Professional Documents
Culture Documents
oleh:
Asep Yusup Hudayat
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2009
RESPONS ESTETIK
TERHADAP NOVEL BARUANG KA NU NGARORA
DAN GOGODA KA NU NGARORA1
AN AESTHETIC RESPONSE
ON BARUANG KA NU NGARORA AND GOGODA KA NU NGARORA
oleh:
Asep Yusup Hudayat
ABSTRACT
1
Disampaikan dalam Seminar Bulanan Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran;
Maret 2009
1
2
PENGANTAR
Sejarah sastra Sunda mencatat bahwa simbol awal modernitas masyarakat Sunda
salah satunya direpresentasikan melalui genre baru tradisi penulisan karya sastra berbentuk
novel. Baruang ka nu Ngarora ‘Racun bagi Muda-Mudi’ (selanjutnya disingkat BN) karya
D.K. Ardiwinata merupakan novel Sunda pertama yang diterbitkan pada tahun 1914 dan
menjadi novel yang monumental bagi perkembangan novel Sunda selanjutnya (Moriyama,
2005: 256-258).
Salmun, melalui Gogoda ka nu Ngarora ‘Godaan bagi Muda-Mudi’ (selanjutnya
disingkat GN), menunjukkan respon terhadap BN. Karya Salmun ini terbit pertama kali
pada tahun 1951 dan dicetak ulang tahun 1966. Kondisi tersebut sejalan dengan
pemahaman Eagleton. Menurutnya (2006: 119), semua pembaca mempunyai posisi sosial
dan historis. Cara mereka menafsirkan karya sastra akan sangat dibentuk oleh fakta ini.
Upaya Ardiwinata dalam merepresentasikan kehidupan feodal diarahkan kepada
penegasan perbedaan kelas sosial. Melalui sejumlah rambu-rambu yang terkandung di
dalam BN karyanya, dapat dihipotesiskan bahwa Ardiwinata menjangkau suara cacah
‘jelata’ sebagai bagian wilayah terbatas empatiknya dan suara menak sebagai wilayah
keberpihakannya. Adapun representasi kehidupan demokratis dalam GN ditunjukkan
Salmun melalui penekanan perbedaan kelas sosial yang diarahkan kepada bagaimana ia
dapat merepresentasikan suara kaum cacah ‘jelata’. Dalam GN, interogasi Salmun melekat
kuat pada seluruh narasinya. Tokoh-tokoh dari kalangan menak melalui rentang
penceritaannya, akhirnya, dilemahkan pada satu penerimaan nasib yang hina. Tokoh-tokoh
dari kalangan menengah dan jelata yang berjuang melawan perbedaan kelas, pada
akhirnya, diruntuhkan ke dalam kehinaan pula.
Sejumlah fenomena yang muncul dari novel BN dan GN tersebut terhimpun dalam
permasalahan menyangkut cara kedua karya merepresentasikan realitas dalam
keterikatannya dengan sarana repertoar, interaksi dan strategi pembacaan Salmun terhadap
BN yang dapat ditelaah melalui GN, ruang-ruang pembacaan baru dalam GN pada tindakan
pembacaan selanjutnya, dan fungsi representasi kelas sosial yang diangkat di dalam GN.
Permasalahannya adalah (1) telaah terhadap repertoar BN, menyangkut representasi
kesadaran kelas, mengarahkan penelusuran respon-respon estetik yang dapat diungkap di
dalam GN, (2) respon-respon estetik yang terkandung di dalam GN menunjukkan interaksi
dan strategi yang dijalankan Salmun terhadap BN, (3) respon-respon estetik yang
terkandung di dalam GN menyisakan ruang-ruang pembacaan baru bagi pembaca
selanjutnya, dan (4) ruang-ruang pembacaan baru menyangkut celah dan kekosongan teks
GN mengimplikasikan fungsi representasinya (cakupan repertoar). Dengan demikian,
tujuan penelitian ini adalah mengungkap interaksi antara teks dan pembaca melalui
pemahaman teori respon estetik Iser. Interaksi yang dimaksud diarahkan kepada
pendeskripsian proses respon estetik terhadap BN dan GN. Pengungkapan respon estetik
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui fungsi GN terhadap BN.
Respon estetik menjangkau secara dialektis interaksi teks sastra dengan
pembacanya. Sejumlah perangkat pembacaannya adalah menyangkut repertoar dan
strategi pembacaan. Iser (1987: 53) menekankan bahwa argumen-argumen ontologis
sudah saatnya digantikan oleh argumen-argumen fungsional. Menurutnya, apa yang
penting bagi pembaca, kritikus, dan juga penulis adalah apa fungsi kesusastraan.
Kajian respon estetik yang dikemukakan Iser berpusat pada pertanyaan mendasar
menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui hubungan teks dengan
pembacaanya. Iser (1987: x) mempertanyakan: bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga
sebuah teks bermakna bagi pembacanya. Pertanyaan mendasar tersebut setidaknya
mengimplikasikan dua hal penting menyangkut (1) cara atau tindakan pembacaan dan (2)
interaksi antara teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi pembacaannya.
Cara atau tindakan pembacaan yang dimaksud merujuk kepada bagaimana teks
mengarahkan cara pembacaanya dan bagaimana pengalaman pembaca mengatur
pembacaannya. Iser (2006: 60) menunjukkan spesifikasi permasalahan hubungan di
dalamnya. Menurutnya, jika orang berasumsi bahwa teks sastra melalukan sesuatu
terhadap pembacanya, tiga permasalahan awal harus ditunjukan. Pertama, apa pun juga
yang terjadi atas pembaca itu adalah karena fakta bahwa teks sastra berwujud satu
peristiwa, yaitu satu kejadian yang harus diatasi dan dijawab melalui pengolahan teks.
Kedua, struktur teks menggambarkan pengolahan yang akan dilakukan pembaca, dan
berapa banyak keterkaitan pembaca terhadap teks yang dibacanya. Ketiga, menyangkut ciri
yang konsisten atas pembacaannya melalui konteks sosiohistoris dan pemilihan-pemilihan
disposisinya.
Karena kutub artistik juga merupakan bagian dari pembacaan teks, struktur teks
menjadi bagian yang tidak terlepas dari cara penunjukkan teks atas pembacanya.
Menyangkut struktur fiksi, Iser (1987: 21) menyebutkan bahwa struktur dalam fiksi
memiliki dua sisi, aspek verbal dan aspek afektif. Aspek verbal menuntut reaksi dan
mencegah terjadinya sifat arbitrary reaksi; aspek afektif adalah pemenuhan atas apa yang
telah diprastruktur oleh bahasa teks. Deskripsi apa pun tentang interaksi antarkeduanya
haruslah menginkorporasi efek-efek (teks) ataupun struktur respons (pembaca).
Dengan demikian, pembahasan efek-efek teks dan struktur respon pembaca dalam
penelitian ini bertumpu pada interaksi yang dihasilkan antara teks dengan pembacanya dan
teks dengan konteks. Karena dalam teori respon estetik ini Iser lebih menekankan kepada
proses pembacaan, pembahasan menyangkut ruang estetika dalam penelitian ini diarahkan
kepada dua tahap pembacaan, yaitu (1) pembahasan yang menghubungkan kembali
tanggapan-tanggapan estetik (berupa sejumlah kritik) dengan potensi-potensi teks BN dan
GN, serta (2) potensi-potensi teks BN menyangkut potensi kesenjangan dan kekosongan
yang diatasi oleh lahirnya karya GN. Kedua tahap pembacaan tersebut dijalankan melalui
pemberdayaan repertoar dan strategi yang melingkupi masing-masing pembacaannya.
Novel bagi Iser (1987: 35) merupakan satu contoh terbaik dalam menunjukkan
sistem yang dirancang untuk mentransmisikan individualitas pandangan penulis. Novel
juga dengan sendirinya terdiri atas berbagai perspektif yang menguraikan pandangan
penulis, dan juga memberikan akses ke apa yang mesti divisualisasi oleh pembaca. Pada
umumnya, ada empat perspektif utama: narator, para lakon, plot, dan pembaca fiktif.
Perspektif tersebut tidak satu pun identik dengan makna teks. Keempatnya hanya memberi
garis-garis pedoman yang bermuara dari titik-titik tolak yang berbeda, dan kesemuanya
bertemu di general meeting place ’satu tempat pertemuan umum‘. Tempat pertemuan ini
disebut sebagai makna teks yang hanya dapat diekspos jika ia divisualisasikan dari sudut
pandang. Peran pembaca diprastruktur oleh tiga komponen dasar: perspektif-perspektif
yang berbeda yang terpresentasi di dalam teks, sudut pandang dari mana pembaca
mempersatukan perspektif-perspektif tersebut, dan tempat pertemuan perspektif-perspektif
tersebut.
Menurut Iser (1987: 37), peran pembaca dapat dipenuhi melalui cara-cara yang
berbeda yang memungkinkan adanya cara-cara pemenuhan yang berbeda pula. Dengan
demikian, pemenuhan selalu merupakan satu proses selektif dan aktualisasi apa pun dapat
dinilai dari background aktualisasi-aktualisasi lain yang kemungkinan besar hadir di dalam
struktur teks peran pembaca. Tiap aktualisasi karenanya merepresentasikan satu realitas
selektif implied reader.
Menyangkut pertanyaan dasar tentang kondisi apa sehingga sebuah teks bermakna
bagi pembacanya, Iser (1987: 69) menyebutkan situasi merupakan sarana yang
mempertemukan antara teks dan pembaca. Realisasinya akan sangat bergantung pada teks
dan pembaca. Iser menganggap perlu adanya pengkonstruksian situasi. Oleh karenanya,
diperlukan pula konvensi-konvensi di dalamnya. Konvensi yang diperlukan untuk
pengkonstruksian satu situasi disebut repertoar teks; prosedur-prosedur yang diterima
disebut sebagai strategi-strategi; dan partisipasi pembaca disebut sebagai realisasi.
Keberhasilan transfer teks ke pembaca bergantung kepada keberhasilan teks
mengaktivasi kapasitas persepsi dan pengolahan pembaca individual. Dinamika tersebut
ditunjukkan Iser (1987: 108) dengan menyebutkan kesenangan pembaca. Menurutnya,
kesenangan pembaca dimulai bila pembaca itu sendiri menjadi produktif, yakni bila teks
memungkinkannya untuk mengerahkan semua kapasitas yang dimilikinya. Sudah barang
tentu, ada limit-limit pada kesediaan pembaca untuk berpartisipasi. Limit-limit ini akan
terlampaui jika teks membuat segala sesuatu terlalu jelas atau di lain pihak, teks terlalu
kabur. Menurut Iser (1987: 54), jika apa yang dikomunikasikan dikehendaki memiliki
nilai, maka perhatian utama kita tak lagi akan tertuju pada makna teks, melainkan pada
efek teks. Menurutnya, di sinilah letak fungsi kesusastraan.
santana dan cacah. BN menunjukkan kelas-kelas menak, santana, dan cacah dalam
perbedaan yang tegas.
Perhatian pembaca ke konteks sosial yang dimaksud, secara jelas, ditunjukkan GN
yang menempatkan BN sebagai repertoar, dan sekaligus bertindak sebagai bagian
background GN. Pertemuan antara masa lalu dengan masa sekarang, dalam latar waktu
penceritaan, secara eksplisit ditunjukkan GN. GN sebagai reaksi atas BN, memuat narasi
dengan latar penceritaan masih dalam satu masa yang sama dengan BN, yaitu tahun 1870-
an. GN sendiri merupakan karya diterbitkan pada tahun 1951. Berdasarkan muatan teks,
yang pengarangnya banyak memberi catatan kaki di dalamnya, GN mengarahkan cara
pembacaan bagi pembaca untuk menempati wilayah kini (tahun 1950-1960-an) dalam
menjangkau narasi yang berlatar waktu penceritaan tahun 1870-an, sekaligus meretensi BN
sebagai background GN. Melalui andil narator, GN menunjukkan bagaimana pembaca
diarahkan untuk secara sadar menempatkan GN sebagai kelanjutan BN. Dengan demikian,
GN pun berada dalam penarasian yang menggabungkan perspektif dari masa penceritaan
tahun 1950-1960-an untuk menarasikan cerita tahun 1870-an. Penarasian dengan
menggunakan perspektif kekinian (dalam masa yang ditempati Salmun) digunakan dalam
GN sebagai titik tolak penceritaan masa tahun 1870-an.
Realitas-realitas dalam BN ditempatkan sebagai model-model yang menghasilkan
konsep-konsep realitas, yang kemungki
nan-kemungkinan dan kompleksitas-
kompleksitasnya dijabarkan ke dalam struktur yang bermakna. Iser (Iser, 1987: 72)
menyebutkan bahwa struktur tersebut menjadi operasional bukan dalam hubungan dengan
sebuah dunia mungkin, melainkan dalam hubungan dengan pola rapi sistem-sistem yang
diganggu atau bermaksud diganggu oleh teks.
Dalam perspektif pembacaan GN atas BN, hubungan sistem-sistem yang diganggu
atau bermaksud diganggu oleh teks, secara nyata, ditunjukkan melalui cara GN memahami
BN dalam hal menempatkan para tokoh ke dalam ikatan citra kelas. Bagi BN, keluhuran
budi dilekatkan kepada para tokoh yang berasal dari golongan menak. Adapun golongan
santana ‘menengah’ atau cacah ‘jelata’ harus cukup puas menyandang antribut sebagai
sumber masalah dan kehinaan. Pusat narasi BN terletak pada golongan menengah tersebut.
Berdasarkan judul pun Baruang ka nu Ngarora ‘Racun bagi Muda-Mudi’, para tokoh dari
kalangan santana dan cacah dikenai sepenuhnya oleh racun. Racun yang dimaksud
merupakan metafor kemalasan, kebodohan, dan kejelekan.
Cara Salmun memahami realitas-realitas BN dapat ditunjukkan melalui semangat
Salmun dalam merepresentasi realitas-realitas kelas sosial, berupa interogasi dan intimidasi
atas stereotipe citra kelas, baik menyangkut menak, santana, maupun cacah. Realitas-
realitas yang ditunjukkan dalam GN merupakan reaksi-reaksi yang menegasi sejumlah
pandangan menyangkut keluhuran budi kalangan menak dan kehinaan kalangan santana
atau cacah. BN mengabstraksi narasinya menyangkut muda-mudi ke dalam sejumlah
kondisi. Dengan racun kejelekan, kemalasan, dan kebodohan, menjadikan tokoh-tokoh di
dalamnya dikenai kemalangan. Di dalam GN, abstraksi narasi berpusat pada mim pitu
yang dinyatakan sebagai sebuah realitas godaan bagi tokoh-tokoh di dalamnya, baik
mengenai menak maupun cacah.
Dalam menunjukkan interogasi dan intimidasinya, GN melalui narator yang
mengatasnamakan pengarangnya, secara langsung meletakkan semua tokoh ke dalam
ruang tanpa sekat kelas meskipun dalam kepentingan interogasi dan intimidasinya, ia
menggunakan perspektif kelas untuk semakin menegaskan bahwa mim pitu ‘tujuh mim’
merupakan risiko-risiko yang semua tokoh-tokoh di dalamnya dapat jatuh, terjerat, atau
bahkan mampu bangkit dan membebaskan diri dari mim pitu. Tokoh-tokoh di dalamnya
bisa hina dan mulia karena terjerumus ke dalam mim pitu atau terhindar darinya.
Melalui andil narator, GN telah mengekspos kelemahan-kelemahan sebagian besar
tokoh-tokoh dalam BN, dan tokoh-tokoh baru yang muncul di GN. Melalui perspektif
narator, para tokoh, narasi, dan hal-hal yang perlu ditandai bagi pembacannya, citra kelas
menak dan cacah pada BN tidak disenjangkan dalam hubungan penghambaan atau
penolakan diri dari golongan cacah kepada golongan menak. Hal ini lebih disebabkan oleh
dihadirkannya para tokoh dari kalangan menengah (santana) yang dijadikan sebagai pusat
narasi. Saat narasi menunjukkan persinggungan antara menak dan santana, maka deskripsi
citra kelas menjadi bagian dominan di sepanjang narasi yang membawa hubungan kedua
kelas dan konflik yang menyertainya. Citra kelas yang dimaksud berpusat kepada masalah
representasi kepemilikan, persepsi terhadap kelas (diri dan kelas lain), serta afirmasi kelas
santana terhadap kelas menak.
Pada perspektif narator, teks GN mengarahkan pembaca agar sadar bahwa narasi
GN yang berlatar waktu 1871-1880-an berada dalam pandangan semangat demokrasi
sejalan dengan masa penciptaan GN. Melalui perspektif narator tersebut, para pelaku di
dalam GN ditempatkan dalam pergolakan semangat demokrasi dalam meruntuhkan energi
feodal yang berorientasi kepada kelas penguasa.
Realitas yang diangkat dalam GN, menempatkan novel ini sebagai novel ironi. Hal
ini didasarkan pada upaya Salmun dalam mengatasi kesenjangan menak-cacah, dengan
cara melakukan sejumlah interogasi dan intimidasi, melalui narator yang ditempatkannya
secara dominan sebagai pihak yang menempati perspektif kaum santana. Kaum santana
digunakan Salmun sebagai pihak yang berjuang, dengan berbagai cara, mengatasi berbagai
kesewenangan kaum menak.
Pihak-pihak yang terikat ke dalam narasi, termasuk Salmun yang menghasilkan
narasi, dibawa ke dalam perspektif pembacaan yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dari
BN. Dalam hal ini, tugas pembaca adalah membawa semua pembacaan ke konteks naratif
GN. Sejumlah elemen cerita, yang terkandung dalam GN, menunjukkan hal-hal yang
dilihat Salmun atas karyanya, BN, dan juga hal-hal yang tidak lihatnya. Verbalisasi
Salmun di dalam GN, pada akhirnya, menunjukkan sejumlah kesenjangan GN.
Kesenjangan tersebut lebih berpusat pada cara Salmun merepresentasikan realitas masa
feodal yang dituturkan berdasarkan semangat demokrasi yang melampaui masa
penceritaannya.
Cara narasi melaksanakan pembentukan suatu identitas kelas, pembentukan seorang
laki-laki menak, laki-laki kalangan santana, serta seorang perempuan kalangan santana,
dihimpun ke dalam perspektif kaum santana yang bertindak sebagai subjek-subjek otoritas
naratif. Pertarungan antara kebebasan naluriah dan penindasan dalam GN mengarahkan
pembacaan ke penjangkauan penikmatan realitas fiksi dan realitas faktual. Sejumlah
penilaian di dalamnya bukan untuk mendapatkan kompromi atau transformasi, melainkan
sebagai penyeimbang (counterbalancing). Fungsinya adalah bukan untuk memproduksi
satu objek estetika yang akan menyaingi sistem pemikiran dunia sosial, melainkan untuk
mengimbangi kekurangan-kekurangan yang muncul dalam BN menyangkut representasi
kelas sosial.
dengan melakukan identifikasi secara lugas. Kaum menak atau kaum cacah adalah sebuah
wilayah tempat sang penguasa atau sang tertindas sama-sama menumpahkan kecacatan
yang sama-sama dimilikinya. Namun, yang dijadikan pusat kekuatan baru adalah kaum
santana, diwakili oleh Nyi Rapiah, yang terus bergerak meluluskan maksud
perlawanannya atas kaum menak.
Pengaruh teknik ini memunculkan proyeksi pandangan pembaca. Dengan
demikian, GN dapat ditempati pembaca dalam perspektif yang di satu sisi melekat pada
persetujuan-persetujuan atas pandangan-pandangan narator, di sisi lain pembaca masuk ke
dalam teks dengan cara menjaga pandangan-pandangannya sendiri, tanpa terlalu banyak
dipengaruhi pandangan narator, sekaligus mencari hal
-hal nonfamiliar untuk
melangsungkan pembacaannya hingga mencapai akhir teks. Ketidaktoleranan Salmun atas
kelas-kelas menak, santana, dan cacah, dalam hal kesetiaan terhadap norma-norma ideal,
menempatkan GN sebagai bentuk aktualisasi Salmun yang meyakini bahwa kehinaan dan
kehancuran akan menimpa siapa pun jika mereka menjalankan mim pitu.
GN yang menunjukkan pertentangan terhadap kaum menak berkonsekuensi
terhadap terbukanya rasa suka cita pembaca, yang berada dalam perspektif norma-norma
kerakyatan, atas perjuangan kaum santana atau cacah dan atas dilumpuhkannya potensi
kaum menak dalam pencapaian praktik-praktik kekuasaannya. Hal ini bersumber pada
kondisi yang ditonjolkan Salmun pada setiap peristiwa, melalui pelemahan intimidasi
kaum menak terhadap santana dan cacah, dan semangat perlawanan kaum santana
terhadap menak.
Rasa benci santana atau cacah terhadap menak, dengan cara tertentu, merupakan
cara lain Salmun dalam merepresentasikan kesukacitaan kaum santana atau cacah dalam
kondisi ketidakberdayaan kaum menaknya. Kaum santana atau cacah berpikir bahwa
menak terlalu sewenang-wenang. Yang sebenarnya ditunjukkan atau dipertaruhkan
Salmun pada momen ini adalah baik menak, santana, maupun cacah masing-masing
mengalami rasa suka cita dengan cara yang berbeda-beda. Tiap-tiap kelas diberi rasa suka
cita yang kemudian direnggut kembali oleh Salmun ke dalam kondisi menyedihkan. Tak
ada sikap toleran dari kaum santana atau cacah terhadap kaum menak. Hal ini
menempatkan kembali pembaca ke dalam posisi yang beralih-alih. Berdasarkan kondisi
yang ditunjukkan dalam GN, jika pembaca mengambil bagian dari perspektif norma kaum
KESIMPULAN
Salmun menggunakan BN sebagai repertoar sekaligus background untuk
menciptakan GN. Salmun melakukan sejumlah perubahan karakter dan penambahan tokoh
dalam GN untuk kemudian mentransformasikan dan meramunya bersama-sama dengan
repertoar-repertoar lain untuk menyajikan perspektif baru tentang kelas sosial.
Repertoan-repertoar dalam GN meliputi norma historis kehidupan feodal abad ke-
19 sebagai titik tumpu penilaian kelas sosial melalui perspektif semangat demokratis.
Norma sosial dalam perbedaan kelas sosial, menak-cacah, digunakan Salmun untuk
menunjukkan perbedaan karakteristik yang cukup mencolok antara kedua golongan
masyarakat tersebut. Latar tempat digunakan untuk menegaskan perjuangan kelas santana
di tengah-tengah golongan menak dan cacah.
Persinggungan kelas sosial, dalam sejumlah konfliknya, digunakan Salmun untuk
memberi ruang ekspresi baru bagi kalangan santana dan cacah dalam menghadapi
golongan menak. Namun, Salmun pun pada akhirnya menempatkan semua golongan
tersebut pada wilayah yang rentan untuk memperoleh kehinaan. Bagi Salmun, baik kelas
menak, santana, maupun cacah, jika menjalankan mim pitu, mereka akan terjerumus ke
dalam kehinaan.
Kelas sosial menak, santana, dan cacah sebagai repertoar, dengan sejumlah
konfliknya, dimanfaatkan Salmun untuk menunjukkan eksistensi kerakyatan. Perspektif
demokratis dimanfaatkan Salmun, di dalam GN, sebagai upaya pembenahan dan evaluasi
atas sejumlah hal yang subastansial menyangkut kelas sosial di dalam BN. Hal yang
menjadi perhatian utama Salmun, dalam GN, adalah bahwa semua kelas sosial berpeluang
memasuki area kemuliaan dan kehinaan.
Hubungan antara realitas dan fiksi dalam GN dapat dijelaskan dengan fakta-fakta
relevan yang terkandung di dalam karya. Dalam hal ini, Salmun menggunakan berbagai
referensi yang berupa karya terdahulu (BN, dll), norma sosial (menak dan cacah) dan
historis (kolonial dan prianganstelsel), serta latar budaya (Sunda) tertentu ketika mengolah
karyanya. Kaitan referensial itu dapat dilacak dari berbagai perspektif: narator, tokoh, alur,
pembaca, dan hal-hal yang ditandai untuk pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiwinata, D.K., 1950. Baruang ka nu Ngarora. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Bracher, Mark. 2005. Jacques al can: Diskursus dan Perubahan Sosial. Terjemahan
Gunawan Admiranto. Yogyakarta-Bandung: Jalasutra.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Terjemahan
Harfiyah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta-Bandung: Jalasutra.
Herlina, Nina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
Iser, Wolgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Respone. 4th printing.
Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
-----------------. 2006. How to Do Theory. USA-UK-Australia: Black Well.
Moriyama, Mikihiro. 2005. Semangat Baru, Kolonialisme, Budaya Cetak, dan
Kesusastraan Sunda Abad ke-19. Terjemahan Suryadi. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. Terjemahan Samanjaya. Bandung:
Ultimus.
Salmun, 1966. Gogoda ka nu Ngarora. Bandung-Jakarta: Pusaka Sunda-balai Pustaka.