You are on page 1of 13

SENYAWA POPs DI ATMOSFER: TOXAPHENE

Anissa Rizky Faradilla


Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap Dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti.
Jl. Kyai Tapa No.1, Gedung K, Jakarta 11440, Indonesia
E-mail : anissa_faradilla@yahoo.com

Abstract
Persistent Organic Pollutants (POPs) are organic compounds that can last a relatively long time in the environment
because of the difficulty of these compounds are degraded through chemical processes , biological , and photolysis.
One type a dangerous POPs is Toxaphene. Toxaphene was first introduced in 1947 and was probably the most heavily
used pesticide in the United States during the 1970s after DDT was banned. Measurement of POPs including
toxaphene can be done by using the Global Air Passive Sampling method ( GAPS ), Tree Bark Sampling Procedure,
and High Volume Air Sampling method. The results showed concentrations of endosulfan compounds (I endo, endo II,
and endoSO4) measured at Kototabang Hill is the highest, includes 45.5% in 2005 and jumped to 76.4% in 2006 of
total concentrations of POPs measured. In an effort to control POPs including toxaphene, organized by the Stockholm
convention. Stockholm Convention on POPs is an international agreement that was initiated by the Governing Council
of the United Nations Environment Programme ( UNEP ) as main efforts in addressing POPs and wary at the same
time improve human health and the environment . As a form of concern about the use of POPs, Indonesia also signed
the Stockholm Convention, and is currently in the process of ratification is one of the requirements is the preparation of
the National Implementation Plan documents ( NIP , the National Implementation Plan ) which was passed by the
government .
Keywords: POPs, Toxaphene, Passive Air Sampler,Tree Bark sampling, High Volume Sampler, Stockholm Convention

Abstrak
Persistent Organic Pollutants (POPs) merupakan senyawa organik yang relatif dapat bertahan lama di lingkungan
karena sulitnya senyawa-senyawa ini terdegradasi baik melalui proses kimia, biologi, dan fotolisis. Salah satu jenis
POPs yang berbahaya adalah Toxaphene. Toxaphene pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dan mengalami
kenaikan produksi sebagai pestisida pada tahun 1960 setelah DDT dilarang di AS. Pengukuran POPs termasuk
toxaphene dapat dilakukan dengan menggunakan 3 metode, yaitu metode Global Air Passive Sampling (GAPS),
metode Tree Bark Sampling Procedure, dan metode High Volume Air Sample. Hasil penelitian menunjukkan
konsentrasi senyawa endosulfan (endo I, endo II, dan endoSO4) yang terukur di Bukit Kototabang merupakan yang
tertinggi, mencakup 45,5% pada tahun 2005 dan melonjak menjadi 76,4% pada tahun 2006 dari total konsentrasi POPs
yang terukur. Sebagai upaya pengendalian senyawa POPs termasuk toxaphene, diselenggarakan konvensi Stockholm.
Konvensi Stockholm tentang POPs adalah sebuah perjanjian internasional yang diprakarsai oleh the Governing Council
of the United Nations Environment Programme (UNEP) sebagai usaha utma dalam menyikapi dan mewaspadai POPs
sekaligus meningkatkan taraf kesehatan manusia dan lingkungan. Sebagai bentuk keprihatinan tentang penggunaan
senyawa POPs, Indonesia juga ikut menandatangani Konvensi Stockholm, dan saat ini sedang dalam proses ratifikasi
yang salah satu persyaratannya adalah penyusunan dokumen Rencana Penerapan Nasional (NIP, National
Implementation Plan) yang disahkan oleh pemerintah.
1.

Pendahuluan
Persistent Organic Pollutants (POPs)
merupakan senyawa organik yang relatif dapat
bertahan lama di lingkungan karena sulitnya
senyawa-senyawa ini terdegradasi baik melalui
proses kimia, biologi, dan fotolisis. Senyawa ini
sukar larut di dalam air tetapi cenderung larut
dalam lemak. Oleh karena sifatnya ini, POPs
cenderung bersifat akumulatif dan selalu terdapat
di lingkungan. Selain itu, senyawa ini juga bersifat
semi volatil sehingga dapat berada dalam fase uap
ataupun terserap di dalam partikel debu, sehingga

POPs dapat menempuh jarak yang jauh di udara


(long-range air transport) sebelum akhirnya
terdeposisi di bumi (Ritter et al., 2007). Pada
tahun 2001, United Nations Environment
Programme (UNEP) melalui sebuah konvensi
yang dilaksanakan di Stockholm, Swedia,
melahirkan
suatu
persetujuan
mengenai
pengendalian emisi POPs yang berbahaya bagi
makhluk hidup dan lingkungan (Ritter et al, 2005).
Awalnya, ada 12 senyawa kimia yang
diklasifikasikan sebagai POPs berdasarkan
sifatnya yang resisten di lingkungan, bioakumulasi

di dalam makhluk hidup, dan memiliki toksisitas


yang tinggi (Rodan et al., 1999). Dari 12 senyawa
tersebut, sembilan diantaranya merupakan
senyawa yang terkandung dalam pestisida, yaitu
aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin,
heptachlor, hexachlorobenzene, mirex, dan
toxaphene. Satu senyawa merupakan hasil dari
industri kimia, yaitu polychlorinated biphenyls
(PCB),
sedangkan
dua
senyawa,
yaitu
polychlorinated
dibenzo-p-dioxins
dan
polychlorinated dibenzofurans merupakan hasil
samping dari industri kimia (Rodan et al, 1999).
Keberadaan POPs di alam, baik yang
terkandung di daratan, perairan, dan atmosfer,
sudah menjadi perhatian para peneliti. Hal ini
terkait dengan sifat POPs yang dapat bertahan
lama di lingkungan dan juga tingkat toksisitasnya
yang tinggi, sehingga keberadaan POPs menjadi
masalah yang pelik, baik bagi lingkungan maupun
makhluk hidup. Penelitian yang dilakukan
Simonich dan Hites (1995) pada lebih dari 200
sampel kulit kayu yang dikumpulkan dari 90
lokasi di seluruh dunia menunjukkan konsentrasi
POPs yang cukup tinggi di hampir semua jenis
lokasi pengambilan sampel, baik di negara-negara
industri maju maupun di negara berkembang.
Bahkan, meskipun beberapa senyawa seperti DDT
dan -HCH sudah dilarang penggunaannya di
banyak negara (Semeena & Lammel, 2005),
namun konsentrasi yang terukur masih cukup
signifikan. Sementara itu, ancaman senyawa POPs
bagi makhluk hidup adalah sifat bioakumulatifnya
di dalam jaringan lemak sehingga konsentrasi
senyawa ini dapat bertambah melalui proses rantai
makanan (Pozo et al., 2006). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lee et al. (2006) memperlihatkan
adanya hubungan yang erat antara tingginya
konsentrasi POPs pada penderita penyakit
diabetes.
Terdistribusinya konsentrasi POPs hingga
ke daerah yang bukan sumbernya dipengaruhi oleh
kemampuan POPs menempuh jarak yang jauh di
atmosfer sebagai akibat tingkat volatilitasnya.
Senyawa POPs yang bersifat semi volatil
menyebabkannya dapat berpindah baik dalam
bentuk gas ataupun dalam bentuk partikelnya.
POPs yang lebih volatil, yaitu golongan
organoklorida, cenderung berpindah dalam bentuk
gas sehingga penyebarannya lebih terbatas ke
daerah yang tidak terlalu jauh dari sumber
emisinya, sementara POPs yang kurang volatil
seperti
golongan
senyawa
hidrokarbon
poliaromatik mengalami perpindahan sebagai
partikel yang bergerak bersamaan dengan aliran
massa udara (Fernndez & Grimalt, 2003).
Salah satu jenis POPs yang berbahaya
adalah Toxaphene. Toxaphene adalah nama
dagang untuk pestisida organoklorin yang terdiri

dari campuran setidaknya 670 diklorinasi


camphenes (C10H16Cl2) dengan kandungan
klorin keseluruhan 67-69% berat. Sebagian besar
senyawa ditemukan di Toxaphene memiliki rumus
kimia mulai dari C10H11Cl5 sampai C10H6Cl12,
dengan formula rata-rata C10H10Cl8. Bobot
rumus senyawa ini berkisar 308-551 gram / mol.
Rumus rata-rata teoritis memiliki nilai 414 gram /
mol. Karena sifat lipofilik dan volatilenya, bahan
kimia ini dapat terakumulasi dalam hewan dan
jaringan manusia dan terus menjadi kontaminan
utama dalam laut dan biota air tawar (Gray Davis,
Winston H. Hickox, 2003).
Toxaphene adalah campuran kompleks
bahan kimia yang pembuatannya dimulai dengan
pinus tar untuk membuat Camphene. Camphene
itu kemudian dicampur dengan klorin. Campuran
yang dihasilkan memiliki lebih dari 600 spesies
kimia yang berbeda, tergantung pada sumber
Camphene dan jumlah klorin ditambahkan.
Biasanya, sekitar 200 bahan kimia utama untuk
membuat toxaphene. Di lingkungan beberapa
bahan kimia ini dapat menyebabkan kerusakan
dengan cepat. Rata-rata waktu paruh untuk
senyawa ini terdegradasi adalah sekitar 10-14
tahun.
Toxaphene digunakan terutama sebagai
insektisida untuk kapas, jagung, biji-bijian kecil,
buah-buahan, sayuran, dan kedelai serta untuk
ektoparasit kontrol pada ternak misalnya, kutu,
lalat, dan tungau kudis dan membunuh spesies
ikan yang tidak diinginkan dalam danau dan
sungai.
Toxaphene juga dapat dilepaskan ke
lingkungan sebagai produk sampingan yang tidak
disengaja dari proses manufaktur yang melibatkan
klorinasi, seperti yang digunakan untuk
pembuatan kertas dan pulp.
Sejarah Penggunaan Toxaphene
Toxaphene pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1948, dan penggunaanya pertamakali
sebagai insektisida pada tahun 1950 (Blair & Hoar
Zahn, 1993; Agency for Toxic Substances and
Disease Registry, 1998; FAO/UNEP, 1999).
Toxaphene adalah salah satu insektisida yang
paling banyak digunakan di Amerika Serikat,
meskipun hanya digunakan secara terbatas di
Kanada. Toxaphene digunakan terutama untuk
mengendalikan serangga hama pada tanaman
kapas, biji-bijian kecil, buah-buahan, sayuran, dan
kedelai. Toxaphene juga digunakan untuk
mengendalikan hama pada ternak dan membunuh
spesies ikan yang tidak diinginkan dalam danau
(Turner, W.V., Khalifa, S. & Casida, J.E, 1975).
Peningkatan
produksi
terjadi
di
Brunswick, Georgia terjadi pada akhir 1960
hingga 1970 awal ketika penggantian DDT dalam

formulasi dikombinasikan dengan metil parathion.


Toxaphene merupakan pestisida paling banyak
diproduksi di Amerika Serikat dengan volume
produksi maksimal 23.000 ton pada tahun 1973.
Awal tahun 1970 Toxaphene atau campuran dari
Toxaphene dengan rotenone digunakan secara luas
di danau dan sungai untuk menghilangkan
komunitas biologis yang dianggap merugikan
untuk olahraga memancing. Namun tidak lama
setelah itu, orang-orang menjadi khawatir tentang
toksisitas yang terkandung dalam toxaphene
(Turner, W.V., Khalifa, S. & Casida, J.E, 1975).
Toxaphene dapat terakumulasi dalam organisme
air dan tinggal di lingkungan selama bertahuntahun.
Ketika Toxaphene menjadi kontaminan
yang signifikan di Great Lakes pada akhir 1960an, penggunaannya dibatasi dan akhirnya
tersingkir di AS. Efek Toxaphene pada kesehatan
manusia dan hewan menyebabkan larangan
penggunaannya di Kanada dan Amerika Serikat
pada tahun 1982. Namun, toxaphene masih
digunakan di beberapa bagian dunia, terutama
untuk mengendalikan serangga pada tanaman
pisang dan nanas (Yang, C. & Chen, S. 1999).
Tabel 1.Identifikasi Sifat Fisik Dan Kimia
Toxaphene
Keterangan
Bentuk Molekul

Nama Kimia
Rumus kimia
Berat Molekul
Nilai CAS
Kode limbah
berbahaya EPA
Nama umum

Warna/Bentuk/Bau
Titik leleh
Tekanan uap air

Nilai Informasi

Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/File
:Toxaphen.svg
Toxaphene, campheclor,
chlorinated camphene
C10H10Cl8 (rata-rata mengandung
komponen klorin 6-9)
414 (rata-rata)
8001-35-2
P123
Agricide Maggot Killer, Altox,
Camphofene Huilex,
Geniphene, Hercules 3956,
Hercules Toxaphene, Motto,
Penphen, Phenicide, Phenatox,
Toxakil
Kuning/lunak, padat,
ringan/berbau
65-90oC
0,2-0,4 atau 4x10-6, 5x10-6,
3x10-7 mmHg pada 20oC

Keterangan
Nilai Informasi
Koefisien octanol
3,3 Log Kow
air (Kow)
Berat Jenis
1,65 pada 25oC
Kelarutan dalam
0,0003 gr/100 ml air
air
Sumber : Public Health Goals For Chemicals In
Drinking Water,Toxaphene 2003

2. Metode Penelitian
Transportasi dan Penyebaran Toxaphene
Rute dari paparan potensi untuk Toxaphene adalah
konsumsi, kontak kulit, dan inhalasi. Toxaphene
ditemukan di banyak bagian dunia, meskipun tidak
pernah digunakan di daerah itu. Toxaphene
menguap ke udara dan melakukan perjalanan pada
arus udara jarak jauh. Toxaphene tidak larut baik
dalam air, sehingga hal ini sangat mungkin
ditemukan di dalam tanah atau dalam sedimen di
dasar danau atau sungai yang juga ditemukan
dalam jaringan organisme akuatik. Toxaphene
memasuki lingkungan dan bertahan untuk waktu
yang lama karena bersifat persistant. Toxaphene
memiliki waktu paruh sampai 14 tahun di dalam
tanah (Swackhamer, D.L., Pearson, R.F. &
Schlotter, S.P. 1998).
Atmosfer adalah media lingkungan hidup
yang paling penting untuk pengangkutan
Toxaphene. Dalam perjalananya juga dapat
diangkut ke permukaan air dan tanah oleh deposisi
basah dan kering. Akibatnya, Toxaphene dapat
jatuh jauh dari lokasi pelepasan aslinya.
Meskipun pengunaannya telah dilarang di
Amerika Serikat pada tahun 1982, namun pada
tahun 2000, masih diperkirakan bahwa 15 juta
kilogram toxaphene masih terkandung di udara, air
dan tanah Amerika Utara dan bahwa lebih dari 25
% dari Toxaphene yang tersisa telah pindah
melalui transportasi atmosfer jarak jauh ke
wilayah
Great
Lakes,
Amerika
Utara
(Swackhamer, D.L., Pearson, R.F. & Schlotter,
S.P. 1998). Penelitian telah menunjukkan bahwa
orang-orang di Kutub Utara Kanada yang
mengkonsumsi ikan dan hewan laut sudah
terpapar
Toxaphene.
Konsentrasi
terbesar
Toxaphene di lingkungan utara ditemukan dalam
jaringan mamalia laut seperti paus dan anjing laut.
Toxaphene bisa masuk ke badan air dari limpasan
tanah dan juga dapat menguap dan diangkut ke
badan air melalui atmosfer (Swackhamer, D.L.,
Pearson, R.F. & Schlotter, S.P. 1998). Toxaphene
diserap oleh organisme terakumulasi dalam
jaringan lemak dan telah terbukti mempengaruhi
sistem saraf pusat dan hati.

Distribusi toxaphene di dalam tubuh


manusia dan lingkungan dapat dilihat pada gambar
1 dan 2 berikut.

Gambar 1. Transportasi Toxaphene Di Lingkungan


Sumber: http://andrypermana06.blogspot.com/2013/09/bab-ii-polusi.html

Gambar 2. Distribusi Toxaphene Pada Manusia


Sumber: Science and Technology 1(1):7-9. Suara Dari Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat
Metode Penelitian
Secara umum, pengukuran POPs termasuk
toxaphene dapat dilakukan dengan menggunakan
3 metode yaitu:
1.

Global Air Passive Sampling (GAPS)


Pengukuran konsentrasi POPs di Stasiun
Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit
Kototabang telah dilakukan sejak bulan Maret
2005. Pengukuran ini dilakukan melalui

kerjasama Stasiun Global Atmosfer Watch


(GAW) Bukit Kototabang melalui Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) dengan Environment Canada sebagai
bagian dari jaringan pasif sampling udara
secara global (Global Air Passive Sampling
Network). Sebagai stasiun referensi udara
bersih di Indonesia dan digolongkan dalam
kategori background area pada pengukuran
konsentrasi POPs, menarik untuk dilihat

bagaimana distribusi senyawa POPs baik


secara global maupun spesifik di SPAG Bukit
Kototabang.
Metode passive air sampler
Pengambilan sampel POPs dilakukan dengan
metode passive air sampler menggunakan
piringan PUF (Polyurethane Foam) yang
berdimensi diameter 14 cm; tebal 1,35 cm; luas
permukaan 365 cm2; berat 4,4 g; volume 207
cm3; kerapatan 0,0213 g cm-3. Piringan PUF
diletakkan dalam sangkar dengan dua kubah
berbentuk piring terbang (Gambar 3).
Metode passive air sampler merupakan
metode sampling udara dimana proses
pengumpulan
partikel
diperoleh
dari
banyaknya partikel yang tertahan di dalam
piringan PUF karena terbawa oleh angin
(Harner et al., 2006). Periode sampling
dilakukan tiap 3 bulan. Piringan PUF yang
telah diletakkan selama 3 bulan kemudian
dikemas di dalam wadah gelas yang ditutup
rapat. Sampel kemudian dikirim ke
Environment Canada untuk dianalisis lebih
lanjut. Analisis POPs meliputi senyawasenyawa seperti -HCH, -HCH, heptachlor,
heptachlor epoxide, trans-chlordane, cischlordane, trans-nonachlor, endosulfan I,
endosulfan II, endosulfan sulphate, dieldrin,
p,p-DDE, o,p-DDE, p,p-DDT, PCBs, aldrin,
dan PBDEs. Analisis piringan PUF
menggunakan
Kromatografi
Gas

Spektroskopi Massa (GC-MS) yang lebih


lanjut dijelaskan dalam Pozzo et al. (2004).

Metode Tree Bark Sampling


Procedure
Tahap awal pada proses sampling ini
adalah pemilihan pohon, pohon yang
diambil secara visual lebih tinggi dari
sekitarnya, ketinggian sampel pohon
yang diambil kulit kayunya sekitar 1-1,5
m di atas permukaan tanah, dan jarak
antar pohon yang diambil kulit kayunya
masing-masing sekitar 50 m. Pohon yang
diambil adalah pohon yang masih
hidup/tumbuh bukan yang sudah
ditebang.
Tahap kedua adalah pengambilan sampel
kulit kayu. Kriteria sampel kulit kayu
adalah berbentuk bujur sangkar dengan
ukuran 10x10 cm, berat sampel kulit
pohon tersebut minimal 100 gram dan
dibungkus dengan aluminium foil.
Setelah selesai kulit kayu ditimbang
dimasukkan ke aluminium foil dan
dikemas dalam plastik klip, dibungkus
dalam paket dan dikirimkan ke alamat
Amina Salamova di Amerika Serikat.
3.

Melalui kerjasama dengan Pusarpedal


(Pusat
Sarana
Pengendali
Dampak
Lingkungan)
dan
JESC
(Japan
Environmetal Sanitation Centre) pada 10-17
Desember 2012
Stasiun Pemantau Atmosfer Global
(GAW) Bukit Kototabang menjalin kerjasama
dengan Pusarpedal (Pusat Sarana Pengendali
Dampak Lingkungan/instansi di bawah Deputi
VII, Kementrian Lingkungan Hidup) dan JESC
(Japan Environmetal Sanitation Centre)
mengadakan monitoring POPs.

Gambar 3. Passive Air Sampler


Sumber: Science and Technology 1(1):7-9. Suara
Dari Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat
2.

pasak, timbangan, aluminium foil, kertas


cetakan ukuran 10x10 cm, sabit, plastik clip
untuk tempat sampel.

Tree Bark Sampling Procedure


Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW)
Bukit Kototabang menjalin kerjasama dengan
Universitas Indiana-Amerika Serikat untuk
melakukan pengambilan sampel senyawa
POPs (Persistant Organic Pollutans) dari kulit
kayu. Lokasi pengambilan sampling adalah
area hutan di sekitar stasiun Pemantau
Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang.
Peralatan yang dibawa adalah meteran, palu,

Metode High Volume Air Sampler


(HVAS)
Perbedaan mendasar dari metode ini
dibandingkan kedua metode sebelumnya
adalah pada metode ini sampel POPs diambil
secara aktif menggunakan High Volume Air
Sampler (HVAS) menggunakan pompa dan
sampel PUF ditambahkan larutan standar
(metode spiking) dengan larutan standar
Surrogate.
Ada beberapa tahapan dalam melakukan
monitoring POPs dengan metode ini:

o Perakitan HVAS
o Kalibrasi HVAS
o Preparasi Sampel
o Proses Sampling

Untuk metode analisis yang digunakan


untuk mengukur konsentrasi toxaphene, sangat
bervariasi tergantung sampel yang digunakan
seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2. Analis Pengukuran Toxaphene


Metode Pendahuluan

Metode
analisis

Sampel
Udara

Air
Minum
Air
Limbah
tanah

ASI
Manusia

Jaringan
Ikan

Jaringan
Manusia

Batas sampel
terdeteksi

Sumber

Koleksi sampel udara dalam kotak sampling udara


yang dilengkapi dengan prefilter dan etilena glikol;
pengenceran etilena glikol dengan air dan di ekstraksi
dengan heksana;ekstraksi prefilter dengan heksana;
penyatuan ekstrak sebelum pengeringan
Ekstraksi sampel dengan diklorometana,
penghapusan air dan pertukaran pelarut metil-t-butil
eter (Metode EPA 508)
Diekstrasi dengan dicholorometan

GC/ECD

0,234-0,926
g/m3

Thomas
and
Nishioka
1985

GC/ECD
atau GC/MC

0,001-0,01
g/L

EPA 1987a

GC/ECD

0,24 g/L

Ekstraksi sampel dengan pelarut organik atau


campuran pelarut organik, tergantung pada matriks
sampel, diikuti oleh open-kolom, pembersihan
kromatografi
Sentrifugasi sampel susu;pembekuan dan
pengeringan konsentrat lemak;pembubaran dalam
aseton dan pendinginan sampai -60C;kembali
pembubaran residu
heksana dan pengadukan dengan H2SO4 pekat;
pembersihan dengan menggunakan kolom silika gel
Ekstraksi jaringan dengan campuran heksana dan
aseton diikuti oleh ekstraksi kedua dengan heksana
dan dietil eter; penguapan dan pembubaran ekstrak
lipid dalam heksana; pengadukan ekstrak dengan
H2SO4 untuk menghilangkan lipid

GC/ECD
atau
GC/ECD

Tidak ada data

Hunt et al
1985
EPA 2007a

GC/ECD
atau
GC/NCIMS

100 g/g

Vaz dan
Blomkvist
1985

GC/NCIMS

Tidak ada data

Jansson
dan
Wildeqvist
1983

Maserasi jaringan menjadi bubur halus;


penambahan Na2SO4 anhidrat dan
aseton; filtrasi larutan
dan penambahan air dan Na2SO4 jenuh
metabolit); ekstraksi dengan kloroform; penambahan
5% KOH untuk ekstrak kloroform; ekstraksi dengan
air; removal air (Na2SO4); penguapan dan
pembubaran residu
dalam aseton

TLC

1 g/sampel

Tewari dan
Sharma
1977

Metode Pendahuluan

Metode
analisis

Sampel
Darah
Manusia

Penambahan sampel ke dalam larutan encer


H2SO4 dan 10% natrium tungstat; filtrasi larutan
dan mencuci residu dengan air; removal air dengan
(Na2SO4) dan ekstraksi dengan heksana;
penyaringan ekstrak melalui anhidrat Na2SO4 dan
penguapan sampai kering; pembubaran residu dalam
aseton

TLC

Batas sampel
terdeteksi
1g/sampel

Sumber
Tewari dan
Sharma
1977

Ket : GC = Gas Chromatograph; ECD = Electron Capture Detector; TLC = Thin Layer
Chromatograph; NCIMS = Negative Ion Chemical Ionization Mass Spectrometry; MC =
Microulometry

3. Hasil
Analisis sampel POPs memakan waktu
lebih kurang 18 bulan yang meliputi proses
pengumpulan sampel, analisis laboratorium,
sampai dengan publikasi data. Data yang
digunakan dalam tulisan ini adalah data hasil
pengukuran konsentrasi POPs di 53 lokasi (Tabel
3) pada tahun 2005, ditambah dengan data
konsentrasi POPs di Bukit Kototabang tahun 2006.
Data tersebut diperoleh dari hasil analisis sampel
POPs yang dilakukan oleh Environment Canada.
Data dari 53 lokasi sampel dibagi menjadi
beberapa kategori berdasarkan tipe masing-masing
lokasi, yakni background, agricultural, rural,
urban, dan polar. Tipe background untuk lokasi

yang berada di daerah terpencil dan jauh dari


aktivitas manusia. Tipe agricultural merupakan
daerah pedesaan yang berbasis pertanian. Tipe
rural merupakan daerah pinggiran kota atau
daerah pedesaan yang tidak berbasis pertanian.
Tipe urban merupakan daerah perkotaan dan
perindustrian. Tipe polar untuk daerah yang ada di
bagian Kutub Utara dan Selatan. Konsentrasi
POPs yang diperoleh dari tiap tipe sampling
dibandingkan. Khusus untuk konsentrasi POPs di
Bukit Kototabang, data yang digunakan adalah
data hasil pengukuran tahun 2005 dan 2006
dimana untuk data tahun 2006, terdapat
penambahan dua senyawa POPs yang diukur yaitu
aldrin dan o,p-DDE, sedangkan untuk PBDEs
tidak dilakukan analisis.

Tabel 3. Lokasi sampling POPs tahun 2005 (dikelompokkan menurut tipe dan urutan garis
lintang)

Sumber: Science and Technology 1(1):7-9. Suara Dari Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat

Stasiun Pemantau Atmosfer Global


(GAW) Bukit Kototabang dimasukkan dalam
kategori background area. Hasil pengukuran
konsentrasi POPs pada periode 2005 dan 2006
diperlihatkan oleh Tabel 4.
Pada tabel, terlihat bahwa nilai
konsentrasi toxaphene sebesar 189,2 ug/m3 pada
tahun 2005 dan menurun konsentrasi menjadi 2
ug/m3 pada tahun 2006. Sementara itu, POPs
paling dominan konsentrasinya yang terukur di
SPAG Bukit Kototabang adalah endosulfan I.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya,
golongan endosulfan merupakan POPs yang
penggunaannya masih relatif tinggi sehingga
sebanding dengan total emisi globalnya,
konsentrasi senyawaan endosulfan (endo I, endo
II, dan endoSO4) yang terukur di Bukit

Kototabang merupakan yang tertinggi, mencakup


45,5% pada tahun 2005 dan melonjak menjadi
76,4% pada tahun 2006 dari total konsentrasi
POPs yang terukur. Berdasarkan Tabel di atas
dapat dilihat total konsentrasi POPs pada tahun
2006 mengalami penurunan dibanding konsentrasi
pada tahun sebelumnya, yaitu lebih rendah 58,7%.
Penurunan paling drastis terjadi pada senyawa HCH dan heptachlor epoxide.

Tabel 4. Konsentrasi POPs di SPAG Bukit


Kototabang hasil pengukuran tahun 2005
dan 2006

Sumber: Environment Canada, N/A=tidak


dilakukan analisis

4. Pembahasan
Tinggi konsentrasi toxaphene di sekitar
SPAG Bukit Kototabang dikarenakan terdapat
banyak lahan pertanian dan perkebunan, dan
secara umum Indonesia sendiri merupakan negara
agraris sehingga potensi emisi toxaphene yang
digunakan sebagai pestisida cukup besar,
mengingat sampai saat ini, Indonesia masih belum
melarang penggunaan senyawa ini di bidang
pertanian dan banyaknya kasus keracunan dan
penyakit kanker yang disebabkan oleh senyawa ini
(Anonim, 2008). Adanya penurunan konsentrasi
toxaphene pada tahun 2006 dibanding tahun
sebelumnya, belum diketahui secara pasti apakah
penurunan ini terjadi karena emisi secara global,
karena proses pengumpulan dan analisis data
secara global untuk tahun 2006 masih terus
dilakukan oleh Environment Canada. Telah
disebutkan sebelumnya bahwa distribusi POPs
dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi seperti
suhu, arah, kecepatan angin, dan tekanan udara.
Namun demikian, sulit untuk dipastikan apakah
faktor-faktor tersebut juga menentukan besarnya
konsentrasi POPs yang terdistribusi termasuk
toxaphene.

Dampak Toxaphene
Toxaphene memiliki efek kesehatan
negatif pada manusia, termasuk penekanan pada
sistem kekebalan tubuh, efek negatif pada sistem
saraf pusat dan degenerasi ginjal dan hati pada
paparan jangka panjang (Samosh, L.V. 1974).
Toxaphene dapat masuk ke dalam tubuh melalui
paru-paru ketika manusia menghirup udara yang
mengandung toxaphene, atau dapat juga melalui
perut dan usus setelah makan makanan atau
minum air yang mengandung toxaphene dan
melalui kulit (Schwabe, U. & Wendling, I. 1967).
Toxaphene menumpuk di lemak manusia,
sehingga orang-orang yang paling berisiko adalah
mereka mengkonsumsi jumlah besar dari jaringan
lemak ikan, kerang atau mamalia laut (Smith, S.I.,
Weber, C.W. & Reid, B.L. 1970).
Studi pada hewan menunjukkan bahwa
Toxaphene masuk ke dalam tubuh dengan cepat
setelah terekspos (Allen, A.L., Koller, L.D. &
Pollock, G.A. 1983). Karena Toxaphene tidak larut
dalam air dan mudah berubah menjadi uap maka
rute yang paling signifikan dari eksposur adalah
melalui atmosfer yang mungkin akan terhirup.
Selain itu, kontak dengan tanah yang
terkontaminasi
toxaphene
juga
dapat
mengakibatkan eksposur yang signifikan bagi
sebagian orang seperti, anak-anak. Toxaphene
dapat masuk ke dalam tubuh lebih cepat jika
diambil setelah makan berat dalam minyak karena
minyak membantu Toxaphene bergerak dari perut
ke dalam darah (Chernoff, N. & Carver, B.D.
1976).
Beberapa komponen Toxaphene sangat
lipofilik dan memperburuk kerja metabolisme,
komponen ini dapat terakumulasi dalam lemak
tubuh. Dampak akut Toxaphene melalui makanan
yang terkontaminasi dapat menyebabkan kematian
pada orang dewasa dan anak-anak dengan
perkiraan dosis mematikan minimal 2 sampai 7 g ,
yang setara dengan 29-100 mg/kg untuk laki-laki
dewasa. LD50 nilai dalam tikus adalah 80 mg / kg
untuk perempuan dan 90 mg/kg untuk laki-laki.
Efek hati dan ginjal serta periode kehilangan
memori juga telah diamati dalam manusia setelah
eksposur oral tunggal yang besar. Pada hewan,
organ yang paling sensitif adalah hati. Toksisitas
ke sistem saraf pusat, ginjal, dan kelenjar adrenal
juga telah diamati. Toksisitas paparan kronis
toxaphene dapat mengakibatkan kerusakan pada
organ dan sistem hati, ginjal, adrenal, imunologi,
dan neurologis. Paparan kronis Toxaphene
mungkin menyebabkan perubahan hormonal.
Beberapa efek samping dari Toxaphene yang tidak
terjadi dengan paparan tunggal dapat terjadi akibat
paparan berulang dengan total dosis kumulatif
yang lebih rendah. Eksposur pada 0.06 mg / kg
lebih dari 5 minggu menyebabkan pengurangan

hormon adrenal, sedangkan dosis tunggal 16 mg /


kg tidak tidak menimbulkan efek. Wanita yang
terkena Toxaphene akan memberikan dampak
penyimpangan kromosom pada kultur limfosit
daripada wanita yang tidak terpajan. Toxaphene
memiliki potensi menyebabkan tumor kanker
payudara pada wanita. Karena sifat toxaphene
terakumulasi dalam tubuh jaringan, akibatnya,
pada wanita hamil paparan yang terjadi sebelum
kehamilan dapat berkontribusi pada ibu secara
keseluruhan beban tubuh dan mengakibatkan
paparan berkembang secara individual .
Toxaphene dikenal akan cepat sampai ke ASI
setelah paparan ibu hamil Oleh karena itu, perlu
untuk mengurangi paparan anak-anak dan wanita
subur untuk mengurangi potensi beban tubuh
secara keseluruhan.
Pada awal 1990-an, konsentrasi tinggi
Toxaphene ditemukan dalam jaringan ikan di
beberapa danau Yukon, Columbia. Efek toksik
utama Toxaphene pada hewan adalah pada sistem
saraf (Crowder, L.A. & Dindal, E.F. 1974) . Ikan
sangat sensitif dan menjadi hiperaktif, menderita
kejang otot dan kehilangan keseimbangan mereka
(Schmitt, C.J., Zajicek, J.L., May, T.W. &
Cowman, D.F. 1999). Pada hasil studi yang diuji
cobakan
pada
hewan,
toxaphene
tidak
mengganggu kesuburan pada hewan percobaan di
dosis yang diuji (sampai 25 mg/kg). Efek
perkembangan merugikan yang terjadi adalah
perubahan dalam enzim dalam ginjal dan hati serta
tertundanya perkembangan tulang. Dampak
merugikan lainnya dicatat dalam keturunan hewan
maternal terkena termasuk perubahan histologis
dalam hati, tiroid, dan ginjal (Schrader, T.J.,
Boyes, B.G., Matula, T.I., Hroux-Metcalf, C.,
Langlois, I. & Downie, R.H. 1998).
Tabel 5 menunjukkan rute paparan
toxaphene dan dampaknya terhadap kesehatan.
Tabel 5. Jalur Toxaphene Masuk Tubuh,
Toksisitas Dan Dampak Kesehatan
Senyawa
POPs
Toxaphene

Rute
Paparan
Ingesti,
dari
konsumsi
makanan
yang
terkontami
nasi, Air
dan Udara
yang
terkontami
nasi
toxaphene

Toksisitas
LD50 dari
740 mg/kg

Dampak
Kesehatan
Penyebab
kanker
pada
manusia
(USEPA),
kerusakan
hati, paruparu,
sistem
syaraf dan
kematian
pada dosis

10

yang besar
Sumber : WWF, 2005; Ritter et al 1995
Dampak Toxaphene Terhadap Perubahan
Iklim
Kaitannya dengan perubahan iklim,
penyebaran toxaphene di lingkungan akan
semakin meluas. Dengan adanya perubahan iklim
yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara,
maka senyawa toxaphene yang terbawa ke kutub
oleh perjalanan jarak jauh karena distilasi global,
yang semula tersimpan dalam es, maka akan ikut
kembali ke perairan seiring dengan mencairnya es
di kutub utara. Kembalinya toxaphene ke dalam
perairan ini akan menyebabkan dampak panjang
lagi penyebaran toxaphene di dalam air dan
menyebabkan waktu paruh toxaphene semakin
panjang.
Upaya Pengendalian
Toxaphene adalah salah satu dari 12
bahan pencemar organik yang persisten, sedang
dilakukan pertimbangan internasional dalam
mengurangi atau menghilangkan toxaphene di
bawah konvensi global (FAO/UNEP, 1999). Pada
negosiasi bulan September 1999, pemerintah
setuju untuk berpartisipasi dalam penghapusan
penggunaan Toxaphene dan dua pestisida
diklorinasi lainnya yaitu aldrin dan endrin.
Kemudian pada Desember 2000, tiga pestisida
diklorinasi lainnya juga telah dihapus, yaitu
chlordane, heptaklor dan hexachlorobenzene
(Hogue, 2000).
Pada tahun yang sama, toxaphene
dianggap sebagai bahan berbahaya dan
persyaratan khusus telah ditetapkan untuk
menandai, pelabelan, dan mengangkut bahan ini
oleh Environmental Protection Agency (EPA).
Pada tahun 2000 EPA juga menetapkan tingkat
kontaminan maksimum untuk toxaphene dalam air
minum adalah 0,003 mg / L. Clean Air Act Juga
telah menetapkan Emisi Standar Nasional Polutan
Udara Berbahaya untuk toxaphene (EPA,
Toxaphene Update: Impact on Fish Advisories,
1999)
Secara
umum,
sebagai
upaya
pengendalian senyawa POPs termasuk toxaphene,
diselenggarakan konvensi Stockholm. Konvensi
Stockholm tentang POPs adalah sebuah perjanjian
internasional yang diprakarsai oleh the Governing
Council of the United Nations Environment
Programme (UNEP) sebagai usaha utama dalam
menyikapi dan mewaspadai POPs sekaligus
meningkatkan taraf kesehatan manusia dan
lingkungan (United Nations Environmental
Program, 2001; UNEP Chemicals 2001).
Sebagai langkah awal yang dilakukan
UNEP adalah dengan membuat suatu penugasan

internasional
pada
Mei
1995
untuk
menginventarisir dan menganalis 12 macam POPs.
Tugas tersebut sekaligus diimplementasikan
dengan adanya usulan dari the Intergovernmental
Forum on Chemical Safety (IFCS) untuk segera
melaksanakan tindakan internasional sebagai
langkah nyata dalam menyikapi POPs. Pada
tanggal 22-23 Mei 2001 dihasilkannya Konvensi
Stockholm dalam perundingan yang dibicarakan
dalam Conference of Plenipotentiaries di
Stockholm, Swedia sebagai bentuk jawaban dari
keseriusan masyarakat internasional dalam
menyikapi maraknya POPs yang tertimbun dalam
alam.
Konvensi Stockhom tentang POPs
diratifikasi oleh 151 negara dunia dalam
mewujudkan bentuk keprihatinan dan bentuk
kesadaran akan arti pentingnya kesehatan
manusia, terutama dalam negara berkembang.
(Wahyu, 2001) mengatakan bahwa,
Konvensi Stockholm tentang POPs mewajibkan
setiap negara anggota Konvensi untuk :
1. Mengupayakan
tindakan
untuk
mengurangi atau menghentikan pelepasan
dari produksi dan penggunaan secara
sengaja POPs sebagai bahan (aldrin,
klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor,
mireks, toksafen, heksaklorobenzena, dan
PCB);
2. Mengembangkan dan melaksanakan
rencana tindak untuk mengidentifikasi
sumber dan mengurangi pelepasan POPs
tak sengaja (PCDD/polychlorinated
dibenzo-p-dioxins,
PCDF/polychlorinated
dibenzofurans,
PCB, dan HCB, selanjutnya diistilahkan
sebagai UPOPs/unintentionalPOPs);
3. Mengupayakan
tindakan
untuk
mengurangi atau menghentikan pelepasan
UPOPs;
4. Mengurangi/menghentikan
pelepasan
POPs dari timbunan bahan dan limbah;
5. Mempertukarkan
informasi,
menumbuhkan
kesadaran,
dan
meningkatkan pendidikan masyarakat;
6. Mengembangkan
strategi
untuk
mengidentifikasi,
sedapat-dapatnya,
timbunan dari semua jenis POPs dan
produk yang mengandung POPs;
7. Melaksanakan penelitian, pengembangan,
dan pemantauan; dan
8. Mengembangkan
rencana
untuk
melaksanakan kewajibannya kepada
Konvensi dan dalam waktu dua tahun
setelah berstatus Para Pihak.
Selain
upaya
preventif,
upaya
pengendalian toxaphene yang telah terjadi,
beberapa negara di Amerika telah menetapkan

11

pelarangan untuk mengkonsumsi makanan laut


bagi ibu hamil dan anak-anak. Pembatasan untuk
mengkonsumsi makanan laut juga dilakukan untuk
masyarakat tanpa perlakuan khusus, agar dampak
penimbunan toxaphene di dalam jaringan manusia
dapat diminimalisir.
Peran Indonesia Dalam Pengendalian
Sebagai bentuk keprihatinan tentang
penggunaan senyawa POPs, Indonesia juga ikut
menandatangani Konvensi Stockholm, dan saat ini
sedang dalam proses ratifikasi yang salah satu
persyaratannya adalah penyusunan dokumen
Rencana Penerapan Nasional (NIP, National
Implementation Plan) yang disahkan oleh
pemerintah. NIP diserahkan kepada pihak
konferensi (COP, Conference of Parties) dalam
waktu dua tahun setelah Indonesia mengikatkan
diri pada Konvensi (Wahyu, 2001).
Republik
Indonesia
berkomitmen
menyusun dokumen NIP ini sebagai kerangka
kerja
program dalam
menyusun
dan
memformulasikan kebijakan, peraturan, kegiatan
pembangunan kapasitas untuk kelembagaan
maupun sumber daya manusia, program investasi,
strategi, dan program yang memuat tindakan bagi
pemenuhan kewajiban Konvensi dalam rangka
mengurangi atau menghentikan pelepasan POPs di
Indonesia. NIP disusun berdasarkan kesepakatan
rencana tindak prioritas oleh stakeholder (terdiri
atas berbagai sektor, perguruan tinggi, dan
lembaga swadaya masyarakat) pada bulan Maret
2005, dilanjutkan dengan serangkaian konsultasi
dengan stakeholder sampai bulan November 2006.
Pemerintah
Indonesia
berketetapan
melaksanakan NIP setelah Konvensi diratifikasi
dengan target penghapusan POPs dan melibatkan
semua stakeholder.
Yang
melatarbelakangi
komitmen ini ialah (1) PCB (polychoro-byphenyls)
dan HCB (hexachlorobenzene) masih digunakan di
industri, dan residu POPs terdeteksi di lingkungan,
(2) dampak akibat POPs belum dipahami oleh
masyarakat luas, (3) kapasitas dan kemampuan
infrastruktur dalam mengelola POPs masih
terbatas.
Dengan
meratifikasi
Konvensi
Stockholm, maka akan ada sejumlah manfaat
diperoleh Indonesia dalam mengatasi ancaman
POPs. Antara lain akan memperoleh fasilitas, baik
dalam pengembangan rencana implementasi
nasional yang sudah ada, maupun bagi
pengembangan kapasitas untuk mengurangi,
melenyapkan dan menghindari produk dan
penggunaan POPs (Akar rumput, 2009).
Paulus Londo (2003) menambahkan,
manfaat lain yang bila diperoleh dengan
meratifikasi Konvensi Stockholm adalah terbuka
kesempatan menggalang kerjasama secara global

dan nasional dalam melindungi lingkungan hidup


dan kesehatan manusia, memperoleh bantuan
finansial dalam pengelolaan POPs, serta bantuan
fasilitas bagi pengembangan sistem pengelolaan
POPs secara komprehensif dan integratif.
Dalam skala nasional, upaya Indonesia
dalam pengadalian POPs tertera dalam UU No.
23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
mengatur kewenangan pengelolaan lingkungan
hidup di tingkat nasional dan daerah. Pengelolaan
lingkungan hidup antara lain terdiri atas
pengaturan dan pengembangan kebijakan,
pemanfaatan sumber daya alam, dan pengendalian
kegiatan yang mempunyai dampak sosial,
termasuk pengelolaan dan pengendalian bahan
berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3.
Sebagai implementasi dari UU ini telah diterbitkan
PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan B3. Peraturan
ini mengatur pelarangan penggunaan 10 bahan
kimia POPs di Indonesia. Selain itu telah
ditetapkan
Kep-03/Bapedal/09/1995
tentang
persyaratan teknis pengolahan limbah B3 yang
mengatur baku mutu untuk efisiensi penghancuran
dan penghilangan senyawa POPs untuk
insinerator. Parameter yang diatur adalah POHC
(principle organic hazard constituents), PCB,
PCDD, dan PCDF.

5. Kesimpulan
Dari penelitian, maka dapat disimpulkan :
1. Distribusi POPs dipengaruhi oleh faktorfaktor meteorologi seperti suhu, arah
angin, kecepatan angin, dan tekanan
udara
2. Pengukuran POPs termasuk toxaphene
dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu:
Metode Global Air Passive Sampling
(GAPS)
Metode Tree Bark Sampling Procedure
Metode High Volume Air Sampler
3. Dari hasil pemantauan, konsentrasi
toxaphene yang terukur di SPAG Bukit
Kototabang sebesar 189,2 ug/m3 pada
tahun 2005 dan turun menjadi 2 ug/m3
pada tahun 2006
4. Pada tahun 2000 EPA juga menetapkan
tingkat kontaminan maksimum untuk
toxaphene dalam air minum adalah
0,003 mg / L.
5. Konsentrasi toxaphene lebih dari 740
mg/kg pada manusia dapat menyebabkan
kanker.
6. Sebagai upaya pengendalian POPs,
toxaphene khususnya, diselenggarakan
Konvensi Stockholm yang telah
diratifikasi oleh 151 negara, termasuk
Indonesia.

12

6. Daftar Acuan
[1] Akar Rumput, 2009. 10-16 Februari 2009
[2] AnalyticalMethods.
Http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp9
4-c7.pdf.
[3] Bonefeld
Jrgensen
EC1, Autrup
H, Hansen JC. 1997. Effect of toxaphene
on
estrogen receptor functions in
human
breast
cancer
cells.
Aug;18(8):16514.
[4] Davis, Gray. 2003. Public Health Goals
For Chemicals In Drinking, Toxaphene.
Governor of the State of California
[5] Environmental Protection Agency. 1999.
Toxaphene Update: Impact on Fish
Advisories. Sept. (1-6)
[6] Environmental Protection Agency. 1999.
Method 8276 Toxaphene and toxaphene
congeners
by
gas
chromatography/negative ion Chemical
ionization mass spectrometry (gcnici/ms)
[7] Kurniawan, Agusta (2013), Memantau
POPs Dari Bukit Kuto Tabang. Science
and Technology 1(1):7-9. Suara Dari
Bukit Kuto Tabang, Sumatera Barat
[8] Nahas, Christian A. (2010). Distribusi
Global Persistent Organic Pollutants
(POPs). 2-4. Buletin Megasains Edisi
Maret 2009
[9] Ritter, L., K.R. Solomon, J. Forget. 2007.
Persistent Organic Pollutants: An
Assessment
ReportonDDT,Aldrin,Dieldrin,Endrin,Ch
lordane,Heptachlor,Hexachlorobenzene,
Mirex,Toxaphene,Polychlorinated
Biphenyls,
Dioxins,
and
Furans.
Canadian Network of Toxicologi Centres.
[10] Santoso, Wahyu. (2005). Urgensi
Ratifikasi
The
2001
Stockholm
Convention On Persistent Organic
Pollutants Bagi Indonesia. 1-2
[11] Toxaphene.http://monographs.iarc.fr/EN
G/Monographs/vol79/mono79-19.pdf
[12] Potential For Human Exposure.
http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp11
-c6.pdf.

[13] Toxaphene.
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Toxaphe
n.svg
[14] Toxaphene and toxaphene congeners by
gas
chromatography/negative
ion
Chemical ionization mass spectrometry
(gc-nici/ms).
http://www.epa.gov/osw/hazard/testmeth
ods/pdfs/8276.pdf. Method 8276.
[15] United Nation Industrial Development
Organization,Toxaphene
http://www.unido.org/en/what-wedo/environment/capacity-building-for-the
implementation-of-multilateralenvironmental-agreements/thestockholm-convention/factsandfigures/what-are-persistent-organicpollutants-pops/toxaphene.html

13

You might also like