You are on page 1of 3

WALHI DKK VS.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (1994)


Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 088/G/1994/Piutang/PTUN.
Jkt Tanggal 12 Desember 1994
Putusan Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara Jakarta Nomor
33/B/1995/PT.TUN.JKT Tanggal 18 Juli 1995
Putusan Mahkamah Agung Nomor 89K/TUN/1996 Tanggal 15 September 1998.
Tentang Pengalihan Dana Reboisasi Untuk Pinjaman Tanpa Bunga Kepada
Industri Pesawat terbang Nusantara (IPTN)
English Summary
In 1994, WALHI and five other environmental NGOs sued Indonesian President in
the Jakarta State Administrative Court to cancel the President Decree Number
42/1994 on loan to the government owned aircraft company(PT IPTN). The
presidents decree provide Rp 400.000.000.000,- (four hundred billion rupiah)
interest-free loan to PT IPTN. The fund were taken from reforestation funds
which accoriding to president decree Number 6/1986 should be used to support
the reforestation activities.
On NGO standing, the court in its decision number 088/G/1994/Piutang/PTUN.Jkt
found that WALHI and three other NGO have legal standing to sue, while two
other NGO do not have the right to sue since the objectives and representation
of these two NGO not meet the criteria. On substantive claim the Jakarta state
administrative court found that Presidential Decree No. 42/1994 was not a
administrative decision which fall under the administrative court jurisdiction
because the decision is an act of civil law.
WALHI and others then appealed to Jakarta High State Administrative Court
which in its decision No.33/B/1995/PT.TUN.JKT reinforce the Jakarta
administrative court decision. WALHI and others cassation appeal also rejected
by Supreme Court Decision Number 89 K/TUN/1996.
Uraian Kasus
WALHI dan lima LSM lainnya menggugat Presiden Republik Indonesia, dalam
kapasitasnya sebagai pejabat adminsitrasi negara dengan objek gugatan Surat
Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman Kepada
Perusahaan Perseroan (persero) PT Industri Pesawat Terabng Nusantara (PT
IPTN). Penggugat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta, agar Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1994 dinyatakan tidak sah
atau batal. Keputusan presiden tersebut memberi bantuan pinjaman tanpa
bunga kepada PT. IPTN sebesar (empat ratus miliar rupiah) untuk membantu
penyelesaian program pembuatan prototipe Pesawat N-250 yang diambil dari
sebagian dana reboisasi yang berupa bunga dan jasa giro. Padahal sesuai
dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1986, bunga dan jasa giro dana
reboisasi tersebut telah ditentukan untuk digunakan mendukung pelaksanaan
reboisasi.
Putusan PTUN Jakarta
1

Pengadilan mengabulkan hak gugat WALHI dan 3 LSM lainnya dan menolak hak
gugat 2 LSM lain. Dalam menetapkan hak standing LSM dalam kasus ini, Majelis
Hakim menetapkan kriteria sebagai berikut: 1. Bahwa tujuan organisasi tersebut
adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam,
dimana tujaun tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran dasar
organisasi yang bersangkutan; 2.
Bahwa organisasi yang bersangkutan
haruslah berbentuk Badan Hukum ataupun Yayasan; 3. Bahwa organisasi
tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya keperdulian
terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat. 4. Bahwa
orgasnisai tersebut harus cukup representatif. Majelis hakim menguji kriteria
kesatu dan kedua dengan keadaan masing-masing penggugat sehingga
menghasilkan penolakan standing terhadap 2 (dua) penggugat dari 6 (enam)
yang ada. Majelis hakim berkesimpulan bahwa dua penggugat masing-masing
Yayasan Alam Tropika Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia dikeluarkan dari
daftar penggugat dikarenakan persoalan keabsahan anggaran dasar dan
pengurus yang mewakilinya dalam proses gugatan sehingga dinilai tidak
memiliki kualitas sebagai penggugat dalam perkara ini. Sedangkan Yayasan
Forsika, Plasma, LPHLI dan WALHI dapat dikategorikan sebagai organisasi yang
representatif.
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam putusannya tanggal 9 Desember
1994 Nomor 088/G/1994/Piutang/PTUN.Jkt. menyatakan bahwa pengadilan tidak
berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sengketa
Tata Usaha Negara ini dengan pertimbangan hukum sebagai berikut. 1)
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1994 ditindaklanjuti dengan perjanjian
bantuan pinjaman bunga dan jasa giro dana reboisasi antara Menteri Kehutanan
dengan PT (Persero) Industri Pesawat Terbang Nusantara. 2) Keputusan Presiden
Nomor 42 Tahun 1994 tersebut melebur ke dalam perjanjian bantuan pinjaman
bunga dan jasa giro dana reboisasi. 3) Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1994
bukan lagi Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 yang berbunyi, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, tetapi
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata.
Putusan Banding dan Kasasi
Walhi dkk kemudian mengajukan banding ke PT TUN Jakarta. Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam putusannya Nomor
33/B/1995/PT.TUN.JKT berpendapat bahwa pertimbangan dan Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta tersebut sudah tepat dan benar sehingga seluruh
pertimbangan tersebut diambil alih dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh
Majelis Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dan menguatkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Tanggal 12 Desember 1994 Nomor:
088/G/1994/Piutang/PTUN.JKT.
Permohonan kasasi yang diajukan Penggugat, telah ditolak dengan putusan
Mahkamah Agung tanggal 15 September 1998 Nomor 89 K/TUN/1996.
2

You might also like