You are on page 1of 12

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO.

1/JANUARI/2011

Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa


Institut Pertanian Bogor (IPB)
Dyspepsia Risk Factors of University Students in
Bogor Agricultural University
Andri Susanti1, Dodik Briawan1, Vera Uripi1
1

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB

ABSTRACT
Background: Dyspepsia syndrome frequently occurs among adolescents. This study aimed, to analyze
risk factors of dyspepsia among university students.
Methods: The study design was a case-control study, where two groups of samples were selected
purposively in the first grade student living in IPBs dormitory. The case group was the students with
gastric disorder (gastritis or peptic ulcer history) in the last six months, meanwhile the control group
was having similar characteristics except they suffered gastric disorder. The total of 120 university
students were taken pairly as samples, consisting of 60 students for the each group (24 male and 36
female). Data were collected include gastric disorder history, dyspepsia symptom, characteristic of
samples, nutritional status, eating habit, smoking, alcohol consumption, physical activity, drugs
consumption (especially antacid), stress, blood type, and family disease history of gastritis or peptic
ulcer.
Results: The frequency of dyspepsia in the case group was higher than the control group (p<0.05).
Gastric disorder history significabtly related to frequency of dyspepsia (p<0.05). The body mass index
(BMI) scores of samples had no difference in both sample groups (p<0.05). Having meal regularly,
meal frequency, carbonated drink consumption habit, and fat intake related significantly with frequency
of dyspepsia (p<0.05). Physical activity, taking antacid, and stress level related significantly with
frequency of dyspepsia (p<0.05). Family disease history and blood type had no relation with frequency
of dyspepsia. The multiple logistic regression analysis showed that the significant risk factors of dyspepsia
are meal frequency more than twice per day (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), habitually consume
carbonated drink (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga 63.23), and higher stress level (OR=1.22; CI 95%: 1.06
hingga 1.37).
Conclusion: Eating frequency more than twice per day can reduce risk of dyspepsia, meanwhile
consuming carbonated drink more than three bottles per week, and having higher stress level precisely
increase the risk of dyspepsia.
Keywords: risk factors, dyspepsia, university students.

PENDAHULUAN
Salah satu penyakit pencernaan yang sering
dikeluhkan kelompok remaja adalah sindrom
dispepsia. Lambung adalah reservoir pertama
makanan dalam tubuh dan di organ tersebut
makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan
sebagian zat gizi. Gangguan lambung berupa
ketidaknyamanan pada perut bagian atas atau dikenal
sebagai sindrom dispepsia, dapat terjadi akibat
kelainan organik maupun fungsional. Gangguan
organik yang umum terjadi pada lambung antara lain

80

gastritis dan tukak peptik (dikenal dengan sakit


maag), esophageal reflux disease, penyakit kandung
empedu, gangguan hati, dan patologi lainnya (Beyer
2004). Pada penelitian ini, gejala dispepsia sebagai
akibat dari adanya riwayat gangguan lambung yaitu
gastritis atau tukak peptik serta gaya hidup seharihari seperti kebiasaan makan, aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, stres, dan lain-lain.
Gatritis merupakan inflamasi dari lapisan mukosa
dan submukosa gaster atau lambung, sedangkan tukak
peptik (ulkus peptikum) adalah ulserasi (perlukaan)
saluran makanan bagian atas yang melibatkan duode-

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA

num dan lambung. Patogenesis tukak peptik samasama melibatkan asam-pepsin. Keluhan paling banyak
pada gastritis dan tukak peptik berupa nyeri perut
atau ketidaknyamanan perut bagian atas. Keluhan
lainnya adalah mual, muntah, kembung, rasa penuh
atau terbakar di perut bagian atas.

faktor hereditas, dan (11) faktor risiko yang


berpengaruh pada gejala dispepsia.

Gastritis, tukak peptik, maupun dispepsia


merupakan masalah kesehatan di masyarakat. Di Indonesia prevalensi gastritis sebanyak 0.99% dan
insiden gastritis sebesar 115/100.000 penduduk.
Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa
penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada
usia 20-50 tahun (Suyono 2001). Dispepsia
menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit yang
dengan pasien rawat inap terbanyak (Depkes 2006).
Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan
keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun
(Dwijayanti, Ratnasari, dan Susetyowati 2008).
Sindrom dispepsia cukup mengganggu penderitanya
hingga tidak dapat melakukan aktivitas secara normal. Sekitar 30% penderita dispepsia dilaporkan
tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala-gejala
dispepsia menyerang.

Desain penelitian adalah case control study (kasuskontrol) berpasangan. Penetapan contoh didasarkan
pada kelompok kasus, yaitu mahasiswa yang memiliki
riwayat gangguan lambung berupa gastritis atau
tukak peptik dan kelompok kontrol yang tanpa
menderita gangguan lambung. Gangguan lambung
yang diteliti terbatas pada gastritis atau tukak peptik
(tukak lambung, tukak duodenum). Kelompok
contoh kasus dan kontrol dipasangkan berdasarkan
kemiripan jenis kelamin, umur, dan latar belakang
sosial-ekonomi (jumlah uang saku, suku atau etnis,
dan daerah asal). Penelitian dilakukan pada mahasiswa
tingkat satu (Tingkat Persiapan Berdsama atau IPB)
tahun ajaran 2010/2011 di kampus IPB Darmaga
pada bulan Agustus-September 2010.

Perubahan lingkungan dan kebiasan sehari-hari


dari yang semula tinggal di rumah bersama keluarga
menjadi tinggal di asrama, seringkali membuat stres
mahasiswa baru IPB yang harus tinggal di asarama.
Kondisi lingkungan asrama dan padatnya jadwal
kegiatan mahasiswa dapat menyebabkan pola makan
tidak teratur dan gaya hidup yang berubah karena
berbaga faktor di sekitar mahasiswa. Stres, makan
tidak teratur dan sembarangan, merokok, minum
alkohol, minum kopi diduga dapat menimbulkan
masalah pencernaan. Seseorang yang telah memiliki
masalah pencernaan sebelumnya, akan sangat rentan
mengalami dispepsia karena kebiasaan yang tidak
sehat. Bagi orang yang sebelumnya tidak memiliki
riwayat penyakit pun, dimungkinkan untuk
terjangkit dispepsia.
Secara umum penelitian bertujuan untuk
mempelajari faktor risiko dispepsia pada kelompok
mahasiswa IPB. Tujuan khusus penelitian adalah
untuk mempelajari: (1) karakteristik sosial-ekonomi,
(2) gejala dispepsia, (3) status gizi, (4) kebiasaan
makan, (5) kebiasaan merokok, (6) kebiasaan
mengonsumsi minuman beralkohol, (7) aktivitas
fisik, (8) konsumsi obat-obatan, (9) tingkat stres, (10)

SUBJEK DAN METODE


Desain, Tempat, dan Waktu

Cara Penentuan Sampel


Sampel penelitian ini diambil secara purposive dari
populasi yang memenuhi kriteria penelitian dan
bersedia untuk menjadi responden. Kriteria inklusi
kelompok kasus yaitu: 1) Mahasiswa TPB IPB tahun
ajaran 2010/2011 dan telah tinggal di asrama putra/
putri TPB IPB minimal 1 bulan; 2) Berusia 12-19
tahun; 3) Mampu berkomunikasi dengan baik,
bersedia diwawancara; 4) Sedang atau pernah
mengalami gastritis atau tukak peptik dalam 6 bulan
terakhir berdasarkan pemeriksaan dokter; 5) Tidak
sedang atau pernah menderita apendisitis (usus
buntu), kolik (kram perut), hepatitis (liver), demam
typhoid (tifus abdominalis), ginjal, atau diabetes mellitus dalam waktu satu bulan terakhir. Kriteria inklusi
kontrol sama dengan kriteria inklusi kasus, hanya
dibedakan pada butir keempat, yaitu tidak pernah
mengalami gastritis/tukak peptik dalam 6 bulan
terakhir. Jumlah contoh yang diambil adalah 120
orang, terdiri atas 60 orang kasus (24 putra dan 36
putri) dan 60 orang kontrol (24 putra, 36 putri).
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan sekunder. Data pimer diperoleh melalui pengisian
81

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

kuesioner oleh contoh (mahasiswa TPB IPB),


sedangkan data sekunder diperoleh dari Direktorat
TPB-IPB, berupa jumlah mahasiswa tahun ajaran
2010/2011 dan pembagian kelas. Kuesioner terdiri
atas dua jenis, yaitu kuesioner skrining (untuk
menentukan kasus-kontrol) dan kuesioner penelitian.
Pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh contoh
dengan dipandu oleh enumerator. Setelah pengisian,
beberapa pertanyaan dikonfirmasikan kembali melalui
wawancara.
Pertanyaan dalam kuesioner bersifat retrospektif,
dengan rentang waktu sejak contoh masuk asrama
hingga menjelang keluar asrama. Kuesioner skrining
digunakan untuk mengumpulkan data karakteristik
contoh (umur dan jenis kelamin), karakteristik sosialekonomi (jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah
domisili paling lama), dan riwayat penyakit gastritis/tukak peptik dan frekuensi munculnya gejala
gangguan lambung selama satu bulan tinggal di
asrama. Informasi adanya riwayat penyakit (untuk
menentukan kasus-kontrol) berdasarkan pemeriksaan
dokter selama rentang waktu enam bulan terakhir.
Kuesioner penelitian digunakan untuk
mengumpulkan data kebiasaan makan, kebiasaan
merokok (aktif dan pasif ), kebiasaan mengkonsumsi
alkohol, aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga contoh
(meliputi jenis, durasi, dan frekuensi olahraga, serta
aktivitas ringan sehari-hari), konsumsi obat-obatobatan pada saat tinggal di asrama, tingkat stres, dan
faktor herediter (meliputi riwayat gangguan lambung
pada keluarga dan golongan darah).
Pengolahan dan Analisis Data
Frekuensi dispepsia. Frekuensi dispepsia
dikategorikan berdasarkan gejala-gejala dispepsia yang
dialami contoh. Sebanyak tujuh macam gejala
dispepsia (nyeri epigastrum; rasa panas terbakar di
dada; kembung setelah makan; perut penuh, cepat
kenyang; mual; muntah; dan sering bersendawa)
dinilai secara subjektif berdasarkan berapa kali gejala
muncul dalam satu minggu. Hasilnya kemudian
diskor, dijumlahkan, kemudian dikategorikan
menjadi dua kategori (jarang dan sering) berdasarkan
rentang data. Skor 0 (nol) jika sama sekali tidak
pernah mengalami gejala; skor 1 (satu) jika mengalami
gejala sebanyak 1-2 kali per minggu; skor 2 (dua)
jika mengalami gejala 3-4 kali per minggu; dan skor

82

3 (tiga) jika mengalami gejala >4 kali per minggu


atau hampir setiap hari. Kategori dispepsia adalah
jarang apabila skor frekuensi < 7.5; dan sering apabila
skor >7.5.
Karakteristik contoh. Umur dikategorikan menjadi
dua kelompok, yaitu 15-18 tahun (remaja madya)
dan 18-19 tahun (remaja akhir). Jumlah uang saku
yang menggambarkan keadaan ekonomi yang
dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan
rentang data, yaitu: (1) Rendah <Rp 400.000per
bulan; (2) Sedang antara Rp 400.000,00-Rp
800.000 per bulan; dan (3) Tinggi >Rp 800.000.
Suku/etnis dan wilayah domisili dikelompokkan
berdasarkan suku/etnis dan wilayah yang banyak
muncul pada data yang diperoleh.
Kebiasaan makan dan intake zat gizi. Data kebiasaan
makan yang dianalisis adalah keteraturan makan,
frekuensi makan, jeda waktu makan, kebiasaan makan
pagi, mengkonsumsi makanan selingan, melakukan
upaya menurunkan berat badan, minum teh, kopi,
soda, menkonsumsi makanan pedas, asam, dan
mengkonsumsi suplemen. Intake zat gizi yang dinilai
antara lain kecukupan vitamin A, vitamin C, intake
lemak, natrium, dan kalium. Frekuensi makan
dikategorikan menjadi dua, yaitu < 2 kali per hari
dan > 2 kali per hari. Kebiasaan mengkonsumsi soda
(minuman berkarbonasi) dikelompokkan berdasarkan
jumlah minuman berkarbonasi yang dikonsumsi per
minggu (> 3 botol kecil atau kaleng per minggu).
Kecukupan vitamin A dan C dikategorikan defisit (<
77% AKG) dan normal (> 77% AKG) Gibson
(2005). Konsumsi lemak dikategorikan menjadi dua,
rendah (< 30% AKE) dan tinggi (> 30% AKE)
(Ettinger diacu dalam Mahan dan Escott-stump
2008). Intake Natrium (Na) dikategorikan cukup
(Na < 2400 mg) dan lebih (> 2400 mg ), dan intake
Kalium (K) dikategorikan cukup (> 2000 mg) dan
kurang (< 2000 mg) (Dwijayanti, Ratnasari, dan
Susetyowati 2008).
Aktivitas Fisik. Tingkat aktivitas fisik dinilai
berdasarkan aktivitas sedang (moderate activity) yang
dilakukan dalam satu minggu. Total waktu atau lama
durasi aktivitas olahraga (menit) akumulatif per
minggu dihitung sebagai dasar penentuan tingkat
aktivitas fisik. Tingkat aktivitas fisik dikategorikan
berdasarkan USDHHS (2008) yang didederhanakan,
yaitu: tidak aktif jika tidak melakukan aktivitas sedang

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA

atau <150 menit per minggu, dan aktif jika aktivitas


sedang >150 menit/minggu.
Kebiasaan konsumsi obat-obatan. Kebiasaan
mengkonsumsi obat-obatan contoh (antasida dan
obat-obatan lain) dikelompokkan menjadi dua
golongan, pengguna harian dan bukan pengguna
harian berdasarkan jumlah dan frekuensi obat yang
dikonsumsi. Dinyatakan sebagai pengguna harian
apabila contoh mengkonsumsi obat setiap hari atau
> 7 tablet/kapsul/kaplet per minggu. Dinyatakan
sebagai bukan pengguna harian jika contoh
mengkonsumsi obat < 7 tablet/kapsul/kaplet per
minggu (McCintosh, Byth, dan Piper 1985).
Tingkat stress. Tingkat stres contoh diukur melalui
serangkaian pertanyaan mengenai gejala-gejala stres
yang dialami contoh selama tinggal di asrama.
Sebanyak 18 pertanyaan diajukan, masing-masing
diberikan tiga pilihan jawaban.. Setiap pilihan
jawaban diberi skor berbeda, tidak pernah diberi
skor 1, jarang atau kadang-kadang diberi skor 2,
dan sering diberi skor 3. Tingkat stres dikategorikan
dalam kelompok rendah dan sedang. Dinyatakan
bahwa contoh memiliki tingkat stres rendah apabila
total skor <29, tingkat stres sedang apabila total skor
> 29 (Laela 2008).
Hubungan antar variabel dianalisis secara
statistik menggunakan uji beda (Independent T-Test,
Mann Whitney, dan Chi Square), uji hubungan dan
menentukan risiko relatif (Chi Square tabel 2x2), serta
analisis multivariat (Regresi Logistik Berganda).
HASIL-HASIL
Karakteristik Sosial-Ekonomi Sampel
Sebagian besar sampel pada kelompok kasus maupun
kontrol berusia remaja akhir (18-19 tahun), jumlah
uang saku antara Rp 400.000,00-Rp 800.000,00
per bulan, dari suku Sunda dan Jawa, dan berasal
dari Jawa Barat dan Sumatera. Hasil uji beda t-test
dan Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan jumlah uang saku, suku,
dan asal daerah antara kelompok kasus dan kontrol
(p>0.05).
Gejala Dispepsia
Dari sekumpulan gejala gastritis dan tukak peptik
yang paling sering dirasakan contoh adalah perut

penuh/cepat kenyang, sedangkan gejala yang paling


jarang dialami adalah muntah dan rasa panas terbakar
(heartburn). Sebagian besar contoh (65% kasus dan
13% kontrol) pernah mengalami gejala nyeri
epigastrum atau ulu hati.
Sebagian besar contoh berada pada kategori
frekuensi dispepsia jarang, yaitu kelompok kasus
81.7% dan kontrol 100%, namun keduanya secara
signifikan berbeda (p<0.05). Contoh dengan riwayat
gangguan lambung sebelum masuk kuliah ke IPB
(kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami
dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat
gangguan lambung (kontrol) (OR=1.22; CI 95%:
0.07 hingga 1.38).
Status Gizi
Rata-rata berat dan tinggi badan kelompok kasus
adalah 52.69.76 kg dan 161.36.7 cm, sedangkan
kontrol 51.810.2 kg dan 159.78.9 cm. Rata-rata
Indeks Massa Tubuh (IMT) berturut-turut
20.142.9 kg/m2 dan 20.073.1 kg/m 2. Sebagian
besar contoh mempunyai status gizi normal, dan
hanya 16.7% kasus dan 18.3% kontrol tidak normal (undeweight/overweight). Tidak terdapat
perbedaan yang nyata status gizi contoh pada
kelompok kasus dan control (p>0.05).
Kebiasaan Makan
Pada kelompok kontrol kebiasaan makan lebih teratur
dibandingkan kasus (p<0.05). Pada kedua kelompok,
sebagian besar (kasus 76.7% dan kontrol 91.7%)
contoh biasa makan lebih dari dua kali sehari, akan
tetapi kelompok kasus lebih banyak (23.3%) yang
frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari
dibandingkan kelompok kontrol (Tabel 1) (p<0.05).
Dibandingkan kelompok kontrol, contoh pada
kelompok kasus lebih banyak yang jeda waktu
makannya tidak menentu, tidak terbiasa sarapan,
terbiasa mengonsumsi makanan selingan, dan biasa
membatasi makan; meskipun kebiasaan tersebut
perbedaannya tidak signifikan dibandingkan kontrol
(p>0.05).
Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan
dengan frekuensi dispepsia. Kebiasaan makan teratur
dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia
(OR=0.81; CI 95%: 0.72 hingga 0.92), dan
frekuensi makan lebih dari dua kali sehari dapat
83

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Tabel 1 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan makan

Variabel
Keteraturan Makan*
Teratur
Tidak teratur
Frekuensi Makan*
tidak tentu ( 2 kali/ hari)
> 2kali per hari
Jeda Waktu Makan
tidak tentu ( 6 jam)
tertentu (< 6 jam)
Kebiasaan Sarapan
Ya
Tidak
Kebiasaan Mengonsumsi Makanan Selingan
Ya
Tidak
Kebiasaan Membatasi Makan
Ya
Tidak
*Signifikan pada p<0.05 dengan uji Chi Square

Kasus

Kontrol
%

25
35

41.7
58 3

37
23

14
46

23.3
76.7

26
34

Total
n

61.7
38.3

62
58

51.7
48.3

5
55

8.3
91.7

19
101

15.8
84.2

43.3
56.7

22
38

36.7
63.3

48
72

40.0
60.0

28
32

46.7
53.3

36
24

60.0
40.0

64
56

53.3
46.7

24
36

40.0
60.0

22
38

36.7
63.3

39
81

61.7
38.3

13
47

21.7
78.3

8
52

13.3
86.7

21
99

32.5
67.5

mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR= maupun kombinasinya (kombinasi teh, kopi, dan
0.11; CI 95%: 0.03 hingga 0.42).
minuman berkarbonasi), makan makanan pedas, dan
Pada kelompok kasus dibandingkan kontrol mengkonsumsi suplemen tidak berhubungan nyata
secara signifikan lebih banyak yang memiliki terhadap gejala gangguan lambung. Minuman
kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi, berkarbonasi yang banyak dikonsumsi adalah cola,
mengkonsumsi makanan pedas, makanan atau sedangkan minuman asam adalah minuman
minuman asam, dan mengkonsumsi suplemen berperisa buah (menggunakan perisa dan asam sitrat)
(p<0.05) (Tabel 2). Kebiasaan minum teh, kopi, dan gula asam siap saji.
Tabel 2 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan minum dan makanan tertentu
Kasus
Variabel
n
%
Kebiasaan Minum Teh, Kopi, dan Berkarbonasi
Teh
10
16.7
Kopi
3
5.0
M. Berkarbonasi*
6
10.0
Teh + Kopi
6
10.0
Teh + M. Berkarbonasi
8
13.3
Kopi + M. Berkarbonasi
1
1.7
Teh + Kopi+ M. Berkarbonasi
16
26.7
Bukan ketiganya
10
16.7
Kebiasaan Makan Pedas
Ya
51
85.0
Tidak
9
15.0
Kebiasaan Makan Asam*
Ya
42
70
Tidak
18
30
Kebiasaan Mengonsumsi Suplemen
Ya
23
38.3
Tidak
37
61.7
*Signifikan pada p<0.05 ,** Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square

84

Kontrol
%

Total
%

15
1
4
5
8
4
5
18

25.0
1.7
6.7
8.3
13.3
6.7
8.3
30.0

25
4
10
11
16
5
21
28

20.8
3.3
8.3
9.2
13.3
4.2
17.5
23.3

43
17

71.7
28.3

94
26

78.3
21.7

24
36

40
60

66
54

55
45

17
43

28,3
71.7

40
80

33.3
66.7

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA

Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan


mengonsumsi makanan asam berhubungan secara
statistik nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0.05).
Kebiasaan minum minuman berkarbonasi
meningkatkan risiko sering munculnya gejala
dispepsia (OR= 6.91; CI 95%: 1.42 hingga 33.52),
demikian pula kebiasaan mengonsumsi makanan asam
(OR=9.12; CI 95%: 1.13 hingga 73.74).
Pada kelompok kasus lebih banyak yang
menderita defisiensi vitamin A dibandingkan pada
kontrol (p<0.05). Sebanyak 80% kelompok kasus dan
88.3% kontrol berada pada kategori defisit asupan
vitamin C (Tabel 3). Pada kelompok kasus lebih

merokok. Keseluruhan contoh yang memiliki


kebiasaan merokok berjenis kelamin pria, dan jumlah
rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia
awal merokok antara 12-18 tahun dan sebagian besar
merokok sejak usia 15 tahun. Jumlah contoh pada
kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih
banyak dibandingkan pada kelompok kasus. Contoh
dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila
terpapar asap rokok lebih dari tiga kali sehari. Tidak
terdapat contoh yang menyatakan pernah
mengonsumsi minuman beralkohol selama tinggal
di asrama.

Tabel 3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi tertentu


Kasus
Kontrol
Variabel
n
%
n
%
Tingkat Kecukupan Vitamin A*
Normal (>77% AKG)
40
67.7
45
75.0
Defisit (< 77% AKG)
20
33.3
15
25.0
Tingkat Kecukupan Vitamin C
Normal (>77% AKG)
12
20.0
7
11.7
Defisit (< 77% AKG)
48
80.0
53
88.3
Asupan Lemak*
Cukup ( 30% AKE)
23
38.3
54
90.0
Lebih (> 30% AKE)
37
61.7
6
10.0
Asupan Natrium
Cukup (<2400 mg/hari)
59
98.3
59
98.3
Lebih (> 2400 mg/hari)
1
1.7
1
1.7
Asupan Kalium
Cukup (>2000mg/hari)
1
1.7
2
3.3
Defisit (<2000 mg/hari)
59
98.3
58
96.7
*Signifikan pada p<0.05, ** Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square

banyak yang mengkonsumsi lemak >30% AKG energi,


sedangkan kelompok kontrol sebaliknya. Hampir
keseluruhan contoh (98.3%) pada kelompok kasus dan
kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup,
tetapi masih defisit konsumsi kalium (97.5%). Tingkat
kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium
antara kasus dan kontrol secara statistik tidak berbeda
nyata (p>0.05). Konsumsi lemak berhubungan nyata
dengan frekuensi dispepsia, yaitu contoh yang
mengonsumsi lemak kurang dari 30% AKE
meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia
(OR=5.68; CI 95% : 1.41 hingga 22.56).

Total
N

85
35

70.8
28.2

19
101

15.8
84.2

77
43

64.2
35.8

118
1

98.3
0.8

3
117

2.5
97.5

Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Olahraga


Pada kelompok kasus yang memiliki kebiasaan
olahraga dibandingkan kontrol adalah berturut-turur
66.7% dan 50% (Tabel 4), serta tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok
(p>0.05). Berdasarkan kategori aktivitas fisik
(termasuk di dalamnya kebiasaan olahraga contoh),
pada kelompok kasus termasuk kategori aktif
(75.0%), sedangkan kelompok kontrol tidak aktif
(51.7%). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif
memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering
dibandingkan yang aktif (OR=7.03; CI 95%: 0.87
hingga 56.89).

Kebiasaan Merokok dan Minum Minuman Beralkohol


Hanya 10% contoh pada kelompok kasus dan 3,3%
pada kelompok kontrol yang memiliki kebiasaan

85

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Tabel 4 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik
Kasus
Variabel
n
%
Kebiasaan olah raga
Ya
40
66.7
Tidak
20
33.3
Tingkat aktivitas fisik*
Tidak aktif
15
25.0
Aktif
45
75.0
*Signifikan pada p<0.05 dengan uji Chi Square

Konsumsi Obat-Obatan
Kebiasan mengonsumsi obat-obatan pada kelompok
kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol
(p<0.05). Lebih dari separuh contoh pada kelompok
kasus (53.3%) dan kontrol (84.0%) termasuk dalam
kategori bukan pengguna obat dokter harian (kurang
dari tablet/kapsul/kaplet per minggu) (Tabel 5).
Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata
dengan frekuensi gejala dispepsia (p>0.05).
Terdapat 33.3% contoh kelompok kasus
memiliki kebiasaan mengonsumsi antasida, dan tidak
pada kelompok kontrol. Kebiasaan mengonsumsi
antasida berhubungan nyata dengan frekuensi
dispepsia, yaitu semakin sering frekuensi dispepsia
contoh akan mengonsumsi antasida untuk
mengurangi gejala tersebut (OR=8.14; CI 95%: 2.19
hingga 30.26).
Tingkat Stres
Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus dan
kontrol (63.3% dan 51.7%) berada pada tingkat
stres kategori sedang. Pada kelompok kontrol
(48.3%) dengan tingkat stres kategori rendah lebih
banyak dibandingkan kasus (28.3%).
Contoh kelompok kasus cenderung memiliki
tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol (p<0.05). Tingkat stres berhubungan nyata
dengan gejala dispepsia, yaitu semakin tinggi tingkat

Total
%

29
31

48.3
51.7

69
51

57.5
42.5

31
29

51.7
48.3

45
57

37.5
47.5

stres akan berhubungan dengan sering munculnya


gejala dispepsia (OR= 7.03; CI 95%: 0.87 hingga
56.89).
Hereditas
Faktor herediter yaitu berupa riwayat penyakit
keluarga dan golongan darah contoh tidak
berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala
dispepsia. Sebanyak 76.7% contoh pada kelompok
kontrol dan 40% pada kelompok kasus tidak
memiliki riwayat penyakit keluarga yang berupa gastritis maupun tukak peptik. Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu contoh, yaitu
43.3% pada kelompok kasus dan 40% pada
kelompok kontrol yang memiliki golongan darah O.
Terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) riwayat
penyakit ibu pada kelompok kasus dan kontrol,
sedangkan pada riwayat penyakit gastritis dan tukak
peptik pada ayah, kakek, nenek, dan golongan darah
contoh secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05).
Multi-faktor Risiko Gejala Dispepsia
Regresi logistik dilakukan terhadap seluruh variabel
independen yang secara statistik signifikan
(p<0.005). Terdapat sembilan variabel yang diduga
menjadi faktor risiko gejala dispepsia, yaitu: riwayat
penyakit gangguan lambung, keteraturan makan,
frekuensi makan, kebiasaan minum minuman

Tabel 5 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan minum obat-obatan dan antasida


Kasus
Variabel
n
%
n
Kebiasaan minum obat-obatan
Pengguna harian
28
46.7
8
Bukan pengguna harian
32
53.3
52
Kebiasaan minum antasida**
Ya
19
31.7
1
Tidak
41
68.3
59
**Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square

86

Kontrol
n

Kontrol
%

Total
n

36.0
84.0

36
84

30.0
70.0

1.7
98.3

21
99

17.5
82.5

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA

berkarbonasi, kebiasaan mengkonsumsi makanan/


minuman asam, konsumsi lemak, kebiasaan
mengkonsumsi antasida, aktivitas fisik, dan tingkat
stres (Tabel 6).

ke IPB (kasus) memiliki peluang lebih sering


mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa
riwayat gangguan lambung (kontrol) (OR=1.22; CI
95%: 0.09 hingga 1.38). Dispepsia berkaitan erat

Tabel 6 Hasil regresi logistik faktor risiko frekuensi dispepsia

Variabel
Frekuensi Makan
2 kali/hari (0)
> 2 kali/hari (1)
Kebiasaan Minum Berkarbonasi
Tidak (0)
Ya (1)
Tingkat Stres
Rendah (0)
Sedang (1)
Konstanta

Confidence Interval 95%


Batas bawah
Batas atas

OR

(p)

0.08

0.004

0.02

0.45

8.95

0.028

1.29

63.23

1.22

0.006

1.06

1.39

0.00

0.001

Faktor risiko terhadap frekuensi gejala dispepsia


adalah frekuensi makan lebih dari dua kali per hari
(OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan
minum minuman berkarbonasi lebih dari tiga botol
kecil per minggu (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga
63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06
hingga 1.37).
PEMBAHASAN
Gejala khas dari gastritis dan tukak peptik adalah
rasa sakit/nyeri/tidak nyaman di daerah epigastrum
(ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas
terbakar/tidak nyaman di bagian dada/bawah tulang
dada, kembung kembung (bloating) setelah makan,
perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea),
muntah (vomitting), dan sering bersendawa.
Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan
sindrom dispepsia (Wibawa 2006). Dari
sekumpulan gejala tersebut, yang paling sering
dirasakan contoh adalah perut penuh/cepat kenyang,
sedangkan gejala yang paling jarang dialami adalah
muntah dan rasa panas terbakar (heartburn). Sebagian
besar contoh (65% kasus dan 13% kontrol) pernah
mengalami gejala nyeri epigastrum atau ulu hati.
Sebagian besar contoh berada pada kategori
frekuensi dispepsia kategori jarang, yaitu kelompok
kasus 81.7% dan kontrol 100%, namun keduanya
secara signifikan berbeda (p<0.05). Contoh dengan
riwayat gangguan lambung sebelum masuk kuliah

dengan kebiasaan makan, gaya hidup sehari-hari, dan


stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal
kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga
dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya
hidup menjadi lebih buruk. Perubahan lingkungan
dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru
seringkali menimbulkan stres. Seseorang yang telah
memiliki riwayat gangguan lambung sebelumnya
(termasuk gastritis dan tukak peptik) akan rentan
mengalami gejala dispepsia sebagai indikator
kambuhnya gangguan lambung karena kebiasaan yang
tidak sehat.
Sebagian besar contoh mempunyai status gizi
normal, dan hanya 16.7% kasus dan 18.3% kontrol
tidak normal (undeweight/overweight). Tidak terdapat
perbedaan yang nyata status gizi contoh pada
kelompok kasus dan control (p>0.05). Status gizi tidak
berhubungan dengan gejala gangguan lambung
(p>0.05), sehingga status gizi tidak berhubungan
dengan penurunan frekuensi gejala gangguan
lambung. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi
tidak berpengaruh pada penderita dispepsia.
Pada kelompok kontrol kebiasaan makan lebih
teratur dibandingkan kasus (p<0.05). Pada kedua
kelompok, sebagian besar (kasus 76.7% dan kontrol
91.7%) contoh biasa makan lebih dari dua kali sehari,
akan tetapi kelompok kasus lebih banyak (23.3%)
yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari
dibandingkan kelompok kontrol (p<0.05).

87

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Dibandingkan kelompok kontrol, contoh pada


kelompok kasus lebih banyak yang jeda waktu
makannya tidak menentu, tidak terbiasa sarapan,
terbiasa mengonsumsi makanan selingan, dan biasa
membatasi makan; meskipun kebiasaan tersebut
perbedaannya tidak signifikan dibandingkan kontrol
(p>0.05).
Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan
dengan frekuensi dispepsia. Kebiasaan makan teratur
dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia
(OR=0.81; CI 95%: 0.72 hingga 0.92), dan
frekuensi makan lebih dari dua kali sehari dapat
mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR=
0.11; CI 95%: 0.03 hingga 0.42). Frekuensi makan
dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan.
Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi
asam lambung, dimana asam lambung merupakan
faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik.
Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat
lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam
lambung menjadi tidak terkontrol kemudian
menyebabkan timbulnya gejala dispepsia). Makan
dengan frekuensi lebih sering (lebih dari dua kali per
hari) merupakan salah satu cara meringankan kerja
lambung sehingga produksi asam lambung juga tidak
berlebihan karena harus mengakomodasi makanan
yang masuk dalam jumlah terlalu banyak. Dengan
demikian, dapat mencegah timbulnya dispepsia
(Djojodiningrat 2001).
Pada kelompok kasus dibandingkan kontrol
secara signifikan lebih banyak yang memiliki
kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi,
mengkonsumsi makanan pedas, makanan atau
minuman asam, dan mengkonsumsi suplemen
(p<0.05). Namun kebiasaan minum teh, kopi,
maupun kombinasinya (kombinasi teh, kopi, dan
minuman berkarbonasi), makan makanan pedas, dan
mengkonsumsi suplemen tidak berhubungan nyata
terhadap gejala gangguan lambung.
Minuman berkarbonasi yang banyak
dikonsumsi adalah cola, sedangkan minuman asam
adalah minuman berperisa buah (menggunakan
perisa dan asam sitrat) dan gula asam siap saji.
Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan
mengonsumsi makanan asam berhubungan nyata
dengan frekuensi dispepsia (p<0.05). Kebiasaan
minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko

88

sering munculnya gejala dispepsia (OR= 6.91; CI


95%: 1.42 hingga 33.52), demikian pula kebiasaan
mengonsumsi makanan asam (OR=9.12; CI 95%:
1.13 hingga 73.74).
Makanan asam merupakan makanan yang
merangsang organ pencernaan dan secara langsung
dapat mengikis mukosa lambung. Makanan asam
merangsang sekresi asam lambung berlebihan dan
dapat merangsang peningkatan motilitas atau
peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu
timbulnya radang hingga luka pada dinding organ
pencernaan (Harahap 2009). Minuman berkarbonasi
bersifat asam, memiliki pH sangat rendah (3-4).
Dalam minuman berkarbonasi juga ditambahkan
kafein yang memiliki efek yang sama dengan kafein
yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin
sehingga merangsang produksi asam lambung,
mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap
mukosa lambung, dan dapat mengendurkan lower
esophageal sphinchter (LES), katup antara lambung
dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas
akan naik ke kerongkongan.
Pada kelompok kasus lebih banyak yang
menderita defisiensi vitamin A dibandingkan pada
kontrol (p<0.05). Sebanyak 80% kelompok kasus
dan 88.3% kontrol berada pada kategori defisit
asupan vitamin C. Pada kelompok kasus lebih banyak
yang mengkonsumsi lemak >30% AKG energi,
sedangkan kelompok kontrol sebaliknya. Hampir
keseluruhan contoh (98.3%) pada kelompok kasus
dan kontrol mengkonsumsi natrium dalam jumlah
cukup, tetapi masih defisit konsumsi kalium
(97.5%). Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi
natrium, dan kalium antara kasus dan kontrol secara
statistik tidak berbeda nyata (p>0.05). Konsumsi
lemak berhubungan nyata dengan frekuensi
dispepsia, yaitu contoh yang mengonsumsi lemak
kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering
munculnya gejala dispepsia (OR=5.68; CI 95% :
1.41 hingga 22.56). Jenis pangan yang memberikan
kontribusi besar pada konsumsi lemak contoh adalah
susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan
pangan yang mengandung lemak rantai pendek dan
sedang (MCT), baik susu maupun telur adalah
pangan hewani yang memiliki daya cerna tinggi.
Konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA

menekan sekresi asam lambung dengan cara


memperlambat pengosongan lambung dan
menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu.
Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses
pencernaan agar berlangsung lebih optimal. Lemak
rantai pendek dan sedang (MCT) berkontribusi
positif dalam mengurangi frekuensi munculnya gejala
gangguan lambung atau dispepsia (Thomson 2008).

dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya


respon inflamasi dan rasa nyeri. Lebih dari separuh
contoh pada kelompok kasus (53.3%) dan kontrol
(84.0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna
obat dokter harian (kurang dari tablet/kapsul/kaplet
per minggu). Konsumsi obat-obatan tidak
berhubungan nyata dengan frekuensi gejala dispepsia
(p>0.05).

Pada kelompok kasus hanya 10% contoh dan


3.3% pada kelompok kontrol yang memiliki
kebiasaan merokok. Demikian pula terhadap
kebiasaan minum alkohol tidak banyak dijumpai pada
kedua kelompok. Kedua variabel ini tidak
berhubungan dengan gejala dispepsia.

Terdapat 33.3% contoh kelompok kasus


memiliki kebiasaan mengonsumsi antasida, dan tidak
pada kelompok kontrol. Kebiasaan mengonsumsi
antasida berhubungan nyata dengan frekuensi
dispepsia, yaitu semakin sering frekuensi dispepsia
contoh akan mengonsumsi antasida untuk
mengurangi gejala tersebut (OR=8.14; CI 95%: 2.19
hingga 30.26). Penderita dispepsia sering
menggunakan obat-obatan penekan sekresi asam
lambung untuk mengatasi gejala-gejala yang muncul.
Antasida merupakan obat yang paling umum
digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak
peptik. Umumnya antasida merupakan basa lemah,
terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium
hidroksida dan magnesium hidroksida, kadangkadang disertai simetikon untuk mengurangi
kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut
dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang
terdapat pada makanan atau obat tertentu. Zat aktif
pada antasida (magnesium dan alumunium) akan
bersaing dengan mineral lainnya yang memiliki
valensi sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg),
kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama
memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi
bersamaan akan saling menghambat absorbsi
(Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida
akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12
yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia
(Almatsier 2002).

Berdasarkan kategori aktivitas fisik (termasuk di


dalamnya kebiasaan olahraga contoh), pada kelompok
kasus termasuk kategori aktif (75.0%), sedangkan
kelompok kontrol tidak aktif (51.7%). Contoh yang
termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko
mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang
aktif (OR=7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89).
Menurut Bredbenner et al (2009) olahraga yang
teratur membantu menguatkan jantung,
meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal,
menurunkan stres, dan mengontrol berat badan.
Peran olahraga adalah menurunkan risiko terjadinya
penyakit. Olahraga juga membantu mengatasi stres
sehingga membantu mengontrol sekresi asam
lambung dan menurunkan risiko terjadinya
dispepsia.
Jenis obat-obatan tertentu memiliki efek
samping menyebabkan gejala mual, kembung,
muntah, gastritis, hingga tukak. Obat anti nyeri
(misalnya: aspirin, neuralgin, parasetamol, dll), obat
anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik,
kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa
jenis obat yang memiliki efek samping pada
lambung. Terdapat dua mekanisme obat antinyeri
atau analgesik yang dapat menyebabkan iritasi secara
langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna.
Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam
akan langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua,
inhibisi atau hambatan terhadap pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa
lambung. Prostaglandin bersifat protektif terhadap
mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat karena

Kelompok kasus cenderung memiliki tingkat


stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
(p<0.05). Tingkat stres berhubungan nyata dengan
gejala dispepsia, yaitu semakin tinggi tingkat stres
akan berhubungan dengan sering munculnya gejala
dispepsia (OR= 7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89).
Stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi
tubuh yang merugikan kesehatan. Berbagai gangguan
mekanisme hormonal (penurunan serotonin dan

89

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

katekolamin, peningkatan asetilkolin) akan


menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi
asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan
hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian
besar gejala gastritis dan tukak peptik. Hiperasiditas
lambung dan meningkatnya cadangan glukosa darah
(akibat pengaruh hormonal) menyebabkan
berkurangnya nafsu makan sehingga mendorong
makan menjadi tidak teratur. Makan tidak teratur
merupakan salah satu penyebab munculnya dispepsia
(Tarigan 2003).
Faktor herediter yaitu berupa riwayat penyakit
keluarga dan golongan darah contoh tidak
berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala
dispepsia. Hampir semua penyakit memiliki unsur
hereditas (genetik atau turunan). Sebanyak 76.7%
contoh pada kelompok kontrol dan 40% pada
kelompok kasus tidak memiliki riwayat penyakit
keluarga yang berupa gastritis maupun tukak peptik.
Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan
pada ibu contoh, yaitu 43.3% pada kelompok kasus
dan 40% pada kelompok kontrol yang memiliki
golongan darah O. Terdapat perbedaan yang nyata
(p<0.05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus
dan kontrol, sedangkan pada riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, nenek, dan
golongan darah contoh tidak berbeda nyata (p>0.05).
Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan
keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan
abnormalitas fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan gastritis dan tukak
peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Golongan darah
O memiliki kecenderungan untuk terkena insiden
penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan
tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan
dengan golongan darah lainnya karena produksi asam
lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan
darah yang lain (DAdamo 2002).
Faktor risiko terhadap frekuensi gejala dispepsia
adalah frekuensi makan lebih dari dua kali per hari
(OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan
minum minuman berkarbonasi lebih dari tiga botol
kecil per minggu (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga
63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06
hingga 1.37). Semakin jarang frekuensi makan (< 2
kali per hari), memiliki kebiasaan minum minuman

90

berkarbonasi (> 3 botol per minggu), dan semakin


tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko untuk
mengalami dispepsia. Berdasarkan penelitian
Reshetnikov et al. (2007), jeda jadwal makan yang
terlalu lama dan ketidakteraturan makan berkaitan
dengan gejala dispepsia. Minuman berkarbonasi
bersifat asam dengan pH sangat rendah (3-4) sehingga
berisiko mengikis mukosa lambung, selain itu
kandungan kafein di dalamnya juga mempengaruhi
sekresi asam lambung. Stres berkaitan dengan
terjadinya dispepsia karena perubahan berbagai
mekanisme hormonal sehingga menimbulkan
hiperasimtomatik saluran gastrointestinal.
Penelitian ini menyimpulkan frekuensi dispepsia
pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok control (p<0.05). Riwayat
gangguan lambung, keteraturan makan, frekuensi
makan, kebiasaan minum berkarbonasi, dan
konsumsi lemak berhubungan nyata dengan frekuensi
munculnya dispepsia (p<0.05). Contoh yang makan
tidak teratur, frekuensi makan < 2 kali per hari, biasa
minum berkarbonasi >3 kali per minggu, dan
mengkonsumsi lemak <30% AKE lebih berisiko
mengalami dispepsia lebih sering.
Bagian terbesar aktivitas fisik contoh pada
kelompok kasus termasuk kategori aktif, sedangkan
pada kelompok kontrol termasuk tidak aktif. Contoh
yang tidak aktif lebih berisiko mengalami dispepsia
(p<0.05).
Pada kelompok kasus cenderung memiliki
kebiasaan mengonsumsi obat-obatan dan antasida.
Kebiasaan mengonsumsi antasida berhubungan nyata
dengan frekuensi dispepsia yang dialami (p<0.05).
Pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat
stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Semakin tinggi tingkat stres
contoh berhubungan dengan semakin sering muncul
dispepsia. Faktor hereditas seperti riwayat penyakit
keluarga dan golongan darah tidak berhubungan
dengan frekuensi munculnya dispepsia.
Analisis multivariat faktor risiko terhadap
dispepsia adalah frekuensi makan (OR=0.08; CI
95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum
berkarbonasi (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga
63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06
hingga 1.37). Contoh yang semakin jarang frekuensi
makan, biasa minum berkarbonasi, dan semakin

ANDRI SUSANTI, et al./ FAKTOR RISIKO DISPEPSIA PADA MAHASISWA

tinggi tingkat stres, maka akan semakin berisiko


menderitata dispepsia.
Penelitian ini menyarankan mahasiswa agar
makan secara teratur dan menerapkan makan lebih
dari dua kali per hari lebih baik untuk membantu
lambung beradaptasi sehingga sekresi asam lambung
terkontrol. Membatasi minuman dan makanan
iritatif, terutama minuman berkarbonasi.
Meminimalkan stres diperlukan untuk mencegah
timbulnya gangguan-gangguan kesehatan akibat
perubahan fisiologis maupun biokemis akibat stres,
termasuk dispepsia.
DAFTAR PUSTAKA
Carvalho RVB, Lorena SLS, Almeida JRD, Mesquita
MA. (2008). Food Intolerance, diet
Composition, and Eating Patterns in Functional
Dyspepsia Patients. Journal of Digestive Disease
and Science 55:6065. Diakses 18 Januari 2011.
Choi S, Lim YJ, Park SK. (2006). Risk Factor for
Analysis for Metaplastic Gastritis in Koreans.
World Journal of Gastroenterology 12 (16):
2584-2587. Diakses 11 Agustus 2010.
Dwijayanti H, Ratnasari N, dan Susetyowati. (2008).
Asupan Natrium dan Kalium Berhubungan
dengan Frekuensi Gejala Sindrom Dispepsia
Fungsional. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol. 5
No 1: 36-40.
Ettinger S. (2000). Macronutrients: Carbohydrates,
Proteins, and Lipids. Di dalam Mahan LK dan
Escott-stump SE, editor. Krauses Food,
Nutrition, and Diet Therapy 11 th Edition.
Philadelphia: Saunders hlm. 37-73.

Gibson R.S. (2005). Principles of Nutritional


Assement Second Edition. Oxford: University
Press.
Laela N. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Dasar yang
Sibuk dan Tidak Sibuk [skripsi]. Bogor: Program
Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Mcintosh JH, Byth K, dan Piper W. (1985).
Environmental Factors in Aetiology of chronic
Gastric Ulcer: Use Control Study of Exposure
Variables Before The Fisrt Symptomps. Gut
1985 (26): 789-798. http://www.gut.org
Diakses 11 Agustus 2010.
Reshetnikov OV et al. Prevalence of Dyspepsia and
Irritable Bowel Syndrome Among Adolescent of
Novobirsk, Institut of Internal Medicine of
Rusia. Int. J. Circumpolar Health 60 (2):253.
Riccardi VM dan Rotter JI. (2004). Familial
Heliobacter pylori Infection: Societal Factors,
Human Genetics, and Bacterial Genetics. Ann
Intern Med. 120 (12): 1043-104].
Suyono S. (2001). Ilmu Penyakit Dalam Ed III:
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Tarigan CJ. (2003). Perbedaan Depresi pada Pasien
Dispepsia Fungsional dan Dispepsia Organik.
Medan: Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara.
[USDHHS] United State, Department of Health and
Human Services. (2008). Physical Activity
Guidelines for Americans. http://www.
Health.gov.pagegudelines. Diakses 28 juli 2010.

91

You might also like