You are on page 1of 26

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Self Efficacy
2.1.1 Definisi
Bandura (1997; Apriyani, 2009), mendefinisikan self efficacy sebagai
keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan
tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang
diharapkan. Maksudnya, individu menilai kemampuan, potensi dan
kecenderungan yang ada padanya dipadukan dengan tuntutan lingkungan,
karena itu self efficacy tidak mencerminkan secara nyata kemampuan
individu bersangkutan.
Self efficacy merupakan sebagian didasarkan pada pengalaman,
beberapa harapan kita terkait dengan orang lain, harapan yang terutama
berfungsi bagi kepribadian, persepsi terhadap self efficacy secara kausal
memengaruhi perilaku seseorang (Cervone, 2012).
Self efficacy adalah ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa
jauh seseorang mampu melakukan suatu perilaku dalam suatu situasi tertentu.
Self efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan yang
lebih baik. Tanpa self efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional),
orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku.
Self efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku
tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau
kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas
tertentu mempengaruhi perilaku seseorang di masa depan. Self efficacy

6
adalah keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan suatu perilaku dengan
baik (Friedman & Schustack, 2008).
Johnson (1992; Temple, 2003), menyatakan bahwa self efficacy pasien
pada diabetes melitus menggambarkan suatu kemampuan individu untuk
membuat suatu keputusan yang tepat dalam merencanakan, memonitor,
dan melaksanakan regimen perawatan sepanjang hidup. Self efficacy pada
pasien diabetes melitus berfokus pada keyakinan pasien untuk mampu
melakukan prilaku yang dapat mendukung

perbaikan penyakitnya dan

meiningkatkan manajemen perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik,


medikasi, kontrol glukosa dan perawatan deibetes melitus secara umum
(Wu et al, 2006).
Berdasarkan beberapa uraian dari tokoh diatas, pengertian self efficacy
dalam penelitian ini

merupakan suatu

keyakinan dari dalam

individu

mengenai kemampuannya dalam merawat dirinya sendiri dan mencapai


tujuannya guna mendapatkan kemandirian dalam memonitor gula darah.
2.1.2 Dimensi self efficacy
Anwar (2009; Artha&Supriadi, 2013) menyebutkan bahwa ada tiga
dimensi self efficacy, yaitu level, generality, dan strength.
1. Tingkat Level
Merupakan suatu perbedaan self efficacy dari masing-masing individu
dalam menghadapi suatu tugas dikarenakan perbedaan tuntutan serta tujuan
yang dihadapi, jika halangan dalam mencapai tuntutan tersebut sedikit atau
kurang

maka

aktivitas

mudah

dilakukan.

Tuntutan

suatu

tugas

mempresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran


dalam mencapai performasi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan

7
itu sedikit, maka aktiviitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian
individu akan mempunyai self efficacy yang tinggi (Anwar, 2009). Dimensi
ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas dimana individu merasa mampu
atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan diri individu bisa
berbeda-beda.
Konsep dalam dimensi ini terletak pada keyakinan individu atas
kemampuannya terhadap kesulitan suatu kejadian. Jika individu dihadapkan
tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka keyakinan
individu akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, tugas sedang hingga
tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang
dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masingmasing tingkat. Semakin

tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah

keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. Keyakinan individu


berimplikasi pada pemilihan tingkah laku berdasarkan hambatan atau tingkat
kesulitan suatu tugas atau aktivitas (Pinasti, 2011).
2. Tingkat keadaaan umum (generality)
Individu akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam
aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu dimana keyakinan individu
berperan didalamnya. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi
yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana
kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), dan karakteristik
individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan (Anwar, 2009).
3.

Tingkat kekuatan (strength)


Merupakan pengalaman yang memiliki pengaruh terhadap self efficacy,
sesuai keyakinan seseorang, pengalaman yang lemah atau kurang akan
melemahkan keyakinannya pula, sedangkan keyakinan yang kuat terhadap

8
kemampuan yang dimiliki, individu akan teguh dalam berusaha.
Pengalaman akan memberikan kekuatan yang berdampak baik pada
seseorang jika pengalaman tersebut kuat yang mendukung kemampuan
individu dalam menyampaikan kesulitan yang dihadapinya (Anwar, 2009).
Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi tingkat level,
dimana semakin tinggi taraf kesulitan suatu tugas dan aktivitas, maka
semakin lemah keyakinan individu yang dirasakan untuk menyelesaikannya
(Pinasti, 2011).
Bandura (1994), mengemukakan bahwa self efficacy seseorang
berkembang

melalui

empat

sumber

utama

yaitu

pengalaman

pribadi/pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, peersuasi verbal serta


kondisi fisik dan emosional:
1. Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi (enactive attainment and
perfomance accomplishment).
Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri
yang kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung
menginginkan hasil yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan.
Pada dasarnya setiap individu pasti pernah mengalami kegagalan tetapi
tergantung individu tersebut akan terpuruk dengan kegagal itu atau bangkit
dan menuju kesuksesan.
2. Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru
perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang di dapatkan orang lain
tersebut. Pengalaman orang lain akan memberikan gambaran kepada
individu apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai kesuksesan.
3. Persuasi Verbal (verbal persuasion)
Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seorang bertindak atau
berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia

9
mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang
selalu diberi dukungan untuk meraih kesuksesan, maka orang tersebut akan
berusaha untuk

mewujudkan

kesuksesan, dan

sebaliknya

apabila

seseorang mendapatkan keyakinan yang buruk maka dia dapat menjadi


gagal.
4. Kondisi fisik dan emosional (physiological and emosional state)
Kelemahan, nyeri dan ketidaknyamanan dianggap sebagai hambatan
fisik yang dapat mempengaruhi self efficacy, kondisi emosional juga
mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait self efficacy
nya.

Somatic / emotional
state
Vicarious experience

Attempt - Successful

Verbal persuasion
Mastery experience
Self - Efficacy

Mastery experience
Vicarious experience

Gambar 2.1. Diagram teori


self- Unsuccessful
efficacy (Brown, 2013)
Avoid

Verbal persuasion
Somatic / emotional
state

10
2.1.3 Proses pembentukan self efficacy
Self efficacy yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi
fungsi pada aktifitas individu. (Bandura dalam Iskandar, 2014) menjelaskan
tentang pengaruh dan fungsi tersebut, yaitu :
1. Fungsi kognitif.
Bandura menyebutkan bahwa pengaruh dari self efficacy pada proses
kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, self efficacy yang kuat akan
mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat self efficacy, semakin tinggi
tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang
memperkuat serta yang akan memperkuat suatu tujuan individu yaitu
komitmen yang baik.
Individu dengan self efficacy yang kuat akan mempunyai cita-cita yang
tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai
tujuan tersebut. Kedua, individu dengan self efficacy yang kuat akan
mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan langkah-langkah
antisipasi bila usahanya yang pertama gagal dilakukan. Komponen fungsi
kognitif diantaranya adalah adanya penilaian dan perasaan subjektif,
cenderung bertindak, dan regulasi emosi (Djohan, 2009).
2. Fungsi motivasi
Self efficacy memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi
diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Self
efficacy mendukung motivasi dalam berbagai cara dan menentukan tujuantujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri dengan seberapa besar
ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan dan

11
kegagalan, individu yang mempunyai keraguan diri terhadap kemampuan
dirinya akan lebih cepat dalam mengurangi usaha-usaha yang dilakukan atau
menyerah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap
kemampuan dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar ketika individu
tersebut gagal dalam menghadapi tantangan. Motivasi sangat berperan
dalam menentukan tingkah laku dan terhadap proses-proses dimana motifmotif yang dipelajari diperoleh (Calvin & Gardner, 2012).
3. Fungsi Afeksi
Self efficacy akan mempunyai kemampuan coping individu dalam
mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang
sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu
tersebut. Self efficacy memegang peranan penting dalam kecemasan, yaitu
untuk mengontrol stres yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan
pernyataan Bandura bahwa self efficacy mengatur perilaku untuk
menghindari suatu kecemasan. Semakin kuat self efficacy, individu semakin
berani menghadapi tindakan yang menekan dan mengancam.
Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol
pada situasi yang mengancam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran
yang mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur
situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi.
Individu yang memikirkan ketidakmampuan coping dalam dirinya dan
memandang banyak aspek dari lingkungan sekeliling sebagai situasi
ancaman yang penuh bahaya, akhirnya akan membuat individu membesarbesarkan ancaman yang mungkin terjadi dan khawatiran terhadap hal-hal

12
yang sangat jarang terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut, individu
menekan dirinya sendiri dan meremehkan kemampuan dirinya sendiri.
Afeksi merupakan komponen emosional dari suatu sikap dimana sikap
tersebut sering kali dipelajari dari orang tua, guru, dan anggota kelompok
(Ivancevich, 2007).
4. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan
yang akan diambil oleh indvidu. Individu menghindari aktivitas dan situasi
yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam
dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas
yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.
Perilaku yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minatminat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan, dan akhirnya akan
mempengaruhi arah perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh sosial
berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan
kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama
setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah
memberikan pengaruh awal.
2.1.4 Faktor-faktor yang berhubungan self efficacy
Berikut faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy, yaitu :
1. Usia
Penelitian Wang dan Shiu (2004 ; Wu, et al, 2006), menemukan bahwa
ada hubungan antara faktor demografi dengan aktifitas

perawatan diri

pasien diabetes melitus termasuk faktor usia, rata-rata pasien berusia 60

13
tahun. Usia yang matang sering dikaitkan dengan kematangan pola pikir
bagi individu tersebut untuk lebih bisa mengatur dirinya sendiri.
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan
individu dalam mengolah informasi yang diterimanya. Menurut Stipanovic
(2002), pendidikan merupakan faktor yang penting pada pasien diabetes
melitus untuk dapat memahami dan

mengatur dirinya sendiri dalam

mengontrol gula darah.


3. Status Pernikahan
Penelitian Kott (2008), menjelaskan bahwa responden yang menikah
mempunyai kontrol diabetes melitus yang baik dan mempunyai status
kesehatan yang lebih positif. Orang yang sudah menikah akan mendapat
dukungan secara moral lebih dari pasangannya.
4. Status sosial ekonomi
Penelitian Walker (2007; Wantiyah dkk, 2010), menunjukkan bahwa
orang yang memiliki pekerjaan secara signifikan merupakan prediktor self
efficacy secara umum, dengan kata lain seseorang yang bekerja memiliki
kepercayaan diri yang lebih tinggi.
5. Lama menderita diabetes melitus
Penelitian Wu et al (2006), menemukan bahwa pasien yang telah
menderita diabetes melitus 11 tahun memiliki self efficacy yang baik
daripada pasien yang menderita diabetes melitus < 10 tahun. Hal ini
disebabkan karena pasien telah lama menderita diabetes sudah lebih bisa
menerima penyakitnya dan penatalaksanaanya.
6. Dukungan Keluarga
Belgrave & Lewis (1994; Wu, 2007), meneliti peran dukungan
keluarga, ternyata dukungan keluarga secara signifikan berhubungan dengan
prilaku kesehatan yang positif dengan mematuhi

aktifitas kesehatan.

Sedangkan hasil penelitian Wantiyah (2010), menemukan bahwa ada

14
hubungan antara dukungan sosial/keluaraga dengan self efficacy. Secara
umum pasien yang mendapat dukungan yang positif dari keluarga akan
mempunyai keyakinan dan motivasi yang tinggi.
7. Depresi
Diperkirakan 10,9 % sampai 32,9 % pasien diabetes engalami depresi
(Anderson et al, 2001; Wu, 2007). Gejala depresi yang terjadi berpengaruh
pada kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, kontrol gula darah
yang rendah dan biaya pelayanan kesehatan yang bertambah banyak.
2.2 Diabetes Mellitus (DM)
2.2.1 Definisi
Diabetes Mellitus merupakan suatu sindroma gangguan metabolisme
dengan hiperglikemi yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi
sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau
keduanya (Rendi & Margareth, 2012). Sedangkan menurut Daniels (2012),
DM merupakan sekelompok gangguan metabolisme yang bersifat kronis
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah dan gangguan
metabolisme

karbohidrat,

lemak,

dan

protein.

American

Diabetes

Association (ADA) (2010; Perkeni, 2011) diabetes melitus merupakan suatu


kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Jadi diabetes melitus merupakan sekelompok penyakit gangguan
metabolisme yang berkaitan dengan gangguan insulin tubuh yang bersifat
kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah.
2.2.2 Faktor-Faktor Resiko Diabetes Mellitus
Faktor-faktor resiko diabetes melitus tipe 2 meliputi :

15
1. Riwayat keluarga dengan diabetes melitus (khususnya orang tua atau
saudara kandung)
Anak dari penderita diabetes melitus tipe 2 mempunyai peluang
menderita diabetes melitus tipe 2 sebanyak 15% dan 30% resiko
berkembang

intoleransi

glukosa

(ketidakmampuan

memetabolisme

karbohidat secara normal) (Lemone & Burke, 2008).


2. Obesitas (berat badan 20 % berat ideal, atau BMI 27 kg/m2)
Obesitas khususnya pada tubuh bagian atas, menyebabkan
berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat bekerja di dalam sel
pada otot skeletal dan jaringan lemak. Prosesnya disebut sebagai resistensi
insulin perifer. Obesitas juga merusak kemampuan sel beta untuk
melepaskan insulin saat terjadi peningkatan glukosa darah (Smeltzer &
Bare, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009).
3. Usia
Proses menua berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari
tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ
yang mempengaruhi homeostasis. Pernah teridentifikasi gula darah dan test
toleransi glukosa meningkat.
4. Hipertensi ( 140/90 mmHg)
5. Aktivitas
Aktivitas fisik berdampak terhadap aksi insulin pada orang yang
beresiko diabetes melitus. Suyono (dalam Soegondo, Soewondo & Subekti,
2009) menjelaskan bahwa kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor
yang ikut berperan menyebabkan resistensi insulin pada diabetes melitus
tipe 2.
6. Kadar HDL kolesterol 35 mg/dL (0,09mmol/L) dan atau kadar trigliserida
259 mg/dl (2,8 mmol/L)
7. Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi > 4 kg

16
2.2.3 Klasifikasi
Menurut Padila (2012), terdapat empat jenis utama diabetes melitus
terdiri dari :
1.
2.
3.
4.

DM tipe 1 : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)


Dm tipe 2 : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Diabetes mellitus gestasional (GDM)

17
2.2.4 Patofisiologi
Sebagian besar gambaran patologik dari Diabetes Mellitus dapat
dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya inulin berikut:
berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan
naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200 gg/dl. Peningkatan
mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan
kolesterol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya
protein dalam jaringan tubuh.
Pasien-pasien yang mengalami

defisiensi

insulin

tidak

dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi


sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang
ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mh/ 100 ml),
akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida,
potasium, dan pospat. Adanya poliuria menyebabkan dehidrasi dan timbul
polidipsia. Akibat glukosa yang keluar bersama urin maka pasien akan
mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta
cenderung terjadi polifagia.
Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pesien
menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau
hilangnya protein tubuh dan juga berkurangya penggunaan karbohidrat
untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan aterosklerosis,

18
penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer dan ini akan
memudahakan terjadinya gangren.
Pasien-pasien yang mengalami

defisiensi

insulin

tidak

dapat

mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah


makan karbohidrat, jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang
ginjal, maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) harus terstimulasi,
akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena glukosa hilang
bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan
berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) timbul
sebagai akibat kehilangan kalori (Price, 2006).
2.2.5 Manifestasi Klinis
Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan bahwa manifestasi klinis dari
pasien diabetes melitus adalah 3P yaitu poliuria, polidipsi, poliphagi.
Poliuria (terjadinya peningkatan jumlah dan frekuensi urine). Hiperglikemia
menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang berdampak pada peningkatan
jumlah dan frekuensi buang air kecil. Polidipsia (terjadi peningkatan rasa
haus). Hal ini terjadi akibat kelebihan pengeluaran cairan karena proses
diuresis osmotik. Poliphagia (peningkatan nafsu makan yang yang
diakibatkan dari keadaan metabolisme yang dipicu oleh kekurangan insulin
dan pemecahan lemak dan protein).
Gejala lain pasien diabetes melitus meliputi kelelahan, penurunan berat
badan, kelemahan perubahan penglihatan yang tiba-tiba, geli atau kebas
pada tangan dan kaki, kulit kering, luka pada kaki atau luka yang lambat

19
sembuh, dan infeksi yang berulang (Lemone & Burke 2008; Smeltzer dan
Bare 2008).
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi gula darah
Tabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis
diabetes (mg/dl)
Kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler

Bukan DM

Belum pasti DM

DM

<100

100-200

>200

<80

80-100

>200

<110

110-120

>126

<90

90-110

>110

Kadar glukosa darah puasa


-

Plasma vena
Darah kapiler

Sumber : Padila, 2012

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
(Padila, 2012).
2.2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan sesuai dengan Konsensus Pengelolaan Diabetes
Melitus di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien diabetes melitus.
Tujuan tersebut akan terwujud dengan :

20
1. Diet
Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan insulin atau obat penurun glukosa.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan protein 1015%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass
Indeks). Body Mass Indeks merupakan alat atau cara yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan.
Untuk menghitung nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut :
IMT = BB (kg) / TB (m2)
Tabel 2.2 Indek masa tubuh kriteria kurus, normal, dan gemuk
Kriteria
Kurus

Kategori
Kekurangan berat badan tingkat berat

IMT
<17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan

<18,5

Normal
Gemuk

Sumber : Perkeni, 2011

18,5-25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan

25,1-27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat

>27,0

21
2. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan diabetes guna
mendapatkan hasil yang optimal. Pendidikan kesehatan pencegahan primer
harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien diabetes. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien
yang sudah mengidap diabetes dengan penyulit menahun.
3. Exercise (latihan fisik/ olah raga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan CRIPE (Continous, Rhytmical,
Interval, Progresive, Endurance Training) sesuai dengan kemampuan
pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit.
4. Obat : oral hipoglikemik, insulin
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi
tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan
pemakaian obat hipoglikemik.
2.2.8 Komplikasi
1. metabolik
a. Ketoasidosis diabetik
b. HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik)
2. Komplikasi
a. Mikrovaskular kronis (penyakit ginjal dan mata) dan neuropati
b. Makrovaskular (MCI, Stroke, penyakit vaskular perifer). (Wijaya & Putri,
2013).
2.3 Self Monitoring
2.3.1 Definisi
Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan konsep
pengaturan kesan (impression management) atau konsep pengaturan diri
(Snyder & Gangestad, 1986; Setyabudi, 2013). Self monitoring adalah

22
kemampuan individu untuk menangkap petunjuk yang ada di sekitarnya,
baik personal maupun situasional yang spesifik untuk mengubah
penampilannya, dengan tujuan menciptakan kesan positif yang meliputi
kemampuan individu untuk memantau perilakunya dan juga sensitivitas
individu untuk melakukan pemantauan terhadap dirinya (Hiskawati, 2004;
Anin dkk, 2008).
Baron & Byrne (2004; Setyabudi, 2013) self monitoring merupakan
tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi eksternal
dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar faktor internal
seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring rendah).
2.3.2 Ciri-ciri self monitoring
Berdasarkan

teori

self

monitoring,

sewaktu

individu

akan

menyesuaikan diri dengan situasi tertentu, secara umum menggunakan


banyak petunjuk yang ada pada dirinya (self monitoring rendah) ataupun di
sekitarnya (self monitoring tinggi) sebagai informasi. Individu dengan self
monitoring tinggi selalu ingin menampilkan citra diri yang positif dihadapan
orang lain. Snyder & Monson (Rave & Rubin, 1983 ; Setyabudi, 2013)
menerangkan bahwa individu yang memiliki self monitoring tinggi
cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya dan berusaha
untuk berperilaku sesuai situasi saat itu dengan menggunakan informasi
yang diterimanya. Hal ini mencerminkan bahwa individu yang mempunyai
self monitoring yang tinggi biasanya sangat memperhatikan penyesuaian
tingkah lakunya pada situasi sosial dan hubungan interpersonal yang
dihadapinya.

23
Individu dengan self monitoring rendah memiliki ciri-ciri yang
berkebalikan dengan individu yang memiliki self monitoring tinggi. Individu
yang mempunyai self monitoring rendah lebih mempercayai informasi yang
bersifat

internal.

Individu dengan

self monitoring

rendah, dalam

menampilkan dirinya terhadap orang lain cenderung hanya didasarkan pada


apa yang diyakininya adalah benar menurut dirinya sendiri. Hal ini
mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring rendah kurang peka
terhadap orang lain (Fiske & Taylor, 1991; Hendrayanti, 2006)
2.3.3 Aspek self monitoring
Kristiana (1997; Anin, 2008) menjelaskan ada tiga aspek dalam self
monitoring, yaitu :
1. Aspek kontrol penampilan diri (ekspresive self control), yaitu berhubungan
dengan kemampuan aktif mengontrol perilaku ekspresif yang ditampilkan.
2. Pementasan pertunjukan sosial (social stage presence), yaitu berhubungan
dengan kecendurungan untuk bertingkah laku dan menarik perhatian dalam
situasi sosial.
3. Penyajian kesesuaian diri (other directedness self presentation) yang
berhubungan dengan peran individu yang diharapkan orang lain dalam
situasi sosial.
2.3.4 Self monitoring pada penderita diabetes melitus tipe 2
Self monitoring gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 adalah
komponen yang berguna dari manajemen diabetes. Self monitoring gula
darah memerlukan pengumpulan informasi terhadap kadar glukosa darah
pada waktu yang berbeda dalam sehari. Oleh karena itu self monitoring gula
darah penting bagi pasien dengan diabetes melitus tipe 2 yang menggunakan

24
insulin, karena memungkinkan mereka untuk mendeteksi hipoglikemia dan
pengaturan diri dosis insulin untuk mengontrol glikemik (Agborsongaya
dkk, 2013).
Tujuan self monitoring gula darah adalah untuk mengumpulkan
informasi rinci tentang kadar glukosa darah di banyak titik waktu untuk
memungkinkan pemeliharaan tingkat glukosa lebih konstan dengan regimen
yang lebih tepat. Hal ini dapat di gunakan untuk membantu dalam
penyesuaian regimen terapi dalam menanggapi nilai-nilai glukosa darah dan
membantu individu menyesuaikan asupan makanan, aktifitas fisik, dan dosis
insulin untuk meningkatkan kontrol glikemik pada sehari-hari (Benjamin,
2002).
Benjamin (2002), menjelaskan bahwa self monitoring gula darah
dapat membantu mengendalikan diabetes dengan : memberikan orang yang
menderita diabetes dan keluarga kemampuan untuk membuat pilihan
pengobatan yang tepat sehari-hari dalam kegiatan diet dan fisik serta insulin
atau obat lainnya, meningkatkan pendidikan pasien dan pemberdayaan
pasien mengenai efek dari gaya hidup dan farmasi intervensi pada kontrol
glikemik.
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler.
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen
kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh
kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan

25
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional
(Perkeni, 2011).
Self monitoring dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin
atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang
diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam
setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur
(untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemicspells (Perkeni, 2011).
2.4

Teori kerperawatan Dorothea E.Orem


Selama tahun 1958-1959 Dorothea Orem sebagai seorang
konsultan pada bagian pendidikan Departemen Kesehatan, Pendidikan dan
Kesejahteraan dan berpartisipasi dalam suatu proyek pelatihan peningkatan
praktek perawat (vokasional). Pekerjaan ini menstimulasi Orem untuk
membuat suatu pertanyaan : kondisi apa dan kapan seseorang
membutuhkan pelayanan keperawatan? Orem kemudian menemukan ide
bahawa seorang perawat itu adalah diri sendiri. Ide inilah yang kemudian
dikembangkan dalam konsep keperawatannya Self Care. Pada tahun 1959
konsep keperawatan Orem ini pertama kali dipublikasikan. Tahun 1965
Orem bekerjasama dengan beberapa anggota fakultas dari Universitas di
Amerika untuk membentuk suatu Comite Model Keperawatan (Nursing
Model Committee). Tahun 1968 bagian dari Nursing Model Committee
termasuk

Orem

melanjutkan

pekerjaan

mereka

melalui

Nursing

26
Development Conference Group (NDCG). Kelompok ini kemudian dibentuk
untuk menghasilkan suatu kerangka kerja konseptual dari keperawatan dan
menetapkan disiplin keperawatan (Taylor, 2007 ).
Orem kemudian mengembangkan konsep keperawatannya self care dan
pada tahun 1971 dipublikasikan Nursing ; Concepts Of Practice. Pada edisi
pertama fokusnya terhadap individu, sedangkan edisi kedua (1980), menjadi
lebih luas lagi meliputi multi person unit (keluarga, kelompok dan
masyarakat). Edisi ketiga (1985), Orem menghadirkan General Theory
keperawatan dan pada edisi keempat (1991), Orem memberikan penekanan
yang lebih besar terhadap anak-anak, kelompok dan masyarakat. Pengertian
self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai
dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai
keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey & Alligod; Kusniawati, 2011).
Teori keperawatan yang dikemukakan oleh Dorothea Orem, bertujuan
untuk meningkatkan kemandirian klien sehingga klien dapat berfungsi
secara optimal. Orem mengembangkan teori Self Care Defisit meliputi 3
teori yang berkaitan yaitu : self care, self care defisit dan nursing system
(Orem, 2001).
2.4.1 Teori self care
Untuk memahami teori self care perlu difahami terlebih dahulu tentang
konsep self care, unsur self care, faktor-faktor kondisi dasar dan kebutuhan
akanself care yang terapeutik. Self care adalah penampilan atau aktivitas
praktek

berdasarkan

keinginan

individu

dan

dilaksanakan

untuk

27
mempertahankan hidup, sehat dan kesejahteraan. Bila self care dilaksanakan
secara efektif, itu akan menolong untuk memelihara integritas dirinya dan
fungsi

kemanusiaan

serta

berkontribusi

terhadap

perkembangan

kemanusiaan. Unsur self care adalah kemampuan yang dimiliki oleh


manusia atau kekuatan untuk terlibat di dalam self care. Kemampuan
individu untuk terlibat dalam self care dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisi
dasar (umur, jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, orientasi
sosio-kultural, faktor sistem pelayanan kesehatan, faktor sistem keluarga,
pola hidup, faktor lingkungan serta sumber-sumber yang adekuat dan
terjangkau (Muhlisin & Irdawati, 2010).
Kebutuhan self care yang terapeutik adalah totalitas dari tindakan self
care yang diperlihatkan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan self care yang sudah diketahui dengan menggunakan
metode yang valid dan seperangkat kegiatan dan tindakan yang
berhubungan. Kebutuhan self care yang terapeutik dijadikan model pada
tindakan yang disengaja, yaitu tindakan yang sengaja dilakukan oleh
sekelompok orang untuk menghasilkan peristiwa dan hasil yang
memberikan keuntungan kepada orang lain secara spesifik (Orem 2001;
Andriay, 20017).
2.4.2 Teori self care deficit
Merupakan hal yang paling inti dari teori keperawatan dari Orem. Teori
ini mengemukakan bahwa keperawatan dibutuhkan pada orang dewasa yang
mengalami ketergantungan dalam melakukan self care yang efektif. Orem

28
mengidentifikasi ada 5 metode yang dapat di gunakan dalam menunjang
self care:
1.
2.
3.
4.

Tindakan untuk orang lain


Membimbing dan mengarahkan
Memberikan dukungan fisik dan psikologis
Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung perkembangan

individu.
5. Pendidikan
Perawat dapat menggunakan beberapa atau semua metode dalam teori
ini untuk membantu individu dalam memenuhi self care. Orem (1991),
mengidentifikasikan terdapat lima area aktifitas keperawatan yaitu :
a. Masuk kedalam dan memelihara hubungan perawatan klien dengan individu,
keluarga, kelompok sampai pasien dapat melegitimasi perencanaan
keperawatan.
b. Menentukan apakah dan bagaimana pasien dapat ditolong melalui
keperawatan.
c. Bertanggung jawab terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien
untuk di bantu perawat.
d. Menjelaskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada klien dalam
bentuk perawatan.
e. Mengkoordinasi dan mengintegrasikan keperawatan dengan kehidupan
sehari-hari kalien, perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta pelayanan
sosial dan pendidikan yang dibutuhkan atau yang akan diterima.
2.4.3 Teori Nursing System
Orem dalam teori sistem keperawatannya menggaris bawahi tentang
bagaimana kebutuhan self care klien dapat dipenuhi oleh perawat, klien atau
kedua-duanya. Sistem keperawatan dirancang oleh perawat berdasarkan
kebutuhan self care dan kemampuan klien dalam menampilkan aktivitas self
care. Apabila ada self care deficit, yaitu defisit antara apa yang bisa

29
dilakukan (self care agency) dan apa yang perlu dilakukan untuk
mempertahankan fungsi optimum (self care demand), disinilah keperawatan
diperlukan. Nursing agency adalah suatu properti atau atribut yang lengkap
diberikan untuk orang-orang yang telah di didik dan dilatih sebagai perawat
yang mampu bertindak, mengetahui dan membantu orang lain memenuhi
kebutuhan self care yang terapeutik, melalui pelatihan dan pengembangan
self care agency mereka sendiri (Orem, 2001; Parker & Smith, 2010).
Orem (1985; Andriay, 2007). mengklasifikasikan nursing system ini
menjadi 3, yaitu :
1. Sistem keperawatan kompensatori penuh (wholly compensatory nursing
system)
Sistem ini menggambarkan kondisi dimana individu tidak dapat
terlibat dalam melakukan self care yang membutuhkan kemandirian dan
ambulasi yang terkontrol serta pergerakan manipulatif atau adanya alasanalasan medis tertentu. Seseorang yang masuk dalam kondisi ini secara sosial
tergantung dengan orang lain dalam kelangsungan hidupnya sehari-hari.
Dalam kategori ini diklasifikasikan lagi menjadi 3, yaitu : tidak dapat
melakukan self care nya, misalnya : koma ; waspada dan mampu untuk
melakukan observasi, keputusan atau pilihan tentang self care tetapi tidak
dapat melakukan tindakan yang memerlukan ambulasi atau dan pergerakan
manipulatif,

misalnya : klien dengan fraktur C3 C4 ; tidak mampu

melakukan tindakan yang tepat mengenai self care nya, contoh : klien
Retardasi Mental.

30
2. Sistem keperawatan kompensatori sebagian (partly compensatory nursing
system)
Sistem ini menggambarkan dimana klien dan perawat melakukan
tindakan perawatan atau tindakan lain yang bersifat manipulatif atau
ambulasi. Baik klien maupun perawat sama-sama mempunyai peran yang
besar dalam perawatan ini.
3. Sistem keperawatan dukungan pendidikan (supportive educative nursing
system)
Sistem ini menggambarkan kondisi dimana seseorang mampu untuk
membentuk atau dapat belajar membentuk internal atau eksternal self care
tetapi tidak dapat melakukannya tanpa bantuan. Peran perawat disini adalah
sebagai pendidik dan konsultan untuk meningkatkan kemampuan klien
sebagai self care agent.

You might also like