glukosa darah hingga
42%. Kandungan lain dari propolis adalah arignin, menurut Linder (2010). Arginin meransang sekresi
insulin dan jenis asam amino ini (arginin dan asam amino rantai panjang) lebih baik dari asam amino lainnya
yang mempunyai efek pada sekresi insulin.
Kandungan lain propolis adalah quercetin, Piparo, dkk. (2008) mengemukakan bahwa di antara
jenis flavonol, subkelas dari flavonoid, quercetin memiliki potensi inhibisi enzim paling kuat. Dengan
adanya inhibisi pada enzim ini, proses pemecahan dan absorbsi karbohidrat akan terganggu, sehingga kadar
glukosa darah pada hiperglikemia dapat diturunkan
Penelitian tentang efek propolis pada manusia masih sangat jarang baik secara global maupun di
Indonesia namun ketertarikan masyarakat terhadap propolis mulai Nampak dengan hadirnya distributor
propolis di berbagai daerah termasuk Makassar bahkan telah dijual secara resmi di apotek seperti Kimia
Farma sehingga perlu penelitian yang bisa menjadi evidence penggunaan propolis sebagai alternatif
pengobatan untuk menangani GDPT dan GTG penderita predibetes. Penelitian ini bertujuan menganalisis
pengaruh propolis pada glukosa darah puasa dan toleransi glukosa penderita prediabetes.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental yaitu uji klinik atau Randomized Clinical
Trial (RCT) fase III, disain yang digunakan adalah parallel dengan matching jenis kelamin. Pelaksanaan
penelitian pada bulan April - Juni 2012 di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar yang
pada tahun 2008 telah mendapatkan sertifikat ISO 17205 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) .
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah masyarakat Makassar yang bersedia datang ke BBLK dan masyarakat
yang melakukan medical chek-up sebanyak 125 orang. Sampel yang memenuhi kriteria untuk dilakukan
random adalah yang memenuhi kriteria inklusi; Penderita yang baru terdiagnosis prediabetes, bersedia
menandatangani inform consent, berdomisili di kota Makassar, umur 25-80 tahun dan tidak mendapatkan
pengobatan medis maupun alternatif yang lain. Sampel dicuplik secara random dengan menggunakan tabel
random, jumlah keseluruhan sampel 64 orang, terdiri dari 32 orang intervensi propolis dan 32 orang
diberikan edukasi dengan strategi konseling.
Analisis Data
Data diolah dan dianalisis dengan bantuan komputer menggunakan program Excel 2010 dan SPSS
versi 20. Untuk menguji perbedaan mean antara kelompok kontrol dan kasus dan antara sebelum dan
sesudah intervensi digunakan uji t sampel berpasangan untuk distribusi normal dan uji Wilcoxon untuk yang
tidak berdistribusi normal.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

95

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

HASIL
Hasil Penelitian
Penelitian ini melakukan matching berdasarkan jenis kelamin sehingga jumlah jenis kelamin lakilaki dan perempuan sama pada kelompok perlakuan dan kontrol meskipun subjek lebih banyak perempuan
(90.6%) ketimbang laki-laki (9.4%). Suku Toraja adalah minoritas dalam penelitian baik pada kasus
maupun kontrol dan suku Bugis adalah mayoritas yang menjadi subjek. Pada aspek pekerjaan, pekerjaan
subjek yang diberi perlakuan paling banyak adalah ibu rumah tangga, baik pada kelompok perlakuan,yaitu
53.1% dan kelompok kontrol 62.5%. Tingkat pendidikan yang paling banyak pada kelompok perlakuan dan
kontrol adalah SLTA masing-masing 28.1% dan 34.4% dan Strata Satu masing-masing 21.9% dan 25%.
Rata-rata umur antara kelompok perlakuan dan kontrol tidak berbeda jauh, yaitu 45.66 dan 44.88 tahun.
Mayoritas kelompok perlakuan dan kontrol memiliki riwayat keluarga menderita DM, yakni masing-masing
87.5% dan 75.1%. Secara umum karakteristik kelompok yang diberikan propolis dengan yang diberikan
edukasi tidak jauh berbeda. Data ini bisa dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik

Jenis Kelamin

Laki-laki
Perempuan

Perlakuan
Mean (SD)
n (%)
3 (9.4%)
29 (90.6%)

Suku

Bugis
Jawa
Makassar
Toraja

25 (78.1%)
2 (6.3%)
5 (15.6%)
-

18 (56.3%)
2 (6.3%)
11 (34.4%)
1 (3.1%)

Pekerjaan

Dosen
IRT
Mahasiswa
Pensiunan
PNS
Wiraswasta
Petani

3 (9.4%)
17(53.1%)
2(6.3%)
1(2.1%)
4(12.5%)
5(15.6%)
-

20(62.5%)
4(12.5%)
1(3.1%)
6(18.8%)
1(3.1%)
-

Pendidikan

S3
S2
S1
D3
SLTA
SLTP
SD

1 (3.1%)
2(6.3%)
7(21.9%)
3(9.4%)
9(28.1%)
5(15.6%)
5 (15.6%)

8 (25%)
1 (3.1%)
11(34.4%)
7(21.9%)
5(15.6%)
44.88(14.16)
35 (78.1%)

45.66(14.86)
28(87.5%
4(12.5%)

7(21.9&)

Variabel

Umur
Riwayat
Keluarga DM
Data Primer

Ada
Tidak Ada

Kontrol
Mean (SD)
n (%)
3 (9.4%)
29 (90.6%)

Analisis Bivariat Pre dan Post Intervensi


Gula Darah Puasa (GDP) kelompok yang diberikan propolis turun secara signifikan-14.28
(p=0.000<0.05), kelompok edukasi juga tutun secara sihnifikan, yaitu -14.9 (p=0.001<0.05). Tes Toleransi
Glukosa (TTGO) kelompok propolis turun secara signifikan -23.16 (p=0.000<0.05) dan kelompok yang
diberikan edukasi juga turun secara signifikan meskipun lebih rendah dari pemberian propolis, yaitu -13.98
(p=000<0.05).
Rata-rata skor pola makan pada kelompok yang diberi propolis turun sebesar -2.19 (p=0.000<
0.05), pola makan dalam penelitian ini adalah kecenderungan subyek dalam memilih jumlah nasi yang
dimakan tiap hari, konsumsi sayuran dan buah serta gula dan garam. Kategori adanya perubahan pola makan
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

96

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

adalah jika setelah intervensi terjadi perubahan 50% dari kebiaasaan buruk sebelum intervensi. Kelompok
yang diberi edukasi perubahan skornya sedikit lebih tinggi, yaitu -2.65 dan (p=0.02<0.05).
Perubahan rata-rata skor aktivitas fisik kelompok yang diberi propolis adalah -0.28 namun tidak
signifikan secara statistik (p=0.20>0.05) sementara pada kelompok edukasi perubahan -0.78, bermakna
secara statistik (p-0.00<0.05). Aktivitas fisik dalam penelitian ini didefenisikan sebagai gerakan tubuh yang
dihasilkan otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi selama 150 menit setiap pekan atau 25 menit
tiap hari baik melalui olahraga maupun kegiatan fisik sehari-hari. Kategori ada perubahan jika subyek
melakukan aktivitas fisik 30 menit dalam sehari dan atau berolahraga selama 150 menit dalam sepekan,
tidak ada perubahan jika beraktivitas fisik <30 menit dalam sehari dan atau tidak berolaharaga selama 150
menit dalam sepekan, ini diukur dengan perubahan skor berdasarkan skala gutman, perubahan skor 50% dari
skor awal menandakan ada perubahan pada aktivitas fisik.
Indeks Massa tubuh didefenisikan sebagai Berat badan subyek dalam kilogram yang diukur dengan
timbangan camry dibagi dengan tinggi badan dalam meter yang dikudratkan, berat badan. Dengan kriteria
perubahan yang bermakna adalah 0.1 kg/m2. IMT pada kelompok yang diberi propolis justru naikrata-rata
+0.48 (p=0.021<0.05) sementara IMT pada kelompok edukasi turun rata-rata -0.19 meskipun perubahan ini
tidak dianggap bermakna secara statistik (p=0.083>0.05).

Tabel 2 Analisis Bivariat Kelompok Perlakuan dan Kontrol


Variabel
Pola
Makan
Aktivitas
Fisik
IMT
TTGO

Perlakuan
Mean (SD)
Perubahan
Awal
Akhir
Mean
4.50
(1.29)
0.81
(0.69)
23.58
(4.24)
148.19
(14.056)
103.31

2.31
(1.14)
0.53
(0.56)
24.06
(3.76)
125.03
(19.305)
89.03

Gula
darah
(14.972)
Puasa
(12.79)
Data Primer
Keterangan SD = Standar Deviasi
- = Nilai mean turun
+ = Nilai Mean Naik

- 2.19

0.000

-0.28

0.20

+0.48

0.021

-23.16

0.000

-14.28

0.000

Kontrol
Mean (SD)
Awal
Akhir
4.96
(1.09)
1.56
(0.66)
26.53
(3.35)
143.28
(17.81)
102.84

2.31
(1.04)
0.78
(0.49)
26.34
(3.48)
129.03
(27.09)
88.75

(19.672)

(14.54)

Peruba
han
Mean

0.020

-2.65

0.000

-0.78

0.083

-0.19

0.000

-13.98

0.001

-14.9

Efek Samping
Berdasarkan tabel 3 keluhan yang paling banyak dirasakan setelah konsumsi propolis adalah rasa
letih dan mengantuk , total keluhan dari 32 orang yang diberikan adalah 56.25%, selebihnya tidak ada yang
melaporkan keluhan selama mengkonsumsi propolis.
Tabel 3 Keluhan Subyek Berdasarkan Self Monitoring
Jenis Keluhan
Rasa letih
Diare
Ngantuk
Nyeri tangan dan kaki
Nyeri ulu hati
Gatal-gatal
Total
Data Primer

Jumlah keluhan
Orang (%)
5 (28%)
3 (16%)
5 (28%)
2 (11%)
1 (6%)
2 (11%)
18 (56.25%)

Waktu Keluhan
Hari 1 dan ke 2
Hari 1 dan ke 16
Hari 1 dan ke 2
Hari 1 dan ke 2
Setiap kali minum propolis
Hari 17 dan 19

PEMBAHASAN
Gula Darah Puasa
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

97

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Patofisiologi GTG dengan GDPT berbeda sekalipun sama-sama mengalami resistensi insulin, pada
GTG resistensi insulin dominan terjadi pada otot sementara pada GDPT resistensi insulin hepatik yang lebih
dominan. Salah satu kandungan propolis adalah pterostilbene yang menurut peneliti kimia dari Oxford,
Rimando A.M (2002) pterostilbene bisa menurunkan glukosa plasma dan glukosa darah hingga 42%, Lidah
buaya yang juga memiliki kandungan pterostilbene memiliki efek menurunkan glukosa darah pada penderita
diabetes. Salah satu senyawa jenis flavonoid, yaitu quercetin juga merupakan kandungan propolis
(Marcucci, 1994). Quercetin merupakan inhibitor enzim -amilase yang berfungsi dalam pemecahan
karbohidrat. Diantara jenis flavonol, subkelas dari flavonoid, quercetin memiliki potensi inhibisi enzim
paling kuat. Dengan adanya inhibisi pada enzim ini, proses pemecahan dan absorbsi karbohidrat akan
terganggu, sehingga kadar glukosa darah pada hiperglikemia dapat diturunkan.(Piparo dkk, 2008). Propolis
mengandung flavonoid seperti quercetin, kaemferol, epigenin dan luteolin dalam jumlah yang paling banyak
dibandingkan produk lebah lainnya (Siregar, 2011).
Quercetin juga menurut Vessal, Hemmati, vasei (2003) menurunkan aktivitas glukokinase hepatik,
flavonoid dengan anti oksidannya mampu meregenerasi islet pankreas yang berpeluang meningkatkan
pelepasan insulin pada tikus percobaan. Hasil penelitian El-Sayed dkk (2009) yang menggunakan ekstrak
propolis sebagai perawatan oral diabetik dengan dosis 200 mg/kg selama periode lima minggu menunjukkan
perubahan yang signifikan pada glukosa serum, lipid, lipoprotein, nitrit okside, glutathionin. Disimpulkan
bahwa ekstrak propolis menawarkan efek hipolipidemik dan antidiabetik yang menjanjikan dan berpeluang
juga menjadi anti oksidan. Abo-Salem dkk (2009) telah meneliti efek pencegahan yang dimiliki oleh
propolis terhadap nefropati. Pemberian ekstrak propolis dengan dosis 100, 200 dan 300 mg/kg memberikan
efek pada perubahan pada berat ginjal dan tubuh tikus diabetes, serum glukose, lipid dan uji fungsi renal.
Setelah pemberian 40 hari dosis tertinggi, yaitu 300 mg/kg mampu menormalkan kadar glukosa darah.
Disimpulkan bahwa propolis bisa memberikan efek antioksidan kuat yang bisa memperbaiki tekanan
oksidatif dan menunda kejadian nefropati pada DM.
Yajing li dkk (2011) menemukan bahwa pemberian kapsul propolis secara oral bisa menghambat
peningkatan glukosa darah puasa dan kolesterol total pada tikus penderita diabetes tipe 2. Dosis yang
diberikan adalah 50 mg/Kg, 100 mg/Kg dan 200 mg/kg untuk 6 hari. Setelah 6 minggu pada dosis sedangrendah pemberian propolis memberikan efek yang signifikan dan efek maksimal diperoleh setelah 8 minggu
pada dosis rendah-sedang dan tinggi, pada dosis rendah mean gula darah puasa pada minggu ke-8 turun
secara signifikan 7.13 mm/dL(p<0.01). Disimpulkan bahwa penelitian ini mengindikasikan pemberian
propolis bisa mengendalikan glukosa darah, metabolismee lipid dan meningkatkan sensitivitas insulin DM
tipe 2.
Edukasi melaui IMT dan aktivitas fisik juga menurunkan kadar glukosa darah, hal ini bisa
dijelaskan dengan hipotesis bahwa yang menyertai obesitas dan berat badan berlebih, postulat bahwa
akumulasi asam lemak atau derivasi asam lemak pada otot dan liver menyebabkan resistensi insulin
(McGarry, 2002). Pada level sel, dikemukakan bahwa akumulasi diasigliserol bisa mengaktifkan
proteinkinase-C (PKC) (Shulman, 2004). Aktivasi PKC mengakibatkan fosforilasi dan aktivasi serin kinase
yang lain yang mengantarkan pada fosforilasi site serin pada IRS-1 insulin receptor substrate IRS 1 dan 2
pada site treonin/serin yang akhirnya menumpulkan sinyal insulin. Abnormalitas pada metabolisme lemak
dan resistensi insulin mengakibatkan kondisi yang buruk. Hiperinsulinemia yang berasal dari peningkatan
kalori atau intake karbohidrat bisa menyebabkan resistensi insulin pada adiposit yang mengantarkan
peningkatan asam lemak yang akhirnya menyebabkan resistensi insulin pada otot. Pada saat yang bersamaan
resistensi insulin akan lebih memperparah abnormalitas pada metabolisme lemak hepatik (Zammit:2002
dalam Don Cheng:2005). Konsekuensi yang tidak menguntungkan pada metabolisme, akumulasi lemak juga
berefek pada produksi insulin sel beta. Peningkatan fatty acyl coA menyebabkan abnormalitas sel beta pada
pasien obes non diabetes (Kahn:2000 dalam Don Cheng:2005).
Propolis memiliki hubungan kausal dengan gula darah puasa, ini terlihat dari beberapa kriteria yang
bisa dipenuhi berdasarkan pengembangan postulat Koch oleh Sir Bradford Hill, yaitu: temporal relationship
bahwa pemberian propolis mendahului turunnya glukosa darah puasa, berdasarkan kuatnya asoasiasik
perbandingan nilai mean gula darah puasa sebelum dan setelah intervensi -14.28 (p=0.000) pada propolis
dan -14.9 pada edukasi (p=0.001), konsistensi dan analogi memang belum bisa dijelaskan dengan
perbandingan pada manusia namun penelitian pada hewan percobaan sudah sangat banyak dan menunjukkan
hasil yang positif, koherensi dan biological plausibility juga telah dijelaskan sebelumnya.meskipun
disayangkan bahwa pada penelitian ini dosis responnya belum bisa didapatkan pada manusia karena
pemeriksaan TTGO membutuhkan waktu yang lama dan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan
permasalahan etis namun penelitian pada hewan coba telah menjelaskan dosis respon propolis.
Toleransi Glukosa
Gangguan toleransi glukosa dominan karena resistensi insulin di otot (Nathan dkk, 2007), Pada
kondisi normal, sekresi insulin akan terjadi pada dua fase, yaitu 3-10 menit setelah makan dan fase dua 20
menit setelah stimulasi glukosa, pada GTG terjadi penurunan sekresi insulin pada pada fase pertama (0-10)
menit dan juga defisit yang parah pada sekresi insulin fase dua. Gangguan skeresi insulin ini bisa karena
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

98

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

gangguan fungsi sel beta atau terjadi gangguan respon metabolik terhadap kerja insulin yang bisa
diakibatkan karena gangguan reseptor baik karena reseptornya kurang peka atau karena jumlah reseptor
yang kurang. Propolis mengandung kromium yang memiliki fungsi membuat hormon insulin lebih efisien
dengan jalan membantu ambilan glukosa dari aliran darah ke dalam sel. Kromium menambah jumlah
reseptor insulin pada membran sel sambil memudahkan pengikatan insulin pada sel. Kromium juga
mengaktifkan reseptor-insulin kinase yang akhirnya akan meningkatkan kepekaan insulin. Hanya saja jika
kromium dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral maka bisa berefek hipoglisemia (Anderson dalam
Arisman, 2010). Mekanisme kerja propolis ini mirip dengan ADO golongan biguanid, khususnya metformin
yang menurunkan produksi glukosa hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap
insulin.
Propolis juga mengandung quercetin yang merupakan flavonol yang sebenarnya juga terdapat pada
bawang, kulit buah-buahan dan sayur-sayuran hanya karena diet yang tidak sehat sehingga asupannya
menjadi tidak adekuat, sehingga propolis sebetulnya juga bisa menjadi suplemen sekaligus obat bagi
penderita prediabetes. Menurut Ahn dkk (2008) quercetin juga bisa mempengaruhi adipogenesis dan
apoptosis pada sel 3T3-L1, quercetin melakukan aktivitas antiadipogenesis dengan pengaktivan jalur signal
adenosine monophosphate-activated protein kinase (AMPK) pada 3T3-L1 preadipocytes. Apopotosis adalah
salah satu penyebab penurunan fungsi sel beta. Sehingga propolis bisa meningkatkan fungsi sel beta dengan
kandungan quercetin di dalamnya.Mekanisme ini diasumsikan oleh peneliti adalah efek propolis jika melalui
pola makan
Vitamin C yang terkandung pada propolis mampu mengikis kandungan sorbitol (gula yang
menumpuk serta merusak mata, saraf dan ginjal penderita diabetes) dan memperbaiki toleransi glukosa pada
DM tipe 2. Vitamin D dibutuhkan untuk mempertahankan kadar insulin dalam aliran darah sementara
vitamin E mampu menurunkan glikosilasi, yaitu ukuran banyaknya gula yang terikat tidak normal pada
protein, suplemen vitamin E mengurangi keterikatan ini.
Pada kelompok edukasi perubahan toleransi glukosa bisa melalui perubahan aktivitas fisik.
Sensitivitas dan responsivitas insulin mengalami peningkatan minimal dua hari setelah olahraga. Olahraga
berefek pada peningkatan uptake glukosa pada jaringan skeletal yang memediasi jalan insulin-independent
CaMK (Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase), MAPK (mitogen-activated protein kinase) and AMPK
(AMP-activated protein kinase) pada peningkatan translokasi GLUT-4 pada permukaan sel yang lain
(Zierath:2002, Long: 2004, Hollozy:2005). Tuomilehto (2001) dalam Arisman (2010). Olahraga dapat
mengatur gula darah dalam tiga mekanisme, yaitu perangsangan transport glukosa otot, penguatan kerja
insulin, dan peninkatan pengaturan jangka panjang jalur pengisyaratan insulin karena latihan fisik yang
teratur. Etnis Asia Selatan yang diikutkan dalam program aktivitas fisik selama 24 bulan mengurangi glukosa
2 jam -1.6 mmol/l (-0.4 to -2.7) (Yates, 2011).
Propolis memiliki hubungan kausal dengan toleransi glukosa, ini terlihat dari beberapa kriteria yang
bisa dipenuhi berdasarkan pengembangan postulat Koch oleh Sir Bradford Hill, yaitu: temporal relationship
bahwa pemberian propolis mendahului turunnya tes toleransi glukosa, berdasarkan kuatnya asoasiasi, pada
uj bivariat variabel eksogen dan endogen , edukasi memiliki nilai p=0.004 sementara propolis memiliki nilai
p=0.001 perbandingan nilai mean TTGO sebelum dan setelah intervensi -23.16 (p=0.000) pada propolis dan
-13.98 pada edukasi (p=0.000. Konsistensi dan analogi memang belum bisa dijelaskan dengan perbandingan
pada manusia namun penelitian pada hewan percobaan sudah sangat banyak dan menunjukkan hasil yang
positif, koherensi dan biological plausibility juga telah dijelaskan sebelumnya.meskipun disayangkan bahwa
pada penelitian ini dosis responnya belum bisa didapatkan pada manusia karena pemberian dosis sedang,
yaitu 100 mg/kg (10 tetes/hari) dan dosis tinggi, yaitu 200 (20 tetes/hari) dan 300 mg/Kg(30 tetes/hari)
hanya sesuai untuk pasien diabetes yang glukosa darahnya sangat tinggi. pemeriksaan pemeriksaan standar
di laboratorium berulang kali membutuhkan waktu yang lama dan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan
permasalahan etis namun penelitian pada hewan coba telah menjelaskan dosis respon propolis.
Efek Samping
Berdasarkan tabel 3, lebih dari 50% subyek mengalami efek samping berupa rasa lelah, nyeri pada
tangan dan kaki, gatal-gatal, ngantuk dan diare. Efek samping yang paling banyak dirasakan adalah rasa
lelah dan ngantuk yang terjadi pada pekan pertama konsumsi propolis. Efek samping berupa nyeri pada
sendi, rasa lelah dan mengantuk hanya terjadi pada hari pekan pertama, sementara diare terjadi pada pekan-1
dan ke-3, gatal-gatal rata-rata terjadi menjelang propolis habis.
Meskipun telah dilakukan tes alergi, namun dua subyek mengalami gatal-gatal pada pekan ke-3
setelah konsumsi propolis. Efek samping yang pernah dilaporkan berdasarkan penelitian Hausen dkk (1987)
dalam Marcucci (1994) begitu juga Walgrave, dkk. (2005) adalah dermatitis Dermatitis yang terjadi adalah
dermatitis kontak dan mereka mengidentifikasi bahwa 1.1 dimethylallyl caffeic acid adalah zat yang
berkaitan dengan kejadian ini.
Mekanisme yang melibatkan efek samping pada propolis sangat jarang ditemukan referensinya,
namun berdasarkan hasil observasi peneliti dua orang subyek yang mengalami diare memiliki pola makan
yang kurang baik, yaitu makan tidak teratur dan juga memiliki kolesterol yang tinggi. Subyek yang merasa
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

99

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

lelah dan ngantuk setelah minum propolis adalah subyek dengan waktu istirahat yang tidak memadai dan
mengalami tekanan pada aktivitas yang dilakukannya sementara subyek yang mengalami nyeri pada sendi
atau kram pada tangan dan kaki memiliki kolesterol yang tinggi.
Meski mengalami efek samping, subyek tidak menghentikan konsumsi propolis karena pada
sebelum intervensi, saat menjelaskan fact sheet sudah diberitahukan peluang adanya efek samping sehingga
secara mental subyek sudah siap dengan berbagai kemungkinan,beberapa subyek yang gatal-gatal
menurunkan dosis dari enam tetes per hari menjadi dua tetes per hari. Terdapat satu orang subyek yang
menghentikan dan drop out karena gatal-gatal namun lebih dominan karena sibuk dengan acara keluarga
(pernikahan). Subyek dengan nyeri ulu hati sekalipun merasa nyeri ulu hati setiap kali mengkonsumsi
propolis namun efek positif yang didapatkan, yaitu tidak merasa lelah saat beraktivitas membuatnya tetap
termotivasi melanjutkan intervensi.
Efek positif propolis bisa dirasakan langsung subyek dalam manifestasi stamina yang tinggi
sehingga tidak merasa lelah dalam beraktivitas, namun 80% subyek tidak merasakan hal tersebut manfaat
propolis mereka ketahui dari hasil pemeriksaan laboratorium setelah intervensi Hal ini mirip dengan
kelompok yang diberikan edukasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Propolis ekstrak 20% dengan kadar quercetin 25.29 mg/L dosis 50 mg/kg yang diberikan selama
20 hari dan waktu pemberian setelah makan mampu menurunkan kadar glukosa darah puasa dan toleransi
glukosa secara signifikan pada penderita prediabetes serta memiliki potensi efek pencegahan terhadap
diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Perlu dilakukan penelitian dengan durasi waktu yang
lebih lama agar bisa melihat pengaruh yang lebih baik. Zat-zat yang terkandung di dalam Propolis
menjadikan manfaatnya bisa digunakan sebagai suplemen dan terapi farmakologi bagi penderita
prediabetes Pemahaman terhadap masyarakat yang mengkonsumsi propolis agar tetap merubah pola makan
dan aktivitas fisik Ketertarikan masyarakat yang tinggi pada propolis berpotensi menjadikan propolis
sebagai obat alternatif di institusi-institusi kesehatan masyarakat agar penggunaannya bisa di bawah arahan
petugas medis namun yang terpenting adalah Edukasi yang tepat mengenai prediabetes perlu diberikan oleh
ahli kesehatan masyarakat, dokter dan semua petugas kesehatan agar bisa menurunkan insiden diabetes
mellitus dan penyakit kardiovaskuler dengan mengutamakan tidakan pencegahan. Propolis yang beredar di
masyarakat dominan adalah propolis impor, pemerintah perlu mendukung peternak lebah yang menghasilkan
propolis, misalnya lebah trigona di kabupaten Luwu, agar menjadi industri propolis yang menghasilkan
propolis murah dan juga menjadi aset pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Abo-Salem, O.M., El-Edel R.H., Harisa G.E.,El-Halawany N., Ghonaim M.M. (2009). Experimental
Diabetic Nephropathy Can Be Prevented By
propolis: Effect On
Metabolic
Disturbances And Renal Oxidative Parameters.
Ak.J.Pharm.Sci :22(2):205-210
American College of Preventive Medicine, (2009). Lifestyle medicine- evidence review
Arisman, M.B. (2010). Obesitas, Diabetes Mellitus dan Dislipidemia: Konsep, Teori dan penanganan
Aplikatif. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran Badan Penelitian dan
Pengembangan DEPKES
RI. Riset Kesehatan Dasar. 2008:7-8
Dong, Cheng. (2005) . Prevalence, Predisposition and Prevention of Type 2 Diabetes.
Biomed
Central;2(29):1-12
El-Sayed M., Abo-Salem, O.M., Aly H.A. Mansour,A.M. (2009).
Potential
Antidiabetic
and
Hypolipidemic Effects of propolis Extract In Streptozotocin-In-Induced
DiabeticRats.
Pak.J.Pharm.Sci. :22(2):168-174
Garber A.J,( 2011) Hypertension and Lipid Management in prediabetic States. The Journal of
Clinical
Hypertension:270-274
Darmawan I. 2009. Patofisiologi Resistensi Insulin. Resistensi Insulin. Jakarta. PT. Otsuka
Indonesia
Hammad, S. (2009). 99 Resep SEhat dengan Madu. Solo: PT Aqwam Media Profetika
Holloszy J.O.(2005). Exercise-induced increase in muscle insulin sensitivity. Journal of Applied
Physiology. 99(1):338-43
Linder, M.C. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia. Long YC,
Widegren U, Zierath JR. 2004 Exercise-induced mitogen-activated protein
kinase signalling
in skeletal muscle The Proceeding of Nutrition Society.
May;63(2):227-32
Yajing, Li, Chen, Minli., Xuan, Hongzhuan dan Hu, Fuliang. (2008). Effects of Encapsulated
Propolis
on Blood Glycemic Control, Lipid Metabolism, and Insulin Resistance in
Type 2 Diabetes
Mellitus Rats.
Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine: 8
Marcucci, MC.(1995) Propolis: Chemicel Composition, Biological Properties and
Therapeutic
Activity. Apidolgie;26: 83-99
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

100

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Nathan D.M, (2007) Davidson M.B, De Fronzo R.A et al, Impaired Fasting Glucose and Impaired
Glucose Tolerance. Diabetes care, volume 30 number 3. :733-759
Rimando, A.M. Compound Identified in Grapes May Fight cancer
and
Diabetes.
Amrican
Chemical Society. 2002 (www.sciencedaily.com, diakses Februari, 2012)
Siregar, H.C.H, Fuah, A.M, Octaviany. ( 2011) .Y. Propolis, Madu Multi
Khasiat. Penebar Swadaya:
Jakarta.
Yates T., Khunti K., Bull F., Gorely T., Davies M.J, (2007). The role of physical activity in
the
management of impaired glucose tolerance: a systematic review. Diabetologia 50:11161126

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERESEPAN OBAT UNTUK PENYAKIT ISPA NON
PNEUMONIA DAN DIARE NON SPESIFIK DI PUSKESMAS KOTA MAKASSAR
TAHUN 2012
Fahmiani1, A. Arsunan Arsin2, Nurhaedar Jafar 3
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


,2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT

This study aims to find out the description of medicine and use the medicine factors related to medicine
prescribing for Non pneumonia URI and non specific diarrhea in Public Health centres in Makassar city .
The research used a cross sectional study design. the samples were of 116 health workers obtained with by
exhaustive sampling. The analysis was conducted by using bivariate statistical test with chi-square and
multivariate analysis with logistic regression.The Results reveal that medicine prescribing for non
pneumonia URI related to health workers (p = 0.000), length of service (p = 0.000), diagnosis result (p =
0.000) and attitude towards treatment guideline (p = 0.000). Medicine prescribing for non specific diarrhea
is related to Health workers (p = 0.000), length service (p = 0.000), diagnosis result (p = 0.000) and
attitude toward treatment guideline (p = 0.000). The Results of multivariate test with regression logistic
reveal that attitude toward treatment guideline is the most influential factor in the medicine prescribing for
non pneumonia URI (wald = 21.470, p = 0.000) while the length of service of health workers is the most
influential factor in the medicine prescribing for non-specific diarrhea (wald = 14.101, p=0.000). This
research is hoped that prescribing patter rationally become one effort in treat of patients and basic
treatment guidelines in public health centres become reference therapy for health works..
Keywords : Treatment guidelines, prescribing
PENDAHULUAN
Penggunaan obat rasional yang didefinisikan oleh WHO (1985) adalah menggunakan obat secara
aman dan efektif, dimana obat harus tersedia dengan harga yang wajar dan dengan penyimpanan yang baik.
Obat haruslah sesuai dengan penyakit oleh karena itu diagnosis yang ditegakkan harus tepat, patofisiologi
penyakit, keterkaitan farmakologi obat dengan patifisiologi penyakit, dosis yang diberikan dan waktu
pemberian yang tepat, serta evaluasi terhadap efektifitas dan toksisitas obat tersebut, ada tidaknya kontra
indikasi serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang disesuaikan dengan kemampuan pasien
tersebut. Sejak tahun 1985, WHO berupaya meningkatkan penggunaan obat rasional salah satunya adalah
pengembangan indikator penggunaan obat melalui indikator peresepan bahwa rerata jumlah obat dalam tiap
resep untuk diagnosa penyakit tunggal adalah 1,6 1,8 item obat (WHO,1993).
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

101

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan masalah.
Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien rata rata mendapatkan 3,5 obat, lebih dari 50% menerima 4
atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotik yang berlebihan ( 43% ), waktu
konsultasi yang singkat dengan rata rata berkisar hanya 3 menit saja serta miskinnya compliance pasien
merupakan pola umum yang terjadi pada penggunaan obat tidak rasional di Indonesia (Depkes, 2005).
Dari hasil laporan monitoring indikator peresepan di Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 untuk jumlah item obat per resep rata rata 4 item obat dan prosentase
peresepan antibiotik pada ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik sebesar 82,73% dan 85.51%.
(Dinkes Prov.Sul Sel, 2011).
Menurut Standar Pengobatan Dasar di Puskesmas untuk penyakit ISPA Non Pneumonia hanya
diperlukan pengobatan simtomatis untuk menghilangkan gejala yang mengganggu, Parasetamol 500 mg 3 x
sehari untuk menghilangkan nyeri dan demam, untuk anak dengan dosis parasetamol adalah
10mg/kgBB/kali 3 4 kali sehari serta penggunaan antibiotik hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder.
Demikian pula dengan dasar pengobatan untuk penyakit Diare Non Spesifik adalah dengan rehidrasi dan
memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Dengan Demikian penatalaksanaan ISPA Non Pneumonia
dan Diare Non Spesifik tidak dianjurkan adanya penggunaan antibiotik tetapi lebih dianjurkan pasien
istirahat dan banyak minum (Depkes, 2007)
Dari kedua hal di atas terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang tidak rasional masih cukup
menonjol di pusat pelayanan kesehatan primer, Disamping berakibat pada pemborosan biaya,
ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko terjadinya efek samping, dampak lainnya
berupa ketergantungan pasien terhadap pemberian antibiotik (akibat persepsi yang keliru), yang selanjutnya
secara luas akan meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotik yang tidak
tepat pada populasi (Depkes, 2006).
Bertolak dari uraian tersebut diatas maka sangat penting untuk mengetahui faktor yang
berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik .
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah
observasional dengan menggunakan desain Cross Sectional study.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan yang melaksanakan peresepan obat di poli
rawat jalan Puskesmas. Sampel dalam penelitian ini adalah 116 tenaga kesehatan dengan metode penarikan
sampel Exhaustive sampling.
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dalam program SPSS. Dilakukan
analisis univariat untuk mengetahui karakteristik responden. Analisis Bivariat untuk melihat besar risiko
variabel independen terhadap variabel dependen dan menggunakan uji Chi Square. Analisis multivariat
untuk mengetahui variabel independen yang paling berpengaruh pada peresepan obat dengan menggunakan
uji regresi logistik berganda.
HASIL PENELITIAN
Karateristik Responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa karateristik responden di Puskesmas Kota Makassar yang menjadi
sampel pada penelitian, berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih banyak pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 78,4% dari pada laki laki sebanyak 21,6%. Status Kepegawaian lebih
banyak pada Pegawai negeri sipil (PNS) yaitu 97,4% dan paling sedikit Pegawai Tidak Tetap (PTT) yaitu
2,6%. Tenaga kesehatan sebagai responden lebih banyak jenis Dokter yaitu 69,0% dan paling sedikit dari
perawat yaitu 31,0%. Tenaga kesehatan dengan masa kerja yang lama paling banyak yaitu 55,2% dan paling
sedikit tenaga kesehatan dengan masa kerja singkat yaitu 44,8%.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Sampel di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012
Variabel
Jenis Kelamin
Laki Laki
Perempuan
Status kepegawaian
PNS
PTT

25
91

21,6
78,4

113
3

97,4
2,6

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

102

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

Tenaga Kesehatan
Dokter
Perawat
Masa kerja
Lama
Singkat
Jumlah
Data Primer

INDONESI A

80
36

69,0
31,0

64
52
116

55,2
44,8
100.0

Tabel 2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa peresepan obat rasional untuk penyakit ISPA Non
Pneumonia yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih rendah yaitu 35,3% kemudian peresepan obat
rasional untuk penyakit Diare Non Spesifik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih rendah yaitu
44,8%. Distribusi sampel berdasarkan hasil diagnosa untuk penyakit ISPA Non Pneumonia paling banyak
pada diagnosa jelas yaitu 80,2% kemudian untuk hasil diagnosa penyakit Diare Non Spesifik paling banyak
untuk diagnosa jelas yaitu 82,8%. Berdasarkan sikap responden terhadap pedoman pengobatan, sikap
responden yang positif masih rendah yaitu 33,6%, kemudian sikap responden terhadap penggunaan obat
rasional dengan sikap positif lebih tinggi yaitu 80,2% dan sikap yang negatif lebih rendah yaitu 19,8%. Hasil
penelitian juga ini menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan ketersediaan obat cukup tersedia
paling banyak yaitu 80,2%.

Tabel 2 Distribusi Responden berdasarkan Peresepan Obat, Hasil Diagnosa, Sikap terhadap
Pedoman pengobatan dan Sikap terhadap Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas
Kota Makassar Tahun 2012
Variabel
Peresepan ISPA Non Pneumonia
Rasional
Tidak Rasional
Peresepan Diare Non Spesifik
Rasional
Tidak Rasional
Hasil Diagnosa ISPA Non Pneumonia
Jelas
Tidak Jelas
Hasil Diagnosa Diare Non Spesifik
Jelas
Tidak Jelas
Sikap terhadap Pedoman Pengobatan
Positif
Negatif
Sikap terhadap POR
Positif
Negatif
Ketersediaan Obat
Cukup tersedia
Kurang tersedia
Jumlah
Data Primer

41
75

35,3
64,7

52
64

44,8
55,2

93
23

80,2
19,8

96
20

82.8
17,2

39
77

33,6
66,4

93
23

80,2
19,8

93
23
116

80,2
19,8
100,0

Analisis Bivariat
Tabel 3

Hubungan variabel dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia di
Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012
Variabel

Peresepan obat
Rasional
Tidak rasional

Jumlah

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

103

JURNAL

Tenaga kesehatan
Dokter
Perawat
Masa Kerja
Lama
Singkat
Hasil Diagnosa
Jelas
Tidak Jelas
Sikap Terhadap Pedoman
Pengobatan
Positif
Negatif
Sikap terhadap POR
Positif
Negatif
Ketersediaan Obat
Cukup tersedia
Kurang tersedia
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

40
1

50.0
2,8

40
35

50,0
97,2

80
36

100,0
100,0

0.000

10
31

15,6
59,6

54
21

84,4
40,4

64
52

100,0
100,0

0.000

40
1

43,0
4,3

53
22

57,0
95,7

93
23

100,0
100,0

33
8

84,6
10,4

6
69

15,4
89,6

39
77

100,0
100,0

35
6

37,6
26,1

58
17

62,4
73,9

93
23

100,0
100,0

30
11

32,3
47,8

63
12

67,7
52,2

93
23

100,0
100,0

0.000

0.000
0,340
0,223

Tabel 3 Berdasarkan hasil analisis hubungan tenaga kesehatan (p=0,000), masa kerja (p=0,000),
hasil diagnosa (p=0,000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0,000) dengan peresepan obat untuk
penyakit ISPA Non Pneumonia dalam uji statistic Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna (p<0,05). Hubungan sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,340), ketersediaan obat
(p=0,223) dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna dalam uji Chi-Suare (p>0,05).
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan tenaga kesehatan (p=0,000), masa kerja
(p=0,000), hasil diagnosa (p=0,000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0,000) dengan peresepan
obat untuk penyakit Diare Non Spesifik dalam uji statistic Chi-Square menunjukkan hubungan yang
bermakna (p<0,05). Hubungan sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,1000) dan ketersediaan obat
(p=0,246) dengan peresepan untuk penyakit Diare Non Spesifik tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna dalam uji Chi-Square (p>0,05).
Tabel 4

Hubungan variabel dengan peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik
Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012

Variabel
Tenaga kesehatan
Dokter
Perawat
Masa Kerja
Lama
Singkat
Hasil Diagnosa
Jelas
Tidak Jelas
Sikap Terhadap Pedoman
Pengobatan
Positif
Negatif
Sikap terhadap POR
Positif
Negatif
Ketersediaan Obat
Cukup tersedia
Kurang tersedia
Data Primer

di

Peresepan obat
Tidak rasional
Rasional
n
%
n
%

47
5

58.8
13,9

33
31

41,3
86,1

80
36

100,0
100,0

0.000

9
43

14,1
82,7

55
9

85,9
17,3

64
52

100,0
100,0

0.000

47
5

49,0
25,0

49
15

51,0
75,0

96
20

100,0
100,0

39
13

100
16,9

0
64

0
83,1

39
77

100,0
100,0

42
10

45,2
43,5

51
13

54,8
56,5

93
23

100,0
100,0

39
13

41,9

54

58,1
10

93
43,5

100,0
23

Jumlah

0.000

0.000
0.1000
0,246
56,5

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

100,0

104

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Analisis Multivariat
Tabel 5

Model Regresi Berganda Logistik Faktor Yang Berhubungan Dengan Peresepan Obat
Untuk Penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik Di Puskesmas Kota
Makassar 2012
Variabel

ISPA Non Pneumonia


Step 1a

Step 2a

Diare Non Spesifik

Wald

Sig.

Nakes
MasaKerja
DiagIspa
SikapPP
Constant
Nakes
MasaKerja
Sikap PP
Constant
Nakes

1,708
-1,289
,184
2,830
-2,691
1,674
-1,247
2,838
-2,521
-1,979

4,284
3,795
034
21,294
4,847
4,356
4,051
21,470
10,209
3,797

,038
,051

MasaKerja
DiagDiare
Sikap PP
Constant

3,917
18,658
-22,167
-17,724

14,101
,000
,000
,000

Exp(B)

95% C.I.for EXP(B)

Lower

Upper

,855
,000
,028
,037
,044
,000
,001
,051

5,518
,276
1,202
16,947
,068
5,335
,288
17,077
,080
,138

1,095
,075
,168
5,094

27,808
1,008
1,008
56,383

1,107
,085
5,142

25,704
,968
56,717

,019

1,012

,000
,999
,997
,999

50,229
1,2688
,000
,000

6,503 387,937
,000 .
,000 .

Data Primer
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian pada 37 Puskesmas dalam wilayah Kota Makassar dengan 116
responden tenaga kesehatan di peroleh hasil dari buku kunjungan, rekam medik dan buku pedoman
pengobatan ditemukan bahwa 35,3% responden tidak meresepkan antibiotik untuk penyakit ISPA Non
Pneumonia sehingga peresepan tersebut rasional sedangkan paling banyak yaitu 64,7% responden
meresepkan antibiotik sehingga peresepan tersebut tidak rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia.
Demikian juga dengan 44,8% responden tidak meresepkan antibiotik untuk penyakit Diare Non spesifik
sehingga peresepan tersebut rasional sedangkan paling banyak yaitu 55,2% responden meresepkan
antibiotik sehingga peresepan tersebut tidak rasional untuk Diare Non spesifik. Dari hasil penelitian tersebut,
tidak sesuai dalam Standar Pengobatan Dasar di Puskesmas dan Penatalaksanaan ISPA Non Pneumonia dan
Diare Non Spesifik karena tidak dianjurkan adanya penggunaan antibiotik tetapi lebih dianjurkan pasien
istirahat dan banyak minum (Depkes, 2007).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peresepan obat rasional hanya dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan dokter sebanyak 50,0% dan peresepan obat tidak rasional lebih banyak dilaksanakan oleh perawat
yaitu sebesar 97,2% untuk diagnosa penyakit ISPA Non Pneumonia demikian pula untuk peresepan obat
rasional untuk penyakit Diare Non Spesifik dengan tenaga kesehatan dokter sebesar 58.8% dibandingkan
dengan peresepan obat tidak rasional yang dilakukan oleh perawat cukup tinggi sebesar 86,1%.
Hasil analisis hubungan tenaga kesehatan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non
Pneumonia dan Diare Non Spesifik dengan uji statistik Chi-Square di peroleh nilai p sebesar 0,000(P<0,05),
hal ini menunjukaan bahwa ada hubungan yang bermakna dan antara tenaga kesehatan dengan peresepan
obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian ini, di
dapatkan informasi bahwa pelayanan pengobatan (Kuratif) di Puskesmas umumnya dilakukan oleh tenaga
medik (dokter) dan tenaga paramedik (perawat/bidan) padahal yang mempunyai kompetensi untuk menulis
resep adalah dokter dan perawat/bidan melakukan pelayanan pengobatan dan penulisan resep kepada pasien
dengan asuhan keperawatan. Beberapa alasan bahwa pelayanan pengobatan dapat dilakukan oleh tenaga
perawat/bidan karena kunjungan pasien lebih banyak dari tenaga medik yang melayani kemudian dokter
puskesmas melakukan tugas tugas lain misalnya tugas manajerial, rapat koordinasi dan mengikuti pelatihan
(Maharatu, 2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peresepan obat tidak rasional umumnya dilakukan oleh
tenaga dokter dan hampir semua perawat/bidan sebagai responden melakukan peresepan tidak rasional untuk
penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non spesifik. Dalam pelayanan pengobatan peresepan obat yang
tidak rasional umumnya tidak disadari oleh para dokter. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap dokter selalu
mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan jenis obat yang

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

105

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang
dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional (kemenkes, 2011).
Demikian pula dengan pelayanan pengobatan yang dilakukan oleh perawat/bidan cenderung
menimbulkan risiko terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional. Hal ini mudah difahami karena
perawat/bidan memang tidak memiliki kemampuan atau kompetensi yang diperlukan dalam pelayanan
pengobatan karena perawat/bidan tidak di didik untuk mengobati (not to cure) tetapi untuk merawat (To
care) dan mereka lebih mengandalkan pengalaman pribadi atau meniru suatu pengobatan dari dokter yang
tidak mereka fahami sehingga no drugs needed, over prescribing dan there is pills in every ills terjadi pada
pengobatan yang dilakukan oleh perawat/bidan (Quick J, 1997).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk diagnosa penyakit ISPA Non Pneumonia
peresepan obat yang tidak rasional dengan masa kerja yang lama lebih tinggi sebesar 84,4% dibandingkan
dengan peresepan tidak rasional dengan masa kerja singkat lebih rendah sebesar 40,4%, kemudian untuk
diagnosa penyakit Diare Non Spesifik peresepan obat tidak rasional dengan masa kerja lama lebih tinggi
sebesar 85,9% kemudian peresepan obat rasional dengan masa kerja singkat lebih tinggi sebesar 82,7%.
Hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan
Diare Non Spesifik dengan uji statistic Chi-square diperoleh nilai p sebesar 0.000 (P<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan peresepan obat untuk penyakit
ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil yang sangat
signifikan bahwa masa kerja mempengaruhi peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare
Non spesifik. Dari gambaran diatas ternyata masa kerja yang lama lebih banyak berpengaruh pada peresepan
obat tidak rasional, fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh telah terbiasanya atau pengalaman pribadi
yang dimiliki tenaga kesehatan sudah cukup lama dalam pemberian obat pada pelayanan pengobatan dengan
pola yang sama tanpa ada keluhan atau peristiwa yang merugikan pasien namun dengan bertambahnya
pengalaman klinik dari tenaga kesehatan, maka kemampuan/keterampilan untuk mendiagnosis dan
menetapkan bentuk terapi juga meningkat namun disisi lain pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah
akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses serta kinerja klinik akibat hanya mengandalkan pengalaman,
yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menurun secara bermakna (Signifikan).
Sedangkan tenaga kesehatan yang memiliki masa kerja singkat masih ada sikap hati hati dalam memberikan
obat serta lebih sering sharing dengan tenaga tehnis kefarmasian di Puskesmas sebagai mitra kerja dalam
pelayanan pengobatan terhadap Pasien (Joenes,2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang secara statistik bermakna p sebesar 0.000
(p<0,05) antara hasil Diagnosa dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non
Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di dapatkan informasi tenaga kesehatan yang menulis resep
telah memahami kode diagnosa ISPA Pneumonia namun masih ada yang belum bisa membedakan antara
gejala dengan diagnosa suatu penyakit terutama oleh perawat/bidan misalnya keberagaman hasil diagnosa
yang merupakan salah satu dari gejala suatu penyakit suatu contoh untuk penyakit ISPA (1302) hanya
dituliskan gejala dalam hasil diagnosisnya seperti batuk, pilek, demam/batuk, pusing/batuk sehingga tidak
jelas dan tidak sesuai dengan pedoman pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata diperoleh
informasi bahwa hasil diagnosa untuk penyakit Diare Non spesifik lebih mudah diketahui oleh tenaga
kesehatan dan berdasarkan ciri khas dari kasus Diare dapat disimpulkan lebih mudah dan cepat oleh tenaga
kesehatan yang melaksanakan pengobatan namun belum memahami kode diagnosa Diare Non Spesifik
untuk ditulis dalam register pasien. Sikap terhadap pedoman pengobatan dengan hasil penelitian ini
menunjukkan dari hasil wawancara terhadap 116 responden bahwa peresepan obat rasional dengan sikap
positif terhadap pedoman pengobatan sebesar 84.6% ,kemudian peresepan obat tidak rasional dengan sikap
negatif terhadap pedoman pengobatan lebih tinggi sebesar 89,6% untuk penyakit ISPA Non Pneumonia.
Kemudian Hasil penelitian ini juga secara signifikan menunjukkan bahwa peresepan obat rasional dengan
sikap positif terhadap pedoman pengobatan lebih tinggil sebesar 100% dan peresepan obat tidak rasional
dengan sikap negatif terhadap pedoman pengobatan mencapai 83.1% untuk penyakit Diare Non spesifik.
Kedua hasil tersebut diatas dianalisis bersama sama dengan uji statistik Chi-Square) nilai p sebesar 0.000
(p<0,05) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap terhadap pedoman pengobatan
dengan peresepan obat untuk ISPA Non pneumonia dan Diare Non Spesifik. Dari hasil penelitian ini
didapatkan informasi bahwa lebih banyak tenaga kesehatan memiliki sikap negatif terhadap pedoman
pengobatan sehingga terjadi peresepan yang tidak rasional. Fenomena ini bisa saja terjadi karena adanya
penolakan oleh para dokter terhadap suatu pedoman yang pada penyusunannya mereka tidak dilibatkan
(Notoatmojo, 2007) atau berbagai alasan lain karena persepsi yang keliru terhadap pedoman pengobatan dan
buku pedoman pengobatan belum pernah dilihat dan diketahui oleh tenaga kesehatan di Puskesmas. Sikap
terhadap penggunaan obat rasional dan ketersediaan obat tidak menunjukkan hasil yang signifikan dengan
peresepan obat untuk Penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik.
KESIMPULAN DAN SARAN

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

106

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan bahwa tenaga kesehatan, masa kerja,
hasil diagnosa, sikap terhadap pedoman pengobatan berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit
ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Sikap terhadap penggunaan obat rasional dan ketersediaan
obat tidak berhubungan dengan peresepan untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik.
Sikap terhadap pedoman pengobatan merupakan variabel yang paling berpengaruh pada peresepan obat
ISPA Non Pneumonia dan Masa kerja merupakan variabel yang berpengaruh pada peresepan Diare Non
Spesifik. Studi ini diharapkan bahwa pola peresepan yang rasional menjadi salah satu upaya dalam
pengobatan kepada pasien dan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas menjadi rujukan terapi bagi tenaga
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, RI,( 2005). Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta
Depkes,RI.(2006). Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta.
Depkes. RI.(2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta.
Dinkes Prov. Sulsel, (2011). Laporan Pertemuan Pertemuan Pembekalan Penggunaan Obat Rasional,
Makassar.
Joenoes,Z.N, 2006. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya.
Kemenkes. RI,( 2011). Modul Penggunaan Obat Rasional, Jakarta.
Maharatu,C.(2009).
Dampak
penggunaan
antibiotik
yang
irrasional
(Online)
(http://cut
Maharatu,wordpress.com) diakses pada 15 Januari 2012.
Notoatmojo, (2007). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Prilaku Kesehatan, Penerbit FKM
Universitas Indonesia. Jakarta.
Quick.J.D, et al. (1997). Management Drug Supplay: Management Sciences For Health in Collaboration
With The World Health Organization, 2-nd Edition, Reviced and Expanded, Kumarian Prress
Inc..USA.
WHO,(1993). How to investigate drugs use in health facilities selected drug use indicators, action
programme on essential drugs, WHO geneva. (online) (http://apps.WHO.int/ medicine) di akses 4
Februari 2012
PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) TERHADAP KADAR
CHOLINESTERASE PETANI SAYUR PENGGUNA PESTISIDA DI LINGKUNGAN
BULUBALLEA KABUPATEN GOWA
Habibi, A. Arsunan Arsin 2, Anwar Daud 3
1

Staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin


Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2

ABSTRACT
This study aims to find out the influence of the use personal protective equipment (PPE) on the
level of cholinesterase enzym in vegetable farmers who use pesticides in Buluballea area, Pattapang village,
Tinggimoncong subdistrict, Gowa District. The research used a quasi experimental design with a pre-post
test control group design. The population was divide into two groups: the intervention group that was given
treatment in the form of Personal Protective Equipment (PPE) while doing the spraying, and the control
group. The sampling was conducted by using the purposive sampling technique and qualified inclusion.
Measurenments were performed before and after intervention in each study group. The statistical analysis of
data used the non-parametric test: Wilcoxon Signed Ranks Test. The study revealed that the mean value of
cholinesterase enzym level in the intervention group was 83.25 (SD : 7.19) in the pre-test and 87.53 (SD :
3.98) in the post-test. Meanwhile, the mean value of cholinesterase enzym level in the control group was
83.25 (SD : 7.19) in the pre-test and 74.0 (SD : 6.96) in the post-test. Futhermore, the Wilcoxon Signed
Ranks Test reveals that the p-value of the intervention group was 0.034; and the p-value of the control group
was 0.001. It can be concluded that the use of Personal Protective Equipment (PPE) has a positive effect on
the increase of cholinesterase enzym level. In contrast, if the PPE is not used, there can be a decrease of
cholinesterase enzym level as an indicator of toxicity among vegetable farmers who use pesticides in
Buluballea area, Pattapang village, Tinggimoncong subdistrict, Gowa District.
Keywords: Personal Protective Equipment (PPE), cholinesterase enzym level, Vegetable farmers, Pesticides
PENDAHULUAN
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

107

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Penggunaan pestisida di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang semakin meningkat.
Indonesia sebagai suatu negara agraris maka sektor pertanian menjadi sektor andalan, dimana lebih dari 40
juta penduduk Indonesia mempunyai mata pencaharian sebagai petani (Alkadri, 2007).
Peranan pestisida dalam sistem pertanian sudah menjadi dilema yang sangat menarik untuk dikaji.
Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali seringkali memberikan risiko keracunan
pestisida bagi petani. Risiko keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan
pertanian khususnya sayuran (Runia, Y.A, 2008). Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui
tingkat keracunan pestisida pada manusia adalah menurunnya aktivitas cholinesterase darah dalam tubuh
setelah terpapar dengan pestisida (Brown, 2006).
Salah satu penyebab dari terjadinya keracunan akibat pestisida adalah petani kurang memperhatikan
penggunaan alat pelindung diri (APD) dalam melakukan penyemprotan dengan menggunakan pestisida.
Berdasarkan hasil penelitian Yahya (2009), diperoleh data bahwa responden dengan penggunaan alat
pelindung diri yang buruk memiliki rata-rata aktivitas cholinesterase 63,48%, sementara responden dengan
penggunaan alat pelindung diri yang kurang memiliki rata-rata aktivitas cholinesterase 74,50%. Demikian
halnya pada responden penggunaan alat pelindung diri baik menunjukkan rata-rata aktivitas cholinesterase
yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 91,62%.
Data lain menunjukkan bahwa keracunan pestisida pada petani dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan yaitu dari 1.010 petani yang diperiksa
aktivitas cholinesterase darah menunjukkan 225 petani mengalami keracunan (22,7%) dengan tingkat
keracunan ringan 201 petani (89,33), keracunan sedang 22 petani (9,78%) dan berat 2 petani (0,89%)
(Dinkes Sul-Sel, 2007).
Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang terkenal sebagai penghasil sayur-sayuran dan buahbuahan. Mata pencaharian masyarakat di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang sebagian besar
berprofesi sebagai petani sayur (Profil Kelurahan Pattapang, 2012).
Berdasarkan data tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan
alat pelindung diri (APD) terhadap kadar enzim cholinesterase pada petani sayur pengguna pestisida di
Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa.
METODE PENELITIAN
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen pre-post test control groups design. Penelitian
ini dilaksanakan di Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten
Gowa. Waktu penelitian dilaksanakan sejak tanggal 25 April 2012 sampai dengan 14 Juni 2012. Pengukuran
kadar enzim cholinesterase dilakukan sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok
penelitian.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh petani sayur pengguna pestisida yang ada di Lingkungan Buluballea
Kelurahan Pattapang Kabupaten Gowa yang terdiri dari 183 orang. Metode pengambilan sampel yang
digunakan adalah secara purposive sampling. Subjek penelitian adalah anggota populasi penelitian yang
memenuhi syarat inklusi meliputi bersedia menjadi responden, status kesehatan baik, jenis kelamin laki-laki,
rentang umur 20-40 tahun, status gizi baik dengan masa kerja 1 s/d 30 tahun.
Lokasi Penelitian
Sebelum pelaksanaan pre test, responden dianjurkan untuk tidak kontak dengan pestisida selama 1
minggu sebelum pemeriksaan. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan
komputer program SPSS versi 16.00
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang yang terbagi dalam 20 orang sebagai kelompok
intervensi dan 20 orang sebagai kelompok kontrol. Distribusi responden berdasarkan karakteristik data
demografi dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1.

Distribusi responden berdasarkan karakteristik data demografi responden di


Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong
Kabupaten Gowa, Mei-Juni 2012

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

108

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

25
20
15
10
5
0

Data Primer
Hasil pengukuran kadar enzim cholinesterase pada kedua kelompok intervensi dan kontrol (pre test
dibandingkan terhadap post test) dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2.

Distribusi hasil pengukuran kadar enzim cholinesterase pada kedua kelompok


intervensi dan kontrol di Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang,
Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, Mei-Juni 2012

Kadar Enzim Cholinesterase

Kadar Enzim Cholinesterase


90

92
90
88
86
84
82
80

85
80
75
70
65

Data Primer
Jenis masalah kesehatan yang sering dialami oleh responden setelah melakukan penyemprotan dapat
dilihat pada gambar 3.
Gambar 3.

Distribusi responden berdasarkan jenis masalah kesehatan yang sering


dialami responden setelah penyemprotan di Lingkungan Buluballea,
Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, MeiJuni 2012

30
25
20
15
10
5
0

Data Primer
Hasil analisis uji statistik pengaruh penggunaan APD terhadap kadar enzim cholinesterase pada
petani sayur pengguna pestisida dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.

Pengaruh penggunaan APD terhadap kadar enzim cholinesterase pada petani sayur
pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kecamatan
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

109

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tinggimoncong Kabupaten Gowa, Mei-Juni 2012


Kelompok
Responden
Intervensi
Kontrol
Data Primer

Mean
83,25
83,25

Pre Test
Std. Deviasi
7,19
7,19

Mean
87,53
74,0

Post Test
Std. Deviasi
3,98
6,96

Sig.
(=0.05)
0.034
0,001

PEMBAHASAN
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diri dalam penelitian ini adalah penggunaan alat proteksi diri untuk
menghindari kontak dengan pestisida pada saat melaksanakan aplikasi pestisida, yang meliputi: penutup
kepala, berupa topi atau helm, pelindung mulut dan lubang hidung (masker), pelindung mata (kacamata,
goggles, spray shield), sarung tangan dari bahan yang tidak tembus air, pelindung kaki (sepatu boot) serta
baju lengan panjang dan celana panjang.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 40 responden yang terpilih, ditemukan
hanya 2 (5,0%) responden yang memiliki kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap,
dan selebihnya berjumlah 38 (95,0%) responden memiliki kebiasaan tidak menggunakan alat pelindung diri
(APD) secara lengkap.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian bahwa banyak faktor yang bisa melatarbelakangi
rendahnya penggunaan alat pelindung diri (APD) secara lengkap pada petani sayur pengguna pestisida,
khususnya faktor intrinsik dari para petani sayur seperti motivasi, pengetahuan dan tingkat sosial ekonomi.
Dalam hal ini, motivasi yang dimaksud adalah motivasi para petani sayur pengguna pestisida untuk
menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap. Sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh responden berhubungan dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) termasuk jenis-jenis
APD serta manfaatnya jika digunakan secara baik dan terus-menerus selama para petani kontak dengan
pestisida.
Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab rendahnya penggunaan alat pelindung diri (APD) pada
petani sayur pengguna pestisida adalah tingkat sosial ekonomi responden yang relatif berada dalam kategori
menengah kebawah. Sehingga kebutuhan akan penggunaan alat pelindung diri (APD) tidak menjadi hal
prioritas bagi mereka.
Gambaran Kadar enzim Cholinesterase
Kadar enzim cholinesterase dalam penelitian ini adalah kadar yang menunjukkan tingkat keracunan
petani setelah terpapar pestisida. Kadar enzim cholinesterase pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa
pada saat pre test diperoleh nilai minimum 62,5, nilai maksimum 87,5, nilai median 87,5 serta nilai rata-rata
83,25 (7,19). Sedangkan pada saat post test diperoleh nilai minimum 75,5, nilai maksimum 100, nilai
median 87,5 serta nilai rata-rata 87,53 (3,98).
Hasil ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi yang diberikan alat pelindung diri (APD)
secara lengkap cenderung mengalami peningkatan kadar enzim cholinesterase dan atau minimal
mempertahankan kadar enzim cholinesterase. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang lengkap diyakini
dapat menghambat atau mencegah masuknya pestisida ke dalam tubuh manusia melalui route apapun.
Demikian sebaliknya pada kelompok kontrol, kadar enzim cholinesterase menunjukkan bahwa pada
saat pre test diperoleh nilai minimum 62,5, nilai maksimum 87,5, nilai median 87,5 serta nilai rata-rata 83,25
(7,19). Sedangkan pada saat post test diperoleh nilai minimum 62,5, nilai maksimum 87,5, nilai median
75,5 serta nilai rata-rata 74,0 (6,96). Pada kelompok kontrol, tidak ditemukan adanya responden yang
mengalami peningkatan kadar enzim cholinesterase, sebanyak 5 (25,0%) responden yang memiliki kadar
enzim cholinesterase yang tetap dan sebanyak 15 (75,0%) responden mengalami penurunan kadar enzim
cholinesterase.
Hasil penelitian ini memberikan makna bahwa pada kelompok petani sayur pengguna pestisida yang
melakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap memiliki
kecenderungan mengalami penurunan kadar enzim cholinesterase yang merupakan indikator keracunan
akibat penggunaan pestisida.
Pengaruh penggunaan alat pelindung diri (APD) terhadap kadar enzim cholinesterase
Kadar enzim cholinesterase pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa pada saat pre test
diperoleh nilai rata-rata 83,25 (7,19) dan pada saat post test diperoleh nilai rata-rata 87,53 (3,98).
Sedangkan kadar enzim cholinesterase pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa pada saat pre test
diperoleh nilai rata-rata 83,25 (7,19) dan pada saat post test diperoleh nilai rata-rata 74,0 (6,96). Dengan
menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test didapatkan nilai p=0,034 pada kelompok intervensi yang
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

110

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

berarti bahwa ada pengaruh penggunaan alat pelindung diri (APD) terhadap kadar enzim cholinesterase pada
petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kabupaten Gowa.
Penggunaan alat pelindung diri memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan kadar enzim cholinesterase.
Sedangkan pada kelompok kontrol, berdasarkan uji Wilcoxon Signed Ranks Test didapatkan nilai p=0,001.
Hasil ini memberikan makna bahwa tanpa penggunaan alat pelindung diri (APD) memiliki pengaruh
negatif terhadap kadar enzim cholinesterase, dalam hal ini dapat menurunkan kadar enzim cholinesterase
yang merupakan indikator keracunan pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea
Kelurahan Pattapang Kabupaten Gowa.
Alat pelindung diri (APD) dapat menaikkan kadar enzim cholinesterase, karena APD sebagai alat
untuk memproteksi racun yang masuk kedalam tubuh, dimana racun masuk dalam tubuh melalui tiga cara
yaitu melalui kulit (dermal), melalui hidung (inhalasi), melalui mulut (oral), dengan adanya APD yang
lengkap dapat memproteksi racun atau meminimalisir jumlah racun masuk kedalam tubuh sehingga enzim
cholinesterase dapat bekerja dengan baik tanpa ikatan dari golongan pestisida organofosfat dan karbamat
yang dapat menghambat kerja enzim cholinesterase.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Xiang et al. (2000) dalam Runia Y A
(2008) bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) selama aplikasi terhadap pestisida mempunyai
hubungan yang bermakna terhadap kejadian keracunan (p-value = 0,001; OR = 0,8; 95% CI = 0,6-1,07).
Penelitian penggunaan alat pelindung diri (APD) secara lengkap mempunyai pengaruh secara bermakna
terhadap cholinesterase darah responden.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yahya (2009), bahwa
responden dengan penggunaan alat pelindung diri yang buruk memiliki rata-rata kadar enzim cholinesterase
63,48%, sementara responden dengan penggunaan alat pelindung diri yang kurang memiliki rata-rata kadar
enzim cholinesterase 74,50%. Demikian halnya pada responden penggunaan alat pelindung diri baik
menunjukkan rata-rata kadar enzim cholinesterase yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 91,62%. Dengan
interpretasi akhir menunjukkan ada pengaruh penggunaan alat pelindung diri pada saat mengaplikasikan
pestisida golongan organofosfat dan karbamat terhadap tingkat kadar enzim cholinesterase darah petani
sayur di Desa Kanreapia, dengan nilai p=0,000.
Hasil penelitian lain yang mendukung telah dilakukan oleh Shayegi, et al (2009), menunjukkan
bahwa dari 108 petani di Iran yang telah diperiksa kadar cholinesterasenya ditemukan sebanyak 40 (37,0%)
responden yang tidak mengalami keluhan setelah melakukan penyemprotan karena menggunakan alat
pelindung diri dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakan alat pelindung diri sebanyak 68
(63,0%) responden mengalami keluhan-keluhan kesehatan berupa sakit kepala atau pusing.

Dampak penurunan kadar enzim cholinesterase terhadap kesehatan


Perubahan kadar enzim cholinesterase dalam penelitian ini adalah besarnya nilai perubahan atau
selisih kadar cholinesterase setelah dan sebelum pemberian alat pelindung diri (APD) pada petani sayur
pengguna pestisida. Pengukuran perubahan kadar enzim cholinesterase dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi 2 (dua), yaitu meningkat dan menurun.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa jenis masalah
kesehatan terbanyak yang sering dialami responden setelah penyemprotan adalah pusing yaitu sebanyak 29
responden, kemudian berturut-turut badan lemas sebanyak 27 responden, sakit kepala dan sakit otot masingmasing sebanyak 25 responden, keringat berlebihan, kram dan mual masing-masing sebanyak 18 responden
dan jumlah paling sedikit yang mengalami kehilangan kesadaran yaitu sebanyak 1 responden.
Menurut Sarma (2009) bahwa gejala keracunan akibat menurunnya kadar cholinesterase yang
diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang masuk melalui (peroral), hidung (inhalasi), kulit (perkutan)
akan ditandai dengan gejala klinis yaitu sakit kepala, pusing dan sesak napas.
Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa gejala atau keluhan kesehatan yang dirasakan responden
bergantung pada beberapa hal, salah satunya adalah route atau cara pestisida masuk ke dalam tubuh
responden. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut atau hidung tentu memberikan efek/ gejala
gangguan kesehatan yang berbeda saat pestisida kontak dengan kulit. Selain itu, juga dipengaruhi oleh jenis
racun/ pestisida dan daya tahan tubuh responden yang bervariasi.
Strategi pengendalian keracunan akibat penurunan kadar enzim cholinesterase.
Strategi individu adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas inisiatif sendiri oleh petani
sayur pengguna pestisida pada saat mengalami gangguan kesehatan yang diyakininya sebagai suatu gejala
keracunan akibat keterpaparan pestisida. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden,
diperoleh data bahwa strategi individu terbanyak dalam pengendalian keracunan adalah mandi yaitu
sebanyak 16 (40,0%) responden. Menurut pemahaman responden, diyakininya bahwa mandi dengan
menggunakan air bersih dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala-gejala keracunan yang
mungkin dialami setelah melakukan penyemprotan.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

111

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Strategi kultural adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas pertimbangan kebiasaan/
budaya setempat oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami gangguan kesehatan yang
diyakini sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida. Berdasarkan hasil wawancara peneliti
terhadap responden, diperoleh data bahwa strategi kultural terbanyak dalam pengendalian keracunan adalah
minum air kelapa yaitu sebanyak 34 (85,0%) responden. Menurut pendapat beberapa responden, bahwa
sebagian besar masyarakat setempat di Lingkungan Buluballea memiliki keyakinan yang sama bahwa air
kelapa mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala-gejala keracunan yang mungkin dialami
setelah melakukan penyemprotan atau lebih tepatnya dapat berfungsi sebagai penawar racun/ pestisida.
Secara kultural petani sayur pengguna pestisida dibuluballea banyak menjadikan air kelapa sebagai penawar
racun, menurut para herbalis mengatakan bahwa air kelapa dijadikan sebagai penawar racun karena banyak
mengandung unsur makro berupa nitrogen dan karbon, unsur nitrogennya tersusun dari asam amino (alanin,
sistin, arginin, alin, dan serin). Sementara unsur karbonnya berupa glukosa, sukrosa, fruktosa, sorbitol, dan
beberapa unsur kecil lain. Selain unsur makro berupa mineral yang dapat mengganti ion tubuh. Selain itu air
kelapa mengandung vitamin C, beberapa yang dominan adalah asam folat, asam pantotenat, biotin dan juga
riboflavin. Air kelapa juga mengandung potassium (kalium), gula (1,7 % - 2,6 %) dan protein (0,07 % - 0,55
% ).
Strategi struktur adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas pertimbangan struktur/
organisasi setempat termasuk kelompok tani oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami
gangguan kesehatan yang diyakini sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa sebagian responden tidak
memiliki strategi struktur dalam pengendalian keracunan yaitu sebanyak 37 (92,5%) responden dan sisanya
hanya 3 (7,5%) responden yang memiliki strategi struktur dengan ke puskesmas. Sebagian besar responden
beranggapan bahwa di Lingkungan Buluballea belum memiliki strategi struktur dalam pengendalian
keracunan. Dalam hal pengendalian keracunan, dominan para petani sayur hanya menggunakan sumber daya
individu.
Strategi pelayanan kesehatan adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas pertimbangan
pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami
gangguan kesehatan yang diyakini sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa strategi pelayanan
kesehatan terbanyak dalam pengendalian keracunan adalah ke puskesmas yaitu sebanyak 10 (25,0%)
responden dan sebanyak 13 (32,5%) responden yang tidak memiliki strategi pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih sebagian kecil petani sayur belum memahami strategi
dalam pengendalian keracunan akibat penurunan kadar enzim cholinesterase. Hal dimungkinkan oleh karena
sebagian besar responden belum mampu membedakan gejala atau gangguan kesehatan yang dikaitkan akibat
keracunan dengan yang diakibatkan oleh faktor lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penggunaan alat pelindung diri (APD) memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan kadar enzim
cholinesterase. Sebaliknya jika tidak menggunakan APD secara lengkap, dapat menurunkan kadar enzim
cholinesterase yang merupakan indikator keracunan pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan
Buluballea Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa.
Setelah dilakukan penelitian dan diperoleh suatu kesimpulan, maka peneliti ingin memberikan
beberapa saran yaitu, diharapkan para petani sayur pengguna pestisida khususnya seluruh responden kiranya
dapat menggunakan APD secara lengkap selama melakukan penyemprotan atau kontak dengan pestisida dan
Perlu adanya penyuluhan kesehatan tentang penggunaan alat pelindung diri (APD) dan pengelolaan pestisida
sesuai dengan prosedur yang benar. Selain itu perlu adanya pemeriksaan cholinesterase darah secara berkala
untuk mendeteksi secara dini tingkat keracunan yang dialami petani, sehingga dapat mencegah terjadinya
efek keracunan dalam jangka panjang (keracunan kronik). Perlu adanya kerjasama dinas kesehatan, dinas
pertanian dan tenaga kerja untuk memperhatikan kesehatan kerja sektor informal, khususnya pertanian
karena mayoritas penduduk bekerja pada sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto. (2008). Tesis. Kajian Keracunan Pestisida Pada Petani Penyemprot Cabe Di Desa Candi
Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
Alkadri, Wan. (2007). Pengembangan Kabupaten/ Kota Sehat. Ditjen PP & PL Depkes RI. Jakarta.
Brown, A. E. (2006). Cholinesterase Testing. http://pmep.cce.cornell.edu.
Departemen Kesehatan RI. (1994). Pemeriksaan Cholinesterase Darah Dengan Tintometer Kit. Jakarta.
Fatmawati. (2006). Pengaruh Penggunaan 2,4-D (2,Dichlor phenoxyaceticacid) terhadap Status Kesehatan
Petani Penyemprot di Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan. J.Med. Nus Vol. 27 No.1.
Makassar.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

112

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Gallo M.A. (1991), Lawryk N.J. Organic Phosphorus Pesticides. Handbook of Pesticide Toxicology.
Kachaiyapum P, et. al. (2010). Serum Cholinesterase Level of Thai Chilli Farm Workers Exposed to
Chemical Pesticides :Prevalence Estimates and Associated Factors. Journal of Occupational
Health. Faculty of Public Health. Mahidol University. Thailand
Johnson, M.P. et.al. (2000). Personal Protective Equipment For Pesticide Applicators. University Of
Kentucky. Inggris.
Leilani J. (2007). Journal of Occupational Health Medicine and Toxicology. National Institutes of Health.
University of the Philippines. Manila.
Lu F.C. (1995). Toksikologi Dasar. Edisi 2. UI-Press. Jakarta.
Munaf, S. (1997). Keracunan Akut Pestisida; Teknik Diagnosis Pertolongan Pertama Dan Pencegahannya.
Widya Medika. Cetakan Pertama. Jakarta.
PanAP. (2001). Awas Pestisida Berbahaya Bagi Kesehatan. Pesticide Action Network Asia And Pasifik
Prihadi. (2007). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Efek Kronis Keracunan Pestisida Organofosfat
pada Petani Sayuran di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis Magister Kesehatan
Lingkungan UNDIP, Semarang.
Runia, Y.A. (2008). Tesis. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan Pestisida Organofosfat,
Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak
Kabupaten Magelang.
Rustia, H.N, dkk. (2010). Pengaruh Lama Pajanan Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Cholinesterase
Dalam Darah Petani Sayuran Di Kelurahan Campang Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus,
Lampung.
Sarma, BR dan Bano S. (2009). Human Acetyl Cholinesterase Inhibition by pesticide Exposure. Journal of
Chinese Medicine Vol.4 No.1
Sastroutomo, S.S. (1992). Pestisida; Dasar-Dasar Dan Dampak Penggunaannya. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Shayegi, et. Al. (2009). Cholinesterase Activity Among Spray Workers in Iran. Pakistan Journal of Biology
Sciences. Tehran University of Medical Sciences. Iran
Sumamur, PK. (1996). Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. PT.Toko Gunung Agung. Jakarta.
Wudianto, R. (2007). Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yuliana. (2006). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Diet Pada Pasien DM Pada
Poliklinik BLU RSWS. Universitas Hasanuddin .Makassar
Yahya. (2009). Tesis. Pengaruh Penggunaan Pestisida Golongan Organofosfat Dan Karbamat Terhadap
Aktivitas Cholinesterase Darah Petani Sayur Di Desa Kanreapia Kecamatan Tombolopao
Kabupaten Gowa. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

PENENTU KADAR GLUKOSA DARAH TERKONTROL PADA PENDERITA DIABETES


MELLITUS TIPE 2 DI RS BLUD PROPINSI SULAWESI TENGGARA
Ilham Hilal1, A. Zulkifli Abdullah2, Mappeaty Nyorong3
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT

The aim of the research was to analyze the relationship of the determinants of controlled blood
glucose level of diabetes mellitus patient type 2 in BLUD Hospital Southeast Sulawesi Province in 2012. The
research was an observational study with cross sectional study. the population were all patients having
medical treatment in BLUD Hospital of Southeast Sulawesi, the sample consisted of 253 people, the data
were processed by using SPSS program and analised by using chi sguare and logistic regression test witw
=0.05. The results reveal that obedience on diet has a value of p = 0.000 (p <0.05), physical exercise p =
0.049 (p <0.05), stress level p = 0.004 (p <0.05), obedience to take glycemic medicine p = 0.002 (p <0.05),
and the use of traditional / herbal p = 0.000 (p <0.05). It can be conclude that there is a relationship of the
determinant of controlled blood glucose level of diabetes mellitus patient type 2. The most variable
affecting the determinant of controlled blood glucose level is obedience to take glycemic medicine with the
wald value of 28.1.
Key words: diabetes mellitus, obedience on diet, glycemic medicine, stress level.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

113

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

PENDAHULUAN
Diabetes melitus yang dikenal sebagai non communicable disease adalah salah satu penyakit
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar
pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Berdasarkan Laporan (WHO) tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus di dunia adalah
sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi 5,4%. Di negara
maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada
tahun 2025 akan meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang jumlah
penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta orang. Diperkirakan jumlah
tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun 2025 (Wiyono, 2004).
Jumlah penderita diabetes di daerah perkotaan di Indonesia pada tahun 2003 adalah 8,2 juta orang,
sedangkan di daerah pedesaan 5,5 juta orang. Diperkirakan, 1 dari 8 orang di Jakarta mengidap diabetes.
Tingginya jumlah penderita di daerah perkotaan, antara lain disebabkan karena perubahan gaya hidup
masyarakatnya (Soegondo, 2010).
Berdasarkan data 10 penyakit terbesar rawat inap RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara cukup tinggi
yaitu pada tahun 2006 berjumlah 925 (3,91%) dari total rujukan 23.685 kasus, tahun 2007 berjumlah 589
(2,36%) dari total rujukan 24.908 kasus,sedangkan tahun 2008 terjadi peningkatan 738 (3,20%) dari total
rujukan 22.966 kasus.selain peningkatan rujukan, jumlah pasien rawat jalan pun mengalami peningkatan,
yaitu pada bulan November 2009 sekitar 58 orang kemudian pada bulan Desember naik menjadi 112 orang
(Medical Record RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara, 2010).
Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengontrol kadar glukosa darah, iantaranya
edukasi, kepatuhan diet, latihan jasmani, kendalikan stress, dan minum obat glikemik. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis seberapa besar hubungan penentu kadar glukosa darah pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012.
BAHAN DAN METODE
Rancangan Penelitiandan Lokasi
Penelitian dilakukan di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara. Jenis penelitian yang digunakan
adalah observasional dengan rancangan Cross Sectional.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah adalah semua pasien yang dirawat Di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara. Sampel
sebanyak 253 orang, sampel yang dipilih secara non random (non-probality sampling) melalui teknik
purposive sampling, yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu penderita diabetes mellitus yang menjalani
pengobatan dan perawatan di RS BLUD propinsi Sulawesi Tenggara dan bersedia mengikuti penelitian ini.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan SPSS. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui seberapa besar
hubungan terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol digunakan analisis Chi-Square Test (tabel 2 x 2).
Analisis multivariat untuk mengetahui kekuatan hubungan yang bermakna terhadap penentu kadar glukosa
darah terkontrol digunakan uji Regresi Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding
digunakan analisis stratifikasi.
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik penderita diabetes mellitus tipe 2 yang menjadi sampel pada
penelitian ini. Distribusi umur yang paling banyak pada penderita dengan umur 50 59 tahun yaitu
sebanyak 39,9% dan paling sedikit pada penderita dengan umur 70 - 79 tahun yaitu sebanyak 5,9%, dimana
kadar glukosa darah terkontrol paling banyak pada penerita umur 60 69 tahun yaitu sebanyak 20,0 %, dan
yang tidak terkontrol pada umur 30 -39 tahun yaitu sebanyak 90,0%.
Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Responden Diabetes Mellitus Tipe 2 di RS BLUD Propinsi


Sulawesi Tenggara Tahun 2012

Variabel

Kadar Glukosa Darah


Terkontrol
Terkontrol
Tidak Terkontrol
(Normal)
(Tinggi)
n
%
n
%

Total
n

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

114

JURNAL
Umur
30 39
40 49
50 59
60 69
70 79
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jenis Pekerjaan
IRT
PNS
Swasta
Petani
Pensiunan
Lama Menderita
1 -4
59
10 14
15-19
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

1
10
18
15
2

10,0
19,2
17,8
20,0
13,3

9
42
83
60
13

90,0
80,8
82,2
80,0
86,7

10
52
101
75
15

4,0
20,6
39,9
29,6
5,9

22
24

18,2
18,2

99
108

81,8
81,8

121
132

47,8
52,2

17
6
9
2
12

19,3
14,3
21,4
13,3
18,2

71
36
33
13
54

80,7
85,7
78,6
86,7
81,8

88
42
42
15
66

34,8
16,6
16,6
5,9
26,1

32
9
3
2

18,1
15,5
25,0
33,3

145
49
9
4

81,9
84,5
75,0
66,7

177
58
12
6

70,0
22,9
4,7
2,4

Distribusi jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin responden umumnya perempuan yaitu
132 orang (52,2%), sedangkan laki-laki sebanyak 121 orang (47,8%). Perbedaan jenis kelamin terhadap
penentu kadar glukosa darah terkontrol sama banyak, responden yang mempunyai kadar glukosa darah
terkontrol (normal) sama banyak antara laki-laki dan perempuan masing-masing 18,2%, begitu juga
responden yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) sama banyak antara laki-laki dan
perempuan masing-masing 81,8%.
Distribusi pada jenis pekerjaan menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi pekerjaan responden adalah
IRT yaitu 88 orang (34,8%) sedangkan frekuensi terendah adalah petani sebanyak 15 orang (5,9%).
Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak bekerja sebagai
pegawai swasta sebanyak 9 orang (21,4%) dan paling sedikit bekerja sebagai petani yaitu 2 orang
(13,3%). Responden yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak
mempunyai pekerjaan petani sebanyak 13 orang (86,7%) dan paling sedikit yang bekerja sebagai petani
yaitu pegawai swasta yaitu 33 orang (86,7%).
Distribusi pada lama menderita menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi lama sakit DM responden
adalah 1-4 tahun yaitu 177 orang (70,0%) sedangkan frekuensi terendah adalah 15-19 tahun yaitu 6 orang
(2,4%). Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak mempunyai
lama sakit 1 - 4 tahun yaitu 32 orang (18,1%) dan paling sedikit 15 19 tahun yaitu 2 orang (33,3%).
Responden yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak mempunyai lama
sakit 1 - 4 tahun yaitu 145 orang (81,9%) dan paling sedikit 15 19 tahun yaitu 4 orang (66,7%).
Analisis
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa kepatuhan diet berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah
terkontrol di mana nilai p=0,000 (p<0,05) dan nilai phi=0,275 yang berarti hubungan sedang.
Tabel 2.

Besar Hubungan Penentu Kadar Glukosa Darah Terkontrol Pada Penderita Diabetes
Mellitus Tipe 2 di RS BLUD Propinsi Sulawesi TenggaraTahun 2012

Variabel

Kepatuhan Diet
Patuh
Tidak Patuh
Latihan Jasmani
Cukup
Kurang

Kadar Glukosa Darah Terkontrol


Tidak
Terkontrol
terkontrol
(Normal)
(Tinggi)
n
%
n
%

Total
n

40
6

27,0
5,7

108
99

73,0
94,3

148
105

100,0
100,0

26
20

23,6
14,0

84
123

76,4
86,0

110
143

100,0
100,0

0,000
0,272
0,049
0,124

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

115

JURNAL
Tingkat stress
Stres Ringan
Stres Berat
Kepatuhan Minum Obat
Glikemik
Teratur
Tidak Teratur
Penggunaan Obat
Tradisional/herbal
Minum
Tidak Minum

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

28
18

26,4
12,2

78
129

73,6
87,8

106
147

100,0
100,0

37
9

24,3
8,9

115
92

75,7
91,1

152
101

100,0
100,0

41
5

26,3
5,2

115
92

73,7
94,8

156
97

100,0
100,0

0,004
0,181
0,002
0,196

Data Primer
Latihan jasmani berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,049
(p<0,05) dan nilai phi=0,124 yang berarti hubungan lemah. Tingkat stress berhubungan dengan penentu
kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,004 (p<0,05) dan nilai phi=0,181 yang berarti hubungan
lemah. Kepatuhan minum obat glikemik berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di
mana nilai p=0,002 (p<0,05) dan nilai phi=0,196 yang berarti hubungan lemah. Penggunaan obat
tradisional/herbal berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,000
(p<0,05) dan nilai phi=0,266 yang berarti hubungan sedang.
Tabel 3. Hasil Analisis Stratifikasi Kepatuhan minum obat glikemik dengan Penentu Kadar Glukosa
Darah Terkontrol pada Penderita Diabetes Mellitus
Berdasarkan Penggunaan Obat
Tradisional/Herbal Di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012
Penggunaan Obat
Tradisional/Herbal
Minum
Tidak Minum
RR Crude
RR MH
Data Primer

Kadar Glukosa Darah Terkontrol


Terkontrol
Tidak terkontrol
(normal
(tinggi)
27 (81,82)
6 (18,18)
17 (34,69)
32 (65,31)
3 (17,65)
14 (82,35)
7 (11,11)
56 (88,89)

RR
1.516174
1.071429

: 1.20396
: 1.333556

Analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (kontribusi) terhadap penentu
kadar glukosa darah terkontrol adalah 77% (P = 0,77 dengan nilai y = 1,19) pada kepatuhan diet, latihan
jasmani, tingkat stress, kepatuhan minum obat glikemik, penggunaan obat tradisional dengan formula P = 1/
(1+exp-y) (tabel 3).
Penggunaan obat tradisional/herbal mempengaruhi hubungan kepatuhan minum obat glikemik
terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol, dimana nilai RR Crude = 1.20396 dan nilai RR MH =
1.333556. Selisih perbedaan yaitu RR Crude RR MH / RR Crude x 100% =-10,76414 = 10 %. Terdapat
selisi perbedaan antara RR Crude dengan RR MH mencapai 10% - 20%, sehingga dapat dikatakan bahwa
variabel penggunaan obat tradisional/herbal merupakan variabel pengganggu terhadap penentu kadar
glukosa darah terkontrol pada penderita diabetes mellitus. (tabel 4).
Tabel 4.

Variabel Yang Paling berhubungan dengan kadar glukosa darah terkontrol di RSUD
BLUD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012.

Variabel
Kepatuhan Diet
Latihan Jasmani
Tingkat Stres
Kepatuhan Minum Obat Glikemik
Penggunaan Obat Tradisional/herbal
Constant

B
2,409
1,602
1,793
3,123
3,578
-11,313

Wald
19,557
11,231
13,512
28,110
27,580
37,571

P
0,000
0,001
0,000
0,000
0,000
0,000

Exp (B)
11,125
4,961
6,010
22,710
35,800
11,125

Data Primer

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

116

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel independen (kepatuhan diet, latihan jasmani,
tingkat stress, kepatuhan minum obat glikemik dan penggunaan obat tradisional/herbal) berpengaruh secara
signifikan dimana nilai p<0,05 yang berarti ada hubungan penentu kadar glukosa darah pada penderita
diabetes mellitus tipe 2. Kepatuhan diet Kepatuhan diet adalah tingkat kesediaan responden untuk mematuhi
diet diabetes mellitus yang dianjurkan, berdasarkan 3 (tiga) criteria yaitu 3 J (tepat jumlah kalori, tepat
jadwal atau pola makan, dan tepat jenis bahan makanan yang sesuai dengan ketentuan (Slamet, 2011).
Responden yang tidak dapat melakukan pengendalian kadar glukosa darah dengan cara kepatuhan
diet disebabkan karena responden tidak dapat mengendalikan napsu makan, merasa telah terkontrol normal
kadar glukosa darahnya karena pemberian obat diabetes dari dokter, sehingga merasa tidak perlu
menjalankan diet dengan baik, selain itu karena adanya komplikasi dengan penyakit lain misalnya TB yang
memerlukan kebutuhan kalori yang tinggi, kemudian responden juga belum memahami jumlah, jadwal,
serta jenis dari bahan makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sunardi, (2009) yang menyatakan Hubungan yang
bermakna antara kepatuhan klien Diabetes Mellitus dalam menjalankan terapi diet dengan kadar gula darah
(p=0.031). Latihan jasmanai adalah Aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dan terencana. Latihan
jasmani bagi penderita diabetes harus dilakukan secara rutin dan teratur 2 - 3 kali/minggu selama 20 - 30
menit. Dalam melakukan latihan jasmani perlu diperhatikan keadaan penderita diabetes dan jenis latihan
jasmani yang akan dijalankan, prinsip latihan jasmani pada diabetes adalah pemilihan jenis latihan , pada
diabetes latihan jasmani yang dipilih sebaiknya latihan jasmani disenangi, dan yang mungkin untuk
dilakukan oleh diabetesi, disamping itu selain dapat meningkatkan kesehatan juga dapat meningkatkan
kebugaran diabetisi (Waspadji, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden melakukan latihan jasmani kurang yaitu
143 orang (56,5%) sedangkan yang melakukan latihan jasmani cukup sebanyak 110 orang (43,5%).
Latihan jasmani merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, mengingat responden mempunyai
kesibukan sehingga hampir tidak ada waktu untuk melakukan latihan jasmani secara teratur, selain itu
kendala fisik penderita diabetes itu sendiri yang mengalami amputasi, luka dibagian kaki serta komplikasi
lainya seperti komplikasi asma, kelemahan dan hepatits, kemudian lagi-lagi kendala kurangnya pengetahuan
dan informasi, terutama sebagian penderita diabetes yang aktif PNS ataupun pensiunan tidak mengetahui
kalau pihak ASKES mengadakan senam diabetes secara rutin.
Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak melakukan
latihan jasmani cukup yaitu 26 orang (23,6%) dibandingkan yang kurang yaitu 20 orang (14,0%).
Sedangkan yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak melakukan latihan
jasmani kurang yaitu 123 orang (86,0%) dibandingkan yang cukup yaitu 84 orang (76,4%).
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,049 (p<0,05) yang berarti ada hubungan
latihan jasmani dengan kadar glukosa darah terkontrol. Latihan Jasmani secara langsung dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif, dan lebih banyak jala-jala
kapiler terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin, dan reseptor insulin menjadi lebih aktif dan
lebih berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes sehingga terjadi
perubahan pada kadar glukosa darah (Ermita, 2007).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Puji Indriyani, et al. (2007) yang menyatakan ada
pengaruh latihan fisik: senam aerobik terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus
tipe 2 di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga (p=0.0001) dengan penurunan rata rata sebesar 30,14
mg%.
Seorang penderita diabetes (diabetisi), apabila mengalami stress berat maka kadar glukosa darah
tidak terkontrol (tinggi) sehingga memperburuk keadaan penderita diabetes. Untuk menguragi stress
penderita diabetes dianjurkan melakukan kegiatan yang dapat mereduksi stress seperti sempatkan waktu
anda untuk berlibur, membaca buku-buku kesukaan anda, majalah, atau bermain game barang sejenak, yoga,
jogging di pagi hari, menonton film kesukaan anda atau hal lain yang menyenangkan anda dan dapat
membuat anda rileks.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,004 (p<0,05) yang berarti ada hubungan
tingkat stres dengan kadar glukosa darah terkontrol. Depresi pada penderita diabetes akan sangat
memperburuk keadaan mereka khususnya dalam hal pengendalian kadar gula darah, karena terjadinya
peningkatan kortisol dan katekolamin pada saat stress. Kortisol akan menyebabkan peningkatan laju
metaolisme tubuh sehingga banyak glikogen, protei bahkan lemak yang akan diubah menjadi glukosa oleh
tubuh, tetapi fatalnya glukosa tersebut tidak dapat diserap oleh tubuh ditambah dengan adanya katekolamin
yang akan menghambat kerja insulin untuk mengikat glukosa untuk dibawa ke sel. Hal ini yang
menyebabkan mengapa pada orang depresi sangat susah untuk dapat mengontrol kadar gula darah dalam
kisaran normal (Ekowat, 2007).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fareega Faisal et, al. (2010) yang menyatakan risiko
terkena diabetes pada orang yang menderita stress adalah 2.1,kali. Penelitian lainnya oleh Yoshitaka
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

117

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Iwasaki, et al. (2006) menunjukkan bahwa hidup dengan diabetes ditambahkan besar terhadap pengalaman
stres antara individu Aborigin.
Diagnosa yang tepat, pemilihan serta pemberian obat yang benar dari petugas kesehatan ternyata
belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat. Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat sangat diperlukan untuk mencapai
keberhasilan terapi terutama pada penyakit yang tidak menular seperti diabetes mellitus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden teratur minum obat glikemik yaitu 152
orang (60,1%) sedangkan yang tidak teratur minum obat glikemik sebanyak 101 orang (39,9%). Responden
yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak yang teratur minum obat glikemik
yaitu 37 orang (24,3%) dibandingkan yang tidak teratur minum obat glikemik yaitu 9 orang (8,9%).
Sedangkan yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak yang tidak teratur
minum obat glikemik yaitu 92 orang (91,1%) dibandingkan yang teratur minum obat glikemik yaitu 115
orang (75,7%).
Ketidakpatuhan mengkonsumsi obat merupakan penyebab utama kegagalan terapi sehingga
penderita diabetes perlu diedukasi. Sebaiknya penderita diabetes melakukan konsultasi secara berkala
dengan dokter. Selain itu dituntut sikap disiplin dan kepatuhan dalam mengonsumsi obat maupun suntik
insulin agar tidak terjadi komplikasi penyakit
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,002 (p<0,05) yang berarti ada hubungan
kepatuhan minum obat glikemik dengan kadar glukosa darah terkontrol. Golongan sulfonilurea seringkali
dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada
diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan
kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh
terhadap insulinnya sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.Obat
hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II jika diet dan oleh raga gagal
menurunkan kadar gula darah dengan cukup. Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari),
meskipun beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian.Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat
mengontrol kadar gula darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin, (Carika, 2010).
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Melanie davies et, al.(2003) yang menyatakan obat Glargine aman
dan efektif dalam meningkatkan kontrol glikemik pada besar, beragam populasi dengan tipe 2 diabetes lama.
Sebuah titrasi subjek-dikelola sederhana algoritma yang diberikan secara signifikan meningkatkan kontrol
glikemik dengan insiden rendah yang parah. Penelitian Henrik, et al. (2006) juga menyatakan bahwa
analisis regresi berganda menunjukkan bahwa penambahan acarbose untuk melakukan kontrol glikemik
ditingkatkan.
Berbagai jenis obat tradisiobal/herbal yang digunakan penderita diabaetes mellitus dalam mengontrol
glikemik baik berupa daun-daunan, biji-bijian, maupun dalam bentuk kemasan siap pakai misalnya propolis,
the hijau, bless tea, habbatussauda, xamthone plus, cinnamon(kayu manis), dll. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa umumnya responden minum obat tradisional /herbal yaitu 156 orang (61,7%)
sedangkan yang tidak minum obat tradisional/herbal sebanyak 97 orang (38,3%). Penggunaan obat
tardisional/herbal dalam mengendalikan kadar glukosa darah di masyarakat juga mulai berkembang, faktor
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang
lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern
untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di
seluruh dunia.
Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak minum obat
tradisional/herbal yaitu 41 orang (26,3%) dibandingkan yang tidak minum obat tradisional/herbal yaitu 5
orang (5,2%). Sedangkan yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak
minum obat tradisional/herbal yaitu 92 orang (94,8%) dibandingkan yang tidak minum obat
tradisional/herbal yaitu 115 orang (73,7%).
Mekanisme kerja obat tradisional/herbal yang digunakan diabetisi untuk mengontrol kadar glukosa
pada dasarnya sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas yang terdapat dalam tubuh seperti
superoksida (O2o), hydrogen peroksida (H2O2), dan hidroksil radikal (Oho) dengan sifat yang sangat reaktif
dan merupakan molekul yang tidak stabil. Radikal bebas ini dapat mengubah susunan protein, lemak, dan
karbohidrat pada sel tubuh, jika perubahan susunan terjadi pada bagian yang penting pada sel tubuh maka sel
tersebut tidak lagi dapat menjalankan fungsinya secara normal. Sehingga produk yang mengandung
antioksidan (xamthone plus , propolis, N-acetylcysteine/NAC) sering dipakai oleh penderita diabetes
mellitus dalam mengontrol kadar glukosa. Selain itu yang mengandung senyawa PTP1B (efek biomokuler)
bekerja mengaktifkan senyawa dipangkreas dengan cara mengaktifkan sel beta yang berfungsi menghasilkan
insulin. Senyawa PTP1B terdapat pada kayu manis (cinnamon).
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti ada hubungan
penggunaan obat tradisiona/herball dengan kadar glukosa darah terkontrol. Penggunaan beberapa obat
herbal dapat meningkatkan imunitas tubuh dan mencegah terjadinya komplikasi pada penderita penyakit
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

118

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

DM. Salah satu obat yang dipakai adalah propolis. Propolis dapat mengontrol gula darah dan memperbaiki
metabolisme glukosa dan lemak darah, serta mengurangi pembentukan radikal bebas. Selain itu, Liu juga
mencobanya kepada orang yang mengidap diabetes tipe 2, menemukan bahwa setelah tiga bulan pengobatan,
gula darah berkurang pada mereka yang mendapat terapi propolis, selain itu sambiloto mengandung
andrografolida yang bersifat antidiabetes. Senyawa ini menurunkan kadar glukosa darah dan memperbaiki
kerusakan pada sel-sel beta pulau lengerhans, tempat produksi insulin.
Penelitian Ame Suciati,et al. (2011) menyatakan kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum
Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma) akan menurunkan kadar glukosa darah puasa rata-rata 9,25 mg/dL,
glukosa darah 2 jam postprandial (PP) 22,25 mg/dL, HbA1c 1,30%, serta insulin 12,57 mg/dL bila
dibandingkan dengan baseline glibenklamid rata-rata kadar glukosa darah puasa 72,37 mg/dL , glukosa
darah 2 jam PP 114,25 mg/dL, dan HbA1c 4,12%, tetapi meningkatkan insulin 3,34 mg/dL
Penelitian Ida Siti Nurparida, (2005) menyatakan ada pengaruh pemberian rumput laut merah
terhadap kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam postprandial yang dikontrol dengan frekuensi
konseling diet dan frekuensi latihan jasmani (p<0,05).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah, maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan kepatuhan diet, latihan jasmani, tingkat stress, kepatuhan minum obat
glikemik dan penggunaan obat tradisional/herbal terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol pada
penderita diabetes mellitus tipe 2. Untuk mencegah terjadinya komplikasi diharapkan penderita diabetes
mellitus untuk selalu mengontrol kadar glukosa darah dan screening bagi keluarga dengan riwayat diabetes
mellitus.
DAFTAR PUSTAKA
Ame Suciati,et. Al. Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan
Rimpang Kunyit (Curcumma) Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, (2011).
Henrik,et. Al. Combined Treatment With Exercise Training and Acarbose
Improves Metabolic Control
and Cardiovascular Risk Factor Profile in Subjects With Mild Type 2 Diabetes. Diabetes Care,
(2006), Volume 29.
Ida Siti Nurparida. Pengaruh Pemberian Rumput Laut Merah (Euchema Cottonii) Terhadap Kadar Gula
Darah Penderita DM Tipe 2. UNDIP Semarang, (2005).
Puji Indrayani,et. Al. Pengaruh latihan Fisik; Senam Aerobik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada
Penderita DM Tipe 2 Di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga. (2007).
Soegondo, (2002). Penggunaan Insulin Pada Diabetes Mellitus Type 2, Makalah Pada Penelitian Edukasi
Diabetes Mellitus Lanjutan, Yogyakarta
Sunardi. Hubungan Antara Kepatuhan Klien Diabetes Mellitus Dalam Menjalankan Terapi Diet Dengan
Kadar Gula Darah Di Balai Pengobatan Gading 24 jam Gogyakarta, (2009).
FAKTOR RISIKO KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DI
RSKD PROVINSI SULSEL TAHUN 2012
Isymiarni Syarif 1, A. Zulkifli Abdullah2, Syamsiar Russeng3
1

Alumni Program Megister Epiodemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Rehospitalisasi common in patients with paranoid schizophrenia, but the family will not know the
cause of relapse. The research aimed to analyse the risk factors of the relapse incident on the patient with
paranoid schizophrenia in Regional Specific Hospital South Sulawesi Province in 2012. This was an
observational analytic research with the case control study design. Samples were as many as 76 cases who
underwent relapse during the examination was conducted in the long stay unit and 76 controls who did not
experience the relapse during the examination was carried out in the mental clinic. The samples were taken
by using the purposive sampling technique. The data were analysed using the odds ratio test and multiple
logistic regression method.The results of the research indicates that risk factors of the non-obedience to
treatment are: OR = 26.168 (95%CI:10.263-68.355), health insurance OR=6.93 (95%CI:1.44-65.40) and
stigma OR = 7.99 (95%CI: 3.65-17.75). Whereas the families support OR=1.23 (95% CI : 0.55-2.73) and
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

119

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

the families psychoeducation OR = 0.75 (95% CI :0.37-1.53) are not risk factors. The non obedience on
treatment OR = 21.11 (95% CI: 5.69 - 52.92) p = 0.000, represents the most risky factor towards the relapse
incident on the patient with paranoid schizophrenia. Recommended patient to increased medication
adherence and for families of patients to controlling in treatment and increased support and attention of
paranoid schizophrenia and the government regional with Regional Specific Hospital to make regulation
about health insurance of mental disorder (paranoid schizophrenia).
Key words: Relapse of paranoid schizophrenia, Risk factor
PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/kambuh ditandai dengan
penurunan dan kerusakan kognitif, dimana sebagian besar terjadi gangguan memori, perhatian,
kepribadian, semuanya dikaitkan pada kemampuan seseorang dalam beradaptasi baik secara
individu maupun sosial (Halder, 2009 : Perkins, 2009). Skizofrenia mempunyai beberapa macam
jenis, ada skizofrenia hibrefenik, katatonik, afektif, paranoid, dan skizofrenia simplek. Skizofrenia
paranoid merupakan jenis skizofrenia terbanyak di seluruh dunia, ini sejalan dengan Durand 2006 yang
mengatakan bahwa 50% pasien yang dirawat di Rumah Sakit menderita skizofrenia paranoid.
Skizofrenia paranoid biasanya terjadi pada usia 16-25 tahun. Puncak serangan pada usia remaja dan
dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor yang ditandai dengan
adanya gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai
musuh. Kondisi penderita seperti ini sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap
sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia
tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat.
Selain itu, kekambuhan skizofrenia paranoid terjadi akibat adanya riwayat skizofrenia dalam keluarga,
stress lingkungan dan status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena
dideritanya gangguan ini. Menurut Tomb (2004) Tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga
maupun masyarakat, menyebabkan sebanyak 57,4% penderita kambuh karena tidak memiliki kemampuan
ekonomi dalam menanggung biaya. Selain itu, agaknya masih cukup kuat kepercayaan dalam masyarakat
bahwa skizofrenia disebabkan oleh kutukan karena dosa, kemasukan roh-roh jahat ataupun disebabkan oleh
guna-guna. Hal ini disebabkan oleh stigma, rasa malu dan penyalahan dari lingkungan sosial yang dialami
keluarga. sehingga mereka malu mengakui ataupun mencari bantuan yang diperlukan. Bahkan Bagi
beberapa keluarga kehadiran skizofrenia menimbulkan aib yang besar. Diperkuat dengan hasil penelitian di
Singapura bahwa terdapat 73% responden yang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, 52% mengalami
rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia (Irmansyah, 2005).
Menurut Sasanto, relaps / kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian
antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan
untuk resosialisasi dan pencegahan relaps (Vijay, 2005). Relaps pada penderita skizofrenia setelah remisi
(sembuh bebas dari gejala) yang berada ditengah keluarga merupakan suatu tanda bahwa keluarga gagal
untuk melakukan koping dengan baik. Penelitian yang sama di Inggris (Vaugh dalam Keliat, 1996) dan di
Amerika serikat (Snyder dalam Keliat, 1996) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang
tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan. Hasilnya 57% kembali dirawat
dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi
emosi yang rendah (Keliat, 1996).
Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh Seberapa besar risiko jaminan kesehatan,
ketidakpatuhan pengobatan, dukungan keluarga, stigma dan psikoedukasi keluarga terhadap kejadian relaps
skizofrenia paranoid di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan.
BAHAN DAN METODE
Rancangan Penelitiandan Lokasi
Penelitian ini dilakukan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis penelitian menggunakan desain
case control study.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua penderita skizofrenia paranoid yang rawat jalan di poli jiwa dan rawat inap
RSKD Makassar. Sampel sebanyak 152 yang dipilih secara purpossive sampling yang telah memenuhi
kriteria yaitu yaitu diagnosa Skizofrenia paranoid, Umur >15 tahun, Frekuensi kekambuhan 1 kali,
Mempunyai keluarga, Bersedia untuk diwawancarai.
Metode Pengumpulan Data

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

120

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden menggunakan


kuesioner. Data karakteristik (Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan), variabel yang diteliti (jaminan
kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan, stigma, dukungan keluarga dan psikoedukasi keluarga).
Analisis data
Data dianalisis dengan menggunakan odds rasio dan logistic regresi dengan menggunakan program
STATA.
HASIL
Karakteristik sampel
Pada penelitian ini dilakukan matching umur, sehingga frekuensi responden antara kasus dan
kontrol sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menurut kelompok umur lebih didominasi oleh
kelompok umur 25-34 tahun sebesar 46,05%, yang terendah yaitu kelompok umur 15-24 tahun yaitu
sebanyak 6 orang (7,89%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan kasus kontrol

Variabel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak Tamat SD
Tamat SD
SLTP/sederajat
SLTA/Sederajat
Diploma/PT
Umur
15-24
25-34
35-44
>45
Data Primer

Kejadian relaps skizofrenia


Paranoid
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

Jumlah
n

64
12

84,21
15,79

46
30

60,53
39,47

110
42

72,37
27,63

10
14
21
23
8

13.16
18.42
27.63
30.26
10.53

11
18
19
24
4

14.47
23.68
25,00
31,58
5,26

21
32
40
47
12

13.82
21.05
26.32
30.92
7,89

6
35
21
14

7.89
46,05
27,63
18,42

6
35
21
14

7.89
46,05
27,63
18,42

12
70
42
28

7.89
46,05
27,63
18,42

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin laki-laki proporsinya jauh lebih besar
pada kasus sebesar 84,21% dari pada kontrol sebesar 60,53%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa ternyata SLTA/sederajat proporsinya jauh lebih besar pada
kontrol sebesar 31,58% dari pada kasus sebesar 30.26 %. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Analisis bivariat
Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia
paranoid Di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 menunjukkan bahwa faktor risiko ketidakpatuhan
pengobatan OR = 26,168, (CI 95%:10,26368,355), jaminan kesehatan OR= 6,93 (95% CI: 1.44-65.40) dan
stigma OR=7.99 (95%CI:3.65-17.75) merupakan faktor risiko. Sedangkan dukungan keluarga OR=1.23
(95% CI:0,55-2,73) dan psikoedukasi keluarga OR=0.75 (95% CI:0,37-1,53) bukan faktor risiko.
Tabel 2. Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia
paranoid

Variabel
Jaminan kesehatan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Ketidakpatuhan pengobatan
Risiko Tinggi

Kejadian relaps skizofrenia


Paranoid
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR
CI 95%

Jumlah
n

12
64

15.7
84.2

2
74

2.63
97.3

14
138

9.2
90.8

65

85,5

14

18,4

79

51.0

OR 6.93
1.4-65.4
OR 26,1

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

121

JURNAL
Risiko Rendah
Dukungan Keluarga
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Stigma keluarga
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Psikoedukasi keluarga
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

11

14,4

62

81,5

73

48.0

18
58

23.6
76.3

21
55

27.6
72.3

39
113

25.7
74.3

OR 1.23
0.5-2.7

59
17

77.6
22.4

23
53

30.3
69.7

82
70

53.9
46.1

OR 7.9
3.6-17.7

27
49

35.5
64.5

32
44

42.1
57.9

59
93

38.8
61.2

OR 0.75
0.37-.53

10,2-68,3

Analisis Multivariat
Tabel 3 menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pengobatan OR = 21,11 (CI 95% : 5.69 52.92)
p=0,000 merupakan faktor risiko yang paling berisiko terhadap kejadian relaps penderita skizofrenia
paranoid.
Tabel 3. Hasil uji regresi logistic yang paling berpengaruh terhadap kejadian relaps pada
penderita skizofrenia paranoid
Variabel
Ketidakpatuhan
pengobatan
Stigma keluarga
Constanta
Data Primer

Coefisien

OR

95% CI
Lower
Upper

3.04

6.50

21.11

5.69

52.92

0,000

1.73
-2.5702

3.71
-5.65

5.69

2,26

14,28

0,000

Disarankan keluarga untuk mengawasi klien dalam pengobatan dan lebih meningkatkan dukungan
serta perhatian terhadap penderita skizofrenia paranoid serta pemerintah daerah bersama RSKD membuat
suatu kebijakan tentang jaminan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa (skizofrenia paranoid).
PEMBAHASAN
Penelitian ini terlihat beberapa aspek yang berisiko terhadap kejadian relaps pada penderita
skizofrenia paranoid yaitu jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan, dan stigma keluarga. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jaminan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps
skizofrenia paranoid, dimana hasil uji statistic menunjukkan nilai rasio odds sebesar 6,93 (95% CI: 1.4465.40). Dengan demikian tidak adanya jaminan kesehatan memiliki risiko 6,93 kali lebih besar untuk
mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan. Oleh
karena nilai LL dan UL lebih dari nilai satu maka variabel jaminan kesehatan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid.
Penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian, seperti penelitian Simanjuntak, yang
mengemukakan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang mengalami relaps mempunyai risiko terpapar
oleh problem ekonomi sebesar 10,8 kali dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak relaps
(Simanjuntak, 2008). Begitu pula dengan hasil penelitian Corcoran, yang mengemukakan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi ayah dengan kejadian relaps skizofrenia paranoid
dengan nilai P =0.002 (Corcoran, 2009).
Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang
(Videbeck,2008). Tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat, dimana
Biaya berobat yang harus ditanggung penderita tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan
pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya
transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Tomb, 2004). Akan tetapi dengan menggunakan
jaminan kesehatan dalam bentuk surat keterangan tidak mampu / miskin (KTP/KK, Jamkesmas), membuat
keluarga merasa aman, tidak terlalu terbebani dengan biaya pengobatan penderita karena sebagaimana kita
ketahui bahwa penyakit ini memerlukan perawatan dan pengobatan serta pemulihan yang lama dan mahal
sehingga keluarga harus mengeluarkan dana ekstra dalam menangani kasus ini sehingga tidak terjadi relaps.
Keluarga tidak memikirkan lagi biaya pengobatan penderita karena semuanya gratis sesuai program
pemerintah setempat, tetapi keluarga memikirkan biaya/kebutuhan lainnya seperti akses ke pelayanan
kesehatan dan kebutuhan penderita selama perawatan dan pengobatan.
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) ketidakpatuhan pengobatan terhadap kejadian relaps
skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 26,168 (95% CI:10,263 -68,355). Dengan demikian adanya
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

122

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

ketidakpatuhan pengobatan memiliki risiko 26,16 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia
paranoid dibandingkan dengan yang patuh pengobatan. Oleh karena nilai LL dan UL lebih dari nilai satu
maka variabel ketidakpatuhan pengobatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia
paranoid.
Berdasarkan hasil analisis multivariat hubungan antara ketidak patuhan pengobatan dan stigma
secara bersama terhadap kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid (Tabel 3), menunjukkan ada
hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid dengan nilai
Rasio Odds (OR) =21,11, (95% CI:5.6552.92 dan p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa risiko untuk
terjadinya relaps pada skizofrenia paranoid yang tidak patuh pengobatan sebesar 21,11 kali dibandingkan
dengan penderita skizofrenia paranoid yang patuh pengobatan. Hal ini disebabkan karena variabel status
ketidakpatuhan pengobatan mengurangi peranan variabel lain ketika secara bersama-sama diikutkan dalam
analisis multivariat.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Seung-Ho Jung, Won Hyung Kim dkk, (2011) yang
menemukan bahwa Ketidakpatuhan pengobatan memiliki hubungan yang signifikan dengan
rehospitalisasi/relaps (OR 0,405, 95% CI:0.193-0.849, p=0,016 p<0.05). Begitu pula dengan penelitian yang
dilakukan oleh Simanjuntak (2008), yang mengemukakan bahwa beberapa faktor yang berhubungan dengan
ketidakpatuhan pengobatan, seperti faktor sehubungan dengan pasien, pengobatan lingkungan dan dokter
yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian relaps.
Hal yang dapat memicu kekambuhan penyakit jiwa dan memperpanjang proses perawatan
gangguan jiwa yang dialami oleh penderita, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke
dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari
keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress sehingga
penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit. Ditemukan beberapa informasi bahwa klien yang
kambuh dirawat dan tidak patuh minum obat dapat diketahui melalui adanya obat yang ditemukan di sekitar
rumah, dan ditemukan obat disaku baju klien (Purwanto, 2010 : Fleishacker 2003).
Ketidakpatuhan pengobatan disebabkan karena penderita kurang paham dan mengerti tentang
pentingnya pengobatan dalam membantu memulihkan keadaan dan mencegah kekambuhan, Kurangnya
kepedulian dan perhatian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pemberian obat itu kepada
penderita dan Sukarnya memperoleh obat tersebut di luar rumah sakit jiwa serta efek samping yang
ditimbulkan akibat meminum obat psikiatri tersebut. Selain itu faktor banyaknya jenis obat yang
harus diminum seperti dua sampai tiga jenis bahkan empat jenis obat yang diminum setiap
harinya yang membuat penderita bosan dan tidak dapat menelan obat walaupun tidak ditemukan
kondisi medis yang dapat mengakibatkan penderita tidak minum obat. Selain itu faktor tidak
adanya pengawas minum obat dalam keluarga dan adanya persepsi dari keluarga yang
menganggap penderita sudah sembuh tanpa berkonsultasi dan menganggap penderita seperti
orang normal serta memaksa penderita melakukan aktifitas seperti pada saat penderita sebelum
sakit menjadi pemicu terjadinya relaps.
Kepatuhan dalam pengobatan terlihat dari adanya kesadaran diri tentang pentingnya obat, adanya
kemandirian, dan kedisiplinan dalam minum obat. Sikap positif ini timbul karena adanya motivasi untuk
sembuh, adanya ancaman dirawat kembali, pengalaman yang menyenangkan terhadap pengobatan
sebelumnya dan adanya reward yang diberikan dari anggota keluarga.
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) dukungan keluarga terhadap kejadian
relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 1.23 (95%CI:0,55-2,73). Dengan demikian tidak adanya
dukungan keluarga memiliki risiko 1,23 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid
dibandingkan dengan adanya dukungan keluarga. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai satu maka
variabel dukungan keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita
skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sirait 2008, mengemukakan bahwa tidak ada pengaruh
antara peran/dukungan keluarga dengan kejadian relaps skizofrenia paranoid. Hal ini mungkin disebabkan
karena seluruh anggota keluarga berusaha untuk menghilangkan gangguan-gangguan baik yang bersifat fisik
atau psikis yang ada pada anggota keluarga yang lain, dan menjaga satu dengan yang lain tidak hanya dalam
keadaan sehat.
Dalam hal ini penderita skizofrenia paranoid yang memperoleh dukungan sosial keluarga, secara
emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan. Kurangnya
perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial keluarga dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau
kecemasan sehingga mempengaruhi proses penyembuhan penderita dan juga mempengaruhi lamanya
pengobatan (Darsana, 2009 dalam sebayang 2011). Dengan adanya dukungan dari keluarga, teman atau
petugas kesehatan yang menjadi pengawas pengobatan memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan
pasien rawat jalan ataupun rawat inap (Fenton, 1997 dalam Kazadi 2011).
Menurut Burgess (1979) dalam Friedman (1998) mengatakan bahwa keluarga ketika menghadapi
masalah akan lebih mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri, karena mereka menilai dan melihat
bahwa kontrol diri dan kemandirian sangat penting selama masa-masa sulit. Selain itu anggota keluarga
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

123

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

perlu menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai ketegangan dalam diri mereka
sendiri. Keluarga berprinsip bahwa ini adalah kewajiban bagi keluarga dalam membantu kesembuhan
penderita walau dalam kondisi apapun. Sehingga disimpulkan bahwa keluarga akan memberikan support /
dukungan pada anggota keluarga yang mengalami masalah, bagaimanapun caranya dan akan berusaha
mencari tahu semua hal yang menyangkut penderita sehingga tidak terjadi relaps. selain itu Petugas
kesehatan selalu menganjurkan keluarga penderita untuk mendampingi dan mengunjungi penderita selama
pengobatan setidaknya 1 kali seminggu menjenguk atau mendampingi penderita selama pengobatan.
Hasil penelitian menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) stigma keluarga terhadap kejadian relaps
skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 7.99 (95%CI:3.65-17.75). Dengan demikian keluarga penderita
tidak menganggap penyakit penderita adalah aib dari keluarga yang patut untuk dikucilkan, dihindari,
dirahasiakan dan dijauhi memiliki risiko 7.99 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia
paranoid dibandingkan dengan keluarga penderita yang menganggap penyakit penderita adalah aib dari
keluarga yang patut untuk dikucilkan, dihindari, dirahasiakan dan dijauhi . Oleh karena nilai LL dan UL
mencakup nilai lebih dari satu maka variabel stigma merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada
penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Simanjuntak (2008) yang menemukan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan (stigma) dengan kejadian relaps (p<0,05) dengan nilai
OR 13,5 (CI:95%; 5,9-30,7). Begitu pula dengan penelitian Lisa C Felderhof (2007), bahwa pasien
skizofrenia paranoid relaps akibat stigma yang negative dari saudara kandung yang diperoleh dari 80 orang
yang diinterview selama 50 menit.
Hal ini disebabkan karena adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia paranoid yang
menimbulkan beban, berupa beban subyektif maupun beban obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi
penderita, anggapan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan akan melekat terus dan menambah stigma
pada penderitanya, hal ini juga akan menjadikan halangan baginya untuk mendapat perlakuan yang layak,
kesulitan dalam mencari pekerjaan, juga keluarga sering dikucilkan, mengalami isoloasi sosial dan
diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Fenton, 2005).
Bagi keluarga, akan menimbulkan konflik dalam keluarga, dalam hal ini akan menimbulkan aib
bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial (merasa orang lain tidak mau bergaul dengan
keluarganya), serta menganggap harga diri serta martabat keluarga mereka rendah akibat penyakit yang
diderita anggota keluarganya, Sehingga timbul label dan sikap negative terhadap penderita seperti gila, tidak
waras dan sikap bermusuhan serta mengkritik, seolah-olah menyalahkan penderita atas semua kejadian yang
terjadi dalam keluarganya. Selain itu adanya stigma akan penyimpangan perilaku yang dilakukan penderita
menimbulkan perasaan khawatir, takut dan trauma sehingga membuat ekspresi emosi tinggi dalam keluarga
yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita. Keluarga dan masyarakat pada umumnya tidak dapat
menerima penyimpangan perilaku, persepsi dan pikiran pada penderita dengan skizofrenia paranoid.
Hasil penelitian menunjukkan hasil analisis Odds Ratio (OR) psikoedukasi keluarga terhadap
kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 0.75 (95% CI:0,37-1,53). Dengan demikian adanya
psikoedukasi keluarga memiliki risiko 0.75 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid
dibandingkan dengan yang tidak adanya psikoedukasi keluarga. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup
nilai satu maka variabel psikoedukasi keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada
penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.
Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh Lisa C. Felderhof (2007), bahwa dengan diberikannya
psikoedukasi pada keluarga yang saudara kandungnya terdiagnosa skizofrenia paranoid maka akan
menurunkan kejadian relaps. Hal ini didukung oleh Kembaren (2009), bahwa mengkombinasikan antara
pengobatan antipsikotik dengan pendekatan psikososial merupakan suatu cara yang efektif dibandingkan
hanya dengan obat saja dalam mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid.
Hal ini disebabkan karena anggota keluarga berusaha agar penderita skizofrenia paranoid cepat
sembuh dan tidak kembali lagi kerumah sakit atau mengalami kekambuhan sehingga membutuhkan biaya
rumah sakit yang jauh lebih mahal. Ini sejalan dengan hasil pengamatan selama penelitian bahwa keluarga
pada prinsipnya yakin bahwa penyakit penderita bisa disembuhkan, jadi keluarga akan mencari tahu sendiri
tentang penyakit penderita pada klinisi, seperti apa penyakit penderita dan bagaimana perawatan serta
pengobatan penyakitnya, sehingga keluarga dapat memberi perawatan pada klien di rumah setelah pulang
dari rumah sakit. Selain itu petugas kesehatan juga memberikan informasi secara lengkap yang menyangkut
diagnosis maupun perawatan penyakit penderita.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa jaminan kesehatan, ketidakpatuhan
pengobatan dan stigma keluarga merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia
paranoid, serta yang paling berisiko adalah ketidakpatuhan pengobatan. Disarankan pada penderita untuk
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan dan bagi keluarga untuk mengawasi klien dalam pengobatan
dan lebih meningkatkan dukungan serta perhatian terhadap penderita skizofrenia paranoid serta pemerintah
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

124

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

daerah bersama RSKD membuat suatu kebijakan tentang jaminan kesehatan terhadap penderita gangguan
jiwa (skizofrenia paranoid), hal ini dikarenakan skizofrenia paranoid memerlukan pengobatan dan perawatan
yang lama untuk mencegah terjadinya relaps.
DAFTAR PUSTAKA
Corcoran,.C, Cheryl, P, Mary. dkk.( 2009). Effect of socioeconomic status and parents education at birth on
risk of schizophrenia in offspring. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiology. 44(4): 265271.
Durand VM, Barlow DH. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Felderhof, L.C.(2007). A Support and Psychoeducational Group Manual for Adult Siblings of Individuals
Diagnosed with Paranoid Schizophrenia
Fenton WS. (2005). Schizophrenia: Integrative Treatment and Functional Outcomes. In: Sadock BJ,
Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock Comprehensive Texbook of Psychiatry. 8th ed, vol 1B.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, p.1498-99.
Friedman, M (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, ed 3, Alih Bahasa: Ina Debora dan Yoakin
Asy, Jakarta: EGC.
Halder, S. and Mahato, A,K. (2009). Relationship between executive function and problem solving
ability of schizophrenia patients. Eastern Journal of Psychiatry Vol.12.
Irmansyah. (2005). Faktor Genetika pada Skizofrenia, (Online) diunduh 9 September 2011. Available from
URL : HYPERLINK http://www.schizophrenia.web.id
Jung, S. Kim, W. dkk. (2011). Factors Affecting Treatment Discontinuation and Treatment Outcome in Patients
with Schizophrenia in Korea: 10-Year Follow-Up Study
Kazadi. 2011. Schizophrenia. (Online) diunduh 26 Oktober 2011. Available from URL:
HIPERLINKhttp://wiredspace.wits.ac.za/bitstreamhandle/10539/4664/Dr%20NJB
%20KAZADI_Chapter%201.pdf?sequence=10
Kembaren, L. (2009). Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia. (Online) diunduh 28 September 2011.
Available from URL : HYPERLINK http://paranoid%20baru/hubungan-antara-peran-keluargadalam.html.
Perkins, D,. Raines, JA,. Tschopp, MK,. and Warner, TC. (2009). Gainful Employment Reduces
Stigma Toward People Recovering from Schizophrenia. Community Mental Health J.
45:158162
Purwanto, A. (2010). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta. (Online) diunduh 28 September 2011. Available from URL :
HYPERLINK http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/28071
Simanjuntak, YP. (2008). Faktor Resiko Terjadi Relaps pada Pasien Skizofrenia Paranoid di Di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara. (Tesis). Sumatera Utara : Universitas Sumatera
Utara.
Sirait, A. (2008). Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps pada Skizofrenia Remisi Sempurna
Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006. (Tesis). Sumatera Utara :
Universitas Sumatera Utara.
Sebayang, SM. (2011). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien
Skizofrenia Paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. (Online) diunduh 24 Oktober
2011.
Availlable
from
URL
:
HIPERLINK
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27073/5/Chapter%20I.pdf
Vijay, C. (2005). Cara pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa. (Online) diunduh 12 Oktober 2010.
Available fromURL: HIPERLINK http://www.balipost.co.id

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR GULA


DARAH PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II
DI RSUD DAYA MAKASSAR TAHUN 2012
Jumriani Ansar1, Dian Sidik Arsyad1, Nurul Fatwa Abidin1
1

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


ABSTRACT

Diabetes mellitus is a degenerative disease that has increased every year. Most cases of diabetes
mellitus in Indonesia, namely diabetes mellitus type II, the prevalence reaches 90-95% of all cases of
diabetes. Approximately 7% of the population of South Sulawesi this disease. Given the DM is a lifelong
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

125

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

disease that good management is needed, especially in terms of blood sugar control. It aims to prolong
survival and prevent complications.
The purpose of this study to determine factors associated with blood glucose levels of type II DM
patients in hospitals Power Makassar. This study uses cross sectional study approach with a sample of 149
people. The research was conducted at the International Polyclinic Hospital Resources Makassar, where the
retrieval of data using a questionnaire and file patient medical records.
The results with the chi square test on 6 variables showed four variables which are related to blood
glucose levels are knowledge, attitude, diet and physical activity (p = 0.039, = 0.16, p = 0.000, = 0.340, p =
0.000, = 0.523, p = 0.000, = 0.523). While the other two variables do not have a relationship that is the
level of education and family support (p = 0.67, p = 0.26).
Expected to health workers in order to further optimize the method of counseling for patients,
especially in terms of motivating patients to control the disease and the family should be involved in these
outreach activities.
Key words: blood glucose, blood glucose control , DM, Complications
ENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Masih banyak
penderita diabetes yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula
atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya pengetahuan dan informasi di masyarakat
tentang diabetes mellitus terutama gejala-gejalanya.
Penderita Diabetes Mellitus harus tetap menjaga agar kadar gula darah tetap normal dengan
mengatur pola makanan dan melakukan olahraga (aktivitas fisik) serta menggunakan obat-obatan yang
dianjurkan. Dengan kadar gula yang terkontrol, kehidupan seorang penderita DM bisa berjalan normal.
Faktor lain yang juga menentukan terkendali tidaknya gula darah seorang penderita diabetes adalah sikap
dan dukungan keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa kelompok responden yang mempunyai sikap positif
dan mendapat dukungan yang cukup dari keluarga, kadar gula darahnya cenderung lebih terkontrol.
Jumlah penduduk Sulawesi Selatan menyandang penyakit Diabetes Mellitus Tipe II sebanyak 7%
dan Makassar merupakan kota dengan penderita DM Tipe II terbanyak. Pada tahun 2010 terdapat 3827 kasus
baru dari 17245 atau sekitar 22,19%. Diabetes Mellitus Tipe II merupakan penyakit yang berada dalam
urutan 5 besar penyakit terbanyak di instalasi rawat jalan di RSUD Daya. Dan setiap tahun penyakit ini
mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 terdapat 368 penderita dan meningkat menjadi 586 kasus pada
tahun 2010 dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2012 (sampai bulan September) sebanyak 692 kasus
dengan kasus baru sebanyak 244.
Melihat kasus DM tipe II yang selalu mengalami peningkatan maka, sebaiknya diabetesi harus
mengontrol kadar gula darahnya untuk mencegah komplikasi dan memperpanjang hidupnya.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian observasional analitik dengan
rancangan Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Daya Makssar pada tanggal 20
Maret sampai 14 April 2012
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan DM tipe II yang memeriksakan diri
di RSUD Daya Makassar tahun 2011 (sampai bulan September) sebanyak 244 dengan besar sampel 149
orang. Penarikan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah secara komputerisasi dengan menggunakan program analisis melalui
tahapan editing, coding, entry data dan analisis data. Analisis data dilakukan dengan mengguanakan uji

statistik Chi Square (X ) dan koefisien Phi (

). Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden
Tabel 1 merupakan gabungan dari 4 karakteristik responden yaitu jenis kelamin, kelompok umur,
pekerjaan dan tingkat pendidikan.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

126

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden di RSUD Daya Makassar Tahun 2012


Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kelompok Umur
35-44
45-54
55-64
65
Pekerjaan
PNS
IRT
Kary swasta
Wiraswasta
Pedagang
Pensiunan
Tidak Bekerja
Tingkat Pendidikan
tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Diploma
Sarjana
Data Primer

n
48
101
n
10
27
75
37
n
11
50
3
16
20
41
8
n
13
31
22
15
14
54

%
32.2
67.8
%
6.7
18.1
50.3
24.8
%
7.4
33.6
2.0
10.7
13.4
27.5
5.4
%
8.7
20.8
14.8
10.1
9.4
36.2

Distribusi menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 yang di rawat jalan di
RSUD Daya Makassar sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 101 responden (67,8%).
Untuk kelompok umur menunjukkan bahwa setengah dari jumlah responden berada pada kelompok umur
55-64 tahun sebanyak 75 responden (50,3%) dan yang paling sedikit pada kelompok umur 35-44 tahun yaitu
10 responden (6,7%).
Distribusi menurut pekerjaan menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 yang berobat di RSUD Daya
Makassar paling banyak bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 50 responden (33,6%) dan yang
paling sedikit berpfofesi sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 3 responden responden (2,0%). Untuk
tingkat pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh responden terbanyak
adalah sarjana yaitu sebanyak 54 responden (36,2%) dan paling sedikit responden yang tidak sekolah yaitu
13 responden (8,7%).
Kadar Gula Darah
Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam post
prandial di RSUD Daya Makassar Tahun 2012
No.

Kadar gula darah

1
Kadar gula darah puasa
2
Kadar gula darah 2 jam post prandial
Data Primer

Baik
n
51
48

Buruk
%
34,2
32,2

n
98
101

%
65,8
67,8

Total
n
%
149 100,0
149 100,0

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa lebih dari setengah responden mempunyai kadar gula
darah buruk, baik gula darah puasa maupun gula darag 2 jam post prandial. Untuk gula darah darah puasa
sebanyak 98 (65,8%) responden memiliki kadar gula darah yang tergolong tinggi/buruk. Dan sebanyak 101
(67,8%) responden mempunyai kadar gula darah 2 jam post prandial yang masih tergolong buruk/tinggi.
Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa bahwa sebagian besar responden tidak terkontrol
gula darahnya. Angka ini cukup tinggi, yaitu 77,9% atau 116 dari total 149 responden.
Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan kadar gula di RSUD Daya Makassar Tahun 2012
Kadar gula darah

Frekuensi
n

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

127

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Terkontrol
Tidak terkontrol
Jumlah
Data Primer

33
116
149

22,1
77,9
100,0

Analisis Antarvariabel
Tabel 4 Hubungan variabel independen dengan kadar gula darah di RSUD Daya Makassar Tahun
2012
No

Kadar Gula Darah


Variabel
independen

1.

Tingkat Pendidikan
Tinggi
Rendah
Jumlah

Terkontrol
n

Uji statistic
p value

Total

Tidak terkontrol
n

X2
3,363

23
10
33

27,7
15,2
22

60
56
116

72,3
84,8
80

60
66
149

phi ( )
0,067

100,0
100,0
100,0

2.

0,039
Pengetahuan

4,253
0,169

Cukup
Kurang
Jumlah

24
9
33

28,2
14,1
22

61
55
116

71,8
85,9
80

85
64
149

100,0
100,0
100,0

3.

0,000
Sikap

17,239
0,34

4.

Positif
Negatif
Jumlah
Dukungan Keluarga
Cukup
Kurang
Jumlah

28
5
33

35,4
7,1
22

51
65
116

64,6
92,9
80

79
70
149

100,0
100,0
100,0

21
12
33

25,6
17,9
22

61
55
116

74,4
82,1
80

82
67
149

100,0
100,0
100,0

1,268

5.

0,260

0,000
Pola Makan

40,715
0,523

Baik
Buruk
Jumlah

33
0
33

43,4
0
22

43
73
116

56,6
100,0
80

76
73
149

100,0
100,0
100,0

6.
Aktivitas Fisik

86,490

0,000
0,762

Ringan
Sedang
Jumlah

7
26
33

5,9
83,9
22

111
5
116

94,1
16,1
80

118
31
149

100,0
100,0
100,0

Data Primer
Pada tabel 4 diketahui bahwa bahwa responden dengan pendidikan tinggi dan kadar gula darah
terkontrol sebanyak 23 responden (27,7%). Sedangkan responden dengan pendidikan rendah dan kadar gula
darah terkontrol sebanyak 10 responden (15,2%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,067
artinya p > (0,05), dengan demikian Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II.
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup dan kadar gula
darah terkontrol sebanyak 24 responden (28,2%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang
dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 9 responden (14,1%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai
p = 0,039 artinya p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada
hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat
besar hubungan diperoleh koefisien phi = 0,169 artinya keduanya memiliki hubungan yang lemah.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

128

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tabel 4 menunjukkan bahwa bahwa responden yang memiliki sikap positif dan kadar gula darah
terkontrol sebanyak 28 responden (35,4%). Sedangkan responden yang memiliki sikap negatif dan kadar
gula darah terkontrol sebanyak 5 responden (7,1%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,000
artinya p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang
bermakna antara sikap dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh
koefisien phi = 0,340 artinya keduanya memiliki hubungan yang sedang.
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden yang memperoleh dukungan keluarga cukup dan kadar gula
darah terkontrol sebanyak 12 responden (17,9%). Sedangkan responden yang memperoleh dukungan
keluarga kurang dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 21 responden (25,6%). Berdasarkan uji chi-square
didapatkan nilai p = 0,260 artinya p > (0,05), dengan demikian Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada
hubungan antara dukungan keluarga dan kadar gula darah penderita DM Tipe II.
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa bahwa responden yang memiliki pola makan baik dan kadar gula
darah terkontrol sebanyak 33 responden (43,4%). Dan tidak ada responden yang memiliki pola makan tidak
baik dan kadar gula darah terkontrol. Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,000 artinya p <
(0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna
antara pola makan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh
koefisien phi = 0,523 artinya keduanya memiliki hubungan yang kuat.
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki aktivitas sedang dan kadar gula darah
terkontrol sebanyak 26 responden (83,9%). Dan responden yang memiliki aktivitas ringan dan kadar gula
darah terkontrol sebanyak 7 responden (5,9%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,000 artinya
p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna
antara aktivitas fisik dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh
koefisien phi = 0,762 artinya keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat.
PEMBAHASAN
Tingkat Pendidikan
Secara teori, tingkat pendidikan berpengaruh pada penerimaan seseorang pada sutu hal, misalnya
saja perilaku mengontrol gula darah. Karena tingkat pendidikan merupakan faktor predisposisi dari
perubahan perilaku seseorang. Namun penerimaan seseorang belum bisa menjamin tindakan positif yang
dilakukan oleh seseorang. Perubahan perilaku justru terjadi karena adanya kesadaran dan niat dari dalam diri
seseorang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mihardja, menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan
rendah kadar gula darahnya juga tidak terkontrol. Hal ini sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan
Aliasgharzadeh et al. menunjukkan meningkatnya tingkat pendidikan seiring dengan meningkatnya
kepatuhan dalam berdiet, berolahraga dan obat-obatan sehingga kadar gula darah lebih terkontrol.
Meskipun tingkat pendidikan tidak berhubungan langsung dengan kadar gula darah, tetapi tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi terbentuknya perilaku seseorang misalnya dalam
mengontrol kadar gula darahnya. Jadi secara teoritis, jika seseorang berpendidikan tinggi, maka seharusnya
kadar gula darahnya juga terkontrol. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan
bahwa, sebagian besar responden yang tidak mengontrol gula darahnya justru mereka yang berpendidikan
tinggi (minimal tamat SMA). Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran dari penderita DM tipe II,
walaupun mereka memiliki pengetahuan yang baik mengenai DM. Pendidikan yang tinggi belum menjamin
perilaku yang baik bagi seseorang. Salah satu penyebabnya karena kurangnya motivasi pasien untuk
mengontrol gula darahnya dan bisa juga disebabkan karena stess yang dialami oleh pasien.
Pengetahuan
Pengetahuan menrupakan hasil tahu , ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan
terhadap sesuatu objek tersebut, melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar dimiliki pengetahuan oleh seseorang terhadap sesuatu objek melalui indera penglihatan dan
pendengaran.
Hasil penelitian oleh Rahmadiliyani yang menyatakan bahwa jika pengetahuan tentang penyakit
diabetes melitus baik diharapkan akan mempengaruhi tindakan penderita dalam mengontrol kadar gula
darahnya.
Pengetahuan merupakan faktor predisposisi atau faktor penentu dari perilaku seseorang, akan tetapi
perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh niat dan motivasi seseorang, misalnya motivasi untuk sembuh.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah mengetahui tentang penyakit DM dan
bagaimana cara mengendalikan penyakit tersebut agar kadar gula darahnya terkontrol. Akan tetapi, masih
banyak responden yang menunjukkan perilaku yang kurang baik terutama dalam hal kontrol gula darah.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol gula darah yaitu dengan menjaga berat badan ideal,
dan sebagian besar responden dalam penelitian ini belum mengetahui cara menentukan berat badan ideal.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

129

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seeorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau
objek. Menurut Allport, sikap merupakan keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek
dan situasi yang berkaitan.
Penelitian Jazilah (2003) sejalan dengan hasil temuan ini, yang menyatakan bahwa kelompok
responden yang mempunyai sikap positif kadar gula darahnya cenderung lebih terkendali dibanding dengan
kelompok responden yang mempunyai sikap negatif terhadap pengelolaan DM. Hasil ini sejalan dengan
pendapat Azwar, yaitu sikap merupakan suatu kecendrungan untuk memberikan respon terhadap suatu objek
dalam bentuk perasaan memihak atau tidak memihak melalui proses interaksi komponen-komponen sikap
yang yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan konatif (kecenrungan bertindak). Anggapananggapan yang negatif terhadap pengelolaan DM cenderung untuk bertindak yang kurang tepat dalam
mengelola DM, sehingga dapat mengakibatkan tidak terkontrolnya kadar gula darah.
Dukungan Keluarga
Keluarga sebagai salah satu lingkungan sosial terdekat dengan penderita DM merupakan satu faktor
yang potensial untuk mempengaruhi dan membentuk motivasi yang sehat bagi penderita DM dalam
menjalankan penatalaksanaan DM untuk pengendalian kadar gula darah penderita, sehingga faktor sikap
perilaku dan partisipasi keluarga penderita DM merupakan faktor penting untuk menentukan keberhasilan
penatalaksanaan DM.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dukungan dari pihak keluarga kepada pasien tidak
memiliki hubungan dengan kadar gula darah. Hal ini disebabkan meskipun responden telah dimotivasi dan
didukung oleh keluarga, namun itu belum menjamin mereka akan merubah pola hidup dan kebiasaan
mereka. Sebagian besar responden masih belum memiliki kesadaran dalam hal pengendalian terhadap
penyakit yang dideritanya. Banyak orang memandang diabetes hanya dari segi klinisnya saja, sehingga perlu
membantu mengenal perasaan pasien, sebagai penderita diabetes agar dapat mengendalikan lebih baik. Segi
emosional ini meliputi marah dan takut, akan menyebabkan kesalahan dan kekecewaan dan merasa bahwa
telah membatasi segala segi kehidupan. Segi emosional harus dijaga karena stress atau depresi dapat
meningkatkan kadar gula darah.
Pola Makan
Menjadi diabetesi sering dikaitkan dengan tidak boleh makan gula, hal ini memang benar bahwa
gula dapat menaikkan kadar gula darah. namun yang perlu diketahui bahwa semua makanan juga dapat
menaikkan glukosa darah. oleh karena itu yang perlu dilakukan oleh penyandang diabetes adalah makan
sesuai kebutuhan kalori, teratur dalam jumlah, jenis dan waktu makan. Penderita diabetes pada umumnya
tidak perlu mengonsumsi jenis makanan tertentu. Karena yang terpenting dalam pola diet diabetes adalah
membatasi jumlah dan memperhatikan jadwal makan. Dengan kata lain, tujuan yang ingin dicapai adalah
mengonsumsi makanan yang memiliki kandungan lemak dan kalori yang rendah, serta lebih banyak
mengonsumsi sayur, dan buah.
Penelitian oleh Arysh, menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makan dan kadar gula darah
penderita DM Tipe II di wilayah Puskesmas Wonokromo Surabaya (p = 0,006) 12. Serta penelitian dari
Fibriana (2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kadar
gula darah pada penderita diabetes melitus dengan p<0,05 (p=0,023).
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik pada DM tipe 2 berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Otot yang
terkontraksi atau aktif tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel karena pada otot
yang aktif sensitivitas reseptor insulin meningkat. Oleh karena itu aktivitas fisik pada DM tipe II akan
menyebabkan berkurangnya kebutuhan insulin eksogen. Namun menurut Zinman keuntungan ini tidak
bertahan lama, oleh karena itu dibutuhkan aktivitas fisik yang teratur dan kontinu. Selain bermanfaat dalam
mengontrol kadar gula darah, aktivitas fisik pada DM tipe II diharapkan dapat menurunkan berat badan dan
ini merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai, bahkan sebagian ahli menganggap bahwa manfaat
aktivitas fisik bagi DM tipe II akan lebih jelas bila disertai dengan penurunan berat badan atau berkurangnya
aktivitas lemak tubuh.
Selain dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh, aktivitas fisik juga terbukti
menurunkan konsentrasi HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan risiko komplikasi diabetes
dan kematian. Selain mengurangi risiko, aktivitas fisik akan memberikan pengaruh yang baik pada lemak
tubuh, tekanan darah arteri, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent,
aliran darah pada kulit, hipertrigliseridemi, dan fibrinolisis. Angka kesakitan dan kematian diabetisi yang
aktif, 50 % lebih rendah dibanding mereka yang santai (Guthrie dalam Winawan, 2011). Jadi jelaslah bahwa
aktivitas fisik sangat penting dilaksanakan dalam kehidupan penderita Diabetes Melitus.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

130

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

KESIMPULAN DAN SARAN


Tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II
di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan nilai p=0,67. Ada hubungan pengetahuan dengan kadar gula

darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,039 dan =0,16
yang berarti pengetahuan memiliki hubungan lemah dengan kadar gula darah. Ada hubungan sikap dengan
kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,000

dan =0,340 yang berarti sikap memiliki hubungan sedang dengan kadar gula darah. Tidak ada hubungan
dukungan keluarga dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar
Tahun 2012 dengan nilai p=0,26. Ada hubungan pola makan dengan kadar gula darah penderita diabetes

mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,000 dan
=0,523 yang berarti pola
makan memiliki hubungan kuat dengan kadar gula darah. Ada hubungan aktifitas fisik dengan kadar gula

darah penderita DM Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,000 dan
=0,762 yang
berarti aktivitas fisik memiliki hubungan sangat kuat dengan kadar gula darah.
Diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk mengoptimalkan penyuluhan mengenai pentingnya
mengontrol gula darah dan memotivasi pasien untuk lebih memperhatikan pola makan dan aktivitas fisiknya.
Pada saat melakukan kontrol atau pemeriksaan diharapkan bagi petugas kesehatan yaitu dokter dan ahli gizi
untuk memotivasi pasien agar lebih memperhatikan pola makan dan aktivitas fisiknya. Kepada peneliti lain
agar memperhatikan variabel komplikasi dan konsumsi obat dan lama menderita.
DAFTAR PUSTAKA
Perkeni. 2010. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006.
Jakarta: Perkeni.
Imbran, Friska Fifi Firyani. 2009. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus di RSUD Datuk Binangkang
Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009. Skripsi. Gorontalo: Universitas Gorontalo.
Suharyanto, M Hery. 2009. Pemicu Diabetes, Pola Hidup Tidak Sehat. http://www.depkes.go.id diakses
tanggal 3 Januari 2011.
Jazilah., Wijono, Paulus., dan Toto Sudargo. 2003. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik
(PSP) Penderita Diabetes Mellitus Mengenai Pengelolaan Diabetes Mellitus dengan Kendali
Kadar Glukosa Darah. Artikel Ilmiah. SAINS KESEHATAN 16 (3), September 2003.
DINKES PROVINSI SULAWESI SELATAN. 2010. Rekapan Kasus DM PKM dan RS PPTM. Makassar:
Bagian PTM Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan.
Mihardja, Laurentia. 2009. Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah pada Penderita
Diabetes Mellitus di Perkotaan Indonesia. Artikel Penelitian: Majalah Kedokteran Indonesia,
Volum: 59, Nomor: 9, September 2009.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Kedua. Jakarta:
Rineka Cipta.
Rahmadiliyani, Nina., dan Abi Muhlisin. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit dan
Komplikasi pada Penderita Diabetes Melitus dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah di
Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak Sukoharjo. Artikel Ilmiah: Berita Ilmu Keperawatan ISSN 19792697, Vol. I, No. 2 , Juni 2008, 63-68.
Bintoro, Wahyu. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan
Perencanaan Diit pada Pasien Diabetes Mellitus di Unit Rawat Jalan RSU Pandanarang
Kabupaten Boyolali. Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Arsyh, Indry (2011). Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes
Mellitus di Puskesmas Wonokromo Surabaya. Karya Tulis Ilmiah: JBPTITBPP
Fibriana, Dian. 2005. Hubungan Pola Makan Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Deabetes Melitus.
Tesis.
Ilyas, Ernita I. 2011. Manfaat Latihan Jasmani Bagi Penyandang Diabetes. Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus Terpadu. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Winawan, Anastasia Rini. 2011. Hubungan Asupan Makanan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Pasien
Rawat Jalan HIV/AIDS di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar Tahun 2011. Skripsi FKM
UNHAS

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

131

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI RETINOPATY


DIABETIKA PADA KLINIK DIABETES CENTER KOTA TERNATE
TAHUN 2009 2012
Jusnainy Wadjir1, Ridwan Amiruddin1, Leo Prawirodihardjo2
1

Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara


Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

ABSTRACT
The aim of the research is to find out to what extend the risk factors on the occurrence of diabetes
mellitus with retinopathy diabetic complications in Diabetes Center of Ternate city from 2009 to 2012. The
research was an observational study with Case Control Study design. The case group consisted of diabetes
mellitus patients with retinopaty diabetic complication in Diabetes Center of Ternate City from 2009 to
2012. The control group consisted of dibetes mellitus patients without retinopaty diabetic complication in
Diabetes Center of Ternate City from 2009 to 2012. The data were processed by using Stata program with
Odds ratio ( = 0.05), stratification with Mantel Hanzsel test, and multivariate with logistic regression
analysis. The resultsof the research reveal the risk variables on the occurrence of diabetes mellitus with
retinopaty diabetic complication are obesity (OR = 4.94; CI 95%; 2.02 - 12.70), hypertension (OR = 3.47
CI 95%;: 1.49 - 8.10), cholesterol (OR = 6.4 CI 95%; 2.57 - 16.55), and gender (OR = 3.41,CI 95%; 1.42 8.49). Variables of physical activity (OR = 1.87, CI 95%; 0.65 - 6.21), and smoking (OR = 1.66, CI 95%;
0.31 - 8.18) are risky but they are insignificant statistically. The result of multivariate analysis indicates that
cholesterol has the greatest risk on the occurrence of diabetes mellitus with retinopaty diabetic
complication.
Keywords : diabetes mellitus with retinopaty diabetic complication.
PENDAHULUAN
Penyakit Diabetes (DM) dikalangan masyarakat dikenal dengan nama penyakit kencing manis juga
dijuluki the mother of diseases. Diabetes Melitus juga disebut penyakit metabolik yang ditandai
hyperglikemia kronik, dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan
terjadinya kelainan sekresi insulin dan kerja insulin. Hal ini tentu sangat berpengaruh dan dapat menyebar ke
sistem tubuh yang lain, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah (Penatalaksanaan DM terpadu FK-UI, 2009).
Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita diabetes di seluruh dunia,
disusul katarak. Bila kerusakan retina sangat berat, seorang penderita diabetes dapat menjadi buta permanen
sekalipun dilakukan usaha pengobatan. Kadar gula darah yang tinggi secara terus-menerus selama bertahuntahun dapat menimbulkan komplikasi, terutama pada mata, jantung, dan ginjal. Komplikasi diabetes pada
mata dapat menimbulkan kebutaan, yang sebenarnya dapat dihindari (avoidable blindness) dengan
manajemen diabetes yang baik, meliputi diet ketat, olahraga, obat-obatan, mengontrol penyakit penyerta
seperti hipertensi dan kadar kolesterol tinggi, serta menghentikan kebiasaan merokok.
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit penyebab kematian nomor 6 di Indonesia dengan
jumlah proporsi kematian sebesar 5,8% setelah stroke, TB, Hipertensi, cedera dan Perinatal (Hasil Riskesdas
tahun 2007). DM disebabkan karena adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya di
dalam tubuh manusia. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya keainan tersebut ada yang tidak diketahui
(idiopatik) da nada yang disebabkan oleh gaya hidup atau lifestyle, seperti pola makan tidak sehat (kurang
mengkonsumsi sayur dan buah) serta kurangnya aktivitas fisik dan kegemukan (Depkes, 2010).
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang hasilnya baru saja dikeluarkan bulan
Desember 2008, menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5 %
terdiri dari pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan
diabetes saat penelitian). Angka ini diambil dari hasil penelitian di seluruh provinsi, yang kemudian
diketahui bahwa Kalimantan Barat dan Maluku Utara menduduki peringkat prevalensi diabetes tertinggi
tingkat provinsi.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

132

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Dengan melihat banyak faktor penyebab terjadinya Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopati
Diabetika, maka perlu untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui besaran
Faktor risiko terhadap kejadian Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopati Diabetika pada Diabetes
Center, Kota Ternate, Tahun 2009 2012.

BAHAN DAN METODE


Rancangan Penelitian dan Lokasi
Penelitian dilakukan di Diabetes Center Kota Ternate. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (case control study).
Populasi dan Sampel
Populasi adalah adalah semua pasien Diabetes Melitus (DM) yang berobat pada Diabetes Center,
tahun 2009 - 2012. Sampel sebanyak 126 orang, dimana jumlah kasus adalah 42 sampel dan kontrol adalah
84 sampel yang dipilih secara random sampling melalui teknik purposive sampling, yang telah memenuhi
kriteria inklusi yaitu Laki-laki dan perempuan,Berdomisili di wilayah Kota Ternate,Bersedia menjadi
responden,Penderita harus kooperatif. Kasus adalah penderita penyakit Diabetes Melitus dengan komplikasi
Retinopaty Diabetika, pada Klinik Diabetes Center, tahun 2009 2012 dan Kontrol adalah pasien yang
menderita penyakit DM tanpa komplikasi Retinopaty Diabetika, pada Klinik Diabetes Center, tahun 2009 2012.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan STATA. Dilakukan analisis deskriptif untuk melihat perbandingan
kelompok terpajan dengan insidensi kelompok tidak terpajan menggunakan analisis Risk Ratio dan Risk
Difference untuk menghitung selisih angka insidensi kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan.
Analisis bivariat untuk mengetahui besar risiko terhadap kejadian DM dengan komplikasi retinopaty
diabetika digunakan analisis Odds Ratio (OR). Analisis multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang
paling berpengaruh terhadap kejadian DM dengan komplikasi retinopaty diabetika digunakan uji Regresi
Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding digunakan analisis stratifikasi.
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 Penelitian ini menggunakan umur sebagai variabel yang dijadikan matching antara kelompok
kasus dan kontrol. Menunjukkan bahwa distribusi umur yang paling banyak pada responden dengan umur 60
69 tahun yaitu sebanyak 33,33% dan paling sedikit terdapat pada ibu dengan umur 30 39 tahun yaitu
sebanyak 2,38%.
Distribusi pada jenis pekerjaan menunjukkan bahwa proporsi yang paling banyak menurut pekerjaan
adalah pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada pekerjaan sebagai PNS 28,57 % dan pada
kelompok kontrol paling banyak pada PNS yaitu 13,10%.
Distribusi pada kadar glukosa darah menunjukkan bahwa proporsi yang paling banyak menurut kadar
GDS kategori sedang terdapat pada kelompok kontrol 52,38 % dan GDS paling tinggi banyak terdapat pada
kelompok kasus yaitu 80,95%.
Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Responden di Diabetes Center Kota Ternate

Variabel
Umur
30 39
40 - 49
50 59
60 69
70 79
Jenis Pekerjaan
PNS
Pegawai Swasta
Tani
Wiraswasta
Pensiunan
IRT
Kadar GDS

Kasus

Kontrol

Jumlah

1
13
12
14
2

2,38
30,95
28,57
33,33
4,76

2
26
24
28
4

2,38
30,95
28,57
33,33
4,76

3
39
36
42
6

2,38
30,95
28,57
33,33
4,76

12
1
2
11
2
14

28,57
2,38
4,76
26,19
4,76
33,33

11
7
3
17
5
41

13,10
8,33
3,57
20,24
5,95
48,81

23
8
5
28
7
55

18,25
6,35
3,97
22,22
5,56
43,65

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

133

JURNAL
200 249
240 299
300 349
>=350
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
0
0
8
34

0,00
0,00
19,05
80,95

INDONESI A

44
23
14
3

52,38
27,38
16,67
3,57

44
23
22
37

34,92
18,25
17,46
29,37

Analisis
Pada tabel 2 Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR), faktor obesitas terhadap kejadian DM
dengan komplikasi RD adalah 4,95 (95% CI : 2,02-12,70). Dengan demikian responden obesitas yang
berisiko dengan risiko 4,94 kali menderita DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang
tidak Obesitas. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 4,94
dianggap bermakna secara statistik atau obesitas merupakan faktor risiko kejadian DM dengan komplikasi
RD.
Tabel 2.

Besar Risiko Kejadian DM dengan komplikasi RD di Diabetes Center Kota Ternate

Variabel
Obesitas
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Hipertensi
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Kolesterol
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Jenis Kelamin
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Aktivitas Fisik
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Riwayat Merokok
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Data Primer

DM dengan Komplikasi RD
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR

95% CI

32
10

76,19
23,81

33
51

39,29
60,71

4,95

2,02-12,70

0,00
01

25
17

59,52
40,48

25
59

29,76
70,24

3,47

1,49-8,10

0,00
13

32
10

76,19
23,81

28
56

33,33
66,67

6,4

2,57-16,55

0,00
00

31
11

73,81
26,19

38
46

45,24
54,76

3,41

1,42-8,49

0,00
24

36
6

85,71
14,29

64
20

76,19
23,81

1,87

0,65-6,21

0,21
30

4
38

9,52
90,48

5
79

5,95
94,05

1,66

0,31-8,18

0,46
31

Responden dengan hipertensi berisiko dengan risiko 3,47 kali menderita DM dengan komplikasi RD
dibandingkan dengan responden yang tidak hipertensi. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu dengan
tingkat kepercayaan 95% maka nilai 3,47 dianggap bermakna secara statistik atau hipertensi merupakan
faktor risiko kejadian DM dengan komplikasi RD.
Hasil analisis Odds Ratio (OR), kolesterol terhadap kejadian DM dengan komplikasi RD adalah 6,4
(95% CI : 2,58-16,55). responden yang memiliki kolesterol tinggi berisiko dengan risiko 6,4 kali menderita
DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang kolesterol rendah.
Responden berjenis kelamin perempuan berisiko dengan risiko 3,41 kali mengalami DM dengan
komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang jenis kelamin laki - laki. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 3,41 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,42 8,49. Nilai
LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka jenis kelamin perempuan berisiko 3,41 kali lebih besar
dibandingkan responden yang jenis kelamin laki laki dan bermakna secara statistik.
Responden dengan aktivitas fisik rendah memiliki risiko 1,87 (95% CI : 0,65-6,21). terjadinya
Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopati Diabetik dibandingkan yang aktifitas fisik teratur. Nilai LL
dan UL mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 1,87 dianggap tidak bermakna
secara statistik atau aktivitas Fisik bukan merupakan faktor risiko kejadian DM dengan Komplikasi RD.
Responden dengan riwayat merokok atau merokok lebih dari 1 bungkus sehari memiliki risiko 1,66
kali menderita DM dengan Komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang tidak mempunyai Riwayat
Merokok atau merokok kurang dari 1 bungkus per hari. Nilai LL dan UL (95% CI :0,31-8,18) mencakup
nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 1,66 dianggap tidak bermakna secara statistik atau
Riwayat merokok bukan merupakan faktor risiko kejadian DM dengan Komplikasi RD.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

134

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Analisis Stratifikasi
Dari tabel 3, Analisis stratifikasi variabel Kolesterol mempengaruhi hubungan Obesitas terhadap
kejadian DM dengan komplikasi RD, dimana terjadi peningkatan nilai OR adjust dibandingkan dengan nilai
OR crude. Sehingga variabel kolesterol bermakna sebagai variabel confounding (beda ORa dan M-H
combined > 10%) dan tidak ada interaksi (test of homogeneity dengan p > 0,05).
Tabel 3.

Hasil Analisis Faktor Confounding Kolesterol Terhadap Hubungan Obesitas Dengan


Kejadian DM dengan komplikasi RD pada Diabetes Center Kota Ternate

Variabel yang Diduga


Confounding
Kolesterol
Data Primer

Orc

M-H
combined

95% CI

4,95

3,96

1,672-9,373

Koef.
Confounding
(>10%)
20%

Homogeneity
test
(p>0,05)
0,69

Analisis Multivariat
Analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) kejadian DM dengan
komplikasi retinopati diabetika adalah 80,57% (P = 0,8057 dengan nilai y = 1,422) pada kondisi ibu yang
obesitas, hipertensi dan responden dengan kolesterol tinggi dengan formula P = 1/(1+exp-y) (tabel 4).
Tabel 4.

Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian DM dengan
komplikasi RD pada Diabetes Center Kota Ternate

Variabel
Obesitas
Hipertensi
Kolesterol
_cons
y = 1,422
p= 0,8057
Data Primer

Coef.
1,47
1,32
1,73
-3,10

Z
3,10
2,88
3,69

OR
4,36
3,76
5,65

95% Conf. Interval


1,72-11,06
1,53-9,27
2,25-14,16

p
0,002
0,004
0,000

PEMBAHASAN
Dalam peneltian ini menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang signifikan mempengaruhi
kejadian Diabetes Melitus dengan komplikasi retinopati diabetika yaitu obesitas, hipertensi, dan kolesterol
tinggi
Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa nilai odd ratio (OR) 4,95 dengan tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 2,02 12,70, oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka responden mempunyai
berat badan lebih atau obesitas berisiko 4,95 kali lebih besar untuk menderita DM dengan Komplikasi RD
dibandingkan yang tidak obesitas.
Proses penyakit retinopati diabetik terjadi akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada pembuluh
darah retina, yaitu suatu membran tipis yang terbentuk dari sel-sel saraf yang berjejer di belakang 2/3 bola
mata. Sel-sel saraf pada retina akan menerima cahaya dan mengirimkan sinyal ke otak tentang apa yang
dilihat oleh mata.
Hu FB, dkk (2001) melaporkan hasil penelitian yang merupakan bagian dari penelitian kohort The
Nurse Health Study. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor predictor utama terjadinya DM ialah berat
badan lebih atau gemuk. Orang gemuk, terdapat kalori yang berlebihan karena konsumsi makanan yang
banyak menyebabkan penimbunan jaringan lemak di bawah kulit. Insulin resistance atau resisten insulin
akan timbul, dimana jaringan lemak menumpuk akan menghambat kerja insulin dijaringan tubuh dan otot
sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menimbun di dalam pembuluh darah, dan glukosa
akan meningkat.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 3,47 dengan tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 1,49 8,10. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka variabel hipertensi merupakan
faktor risiko untuk responden yang menderita DM dengan komplikasi RD. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Sidasi (2010) yang menyatakan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya diabetes
melitus dengan OR = 3.03, CI 95% (1,34 6,81).
Hipertensi atau sering disebut penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana pembuluh darah
kehilangan elastisitas (yang disebabkan salah satunya adalah oleh kondisi pembuluh darah yang sudah tua,
kaku dan rapuh), sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah pada pembuluh nadi atau arteri
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

135

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

melebihi nilai normal. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi erat kaitannya dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah
perifer (Pratiwi, 2008).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusman Shiddiq, dkk (2011). Hipertensi
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian retinopati diabetik dengan nilai p=0,008.
Hipertensi bisa memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal atau stroke. Risiko
serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi. Antara
3537 % komplikasi diabetes disebabkan oleh hipertensi. Hipertensi lebih banyak terjadi pada penderita
diabetes tipe 2 daripada tipe 1 (Tandra, 2007).
Kolesterol merupakan zat yang berlemak yang ditemukan disetiap tubuh kita. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa responden dengan kolesterol tinggi lebih banyak pada responden yang menderita DM
dengan komplikasi RD yaitu 76,19%, dibandingkan responden yang menderita DM tanpa Komplikasi RD
yaitu 33,33%.
Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 6,4 dengan tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 2,57 16,55. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka responden yang kolesterolnya
tinggi berisiko 6,4 kali lebih besar menderita DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden
yang kolesterolnya normal. Dan bermakna secara statistik.
Perubahan komposisi asam lemak dalam fosfolipid membrane sangat mempengaruhi keaktifan
insulin. Sejumlah peneliti telah memperlihatkan fakta tersebut. Gangguan yang terjadi berupa gangguan
peningkatan insulin pada reseptor dan peristiwa sesudah peningkatan dengan reseptor. Secara umum makin
jenuh asam lemak lipid membrane makin kurang sensitivitas insulin. Pada suatu penelitian lain, ditemukan
bahwa asam lemak dalam diet berperan besar pada resistensi insulin. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Ramlah (2009) yang menyatakan kolesterol tinggi merupakan faktor risiko terhadap kejadian
DM tipe 2 dengan OR = 1.579, CI 95 % (0,820-3,039).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan
terhadap suatu penyakit memegang peranan tersendiri. Rasio jenis kelamin harus selalu dipertimbangkan
pada peristiwa penyakit tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam banyak hal, termasuk
kebiasaan hubungan social, keterpaparan oleh pengaruh lingkungan dan segi segi lainnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 3,41 dengan tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 1,42-8,49. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka jenis kelamin perempuan berisiko
3,41 kali lebih besar dibandingkan responden yang jenis kelamin laki-laki dan bermakna secara statistik.
Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terkena DM seperti pada komplikasi nefropati
diabetic dan retinopati diabetic. Setelah usia 30 tahun, perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki LDL atau kolesterol buruk
tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dari laki-laki, dan terdapat perbedaan dalam melakukan
semua aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi terjadinya penyakit diabetes mellitus.
Wanita diharapkan dapat lebih peduli terhadap kesehatan dengan meningkatkan pola hidup sehat. Penelitian
yang dilakukan di Meksiko mendapatkan 70 % penderita Retinopati merupakan wanita dengan usia rata
rata 51 tahun.
Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa RD pada wanita lebih banyak ditemukan
daripada laki-laki. Dengan uji proporsi terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin wanita dan
laki-laki terhadap timbulnya RD (p=0,0416) (Damayanti, dkk).
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan tenaga
dan energy, yang biasa dilakukan atau rutinitas sehari hari sesuai profesi atau pekerjaan. Olahraga adalah
aktifitas fisik yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk
mencapai kebugaran. Dengan olahraga membuat insulin bekerja lebih efektif, membantu menurunkan berat
badan, memperkuat jantung, serta mengurangi stress.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 1,87 dengan tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 0,65- 6,21. Nilai LL dan UL mencakup nilai satu, maka yang mepunyai kebiasaan aktivitas
rendah berisiko menderita DM dengan komplikasi RD tetapi tidak bermakna secara statistik.
Pada saat berolah raga, otot berkontraksi dan mengalami relaksasi. Glukosa akan dipakai atau
dibakar untuk energi. Untuk kebutuhan energi, glukosa darah akan dipindahkan dari darah ke otot selama
dan setelah berolahraga. Dengan demikian glukosa darah akan menurun. Disamping itu, olahraga membuat
insulin menjadi lebih sensitive. Insulin akan bekerja dengan lebih baik untuk membuka pintu masuk bagi
glukosa ke dalam sel.
Penelitian Arif (2008) menyatakan aktivitas fisik yang kurang memiliki risiko terkena DM dengan
OR = 3.27. Penelitian ini juga sejalan dengan Indriyani, dkk yang menyatakan ada pengaruh latihan fisik :
Senam aerobic terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 (p=0001).
Frekuensi olahraga yang dianjurkan adalah 3-5 kali perminggu dengan intensitas 60-70 % dari denyut
nadi maksimal (DNM). Prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah, setiap berolahraga harus terdiri dari 3
tahapan berturut-turut, pemanasan (5-10 menit), latihan inti (20-40 menit) dan pendinginan (5-10 menit).
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

136

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Durasi dan intensitas ditentukan berdasarkan kondisi tubuh dan tingkat penyakit DM pasien, usia, tingkat
kebugaran, penyakit yang menyertai dan lain-lain.
Rokok merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian dini di Negara berkembang yang dapat
dicegah. Nikotin merupakan zat adiksi tinggi yang akan menaikkan kadar dopamine di otak. Perubahan otak
selama putus obat nikotin sama dengan keadaan yang terjadi pada putus obat yang lain.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 1,66 dengan tingkat kepercayaan (CI)
95% yaitu 0,31-8,18. Nilai LL dan UL mencakup nilai satu, maka responden dengan riwayat merokok atau
merokok lebih dari 1 bungkus per hari berisiko 1,66 kali lebih besar menderita DM dengan Komplikasi RD
dibandingkan dengan yang tidak memiliki Riwayat merokok atau merokok kurang dari 1 bungkus per hari
tetapi tidak bermakna secara statistik.
Nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas insulin dan meningkatkan terjadinya resistensi
insulin. Pada kondisi hiperglikemi, nikotin dan karbon monoksida mempercepat terjadinya penggumpalan
darah. Diabetisi yang merokok cenderung mengalami penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah
sehingga lebih banyak mengalami komplikasi seperti kebutaan, impotensi, gagal ginjal dan tindakan
amputasi (Direktorat PTM).
Semakin lama seseorang merokok semakin lama pula orang terpapar oleh asap rokok yang
selanjutnya akan mempengaruhi organ-organ tubuh yang terpapar (Sadari, 2007). Pasien DM yang merokok
mempunyai risiko 8 kali besar. Merokok mempengaruhi/memperburuk terjadinya retinopati diabetic dan
nefropati diabetic (Komplikasi pada mata dan ginjal). Penelitian Carole,at.al (2005) menyatakan risiko
Diabetes lebih besar 20 batang rokok perhari daripada perokok ringan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis
penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa obesitas, hipertensi dan kolesterol berisiko terhadap kejadian DM
dengan komplikasi retinopati diabetika, serta kolesterol merupakan variabel confounding hubungan antara
obesitas dengan kejadian DM dengan komplikasi retinopati diabetika. Bagi bagi penderita DM agar
melakukan diet seimbang, olah raga teratur dan meningkatkan derajat hidup sehat sehingga komplikasi
akibat DM dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, M.I. (2009). Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Unhas Makassar.
Damayanti D.K, dkk, (1992). Prevalensi dan factor-faktor risiko retinopaty diabetika pada penderita diabetes
mellitus di RS dr. Hasan Sadikin, 1992. www.googlescholar.com. diakses tanggal, 10 Mei 2012.
Direktorat PPTM, 2008, Petunjuk Tekhnis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus, Departemen
Kesehatan RI.
FK-UI, (2009),Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
Hu FB, et al. (2001). Diet, Lifestyle, and the risk of type 2 diabetes mellitus in women. N Engl J
Med.2001;345:790-97.
Indriyani Puji, dkk, (2007).Pengaruh Latihan Fisik;Senam Aerobik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah
Pada Penderita DM Tipe 2 Di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga.www.google.com. Diakses
tanggal, 10 Mei 2012
Pratiwi, Dyah. (2007). Epidemiologi DM dan Isu Mutakhirnya. Http://www.Epidemiologic.org. Diakses
tanggal, 01 Januari 2012.
Ramlah, (2009). Beberapa Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum
Tenriawaru Kabupaten Bone Tahun 2009. Tesis Pasca Sarjana UNHAS Makassar, 2009.
Shiddiq Rusman, dkk, (2011). Hubungan Hipertensi dan Glycohemoglobin (HbA1c) dengan Kejadian
Retinopati Diabetik Pada Penderita DM di RSUD Margono Soekarja Purwokerto.
www.googlescholar.com. Diakses tanggal, 11 Mei 2012.
Sadari, (2007). Faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada usia lanjut di RS Banua Mamase
Kab. Mamasa Prov. Sulbar. Makassar.
Tandra, Hans. (2007). Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang Diabetes, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2007.
Willi carole,at.al, (2007). Active smoking and the risk of Type 2 Diabetes. www.jama.com. diakses tanggal
10 April 2012.
_______, (2011). Aktivitas Fisik dan Diet Seimbang Mencegah Kanker. www.Depkes.go.id. Diakses tanggal,
17 November 2011.
_______, (2011). Hindari Hipertensi, Konsumsi Garam 1 Sendok the per Hari. www.Depkes.go.id. Diakses
tanggal, 17 November 2011.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

137

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

_______, (2010). Tahun 2030 Prevalensi Diabetes mellitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang.
www.Depkes.go.id. Diakses tanggal, 17 November 2011.

FAKTOR PERILAKU DAN LINGKUNGAN TERHADAP TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH


KERJA PUSKESMAS SOMBA OPU KABUPATEN GOWA TAHUN 2012
Khaerani Erniyanti1, Ridwan Amiruddin2, Citrakesumasari3
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


2
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease remains a public health problem in the world, including
Indonesia. This study aims to present the distribution of pulmonary TB cases and analyzing behavioral and
environmental risk factors for pulmonary tuberculosis in the working area Puskesmas Somba Opu Gowa
2012.This research was conducted in the work area Puskesmas Somba Opu Gowa. The study design is a
case-control study. Sample size of 150 with a comparison between cases and controls 1: 1. TB cases are
pulmonary TB patients and controls, not the lungs. The data was collected using questionnaires and
interviews capture the coordinates of the patients with GPS. Spatial analysis of the distribution made to the
distribution of cases of pulmonary tuberculosis. Bivariate statistical tests using odds ratios with = 0.05,
stratified using Hanszel Mantel test and multivariate analysis using logistic regression. The results showed
that the distribution of pulmonary TB cases are in the village most Tombolo of 25.3% of the 75 cases.
Significant factors of pulmonary tuberculosis is the behavior of smoking (p = 0.0015, OR 2.979,
CI 95%:1.427-6.270), TB preventive measures (p = 0.0005, OR 3.613, CI 95%:1.635-8.178), and ventilation
(p = 0.004, OR 2.72, CI 95%:1.294-5.773). The factors are not significant is the type of building (p = 0.638,
OR 1.181, CI 95%:0.491-2.866), floor type (p = 0.467, OR 1.303, CI 95%:0.6-2.8), floor area of the home
(p = 0.1798, OR 1.571, CI 95%:0.769-3.218), and the use of biomass fuels for cooking (p = 0.5472, OR
0.693, CI 95%: 0.165-2.687). Smoking behavior is the most influential variable on the pulmonary TB (p =
0.002, OR 3.293, CI 95%:1.573-6.895). Promotion and prevention efforts need to break the chain of
pulmonary tuberculosis.
Keywords: pulmonary tuberculosis, behavioral, environmental
PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 22
negara yang dikategorikan sebagai High Burden Countries (HBSc) terhadap TB. Lebih dari 75% kasus TB
di dunia terdapat di 22 negara HBCs (Aditama, 2006). Jumlah penderita TB di Indonesia tahun 2010
meningkat ke posisi keempat di dunia. Lima negara dengan jumlah kasus terbesar adalah India (2.300.000
kasus), Cina (1.000.000 kasus), Afrika Selatan (490.000 kasus), Indonesia (450.000 kasus), dan Pakistan
(400.000 kasus) (WHO, 2011). Penyakit TB paru di Indonesia merupakan penyebab kematian utama ketiga
setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan.
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan kejadian TB paru adalah adanya sumber penularan,
riwayat kontak penderita, tingkat sosial ekonomi, tingkat paparan, virulensi basil, daya tahan tubuh rendah
berkaitan dengan genetik, keadaan gizi, usia, nutrisi, imunisasi, keadaan perumahan meliputi (suhu dalam
rumah, ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan penghuni, dan lingkungan
sekitar rumah), dan pekerjaan (Rusnoto, 2008).
Kebiasaan merokok, maupun perokok pasif telah terbukti berhubungan secara signifikan terhadap
risiko penyakit infeksi dan kematian akibat TB (Lin, 2007). Tindakan pencegahan yang mempengaruhi
seseorang untuk mudah tertular kuman TB diantaranya tidak meludah sembarangan, kebiasaan membuka
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

138

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

jendela kamar tidur setiap hari, menjemur kasur dan atau bantal dan atau guling kapuk secara teratur satu
kali seminggu, serta tidak makan dan/atau minum sepiring/segelas dengan orang lain. Hasil studi
sebelumnya memperlihatkan hubungan yang signifikan antara tindakan pencegahan dengan penyakit TB
(Handoko 2010).
Jenis bangunan rumah akan berpengaruh terhadap kelembaban dan mata rantai penularan TB paru
(Fatimah, 2008). Luas lantai rumah harus cukup untuk penghuni didalamnya supaya tidak menyebabkan
kurangnya konsumsi oksigen dan mencegah tertularnya penyakit TB bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2003). Ventilasi sangat mempengaruhi proses dilusi udara, mengencerkan
konsentrasi kuman TB dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar matahari (Supriyani, 2010).
Penggunaan bahan bakar biomassa dalam ruangan, terutama sebagai sumber pemanasan, terkait dengan
kejadian TB pada wanita. Paparan pembakaran bahan bakar biomassa dalam ruangan merupakan faktor
risiko untuk TB (Pokhrel, 2010).
Sistem Informasi Geografis merupakan sistem berbasis komputer yang didesain untuk
mengumpulkan, mengolah, memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan). Melalui sistem
ini, dapat dilakukan analisis sebaran kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu.
Melihat tingginya kasus TB paru maka diperlukan penelitian lebih jauh mengenai sebaran kasus TB
paru dan faktor risiko TB paru, terutama dalam menganalisis besarnya risiko antara perilaku merokok,
tindakan pencegahan TB, jenis bangunan rumah, jenis lantai rumah, luas lantai rumah, ventilasi rumah, dan
penggunaan bahan bakar biomassa sehingga dapat diambil langkah pencegahan guna meminimalisir faktor
tersebut supaya angka morbiditas dan mortalitas TB paru dapat ditekan.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu Kecamatan Somba Opu Kabupaten
Gowa. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (case
control study) (Sudigdo, 2002).
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani pengobatan di Puskesmas Somba
Opu Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa tahun 2012. Jumlah sampel sebanyak 150 orang dengan
perbandingan antara kasus dan kontrol 1 : 1 (Lameshow, et al.,1997). Kasus adalah pasien yang menderita
TB paru sedangkan kontrol adalah masyarakat yang tidak menderita TB paru dan menjalani pengobatan di
Puskesmas Somba Opu.
Analisis Data
Sebaran kasus TB paru dianalisis dengan aplikasi Arc GIS. Data diolah dengan menggunakan program
STATA. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui besar risiko terhadap TB paru digunakan Odds Ratio
(OR). Analisis multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap TB paru
digunakan uji regresi logistik sedangkan untuk mengetahui adanya confounding digunakan analisis
stratifikasi.
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1.
Distribusi Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten
Gowa Tahun 2012
Variabel

Kasus
n

Kontrol
%

Jumlah
%

Kelompok Umur
15 24
25 34
35 44
43-50
51-58
59-66
67
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
SD
SMP/sederajat

8
10
11
14
18
12
2

10,7
13,3
14,7
18,7
24,0
16,0
2,7

8
10
11
14
18
12
2

10,7
13,3
14,7
18,7
24,0
16,0
2,7

16
20
22
28
36
24
4

10,7
13,3
14,7
18,7
24,0
16,0
2,7

44
31

58,7
41,3

33
42

44,0
56,0

77
73

51,3
48,7

5
6
31
12

6,7
8,0
41,3
16,0

2
3
23
17

2,7
4,0
30,7
22,7

7
9
54
29

4,7
6,0
36,0
19,3

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

139

JURNAL
SMA/sederajat
Diploma/PT
Pekerjaan
IRT
PNS
Wiraswasta
Pensiunan
Pelaut
Pedagang
Buruh Harian
Karyawan Swasta
Pelajar
Tidak bekerja

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

15
6

20,0
8,0

21
9

28,0
12,0

36
15

24,0
10,0

25
2
3
5
2
5
12
6
5
10

33,3
2,7
4,0
6,7
2,7
6,7
16,0
8,0
6,7
13,3

32
3
10
10
1
4
3
3
4
5

42,7
4,0
13,3
13,3
1,3
5,3
4,0
4,0
5,3
6,7

57
5
13
15
3
9
15
9
9
15

38,0
3,3
8,7
10,0
2,0
6,0
10,0
6,0
6,0
10,0

Data Primer
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden yang menjadi sampel pada penelitian ini. Distribusi
kejadian TB paru berdasarkan umur, terbanyak ditemukan pada kelompok umur 55 64 tahun sebesar 24%,
sedangkan paling sedikit ditemukan pada kelompok umur 75 tahun sebesar 2,7%. Distribusi yang
menderita TB paru BTA positif berdasarkan jenis kelamin terbanyak ditemukan pada responden laki-laki
yakni 58,7% dan terendah pada responden dengan jenis kelamin perempuan yakni 41,3%.
Berdasarkan tingkat pendidikan, yang tidak sekolah hingga SD lebih banyak ditemukan pada
kelompok kasus yaitu tidak sekolah 6,7%, tidak tamat SD 8%, dan SD 41,3%. Sedangkan responden yang
memiliki tingkat pendidikan SMP/sederajat hingga Diploma/PT lebih banyak ditemukan pada kelompok
kontrol yaitu SMP/sederajat 22,7%, SMA/sederajat 28% dan Diploma/PT 12%. Distribusi responden
berdasarkan pekerjaan, tertinggi pada kelompok kasus dan kontrol adalah ibu rumah tangga sebesar 33,3%
pada kasus dan sebesar 42,7% pada kelompok kontrol, sedangkan yang terendah pada kelompok kasus
adalah PNS dan pelaut yaitu masing-masing 2,7% dan pada kelompok kontrol adalah pelaut sebesar 1,3%.
Hasil Analisis
Tabel 2.

Besar Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun
2012

Variabel

Kejadian TB Paru
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

Perilaku Merokok
Risiko Tinggi
39
52,0
20
26,7
Risiko Rendah
36
48,0
55
73,3
Tindakan Pencegahan TB
Risiko Tinggi
61
81,3
41
54,7
Risiko Rendah
14
18,7
34
45,3
Jenis Bangunan Rumah
Risiko Tinggi
16
21,3
14
18,7
Risiko Rendah
59
78,7
61
81,3
Jenis Lantai Rumah
Risiko Tinggi
23
30,7
19
25,3
Risiko Rendah
52
69,3
56
74,7
Luas Lantai Rumah
Risiko Tinggi
33
44,0
25
33,3
Risiko Rendah
42
56,0
50
66,7
Ventilasi Rumah
Risiko Tinggi
56
74,7
39
52,0
Risiko Rendah
19
25,3
36
48,0
Penggunaan Bahan Bakar Biomassa untuk Memasak
Risiko Tinggi
5
6,7
7
9,3
Risiko Rendah
70
93,3
68
90,7
Data Primer

OR

95% CI

2,979

1,427 6,270

0,0015

3,613

1,635 8,178

0,0005

1,181

0,491 2,866

0,683

1,303

0,6 2,8

0,467

1,571

0,769 9,218

0,179

2,72

1,294 5,773

0,004

0,693

0,165 2,687

0,547

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang merokok lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus
(52%) dibandingkan pada kelompok kontrol (25,3%), nilai OR 2,979 (1,42 6,775) dengan p value 0,0008
(p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku merokok dengan TB paru.
Responden yang memiliki tindakan pencegahan kurang banyak ditemukan pada kelompok kasus (81,3%)
dibandingkan pada kelompok kontrol (54,7%), nilai OR 3,613(1,635-8,178) dengan p value 0,0005 (p<0,05).
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

140

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara tindakan pencegahan dengan TB paru. Responden
yang memiliki jenis bangunan yang tidak memenuhi syarat lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus
(21,3%) dibandingkan pada kelompok kontrol (18,7%), nilai OR 1,181 (0,491-2,866) dengan p value 0,683
(p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis bangunan rumah dengan TB
paru.
Responden yang memiliki jenis lantai yang tidak memenuhi persyaratan lebih banyak ditemukan pada
kelompok kasus (30,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol (25,3%), nilai OR 1,303 (0,6-2,8) dengan p
value 0,467 (p>0,05). Secara statistik, terdapat tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis lantai
rumah dengan TB paru. Responden yang memiliki luas lantai rumah < 9 m 2 lebih banyak ditemukan pada
kelompok kasus (44,0%) dibandingkan pada kelompok kontrol (33,3%), nilai OR 1,571 (0,769-3218)
dengan p value 0,1798 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara luas lantai
rumah dengan TB paru.
Responden yang memiliki ventilasi < 10% dari luas lantai rumah lebih banyak ditemukan pada
kelompok kasus (74,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol (52,0%), nilai OR 2,72 (1,294-5,773) dengan
p value 0,004 (p < 0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan
TB paru. Responden yang menggunakan bahan bakar biomassa lebih banyak ditemukan pada kelompok
kontrol (9,3%) dibandingkan pada kelompok kasus (6,7%), nilai OR 0,693 (0,165-2,687) dengan p value
0,5472 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar
biomassa untuk memasak dengan TB paru.
Tabel 3.

Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2012
Variabel Penelitian

Coef

Perilaku Merokok
Tindakan Pencegahan TB
Ventilasi Rumah
Constant
Y = 1,441
P = 0,808
Data Primer

1,191
1,154
0,977
-1,882

OR

3,16
2,89
2,55

3,293
3,172
2,656

95% CI
LL
UL
1,573
6,895
1,448
6,949
1,252
5,633

p
0,002
0,004
0,011

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) TB paru adalah
80,8% (P = 0,808 dengan nilai y = 1,441) pada mereka yang menggunakan perilaku merokok, tindakan
pencegahan TB yang kurang, dan ventilasi < 10% dari luas rumah dengan formula P = 1/(1+exp -y) (Tabel 3).
Hasil analisis stratifikasi menunjukkan variabel ventilasi rumah tidak mempengaruhi hubungan tindakan
pencegahan TB dengan TB paru, dimana terjadi penurunan nilai OR adjust dibandingkan dengan nilai OR
crude. Sehingga variabel ventilasi rumah bukan variabel confounding (beda ORc dan M-H combined <
10%) (Tabel 4).
Tabel 4.

Hasil Analisis Stratifikasi Berdasarkan Variabel Ventilasi Rumah

Variabel
Tindakan
Pencegahan TB
Data Primer

ORc

M-H
combined

95% CI

Koef.
Confounding
(>10%)

Homogeneity test
(p<0,05)

3,613

3,275

1,544 6,948

9,34%

0,741

PEMBAHASAN
Sebaran kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu tidak merata pada semua kelurahan,
sebaran cenderung mengumpul pada wilayah dengan kepadatan penduduk lebih padat daripada kelurahan
yang lain. Walaupun bukan merupakan kelurahan yang tertinggi tingkat kepadatannya, namun Kelurahan
Tombolo termasuk wilayah padat penduduk dengan tingkat kepadatan 5.551,5 penduduk/km 2. Tingginya
kepadatan penduduk memicu lebih mudahnya penduduk terserang agent TB paru.
Perilaku merokok merupakan faktor risiko TB paru, dimana responden yang merokok memiliki risiko
2,979 kali lebih besar untuk menderita TB paru bila dibandingkan dengan responden yang tidak merokok.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa responden yang merokok
berisiko 4,034 kali menderita TB paru (Amiluddin, 2009). Merokok menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh terhadap TB dan meningkatkan kemungkinan penularan lewat batuk yang lebih sering, karena kuman
mycrobacterium tuberkulosis memasuki tubuh manusia sebagai kuman hidup yang ada di dalam droplet.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

141

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Tindakan pencegahan TB secara umum meliputi perilaku tidak meludah sembarangan, kebiasaan
membuka jendela kamar tidur setiap hari, menjemur kasur dan atau bantal dan atau guling kapuk secara
teratur satu kali seminggu, serta tidak makan dan/atau minum sepiring/segelas dengan orang lain. Responden
dengan tindakan pencegahan TB paru yang kurang memiliki risiko 3,613 kali lebih besar untuk menderita
TB bila dibandingkan dengan responden dengan tindakan pencegahan TB yang cukup. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Handoko (2010) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
pencegahan dengan penyakit TB.
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang dapat ditularkan melalui udara.
Keadaan berbagai lingkungan yang ditularkan dapat mempengaruhi penyebaran TB salah satunya berawal
dari kondisi tempat tinggal, dimana tempat tinggal identik dengan jenis bangunan rumah yang ditempati.
Namun, hasil penelitian menemukan bahwa jenis bangunan rumah tidak bermakna sebagai faktor risiko
terjadinya penyakit TB paru. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Fatimah (2008) menemukan bahwa
rumah yang terbuat dari tembok, pasangan bata/batu yang diplester, papan kedap air (permanen) berisiko
2,692 kali terhadap kejadian TB paru.
Setiap rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Hasil penelitian menemukan bahwa
jenis lantai rumah tidak bermakna secara statistik sebagai faktor risiko TB paru, padahal lantai rumah berupa
semen plesteran retak atau tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan udara ruangan menjadi lembab yang
dapat mendukung perkembangan kuman TB paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan Fatimah (2008) yang
menyatakan bahwa jenis lantai rumah bukan merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau tidak
ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian tuberkulosis paru.
Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan.
Salah satu syarat konstruksi yang harus diperhatikan sehubungan dengan penyakit TB paru adalah luas lantai
rumah. Luas lantai rumah dikategorikan berisiko tinggi jika luas lantai rumah responden < 9 m 2 per orang
dan risiko rendah jika luas lantai rumah responden 9 m 2 per orang. Hasil analisis statistik dalam penelitian
menunjukkan bahwa luas lantai rumah tidak bermakna sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa kepadatan hunian rumah tidak
berhubungan dengan TB paru.
Keberadaan ventilasi rumah berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru. Hasil penelitian
menemukan bahwa ventilasi rumah < 10% dari luas lantai memiliki risiko 2,72 kali lebih besar untuk
menderita TB paru bila dibandingkan dengan responden dengan ventilasi rumah 10% dari luas lantai. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Halada (2011) yang menemukan bahwa responden dengan luas
ventilasi rumah < 10% dari luas lantai berisiko 9,75 kali menderita TB paru. Ventilasi rumah < 10% dari luas
lantai akan menyebabkan peningkatan kelembaban sehingga menjadi media untuk berkembang biaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman TB.
Ventilasi rumah mempengaruhi hubungan tindakan pencegahan TB terhadap TB paru. Dengan
ventilasi 10% dari luas lantai rumah dan tidak melakukan tindakan pencegahan TB seperti kebiasaan
meludah sembarangan dan tidak membuka jendela kamar tidur tiap hari, akan membantu pertukaran aliran
udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sehingga dapat membunuh kuman TB. Akan tetapi,
hasil analisis stratifikasi dengan uji Mantel Hanszel diperoleh selisih perbedaan OR Crude dan OR MH
hanya mencapai 9,34%. Selisih perbedaan ini tidak mencapai 10%-20% sehingga variabel ventilasi rumah
bukan merupakan variabel confounding terhadap hubungan tindakan pencegahan TB dengan TB paru.
Penggunaan bahan bakar biomassa untuk memasak didapur seperti kayu, arang, dan jerami yang tidak
efisien dapat menyebabkan masalah kesehatan khususnya saluran pernafasan. Hasil penelitian menemukan
bahwa penggunaan bahan bakar untuk memasak tidak bermakna sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis
paru. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pokhrel, et.al (2010), bahwa
penggunaan bahan bakar biomassa dalam ruangan, terutama sebagai sumber pemanasan berisiko 3,45 kali
menderita TB paru pada wanita.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebaran kasus TB paru paling banyak berada di
Kelurahan Tombolo. Perilaku merokok, tindakan pencegahan TB dan ventilasi rumah berisiko terhadap TB
paru. Perilaku merokok merupakan variabel paling berpengaruh terhadap TB paru. Responden mereka yang
menggunakan perilaku merokok, tindakan pencegahan TB yang kurang, dan ventilasi rumah < 10% dari luas
rumah memiliki peluang untuk menderita TB paru 80,8%. Perlu upaya promotif melalui penyuluhan pada
mereka yang berisiko baik pada para perokok maupun pada masyarakat umum, selain itu perlu dilakukan
penyuluhan tentang kondisi rumah yang memenuhi syarat kesehatan sebagai upaya preventif untuk
memutuskan mata rantai penyebaran TB paru.
DAFTAR PUSTAKA

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

142

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Amiluddin. (2009). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Tamalate Kabupaten
Jeneponto Tahun 2006 2008. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fatimah, Siti. (2008). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru
di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu,
Bantarsari) Tahun 2008, (online). (http://eprints.undip.ac.id/24695/1/SITI_FATIMAH.pdf, diunduh
21 Mei 2012).
Handoko, Nugroho Priyo. (2010). Hubungan Tingkat Penghasilan, Pendidikan, Pengetahuan, Sikap
Pencegahan Dan Pencarian Pengobatan, Praktek Pencegahan Dan Pencarian Pengobatan Dengan
Penyakit TB di BBKPM Surakarta. Jurnal Keperawatan, Vol. No.1:1-7.
Halada, Yusri R. (2011). Analisis Faktor Risiko Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA (+) di Wilayah
Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Rusnoto; Rahmatullah, Pasihan; dan Udiono, Ari. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit
Paru Pati), (online). (http://eprints.undip.ac.id/5283/1/ Rusnoto.pdf, diunduh 21 Mei 2012).
Supriyani. (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru BTA (+) di Kota Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
FAKTOR DETERMINAN KEGAGALAN KONVERSI PADA PENGOBATAN TB PARU DI
KABUPATEN MUNA
La Ode Rajab Gade1, Ridwan Amiruddin1, Muh. Syafar2
1

Dinas Kesehata Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara


Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
3
Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
ABSTRACT
2

The objective of the research to investigate the risk factors that could affect the conversion of TB
treatment failure in Muna in 2011. This type of observational analytic study is a case control study design.
Groups of cases are patients who otherwise failed conversion (smear positive) after treatment was run for
two months and controls were patients who expressed negative smear setelh two months of treatment.
Sample of 138 people. The analysis used the odds ratio test and logistic regression. The results showed that
the variable is a risk factor is the level of knowledge conversion failure patients (OR = 4.02 95% CI: 1.86 to
8.72), nutritional status (OR = 4.35 95% CI: 2.00 - 9.53), regularity of treatment (OR = 10.85 95% CI: 4.54
to 26.57), PMO support (OR = 4,00 CI 95% :1,97 8,13), and health services (OR = 4.35, CI 95 %: 2.00
to 9.53). regularity of treatment is the most influential risk factor for conversion of TB treatment failure.
Keywords: Conversion of TB, the regularity of treatment, and support the PMO
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
Compleks dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting. Pada tahun 1992 World
Health Organization (WHO) telah mencanangkan Tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapar 8,8 juta kasus baru Tuberkulosis. Tiga koma sembilan juta
merupakan kasus BTA (Basil Tahan Asam) Positif. Menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di Dunia (Depkes, 2006)
Peningkatan TB paru di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan terhadapat program pengobatan,
diagnosis, dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Di
Indonesia sebagian besar kasus TB paru tidak ditemukan secara keseluruhan dan dari kasus yang
ditemukan tersebut, hanya sebagian kasus TB paru dengan basil tahan asam. Hasil BTA sputum positif yang
tidak dapat disembuhkan, pengobatan yang tidak teratur, penggunaan obat antituberkulosis (OAT) tidak
adekuat ataupun pengobatan terputus yang menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT (Aditama,
2004). Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul Analisis Determinan
Kegagalan Konversi pada Pengobatan TB Paru di Kabupaten Muna Tahun 2011.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kabupaten Muna. Jenis penelitian menggunakan desain case
control study.
Populasi dan Sampel

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

143

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Populasi yang menjadi target dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA Positif yang
menjalani pengobatan selama 2 bulan di Puskesmas se Kabupaten Muna.. Sampel sebanyak 138 orang yang
dipilih secara purpossive sampling yang telah memenuhi kriteria yaitu pasien gagal konversi untuk sampel
kasus dan pasien yang berhasil dalam konversi untuk sampel kontrol.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden menggunakan
kuesioner. Data karakteristik (Umur, Jenis Kelamin, pekerjaan), variabel yang diteliti (tingkat pengetahuan,
status gizi, keteraturan berobat, dukungan PMO, kepadatan hunian dan pelanan kesehatan).
Analisis data
Data dianalisis dengan menggunakan odds rasio dan logistic regresi dengan menggunakan program
STATA.
HASIL
Karakteristik sampel
Pada penelitian ini dilakukan matching umur dan jenis kelamin, sehingga frekuensi responden
antara kasus dan kontrol sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menurut golongan umur lebih
didominasi oleh golongan umur 31-39 tahun sebesar 36 orang (26,1%), yang terendah yaitu golongan
umur 58-66 tahun yaitu sebanyak 12 orang (8,9%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis
kelamin laki-laki proporsinya lebih besar dibandingkan perempuan yakni 63,8 %. Berdasarkan hasil
penelitian, didapatkan bahwa jenis pekerjaan sebagai petani mempunyai proporsi konversi TB tertinggi
yakni 90,6 % Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan kasus kontrol

Variabel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur (Tahun)
22-30
31-39
40-48
49-57
58-66
67
Jenis Pekerjaan
Petani
PNS
Pedagang
Supir
Data Primer

Konversi TB Paru
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

44
25

63,8
36,2

44
25

63,8
36,2

88
50

63,8
36,2

10
18
9
14
6
12

14,5
26,1
13,0
20,1
8,9
17,4

10
18
9
14
6
12

14,5
26,1
13,0
20,1
8,9
17,4

20
36
18
28
12
24

14,5
26,1
13,0
20,1
8,9
17,4

68
0
0
1

98,6
0,0
0,0
1,4

57
1
3
8

82,6
1,4
4,4
11,6

125
1
3
9

90,6
0,7
2,2
6,5

Jumlah

Analisis bivariat
Tabel 2. Analisis Risiko Terhadap Kegagalan Konversi pada Pengobatan TB Paru di Kabupten Muna
Tahun 2011
Kegagalan Konversi
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

48
21

69,6
30,4

25
44

36,2
63,8

73
65

52,9
47,1

50

72,5

26

37,7

76

55,1

Risiko Rendah

19

27,5

43

62,3

62

44,9

Keteraturan berobat
Tidak teratur

57

82,6

21

30,4

78

5,5

Variabel
Tingkat Pengetahuan
Risiko kurang
Risiko cukup
Status Gizi
Risiko Tinggi

Jumlah

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

OR
CI 95%
OR =4,03
1,97-8,18
OR= 4,35
2,12-8,92
OR=10,85
4,84-24,3

144

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Teratur
Dukungan PMO

12

17,4

48

69,6

60

43,5

Kurang mendukung

47

68,1

24

34,8

71

51,4

Mendukung
Kepadatan Hunian

22

31,9

45

65,2

67

48,6

Tidak memenuhi syarat

49

71,0

38

55,1

78

63,0

Memenuhi syarat
Pelayanan kesehatan

20

29,0

31

44,9

60

37,0

Kurang baik

50

72,5

26

37,7

76

55,1

Baik
Sumber: Data Primer

19

27,5

43

62,3

62

44,9

OR4,00
1,97-8,13
OR=1,99
0,98-4,04
OR=4,35
2,12-8,92

Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru
di Kabupaten Muna Tahun 2011 menunjukkan bahwa faktor risiko tingkat pengetahuan (OR = 4,03, CI
95% : 1,97 8,18), status gizi (OR = 4,35, CI 95% : 2,12 8,92), keteraturan berobat (OR = 10,85, CI 95% :
4,84 24,30), dukungan PMO (OR = 4,00, CI 95% : 1,97 8,13), dan pelayanan kesehatan (OR = 4,35, CI
95% : 2,12 8,92) merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pengobatan TB paru. Kepadatan
hunian (OR=1,99, CI 95% : 0,98-4,04) bukan merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pengobatan
TB paru.
Analisis Multivariat
Tabel 3 menunjukkan bahwa keteraturan berobat OR = 7,33 (CI 95% p=0,000) merupakan faktor
risiko yang paling berisiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru di Kabupaten Muna
Tahun 2011. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Muna untuk meningkat pelayanan kesehatan
dalam rangka upaya pencegahan dan pengobatan TB paru di Kabupaten Muna
Tabel 3. Hasil uji regresi logistik yang paling berpengaruh terhadap kegagalan konversi pada
pengobatan TB paru di Kabupaten Muna Tahun 2011
Variabel Independen
Tingkat pengetahuan
Status gizi
Keteraturan berobat
Dukungan PMO
Kepadatan hunian
Pelayanan kesehatan
Data Primer

Odds
Ratio
2,33
5,42
7,33
2,11
1,10
2,64

95% CI
LL
0,93
2,10
2,75
0,79
0,41
1,07

UL
5,83
13,95
19,53
5,63
2,91
6,52

p
0,071
0,000
0,000
0,133
0,847
0,035

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terdapat beberapa aspek yang berisiko terhadap kegagalan konversi pada
pengobatan TB paru yaitu tingkat pengetahuan, status gizi, keteraturan berobat, dukungan PMO, kepadatan
hunian, dan pelayanan kesehatan . Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan merupakan faktor
risiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB dimana hasil uji statistik menunjukkan nilai rasio
odds sebesar OR = 4,03, CI 95% : 1,97 8,18). Dengan demikian pasien dengan tingkat pengetahuan
kurang mempunyai risiko 4,04 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding
dengan pasien dengan tingkat pengetahuan cukup. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan
upper limit tidak mencakup satu maka variabel tingkat pengetahuan bermakna. Sehingga tingkat
pengetahuan merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun
2011.
Fajarwati (2005) meneliti tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap penderita
tuberkulosis paru di balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4) Surakarta. Hasil penelitian hubungan antara
tingkat pengetahuan dengan sikap penderita tuberkulosis paru menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan odd ratio dimana tingkat pengetahuan memiliki nilai OR =
4,032 (CI 95%, 1,96-8,18). Penderita agar mau minum obat dengan teratur maka perlu komunikasi,
informasi dan edukasi yang berkesinambungan oleh petugas kesehatan. Sehingga termotivasi untuk
meminum obat dengan teratur. Kegagalan konversi pada pengobatan TB terutama diakibatkan oleh ketidak
patuhannya dalam meminum obat, dan salah satu ketidakpatuhan dalam minum obat dikarenakan kurangnya
pengetahuan dan edukasi yang harus diberikan kepada pasien Tb paru yang sedang melakukan pengobatan.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

145

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) status gizi terhadap kegagalan konversi pada
pengobatan TB diperoleh nilai OR = 4,35, (CI 95% : 2,12 8,92). Dengan demikian pasien dengan status
gizi risiko tinggi mempunyai risiko 4,35 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru
dibanding dengan pasien dengan status gizi risiko rendah. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower
limit dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel status gizi bermakna. Sehingga status gizi
merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain akan
mempengaruhi daya tahan tibuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan
ini merupakan faktor penting yang dapat berpengaruh di negara miskin baik pada orang dewasa maupun
anak-anak. Berat badan kurang dapat meningkat risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan
lebih akan meningkat risiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu mempertahankan berat badan
normal, memungkinkan seseorang cepat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Depkes, 2002). Suplai
protein dan kalori konsumsi makanan mempengaruhi pada mortalitas dan morbiditas TB. Adanya tambahan
protein terutama protein hewani akan meningkatkan gizi penderita TB. Kebutuhan kalori pada penderita TB
meningkat, kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35-40 kkal/kkbb ideal.
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) keteraturan berobat kegagalan konversi pada
pengobatan TB diperoleh nilai OR = 10,85, (CI 95% : 4,84 24,30). Dengan demikian pasien dengan tidak
teratur meminum obat mempunyai risiko 10,85 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB
paru dibanding pasien teratur meminum obat. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan
upper limit tidak mencakup satu maka variabel keteraturan berobat bermakna. Sehingga keteraturan berobat
merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011.
Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (Bart, 1994), kepatuhan atau
ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dpan perilaku yang disarankan oleh
dokternya atau boleh yang lain. Menurut Sarafino (Bart, 1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan
risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang
diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari
ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan.
Penderita yang rutin mimun obat TB secara beransur-ansur kuman TB yang terdapat dalam tubuh
akan dimatikan oleh obat tersebut. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak, karena banyak faktor lain yang dapat
mempercepat atau memperlambat penyembuhan, da salah satunya adalah ketidak teraturan meminum obat.
Obat TB dapat resisten apabila tidak diminum sesuai anjuran sehingga pasien tersebut harus melakukan
pengobatan dari awal.
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) dukungan PMO terhadap kegagalan konversi pada
pengobatan TB paru diperoleh nilai OR = 4,00, (CI 95% : 1,97 8,13). Dengan demikian pasien dengan
kurangnya dukungan PMO mempunyai risiko 4,00 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB
paru dibanding dengan pasien dengan dukungan PMO. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit
dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel dukungan PMO bermakna. Sehingga dukungan PMO
merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011.
.Penilitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukamto (2002), bahwa kinerja PMO
mempengaruhi proses penyembuhan penyakit TB pada pasien TB paru dengan nilai OR = 3,7 (CI 95%). Hal
yang sama juga terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Fadlul (2000), dimana dukungan PMO
mempengaruhi tingkat keberhasilan penyembuhan TB paru dengan OR = 2,5 (CI 95%). Pengawasan dalam
pengobatan, dokter atau petugas kesehatan sebaiknya mengukutsertakan keluarga sebagai PMO, agar
penderita dapat berobat secara kontunu. Tujuan diadakan PMO adalah untuk menjamin ketekunan dan
keteraturan pengobatan, agar penderita dapat berobat sesuai dengan jadwal, menghindari penderita putus
berobat sebelum waktunya, serta mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan yang resisten terhadap
OAT. Dukungan keluarga dan masyarakat dalam pengawasan dan pemberian semangat mempunyai andil
yang besar dalam peningkatan kepatuhan.
Dukungan PMO juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesembuhan penyakit
TB pari pada pasien TB paru. Ketraturan berobat yang dilakukan oleh pasien TB paru salah satunya adalah
dipengaruhi oleh adanya dukungan PMO yang siap membantu dalam mengawasi menelan obat pasien. Selai
itu pula kehadiran PMO disini berfungsi sebagai motivator dan pemberi edukasi dan informasi yang benar
kepada pasien TB paru bahwa penyakit tersebut dapat sembuh dengan menjalankan pengobatan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) kepadatan hunian terhadap kegagalan konversi pada
pengobatan TB paru diperoleh nilai OR= 1,99 (95% CI: 0,98 4,04). Dengan demikian pasien dengan
kepadatan huni yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 1,99 kali mengalami kegagalan konversi
pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien yang mempunyai kepadatan hunian memenuhi syarat.
Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit mencakup satu maka variabel
kepadatan hunian tidak bermakna. Sehingga kepadatan hunian bukan merupakan faktor risiko kegagalan
konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

146

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) pelayanan kesehatan terhadap kegagalan
konversi pada pengobatan TB paru diperoleh nilai OR = 4,35, (CI 95% : 2,12 8,92). Dengan demikian
pasien yang mendapatan pelayanan kesehatan kurang baik mempunyai risiko 4,35 kali mengalami
kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien mendapatkan pelayanan kesehatan
baik. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup satu maka
variabel status gizi bermakna. Sehingga pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko kegagalan konversi
pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011.
Pelayanan kesehatan yang baik merupakan hal pokok yang harus diberikan kepada setiap pasien
TB paru yang ingin melakukan pengobatan. Puskesmas yang merupakan basis pertama pelayanan kesehatan
utama di masyarakat memegang peranan penting. Sehingga keberadaan Puskesmas di setiap wilayah
Kecamatan mutlak adanya. Sisi lemah dari pelayanan kesehatan saat ini adalah jarak Puskesmas yang sulit
dijangkau bagi beberapa masyarakat yang tinggal di daerah pelosok. Tenaga kesehatan yang ahli
dibidangnya juga masih sangat kurang khususnya di daerahdaerah terbelakang. Sehingga penderita TB
banyak kita jumpai terdapat pada masyarakat golongan ekonomi rendah khususnya dipedesaan. Hal ini juga
tidak jauh berbeda dengan daerah perkotaan yang nobene fasilatas kesehatan berada dimana-mana.
Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kegagalan
konversi pada pengobatan TB paru di Kabupaten Muna adalah keteraturan berobat dengan nilai (Exp B :
7,33 Sig. 0,000).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis
penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan, status gizi, keteraturan berobat, dukungan
PMO dan pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB
paru. Disarankan kepada dinas kesehatan dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita
TB paru sehingga keberhasilan pengobatan dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, (2004). Penilaian Direcly Observed Therapy (DOTS) pada Pengobatan TB Paru di Rumas Sakit
Persahabatan. Jakarta
Bart, (1994). Faktor Risiko Keberhasilan Pengobatan TB Paru di Kota Medan (Tesis). Medan: USU
Depkes RI, (2006). Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua. Jakarta.
Depkes RI, (2010). EpidemiologiTuberkulosis di Indonesia. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Muna, (2009). Profil Dinas Kesehatan Muna Tahun 2009. Raha, Sulawesi
Tenggara.
Ester, (2000). Pencegahan dan Pemberantasan TB. Jakarta: Rineka Cipta.
Fadhul, (2000). Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Keberhasilan Pengobatan TB Paru di Madiun (Tesis).
Malang: Unibraw.
Fajrawati, (2005). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikab Penderita TB Paru di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (BP4) Surakarta. (Tesis). Malang: Unibraw
Irawati, (2005), Kesehatan Lingkungan Rumah dan Kejadian Penyakit TB Paru di Kabupaten Agam
Sumatera Barat, Yogyakarta : Jurnal Sains Kesehatan UGM.
Lammeshow, S, (1997). Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Murtantiningsih, (2008). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan Penderita TB Paru
Kabupaten Grobogan (Tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara.
Nurhidayah, (2007). Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis
(TB) Pada Anak Di Kecamatan Paseh Kabupaten Subang (Tesis), Bandung: Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Padjadjaran.
Permatasari, (2005). Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. Medan: Bagian Paru, Fakultas
Kedokteran USU. .
Sugiharto, (2004). Faktor risiko kejadian TB paru di Kabupaten Pekalongan Tahun 2004 (Tesis).
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Sukamto, (2002). Hubungan Kinerja PMO Dengan Hasil Pengobatan Penderita Tb Paru Tahap Intensif
Dengan Strategi Dots Di Kota Banjarmasin Tahun 2002 (Tesis) . Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Suswani, (2007). Hubungan Keteraturan Berobat Dengan Konversi Dahak Penderita TB Paru Kasus
Setelah Pengobatan Fase Intensif (Tesis) . Makassar: Universitas Hasanuddin.
WHO, (2002). Operational Guide for National Tuberculosis Control Programmes on The Introduction and
Use of Fixed Dose Combination Drugs. Genewa

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

147

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Wulandari, (2001). Keteraturan Berobat dan Risiko Kegagalan Konversi pada Penderita TB Paru BTA
Positif di Kab. Bogor tahun 1999-2001(Tesis) Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEGAGALAN KONVERSI PENDERITA


TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN KONAWE
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
TAHUN 2011
Moh. Sohibul Kirom1, Ridwan A2, Mappeaty Nyorong3
1

Puskesmas Ahuhu Kab. Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara


Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2

ABSRACT
Pulmonary tuberculosis (TB) is remains be the important global health problem. In Konawe 2010,
there are 72 TB patients (14%) which have conversion failure of 518 TB patients cured. Purpose of this
study is to analyse factors which can influence the happening of conversion failure of TB patient with
positive sputum smear. This study use Case Control design. Population is all of TB patients with positive
sputum smear. Sample is TB patient with positive positif sputum smear which has got therapy of intensive
phase. Sampling in purposif sampling. Number of samples 136 responders. Test applied is test OR continued
with test multivariat.( 5%) Result of this study indicates that irregularity in having drug is the most
important risk factor to the sputum conversion failure ( OR=49471, 95%CI=13.518-181.039), while some
other variables also haves a significanly of statistical to the happening of failure of sputum conversion
patient pulmonary TB, that is: knowledge ( OR=4111, 95%CI=1.777-9.499), nutritional status ( OR=6102,
95%CI=2.771-13.427), had another disease( OR=9121, 95%CI=3.468-23.986), side efect of
therapy( OR=2636, 95%CI=1.268-5.481), and the role of supervisor (OR=2419, 95%CI=1.056-5.543). The
importance thing is strightening in DOTS strategy to reduced failure of conversion rate. The adequate
treatment of disease and incresing nutritional status is also important to support success of therapy.
Key word

: Conversion failure, Pulmonary TB , Irregularity in having drug.

PENDAHULUAN
Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di
dunia serta muncul ke permukaan sebagai penyebab utama kematian. Jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang di kelompokkan dalam 22 negara
dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, sejak tahun 1993, World Health
Organization (WHO) mencanangkan TB Paru sebagai global emergency atau kedaruratan dunia (Depkes RI,
2008).
Pada tahun 2009, perkiraan insidensi TB Paru semua tipe di Indonesia adalah 189 kasus per
100.000 penduduk per tahun dengan penemuan kasus TB Paru baru dan kambuh adalah 127 per 100.000
penduduk per tahun dan angka prevalensi sebesar 285 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian
karena TB diperkirakan sebesar 27 per 100.000 penduduk pertahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta,
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

148

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

angka ini didukung dengan penemuan 660.000 total kasus; penemuan kasus baru semua tipe 430.000 dengan
169.213 kasus baru BTA positif dan jumlah kematian 61.000. Angka penemuan penderita TB Paru di
Kabupaten Konawe selama 2010 adalah sebesar 518 kasus atau 200 penderita per 100.000 penduduk.
Menurut laporan Depkes RI (2010), untuk hasil angka konversi kasus baru TB Paru BTA positif
tahun 2000-2009 menunjukkan bahwa rata-rata nasional angka konversi dari tahun 2000-2009 telah diatas
80% atau telah mencapai target nasional. Berdasarkan laporan Sub Dinas Pencegahan Penyakit, Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005, cakupan angka konversi mencapai 73% dan pada tahun
2006 angka konversi meningkat menjadi 75%. Sedangkan pada tahun 2009 angka konversi BTA penderita
TB Paru di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah mencapai angka 87%, angka ini tidak berbeda jauh dengan
yang terjadi di Kabupaten Konawe, dimana angka konversi mencapai 86% dari 518 penderita TB Paru BTA
positif selama tahun 2010.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain Case Control Study atau Retrospektif Study.
Variabel penelitian adalah pendidikan, pengetahuan, status gizi, keteraturan minum obat, penyakit penyerta,
kondisi ekonomi, kondisi perumahan, efek samping obat, peran petugas dan peran PMO. Lokasi penelitian
dilaksanakan di beberapa Puskesmas di Kabupaten Konawe.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua penderita TB Paru BTA positif baru yang menjalani pengobatan jangka
pendek dengan strategi DOTS. Kasus adalah semua penderita TB Paru BTA positif baru yang gagal konversi
pada akhir pengobatan fase intensif (BTA tetap positif). Kontrol adalah penderita TB positif baru yang
berhasil konversi pada akhir fase intensif.
Analisis Data
Analisis bivariat berupa uji Odds Ratio untuk mengetahui besar risiko variabel bebas terhadap
variabel terikat dan untuk analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh satu atau lebih dari variabel bebas
terhadap variabel terikat.
HASIL
Terdapat 46 orang (33.8%) yang gagal konversi dan 90 orang (66.2%) yang berhasil konversi
setelah pengobatan fase intensif. Sebagian besar responden berasal dari tingkat pendidikan yang rendah,
yaitu 74 orang (54.4%) sedangkan yang memiliki pendidikan lebih tinggi yaitu 62 orang (45.6%). Tingkat
pengetahuan responden sebagian besar kurang yaitu 82 orang (60.3%) dan pengetahuan cukup 54 orang
(39.7%). Status gizi sebagian besar responden cukup yaitu 92 orang (67.6%) dan responden dengan status
gizi kurang 44 orang (32.4%). Keteraturan minum obat sebagian besar responden cukup baik yaitu 100
orang (73.5%) dibandingkan dengan yang tidak teratur minum obat yaitu 36 orang (26.5%). Terdapat 27
responden (19.9%) yang memiliki penyakit penyerta dibangdinkan 109 responden (81.1%) yang tidak
memiliki penyakit penyerta. Sebagan besar responden berasal dari kondisi ekonomi yang kurang yaitu 77
orang (56.6%) dibandingkan dengan yang berasal dari kondisi ekonomi kuat yaitu 59 orang (43.4%).
Kondisi perumahan sebagian besar responden sehat yaitu 117 orang (86%) dibandingkan dengan 19 orang
(14%) yang memiliki rumah tidak sehat. Sebagian besar responden tidak mengalami efek samping
pengobatan yaitu 83 orang (61%) sedangkan 53 orang (39%) mengalami efek samping pengobatan OAT.
Peran petugas cukup baik menurut 124 orang (91.2%) sedangkan 12 orang (8.8%) menilai peran petugas
kurang. Peran PMO menurut sebagian besar responden cukup baik yaitu 106 orang (77.9%) dan 30 orang
(22%) menilai peran PMO masih kurang (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan variabel penelitian
Variabel
Konversi
gagal konversi
konversi
Jumlah
Pendidikan
Rendah
Tinggi
Jumlah
Pengetahuan

n
46
90
136

%
33.8
66.2
100

74
62
136

54.4
45.6
100

82

60.3

Variabel
Kondisi Ekonomi
Kurang
Cukup
Jumlah
Kondisi Perumahan
Tidak sehat
Sehat
Jumlah
Efek samping obat

n
77
59
136

%
56.6
43.4
100

19
177
136

14
86
100

53

39

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

149

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

JURNAL
Kurang
Baik
Jumlah
Status gizi
Kurang
Baik
Jumlah
Keteraturan minum
obat
Tidak teratur
Teratur
Jumlah
Penyakit penyerta
Ada
Tidak ada
Jumlah
Data Primer

54
136

39.7
100

44
92
136

32.4
67.6
100

36
100
136

26.5
73.5
100

27
109
136

19.9
80.1
100

INDONESI A

Ada
Tidak ada
Jumlah
Peran petuagas
Kurang
Cukup
Jumlah
Peran PMO
Kurang
Cukup
Jumlah

83
136

61
100

12
124
136

8.8
91.2
100

30
106
136

22
77.9
100

(Tabel 2) Responden yang gagal konversi dengan pendidikan rendah yaitu 30 orang (65.2%)
dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi yaitu 16 orang (34.8%). Responden dengan pengtahuan
yang kurang maupun yang cukup yaitu sama-sama berjumlah 45 orang (50%). Responden yang gagal
konversi dengan status gizi yang kurang yaitu 27 orang (58.7%) dibandingkan dengan responden dengan
gizi cukup yaitu 19 orang (41.3%). Responden gagal konversi yang tidak teratur minum OAT yaitu 27 orang
(58.7%) dibandingkan dengan responden yang teratur berobat yaitu 19 orang (41.3%). Responden yang
gagal konversi sebagaian besar mengalami efek samping OAT yaitu 25 orang (54.3%) dibandingkan dengan
yang tidak mengalami efek samping pengobatan yaitu 21 orang (45.7%). Sedangkan pada responden yang
berhasil konversi sebagian besar tidak mengalami efek samping OAT yaitu 62 orang (68.9%)dibandingkan
dengan yang mengalami efek samping OAT yaitu 28 orang (31.1%). Responden gagal konversi yang
menyatakan peran petugas cukup baik yaitu 41 orang (89.1%) dibandingkan dengan yang menyatakan peran
petugas kurang yaitu 5 orang (10.9%). Sedangkan pada responden yang berhasil konversi sebagian besar
juga dengan peran petugas yang cukup baik yaitu 83 orang (92.2%) dibandingkan dengan peran petugas
yang kurang yaitu 7 orang (7.8%). Responden gagal konversi yang menilai bahwa peran PMO cukup yaitu
31 orang (67.4%) dibandingkan dengan responden yang menilai kurangnya peran PMO yaitu 15 orang
(16.7%).
Tabel 2.

Analisis variabel penelitian dengan kejadian kegagalan konversi penderita TB di


Kabupaten Konawe tahun 2011

Variabel
Pendidikan
Rendah
Tinggi
Jumlah
Pengetahuan
Kurang
Baik
Jumlah
Status gizi
Kurang
Baik
Jumlah
Keteraturan minum obat
Tidak teratur
Teratur
Jumlah
Penyakit penyerta
Ada
Tidak ada
Jumlah
Kondisi Ekonomi

Status Responden
Gagal Konversi
Konversi
n
%
n
%

OR
95%CI

Jumlah
n

30
16
46

65.2
34.8
100

44
46
90

48.9
51.1
100

74
62
136

54.4
45.6
100

1.96
0.94-4.08

37
9
46

80.4
19.6
100

45
45
90

50
50
100

82
54
136

60.3
39.7
100

4.11
1.77-9.50

27
19
46

58.7
41.3
100

17
73
90

18.9
81,1
100

44
92
136

32.4
67.6
100

6.10
2.7713.43

27
19
46

58.7
41.3
100

17
73
90

18.9
81.1
100

44
92
136

32.4
67.6
100

12.78
5.1731.61

20
26
46

43.5
56.5
100

7
83
90

7.8
92.2
100

27
109
136

19.9
80.1
100

9.12
3.4623.98

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

150

JURNAL
Kurang
Cukup
Jumlah
Kondisi Perumahan
Tidak sehat
Sehat
Jumlah
Efek samping obat
Ada
Tidak ada
Jumlah
Peran petuagas
Kurang
Cukup
Jumlah
Peran PMO
Kurang
Cukup
Jumlah
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

29
17
46

63
37
100

48
42
90

53.3
46.7
100

77
59
136

56.6
43.4
100

1.49
0.71-3.09

10
36
46

21.7
78.3
100

9
81
90

10
90
100

19
117
136

14
86
100

2.50
0.93-6.67

25
21
46

54.3
45.7
100

28
62
90

31.1
68.9
100

53
83
136

39
61
100

2.63
1.26-5.48

5
41
46

10.9
89.1
100

7
83
90

7.8
92.2
100

12
124
136

8.8
91.2
100

1.44
0.43-4.83

15
31
46

32.6
67.4
100

15
75
90

16.7
83.3
100

30
106
136

22.1
77.9
100

2.41
1.05-5.54

PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan faktor risiko tetapi tidak signifikan terhadap terjadinya kegagalan konversi
TB paru dengan OR = 1.96 (95% CI 0.94 - 4.08). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Murtantiningsih (2010), Dahniar (2007), Buton (2003) serta Bambang dkk (2003), yang
juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan ketaatan berobat serta kegagalan
konversi. Hal ini berbeda dengan pernyataan Umar (2005) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan
mempengaruhi tingkat kegagalan dalam pengobatan, yakni makin rendah tingkat pendidikan penderita akan
menyebabkan kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya, sehingga mempengaruhi
kepatuhan penderita untuk berobat. Dengan ketidak-patuhan penderita dalam pengobatan maka akan
berpengaruh pula terhadap terhadap terjadinya kegagalan konversi pada akhir fase intensif pengobatan TB
paru. Hal ini didukung oleh Erawatyningsih (2009) yang juga menyatakan bahwa faktor yang paling
dominan menyebabkan ketidakpatuhan pada penderita TB adalah pendidikan dan pengatahuan. Faktor
pendidikan tidak serta merta dapat menjamin bahwa penderita TB dengan pendidikan yang tinggi akan
berhasil dalam pengobatan daripada penderita TB dengan pendidikan yang lebih rendah. Karena pada
penderita TB dengan pendidikan yang lebih rendah, sekalipun pengetahuannya akan penyakit TB rendah,
biasanya lebih patuh kepada arahan petugas dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih
tinggi.
Pengetahuan yang kurang tentang TB paru berisiko 4 kali lebih besar untuk terjadinya gagal
konversi dibandingkan dengan penderita TB yang memiliki pengetahuan yang baik tentang TB (OR 4.11;
95%CI 1.77-9.49). Faktor pengetahuan tentang pencegahan dan pengobatan TB paru merupakan salah satu
faktor yang dapat menentukan penderita TB untuk taat berobat dan taat minum obat secara teratur dan
tuntas, seperti halnya yang dinyatakan oleh Bambang dkk (2003) bahwa peningkatan pengetahuan penderita
tentang TB paru ternyata berpengaruh terhadap ketaatan penderita minum obat. Selain itu penderita juga
akan berusaha menanggulangi penyakitnya dan meminimalisir risiko penularan kepada orang-orang
disekitarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rifqatussaadah (2008) bahwa adanya pengetahuan yang baik
akan mempengaruhi responden untuk dapat melakukan sesuatu dengan teratur sehingga dapat
mempengaruhi perilakunya. Semakin baik pengetahuan maka penderita TB akan semakin meningkatkan
perilaku minum obat secara teratur. Hal yang sama ditunjukkan oleh Bambang dkk (2003) yang menyatakan
bahwa tingkat ketaatan minum obat dan keteraturan berobat menunjukkan hasil yang bermakna setelah
dilakukan penyuluhan.
Status gizi penderita TB yang kurang berisiko 6 kali lebih besar untuk mengalami kegagalan
konversi dibandingkan dengan penderita TB dengan status gizi yang baik (OR = 6.10; 95%CI 2.77-13.43).
Hasil pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Murtantiningsih (2010) dan Syamilatul (2006) yang
menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan kegagalan konversi penderita TB paru setelah menjalani
pengobatan fase intensif. Hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh Suwarno (2008) yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan gambaran konversi BTA yang signifikan antara penderita TB berat
badan rendah dengan berat badan yang normal dengan catatan adanya pengawasan dan kontrol yang baik.
Hal itu didukung oleh pernyataan Eka (2009) bahwa pemberian makanan tambahan tidak berpengaruh
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

151

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

terhadap konversi dahak akhir tahap intensif. Status gizi yang kurang dapat mempersulit penyembuhan dan
memudahkan kambuhnya kembali TB yang sudah reda (Indan, 2000). Adanya penyakit penyerta serta efek
samping pengobatan dapat menggangu asupan makan serta keteraturan berobat penderita TB, sehingga dapat
memperparah status gizi penderita TB yang akhirnya dapat bersama-sama mempengaruhi kegagalan
konversi BTA pada akhir fase intensif pengobatan. Syamilatul (2006) menambahkan bahwa peningkatan dan
perbaikan status gizi dengan memberikan asupan makanan yang seimbang pada penderita TB paru yang
sedang menjalani pengobatan dengan stratesi DOTS merupakan faktor penentu keberhasilan konversi
sputum BTA penderita TB paru.
Penderita TB yang tidak teratur minum obat berisiko 12 kali lebih besar untuk mengalami
kegagalan dalam konversi BTA-nya (OR = 12.78; 95%CI 5.17-31.60). Hasil penelitian ini mendukung
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain oleh Ridwan A. dan Tahitu (2006) yang menyatakan
bahwa gagal atau tidaknya konversi BTA sangat ditentukan oleh pengobatan, sedangkan pengobatan dapat
berhasil dipengaruhi oleh kepatuhan. Eulis Wulantari (2001) juga menyatakan bahwa keteraturan berobat
dan lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi
setelah pengobatan fase awal. Hal yang sama juga dipaparkan oleh G. Sujayanto yang (2000) yang
menyatakan bahwa pengobatan yang teratur bukan hanya tidak menyembuhkan penderita tetapi juga
menyebabkan kekebalan terhadap obat. Pernyataan ini dipertegas oleh Rahmaniar (2009) yang menyatakan
bahwa pengobatan yang tidak sesuai aturan akan menyebabkan terjadinya Multidrug Resisten
Micobacterium TB (MDR TB).
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Halim Danusantoso (2000) yang dikutip oleh
Murtantiningsih (2010) menyatakan bahwa saat ini semua penderita secara teoritis harus dapat disembuhkan,
asal saja yang bersangkutan rajin berobat sampai dinyatakan selesai, terkecuali bila dari awal basil TBC
yang dihadapi sudah resisten terhadap berbagai tuberkulostika yang lazim dipakai. Hal ini dapat kita pahami
karena apabila penderita tidak teratur dalam menjalani pengobatan OAT, nantinya akan menyebabkan
terjadinya kegagalan penyembuhan ditambah dengan timbulnya basil TB multiresisten, sehingga membuat
penderita kebal terhadap pengobatan dan memudahkan penularan basil yang sudah resisten kepada orang
lain (Crofton, 2000).
Adanya penyakit penyerta merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kegagalan konversi
penderita TB paru (OR = 9.12; 95% CI 3.46-23.98. Hal ini berarti penderita TB yang memiliki penyakit
penyerta memiliki risiko 9 kali lebih besar untuk gagal konversi dibandingkan dengan penderita TB yang
tidak memiliki penyakit penyerta. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rajana (2008) yang menyatakan bahwa variabel yang bermakna secara statistik dan merupakan faktor risiko
gagal konversi BTA dahak adalah penyakit penyerta dengan OR = 5.860. Syamilatul (2006) juga
menyatakan bahwa penderita TB paru dengan penyakit penyerta (DM, Asma, Typhoid) akan berisiko terjadi
gagal konversi 5.866 kali lebih besar dari pada penderita TB paru tanpa penyakit penyerta. Pernyataan
berbeda dikemukakan oleh Rekha dkk (2007) yang menyatakan bahwa pengobatan kategori I untuk TB paru
tanpa atau dengan penyakit penyerta cukup memberikan hasil yang memuaskan dalam hal konversi, dimana
antara penderita TB BTA positif baru, TB dengan DM dan TB dengan HIV memberikan hasil yang hampir
sama pada pemeriksaan akhir fase intensif. Disamping itu, Janis (2008) mendapatkan bahwa kegagalan
konversi lebih banyak terjadi pada DM yang tidak terkontrol daripada penderita TB paru dengan DM yang
terkontrol. Pengobatan TB kategori 1 sebenarnya sudah cukup untuk pengobatan pada penderita TB paru
tanpa atau dengan penyakit penyerta, yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan lebih karena terkontrol
atau tidaknya penyakit penyerta yang di alami oleh penderita TB yang bersangkutan.
Kondisi ekonomi merupakan faktor risiko tetapi tidak signifikan terhadap terjadinya kegagalan
konversi penderita TB paru (OR = 1.49; 0.71 3.09) Hal yang sama dikemukakan oleh Teddy dkk (2008)
yang menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap kejadian TB. Hasil penelitian
yang berbeda dikemukakan oleh Murtantiningsih (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
pendapatan dengan kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobagan.
Sedangkan Mishra dkk (2005) yang melakukan penelitian di Nepal, menyatakan bahwa risiko ketidakpatuhan berobat berhubungan secara signifikan dengan status sosial-ekonomi yang rendah. Penelitian yang
dilakukan oleh Mishra (2005) dilaksanakan di nepal dengan latar belakang negara miskin dan trasportasi
yang sulit, sehingga kondisi ekonomi sangat vital dalam usaha mencapai fasilitas kesehatan.
Kondisi kesehatan rumah bukan merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya
kegagalan konversi (OR = 2.50; 95%CI 0.93 6.67). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bambang (2010) yang menyatakan bahwa keterjangkauan dan kondisi rumah tinggal tidak
berhubungan dengan kejadian gagal konversi pada penderita baru TB paru BTA positif pada akhir
pengobatan fase intensif. Hasil pada penelitian ini dapat dijelaskan bahwa kondisi rumah lebih dominan
berperan pada saat penularan penyakit TB paru, seperti halnya yang dinyatakan oleh Ikeu dkk (2007) bahwa
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan menimbulkan risiko untuk terjadinya tuberkulosis pada
anak sebesar 18.57 kali jika dibandingkan dengan rumah yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan
dengan pengobatan yang teratur diharapkan dapat dicapai hasil konversi yang memuaskan.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

152

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Penderita TB yang mengalami efek samping obat berisiko 2 lebih besar untuk mengalami gagal
konversi apabila dibandingkan dengan penderita TB yang tidak mengalami efek samping pengobatan dengan
OAT (OR = 2.63; 95%CI 1.27-5.48). Hasil pada penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Ridwan A dkk (2006) yang manyatakan adanya hubungan antara efek samping dengan
kegagalan konversi BTA penderita TB paru dengan OR = 9.37. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Mangunnegoro dan Satyatenggara (1994) yang dikutip oleh Ridwan A. dkk (2006)
bahwa dengan adanya gejala efek samping OAT akan merupakan salah satu penyebab kegagalan dalam
pengobatan. Sedangkan hasil berbeda ditunjukkan oleh Rifqatussaadah (2008) yang mendapatkan hubungan
tidak bermakna antara efek samping obat dengan perilaku minum obat. Dalam hal ini, efek samping
terhadap OAT dapat memberikan dampak langsung terhadap keteraturan berobat, selain itu dapat pula
mempengaruhi status gizi penderita TB oleh karena adanya mual dan gangguan seputar perut yang
mengakibatkan terjadinya gangguan pada asupan nutrisinya. sehingga dapat disimpulkan bahwa selain
menjadi faktor risiko secara langsung, efek samping OAT juga dapat mempengaruhi keteraturan berobat
serta asupan gizi penderita TB, yang dapat bersama-sama berisiko terhadap terjadinya kegagalan konversi.
Peran petugas yang kurang merupakan faktor risiko tetapi tidak signifikan terhadap terjadinya
kegagalan konversi BTA (OR = 1.446 dengan 95% CI = 0.432-4.835). Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtantiningsih (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara penyuluhan oleh petugas kesehatan dengan kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I
Kabupaten Grobogan. Hasil yang berbeda dinyatakan oleh Ridwan A, dkk (2006) bahwa kahadiran petugas
pada saat pengambilan obat berperan besar dalam keteraturan pengambilan obat di puskesmas, baik oleh
PMO ataupun oleh penderitanya sendiri. Hasil penelitian ini mungkin lebih dikarenakan pada penderita TB
yang gagal konversi BTA, pengetahuan dan responnya terhadap petugas menjadi lebih baik karena petugas
menjadi lebih intensif dalam menjalin hubungan dengan penderita TB paru yang gagal konversi.
Peranan PMO yang kurang merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya kegagalan
kenversi penderita TB paru (OR = 2.41; 95% CI 1.05 5.54). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Amiruddin R. dan Tahitu R. (2006) di Kota Ambon yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
pengawas minum obat dengan kegagalan konversi dengan OR = 48.00. Hasil yang berbeda dikemukakan
oleh Murtantiningsih (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan PMO dengan
kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobogan. Peranan PMO erat
kaitannya dengan keteraturan berobat penderita TB paru, karena adanya dorongan orang sekitar terhadap
penderita TB paru berdampak terhadap perilaku minum obat secara teratur. Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Rifqaatussaadah (2008) bahwa peran keluarga yang baik merupakan motivasi yang ampuh dalam
mendorong responden untuk berobat teratur sesuai anjuran.
Dari delapan variabel yang diikutkan dalam analisis regressi ganda, variabel yang masih bermakna
berturut-turut adalah keteraturan minum obat (OR 29.46, 95%CI 7.51-115,58), penyakit penyerta (OR 23.8,
95%CI 5.0-113.19) dan pengetahuan (OR 8.16, 95%CI 1.68-39.46).
KESIMPULAN
Perlu penguatan strategi DOTS khususnya peningkatan komitmen semua pemegang kebijakan
untuk meningkatkan keberhasilan program penanggulangan TB. Tatalaksana yang menyeluruh terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh penderita TB sangat penting guna mendukung kesembuhan penderita TB.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin R., Rasmaniar, Purimahua SL. 2006. Faktor Keberhasilan Konversi Pada Penderita TB Paru di
Puskesmas Jongaya Tahun 2006. http://ridwanamiruddin.wodrpress.com// diakses 30 Juni 2011
Bambang A. Hadiansyah. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gagal Konversi pada
Penderita TB Baru BTA Positif Baru Akhir Pengobatan Fase Intensif di Balai Kesehatan Paru
Masyarakat (BPKM) Kabupaten Garut Tahun 2009-2010.
Crofton, J., dkk. 2002. Tuberkulosis Klinik. Alih Bahasa dan Editor: Trastotenojo MS, Dachyanto DW,
Susanto R. PT. Widya Medika. Jakarta.
Depkes RI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB Anak Depkes
IDAI.Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, Cetakan kedua.
Jakarta.
Eka Hateyaningsih. 2009. Pengaruh Makanan Tambahan Terhadap Konversi Dahak pada Penderita
Tuberkulosis di Puskesmas Jagakarsa, Jakarta Selatan Tahun 2008-2009. Universitas Indonesia.
Erawatyningsih E., dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita
TB Paru. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, hal 117-125.
Indan Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Murtantiningsih dan Bambang W. 2010. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan Penderita
TB Paru (Studi Kasus di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobogan). KEMAS Vol 6 No. 1.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

153

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Rahmaniar Mulyani. 2009. Insersi Adenin-231 pada Gen pncA Mycobacterium Tuberculosis Isolat R7
Berkaitan Dengan Resistensi Pirazinamid. Institut Teknologi Bandung.
Rekha, et al. 2007. Sputum Conversion at The End Of Intensive Phase of Category-1 Regimen in The
Treatment of Pulmonary Tuberculosis Patients with Diabetes Mellitus or HIV Infection : an
Analysis of Risk Factors(Clinical report). Indian Journal of Medical Research.
Rifqatussaadah. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Minum Obat Secara Teratur Pada
Penderita TB Paru Dewasa. Jakarta.
Sujayanto G. 2000. Kepatuhan Berobat Bagi Penderita Tuberkulosis.
Syamilatul khariroh. 2006. Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kegagalan Konversi Penderita TB Paru
Setelah Pengobatan DOTS Fase Intensif di RSU DR Soetomo dan BP4 Karang Tembok Surabaya.
Universitas Airlangga. Surabaya.
Tahitu R., Amiruddin R. 2006. Faktor Risiko Kegagalan Konversi Pada Penderita TB Paru BTA Positif Baru
di Kota Ambon Provinsi Maluku.
Teddy BS, Desy AA, Suprapto. 2007.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kasus
Tuberculosis Paru. Jurnal Ilmiah PANNMED Vol. 2 :13-19.
Umar. A. 2005. Analisis Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Rappokalling Kota Makassar. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Wulantari E. 2001. Keteraturan Berobat dan Risiko Kegagalan Konversi pada Penderita TB Paru BTA Positif
di Kabupaten Bogor.

FAKTOR RISIKO KEJADIAN HIPERTENSI DERAJAT 2 PADA KARYAWAN


DI RUMAH SAKIT TENTARA TK.III AMBON
Ridwan Masi1, Ridwan Amiruddin2, Syamsiar S. Russeng3
1
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku
2
Bagian Epedemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
The aim of the research is to analyze the risk factors related to the occurrece of hypertension grade
2 of employees in military Hospital Tk. III, Ambon. This research was an observational analytic study with
is a case control study design. The sample were 204 people consisting of 68 case group and 136 control
group. The data were analyzed by using Odds Ratio (OR) and multivariate logistic regression. The results of
the research reveal that risk factors on the occurrence of hypertension grade 2 are sex (OR = 2.68, CI 95%;
1.37- 5.23), smoking habit (OR =2.81, CI 95%;0.99-7.91), family history hypertension (OR =2.58,CI 95%;
1.37-4.87), body mass index (OR = 3.06, CI 95%; 1.65-5.69), work stres (OR=2.24, CI 95%; 1.234.05).
The greatest risk factor on the occurrence of hypertension grade 2 is sex (OR = 2,670). To reduce work
stress needs individual strategies (time management, physical exercise, relaxation training, and social
support) and management stress needs organization (to reduce conflict, to clarify the role of organization
and career plan and development, and to provide counseling).
Key words: hypertension grade 2, risk factors, work stress
PENDAHULUAN
Hipertensi atau tekanan darah tinggi di seluruh dunia, merupakan penyebab kematian dan kesakitan
yang tinggi, sering diberi gelar The Silent Killer karena hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi,
disamping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga
karena tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak, sehingga
kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani perekonomian keluarga, karena
biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup (Sembiring,
2010).
Data epidemiologi dari beberapa negara menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi.
Di Yunani, Psaltopoulou (2004) mendapatkan prevalensi hipertensi sebesar 40,2% pada laki-laki dan 38,9%
pada wanita. Prevalensi hipertensi meningkat berdasarkan umur, dan lebih tinggi pada daerah pedesaan dan
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

154

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

pada individu dengan pendidikan rendah. Di Jerman, Laaser (2005) mendapatkan peningkatan prevalensi
hipertensi dari 19,6% pada tahun 1984 menjadi 24% pada tahun 1998. Hal ini diiringi dengan meningkatnya
cakupan pengobatan hipertensi pada periode yang sama (45,4%-63,0%), namun efektifitas pengobatannya
justru mengalami penurunan (51,7%-41,3%). Penelitian ini dilakukan pada populasi dengan rentang usia
3069 tahun. Dari suatu penelitian hipertensi multicenter di Bangladesh terhadap orang yang berusia tua
(60 tahun), diperoleh prevalensi hipertensi yang cukup besar, yaitu 65% dan tidak ada perbedaan antara
pria dan wanita.
Hipertensi adalah faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab kematian
tertinggi di Indonesia. Stroke, hipertensi dan penyakit jantung meliputi lebih dari sepertiga penyebab
kematian, dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak 15,4%, kedua hipertensi 6,8%, penyakit
jantung iskemik 5,1%, dan penyakit jantung 4,6%, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 32,2%, dan
prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan (39,6%), terendah di Papua Barat (20,1%),
Cakupan tenaga kesehatan terhadap kasus hipertensi di masyarakat masih rendah, yaitu hanya 24,2%
(Rahajeng, 2009).
Di Propinsi Maluku, saat ini belum ada data yang komprehensif tentang prevalensi hipertensi yang
terjadi. Yang tersedia barulah data proporsi penyakit tidak menular yang dirawat di rumah sakit dan di
puskesmas. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi Maluku tahun 2010, hipertensi menempati
tempat pertama proporsi penyakit tidak menular pada pasien, baik yang rawat jalan maupun rawat inap
masing-masing sebesar 13.612 penderita dan 713 penderita (Dinkes Maluku, 2010).
Rumah Sakit tidak bisa dipisahkan dari peran para karyawannya. Kini rumah sakit lebih
menyerupai suatu industri kesehatan dengan segala tuntutan maupun dampaknya, antara lain stres kerja yang
berinteraksi dengan faktor-faktor sosio demografi, kardiovaskuler, dan lingkungan dapat menjadi salah satu
penyebab timbulnya hipertensi. Hipertensi yang perlangsungannya lama, sesungguhnya bisa dilakukan
upaya pencegahan untuk menghindari terjadinya komplikasi yang memperberat keadaan penderitanya.
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi
derajat 2 pada karyawan di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon tahun 2012.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon. Jenis penelitian yang digunakan
adalah observasional dengan mengunakan rancangan kasus kontrol.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua karyawan di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon. Sampel sebanyak 204
orang yang dipilih secara simple random sampling yang telah memenuhi Kriteria Inklusi masa kerja minimal
6 bulan, bersedia ikut serta dalam penelitian, dengan menandatangani informed consent.
Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows 15. Untuk mengetahui besar
risiko variabel terhadap hipertensi derajat 2 digunakan penilaian Odds Ratio (OR). Analisis multivariat
dilakukan untuk melihat variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian hipertensi derajat 2 digunakan
regresi logistik ganda.
HASIL
Karakteristik sampel
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik karyawan yang menjadi sampel penelitian ini. Sebagian
besar responden adalah perempuan (77,0%), tingkat pendidikan lebih banyak tamat perguruan tinggi
(63,7%), status kepegawaian terbanyak dari PNS (68,6%) dibanding militer (137%), dan sebagian besar
sudah menikah (91,2%).
Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon

Variabel
Jenis Kelamin
-Laki-Laki
-Perempuan
Pendidikan
-SLTP
-SLTA
-Perguruan Tinggi
Status kepegawaian

Hipertensi derajat 2
(n=68)
n
%

Normotensi
(n=136)
n

24
44

35,3
64,7

23
113

16,9
83,1

9
24
35

13,2
35,3
51,5

9
32
95

6,6
23,5
69,9

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

155

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

-Militer
-PNS
-Honorer
Status perkawinan
-Belum Menikah
-Sudah Menikah
-Cerai/Janda/Duda
Data Primer

INDONESI A

13
45
10

19,1
66,2
14,7

15
95
26

11,0
69,9
19,1

5
60
3

7,4
88,2
4,4

9
126
1

6,6
92,6
0,7

Analisis Faktor risiko Terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2


Tabel 2 menunjukkan analisis faktor risiko terhadap kejadian hipertensi derajat 2 antara lain :
proporsi penderita Hipertensi Derajat 2 lebih banyak pada kelompok risiko tinggi (laki-laki) sebanyak 24
orang (35,3%) dan kontrol 16,9%. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,68 dengan tingkat
kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,375,23. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka jenis
kelamin merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi
Derajat 2 pada responden laki-laki adalah 2,68 kali lebih besar dibanding dengan perempuan.
Diantara 68 kasus Hipertensi Derajat 2 hanya 11 orang (29,7%) yang menggunakan kontrasepsi
hormonal. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) =0,65 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95%
yaitu 0,291,46. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai<1, maka penggunaan kontrasepsi hormonal
bukan merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2.
Pada 68 orang penderita hipertensi hanya ada 9 orang (13,2%) yang mempunyai kebiasaan
merokok dalam hal ini dikategorikan sebagai kelompok risiko tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol 94,9
% responden tidak menderita hipertensi derajat 2 adalah mereka yang tidak pernah merokok. Hasil uji
Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,81 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,997,91. Oleh
karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terjadinya
Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai
kebiasaan merokok adalah 2,81 kali lebih besar dibanding dengan responden yang tidak pernah merokok.
Diantara 68 kasus penderita Hipertensi Derajat 2 hanya 10 orang (14,7%) yang mempunyai
kebiasaan minum alkohol. Sedangkan responden yang tidak mempunyai kebiasaan minum alkohol lebih
banyak tidak menderita Hipertensi Derajat 2 sebanyak 126 orang (92,6%) dibanding kasus yaitu 85,3%.
Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) =2,17 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,86
5,51. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai>1, maka kebiasaan minum alkohol merupakan faktor
risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang
mempunyai kebiasaan minum alkohol adalah 2,17 kali lebih besar dibanding dengan responden yang tidak
pernah minum alkohol.
Tabel 2. Faktor risiko kejadian hipertensi derajat 2 pada karyawan Rumah sakit Tk.II Ambon

Variabel
Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
Pemakaian kontrasepsi
Hormonal
- Ya
- Tidak
Kebiasaan Merokok
- Ya
- Tidak
Kebiasaan Minum
Alkohol
- Ya
- Tidak
Kebiasaan Olahraga
- Ya
- Tidak
Riwayat Hipertensi
Keluarga
- Ada
- Tidak

Hipertensi derajat 2
(n=68)
n
%

Normotensi
(n=136)
n
%

OR

CI
95%

24
44

35,3
64,7

23
113

16,9
83,1

2,68

1,375,23

0,003

11
26

29,7
70,3

41
63

39,4
60,0

0,65

0,291,46

0,294

9
59

13,2
86,8

7
129

5,1
94,9

2,81

0,997,91

0,043

10
58

14,7
85,3

10
126

7,4
92,6

2,17

0,865,51

0,096

46
22

67,6
32,4

103
33

75,7
24,3

0,67

0,351,27

0,220

28
40

41,2
85,8

29
107

21.3
78,7

2,58

1,374,87

0,003

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

156

JURNAL
Indeks Massa Tubuh
- IMT 25 kg/m2
- IMT<25 kg/m2
Stress Kerja
- Sedang tinggi
- Rendah
Data Primer

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

33
35

48,5
51,5

32
104

23,5
76,5

3,06

1,655,69

0,000

41
27

60,3
39,7

55
81

40,4
59,6

2,24

1,234,05

0,007

Sebanyak 46 orang (67,6%) responden tidak mempunyai kebiasaan olah raga mengalami hipertensi,
sedangkan mereka yang sering berolah raga, hanya 22 orang (32,4%) yang menderita hipertensi. Hasil uji
Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) =0,67 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,351,27. Oleh
karena nilai LL dan UL mencakup nilai <1, maka kebiasaan olah raga bukan merupakan faktor risiko
terjadinya Hipertensi Derajat 2.
Pada penderita Hipertensi Derajat 2 ada 28 orang (41,2%) mempunyai riwayat anggota keluarga
(orang tua, kakek/nenek atau paman/bibi) yang menderita Hipertensi Derajat 2, Hasil uji Statistik diperoleh
nilai Odds Ratio (OR) = 2,58 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,374,87. Oleh karena nilai LL
dan UL tidak mencakup nilai 1, maka riwayat Hipertensi dalam keluarga merupakan faktor risiko terjadinya
Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai
riwayat keluarga yang menderita Hipertensi adalah 2,58 kali lebih besar dibanding dengan responden yang
tidak mempunyai riwayat keluarga menderita Hipertensi.
Pada 68 penderita Hipertensi Derajat 2, 48,5% responden yang mengalami obesitas atau
mempunyai indeks massa tubuh IMT25 kg/m2, lebih tinggi jika dibanding dengan kelompok kontrol
(23,5%), hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,06 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95%
yaitu 1,655,69. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka obesitas merupakan faktor
risiko terjadinya hipertensi derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang
mempunyai indeks massa tubuh 25kg adalah 3,06 kali lebih besar dibanding dengan responden yang
memiliki IMT <25kg.
Secara keseluruhan 52,9% responden mengalami stres kerja yang ringan. Pada kelompok kasus
penderita hipertensi derajat 2, terdapat 41 orang (60,3%) mengalami stres kerja sedang-tinggi, sedangkan
pada kelompok kontrol ditemukan bahwa 81 orang (59,6%) mengalami stres kerja ringan. Hasil uji statistik
diperoleh nilai Odds Ratio (OR)=2,24 pada dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,23 4,05.
Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai stressor kerja tinggi adalah
2,24 kali lebih besar dibanding dengan responden yang mempunyai stressor rendah.
Analisis Multivariat
Tabel 3 memperlihatkan bahwa semua variabel memenuhi syarat untuk diikutkan di dalam analisis
regresi logistik dengan metode Enter kecuali pemakaian kontrasepsi hormonal, hanya ada 3 (tiga) variabel
yang memberi kontribusi secara bermakna terhadap kejadian hipertensi derajat 2 yaitu jenis kelamin, riwayat
hipertensi dalam keluarga dan indeks massa tubuh. (p<0,05). Diantara ketiga variabel ini yang paling kuat
pengaruhnya adalah jenis kelamin dengan nilai OR = 2,670.
Tabel 3. Analisis faktor risiko yang mempengaruhi kejadian hipertensi derajat 2 pada karyawan
Rumah Sakit Tentara Ambon

Variabel
Jenis Kelamin
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Minum Alkohol
Kebiasaan olah raga
Riwayat keluarga
Indeks masa tubuh
Stres kerja
Konstanta
Data Primer

Wald

Sig

Exp (B)

0,928
0,002
-0,224
-0,290
0,937
0,849
0,492
-3,949

4,646
0,000
0,135
0,543
6,887
5,832
2,073
6,400

0,031
0,998
0,713
0,461
0,009
0,016
0,150
0,011

2,670
1,002
0,799
0,748
2,553
2,337
1,636
0,019

95 % CI for
Exp (B)
Lower
Upper
1,093
6,519
0,261
3,848
0,242
2,638
0,346
1,619
1,268
5,140
1,173
4,655
0,837
3,196

Apabila fungsi regresi dimasukkan kedalam persamaan pada hipotesis yang berisiko yaitu jenis
kelamin laki-laki berisiko tinggi (1) ada riwayat keluarga (1) dan IMT berisiko tinggi (1) maka
probabilitasnya terkena hipertensi derajat 2 pada seseorang adalah 19,88%. Apabila fungsi regresi
dimasukkan kedalam persamaan pada hipotesis yang berisiko rendah yaitu yaitu jenis kelamin perempuan

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

157

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

berisiko rendah (0) tidak ada riwayat keluarga (0) dan IMT berisiko rendah (0) maka probabilitas terkena
hipertensi derajat 2 pada seseorang adalah 1,24%.
PEMBAHASAN
Faktor Risiko Jenis Kelamin terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Jenis kelamin merupakan karakteristik dari seseorang yang dapat mempengaruhi kesehatannya.
Dalam studi epidemiologi sering dikemukakan bahwa ada penyakit tertentu yang hanya terdapat pada lakilaki dan ada pula penyakit yang hanya diderita oleh wainta saja. Selain itu ada prevalensinya lebih tinggi
pada wanita dibandingkan laki-laki demikian pula sebaliknya. Berbagai penyakit ternyata sangat erat
risikonya dengan jenis kelamin dengan berbagai sifat tertentu antara lain penyakit yang hanya dijumpai pada
jenis kelamin tertentu, terutama yang berisiko erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan
dalam perbedaan jenis kelamin, karena terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria dan
terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita & pria (Noor, 2008).
Hasil penelitian ini menemukan adanya risiko yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
Hipertensi Derajat 2 dengan nilai p=0,003. Responden laki-laki lebih banyak menderita Hipertensi Derajat 2
yaitu 24 orang (35,3%) dibanding tidak mengalami Hipertensi Derajat 2 (16,9%). Besarnya risiko laki-laki
menderita Hipertensi Derajat 2 adalah 2,68 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Faktor Risiko Kontrasepsi Hormonal terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bahan bakunya mengandung hormon
estrogen dan progestin baik yang sintetis maupun yang alami, kadar hormon dalam kontrasepsi tersebut tidak
sama untuk setiap jenis. Termasuk dalam kategori alat kontrasepsi hormonal adalah pil, suntikan dan implat.
Pemakaian hormon estrogen dan hormon progesteron dapat menganggu fertilitas dengan berbagai cara dan
jelas bahwa keduanya menghambat ovulasi. Berbagai efek hormon-hormon ovarium terhadap fungsi
gonadoptropik dan hipofisis yang menonjol antara lain dari estrogen adalah inhibisi sekresi FSH dan dari
progesteron inhibisi pelepasan LH. Pengukuran FSH dan LH dalam sirkulasi menunjukkan bahwa kombinasi
estrogen dan progesteron menekan kedua hormon. Sehingga terjadi ketidakseimbangan hormon estrogen dan
progesteron dalam tubuh yang akan memicu terjadinya gangguan pada tingkat pembuluh darah dan kondisi
pembuluh darah yang dimanifestasikan dengan kenaikan tekanan darah. Efek ini mungkin terjadi karena
baik estrogen maupun progesteron memiliki kemampuan untuk mempermudah retensi ion natrium dan
sekresi air akibat kenaikan aktivitas renin plasma dan pembentukan angiotensin yang menyertainya
(Herman, 1996).
Hasil penelitian ini menemukan dari 37 penderita hipertensi derajat 2 yang mengunakan kontrasepsi
hormonal sebanyak 11 orang (29,7%). Tidak terdapat risiko yang bermakna antara pemakaian kontrasepsi
hormonal (Pil, Suntik, Implant) dengan kejadian hipertensi derajat 2 dengan nilai p=0.198. Pemakaian
kontrasepsi hormonal bukan merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi derajat 2.
Faktor Risiko Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Menurut Kaplan (2002), efek kenaikan tekanan darah oleh nikotin pada rokok berlangsung akut,
pada pecandu rokok sekalipun. Selama masih merokok maka tekanan darah akan meningkat, dan tidak ada
batas toleransinya. Peningkatan tekanan darah akibat merokok diduga berisiko dengan resistensi insulin,
melemahnya relaksasi bergantung endothelium dan peningkatan level endotelin.
Hasil penelitian menunjukan dari 68 responden yang menderita hipertensi derajat 2 terdapat 9
responden (13,2%) yang mempunyai kebiasaan merokok sedangkan yang tidak mempunyai kebiasaan
merokok sebanyak 59 responden (86,8%). Besarnya risiko terjadinya hipertensi derajat 2 pada responden
yang mempunyai kebiasaan merokok adalah 2,81 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang
tidak pernah merokok.
Faktor Risiko Kebiasan Minum Alkohol terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Peranan alkohol terhadap hipertensi masih belum pasti. Mereka yang kadang-kadang saja
mengonsumsi alkohol dalam sehari dan yang mengonsumsi ringan (hingga 2 kali sehari), cenderung
mengalami penurunan tekanan darah sistol pada subjek hipertensif derajat 2. Namun seiring makin
meningkatnya konsumsi alkohol (>3 kali sehari secara rutin), tekanan darah baik sistol maupun diastol
cenderung akan meningkat pula. Dan bila pengonsumsi alkohol berat (>6 kali sehari) mengurangi atau
bahkan berhenti, biasanya tekanan darah akan berangsur menurun. Mekanisme yang mungkin menyebabkan
peningkatan tekanan darah akibat konsumsi alkohol adalah perubahan membran sel yang mungkin oleh
inhibisi transpor sodium, stimulasi aktifitas SSP, hiperinsulinemia atau peningkatan sekresi kortisol. (Kaplan
NM, 2002)
Hasil penelitian ini menunjukkan dari 68 kasus penderita hipertensi derajat 2 hanya 10 responden
(14,7%) yang mempunyai kebiasaan minum alkohol. Tidak terdapat risiko yang bermakna antara kebiasaan
minum alkohol dengan kejadianHipertensi Derajat 2 karena nilai p=0.081. Kebiasaan minum (alkohol)
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

158

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

bukan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Pada penelitian ini 90,2% responden menyatakan tidak
pernah minum alkohol. Hal itu mungkin disebabkan kebiasaan minum alkohol bukan merupakan suatu
budaya. Hal lain yang mendukung minum alkohol bukan merupakan suatu budaya adalah faktor agama.
Sebagai contoh alkohol merupakan minuman yang haram untuk dikonsumsi oleh penganut agama Islam.
Faktor Risiko Kebiasaan Olah Raga terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Aktivitas fisik atau olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Olah raga secara teratur dan terukur dapat menyerap atau
menghilangkan endapan kolesterol pada pembuluh darah (Basuki, 2001). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,145 berarti tidak bermakna. Nilai odds Ratio (OR)=0,67. Kebiasaan olah raga bukan merupakan faktor
risiko terjadinya hipertensi derajat 2.
Faktor Risiko Riwayat Hipertensi dalam Keluarga terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko
terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Faktor genetik juga dipengaruhi faktor-faktor
lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang hipertensi (Undari, 2007).
Hasil penelitian menunjukan dari 68 responden yang menderita hipertensi derajat 2 terdapat 41,2%
yang mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga dibandingkan mereka yang tidak mempunyai riwayat
hipertensi dalam keluarag (58,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,003 berarti bermakna. Nilai odds
Ratio (OR)=2,58. Besarnya risiko riwayat keluarga hipertensi dengan kejadian hipertensi derajat 2 adalah
2,58 kali dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi.
Faktor Risiko Indeks Massa Tubuh terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Sekitar 1/3 pasien dengan hipertensi mempunyai berat badan lebih dari normal.Orang dewasa yang
mengalami obesitas mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi.Penyelidikan
epidemiologi membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi.Belum
diketahui mekanisme pasti yang dapat menjelaskan Risiko antara obesitas dan hipertensi primer.Diduga
melalui mekanisme resistensi insulin perifer yang menyebabkan hiperinsulinemia, sehingga terjadi hipertensi
akibat meningkatnya aktifitas saraf simpatis, terjadinya retensi natrium dan hipertrofi vaskuler (Kaplan,
2002).
Hasil penelitian menunjukan dari 68 responden yang menderita hipertensi derajat 2 terdapat 48,5%
yang obesitas (IMT25 kg/m2) sedangkan yang mempunyai IMT<25 kg/m2 sebanyak 51,5%. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 0,000 berarti bermakna. Besarnya risiko obesitas dalam hal ini memiliki indeks
massa tubuh 25 kg/m2 menderita hipertensi derajat 2 adalah 3,06 kali dibanding dengan mereka yang
memiliki IMT <25 k kg/m2g.
Faktor Risiko Stres Kerja terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2
Stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila
seseorang setelah mengalami stres, mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang
bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami
distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhankeluhan somatik (fisik),
tetapi dapat pula disertai keluhankeluhan psikis.Tidak semua bentuk stres mempunyai konotasi negatif,
cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut dikatakan eustres (J. Karnadi, 1999).
Hasil penelitian ini menunjukkan pada 60,3% penderita hipertensi derajat 2 mengalami stres kerja
sedang-tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan 59,6% mengalami stres kerja ringan. Hasil uji
statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR)=2,24. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada
responden yang mempunyai stressor tinggi adalah 2,24 kali lebih besar dibanding dengan responden yang
mempunyai stressor kerja ringan.
Perawat atau karyawan di rumah sakit militer yang menjadi subjek studi kami, mempunyai tugas
jaga malam selain tugas dinas pada pagi hari. Terutama pada jaga malam, dimana petugas yang ada terbatas
Totalnya, sehingga beberapa jenis pekerjaan menjadi tanggung jawab seorang perawat.Kerja Gilir (shift)
justru dapat menimbulkan stress karena terjadinya perubahan ritme sirkadian atau siklus kerja, pola suhu
tubuh dan pelepasan adrenalin. Beban kerja kuantitatif akan dirasakan bila tugas yang diberikan terlalu
banyak atau terlalu sedikit untuk diselesaikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Risiko kejadian hipertensi derajat 2 pada laki-laki 2,68 kali lebih besar dibanding pada perempuan,
pada orang yang mempunyai kebiasaan merokok 2,81 kali lebih besar dibanding dengan orang yang tidak
pernah merokok, pada orang yang mempunyai kebiasaan minum alkohol 2,17 kali lebih besar dibanding
dengan orang yang tidak mempunyai kebiasaan minum alkohol, pada responden yang mempunyai riwayat
keluarga yang menderita hipertensi adalah 2,58 kali lebih besar dibanding yang tanpa riwayat keluarga
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

159

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

hipertensi, pada orang yang mempunyai indeks massa tubuh (IMT) 25 kg/m 2 adalah 3,06 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami obesitas (IMT<25 kg/m 2), pada orang yang mempunyai
tingkat stres sedang-tinggi adalah 2,24 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai
tingkat stres ringan. Untuk mencegah terjadinya hipertensi derajat 2 disarankan untuk lebih giat melakukan
aktifitas fisik, dalam hal ini olah raga, secara teratur sebagai upaya untuk mengelola berat badan dan dapat
mengurangi risiko menderita hipertensi. Untuk mengurangi stres kerja perlu strategi yang bersifat individual
yang efektif seperti : pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki B, Soemarko DS, (2001). Past antihypertensive drugs, obesity, daily light working load and risk of
hypertension: An Indonesian rural study. Med J Indones. 10:224-9.
Dinas Kesehatan Maluku, (2011). Profil Kesehatan Propinsi Maluku Tahun 2010.
Herman, Max Joseph. (1996). Pemanfaatan Hormon dalam Kontrasepsi. Cermin Dunia Kedokteran No. 112
J. Karnadi, (1999). Stres dalam Kehidupan Sehari-Hari. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta.
Kaplan NM, Liebermann E, Neal W, editors, (2002). Kaplan s clinical hypertension. 8th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Laaser U, Breckenkamp J, (2005). Trends in risk factor control in Germany 1984-1998: High blood pressure
and total cholesterol. Eur J Public Health.
Noor, Nur Nasry, (2008). Epidemiologi. Rineka Cipta
Psaltopoulou, Theodora, et al, (2004). Prevalence, Awarness, Treatment anda cotrol of Hypertension in a
general population sample of 26913 adults in the Greek EPIC stud. International Journal of
Epidemiology; 33:345-352.
Rahajeng, Ekowati, (2009). Masalah Hipertensi di Indonesia, Puslitbang Biomedis dan Farmasi Depkes RI.
Sembiring, (2010). Perilaku Penderita Hipertensi Terhadap Upaya Pencegahan Komplikasi di Wilayah
Kerja Puskesmas Berastagi tahun 2010. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Undari, (2007). Stres dan masa kerja serta faktor-faktor risiko lain berkaitan dengan hipertensi di antara
karyawan rumah sakit militer [tesis]. Jakarta: FK UI.

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SIFILIS PADA AWAK KAPAL PERIKANAN DI WILAYAH KERJA
KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS II KENDARI
TAHUN 2011
Wahyuni H Thamrin, A. Arsunan Arsin, Mappeaty Nyorong3
1

Kantor Kesehatan Pelabuhan Kendari


Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2

ABSTRACT
This study aims to determine the risk of the risk factors of education, knowledge, attitudes, and
years of drug use on the incidence of syphilis in the crew of a fishing vessel in the Port Health Office of
Class II Kendari in 2011. Methods This was an observational study with case control study design. Sampling
was done by purposive random sampling, sample cases numbered 68 people were infected with syphilis and
control as many as 68 people who do not terinfksi syphilis. Data were analyzed with the test adds ratio test,
bivariate, and multivariate logistic regression to test the limit of significance ( 5%). Bivariate test results in
the study show a great level of risk with OR = 1.536 (95% CI 0.771 to 3.060), knowledge of the OR = 5.9111
(95% CI 2.693 to 12.973), the attitude with OR = 10, 563 (95% CI 4 , 78 to 23.330), drug use with OR =
13.233 (95% CI 5.270 to 33.229), years of work with OR = 1.199 (95% CI 0.606 to 2.371) are risk factors
for the incidence of syphilis in the region of Port Health Office Class II Kendari year, 2011. Multivariate test
results showed the greatest risk factor effects on the incidence of syphilis is drug use with OR = 12.606.
Suggestions, should be maximized providing information on STIs and drug use, create the atmosphere of fun
and joy that is not saturated in the workplace, it should be cross-sectoral coordination, and increase
screening activities
Keywords: Genesis syphilis, knowledge, attitudes, drug use
PENDAHULUAN

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

160

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum, menular melalui
hubungan seksual atau secara transmisi vertikal, bersifat kronik, sistemik dan menyerang hampir ke semua
alat tubuh (D. Adhi, 200).
Kasus sifilis di seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 0,04-0,52% sedangkam kasus di Indonesia
sebesar 0,61% dengan penderita terbanyak berada pada stadium laten. Propabilitas terjadinya infeksi Sifilis
dan individu karier Sifilis kepada orang sehat adalah 30% wanita dan 20% adalah lelaki.
Di Cina laporan menunjukkan jumlah kasus sifilis meningkat dari 0,2 per 100.000 jiwa tahun 1993
menjadi 5,7 per 100.000 jiwa tahun 2005. Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 36.000 kasus
sifilis tiap tahunnya dan 3 per 5 kasus terjadi dikalangan lelaki (http://www.sifilis .com.20007).
Data STBP (Surveilens Terpadu Biologi Perilaku), tahun 2007 diperoleh jumlah anak buah kapal /
awak kapal adalah kelompok pria berisiko melakukan hubungan dengan WPS setahun terakhir (46%) ini
diluar Papua, prevalensi sifilis ABK 5,3%, pekerja pelabuhan di Papua dan 84% di Provinsi lain.
Hasil penelitian prevalensi sifilis pada PSK di lokalisasi kecamatan kedungwaru kabupaten
Tulungagung periode 2004 2005 menunjukkan 21,5% terdapat hubungan antara kejadian sifilis dengan
umur responden. Sifilis merupakan kelompok IMS (Infeksi menular Seksual) kebanyakan hampir terdapat
pada semua kelompok umur.
METODE PENELITIAN
Rancangan dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah bersifat observasional analitik dengan rancangan case control study,
dilaksanakan dari tanggal 3 September sampai 30 November 2011 di wilayah kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Kendari (Pelabuhan Perikanan Samudera) Sulawesi.
Populasi dan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik random purposive sampling. Sampel penelitian
dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok kasus terdiri dari 68 responden yang menderita sifilis dan 68
kontrol yang tidak menderita sifilis.
Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis
bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) dan analisis multivariat dengan uji logistik regresi.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Analisis faktor risiko kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II
Kendari tahun 2011.
Kejadian Sifilis
Faktor Risiko

Pengetahuan

Pendidikan

Sikap
Penggunaan
Napza
Masa Kerja
(Masa Melaut)

Kategori
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Total
Risiko tinggi
Risiko rendah
Total
Risiko Tinggi
Risiko rendah
Total
Risiko tinggi
Risiko rendah
Total
Risiko tinggi
Risiko rendah
Total

n
38
30
68
31
37
68
52
16
68
61
7
68
41
27
68

Kasus
%
55.9
44.1
100
45.6
54.4
100
76.5
23.5
100
89.7
10.3
100
60.3
39.7
100

Kontrol
n
%
12
17.6
56
82.4
68
100
24
35.3
44
64.7
68
100
16
23.5
52
76.5
68
100
27
39.7
41
60.3
68
100
38
55.9
30
44.1
68
100

50
86
136
55
81
136
68
68
136
88
48
136
79
57
136

36.8
63.2
100
40.5
59.5
100
50
50
100
64.7
35.3
100
58.1
41.9
100

OR
CI = 95 %
5.911
(2,693 -12,973)
1.536
(0,771 3,060)
10.563
(4,782 - 23,330)
13.233
(5,270 33,229)
1.199
(0,606 2,371)

Data Primer
Faktor Risiko Pengetahuan dengan Kejadian Sifilis

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

161

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Faktor Risiko Pengetahuan terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan
tingkat pengetahuan kurang (risiko tinggi) yaitu sebanyak 38 orang(55.9%) dan responden dengan tingkat
pengetahuan baik (risiko rendah) sebanyak 30 orang(44.1%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis
memiliki pengetahuan kurang (risiko tinggi) sebanyak 12 orang (17.6%) dan pengetahuan baik (risiko
rendah) sebanyak 56 orang (82.4%).
Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 5.911 dengan nilai lower limit 2.693 dan upper
limit 12.973 sehingga tidak mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value =
0.000 (0.000 < 0.05) maka dikatakan signifkan atau berhubungan, sehingga H0 di tolak dan H1 diterima,
artinya pengetahuan merupakan faktor risiko sifilis.
Interpretasi hasil analisis adalah responden dengan pengetahuan rendah berisiko terinfeksi sifilis 5.9
kali lebih besar dibandingkan responden yang berpengetahuan baik.
Faktor Risiko Pendidkan dengan KEJADIAN SIFILIS
Faktor Risiko Pendidikan terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan
tingkat pendidikan rendah (risiko tinggi) yaitu sebanyak 31 orang (45.6%) dan responden dengan tingkat
pendidikan tinggi (risiko rendah) sebanyak 37 orang (54.4%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis
memiliki pendidikan rendah (risiko tinggi) sebanyak 24 orang (35.3%) dan pendidikan tinggi (risiko rendah)
sebanyak 44 orang (64.7%).
Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 1.536 dengan nilai lower limit 0.771 dan upper
limit 3.060 sehingga mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.221
(0.221 > 0.05) maka dikatakan tidak signifkan, sehingga H0 di terima dan H1 ditolak, artinya pendidikan
bukan merupakan faktor risiko sifilis.
Interpretasi hasil analisis adalah responden dengan pendidikan tinggi berisiko terinfeksi sifilis 1.5
kali lebih besar dibandingkan responden yang berpendidikan rendah.
Faktor Risiko Sikap dengan Kejadian Sifilis
Faktor Risiko Sikap terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II
Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 ternyata dengan sikap responden yang kurang baik (risiko
tinggi) dapat menyebabkan terjadinya infeksi sifilis yaitu sebanyak 52 orang (76.5%) dan sikap responden
yang baik ( risiko rendah) terdapat infeksi sifilis sebanyak 16 orang (23.5%). Sedangkan yang tidak
terinfeksi sifilis memiliki sikap kurang baik (risiko tinggi) sebanyak 16 orang (23.5%) dan sikap baik (risiko
rendah) sebanyak 52 orang (76.5%).
Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 10.563 dengan nilai lower limit 4.782 dan upper
limit 23.330 sehingga tidak mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value =
0.000 (0.000 < 0.05) maka dikatakan signifkan atau berhubungan, sehingga H0 di tolak dan H1 diterima,
artinya sikap merupakan faktor risiko kejadian sifilis.
Interpretasi hasil analisis bahwa sikap responden yang kurang baik (risiko tinggi) berisiko terinfeksi
sifilis 10.5 kali lebih besar untuk terinfeksi sifilis dibandingkan responden dengan sikap baik (risiko rendah).
Faktor Risiko NAPZA dengan Kejadian Sifilis
Faktor Risiko penggunaan NAPZA terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa responden yang terinfeksi sifilis
dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi) yaitu sebanyak 61 orang(89.7%) dan responden dengan tidak
mengkonsumsi NAPZA (risiko rendah) sebanyak 7 orang (10.3%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis
dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi) sebanyak 27 orang (39.7%) dan yang tidak mengkosumsi
NAPZA (risiko rendah) sebanyak 41 orang (60.3%).
Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 13.233 dengan nilai lower limit 5.270 dan upper
limit 33.229 sehingga tidak mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value =
0.000 (0.000 < 0.05) maka dikatakan signifkan atau berhubungan, sehingga H0 di tolak dan H1 diterima,
artinya penggunaan NAPZA merupakan faktor risiko kejadian penyakit sifilis.
Interpretasi hasil analisis adalah kelompok responden yang mengkosumsi NAPZA berisiko
terinfeksi sifilis 13.2 kali lebih besar dibandingkan kelompok responden yang tidak mengkonsumsi NAPZA.
Faktor Risiko Masa Kerja dengan Kejadian Sifilis
Faktor Risiko Masa kerja terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa masa kerja responden lebih dari 1 bulan
sebagai risiko tinggi terinfeksi sifilis dengan yaitu sebanyak 41 orang (60.3%) dan lama kerja kurang atau
sama dengan 1 bulan sebagai risiko rendah sebanyak 27 orang (39.7%). Sedangkan yang tidak terinfeksi
sifilis memiliki masa kerja lebih dari1 bulan (risiko tinggi) sebanyak 38 orang (55.9%) dan masa kerja
kurang atau sama dengan 1 bulan (risiko rendah) sebanyak 30 orang (44.1%).
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

162

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 1.199 dengan nilai lower limit 0.606 dan upper
limit 2.371 sehingga mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.602
(0.602 > 0.05) maka dikatakan signifkan, sehingga H0 di terima dan H1 ditolak, artinya masa kerja bukan
merupakan faktor risiko kejadian sifilis.
Interpretasi hasil analisis adalah responden dengan masa kerja lebih dari 1 bulan berisiko terinfeksi
sifilis 1.1 kali lebih besar dibandingkan responden yang memilki masa kerja kurang atau sama dengan 1
bulan.
Analisis Hasil Uji Multivariate
Analisis multivariat ini dipakai untuk melihat semua faktor risiko yang sangat dominan dalam
menentukan kejadian sifilis, dimana semua faktor risiko sebagai variabel independen dimasukkan secara
bersama-sama kemudian di uji dengan metode enter.
Tabel 2. Hasil analisis multivariat faktor risiko kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011.

Variabel
Pengetahuan
Sikap
NAPZA
Constant
Data Primer

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)OR

1.326
2.326
2.534
-3.366

0.520
0.511
0.575
0.742

6.502
20.720
19.397
20.575

1
1
1
1

0.011
0.000
0.000
0.000

3.765
10.239
12.606
0.035

CI = 95%
Lower
1.359
3.761
4.081

Upper
10.432
27.878
38.937

Tabel 2 analisis hasil memperlihatkan bahwa dari semua variabel setelah di uji regresi logistic yang
paling berpengaruh terhadap kejadian sifilis adalah NAPZA dengan niai Odds Ratio 12.606. Berdasarkan
analisis tersebut dapat dibangun model kejadian sifilis sebagai berikut: Logit sifilis = -3.366 + 1.326
(Pengetahuan) + 2.326 (Sikap) + 2.534 (NAPZA).
artinya responden yang memiliki pengetahuan rendah, sikap yang tidak baik dan pengguna NAPZA
memiliki probabilitas berisiko terhadap kejadian sifilis pada awak kapal perikanan sebesar 94 %.

PEMBAHASAN
Pendidikan
Hasil penelitian didapatkan pendidikan awak kapal yang setara pendidikan rendah sebagai
kelompok risiko tinggi lebih sedikit (45.%) terinfeksi sifilis sedangkan pendidikan awak kapal yang setara
pendidikan tinggi sebagai kelompok risiko rendah lebih banyak (54.4 %) yang terinfeksi sifilis.
Kondisi ini tidak sesuai dengan hasil penelitian pada PSK Resosialisasi Argorejo, bahwa rata-rata
menderita sifilis adalah mereka dengan tingkat pendidikan rendah (SD/MI) yaitu 87.5 % (n = 16). sedangkan
PSK yang menyelesaikan ketingkat SMU tidak ada yang menderita sifilis ( 0% n = 16), (Farida.A.2002).
Peneliti lain juga menemukan bahwa didapatkan pendidikan awak kapal yang setara pendidikan rendah
sebagai kelompok risiko tinggi lebih banyak (54.2 %) terinfeksi sifilis sedangkan pendidikan awak kapal
yang setara npendidikan tinggi sebagai kelompokn risiko rendah hanya sedikti (45.8 %) yang terinfeksi
sifilis (H M Pical, 2009). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kasus sifilis PSK dengan tingkat
pendidikan rendah ada pengaruh signifikan dengan sifilis.
Kejadian sifilis saat ini sudah menyebar disemua tempat, baik dikota maupun di pedesaan. seperti
yang dituliskan oleh Notoatmodjo, 2007 bahwa tingkat pendidikan kesehatan tidak dapat segera membawa
manfaat bagi mayarakat dan mudah dilihat dan diukur. Karena pendidikan adalah behavior investment
jangka panjang dan bias dilihat awak kapal meskipun yang lebih banyak adalah pendidikan tinggi tetapi
kembali kepada pribadi masing-masing. Karena pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
dilingkungan tempat kerja. Oleh T.Sahdo, 200 menyebutkan bahwa terjadi fenomena insiden sifilis di
kalangan pekerja pabrik akibat adanya intervensi pendidikan dan konseling dengan besar kasus 28.9 %.
Pengetahuan
Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan rendah pada awak kapal ternyata lebih banyak
(38 %) yang terinfeksi sifilis, sedangkan tingkat pengetahuan awak kapal yang dianggap cukup hanya sedikit
(30 %) terinfeksi sifilis. Banyak kasus sifilis pada awak kapal dengan pengetahuan rendah akibat dari
kurangnya pengetahuan mereka tentang penyebab sifilis, gejala dan cara pencegahan sifilis. Kondisi ini
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

163

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

mirip dengan survey epidemiologi di Singapuran melalui diagnosis sifilis ditemukan ada perbedaan jumlah
kasus yang terdeteksi melalui serilogi ternyata pasien tidak menyadari karena tidak mengetahui gejala akibat
kurangnya pengetahuan.
Uji statistik dan analisisnya bahwa anak kapal dengan pengetahuan rendah, berisiko terinfeksi sifilis
5,9 kali lebih besar dibanding dengan awak kapal yang memiliki pengetahuan cukup.
Hal ini sangat sesuai dengan penelitian oleh Tarmadi (2002) tentang kasus PMS dapat meningkat
karena perilaku kesehatan remaja yang berisiko PMS berumur 15.19 tahun mempunyai hubungan dengan
sikap pengetahuan dan perilaku. Pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang sesuatu hal akan dapat
mempengaruhi sikap dan selanjutnya mempengaruhi niat untuk melakukan tindakan atau perilaku (Farisa,
dkk, 2002). Juga dibenarkan oleh Kennedy, 2006 bahwa 98 % siswa SMA Tanzania kurang memiliki
pengetahuan tentang gejala PMS sehingga terdapat 23 % siswa tidak tahu cara penularan IMS selama
melakukan hubungan seksual.
Sikap
Hasil penelitian ternyata dengan sikap awak kapal yang kurang baik sebagai kelompok risiko tinggi
menyebabkan mereka lebih banyak terinfeksi sifilis(52%) sikap yang kurang baik akibat dari tidak
melakukan upaya-upaya pencegahan, untuk melindungi diri terhadap penyebaran bakteri Treponema
pallidum dalam berbagai bentuk.
Stephen, P.dkk, (2008) berpendapat bahwa sikap memiliki hubungan kausal dengan perilaku yakni
jika sikap yang dimiliki seseorang dapat menentukan apa yang dilakukan. Ternyata penularan sifilis bisa
terjadi dengan cara kontak langsung saat melakukan hubungan seksual dengan penderita sifilis atau bisa
melalui tindakan pencorengan dibawah kulit penderita (responden) atau tidak menggunakan kondom saat
melakukan hubungan seks diluar nikah.
Hasil penelitian Horald (2009) pada awak kapal perikanan ambon ternyata dengan sikap awak
kapal yang kurang baik sebagai kelompok risiko tinggi menyebabkan mereka lebih banyak terinfeksi sifilis
(65.1 %) sikap yang kurang baik akibat dari tidak melakukan upaya-upaya pencegahan, untuk melindungi
diri terhadap penyebaran bakteri Treponema pallidum dalam berbgai bentuk. dengan uji statistik OR 3.290
dengan lower limit dan upper limit tidak mencakup 1 berarti sikap merupakan faktor risiko terhadap kejadian
sifilis.
Masa Kerja
Hasil penelitian ditemukan bahwa masa kerja awak kapal lebih dari 1 bulan sebagai kelompok
risiko tinggi lebih banyak terinfeksi sifilis (60.3 %) sedangkan awak kapal dengan masa kerja kurang dari 1
bulan hanya sedikit yang terinfeksi sifilis.
Masa kerja yang dimaksud pada penelitian ini adalah lama melaut dimana lamanya awak kapal
melakukan perjalanan pada saat dilakukan penelitian yang diikat dalam kontrak kerja.
Kemungkinan yang terinfeksi akibat dari kejenuhan atau stress ditempat kerja. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa lelaki yang berumah tangga dengan stress ditempat kerja dapat berakibat terhadap
kehidupan seksual. Hal ini didukung oleh peneliti dan mengatakan bahwa stress justru dapat memberi gairah
seks meningkat ( Lubis, 2004).
Semakin lama masa melaut awak kapal dalam pelayaran dapat menimbulkan kejenuhan sehingga
mencari tempat hiburan setiap menyinggahi pelabuhan. Semakin lama masa melaut semakin bertambah upah
atau gaji dan merupakan faktor dan dorongan untuk melakukan hubungan diluar nikah/seks bebas. Ada
beberapa penulis lain juga menyebutkan bahwa sebagai pelaku hubungan seksual adalah mereka yang
memiliki upah atau gaji yang tinggi diperusahaan.
Awak kapal yang terinfeksi bakteri Treponema pallidum, jika berlayar ditengah laut semakin lama
sangat berpotensi menular kepada orang lain lewat jarum suntik, tato dan kemungkinan lainnya. Kondisi ini
juga dapat diperburuk karena sesuai dengan laporan penelitian di banyuwangi (2003), prevalensi kasus IMS
seperti sifilis ternyata tinggi dan sebagian besar (39 %) tidak menunjukkan tanda atau gejala dan secara
umum periode masa inkubasi adalah 10 hari sampai 21 hari (3 minggu).
Penggunaan Napza
Menjelaskan bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi)
yaitu sebanyak 61 orang(89.7%) dan responden dengan tidak mengkonsumsi NAPZA (risiko rendah)
sebanyak 7 orang (10.3%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis dengan penggunaan NAPZA (risiko
tinggi) sebanyak 27 orang (39.7%) dan yang tidak mengkosumsi NAPZA (risiko rendah) sebanyak 41 orang
(60.3%).
Penggunaan alkohol dapat meningkatkan kemungkinan untuk mempunyai beberapa pasangan seks
dan dan berisikoterkena Penyakit Menular seksual (PMS). Dipimpin oleh Senteli (2000) dari Center for
Diseasse Control and prevention, AS, para peneliti mewawancarai 8400 peserta untuk mengetahui
prevalensi dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kaum muda yang mempunyai beberapa pasangan seks.
Penelitian ini menemukan, 65% pria yg dilaporkan suka mengkonsumsi alkohol mempunyai bebarapa
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

164

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

pasangan seks. Penggunaan alkohol merupakan salah satu factor risiko yang paling penting terhadap jumlah
pasangan seks serta risiko terkena HIV dan PMS lainnya.
Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Urip PJ (2002) mengenai Prilaku Seks bebas Pada
Seorang Alkoholik, dalam penelitian ini diketahui bahwa setelah mengkonsumsi alkohol, subyek di bawah
pengaruh alkohol subjek merasa susah mengendalikan hawa nafsunya. Hal ini sesuai dengan teori menurut
Freud (dalam Danarto, 2003), bahwa kimiawi dan libido terdapat eksperimen pengangkatan kelenjar
seks(kelenjar gonad, testis pada pria dan ovarium pada wanita), dalam jaringan antara gonad, zat-zat kimia
khusus telah diproduksi, yang pada saat dibawah aliran darah akan mengisi bagian-bagian tertentu dari
system syaraf pusat dengan ketegangan seksual. Transformasi stimulus kimiawi menjadi stimulus organis
lewat produk-produk kimiawi lain yang dimasukkan ke dalam tubuh. Kompleksitas unsur kimiawi murni
dan stimulus fisiologis yang muncul dalam proses seksual.
Apabila ketiga faktor risiko kejadian sifilis, yaitu pengetahuan responden yg rendah , sikap yang
tidak baik dan penggunaan NAPZA maka akan memiliki probabilitas terhadap kejadian sifilis pada awak
kapal perikanan sebesar 94 %.
KESIMPULAN
Pengetahuan (OR = 5,9111), sikap (OR = 10, 563), penggunaan NAPZA (OR = 13,233),
merupakan faktor risiko kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun
2011. Penggunaan NAPZA merupakan factor risiko terhadap kejadian sifilis pada awak kapal perikanan di
Wilayah Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA
AIDS Control and Prevention (AIDSCAP) 1996. Control of Sexually Transmitted Diseases: Handbook for
the design and management of programs, Project Family Health International, U.S.A.
Akhtar, S., Luby, S.P., Rahbar, M.H., Azam, I. 2001. HIV/AIDS Knowledge, Attitudes and Beliefs Base
Prediction Models For Practices in Prison, Inmates, Sindh, Pakistan , Southeast Asian Journals
Trop Med Public Health, 32 (2), 351-361.
Aral, S.O. dan Holmes, K.K. 1999. Social and Behavioral Determinants of the Epidemiology of STDs:
Industrialized and Developing Countries , in K. Holmes (ed.) Sexually Transmitted Diseases,
McGraw-Hill, New York, 3, 39-72.
Hovell, M.F., Hillman, E.R., Blumberg, E., Sipan, C., Atkins, C., Hofstetter, C.R., Myers, C.A. 1994. A
Behavioral-Ecological Model of Adolescent Sexual Development: A Template for AIDS Prevention
, The Journal of Sex Research, 31 (4), 267-281
Stephen P. Robbiens. 2008. Perilaku Organisasi. Salemba Empat. Jakarta.
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOGNITIF ANAK SEKOLAH DASAR PADA DESA
ENDEMIS MALARIA DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
Wirawati Rasjid1, A.Arsunan Arsin2, Hasanuddin Ishak3
1
Dinas Kesehatan Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
3
Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT
The potential impact of malaria on the cognitive development of school children who have been
recognized for over 20 years. Hemolytic process that occurs periodically in children with malaria caused
the child's general condition declined (due to fever) and can also cause anemia which can affect short-term
memory of children. This study aims to determine the relationship nutritional status, anemia status, history
of recurrent malaria attacks, and the attendance of students on the cognitive abilities of primary school
children in the Village District Lantibongan. Bontosikuyu Selayar Islands Districtin 2012. This is an
observational study with cross-sectional study design (cross sectional study). Sampling is done by means of
'"Exhaustive Sampling"' to all primary school children Class II-VI in the Village District Lantibongan
Bontosikuyu Selayar Islands District. Large sample of 101 people. The data was collected through
observation and documentation. Data were analyzed with SPSS statistical analysis, chi square test statistic
for testing through bivariate, multiple logistic regression test for multivariate logistic test with <0.05. The
results showed that the status of anemia status p (0.000) associated with the child's cognitive contribution of
48.8%, recurrent attacks of malaria associated with children's cognitive p (.001) with a contribution of

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

165

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

33.7%, student absenteeism related to child cognitive p ( 0.000) with a contribution of 45.7%. Unrelated
variables is the nutritional status of p (0.381). The most pertinent variables through
multivariate logistic test is variable anemia (0.000 <0.05).
Keywords: Cognitive Status Anemia, Malaria attacks Again, the student attendance
PENDAHULUAN
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia
terutama di luar Jawa dan Bali. Hingga saat ini malaria masih termasuk dalam sepuluh kelompok besar
penyakit utama. Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria klinis di atas angka nasional, sebagian
besar berada di indonesia Timur. Provinsi jawa Bali merupakan daerah dengan prevalensi malaria klinis
terendah yaitu 0,5% (Mulawarman, 2011).
Data yang ada menunjukkan bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar adalah salah satu daerah
endemis malaria di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada Tahun 2010, Kabupaten Kepulauan Selayar berada pada
urutan kedua (setelah Kabupaten Bulukumba) API tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan API 2,9
(Dinkes SulSel, 2011). Adapun kejadian Malaria pada anak sekolah dasar di Kabupaten Kepulauan Selayar
diperoleh data bahwa, jumlah kasus malaria klinis yang ditemukan pada tahun 2008 malaria klinis sebanyak
3006 anak, yang diperiksa 1180, dan yang positif 377. Untuk tahun 2009 kasus malaria Klinis pada anak SD
sebanyak 3235, yang diperiksa 1140 anak, dan yang positif sebanyak 207 anak. Sedangkan pada tahun 2010
jumlah kasus malaria Klinis sebanyak 3817, diperiksa sebanyak 2236 anak, dan yang positif sebanyak 431
anak. (Dinkes Selayar, 2011)
Dampak potensial penyakit malaria terhadap perkembangan kognitif anak sekolah juga telah diakui
selama lebih dari 20 tahun. Proses hemolitik yang terjadi secara periodik pada anak penderita malaria
menyebabkan kondisi umum anak menurun (akibat demam) dan juga dapat menyebabkan anemia yang dapat
mempengaruhi memori jangka pendek anak. Plasmodium berpengaruh pada kemampuan kognitif, dimana
infeksi telah lama dihubungkan dengan gangguan pertumbuhan fisik anak anak. Malaria menyebabkan
gangguan status nutrisi anak (malnutrisi), dan sebaliknya malnutrisi ini menyebabkan anak menjadi lebih
rentan terhadap infeksi malaria. Gejala klinis malaria yang sering didapat pada anak di daerah endemis
malaria akan menyebabkan nafsu makan menurun sehingga asupan gizi berkurang dan akan mengganggu
pertumbuhan anak (Kusumadi, 2003). Kurang gizi menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan
perkembangan kecerdasan, menurunkan daya tahan, meningkatkan kesakitan dan kematian (Achmad, 2000).
Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2000) disebutkan bahwa pada anak usia sekolah
kekurangan gizi akan mengakibatkan anak menjadi lemah, cepat lelah dan sakit-sakitan sehingga anak
seringkali absen mengalami kesulitan
mengikuti dan memahami pelajaran. Keadaan gizi juga
mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi
belajar.
Masalah gizi lainnya yaitu menyangkut defisiensi besi yang berpengaruh terhadap kognitif anak
sekolah, prevalensi defisiensi besi (anemia) yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu
rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan demikian
konsekuensi fungsional dari anemia menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia
(Scrimihow,1984 dalam Hadzmawati,2011). Defesiensi zat besi terutama berpengaruh pada kondisi
gangguan fungsi hemoglobin yang merupakan alat transport oksigen. Oksigen diperlukan pada banyak reaksi
metabolik tubuh. Pada anak-anak sekolah telah ditunjukkan adanya korelasi antara kadar hemoglobin dan
kesanggupan anak untuk belajar. Dikatakan bahwa pada kondisi anemia daya Bagian dalam belajar tampak
menurun (Wijayanti,2005).
Pertemuan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi melaporkan prevalensi Anemia pada bayi dan
anak yang dikaji oleh Survei Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) tahun 2001 pada kelompok umur < 6
bulan 61,3%, bayi 6 sampai 11 bulan 64,8%, anak usia 12 sampai 23 bulan 58%, anak usia 0 sampai 4 tahun
48,1 % dan anak usia 5 sampai 14 tahun berkisar 48% sampai 57% ( Zulaicha, 2009). Penelitian yang
dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana (YKB) pada 3.160 anak di 13 sekolah dasar di Jakarta, menemukan
prevalensi anemia besi berkisar antara 5,7 71,6% atau secara keseluruhan 49,5%. Delapan sekolah dengan
prevalensi anemia besi di atas 50% (antara 51,9% hingga 71,6%) dan tiga sekolah dengan prevalensi di atas
40% (antara 42,1% hingga 49,5%). Penelitian lain yang dilakukan pada murid SD Pisangan baru 05 Jakarta
Timur pada tahun 2000, juga ditemukan prevalensi anemia besi cukup tinggi di antara siswanya, yaitu 69,1%
( Sinaga, 2005 dalam Hadzmawati, 2011).
Penduduk yang terancam malaria pada umumnya adalah penduduk yang bertempat tinggal
didaerah endemis malaria baik daerah yang kategori endemis tinggi maupun daerah endemis malaria sedang
dan yang paling beresiko terkena malaria adalah anak balita, wanita hamil dan penduduk non-imun yang
mengunjungi daerah endemik malaria. Salah satu Kecamatan endemis Malaria (API di atas 5) di
Kabupaten Kepulauan Selayar adalah Kecamatan Bontosikuyu dengan rata-rata API sebesar 9,14.
Kecamatan ini berada pada urutan ketiga API tertinggi dari 11 Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

166

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Adapun Desa paling endemis di Kecamatan Bontosikuyu adalah Desa Lantibongan dengan API 21,77.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kognitif anak sekolah
dasar.
BAHAN DAN METODE
Rancangan dan Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Lantibongan Kec.Bontosikuyu Kab.Kepulauan Selayar. Jenis
penelitian yang digunakan adalah observational dengan menggunakan desain cross sectional study.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua anak usia sekolah dasar yang duduk di kelas II sampai kelas VI di Desa
Lantibongan Kecamatan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar yang bersedia untuk menjadi objek
penelitian. Jumlah sampel sebanyak 101 orang yang diambil secara exhaustive sampling yang telah
memenuhi kriteria inklusi.
Analisis data
Data karakteristik responden dan data faktor-faktor yang berhubungan dengan kognitif anak
sekolah dasar diolah menggunakan SPSS for windows 7. Untuk menilai hubungan faktor status gizi, status
anemia, riwayat serangan malaria, dan absensi siswa uji chi square dan regersi logistic. Analisis multivariat
dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang paling berhubungan dengan kognitif anak sekolah dasar
dan untuk mengetahui interaksi antar variabel bebas dalam memberikan kontribusi terhadap kognitif anak
sekolah dasar.
HASIL
Karakteristik sampel
Tabel 1 memperlihatkan sampel penelitian berdasarkan umur dan jenis kelamin. Sampel paling
banyak adalah pada kelompok umur 10-12 tahun yaitu sebanyak 49 orang, dan jenis kelamin perempuan
lebih banyak daripada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 53 orang, tingkat pendidikan orang tua anak,
tingkat pendidikan sedang merupakan tingkat pendidikan terbanyak yaitu 78 orang, pekerjaan orangtua anak
terbanyak adalah sebagai nelayan/petani/buruh yaitu sebanyak 92 orang, status gizi dan kadar HB anak
sekolah, status gizi kurus adalah status gizi terbanyak yaitu sebanyak 67 anak, kadar HB terbanyak pada
kadar tinggi yaitu sebanyak 52 orang. Setelah melalui proses analisis krosstab dengan kognitif maka
kognitif tinggi ditemukan pada kelompok umur 9 yaitu 73, 2%, dan pada karakteristik jenis kelamin
ditemukan kognitif tinggi pada perempuan yaitu sebanyak 62,3%, Untuk pekerjaan orangtua kognitif
tertinggi pada anak orangtuanya tidak bekerja hanya 1 orang, anak yang pekerjaan orangtuanya sebagai
TNI/POLRI/PNS mempunyai kognitif lebih tinggi dari pada anak dengan pekerjaan orang tua sebagai
Petani/Nelayan/Buruh,status gizi kurang mempunyai kognitif lebih tinggi dibanding anak dengan status gizi
normal dan anak dengan kadar HB tinggi mempunyai kognitif yang juga tinggi sebesar 82,7%.
Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar di Desa Lantibongan Kecamatan


Bontosikuyu Kab. Kepulauan Selayar tahun 2012.
Kognitif
Variabel

Kelompok Umur (tahun)


9
10 12
>12
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan Orangtua
Sedang
Rendah
Tinggi
Pekerjaan Orang tua
Tidak Bekerja
TNI/POLRI/PNS
Petani/Nelayan/Buruh
Status Gizi
Kurus

Tinggi

Rendah

Jumlah
n
%

30
24
6

73,2
49,0
6

11
25
5

26,8
51
45,5

41
49
11

100
100
100

27
33

56,2
62,3

21
20

43,8
37,7

48
53

100
100

48
10
2

61,52
50
66,7

30
10
1

38,5
50
33,3

78
20
3

100
100
100

1
5
60

100
62,5
58,7

0
3
38

0
37,5
41,3

1
8
92

100
100
100

40

59,7

27

40,3

67

100

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

167

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

Normal
Gemuk
Hasil Pemeriksaan HB
Rendah
Normal
Tinggi
Jumlah Serangan Malaria
Tidak Pernah
1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
Absensi Siswa
<5 hari
5 10 hari
11 15 hari
>15 hari
Data Primer

INDONESI A

19
1

57,6
100

14
0

42,4
0

33
1

100
100

16
1
43

37,2
16,7
82,7

27
5
9

62,8
83,3
17,3

43
6
52

100
100
100

36
5
19
0
0

72
100
44,2
0
0

14
0
24
1
2

28
0
55,8
100
100

50
5
43
1
2

100
100
100
100
100

28
18
50
13

78,5
81,8
50
32,5

9
4
1
27

24,3
18,2
50
67,5

37
22
2
40

100
100
100
100

Analisis bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel independen
dengan dependen penelitian (Kognitif anak sekolah). Uji chi square menunjukkan bahwa faktor faktor
yang berhubungan dengan kognitif, Status Anemia(p = 0,000); Riwayat serangan berulang malaria(p =
0,001); dan Absensi siswa (p = 0,000) sedangkan faktor status gizi tidak berhubungan dengan kognitif p =
0,381.
Analisis multivariate
Untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dengan kognitif anak sekolah dilakukan
analisis multivariat melalui uji regresi logistic. Variabel yang memenuhi syarat untuk ikut di uji adalah
variabel yang mempunyai nilai p < 0,25, dengan demikian maka variabel yang diuji adalah status anemia,
riwayat serangan malaria berulang, dan absensi siswa.
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam uji
multivariat, maka variabel yang berhubungan dengan kognitif anak sekolah adalah status anemia (p = 0,000)
dan absensi siswa (p = 0,002). Dari kedua variabel ini yang paling berhubungan dengan kognitif adalah
status anemia dengan nilai p = 0,000 dan nilai Wald 13.519.

Tabel 2. Model Regresi Berganda Logistik Analisis Kognitif Responde Di Desa Lantibongan
Kecamatan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012
Variabel
Jumlah serangan
Absensi
Anemia
Constant
Data Primer

Wald

Sig,

Exp(B)

1.18
2.254
2.214
-8.832

2.395
10.071
13.519
10.531

0.122
0.002
0,000
0.001

3.253
9.523
9.148
0,000

95% CI
Lower
Upper
0.73
14.494
2.367
38.305
2.811
29.772

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terlihat bahwa ada beberapa factor yang signifikan dengan kognitif yaitu,
status anemia, serangan berulang malaria, dan absensi siswa. Anemia memiliki dampak yang bisa menjadi
gangguan serius, mulai dari kecerdasan anak menurun, mudah infeksi, hingga gangguan mental.
Anak yang menderita anemia akan mengalami gangguan Bagian, daya ingat rendah, kemampuan
memecahkan masalah rendah, gangguan perilaku, dan tingkat Intelegence Quotient (IQ) yang lebih rendah.
Akibatnya adalah penurunan prestasi belajar dan kemampuan fisik anak. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang pernah dilakukan Kartikasari tahun 2007 menunjukan bahwa siswa dengan anemia memiliki prestasi
yang cukup saja atau bahkan kurang dan penelitian Hadzmawati Hamzah tahun 2011 yang menemukan
bahwa responden yang kognitifnya tinggi dengan nilai Hb normal (tidak anemia) ada 77,8%, dan yang
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

168

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

kognitifnya rendah dengan Hb normal (22,2) sedangkan yang dinyatakan kognitifnya tinggi dengan Hb
rendah (17%) dan kognitifnya rendah dengan Hb rendah ada 56,4%..
Secara teoritis, zat besi juga berperan dalam kemampuan belajar anak. Hubungan defisiensi besi
dengan fungsi otak telah banyak diteliti. Beberapa bagian dari otak mempunyai kadar besi yang tinggi yang
diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar dalam darah meningkat selama
pertumbuhan hingga remaja. Defesiensi besi berpengaruh terhadap fungsi neurotransmitter, akibatnya
kepekaan reseptor saraf dopamine berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Hal ini
akan menurunkan daya Bagian, daya ingat dan kemampuan belajar. Juga terjadi peningkatan ambang rasa
sakit dan penurunan fungsi kelenjar tiroid serta kemampuan mengatur suhu tubuh (Agustian,2008).
Prevalensi Anemia Gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat rendahnya kekebalan tubuh
sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan demikian maka konsekuensi fungsional dari
anemia gizi menyebabkan menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia (Scrimihow, 1984 dalam Wahyuni,
2004).
Beberapa hasil penelitian yang menjelaskan bahwa anemia kurang nyata hubungannya dengan
kemunduran intelektual, namun banyak yang telah membuktikan bahwa defisiensi zat besi (anemia)
mempengaruhi pemusnahan (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar di Sekolah. Anemia defisiensi besi
yang menimpa anak sekolah, mengakibatkan siswa tersebut sulit menerima pelajaran di kelas. Gangguan
Bagian berhubungan dengan kemampuan anak untuk memperhatikan dan berBagian, kemampuan yang
berkembang seiring dengan perkembangan anak. Searah dengan penelitian yang telah dilaksanakan
sebelumnya maka pada penelitian ini juga didapatkan kesimpulan yang sama bahwa status anemia
berhubungan dengan kognitif pada anak sekolah dasar di Desa Lantibongan Kec.Bontosikuyu nilai p =
0,000.
Riwayat serangan malaria berulang mempunyai hubungan dengan kognitif anak dimana diperoleh
nilai p=0,001. Pada penelitian ini serangan berulang malaria mempunyai peluang sebesar 33,7% terhadap
kognitif anak. Secara teoritis dampak potensial penyakit malaria terhadap perkembangan kognitif,
kemampuan dan motivasi pada seorang anak secara sederhana dapat dibagi 2 : kelemahan otak akibat
episode malaria akut yang berat atau malaria dengan komplikasi dan yang kedua adalah pengaruh potensial
terhadap kemampuan kognisi yang disebabkan oleh infeksi malaria yang kronis, diikuti dengan keadaan
anemia dan gizi kurang.
Para ahli teori prestasi belajar menyatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal dari siswa. Faktor internal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa yang
berasal dari dalam siswa. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar siswa yang berasal dari luar siswa. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar
adalah kehadiran siswa di sekolah (Astuti, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara absensi siswa dengan kognitif anak, dimana diperoleh nilai p=0,000. Sedangkan
berdasarkan hasil uji kekuatan hubungan dengan uji phi diperoleh nilai =0,457, ini berarti ada hubungan
antara absensi siswa dengan kognitif anak, dimana absensi siswa berkontribusi sebesar 45,7% terhadap
kognitif anak.
Hasil uji statistik multivariat terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
kognitif anak diperoleh hasil bahwa status anemia merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
kognitif anak. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun anak jarang absen, tidak atau jarang terkena serangan
malaria tapi jika pasien terkena anemia maka akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kognitif
anak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa kognitif seorang anak sangat ditentukan oleh faktor status anemia,
absensi, dan riwayat serangan berulang malaria, serta pelaksanakan pemeriksaan plasmodium darah harus
dijadikan program wajib bagi setiap anak, pemberian makanan bergizi yang dapat meningkatkan kadar HB
anak, serta meningkatkan status kesehatan anak yang pada akhirnya mengurangi absensi anak ke sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti.E (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pengetahuan SosialEkonomi Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Padamara Kabupaten Purbalingga Tahun
Pelajaran 2005/2006. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
Achmad, (2000). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat, Jakarta.
Achmadi,Umar,(2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, seri Desentralisasi kesehatan masyarakat.
Penerbit : Universitas indonesia,Jakarta.
(Agustian, (2008). Penilaian Status Gizi setelah Terapi Besi Pada Anak sekolah Dasar Yang Menderita
Anemia Defesiensi Besi, Program Magister Klinis-Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara Medan Tahun 2008
Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

169

JURNAL

MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI

INDONESI A

Depkes RI.(1999). Modul Parasitologi Malaria. Direktorat Jenderal Jenderal Pemberantasan penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan pemukiman, Departemen Kesehtan Republik
Indonesia .Jakarta
Dinkes Selayar, (2011). Laporan Eliminasi Malaria di Kabupaten Kepulauan Selayar , Dinas kesehatan
kabupaten Kepulauan Selayar.
Hadzmawaty. (2011). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kognitif Anak Usia Sekolah Di Pulau
Kapoposang Tahun 2011.
Indrawati. Veni. (2004). Pengaruh Anemia Terhadap Bagian Belajar Anak Sekolah Dasar . Jurnal
Pendidikan Dasar, vol.5.No.1,2004: 43 50.
Kartikasari, Rani. (2007) . Hubungan Antara Status Gizi Anak.Tingkat Pendidikan Terakhir Ibu dengan
Hasil Belajar Siswa Kelas 4, 5, Dan 6 SDN Plosorejo 1 Desa Plosorejo Randublatung
Kabupaten Blora. Skripsi Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Universitas Negeri Semarang.
Kusumadi, Adi. (2003). Status Gizi Dan Perkembangan Kognitif Anak Sekolah Dasar Di Daerah Endemis
Malaria. Tesis. Program Pendidikan
Dokter Spesialis I. Pascasarjana Universitas
Diponegoro Semarang.
Mulawarman, (2011)Analisis Model Pencegahan Penyakit Malaria di Pulau Kapoposang Tahun 2001
Wijayanti, A (2005). Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Dengan Prestasi Belajar Siswi SMP Negeri 25
Semarang. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Universitas Negeri Semarang
Wahyuni.S (2004). Anemia Defisien Besi Pada Balita. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Zulaicha, Tengku Mirda.(2009) . Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan sekali sehari Terhadap
Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar. Tesis Fakultas kedokteran Jurusan Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Sumatera Utara

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

170

You might also like