You are on page 1of 18

Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut

Pertanian Bogor (IPB)

Dyspepsia Risk Factors of University Students in Bogor Agricultural


University

Andri Susanti1, Dodik Briawan1, Vera Uripi1


1 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB

ABSTRACT
Background: Dyspepsia syndrome frequently occurs among adolescents. This study aimed, to analyze
risk factors of dyspepsia among university students. Methods: The study design was a case-control study, where
two groups of samples were selected purposively in the first grade student living in IPB’s dormitory. The case group
was the students with gastric disorder (gastritis or peptic ulcer history) in the last six months, meanwhile the control
group was having similar characteristics except they suffered gastric disorder. The total of 120 university students
were taken pairly as samples, consisting of 60 students for the each group (24 male and 36 female). Data were
collected include gastric disorder history, dyspepsia symptom, characteristic of samples, nutritional status, eating
habit, smoking, alcohol consumption, physical activity, drugs consumption (especially antacid), stress, blood type,
and family disease history of gastritis or peptic ulcer.
Results: The frequency of dyspepsia in the case group was higher than the control group (p<0.05). Gastric disorder
history significabtly related to frequency of dyspepsia (p<0.05). The body mass index (BMI) scores of samples had
no difference in both sample groups (p<0.05). Having meal regularly, meal frequency, carbonated drink
consumption habit, and fat intake related significantly with frequency of dyspepsia (p<0.05). Physical activity, taking
antacid, and stress level related significantly with frequency of dyspepsia (p<0.05). Family disease history and blood
type had no relation with frequency of dyspepsia. The multiple logistic regression analysis showed that the
significant risk factors of dyspepsia are meal frequency more than twice per day (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45),
habitually consume carbonated drink (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga 63.23), and higher stress level (OR=1.22; CI 95%:
1.06 hingga 1.37).
Conclusion: Eating frequency more than twice per day can reduce risk of dyspepsia, meanwhile consuming
carbonated drink more than three bottles per week, and having higher stress level precisely increase the risk of
dyspepsia.

Keywords: risk factors, dyspepsia, university students.

PENDAHULUAN reflux disease, penyakit kandung empedu,


gangguan hati, dan patologi lainnya
Salah satu penyakit pencernaan yang (Beyer 2004). Pada penelitian ini, gejala
sering dikeluhkan kelompok remaja adalah dispepsia sebagai akibat dari adanya
sindrom dispepsia. Lambung adalah riwayat gangguan lambung yaitu gastritis
reservoir pertama makanan dalam tubuh atau tukak peptik serta gaya hidup sehari-
dan di organ tersebut makanan melalui hari seperti kebiasaan makan, aktivitas
proses pencernaan dan penyerapan fisik, kebiasaan merokok, stres, dan lain-
sebagian zat gizi. Gangguan lambung lain.
berupa ketidaknyamanan pada perut Gatritis merupakan inflamasi dari
bagian atas atau dikenal sebagai sindrom lapisan mukosa dan submukosa gaster
dispepsia, dapat terjadi akibat kelainan atau lambung, sedangkan tukak peptik
organik maupun fungsional. Gangguan (ulkus peptikum) adalah ulserasi
organik yang umum terjadi pada lambung (perlukaan) saluran makanan bagian atas
antara lain gastritis dan tukak peptik yang melibatkan duodenum dan lambung.
(dikenal dengan sakit maag), esophageal Patogenesis tukak peptik samasama
melibatkan asam-pepsin. Keluhan paling
banyak pada gastritis dan tukak peptik
berupa nyeri perut atau ketidaknyamanan
perut bagian atas. Keluhan lainnya adalah
mual, muntah, kembung, rasa penuh atau
terbakar di perut bagian atas.
Gastritis, tukak peptik, maupun beralkohol, (7) aktivitas fisik, (8) konsumsi
dispepsia merupakan masalah kesehatan obat-obatan, (9) tingkat stres, (10) faktor
di masyarakat. Di Indonesia prevalensi hereditas, dan (11) faktor risiko yang
gastritis sebanyak 0.99% dan insiden berpengaruh pada gejala dispepsia.
gastritis sebesar 115/100.000 penduduk.
Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada
SUBJEK DAN METODE
beberapa penelitian ditemukan antara 6-
15% terutama pada usia 20-50 tahun Desain, Tempat, dan Waktu
(Suyono 2001). Dispepsia menempati
Desain penelitian adalah case control
urutan ke-15 dari 50 penyakit yang
study (kasuskontrol) berpasangan.
dengan pasien rawat inap terbanyak
Penetapan contoh didasarkan pada
(Depkes 2006). Laporan rawat jalan di
kelompok kasus, yaitu mahasiswa yang
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan
memiliki riwayat gangguan lambung
bahwa pasien yang datang dengan
berupa gastritis atau tukak peptik dan
keluhan dispepsia mencapai 40% kasus
kelompok kontrol yang tanpa menderita
per tahun (Dwijayanti, Ratnasari, dan
gangguan lambung. Gangguan lambung
Susetyowati 2008). Sindrom dispepsia
yang diteliti terbatas pada gastritis atau
cukup mengganggu penderitanya hingga
tukak peptik (tukak lambung, tukak
tidak dapat melakukan aktivitas secara
duodenum). Kelompok contoh kasus dan
normal. Sekitar 30% penderita dispepsia
kontrol dipasangkan berdasarkan
dilaporkan tidak masuk kerja atau sekolah
kemiripan jenis kelamin, umur, dan latar
ketika gejala-gejala dispepsia menyerang.
belakang sosial-ekonomi (jumlah uang
Perubahan lingkungan dan kebiasan saku, suku atau etnis, dan daerah asal).
sehari-hari dari yang semula tinggal di Penelitian dilakukan pada mahasiswa
rumah bersama keluarga menjadi tinggal tingkat satu (Tingkat Persiapan Berdsama
di asrama, seringkali membuat stres atau IPB) tahun ajaran 2010/2011 di
mahasiswa baru IPB yang harus tinggal di kampus IPB Darmaga pada bulan Agustus-
asarama. Kondisi lingkungan asrama dan September 2010.
padatnya jadwal kegiatan mahasiswa
dapat menyebabkan pola makan tidak
teratur dan gaya hidup yang berubah Cara Penentuan Sampel
karena berbaga faktor di sekitar Sampel penelitian ini diambil secara
mahasiswa. Stres, makan tidak teratur dan purposive dari populasi yang memenuhi
sembarangan, merokok, minum alkohol, kriteria penelitian dan bersedia untuk
minum kopi diduga dapat menimbulkan menjadi responden. Kriteria inklusi
masalah pencernaan. Seseorang yang kelompok kasus yaitu: 1) Mahasiswa TPB
telah memiliki masalah pencernaan IPB tahun ajaran 2010/2011 dan telah
sebelumnya, akan sangat rentan tinggal di asrama putra/ putri TPB IPB
mengalami dispepsia karena kebiasaan minimal 1 bulan; 2) Berusia 12-19 tahun;
yang tidak sehat. Bagi orang yang 3) Mampu berkomunikasi dengan baik,
sebelumnya tidak memiliki riwayat bersedia diwawancara; 4) Sedang atau
penyakit pun, dimungkinkan untuk pernah mengalami gastritis atau tukak
terjangkit dispepsia. peptik dalam 6 bulan terakhir
Secara umum penelitian bertujuan berdasarkan pemeriksaan dokter; 5) Tidak
untuk mempelajari faktor risiko dispepsia sedang atau pernah menderita apendisitis
pada kelompok mahasiswa IPB. Tujuan (usus buntu), kolik (kram perut), hepatitis
khusus penelitian adalah untuk (liver), demam typhoid (tifus
mempelajari: (1) karakteristik sosial- abdominalis), ginjal, atau diabetes mel-
ekonomi, litus dalam waktu satu bulan terakhir.
(2) gejala dispepsia, (3) status gizi, (4) Kriteria inklusi kontrol sama dengan
kebiasaan makan, (5) kebiasaan merokok, kriteria inklusi kasus, hanya dibedakan
(6) kebiasaan mengonsumsi minuman pada butir keempat, yaitu tidak pernah
mengalami gastritis/tukak peptik dalam 6
bulan terakhir. Jumlah contoh yang diambil
adalah 120 orang, terdiri atas 60 orang
kasus (24 putra dan 36 putri) dan 60
orang kontrol (24 putra, 36 putri).

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Jenis data yang dikumpulkan meliputi data
primer dan sekunder. Data pimer diperoleh
melalui pengisian kuesioner oleh contoh
(mahasiswa TPB IPB), sedangkan data
sekunder diperoleh dari Direktorat TPB-
IPB, berupa jumlah mahasiswa tahun
ajaran 2010/2011 dan pembagian kelas.
Kuesioner terdiri atas dua jenis, yaitu
kuesioner skrining (untuk menentukan
kasus-kontrol) dan kuesioner penelitian.
Pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh
contoh dengan dipandu oleh enumerator.
Setelah pengisian, beberapa pertanyaan
dikonfirmasikan kembali melalui
wawancara.
Pertanyaan dalam kuesioner bersifat skor frekuensi < 7.5; dan sering apabila
retrospektif, dengan rentang waktu sejak skor >7.5.
contoh masuk asrama hingga menjelang Karakteristik contoh. Umur
keluar asrama. Kuesioner skrining dikategorikan menjadi dua kelompok,
digunakan untuk mengumpulkan data yaitu 15-18 tahun (remaja madya) dan
karakteristik contoh (umur dan jenis 18-19 tahun (remaja akhir). Jumlah uang
kelamin), karakteristik sosialekonomi saku yang menggambarkan keadaan
(jumlah uang saku, suku/etnis, dan ekonomi yang dikelompokkan menjadi
wilayah domisili paling lama), dan riwayat tiga kategori berdasarkan rentang data,
penyakit gastritis/tukak peptik dan yaitu: (1) Rendah <Rp 400.000per bulan;
frekuensi munculnya gejala gangguan (2) Sedang antara Rp 400.000,00-Rp
lambung selama satu bulan tinggal di 800.000 per bulan; dan (3) Tinggi >Rp
asrama. Informasi adanya riwayat 800.000. Suku/etnis dan wilayah domisili
penyakit (untuk menentukan kasus- dikelompokkan berdasarkan suku/etnis
kontrol) berdasarkan pemeriksaan dokter dan wilayah yang banyak muncul pada
selama rentang waktu enam bulan data yang diperoleh.
terakhir.
Kebiasaan makan dan intake zat gizi.
Kuesioner penelitian digunakan untuk Data kebiasaan makan yang dianalisis
mengumpulkan data kebiasaan makan, adalah keteraturan makan, frekuensi
kebiasaan merokok (aktif dan pasif), makan, jeda waktu makan, kebiasaan
kebiasaan mengkonsumsi alkohol, makan pagi, mengkonsumsi makanan
aktivitas fisik dan kebiasaan olahraga selingan, melakukan upaya menurunkan
contoh (meliputi jenis, durasi, dan berat badan, minum teh, kopi, soda,
frekuensi olahraga, serta aktivitas ringan menkonsumsi makanan pedas, asam, dan
sehari-hari), konsumsi obat-obatobatan mengkonsumsi suplemen. Intake zat gizi
pada saat tinggal di asrama, tingkat stres, yang dinilai antara lain kecukupan vitamin
dan faktor herediter (meliputi riwayat A, vitamin C, intake lemak, natrium, dan
gangguan lambung pada keluarga dan kalium. Frekuensi makan dikategorikan
golongan darah). menjadi dua, yaitu < 2 kali per hari dan >
2 kali per hari. Kebiasaan mengkonsumsi
Pengolahan dan Analisis Data soda (minuman berkarbonasi)
Frekuensi dispepsia. Frekuensi dikelompokkan berdasarkan jumlah
dispepsia dikategorikan berdasarkan minuman berkarbonasi yang dikonsumsi
gejala-gejala dispepsia yang dialami per minggu (> 3 botol kecil atau kaleng
contoh. Sebanyak tujuh macam gejala per minggu). Kecukupan vitamin A dan C
dispepsia (nyeri epigastrum; rasa panas dikategorikan defisit (< 77% AKG) dan
terbakar di dada; kembung setelah normal (> 77% AKG) Gibson (2005).
makan; perut penuh, cepat kenyang; Konsumsi lemak dikategorikan menjadi
mual; muntah; dan sering bersendawa) dua, rendah (< 30% AKE) dan tinggi (>
dinilai secara subjektif berdasarkan 30% AKE) (Ettinger diacu dalam Mahan
berapa kali gejala muncul dalam satu dan Escott-stump 2008). Intake Natrium
minggu. Hasilnya kemudian diskor, (Na) dikategorikan cukup (Na < 2400 mg)
dijumlahkan, kemudian dikategorikan dan lebih (> 2400 mg ), dan intake Kalium
menjadi dua kategori (jarang dan sering) (K) dikategorikan cukup (> 2000 mg) dan
berdasarkan rentang data. Skor 0 (nol) jika kurang (< 2000 mg) (Dwijayanti,
sama sekali tidak pernah mengalami Ratnasari, dan Susetyowati 2008).
gejala; skor 1 (satu) jika mengalami gejala Aktivitas Fisik. Tingkat aktivitas fisik
sebanyak 1-2 kali per minggu; skor 2 (dua) dinilai berdasarkan aktivitas sedang
jika mengalami gejala 3-4 kali per minggu; (moderate activity) yang dilakukan dalam
dan skor 3 (tiga) jika mengalami gejala >4 satu minggu. Total waktu atau lama durasi
kali per minggu atau hampir setiap hari. aktivitas olahraga (menit) akumulatif per
Kategori dispepsia adalah jarang apabila minggu dihitung sebagai dasar penentuan
tingkat aktivitas fisik. Tingkat aktivitas
fisik dikategorikan berdasarkan USDHHS
(2008) yang didederhanakan, yaitu: tidak
aktif jika tidak melakukan aktivitas sedang
atau <150 menit per minggu, dan aktif
jika aktivitas
sedang >150 menit/minggu. Kebiasaan Gejala Dispepsia
konsumsi obat-obatan. Kebiasaan Dari sekumpulan gejala gastritis dan
mengkonsumsi obat-obatan contoh tukak peptik yang paling sering dirasakan
(antasida dan obat-obatan lain) contoh adalah perut penuh/cepat
dikelompokkan menjadi dua golongan, kenyang, sedangkan gejala yang paling
pengguna harian dan bukan pengguna jarang dialami adalah muntah dan rasa
harian berdasarkan jumlah dan frekuensi panas terbakar (heartburn). Sebagian
obat yang dikonsumsi. Dinyatakan sebagai besar contoh (65% kasus dan 13%
pengguna harian apabila contoh kontrol) pernah mengalami gejala nyeri
mengkonsumsi obat setiap hari atau > 7 epigastrum atau ulu hati.
tablet/kapsul/kaplet per minggu. Sebagian besar contoh berada pada
Dinyatakan sebagai bukan pengguna kategori frekuensi dispepsia jarang, yaitu
harian jika contoh mengkonsumsi obat < 7 kelompok kasus 81.7% dan kontrol 100%,
tablet/kapsul/kaplet per minggu namun keduanya secara signifikan
(McCintosh, Byth, dan Piper 1985). berbeda (p<0.05). Contoh dengan riwayat
Tingkat stress. Tingkat stres contoh gangguan lambung sebelum masuk kuliah
diukur melalui serangkaian pertanyaan ke IPB (kasus) memiliki peluang lebih
mengenai gejala-gejala stres yang dialami sering mengalami dispepsia dibandingkan
contoh selama tinggal di asrama. contoh tanpa riwayat gangguan lambung
Sebanyak 18 pertanyaan diajukan, (kontrol) (OR=1.22; CI 95%:
masing-masing diberikan tiga pilihan 0.07 hingga 1.38).
jawaban.. Setiap pilihan jawaban diberi
skor berbeda, “tidak pernah” diberi skor 1, Status Gizi
”jarang atau kadang-kadang” diberi skor Rata-rata berat dan tinggi badan
2, dan “sering” diberi skor 3. Tingkat stres kelompok kasus adalah 52.6±9.76 kg dan
dikategorikan dalam kelompok rendah dan 161.3±6.7 cm, sedangkan kontrol
sedang. Dinyatakan bahwa contoh 51.8±10.2 kg dan 159.7±8.9 cm. Rata-
memiliki tingkat stres rendah apabila total rata Indeks Massa Tubuh (IMT) berturut-
skor <29, tingkat stres sedang apabila turut 20.14±2.9 kg/m2 dan 20.07±3.1
total skor > 29 (Laela 2008). kg/m2. Sebagian besar contoh mempunyai
Hubungan antar variabel dianalisis status gizi normal, dan hanya 16.7% kasus
secara statistik menggunakan uji beda dan 18.3% kontrol tidak normal
(Independent T-Test, Mann Whitney, dan (undeweight/overweight). Tidak terdapat
Chi Square), uji hubungan dan perbedaan yang nyata status gizi contoh
menentukan risiko relatif (Chi Square tabel pada kelompok kasus dan control
2x2), serta analisis multivariat (Regresi (p>0.05).
Logistik Berganda).
Kebiasaan Makan
HASIL-HASIL Pada kelompok kontrol kebiasaan makan
lebih teratur dibandingkan kasus
Karakteristik Sosial-Ekonomi Sampel
(p<0.05). Pada kedua kelompok, sebagian
Sebagian besar sampel pada kelompok besar (kasus 76.7% dan kontrol 91.7%)
kasus maupun kontrol berusia remaja contoh biasa makan lebih dari dua kali
akhir (18-19 tahun), jumlah uang saku sehari, akan tetapi kelompok kasus lebih
antara Rp 400.000,00-Rp 800.000,00 per banyak (23.3%) yang frekuensi makannya
bulan, dari suku Sunda dan Jawa, dan kurang dari dua kali sehari dibandingkan
berasal dari Jawa Barat dan Sumatera. kelompok kontrol (Tabel 1) (p<0.05).
Hasil uji beda t-test dan Chi Square Dibandingkan kelompok kontrol, contoh
menunjukkan bahwa tidak terdapat pada kelompok kasus lebih banyak yang
perbedaan yang signifikan jumlah uang jeda waktu makannya tidak menentu,
saku, suku, dan asal daerah antara tidak terbiasa sarapan, terbiasa
kelompok kasus dan kontrol (p>0.05).
mengonsumsi makanan selingan, dan berhubungan dengan frekuensi dispepsia.
biasa membatasi makan; meskipun Kebiasaan makan teratur dapat
kebiasaan tersebut perbedaannya tidak mengurangi risiko munculnya gejala
signifikan dibandingkan kontrol (p>0.05). dispepsia (OR=0.81; CI 95%: 0.72 hingga
Keteraturan dan frekuensi makan 0.92), dan frekuensi makan lebih dari dua
kali sehari dapat
Tabel 1 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan makan
Kasus Kontrol Total
Variabel
Keteraturan 5
Makan* 1
n%n%n %
Teratur Tidak .
teratur 7
Frekuensi
*Signifikan pada p<0.05 dengan uji Chi Square
Makan* 4
tidak tentu 8
(mengurangi
2 kali/ hari) .
risiko munculnya gejala kopi, maupun kombinasinya (kombinasi
> 2kali per 3
dispepsia
hari Jeda (OR= 0.11; CI 95%: 0.03 hingga teh, kopi, dan minuman berkarbonasi),
0.42).
Waktu 1 makan makanan pedas, dan
Makan tidak
Pada kelompok kasus dibandingkan 5 mengkonsumsi suplemen tidak
tentu ( 6 jam) . berhubungan nyata terhadap gejala
kontrol secara signifikan lebih banyak
tertentu (< 6 8
yang gangguan lambung. Minuman
jam) memiliki kebiasaan minum teh, kopi,
minuman
Kebiasaan berkarbonasi, mengkonsumsi 8 berkarbonasi yang banyak dikonsumsi
makanan
Sarapan Ya pedas, makanan
4 atau minuman
4 adalah cola, sedangkan minuman asam
Tidak
asam, 1.
dan mengkonsumsi 6 suplemen
. adalah minuman berperisa buah
7 1. 2 (menggunakan perisa dan asam sitrat)
(p<0.05) (Tabel 2). Kebiasaan minum teh,
5 7
dan gula asam siap saji.
8 3 4
3 8. 0
Tabel 2 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan minum dan makanan tertentu
Kasus Kontrol Total
Variabel
n% n%n%

*Signifikan pada p<0.05 ,** Signifikan pada p<0.01 dengan uji Chi Square

Kebiasaan
Minum Teh,
Kopi, dan
Berkarbonasi
Teh 16 1 2 2 2
1 .7 5 5. 5 0
0 0 .
8

3
5. 1. .
Kopi 1 4
3 0 7 3

M. Berkarbonasi* 6 10 4 6. 1 8
.0 7 0 .
3

9
10 8. 1 .
Teh + Kopi 6 5
.0 3 1 2
Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan mengonsumsi makanan asam
berhubungan secara statistik nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0.05). Kebiasaan
minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia
(OR= 6.91; CI 95%: 1.42 hingga 33.52), demikian pula kebiasaan mengonsumsi
makanan asam (OR=9.12; CI 95%: 1.13 hingga 73.74).
Pada kelompok kasus lebih banyak yang menderita defisiensi vitamin A
dibandingkan pada kontrol (p<0.05). Sebanyak 80% kelompok kasus dan 88.3% kontrol
berada pada kategori defisit asupan vitamin C (Tabel 3). Pada kelompok kasus lebih
merokok. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria,
dan jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok antara
12-18 tahun dan sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun. Jumlah contoh pada
kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih banyak dibandingkan pada
kelompok kasus. Contoh dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila terpapar
asap rokok lebih dari tiga kali sehari. Tidak terdapat contoh yang menyatakan pernah
mengonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama.

Tingkat
Kecukupa
Tabel 3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi tertentu
n Vitamin Kasus Kontrol Total
A*
Variabel
Normal 4 67. 45 75. 85 7
(>77% 0 7 0 0
n % n% N%
AKG) .
8

Asupan
Defisit (<Natrium
2 33. 15 25. 35 2
banyak
77%yang
CukupAKG) mengkonsumsi
590 98.
3 59 lemak
98.
0 11>30%
9
8 AKG energi, sedangkan kelompok kontrol
sebaliknya.
(<2400 Hampir keseluruhan
3 3 contoh
8 8 (98.3%) pada kelompok kasus dan kontrol
mg/hari)
mengkonsumsi .
natrium dalam jumlah cukup, tetapi masih defisit konsumsi kalium
3
(97.5%). Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium antara kasus dan
kontrol secara
Lebih (> statistik
1 1.7 tidak
1 berbeda
1.7 1 nyata0 (p>0.05). Konsumsi lemak berhubungan
nyata dengan
2400 frekuensi dispepsia, yaitu .contoh yang mengonsumsi lemak kurang dari
30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR=5.68; CI 95% :
1.41 hingga 22.56).

Kebiasaan Merokok dan Minum Minuman Beralkohol


Hanya 10% contoh pada kelompok kasus dan 3,3% pada kelompok kontrol yang
memiliki kebiasaan
Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Olahraga
Pada kelompok kasus yang memiliki kebiasaan olahraga dibandingkan kontrol adalah
berturut-turur 66.7% dan 50% (Tabel 4), serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antar kedua kelompok (p>0.05). Berdasarkan kategori aktivitas fisik (termasuk di
dalamnya kebiasaan olahraga contoh), pada kelompok kasus termasuk kategori aktif
(75.0%), sedangkan kelompok kontrol tidak aktif (51.7%). Contoh yang termasuk
kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang
aktif (OR=7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89).
Tabel 4 Distribusi sampel berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik

K Ko To
*Signifikanapada p<0.05
ntr dengan
ta uji Chi Square
Variabel s ol n l
u % % n
Konsumsi
n sObat-Obatan 7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89).
Kebiasaan
Kebiasan mengonsumsi obat-obatan pada
olah raga
Ya kelompok kasus lebih
40 66.7 29 48tinggi
6 5dibandingkan Hereditas
kelompok kontrol (p<0.05).
.3 9 7 Lebih dari Faktor herediter yaitu berupa riwayat
separuh contoh pada kelompok kasus penyakit keluarga dan golongan darah
(53.3%) dan kontrol (84.0%) termasuk contoh tidak berhubungan dengan
dalam kategori bukan pengguna obat frekuensi munculnya gejala dispepsia.
dokter harian (kurang dari Sebanyak 76.7% contoh pada kelompok
tablet/kapsul/kaplet per minggu) (Tabel 5). kontrol dan 40% pada kelompok kasus
Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan tidak memiliki riwayat penyakit keluarga
nyata dengan frekuensi gejala dispepsia yang berupa gastritis maupun tukak
(p>0.05). peptik. Riwayat penyakit gastritis paling
Terdapat 33.3% contoh kelompok banyak ditemukan pada ibu contoh, yaitu
kasus memiliki kebiasaan mengonsumsi 43.3% pada kelompok kasus dan 40%
antasida, dan tidak pada kelompok pada kelompok kontrol yang memiliki
kontrol. Kebiasaan mengonsumsi antasida golongan darah O. Terdapat perbedaan
berhubungan nyata dengan frekuensi yang nyata (p<0.05) riwayat penyakit ibu
dispepsia, yaitu semakin sering frekuensi pada kelompok kasus dan kontrol,
dispepsia contoh akan mengonsumsi sedangkan pada riwayat penyakit gastritis
antasida untuk mengurangi gejala dan tukak peptik pada ayah, kakek,
tersebut (OR=8.14; CI 95%: 2.19 hingga nenek, dan golongan darah contoh secara
30.26). statistik tidak berbeda nyata (p>0.05).

Tingkat Stres Multi-faktor Risiko Gejala Dispepsia


Lebih dari separuh contoh pada kelompok Regresi logistik dilakukan terhadap
kasus dan kontrol (63.3% dan 51.7%) seluruh variabel independen yang secara
berada pada tingkat stres kategori statistik signifikan (p<0.005). Terdapat
sedang. Pada kelompok kontrol (48.3%) sembilan variabel yang diduga menjadi
dengan tingkat stres kategori rendah lebih faktor risiko gejala dispepsia, yaitu:
banyak dibandingkan kasus (28.3%). riwayat penyakit gangguan lambung,
Contoh kelompok kasus cenderung keteraturan makan, frekuensi makan,
memiliki tingkat stres yang lebih tinggi kebiasaan minum minuman
dibandingkan dengan kontrol (p<0.05).
Tingkat stres berhubungan nyata dengan Tabel 5 Distribusi sampel berdasarkan
gejala dispepsia, yaitu semakin tinggi kebiasaan minum obat-obatan dan
antasida
tingkat stres
Kaakan
K berhubungan
on T o dengan
sering munculnya
su n gejala
tr n tdispepsia (OR=
s ol a
Variabel
% % l
n %

Kebiasaan
minum obat-
obatan
3
2 0
46 36 3
Pengguna harian 8 8 .
.7 .0 6
0

Bukan pengguna 3 53 5 84 8 7
berkarbonasi, kebiasaan mengkonsumsi sering mengalami dispepsia dibandingkan
makanan/ minuman asam, konsumsi contoh tanpa riwayat gangguan lambung
lemak, kebiasaan mengkonsumsi antasida, (kontrol) (OR=1.22; CI 95%: 0.09 hingga
aktivitas fisik, dan tingkat stres (Tabel 6). 1.38). Dispepsia berkaitan erat

Tabel 6 Hasil regresi logistik faktor risiko


frekuensi dispepsia
(p) Confidence
ke IPB (kasus) memilikiInterval
peluang lebih
Faktor risiko
Variabel OR terhadap95%frekuensi
Batas gejala dispepsia adalah frekuensi makan lebih dari
dua kali per hari (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum minuman
bawah
Batas atas kecil per minggu (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga
berkarbonasi lebih dari tiga botol
Frekuensi
63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37).
Makan
2 kali/hari 0.0 0.00 0.02 0.4
(0) > 2 8 4 5 PEMBAHASAN
kali/hari (1)
Kebiasaan
Gejala khas dari gastritis dan tukak peptik adalah rasa sakit/nyeri/tidak nyaman di
Minum
daerah epigastrum (ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas terbakar/tidak
Berkarbon
nyaman di bagian dada/bawah tulang dada, kembung kembung (bloating) setelah
asi
makan, perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea), muntah (vomitting), dan sering
bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia
(Wibawa 2006). Dari sekumpulan gejala tersebut, yang paling sering dirasakan contoh
adalah perut penuh/cepat kenyang, sedangkan gejala yang paling jarang dialami adalah
muntah dan rasa panas terbakar (heartburn). Sebagian besar contoh (65% kasus dan
13% kontrol) pernah mengalami gejala nyeri epigastrum atau ulu hati.
Sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi dispepsia kategori jarang,
yaitu kelompok kasus 81.7% dan kontrol 100%, namun keduanya secara signifikan
berbeda (p<0.05). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelum masuk kuliah
dengan kebiasaan makan, gaya hidup sehari-hari, dan stres. Kondisi lingkungan asrama,
padatnya jadwal kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat
menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Perubahan
lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan
stres. Seseorang yang telah memiliki riwayat gangguan lambung sebelumnya (termasuk
gastritis dan tukak peptik) akan rentan mengalami gejala dispepsia sebagai indikator
kambuhnya gangguan lambung karena kebiasaan yang tidak sehat.
Sebagian besar contoh mempunyai status gizi normal, dan hanya 16.7% kasus dan
18.3% kontrol tidak normal (undeweight/overweight). Tidak terdapat perbedaan yang
nyata status gizi contoh pada kelompok kasus dan control (p>0.05). Status gizi tidak
berhubungan dengan gejala gangguan lambung (p>0.05), sehingga status gizi tidak
berhubungan dengan penurunan frekuensi gejala gangguan lambung. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi tidak
berpengaruh pada penderita dispepsia.
Pada kelompok kontrol kebiasaan makan lebih teratur dibandingkan kasus (p<0.05).
Pada kedua kelompok, sebagian besar (kasus 76.7% dan kontrol 91.7%) contoh biasa
makan lebih dari dua kali sehari, akan tetapi kelompok kasus lebih banyak (23.3%) yang
frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari dibandingkan kelompok kontrol
(p<0.05).
Dibandingkan kelompok kontrol, contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang jeda
waktu makannya tidak menentu, tidak terbiasa sarapan, terbiasa mengonsumsi
makanan selingan, dan biasa membatasi makan; meskipun kebiasaan tersebut
perbedaannya tidak signifikan dibandingkan kontrol (p>0.05).
Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan dengan frekuensi dispepsia.
Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia
(OR=0.81; CI 95%: 0.72 hingga 0.92), dan frekuensi makan lebih dari dua kali sehari
dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR= 0.11; CI 95%: 0.03 hingga
0.42). Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan.
Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam
lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik. Jadwal makan
yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam
lambung menjadi tidak terkontrol kemudian menyebabkan timbulnya gejala dispepsia).
Makan dengan frekuensi lebih sering (lebih dari dua kali per hari) merupakan salah satu
cara meringankan kerja lambung sehingga produksi asam lambung juga tidak
berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam jumlah terlalu
banyak. Dengan demikian, dapat mencegah timbulnya dispepsia (Djojodiningrat 2001).
Pada kelompok kasus dibandingkan kontrol secara signifikan lebih banyak yang
memiliki kebiasaan minum teh, kopi, minuman berkarbonasi, mengkonsumsi makanan
pedas, makanan atau minuman asam, dan mengkonsumsi suplemen (p<0.05). Namun
kebiasaan minum teh, kopi, maupun kombinasinya (kombinasi teh, kopi, dan minuman
berkarbonasi), makan makanan pedas, dan mengkonsumsi suplemen tidak
berhubungan nyata terhadap gejala gangguan lambung.
Minuman berkarbonasi yang banyak dikonsumsi adalah cola, sedangkan minuman
asam adalah minuman berperisa buah (menggunakan perisa dan asam sitrat) dan gula
asam siap saji. Kebiasaan minum minuman berkarbonasi dan mengonsumsi makanan
asam berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0.05). Kebiasaan minum
minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR=
6.91; CI 95%: 1.42 hingga 33.52), demikian pula kebiasaan mengonsumsi makanan
asam (OR=9.12; CI 95%:
1.13 hingga 73.74). Makanan asam merupakan makanan yang merangsang organ
pencernaan dan secara langsung dapat mengikis mukosa lambung. Makanan asam
merangsang sekresi asam lambung berlebihan dan dapat merangsang
peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu
timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan (Harahap 2009).
Minuman berkarbonasi bersifat asam, memiliki pH sangat rendah (3-4). Dalam
minuman berkarbonasi juga ditambahkan kafein yang memiliki efek yang sama
dengan kafein yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal
adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam
lambung, mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap mukosa lambung, dan
dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter (LES), katup antara lambung
dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan.
Pada kelompok kasus lebih banyak yang menderita defisiensi vitamin A
dibandingkan pada kontrol (p<0.05). Sebanyak 80% kelompok kasus dan 88.3%
kontrol berada pada kategori defisit asupan vitamin C. Pada kelompok kasus lebih
banyak yang mengkonsumsi lemak >30% AKG energi, sedangkan kelompok kontrol
sebaliknya. Hampir keseluruhan contoh (98.3%) pada kelompok kasus dan kontrol
mengkonsumsi natrium dalam jumlah cukup, tetapi masih defisit konsumsi kalium
(97.5%). Tingkat kecukupan vitamin C, konsumsi natrium, dan kalium antara kasus
dan kontrol secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05). Konsumsi lemak
berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia, yaitu contoh yang mengonsumsi
lemak
kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR=5.68;
CI 95% :
1.41 hingga 22.56). Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar pada konsumsi
lemak contoh adalah susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan pangan yang
mengandung lemak rantai pendek dan sedang (MCT), baik susu maupun telur adalah
pangan hewani yang memiliki daya cerna tinggi. Konsumsi lemak dalam jumlah yang
cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan
lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian
lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal. Lemak
rantai pendek dan sedang (MCT) berkontribusi positif dalam mengurangi frekuensi
munculnya gejala gangguan lambung atau dispepsia (Thomson 2008).
Pada kelompok kasus hanya 10% contoh dan 3.3% pada kelompok kontrol yang
memiliki kebiasaan merokok. Demikian pula terhadap kebiasaan minum alkohol tidak
banyak dijumpai pada kedua kelompok. Kedua variabel ini tidak berhubungan dengan
gejala dispepsia.
Berdasarkan kategori aktivitas fisik (termasuk di dalamnya kebiasaan olahraga
contoh), pada kelompok kasus termasuk kategori aktif (75.0%), sedangkan kelompok
kontrol tidak aktif (51.7%). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko
mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR=7.03; CI 95%: 0.87
hingga 56.89). Menurut Bredbenner et al (2009) olahraga yang teratur membantu
menguatkan jantung, meningkatkan peristaltik saluran gastrointestinal, menurunkan
stres, dan mengontrol berat badan. Peran olahraga adalah menurunkan risiko terjadinya
penyakit. Olahraga juga membantu mengatasi stres sehingga membantu mengontrol
sekresi asam lambung dan menurunkan risiko terjadinya dispepsia.
Jenis obat-obatan tertentu memiliki efek samping menyebabkan gejala mual,
kembung, muntah, gastritis, hingga tukak. Obat anti nyeri (misalnya: aspirin, neuralgin,
parasetamol, dll), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid
(hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa
jenis obat yang memiliki efek samping pada lambung. Terdapat dua mekanisme obat
antinyeri atau analgesik yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak
langsung pada saluran cerna. Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam akan
langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua, inhibisi atau hambatan terhadap
pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa lambung.
Prostaglandin bersifat protektif terhadap mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat
karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya respon inflamasi dan rasa
nyeri. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53.3%) dan kontrol (84.0%)
termasuk dalam kategori bukan pengguna obat dokter harian (kurang dari
tablet/kapsul/kaplet per minggu). Konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata
dengan frekuensi gejala dispepsia (p>0.05).
Terdapat 33.3% contoh kelompok kasus memiliki kebiasaan mengonsumsi antasida, dan
tidak pada kelompok kontrol. Kebiasaan mengonsumsi antasida berhubungan nyata
dengan frekuensi dispepsia, yaitu semakin sering frekuensi dispepsia contoh akan
mengonsumsi antasida untuk mengurangi gejala tersebut (OR=8.14; CI 95%: 2.19
hingga 30.26). Penderita dispepsia sering menggunakan obat-obatan penekan sekresi
asam lambung untuk mengatasi gejala-gejala yang muncul. Antasida merupakan obat
yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik.
Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung
alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kadangkadang disertai simetikon
untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut dapat
berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terdapat pada makanan atau obat
tertentu. Zat aktif pada antasida (magnesium dan alumunium) akan bersaing dengan
mineral lainnya yang memiliki valensi sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium
(Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika
dikonsumsi bersamaan akan saling menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering
mengkonsumsi antasida akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral
tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada
anemia (Almatsier 2002).
Kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol (p<0.05). Tingkat stres berhubungan nyata dengan gejala dispepsia,
yaitu semakin tinggi tingkat stres akan berhubungan dengan sering munculnya gejala
dispepsia (OR= 7.03; CI 95%: 0.87 hingga 56.89). Stres erat kaitannya dengan berbagai
rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Berbagai gangguan mekanisme
hormonal (penurunan serotonin dan katekolamin, peningkatan asetilkolin) akan
menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan
peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan hiperasiditas
lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan tukak peptik.
Hiperasiditas lambung dan meningkatnya cadangan glukosa darah (akibat pengaruh
hormonal) menyebabkan berkurangnya nafsu makan sehingga mendorong makan
menjadi tidak teratur. Makan tidak teratur merupakan salah satu penyebab munculnya
dispepsia (Tarigan 2003).
Faktor herediter yaitu berupa riwayat penyakit keluarga dan golongan darah contoh
tidak berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala dispepsia. Hampir semua
penyakit memiliki unsur hereditas (genetik atau turunan). Sebanyak 76.7% contoh pada
kelompok kontrol dan 40% pada kelompok kasus tidak memiliki riwayat penyakit
keluarga yang berupa gastritis maupun tukak peptik. Riwayat penyakit gastritis paling
banyak ditemukan pada ibu contoh, yaitu 43.3% pada kelompok kasus dan 40% pada
kelompok kontrol yang memiliki golongan darah O. Terdapat perbedaan yang nyata
(p<0.05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kontrol, sedangkan pada
riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, nenek, dan golongan
darah contoh tidak berbeda nyata (p>0.05). Beberapa studi menunjukkan bahwa
kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis
(misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan gastritis dan tukak
peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Golongan darah O memiliki kecenderungan untuk
terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik
(ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam
lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain (D’Adamo 2002).
Faktor risiko terhadap frekuensi gejala dispepsia adalah frekuensi makan lebih dari
dua kali per hari (OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum minuman
berkarbonasi lebih dari tiga botol kecil per minggu (OR=8.95; CI 95%: 1.27 hingga
63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37). Semakin jarang frekuensi
makan (< 2 kali per hari), memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi (> 3 botol
per minggu), dan semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko untuk
mengalami dispepsia. Berdasarkan penelitian Reshetnikov et al. (2007), jeda jadwal
makan yang terlalu lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala
dispepsia. Minuman berkarbonasi bersifat asam dengan pH sangat rendah (3-4)
sehingga berisiko mengikis mukosa lambung, selain itu kandungan kafein di dalamnya
juga mempengaruhi sekresi asam lambung. Stres berkaitan dengan terjadinya dispepsia
karena perubahan berbagai mekanisme hormonal sehingga menimbulkan
hiperasimtomatik saluran gastrointestinal.
Penelitian ini menyimpulkan frekuensi dispepsia pada kelompok kasus lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok control (p<0.05). Riwayat gangguan lambung,
keteraturan makan, frekuensi makan, kebiasaan minum berkarbonasi, dan konsumsi
lemak berhubungan nyata dengan frekuensi munculnya dispepsia (p<0.05). Contoh
yang makan tidak teratur, frekuensi makan < 2 kali per hari, biasa minum berkarbonasi
>3 kali per minggu, dan mengkonsumsi lemak <30% AKE lebih berisiko mengalami
dispepsia lebih sering.
Bagian terbesar aktivitas fisik contoh pada kelompok kasus termasuk kategori aktif,
sedangkan pada kelompok kontrol termasuk tidak aktif. Contoh yang tidak aktif lebih
berisiko mengalami dispepsia (p<0.05).
Pada kelompok kasus cenderung memiliki kebiasaan mengonsumsi obat-obatan dan
antasida. Kebiasaan mengonsumsi antasida berhubungan nyata dengan frekuensi
dispepsia yang dialami (p<0.05). Pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semakin tinggi tingkat stres
contoh berhubungan dengan semakin sering muncul dispepsia. Faktor hereditas seperti
riwayat penyakit keluarga dan golongan darah tidak berhubungan dengan frekuensi
munculnya dispepsia.
Analisis multivariat faktor risiko terhadap dispepsia adalah frekuensi makan
(OR=0.08; CI 95%: 0.02 hingga 0.45), kebiasaan minum berkarbonasi (OR=8.95; CI
95%: 1.27 hingga 63.23) dan tingkat stres (OR=1.22; CI 95%: 1.06 hingga 1.37). Contoh
yang semakin jarang frekuensi makan, biasa minum berkarbonasi, dan semakin tinggi
tingkat stres, maka akan semakin berisiko menderitata dispepsia.
Penelitian ini menyarankan mahasiswa agar makan secara teratur dan menerapkan
makan lebih dari dua kali per hari lebih baik untuk membantu lambung beradaptasi
sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Membatasi minuman dan makanan iritatif,
terutama minuman berkarbonasi. Meminimalkan stres diperlukan untuk mencegah
timbulnya gangguan-gangguan kesehatan akibat perubahan fisiologis maupun biokemis
akibat stres, termasuk dispepsia.

DAFTAR PUSTAKA

Carvalho RVB, Lorena SLS, Almeida JRD, Mesquita MA. (2008). Food Intolerance, diet
Composition, and Eating Patterns in Functional Dyspepsia Patients. Journal of
Digestive Disease and Science 55:60–65. Diakses 18 Januari 2011.
Choi S, Lim YJ, Park SK. (2006). Risk Factor for Analysis for Metaplastic Gastritis in
Koreans. World Journal of Gastroenterology 12 (16): 2584-2587. Diakses 11 Agustus
2010.
Dwijayanti H, Ratnasari N, dan Susetyowati. (2008). Asupan Natrium dan Kalium
Berhubungan dengan Frekuensi Gejala Sindrom Dispepsia Fungsional. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia Vol. 5 No 1: 36-40.
Ettinger S. (2000). Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam Mahan
LK dan Escott-stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 11 th
Edition. Philadelphia: Saunders hlm. 37-73.
Gibson R.S. (2005). Principles of Nutritional Assement Second Edition. Oxford:
University Press.
Laela N. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Stres pada Anak Usia
Sekolah Dasar yang Sibuk dan Tidak Sibuk [skripsi]. Bogor: Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Mcintosh JH, Byth K, dan Piper W. (1985). Environmental Factors in Aetiology of
chronic Gastric Ulcer: Use Control Study of Exposure Variables Before The Fisrt
Symptomps. Gut 1985 (26): 789-798. http://www.gut.org Diakses 11 Agustus 2010.
Reshetnikov OV et al. Prevalence of Dyspepsia and Irritable Bowel Syndrome Among
Adolescent of Novobirsk, Institut of Internal Medicine of Rusia. Int. J. Circumpolar
Health 60 (2):253.
Riccardi VM dan Rotter JI. (2004). Familial Heliobacter pylori Infection: Societal
Factors, Human Genetics, and Bacterial Genetics. Ann Intern Med. 120 (12): 1043-
104].
Suyono S. (2001). Ilmu Penyakit Dalam Ed III: Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Tarigan CJ. (2003). Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan
Dispepsia Organik. Medan: Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara.
[USDHHS] United State, Department of Health and Human Services. (2008). Physical
Activity Guidelines for Americans. http://www. Health.gov.pagegudelines. Diakses 28
juli 2010.

You might also like