You are on page 1of 16

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU

KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG
Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

It is important to know the connections between students behaviour and literary learning in Malang City. Literary learning using competence-based curriculum needs accurate information related to students acquisition on Indonesian short story texts. The picture of studentss knowledge and emotion when they are learning contemporary Indonesian short story, influencing factors on studentss acceptance pattern, literary learning activities conducting by teachers, school fascilities availability, and policies taken by the senior high school principals in Malang in developing literary learning are significant input to implementation of education. Generally, the students acceptace on the three short stories which had been given before shown that the students had enough competence in comprehending them. From intellectual aspect, they have succeeded in expressing literary structure from the texts. Moreover, students ability on their acquisitions toward Indonesian contemporary short stories cannot be separated from their teachers ability in designing joyful learning eventhough there are insufficient literary books available.

Menurut Taufiq Ismail (Suara Muhammadiyah, 2002) pengajaran sastra di SMU sudah lama tergusur ke pinggir oleh pengajaran tata bahasa dengan perbandingan 1020% berbanding 90-80%. Begitu juga kewajiban membaca buku sastra terperosok dari 25 buku di Algemeene Middelbare Achool (AMS) Hindia Belanda tahun 1942, menjadi nol buku di SMU kini, yang sudah terjadi 60 tahun sejak 1943-2003. Para siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, sementara di Jepang dan Swiss 15 buku, serta siswa SMU di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra. Informasi akurat tentang keterkaitan antara perilaku siswa terhadap pembelajaran sastra di Kota Malang merupakan kebutuhan yang mendesak dan harus dilakukan untuk

106

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

memberikan masukan bagi pelaksanaan pembelajaran sastra berikutnya yang diperkirakan akan menggunakan kurikulum baru yang berbasis kompetensi. Gambaran pola penerimaan teks Cerita Pendek (Cerpen) Indonesia mutakhir siswa berdasarkan proses pembelajaran sastra di SMU Kota Malang perlu diketahui untuk menyongsong kurikulum berbasis kompetensi. Gambaran dimaksud adalah berkaitan dengan pengetahuan serta emosi yang dimiliki siswa ketika menerima teks Cerpen Indonesia mutakhir, faktor-faktor yang mempengaruhi pola penerimaan, kegiatan pembelajaran sastra yang dilakukan guru, sastra di SMU kota Malang. Estetika Reseptif Dalam resepsi estetis dikenal dua tokoh penting yang telah mensistematiskan konsep dasar resepsi estetis, yaitu Hans Robert Jauss dan Wofgang Iser. Kedua tokoh ini memiliki pandangan masing-masing terhadap proses penerimaan yang dilakukan pembaca. Hans Robert Jauss beranggapan bahwa proses penerimaan teks sastra dipengaruhi oleh adanya horison harapan yang dimiliki pembaca. Sedangkan, Wolgang Iser beranggapan bahwa di dalam proses penerimaan teks sastra ada efek terbuka yang dapat dimaknai oleh pembaca. Dalam proses penerimaan teks terjadi hubungan komunikasi timbal balik antara teks dengan pembaca. Untuk mengungkap komunikasi antara teks dan pembaca perlu ada landasan teori yang mendukung. Mengingat konsep dasar kajian ini berasal dari Iser yang beranggapan bahwa proses penerimaan pembaca merupakan suatu proses fenomenologis, maka teori digunakan adalah teori komunikasi semiotik dari Karl Buhler (psikolog). Ini didasarkan pada konsep fenomena yang lebih mengarah pada fenomena mental sebagai bagian dari kajian psikologi. Berikut ini merupakan bagan komunikasi semiotik yang dikemukakan Karl Buhler: sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah, serta kebijakan yang diambil kepala sekolah di dalam membina pembelajaran

107

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Kenyataan

TANDA Pengirim Penerima

Dalam bagan di atas tergambar bahwa di tengah terdapat tanda dilambangkan dengan segi tiga. Masing-masing segi dari segitiga itu melambangkan simpton, sinyal, dan simbol. Simpton atau fenomena merupakan hubungan antara tanda dengan orang yang memakai tanda itu, yaitu pengirim pesan. Untuk pengirim pesan tanda tersebut mempunyai fungsi ekspresif. Sinyal merupakan hubungan antara tanda dengan orang yang menerima pesan. Untuk penerima pesan tanda mempunyai fungsi apel (himbauan). Simbol merupakan hubungan dengan hal yang ditandai atau diungkapkan; terhadap halhal itu tanda mempunyai fungsi acuan. Konsep yang dikemukakan oleh Karl Buhler di atas apabila diterapkan dalam proses penerimaan teks sastra, maka dapat dikatakan bahwa tanda merupakan karya sastra, pengirim pesan adalah penulis, dan penerima pesan adalah pembaca. Hubungan antara teks sastra dengan penulis menunjukkan adanya simpton atau fenomena. Fenomena mengarah pada kegiatan mental yang berupa sikap, perasaan, dan kemauan (Britanica, 2001). Hubungan teks sastra dengan pembaca menunjukkan adanya sinyal. Teks sastra yang merupakan hasil sikap, perasaan dan kemauan penulis memberikan sinyal bagi pembaca. Agar sinyal tersebut dapat diterima dengan baik maka diperlukan teori tentang dan teori yang dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan pembaca. Pembaca dalam kajian ini adalah pembaca real yang berada di luar teks yaitu siswa SMU. Karena dilihat dari segi perkembangan mental mereka sudah siap menerima karya sastra. Menurut Probst (1992:3) siswa SMU sudah dapat dikatakan sebagai pelajar sastra yang profesional. Mereka sudah mulai dapat menilai kualitas suatu karya sastra. Sejalan dengan itu Piaget (dalam Santrock) mengemukakan bahwa pada masa ini, yang biasanya disebut masa adolesen, mereka sudah mulai berpikir abstrak dan idealis. Selama masa adolesen pikiran mereka terbang di dunia fantasi pada dunia yang 108

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

akan datang. Di samping itu mereka sudah mulai berpikir logis dan mulai berpikir layaknya seorang ilmuwan (Santrock, 1999:340). Kemampuan berpikir logis merupakan syarat yang diharapkan bagi pembaca di dalam memaknai karya sastra. Di dalam memaknai karya sastra, menurut Rossenblat (dalam Probst), seorang pembaca tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi pembaca terlibat di dalamnya. Di samping itu, sastra juga harus disikapi sebagai sesuatu yang berarti secara pribadi, sehingga pembaca dapat merespon karya sastra secara bertanggung jawab berdasarkan pengalaman pribadi. Cerpen yang digunakan dalam kajian ini Cerpen Godlob karya Danarto, cerpen Burung Bangau karya Ratna Indraswari Ibrahim, dan Sukab dan Sepatu. Cerpen Godlob merupakan Cerpen mistis yang sarat dengan kepercayaan Jawa tentang manunggaling Kawula Gusti. Sementara itu Burung Bangau merupakan cerpen yang berisi pendidikan seks dan Cerpen Sepatu dan Sukab merupakan cerita tentang kesetiaan terhadap suatu barang. Ketiga Cerpen ini dapat mewakili jenis Cerpen yang sesuai dengan dunia anak SMU yang telah memasuki masa adolesen. Pada masa ini perkembangan anak berada pada pemikiran abstrak dan idealis selain itu sudah mulai mengenal tentang seks (Santrock, 1999). Dalam pembelajaran sastra, siswa harus menjadi fokus perhatian dan diberikan penekanan khusus bahkan menjadi tujuan atau sasaran pencapaian tujuan sastra. Pembelajaran sastra dapat dilihat sebagai kajian budaya dan kajian linguistik. Dalam kaitan dengan hal itu, Ronald Carter & Michael N. Long (1991:2) menjelaskan bahwa pembelajaran sastra akan memampukan peserta didik untuk memahami dan mengkaji budaya yang berbeda dalam zaman dan tempat yang sama atau berbeda. Melalui pembelajaran sastra, siswa akan memperoleh hasil pengkajian tentang tradisi berpikir, berperasaan, menilai estetika yang hidup dalam kesusastraan yang berkembang di masyarakat tertentu. Kalau kita simpulkan pikiran di atas, maka kita dapat mengkategorikan pembelajaran pengkajian sastra sebagai sebuah kajian budaya. Di samping itu, Ronald Carter & Michael N. Long (1991:2) mengemukakan pula bahwa pembelajaran pengkajian sastra berarti pula membantu siswa untuk mengadakan kontak dengan berbagai variasi penggunaan bahasa kreatif. Pembelajaran pengkajian sastra memberikan pula kesempatan kepada siswa untuk menemukan cara yang sistematik dalam berbahasa yang berkaitan dengan pengembangan keterampilan

109

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

mereka. Uraian di atas berarti bahwa pembelajaran sastra adalah sebuah model kajian linguistik. Pokok pikiran Ronald Carter & Michael N. Long (1991:3) yang ketiga adalah pembelajaran sastra akan membantu siswa untuk memampukan mereka mengadakan hubungan dengan teks sastra. Peranan guru dalam pembelajaran kajian sastra ialah membantu siswa mengembangkan diri dan perilakunya dalam mengadakan hubungan dengan manusia atau institusi di lingkungannya. Melalui pembelajaran pengkajian sastra siswa didorong untuk mengembangkan diri, dan guru dituntut untuk memilih bahan sastra yang akan direspons oleh siswa. Dalam proses pembelajaran mengkaji karya sastra (Cerpen) telah dikenal beberapa model, antara lain model struktural semiotik, model ekspresif, model mimetik, dan model estetika resepsi (Abrams, 1981:8). Raman Selden (1986:4) mengemukakan pula pendapatnya tentang landasan teori sastra yang dapat menjadi model pembelajaran mengkaji puisi, yaitu model romantik, model Marxis (referensial), model struktural, model formalistik, dan model estetika resepsi. Selanjutnya Donald Keesey (1994:3) menyarankan tujuh model pembelajaran kajian puisi, yaitu model historis, model formal, model mimetik, model intertekstual, model estetika resepsi, model postrukturalisme, dan model historis. Pada dasarnya, estetika resepsi dikategorikan ke dalam dua cakupan, yaitu cakupan secara intelektual dan cakupan secara emosional. Cakupan intelektual meliputi sistem sastra yang membentuk karya sastra itu ditambah segi bahasa. Sedangkan, cakupan emosional meliputi proses mental yang terjadi dalam diri pembaca ketika membaca karya sastra seperti, daya tarik atau keterkejutan yang dialami pembaca. Adapun aspek-aspek yang digali adalah aspek intelektual dan aspek emosional. Aspek intelektual terdiri dari unsur intelektual meliputi: (1) struktur (menyajikan bagianbagian yang terintegrasi dengan baik dan koheren), (2) bahasa (menyajikan pemakaian bahasa secara terampil dengan sikap yang jelas dan meyakinkan), (3) karakterisasi (menyajikan potret sifat manusia yang dapat dikenali), (4) tema (menyajikan tema atau gagasan besar yang dikembangkan dengan jelas), (5) tempo (menyajikan action yang terbatas yang bergerak dengan cepat), (6) plot (menyajikan garis action yang dikembangkan dengan jelas).

110

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Sementara itu, unsur emosional meliputi: (1) keterlibatan (membawa pembaca kepada satu jenis keterlibatan pribadi, baik dalam watak maupun tindakan), (2) emosi (mempunyai dampak pada emosi pembaca), (3) minat (cukup menarik untuk membawa pembaca ke arah refleksi/analisis lebih lanjut), (4) keaslian (memberi perspektif yang segar dan berbeda kepada pembaca), (5) sukacita (membangkitkan ketegangan tertentu di hati pembaca), (6) kemampuan untuk percaya (dapat dipercaya oleh pembaca). Strategi membaca yang dikemukakan oleh Beach & Marshall (1991:28) meliputi 7 strategi yakni; 1. Menyertakan (engaging). We can say that reader are engaging with a text whenever they articulate their emotional reactionar level of involvement. Pembaca selalu menyertakan perasaannya pada saat dia menjelaskan reaksi emosionalnya terhadap teks sastra. 2. Merinci (describing) atau memecahkan masalah (problem solving). Reader describe a text when they restate or reproduce information that is provided verbatim in the text (Beach 7 Marshall, 1991:29). Pembaca merinci teks sastra pada saat mereka menyatakan kembali atau mereproduksi informasi yang disajikan kata demi kata dalam teks itu. 3. Memahami (conceicing). When readers conceiv of characters, settings,and language, statement about its meaning (Beach 7 Marshal, 1991:29). Ketika pembaca memahami karakter, latar, dan bahasa, mereka bergerak dibalik informasi untuk membuat pernyataan tentang artinya. 4. Menerangkan (explaining). Once we have constructed a tentative conception o characters behavior, however, we must still explain as best as we can why those characters are behaving as they are (Beach & Marshall, 1991:30). Meskipun kita sudah membentuk konsep tentang perilaku karakter (tokoh), tetapi kita masih harus menjelaskan sebaik mungkin alasan tokoh itu bertindak seperti itu. 5. Menghubungkan (connecting). It is when readers connect their own experience to the materials in the text that the instructions between reader and text become most evident (Beach & Marshall, 1991:31). Ketika pembaca menghubungkan pengalaman mereka dengan isi teks sastra, pada saat itulah interaksi antara pembaca dengan teks semakin jelas.

111

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

6. Menafsirkan (interpreting). When readers interpret a text, they employ the reaction, descriptions, and connections they have made to articulate the theme or point of specific episodes ora of the overall text (Beach & Marshall, 1991:32). Ketika pembaca menafsirkan teks sastra, mereka menggunakan reaksi, deskripsi, konsepsi, dan koneksi yang mereka bentuk untuk mengartikulasikan tema atau butir dari episode yang spesifik atau dari keseluruhan teks. 7. Menilai (judging). When we pull away from a text, however, we do more than construct interpretation. Just as often, we make judgments about the characters in the story or about the literacy quality of the text as a whole (Beach 7 Marshall, 1991:33). Ketika kita membuat jarak dengan teks sastra, bagaimanapun kita bisa berbuat lebih banyak daripada hanya menyusun interpretasi. Sebagaimana sering berlaku, kita membuat penilaian tentang karakter dalam cerita atau kualitas sastra dari teks itu secara keseluruhan. Pola Penerimaan Cerpen Godlob karya Danarto Siswa pada umumnya sudah dapat merumuskan peristiwa-peristiwa yang ada di dalam Cerpen. Pada peristiwa pertama pada umumnya terdapat tiga peristiwa yang berbeda yang dikemukakan siswa, yakni; 1) tentang keadaan sesudah perang di sebuah padang yang luas, 2) tentang seorang ayah yang kecewa, 3) tentang gerombolan burung gagak yang memakan bangkai prajurit. Pada peristiwa kedua tergambar; 1) burung gagak yang memakai bangkai, 2) tentang ayah yang membunuh anaknya, 3) tentang ayah yang menggotong mayat anaknya. Pada peristiwa ketiga: 1) terbunuhnya seorang anak di tangan ayahnya, 2) kedatangan seorang Ibu yang membawa mayat anaknya, 3) Anaknya dianggap seorang pahlawan oleh masyarakat dan pembesar. Peristiwa keempat: 1) pemakaman anak muda sebagai seorang pahlawan, 2) pembongkaran seorang pria oleh seorang wanita yang merupakan istrinya bahwa pria itu yang telah membunuh anak-anaknya. Peristiwa kelima: 1) pembunuhan seorang istri kepada suaminya. Untuk pertanyaan yang berkenan dengan peristiwa logis dan tidak logis. 90% siswa

112

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

mengatakan peristiwa yang ditampilkan dapat diterima akal, karena pembunuhan seorang anak oleh ayahnya dianggap biasa pada masa ini. Latar tempat yang siswa ungkapkan meliputi; padang pasir yang luas di sebuah padang yang luas yang tidak ditumbuhi pepohonan. Di jalan yang terletak di tengahtengah kota, di negara yang sedang dilanda perang, di medan perang, di sebuah kota, di suatu kota yang sedang mengalami perang. Bangunannya berupa tembok-tembok kusam bermatel tua, di sebuah kota di dekat padang pasir yang tandus, kota yang senang akan pertempuran, di padang gundul dan tempat pemakaman jenazah pahlawan, di masa perang, di sebuah tanah lapang yang luas dengan tumbuhan alang-alang Seratus persen siswa tidak mengetahui istilah godlob, karena baru pertama kali mereka mendengar istilah tersebut. 70% menganggap bahasa yang digunakan sulit karena terlalu banyak menggunakan majas dan puisi. 80% siswa tidak setuju dengan konsep pahlawan yang digambarkan dalam Cerpen. Menurut mereka, pahlawan merupakan orang yang berjasa bagi masyarakat bukan hanya orang yang gugur di medan perang. Tidak, karena pahlawan adalah seseorang yang meninggal. Tokoh yang paling berkesan bagi siswa yang paling banyak (60%) adalah anak muda karena menurut mereka sebagai seorang semuda dia tidak menuntut untuk menjadi seorang yang harus dihormati atau dianggap pahlawan hanya karena dia bergelar tentara. Alasan mengapa anak muda (60%) dianggap sebagai tokoh antara lain; 1. 2. 3. 4. 5. 6. Karena sebagai seorang semuda dia tidak menuntut untuk menjadi seorang yang harus dihormati atau dianggap pahlawan hanya karena dia bergelar tentara. Karena dia rela ikut berperang mengorbankan jiwanya walaupun pada akhirnya dia dibunuh oleh ayahnya. Karena dia berjuang tanpa mengharapkan sebuatan pahlawan. Karena ia percaya suatu saat dia akan mati dan bukan ditentukan oleh siapapun selain Allah. Karena kagum akan opini si Anak Muda tentang sosok seorang pahlawan yang sebenarnya itu. Meskipun sudah ikut berperang dan tetap hidup dia tidak begitu mementingkan gelar pahlawan

113

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Tokoh Ibu merupakan pilihan kedua (40%) karena menurut mereka sangat berani dan cerdas dan rela menyerahkan semua anaknya untuk dijadikan pahlawan. Alasan yang mereka kemukakan antara lain; 1. Sebagai Ibu yang baik dia rela anak-anaknya ikut membela tanah air ini tanpa mengharapkan imbalan dan ikhlas merelakan kepergian anaknya. 2. Karena sangat pemberani dan cerdas (bisa tahu kalau anaknya dibunuh). 3. Karena Ibu berani membuka kebohongan yang terjadi dalam cerita tersebut. 4. Karena sang Ibu rela menggali kuburan anaknya dan membeberkan penipuan suaminya di depan semua orang 20% memilih ayah karena dia telah berlaku kritis untuk menyadarkan pembesar yang egois dengan membunuh anaknya sendiri. Karena ia memiliki pemikiran yang kritis dan ia rela membunuh anaknya sendiri. Untuk tegaknya keadilan di negara tersebut dan menyadarkan para pembesar yang egois. Karena keinginannya yang sangat besar untuk menjadikan anak bungsunya sebagai pahlawan. Pendapat mereka tentang gaya penceritaan di antaranya berpendapat menarik, menampilkan cerita yang jarang ditemui pada cerita lain. 50% merasa jengkel karena cerita tidak berakhir bahagia. Karena seorang Ayah tega membunuh anaknya. Karena ayahnya sendiri tega membunuh anaknya hanya karena ingin diberi gelar pahlawan. Pola Penerimaan Cerpen Burung Bangau Karya Ratna Indraswari Ibrahim Peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerpen ini yang diresepsi siswa terdiri dari; 1. Aminah yang menanyakan tentang burung bangau pada ibunya. 2. Aminah yang merasa tidak disayang orang tuanya. 3. Aminah mengkhayal tentang burung bangau. 4. Aminah bermimpi dikejar-kejar burung. 5. Aminah berkenalan dengan Bak. 6. Bak memperlihatkan bahwa bayi tidak dibawa oleh burung bangau. 7. Aminah dibuat malu oleh Bak di sebuah gudang kosong. Peristiwa yang tidak masuk akal antara lain; 1. Aminah percaya bahwa burung bangau yang membawa bayi ke dalam perut ibunya. 2. Seorang ibu yang memarahi anaknya dan ancaman akan membuang anaknya. 114

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

3. Boneka Aminah menangis, boneka tidur tidak mau dibangunkan. Mereka tidak dapat menerima perlakuan seorang ibu yang memarahi anaknya dengan kata-kata kasar. Karena wajar jika sang Ibu marah karena anaknya kurang bisa mengerti dengan keadaan adiknya yang masih kecil apalagi dia terus saja berkhayal sampai lupa diri seperti melalaikan tugas sekolahnya. Berkiatan dengan pendapat tentang pertemanan antara Aminah dan Bak, 90% menjawab karena mereka sama-sama kurang kasih sayang. Perlakuan Bak terhadapAminah diresepsi siswa dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari karena manusia mempunyai nafsu. Karena salahnya pemberian pemahaman tentang seks dewasa ini sangatlah kurang, sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Gaya penceritaan yang digunakan pengarang menarik bagi sebagian siswa karena menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Pengarang memakai bahasa kiasan dalam penceritaan, sehingga untuk mengetahui maksud ceritanya pembaca harus membaca sampai habis. 1. Peristiwa yang paling berkesan bagi sebagian siswa ketika Bak menerangkan cara membuat anak. Peristiwa mimpi Aminah yang dikejar-kejar seekor burung yang amat besar. 2. Saat Bak mengajak Aminah ke Gedung Belakang yang gelap dan pengap. 3. Telah mengertiya Aminah apa sebenarnya Burung Bangau itu bagi Aminah 4. Saat Aminah bertanya pada adiknya masalah burung bangau, adiknya kok menangis Pola Penerimaan terhadap Cerpen Sukab dan Sepatu Karya Seno Gumira Peristiwa-peristiwa yang diresepsi terdiri dari: 1. Sukab dengan sepatunya yang telah berumur 17 tahun 2. Sukab dimarahi Maya karena sepatunya 3. Dibelikan sepatu oleh Maya 4. Pembicaraan sepatu lama dan baru 5. Saat Sukab merenung tentang kesetiaan Peristiwa yang tidak masuk akal bagi siswa saat seseorang memakai sepatu berusia 17 tahun, saat sepatu sepasang sepatu saling berbicara. Konsep kesetiaan bagi siswa berpegang teguh pada prinsip bahwa sebagian besar siswa beranggapan apabila jadi Sukab tidak ambil pusing dengan sepatu. Dari segi bahasa mudah/menarik, mudah 115

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

dipahami/ cukup dimengerti/ bisa dimengerti walau banyak kiasan/ seperti bahasa sehari-hari. Secara emosi siswa merasakan bingung, ceritanya tidak dilanjutkan sehingga pembaca tidak mengetahui apa yang akan dipilih Sukab, bagus. Strategi membaca yang digunakan siswa sudah pada taraf memahami dan menerangkan. Artinya siswa sudah dapat memahami alur, tokoh, latar, bahasa dan gaya yang digunakan pengarang dan dapat menerangkan kejadian dibalik unsur-unsur tersebut. Diantararanya siswa dapat menerangkan mengapa seorang ayah membunuh anaknya, mengapa seorang ibu memarahi anaknya dan mengapa seorang teman wanita memperhatikan tokoh Sukab. Dari segi emosi yang dikemukakan siswa sudah dapat mengemukakan perasaannya dengan disertai alasan. Pembelajaran Sastra Porsi pembelajaran sastra cukup tinggi. Dari 12 SMAN yang ada di Kota Malang, 10 SMAN membuka jurusan Bahasa -- hanya dua yang tidak, yakni SMAN 3 dan SMAN 10. Dengan adanya perbedaan penjurusan di sekolah dapat diketahui kebijakan yang digariskan kepala sekolah SMAN masing-masing. a. Guru Ditinjau dari segi latar belakang pendidikan guru, semua SMAN yang ada di Kota Malang berasal dari Program Bahasa Indonesia (95%) dan non-Bahasa Indonesia (5%). Latar pendidikan yang dimiliki guru sebagian besar S1 (80%), Pascasarjana (15%) dan SMA (5%). Guru yang berstatus pegawai negeri (85%), honorer (10%) dan guru bantu (5%). Mengingat latar pendidikan yang dimiliki, maka kelayakan mereka sebagai pengajar sudah memadai. Masa kerja antara 9-12 dan 13-16 memiliki jumlah yang seimbang yakni 36%, sedangkan dengan masa kerja 5-7 tahun sekitar 15% dan masa kerja antara 0-4 tahun sekitar 13%. b. Fasilitas Fasilitas pembelajaran yang tersedia untuk menunjang pembelajaran sastra terutama perpustakaan dimiliki semua SMAN. Namun, yang jadi permasalahan berkaitan dengan penyediaan buku sastra serta majalah sastra yang tidak memadai bagi semua siswa. Di Kota Malang buku sastra yang tersedia terdiri dari buku-buku lama dan itu tidak bisa dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah. Kota

116

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Malang yang menjadi permasalahan adalah penyediaan buku karya sastra. Buku sastra yang tersedia di perpustakaan hanya sekitar 10%. c. Ekstrakurikuler Penyelenggaraan ekstrakurikuler yang menunjang pembelajaran sastra misalnya teater hanya terdapat di beberapa sekolah. SMAN 9. Dari semua SMAN yang diteliti di Kota Malang tidak ada guru yang memberikan informasi tentang pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif. Pendekatan yang digunakan guru lebih banyak menitikberatkan pada pengetahuan umum dengan pendekatan struktur. Kegiatan pembelajaran paling banyak mengacu pada GBPP (98%) sedangkan yang tidak hanya 3%. Dari jumlah 98% yang menyatakan isi GBPP sesuai dengan prinsip pembelajaran sastra berjumlah seimbang dengan jumlah yang menyatakan tidak sesuai dengan prinsip pembelajaran sastra masing-masing 42% sedangkan 16% abstain. Materi pelajaran sastra sebagian besar guru menyatakan mengumpulkan materi dari berbagai sumber (82%) menggunakan buku pelajaran siswa (37%) dan membuat sendiri (10%). Jadi terdapat guru yang menggunakan buku siswa dengan sumber lain (19%). Alat bantu yang digunakan lebih banyak menggunakan tv/vcd sebanyak 68%, tape recorder 42%, OHP 21%, alat musik 11%, lainnya (kunjungan ke rumah dan teks sastra) 16%. Teknik pengajaran yang banyak digunakan yakni; demonstrasi (68%), bermain peran (74%), memberikan pertanyaan (74%), berdialog (89%), memberi tugas (84%), sedangkan simulasi (42), menyanyi, dan pemberian tugas diskusi masing-masing 5%. Keterampilan berbahasa yang digunakan meliputi semua keterampilan, yakni menyimak (84%), berbicara (95%), membaca (89%), menulis (89%). Buku Pelajaran Bahasa Indonesia yang dipakai adalah Bahasa dan Sastra Indonesia karangan Drs. Haris Sunardi penerbit Universitas Negeri Malang, Mahir Berbahasa Indonesia karya FX. Surana penerbit Yudistira, Sastra Indonesia karangan Moch Ali, penerbit Armico, Semenjana karangan Laminuddin dan Euis dari penerbit Tiga Serangkai, Pengantar Apresiasi Sastra karya Tengsoe Tjahjono penerbit UNS Press, Kajian Prosa Fiksi karangan Ian Sukasworo dkk penerbit Armico, Terampil 117 Di Kota Malang yang menyelenggarakan ekstrakurikuler teater di antaranya SMAN 4, SMAN 8 dan

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Berbahasa Indonesia karya penerbit Grafindo.

Imam Syafii

penerbit Balai Pustaka, dan Bahasa

Indonesia, Berbahasa dan Bersastra Indonesia, LKS karya S. Sugiyantoro Piranti Sebagaian besar guru (68%) menyarankan agar pembelajaran sastra diberikan sebagai mata palajaran khusus dan hanya 11% menyatakan tidak perlu. Guru dan siswa mengenal beberapa pengarang yang berasal dari budaya Jawa, yakni Umar Kayam (79%), Danarto (42%), Ratna Indraswari Ibrahim (37%), dan Seno Gumira Aji Darma (37%), namun mereka masih kesulitan dalam memahami isi Cerpen tersebut, terutama karya Danarto. Dari hasil pola penerimaan teks Cerpen yang dilakukan siswa secara umum, mereka sudah memiliki kemampuan menerangkan isi Cerpen secara baik. Mereka pada dasarnya sudah memiliki potensi dan minat terhadap bacaan sastra. Kemampuan guru dalam mengajarkan sastra sebagian besar dapat diterima dengan baik oleh siswa dan mereka merasa teratarik. Permasalahan yang mendasar adalah fasilitas penyediaan buku sastra yang kurang sehingga siswa tidak mendapatkan kesempatan yang banyak untuk membaca berbagai karya sastra. Kesimpulan Pada umumnya penerimaan siswa terhadap ketiga Cerpen yang diberikan menunjukkan pemahaman yang cukup. Dari segi intelektual mereka sudah dapat mengungkapkan struktur sastra yang terdapat di dalam cerita. Pada Cerpen Godlob mereka telah dapat merumuskan peristiwa-peristiwa, latar, tokoh, gaya yang digunakan pengarang. Demikian juga pada Cerpen Burung Bangau dan Sukab dan Sepatu. Pada Cerpen Burung Bangau dan Sukab dan Sepatu mereka tidak merasa kesulitan dengan bahasa yang digunakan pengarang, namun pada Cerpen Godlob berbeda. Mereka menganggap bahasa yang digunakan terlalu banyak kiasan. Pada aspek emosional mereka merasa jengkel terhadap cerpen Godlob karena tidak diakhiri dengan happy ending. Pada cerpen Burung Bangau mereka merasa jijik dengan cerita yang ditampilkan dan pada cerpen Sukab dan Sepatu mereka merasa bingung dengan akhir cerita.

118

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Kemampuan penerimaan siswa terhadap Cerpen Indonesia mutakhir tidak terlepas dari kemampuan guru bahasa Indonesia yang mampu menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan, sekalipun fasilitas buku sastra yang tidak memadai. Kemampuan penerimaan teks Cerpen siswa sudah memadai, daya nalar mereka berjalan sekalipun fasilitas perpustakaan minim. Pembelajaran sastra perlu ditingkatkan dengan pengadaan buku sastra yang memadai dan menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan minat siswa terhadap sastra misalnya lomba kegiatan sastra yang dilakukan secara terus menerus.

Daftar Pustaka Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. Chicago: Holt Rinehart & Winston. Inc. 1988. Barliana, N.R. Mengajarkan Sastra yang Menarik. Pikiran Rakyat 5 September 2003 dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0903/05/0803.htm, diakses 11 Maret 2004 jam 12.30 WIB. Barr, Rebecca. et.al. Handbook of reading Research. (vol. II). New York: Longman. 1991. Beach, Richard W & Marshall. Teaching Literature in the Secondary School. USA: Harcourt Brace Javanovich. Inc. 1991 Beach. R. A. Teachers Introduction to Reader Resepsi Theories. Urbana: The National Council of Teacher of English. 1993. Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian (terjemahan A. Khozin Afandi). Surabaya: Usaha Nasional. 1993. Briggs, L.J. Instructional Design, Principle and Aplication. New Jersey: Englewood Cliffs Inc. 1979. Gagne, R.M. & Briggs. L.J. Principles of Instructional Design. New York: Holt, Rinehart and Winston. 1979. Kompas, 15 September 2003 Holub, R.C. Reception Theory: A Critical Introduction. London: Routledge. 1984. Ibrahim, R dan Nana Syaodih S. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. 2003. 119

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Iser, Wolfgang. Persfecting: From Reader Resepsie to Literary Anthropology. London: The John Hopkins Press Ltd. 1989. Ismail, Taufik. Menyembuhkan Bangsa yang Rabun Muhammadiyah, No. 22/Th. Ke-87/16-30 November 2002. Membaca. Suara

Joice, B. & Weil, M. Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall. Inc. 1980 Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westeijn. Pengantar Ilmu Sastra. (diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Cet. Ke-IV. Jakarta; Gramedia. 1992. Martin, Wallace. Recent Theories of Narrative. London: Cornell University. 1986. Milles, Mattew B.A. dan Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif. (terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press. 1992. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Karya Rosdakarya. 1997. Mulyana, Yoyo. Keefektifan Model Pembelajaran Estetika resepsi dalam Pembelajaran Kajian Puisi (naskah disertasi). 2000. Probst, R.E. Response and Analysis: Teaching Literature in Junior and Senior High School. Portsmooth: Boynton/Cook Publisher. 1988. Rice, Philip & Patricia W. (ed.). Modern Literary Theory a Reader. New York: Routledge, Chapman and Hall Inc. 1989. Rosenblatt, Louise M. Literature as Exploration. New York: The Modern Language Association of America. 1965. Rossenblatt, Louise M. The Reader the Text the Poem: The Transactional Theory by the Literary Work. USA: Southern Illinois University Press. 1978 Santrock, John W. Life-Span Development. Boston: McGraw-Hill College. 1999. Saraswati. Analisis Semiotis Kumpulan Cerpen Berhala Karya Danarto (tesis). Bandung: UPI. 1996. ________. Skemata Kepasrahan dalam Cerpen Sri Sumarah Karya Umar Kayam. Makalah yang disajikan di JPBS FKIP Universitas Muhammadiyah Malang. 2003. Scholes, Robert. The Nature of Narrative. New York: Oxford University Press. 1966.

120

POLA PENERIMAAN TEKS (ESTETIKA RESEPSI) CERPEN INDONESIA MUTAKHIR SISWA DAN SISTEM PEMBELAJARAN APRESIASI CERPEN DI SMU KOTA MALANG

Joko Widodo dan Ekarini Saraswati

Segers, Rien T. Evaluasi Sastra. (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita. 2000. Spreadley, James P. Metode Etnografi. (diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth). 1977. Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Puataka Jaya. 1985. Stubbs, Michael. Discourse Analysis. Chicago: The University of Chicago Press. 1983. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. ________. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1991. The Expanding Canon: Teaching Multicultural Literature in High School 1977 http://www.learner.org/channel/ workshops/hslit/session1/ diakses 11 Maret 2004 jam 15.35 WIB. Tim Membaca. Menulis dan Apresiasi Sastra dalam http://www.depdiknas.go.id/ sikep/Issue/SENTRA1/F26.html diakses 11 Maret 2004 jam 14.05 WIB. Tompkins, J. Reader-Resepsie Criticism. Baltimore: The John Hopkins University Press. 1988.

121

You might also like