Professional Documents
Culture Documents
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Self Efficacy
2.1.1 Definisi
Bandura (1997; Apriyani, 2009), mendefinisikan self efficacy sebagai
keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan
tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang
diharapkan. Maksudnya, individu menilai kemampuan, potensi dan
kecenderungan yang ada padanya dipadukan dengan tuntutan lingkungan,
karena itu self efficacy tidak mencerminkan secara nyata kemampuan
individu bersangkutan.
Self efficacy merupakan sebagian didasarkan pada pengalaman,
beberapa harapan kita terkait dengan orang lain, harapan yang terutama
berfungsi bagi kepribadian, persepsi terhadap self efficacy secara kausal
memengaruhi perilaku seseorang (Cervone, 2012).
Self efficacy adalah ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa
jauh seseorang mampu melakukan suatu perilaku dalam suatu situasi tertentu.
Self efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan yang
lebih baik. Tanpa self efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional),
orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku.
Self efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku
tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau
kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas
tertentu mempengaruhi perilaku seseorang di masa depan. Self efficacy
6
adalah keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan suatu perilaku dengan
baik (Friedman & Schustack, 2008).
Johnson (1992; Temple, 2003), menyatakan bahwa self efficacy pasien
pada diabetes melitus menggambarkan suatu kemampuan individu untuk
membuat suatu keputusan yang tepat dalam merencanakan, memonitor,
dan melaksanakan regimen perawatan sepanjang hidup. Self efficacy pada
pasien diabetes melitus berfokus pada keyakinan pasien untuk mampu
melakukan prilaku yang dapat mendukung
merupakan suatu
individu
maka
aktivitas
mudah
dilakukan.
Tuntutan
suatu
tugas
7
itu sedikit, maka aktiviitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian
individu akan mempunyai self efficacy yang tinggi (Anwar, 2009). Dimensi
ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas dimana individu merasa mampu
atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan diri individu bisa
berbeda-beda.
Konsep dalam dimensi ini terletak pada keyakinan individu atas
kemampuannya terhadap kesulitan suatu kejadian. Jika individu dihadapkan
tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka keyakinan
individu akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, tugas sedang hingga
tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang
dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masingmasing tingkat. Semakin
8
kemampuan yang dimiliki, individu akan teguh dalam berusaha.
Pengalaman akan memberikan kekuatan yang berdampak baik pada
seseorang jika pengalaman tersebut kuat yang mendukung kemampuan
individu dalam menyampaikan kesulitan yang dihadapinya (Anwar, 2009).
Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi tingkat level,
dimana semakin tinggi taraf kesulitan suatu tugas dan aktivitas, maka
semakin lemah keyakinan individu yang dirasakan untuk menyelesaikannya
(Pinasti, 2011).
Bandura (1994), mengemukakan bahwa self efficacy seseorang
berkembang
melalui
empat
sumber
utama
yaitu
pengalaman
9
mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang
selalu diberi dukungan untuk meraih kesuksesan, maka orang tersebut akan
berusaha untuk
mewujudkan
kesuksesan, dan
sebaliknya
apabila
Somatic / emotional
state
Vicarious experience
Attempt - Successful
Verbal persuasion
Mastery experience
Self - Efficacy
Mastery experience
Vicarious experience
Verbal persuasion
Somatic / emotional
state
10
2.1.3 Proses pembentukan self efficacy
Self efficacy yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi
fungsi pada aktifitas individu. (Bandura dalam Iskandar, 2014) menjelaskan
tentang pengaruh dan fungsi tersebut, yaitu :
1. Fungsi kognitif.
Bandura menyebutkan bahwa pengaruh dari self efficacy pada proses
kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, self efficacy yang kuat akan
mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat self efficacy, semakin tinggi
tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang
memperkuat serta yang akan memperkuat suatu tujuan individu yaitu
komitmen yang baik.
Individu dengan self efficacy yang kuat akan mempunyai cita-cita yang
tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai
tujuan tersebut. Kedua, individu dengan self efficacy yang kuat akan
mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan langkah-langkah
antisipasi bila usahanya yang pertama gagal dilakukan. Komponen fungsi
kognitif diantaranya adalah adanya penilaian dan perasaan subjektif,
cenderung bertindak, dan regulasi emosi (Djohan, 2009).
2. Fungsi motivasi
Self efficacy memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi
diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Self
efficacy mendukung motivasi dalam berbagai cara dan menentukan tujuantujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri dengan seberapa besar
ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan dan
11
kegagalan, individu yang mempunyai keraguan diri terhadap kemampuan
dirinya akan lebih cepat dalam mengurangi usaha-usaha yang dilakukan atau
menyerah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap
kemampuan dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar ketika individu
tersebut gagal dalam menghadapi tantangan. Motivasi sangat berperan
dalam menentukan tingkah laku dan terhadap proses-proses dimana motifmotif yang dipelajari diperoleh (Calvin & Gardner, 2012).
3. Fungsi Afeksi
Self efficacy akan mempunyai kemampuan coping individu dalam
mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang
sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu
tersebut. Self efficacy memegang peranan penting dalam kecemasan, yaitu
untuk mengontrol stres yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan
pernyataan Bandura bahwa self efficacy mengatur perilaku untuk
menghindari suatu kecemasan. Semakin kuat self efficacy, individu semakin
berani menghadapi tindakan yang menekan dan mengancam.
Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol
pada situasi yang mengancam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran
yang mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur
situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi.
Individu yang memikirkan ketidakmampuan coping dalam dirinya dan
memandang banyak aspek dari lingkungan sekeliling sebagai situasi
ancaman yang penuh bahaya, akhirnya akan membuat individu membesarbesarkan ancaman yang mungkin terjadi dan khawatiran terhadap hal-hal
12
yang sangat jarang terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut, individu
menekan dirinya sendiri dan meremehkan kemampuan dirinya sendiri.
Afeksi merupakan komponen emosional dari suatu sikap dimana sikap
tersebut sering kali dipelajari dari orang tua, guru, dan anggota kelompok
(Ivancevich, 2007).
4. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan
yang akan diambil oleh indvidu. Individu menghindari aktivitas dan situasi
yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam
dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas
yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.
Perilaku yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minatminat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan, dan akhirnya akan
mempengaruhi arah perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh sosial
berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan
kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama
setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah
memberikan pengaruh awal.
2.1.4 Faktor-faktor yang berhubungan self efficacy
Berikut faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy, yaitu :
1. Usia
Penelitian Wang dan Shiu (2004 ; Wu, et al, 2006), menemukan bahwa
ada hubungan antara faktor demografi dengan aktifitas
perawatan diri
13
tahun. Usia yang matang sering dikaitkan dengan kematangan pola pikir
bagi individu tersebut untuk lebih bisa mengatur dirinya sendiri.
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan
individu dalam mengolah informasi yang diterimanya. Menurut Stipanovic
(2002), pendidikan merupakan faktor yang penting pada pasien diabetes
melitus untuk dapat memahami dan
aktifitas kesehatan.
14
hubungan antara dukungan sosial/keluaraga dengan self efficacy. Secara
umum pasien yang mendapat dukungan yang positif dari keluarga akan
mempunyai keyakinan dan motivasi yang tinggi.
7. Depresi
Diperkirakan 10,9 % sampai 32,9 % pasien diabetes engalami depresi
(Anderson et al, 2001; Wu, 2007). Gejala depresi yang terjadi berpengaruh
pada kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, kontrol gula darah
yang rendah dan biaya pelayanan kesehatan yang bertambah banyak.
2.2 Diabetes Mellitus (DM)
2.2.1 Definisi
Diabetes Mellitus merupakan suatu sindroma gangguan metabolisme
dengan hiperglikemi yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi
sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau
keduanya (Rendi & Margareth, 2012). Sedangkan menurut Daniels (2012),
DM merupakan sekelompok gangguan metabolisme yang bersifat kronis
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah dan gangguan
metabolisme
karbohidrat,
lemak,
dan
protein.
American
Diabetes
15
1. Riwayat keluarga dengan diabetes melitus (khususnya orang tua atau
saudara kandung)
Anak dari penderita diabetes melitus tipe 2 mempunyai peluang
menderita diabetes melitus tipe 2 sebanyak 15% dan 30% resiko
berkembang
intoleransi
glukosa
(ketidakmampuan
memetabolisme
16
2.2.3 Klasifikasi
Menurut Padila (2012), terdapat empat jenis utama diabetes melitus
terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
17
2.2.4 Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari Diabetes Mellitus dapat
dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya inulin berikut:
berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan
naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200 gg/dl. Peningkatan
mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan
kolesterol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya
protein dalam jaringan tubuh.
Pasien-pasien yang mengalami
defisiensi
insulin
tidak
dapat
18
penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer dan ini akan
memudahakan terjadinya gangren.
Pasien-pasien yang mengalami
defisiensi
insulin
tidak
dapat
19
sembuh, dan infeksi yang berulang (Lemone & Burke 2008; Smeltzer dan
Bare 2008).
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi gula darah
Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis
diabetes (mg/dl)
Kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
<100
100-200
>200
<80
80-100
>200
<110
110-120
>126
<90
90-110
>110
Plasma vena
Darah kapiler
20
1. Diet
Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan insulin atau obat penurun glukosa.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan protein 1015%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass
Indeks). Body Mass Indeks merupakan alat atau cara yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan.
Untuk menghitung nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut :
IMT = BB (kg) / TB (m2)
Tabel 2.2 Indek masa tubuh kriteria kurus, normal, dan gemuk
Kriteria
Kurus
Kategori
Kekurangan berat badan tingkat berat
IMT
<17,0
<18,5
Normal
Gemuk
18,5-25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan
25,1-27,0
>27,0
21
2. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan diabetes guna
mendapatkan hasil yang optimal. Pendidikan kesehatan pencegahan primer
harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien diabetes. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien
yang sudah mengidap diabetes dengan penyulit menahun.
3. Exercise (latihan fisik/ olah raga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan CRIPE (Continous, Rhytmical,
Interval, Progresive, Endurance Training) sesuai dengan kemampuan
pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit.
4. Obat : oral hipoglikemik, insulin
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi
tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan
pemakaian obat hipoglikemik.
2.2.8 Komplikasi
1. metabolik
a. Ketoasidosis diabetik
b. HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik)
2. Komplikasi
a. Mikrovaskular kronis (penyakit ginjal dan mata) dan neuropati
b. Makrovaskular (MCI, Stroke, penyakit vaskular perifer). (Wijaya & Putri,
2013).
2.3 Self Monitoring
2.3.1 Definisi
Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan konsep
pengaturan kesan (impression management) atau konsep pengaturan diri
(Snyder & Gangestad, 1986; Setyabudi, 2013). Self monitoring adalah
22
kemampuan individu untuk menangkap petunjuk yang ada di sekitarnya,
baik personal maupun situasional yang spesifik untuk mengubah
penampilannya, dengan tujuan menciptakan kesan positif yang meliputi
kemampuan individu untuk memantau perilakunya dan juga sensitivitas
individu untuk melakukan pemantauan terhadap dirinya (Hiskawati, 2004;
Anin dkk, 2008).
Baron & Byrne (2004; Setyabudi, 2013) self monitoring merupakan
tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi eksternal
dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar faktor internal
seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring rendah).
2.3.2 Ciri-ciri self monitoring
Berdasarkan
teori
self
monitoring,
sewaktu
individu
akan
23
Individu dengan self monitoring rendah memiliki ciri-ciri yang
berkebalikan dengan individu yang memiliki self monitoring tinggi. Individu
yang mempunyai self monitoring rendah lebih mempercayai informasi yang
bersifat
internal.
Individu dengan
self monitoring
rendah, dalam
24
insulin, karena memungkinkan mereka untuk mendeteksi hipoglikemia dan
pengaturan diri dosis insulin untuk mengontrol glikemik (Agborsongaya
dkk, 2013).
Tujuan self monitoring gula darah adalah untuk mengumpulkan
informasi rinci tentang kadar glukosa darah di banyak titik waktu untuk
memungkinkan pemeliharaan tingkat glukosa lebih konstan dengan regimen
yang lebih tepat. Hal ini dapat di gunakan untuk membantu dalam
penyesuaian regimen terapi dalam menanggapi nilai-nilai glukosa darah dan
membantu individu menyesuaikan asupan makanan, aktifitas fisik, dan dosis
insulin untuk meningkatkan kontrol glikemik pada sehari-hari (Benjamin,
2002).
Benjamin (2002), menjelaskan bahwa self monitoring gula darah
dapat membantu mengendalikan diabetes dengan : memberikan orang yang
menderita diabetes dan keluarga kemampuan untuk membuat pilihan
pengobatan yang tepat sehari-hari dalam kegiatan diet dan fisik serta insulin
atau obat lainnya, meningkatkan pendidikan pasien dan pemberdayaan
pasien mengenai efek dari gaya hidup dan farmasi intervensi pada kontrol
glikemik.
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler.
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen
kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh
kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan
25
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional
(Perkeni, 2011).
Self monitoring dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin
atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang
diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam
setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur
(untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemicspells (Perkeni, 2011).
2.4
Orem
melanjutkan
pekerjaan
mereka
melalui
Nursing
26
Development Conference Group (NDCG). Kelompok ini kemudian dibentuk
untuk menghasilkan suatu kerangka kerja konseptual dari keperawatan dan
menetapkan disiplin keperawatan (Taylor, 2007 ).
Orem kemudian mengembangkan konsep keperawatannya self care dan
pada tahun 1971 dipublikasikan Nursing ; Concepts Of Practice. Pada edisi
pertama fokusnya terhadap individu, sedangkan edisi kedua (1980), menjadi
lebih luas lagi meliputi multi person unit (keluarga, kelompok dan
masyarakat). Edisi ketiga (1985), Orem menghadirkan General Theory
keperawatan dan pada edisi keempat (1991), Orem memberikan penekanan
yang lebih besar terhadap anak-anak, kelompok dan masyarakat. Pengertian
self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai
dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai
keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey & Alligod; Kusniawati, 2011).
Teori keperawatan yang dikemukakan oleh Dorothea Orem, bertujuan
untuk meningkatkan kemandirian klien sehingga klien dapat berfungsi
secara optimal. Orem mengembangkan teori Self Care Defisit meliputi 3
teori yang berkaitan yaitu : self care, self care defisit dan nursing system
(Orem, 2001).
2.4.1 Teori self care
Untuk memahami teori self care perlu difahami terlebih dahulu tentang
konsep self care, unsur self care, faktor-faktor kondisi dasar dan kebutuhan
akanself care yang terapeutik. Self care adalah penampilan atau aktivitas
praktek
berdasarkan
keinginan
individu
dan
dilaksanakan
untuk
27
mempertahankan hidup, sehat dan kesejahteraan. Bila self care dilaksanakan
secara efektif, itu akan menolong untuk memelihara integritas dirinya dan
fungsi
kemanusiaan
serta
berkontribusi
terhadap
perkembangan
28
mengidentifikasi ada 5 metode yang dapat di gunakan dalam menunjang
self care:
1.
2.
3.
4.
individu.
5. Pendidikan
Perawat dapat menggunakan beberapa atau semua metode dalam teori
ini untuk membantu individu dalam memenuhi self care. Orem (1991),
mengidentifikasikan terdapat lima area aktifitas keperawatan yaitu :
a. Masuk kedalam dan memelihara hubungan perawatan klien dengan individu,
keluarga, kelompok sampai pasien dapat melegitimasi perencanaan
keperawatan.
b. Menentukan apakah dan bagaimana pasien dapat ditolong melalui
keperawatan.
c. Bertanggung jawab terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien
untuk di bantu perawat.
d. Menjelaskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada klien dalam
bentuk perawatan.
e. Mengkoordinasi dan mengintegrasikan keperawatan dengan kehidupan
sehari-hari kalien, perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta pelayanan
sosial dan pendidikan yang dibutuhkan atau yang akan diterima.
2.4.3 Teori Nursing System
Orem dalam teori sistem keperawatannya menggaris bawahi tentang
bagaimana kebutuhan self care klien dapat dipenuhi oleh perawat, klien atau
kedua-duanya. Sistem keperawatan dirancang oleh perawat berdasarkan
kebutuhan self care dan kemampuan klien dalam menampilkan aktivitas self
care. Apabila ada self care deficit, yaitu defisit antara apa yang bisa
29
dilakukan (self care agency) dan apa yang perlu dilakukan untuk
mempertahankan fungsi optimum (self care demand), disinilah keperawatan
diperlukan. Nursing agency adalah suatu properti atau atribut yang lengkap
diberikan untuk orang-orang yang telah di didik dan dilatih sebagai perawat
yang mampu bertindak, mengetahui dan membantu orang lain memenuhi
kebutuhan self care yang terapeutik, melalui pelatihan dan pengembangan
self care agency mereka sendiri (Orem, 2001; Parker & Smith, 2010).
Orem (1985; Andriay, 2007). mengklasifikasikan nursing system ini
menjadi 3, yaitu :
1. Sistem keperawatan kompensatori penuh (wholly compensatory nursing
system)
Sistem ini menggambarkan kondisi dimana individu tidak dapat
terlibat dalam melakukan self care yang membutuhkan kemandirian dan
ambulasi yang terkontrol serta pergerakan manipulatif atau adanya alasanalasan medis tertentu. Seseorang yang masuk dalam kondisi ini secara sosial
tergantung dengan orang lain dalam kelangsungan hidupnya sehari-hari.
Dalam kategori ini diklasifikasikan lagi menjadi 3, yaitu : tidak dapat
melakukan self care nya, misalnya : koma ; waspada dan mampu untuk
melakukan observasi, keputusan atau pilihan tentang self care tetapi tidak
dapat melakukan tindakan yang memerlukan ambulasi atau dan pergerakan
manipulatif,
melakukan tindakan yang tepat mengenai self care nya, contoh : klien
Retardasi Mental.
30
2. Sistem keperawatan kompensatori sebagian (partly compensatory nursing
system)
Sistem ini menggambarkan dimana klien dan perawat melakukan
tindakan perawatan atau tindakan lain yang bersifat manipulatif atau
ambulasi. Baik klien maupun perawat sama-sama mempunyai peran yang
besar dalam perawatan ini.
3. Sistem keperawatan dukungan pendidikan (supportive educative nursing
system)
Sistem ini menggambarkan kondisi dimana seseorang mampu untuk
membentuk atau dapat belajar membentuk internal atau eksternal self care
tetapi tidak dapat melakukannya tanpa bantuan. Peran perawat disini adalah
sebagai pendidik dan konsultan untuk meningkatkan kemampuan klien
sebagai self care agent.