You are on page 1of 8

Vol.14.No.1.Th.

2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

Jumlah Dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus Rubellus) Yang Diberi
Pmsg, Pakan Tambahan Berupa Kotoran Domba Dan Kotoran Sapi
Rr. Eko Susetyarini*
Jurusan Biologi FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang, Telp. (0341) 464318
Email: niniek@gmail.com
ABSTRACT
Background: The manipulation of reproduction process in earthworm can be done by enviromental changging. Feces
of sheep and cattle addition were expected for reaching earlier sexual maturity, meanwhile the hormones Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG) were used to stimulate the superovulation. This research was conducted to study the
effect of PMSG and manure of sheep and cattle on cocoon number of earthworm.
Methods: Treatments were applied on 45 pots containing 10 earthworm (Lumbricus rubellus) each pots. 450
earthworms were selected randomly; consist of 4 weeks of age and 50-60 milligrams of weight. PMSG as first
treatments consist of 3 doses of 0 IU; 0.25 IU; and 0.50 IU combined with manure of sheep and manure of cattle.
Design of experiment was factorial completely randomized design 3 x 3. The first factor was the level of PMSG and the
second was the kind of feces. Then, data were analyzed by Analysis of Variance and Least Significance Difference.
Result: Result of study shows that there is interaction between PMSG and addition of manure of sheep and cattles on
the number and weight of cocoon (p < 0.05). From the result of the study, it is suggested to get the result of cocoon in
great number by using the media of earthworm given the addition of manure sheep with PMSG 0.05 IU.
Key words: Earthworm, PMSG, Manure, Cocoon.
Number and Weight of Earthworm (Lumbricus rubellus) Cocoon with PMSG and Manure of Sheep and Cattle
Addition
ABSTRAK
Latar Belakang : Manipulasi terhadap proses reproduksi pada cacing tanah dapat dilakukan melalui pengubahan
lingkungan cacing tanah, misalnya dengan pemberian pakan berupa kotoran domba atau sapi, diduga bisa mempercepat
kematangan seksual, sehingga meningkatkan jumlah kokon dan cacing muda yang dihasilkan kokon. Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG) yang digunakan untuk mendorong terjadinya ovulasi dan superovulasi pada mamalia
memungkinkan bisa mempengaruhi kemampuan reproduksi cacing tanah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh interaksi pemberian hormone PMSG, pakan tambahan berupa kotoran domba dan kotoran sapi terhadap berat
dan jumlah kokon cacing tanah .
Metode : Sampel penelitian berjumlah 45 pot. Setiap pot berisi 10 cacing tanah yang berumur 4 minggu dengan berat
badan cacing tanah sekitar 50-60 mg. Jenis cacing tanah yang digunakan cacing (Lumbricus rubellus). Jumlah
perlakuan hormone PMSG 3 level (dosis 0 IU; 0,25 IU; 0,50 IU). Jumlah perlakuan pakan tambahan 3 level, yaitu tanpa
pakan tambahan, ktoran domba, kotoran sapi. Jumlah perlakuan kombinasi ada 9 perlakuan, tiap perlakuan diulang 5
kali. Rancangan percobaan menggunakan RAL, pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama 3 level perlakuan PMSG dan faktor
kedua 3 macam perlakuan pakan tambahan. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Anava
dengan uji lanjut analisis BNT.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon PMSG dengan dosis 0 IU; 0,25 IU dan 0,50 IU
berinteraksi dengan pemberian pakan tambahan kotoran domba dan kotoran sapi terhadap jumlah kokon dan berat
kokon (p < 0.05). Disarankan untuk memperoleh hasil kokon dalam jumlah yang lebih banyak dapat menggunakan
media cacing tanah yang diberi pakan tambahan berupa kotoran domba dan PMSG dosis 0,50 IU.
Kata Kunci: cacing tanah, PMSG, kotoran, kokon

* Jurusan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang

Susetyorini

PENDAHULUAN
Cacing tanah mempunyai potensi memberi
keuntungan bagi kehidupan dan kesejahteraan
manusia. Selama ini cacing tanah dianggap hewan
yang menjijikkan dan kurang dimanfaatkan oleh
bangsa Indonesia, oleh karena itu budidaya cacing
belum banyak dilakukan peternak di Indonesia.
Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti
Amerika Serikat, Filipina, Jepang, Taiwan dan
beberapa negara Eropa serta Australia, budidaya
cacing tanah di Indonesia masih merupakan hal
yang baru (Budiarti, 1993).
Akhir-akhir ini cacing tanah sebagai sumber
protein hewani digunakan sebagai pengganti
tepung ikan untuk ransum pakan ternak dan ikan.
Apalagi diketahui bahwa sumber protein cacing
tanah lebih tinggi dari pada tepung ikan. Di
negara lain cacing tanah dimanfaatkan sebagai
bahan obat, bahan kosmetik, pengurai tanah dan
penyubur tanah.
Beberapa jenis cacing tanah yang banyak
diternakkan antara lain Pheretima, Perionyx dan
Lumbricus. Lumbricus khususnya Lumbricus
rubellus, merupakan cacing tanah yang mudah
dalam penanganannya dan termasuk jenis cacing
tanah komersial (Amrullah, 1986). Walaupun
bersifat hermaprodit, masing-masing individu
cacing tanah tidak dapat melakukan fertilisasi
sendiri. Perkembangbiakan dilakukan melalui
fertilisasi silang yaitu terjadinya proses kopulasi
dan fertilisasi secara eksternal (Budiarti, 1993).
Ekofisiologi mempunyai peranan terhadap
kematangan dan kesempurnaan alat reproduksi.
Kondisi lingkungan sangat besar pengaruhnya
terhadap kemampuan reproduksi suatu hewan,
khususnya hewan invertebrata (Begon et al., 1986
; Kramadibrata, 1994). Sampah organik
merupakan media yang baik bagi cacing tanah.
Sedangkan hijauan dan kotoran ternak merupakan
salah satu sumber bahan organik. Secara umum
pakan cacing tanah adalah berupa kotoran hewan.
Kotoran yang dipakai umumnya adalah yang
sudah terdekomposisi (Amin, 1993).
Menurut Kale et al. (1982) yang dikutip
oleh Waluyo (1995) menyatakan bahwa cacing
Perionyx exacavatus yang dipelihara pada kondisi
laboratorium dengan pemberian makanan yang
berbeda-beda, dapat memperlihatkan periode
cacing muda yang berbeda. Cacing tanah yang
diberi tambahan makanan berupa kotoran domba,

10

Jurnal Protein

periode cacing muda dicapai pada 90 - 150 hari


sedangkan pemberian makanan tambahan berupa
kotoran sapi periode cacing muda dicapai pada
150 - 210 hari.
Bentuk cacing tanah yang dewasa, ditandai
dengan adanya gelang (Klitellum) pada tubuhnya
dan lubang kelamin jantan dan betina. Pada
kondisi yang demikian cacing dewasa siap untuk
mengadakan kopulasi /perkawinan. Selama 7 - 10
hari setelah perkawinan, seekor cacing dewasa,
akan menghasilkan satu kokon. kokon berbentuk
lonjong dan berukuran sekitar 1/3 besar kepala
korek api (Budiarti, 1993). Cacing muda akan
keluar dari selubung kokon setelah embrio dalam
kokon berkembang selama 2 - 3 minggu. Cacing
muda yang baru lahir belum mempunyai klitellum
(Kotpal et al., 1981) dan setiap kokon akan
menghasilkan rata-rata 4 ekor cacing muda
(Budiarti, 1993).
Berbeda dengan hewan vertebrata, pada
golongan invertebrata khususnya cacing tanah
belum diketahui tentang peranan hormon
gonadotropin dalam memacu kemampuan
reproduksinya.
Pregnant Mare Serum Gonadotropin
(PMSG) adalah hormon gonadotropin yang telah
banyak dipakai pada hewan mamalia untuk
mendorong terjadinya ovulasi dan superovulasi .
Menurut Hafez (1993), pemberian PMSG dengan
penyuntikan subkutan atau intramuskuler pada
ternak betina dapat menggertak pertumbuhan
folikel pada ovarium dan ovulasi. Dari hasil
penelitian Matsuzaki, et al. (1997) tentang
superovulasi pada tikus rumah, dengan
menggunakan PMSG dosis 7,5 IU diberikan
secara intraperitoneal, dapat menyebabkan 94,6%
dari tikus yang diteliti mengalami ovulasi.
Alat reproduksi pada cacing tanah terdiri
dari alat reproduksi jantan yang terdiri dari testes,
kantung testes, spermiducal funnels, vesikula
seminalis, vas deferen, kelenjar prostat. Alat
reproduksi pada cacing betina terdiri dari
sepasang ovarium , oviduk dan spermateca. Alatalat reproduksi tersebut mirip dengan yang
dimiliki oleh hewan vertebrata. Namun sampai
saat ini belum diketahui secara pasti adanya suatu
hormon eksogen yang mempunyai pengaruh
terhadap proses reproduksi dari Lumbricus
maupun jenis cacing lainnya.
Kamemoto et al. (1966) yang dikutip oleh
Hegner (1968) menemukan adanya sel

Vol.14.No.1.Th.2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

neurosekretoris
yang
diduga
berfungsi
menghasilkan hormon, terdapat pada otak cacing
Lumbricus. Neurosekretori ini berfungsi sebagai
pengatur keseimbangan kadar garam dan air di
dalam
tubuh.
Menurut
Haris
(1992),
neurosekretori
berfungsi
merangsang
pembentukan gamet dan karakteritis sex.
Dari informasi yang diperoleh diatas, timbul
pertanyaan apakah hormon PMSG yang biasa
dipakai untuk menggertak kemampuan reproduksi
pada
mamalia
(vertebrata),
dapat
juga
mempengaruhi kemampuan reproduksi pada
cacing tanah.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini
rumusan masalah yang dapat dikemukakan
adalah:
1. Apakah pemberian PMSG berpengaruh
terhadap jumlah dan berat kokon yang
dihasilkan cacing tanah?
2. Apakah pemberian pakan tambahan berupa
kotoran sapi dan kotoran domba berpengaruh
terhadap jumlah dan berat kokon yang
dihasilkan cacing tanah?
3. Apakah interaksi antara pemberian PMSG
dengan pakan tambahan berupa kotoran sapi
dan kotoran domba berpengaruh terhadap
jumlah dan berat kokon yang dihasilkan
cacing tanah?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum :
1.
Untuk mengetahui rekayasa kemampuan
reproduksi cacing tanah .
Tujuan Khusus:
1.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian
PMSG terhadap jumlah dan berat kokon yang
dihasilkan cacing tanah .
2.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian
pakan tambahan berupa kotoran sapi dan
kotoran domba terhadap jumlah dan berat
kokon yang dihasilkan cacing tanah.
3.
Untuk mengetahui interaksi antara
pemberian PMSG dan pakan tambahan
berupa kotoran sapi dan kotoran domba
terhadap jumlah dan berat kokon yang
dihasilkan cacing tanah .
Manfaat Penelitian
1.
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan

sebagai data dasar tentang kemampuan


reproduksi cacing tanah setelah diberi hormon
(PMSG) dan pemberian pakan tambahan
berupa kotoran sapi dan kotoran domba pada
cacing tanah.
2.
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
bagi peternak cacing tanah dengan memacu
kemampuan reproduksi cacing tanah sehingga
dapat meningkatkan produktivitasnya.
3.
Sebagai informasi pada masyarakat
tentang pemanfaatan limbah sampah dan
kotoran hewan.
1.

Cacing Tanah
Menurut Barnes (1987), ciri-ciri dari
cacing tanah adalah : hidupnya di dalam tanah
di daerah tropis, morfologi tubuhnya
berbentuk bilateral simetris, silindrik. Cacing
tanah genus Lumbricus, tubuh bagian dorsal
berwarna merah muda sampai tua, tubuh
bagian vebtral warnanya lebih muda.
Mempunyai 100 sampai 180 segmen, pada
segmen pertama terdapat mulut yang disebut
peristomium. Tiap segmen mempunyai
beberapa setae. Anus terpat pada ujung
posterior. Alat reproduksi bersifat hermaprodit
dan perkawinan dilakukan secara fertilisasi
silang dengan kopulasi.

2.

Fisiologi Reproduksi Pada Cacing


Tanah
Spermatogonia dari testes akan
ditampung dalam kantung dan dikeluarkan
menuju vesikula seminalis. Dalam vesikula
seminalis spermatogonia akan dimatangkan
sehingga berkembang menjadi spermtosit,
spermatid dan spermatozoa. Kemudian
melalui spermiducal funnels kembali ke
kantung testes selanjutnya menuju vas deferen
untuk dikelurakan pada lubang genital saat
kopulasi (Hegner, 1968; Kotpal, 1981).
Ova yang masak dari ovarium akan
dipindahkan ke oviduk melalui corong oviduk
dan dikeluarkan melalui genital dalam suatu
bentuk yang disebut kokon.
Kopulasi
adalah
suatu
proses
pemindahan sperma dari satu cacing ke cacing
yang lain atau sebaliknya, melalui perlekatan
klitellum. Setelah kopulasi terjadi, cairan
mukus dikeluarkan dari klitellum sehingga
menyelubungi bagian anterior dimana
terdapat lubang spermateka sampai bagian
lubang kelamin jantan. Sekresi ini akan

11

Susetyorini

mengeras, membentuk gelembung karena


adanya khitin dan merupakan materi untuk
pembentuk kokon.

PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin)


Sejarah
Tahun 1930 Cole dan Hart menemukan
dalam darah kuda bunting 40 hari sampai 140 hari
mengandung sejumlah hormon gonadotropin yang
disebut equine gonadotropin. PMSG telah dipakai
dalam penelitian maupun pengobatan komersial
sejak 30 tahun yang lalu. PMSG merupakan
preparat gonadotropin yang secara komersial telah
dipakai secara luas karena preparat pengganti
yang lebih murah belum ada.
Sifat Kimiawi
1.
Glikoprotein (lebih tinggi dibanding FSH)
2.
Rantai alfa dan beta terikat non-kovalen
3.
Ada jembatan S (sulfida)
4.
Hampir sama dengan FSH sedikit :H
5.
CHO 40 48% (Hexosa, hexosamin)
6.
Asam sialat 10,8% (lebih tinggi daripada
FSH)
7.
Berat molekul 68.000
8.
Paruh hidup 26 jam (rata-rata), untuk
domba 21 jam; sapi 80 jam, babi > 80 jam.
9.
Pengambilan asam sialat pada molekul
PMSG menghilangkan aktifitas biologinya.
10.
Asam sialat pada PMSG kandungannya
berbeda-beda dari satu waktu ke waktu yang
lain dari masa kebuntingan, karena itu kadar
PMSG dari satu batch dapat berbeda dari bath
lain.
11.
PMSG menurut efeknya tidak dapat
dipisahkan antara fungsi FSH dan sedikit LH
12.
Upaya memisahkan PMSG menjadi fraksi
yang berefek FSH dan LH belum berhasil.
13.
Efek biologi hilang bila preparat murni
dalam bentuk kering tidak disimpan dalam
larutan netral.
14.
PMSG diinaktifkan oleh enzim protease
dalam saluran pencernaan.
Biosintesa
Disintesa oleh sel epitel endometrium
berbentuk mangkuk (endometrium cup) pada
bangsa kuda, keledai, girafe (jerapah) dan gajah
Afrika. Antara hari ke 40 180 masa
kebuntingan, puncaknya pada hari ke 70 80,

12

Jurnal Protein

kemudian kadarnya menurun pada hari ke 180.


Faktor yang mempengaruhi sekresi PMSG,
yaitu:
1.
Bangsa kuda
2.
Varietas
3.
Banyaknya anak
4.
Induk jantan dan betina kuda.
Fungsi PMSG
1.
Pada Kuda:
a. Pada kuda bunting 40 hari, PMSG
digunakan untuk pertumbuhan folikel
baru, korpus luteum asesoris (Kista luteal)
yang akan menghasilkan progesteron,
membantu korpus luteum graviditatum
untuk menghasilkan progesteron dalam
memelihara kebuntingan.
b. Korpus luteum graviditatum pada kuda
menurun sekresi progesteronnya pada hari
ke 40 masa kebuntingan.
c. PMSG mendorong pertumbuhan gonad
dari foetus kuda yang mengakibatkan :
d. ovariun foetus kuda > ovarium anak kuda
baru lahir; testes foetus kuda > testes anak
baru lahir.
e. PMSG menyebabkan kadar estrogen dan
progesteron
dalam
darah
induk
meningkat, menyebabkan uterus oetus
pada hewan betina dan kelenjar asesoris
foetus pada hewan jantan membesar.
Setelah lahir uterus dan kelenjar asesoris
mengecil kembali secara cepat.
f. PMSG diperlukan untuk proses immunoproteksi terhadap foetus yang sedang
tumbuh.
g. Ovarium kuda kurang sensitif terhadap
PMSG, karena itu ovarium tidak dapat
diaktifkan baik oleh PMSG maupun HCG
dengan dosis yang tinggi.
h. Pada kuda tidak sensitif terhadap FSH
karena PMSG endogen mengikat reseptor
untuk FSH pada ovarium.
2.

Pada Ternak Lain


a. PMSG mempunyai fungsi biologi sama
dengan FSH sedikit LH
b. PMSG tidak bersifat spesies spesifik.
c. Umur pubertas dapat diperpendek dengan
progesteron dan PMSG pada sapi dara.

3.

Pada Tikus
a. Pada tikus yang dihipofisektomi, PMSG
menyebabkan
pertumbuhan
folikel,

Vol.14.No.1.Th.2007

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

pertumbuhan sel granulosa folikel, sekresi


estrogen pada betina, pada tikus jantan
menyebabkan
spermatogenesis
dan
sekresi androgen.
b. PMSG dan HCG meningkatkan aktifitas
kelenjar tiroid baik yang normal maupun
hipofisektomi pada tikus yang belum
dewasa.
c. Dosis
kecil
pada
tikus
yang
dihipofisektomi PMSG memberi efek
sebagai FSH, dosis besar memberi efek
sebagai LH (ovulasi) atau luteinisasi
korpus luteum.
4.

5.

Faktor yang mempengaruhi respon


ovarium terhadap PMSG
a.
Lingkungan
b.
Musim
c.
Umur induk
d.
Berat badan induk
e.
Genetik (tikus yang secara
genetik
mempunyai
anak
banyak
memberi respon yang lebih baik).
f.
Fekunditas
g.
Bangsa
h.
Preparat hormon yang dipakai.
Pemakaian PMSG di Lapangan
Tujuan non-klinis pada hewan
betina:
mengertak
super
ovulasi,
menggertak ovulasi pada induk yang
menderita anestrus, meningkatkan jumlah
ovulasi yang normal dengan tujuan
menambah anak sekelahiran pada induk
polipara.
b.
Pada superovulasi, pengaruh
PMSG berbeda-beda menurut spesies
hewan: pada sapi pengaruh PMSG setelah
120 jam, pada domba pengaruh PMSG
setelah 40 jam.
c.
Untuk superovulasi, kombonasi
PMSG dan HCG pada berbagai ternak.
Pada sapi 1500-3000 IU, Sapi dara 10002000, Kambing 1000-1500, Domba 6001000, Babi 750-1500.
d.
Karena PMSG mangandung
sebagian besar sebagai FSH, sering
menyebabkan terbentuknya siste folikel
bila terlalu lama pemberiannya atau
dosisnya terlalu tinggi. Pada domba
PMSG 1500 IU diikuti dengan 1000 IU
HCG 3 hari setelah PMSG menghasilkan
50% folikel berovulasi. Pada kambing:
a.

superovulasi dengan PMSG pada hari 1718 dengan dosis 1500 IU menghasilkan
ovulasi rata-rata 13,7.
e.
Respon folikel terhadap PMSG
tergantung pada tingkat pertumbuhannya.
f.
Pada folikel primodial, PMSG
menambah jumlah folikel yang masuk
fase pra antral.
g.
Pemberian progesteron selama
10-12 hari diikuti PMSG 750 IU dan
HCG 1000 IU akan timbul birahi dan
ovulasi pada 2 atau 3 hari kemudian
sudah terbukti pada domba.
KERANGKA
HIPOTESIS

KONSEPTUAL

DAN

Kerangka Konseptual
Pemberian pakan tambahan yang sesuai
akan mempengaruhi pertumbuhan dan diharapkan
reproduksi dan prosuksi akan meningkat.
Pemberian kotoran sapi dan domba dalam media
merupakan tambahan pakan untuk pertumbuhan
cacing.
Pemberian hormon PMSG melalui uji
kontak pada cacing tanah akan diserap cacing
tanah secara difusi melalui kulit, karen akulit
cacing tanah mengandung kapiler-kapiler darah.
Melalui aliran darah, hormon PMSG akan dibawa
keseluruh tubuh dan khususnya menuju ke organ
reproduksi dan diduga akan meningkatkan
pembentukan gamet (superovulasi).
Cacing tanah dewasa akan mengadakan
kopulasi dengan cacing tanah dewasa lainnya,
dimana pada waktu kopulasi terjadi pemindahan
sperma kemudan sperma disimpan dalam
spermateka. Klitellum mengeluarkan cairan untuk
membentuk kokon. Lubang genital betina
mengelurakan telur, pembuahan dilakukan di luar
tubuh, sperma akan membuahi ovum sewaktu
kokon melewati spermateka. Zygot yang terjadi
akan disimpan dalam kokon. Kemudian kokon
akan berpindah di atas kepala cacing dan
mengeras.
Hipotesis Penelitian
1. Pemberian PMSG berpengaruh terhadap
jumlah dan berat kokon yang dihasilkan
cacing tanah.
2. Pemberian pakan tambahan berupa kotoran
sapi dan kotoran domba berpengaruh terhadap
jumlah dan berat kokon yang dihasilkan
cacing tanah.

13

Susetyorini

3. Interaksi antara pemberian PMSG dan pakan


tambahan berupa kotoran sapi dan kotoran
domba berpengaruh terhadap jumlah dan
berat kokon yang dihasilkan cacing tanah .

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Rancangan Percobaan.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap, pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama
adalah dosis PMSG, yaitu 0 IU; 0,25 IU dan 0,50
IU dan faktor kedua adalah pakan tambahan, yaitu
kotoran sapi, kotoran domba dan tanpa pakan
tambahan.
Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan adalah cacing
tanah (Lumbricus rubellus) yang muda berumur
4 minggu. Sampel yang digunakan sebanyak 450
ekor cacing tanah dengan berat 50-60 mg dengan
9 perlakuan dan 5 ulangan.
Variabel Penelitian
Variabel bebas adalah pemberian dosis
PMSG dan pemberian pakan tambahan kotoran
sapi dan kotoran domba. Variabel tergantung,
adalah jumlah dan berat kokon cacing tanah.
Variabel kontrol berupa wadah cacing, media, pH,
kelembaban, suhu, alat ukur. Variabel moderator
berupa proses kopulasi dan fertilisasi cacing

Jurnal Protein

tanah.
Cara Kerja
Satu kelompok pot yang telah tersedia diisi
dengan tanah humus dan diberi kotoran sapi
dengan perbandingan 7 : 3 sedang kelompok pot
yang lain diisi tanah humus dan kotoran doba
dengan perbandingan yang sama. Masing-masing
pot diberi label sesui dengan rancangan yang telah
ditentukan. Pemberian PMSG pada cacing
dilakukan dengan mencelupkan cacing ke dalam
larutan hormon PMSG sesuai dengan dosis PMSG
yang telah ditentukan pada masing-masing
perlakuan. Tiap perlakuan berisi 10 cacing tanah.
Kemudian masing-masing cacing yang telah
diberi perlakuan ditaruh dalam pot yang telah
ditentukan.
Tahap pengamatan dilakukan seminggu
sekali sampai cacing tersebut tumbuh dewasa
yang ditandai adanya klitellum. Bila pada media
sudah terdapat kokon, ditandai dengan gelembung
kecil (seperti kacang hijau) berwarna hijau muda
dan dapat dilihat dengan mata telanjang, diambil
dan dihitung jumlah jumlahnya, diukur beratnya
dengan memakai timbangan mikro.
Teknik Analisis Data
Data yang akan dianalisis adalah data
mengenai jumlah kokon dan berat kokon cacing
tanah, dianalisis dengan menggunakan ANAVA,
bila ada perbedaab yang nyata akan dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

HASIL PEMBAHASAN DAN PEMBAHASAN


1.

Jumlah Kokon
Tabel 1 : Rerata dan Simpangan Baku Jumlah Kokon Cacing tanah yang diberi PMSG
dan Pakan Tambahan
Dosis PMSG (IU)
Perlakuan
0
0,25
0,50
Tanpa Pakan Tambahan
Pakan Tambahan Kotoran Sapi
36,2 0,84
34,6 0,89
61,4 1,34
Pakan Tambahan Kotoran Domba 77,0 1,00
75,6 0,55
99,8 0,84
Keterangan : - sampai akhir penelitian belum terdapat jumlah kokon sehingga belum dapat dicatat datanya.

Dari
analisi
statistik
dengan
menggunakan Anava, yang dilanjutkan
dengan uji BNT ternyata terdapat perbedaan

14

yang nyata (p < 0.05) antara semua kombinasi


perlakuan.

Vol.14.No.1.Th.2007

2.

Jumlah dan Berat Cocoon Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

Berat Kokon
Tabel 2 : Rerata dan Simpangan Baku Berat Kokon Cacing tanah yang diberi PMSG
dan Pakan Tambahan
Dosis PMSG (IU)
Perlakuan
0
0,25
0,50
Tanpa Pakan Tambahan
Pakan Tambahan Kotoran Sapi
16,02 0,17 14,82 0,28 14,40 0,16
Pakan Tambahan Kotoran Domba 15,11 0,11 13,97 0,19
14,47 0,39
Keterangan : sampai akhir penelitian belum terdapat kokon sehingga data berat kokon belum dapat dicatat .

Dari
analisi
statistik
dengan
menggunakan Anava, yang dilanjutkan
dengan uji BNT ternyata terdapat perbedaan

yang nyata (p < 0.05) antara semua kombinasi


perlakuan.

Tabel 3 : Ringkasan Hasil Analisis Perlakuan PMSG dan Pakan Tambahan Terhadap Jumlah
dan Berat Kokon Cacing Tanah
Dosis PMSG X Pakan
Variabel
Dosis PMSG
Pakan Tambahan
tambahan
Jumlah Kokon
p = 0,0000
p = 0,0000
p = 0,0008
Berat Kokon
p = 0,0000
p = 0,0000
p = 0,00001
Dari tabel 3, terlihat bahwa variabel
dimana terdapat interaksi antara pemberian
dosis PMSG dan Pakan Tambahan (p < 0.05),
adalah variabel jumlah kokon dan berat
kokon.
PEMBAHASAN
Ada pengaruh interaksi antara pemberian
PMSG dan pakan tambahan yang berupa kotoran
domba dan sapi terhadap jumlah kokon yang
dihasilkan cacing tanah (p = 0,05). Sesuia
pendapat Hafez (1993) bahwa penggunaan
hormon PMSG untuk menggertak terjadinya
superovulasi pada golongan mamalia sangat
tergantung pada dosis hormon yang digunakan,
makin tinggi dosis PMSG yang diberikan makin
banyak
sel
telur
yang
diovulasikan.
Hardjopranyoto (1995) menyatakan bahwa pada
percobaan tikus yang dihipofisektomi, yang diberi
PMSG dapat menggertak pertumbuhan folikel.
Penggunaan hormon PMSG dengan dosis 7,5 IU
yang diberikan secara intraperitoneal pada tikus
yang dihipofisektomi dapat menyebbakan 94,6%
dari tikus yang diteliti mengalami ovulasi

(Matsuzaki, 1997). Dari hasil penelitian ini,


PMSG yang diberikan pada cacing tanah dengan
cara dicelup akan diserap secara difusi oleh poripori yang ada pada dinding tubuh cacing tanah.
Hormon tersebut selanjutnya mengikuti aliran
darah dan menggertak sel-sel neurosekretori di
dalam ganglion supraesofagialis (Bagnara, 1976).
Sel-sel neurosekretori menghasilkan hormon yang
menstimulasi ovarium dan testes untuk
pembentukan gamet (Haris, 1992). Gamet yang
dihasilkan akan lebih banyak dibanding gamet
yang dihasilkan secara normal. Hal tersebut juga
ditunjang oleh hasil penelitian Catalan (1981)
yang melaporkan bahwa pakan untuk cacing tanah
ada dua golongan, yaitu bahan pakan untuk
penggemukkan dan bahan pakan untuk
reproduksi. Bahan pakan untuk reproduksi harus
mengandung cukup protein karena asam-asam
amino dari protein bahan tersebut diperlukan
untuk pembentukan gamet baik gamet jantan
maupun betina dari cacing tanah. Media cacing
tanah yang diberi pakan tambahan berupa kotoran
domba maupun sapi yang dikombinasikan dengan
pemberian PMSG dosis 0,50 IU dapat
meningkatkan jumlah kokon yang dihasilkan .

15

Susetyorini

Jurnal Protein

Dibanding dengan cacing tanah yang diberi pakan


tambahan kotoran domba dengan dosis PMSG
0,25 IU. Dalam hal ini peningkatan jumlah kokon
juga disebabkan karena kotoran domba
mengandung protein 12,19% dan dosis PMSG
0,50 IU akan menggertak pembentukan gamet
cacing tanah.
Ada pengaruh interaksi antara pemberian
PMSG dengan pakan tambahan terhadap berat
kokon yang dihasilkan cacing tanah (p < 0,05).
Menurut Hafez (1993), PMSG bisa digunakan
untuk mengegrtak terjadinya superovulasi pada
ternak, sedangkan pakan tambahan yang
mempunyai kandungan protein lebih tinggi dapat
menyediakan bahan baku untuk pembentukan
gamet. Sebagai akibatnya semakin banyak gamet
yang dihasilkan maka semakin kecil berat kokon
yang dihasilkan.

berupa kotoran sapi dengan diberi PMSG 0,50 IU,


adalah 100% : 60%.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Ada pengaruh interaksi antara pemebrian
PMSG dengan pakan tambahan berupa kotoran
domba dan sapi terhadap jumlah dan berat kokon
yang dihasilkan oleh cacing tanah. Media cacing
tanah yang diberi kotoran domba dengan dosis
PMSG 0,50 IU mengahsilkan rata-rata jumlah
kokon yang terbanyak. Media cacing tanah yang
diberi kotoran sapi tanpa PMSG menghasilkan
rata-rata berat kokon yang terbesar.
Saran
Untuk mmeperoleh jumlah kokon yang
lebih banyak bisa digunkan media cacing tanah
yang diberi pakan tambahan berupa kotoran
domba dengan dosis PMSG 0,50 IU.
Perbandingan jumlah kokon yang diberi pakan
tambahan kotoran domba dengan diberi PMSG
0,50 IU dengan yang diberi pakan tambahan

16

DAFTAR PUSTAKA
1.

Amin, 1993. Cara Budidaya Cacing


Tanah. Suara Karya. 16 Nompember 1993.

2.

Anas, I. 1990. Metodologi penelitian


Cacing Tanah. IPB. Bogor.

3.

Bagnara, T. 1976. Endokrinologi Umum.


Airlangga University Press. Surabaya.

4.

Barnes, R. 1987. Invertebrate Zoology.


Saunders Co. Publishing. Philadelphia.

5.

Budiarti dan asiani, 1993. Cacing Tanah.


Swadaya. Jakarta.

6.

Catalan, IG. 1981. Eartworm A New


Source of Protein. Philipine Eartworm Center.
Philipina.

7.

Hafez, E.S.E. 1993. Reproducton in Farm


Animals. Lea&Febiger. Philadelphia.

8.

Hardjopranyoto, S.1995. Ilmu Kemajiran


Pada ternak. Airlangga University Press.
Surabaya.

9.

Kotpal, R. 1981. Modern Text Book of


Zoology Invertebrate. Rastogi Publications.
India.

10.

Kramadibrata, S. 1994. Ekologi Hewan.


Pelatihan Dosen LPTK C-3. ITB-DIKTI.
Bandung.

You might also like