You are on page 1of 18

RESPONS ESTETIK

TERHADAP NOVEL BARUANG KA NU NGARORA


DAN GOGODA KA NU NGARORA

Disampaikan dalam Seminar Bulanan


Jurusan Sastra Sunda
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
pada bulan Maret 2009

oleh:
Asep Yusup Hudayat

FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2009
RESPONS ESTETIK
TERHADAP NOVEL BARUANG KA NU NGARORA
DAN GOGODA KA NU NGARORA1

AN AESTHETIC RESPONSE
ON BARUANG KA NU NGARORA AND GOGODA KA NU NGARORA

oleh:
Asep Yusup Hudayat

ABSTRACT

The thesis entitled “An Aesthetic Response on Baruang ka nu Ngarora


and Gogoda ka nu Ngarora” aims at studying the interactions occurred between
the texts and the readers who place Gogoda ka nu Ngarora (GN) or ‘Temptations
for the Youth’ as an advanced work which also serves as a form of response to
Baruang ka nu Ngarora (BN) or ‘Poison for the Youth’ novel. Besides, the
research also aims at discovering the functions of GN toward BN.
The research employs Iser's Aesthetic Response theory. It focuses its
interest on how literary works bring effects on its readers, which result in a
response. Repertoire, strategy, and realization become important parts of this
theory. These parts are useful to explain the process of response within.
By using the primary theory of Aesthetic response from Wolfgang Iser, the
research concludes that: (1) BN is a repertoire for the creation of GN, (2) Social
classes as seen in BN are considered as means of affirming the norms of grandeur
character of the aristocracy, (3) social classes found in BN are negated and
reevaluated by GN from feudal into democratic spirit, (4) the idealization of GN
lies on the statement that grandeur and disgraceful character may belong to any
social classes, (5) the discrepancy and blankness of GN are shown through the
characters' identity and the socio-historical background, and (6) GN in its relation
with BN is having function as a balancing work for a number of social classes
problems.

Keywords: interactions, social class, aesthetic response

1
Disampaikan dalam Seminar Bulanan Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran;
Maret 2009

1
2

PENGANTAR

Sejarah sastra Sunda mencatat bahwa simbol awal modernitas masyarakat Sunda
salah satunya direpresentasikan melalui genre baru tradisi penulisan karya sastra berbentuk
novel. Baruang ka nu Ngarora ‘Racun bagi Muda-Mudi’ (selanjutnya disingkat BN) karya
D.K. Ardiwinata merupakan novel Sunda pertama yang diterbitkan pada tahun 1914 dan
menjadi novel yang monumental bagi perkembangan novel Sunda selanjutnya (Moriyama,
2005: 256-258).
Salmun, melalui Gogoda ka nu Ngarora ‘Godaan bagi Muda-Mudi’ (selanjutnya
disingkat GN), menunjukkan respon terhadap BN. Karya Salmun ini terbit pertama kali
pada tahun 1951 dan dicetak ulang tahun 1966. Kondisi tersebut sejalan dengan
pemahaman Eagleton. Menurutnya (2006: 119), semua pembaca mempunyai posisi sosial
dan historis. Cara mereka menafsirkan karya sastra akan sangat dibentuk oleh fakta ini.
Upaya Ardiwinata dalam merepresentasikan kehidupan feodal diarahkan kepada
penegasan perbedaan kelas sosial. Melalui sejumlah rambu-rambu yang terkandung di
dalam BN karyanya, dapat dihipotesiskan bahwa Ardiwinata menjangkau suara cacah
‘jelata’ sebagai bagian wilayah terbatas empatiknya dan suara menak sebagai wilayah
keberpihakannya. Adapun representasi kehidupan demokratis dalam GN ditunjukkan
Salmun melalui penekanan perbedaan kelas sosial yang diarahkan kepada bagaimana ia
dapat merepresentasikan suara kaum cacah ‘jelata’. Dalam GN, interogasi Salmun melekat
kuat pada seluruh narasinya. Tokoh-tokoh dari kalangan menak melalui rentang
penceritaannya, akhirnya, dilemahkan pada satu penerimaan nasib yang hina. Tokoh-tokoh
dari kalangan menengah dan jelata yang berjuang melawan perbedaan kelas, pada
akhirnya, diruntuhkan ke dalam kehinaan pula.
Sejumlah fenomena yang muncul dari novel BN dan GN tersebut terhimpun dalam
permasalahan menyangkut cara kedua karya merepresentasikan realitas dalam
keterikatannya dengan sarana repertoar, interaksi dan strategi pembacaan Salmun terhadap
BN yang dapat ditelaah melalui GN, ruang-ruang pembacaan baru dalam GN pada tindakan
pembacaan selanjutnya, dan fungsi representasi kelas sosial yang diangkat di dalam GN.
Permasalahannya adalah (1) telaah terhadap repertoar BN, menyangkut representasi
kesadaran kelas, mengarahkan penelusuran respon-respon estetik yang dapat diungkap di
dalam GN, (2) respon-respon estetik yang terkandung di dalam GN menunjukkan interaksi

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


3

dan strategi yang dijalankan Salmun terhadap BN, (3) respon-respon estetik yang
terkandung di dalam GN menyisakan ruang-ruang pembacaan baru bagi pembaca
selanjutnya, dan (4) ruang-ruang pembacaan baru menyangkut celah dan kekosongan teks
GN mengimplikasikan fungsi representasinya (cakupan repertoar). Dengan demikian,
tujuan penelitian ini adalah mengungkap interaksi antara teks dan pembaca melalui
pemahaman teori respon estetik Iser. Interaksi yang dimaksud diarahkan kepada
pendeskripsian proses respon estetik terhadap BN dan GN. Pengungkapan respon estetik
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui fungsi GN terhadap BN.
Respon estetik menjangkau secara dialektis interaksi teks sastra dengan
pembacanya. Sejumlah perangkat pembacaannya adalah menyangkut repertoar dan
strategi pembacaan. Iser (1987: 53) menekankan bahwa argumen-argumen ontologis
sudah saatnya digantikan oleh argumen-argumen fungsional. Menurutnya, apa yang
penting bagi pembaca, kritikus, dan juga penulis adalah apa fungsi kesusastraan.
Kajian respon estetik yang dikemukakan Iser berpusat pada pertanyaan mendasar
menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui hubungan teks dengan
pembacaanya. Iser (1987: x) mempertanyakan: bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga
sebuah teks bermakna bagi pembacanya. Pertanyaan mendasar tersebut setidaknya
mengimplikasikan dua hal penting menyangkut (1) cara atau tindakan pembacaan dan (2)
interaksi antara teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi pembacaannya.
Cara atau tindakan pembacaan yang dimaksud merujuk kepada bagaimana teks
mengarahkan cara pembacaanya dan bagaimana pengalaman pembaca mengatur
pembacaannya. Iser (2006: 60) menunjukkan spesifikasi permasalahan hubungan di
dalamnya. Menurutnya, jika orang berasumsi bahwa teks sastra melalukan sesuatu
terhadap pembacanya, tiga permasalahan awal harus ditunjukan. Pertama, apa pun juga
yang terjadi atas pembaca itu adalah karena fakta bahwa teks sastra berwujud satu
peristiwa, yaitu satu kejadian yang harus diatasi dan dijawab melalui pengolahan teks.
Kedua, struktur teks menggambarkan pengolahan yang akan dilakukan pembaca, dan
berapa banyak keterkaitan pembaca terhadap teks yang dibacanya. Ketiga, menyangkut ciri
yang konsisten atas pembacaannya melalui konteks sosiohistoris dan pemilihan-pemilihan
disposisinya.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


4

Karena kutub artistik juga merupakan bagian dari pembacaan teks, struktur teks
menjadi bagian yang tidak terlepas dari cara penunjukkan teks atas pembacanya.
Menyangkut struktur fiksi, Iser (1987: 21) menyebutkan bahwa struktur dalam fiksi
memiliki dua sisi, aspek verbal dan aspek afektif. Aspek verbal menuntut reaksi dan
mencegah terjadinya sifat arbitrary reaksi; aspek afektif adalah pemenuhan atas apa yang
telah diprastruktur oleh bahasa teks. Deskripsi apa pun tentang interaksi antarkeduanya
haruslah menginkorporasi efek-efek (teks) ataupun struktur respons (pembaca).
Dengan demikian, pembahasan efek-efek teks dan struktur respon pembaca dalam
penelitian ini bertumpu pada interaksi yang dihasilkan antara teks dengan pembacanya dan
teks dengan konteks. Karena dalam teori respon estetik ini Iser lebih menekankan kepada
proses pembacaan, pembahasan menyangkut ruang estetika dalam penelitian ini diarahkan
kepada dua tahap pembacaan, yaitu (1) pembahasan yang menghubungkan kembali
tanggapan-tanggapan estetik (berupa sejumlah kritik) dengan potensi-potensi teks BN dan
GN, serta (2) potensi-potensi teks BN menyangkut potensi kesenjangan dan kekosongan
yang diatasi oleh lahirnya karya GN. Kedua tahap pembacaan tersebut dijalankan melalui
pemberdayaan repertoar dan strategi yang melingkupi masing-masing pembacaannya.
Novel bagi Iser (1987: 35) merupakan satu contoh terbaik dalam menunjukkan
sistem yang dirancang untuk mentransmisikan individualitas pandangan penulis. Novel
juga dengan sendirinya terdiri atas berbagai perspektif yang menguraikan pandangan
penulis, dan juga memberikan akses ke apa yang mesti divisualisasi oleh pembaca. Pada
umumnya, ada empat perspektif utama: narator, para lakon, plot, dan pembaca fiktif.
Perspektif tersebut tidak satu pun identik dengan makna teks. Keempatnya hanya memberi
garis-garis pedoman yang bermuara dari titik-titik tolak yang berbeda, dan kesemuanya
bertemu di general meeting place ’satu tempat pertemuan umum‘. Tempat pertemuan ini
disebut sebagai makna teks yang hanya dapat diekspos jika ia divisualisasikan dari sudut
pandang. Peran pembaca diprastruktur oleh tiga komponen dasar: perspektif-perspektif
yang berbeda yang terpresentasi di dalam teks, sudut pandang dari mana pembaca
mempersatukan perspektif-perspektif tersebut, dan tempat pertemuan perspektif-perspektif
tersebut.
Menurut Iser (1987: 37), peran pembaca dapat dipenuhi melalui cara-cara yang
berbeda yang memungkinkan adanya cara-cara pemenuhan yang berbeda pula. Dengan

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


5

demikian, pemenuhan selalu merupakan satu proses selektif dan aktualisasi apa pun dapat
dinilai dari background aktualisasi-aktualisasi lain yang kemungkinan besar hadir di dalam
struktur teks peran pembaca. Tiap aktualisasi karenanya merepresentasikan satu realitas
selektif implied reader.
Menyangkut pertanyaan dasar tentang kondisi apa sehingga sebuah teks bermakna
bagi pembacanya, Iser (1987: 69) menyebutkan situasi merupakan sarana yang
mempertemukan antara teks dan pembaca. Realisasinya akan sangat bergantung pada teks
dan pembaca. Iser menganggap perlu adanya pengkonstruksian situasi. Oleh karenanya,
diperlukan pula konvensi-konvensi di dalamnya. Konvensi yang diperlukan untuk
pengkonstruksian satu situasi disebut repertoar teks; prosedur-prosedur yang diterima
disebut sebagai strategi-strategi; dan partisipasi pembaca disebut sebagai realisasi.
Keberhasilan transfer teks ke pembaca bergantung kepada keberhasilan teks
mengaktivasi kapasitas persepsi dan pengolahan pembaca individual. Dinamika tersebut
ditunjukkan Iser (1987: 108) dengan menyebutkan kesenangan pembaca. Menurutnya,
kesenangan pembaca dimulai bila pembaca itu sendiri menjadi produktif, yakni bila teks
memungkinkannya untuk mengerahkan semua kapasitas yang dimilikinya. Sudah barang
tentu, ada limit-limit pada kesediaan pembaca untuk berpartisipasi. Limit-limit ini akan
terlampaui jika teks membuat segala sesuatu terlalu jelas atau di lain pihak, teks terlalu
kabur. Menurut Iser (1987: 54), jika apa yang dikomunikasikan dikehendaki memiliki
nilai, maka perhatian utama kita tak lagi akan tertuju pada makna teks, melainkan pada
efek teks. Menurutnya, di sinilah letak fungsi kesusastraan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hal yang paling mendasar bagi GN, sebagai karya yang mengatasi kesenjangan
BN, adalah respon Salmun, sebagai pembaca, yang menganggap bahwa BN belum selesai.
Pusat ketidakselesaian BN dianggap Salmun terletak pada akhir cerita yang menempatkan
Ujang Kusen, sebagai representasi golongan menengah, harus menerima nasib buruk
dibuang ke Surabaya untuk menjalani hukuman karena tuduhan pencurian. Adapun Aom
Usman, sebagai representasi golongan menak, dibiarkan begitu saja, dan tidak dianggap
sebagai sumber konflik yang menyebabkan golongan menengah menjadi terpuruk atas
perbuatan sewenang-wenangnya.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


6

BN menarasikan dominasi golongan menak, yang struktur permukaannya, justru


menonjolkan suara-suara golongan menengah yang menyadari tempatnya dalam kelas
sosial. Suara-suara golongan menengah inilah yang semakin menunjukkan kekuasaan tak
terbantahkan bagi golongan menak atas golongan menengah (santana). Adapun di dalam
GN, suara-suara menengah tersebut dihadirkan secara tegas dalam bentuk-bentuk
pengintrogasian tokoh-tokoh di dalamnya, dan pandang
an naratornya terhadap
kesewenangan kaum menak. Melalui narator, pengarang pun melakukan interogasi serupa
terhadap golongan menengah dan cacah, yang pada akhirnya, mereka pun harus
menanggung akibat buruk karena menjalankan mim pitu ‘tujuh mim’. Ketujuh mim
tersebut adalah maen, minum, madon, maling, mangani, madat, maehan ‘berjudi, minum
minuman keras, bermain perempuan, mencuri, boros, madat, dan membunuh’
Melalui pembacaan, teks BN menuntut reaksi pembacaan sejalan dengan apa yang
harus diterima Salmun sebagai pembaca BN dalam menghasilkan GN. BN menunjukkan
sejumlah pembatasan reaksi bagi pembacaan yang dilakukan Salmun. Cara penerimaannya
akan banyak tergantung pada cara Salmun melakukan pemenuhan atas aktivitas
pembacaannya, terutama menyangkut seluruh pemahaman dan pandangannya atas realitas-
realitas yang direpresentasikan dalam BN. Namun, BN telah mengaktivasi Salmun tidak
saja sebatas bagaimana BN memberi efek-efek estetiknya, melainkan juga efek-efek
susulan berupa respon-respon nyata Salmun, yang diwujudkan dalam GN, sebagai upaya
pemenuhan pembacaannya atas BN. Bentuk penegasian Salmun, atas pernyataan
Ardiwinata, dilekatkan kepada sejumlah tokoh dalam GN. Salmun membiarkan tokoh-
tokohnya menjalani pilihan-pilihan sikap dan perbuatannya. Hal ini untuk semakin
mendekatkan kepentingan Salmun dalam menempatkan mereka pada jerat-jerat mim pitu.
Atas kondisi-kondisi yang diuraikan tersebut, BN telah mengarahkan cara
pembacaan Salmun ke dalam potensi afirmatif menyangkut kelas sosial. Hal paling
substansial dari pengarahan BN tersebut adalah bahwa teu aja nu pangbeungharna, lian ti
nu narima kana kulak tjanggeumna (1950: 153) ‘tak ada yang paling kaya, selain orang
yang menerima apa yang menjadi takdirnya’. Oleh karenanya, BN tidak mengkonfirmasi
bagaimana kelas santana dan cacah berupaya mencapai kesejajaran atau sebatas bereaksi
atas sejumlah permasalahan yang dimunculkan kaum menak yang menyentuh wilayah

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


7

santana dan cacah. BN menunjukkan kelas-kelas menak, santana, dan cacah dalam
perbedaan yang tegas.
Perhatian pembaca ke konteks sosial yang dimaksud, secara jelas, ditunjukkan GN
yang menempatkan BN sebagai repertoar, dan sekaligus bertindak sebagai bagian
background GN. Pertemuan antara masa lalu dengan masa sekarang, dalam latar waktu
penceritaan, secara eksplisit ditunjukkan GN. GN sebagai reaksi atas BN, memuat narasi
dengan latar penceritaan masih dalam satu masa yang sama dengan BN, yaitu tahun 1870-
an. GN sendiri merupakan karya diterbitkan pada tahun 1951. Berdasarkan muatan teks,
yang pengarangnya banyak memberi catatan kaki di dalamnya, GN mengarahkan cara
pembacaan bagi pembaca untuk menempati wilayah kini (tahun 1950-1960-an) dalam
menjangkau narasi yang berlatar waktu penceritaan tahun 1870-an, sekaligus meretensi BN
sebagai background GN. Melalui andil narator, GN menunjukkan bagaimana pembaca
diarahkan untuk secara sadar menempatkan GN sebagai kelanjutan BN. Dengan demikian,
GN pun berada dalam penarasian yang menggabungkan perspektif dari masa penceritaan
tahun 1950-1960-an untuk menarasikan cerita tahun 1870-an. Penarasian dengan
menggunakan perspektif kekinian (dalam masa yang ditempati Salmun) digunakan dalam
GN sebagai titik tolak penceritaan masa tahun 1870-an.
Realitas-realitas dalam BN ditempatkan sebagai model-model yang menghasilkan
konsep-konsep realitas, yang kemungki
nan-kemungkinan dan kompleksitas-
kompleksitasnya dijabarkan ke dalam struktur yang bermakna. Iser (Iser, 1987: 72)
menyebutkan bahwa struktur tersebut menjadi operasional bukan dalam hubungan dengan
sebuah dunia mungkin, melainkan dalam hubungan dengan pola rapi sistem-sistem yang
diganggu atau bermaksud diganggu oleh teks.
Dalam perspektif pembacaan GN atas BN, hubungan sistem-sistem yang diganggu
atau bermaksud diganggu oleh teks, secara nyata, ditunjukkan melalui cara GN memahami
BN dalam hal menempatkan para tokoh ke dalam ikatan citra kelas. Bagi BN, keluhuran
budi dilekatkan kepada para tokoh yang berasal dari golongan menak. Adapun golongan
santana ‘menengah’ atau cacah ‘jelata’ harus cukup puas menyandang antribut sebagai
sumber masalah dan kehinaan. Pusat narasi BN terletak pada golongan menengah tersebut.
Berdasarkan judul pun Baruang ka nu Ngarora ‘Racun bagi Muda-Mudi’, para tokoh dari

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


8

kalangan santana dan cacah dikenai sepenuhnya oleh racun. Racun yang dimaksud
merupakan metafor kemalasan, kebodohan, dan kejelekan.
Cara Salmun memahami realitas-realitas BN dapat ditunjukkan melalui semangat
Salmun dalam merepresentasi realitas-realitas kelas sosial, berupa interogasi dan intimidasi
atas stereotipe citra kelas, baik menyangkut menak, santana, maupun cacah. Realitas-
realitas yang ditunjukkan dalam GN merupakan reaksi-reaksi yang menegasi sejumlah
pandangan menyangkut keluhuran budi kalangan menak dan kehinaan kalangan santana
atau cacah. BN mengabstraksi narasinya menyangkut muda-mudi ke dalam sejumlah
kondisi. Dengan racun kejelekan, kemalasan, dan kebodohan, menjadikan tokoh-tokoh di
dalamnya dikenai kemalangan. Di dalam GN, abstraksi narasi berpusat pada mim pitu
yang dinyatakan sebagai sebuah realitas godaan bagi tokoh-tokoh di dalamnya, baik
mengenai menak maupun cacah.
Dalam menunjukkan interogasi dan intimidasinya, GN melalui narator yang
mengatasnamakan pengarangnya, secara langsung meletakkan semua tokoh ke dalam
ruang tanpa sekat kelas meskipun dalam kepentingan interogasi dan intimidasinya, ia
menggunakan perspektif kelas untuk semakin menegaskan bahwa mim pitu ‘tujuh mim’
merupakan risiko-risiko yang semua tokoh-tokoh di dalamnya dapat jatuh, terjerat, atau
bahkan mampu bangkit dan membebaskan diri dari mim pitu. Tokoh-tokoh di dalamnya
bisa hina dan mulia karena terjerumus ke dalam mim pitu atau terhindar darinya.
Melalui andil narator, GN telah mengekspos kelemahan-kelemahan sebagian besar
tokoh-tokoh dalam BN, dan tokoh-tokoh baru yang muncul di GN. Melalui perspektif
narator, para tokoh, narasi, dan hal-hal yang perlu ditandai bagi pembacannya, citra kelas
menak dan cacah pada BN tidak disenjangkan dalam hubungan penghambaan atau
penolakan diri dari golongan cacah kepada golongan menak. Hal ini lebih disebabkan oleh
dihadirkannya para tokoh dari kalangan menengah (santana) yang dijadikan sebagai pusat
narasi. Saat narasi menunjukkan persinggungan antara menak dan santana, maka deskripsi
citra kelas menjadi bagian dominan di sepanjang narasi yang membawa hubungan kedua
kelas dan konflik yang menyertainya. Citra kelas yang dimaksud berpusat kepada masalah
representasi kepemilikan, persepsi terhadap kelas (diri dan kelas lain), serta afirmasi kelas
santana terhadap kelas menak.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


9

Pada perspektif narator, teks GN mengarahkan pembaca agar sadar bahwa narasi
GN yang berlatar waktu 1871-1880-an berada dalam pandangan semangat demokrasi
sejalan dengan masa penciptaan GN. Melalui perspektif narator tersebut, para pelaku di
dalam GN ditempatkan dalam pergolakan semangat demokrasi dalam meruntuhkan energi
feodal yang berorientasi kepada kelas penguasa.
Realitas yang diangkat dalam GN, menempatkan novel ini sebagai novel ironi. Hal
ini didasarkan pada upaya Salmun dalam mengatasi kesenjangan menak-cacah, dengan
cara melakukan sejumlah interogasi dan intimidasi, melalui narator yang ditempatkannya
secara dominan sebagai pihak yang menempati perspektif kaum santana. Kaum santana
digunakan Salmun sebagai pihak yang berjuang, dengan berbagai cara, mengatasi berbagai
kesewenangan kaum menak.
Pihak-pihak yang terikat ke dalam narasi, termasuk Salmun yang menghasilkan
narasi, dibawa ke dalam perspektif pembacaan yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dari
BN. Dalam hal ini, tugas pembaca adalah membawa semua pembacaan ke konteks naratif
GN. Sejumlah elemen cerita, yang terkandung dalam GN, menunjukkan hal-hal yang
dilihat Salmun atas karyanya, BN, dan juga hal-hal yang tidak lihatnya. Verbalisasi
Salmun di dalam GN, pada akhirnya, menunjukkan sejumlah kesenjangan GN.
Kesenjangan tersebut lebih berpusat pada cara Salmun merepresentasikan realitas masa
feodal yang dituturkan berdasarkan semangat demokrasi yang melampaui masa
penceritaannya.
Cara narasi melaksanakan pembentukan suatu identitas kelas, pembentukan seorang
laki-laki menak, laki-laki kalangan santana, serta seorang perempuan kalangan santana,
dihimpun ke dalam perspektif kaum santana yang bertindak sebagai subjek-subjek otoritas
naratif. Pertarungan antara kebebasan naluriah dan penindasan dalam GN mengarahkan
pembacaan ke penjangkauan penikmatan realitas fiksi dan realitas faktual. Sejumlah
penilaian di dalamnya bukan untuk mendapatkan kompromi atau transformasi, melainkan
sebagai penyeimbang (counterbalancing). Fungsinya adalah bukan untuk memproduksi
satu objek estetika yang akan menyaingi sistem pemikiran dunia sosial, melainkan untuk
mengimbangi kekurangan-kekurangan yang muncul dalam BN menyangkut representasi
kelas sosial.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


10

Salmun merasakan bahwa kekuatan menak hanya dapat dilemahkan dengan


meningkatkan kekuatan kaum santana dan cacah di hadapan kaum menak. Banyak
peristiwa yang ditunjukkan Salmun untuk mengkondisikan kaum santana dan cacah
dengan bentuk-bentuk ujaran, tanpa ditahan, yang sesungguhnya mempertegas kehancuran
yang telah dialami masyarakat jelata. Nyi Rapiah menyerah pa
da “selera”
pemberontakannya sendiri terhadap suami dan kaum menak pada umumnya. Ia tenggelam
semakin dalam pada suasana yang tidak mempertimbangkan moral lagi meskipun
sebenarnya moral sosial yang diperjuangkannya. Salmun menempatkan Nyi Rapiah
sampai pada titik di mana Nyi Rapiah tidak dapat kembali lagi, dan terlepas dari
kemungkinan diberikannya penyelamatan sosial kepadanya.
Dalam GN, Nyi Rapiah diselamatkan secara sosial, meski secara tidak langsung,
melalui dilekatkannya suatu penyakit parah. Melaluinya, dua kutub konflik dipertemukan
untuk kemudian salah satunya harus menyerah kepada kondisi yang di hadapinya: Ujang
Kusen memaafkan Nyi Rapiah, atau Nyi Rapiah kalah dengan meninggalkan semuanya,
tanpa ada kata maaf dari orang yang telah menjadikan semuanya berubah. Dalam hal ini,
Salmun memilih kondisi pertama: Ujang Kusen memanfaatkan Nyi Rapiah.
Anggapan bahwa keputusan-keputusan yang diambil Nyi Rap
iah, dalam
menunjukkan perlawanannya, pada akhirnya tidak lagi dimaklumi Salmun ketika
berhadapan dengan nilai-nilai dasar ideal yang dipercayai Salmun. Satu-satunya tanggapan
yang layak diterima pembaca pada situasi ini adalah menghindarkan diri dari pemahaman
bahwa situasi tersebut sudah tidak bisa diharapkan lagi dalam menempatkan kepentingan
Nyi Rapiah dengan kepentingannya sendiri yang bermaksud menggugurkan norma-norma
kelas sosial yang ditentangnya.
Penekanan GN pada bentuk-bentuk kekuatan pemberontakan, atas perbedaan kelas
sosial, dihasilkan oleh ideal-ideal dan pengetahuan dan keyakinan atas norma-norma yang
dipahami Salmun. Di sepanjang narasinya, berbagai aspek, tokoh, alur, narator, dan hal
lain yang ditandai, Salmun bekerja begitu semangat memperkuat tendensi-tendensi sosial
di dalamnya. Tendensi-tendensi yang dimaksud dieksplorasi melalui persinggungan
keterkekangan, pemberontakan, rasa aman, ancaman, dan sebagainya. Hal ini semakin
mendorong pembaca untuk masuk ke dalam lingkungan ideal dari pengetahuan yang
terhimpun di dalam karya tersebut.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


11

Kekuatan yang diberikan Salmun kepada pembaca untuk dapat mengidentifikasi


tokoh-tokoh di dalam GN, secara konsisten, ditunjukkan melalui fase-fase penceritaan
dengan mempertimbangkan tendensi-tendensi di setiap pergerakan ceritanya. Upaya untuk
menjaga kepentingan kelas, dalam tindakan afirmatif, merupakan tema tersembunyi dalam
BN yang bentuk-bentuk negasinya bisa ditemukan hanya melalui GN. Efek BN ditunjukkan
secara jelas pada GN yang kerangka rujukannya ada pada harapan Salmun. Gambaran-
gambaran realitas di dalamnya dikomposisikan menurut tendensi-tendensi sosial dan
personal para lakon. Hal ini, pada gilirannya, menunjukkan bahwa pembaca juga hanya
menangkap realitas melalui gambaran-gambaran yang dikomposisikan pembaca sendiri
atas gambaran realitas-realitas tersebut.
Salmun meletakkan semangat demokratis melalui pihak-pihak yang dianggapnya
paling relevan untuk berhadapan dengan kaum feodal. Melalui pembagian fungsi di
dalamnya, pembaca diaktivasi teks karya tersebut untuk memahami kebenaran di balik
ilusi yang ditampilkan tokoh-tokoh di dalamnya. Maka tugas sebagai pembaca GN adalah
membawa semua norma terseleksi dari BN yang digunakan di dalam GN sebagai upaya
melihat hal-hal yang dilihat atau tidak dilihat oleh kedua karya tersebut.
Penyembunyian kebenaran, yang ada di dalam teks BN atau GN, ditawarkan kepada
para pembaca sebagai hal yang memberikan efek-efek tak langsung bagi pembacanya. Di
sisi lain, para pembaca diarahkan untuk berada pada posisi tidak menyukai tokoh-tokoh
yang malah di dalam BN dicitrakan sebagai tokoh yang tidak terjamah oleh kehinaan.
Bagi pembaca GN, representasi kehidupan santana atau cacah yang tidak tertindas
tidak hanya melegakan hati, tetapi juga “mengancam” karena hal itu ternyata
diejawantahkan di bagian akhir cerita sebagai pihak-pihak yang turut hancur bersama
kalangan menak. Ketidakberpihakan ingin ditunjukkan Salmun ketika tokoh-tokoh di
dalamnya sudah berada jauh dari jangkauan pemakluman Salmun, meski pada sebagian
besar cerita, narator GN seringkali melakukan penyingkapan. Namun, penyingkapan
tersebut selalu menyisakan hal-hal tersembunyi untuk diungkap pembacanya.
Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, dalam pembicaraan kelas sosial,
sebagian besar diutarakan Salmun secara gamblang, terutama suara-suara yang mewakili
kaum santana dan cacah. Dalam GN, Salmun cenderung melakukan karakterisasi kualitas
tindakan-tindakan dan pengalaman tertentu, yang dialami tokoh-tokoh di dalamnya,

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


12

dengan melakukan identifikasi secara lugas. Kaum menak atau kaum cacah adalah sebuah
wilayah tempat sang penguasa atau sang tertindas sama-sama menumpahkan kecacatan
yang sama-sama dimilikinya. Namun, yang dijadikan pusat kekuatan baru adalah kaum
santana, diwakili oleh Nyi Rapiah, yang terus bergerak meluluskan maksud
perlawanannya atas kaum menak.
Pengaruh teknik ini memunculkan proyeksi pandangan pembaca. Dengan
demikian, GN dapat ditempati pembaca dalam perspektif yang di satu sisi melekat pada
persetujuan-persetujuan atas pandangan-pandangan narator, di sisi lain pembaca masuk ke
dalam teks dengan cara menjaga pandangan-pandangannya sendiri, tanpa terlalu banyak
dipengaruhi pandangan narator, sekaligus mencari hal
-hal nonfamiliar untuk
melangsungkan pembacaannya hingga mencapai akhir teks. Ketidaktoleranan Salmun atas
kelas-kelas menak, santana, dan cacah, dalam hal kesetiaan terhadap norma-norma ideal,
menempatkan GN sebagai bentuk aktualisasi Salmun yang meyakini bahwa kehinaan dan
kehancuran akan menimpa siapa pun jika mereka menjalankan mim pitu.
GN yang menunjukkan pertentangan terhadap kaum menak berkonsekuensi
terhadap terbukanya rasa suka cita pembaca, yang berada dalam perspektif norma-norma
kerakyatan, atas perjuangan kaum santana atau cacah dan atas dilumpuhkannya potensi
kaum menak dalam pencapaian praktik-praktik kekuasaannya. Hal ini bersumber pada
kondisi yang ditonjolkan Salmun pada setiap peristiwa, melalui pelemahan intimidasi
kaum menak terhadap santana dan cacah, dan semangat perlawanan kaum santana
terhadap menak.
Rasa benci santana atau cacah terhadap menak, dengan cara tertentu, merupakan
cara lain Salmun dalam merepresentasikan kesukacitaan kaum santana atau cacah dalam
kondisi ketidakberdayaan kaum menaknya. Kaum santana atau cacah berpikir bahwa
menak terlalu sewenang-wenang. Yang sebenarnya ditunjukkan atau dipertaruhkan
Salmun pada momen ini adalah baik menak, santana, maupun cacah masing-masing
mengalami rasa suka cita dengan cara yang berbeda-beda. Tiap-tiap kelas diberi rasa suka
cita yang kemudian direnggut kembali oleh Salmun ke dalam kondisi menyedihkan. Tak
ada sikap toleran dari kaum santana atau cacah terhadap kaum menak. Hal ini
menempatkan kembali pembaca ke dalam posisi yang beralih-alih. Berdasarkan kondisi
yang ditunjukkan dalam GN, jika pembaca mengambil bagian dari perspektif norma kaum

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


13

menak, maka pembaca mengalami ketertekanan di sepanjang cerita yang mengedepankan


situasi otoritas kaum santana atau cacah terhadap kaum menak. Jika pembaca menempati
perspektif kaum santana atau cacah yang ditempatkan Salmun sebagai subjek otoriter,
maka pembaca berada dalam kondisi penguasaan yang sepadan dengan tokoh-tokoh di
dalamnya, terutama tokoh utamanya.
Ketidakraguan narator menempati posisi feminin untuk hampir seluruh teks
naratifnya, sedikitnya menunjukkan bahwa narator memetakan verbalisasinya ke dalam
penguasaan maskulinitas melalui dominasi Nyi Rapiah. Ketidaktakutan mengekspresikan
sifat feminin pada tokoh Aom Usman dipakai Salmun, bukan untuk mendukung pelulusan
sehingga Nyi Rapiah tidak tertarik lagi kepada Aom yang menak, melainkan ini untuk
mendorong pergantian otoritas Aom Usman yang segera digantikan oleh otoritas baru dari
pihak perempuan yang diwakili Nyi Rapiah.
Tuntutan teks kepada para pembaca, yang menghasilkan ketidaktoleranan terhadap
verbalisasi “kasar” Salmun, merepresentasi dua dimensi yang tidak menyenangkan tentang
para menak dan kaum cacah. Dua dimensi ini adalah unsur yang paling tegas dan mendasar
pada GN: penghinaan atas kesewenangan kaum menak kepada cacah dan kegusaran
kepada kaum santana atau cacah yang sama-sama berbuat salah, seperti yang dilakukan
kaum menak meskipun dengan cara yang berbeda.
Meskipun GN berbicara tentang perjuangan Nyi Rapiah dengan caranya sendiri,
pengamatan bisa diperluas pada pembacaan atas Aom Usman atau Ujang Kusen, bahkan
Salmun. Verbalisasi demokrasi dalam masyarakat feodal merupakan aspek ancaman paling
relevan bagi kaum feodal yang biasa ingin meluluskan kepentingan kekuasaannya tanpa
hambatan. Dengan melakukan proyeksi cinta antara Rapiah dan Aom, yang kemudian
disenjangkan kembali, hal ini mengakibatkan daya tolak GN yang tinggi terhadap feodal.
Atas kelugasan penuturannya, Salmun masih mampu menyembunyikan kerumitan kisah
sesungguhnya. Di dalam GN, Nyi Rapiah ditempatkan sebagai tokoh untuk menyangkal,
mendistorsi, dan melakukan sensor, atau bahkan melakukan verbalisasi pendakwaan
terhadap kaum menak. Adapun representasi Salmun tentang Aom Usman yang dilemahkan
adalah bentuk pembelaan Salmun terhadap santana dan cacah. Kekuatan yang menonjol di
dalam GN adalah sesuatu yang dibuat untuk memperkuat tanggapan tentang penindasan
dan semangat meruntuhkan penindasan kaum menak.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


14

KESIMPULAN
Salmun menggunakan BN sebagai repertoar sekaligus background untuk
menciptakan GN. Salmun melakukan sejumlah perubahan karakter dan penambahan tokoh
dalam GN untuk kemudian mentransformasikan dan meramunya bersama-sama dengan
repertoar-repertoar lain untuk menyajikan perspektif baru tentang kelas sosial.
Repertoan-repertoar dalam GN meliputi norma historis kehidupan feodal abad ke-
19 sebagai titik tumpu penilaian kelas sosial melalui perspektif semangat demokratis.
Norma sosial dalam perbedaan kelas sosial, menak-cacah, digunakan Salmun untuk
menunjukkan perbedaan karakteristik yang cukup mencolok antara kedua golongan
masyarakat tersebut. Latar tempat digunakan untuk menegaskan perjuangan kelas santana
di tengah-tengah golongan menak dan cacah.
Persinggungan kelas sosial, dalam sejumlah konfliknya, digunakan Salmun untuk
memberi ruang ekspresi baru bagi kalangan santana dan cacah dalam menghadapi
golongan menak. Namun, Salmun pun pada akhirnya menempatkan semua golongan
tersebut pada wilayah yang rentan untuk memperoleh kehinaan. Bagi Salmun, baik kelas
menak, santana, maupun cacah, jika menjalankan mim pitu, mereka akan terjerumus ke
dalam kehinaan.
Kelas sosial menak, santana, dan cacah sebagai repertoar, dengan sejumlah
konfliknya, dimanfaatkan Salmun untuk menunjukkan eksistensi kerakyatan. Perspektif
demokratis dimanfaatkan Salmun, di dalam GN, sebagai upaya pembenahan dan evaluasi
atas sejumlah hal yang subastansial menyangkut kelas sosial di dalam BN. Hal yang
menjadi perhatian utama Salmun, dalam GN, adalah bahwa semua kelas sosial berpeluang
memasuki area kemuliaan dan kehinaan.
Hubungan antara realitas dan fiksi dalam GN dapat dijelaskan dengan fakta-fakta
relevan yang terkandung di dalam karya. Dalam hal ini, Salmun menggunakan berbagai
referensi yang berupa karya terdahulu (BN, dll), norma sosial (menak dan cacah) dan
historis (kolonial dan prianganstelsel), serta latar budaya (Sunda) tertentu ketika mengolah
karyanya. Kaitan referensial itu dapat dilacak dari berbagai perspektif: narator, tokoh, alur,
pembaca, dan hal-hal yang ditandai untuk pembaca.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


15

Dalam GN, Salmun meramu (melakukan strategi pembacaan) atas BN,


memberdayakan pemahaman tentang feodal dan demokratis, serta kult
ur yang
melingkupinya melalui pola seleksi, reduksi, dan transformasi yang ditopang oleh
kesadaran Salmun dalam menciptakan GN sebagai novel didaktik. Salmun, melibatkan diri
sebagai pemberi interpretasi, menyuguhkan kepada pembaca sejumlah justifikasi. Namun
demikian, interpretasinya mengundang interpretasi baru bagi pembaca masa kini. Upaya
Salmun, dalam mengatasi BN melalui GN, ternyata masih menyisakan ruang-ruang
pembacaan baru. GN menunjukkan sejumlah kesenjangan dan kekosongan teksnya. Celah
dan kekosongan yang dimaksud bersumber pada pergeseran perspektif dari BN ke GN.
Dalam hal ini, pembaca harus menghimpun kembali apa yang akan diterima di dalam GN
dengan menghubungkannnya kembali kepada BN.
Aspek kebaruan yang menciptakan pergeseran dari spirit feodal ke demokratis
sangatlah menonjol dalam GN. Pergeseran ini bertumpu pada pemahaman Salmun atas BN.
Bagi Salmun, BN mengandung kekosongan menyangkut representasi kelas sosial. Cara
yang dianggap paling tepat untuk mengatasi kekosongan itu adalah dengan diciptakannya
GN sebagai novel penyeimbang bagi BN. Dengan demikian, fungsi GN terhadap BN
adalah sebagai counterbalance ‘penyeimbang’.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiwinata, D.K., 1950. Baruang ka nu Ngarora. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Bracher, Mark. 2005. Jacques al can: Diskursus dan Perubahan Sosial. Terjemahan
Gunawan Admiranto. Yogyakarta-Bandung: Jalasutra.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Terjemahan
Harfiyah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta-Bandung: Jalasutra.
Herlina, Nina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
Iser, Wolgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Respone. 4th printing.
Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
-----------------. 2006. How to Do Theory. USA-UK-Australia: Black Well.
Moriyama, Mikihiro. 2005. Semangat Baru, Kolonialisme, Budaya Cetak, dan
Kesusastraan Sunda Abad ke-19. Terjemahan Suryadi. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. Terjemahan Samanjaya. Bandung:
Ultimus.
Salmun, 1966. Gogoda ka nu Ngarora. Bandung-Jakarta: Pusaka Sunda-balai Pustaka.

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat


16

Respon Estetik Terhadap BN dan GN Asep Yusup Hudayat

You might also like