You are on page 1of 13

Kajian Sosiologi Sastra Dalam Cerpen Manusia Kamar Karangan

Seno Gumira Ajidarma

Julisa Agnesti Taba (200501500007)


Universitas Negeri Makassar
Email: juliagnesti@gmail.com

ABSTRACT. This study discusses humans who hate hypocrisy in the world in the
short story Human Room written by Seno Gumira Ajidarma. This study aims to (1)
describe the sociology described by the author in the short story "Manusia Kamar"
written by Seno Gumira Ajidarma; (2) Describe the social picture in the short story
"Manusia Kamar" written by Seno Gumira Ajidarma; (3) Knowing the social influence
on society in the short story "Human Room". The object of this study is the short
story "Manusia Kamar" written by Seno Gumira Ajidarma and published in 1988. The
theory used in this study is the theory of the sociology of literature of Austin Warren
and Rene Wellek, which includes the sociology of authors, sociology of literature,
readers' sociology, and the social influence of literary works. The type and research
method used is qualitative research and descriptive analysis method. The data used
in this study are words and sentences related to the sociology of literature in the
short story "Manusia Kamar" written by Seno Gumira Ajidarma. The data collection
technique in this study is a reading and analysis technique on a document. The
results of the research are (1) The socio-cultural background of the author of the
short story Human Kamar, namely Seno Gumira Ajidarma, is a writer who dares to
express various problems in society through his writing; (2) The social problems
presented in this short story are social inequality, crime, and juvenile delinquency; (3)
The social influence of the short story Human Room on society gives a positive
response which can be an indicator that this short story has succeeded in attracting
the attention of readers.

Keywords: Sociology of Literature, Short Stories, Sociological Theory of Austin


Warren and Rene Wellek.

ABSTRAK. Kajian ini membahasa mengenai manusia yang benci akan kemunafikan
di dunia dalam cerpen Manusia Kamar karangan Seno Gumira Ajidarma. Penelitian
ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan sosiologi yang digambarkan oleh pengarang
dalam cerpen “Manusia Kamar” karangan Seno Gumira Ajidarma; (2)
Mendeskripsikan gambaran sosial pada cerpen “Manusia Kamar” karangan Seno
Gumira Ajidarma; (3) Mengetahui pengaruh sosial terhadap masyarakat pada cerpen
“Manusia Kamar”. Objek dari penelitian ini adalah cerpen “Manusia Kamar” yang
merupakan karangan Seno Gumira Ajidarma dan diterbitkan pada tahun 1988. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra Austin Warren dan
Rene Wellek, yang meliputi sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, sosiologi
pembaca, dan pengaruh sosial karya sastra. Jenis dan metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian kualitatif dan metode analisis deskriptif. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kata dan kalimat yang memiliki kaitan dengan
sosiologi sastra dalam cerpen “Manusia Kamar” karangan Seno Gumira Ajidarma.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik baca dan analisis pada
sebuah dokumen. Hasil Penelitian adalah (1) Latar belakang sosial budaya pengarang
cerpen Manusia Kamar yaitu Seno Gumira Ajidarma merupakan sastrawan yang
berani mengungkapkan berbagai permasalahan di masyarakat melalui tulisannya; (2)
Masalah sosial yang ditampilkan dalm cerpen ini adalah kesenjangan sosial,
kriminalitas, dan kenakalan remaja; (3) Pengaruh sosial cerpen Manusia Kamar
terhadap masyarakat memberikan tanggapan positif yang dapat menjadi indikator
bahwa cerpen ini berhasil menarik perhatian pembaca.

Kata kunci: Sosiologi Sastra, Cerpen, Teori Sosiologi Austin Warren dan Rene Wellek.

PENDAHULUAN
Karya sastra lahir dari imajinasi dan kreativitas seorang pengarang. Ia
menciptakan karakter, alur cerita, dan dunia fiksi berdasarkan pikiran dan
khayalannya. Pengarang sering kali mengekspresikan pandangan atau pendapatnya
tentang masyarakat atau dunia di sekitarnya melalui karya sastra. Karya sastra
memiliki kebenaran atau realitasnya sendiri yang tidak selalu identik dengan dunia
nyata. Meskipun dapat mencerminkan aspek-aspek kehidupan yang ada, karya sastra
cenderung lebih mengutamakan ekspresi artistik dan pesan filosofis daripada
mencerminkan realitas sepenuhnya (Ayuningtyas, 2019).

Cerpen menciptakan cerita fiksi yang pendek, padat, dan sarat makna. Karena
keterbatasannya dalam panjang, cerpen menuntut keahlian penulis dalam
menyampaikan cerita yang menarik dan berkesan dalam waktu singkat. Seorang
penulis menciptakan cerita pendek yang padat, efektif, dan memiliki dampak
emosional pada pembaca. Meskipun cerpen singkat, tetapi kaya dengan makna dan
pesan yang ingin disampaikan (Puspitasari, 2017).
Seno Gumira Ajidarma lahir tanggal 19 Juni 1958 di kota Boston tepatnya
Amerika Serikat. Namun, yang perlu diperbaiki adalah tempat kelahirannya.
Sebenarnya, Seno Gumira Ajidarma lahir di Kota Boston, Jawa Tengah, Indonesia,
bukan di Boston, Amerika Serikat. Ia tumbuh dan besar di Indonesia, dan itu menjadi
latar belakang yang mempengaruhi karyanya, terutama dalam memahami isu-isu
sosial dan politik dalam masyarakat Indonesia.

Seno Gumira Ajidarma dikenal sebagai penulis yang produktif dan karyanya
meliputi berbagai genre seperti cerpen, esai, dan novel. Ia memiliki gaya penulisan
yang unik, menggabungkan unsur-unsur sastra dengan isu-isu sosial yang
mendalam. Banyak dari karyanya mengangkat berbagai masalah sosial, politik, dan
budaya di Indonesia, sehingga ia dianggap sebagai seorang intelektual yang
memiliki wawasan yang luas tentang masyarakatnya.

Dalam studi sastra terdapat banyak teori dan pendekatan. Salah satunya yaitu
pendekatan sosiologi sastra menurut Austin Warren dan Wellek. Dalam buku “Teori
Sastra”, Warren dan Wellek membahas tentang sosiologi pengarang, profesi
pengarang, dan institusi sastra sebagai salah satu bagian dalam analisis sastra (Safari,
2018)

Dengan menganalisis hubungan karya sastra dengan kenyataan, pendekatan


sosiologi sastra berusaha untuk memahami bagaimana sastra merefleksikan dan
memengaruhi dunia di sekitarnya, serta bagaimana realitas tersebut membentuk
karya sastra itu sendiri. Pendekatan sosiologi sastra memberikan kontribusi penting
dalam memahami peran dan fungsi sastra sebagai bentuk dokumentasi sosial yang
menghadirkan gambaran tentang kehidupan manusia dan masyarakat dalam
berbagai konteks (Nasution, 2016).

METODE PENELITIAN
Cerpen “Manusia Kamar” menjadi pokok bahasan pada penuslian ini.
Penelitian tentang cerpen "Manusia Kamar karangan Seno Gumira Ajidarma memiliki
tiga tujuan utama, yaitu mendeskripsikan sosiologi yang digambarkan oleh
pengarang, menggambarkan gambaran sosial dalam cerpen, dan mengetahui
pengaruh sosial terhadap masyarakat dalam cerpen tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori sosiologi
sastra dari Austin Warren dan Rene Wellek, yang meliputi sosiologi pengarang,
sosiologi karya sastra, sosiologi pembaca, dan pengaruh sosial karya sastra.

Objek penelitian ini adalah cerpen "Manusia Kamar" yang ditulis oleh Seno
Gumira Ajidarma dan diterbitkan pada tahun 1988. Dalam melakukan analisis,
peneliti menggunakan jenis dan metode penelitian kualitatif serta metode analisis
deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kata dan kalimat dalam
cerpen "Manusia Kamar* yang memiliki kaitan dengan aspek sosiologi sastra.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan analisis
pada dokumen cerpen "Manusia Kamar". Dalam analisisnya, peneliti memfokuskan
pada aspek-aspek sosiologi sastra yang terdapat dalam cerpen, seperti bagaimana
pengarang menggambarkan latar belakang dan kehidupan sosial tokoh-tokoh dalam
cerita, bagaimana cerpen mencerminkan fenomena sosial di masyarakat, serta
bagaimana cerpen mempengaruhi pembaca dalam memahami isu-isu sosial.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sosiologi sastra merupakan cabang interdisipliner yang menggabungkan
antara sosiologi dan ilmu sastra, dan tujuannya adalah untuk memahami karya sastra
dari sudut pandang sosial dan budaya. Ada tiga jenis sosiologi sastra yang dijelaskan
oleh Rene Wellek dan Austin Warren:

1. Sosiologi Pengarang
Fokus pada penelitian kehidupan, latar belakang, dan pengalaman sosial dari
para pengarang sastra. Pendekatan ini memahami bagaimana pengalaman
sosial pengarang dapat tercermin dalam karya-karya sastranya dan
bagaimana identitas mereka memengaruhi pesan yang ingin mereka
sampaikan melalui tulisan.
2. Sosiologi Karya Sastra
Berfokus pada analisis isi dan pesan sosial yang terkandung dalam karya
sastra itu sendiri. Para peneliti menganalisis elemen-elemen sastra seperti
tema, karakter, plot, dan gaya penulisan untuk memahami bagaimana karya
sastra tersebut mencerminkan atau mengomentari fenomena sosial di
sekitarnya.
3. Sosiologi Pembaca dan Dampak Sosial Karya Sastra
Mempertimbangkan bagaimana pembaca merespons dan meresapi karya
sastra. Pendekatan ini melihat bagaimana karya sastra dapat mempengaruhi
pembaca dalam membentuk pandangan, sikap, atau tindakan mereka
terhadap masalah-masalah sosial (Nasution, 2016).

Cerpen Manusia Kamar menceritakan seseorang yang telah muak melihat


kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di sekitarnya dan kenyataan yang membuatnya
kecewa, sehingga dia bersikap dengan terang-terangan tanpa menjaga sikap.

Sosiologi Pengarang

Sosiologi pengarang sebagai salah satu jenis penelitian yang ada di dalam sosiologi
sastra. Pengarang dan karya yang dimiliki oleh seorang pengarang merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Sosiologi pengarang berkaitan dengan status
sosial, ideologi sosial, dan aspek lain pengarang sebagai produser sastra (Miuri Legi
Lestari, 2017)

a. Sumber Ekonomi Pengarang, hal ini membahas tentang mata pencaharian.


Dimana tidak semua pengarang menjadi karyanya sebagai tempat mencari
penghasilan, akan tetapi ada juga beberapa pengarang yang menjadikan
karyanya sebagai sampingan dan hobi semata. Sumber ekonomi pengarang
cerpen Manusia Kamar dapat dilihat dari biografinya, maka dari itu penulis
mengumpulkan data tentang sumber ekonomi pengarang untuk mengetahui
apakah pengarang menjadi kegiatan menulisnya sebagai pekerjaan utama
atau pekerjaan sampingan. Ditinjau dari biografinta, Seno Gumira Ajidarma
menjadi karya sastranya yaitu cerpen Manusia Kamar sebagai pekerjaan
utamanya karena hingga saat ini beliau masih berprofesi sebagai seorang
ilmuwan sastra Indonesia.
b. Latar Belakang Sosial, Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis,
sastrawan, dan intelektual Indonesia yang lahir pada tanggal 19 Juni 1958 di
Kota Boston, Jawa Tengah, Indonesia. Ia tumbuh dan besar di Indonesia, dan
memiliki latar belakang pendidikan di bidang sastra. Karyanya sering kali
mencerminkan pandangan kritisnya terhadap isu-isu sosial, politik, dan
budaya di Indonesia. Ia dikenal sebagai seorang penulis yang berani dalam
mengungkapkan berbagai permasalahan di masyarakat melalui tulisannya.
Dalam cerpen Manusia Kamar digambarkan beberapa permasalahan yang
biasa terjadi di kalangan masyarakat.

“Penjilat munafik, dan pencuci otak”, katanya.


“Saya menyadari bahwa hal tersebut terjadi di hotel, saya menjadi tahu
bahwa dari mana pelacur di jalan itu, saya bisa menggapai mobil pejabat
yang sedang diparkir di motel tersebut. Kucari semua tempat hiburan
malam, perpustakaan, restoran, kompleks gelandangan, warung-warung
kopi, tempat waria bekerja, tempat sesama jenis berpacaran, masjid,
gereha, vihara, klenteng… berlarut-larut sudah terlewati dan
hatinya tetap kosong”.

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut dapat diketahui bahwa latar belakang


pengarang sebagai seorang pemberani karena menuangkan berbagai
pemasalahan yang terjadi dalam masyarakat dalam karya sastranya.

c. Status Pengarang, Seno Gumira Ajidarma telah menerima berbagai


penghargaan dan prestasi atas karya-karyanya yang berkontribusi pada sastra
Indonesia. Penghargaan-penghargaan ini mengakui kualitas sastra dan
kontribusi Seno Gumira Ajidarma dalam pengembangan dunia sastra
Indonesia. Karyanya yang menggambarkan realitas sosial dan kritiknya
terhadap berbagai isu telah membuatnya diakui sebagai salah satu penulis
yang berpengaruh di negara tersebut.
d. Integritas Sosial Pengarang, Seno Gumira Ajidarma mengenalkan cerpen
Manusia Kamar secara alami. Semua dilakukan melalui pengadaan launching,
bedah buku, dan seminar.

Sosiologi Karya Sastra

Aspek sosiologi dalam karya sastra merujuk pada cara di mana karya sastra
mencerminkan dan mempengaruhi aspek-aspek sosial dalam masyarakat pada
cerpen Manusia Kamar dan tujuan dari penulisan karya sastra tersebut.

a. Kesenjangan Sosial, ketimpangan dalam cerpen Manusia Kamar yang terjadi


adalah ketimpangan pengetahuan antara dia dan teman-temanya yang
membuat temannya menjadi segan kepadanya.
“Ia memang suka berfilsafat. Aku kerap termangu mendengar kata-
katanya, tetapi aku mencoba untuk melayaninya. Jika telah kenal, maka
dia diajak berbicara sangat menyenangkan. Pengetahuan yang
dimilikinya sangat luas dan apa yang dia katakana tidak terbantah.
Teman yang lain segan terhadap dia”.

Dari kutipan di atas kesenjangan sosial yang ditunjukkan dalam novel


Manusia Kamar berupa kesenjangan pengetahuan

b. Kemiskinan, kondisi kemiskinan pada cerpen Manusia Kamar ditunjukkan


pada kondisi seorang seniman yang urakan dan kurang mampu, tampak dari
penampilannya.
“Dalam gelapnya senja tersebut, pelan-pelan kemudian menjadi tampak,
bajunya sangat kotor dan juga celananya. Sepatunya terlihat normal,
tetapi rambut yang dimilikinya itu, terlihat seperti sapu yang kusut dan
kaku, serta tidak tahu berapa bulan tidak disisir. Dulu, meskipun ia
termasuk seniman yang urakan”.
Pada kutipan ini tergambar mengenai kondisi seniman tersebut.
c. Kenakalan Remaja, meminum bir pada saat masih sekolah merupakan
kenakalan remaja karena belum cukup usia untuk mencoba hal tersebut.
Apalagi meminum bir dapat membuat seseorang menjadi kecanduan dan
membuat Kesehatan tubuh terganggu.
“Ditenggaknya segelas bir. Dari semalam tersebut, di dalam alunan musik
dangdut yang panas, aku mendengar bahwa kualiahnya mengenai
kapitalisme, individualisme, eksistensialisme, ekosistem, religiusitas, dan
kritik budaya. Sudah berapa banyak dihabiskannya botol-botol bir
tersebut, ditambah juga dengan pikiran yang meleset tinggi di awan
tersebut, aku mendadak tergeletak di atas meja dan tertidur sangat
pulas”.

Pengaruh Sosial Cerpen Terhadap Masyarakat

Adanya beragam latar belakang informan yang memberikan tanggapan


positif dapat menjadi indikator bahwa cerpen ini berhasil menarik perhatian
pembaca dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan usia. Dengan demikian,
cerpen "Manusia Kamar" memiliki potensi untuk menjadi karya sastra yang inklusif
dan mendapatkan apresiasi dari beragam pembaca (Sunanda, 2015)

Sebagai karya sastra, cerpen "Manusia Kamar" oleh Seno Gumira Ajidarma
mempunyai potensi pengaruh sosial terhadap masyarakat. Pengaruh sosial dari
cerpen ini melibatkan beberapa aspek, yaitu:

1. Pemberdayaan Masyarakat
Cerpen "Manusia Kamar" bisa memberikan pengaruh positif dengan
menggambarkan karakter-karakter yang kuat dan inspiratif. Cerpen ini
menampilkan karakter yang berjuang mengatasi rintangan atau menghadapi
tantangan hidup dengan penuh semangat, hal ini dapat memberikan inspirasi
bagi pembaca untuk menghadapi masalah dan mencapai pemberdayaan diri.
2. Kesadaran Sosial
Cerpen “Manusia Kamar” mencerminkan isu-isu sosial yang ada dalam
masyarakat. Cerpen ini mengangkat isu-isu sosial seperti kemiskinan,
kenakalan remaja, dan kesenjangan sosial, yang dimana hal tersebut dapat
meningkatkan kesadaran sosial pembaca tentang masalah- masalah tersebut.
3. Penghayatan Emosional
Cerpen “Manusia Kamar” menyentuh emosi pembaca yang menciptakan
ikatan emosional kuat antara cerita dan pembaca. Penghayatan emosional ini
dapat membantu pembaca merenungkan pengalaman hidup dan perasaan
karakter dalam cerpen, sehingga dapat membawa perubahan sikap atau
pandangan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Refleksi Diri
Cerpen "Manusia Kamar" menghadirkan konflik dan perenungan karakter
yang dapat mencerminkan situasi atau kondisi yang ada dalam kehidupan
nyata. Pembaca dapat merenungkan diri sendiri atau situasi yang serupa
dalam kehidupan mereka serta memahami implikasi sosial dari keputusan
atau tindakan tertentu.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut. Cerita yang ada dalam cerpen Manusia Kamar
merupakan sebagai metafora tentang kehidupan manusia yang serius dan penuh
makna, berbeda dengan kebanyakan orang yang mencari kemudahan dan
menghindari keruwetan dalam hidup.

Cerpen ini juga menggambarkan sinisme terhadap kepalsuan duniawi, yang


dihadapi oleh karakter "manusia kamar" dan juga oleh sang kawan satu-satunya.
Meskipun sang "manusia kamar" mencoba merenggut topeng-topeng kepalsuan
tersebut, respon masyarakat terhadap upayanya tampaknya tidak memuaskan.

Penelitian tersebut juga mengaitkan isi cerpen dengan isu-isu sosial dan
politik yang terjadi saat itu, seperti kenaikan BBM, rencana kenaikan TDL, RUU APP,
Freeport, Blok Cepu, kenaikan gaji anggota DPR, dan kematian anak kurang gizi.
Penelitian tersebut menggambarkan bahwa dalam realitas masyarakat, isu-isu
tersebut seringkali tidak memiliki dampak yang signifikan atau tidak mampu
menggoyahkan "sindrom kenyamanan" yang melumpuhkan kepekaan banyak orang.

REFERENSI

Ayuningtyas, R. (2019). Relasi Kuasa dalam Novel Anak Rantau Karya Ahmad
Fuadi : Kajian Teori Michel Foucault. Jurnal Ilmiah Sarasvati, 74.

Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media


Pressindo.

Miuri Legi Lestari. (2017). Hubungan Aspek Sosiologi Pengarang Dengan


Unsur Intrinsik Dalam Novel Nijuushi No Hitomi. Jurnal Program Studi
Sastra Jepang, 66.
Nasution, W. (2016). Kajian Sosiologi Sastra Novel Dua Ibu Karya Arswendo
Atmowiloto Suatu Tinjauan Sastra. 14-27.
Puspitasari, A. (2017). Hubungan Kemampuan Berpikir Kreatif Dengan
Kemampuan Menulis Cerpen. Jurnal SAP Vol.1, 3.
Safari, D. (2018). Novel Belantik Karya Ahmad Tohari Pendekatan Sosiologi
Sastra. Jurnal Bindo Sastra 2, 184.
Sunanda, A. (2015). Kajian terhadap Cerpen yang Berjudul "Paman Gober"
Karya Seno Gumira Ajidarma Perspektif Strukturalisme-genetik. 114-
125.

CERITA PENDEK

MANUSIA KAMAR

Seno Gumira Ajidara

Pada umurnya yang ke-20 ini, ia mulai memasuki periode sinis kepada dunia. Aku
telah mengenalnya semenjak ia mulai mengenal dirinya sendiri. Ia muak melihat
kepalsuan-kepalsuan di sekelilingnya. Aku bilang padanya, dalam kehidupan itu
semua biasa. Ia bisa mengerti, tapi tak bisa menerima.Lima tahun yang lalu ia masih
hidup dengan penuh harapan. Tapi yang penting mungkin bukan sekadar harapan.
Yang penting adalah kenyataan, dan kenyataan telah membuatnya kecewa. Ia mulai
jenuh dengan basa basi. Sikapnya mulai kasar dan terang-terangan. Banyak kawan
mulai sakit hati, dan akhirnya ia tersingkir.Aku hanya sekali-sekali saja berjumpa
dengannya, karena kau tahu, kesibukan makin hari makin bertambah. Mungkin cuma
aku yang mengerti persoalannya. Ia menghindari persahabatan, aku maklum,
persahabatan terkadang bisa membunuh. Ia terasing dan kesepian.

Tampaknya ia lebih suka demikian karena telah jadi pilihannya. Ia bahagia dalam
ketidakbahagiaannya atau ia tidak bahagia dalam kebahagiaannya.Ia memang suka
berfilsafat. Aku sering bingung mendengar kata-katanya, tapi tetap mencoba
melayaninya. Jika sudah kenal, berbicara dengan dia amat menyenangkan.
Pengetahuannya luas dan apa yang dikatakannya sering tidak terbantah. Kawan-
kawan yang lain agak segan terhadapnya, karena ia terlalu sering menelanjangi
kebebalan mereka di muka umum. Mereka bilang ia terlalu asyik sendiri, suka
berkhayal, nyentrik dan tidak bisa bergaul.

Aku sendiri menganggap ia manusia biasa, yang sedang menjalani tahap-tahap


kehidupannya. Tapi tahap itu dilaluinya dengan amat serius dan penuh makna. Aku
sendiri heran kenapa bisa demikian. Selama beberapa tahun terakhir, gejala itu
memang mulai tampak.

“Aku bosan lihat orang-orang itu.”

“Kenapa?”

“Munafik, penjilat, tukang onani jiwa.”

“Wah, jangan begitu dong. Itu manusiawi kan?”

“Memang, tapi sebal melihatnya. Jenuh.” Ia sangat serius, sementara banyak orang di
sekelilingnya makin hari makin mencari kemudahan dan kesantaian. Ia tak mendapat
tanggapan, dan marah. Untung ia bisa menyalurkannya dalam latihan teater atau
menulis puisi, namun ini tidak berlangsung lama. Rupanya dunia kesenian pun tak
memuaskan. Ia ketemu lagi dengan pemimpi, pembual dan juga penjilat. Semenjak
ia keluar dari perguruan tinggi dan rombongan sandiwara itu dua tahun yang lalu,
aku tak pernah lagi melihatnya. Aku teringat ketika untuk terakhir kalinya berpapasan
dengan dia di jalan.

“He kampret, dari mana saja kamu?”

“Bertapa,” katanya dengan lesu.

Dalam remang senja itu, perlahan-lahan kemudian menjadi jelas, bajunya begitu
kumal meskipun termasuk mahal. Juga celananya. Sepatunya sih normal, tapi heh
rambutnya itu, wah seperti sapujagat: kusut dan kaku, dan entah berapa bulan tidak
disisir. Dulu, meskipun ia termasuk seniman yang urakan, pakaiannya termasuk rapi
dan mengikuti mode. Pasti perubahan-perubahan semacam ini disebabkan oleh
suatu hal yang sangat mempengaruhi dirinya. “Bertapa? Bertapa di mana? Gua
Langse?”

“Bertapa kok di mana! Zaman sekarang orang bertapa di kamarnya

sendiri! Tahu nggak lu?” Busyet! Ketus amat.

Aku kurang bisa mengerti. Kebudayaan macam mana yang menghasilkan manusia
ini. Dan apakah yang dikerjakannya selama ini? “Baca buku! Hanya baca buku! Tidak
makan dan tidak minum!” Wah, wah, wah, ia memang sudah berubah rupanya.
Semua kitab suci dilalapnya, mulai Zabur, Taurat, Injil, Qur’an sampai Goethe, Tao,
Khonghucu, Wedhatama, Wulangreh, Upanishad, Bhagawadgita, Sartre, Heidegger,
Karl Marx dan Ranggawarsita. Kini di tangannya kulihat pula bukunya Erick Fromm,
Schumacher dan sebuah buku tentang Zen. Rupanya ia barusan dari toko buku.
“Masih jenuh melihat manusia?”

“O tentu, tentu. Di toko buku tadi banyak orang sok pintar. Ada orang memborong
ensiklopedi. Melihat tampangnya sih, cuma buat pajangan ruang tamu. Sialan! Dasar
gombal semua orang-orang model begini!”

Aku mengajaknya nonton film. Ia bertanya dulu film apa. Ia benci film action. Maunya
nonton film-film Ingmar Bergman, Werner Herzog atau Wim Wenders. Tapi tentu
saja tidak ada. Aku bilang ini film Indonesia pemenang Citra, namun dengan hormat
ia menolak, ada hal yang lebih penting, katanya. Iseng-iseng kuajak ia ke tempat
pelacuran. Lho, ia mau.

“Ini baru namanya hidup,” katanya setelah keluar dari kamar.

Ditenggaknya segelas bir. Dan sepanjang malam itu, di tengah alunan panas musik
dangdut, aku mendengar kuliah-kuliahnya tentang individualisme, eksistensialisme,
kapitalisme, ekosistem, religiusitas, dan kritik budaya. Sudah melayang aku dengan
berbotol-botol bir, ditambah pula dengan pikiran-pikirannya yang tinggi di awan itu,
aku tiba-tiba saja tergeletak di meja, tertidur pulas.

Esoknya ia sudah tidak ada. Dan tujuh hari pun menjadi seminggu. Empat minggu
menjadi sebulan. Dua belas bulan menjadi setahun. Waktu begitu saja lewat tanpa
terasa. Banyak orang merasa telah menjadi tua, sementara orang-orang lain malah
merasa makin muda. Kehidupan masih berjalan seperti biasa. Ada orang jujur yang
tak pernah mujur, dan orang yang berjiwa bunglon masih selamat. Dunia belum
betul-betul kiamat. Sungai masih mengalir, dari gunung ke desa, ke kota, ke muara,
ke laut, bersama sejumlah besar sampah.

Di jendelaku masih ada burung yang bulunya kuning, yang tiap pagi masih berkicau.
Mungkin tiba saatnya nanti burung tidak bisa berkicau, kehilangan bahasa. Angin
masih silir. Senja masih jingga. Fajar masih ungu. Telepon itu berdering.

“Halo? Ya? He! Telepon dari mana kamu?”

“Dari rumah.” “Di mana? Aku pengin ketemu kamu.”

“Sorry saja bung! Rahasia! Sekarang tidak ada sistem ketemu. Kalau ada perlu,
telepon saja, ini nomorku, 717375.”

“Tapi ini penting.”


“Takut disadap?”

“Soalnya ini masalah pribadi.”

“Apalagi itu, sorry.”

Kami bercakap sebagaimana layaknya dua kawan yang lama tidak berjumpa. Ia
bertanya tentang segala macam hal dengan suatu urutan pertanyaan yang
sistematis, sehingga kalau jawaban itu dikumpulkan, mungkin bisa merupakan
laporan riset. Ha! Ini perkembangan baru. Ia haus informasi, tapi begitu pelit akan
informasi dirinya sendiri. Ketika hubungan itu selesai, kembali lagi ia menjadi misteri
bagiku. Apalagi bagi kawan-kawan yang lain.

Dengan bodoh aku masih bertanya sama mereka di mana alamatnya. Tentu saja
tidak tahu. Kutanyakan pada orang tuanya, ini pun nihil. Ternyata selama ini mereka
pun hanya berhubungan lewat telepon.

Telepon? Heh, tolol sekali aku. Kutelepon dia. “Halo?” Telepon segera diangkat.

“Di mana sih rumah kamu?”

“Lu ngga perlu tau gue punye rume. Kalok perlu telepon aje bung!”

“Gue ade perlu ni ame lu!” Eh, kenapa aku jadi ikut-ikutan bergaya Betawi?

“Sampaikan saja lewat telepon!” Ia tampak terganggu.

“Pertemuannya yang penting!”

“Maaf, aku tidak terima tamu.”

Klak.

Nging.

Tut tut tut.

Bangkek orang ini. Sombong sekali dia. Tapi aku jadi penasaran. Seperti detektif film
seri televisi, kucoba menyelusuri jejaknya. Namun ia sungguh pintar. Berbagai tabir
tidak bisa disingkapkan dengan segera. Banyak juga waktu terbuang untuk mencari
batang hidungnya. Mula-mula kuhubungi kantor telepon. Nomor teleponnya
memang ada alamatnya, kudatangi rumah itu, ternyata sebuah rumah kecil yang
kosong. Pintunya terkunci dari luar, kudobrak. Dan tetap kosong. Apa artinya ini?
Kutunjukkan pada kantor telepon, mereka bilang memang itu alamatnya, dan tiap
bulan menerima uang ongkos telepon. Tapi siapa yang masang? Segera petugas
dicari, tapi ke mana petugas itu? Ia sudah dipindahkan ke luar kota.

Aku benar-benar penasaran. Segala alamat rumah di kantor kotamadya kucek dan
cek kembali, kalau-kalau ada namanya. Tapi sungguh rumit.

Biasa, administrasi yang kacau. Jadi? Nihil. Lantas bagaimana? Ha!

Malam hari! Ia suka keluar malam, aku harus begadang sepanjang malam menelusuri
kota ini.Maka ketika malam dengan jubahnya yang hitam telah tengkurap
menelungkupi kota.

Ketika dingin mulai menyerbu jalanan yang mulai basah oleh gerimis, dengan krah
jas hujan yang tegak menutupi telinga, dengan topi model bandit Itali, lengkaplah
aku sebagai intel Melayu yang amatiran.Tapi jadinya aku lebih mengenal kehidupan.
Aku tahu apa yang terjadi di hotel-hotel, aku tahu dari desa mana pelacur jalanan itu
berasal, aku bisa mengendus mobil pejabat siapa yang diparkir di motel itu.
Kutelusuri segala tempat hiburan malam, perpustakaan, restoran, kompleks
gelandangan, warung-warung kopi, tempat banci-banci mangkal, tempat homo-
homo berkencan, mesjid, gereja, vihara, klenteng …

Bermalam-malam sudah dan hasilnya nol besar.

Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga.
Malam memang menyingkapkan kepalsuan. Di balik kekelaman itu topeng-topeng
dibuka dan bentuk asli yang serba gombal itu pun bisa kutangkap, kekelaman seperti
memberikan perasaan aman dan terlindung. Bisa kudengar bisik-bisik sekongkol
politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara
strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara
perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup.Agak sulit mencari orang normal.
sebagian terlalu fanatik, sebagian lain dekaden. Aku jadi maklum kenapa kawanku
jadi jenuh. Ia tidak menerima mereka sebagaimana adanya. Ia mencari yang baik-
baik saja, dan itu memang sulit, dan bisa jadi malahan tidak ada. Sedangkan kalau
ada, mungkin juga tidak menarik dan tidak menyenangkan. Kata orang, dunia
memang mengecewakan. Dunia menjadi buruk karena ulah manusia. Dia memang
makin lama makin pesimistis. Aku melihat ia agak kacau. Dan aku jadi makin
penasaran saja. Ke mana dia, kenapa tidak ada seorang pun yang tahu? Kenapa pula
ia harus menghilang?

You might also like