You are on page 1of 249

MODEL PENGELOLAAN KEBUN

KELAPA SAWIT PLASMA BERKELANJUTAN


(STUDI KASUS DI PERKEBUNAN PIR-TRANS PTPN V
SEI PAGAR KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU)

I Gusti Putu Wigena

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


2009

SURAT PERNYATAAN DISERTASI


DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul:

MODEL PENGELOLAAN KEBUN KELAPA SAWIT


PLASMA BERKELANJUTAN
(Studi Kasus Di Perkebunan PIR-TRANS PTPN V
Sei Pagar Kabupaten Kampar Provinsi Riau)
Merupakan hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para komisi
pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah disajikan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor,

Juni 2009

I Gusti Putu Wigena


Nrp: P062040161

ABSTRACT
I Gusti Putu Wigena, Sustainability Management Model of Nucleus Estate
Smallholder Oil Palm Plantation: A Case Studi at PIR-TRANS PTPN V Sei
Pagar, Kampar District Riau Province. Under Guidance of Sudradjat (as
chairman), Santun R.P Sitorus and Hermanto Siregar (as members).
Goal of the experiment was to provide a sustainability of oil palm
management model, which can be described as follow: (1) to analyze land
suitability and productivity performance of oil palm area, (2) to analyze oil palm
yield model, (3) to analyze the role and institutions linkage, (4) to create
sustainability management model and its scenario strategic for implementing of
the promoted model. The results showed that sustainability of Nucleus Estate
Smallholder oil palm plantation for 2010-2035 period can be achieved through
the promoted management model with the conditions of people growth 1.7%,
land suitability S2 (moderately suitable) and weak competition capacity of
competitor crop (rubber). The indicators of sustainability oil palm management
model were (a) favorable physical land condition which can be shown from the
lower level of land degradation about 0.03-0.08%, environmental carrying
capacity also low about 0.002-0.01%, and by average, production of fresh fruit
bunch was 25.83 tones/year, (b) farmers income about Rp. 45 719 916/year and
society income Rp. 16 845 025/year, higher then the minimum regional wage of
Riau Province, (c) Socially, education level of the farmer increased significantly
which can be equalized into total income up to Rp. 55 000 000/year.
Empowerment of farmer group was the best alternative in generating of
sustainability oil palm management model. In accordance to the local condition,
The PRITAMA scheme model has the highest probability in creating of an
harmonies institutional linkage. There were 7 key variables for implementing of
the promoted sustainability of oil palm management model, namely, land holding
size, land status, land suitability, capital, human resources, institution and
government policy. The medium scenario has the highest probability towards
sustainability oil palm management model with the conditions for future are land
holding size rather decrease, land status fixed, land suitability relative remain,
quality of human resources moderate, working capital available, institution rather
harmonies and government policy favorable for implementing of the promoted
model.
Key worlds: nucleus estate smallholder oil palm, sustainability, land suitability,
land degradation, environmental carrying capacity.

RINGKASAN
I Gusti Putu Wigena, Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan: Studi Kasus Di Perkebunan PIR-TRANS PTPN V Sei Pagar
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Dibimbing oleh Sudradjat (Ketua), Santun R.P
Sitorus dan Hermanto Siregar (Anggota).
Perkebunan kelapa sawit plasma merupakan perkebunan rakyat yang
dalam pengembangannya diintegrasikan ke dalam pola PIR-Trans dengan
melibatkan Kelompok Tani, KUD, Perusahaan Inti dan Lembaga Keuangan
(Bank). Instansi Terkait dari Pemerintah Daerah sebagai pembimbing terutama
aspek
teknis. Adanya kelemahan sistem yang dibangun dan benturan
kepentingan masing-masing stakeholders menyebabkan terganggunya
mekanisme hubungan stakeholders. Lebih jauh, pengelolaan perkebunan kelapa
sawit plasma kurang optimal, produktivitas kelapa sawit rendah dan menurun
serta menurunnya kualitas lahan. Hal ini mengindikasikan diperlukannya model
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan untuk membantu
mengatasi permasalahan yang dihadapi petani.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh model pengelolaan
perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan, yang secara rinci mempunyai
tujuan spesifik yaitu: (1) menganalisis tingkat kesesuaian lahan dan produktivitas
lahan kelapa sawit plasma, (2) menganalisis model produksi perkebunan kelapa
sawit plasma, (3) menganalisis peranan dan keterkaitan kelembagaan dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan, (4) memperoleh
model alternatif pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dan
(5) memperoleh rumusan skenario strategis untuk mengimplimentasikan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan. Penelitian
dilakukan di areal perkebunan PIR-Trans kelapa sawit P.T Nusantara V Sei
Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Tingkat kesesuaian lahan diestimasi
dengan metode Djaenudin, kelembagaan dengan AHP, model produksi
diestimasi dengan Fungsi Produksi Nerlove, alternatif model pengelolaan
dengan Sistem Dinamis dan skenario strategis dengan Analisis Prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 75% lahan perkebunan
kelapa sawit plasma Sei Pagar dapat diklasifikasikan kedalam kelas S2-f (cukup
sesuai dengan retensi unsur hara sebagai penghambat). Rata-rata produksi
kelapa sawit plasma pada areal ini adalah 23,04 ton TBS/ha/tahun. Sekitar 25%
lahan perkebunan kelapa sawit plasma Sei Pagar dapat diklasifikasikan kedalam
kelas S2-f,n (cukup sesuai dengan retensi unsur hara dan sistem perakaran
tanaman sebagai penghambat). Rata-rata produksi kelapa sawit plasma pada
areal ini adalah 22,00 ton TBS/ha/tahun. Luas areal kelapa sawit plasma
dipengaruhi oleh harga TBS, kebijakan pemerintah, teknologi pengelolaan dan
lag luas areal tahun sebelumnya. Produktivitas kelapa sawit plasma dipengaruhi
oleh harga pupuk SP-36, harga pupuk KCl dan lag produktivitas kelapa sawit
tahun sebelumnya. Nilai elastisitas jangka panjang semua variabel yang
mempengaruhi luas areal dan produktivitas kelapa sawit plasma lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai elastisitas jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan perilaku petani dalam menentukan luas areal tanam memerlukan
waktu yang lama dari sejak dikeluarkannya kebijakan pemerintah. Peningkatan
produksi kelapa sawit plasma lebih difokuskan melalui usaha intensifikasi diikuti
dengan usaha ekstensifikasi.
Analisis kelembagaan menunjukkan bahwa sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah sebagai faktor utama. Pada
level hirarki aktor kelompok tani, pemerintah daerah dan LSM memiliki kontribusi

tinggi. Tujuan yang harus diutamakan pada kerangka hirarki pengelolaan


perkebunan kelapa sawit plasma adalah meningkatkan pendapatan petani,
meningkatkan PAD dan pelestarian sumberdaya alam. Sesuai dengan hasil
analisis tersebut, pemberdayaan petani melalui penguatan Gabungan Kelompok
Tani menjadi alternatif terbaik untuk mencapai kondisi berkelanjutan dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma. Alternatif pengelolaan ini juga
mengindikasikan perlunya peningkatan kapabilitas petani, lembaga swadaya
masyarakat dan pemerintah daerah sesuai dengan peranannya masing-masing
seiring dengan nuansa otonomi daerah. Model PRITAMA adalah skim alternatif
kelembagaan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani.
Model ini berfokus pada peningkatan aksesibilitas terhadap arus informasi
teknologi, pemasaran dan lembaga keuangan diimbangi dengan pengawasan
yang lebih desiplin terhadap perilaku petani dan mitra dalam mengelola kebun
kelapa sawit plasma.
Model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan yang
dirancang memiliki kinerja yang baik terlihat dari uji validitas kinerja dengan nilai
EME dan AVE masing-masing antara 0,55-1,24% dan 1,06-5,02%. Demikian
juga uji sensitivitas menujukkan perubahan output model yang selalu stabil dan
serupa pada perubahan input model. Model yang dibangun dapat menjaga
produktivitas lahan yang dicirikan oleh rendahnya tingkat degradasi lahan sekitar
0,03-0,08%. Demikian juga laju penurunan daya dukung lingkungan tergolong
sangat rendah sekitar 0,002-0,01%. Pada kondisi biofisik tersebut, estimasi ratarata produksi kelapa sawit plasma selama 25 tahun mendatang (2010-2035)
sebesar 25.83 ton TBS/ha/tahun. Secara ekonomi, pendapatan petani diestimasi
rata-rata sebesar Rp. 22 859 950/ha/tahun dan pendapatan masyarakat
Rp.16 845 025/tahun. Skenario strategis yang memungkinkan untuk
mengimplementasikan model pengelolaan yang dibangun adalah skenario
mdium dengan kondisi faktor kunci: luas lahan agak menurun, kesesuaian
lahan S2,status lahan terjamin (sertifikat), pengetahuan dan keterampilan SDM
cukup memadai. Kondisi ini memerlukan kebijakan pemerintah yang agak
mendukung dengan mengakumulasi sebagian kepentingan petani,
akses
ketersediaan modal dari lembaga keuangan cukup memadai serta kelembagaan
yang agak harmonis dan handal mendukung mekanisme kinerja pengelolaan
perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan.
Kata kunci: kelapa sawit plasma, berkelanjutan, kesesuaian lahan, degradasi lahan, daya dukung
lingkungan

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber:
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MODEL PENGELOLAAN KEBUN KELAPA SAWIT


PLASMA BERKELANJUTAN
(Studi Kasus Di Perkebunan PIR-TRANS PTPN V
Sei Pagar Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

I Gusti Putu Wigena

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


BOGOR
2009

1. Ujian Tertutup Tanggal 26 Pebruari 2009


Penguji Luar Komisi Pembimbing
a. Prof. Dr. Ir. Sudirman Jahja, M.Sc
Guru Besar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
b. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut
Pertanian Bogor
2. Ujian Terbuka Tanggal 1 Juni 2009
Penguji Luar Komisi pembimbing
a. Dr. Ir. Sumardjo Gatot Irianto
Kepala Badan Penelitian Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian
b. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, M.S
Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian

Judul Disertasi

: Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan (Studi Kasus Di Perkebunan PIR-TRANS
PTPN V Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

Nama mahasiswa

: I Gusti Putu Wigena

NRP

: P062040161

Program Studi

: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui,
1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sudradjat, M.S


Ketua

Prof Dr.Ir. Hermanto Siregar, MEc


Anggota

Prof.Dr.Ir. Santun R.P Sitorus


Anggota

Diketahui,
2. Ketua Program Studi PSL, IPB

3. Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB

Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S


NIP. 131 471 836

Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


NIP. 130 891 386

Tanggal ujian: 1 Juni 2009

Tanggal lulus:

iii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala rachmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
disertasi ini dengan baik.
Perkebunan kelapa sawit plasma merupakan salah satu bentuk
perkebunan kelapa sawit rakyat yang masih mengalami kendala dalam
pengelolaannya sehingga berakibat pada penurunan produksi, kualitas lahan
dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini mengindikasikan diperlukannya model
pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan kondisi
biofisik, sosial dan ekonomi petani.
Dengan selesainya disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr. Ir. Sudradjat, MS sebagai ketua komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penyelesaian disertasi
ini. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto
Siregar sebagai anggota pembimbing yang turut memberikan bimbingan kepada
penulis. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc,
Bapak Dr. Ir. D. Subardja, MSc, Drs. Wahyu Wahdini, sebagai anggota Tim
Peneliti KKP3T yang berpartisipasi banyak dalam menyelesaikan disertasi ini.
Demikian juga penulis sampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Rohlini, MS
sebagai ketua Tim Penelitian KKP3T Badan Litbang Pertanian yang telah
memberikan dana untuk melakukan kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Rachman sebagai Kepala
Balai Penelitian Tanah Bogor yang telah memberi fasilitas dalam melakukan
analisis

kimia.

Teman-teman

lainnya

yang

turut

berpartisipasi

selama

penyelesaian disertasi ini penulis ucapkan terima kasih.


Disertasi ini bukanlah merupakan tulisan yang sempurna dan tentunya
masih memiliki kelemahan dan kekurangan sehingga penulis dengan lapang
dada menerima semua kritik dan saran untuk perbaikan sistematika maupun isi
dari tulisan ini. Namun demikian, penulis juga berharap bahwa tulisan ini dapat
membantu pihak berkepentingan dalam merumuskan dan mengambil langkah
perbaikan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma dimasa mendatang.

Bogor, Juni 2009


Penulis

iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Tabanan, Bali pada tanggal 12 Desember 1958
sebagai anak bungsu dari 5 bersudara laki-laki pasangan dari almarhum I Gusti
Komang Geret dan Ni Gusti Ayu Kade Badung. Pendidikan sarjana Strata 1 (S1)
ditempuh di Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali, lulus tahun
1984. Sejak tahun 1985 penulis diterima sebagai staf peneliti Kesuburan Tanah
dan Pupuk, Pusat Penelitian Tanah Bogor. Tahun 1997 berkesempatan
menempuh pendidikan sarjana Strata 2 (S2) di Jurusan Ilmu Tanah, Institut
Pertanian Bogor, lulus tahun 2000. Tahun 2004 penulis meneruskan pendidikan
ke jenjang sarjana Strata 3 (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor.
Selama bekerja di Pusat Penelitian Tanah Bogor, penulis aktif dalam
membina transmigrasi di Kuamang Kuning, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi
Jambi kerjasama dengan Departemen Transmigrasi sejak tahun 1985 sampai
tahun 1989. Kegiatan ini berlanjut dengan penelitian kerjasama Luar Negeri
yang berpayung dalam Asia Land and Sloping Land Networking sampai tahun
2004. Paralel dengan kegiatan tersebut, penulis terlibat aktif penelitian
kerjasama

dengan

lembaga

penelitian

Internasional

seperti

Phosphate

Potassium Institute (PPI) berkedudukan di Singapura, The Sulphur Institute (TSI)


berkedudukan

di

Amerika

Serikat,

Department

Primary

Industry

(DPI)

berkedudukan di Australia dan International Water Management Institute (IWMI)


berkedudukan di Thailan. Dalam kurun waktu tersebut, penulis berhasil
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Sistem Alley Cropping pada Lahan
Kering Masam untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Pangan dan Tanaman
Tahunan, Perbaikan Tata Botani untuk Meningkatkan Daya Dukung (Carrying
Capacity) Padang Penggembalaan di Nusa Tenggara Barat, Aplikasi Pupuk
Anorganik dan Organik untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Padi Sawah di
Kabupaten Sukabumi, Pemupukan Slow Release Padat Majemuk pada Lahan
Kering Masam untuk Tanaman Kelapa Sawit Muda di Provinsi jambi.
Penulis menikah tahun 1989 dengan Ir. Andriati, MSi staf peneliti Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, dikaruniai 2 anak yaitu I Gusti Putu Firman
Hadi dan Ni Gusti Made Angreni Nur Hadi. Diharapkan dengan selesainya
menempuh pendidikan S3 ini penulis bisa meningkatkan kapasitas sebagai
peneliti di Balai Penelitian Tanah Bogor.

v
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I.

Halaman
vii
ix
xii

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah ..............................................................

1.3. Tujuan Penelitian

1.4. Kerangka Penelitian .

1.5. Manfaat Penelitian

11

1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian

11

II. TINJAUAN PUSTAKA .

14

2.1. Ekologi dan Agronomi Kelapa Sawit .

14

2.2. Aspek Kelembagaan Kelapa Sawit .......................................

18

2.3. Dampak Lingkungan Pembangunan Perkebunan


Kelapa Sawit .........................................................................

21

2.4. Evaluasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Existing ....

29

2.5. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan ......

42

III. METODE PENELITIAN ................................................................

53

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................

53

3.2. Rancangan Penelitian ...........................................................

54

3.2.1. Jenis dan Sumber Data ...............................................

54

3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel .......................................

54

3.2.3. Teknik Analisis Data ....................................................

57

3.2.3.1. Sifat Fisika dan Degradasi Tanah ............................

58

3.2.3.2. Kesesuaian Lahan (Land Suitability) ........................

62

3.2.3.3. Fungsi Produksi Nerlove ..........................................

64

3.2.3.4. Analytical Hierarchy Process (AHP) .........................

67

3.2.3.5. Pendekatan Sistem ..................................................

71

3.2.3.6. Analisis Prospektif ....................................................

74

3.4. Definisi Operasional ...............................................................

78

vi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................

85

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ...........................................

85

4.2. Sifat Fisik dan Degradasi Lahan ...........................................

105

4.3. Kesesuaian Lahan .................................................................

107

4.4. Model Fungsi Produksi Kelapa Sawit ....................................

110

4.4.1. Fungsi Luas Areal Tanam Kelapa Sawit .....................

110

4.4.2. Fungsi Produktivitas Lahan Kelapa Sawit ...................

112

4.4.3. Respon Produksi Kelapa Sawit ....................................

115

4.5. Analisis Kelembagaan ...........................................................

118

4.6. Analisis Sistem Dinamis ........................................................

135

4.6.1. Simulasi Model ............................................................

135

4.6.2. Validasi Model .............................................................

145

4.6.2.1. Uji Validitas Struktur .................................................

145

4.6.2.2. Uji Validitas Kinerja ..................................................

148

4.6.2.3. Uji Kestabilan Model ..................................................

150

4.6.2.4. Uji Sensitivitas Model ...............................................

166

4.7. Analisis Prospektif .................................................................

172

4.8. Sintesis Hasil Analisis ...........................................................

180

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................

185

5.1. Kesimpulan ............................................................................

185

5.2. Saran .....................................................................................

187

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

189

DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................

199

vii
DAFTAR TABEL

No

Judul

1.

Karakteristik Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit


Sistem PIR ................................................................................

33

2.

Karakteristik Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit ................

37

3.

Spesifikasi Bibit Unggul Kelapa Sawit yang Dibudidayakan


Perusahaan Perkebunan ..........................................................

38

Nilai Tukar Faktor C pada Berbagai Kondisi Pengelolaan


Tanaman ...................................................................................

61

5.

Nilai Faktor P pada Berbagai Tindakan Konservasi Tanah ......

62

6.

Skala Dasar Penilaian Tingkat Kepentingan dalam AHP .........

70

7.

Pengaruh Langsung Antara Variabel dalam Pengelolaan


Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan .....................

75

Variabel-Variabel Kunci dan Beberapa Keadaannya yang


Mungkin Terjadi di Masa Mendatang ........................................

77

Keragaan Variabel Kunci, Keadaan dan Identifikasi


Ketidaksesuaian Pasangan (Incompatibility Identification) .......

78

Koperasi Unit Desa (KUD) dan Kelompok Tani di PIR-Trans Di


Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 ..........................

87

11. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien di Pabrik Kelapa


Sawit Sei Pagar Tahun 2006 ....................................................

93

12. Hasil Pengukuran Gas Buang Genset dan Boiler Pabrik Kelapa
Sawit Di Sei Pagar Tahun 2006 ................................................

94

13. Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar yang
Dibuang ke Sungai Iyek Tahun 1995 dan 1996 .......................

95

14. Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar Tahun
2005 dan 2006 ......................................................................

96

15. Kualitas Air Sungai Iyee Di Kebun Kelapa Sawit Plasma


Sei Pagar Tahun 2005 dan 2006 ...

97

16. Kualitas Air Sumur Pantau Di Kebun Kelapa Sawit Plasma


Sei Pagar Tahun 2005 dan 2006 ...............................................

98

17. Penggunaan Lahan Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar


Dan Sekitarnya, 2007 .

99

18. Jenis Tumbuhan pada Sela Barisan Kelapa Sawit Di Kebun


Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar Tahun 1992 ...........................

100

4.

8.
9.
10

19. Karakter Berbagai Jenis Tanah dan Penyebarannya Di Kebun


Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar dan Sekitarnya.........................
20. Mata Pencaharian dan Prakiraan Pendapatan Petani Plasma
Di Sei Pagar Serta Masyarakat Sekitar .....................................

Halaman

102
103

viii

21. Pendapat Masyarakat terhadap Kehadiran Perkebunan


Kelapa Sawit di Sei Pagar ........................................................

104

22. Faktor-faktor Erosi dan Besarnya Erosi Di Kebun Kelapa Sawit


Plasma Sei Pagar, 2007

105

23. Sifat-Sifat Fsika Tanah Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei


Pagar, 2007 ..

106

24. Klasifikasi dan Karakteristik Tanah Di Kebun Kelapa Sawit


Plasma Sei Pagar, 2007 ...........................................................

108

25. Land Unit, Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit, Karakteristik


Dan Sebarannya Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei
Pagar, 2007 ...............................................................................

109

26. Estimasi Luas Areal Tanam Kebun Kelapa Sawit Plasma Di Sei
Pagar, 2007 .............................................................................

111

27. Estimasi Produktivitas Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei


Pagar, 2007 ..............................................................................

114

28. Elastisitas Luas Areal Tanam dan Produktivitas Lahan


Kelapa Sawit Plasma Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Di Sei Pagar, 2007 ....................................................................

116

29. Karakteristik Kerjasama Pihak Terkait pada Skim PIR-TRANS,


Revitalisasi Perkebunan dan PRITAMA ...................................

134

30. Prediksi Rata-Rata Tingkat Produksi Tandan Buah Segar


(TBS) Kelapa Sawit Varietas LaMe Di Kebun Plasma Sei
Pagar .........................................................................................

147

31. Perbandingan Jumlah Penduduk Aktual dan Hasil Simulasi


Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2003-2007 .................

148

32. Sifat-Sifat Kimia dan Biologi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 .....................

155

33. Kadar Beberapa Unsur Hara Contoh Daun Kelapa Sawit


Plasma Di Kebun Sei Pagar .....................................................

156

34. Rata-Rata Pendapatan Petani Di kebun Kelapa Sawit Plasma


Sei Pagar ........................................................................

159

35. Nilai Pengaruh dan Ketergantungan Global Faktor-Faktor


Terkait Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar .....................................................

173

36. Skenario Strategis Aplikasi Model Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ................................

177

37. Rumusan Skenario Strategis Model Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ...................

181

ix
DAFTAR GAMBAR

No

Judul

1.

Kerangka Pemikiran Pengelolaan Kebun kelapa Sawit


Plasma Berkelanjutan ...............................................................

Konsep Pemupukan Rasional dalam Pengelolaan Perkebunan


kelapa Sawit Berkelanjutan ........................................................

26

Keterkaitan antara Petani Plasma, Perusahaan Inti dan


Lembaga Pendana dalam Pola PIR ..........................................

34

Hubungan Interkasi antara Perusahaan Inti, Petani Plasma


KUD dan Bank dalam Sistem KKPA .........................................

35

5.

Skema Pengajuan Kredit dalam Skim KKPA ............................

36

6.

Skema Pengolahan TBS dan Produk-Produknya serta


Limbah yang Terbentuk ............................................................

40

Lokasi Penelitian Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan Sei Pagar ...........................................................

53

Skema Tahapan Analisis Model Pengelolaan Kebun


kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan ........................................

58

Bahan dan Tahapan Pembuatan Peta Kesesuaian Lahan


(Land Suitability Map) ................................................................

63

10. Tahapan-Tahapan dalam Penggunaan AHP ............................

69

11. Diagram Input-Output dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan .....................................................

73

12. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan antara VariabelVariabel Kunci dalam Pengelolaan Perkebunan kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan ...............................................................

76

13. Struktur Organisasi Kebun Kelapa Sawit Plasma PTPN V


Sei Pagar Kabupaten Kampar, Riau .........................................

89

14. Alternatif Pengelolaan, Tujuan dan Kontribusi Faktor dan Aktor


Kebun kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di sei Pagar ...........

119

15. Kontribusi Faktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun


kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ....................

120

16. Kontribusi Aktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun


kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ....................

123

17. Kontribusi Tujuan dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ....................

125

18. Alur Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan Skim PRITAMA .................................................

129

19. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Biofisik


Pengelolaan Kebun kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di
Sei Pagar

136

2.
3.
4.

7.
8.
9.

Halaman

20. Diagram Alir Sub Model Biofisik Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

138

21. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Ekonomi


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di
Sei Pagar

139

22. Diagram Alir Sub Model Ekonomi Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

140

23. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Sosial


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di
Sei Pagar

141

24. Diagram Alir Sub Model Sosial Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

142

25. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Sei Pagar ..

143

26. Diagram Alir Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan Sei Pagar ..

144

27. Prediksi Pola Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar .........

146

28. Estimasi Perkembangan Jumlah Penduduk Aktual dan


Simulasi Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar .................

149

29. Prediksi Pola Produktivitas Lahan pada Model Pengelolaan


Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar .

150

30. Prediksi Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan pada


Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
Di Sei Pagar .....

151

31. Prediksi Pola Daya Dukung Lingkungan pada Pengelolaan


Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ..

152

32. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Lahan yang


Dimanfaatkan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Di Kebun
Plasma Sei Pagar ......................................................................

153

33. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Air Permukaan


dan Udara yang Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit
Plasma Di Sei Pagar ..................................................................

154

34. Prediksi Pola Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan


Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar ......................................................

157

35. Prediksi Pola Peningkatan Pendidikan Petani pada Model


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar .........................................................................................

161

36. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Pendidikan


Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar .......................................................

162

xi

37. Pendapat Petani terhadap Perubahan Konflik Sosial


Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ...........................................

163

38. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Fasilitas Umum


pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar ........................................................

164

39. Pendapat Petani terhadap Perubahan


Status Kesehatan
Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ...........................................

164

40. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Penyerapan


Tenaga Kerja pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ...........................................

165

41. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan pada Luas Lahan 6000 Hektar ...........................

167

42. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan pada Luas Lahan 4500 Hektar ...........................

168

43. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan pada Luas Lahan 3000 Hektar ...........................

168

44. Sebaran Variabel-Variabel pada Model Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ....................

174

45. Keadaan
Variabel-Variabel
Kunci
dan
Incompatibility
Identification pada Model Pengelolaan Kebun kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar ...........................................

176

xii
DAFTAR LAMPIRAN

No

Judul

1.

Kriteria dan Indikator Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan


Menurut Setiyarso dan Wulandari ...........................................

199

Prinsip dan Kriteria Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan


Menurut Roundtable On Sustainable Palm Olil (RSPO)..............

201

Jenis dan Sumber Data Primer yang Dibutuhkan dalam


Penelitian ..................................................................................

203

Jenis dan Sumber Data Sekunder yang Diperlukan dalam


Penelitian ..................................................................................

204

Matrik, Tujuan, Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data,


Teknik Analisis dan Keluaran Model Pengelolaan Kebun
Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan ........................................

205

Analisis Kebutuhan Stakeholders Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan ....................................................

207

Kualitas Limbah Cair Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit pada


Kolam Aerasi (siap dibuang ke Sungai Iyee) ...

209

Kualitas Air Sungai Iyee sebagai Media Pembuangan Limbah


Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar .....

210

Kualitas Air Tanah (Air Sumur Pantau) Di Lokasi Kebun


Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar .

211

10. Matrik Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)


Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar

212

2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.

11

Halaman

Matrik Pelaksanaan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)


Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar ..........

213

12. Peta Land Use Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar,
Kabupaten Kampar Provinsi Riau, 2007 ....................................

214

13. Peta Land Unit Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Kabupaten Kampar Provinsi Riau, 2007 ...................................

215

14. Peta Kesesuaian Lahan Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Kabupaten Kampar Provinsi Riau, 2007 ...................................

216

15. Input Data Model Luas Areal Tanam, Produktivitas dan


Produksi Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar .........................................................................................

217

16. Hasil Persamaan Power Sim Model Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Sei Pagar ....................................

218

17. Hasil Analisis Fisika Contoh Tanah Kebun Kelapa Sawit


Plasma Sei Pagar, 2007 ...........................................................

224

18. Hasil Analisis Kimia Contoh Tanah Kebun Kelapa Sawit


Plasma Sei Pagar, 2007 ............................................................

225

xiii

19. Hasil Analisis Kimia Air Tanah Permukaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Sei Pagar, 2007 ...........................................................

226

20. Hasil Analisis Kimia dan Biologi Limbah Cair PKS Kebun
Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 .....................................

226

21. Hasil Analisis Kimia Contoh Daun Kelapa Sawit Kebun Plasma
Sei Pagar, 2007 .........................................................................

227

22. Nilai Pengaruh Langsung Satu Variabel terhadap Variabel


Lainnya Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar, 2007 ..............................................

228

23. Nilai Pengaruh Tak Langsung Satu Variabel terhadap Variabel


Lainnya Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar, 2007 ..............................................

229

24. Kombinasi Keadaan Variabel Skenario Pesimis Implementasi


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
Di Sei Pagar, 2007 ....................................................................

230

25. Kombinasi Keadaan Variabel Skenario Medium Implementasi


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
Di Sei Pagar, 2007 ....................................................................

232

26

Kombinasi Keadaan Variabel Skenario Optimis Implementasi


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
Di Sei Pagar, 2007 ....................................................................

236

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Subsektor

perkebunan

mempunyai

kontribusi

penting

dalam

perekonomian nasional antara lain sebagai sumber pendapatan non migas


nasional, sebagai sumber kesempatan kerja bagi jutaan penduduk pedesaan
dan sebagai sumber energi terbarukan yaitu biodiesel. Berdasarkan harga
konstan tahun 2000, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) pada tahun 2007 sebesar 10,97%. Sub sektor tanaman bahan makanan
memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 6,96%, sub sektor perkebunan
sebesar 2,31% dan sub sektor peternakan dengan kontribusi sebesar 1,70%
(Sekjen Deptan, 2008). Khusus untuk sub sektor perkebunan, tenaga kerja yang
mampu diserap pada proses produksi dan pengolahan pasca panen mencapai
3 264 550 orang (Deptan, 2008).
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan subsektor
perkebunan yang menarik perhatian serius pemerintah, pihak investor serta
petani terutama sejak dekade 1990-an. Hal ini terlihat dari perkembangan luas
areal tanam kelapa sawit pada tahun 2007 mencapai 6,78 juta hektar dengan
produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 17,37 juta ton. Perkembangan
komoditas ini dilakukan oleh Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) seluas
3,53 juta hektar, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 2,57 juta hektar

dan

Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 0,7 juta hektar (Deptan, 2008).
Keluarnya Program Revitalisasi Perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao)
pada tahun 2007 juga merupakan bukti keseriusan pemerintah terhadap
pengembangan komoditas perkebunan. Untuk komoditas kelapa sawit, luas
kebun sasaran sekitar 1 550 000 hektar dengan rincian perluasan areal untuk
tanaman baru 1 375 000 hektar, peremajaan tanaman tua 125 000 hektar dan
rehabilitasi tanaman seluas 50 000 hektar (Ditjenbun, 2007).
Perkebunan kelapa sawit plasma merupakan perkebunan rakyat yang
dalam pengembangannya diintegrasikan kepada PBSN maupun PBN karena
keterampilan petani belum memadai, sedangkan dana ditalangi oleh pemerintah
melalui perbankan dalam bentuk kredit. Program ini dimulai sejak tahun 1977
dengan dikeluarkannya pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang meliputi PIRLokal, PIR-Khusus dan PIR Berbantuan/NESS (Nucleus Estate Smallholder).
Tahun 1986, pembangunan sub sektor perkebunan diintegrasikan dengan

2
program transmigrasi dengan direalisasikannya pola PIR-Transmigrasi dalam
upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani transmigrasi
(Ditjenbun, 1992).
Pada tahap awal, operasionalisasi perkebunan kelapa sawit plasma
berjalan lancar dimana masing-masing pihak terlibat terutama perusahaan inti
dan petani plasma melakukan peranan dan fungsinya sesuai dengan aturan
main masing-masing. Ketidak harmonisan meknisme kinerja antara perusahaan
inti dengan petani plasma mulai timbul pada saat konversi kebun yaitu ketika
kelapa sawit mulai berproduksi (buah pasir). Ketimpangan proses konversi
tersebut diikuti dengan perubahan perilaku petani plasma maupun perusahaan
inti dalam mengelola perkebunan plasma pada tahap selanjutnya terutama pada
saat petani sudah melunasi hutangnya. Petani plasma menjadi kurang respon
dengan pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan inti dan berusaha
memecahkan masalah mereka dengan solusi sendiri atau mencari kolega baru
terutama dalam pengadaan sarana produksi dan menjual TBS kepada pihak
lainnya.
Akumulasi

jangka

panjang

dari

perilaku

petani

plasma

tersebut

menyebabkan timbulnya masalah yang menyangkut aspek teknis, sosial


ekonomi, kelembagaan dan aspek lingkungan (Hasibuan, 2005). Beberapa isu
pokok yang berkembang pada lokasi-lokasi PIR-Trans adalah:
1. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga adopsi dan motivasi petani untuk
mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi juga rendah.
3

Dalam hal penentuan harga TBS, posisi tawar-menawar (bargaining position)


petani masih lemah sehingga tingkat harga yang diterima petani masih di
bawah dari tingkat harga wajar.

Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS non inti yang memicu ketidak
harmonisan mekanisme kinerja dan keterkaitan petani plasma dengan
perusahaan Inti.

Lemahnya perjanjian kerjasama antara perusahaan inti, KUD dan petani


plasma yang berkaitan dengan pembinaan teknis sehingga pemeliharaan
kebun petani plasma dibawah standar anjuran.

Lemahnya kerjasama antar institusi terkait baik pada tingkat kabupaten,


kecamatan dan desa dalam memberdayakan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia.

3
7

Peranan KUD sebagai media penampung dan penyalur aspirasi petani


terutama dalam hal penyediaan sarana produksi masih belum optimal yang
memicu terjadinya kelangkaan sarana produksi terutama pupuk yang tidak
tepat waktu dan jenis.

Terjadi degradasi lahan akibat erosi dan aplikasi pemupukan yang belum
tepat.

Masih ada konflik penguasaan lahan berupa perebutan lahan antara petani
plasma dengan masyarakat lokal walaupun dalam intensitas rendah.
Memperhatikan pentingnya peranan kelapa sawit dalam perekonomian

nasional, permasalahan pengelolaan kebun kelapa sawit plasma menjadi sangat


penting dicarikan solusinya. Semua pihak pengelola perkebunan kelapa sawit
saat ini mengacu pada konsep pengelolaan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan untuk memenuhi kepentingan semua stakeholders yang terlibat
dalam permasalahan kelapa sawit mulai dari proses produksi sampai ke
pemasaran pasca panen. Definisi perkebunan

berkelanjutan secara umum

masih mengacu pada batasan yang dicetuskan oleh World Commission on


Environment and Development (WCED) 1990, yaitu pertanian yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan daya
dukung lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Syahyuti,
2006). Di sub sektor perkebunan, definisi berkelanjutan yang paling akhir yang
merupakan hasil dari The 3rd Rountable on Sustainable Palm Oil Meeting
(RSPO, 2005) di Singapura menyebutkan bahwa perkebunan berkelanjutan
merupakan usaha yang mampu memenuhi pertumbuhan ekonomi (profit),
perlindungan terhadap lingkungan (planet) dan kesetaraan sosial (people).
Konsep perkebunan berkelanjutan tersebut terdiri dari 8 prinsip dan 39
kriteria yang harus dipenuhi pihak pengelola agar kondisi berkelanjutan bisa
terwujud. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan perkebunan memerlukan
pendekatan yang holistik, multi disiplin, partisipatif dan partnership untuk
memperoleh model pengelolaan yang bisa memenuhi tuntutan kondisi
berkelanjutan. Dengan permasalahan yang diuraikan tersebut maka dilakukan
penelitian lapang untuk mencari model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma
berkelanjutan yang sesuai dengan kondisi fisik, ekonomi dan sosial setempat
sehingga petani plasma mampu mengimplementasikannya secara utuh.

4
1.2. Perumusan Masalah
Perkebunan kelapa sawit merupakan usaha yang sudah terbukti
memegang peranan penting bagi perekonomian nasional, baik secara makro
maupun mikro. Namun demikian, aktivitas dalam proses produksi dan
pengolahan pasca panen memunculkan beberapa permasalahan di lapangan.
Permasalahan yang dihadapi di lokasi penelitian dapat dikelompokkan kedalam
aspek teknis, sosial ekonomi dan aspek lingkungan.
Permasalahan dalam aspek teknis meliputi:
1. Pemeliharaan tanaman (pemupukan, pengendalian organisme pengganggu
tanaman=OPT dan panen TBS) belum dilaksanakan secara benar. Berkaitan
dengan pemupukan pengadaan jenis pupuk yang diperlukan petani jarang
tepat waktu. Selain itu, dosis, cara dan frekuensi pemberian pupuk masih di
bawah standar yang dianjurkan baik oleh instansi terkait maupun pihak
PTPN V. Hal ini berpengaruh langsung terhadap produktivitas lahan dan
umur ekonomis kelapa sawit.
2. Rendahnya kuantitas dan kualitas produk komoditas perkebunan yang
berkaitan dengan rendahnya kemampuan penyerapan inovasi teknologi
produksi dan pasca panen.
3. Kurang berfungsinya irigasi yang dibangun pada saat pembukaan kebun
sehingga kondisi tata air yang ada saat ini tidak bisa berfungsi optimal untuk
mengendalikan banjir di musim hujan. Hal ini berdampak terhadap
kerusakan infrastruktur yang dibangun seperti jalan antara desa maupun
jalan kebun yang meningkatkan upah tenaga kerja terutama untuk panen
dan transportasi.
Permasalahan di bidang ekonomi meliputi:
1. Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS non inti sehingga menyebabkan
rendahnya efisiensi pengembalian kredit petani maupun usaha pemupukan
modal untuk peremajaan (IDAPERTABUN).
2. Tingginya penawaran kredit oleh lembaga pelepas uang (Bank lokal dan
rentenir) sehingga petani banyak terjebak hutang di luar kredit kebun sawit.
Hal ini berujung pada tingginya tunggakan kredit petani dalam melunasi
hutang kebun ke bank pelaksana melalui KUD.
3. Dalam hal penentuan harga TBS, posisi tawar-menawar (bargaining position)
petani terhadap pihak lainnya (perusahaan inti, instansi terkait dan pihak
swasta non inti) masih lemah sehingga selalu tersisihkan dalam penentuan

5
harga produk perkebunan (TBS) sehingga harga TBS masih dibawah harga
penawaran PKS non inti.
4. Meningkatnya biaya hidup petani berkaitan dengan perubahan pola hidup
petani yang menyebabkan alokasi pendapatan untuk pemeliharaan kebun
menurun.
Permasalahan yang berkaitan dengan aspek sosial meliputi:
1. Lemahnya kerjasama antar institusi terkait baik pada tingkat kabupaten,
kecamatan dan desa dalam memberdayakan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia.
2. Rendahnya motivasi petani untuk mengelola kebun sawit secara mandiri
terutama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.
3. Peranan KUD sebagai media penyedia dan penyalur sarana produksi (pupuk
dan obat-obatan) maupun aspirasi petani masih belum optimal.
4. Rendahnya intensitas pembinaan petani oleh perusahaan inti melalui KUD
yang menyebabkan pemeliharaan kebun dibawah standar anjuran.
Permasalahan lingkungan yang masih terjadi di lapangan adalah:
1. Sebagian besar unsur hara yang diberikan melalui pemupukan hilang
terbawa aliran permukaan yang mencemari lingkungan terutama badan air
permukaan.
2. Masih terjadi degradasi lahan akibat aplikasi pemupukan yang belum tepat
jenis, tepat waktu, tepat dosisi dan tepat cara pemupukan.
3. Pengendalian hama/penyakit dan gulma masih terfokus pada cara kimia
sehingga mencemari badan air permukaan.
Semua permasalahan ini perlu dicarikan solusinya dalam rangka
mengurangi dampaknya terhadap petani dan lingkungannya. Secara ringkas,
solusi permasalahan pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan
dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana keragaan kesesuaian lahan, faktor pembatas kesesuaian lahan
dan produktivitas lahan kebun kelapa sawit plasma di lokasi penelitian?
2. Bagaimana fungsi produksi tandan buah segar (TBS) petani kelapa sawit
plasma di masa mendatang dalam merespon harga sarana produksi dan
produksi, kebijakan pemerintah, teknologi dan harga komoditas pesaing?
3. Bagaimana kinerja dan keterkaitan kelembagaan yang bisa mendukung
pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan dari instansi terkait?

6
4. Bagaimana model alternatif pengelolaan kebun kelapa sawit plasma
berkelanjutan yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas lahan dan
disaat yang sama bisa mengurangi pencemaran lingkungan, memperbaiki
kondisi sosial ekonomi petani plasma?
5. Skenario strategis bagaimana yang dapat mendukung implementasi model
pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian

ini

secara

umum

bertujuan

untuk

merancang

model

pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan yang mampu memenuhi


aspek-aspek

pertumbuhan

ekonomi

(profit),

mempertahankan

kualitas

lingkungan (planet) serta kesetaraan sosial (people). Secara lebih detil, tujuan
penelitian ini dirinci sebagai berikut:
1. Menganalisis tingkat kesesuaian lahan dan produktivitas kebun kelapa sawit
plasma.
2. Menganalisis model fungsi produksi kebun kelapa sawit plasma.
3. Mengkaji peranan dan keterkaitan kelembagaan dalam pengelolaan kebun
kelapa sawit plasma berkelanjutan.
4. Merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan
dan strategi implementasi dari model yang dibangun.
1.4. Kerangka Pemikiran
Dengan pengelolaan yang tepat, komoditas kelapa sawit memegang
peranan sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional terutama
sebagai sumber pendapatan non migas nasional, sebagai sumber kesempatan
kerja bagi jutaan penduduk pedesaan dan sebagai sumber energi. Berdasarkan
harga konstan tahun 2000, kontribusi sub sektor pertanian terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2007 sebesar 2,31%. Hal ini mendorong
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah
Provinsi Riau menempuh strategi pembangunan ekonomi pedesaan yang
sebagian besar berprofesi sebagai petani melalui pengembangan sub sektor
perkebunan terutama komoditas kelapa sawit. Alasan dari pemilihan strategi
tersebut

adalah

manfaat

kehadiran

perkebunan

kelapa

sawit

mampu

memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dari tanaman


perkebunan lainnya, berkontribusi nyata terhadap peningkatan Pendapatan Asli

7
Daerah (PAD) maupun pendapatan masyarakat di sekitar kebun (Syahza, 2008).
Secara ringkas, alur pemikiran dari penelitian disajikan pada Gambar 1.

Manfaat Ekonomi

Kelapa Sawit

Kebun Inti
Tepat pengelolaan

Manfaat Sosial
Manfaat Ekologi

Pola PIR
Kebun plasma
pengelolaan kurang tepat:
Produktivitas Sawit
Rendah
Pendapatan petani rendah
Kerusakan lingkungan

8 Prinsip dan 39 Kriteria Pengelolaan


Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Ekonomi
(profit):
- Komitmen
jangka
panjang
terhadap
viabilitas
ekonomi dan
finansial

Biofisik(planet):
- Teknologi pengelolaan terbaik,
sesuai kondisi lokasi baik
aspek produksi maupun pasca
panen.
- Konservasi sumberdaya alam
dan biodiversitas
- Bertanggungjawab untuk
penanaman sawit baru
- Komitmen melakukan
perbaikan terus menerus
- Kualitas produksi memenuhi
standar kesehatan

Sosial(people):
- Kegiatan sesuai
Undang-Undang
dan peraturan
berlaku
- Bertanggungjawab
terhadap pekerja,
individu dan
komunitas
- Transparan dalam
informasi dan
dokumen
pengelolaan

Model Perkebunan kelapa Sawit Berkelanjutan


Ekologis: menjaga kualitas lingkungan
Ekonomis: menguntungkan petani
Sosial:
Manusiawi: semua bentuk kehidupan dihargai, terjadi
interaksi harmonis, tidak menimbulkan konflik, tidak
bertentangan dengan kearifan lokal.
Adil: semua stakeholders merasakan manfaat keberadaan
kebun sawit
Luwes: bisa menyesuaikan dengan perubahan ekonomi,
sosial, teknologi.

Gambar 1.

Kerangka Pikir Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan.

8
Manfaat ekonomi merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi
dalam membangun model kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan. Secara
ekonomi, pengembangan kelapa sawit akan menimbulkan multiplier effects bagi
tumbuhnya perekonomian dimana secara langsung adalah meningkatnya
pendapatan petani plasma dari penjualan produksi petani berupa tandan buah
segar (TBS). Efek kedua berupa timbulnya usaha seperti jasa transportasi dan
jasa penyedia sarana serta prasarana perusahaan perkebunan (penyediaan
bahan, peralatan dan mesin pertanian). Efek ketiganya adalah berkembangnya
pelaku ekonomi yang bergerak disektor informal antara lain: pedagang kecil,
tukang ojek, bengkel, tukang las dan lain-lain (Hersuroso, 2005).
Berjalannya aktivitas sosial petani dan masyarakat di lingkungan
perkebunan kelapa sawit merupakan dampak dari kehadiran perkebunan kelapa
sawit. Dengan adanya fasilitas sosial seperti tempat peribadatan, pesantren,
sarana kesehatan, sarana pendidikan, infrastruktur desa mendorong terjalinnya
keakraban sosial bagi masyarakat. Hal ini penting bagi kelangsungan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit karena berkaitan dengan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya manusia. Interaksi sosial yang harmonis dapat juga
berfungsi

sebagai

sosialisasi

ataupun

diseminasi

program

pengelolaan

perkebunan terutama melalui aktivitas sosial kelompok tani, arisan ibu tani,
pengajian rutin dan lain-lain.
Manfaat ekologi yang disumbangkan oleh komoditas kelapa sawit adalah
terpeliharanya siklus hidrologi untuk mengurangi tingginya fluktuasi debit air
sungai pada musim hujan dan musim kemarau. Dalam kaitan dengan siklus
karbon, kelapa sawit di daerah tropis mempunyai kapasitas menyerap karbon
melebihi kapasitas hutan. Sesuai dengan yang dilaporkan Lamade dan Setyo
(2002) bahwa komunitas kelapa sawit yang sudah dewasa (kisaran umur 8-18
tahun) mampu menyerap karbon ke dalam tanah antara 1198-2014C/m2thn,
lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas hutan tropis basah di Kepulauan
Hawai sebesar 519C/m2thn atau hutan Pegunungan Merapi di Indonesia
sebesar 844C/m2thn.
Masih adanya kelemahan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit
plasma yang berhadapan dengan masalah yang komplek menyebabkan
timbulnya benturan-benturan kepentingan dari stakeholders baik menyangkut
konflik sosial, ekonomi maupun lingkungan terutama bagi perkebunan rakyat.
Pemberdayaan masyarakat lokal yang belum optimal menimbulkan gejolak

9
sosial antara lain penguasaan lahan, pencurian TBS, penjualan TBS keluar dari
pabrik kelapa sawit (PKS) Perusahaan Inti dan kecemburuan sosial masyarakat
lokal. Perilaku petani plasma ini merembet ke masalah ekonomi yaitu seretnya
pengembalian cicilan hutang petani pada bank pemberi kredit.
Pengelolaan kebun kelapa sawit yang kurang memperhatikan masalah
lingkungan berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas lingkungan
terutama sumberdaya tanah dan air melalui pencemaran. Pencemaran
lingkungan pada perkebunan kelapa sawit bersumber dari dua kegiatan besar
yaitu proses produksi tanaman (TBS) dari areal tanam dan pengolahan TBS
menjadi crude palm oil (CPO) serta hasil lainnya dari kegiatan PKS. Dalam
proses produksi TBS, pemeliharaan tanaman menggunakan pupuk anorganik
(pupuk buatan) seperti Urea, SP-36, KCl, Dolomit) karena kelapa sawit
memerlukan unsur hara dalam jumlah banyak. Aplikasi pemupukan oleh petani
dengan cara disebar rata di permukaan tanah menyebabkan efisiensi
pemupukan rendah dan sebagian besar hilang melalui erosi, penguapan dan
aliran permukaan. Pada tahap selanjutnya, terjadilah degradasi lahan karena
unsur hara yang diserap tanaman kelapa sawit lebih besar dari yang diberikan
ke dalam tanah.

Sementara itu, unsur hara yang terbawa erosi dan aliran

permukaan tertampung pada badan air permukaan berupa sungai atau danau,
terjadi pengkayaan unsur hara di dalam air yang merangsang timbulnya
eutrofikasi. Dengan proses ini maka kualitas air menurun yang ditandai dengan
tumbuhnya tanaman air jenis algae berlebihan sehingga mengganggu
kebutuhan oksigen organisme yang ada di air. Jika dilakukan pengukuran
maka

nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) lebih tinggi dibandingkan

dengan kondisi perairan yang tanpa pengkayaan unsur hara.


Dari
menyebabkan

aspek

produksi,

pertumbuhan

penerapan
kelapa

pengelolaan

sawit

produktivitasnya di bawah rata-rata nasional.

menjadi

yang

kurang

dilakukan
baik

dan

Selain produksi yang rendah,

pengelolaan yang kurang baik tersebut juga berdampak terhadap usia poduktif
tanaman yang lebih pendek dari yang diestimasi yaitu sekitar 25-30 tahun.
Perkebunan kelapa sawit yang diusahakan pada lahan kering masam
bergelombang dijumpai banyak kasus dimana pada umur tanaman 20 tahun
tanaman

sudah

kurang

produktif

dan

perlu

diremajakan.

Pengelolaan

perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan berbasis pada 8 prinsip dan 39


kriteria keberlanjutan yang menyangkut aspek biofisik (planet), ekonomi (profit)

10
dan sosial (people) berpotensi untuk membantu mengatasi masalah tersebut
(RSPO, 2005). Aspek biofisik (planet) memfokuskan pada: (1) penerapan
pengelolaan yang paling cocok dengan kondisi biofisik (spesifik lokasi) baik pada
aspek produksi maupun pengolahan pasca panen, (2) konservasi sumberdaya
alam dan biodiversitas, (3) mengembangkan penanaman baru, dan (4)
komitmen untuk terus melakukan perbaikan pada semua kegiatan di lokasi.
Aspek ekonomi (profit) memfokuskan pada komitmen terhadap viabilitas
ekonomi dan keuangan jangka panjang. Aspek sosial (people) memfokuskan
pada: (1) semua kegiatan dilandasi oleh perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku, (2) tanggungjawab terhadap semua pekerja, individu dan
komunitas yang terpengaruh oleh kegiatan produksi dan pengolahan pasca
panen sawit, dan (3) terciptanya kondisi yang transparan dalam hal arus
informasi dan dokumentasi pengelolaan yang dilakukan.
Kombinasi pengelolaan dari aspek fisik, ekonomi dan sosial yang sinergis
akan berpengaruh positif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Lingkungan
terutama meliputi kualitas sumberdaya air dan tanah serta produksi kelapa sawit
yang memenuhi kuantitas dan standar kesehatan konsumen. Air yang
kualitasnya memenuhi standar untuk aktivitas masyarakat seperti mandi, air
minum, mencuci sangat mendukung dalam peningkatan produktivitas tenaga
kerja manusia. Peningkatan pendapatan petani akan meningkatkan daya beli
masyarakat terhadap sarana produksi sebagai salah satu komponen utama
dalam pengelolaan perkebunan. Aspek sosial yang mendukung pengelolaan
kawasan agroindustri meliputi perbaikan perilaku menuju kepedulian terhadap
lingkungan, meningkatnya peranan lembaga desa yang ada serta tercukupinya
kebutuhan tenaga kerja.
Interaksi yang sinergis dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial
mampu menciptakan kondisi pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan yang
ciri-cirinya dapat dilihat dari tiga aspek.yaitu: (1) ekologis berupa terpeliharanya
kualitas lingkungan atau terkendalinya tingkat pencemaran lingkungan sehingga
kualitas hidup petani semakin membaik, (2) ekonomi berupa meningkatnya
pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup petani yang mengarah
pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik, (3) sosial yang meliputi (a)
manusiawi dimana gejolak sosial seperti tingkat kriminalitas dan konflik
menurun, kinerja lembaga sosial desa membaik, produktivitas tenaga kerja
meningkat dan lain-lain, (b) berkeadilan dimana semua stakeholders yang

11
terlibat dalam pengelolaan merasakan manfaat dari keberadaan kebun sawit
tersebut, dan (c) bersifat fleksibel atau kondisi luwes

yang menggambarkan

bahwa apa yang sudah dicapai tersebut tidak mudah goyah melainkan punya
toleransi tinggi dan mampu bertahan terhadap perubahan kondisi, baik kondisi
eksternal maupun internal yang dinamis.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi pihakpihak yang terkait dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma
berkelanjutan antara lain:
1. Manfaat bagi petani dan pengusaha perkebunan:
Informasi model pengelolaan kebun sawit yang efektif dan efisien baik pada
proses produksi maupun pengolahan pasca panen agar kebun kelapa sawit
tetap produktif dan berkelanjutan sehingga petani memperoleh keuntungan
yang optimal.
2. Manfaat Bagi Pengambil Keputusan (Policy Maker)
Model pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang tepat dan sesuai dengan
kondisi biofisik, ekonomi dan sosial sebagai bahan pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan dan skenario strategis dalam pengelolaan kebun
sawit yang efektif dan efisien sehingga petani memperoleh nilai tambah dari
kebijakan yang dirumuskan.
3. Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian diharapkan bisa melengkapi dan memperkaya kaidah-kaidah
pengelolaan kebun sawit yang efektif dan efisien menuju ke arah kondisi
perkebunan kelapa sawit yang produktif dan berkelanjutan.
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian
Berkaitan dengan kebaruan dalam pengelolaan perkebunan sawit, ada
beberapa hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan. Pertama, penelusuran
pustaka melalui hasil penelitian disertasi dan tesis, jurnal penelitian dalam dan
luar negeri serta informasi teknologi media internet menunjukkan bahwa
penelitian pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan masih
sangat sedikit. Selain terbatas, pendekatan yang dipakai masih terkesan parsial,
belum mengaitkan faktor-faktor ekonomi, sosial dan lingkungan secara holistik.

12
Beberapa penelitian pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma
berkelanjutan dengan pendekatan parsial berfokus aspek fisik telah dilakukan
oleh Erningpraja dan Poeloengan (2000) berbasis pada optimalisasi pemupukan,
Hasan (2003) berbasis penerapan dinamika iklim, Kurniawan (2004) berbasis
pada pengendalian limbah pabrik kelapa sawit, Lord dan Ross (2005) berbasis
pada kualitas hasil olahan pabrik kelapa sawit, dan Fairhurst et al. (2006)
berbasis pada efektivitas fisik sarana produksi terutama pupuk. Penelitian
pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan berfokus aspek ekonomi telah dilakukan
oleh Djafar dan Wahyono (2003) berbasis pada skala usaha ekonomi dan break
even point, dan Iswati (2004) berbasis pada analisis kelayakan finansial.
Sementara itu, penelitian pengelolaan perkebunan kelapa sawit berfokus pada
aspek sosial telah dilakukan oleh Hasbi (2001) berbasis pada kelembagaan dan
Wahyono (2003) berbasis pada pengelolaan konflik.
Kedua, berkaitan dengan sifat dari model perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan yang dinamis terutama dipengaruhi oleh perubahan kondisi
sumberdaya lahan, air dan udara; kualitas hidup manusia yang terus meningkat;
dan baku mutu serta standar kerusakan lingkungan sebagai tolok ukur dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Seperti disampaikan oleh Djafar et al. (2005)
bahwa untuk membangun perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang
memenuhi aspek fisik, sosial dan ekonomi, diperlukan model perkebunan
berkelanjutan dengan konsep dan kriteria sesuai dengan isu-isu yang
berkembang saat ini yang tertuang dalam The Rountable on Sustainable Palm
Oil (RSPO). Hal senada juga dikemukakan oleh Ardiansyah (2006) bahwa untuk
masa mendatang, konsep dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
seyogyanya mengacu pada RSPO karena sudah mengakumulasi aspek fisik,
sosial dan ekonomi secara holistik.
Dengan latar belakang tersebut maka penulis melakukan penelitian untuk
mencari model pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan dengan pendekatan
yang berbeda dengan yang sudah dilakukan terdahulu. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan dengan orientasi tujuan (goal oriented approach)
yang menyentuh seluruh aspek yang terlibat dalam pengelolaan kelapa sawit.
Pengelolaan sumberdaya lahan dengan pendekatan yang holistik menjadi
semakin penting di masa-masa mendatang dengan pertimbangan antara lain (a)
eksploitasi sumberdaya lahan akan semakin meningkat dalam upaya memenuhi
kebutuhan penduduk yang semakin meningkat, (b) pengelolaan sumberdaya

13
lahan melibatkan banyak pemangku kepentingan dan (c) setiap wilayah memiliki
karakteristik berbeda-beda yang memerlukan pendekatan holistik dan terpadu
sesuai dengan kondisi setiap daerah (Mitchell et al., 2003).
Sesuai dengan tujuan, penelitian menggunakan beberapa metode
analisis dan program perangkat lunak sebagai berikut:
1. Tingkat kesesuaian lahan dan produktivitas kebun plasma kelapa sawit
diestimasi melalui Metode Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian
dengan mengintegrasikan karakteristik tanah dan iklim, persyaratan tumbuh
kelapa sawit, hasil potensial bibit dan pengelolaan tanaman.
2. Model fungsi produksi kebun plasma kelapa sawit diestimasi dengan Fungsi
Produksi Nerlove.
3. Peranan dan keterkaitan institusi yang terlibat menggunakan Analysis
Hierarchy Process (AHP) dengan perangkat lunak Criterium Decision Plus
(CDP).
4. Model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan diestimasi
dengan pendekatan Sistem Dinamis menggunakan perangkat lunak program
Power Sim.
5. Implementasi dari model yang dibangun diestimasi dengan Analisis
Prospektif (Prospective Analysis) untuk memperoleh skenario strategis
model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan atau manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dan


seni. Sebagai ilmu maka pengelolaan dapat dipelajari, dipahami, diteliti,
dimodifikasi dan dibuktikan kebenarannya dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Sebagai seni pengelolaan merupakan suatu tingkat keahlian yang
diperoleh dari pengalaman dalam menerapkan suatu teknologi di berbagai
bidang

ilmu. Berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit, pengelolaan

merupakan upaya pemanfaatan semua komponen perkebunan kelapa sawit


seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan modal secara
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yaitu perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan (Lubis, 1994). Sesuai dengan perkembangan teknologi dan
kondisi di lapangan, pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
seyogyanya mengacu kepada faktor-faktor kunci yaitu aspek sumberdaya lahan,
aspek sumberdaya manusia, aspek modal, aspek sarana produksi, aspek
teknologi dan aspek legalitas (Pahan, 2006).
2.1. Ekologi dan Agronomi Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) termasuk golongan Famili Palmae
penghasil minyak nabati. Pada dekade terakhir ini, budidaya kelapa sawit
berkembang dengan sangat pesat terutama pada tanah mineral kering masam di
luar Pulau Jawa. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan lahan untuk
pengembangan komoditas perkebunan, kemampuan adaptasi yang relatif luas
(toleran terhadap sifat tanah kurus dan bereaksi masam), kemudahan yang
diberikan oleh pemerintah, sarana produksi yang tersedia, serta prospek
pemasaran hasil pengolahan pasca panen yang sangat cerah (Lubis, 1994).
Sampai tahun 2007, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia 6,78 juta
hektar dengan produksi minyak sawit 17,37 juta ton/tahun. Kondisi ini mampu
mendorong ekspor untuk menambah devisa sehingga menempatkan Indonesia
sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia (Sekjen Deptan, 2008).
Lahan yang tersedia untuk pengembangan perkebunan terhampar di luar
Jawa berupa lahan kering masam dengan total luasan sekitar 48,5 juta hektar.
Dari luasan ini, sekitar 16,2 juta hektar (33,4%) didominasi oleh jenis tanah
Oxisol dan Ultisol dengan tingkat kesuburan marginal dengan karakteristik
kesuburan, bahan organik, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa rendah.

15
Reaksi tanah masam dengan nilai pH 4,0-5,0 menyebabkan tanaman sangat
berpeluang keracunan aluminium dan besi yang konsentrasinya tinggi. Di
samping itu, rentan terhadap erosi yang berkaitan dengan kerusakan agregat,
daya pegang air rendah serta padat (Adiningsih, 1992). Namun demikian, kelapa
sawit masih bisa tumbuh dan berproduksi pada lahan kering masam tersebut,
asalkan pengelolaannya menerapkan teknologi yang tepat, baik aspek produksi
maupun pengolahan pasca panen, sehingga dampak negatif terhadap
lingkungan dan kondisi sosial masyarakat di sekitar perkebunan bisa
diminimalkan.
Berkaitan dengan sumberdaya lahan, pengembangan perkebunan
kelapa sawit di luar Pulau Jawa sebagian besar pada tanah Ultisol dan Oxisol
tersebut. Karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
produksi kelapa sawit adalah: (1) topografi, (2) drainase, dan karakteristik
spesifik tanah yang meliputi: jerapan fosfor, jerapan kalium, tekstur, dan
kedalaman efektif. Kendala yang diakibatkan oleh sifat-sifat fisik tanah lebih
dominan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman dibandingkan
dengan sifat-sifat kimia karena kendala fisika tanah relatif sukar untuk diatasi.
Sementara itu, kendala kesuburan tanah masih bisa diatasi misalnya dengan
pengelolaan pupuk untuk mengendalikan kekurangan unsur hara. Dalam kondisi
alaminya, tanah Ultisol dan Oxisol memiliki produktivitas rendah dimana rata-rata
tingkat produksi kelapa sawit pada tanah ini <18 ton/ha/tahun (Harahap et al.,
2005).
Selain tanah sebagai tempat tumbuhnya kelapa sawit, faktor iklim juga
sangat menentukan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Kelapa sawit peka
terhadap suhu rata-rata harian dan curah hujan dimana suhu udara optimum
untuk kelapa sawit sekitar 28o-30o C, ketinggian tempat 100-400 meter di atas
permukaan laut serta curah hujan 1500- 3000 mm/tahun (Fairhust, 2002).
Harahap et al. (2005) melaporkan bahwa komponen faktor iklim yang
berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit adalah: (1) radiasi surya, (2) suhu
udara, (3) curah hujan, dan (4) kelembaban udara. Lama penyinaran 5,5-6
jam/hari sudah cukup baik bagi kelapa sawit untuk berproduksi sehingga untuk
daerah tropis seperti Indonesia, radiasi matahari bisa diabaikan. Suhu udara
rata-rata 28oC merupakan suhu yang optimal dan di bawah 22oC sudah
menghambat pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh suhu rendah dapat meningkatkan keguguran bunga. Kelembaban

16
udara sangat berkaitan dengan membuka dan menutupnya stomata daun
sebagai proses masuknya CO2 untuk bahan dasar karbohidrat. Untuk kelapa
sawit, kelembaban udara optimal adalah 75-80%.
Curah

hujan

merupakan

komponen

iklim

yang

paling

dominan

pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dimana curah


hujan optimal yang dibutuhkan adalah 1700-3000 mm/tahun (Harahap et al.,
2005). Kelapa sawit yang mengalami cekaman air tanah (kekeringan)
menunjukkan penurunan produksi yang tajam karena meningkatnya jumlah
tandan bunga jantan yang diproduksi selama periode cekaman air tanah
tersebut. Fase-fase perkembangan organ generatif kelapa sawit yang peka
terhadap cekaman air tanah adalah (1) inisiasi pembentukan bunga yang terjadi
44 bulan sebelum matang fisiologis, (2) pembentukan perhiasan bunga yang
terjadi 36 bulan sebelum matang fisiologis, (3) diferensiasi seks bunga yang
terjadi 17 bulan sebelum matang fisiologis, (4) peka aborsi bunga yang terjadi 12
bulan sebelum matang fisiologis, dan (5) antesis yang terjadi 6 bulan sebelum
matang fisiologis.
Sementara dari segi agronomi, kelapa sawit tidak memerlukan perawatan
yang intensif sehingga tidak memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif
(non intensive labor commodity). Beberapa kegiatan perawatannya antara lain:
pemupukan, pembersihan pelepah tua, dan penyiangan/penyemprotan gulma.
Dari semua kegiatan tersebut, pemupukan merupakan kunci keberhasilan
karena rendahnya kemampuan tanah mineral kering masam menyediakan hara
serta tingginya serapan hara kelapa sawit dari dalam tanah sehingga perlu
diimbangi dengan penambahan hara dari luar sistem tanah-tanaman. Hal ini
tercermin dari tingginya kadar unsur hara pada tandan buah segar yang
dianalisis secara kimia. Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh Fairhust (2002)
menunjukkan bahwa dalam 25 ton tandan buah segar (TBS),

mengandung

sebanyak 74 kg N, 11 kg P, 93 kg K, 19 kg Ca, 20 kg Mg, 0,04 kg Mn, 0,06 kg


Fe, 0,05 kg B, 0,12 kg Cu dan 0,12 kg Zn. Untuk mencapai hasil tersebut
diperlukan masukan unsur hara berupa pupuk Dalam kaitan ini, Moody et al.
(2002) melaporkan bahwa untuk menghasilkan TBS sebanyak 27,0 ton
diperlukan masukan unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman berupa pupuk
sebesar 190 kg N, 26 kg P, 257 kg K, 43 kg Ca, 40 kg Mg, dan 60 kg S.
Sebagaimana halnya tanaman lain, untuk kondisi agro-ekologi tropika
basah seperti di Indonesia, produksi kelapa sawit mengalami fluktuasi yang

17
cukup tajam tergantung dari: (1) kondisi iklim, (2) sifat-sifat tanah, dan (3)
dinamika unsur hara. Lebih jauh dilaporkan bahwa kondisi iklim yang
berpengaruh terhadap produksi adalah curah hujan, suhu udara, dan
kelembaban udara. Sifat-sifat tanah yang berpengaruh adalah sifat fisika tanah
yaitu kapasitas lapang, titik layu permanen, dan evaporasi. Dinamika unsur hara
dipengaruhi oleh dosis, jenis, waktu dan cara pemupukan. Selain itu, interaksi
semua faktor-faktor tersebut ditentukan oleh kondisi awal di lapangan yaitu
kadar air tanah dan nitrogen nitrat (Handoko dan Koesmaryono, 2005).
Walaupun belum ada laporan kegagalan panen akibat serangan
hama/penyakit, pengendalian hama penyakit kelapa sawit sudah semestinya
mendapat perhatian serius karena sudah diidentifikasi adanya ancaman
penurunan produksi akibat serangan hama penyakit. Jenis hama/penyakit utama
yang menyerang kelapa sawit adalah ulat api, kumbang penggerek pucuk, rayap
tanah dan penyakit busuk pangkal batang. Selain itu, dikemukakan juga adanya
serangan hama ulat kantong, penyakit bercak daun serta penyakit fisiologis.
Kehati-hatian terhadap masuknya spesies asing yang kehadirannya dan
penyebarannya dapat menimbulkan kerugian ekonomis atau kerusakan
lingkungan (IAS= Invasive Alien Species) selayaknya dilakukan dengan
penangkalan yang intensif. Hal ini dikarenakan oleh luasnya dampak yang
ditimbulkan jika sampai terjangkit oleh IAS tersebut (Ryaldi dan Lumbantobing,
2005).
Selain pengelolaan, produktivitas kelapa sawit juga dipengaruhi oleh
umur dimana secara umum produksi kelapa sawit di Indonesia mulai menurun
pada kisaran umur 16-20 tahun dan diperlukan tindakan peremajaan (replanting)
pada kisaran umur 25-30 tahun. Hal-hal yang perlu dikaji dalam kaitannya
dengan peremajaan kelapa sawit rakyat antara lain: (1) pola peremajaan, (2)
pembinaan petani, (3) dana peremajaan, dan (4) kesenjangan pendapatan
petani saat peremajaan dilakukan. Dalam aplikasi pola peremajaan, komponen
yang memegang peranan penting untuk keberlangsungan peremajaan adalah
(a) kepastian hukum mengenai investor dimana perusahaan inti pada siklus
pertama diutamakan untuk menjadi investor pada siklus kedua, (b) kemitraan
yang saling menguntungkan antara petani plasma dengan pihak perusahaan,
koperasi dan investor dan (c) peremajaan dilakukan secara bertahap, minimal
dalam 4 tahap (25%) untuk mengantisipasi kekurangan tandan buah segar
(TBS) bagi pabrik kelapa sawit (Pahan, 2005).

18
Pendanaan merupakan kunci utama untuk bisa

berlangsungnya

peremajaan, tetapi di lain pihak masalah ini belum dipikirkan pada saat
pengembangan dengan pola PIR-Trans. Usaha yang dirintis oleh Asuransi
Jiwasraya melalui program Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan
(IDAPERTABUN) mampu menyediakan dana sekitar Rp. 8.000.000/ha, masih
jauh dari keperluan sekitar Rp. 25.000.000/ha. Melihat kondisi ini alternatif
pendanaan yang memungkinkan adalah memanfaatkan dana perbankan. Yang
menjadi critical point adalah pola bentuk kemitraan dan aturan main antara pihak
yang terlibat (perbankan, perusahaan inti, koperasi desa dan petani plasma).
Pola alternatif skim kredit perbankan yang sesuai dengan kondisi di beberapa
lokasi perkebunan berbeda-beda dan masih perlu pengkajian. Keterampilan
petani rata-rata masih belum memadai dalam pengelolaan perkebunan sehingga
produktivitas kelapa sawit juga masih rendah. Hal ini mengindikasikan akan
perlunya pembinaan pada saat peremajaan antara lain dengan pemberdayaan
koperasi desa sebagai wadah untuk mengakumulasi modal yang dialokasikan
selama peremajaan, penyuluhan teknis pengelolaan kebun kelapa sawit dan
persiapan diri petani dalam mengantisipasi kesenjangan pendapatan selama
peremajaan dengan melakukan penanaman sela (pangan) di antara barisan
kelapa sawit atau menekuni kegiatan non-farm.
2.2. Aspek Kelembagaan Kelapa Sawit
Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan
dalam melakukan analisis yang berkaitan dengan pembangunan pertanian,
termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hal ini dimulai dengan
diluncurkannya suatu model yang disebut Induced Innovation Model yang
memaparkan adanya keterkaitan antara empat faktor yaitu: (1) resource
endowments, (2) cultural endowments, (3) technology, dan (4) institutions. Dari
pemaparan ini diperoleh hipotesis bahwa kelembagaan yang mengatur
penggunaan

teknologi

dalam

proses

produksi

dapat

diubah

untuk

memungkinkan masyarakat maupun anggota masyarakat memanfaatkan


peluang produksi dan peluang pasar sebaik-baiknya. Dalam kasus ini
dicontohkan perubahan kelembagaan dalam pembangunan pertanian adalah
perubahan

penguasaan

lahan

komunal

menjadi

lahan

individual

serta

modernisasi hubungan-hubungan yang ada dalam sistem penguasaan lahan


(Taryoto, 1995).

19
Dengan semakin majunya sistem pertanian yang diterapkan oleh
masyarakat maka permasalahan yang dihadapi juga semakin komplek yang
menuntut adanya penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam
hal ini, analisis kelembagaan bisa membantu untuk menjawab permasalahan
yang ada karena analisis kelembagaan bertujuan untuk memperoleh deskripsi
mengenai suatu fenomena sosial ekonomi pertanian yang berkaitan dengan
hubungan antara 2 atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi, mencakup
dinamika aturan-aturan yang berlaku yang disepakati bersama oleh para pelaku
tersebut. Secara lebih detil, Pakpahan (1989) menyebutkan adanya lima pokok
bahasan dalam analisis kelembagaan yaitu: (1) pembagian kerja dan
spesialisasi jenis pekerjaan, (2) sistem pemilikan, (3) tipe-tipe ekonomi dan
perubahan struktural yang menyertainya, (4) struktur perusahaan dari badanbadan usaha yang ada, dan (5) hubungan kerja industrial.
Berkaitan dengan kelembagaan, otonomi daerah yang tertuang dalam
UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004 sangat mewarnai peranan
lembaga-lembaga ekonomi baik dari tingkat pusat maupun daerah. Dalam
perkembangan kelapa sawit terdapat empat faktor kunci sebagai penentu
keberhasilan yaitu:
1. Kemauan politik Pemerintah (Pusat dan Daerah),
2. Koordinasi dan sinkronisasi antar instansi Pemerintah,
3. Keprofesionalan para pelaku di lapangan,
4. Komitmen dari bank untuk pendanaan pengembangan kelapa sawit.
Dari faktor-faktor tersebut maka untuk masa mendatang sistem perkebunan
kelapa sawit diusulkan agar memperhatikan hal-hal: (1) pendidikan bagi petani
untuk meningkatkan kapasitas kerja, (2) dukungan ke empat faktor kunci
tersebut, (3) memanfaatkan otonomi daerah untuk kepentingan petani
(Kartasasmita, 2005).
Hasibuan (2005) mengusulkan paradigma pengembangan kelapa sawit
di masa mendatang sebagai Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal
dengan ciri-ciri: (1) pembangunan yang berorientasi terhadap pemenuhan
kebutuhan nyata masyarakat setempat (community oriented), (2) pembangunan
yang didasarkan pada keadaan sumberdaya masyarakat setempat (community
based), (3) pengelolaan pembangunan oleh masyarakat setempat (community
managed), dan (4) pendekatan pembangunan manusia: pemberdayaan
(empower), keadilan (equity), produktivitas (productivity), dan berkesinambungan

20
(sustainable). Lebih lanjut, konsep ini dituangkan kedalam pola PIR Plus
Peranan Koperasi dimana fungsi dari setiap pihak jelas yaitu:
Fungsi pihak Perusahaan Inti:
a. pengurusan pinjaman (kredit investasi),
b. membangun dan mengelola kebun (estate management),
c. penalangan dana (bridging financing), dan
d. membeli TBS (membangun PKS)
Fungsi Koperasi:
a. wadah tunggal petani peserta,
b. membuat perjanjian kredit dengan Bank,
c. pengurus koperasi bertindak sebagai Dewan Pengawas, dan
d. membuat kontrak manajemen dengan perusahaan inti.
Fungsi petani peserta:
a. sebagai pemilik mendapat pembagian laba (SHU), dan
b. sebagai karyawan mendapat gaji tetap
Berkaitan dengan pemanfaatan otonomi daerah untuk kepentingan
rakyat, Pemerintah Daerah Propinsi Riau sudah memperoleh keberhasilan
dalam pengembangan kelapa sawit rakyat dengan menyediakan lahan dan
modal dengan insentif bunga rendah. Dari sekitar 9,1 juta hektar luas daratan
Propinsi Riau, sekitar 3,1 juta hektar dicadangkan untuk perkebunan yang
didominasi oleh kelapa sawit. Modal kerja dikucurkan melalui Program Bantuan
Pinjaman Modal Ekonomi Kerakyatan (PEK) untuk membantu petani sebanyak
3960 kepala keluarga (Husien dan Hanafi, 2005).
Iswati (2004) mengusulkan agar peranan Kelompok Tani (POKTAN) dan
Koperasi Unit Desa (KUD) lebih diintensifkan lagi dalam mendukung
pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam usulannya, peranan lembaga
tersebut adalah:
1.

Peranan

langsung

pengadaan

dan

dengan

aspek

penyaluran

sarana

pengelolaan

usahatani

produksi,

pengumpulan

meliputi
hasil,

pengangkutan hasil dan pemasaran.


2.

Peranan yang tidak berkaitan langsung dengan pengelolaan produksi


meliputi pengadaan barang konsumsi dan usaha simpan pinjam.

Sementara

itu, Lubis

et

al.

(1990)

melaporkan

bahwa

peranan

dan

tanggungjawab petani plasma dan perangkat perusahaan inti, pemerintah desa

21
serta perbankan sangat menentukan dalam pencapaian masyarakat pekebun
yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan lingkungannya.
2.3. Dampak Lingkungan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit
Seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, dampak positif dari
pengembangan kelapa sawit juga diikuti oleh dampak negatif terhadap
lingkungan akibat dihasilkannya limbah cair, limbah padat dan gas dari kegiatan
kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Untuk itu, tindakan pencegahan dan
penanggulangan dampak negatif dari kegiatan perkebunan dan pabrik
pengolahan kelapa sawit harus dilakukan dan sekaligus meningkatkan dampak
positif. Tindakan tersebut tidak cukup dengan mengandalkan peraturan
perundang-undangan saja tetapi perlu juga didukung oleh pengaturan diri sendiri
secara sukarela dan pendekatan instrumen-instrumen ekonomi. Mekanisme
pengaturan seperti ini dikenal dengan mixed policy tools (Alamsyah, 2000).
Dilihat dari perkembangan pengelolaan dampak perkebunan terhadap
lingkungan, pada awalnya strategi pengelolaan lingkungan ditempuh dengan
berdasarkan pendekatan kapasitas daya dukung (carrying capacity). Dalam
pendekatan ini tidak ada usaha dari pihak pekebun untuk mencegah pengaruh
dampak terutama dampak negatif dari limbah yang dihasilkannya melainkan
hanya tergantung pada kemampuan lingkungan menetralisir pencemaran yang
terjadi. Ketidak seimbangan antara besarnya volume limbah yang dihasilkan
kebun terutama limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kemampuan alam
menetralisir

pencemaran

limbah

menyebabkan

pencemaran

lingkungan

meningkat dengan tajam. Oleh karena itu, strategi pengelolaan lingkungan


berubah menuju ke pendekatan mengolah limbah yang terbentuk (end - of pipe
treatment). Pendekatan ini berfokus pada pengolahan dan pembuangan limbah
untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Masih banyaknya kelemahan dalam aplikasi dari pendekatan end of
pipe treatment menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan terus
berlanjut karena beberapa kendala yaitu (Alamsyah, 2000):
1. Reaksi penghasil limbah bersifat reaktif yaitu baru bertindak setelah
pencemaran terjadi, bukan pencegahan.
2. Tidak efektif dalam memecahkan masalah pencemaran lingkungan karena
dalam pengolahan limbah hanyalah mengubah bentuk limbah dan kemudian
memindahkannya dari satu media ke media lainnya.

22
3. Biaya investasi dan operasi pengolahan dan pembuangan limbah biasanya
mahal, yang mengakibatkan meningkatnya biaya proses produksi dan harga
produk.
4. Memberi peluang untuk pengembangan teknologi pengolahan limbah
sehingga tidak terfikirkan untuk untuk mengurangi volume limbah yang
dihasilkan oleh sumber limbah.
5. Peraturan perundang-undangan yang menetapkan persyaratan limbah yang
boleh dibuang setelah dilakukan pengolahan pada umumnya cenderung
untuk dilanggar bila pengawasan dan penegakan hukum lingkungan tidak
efektif dijalankan.
Di beberapa sentra pengembangan kelapa sawit seperti di Propinsi Riau
dilaporkan telah terjadi dampak negatif akibat pengelolaan perkebunan sawit
yang kurang tepat berupa penurunan kualitas lingkungan terutama sumberdaya
lahan, air dan udara. Selain itu, terjadi konflik sosial dengan masyarakat di
sekitar perkebunan berupa penguasaan lahan, hilangnya kearifan lokal dan
budaya setempat (Setyarso dan Wulandari, 2002). Sementara itu, Winter (2002)
menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan dan pengolahan pasca panen
kelapa sawit menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan antara
lain:
1. Polusi udara pada saat pembakaran hasil tebangan tanaman pada
pembukaan hutan untuk penanaman baru.
2. Polusi udara pada pembakaran hasil pangkasan tanaman pada penyiangan
tanaman dewasa.
3. Perubahan land scape pada saat pembersihan lahan sebelum penanaman
dilakukan (kapasitas pegang air tanah, iklim mikro).
4. Perubahan land scape pada saat pembuatan dan pengelolaan jalan kebun
(daya pegang air tanah, perkolasi air).
5. Penurunan keragaman genetik sebagai akibat dari penggantian spesies
alami yang keragamannya tinggi dengan spesies vegetasi kelapa sawit yang
monokultur (keragaman genetik).
6. Polusi tanah dan air tanah dengan penggunaan pestisida dan pupuk.
7. Polusi udara selama ekstraksi dan purifikasi minyak di pabrik penggilingan
melalui polusi uap dan gas (polusi asap pada saat pembakaran TBS
kosong).
8. Polusi tanah akibat pembuangan TBS kosong langsung ke lahan.

23
9. Perlakuan limbah cair yang kurang baik berakibat pencemaran air sungai.
Jenis dan intensitas dampak lingkungan fisik-kimia dan biologi tanah,
sosial dan ekonomi akibat perubahan vegetasi alami dari lahan yang dikonversi
menjadi kebun kelapa sawit tergantung pada kondisi vegetasi alami lahan yang
dikonversi. Kasus pengembangan kelapa sawit di Propinsi Sumatera Utara,
Jambi, Sumatera Barat dan Lampung dengan mengkonversi lahan yang kurang
produktif dengan vegetasi hutan semak belukar, kebun durian yang sudah tua,
hutan bambu dan kebun jengkol memperlihatkan perubahan lingkungan florafauna (biologi) tidak nyata. Demikian juga dengan perubahan kondisi udara
seperti pencemaran udara dengan bau yang tidak sedap dan kualitas air yang
relatif stabil. Perubahan fisik yang cukup nyata adalah menurunnya produktivitas
lahan akibat terjadinya erosi terutama pada lahan dengan kondisi topografi
berlereng.

Perubahan lingkungan sosial yang menonjol adalah konflik

kepemilikan lahan karena adanya perubahan luasan dan status kepemilikan


lahan. Dampak ekonomi yang terjadi adalah meningkatnya nilai atau harga
lahan, terbukanya kesempatan kerja bagi petani yang berujung pada
peningkatan pendapatan petani dan keluarganya (IPB, 2000).
Dari aspek produksi, pihak pengelola, baik perusahaan perkebunan
besar PBN maupun PBS, sudah menyadari bahwa pemupukan merupakan kunci
keberhasilan dalam peningkatan produktivitas sawit. Untuk itu, secara umum
mereka memupuk sebanyak 2 kali/tahun dengan menggunakan pupuk tunggal
terutama Urea, SP-36 dan KCl. Biaya untuk pengadaan pupuk ini menempati
proporsi terbesar yaitu sekitar 50-60% dari biaya total pemeliharaan sawit.
Namun demikian, aplikasi pemupukan dengan cara menyebar di permukaan
tanah berakibat rendahnya efisiensi pemupukan dan tingginya kehilangan pupuk
ke lingkungan melalui erosi, aliran permukaan dan penguapan.
Masuknya pupuk ke lingkungan secara tidak terkendali dapat mencemari
badan air permukaan dan air bawah tanah, tanah dan udara. Berkaitan dengan
ini, Adiwiganda (2002) melaporkan bahwa pemupukan nitrogen berupa Urea,
yang disebar rata pada permukaan tanah sangat beresiko terhadap kehilangan
nitrogen terutama pada musim hujan. Pada kondisi ini, kehilangan nitrogen bisa
sampai 70% dalam waktu seminggu. Peneliti lainnya (Uexkhull dan Fairhust,
1991) menyatakan bahwa kehilangan pupuk fosfat dan kalium sangat menonjol
pada lahan yang tidak dikonservasi karena unsur ini terikat pada partikel liat

24
tanah dan bahan organik yang terbawa oleh erosi dan aliran permukaan.
Kehilangan unsur ini bisa menurunkan hasil antara 25-30%.
Pencemaran air akibat tingginya kehilangan pupuk melalui erosi dan
aliran permukaan adalah resiko lain yang berpotensi timbul pada pemupukan
dengan sistem disebar di permukaan tanah. Polusi air didefinisikan sebagai
terkontaminasinya air oleh bahan-bahan yang resisten dan menimbulkan
perubahan kualitas air ke arah yang membahayakan kehidupan mahluk hidup
(Supardi, 2003). Berdasarkan sifatnya, polutan digolongkan menjadi:
1. Polutan kualitatif: terdiri dari unsur-unsur yang secara alamiah sudah
terdapat di alam tetapi jumlahnya meningkat sedemikian banyak sehingga
menimbulkan polusi.
2. Polutan

kuantitatif:

terdiri

dari

unsur-unsur

yang

terjadi

akibat

berlangsungnya persenyawaan yang dibuat secara sintetis seperti pestisida,


pupuk anorganik, detergen dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan kebun kelapa sawit, penggunaan
pupuk anorganik seperti Urea sebagai sumber nitrogen, SP-36 sebagai sumber
fosfor, dan KCl sebagai sumber kalium berpotensi untuk mencemari air. Lebihlebih pemupukan dengan cara disebar di permukaan tanah yang selama ini
dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan petani berakibat tingginya kontribusi
bahan pencemar dari pupuk-pupuk tersebut ke dalam air permukaan dan air
tanah dangkal. Dilihat dari sumber pencemar, mekanisme pencemaran oleh
pupuk termasuk kategori non point source pollutants. Pupuk yang masuk ke
dalam air akan menghasilkan polutan anorganik yang terlarut dalam air seperti
senyawa nitrat dan fosfat menyebabkan terjadinya booming pertumbuhan Algae
dan tanaman akuatik lainnya yang menurunkan oksigen terlarut dan berujung
pada kematian biota air termasuk ikan (Miller, 1992). Perubahan cara
pemupukan dengan pembenaman ke dalam tanah diharapkan menurunkan
tingkat pencemaran air permukaan dan air tanah dangkal di lokasi penelitian
yang selama ini dijadikan sumber air untuk aktivitas sehari-hari oleh penduduk.
Penurunan pencemaran dengan mekanisme seperti ini digolongkan kedalam
metode pencegahan pencemaran.
Masih banyaknya kasus pencemaran lingkungan akibat pengembangan
kelapa

sawit

menimbulkan

pemikiran-pemikiran

untuk

mencari

solusi

pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Konsep pemikiran itu kemudian


memunculkan upaya proaktif yang disebut dengan Produksi Bersih. Produksi

25
Bersih adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan
terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan
daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia
dan lingkungan. Dalam aplikasinya, Produksi Bersih mencakup upaya
pencegahan pencemaran melalui pilihan jenis proses yang akrab lingkungan,
minimisasi limbah, analisis daur hidup, dan teknologi bersih (Alamsyah, 2000).
Produksi Bersih merupakan salah satu alternatif dalam mengharmonisasikan
perlindungan lingkungan dengan kegiatan pembangunan atau pertumbuhan
ekonomi karena:
1. Memberikan peluang keuntungan ekonomi sebab dalam Produksi Bersih
terdapat strategi pencegahan pencemaran pada sumbernya (source
reduction) dan in-process recycling yaitu mencegah terbentuknya limbah
secara dini yang mengurangi biaya investasi pengolahan limbah.
2. Mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan melalui
pengurangan limbah, daur ulang, pengolahan dan pembuangan yang aman.
3. Memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang
melalui penerapan proses produksi dan penggunaan bahan baku dan energi
yang lebih efisien.
4. Mendukung prinsip environmental equity dalam rangka pembangunan
berkelanjutan.
5. Memelihara ekosistem lingkungan.
6. memperkuat daya saing produk di pasar internasional.
Penerapan konsep Produksi Bersih di Indonesia relatif masih baru
dimana dari aspek produksi kelapa sawit penggunaan sarana produksi
merupakan komponen yang perlu lebih ditingkatkan efisiensinya. Berkaitan
dengan hal itu, pemupukan merupakan salah satu masalah yang menarik untuk
dikaji lebih dalam karena tingginya kebutuhan akan pupuk sehingga sering
diisukan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai penyedot pupuk yang
berujung pada langkanya pupuk untuk tanaman pangan. Untuk mengurangi
kebutuhan pupuk pada kelapa sawit, efisiensi pemupukan melalui konsep
pemupukan rasional sebagai alternatif yang cukup efektif.
Menurut Adiwiganda (2002) pemupukan rasional merupakan konsep
pemupukan berbasis pada neraca hara yang berfokus pada keseimbangan
unsur

hara

antara

mempertimbangkan:

input-output

pada

sistem

tanah-tanaman

dengan

26
1. Jumlah unsur yang hilang terbawa penguapan, erosi, dan aliran permukaan,
2. Jumlah unsur yang diserap oleh tanaman, baik bagian vegetatif maupun
generatif (TBS), dan
3. Kemampuan tanah menyediakan hara.
Pemupukan rasional berbasis neraca hara merupakan konsep yang
analog dengan konsep Perhitungan Air untuk Pengelolaan Sumberdaya Air
Terpadu yang dirancang oleh International Water Management Institute (IWMI,
2004). Pada dasarnya konsep ini melihat keseimbangan jumlah masukkan
(input) unsur yang bersumber dari pupuk dan yang ada di dalam tanah dengan
jumlah unsur yang hilang dari tanah (output) melalui penguapan, erosi, aliran
permukaan, dan diserap oleh tanaman pada bagian generatif (TBS) dan
vegetatif seperti tertera pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsep Pemupukan Rasional dalam Pengelolaan Perkebunan


Kelapa Sawit Berkelanjutan
Gambar tersebut mengisyaratkan perlunya keseimbangan jumlah unsur
yang ada di dalam tanah, yang berasal dari pemupukan dan yang ada di dalam
tanah itu sendiri dengan jumlah pupuk yang hilang dari tanah. untuk memperoleh
pertumbuhan dan produksi sawit yang optimal dan lestari. Dalam kondisi di
lapangan, kemungkinan yang terjadi adalah:

27
1. Jumlah input unsur hara lebih kecil dari jumlah output sehingga yang terjadi
adalah pengurasan unsur dari dalam tanah, lahan terdegradasi sehingga
tanaman menjadi kurang produktif.
2. Jumlah input unsur hara sama dengan jumlah output, pertumbuhan tanaman
baik tetapi kualitas lahan tidak meningkat.
Jumlah input unsur hara lebih besar dari output, kualitas lahan membaik dan
tanaman tumbuh dengan subur dan produktif.
Konsep pemupukan rasional diharapkan bisa mencapai kondisi yang
terbaik yaitu jumlah input hara melebihi dari output hara sehingga tanaman
produktif dan berkelanjutan. Selain jumlah input yang melebihi output, maka
yang tidak kalah pentingnya adalah membuat kondisi dimana penyerapan unsur
hara oleh tanaman menjadi dominan dibandingkan dengan kehilangan hara
melalui penguapan, erosi, aliran permukaan, dan pencucian. Peningkatan jumlah
unsur yang bisa diserap oleh tanaman akan tercermin dari semakin membaiknya
pertumbuhan tanaman diikuti oleh meningkatnya produksi. Keadaan seperti ini
disebut semakin meningkatnya efektivitas pemupukan yang diukur dengan
tingkat efisiensi pemupukan.
Dalam upaya untuk meningkatkan penyerapan unsur hara yang
bersumber dari pupuk oleh tanaman, pemanfaatan pupuk majemuk padat
menjadi semakin penting. Dua keunggulan sifat pupuk majemuk padat yakni
kandungan hara yang komplek (makro dan mikro) dan sistem pelepasan unsur
yang lambat (slow release) berefek pada rendahnya kebutuhan akan pupuk dan
kehilangan hara melalui penguapan, erosi, aliran permukaan, dan pencucian.
Dalam hal kandungan hara, pupuk majemuk akan sangat mengurangi kebutuhan
jumlah pupuk karena pupuk majemuk sudah mampu menyediakan banyak
unsur. Dalam hal pelepasan hara secara lambat, kondisi ini seirama dengan
kemampuan tanaman menyerap hara. Akar tanaman mempunyai kapasitas
penyerapan hara terbatas, tetapi kontinyu dalam artian bahwa setiap hari
tanaman menyerap hara dalam jumlah yang hampir tetap. Dengan pelepasan
yang lambat, jumlah unsur yang dilepas tidak banyak tetapi berlangsung dalam
waktu yang lama sehingga tanaman akan berkecukupan unsur hara dalam
waktu yang lama dari waktu pemupukan. Berbeda dengan pupuk yang cepat
larut, melepaskan unsur hara dalam jumlah banyak dan melewati kapasitas
serapan tanaman, tetapi habis dalam waktu singkat. Akibatnya banyak unsur
hara yang hilang melalui penguapan, erosi, aliran permukaan, dan pencucian.

28
Berkaitan dengan sifat ini, Adiwiganda (2002) menyatakan beberapa keunggulan
pupuk majemuk yaitu:
1. Mensuplai berbagai unsur hara dalam satu kali pemberian untuk mencukupi
kebutuhan tanaman,
2. Kehilangan unsur hara melalui penguapan, erosi, aliran permukaan, dan
pencucian sangat rendah,
3. Efisien dalam penggunaan tenaga kerja serta waktu yang diperlukan mulai
dari handling di gudang, transportasi sampai aplikasinya di lapangan, dan
4. Mudah untuk pekerja lapangan.
Pemberian pupuk dengan cara pembenaman kedalam tanah juga sangat
mengurangi kehilangan unsur hara melalui penguapan, erosi, aliran permukaan,
dan pencucian. Hal ini disebabkan oleh terlindungnya pupuk dari evaporasi yang
terjadi di permukaan tanah, pengikisan lapisan atas tanah yang diikuti oleh erosi
dan aliran permukaan. Dalam kasus ini, kehilangan hara terjadi melalui
pencucian walaupun persentasenya relatif kecil. Dengan pembenaman, tidak
terjadi pencucian terhadap pupuk nitrogen, pencucian pupuk fosfat berkisar
antara 5-8%, dan pupuk kalium sekitar 20% (Folster dan Khanna, 1997).
Penelitian awal yang dilakukan oleh Wigena dan Santoso (2003)
menunjukkan bahwa pemanfaatan pupuk majemuk padat dalam bentuk tongkat
(stick) yang dibenamkan ke dalam tanah ternyata mampu mengurangi jumlah
pupuk yang dibutuhkan tetapi produktivitas sawit sama dengan pemupukan
anjuran perusahaan. Dalam kasus ini, penelitian dilakukan pada sawit berumur
muda-menjelang usia produktif dimana dosis anjuran perusahaan berupa pupuk
tunggal NPK masing-masing sebanyak 1000 gram Urea, 2000 gram KCl, dan
750 gram SP-36/pohon/semester. Pupuk stick yang menyamai produktivitas
tersebut berkisar antara 600 dan 800 gram/pohon/semester. Hasil penelitian
awal ini menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam untuk mengetahui
dinamika hara pada sistem tanah-tanaman kebun sawit dan pengaruhnya
terhadap kualitas air di lingkungan kebun sawit yang selama ini dijadikan
sebagai sumber air untuk aktivitas sehari-hari.
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang mengolah tandan buah segar (TBS)
menjadi crude palm oil (CPO) dan produk lainnya menghasilkan limbah cair dan
limbah padat yang berpotensi mencemari lingkungan. Selain itu, PKS juga
menimbulkan suara bising yang mengganggu kesehatan karyawan, mencemari
udara melalui gas buangan yang mengandung partikel, CO2, CO dan sulfur.

29
Pengelolaan limbah padat sudah berjalan relatif lancar dengan memanfaatkan
limbah sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit di lapangan
setelah diberi perlakuan pengeringan dan penghalusan. Gangguan kesehatan
karyawan juga relatif bisa diatasi dengan menempatkan lokasi PKS berjauhan
dari perumahan penduduk atau karyawan (Risza, 2008).
Pengelolaan limbah cair PKS mulai memberikan manfaat yang berarti
sejak ada pemikiran bahwa kandungan unsur hara yang terkandung dalam
limbah berpotensi

untuk dimanfaatkan

sebagai

sumber pupuk organik

dibandingkan dengan metode pengolahan penyaringan dan pengendapan.


Pemanfaatan limbah cair PKS sebagai sumber pupuk organik dengan cara
mengalirkan limbah ke areal tanaman disebut sebagai sistem aplikasi lahan
(Land Application). Sistem ini berfungsi ganda yaitu mengurangi aliran limbah
cair ke badan sungai dan mengurangi kebutuhan pupuk bagi tanaman kelapa
sawit (Ginting, 2007). Secara rinci, kelebihan dan kekurangan sistem aplikasi
lahan adalah:
Kelebihannya:
1. Mencegah pencemaran badan air permukaan terutama sungai.
2. Memberikan unsur hara kepada tanaman.
3. Dapat memperbaiki struktur tanah (soil conditioner).
4. Dapat dimanfaatkan untuk lahan yang cukup luas.
Kekurangannya:
1. Kemungkinan adanya kontaminasi bahan kimia dari air limbah pada tanah
dan

air tanah terutama pada kondisi limbah cair yang diberi perlakuan

pendahuluan kurang sempurna.


2. Efektivitas pengaruh limbah cair dipengaruhi oleh musim dimana pada
musim hujan biasanya kurang efektif karena tercampur dengan air hujan dan
mengalir bersama aliran permukaan.
2.4. Evaluasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Existing
Sejak mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia, kelapa sawit telah
menarik perhatian pemerintah dalam pengelolaannya karena melibatkan banyak
petani, lembaga, penguasaan lahan, permodalan, tenaga kerja serta teknologi
yang spesifik lokasi. Interaksi semua pihak yang terlibat tersebut menimbulkan
masalah yang komplek berkaitan dengan kepentingan masing-masing dan
menimbulkan dampak yang serius terhadap lingkungan. Hal ini mengisyaratkan

30
diperlukannya model pengelolaan yang mampu menciptakan kondisi kerjasama
yang harmonis dan sinergis untuk memenuhi tuntutan pihak terlibat dan disaat
yang bersamaan bisa meminimalkan dampak terhadap lingkungan.
Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam tiga
aspek yaitu aspek kelembagaan, aspek produksi dan aspek pengolahan hasil
panen. Dari aspek kelembagaan, sejak tahun 1967 pemerintah merumuskan
pengelolaan perkebunan
Sistem

ini

kelapa sawit sistem Unit Pelaksana Proyek (UPT).

direalisasikan

dengan

membangun

Proyek

Pengembangan

Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) dimana setiap petani memperoleh


kebun sawit seluas 2,0 hektar. Pada tahun 1977 dikembangkan pola
Perkebunan

Inti Rakyat (PIR) yaitu PIR-Lokal, PIR-Khusus dan PIR-

Berbantuan/NES. Pola pengelolaan sistem ini agak fleksibel sehingga hampir


sesuai dengan kondisi di lapangan dengan indikator areal perkebunan
bertambah dengan pesat. Sejak tahun 1986, pemerintah mengembangkan pola
PIR-Transmigrasi yang ditujukan terutama untuk petani transmigrasi yang
berlokasi

di

Sumatera,

Kalimantan,

Sulawesi

dan

Irian.

Program

ini

dikembangkan mengingat kondisi perekonomian transmigran sulit meningkat jika


hanya bertumpu pada tanaman pangan saja karena faktor teknis seperti
kesesuaian lahan yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman pangan dan
tingginya gangguan hama/penyakit akibat perubahan ekosistem hutan yang
komplek dan stabil menjadi sistem pertanian yang monokultur (Ditjenbun, 1992).
Lebih jauh dijelaskan bahwa pola PIR merupakan proyek pemerintah
dibawah tanggungjawab Direktorat Jenderal Perkebunan dengan membentuk
unit kerja khusus yaitu Tim Khusus Perkebunan Inti Rakyat (TK-PIR) untuk
tingkat pusat. Untuk tingkat propinsi, dibentuk Tim Pembina Proyek Perkebunan
Daerah TK.I (TP3DI) dan TP3DII untuk Daerah Tingkat II. TK-PIR berperan
sebagai forum koordinasi antara instansi terkait tingkat pusat, sebagai contact
point bagi semua lembaga keuangan yang mendanai proyek, memberikan
arahan dan kebijakan sarana dalam pelaksanaan anggaran proyek, membantu
persiapan proyek mulai dari identifikasi sampai dengan negosiasi dengan pihak
pendanaan, membimbing pelaksanaan konversi, monitoring dan penyusunan
laporan.
Dilihat

dari

fungsinya,

TP3DI

dan

TP3DII

bukan

merupakan

perpanjangan tangan dari TK-PIR pusat tetapi merupakan suatu tim yang berdiri
sendiri, diketuai oleh Gubernur untuk TP3DI dan Bupati untuk TP3DII. Tim ini

31
berperan

sebagai

Gubernur/Bupati

forum

dalam

komunikasi
hal

menjaga

tingkat

daerah

kelancaran

untuk

membantu

operasional

proyek,

mengkoordinir semua instansi daerah yang terlibat dalam pelaksanaan proyek,


seleksi calon petani plasma terutama petani lokal, merencanakan kelengkapan
fasilitas umum dan sosial yang menunjang operasional pengelolaan perkebunan
kelapa sawit.
Pola PIR dilaksanakan dengan mengintegrasikan berbagai komponen ke
dalam suatu sistem pengelolaan terpadu. Kelembagaan menyangkut aspek
hubungan kerja, sumber dana, sistem pembayaran, alokasi lahan dan
keagrariaan, keorganisasian. Terdapat dua lembaga primer yang berperan
penting yaitu perusahaan inti dan petani plasma. Petani plasma dapat berupa
usahatani individu, kelompok dan koperasi. Lembaga sekunder sebagai lembaga
pembantu dalam aplikasi pola PIR yaitu instansi terkait dari Pemerintah Daerah,
perbankan, agraria, pekerjaan umum,

pertanian, perkebunan,

koperasi,

transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan.


Dana untuk pembiayaan proyek PIR berasal dari dua sumber yaitu dana
pemerintah dan kredit bank. Dana pemerintah berasal dari bantuan lunak luar
negeri dan anggaran dalam negeri (APBN) yang bisa digunakan untuk
komponen kredit maupun non kredit (fasilitas umum dan sosial). Dana dari
perbankan seluruhnya untuk membiayai komponen kredit. Realisasi pendanaan
untuk komponen kredit dan non kredit sangat bervariasi sesuai dengan kondisi di
lapangan dan komitmen-komitmen antar pihak terlibat.
Dalam penggunaan jasa perbankan, fungsi bank ada dua macam yaitu
bank berfungsi sebagai penyalur (Channelling bank) dimana bank bersangkutan
hanya menyalurkan dana pemerintah dan tidak menyediakan dana sendiri.
Kedua, bank berfungsi sebagai pelaksana (Executing bank) jika sebagian dana
untuk komponen kredit disediakan oleh bank bersangkutan. Pada awalnya,
fungsi bank dalam proyek PIR adalah sebagai penyalur dana dari pemerintah,
tetapi kemudian ada sebagian bank berubah fungsi sebagai pelaksana
diantaranya NES kakao di Sultra, NES ADB II di Riau, NES ADB VII di Bengkulu.
Kondisi ini dimungkinkan oleh semakin baiknya prospek kelapa sawit.
Terdapat dua periode organisasi dalam pelaksanaan pola PIR yaitu
periode pembangunan kebun dan periode pelunasan kredit. Pada periode
pembangunan

kebun,

diawali

dengan

persetujuan

Bappenas

dengan

Departemen Keuangan/Bank Indonesia berdasarkan usulan dari Menteri

32
Pertanian

melalui

Direktorat

Jenderal

Perkebunan.

Berdasarkan

hasil

persetujuan tersebut, Menteri Pertanian menunjuk PTPN/perusahaan swasta


nasional sebagai pelaksana dan sekaligus berfungsi sebagai perusahaan inti.
Dana pemerintah disediakan melalui APBN dengan sistem Daftar Isian Proyek
Perkebunan (DIPP) yang dipimpin oleh seorang pimpinan proyek (Pimpro) yang
berasal dari PTPN dan atau PNS Dinas Perkebunan dan bertanggungjawab
kepada

Dirjenbun.

Antara

penanggungjawab

proyek dengan

pelaksana

(perusahaan inti) diadakan perjanjian sebagai berikut (Basdabella, 2001):


1. Perjanjian

Pembangunan

Kebun

Plasma

(smallholder

development

agreement, SDA) dengan jangka waktu perjanjian 20-22 tahun tergantung


pada komoditas yang dikembangkan.
2. Kontrak Kerja Tahunan (KKT) adalah kontrak penggunaan dana tahunan
yang disediakan oleh pemerintah, ditandatangani antara Pimpro atas nama
Dirjenbun dengan direksi perusahaan inti.
Pada saat konversi kebun dilaksanakan maka sejumlah dana yang telah
dikonversikan kepada petani plasma dikurangkan kepada kredit yang menjadi
tanggungan Dirjenbun karena kreditnya beralih menjadi tanggungan individu
petani plasma. Peralihan hak dan tanggungjawab (konversi) kebun kelapa sawit
dilakukan setelah tim teknis (Perusahaan Inti, bank pelaksana, instansi terkait
dari Pemerintah Daerah) melakukan evaluasi kelayakan apakah kebun bisa
dikonversi atau belum. Berdasarkan sumber dana dan kriteria kegiatan, pola PIR
dikelompokkan menjadi empat jenis seperti pada Tabel 1.
Perusahaan inti mempunyai peran ganda yaitu sebagai pelaksana dan
sebagai inti. Sebagai pelaksana mempunyai kewajiban membangun kebun
sampai siap konversi ke petani plasma, membuka lahan pangan berikut
pekarangan, membangun rumah petani plasma, menyediakan sarana produksi
untuk penanaman tahun pertama, membangun infrastruktur baik di areal
perkebunan maupun di lokasi perumahan petani plasma, menyeleksi dan
menetapkan petani plasma, membagi lahan untuk petani plasma, mengarahkan
terlaksananya konversi kebun berikut penyiapan dokumen pendukungnya serta
bersama-sama dengan instansi terkait menyelesaikan masalah-masalah non
teknis. Pada tahap pembangunan kebun sudah selesai, perusahaan inti juga
diharapkan terlibat dalam pembinaan teknis petani plasma sebagai salah satu
bentuk ikatan dengan petani plasma dalam rangka meningkatkan penjualan TBS
petani ke PKS perusahaan inti.

33
Tabel 1. Karakteristik Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Sistem PIR
No

Kriteria
PIR-NES

Sistem PIR
PIR-Lokal
PIR-Khusus

PIR-Trans

1.

Petani
plasma

Penduduk
lokal

Penduduk
lokal

Transmigran

Transmigran

2.

Sumber dana

Bank Dunia

Bank dalam
negeri

Bank dalam
negeri

Kredit khusus

3.

Fungsi bank

Penyalur

Pelaksana

Pelaksana

Pelaksana

4.

Lokasi

Sekitar kebun

Bukaan baru

Bukaan baru

L.U II
transmigran

5.

Tan. pokok

2,0 hektar

2,0 hektar

2,0 hektar

2,0 hektar

6.

Tan. pangan

0,0 hektar

0,75 hektar

0,75 hektar

1,0 hektar

7.

Pekarangan

0,0 hektar

0,25 hektar

0,25 hektar

0,25 hektar

8.

36m

Rumah

36 m

36 m2

36 m

Sumber: Ditjenbun (1992).

Sebagai perusahaan inti, perusahaan tersebut menjadi mitra kerja petani


plasma dengan kewajiban membantu petani plasma untuk pengadaan sarana
produksi sepanjang diperlukan, membeli dan mengolah semua produk petani
plasma, menetapkan harga pembelian TBS menurut rumusan harga yang
ditetapkan pemerintah, membimbing petani plasma secara teknis dalam
menanam dan merawat kebun kelapa sawit yang baik agar berproduksi optimal,
dan membantu bank dalam pengembalian kredit oleh petani plasma.
Untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan kepada
perusahaan inti berjalan dengan lancar, maka dibuat perjanjian antara
perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut sistem clearing. Dalam
perjanjian ini, perusahaan inti membuat perjanjian kerjasama produksi dengan
petani

plasma.

Selain

itu,

juga

membuat

perjanjian

kerjasama

untuk

mendapatkan kredit pembelian dari bank dan pelunasan kredit petani plasma ke
bank. Petani plasma membuat ikatan akad kredit dengan pihak bank dalam
rangka konversi. Hubungan keterkaitan antara petani plasma, perusahaan inti
dan lembaga pendanaan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit pola
PIR disajikan pada Gambar 3.
Tingginya

perkembangan

perkebunan

kelapa

sawit

dan

adanya

perubahan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat maka tahun


1988 mulai diperkenalkan kredit perkebunan kelapa sawit skim Kredit Koperasi
Primer untuk Anggota (KKPA). Kredit ini difokuskan untuk membiayai kegiatan
yang produktif dari anggota koperasi primer dalam rangka menunjang

34
peningkatan usaha dan pendapatan mereka sekaligus untuk mengembangkan
kegiatan koperasi. Sejak diperkenalkannya, skim ini mampu tumbuh dengan
cukup pesat dengan rata-rata pertumbuhan 48,9%/tahun terutama pada sub
sektor kegiatan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan kondisi tersebut maka

tahun 1998 melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/45/KEP/DIR


tanggal 10 Juni 1998 tentang KKPA maka pemberian kredit oleh Bank Indonesia
dilakukan untuk modal investasi dan atau modal kerja bagi usaha-usaha
produktif serta dinyatakan layak oleh Bank berdasarkan asas-asas perkreditan
yang sehat. Jangka waktu kredit adalah 12 tahun termasuk masa tenggang
selama 4 tahun sejak akad kredit dengan KUD, dengan tingkat suku bunga 16%
per tahun.

Perusahaan INTI
Perjanjian
produksi

Perjanjian kerjasama
modal dan pelunasan
kredit petani plasma

Petani plasma
Akad kredit
Konversi kebun plasma

Lembaga
pendana/bank

Gambar 3. Keterkaitan antara Petani Plasma, Perusahaan Inti dan Lembaga


Pendana dalam Pola PIR (Ditjenbun, 1992)
Sebagai suatu paket pembangunan dan pengembangan wilayah, dalam
KKPA perkebunan yang utuh terdiri dari:
1. Komponen utama:
a. Pembangunan kebun inti
b. Pembangunan kebun plasma termasuk prasarana jalan yang dibiayai
dengan KKPA,
c. Pembangunan PKS
2. Komponen penunjang meliputi peningkatan pengelolaan koperasi dan
kualitas kelompok tani.
Dari ketentuan yang ada terlihat peranan sentral pada skim KKPA pada
perusahaan inti karena bertanggungjawab dalam memberikan bantuan kepada
petani plasma, membuka kebun inti serta membangun PKS. Secara rinci
peranan perusahaan inti adalah:
1. Melaksanakan survei pendahuluan dan studi kelayakan,

35
2. Membangun kebun inti dan PKS,
3. Membangun kebun plasma berdasarkan standar Dirjen bun,
4. Memperkuat

plasma

dan

koperasi

dalam

usahanya

agar

mampu

melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik,


5. Memberikan bantuan teknis kepada anggota koperasi primer dalam
memelihara kebun mereka sendiri,
6. Membeli seluruh hasil produksi kebun plasma dengan harga yang ditetapkan
bersama-sama pemerintah,
7. Membantu administrasi pengembalian kredit para anggota koperasi primer,
8. Bertindak sebagai penjamin atas pengembalian kredit jika koperasi atau
anggota koperasi primer tidak mampu mengembalikan kredit sesuai
perjanjian.
Instansi yang terlibat dalam KKPA terdiri dari unsur Pemda, Kanwil/Dinas
Perkebunan, Kanwil/Dinas Koperasi dan Pembinaan UKM serta Badan
Pertanahan Nasional. Keterlibatannya terutama pada stadia awal program yaitu
pada tahap sosialisasi program karena menyangkut aspek peruntukkan lahan,
pengalihan fungsi lahan dan sertifikasi lahan anggota koperasi primer.
Hubungan interaksi antara perusahaan inti, petani plasma, KUD dan bank dapat
dilihat pada Gambar 4.

BANK
(Penyandang Dana)

KUD (Penjamin)

PERUSAHAAN INTI
(Sumber Iptek dan PKS)

PETANI PLASMA
(Sumber TK dan Lahan

Keterangan:
Jalur koordinasi dan konsultasi
Jalur supervisi

Gambar 4. Hubungan Interaksi antara Perusahaan Inti, Petani Plasma,


KUD dan Bank dalam Skim KKPA (IPB, 2000)
Dari Gambar 4 terlihat bahwa petani plasma sebagai sasaran utama dan
merupakan muara dari supervisi yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam
program KKPA yaitu perusahaan inti, KUD dan bank. Dalam interaksi tersebut,

36
petani plasma sebagai sumber tenaga kerja dan penyedia lahan, perusahaan inti
sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi dan penyedia fasilitas
pengolahan (PKS). Sementara itu, KUD bertindak sebagai penjamin kepada
pihak pendana (bank) dan perusahaan inti.
Mekanisme pengajuan kredit KKPA oleh petani relatif sederhana dimana
petani diwajibkan menjadi anggota KUD dengan memenuhi kewajiban berupa
pembayaran simpanan pokok dan simpanan wajib. Setelah persyaratan
terpenuhi,

selanjutnya

petani

plasma

menandatangani

Surat

Perjanjian

Kerjasama (SPK) antara anggota dengan KUD. Proposal pembangunan


perkebunan kelapa sawit dibuat oleh KUD dengan rekomendasi oleh Dinas
Perkebunan dan Kanwil Koperasi. Dalam proses pengajuan kredit selanjutnya,
ada 2 jalur yang dilakukan (Gambar 5) yaitu:
1. Untuk KUD yang bermitra dengan perusahaan inti maka perusahaan inti
berperan sebagai avalist dan sekaligus

berperan

sebagai pemberi

rekomendasi dalam pengajuan KKPA.


2. Untuk KUD yang tidak bermitra dengan perusahaan inti maka KUD berperan
sebagai penjamin pasar, pemberi rekomendasi dan pembimbing teknologi.

Bank Pelaksana
PERUSAHAAN INTI
KUD

KELOMPOK TANI

PETANI
Keterangan:
Untuk KUD yang bermitra dengan perusahaan inti
Untuk KUD yang tidak bermitra dengan perusahaan inti

Gambar 5. Skema Pengajuan Kredit dalam Skim KKPA


Kesesuaian lahan, jenis bibit dan intensitas perawatan dalam aspek
produksi merupakan faktor yang berkontribusi nyata terhadap produktivitas

37
kelapa sawit. Sebagian besar kelapa sawit dikembangkan pada tanah marginal
dengan sifat-sifat bereaksi masam, miskin unsur hara, kejenuhan basa rendah,
daya pegang air rendah, topografi berlereng sehingga peka erosi. Lahan kelapa
sawit didominasi oleh tanah Ultisols dan Oxisols yang memiliki kesesuaian lahan
antara S3-S2 dengan tingkat produktivitas potensial rata-rata dari umur 3-25
tahun sebesar 22 ton TBS/ha untuk S2 dan 20 ton TBS/ha untuk S3 (Koedadiri
et al., 2005). Karakteristik kesesuaian lahan untuk kelapa sawit disajikan pada
Tabel. 2.
Tabel 2. Karakteristik Kesesuaian Lahan untuk Kelapa sawit
Variabel

Kelas kesesuaian
S1
(Sangat sesuai)

S2
(Sesuai sedang)

S3
(Sesuai terbatas)

N
(Tidak sesusai)

Zone agroklimat
(Oldeman)

A: 9/2
B1: 7-9/2

B2: 7-9/2-3
C1: 5-6/2-3

D1: 3-4/2
C2: 5-6/2-3

D2:3-4/2-3
D3: 4-6/6
E1: 3/2

Ketinggian dpl.

25-200m

200-300m

300-400m

<25m atau
>400m

Bentuk daerah

Datar-berombak

Berombakbergelombang

Bergelombangberbukit

Berbukitbergunung

Lereng

< 10%

10-22%

22-50%

>50%

Batuan permukaan

>100 cm

10-25%

25-50%

> 50%

Kedalaman tanah

>100 cm

50-100 cm

25-50 cm

<25 cm

50-100 cm

25-50 cm

<25 cm

Kedalaman air tanah


Tekstur tanah

Lempung - berdebu
Lempung -berpasir
Lempung-berliat

Liat
Liat - berlempung
Lempung -berpasir

Liat berat
Pasir - berliat
Pasir - berdebu

Liat sangat berat


Pasir kasar

Struktur tanah

Remah kuat
Gumpal sedang
Sangat gembur

Lemah sedang
Gumpal sedang
Gembur

Gumpal lemah
Teguh/keras

Tidak berstruktur
Masif

Konsistensi tanah

Tidak lekat

Lekat

Lekat

Sangat teguh
Sangat lekat

Kelas drainase

Sedang

Agak cepat
Agak lambat

Cepat
Lambat

Sangat cepat
Tergenang

Erodibilitas

Sangat rendah

Rendah/sedang

Agak tinggi

Sangat tinggi

pH

5,0-6,0

4,0-4,9

3,5-3,9

< 3,5

Rendah

Sangat rendah

Tinggi
Sedang
Kesuburan tanah
Sumber: Pahan (2006)
Kelas S1, potensi poduksi 25-32 ton TBS/ha/tahun;
Kelas S2, potensi poduksi 19-24 ton TBS/ha/tahun;
Kelas S3, potensi poduksi 13-18 ton TBS/ha/tahun;
Kelas N, potensi poduksi < 12 ton TBS/ha/tahun

Bibit kelapa sawit berpengaruh terhadap produktivitas tanaman dengan


mempercepat

dan

memperpanjang

umur

tanaman

menghasilkan

(TM),

meningkatkan rendemen dan meningkatkan kualitas minyak (Basdabella, 2001).


Hampir semua kebun kelapa sawit yang melakukan penanaman di bawah tahun
2000 menggunakan bibit varietas Tenera, Dura dan Psifera. Untuk perkebunan
kelapa sawit rakyat, masih banyak memakai bibit yang tidak bersertifikat dimana
biji sawit yang tua yang berasal dari pohon di kebun sendiri/tetangga dibibitkan

38
dan ditanam. Seiring dengan kemajuan dibidang pembibitan, maka untuk
penanaman di atas tahun 2000 perusahaan perkebunan sudah menggunakan
varietas unggul dengan spesifikasi seperti pada Tabel 3.
Perawatan tanaman merupakan faktor dominan penentu produktivitas
kelapa sawit terutama aspek pemupukan yang berkaitan dengan tingginya
penyerapan unsur hara oleh tanaman dengan keseimbangan hara di dalam
tanah. Dengan menerapkan jenis, dosis, waktu dan cara pemupukan yang
dianjurkan oleh perusahaan inti, kontribusi biaya untuk pemupukan sekitar 60%
terhadap total biaya pemeliharaan (Adiwiganda, 2002).
Tabel 3. Spesifikasi Bibit Unggul Kelapa Sawit yang Dibudidayakan Perusahaan
Perkebunan.
Varietas

Umur panen (bln)

Potensi TBS (ton/ha/thn)


Rata-rata
Maksimal

OER (%)

SP1

30

23-25

27

23-26

SP2

30

24-27

30

23-25

Dolok Sinumban

30

23-24

31

23-25

Bah Jambi

30

22-24

32

23-26

Marihat

30

24-25

31

23-25

RISPA

30

24-27

30

23-26

LaMa

30

27-29

36

23-26

Yangambi

30

25-28

39

23-26

SOCFIN

24

29

32

28,7

Bah Was

26-30

25-30

23-26

28

24,1-24,3

24

27

>25

LONDSUM
DAMI
OER = Oil Extraction Rate
Sumber: PPKS (2000)

Permasalahan yang berkaitan dengan perawatan mulai muncul setelah


konversi kebun dimana kebun plasma sepenuhnya dikelola oleh petani plasma.
Kebun inti sepenuhnya dikelola oleh perusahaan inti dengan menerapkan paket
anjuran sehingga produktivitas kelapa sawit relatif baik dan stabil. Sementara
untuk kebun plasma, perusahaan tidak punya power untuk memaksa penerapan
perawatan anjuran perusahaan melainkan hanya sebatas menganjurkan. Kebun
plasma di Desa Tanjung Benuang, Kecamatan Pamenang, Kabupaten
Merangin, Provinsi Jambi yang dikelola oleh PT. SMART COORPORATION
produktivitasnya merosot tajam setelah konversi. Hal ini diperparah oleh kondisi
penyediaan pupuk yang tidak tepat waktu, jenis, dosis dan cara pemberian serta

39
petani jarang memupuk kelapa sawitnya 2 kali/tahun. Pemupukan sering 1
kali/tahun dengan dosis 50-75% dari anjuran dengan cara menyebar di
permukaan tanah. Dengan cara ini, sebagian besar pupuk hilang melalui erosi,
run off dan penguapan yang tercermin dari munculnya gejala defisiensi hara baik
pada kelapa sawit muda maupun tua. Produksi rata-rata kelapa sawit umur 3
tahun berkisar 2-3 ton TBS/ha/tahun, sedangkan pada umur tanaman 13 tahun
berkisar antara 12-15 ton/ha/tahun (Puslittanak, 2004).
Hampir semua perusahaan perkebunan baik PBN maupun PBSN
memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) untuk melakukan pengolahan TBS dengan
produksi crude palm oil (CPO), minyak inti sawit dan limbah. Dalam proses ini,
setiap 1 ton TBS akan menghasilkan limbah cair sekitar 500 kg karena adanya
proses pengenceran. Limbah cair dihasilkan pada proses perebusan, klarifikasi
dan pemisahan antara tempurung dengan daging buah. Selain limbah cair, PKS
juga menghasilkan limbah padat sekitar 470 kg terdiri dari tandan buah kosong,
ampas/serat kulit biji dan tempurung. Skema pengolahan TBS dan produkproduknya serta limbah yang terbentuk disajikan pada Gambar 6 (Widhiastuti,
2001).
Limbah cair yang dihasilkan oleh PKS mempunyai sifat mencemari
badan air permukaan jika dibuang langsung tanpa perlakuan penetralan
terhadap sifat fisika dan kimianya. Beberapa sifat kimia yang berpotensi
mencemari perairan adalah pH (4,0-4,6); BOD (20 000-60 000 mg/ltr); kadar
minyak (6500-15 000 mg/ltr); COD (40 000-120 000 mg/ltr) dan beberapa unsur
hara seperti N, P, K, Ca dan Mg. Sifat fisikanya antara lain total padatan (30
000-70 000 mg/ltr); total padatan tersuspensi (15 000-40 000 mg/ltr) dan total
padatan terlarut (15 000-30 000 mg/ltr) (Loebis dan Tobing, 1989).
Untuk meminimumkan pencemaran lingkungan, limbah cair diberi
perlakuan dengan memanfaatkan mikroba jenis bakteri aerobik dan anaerobik
sebelum dibuang ke badan air permukaan, pada umumnya ke sungai. Ada 2
perlakuan yang diterapkan PKS sesuai dengan tujuannya yaitu (1) perlakuan
penetralan sampai BOD limbah 100 mg/ltr kemudian dibuang ke sungai dengan
waktu penetralan 103 hari dan (2) perlakuan penetralan sampai BOD 3500-5000
mg/ltr dengan waktu penetralan 71 hari yang digunakan sebagai pupuk organik
cair bagi tanaman kelapa sawit di lapangan (Naibaho, 1998). Dengan
berkembangnya ilmu mikrobiologi, terdapat kecenderungan untuk menggalakkan
alternatif kedua karena alternatif ini memerlukan biaya lebih rendah dan limbah

40
yang dihasilkan masih bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah yang sudah
diberi perlekuan terutama untuk pupuk organik yang diberikan secara langsung
ke tanaman di lapangan.

Limbah padat
(kg/ton TBS)

Limbah cair
(kg/ton TBS)

TBS
air
PEREBUSAN

250 kg

Tandan buah
kosong

Air kondensat

150 kg

BANTINGAN

PENGADUKAN

KEMPA
air

60 kg

AMPAS

BIJI

PEMECAH
BIJI

KLARIFIKASI

Air
lumpur

350 kg

CPO

air

160 kg

Air hidrosiklon
CANGKANG

100 kg

INTI

Gambar 6. Skema Pengolahan TBS dan Produk-Produknya Serta Limbah


yang Terbentuk

41
Hal yang sama juga dilakukan pada limbah padat terutama tandan buah
kosong (TKS) dan serat kulit biji yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
TKS mengandung 42,8% C; 0,80% N; 0,22% P2O5; 2,90% K2O; 0,30% MgO
dan unsur hara mikro seperti 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Hasil
penelitian pemanfaatan TKS secara langsung sebagai mulsa dapat memperbaiki
sifat-sifat tanah dengan meningkatkan kadar N, P, K, Ca, Mg, C-organik dan
KTK tanah (Darmosarkoro dan Rahutomo, 2000).
Dari keragaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit baik pada proses
produksi maupun pengolahan pasca panen terlihat adanya sentra peranan dari
KUD dan perusahaan inti. Hal ini menimbulkan dikotomi antara perusahaan inti
dengan petani plasma.

KUD yang merupakan lembaga binaan pemerintah

dalam implementasinya lebih dominan membela kepentingan perusahaan inti


dan kurang memperhatikan kepentingan petani plasma. Beberapa masalah yang
merugikan petani plasma antara lain: penyaluran sarana produksi (pupuk dan
obat-obatan), konversi kebun, penentuan harga TBS serta cara pembayaran
dalam pembelian TBS oleh perusahaan inti.
Dalam pengadaan dan penyaluran sarana produksi terutama pupuk dan
obat-obatan untuk petani plasma sering tidak tepat waktu, tidak tepat jenis, dan
tidak tepat cara pemberian pupuk. Pupuk diterima petani terlambat dari jadwal
pemupukan dan hanya 1 atau 2 jenis saja, seringnya hanya Urea saja atau Urea
dengan SP-36. Padahal untuk memelihara produktivitas tanaman, minimal
diaplikasikan pupuk Urea, SP-36, KCl dan untuk tanah kering masam diberi
Kiserit sebanyak 2 kali/tahun. Akibatnya petani memupuk tanamannya 2-3 kali/2
tahun. Pemanfaatan pupuk cair atau pupuk padat limbah PKS masih belum ada
diaplikasikan ke kebun petani dengan alasan produksi pupuk ini masih sedikit
dan diaplikasikan di kebun inti. Kondisi ini mengganggu seimbangan unsur hara
yang diserap tanaman dengan yang tersedia melalui tanah dan pemupukan dan
berujung pada penurunan produktivitas kelapa sawit. Sudah merupakan kondisi
umum dimana produktivitas kelapa sawit petani plasma lebih rendah
dibandingkan dengan kebun inti.
Konversi tanaman oleh perusahaan inti sering terlambat sekitar 6 bulan
dari jadwal penyerahan kebun dengan alasan kurang tepat. Beberapa kelompok
tani yang merasa dirugikan dengan konversi melakukan demonstrasi ke kebun
inti dan pihak terkait lainnya untuk mengklarifikasi keterlambatan ini. Pemecahan

42
masalah ini umumnya diatasi dengan pembayaran TBS buah pasir petani
sebanyak 50% ke petani dengan alasan rendemen TBS rendah.
Penentuan harga TBS kebun plasma dilakukan oleh perusahaan inti
bersama pihak terkait lannya tanpa melibatkan petani plasma atau kadangkadang hanya perwakilan petani jika diperlukan. Penentuan harga TBS
berdasarkan umur tanaman dan rendemen CPO. Masalahnya adalah pada
pengambilan sampel untuk penentuan rendemen CPO yang tidak representatif
sehingga diperoleh tingkat rendemen yang rendah dengan harga TBS yang
rendah pula.
Pembayaran TBS petani plasma oleh perusahaan inti melalui KUD
dilakukan 1 kali sebulan yaitu pada akhir bulan berjalan atau awal bulan
berikutnya. Ada juga beberapa perusahaan inti melakukan pembayaran 2
kali/bulan yaitu awal dan pertengahan bulan berikutnya. Kondisi ini menyuburkan
timbulnya penjualan TBS petani plasma ke pihak lainnya seperti: PKS yang
bukan tempat petani berhutang atau pedagang pengumpul yang membayar TBS
secara kontan dan harga tidak jauh berbeda dengan KUD. Masalah sosial lain
yang muncul adalah pencurian TBS, hutang petani tidak terbayar.
2.5. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Mempertimbangkan

peranan

kelapa

sawit

bagi

pembangunan

perekonomian nasional, baik saat ini maupun saat mendatang, pengelolaan


kelapa sawit yang tepat sesuai dengan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial yang
spesifik lokasi menjadi semakin penting agar komoditas sawit tetap menjadi
komoditas strategis. Pemerintah Indonesia secara konsisten telah, sedang dan
akan tetap mendukung pengembangan komoditas sawit berkaitan dengan
peranannya dalam perekonomian nasional. Dukungan tersebut tercermin dari
luasnya penyediaan lahan untuk pengembangan sawit sekitar 9,8 juta hektar,
tersebar terutama di Sumatera dan Kalimantan. Sumberdaya manusia juga
relatif tersedia di lokasi-lokasi yang dijadikan sentra pengembangan sawit,
walaupun

memerlukan

peningkatan

kapasitas

(capacity

bulding)

agar

mempunyai skill sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pengelolaan sawit


(Poeloengan, 2002). Demikian juga dengan kondisi infrastruktur yang umumnya
masih memerlukan perbaikan agar proses produksi dan pengolahan pasca
panen sawit lancar dan efisien. Oleh sebab itu, diperlukan strategi pengelolaan

43
yang tepat dalam pengembangan kelapa sawit mulai dari perencanaan sampai
ke jaringan pemasaran.
Untuk itu, Poeloengan (2002) menganjurkan strategi berbasis pada:
1. Memperbaiki proses produksi antara lain kesesuaian lahan, kualitas bibit,
pemeliharaan yang tepat serta skala usaha,
2. Memperbaiki efisiensi antara lain efisiensi biaya produksi,
3. Menerapkan Ecoplantation, merupakan sistem perkebunan yang dikelola
dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pada saat bersamaan
mampu

mempertahankan

kualitas

lingkungan.

Pada

prakteknya,

ecoplantation meliputi (a) tidak ada pembakaran sisa tanaman, (b) daur
ulang bahan organik sebanyak mungkin, (c) penggunaan pupuk yang
optimum, (d) pengendalian hama/penyakit secara biologi, (e) pola tanam
intercropping atau campuran, (f) konservasi energi, (g) limbah dan emisi gas
seminim mungkin, dan (h) pemanfaatan limbah kembali sebanyak mungkin,
4. Capacity building baik tenaga non skill maupun skill untuk meningkatkan
kapasitas kerja dan menuju efisiensi kebutuhan tenaga kerja, dan
5. Pengembangan komunitas sebagai kontribusi ekonomi-sosial terhadap
masyarakat sekitar perkebunan.
Konsep tersebut sesuai dengan perkembangan strategi pengelolaan
yang

diacu

dunia

pertanian

saat

ini

yaitu

pengelolaan

kelapa

sawit

berkelanjutan, mengikuti irama strategi pembangunan pertanian berkelanjutan.


Definisi dari pertanian

berkelanjutan itu sendiri terus berubah dari waktu ke

waktu, tetapi secara umum masih mengacu pada batasan yang dicetuskan oleh
World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1990 yaitu
pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Syahyuti, 2006).
Oates (1999) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai suatu sistem yang
mampu memenuhi permintaan akan bahan pangan pada kisaran harga yang
secara ekonomi, sosial dan lingkungan bisa diterima oleh masyarakat pada saat
kini dan akan datang. Dumelin et al.(2002) mendefinisikan

pertanian

berkelanjutan sebagai pertanian dengan kondisi yang produktif, kompetitif dan


efisien dan pada saat bersamaan memelihara dan memperbaiki lingkungan dan
kondisi

ekonomi-sosial

masyarakat

setempat.

Lebih

berkelanjutan harus mampu mendukung prinsip-prinsip:

jauh,

pertanian

44
1. Produksi optimal dan berkualitas gizi baik untuk memenuhi kebutuhan
generasi saat ini dan mendatang dengan tingkat masukan serendah
mungkin.
2. Dampak terhadap kesuburan tanah, kualitas air, udara dan biodiversitas
serendah mungkin sedangkan dampak positif sebisa mungkin tetap
dipertahankan.
3. Tetap optimis bisa memanfaatkan sumberdaya terbarui dan meminimumkan
pemanfaatan sumberdaya tak terbarui.
4. Pertanian berkelanjutan harus bisa mempertahankan dan memperbaiki
kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan masyarakat setempat.
Sesuai

dengan

definisi

tersebut,

aspek

pertanian

berkelanjutan

dikelompokkan dalam 10 kelompok indikator yaitu kesuburan tanah, kehilangan


tanah, unsur hara, pengelolaan hama/penyakit, biodiversitas, nilai produk,
energi, air, sosial dan human capital, dan ekonomi lokal. Pada setiap kelompok
indikator ada beberapa parameter indikator sebagai kisaran nilai yang
menunjukkan keberlanjutan. Secara lebih rinci, konsep pertanian berkelanjutan
dijabarkan sebagai berikut (Dumelin et al., 2002):
Kesuburan Tanah
Parameter indikator: kadar bahan organik tanah, aktivitas mikrobiologi,
kepadatan tanah, pH dan salinitas. Kadar bahan organik tanah: berkaitan erat
dengan aktivitas mikrobiologi tanah, tekstur tanah, daya pegang air dan
kapasitas

tukar

kation.

Kadar

bahan

organik

tanah

meningkat

pada

pemeliharaan kebun sawit dimana semua residu tanaman dikembalikan ke


dalam tanah dengan cara membenamkan. Dengan semakin seringnya
penerapan mekanisasi dalam pngelolaan kebun sawit maka kepadatan tanah
cenderung meningkat dan bisa merupakan masalah serius dimasa mendatang.
Salinitas dan pH tanah berubah akibat penggunaan pupuk.
Kehilangan Tanah
Parameter indikator: erosi tanah, penutupan tanah, lapisan atas tanah
hutan untuk pembibitan. Curah hujan berpengaruh signifikan terhadap erosi
tanah karena sebagian besar kelapa sawit ditanam pada lingkungan dengan
curah hujan

tinggi, lereng curam dan vegetasi penutup tanah jarang. Pada

kondisi normal, dengan penutupan tanah rapat maka kehilangan tanah


umumnya relatif kecil dibandingkan dengan areal yang penutup tanahnya jarang
karena dipakai untuk aktivitas panen kurang dari 10 persen areal kebun.

45
Kehilangan tanah akibat pemakaian lapisan atas tanah untuk pembibitan juga
relatif kecil dan saat ini tidak dianjurkan penggunaan lapisan atas tanah hutan
untuk pembibitan sawit.
Unsur Hara
Parameter indikator: efisiensi unsur hara dalam kerangka pengangkutan
unsur hara melalui panen terhadap input unsur hara, kehilangan nitrogen, dan
pengikatan nitrogen. Usahatani berkelanjutan harus memaksimalkan unsur hara
yang didaur ulang dalam sistem tanah-tanaman dan meminimalkan unsur hara
yang dimasukkan dari luar sistem. Penggunaan unsur hara yang tidak seimbang
akan berakibat pencemaran badan air melalui eutrofikasi dan mengurangi
keuntungan. Pengikatan nitrogen oleh tanaman leguminosa bisa diperoleh
kembali dengan memanfaatkan tanaman yang toleran terhadap naungan dan
pengelolaan pemupukan nitrogen untuk merangsang aktivitas rhizobium
pengikat nitrogen.
Pengelolaan Hama/penyakit
Parameter indikator: aplikasi Integrated Pest Management (IPM),
penggunaan pestisida, keracunan, keselamatan operator. Hama/penyakit
menurunkan hasil sawit secara nyata yang berarti penurunan pendapatan
sehingga perlu pengendalian yang efektif. Untuk mengurangi dampaknya
terhadap lingkungan maka IPM menjadi alternatif yang cukup baik, tetapi susah
untuk dikuantitatifkan. Namun demikian, efektivitas IPM dilakukan dengan
mengamati populasi hama/penyakit sebagai indikator perlu/tidaknya tindakan
pengendalian hama dan penggunaan pestisida yang daya racunnya rendah.
Biodiversitas
Parameter indikator: pemeliharaan diversitas genetik tanaman, jumlah
diversitas pada tanaman perkebunan, biodiversitas footprint pada perkebunan.
Biodiversitas dalam suatu ekosistem sulit diukur, sering tumpang tindih dengan
kelompok indikator keberlanjutan lainnya seperti fiksasi nitrogen, musuh alami
hama/penyakit dan aktivitas mikrobia dalam tanah. Biodiversitas footprint
didefinisikan sebagai pengaruh tanaman perkebunan terhadap keragaman
biodiversitas di sekeliling areal perkebunan. Pemeliharaan reparian, jalur hijau
dan tanaman pemecah angin akan mengurangi footprint. Perkebunan kelapa
sawit sampai saat ini dikategorikan sebagai salah satu penyebab menurunnya
keragaman biodiversitas sehingga masalah ini perlu diperhatikan lebih serius.

46
Energi
Parameter indikator: efisiensi energi, proporsi energi terbarukan, produksi
gas rumah kaca dan emisi gas-gas pencemar udara. Kelapa sawit termasuk
kelas baik dalam energi terbarukan dengan pemanfaatan kembali limbah padat
sisa tanaman. Metan merupakan gas rumah kaca yang menjadi masalah karena
mempunyai potensi dampak negatif hampir 25 kali lipat dibandingkan dengan
CO2 karena CO2 bisa diserap tanaman untuk fotosintesis dan juga diistirahatkan
di dalam tanah. Selain CO2, pengolahan pasca panen juga menghasilkan
nitrogen dan sulfur yang juga sebagai pencemar udara.
Air
Parameter indikator: pengelolaan air di lapangan (irigasi dan drainase),
efisiensi penggunaan air pada pabrik, persediaan air yang terbarui, oxygen
demand limbah cair. Skor pengelolaan air ditentukan oleh efisiensi air irigasi dan
sistem drainasi yang mampu memelihara muka air tanah. Skor yang rendah
untuk air yang terbarui dihasilkan jika ada penggunaan air fossil atau air bekas
dari saluran pabrik lainnya di daerah hulu.
Nilai Produk
Parameter indikator: kecenderungan keuntungan jangka panjang, residu
dan kontaminasi minimal, kotoran pada hasil panenan rendah. Keberlanjutan
ekonomi merupakan kondisi yang menentukan terhadap kecenderungan
keuntungan yang berkaitan dengan fluktuasi harga produk. Kecenderungan
jangka panjang dari inflasi yang disesuaikan dengan gross margin per hektar
sering dipakai sebagai indikator dari keberlanjutan ekonomi. Nilai produk juga
bisa diperbaiki jika harga bahan bakar bisa ditekan, sedangkan kontaminasi
pada produk belum merupakan masalah serius bagi nilai produk kelapa sawit.
Sosial dan Human Capital
Sosial kapital dijelaskan sebagai hal yang berkaitan dengan kepercayaan
di dalam dan di antara unit sosial dan keberhasilan dalam menanggung resiko
serta keberhasilan dari kegiatan perkebunan secara kolektif. Unit sosial bisa
berupa komunitas lokal, penduduk asli, pemerintah daerah dan nasional serta
organisasi industri atau perdagangan. Human capital didefinisikan sebagai
kapasitas individu yang berkelanjutan dalam aspek kesejahteraan, kesehatan,
gizi, pendidikan serta keterampilan. Dari sini jelas bahwa perkebunan yang
bertanggungjawab terhadap human capital memiliki skor tinggi.

47
Ekonomi Daerah
Pertanian seharusnya berkontribusi positif terhadap perekonomian lokal
dan nasional baik dalam kerangka keberlanjutan ekonomi maupun sosial. Uang
yang dikontribusikan ke perekonomian nasional dari perkebunan dan nilai
tambah pengolahan pasca panen seperti refining, packaging dan lain-lain sangat
penting artinya bagi perekonomian nasional. Pada skala lokal, proporsi dari total
input yang dibayar tunai (termasuk tenaga kerja) yang dikeluarkan di tingkat
kabupaten di sekitar perkebunan sangat berarti bagi perekonomian lokal.
Setyarso dan Wulandari (2002) membuat rumusan kriteria dan indikator
berkelanjutan untuk perkebunan kelapa sawit yang terdiri dari tujuh kelompok
kriteria dan indikator yaitu legalitas, penyiapan dan konservasi tanah,
pengelolaan produksi, prosesing pasca panen dan pemasaran, sumberdaya
manusia, pengembangan regional dan aksesibilitas informasi. Pendekatan yang
digunakan untuk kriteria dan indikator berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1. Setiap kriteria dan indikator berkelanjutan dikelompokkan ke dalam 3 aspek
yaitu ekologi/lingkungan, sosial dan pengelolaan bisnis.
2. Setiap tahapan atau proses pengelolaan kelapa sawit mulai dari penguasaan
lahan sampai ke pemasaran hasil pengolahan pasca panen

harus

memenuhi ketiga aspek tersebut.


Rumusan kriteria dan indikator perkebunan kelapa sawit berkelanjutan ini
disajikan pada Lampiran 1. Secara ringkas, kriteria dan indikator yang dibangun
sudah menggambarkan kondisi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang
komprehensip. Pada kriteria legalitas, indikator aspek lingkungan mengacu
kepada kesesuaian lokasi dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku
dan konservasi hutan lindung. Indikator sosial dari kriteria ini mengacu kepada
partisipasi masyarakat lokal dalam proses konsesi lahan dan penentuan sistem
sewa/penguasaan lahan. Sementara indikator pengelolaan bisnis mengacu
kepada proporsi pemanfaatan lahan konsesi untuk tanaman pokok (kelapa
sawit) dan pemeliharaan vegetasi tanaman pokok.
Aspek lingkungan pada kriteria penyiapan dan konservasi tanah
menyangkut mekanisme pembukaan lahan seperti peniadaan pembakaran
tebangan tanaman dan konservasi lahan seperti rehabilitasi lahan terdegradasi
serta pencegahan terjadinya degradasi lahan. Pada aspek sosial, indikator yang
ditekankan adalah kewajiban pekebun untuk melibatkan masyarakat lokal dalam
kegiatan penyiapan lahan dan konservasi tanah. Demikian juga dengan aspek

48
pengelolaan bisnis, kriteria ini mempunyai 1 indikator yaitu konservasi tanah
berdampak positif terhadap lahan masyarakat. Kriteria pengelolaan produksi
yang

berkaitan

dengan

aspek

ekologi/lingkungan

meliputi

penerapan

pengelolaan hama terpadu (PHT) dan konservasi lahan untuk meminimalkan


dampak negatif terhadap lingkungan. Beberapa indikator tersebut adalah
penerapan perlindungan terhadap spesies endemi, pengendalian penurunan
permukaan tanah (subsidence) pada gambut, meminimalkan pencemaran
terhadap tanah, air dan udara, penanaman tanaman penutup tanah (cover
crops), penerapan PHT. Berkaitan dengan aspek sosial, kriteria ini mempunyai 1
indikator dimana pekebun harus melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan
pengelolaan produksi. Pada aspek pengelolaan bisnis, kriteria ini menekankan
pada indikator evaluasi hasil analisa tanah dan tanaman minimal diulang dalam
5 tahun untuk menentukan jenis dan dosis pupuk yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan tata ruang kebun.
Kriteria dan indikator prosesing produksi pasca panen dan pemasaran
meliputi teknologi pengolahan pasca panen, pengelolaan limbah dan sistem
pemasaran. Berkaitan dengan aspek ekologi, indikator dari kriteria ini antara lain
pengelolaan limbah sesuai standar baku dan berwawasan lingkungan, dampak
negatif limbah terhadap lingkungan seminimal mungkin. Aspek sosial kriteria ini
mempunyai 1 indikator dimana pekebun harus melibatkan masyarakat lokal
dalam kegiatan prosesing produksi pasca panen. Pada aspek pengelolaan
bisnis, indikator dari kriteria ini antara lain produksi CPO mengandung asam
amino tidak lebih dari 5%, randemen TBS tergantung dari umur sawit dan
efisiensinya >95%, perkebunan harus mempunyai pabrik pengolahan TBS dan
kapasitasnya disetujui oleh pemerintah daerah dan harga TBS berdasarkan
pada formula tertentu.
Kriteria dan indikator sumberdaya manusia meliputi semua aspek yang
berhubungan dengan rekrutmen tenaga kerja, deskripsi jabatan dan promosi.
Berkaitan dengan aspek ekologi, indikator kriteria ini antara lain: pekerja
perkebunan tahu menyelamatkan diri dari bahan kimia berbahaya, dalam
pengelolaan limbah harus merekrut tenaga kerja yang profesional. Pada aspek
sosial, indikatornya antara lain: dalam merekrut tenaga kerja masyarakat lokal
diprioritaskan, melakukan pelatihan tenaga kerja lokal, tidak ada diskriminasi
jabatan dan upah antara tenaga lokal dengan non lokal dan masyarakat lokal
harus dijadikan sebagai pekerja tetap. Pada aspek pengelolaan bisnis,

49
indikatornya seperti tingkat upah minimum pekerja lokal harus manusiawi,
perkebunan harus memiliki jaminan sosial dan kesehatan, ada jaminan bagi
pekerja untuk menjual aset perusahaan jika perkebunan bangkrut
Kriteria pengembangan regional mempunyai beberapa indikator seperti
perkebunan harus memperhatikan dengan serius terhadap flora dan fauna
endemik dan habitatnya dari berbagai gangguan dan bertanggungjawab
terhadap pengelolaan lahan pasca operasional. Pada aspek sosial, indikator
kriteria ini antara lain: pemberdayakan masyarakat lokal agar kehidupannya
lebih baik, pengembangan bangunan untuk peribadatan dan membina hubungan
baik antara umat agama dan perkebunan mengembangkan sarana pendidikan
minimal sampai tingkat SLTA. Pada aspek pengelolaan bisnis, indikator dari
kriteria ini adalah Informasi sifatnya terbuka untuk masyarakat lokal dan
kelembagaan ekonomi lokal tidak diganggu oleh perkebunan
Kriteria dan indikator aksesibilitas informasi menyangkut komunikasi
yang transparan dan efektif dalam menjalankan perkebunan dan antara staf dan
masyarakat lokal. Berkaitan dengan aspek ekologi, kriteria ini mempunyai 1
indikator

dimana

pekebun

harus

menginformasikan

pemantauan

dan

pengelolaan secara transparan. Berkaitan dengan aspek sosial, kriteria ini


mempunyai 2 indikator yaitu keterkaitan komunikasi antara masyarakat lokal dan
perkebunan berjalan baik dan masyarakat lokal dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pada aspek
pengelolaan bisnis, indikatornya antara lain: perkebunan diaudit oleh auditor
independen paling tidak sakali setahun dan perkebunan didukung oleh sistem
komputer dan bisa diakses setiap saat.
Untuk perkebunan kelapa sawit, konsep berkelanjutan yang paling akhir
pertemuan internasional The 3rd

yang dirumuskan oleh Ng (2005) dalam

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Singapura menyebutkan bahwa


perkebunan

berkelanjutan

merupakan

usaha

yang

mampu

memenuhi

pertumbuhan ekonomi (profit), perlindungan terhadap lingkungan (planet) dan


kesetaraan sosial (people). Konsep perkebunan berkelanjutan tersebut terdiri
dari 8 prinsip dan 39 kriteria yang harus dipenuhi pihak pengelola agar kondisi
berkelanjutan bisa terwujud (Lampiran 2). Jika dipaparkan lebih rinci maka
semua kriteria tersebut didasarkan pada azas:
1. Legalitas,

50
2. Mampu memberikan kuntungan secara ekonomi bagi semua pihak berupa
peningkatan pendapatan,
3. Secara sosial tidak mengganggu kondisi sosial yang sudah ada seperti
kearipan lokal, adat istiadat dan budaya setempat, dan
4. Secara ekologi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup setempat
berupa penurunan kualitas lahan, air dan udara, pengurangan biodiversitas
dan plasma nutfah lokal.
Secara fisik (planet), terdapat 4 prinsip dan 22 kriteria. Kriteria pada
prinsip penggunaan teknologi proses produksi dan pengolahan pasca panen
terbaik antara lain: menerapkan pengendalian erosi dan degradasi tanah,
memelihara kualitas dan ketersediaan air permukaan dan air dalam tanah,
penerapan pengelolaan hama terpadu (PHT), staf dan

pekerja harus

memperoleh pelatihan yang memadai dan hal-hal yang berkaitan dengan


kesehatan dan keselamatan harus didokumentasikan, dikomunikasikan serta
diimplementasikan. Prinsip bertanggungjawab terhadap konservasi sumberdaya
alam dan biodiversitas meliputi beberapa kriteria seperti pengelolaan produksi
dan pasca panen yang berdampak terhadap lingkungan harus bisa dikendalikan
mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif, spesies langka
dan habitatnya yang bernilai tinggi harus dikonservasi, limbah dikurangi, didaur
ulang, dimanfaatkan kembali dan dibuang sesuai dengan konsep ramah
lingkungan, pengurangan polusi dan emisi, termasuk gas rumah kaca harus bisa
diimplementasikan.
Kriteria untuk prinsip bertanggungjawab pada penanaman baru antara
lain: survei tanah dan topografi dimasukkan sebagai pertimbangan untuk
penanaman baru, penanaman pada lereng terjal atau pada tanah marginal atau
fragile dihindari, masyarakat lokal wajib memperoleh kompensasi untuk
pemakaian lahan dan hak mereka. Kriteria komitmen untuk terus menerus
melakukan perbaikan terdiri dari 1 kriteria dimana pengelolaan produksi dan
pasca panen kelapa sawit harus melakukan pemantauan berkala serta
mengimplimentasikan rencana aksi yang menunjukkan perbaikan secara terus
menerus. Pada aspek ekonomi (profit), terdapat 1 prinsip berupa komitmen
viabilitas ekonomi dan keuangan jangka panjang, terdiri dari 1 kriteria dimana
pengelolaan produksi dan pasca panen yang diaplikasikan mampu menjamin
terciptanya kondisi viabilitas ekonomi dan keuangan jangka panjang.

51
Berkaitan dengan aspek sosial (people), terdapat 3 prinsip dan 16
kriteria. Prinsip dimana semua aktivitas perkebunan sesuai dengan UndangUndang dan Peraturan yang berlaku mempunyai beberapa kriteria antara lain:
semua aktivitas sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku
baik pada tingkat lokal maupun nasional, penggunaan lahan sesuai dengan hak
penguasaan yang berlaku dapat dilihat dari tidak adanya konflik. Prinsip
bertanggungjawab terhadap pekerja, individu, dan komunitas terdiri dari
beberapa kriteria seperti sistem persetujuan dan dokumentasi yang saling
menguntungkan untuk mengatasi keberatan yang terjadi, negosiasi kompensasi
kehilangan hak mengacu pada sistem memungkinkan bagi masyarakat lokal
untuk mengekspresikan keinginan mereka melalui perwakilan yang layak, tingkat
upah pekerja minimal sesuai dengan tingkat upah minimum idustri, tidak
diperkenankan mempekerjakan anak-anak di bawah umur, pekerja tidak boleh
mendukung diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama, kasta, gender ataupun
politik,

ada kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap wanita.

Prinsip komitmen untuk transparan terus menerus merupakan konsep sosial


lainnya yang terdiri dari 2 kriteria yaitu wajib menampilkan informasi tentang isuisu lingkungan, sosial dan legalitas yang relevan terhadap stakeholders lainnya
dan pengelolaan dokumen harus bisa diakses oleh publik.
Dari semua konsep berkelanjutan tersebut nampak bahwa aspek
pengelolaan pada proses produksi masih dominan dibandingkan dengan
pengelolaan pasca panen. Hal ini disebabkan oleh kontribusi terhadap dampak
kepada lingkungan, ekonomi dan sosial didominasi oleh proses produksi, yang
sejalan dengan luasnya areal produksi, banyaknya petani dan tenaga kerja yang
dioperasikan dibandingkan dengan pengolahan pasca panen. Dengan demikian,
usaha peningkatan efisiensi penggunaan sarana produksi, tenaga kerja dan
mitigasi polusi terhadap lingkungan pada proses produksi akan berimbas jauh
lebih besar dibandingkan pengolahan pasca panen (Ng, 2005). Untuk kasus di
Indonesia, dimana kebun kelapa sawit sudah luas dan akan terus ditingkatkan
untuk masa mendatang maka aspek produksi ini menjadi semakin penting untuk
dikelola dengan lebih profesional sesuai dengan konsep dari RSPO tersebut.
Interaksi semua kegiatan tersebut akan mampu mendukung tercapainya
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang menurut Reijntjes et al. (2005)
dicirikan oleh:

52
1. Mantap secara ekologis: pola yang dianjurkan mampu memelihara kualitas
lingkungan dan kemampuan agro-ekosistem secara keseluruhan, dari
manusia, hewan, tanaman, sampai ke organisme tanah dan air bisa
ditingkatkan.
2. Bisa berlanjut secara ekonomis: kebutuhan petani bisa tercukupi dari hasil
usahatani kelapa sawit meliputi kebutuhan petani sendiri dan pengembalian
tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan kelapa sawit.
3. Mantap secara sosial yang meliputi:
a. Adil:

bahwa

semua

sumberdaya

dan

kekuasaan

didistribusikan

sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan dasar semua anggota


masyarakat terpenuhi serta hak-hak mereka dalam penggunaan lahan,
modal, bantuan teknis dan peluang pemasaran terjamin.
b. Manusiawi: semua bentuk kehidupan dasar semua mahluk dihargai,
dihormati, dan hubungan institusi menggabungkan nilai kemanusiaan
yang

mendasar

seperti:

kearifan

lokal,

kepercayaan,

kejujuran,

kerjasama dan lain-lain.


c. Luwes: kondisi dimana masyarakat desa mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usahatani yang terus berlangsung, misalnya:
pertambahan penduduk, kebijakan pemerintah, permintaan pasar.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2007 sampai Desember 2007
dengan mengambil lokasi di salah satu sentra pengembangan kelapa sawit di
Kabupaten Kampar yaitu perkebunan PIR-Trans PTPN V Sei Pagar. Lokasi
penelitian meliputi empat desa yaitu Desa Hangtuah dan Sialang Kubang
termasuk Kecamatan Perhentian Raja, Desa Sei Simpang Dua termasuk
Kecamatan Kampar Kiri Hilir dan Desa Mayang Pongke termasuk Kecamatan
Kampar Kiri Hulu. Secara geografis, kebun kelapa sawit terletak pada posisi
0o12! 0o20! Lintang Utara dan 10114! 10124! Bujur Timur (Gambar 7).

Gambar 7. Lokasi Penelitian Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan Sei Pagar

54
Dari segi iklim, lokasi penelitian cocok untuk kelapa sawit dengan curah
hujan tahunan rata-rata 1840 3400 mm/tahun, hari hujan rata-rata 116-172.
dan kelembaban nisbi udara rata-rata >75%. Topografi datar-berombak, jenis
tanah didominasi oleh Haplosaprists dan Dystrudepts . Sejak tahun 1985-1990,
kelapa sawit rakyat (plasma) di lokasi ini dikembangkan melalui pola PIR-Trans
seluas 6000 hektar terdiri dari 5 afdeling (afdeling A-E) dan kebun inti seluas
2813 hektar terdiri dari 4 afdeling (afdeling I-IV). Untuk pengolahan pasca panen
TBS, terdapat 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton
TBS/jam . Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan yaitu:
1. Secara geografis, lokasi penelitian termasuk areal strategis yang terletak
pada kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura-Growth Triangle (IMS-GT)
sehingga memiliki keunggulan dalam pemasaran produksi hasil olahan
kelapa sawit seperti CPO dan produk lainnya.
2. Kebun kelapa sawit rakyat tersebar relatif luas yaitu sekitar 703 508 hektar
atau sekitar 47,3% dari total areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi Riau.
3. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat masih mengalami kendala
yang mencakup kendala teknis, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan hidup.
3.2. Rancangan Penelitian
3.2.1. Jenis dan Sumber Data
Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini dibutuhkan data primer dan
sekunder. Data sekunder meliputi aspek fisik sumberdaya lahan, iklim,
demografi, sosial budaya, ekonomi, pengelolaan perkebunan kelapa sawit, dan
laporan serta dokumen lainnya yang relevan. Data sekunder bersumber dari
RSPO, Perusahaan Inti, Instansi Terkait Pemda, LSM, Kelompok Tani, dan
instansi lain yang berhubungan dengan kelapa sawit. Data primer diperoleh
dengan cara survei dengan meliput data fisik lahan, data sosial budaya,
ekonomi, demografi, pengelolaan kelapa sawit. Data ini bersumber dari
Kelompok Tani, Instansi Terkait Pemda, LSM, Perusahaan Inti, dan Instansi
lainnya yang berkaitan dengan kelapa sawit. Jenis dan sumber data primer lebih
rinci disajikan pada Lampiran 3 dan data sekunder pada Lampiran 4.
3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, sampel yang diambil
dikelompokkan

dalam 2 macam yaitu sampel biofisik dan sampel sosial-

ekonomi. Sampel Biofisik meliputi aspek iklim, karakteristik sumberdaya lahan,

55
pengelolaan lahan, proses produksi dan pengolaan hasil panen serta
pengolahan limbah. Pengambilan sampel tersebut dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Data iklim diperoleh dari stasiun iklim perkebunan atau stasiun iklim terdekat
lainnya.
Data sifat kimia tanah diperoleh dari pengambilan sebanyak 47 contoh tanah
komposit yang mewakili semua satuan tanah yang ada di lokasi perkebunan.
Untuk setiap satu contoh komposit, merupakan campuran 10 anak komposit
(sub sample), yang lokasi pengambilannya mengikuti Sistem Diagonal. Pada
setiap sub sampel, diambil contoh tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Contoh
tanah ini digabungkan dengan contoh anak komposit lainnya kedalam
kedalam 1 wadah dan diaduk rata, kemudian diambil sekitar 0,5 kg contoh
tanah komposit sebagai pewakil satuan peta tanah. Contoh tanah ini dianalisis
di laboratorium tanah untuk menentukan sifat kimia dan biologi. Jumlah contoh
tanah yang diambil sesuai dengan jumlah satuan peta tanah yang dijumpai di
lapangan.
Data sifat fisika diperoleh dengan pengambilan sebanyak 24 contoh ring yang
mewakili semua satuan tanah yang ada di lapang pada kedalaman 0-20 cm,
dan 20-60 cm. Contoh ini dianalisis di laboratorium fisika untuk menentukan
sifat fisik tanah seperti: B.D, permeabilitas, ruang pori dan lain-lain.
Data lereng diperoleh dari peta topografi lokasi perkebunan, kemudian
dikelaskan dengan Program Arc-View.
Data penggunaan lahan diperoleh dari interpretasi foto udara dan di cross
cheking dengan pengamatan lapang.
Data kualitas air diperoleh dengan pengambilan sebanyak 14 contoh air dari
badan air permukaan (sungai) dan sumur penduduk. Jumlah contoh air
disesuaikan dengan sebaran sungai dan sumur yang ada di lokasi penelitian
terutama pada inlet sungai, sentra pemukiman dan pabrik kelapa sawit serta
outlet sungai.
Untuk melihat pencemaran karena limbah cair PKS, dilakukan pengambilan
sebanyak 12 contoh limbah cair dari kolam penampung limbah cair PKS yaitu
pada kolom penampung primer, kolam penampung sekunder, kolam
penampung tertier dan kolam penampung akhir (sudah siap dibuang ke
sungai). Seperti halnya contoh tanah, contoh air ini dianalisis di laboratorium
untuk menentukan kualitas limbah PKS

56
Data rendemen TBS diperoleh dari data pabrik pengolahan kelapa sawit yang
ada di lokasi penelitian.
Data kualitas CPO diperoleh dari laboran hasil analisis kimia contoh CPO
Data pengolahan limbah padat pabrik kelapa sawit (tandan buah kosong,
tempurung) diperoleh dari laporan pengelolaan limbah padat pabrik kelapa
sawit. Untuk pengelolaan limbah padat perkebunan (pangkasan daun, babatan
rumput/gulma) diperoleh dari laporan kegiatan

pengolahan limbah kebun

sawit.
Data produksi dan perkembangannya diperoleh dari laporan kegiatan panen
TBS kelompok tani, KUD dan pabrik kelapa sawit.
Data penggunaan bahan kimia untuk pengendalian hama/penyakitr diperoleh
dari kegiatan pemeliharaan kebun kelompok tani, KUD dan perusahaan inti.
Data penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik diperoleh dari kelompok
tani, KUD dan perusahaan inti.
Sampel sosial-ekonomi meliputi perkembangan kesehatan, pendidikan,
pendapatan dan pengeluaran masyarakat, skim kredit pola PIR-Trans, bentukbentuk lembaga yang relevan dengan perkebunan kelapa sawit, konflik sosial,
sistem penguasaan lahan, aksesibilitas publik terhadap pengelolaan perkebunan
dan hal-hal lainnya yang relevan. Perekaman data yang dilakukan terhadap
responden berbeda dimana:
Penetuan partisipan untuk AHP dan Analisis Prospektif dilakukan

dengan

purposive sampling dari para pakar perkebunan kelapa sawit plasma seperti:
staf PTPN V di Pekanbaru dan di Sei Pagar, Instansi terkait (BAPPEDA,
BAPEDALDA, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Dinas
Kehutanan), ketua Kelompok Tani maju, Ketua KUD dan LSM. Partisipan
untuk AHP sebanyak 14 orang dan Prospektif Analisis sebanyak 10 orang,
pengisian kuesioner dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD).
Metode FGD dipilih dengan pertimbangan bahwa FGD merupakan diskusi
kelompok dari sejumlah individu yang memiliki pemahaman yang hampir sama
terhadap topik diskusi dan memfokuskan pada interaksi dalam kelompok
berdasarkan pertanyaan yang diajukan moderator (Krueger, 1988; Lestari,
2007). Dengan demikian, nilai-nilai yang diperoleh dari setiap pertanyaan yang
diajukan lebih seragam sehingga membantu dalam pembobotan terhadap
variabel-variabel yang sudah ditetapkan dalam AHP maupun Analisis
Prospektif.

57
Pengambilan data terhadap petani, ketua kelompok tani dan staf KUD serta
stakeholders lainnya dilakukan dengan memakai kuesioner terstruktur (daftar
pertanyaan terstruktur). Penentuan respoden dilakukan secara acak bertingkat
(stratified random sampling) agar semua desa yang ada di lokasi penelitian
terwakili.
Jumlah responden untuk pengisian kuesioner petani, kelompok tani dan staf
KUD serta stakeholders lainnya sebanyak 100 orang yang ditentukan
berdasarkan rumus Siegel (1990) sebagai berikut: n =

N
1 + Ne 2

Dimana:
n = jumlah sampel
N = Jumlah populasi
E = Galat, maksimum 10%
3.2.3. Teknik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui
dinamika perkembangan perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini. Hasil
analisis ini dijadikan acuan untuk melakukan simulasi pada perumusan alternatif
model pengelolaan untuk masa mendatang. Selanjutnya, hasil analisis juga
dijadikan pertimbangan dalam mengimplementasikan model pengelolaan kebun
plasma berkelanjutan yang dibangun. Tahapan analisis dan data yang
diperlukan dapat dilihat pada Gambar 8.
Analisis data disesuaikan dengan tujuan penelitian dimana untuk
mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan dan faktor-faktor pembatasnya serta
produktivitas lahan kebun kelapa sawit plasma diestimasi dengan membuat peta
kesesuaian lahan, model fungsi produksi kelapa sawit plasma dianalisis dengan
model

ekonometrika

kelembagaan

untuk

Fungsi

Produksi

(Produktivitas)

melihat

instansi/lembaga

yang

Nerlove.
terkait

Analisis

dan

pola

keterkaitannya diestimasi dengan metode AHP (Analytical Hierarchy Process).


Untuk memperoleh alternatif model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma
berkelanjutan, data yang terukur dan kuantitatif dianalisis dengan pendekatan
Sistem Dinamis. Untuk memperoleh skenario strategis implementasi model
pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan digunakan Analisis
Prospektif. Matrik dari tujuan, jenis data, cara pengumpulan data, teknik analisis
dan keluaran masing-masing tujuan disajikan pada Lampiran 5.

58

Data primer dan


sekunder:
fisik, ekonomi, sosial

Erosi
Fungsi produksi Nerlove

USLE

Peta:
Jenis tanah, topografi,
land use, peta kebun

AHP

GIS
Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan

Komponen Sosial

Komponen Ekonomi

Komponen Fisik

Analisis Sistem Dinamis


Power Sim
Model Pengelolaan Kebun Kelapa
Sawit Plasma Berkelanjutan

Validasi
Tidak
Valid
Analisis Prospektif

Skenario strategis implementasi


model pengelolaan kebun plasma
kelapa sawit berkelanjutan

Gambar 8. Skema Tahapan Analisis Model Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan
3.2.3.1. Sifat Fisika dan Degradasi Tanah
Sifat fisika tanah turut menentukan produktivitas lahan selain sifat kimia
tanah terutama yang berkaitan dengan drainase tanah. Sifat-sifat fisika tanah
diperoleh dengan pengambilan contoh ring pada setiap satuan tanah yang ada
di lapang pada kedalaman 0-20 cm, dan 20-60 cm. Contoh ini dianalisis di
laboratorium fisika untuk menentukan sifat fisik tanah seperti: B.D, permeabilitas,
ruang pori dan lain-lain.
Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat degradasi lahan dengan
produktivitas lahan dimana semakin terdegradasi lahan maka produktivitas lahan

59
semakin menurun. Erosi tanah merupakan faktor utama dari degradasi lahan
sehingga penentuan tingkat erosi menjadi penting untuk menduga tingkat
degradasi lahan. Erosi tanah diprediksi dengan menggunakan pendekatan
persamaan prediksi kehilangan tanah secara komprehensif atau dikenal dengan
The Universal Soil Loss Equation (USLE) (Troeh et al., 2004). USLE merupakan
model kotak kelabu untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah, yang
memungkinkan menduga rata-rata laju erosi tanah, pada suatu kecuraman
lereng dengan pola hujan tertentu, untuk setiap macam pertanaman dan
tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau
sedang diterapkan (Arsyad, 1989). Rumus pendugaannya adalah:
A = R X K X LS X C X P
Dimana:
A
R

= Besarnya erosi tanah yang mungkin terjadi (ton/ha/tahun)


= Besarnya faktor curah hujan dan aliran permukaan (didekati
dengan Indeks Erosi Hujan Wischmeier, EI30).
= Faktor kepekaan erodibilitas tanah (kehilangan tanah per unit
erosivitas hujan pada lahan kosong dengan kemiringan 9%
dan panjang lereng 22,1 m.
= Panjang dan kecuraman lereng
= Faktor pengelolaan penutup tanah (tanaman)
= Faktor tindakan pengelolaan tanah (konservasi tanah).

LS
C
P

Nilai dari masing-masing variabel pada rumusan tersebut dapat dijelaskan


sebagai berikut:
a. Nilai R
Nilai R didekati dengan Indeks Erosi Hujan Wischmeier (El30) yaitu
jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan
total (E) dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (l30) tahunan.
Besarnya nilai R digunakan rumus berikut:
El30 = 6,119(RAIN)121(DAYS)-0,47MAXP0,53
Dimana:
= Indeks erosi hujan bulanan
= Curah hujan rata-rata bulanan (dalam cm)
= Jumlah hari hujan rata-rata per bulan
= Curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan
bersangkutan
El30 tahunan adalah jumlah El30 bulanan
El30
RAIN
DAYS
MAXP

60
b. Nilai K
K merupakan faktor erodibilitas tanah yang besaran nilainya didekati
berdasarkan nilai K beberapa tanah yang ada di Indonesia atau dengan
menggunakan rumus berikut (Kurnia dan Suwardjo, 1984, dalam Arsyad, 1989):
100K = 1,292{2,1M1,14(10)-4(12-a) + 3,25(b-2) +2,5(c-3)
Dimana:
M
a
b

= Persentase pasir sangat halus (diameter 0,05-0,1 mm) dan


debu (diameter 0,05-0,02 mm) X (100-persentase liat)
= persentase bahan organik
= Kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah
(granuler sangat halus=1; granuler halus=2; granuler sedangkasar=3 dan berbentuk blok, blocky plat, masif=4)
= kelas permeabilitas profil tanah (sangat lambat=6; lambat=5;
lambat-sedang=4; sedang=3; sedang-agak cepat=2 dan
cepat=1)

Setelah data-data tersebut diperoleh maka besarnya nilai K bisa diperoleh


dengan menggunakan Nomograf Erodibilitas Tanah.
c. Nilai LS
Nilai LS merupakan faktor panjang dan kemiringan lereng yang dihitung
antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng dan
kecuraman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang terletak pada
kecuraman lereng 9% dan panjang lereng 22 meter. Nilai LS didekati dengan
menggunakan Nomograf Faktor LS atau dengan persamaan sebagai berikut:
LS =

X (0,0138 + 0,00965s + 0,00138s 2 )

Dimana:
X = Panjang lereng dalam meter
S = kecuraman lereng dalam persen
d. Nilai C
Faktor C dalam USLE adalah nisbah antara besarnya erosi dari tanah
yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi tanah
tanpa tanaman dan diolah bersih. Dengan demikian, faktor C mengukur
pengaruh bersama antara jenis tanaman dan pengelolaan yang diterapkan pada
sebidang lahan. Besarnya nilai faktor C didekati berdasarkan pengelolaan
tanaman menurut Arsyad (1989) seperti pada Tabel 4.

61

Tabel 4. Nilai Faktor C pada Berbagai Kondisi Pengelolaan Tanaman


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

18.
19.

20.

21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

31.
32.
33.

Macam penggunaan
Tanah terbuka (tanpa tanaman)
Sawah
Tegalan tanpa disepesifikasi
Ubi kayu
Jagung
Kedelai
Kentang
Kacang tanah
Padi
Tebu
Pisang
Akar wangi/sereh wangi
Rumput B.D (tahun pertama)
Rumput B.D (tahun kedua)
Kopi dengan penutup tanah buruk
Talas
Kebun campuran:
- Kerapatan tinggi
- Kerapatan sedang
-Kerapatan rendah
Perladangan
Hutan alam:
-Serasah banyak
-Serasah kurang
Hutan produksi:
-Tebang habis
-Tebang pilih
Semak belukar/padang rumput
Ubi kayu + kedelai
Ubi kayu + kacang tanah
Padi sorgum
Padi + kedelai
Padi + mulsa jerami 4 ton/ha
Padi + mulsa Crotalaria sp. 3 ton/ha
Kacang tanah + gude
Kacang tanah + kacang tunggak
Kacang tanah:
- + mulsa jerami 4 ton/ha
- +mulsa jagung 4 ton/ha
- +mulsa Crotalaria sp. 3 ton/ha
- +mulsa kacang tunggak
- +mulsa jerami 2 ton/ha
Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami
Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman
Alang-alang

Nilai faktor C
1,00
0,01
0,70
0,80
0,70
0,399
0,40
0,20
0,561
0,20
0,60
0,40
0,287
0,002
0,20
0,85
0,10
0,20
0,50
0,40
0,001
0,005
0,50
0,20
0,30
0,181
0,195
0,345
0,417
0,096
0,387
0,495
0,571
0,049
0,128
0,136
0,259
0,377
0,079
0,357
0,001

62
e. Nilai P
Faktor P adalah nisbah besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan
konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah menurut arah
lereng. Nilai P pada berbagai tindakan konservasi tanah disajikan pada Tabel 5
(Arsyad, 1989).
Tabel 5. Nilai Faktor P pada Berbagai Tindakan Konservasi Tanah
No
1.

Tindakan konservasi tanah


Teras bangku:
- Konstruksi baik
- Konstruksi sedang
- Konstruksi kurang baik
- Teras tradisional
Strip tanaman rumput Bahia
Pengolahan tanah dan penanaman menurut kontur:
- Kemiringan 0-8%
- Kemiringan 9-20%
- Kemiringan > 20%
Tanpa tindakan konservasi tanah

2.
3.

4.

Nilai P
0,04
0,15
0,35
0,40
0,40
0,50
0,75
0,90
1,0

3.2.3.2. Kesesuaian Lahan (Land Suitability)


Kesesuaian lahan menggambarkan produktivitas lahan dan sangat
menentukan tingkat produksi tanaman yang dibudidayakan bersama dengan
potensi tanaman dan pengelolaan yang diterapkan. Dengan demikian,
kesesuaian lahan perlu diketahui untuk mengestimasi tingkat produksi tanaman
pada tingkat pengelolaan yang diterapkan. Kesesuaian lahan pada hamparan
tanah mempunyai tingkat yang berbeda-beda sehingga diperlukan metode
tertentu untuk mengevaluasinya agar diperoleh sebaran dan kelas yang mewakili
areal tanam kelapa sawit.
Kesesuaian lahan untuk kelapa sawit diperoleh dengan Over-lay peta
tanah, peta lereng, peta rupabumi, peta penggunaan lahan (vegetasi), dan peta
bahan induk (Gambar 9). Bahan-bahan untuk membuat peta kesesuaian lahan
adalah:
a. Peta SRTM berupa peta digital 3 dimensi untuk melihat kondisi lereng lokasi
penelitian dalam formula Digital Elevation Model (DEM).
b. Peta Land Unit yang memuat satuan peta tanah lokasi penelitian serta
karateristiknya.
c. Citra ETM7 merupakan peta Landsat yang memuat vegetasi permukaan
tanah (Land cover).

63
d. Peta Rupabumi yang memuat kondisi garis kontur lokasi penelitian.

SRTM

Land unit

CITRA ETM7

PETA RUPABUMI
SCAN

GEOREPLIKASI
ANALISIS VISUAL DAN ON SCREEN DIGITIZING

- Peta garis pantai, sungai, jalan, pemukiman, fasilitas umum lainnya


- Peta tanah, peta tutupan lahan (land cover)
- Observasi lapang
- Analisis contoh tanah, air, limbah PKS, daun kelapa sawit

REANALISIS
LAND EVALUATION
PETA KESESUAIAN LAHAN

Gambar 9. Bahan dan Tahapan Pembuatan Peta Kesesuaian Lahan (Land


Suitability Map)
Peta Rupabumi di scan untuk melihat kondisi lereng, kemudian dilakukan
georatifikasi (penyamaan posisi geografi) semua peta dasar ke dalam 1
sistem/unit yang sama, dalam hal ini sistem UTM (Universal Transfer Mercator).
Langkah selanjutnya adalah melakukan tumpang tindih (overlay) semua peta
dasar, diikuti dengan analisis visual pada screen (screen digitizing) yang
menghasilkan gambaran garis pantai, sungai, jalan, pemukiman, peta tanah,
peta tutupan lahan dan penggunaan lainnya.
Hasil analisis awal ini diikuti dengan observasi lapang untuk melihat
kondisi aktual di lapangan, dilakukan pengambilan contoh tanah, air, daun
tanaman dan limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS). Semua contoh-contoh
tersebut dianalisis di laboratorium untuk mengetahui sifat-sifat tanah, air,

64
tanaman dan limbah PKS secara kuantitatif. Tindakan selanjutnya adalah
melakukan analisis ulang (reanalisis) untuk mencocokkan hasil analisis awal
dengan hasil observasi lapangan antara lain posisi geografi, bentuk alur sungai,
batas-batas satuan lahan.
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan hasil reanalisis, hasil
analisis contoh tanah, air, daun tanaman dan limbah cair PKS serta syaratsyarat pertumbuhan tanaman kelapa sawit dengan mengacu kepada sistem
yang dikembangkan oleh Hardjowigeno et al. (1999) yaitu Kesesuaian Lahan
dan Perencanaan Tataguna Tanah dan Djaenudin et al (2003) yaitu Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Dari sini diperoleh peta
kesesusian lahan lokasi penelitian sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk
memperoleh model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma yang berkelanjutan.
3.2.3.3. Fungsi Produksi Nerlove
Petani sebagai manajer dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma
memiliki perilaku tertentu dalam merespon faktor-faktor produksi yaitu:
perkembangan harga input (sarana produksi), harga output (TBS), tingkat upah
tenaga kerja, kebijakan pemerintah, teknologi dan harga komoditas pesaing.
Respon petani ini berpengaruh langsung terhadap intensitas pengelolaan yang
diterapkan petani dan berujung kepada tingkat produksi yang diperoleh.
Pemahaman terhadap perilaku petani menjadi penting untuk diketahui dalam
mengestimasi produksi kelapa sawit dari kebun plasma di lokasi penelitian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit diestimasi
dengan Model Otoregresif yaitu model distribusi yang memiliki lag variabel
terikat sebagai variabel bebas (penjelas) (Sumodiningrat, 1998). Ada beberapa
macam model otoregresif, tetapi yang dipakai dalam penelitian ini adalah Model
Penyesuaian Parsial yang dikembangkan oleh Nerlove (Nerloves Partial
Adjusment Model)(Koutsoyiannis, 1977). Berkaitan dengan komoditas kelapa
sawit, model ini berdasarkan pada asumsi bahwa petani akan menyesuaikan
tingkat produksi dengan tingkat harga yang diterima, dalam artian petani akan
meningkatkan produksi jika harga meningkat dan sebaliknya petani akan
menurunkan produksi jika harga komoditas yang dipasarkan menurun. Namun
demikian, penurunan atau peningkatan produksi ini mengacu pada adanya beda
kala (lag) antara dua periode yaitu harga pada tahun sebelumnya dan saat
sekarang. Respon petani terjadi setelah beda kala sebagai dampak dari

65
perubahan harga-harga input dan output serta kebijakan pemerintah. Dalam
bentuknya yang paling sederhana, produksi kelapa sawit merupakan respon dari
luas areal dikalikan dengan produktivitas.
Respon luas areal yang diinginkan (A*) dipengaruhi oleh tingkat harga
komoditas yang menurut Koutsoyiannis (1977) modelnya dapat dituliskan
sebagai berikut:
A*t = B0 + B1Pt + Ut ............................................................................
Dimana:
A*t
Pt

(1)

= Areal panen yang diinginkan pada tahun t


= Harga TBS pada tahun t.

Luas areal yang diinginkan tidak bisa diamati secara langsung sehingga
untuk mengatasinya didasarkan pada suatu hipotesis yang merupakan perilaku
penyesuaian parsial dalam bentuk persamaan:
At At-1 = (A*t At-1) + Vt ............. (2)
Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu
dari perubahan yang diinginkan. Proporsi tertentu tersebut disebut koefisien
penyesuaian parsial () yang bernilai di antara dua nilai ekstrim yaitu 0 dan 1,
dimana:
= 0, berarti perubahan yang diharapkan tidak berpengaruh terhadap
luas areal tanam
=1, berarti areal tanam yang diharapkan sama dengan yang dicapai
sehingga penyesuaiannya terjadi seketika.
Persamaan (2) dapat diatur kembali sehingga terbentuk persamaan
berikut:
At = A*t + (1-) At-1 + Vt ................................................................... (3)
Areal tanam kelapa sawit yang diamati pada periode tertentu dipengaruhi
oleh luas areal yang diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode
sebelumnya. Jika persamaan (1) disubstitusikan ke persamaan (3) maka
diperoleh persamaan:
At = (B0 + B1Pt + Ut) + (1-) At-1 + Vt
= B0 + B1Pt + (1-) At-1 + (Vt + ut) ..........................................
Dimana:
B0
B1 dan 1-
Vt + ut

= Konstanta
= Koefisien
= Peubah pengganggu

(4)

66
Secara umum, model di atas dapat ditulis sebagai berikut:

At

= +

j =1

Dimana:
Xj (j)

jt + At 1 + t ............................................

(5)

= 1,2,.........,k) adalah variabel-variabel penjelas (independen)


yang relevan.

Aplikasi dari respon luas areal kelapa sawit berupa modifikasi terhadap
persamaan regresi linier berganda (Sukiyono, 1995) sehingga konsisten dengan
spesifikasi Nerlove sebagai berikut:
At

= a0 + a1 HGTBSt + a2 HGKRTt + a3 UPTKt + a4 Dummyt


+ a5 TRENDt + a6 At-1 + 1 ..............................................

(6)

Dimana:
= Luas areal tanam perkebunan kelapa sawit pada tahun t
At
= Harga riil TBS di tingkat petani pada tahun t
HGTBSt
HGKRTt
= Harga riil karet di tingkat petani pada tahun t
= Upah tenaga kerja riil pada tahun t
UPTKt
= Kebijakan pemerintah pada tahun t
Dummyt
TRENDt
= Teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit tahun t
At-1
= Lag luas areal tanam kelapa sawit
1
= Peubah pengganggu.
Tanda koefisien regresi yang diharapkan untuk persamaan respon areal
tanam adalah: a1, a4 dan a5 >0; a2 dan a3 < 0 dan 0< a6 <1
Produktivitas kelapa sawit dapat dirumuskan dalam spesifikasi Nerlove
berikut:
PSt = b0 + b1 HGTBSt + b2 HGPUt + b3 HGPSt + b4 HGPKt
+ b5 HGPMt + b6 PSt-1 + 2 ................................................... (7)
Dimana:
PSt
= Produktivitas kelapa sawit pada tahun t
= Harga riil TBS pada tahun t
HGTBSt
HGPUt
= Harga riil pupuk Urea pada tahun t
HGPSt
= Harga riil pupuk SP-36 pada tahun t
HGPKt
= Harga riil pupuk KCl pada tahun t
HGPMt
= Harga riil pupuk majemuk pada tahun t
= Lag produktivitas kelapa sawit
PSt-1
2
= Peubah pengganggu
Tanda koefisien regresi yang diharapkan untuk persamaan produktivitas
kelapa sawit adalah: b1 > 0; b2, b3, b4 dan b5 < 0; 0 < b6 <1
Dari persamaan tersebut dapat dibuat persamaan identitas produksi
kelapa sawit sebagai berikut:
PRt

= At * PSt ............................................................................. (8)

PRt

= Produksi kelapa sawit pada tahun t.

67
Pendugaan model luas areal tanam dan produktivitas kelapa sawit
plasma dilakukan dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Pengolahan
data dilakukan dengan perangkat lunak Program Statistical Analysis System
(SAS) versi 9.0. Perilaku petani plasma terlihat dari nilai koefisien regresi pada
persamaan luas areal tanam dan produktivitas. Lebih lanjut, koefisien regresi
luas areal tanam dan produksi kelapa sawit dapat dijadikan dasar untuk
mengetahui elastisitas produksi kelapa sawit sebagai indikasi dari besarnya
perubahan variabel tidak bebas (dependence variable) akibat perubahan
variabel bebas (independence variable).
Produksi dalam persamaan identitas produksi kelapa sawit (persamaan
8) dapat ditulis dengan cara lain sebagai berikut:
Q = A.Y ............................................................................................ (9)
Dimana:
Q = Produksi kelapa sawit plasma
A = Luas areal tanam kelapa sawit plasma
Y = Produktivitas kelapa sawit plasma
Persamaan 9 dapat diteruskan dalam bentuk lern sebagai berikut:
Ln Q = Ln (A.Y) ............................................................................. (10)
Ln Q = Ln A + Ln Y ..................................................................... (11)
Persamaan 11 dapat diturunkan untuk memperoleh elastisitas produksi kelapa
sawit plasma sebagai berikut:

LnQ (LnA + LnY )


. (12)
=
LnP
LnP
Elastisitas produksi kelapa sawit plasma dapat ditulis sebagai berikut:

El QP =

Ln A LnY
.. (13)
+
Ln P Ln P

ElQP = El AP + ElYP

(14)

Dimana:
ElQP = Elastisitas produksi kelapa sawit plasma
ElAP = Elastisitas luas areal tanam kelapa sawit plasma
ElYP = Elastisitas produktivitas kelapa sawit plasma
3.2.3.4. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pengelolaan kebun kelapa sawit plasma melibatkan banyak pemangku
kepentingan (stakeholders) yang sering berakibat pada kekurang harmonisan
kinerja pengelolaan karena benturan kepentingan. Para pemangku kepentingan
tersebut adalah petani, perusahaan inti, lembaga keuangan (bank), instansi

68
terkait pemerintah daerah, LSM dan masyarakat sekitar kebun. Dalam rangka
memenuhi semua keinginan pemangku kepentingan tersebut diperlukan adanya
kelembagaan yang mengaitkan peranan masing-masing dalam mekanisme kerja
yang harmonis. Untuk itu diperlukan maka model kelembagaan pengelolaan
kebun plasma kelapa sawit yang menggambarkan peranan dan keterkaitan
masing-masing pemangku kepentingan. Estimasi model kelembagaan dilakukan
dengan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP).
AHP dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty pada dekade 1970-an
dengan tujuan untuk memecahkan persoalan yang kompleks dalam suatu
kerangka berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan untuk dapat
diekspresikan dalam mengambil keputusan yang efektif terhadap persoalan
tersebut. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagian serta menata
dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel lainnya (IPPM, 1991).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, stratejik dan dinamik yang diawali dengan perumusan masalah
yaitu menata persoalan yang kompleks dalam suatu hirarki yang dimulai dengan
goal/sasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria

dan akhirnya alternatif

(Marimin, 2004). Maarif dan Tanjung (2003) menyatakan bahwa struktur hirarki
AHP terdiri dari 5 tingkatan yang dimulai dari fokus, faktor, aktor, tujuan dan
alternatif strategi. Dalam penyelesaian masalah menggunakan AHP, terdapat
beberapa tahapan yang harus dikerjakan sehingga diperoleh hasil yang efektif
dan efisien. Dalam kontek ini, terdapat tujuh tahapan yang harus dilalui yaitu
identifikasi sistem, penyusunan hirarki, pengisian matriks pendapat individu,
penentuan konsistensi, menyusun matriks gabungan, pengolahan vertikal dan
menghitung vektor prioritas sistem (Gambar 10).
Identifikasi sistem merupakan proses untuk memahami permasalahan
yang akan diselesaikan dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai, kriteria
yang akan diusahakan untuk menentukan alternatif yang akan dipilih. Menyusun
hirarki dengan melakukan abstraksi struktur suatu sistem dengan mempelajari
fungsi interaksi antar komponen dan juga dampaknya pada sistem. Abstraksi
struktur ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari puncak atau

69
besaran utama, turun ke sub-sub tujuan, lalu ke pelaku yang memberi dorongan,
turun ke tujuan pelaku dan akhirnya strategi alternatif.

Mulai

Identifikasi Sistem

Penyusunan Hirarki

Pengisian Matriks
Pendapat Individu

CR Konsisten
(terpenuhi?)
Revisi
Pendapat

Tidak

Menyusun Matrik
Gabungan
Pengolahan Vertikal

Ya
Menghitung Vektor
Prioritas Sistem

Selesai

Gambar 10. Tahapan-Tahapan dalam Penggunaan AHP (Saaty, 1993)


Langkah selanjutnya adalah penentuan tingkat kepentingan dari tingkat
faktor sampai alternatif secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan
berpasangan (pairwise comparisons) dengan membandingkan setiap elemen
dengan elemen lainnya pada setiap tingkatan hirarki sehingga diperoleh nilai
tingkat kepentingan 2 elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk
mengkuantifikasi pendapat gabungan tersebut, digunakan skala dasar penilaian
tingkat kepentingan yang bernilai 1-9, dimana nilai 1 berarti 2 elemen yang
dibandingkan sama pentingnya, dan 9 berarti 1 elemen yang dibandingkan
ekstrim penting dibandingkan dengan elemen lainnya (Tabel 6). Penilaian

70
kepentingan relatif 2 elemen berlaku aksioma berbning terbalik, artinya jika
elemen ke i dinilai 3 kali lebih penting dari pada elemen j, maka elemen j nilainya
1/3 pentingnya terhadap elemen i. Banyaknya penilaian dalam penyusunan
matriks ini adalah n(n-1)/2 karena matriknya berbanding terbalik dan elemenelemen diagonal sama dengan 1. Hasil perbandingan berpasangan disusun
dalam bentuk matriks pendapat inividu agar dapat diolah untuk menentukan
bobot yaitu dengan mencari nilai eigen (eigen factor). Jawaban dapat diketahui
dengan mengalikan matrik nilai eigen dari alternatif dengan bobot kriteria.
Tabel 6. Skala Dasar Penilaian Tingkat Kepentingan dalam AHP
Tingkat kepentingan

Definisi

Elemen 1 sama pentingnya dibanding elemen lainnya

Elemen 1 moderat pentingnya dibanding elemen lainnya

Elemen 1 kuat pentingnya dibanding elemen lainnya

Elemen 1 sangat kuat pentingnya dibanding elemen


lainnya

Elemen 1 ekstrim kuat pentingnya dibanding elemen


lainnya

2,4,6,8

Tingkat kepentingan elemen 1 di antara 2 penilaian


berdekatan

Sumber: Saaty (1993)

Tahap berikutnya adalah menentukan prioritas relatif dari setiap kriteria


dan alternatif dengan indeks konsistensi (consistency index, CI), dimana CI
dinyatakan baik jika nilai rasio konsistensi (consistency ratio, CR) < 0,1. Nilai CR
dihitung dengan rumus: CR = CI/RI, dimana RI (Random Index) adalah nilai dari
Tabel yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory. Setelah nilai konsistensi ratio
dipenuhi, langkah selanjutnya adalah penyusunan matriks gabungan karena
AHP diaplikasikan untuk mengolah data berupa pendapat dari responden yang
multi desipliner. Proses ini dilakukan dengan mengunakan rata-rata geomterik
sebagai berikut:

X G = n n . Xi
i =1
dimana:

X G = Rata-rata geometrik;
n = Jumlah responden
Xi = Penilaian oleh responden ke i

71
3.2.3.5. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem digunakan pada penelitian ini karena dalam
pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan melibatkan banyak stakeholders
dengan beragam kepentingan yang memerlukan penyelesaian secara holistik.
Komponen pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan secara umum
dikelompokkan
sumberdaya

menjadi
manusia,

3
dan

komponen

utama

sosial-ekonomi.

yaitu

sumberdaya

Pendekatan

sistem

alam,
akan

memberikan penyelesaian masalah yang komplek dengan metode dan alat yang
mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendisain sistem
dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara
lintas disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan
(Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem terdiri dari tahapan analisis kebutuhan,
formulasi masalah, identifikasi sistem, simulasi sistem dan validasi sistem.
Tahapan tersebut bisa diteruskan dengan melakukan uji sensitivitas model dan
arahan penerapan model untuk pengembangan yang dibangun.
Analisis Kebutuhan.
Dalam tahap analisis kebutuhan dirumuskan semua stakeholders dan
kebutuhannya dalam memenuhi kepentingan masing-masing. Berdasarkan hal
tesebut, stakeholders dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
antara lain: petani plasma sawit, perusahaan inti perkebunan kelapa sawit, Dinas
Perkebunan Kabupaten, Instansi Terkait Tingkat Kabupaten, Lembaga Swadaya
Masyarakat, dan masyarakat di luar lokasi perkebunan (Lampiran 6).
Formulasi Masalah
Analisis kebutuhan menunjukkan adanya benturan kebutuhan dan
kepentingan stakeholders yang terlibat karena masalahnya komplek. Hal ini
membutuhkan suatu rumusan masalah agar sistem yang dibangun bisa bekerja
efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan analisis
kebutuhan tersebut formulasi masalah dalam pengelolaan produksi dan
pengolahan pasca panen kelapa sawit adalah:
1. Kompetensi dan keterampilan petani sawit dan pekerja pengolahan pasca
panen belum memadai untuk membangun perkebunan berkelanjutan.
2. Minimnya peran serta Instansi Terkait Kabupaten dan Propinsi dalam
membina dan memberdayakan masyarakat setempat.

72
3. Sumberdaya lahan di lokasi perkebunan merupakan tanah dengan status
kesuburan rendah, masam, sehingga memerlukan teknologi pengelolaan
spesifik lokasi yang tepat untuk mempertahankan produktivitas lahan.
4. Rendahnya kepedulian petani terhadap kelestarian lingkungan.
5. Rendahnya

keterlibatan

LSM

sebagai

lembaga

pendamping

dalam

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah.


6. Rendahnya kepedulian stakeholders, terutama policy maker daerah terhadap
pencegahan dan upaya konservasi sumberdaya lahan sehingga degradasi
lahan perkebunan masih terjadi secara intensif.
Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan salah satu tahapan dalam aplikasi
pendekatan sistem dalam pengelolaan produksi dan pengolahan pasca panen
kelapa sawit berkelanjutan. Tahapan ini menghubungkan kebutuhan-kebutuhan
dengan permasalahan yang dihadapi sebagai mata rantai yang digambarkan
dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop).
Analisis selanjutnya adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar
sebab-akibat ke dalam kotak gelap (black box). Terdapat 5 variabel dalam
tahapan ini yaitu:
1. Variabel input terkendali
2. Variabel input tak terkendali
3. Variabel output dikehendaki
4. Variabel output tak dikehendaki
5. Variabel kontrol sistem
Variable input berasal dari luar sistem dan dalam sistem, meliputi input
terkendali dan tak terkendali. Variabel output meliputi output dikehendaki dan
output tak dikehendaki. Parameter disain sistem pengelolaan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan merupakan proses yang mempengaruhi input menjadi output
(Gambar 11). Gabungan simpal-simpal umpan balik menunjukkan kompleksitas
pengelolaan perkebunan kelapa sawit dimana semakin banyak variabel dan
parameter berarti semakin rinci dan dinamis.

73

Input tak terkendali:


- Kondisi sosial
budaya masyarakat
lokal
- Harga input dan
output
- Kondisi politik dan
ekonomi nasional
- Standar kualitas
produk perdagangan
global

Input terkendali:
- Penyediaan lahan
- Penyediaan saprodi
- Kapasitas PKS
- Kebutuhan tenaga
kerja
- Target produksi
- Kapasitas bangunan
pabrik
- Gedung perkantoran
dan perumahan
karyawan
- Standarisasi gaji
karyawan
- Sarana kesehatan,
pendidikan, sosial dan
fasilitas umum lainnya
- Mitra usaha
- Arus informasi
teknologi dan
managemen

Input Lingkungan
- Kesesuaian
lahan
- Biodiversitas
lingkungan
- UU No. 32 2004
- Iklim

Disain sistem
pengelolaan
produksi dan
pengolahan pasca
panen kelapa
sawit

Output dikehendaki:
- Produktivitas lahan
berkelanjutan
- Peluang kerja meningkat
- Degradasi lahan rendah
- Pencemaran air, udara, tanah
dan penurunan biodiversitas
rendah
- Pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat
meningkat
- Konflik sosial dan politik
rendah
- Penyediaan sarana
kesehatan, pendidikan, sosial
dan fasilitas umum lainnya
meningkat
- Arus informasi teknologi dan
pengelolaan perkebunan
lancar

Output tak dikehendaki


- Produktivitas lahan
menurun dan tidak
berkelanjutan
- Konflik sosial dan politik
tinggi
- Degradasi lahan intensif
- Pencemaran udara, air,
tanah dan penurunan
bioiversitas tinggi
- Pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat
turun

Umpan balik sistem


perencanaan

Gambar 11. Diagram Input-Output dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan
Simulasi Sistem
Simulasi sistem merupakan tahapan pendekatan sistem dengan kegiatan
atau proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui
perilaku sistem. Selain itu, juga bisa diketahui pengaruhnya pada komponenkomponen dari suatu perlakuan yang dicobakan pada beberapa komponen.
Hasil

simulasi

biasanya

ditampilkan

sebagai

grafik

dan

tabel

yang

mengilustrasikan variabel-variabel sensitif yang mempengaruhi perilaku sistem.

74
Validasi Model
Validasi model adalah tahapan penyimpulan apakah model yang
dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji untuk
memperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Tujuannya untuk menguji kebenaran
struktur model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan data aktual
termasuk menggunakan berbagai teknik statistik. Model yang dihasilkan dari
simulasi sistem dibandingkan dengan kondisi saat ini (existing condition) untuk
melihat perbedaan antara keduanya dan sekaligus tingkat validitas model yang
dibangun (Hartrisari, 2007).
Sensitivitas Model
Analisis sensitivitas model dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana
model dapat digunakan apabila ada perubahan pada asumsi atau sejauh mana
kesimpulan hasil model dapat berubah bila variable model berubah. Model
dikategorikan sensitif jika perubahan nilai variabel input menyebabkan
perubahan output model. Hasil analisis ini dapat diketahui keterbatasan
penggunaan model (Hartrisari, 2007). Terdapat tiga jenis pengujian sensitivitas
model yaitu sensitivitas numerik, sensitivitas perilaku dan sensitivitas kebujakan.
Uji sensitivitas numerik dilakukan dengan cara mengubah nilai numerik input
yang menyebabkan perubahan pada nilai numerik output model.
Selanjutnya, interpretasi model yang dibangun bisa memberikan arahan
untuk mengidentifikasi

variabel-variabel

strategis untuk

dijadikan

acuan

perumusan skenario dan kebijakan dalam mengelola produksi dan pengelolaan


pasca panen kelapa sawit. Lebih jauh lagi, model yang dibangun juga
berpeluang untuk diaplikasikan pada lokasi perkebunan kelapa sawit yang
memiliki karakteristik biofisik dan sumberdaya lahan yang mirip dengan lokasi
penelitian.
3.2.3.6. Analisis Prospektif
Analisis prospektif merupakan salah satu analisis yang banyak
digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan berupa skenario strategis
yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, industri ataupun masalah
lainnya untuk mencapai kondisi yang efektif dan efisien pada masa mendatang.
Analisis prospektif dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksplorasi dan
mengantisipasi perubahan melalui skenario. Dapat juga sebagai alat normatif
yang merupakan pendekatan berorientasi tindakan yang dimulai dari visi terpilih

75
mengenai masa depan dan menentukan jalur untuk mencapainya. Dengan
demikian, analisis prospektif tidak berfokus pada optimasi solusi, tetapi pada
penyediaan berbagai macam pilihan dan tujuan bagi para pembuat keputusan
dan turut merancang serangkaian alternatif ketimbang memilih alternatif terbaik
(Bourgeois, 2004).
Menurut Hardjomidjojo (2004) aplikasi analisis prospektif melalui 2
tahapan yaitu: menerangkan tujuan penelitian dan melakukan identifikasi
terhadap variable-variabel berdasarkan hasil yang diperoleh dari pendekatan
sistem model dinamik. Analisis Prospektif diawali dengan melakukan analisis
struktur dari variabel-variabel yang diperoleh dalam analisis Sistem Dinamis
dengan memakai tabel pengaruh langsung antara variabel dari masalah yang
diteliti (Tabel 7).
Tabel 7. Pengaruh Langsung Antar Variabel dalam Pengelolaan Kebun Kelapa
Sawit Plasma Berkelanjutan
Dari/Terhadap
A
B
C
D
E
F
G
H

A
XXX

Faktor
D
E

XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX

Keterangan:
AH
= Variabel penting dalam sistem
Skoring:
0
2

= tidak ada pengaruh;


= berpengaruh sedang;

1 = Berpengaruh kecil;
3 = Berpengaruh kuat

Mekanisme pengisian Tabel tersebut adalah dengan memberi skor 3 jika


pengaruh langsung antar variabel sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung
antar variabel sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar variabel kecil dan
skor 0 jika pengaruh langsung antar variabel tidak ada.
Setelah diperoleh variabel-variabel kunci dari Tabel 7, selanjutnya
dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi
setiap variabel dalam model pengelolaan produksi dan pengolahan pasca panen
kelapa sawit

plasma pada masa mendatang (Gambar 12). Variabel-variabel

yang terletak pada kuadran I memiliki pengaruh terhadap kinerja sistem


dominan, ketergantungan dengan elemen lainnya rendah. Dalam aplikasi model,

76
variabel-variabel ini disebut variabel kunci dan bisa di adjust untuk memperoleh
skenario strategis.

Pengaruh

Variabel Penggerak ( Input)

IV

Variabel Bebas
(Unused)

II

Variabel Penghubung (Stakes)

III

Variabel Terikat
(Output)

Ketergantungan

Gambar 12. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antara VariabelVariabel Kunci dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan (Bourgeois, 2004)
Variabel-variabel yang terletak pada kuadran II memiliki pengaruh
terhadap kinerja model tinggi, ketergantungan dengan elemen lainnya juga tinggi
sehingga sedikit saja perlakuan yang diberikan pada variabel ini akan sangat
berpengaruh terhadap perubahan elemen lainnya dalam model. Variabelvariabel ini tidak bisa di adjust. Variabel-variabel yang terletak pada kuadran III
memiliki ketergantungan dengan elemen lainnya tinggi, pengaruhnya terhadap
kinerja model rendah. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel kuadran III
merupakan variabel dengan keterikatan terhadap output dari sistem tinggi.
Variabel-variabel yang terletak pada kuadran IV merupakan variabel yang bebas
dengan karakteristik memiliki pengaruh dan ketergantungan rendah. Oleh
karena itu, variabel-variabel ini tidak memerlukan perhatian yang serius tidak
mempengaruhi kinerja model.
Lebih lanjut, Bourgeois (2004) menyatakan bahwa terdapat 2 tipe
sebaran variabel-variabel dalam grafik pengaruh dan ketergantungan yaitu:

77
1. Tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran IV ke
kuadran II. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil
karena sebagian besar variabel-variabel yang dihasilkan termasuk variabel
marginal atau laverage variable. Hal ini menyulitkan dalam membangun
skenario strategis untuk masa mendatang.
2. Tipe sebaran variabel yang mengumpul di kuadran I ke kuadran III sebagai
indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan
hubungan yang kuat dimana variabel penggerak mengatur variabel output
dengan kuat. Selain itu, dengan tipe ini maka skenario strategis bisa
dibangun lebih mudah dan efisien.
Tahapan berikutnya dari Analisis Prospektif adalah Analisis Morfologis
dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan

masa depan agar

skenario stategis yang diperoleh konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini
dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di
masa mendatang dari semua variabel kunci yang terpilih. Sebagai contohnya:
variabel luas lahan, akan memiliki 3 keadaan di masa mendatang yaitu: luas
menurun, luas lahan tetap dan luas lahan semakin bertambah. Variabel-variabel
kunci dengan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa depan kemudian
dicantumkan dalam sebuah tabel (Tabel 8).
Tabel 8.

Variabel-variabel Kunci dan Beberapa Keadaannya yang mungkin


Terjadi Di Masa Mendatang

Variabel

Keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang


1
2
3
4

Variabel-1
Variabel-2
Variabel-3
Variabel-4
Variabel-5
Variabel-6
Analisis morfologis diteruskan dengan analisis konsistensi untuk
mengurangi dimensi kombinasi variabel-variabel kunci dalam merumuskan
skenario di masa mendatang melalui identifikasi saling ketidaksesuaian di antara
keadaan-keadaan variabel kunci (incompatibility Identification). Pelaksanaan
tahapan ini dengan mencantumkan keadaan-keadaan yang tidak dapat atau
sangat tidak mungkin terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan
pasangan keadaan yang tidak sesuai. Sebagai contoh keadaan 1 (misalnya:
luas lahan berkurang) dari variabel kunci luas lahan tidak mungkin terjadi

78
bersamaan dengan keadaan 3 ( kebijakan pemerintah daerah mendukung
kelembagaan sistem penguasaan lahan yang semakin baik) dari faktor 3
(kebijakan pemerintah daerah) (Tabel 9)
Tahapan terakhir adalah membangun skenario strategis pengelolaan
perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan. Skenario ini merupakan
kombinasi dari beberapa keadaan variabel-variabel kunci yang mungkin terjadi di
masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin
terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih tidak lebih dari 5
skenario atau ada upaya lainnya yaitu mengelompokkan skenario yang mirip ke
dalam satu cluster skenario misalnya: berdasarkan peluang terjadinya keadaan
di masa mendatang, skenario dikelompokkan kedalam cluster skenario pesimis,
cluster skenario medium dan cluster skenario optimis.
Tabel 9.

Keragaan Variabel Kunci, Keadaan dan Identifikasi Ketidaksesuaian


Pasangan (Incompatibility Identification)
Keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang

Variabel

Variabel-1
Variabel-2
Variabel-3
Variabel-4
Variabel-5
Variabel-6

3.4.

Definisi Operasional
Definisi operasional diperlukan untuk memberikan gambaran komponen

penelitian, instansi terkait serta batasan penelitian terkait dengan luasnya aspek
yang diteliti. Beberapa definisi operasional yang dipakai dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. BAPPEDA (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) merupakan
institusi tingkat provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perencanaan dan
pembangunan.
2. BAPEDALDA

(Badan

Pengendalian

Dampak

Lingkungan

Daerah)

merupakan institusi tingkat provinsi/kabupaten/kota yang membidangi


pengendalian dampak lingkungan akibat dari aktivitas pembangunan.

79
3. BOD (Biochemical Oxigen Demand) adalah sejumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk mendekomposir dan menstabilkan
sejumlah bahan organik melalui proses oksidasi biologi aerobik.
4. BPS

(Badan

Pusat

Statistik)

merupakan

institusi

tingkat

pusat/provinsi/kabupaten/kota yang membidangi sumber data dan informasi.


5. CD (Community Development) merupakan pembangunan masyarakat dalam
rangka pemberdayaan masyarakat.
6. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi senyawa-senyawa anorganik dan organik sebagaimana
pada BOD.
7. Daya Dukung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan (tanah, air, udara)
untuk berfungsi dalam berbagai interaksi dan batas ekosistem untuk
mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan serta
meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia.
8. Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan melalui
proses fisik, kimia dan biologi yang sifatnya sementara maupun permanen.
9. Erosi adalah hilangnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat yang
diangkut oleh air atau angin ke tempat lain oleh suatu media alami (air atau
angin).
10. Fermentasi anaerob adalah perlakuan (treatment) terhadap limbah cair
pabrik kelapa sawit (PKS) dengan memberikan mikroorganisme anaerob
untuk memperbaiki kualitas lembah cair tersebut

sebelum dilakukan

fermentasi aerobik.
11. Fermentasi aerob adalah perlakuan terhadap limbah cair pabrik kelapa sawit
(PKS) dengan memberikan mikroorganisme aerob untuk memperbaiki
kualitas lembah cair tersebut sebelum dialirkan ke areal pertanaman kelapa
sawit sebagi bahan pembaik tanah atau sebagai sumber pupuk organik.
12. FGD (Focus Group Discussion) adalah diskusi kelompok dari sejumlah
individu yang memiliki status sosial dan pemahaman terhadap tema diskusi
hampir sama dengan memfokuskan interaksi dalam kelompok berdasarkan
pertanyaan yang dikemukakan oleh moderator dalam kelompok diskusi.
13. GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) adalah gabungan dari beberapa
kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan
dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan
usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya.

80
14. Incompatibility Identification (Identifikasi Ketidaksesuaian) adalah identifikasi
yang dilakukan dengan cara menghubungkan keadaan variabel-variabel di
masa mendatang yang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mungkin
bisa terjadi pada saat yang bersamaan. Contohnya: jika di masa mendatang
keadaan kualitas sumberdaya manusia menurun dan kurang terampil maka
tidak mungkin kesesuaian lahan meningkat.
15. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (UU No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang).
16. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan

sebagai

tempat

permukiman

perdesaan,

pelayanan

jasa

pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU No. 26/2007


tentang Penataan Ruang).
17. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang).
18. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yan diambil oleh seorang aktor
atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara
mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut
berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya.
19. Kebun plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan
inti dengan tanaman perkebunan berpola PIR-BUN.
20. Kelembagaan atau pranata sosial merupakan sistem perilaku dan hubungan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat
yang meliputi 3 komponen yaitu (a) organisasi/wadah dari suatu lembaga, (b)
fungsi kelembagaan dalam masyarakat dan (c) perangkat peraturan yang
ditetapkan oleh sistem kelembagaan (SK Menteri Kehutanan Tahun 2003)
21. Kelompok

Tani

(POKTAN)

adalah

kumpulan

petani

yang

tumbuh

berdasarkan keakraban dan keserasian serta kesamaan kepentingan dalam


memanfaatkan sumber daya pertanian untuk bekerja sama meningkatkan
produktivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya.
22. Komoditas andalan adalah komoditas potensial yang dipandang dapat
dipersaingkan dengan produk sejenis di daerah lain, karena disamping

81
memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efisiensi usaha yang tinggi.
Efisiensi usaha itu dapat tercermin dari efisiensi produksi, produktivitas
pekerja, profitabilitas dan lain-lain.
23. Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau
arah yang terjadi dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pihak
yang terlibat (Mitchell et al., 2003).
24. Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung
secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial
dan budaya yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara
demokratis.
25. Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan
vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya
terhadap penggunaan lahan.
26. Lag adalah beda waktu (kala) antara kebijakan yang diterapkan pemerintah
dengan perilaku petani sebagai respon dari kebijakan tersebut.
27. Limbah pabrik kelapa sawit (PKS) adalah produk-produk hasil olahan PKS
yang tidak diinginkan, terbentuk bersamaan dengan produk-produk yang
dinginkan serta berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan
jika tidak dikelola secara benar.
28. Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) adalah salah bentuk organisasi Non
Government Organization (NGOs) yang sifatnya tidak mencari keuntungan
(nirlaba) sebagai wahana bagi masyarakat untuk meningkatkan peranannya
dalam pengelolaan sumberdaya alam
29. Modal adalah besarnya uang yang dikeluarkan untuk membiayai usahatani
meliputi aspek sarana produksi, proses produksi dan pemasaran produk
usahatani dan biaya-biaya lainnya.
30. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya
(Hall dan Day, 1977).
31. Partisipasi adalah kesediaan untuk membantu sesuai kemampuan setiap
anggota masyarakat untuk keberhasilan setiap program yang diintroduksikan
ke pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat tanpa mengorbankan
kepentingan diri sendiri.
32. Pembangunan berkelanjutan dapat didefenisikan sebagai upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk

sumberdaya ke

82
dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 23,
1997). Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefenisikan sebagai
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak
atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (United Nation, 1948).
33. Pengembangan kelembagaan kelompok tani adalah upaya membangun dan
memperkuat kelembagaan kelompok tani agar anggotanya mampu dan
mandiri untuk melaksanakan pengelolaan usahataninya dengan ciri (a) ada
aturan internal kelompok yang mengikat, (b) kejelasan dan tanggungjawab
anggota, (c) pengakuan hak anggota, (d) aktivitas rutin kelompok berjalan
lancar.
34. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara terpadu
oleh pemerintah atau pihak-pihak lainnya dengan prinsip dasar (a)
penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi
yang dimiliki masyarakat, (b) memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat
dan (c) melindungi masyarakat melalui pemihakan kepentingan masyarakat
untuk meningkatkan daya saing.
35. Pendapat/persepsi petani adalah suatu penilaian atau pandangan petani
melalui proses psikologi yang selektif terhadap suatu obyek/segala sesuatu
yang ada di lingkungannya dengan segala kemampuan yang dimilikinya,
yang dipengaruhi oleh pendidikan, keadaan sosial, ekonomi dan budaya.
36. Pencemaran

lingkungan

adalah

masuknya

baha-bahan

buangan

(kontaminan) ke dalam komponen lingkungan (air, tanah dan udara) sampai


pada suatu tingkat/keadaan tertentu dapat membahayakan/mengganggu
fungsi dari komponen lingkungan tersebut.
37. Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan kelapa sawit rakyat
yang pengembangannya dilakukan melalui program Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) bekerjasama dengan mitra berupa perusahaan perkebunan negara
maupun swasta nasional.
38. Perkebunan berkelanjutan adalah kondisi perkebunan dengan pengelolaan
sumberdaya yang ada mampu memenuhi aspek ekonomi dan sosial
manusia yang berubah serta dapat mempertahankan/meningkatkan kualitas
lingkungan, melestarikan sumber daya alam sehingga tidak mengurangi
peluang pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.

83
39. Perkebunan Inti adalah perkebunan besar lengkap dengan fasilitas
pengolahannya yang dibangun dan dimiliki oleh perusahaan inti dalam
rangka pelaksanaan proyek PIR.
40. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta
maupun milik negara yang ditetapkan sebagai pelaksana PIR.
41. Petani plasma adalah petani yang ditetapkan sebagai penerima pemilikan
kebun plasma dan berdomisili di wilayah plasma.
42. Pola Perusahaan Inti Rakyat disebut pola PIR adalah pola pelaksanaan
pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar
sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di
sekitarnya

sebagai

plasma

dalam

suatu

sistem

kerjasama

saling

menguntungkan utuh dan berkesinambungan.


43. Sistem Aplikasi Lahan (Land Aplication System) adalah sistem yang
memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) sebagai bahan
pembaik tanah atau sebagai sumber pupuk organik dengan cara
mengalirkan limbah cair tersebut ke areal pertanaman.
44. Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu
lingkungan kompleks (Marimin, 2004).
45. SHE (sibernetik, holistik, dan efektifitas). Sibernetik dapat diartikan bahwa
dalam penyelesaian masalah tidak berorientasi pada permasalahan (problem
oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan (goal oriented). Holistik lebih
menekankan

pada

penyelesaian

permasalahan

secara

utuh

dan

menyeluruh, sedangkan efektifitas berarti bahwa sistem yang telah


dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan (Hardjomidjojo, 2006).
46. Tanaman perkebunan adalah kelapa sawit, karet, teh, coklat dan tanaman
keras lainnya yang ditetapkan oleh Mentri Pertanian sebagai tanaman yang
dikembangkan dalam rangka proyek PIR.
47. Tanaman belum menghasilkan (TBM) adalah tanaman kelapa sawit muda
yang berumur kurang dari tiga tahun sejak ditanam di lapangan dan belum
memproduksi tandan buah segar (TBS).
48. Tanaman menghasilkan (TM) adalah tanaman kelapa sawit yang berumur
lebih dari tiga tahun sejak ditanam di lapangan dan sudah menghasilkan
TBS

84
49. Tandan buah segar (TBS) adalah produksi tanaman kelapa sawit yang dijual
ke pabrik kelapa sawit (PKS) sebagai material untuk membuat crude palm oil
(CPO) dan minyak inti sawit.
50. Tindakan konservasi tanah adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang
tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut

dan

memperlakukannya

sesuai

dengan

syarat-syarat

yang

diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.


51. Uji sensitivitas numerik adalah intervensi yang dilakukan dengan cara
mengubah nilai numerik input model yang dibangun yang tentunya akan
menyebabkan perubahan pada nilai numerik output model.
52. Wilayah

plasma

adalah

wilayah

pemukiman

dan

usahatani

yang

dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanaan proyek PIR


yang meliputi pekarangan, perumahan dan kebun plasma.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan penelitian diawali dengan pra survei, diikuti dengan survei
utama dengan melakukan wawancara ke petani, ketua kelompok tani dan KUD,
staf Manajer Inti dan Manajer Plasma P.T Perkebunan Nusantara V kebun Sei
Pagar, staf Manajer Inti dan Manajer Plasma P.T Perkebunan Nusantara V
Pusat di Pekanbaru, staf dan pekerja PKS Sei Pagar serta Instansi terkait
lainnya. Bersamaan dengan itu, dilakukan pengamatan profil tanah untuk
mengetahui sifat-sifat tanah yang bisa dilihat dengan observasi langsung di
lapangan seperti: ketebalan lapisan tanah, sebaran perakaran, kedalaman air
tanah, pH, kondisi batuan, struktur tanah, tekstur tanah dan lain-lain. Selain itu,
dilakukan juga pengambilan contoh tanah, air, daun kelapa sawit dan limbah cair
PKS yang diteruskan dengn analisis kimia, fisika dan biologi untuk mengetahui
sifat-sifat tanah, air dan limbah cair PKS serta status unsur hara tanaman kelapa
sawit. Kegiatan selanjutnya adalah editing data, entry dan tabulasi data serta
analisis data sesuai dengan tujuan penelitian.
4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dapat dicapai melalui jalan antar kabupaten ke arah
selatan sekitar 20 km dari ibu kota Provinsi Riau yaitu kota Pekanbaru, dengan
kondisi infrastruktur terutama jalan sudah baik (pengerasan dengan batu dan
aspal) sehingga dapat ditempuh sekitar 30 menit. Perjalanan diteruskan lagi
melewati jalan desa ke arah barat sekitar 5 km dari simpang jalan antara
kabupaten. Kondisi jalan desa relatif baik dengan pengerasan dan dilapisi batu
dengan waktu tempuh sampai ke lokasi penelitian sekitar 20 menit.
Secara administratif, lokasi penelitian mengalami pemekaran wilayah
dimana sebelumnya ke empat desa termasuk kedalam satu kecamatan yaitu
kecamatan Perhentian Raja, sekarang terbagi menjadi 3 kecamatan yaitu:
1. Desa Hangtuah dan Desa Sialang Kubang termasuk wilayah Kecamatan
Perhentian Raja, Kabupaten Kampar
2. Desa Sei Simpang Dua termasuk wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hilir,
Kabupaten Kampar
3. Desa Mayang Pongke termasuk wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu,
Kabupaten Kampar
Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada posisi 0o12! 0o20!
Lintang Utara dan 10114! 10124! Bujur Timur, topografi datar-berombak

86
dengan ketinggian dari muka laut antara 7-50 meter. Lokasi penelitian termasuk
Sub DAS 2 sungai besar yaitu Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.
Sebelum dibuka untuk kebun kelapa sawit, iklim di lokasi penelitian memang
cocok untuk kelapa sawit dengan curah hujan tahunan rata-rata 2472 mm/tahun,
hari hujan 138, suhu udara rata-rata 26,30C, dan kelembaban udara nisbi 83%
(P.T PN V, 1992). Dalam kurun waktu pembukaan dan penggunaan lahan 22
tahun, saat ini, terjadi sedikit perubahan iklim dengan rata-rata curah hujan 2640
mm/tahun, hari hujan 144, suhu udara 270C dan kelembaban udara nisbi 75%.
Kondisi iklim ini masih mendukung untuk pertumbuhan kelapa sawit.
Sejak tahun 1985 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
668/KPTS/KB.510/10/1985

tentang

petunjuk

umum

pelaksanaan

proyek

Perkebunan Inti Rakyat, kelapa sawit plasma di lokasi ini dikembangkan melalui
pola PIR-Trans seluas 6000 hektar. Pembangunan kebun, infrastruktur
penunjang dan pemeliharaan tanaman sampai umur tanaman produktif
dilakukan oleh P.T Perkebunan Nusantara V. Kebun dikelompokkan ke dalam 5
Afdeling yaitu Afdeling A seluas 1092 ha, Afdeling B 1500 ha, Afdeling C seluas
1239 ha, Afdeling D seluas 1026 ha dan Afdeling E seluas 1143 ha. Dengan
pembagian kebun kelapa seluas 2 ha/kepala keluarga, didatangkan sebanyak
3000 kepala keluarga petani transmigrasi dari luar daerah (Jawa Tengah, Jawa
Barat, Yogya, Jawa Timur) dan transmigran lokal dengan proporsi 60:40.
Selain kebun kelapa sawit, setiap kepala keluarga memperoleh lahan
pekarangan disatukan dengan lahan pangan masing-masing seluas 0.5 ha. Saat
ini lahan pangan sebagian besar sudah ditanami dengan kelapa sawit karena
tingginya resiko kegagalan pada pengelolaan tanaman pangan karena serangan
hama/penyakit, tata air yang susah dikendalikan serta pemasaran produksi
tanaman pangan yang tidak stabil. Lahan pekarangan juga ditanami kelapa sawit
sehingga setiap kepala keluarga memiliki hampir 2,5 ha kebun kelapa sawit.
Untuk memacu perkembangan masyarakat, di masing-masing afdeling
kebun plasma dibangun fasilitas umum (fasilitas sosial dan ekonomi) seperti
Sekolah Dasar (SD), Koperasi Unit Desa (KUD), Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP), Puskesmas Pembantu, tempat peribadatan, kantor desa dan
pasar desa. Semua fasilitas umum tersebut tersedia di masing-masing desa
kecuali Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama hanya terdapat di desa Hangtuah dan
desa Mayang Pongke, sedangkan Puskesmas Pembantu terdapat di di desa
Sialang Kubang dan Mayang Pongke. Dengan fasilitas yang ada tersebut,

87
aktivitas masyarakat bisa berjalan dengan baik antara lain pendidikan,
kesehatan, penyediaan kebutuhan keluarga sehari-hari, penyediaan sarana
produksi usahatani kelapa sawit dan pemasaran produksi TBS.
Khusus kegiatan di bidang perkebunan, Koperasi Unit Desa memegang
peranan yang penting baik sebagai penyedia sarana produksi, penghubung
antara Perusahaan Inti dengan petani untuk bimbingan teknis ke petani dalam
pengelolaan kebun kelapa sawit dan pemasaran TBS. Mengingat beragamnya
kondisi masyarakat maka petani membentuk organisasi kelompok tani
berdasarkan kelompok hamparan kebun kelapa sawit. Kelompok tani ini
merupakan kepanjangan tangan dari KUD dalam mengelola kebun kelapa sawit
petani karena bimbingan teknis dari perusahaan inti ataupun pihak lainnya
terutama instansi terkait disampaikan melalui kelompok tani. Jumlah kelompok
tani berbeda-beda pada masing-masing desa dimana untuk desa Hangtuah
jumlahnya 35 kelompok, desa Sialang Kubang sebanyak 33 kelompok, desa Sei
Simpang Dua sebanyak 28 kelompok dan desa Mayang Pongke sebanyak 27
kelompok tani (Tabel 10).
Tabel 10. Koperasi Unit Desa (KUD) dan Kelompok Tani PIR-Trans Di Kebun
Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007
No

Desa

Nama KUD

Jumlah Kelompok Tani

Hangtuah

Karya Manunggal

35

Sialang Kubang

Kusuma Bakti

33

Sei Simpang Dua

Rukun Makmur

28

Mayang Pongke

Tri Manunggal

27

Pada periode sesudah cicilan petani lunas dan bimbingan teknis dari
Perusahaan Inti kurang intensif, kelompok tani menjadi wadah yang berperan
penting. Ketua kelompok menjadi lebih sibuk untuk mencari informasi teknologi
pengelolaan kebun kelapa sawit yang baik, informasi pengadaan sarana
produksi terutama pupuk yang tepat waktu, tepat jenis, tepat dosis dan tepat
cara pemberiannya. Pertemuan kelompok menjadi semakin sering untuk
membahas jadwal pemupukan, panen, pengendalian gulma, pemasaran dan
penentuan

harga

TBS

dan

lain-lain.

Pada

beberapa

kelompok

tani,

penggalangan kerjasama kemitraan dengan pihak pemodal atau pihak penyedia


sarana produksi juga dilakukan melalui kelompok tani. Komunikasi yang lebih

88
akrab juga dibangun antara lain kelompok tani meminta jenis pupuk yang cocok
untuk kelapa sawit, dosis dan cara pemberiannya.
Perkembangan komunikasi yang terbentuk antara kelompok tani dengan
pihak penyedia sarana produksi tingkat Kabupaten/provinsi mempunyai dampak
positif maupun negatif. Segi positifnya adalah terjadinya transfer teknologi untuk
membantu petani mengelola perkebunan kelapa sawit khususnya pengelolaan
pupuk yang merupakan kunci pemeliharaan produktivitas lahan. Walaupun
pengalaman menunjukkan bahwa teknologi yang ditransfer kadang-kadang
kurang sesuai dengan kondisi lahan karena pihak penyedia sarana produksi
masih memfokuskan pada kuota penjualan produk-produknya sendiri sehingga
ada unsur rekayasa paket teknologi yang disesuaikan secara paksa antara sifatsifat pupuk dengan kondisi lahan dan tanaman kelapa sawit. Segi positif lainnya
adalah peningkatan kapasitas (building capacity) kelompok tani sebagai wadah
bagi petani plasma dalam pengelolaan kebun kelapa sawit pada saat bimbingan
teknis dari Perusahaan Inti berkurang.
Segi negatifnya adalah semakin berkurangnya intensitas komunikasi
antara Perusahaan Inti dengan petani plasma yang berujung pada menurunnya
penjualan TBS kebun plasma ke PKS Perusahaan Inti. Belum lagi sistem
pembayaran PKS non inti lebih baik bagi petani dimana TBS petani dibayar tunai
langsung dan kadang-kadang harganya lebih tinggi dari harga TBS di PKS Inti.
Di lain pihak, luas kebun Inti lebih sempit (sekitar 2800 hektar) dibandingkan
dengan kebun plasma ( 6000 hektar) yang menunjukkan pentingnya masukkan
TBS plasma ke PKS Inti. Dengan kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam maka
PKS sering mengalami kekurangan TBS (Idle material) sehingga PKS tidak bisa
beroperasi setiap harinya melainkan 3-4 hari saja dalam seminggu. Menyadari
akan hal ini, PKS Inti telah memperbaiki sistem pembelian TBS petani plasma
untuk merangsang petani menjual TBS ke PKS Inti antara lain: pembayaran TBS
ditunda hanya 1 minggu terhitung dari saat penyetoran TBS (awalnya tertunda 1
bulan), harga TBS juga ditingkatkan mendekati harga PKS non Inti.
Bagi keluarga petani, peranan kelompok tani tidak terbatas pada
pengelolaan kebun kelapa sawit saja melainkan juga sebagai media untuk
menjalankan aktivitas lainnya. Aktivitas tersebut antara lain untuk arisan bapak
tani, arisan ibu tani, pembentukan kas kelompok tani, aktivitas sambatan
perbaikan/pembangunan rumah baru dan aktivitas sosial lainnya seperti gotong
royong perbaikan jalan desa, perbaikan sarana ibadah, perbaikan sarana

89
pendidikan dan lain-lain. Dengan demikian, setiap kelompok tani mempunyai
karakter tersendiri sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing.
Untuk mengelola kebun kebun plasma, PTPN V Cabang Sei Pagar
mempekerjakan sebanyak 15 tenaga kerja tetap yang terdiri dari manager
kebun, asisten kepala, asisten tanaman, asisten keuangan/administrasi kebun
dan karyawan pelaksana serta 25 orang tenaga harian lepas (Gambar 13).
Struktur organisasi tersebut menggambarkan bahwa manager kebun plasma
dibantu oleh seorang asisten kepala yang membawahi asisten tanaman dan
asisten

keuangan/administrasi

kebun.

aktivitas rutin dilaksanakan oleh

Untuk

asisten

permasalahan

administrasi,

keuangan/asisten

administrasi,

sedangkan untuk aktivitas pengelolaan kebun secara langsung dilaksanakan


oleh asisten tanaman bekerjasama dengan KUD di masing-masing desa.
Terhitung sejak hutang petani lunas, mekanisme kerjasama antara asisten
tanaman dengan KUD kurang aktif. Kondisi ini berimbas pada perilaku petani
dalam memasarkan TBS dan rencana peremajaan pada periode berikutnya.

MANAGER KEBUN
ASISTEN KEPALA

ASS. TANAMAN

ASS. KEUANGAN/ADMI KEBUN

KARPEL KEBUN

Gambar 13. Struktur Organisasi Kebun Kelapa Sawit Plasma PTPN V Sei
Pagar, Kabupaten Kampar, Riau
Sebagaimana halnya tanaman keras lainnya, kelapa sawit mempunyai
umur ekonomis terbatas yaitu sekitar 25 tahun dan sesudahnya perlu dilakukan
peremajaan. Peremajaan memerlukan dana yang besar sehingga petani tidak
bisa melakukan sendiri tanpa ada bantuan modal dari pemerintah atau lembaga
keuangan lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dilakukan pemupukan
modal kerja yang dimulai tahun 1995 dengan melakukan perjanjian kerjasama

90
antara Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau dengan Direksi Asuransi Jiwa
Bersama Bumiputera Nomor: 521/Ek.1777-05/BP-PDR-PIR/KS/Div.Ask/III/95
tanggal 17 Maret 1995 tentang Program Iuran Dana Peremajaan Tanaman
Perkebunan (Program IDAPERTA-BUN). Langkah ini dilakukan sebagai respon
dikeluarkannya Surat Perjanjian Kerjasama antara Direktur Jenderal Perkebunan
dengan Direktur Utama Bumiputera 1912 Nomor KB 650/Ea.191.a/02.9501/BP.PIR/KS/ASK/II.95 tanggal 1 Pebruari 1995 tentang Program Iuran Dana
Peremajaan Tanaman Perkebunan (IDAPERTA-BUN). Program ini merupakan
kiat dari Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian mengingat
bahwa dalam perkembangan dimasa mendatang akan menghadapi hal yang
semakin sulit untuk mendapatkan sumber dana dari pemerintah yang sifatnya
bantuan dalam jumlah besar berupa kredit lunak jangka panjang.
Program ini di set untuk jangka waktu maksimal 20 tahun terhitung sejak
kelapa sawit mulai produktif (umur 4 tahun) sampai tidak produktif (umur 25
tahun). Keunggulannya bahwa program ini memiliki unsur proteksi asuransi jiwa.
Dalam hal ini, jika petani meninggal dunia maka ahli waris petani mendapat
santunan meninggal dunia ditambah dengan nilai premi yang sudah dihimpun
saat petani meninggal. Selanjutnya, ahli waris dibebaskan dari kewajiban
membayar premi/iuran kepesertaan yang semula dilakukan petani semasa
hidupnya. Pada akhir dari umur produktif kelapa sawit (umur 25 tahun) maka ahli
warisnya akan memperoleh sejumlah dana untuk melakukan peremajaan
tanaman kelapa sawit.
Program ini diaplikasikan mulai tahun 1996 terhadap 3000 kepala
keluarga petani PIR Trans kelapa sawit Sei Pagar dengan respon petani yang
beragam dari yang menolak sampai setuju. Namun demikian, sampai tahun
2007, sudah hampir semua petani (sekitar 90%) mengikuti program ini.
Sebagian besar petani mengambil Paket C10 (besar santunan Rp. 10 000 000
dalam jangka waktu pembayaran premi 10 tahun). Jumlah premi yang harus
dibayar petani peserta sekitar Rp. 80 000 Rp. 97 500 per bulannya.
Terdapat 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS) yang mengolah tandan buah
segar (TBS) menjadi crude palm oil (CPO) dengan kapasitas 30 ton TBS/jam.
Dengan kondisi tanaman di kebun inti dan kebun plasma, saat ini PKS mampu
mengolah TBS sebanyak 9000 ton/bulan. PKS ini mempekerjakan sebanyak 125
tenaga kerja meliputi tenaga kerja penyeleksi bahan baku (TBS) yang diperoleh
dari hasil kebun inti dan dibeli dari petani plasma, tenaga administrasi, tenaga

91
mekanik (bagian operasional mesin), tenaga kerja mutu kualitas CPO, tenaga
pengelola limbah PKS (limbah padat dan limbah cair) dan manejer PKS.
Kondisi PKS saat ini masih bisa beroperasi dengan efektif dan efisien.
Hal ini terlihat dari Neraca Bahan (Oil Content) dimana dalam 100% bahan
mentah (TBS) akan menghasilkan 22,17% crude palm oil (CPO) dan 5,22%
minyak inti sawit. Kualitas CPO yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu
yang ditetapkan pemerintah antara lain kadar asam lemak bebas <5% yaitu 23% (Lampiran 7). Hasil sampingan berupa limbah padat (tandan buah kosong,
cangkang dan ampas kulit buah) dan limbah cair (air kondensat dan air
hidrosiklon). Untuk limbah cair, langsung dibuang melalui saluran pembuangan
dan ditampung di kolam penampungan limbah cair, sedangkan untuk limbah
padat cangkang dan ampas daging buah, dimanfaatkan kembali sebagai bahan
bakar dalam rangkaian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Uap yang
dihasilkan dari boiler sebagian digunakan sebagai penggerak turbin listrik dan
sebagian lagi digunakan kembali dalam rangkaian PKS untuk proses
pengolahan TBS. Melalui mekanisme ini, dihasilkan tenaga untuk menggerakkan
generator listrik sebesar 700 kwh, dimanfaatkan untuk penerangan kantor dan
perumahan karyawan serta energi untuk operasional PKS.
Mulai tahun 2000, limbah padat lainnya yaitu tandan buah kosong, 50%
dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organik, disebar pada gawangan
tanaman pada kebun inti dengan dosis 15 ton tandan buah kosong/ha. Sisanya
(50%) dibakar dalam incenerator, hasil pembakaran berupa abu incenerator
dimanfaatkan sebagai pupuk organik dengan cara menaburkan pada piringan
tanaman kelapa sawit di kebun inti. Belum ada laporan penelitian mengenai
dampak dari aplikasi tandan buah kosong dan abu incenerator terhadap
produksi

kelapa

sawit.

Namun

demikian,

pengamatan

secara

selintas

dilapangan menunjukkan belum adanya perbedaan produksi antara tanaman


dengan perlakuan tandan buah kosong ataupun abu incenerator dengan
tanaman yang tanpa menggunakan kedua jenis pupuk tersebut.
Limbah cair yang bersumber dari air kondensat dan air hidrosiklon
ditampung pada kolam penampungan limbah. Terdapat 10 kolam penampungan
limbah cair (kolam nomor 1 sampai nomor 10) yang disusun sedemikian rupa
sehingga kolam penampungan terakhir (nomor 10) terletak ditepi sungai
sehingga mudah membuang limbah. Pada setiap kolam, limbah diberi perlakuan
fermentasi anaerob dengan menaburkan mikroorganisme perombak anaerob.

92
Perlakuan ini diatur agar air limbah pada kolam ke 10 sudah tidak menimbulkan
dampak negatif dan bisa dibuang langsung ke sungai (anak Sungai
Iyee)(Lampiran 8) maupun dampak negatif terhadap air sumur pantau (Lampiran
9).
Sejak tahun 2003, pengelolaan limbah cair sudah bisa menerapkan
sistem Land Aplication (LA) dimana limbah cair PKS bisa dimanfaatkan sebagai
sumber pupuk atau bahan pembaik tanah dengan cara memberikan limbah cair
langsung ke lahan. Dalam sistem ini, limbah cair dipantau sifat-sifat kimianya
terutama kadar Biologycal Oxygen demand (BOD) sebagai syarat dari limbah
cair untuk dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Nilai BOD yang
memenuhi syarat tersebut adalah < 3500, sehingga perlakuan fermentasi
anaerob di PKS penelitian diatur sedemikan rupa dan sistem LA bisa diterapkan
mulai kolam penampungan nomor 4, dengan nilai BOD antara 2000 3000.
Limbah cair dipompa dari kolam ke saluran LA, selanjutnya dialokasikan ke
kebun kelapa sawit inti sebagai pupuk organik.
Berbasis pada pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja PKS,
mekanisme pengolahan TBS, kualitas CPO yang dihasilkan dan pengolahan
limbah maka PKS Sei Pagar diajukan sebagai salah satu nominasi perusahaan
yang memenuhi standar keselamatan kerja melalui jalur ISO 9000 Versi 2000.
Semua elemen PKS ditata dalam satu sistem yang disebut Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK-3). Dengan sistem ini, evaluasi selama
satu tahun menunjukkan tidak pernah adanya kecelakaan diwaktu kerja (0
incident/year) dan berhak memperoleh penghargaan berupa Gold Flag dari
Departemen Tenaga Kerja.
Sebagai komoditas unggulan yang pengembangannya pesat, kehadiran
perkebunan kelapa di suatu wilayah pengembangan berdampak negatif
(pencemaran) terhadap lingkungan terutama komponen tanah, air dan udara
serta menurunkan keanekaragaman hayati. Untuk mengetahui dampak tersebut,
di lokasi penelitian telah diterapkan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dengan Nomor persetujuan RKLRPL: RC.220/690/B/IV/1994 tanggal 18 April 1994, yang dinilai oleh Tim AMDAL
Departemen Pertanian (PTPN V, 1996). Matriks pelaksanaan RKL disajikan
pada Lampiran 10 dan matriks pelaksanaan RPL pada Lampiran 11.
Dampak terhadap kualitas udara dipantau dengan mengukur emisi gas
buang yang dihasilkan oleh PKS dan kualitas udara ambien di sekitar lokasi

93
PKS. Jarak dan arah pengukuran kualitas udara ambien tergantung dari arah
angin, misalnya arah angin dari selatan, maka pengukuran

dilakukan sebelum

lokasi PKS (sebelah timur), di lokasi PKS dan di sebelah barat PKS. Variabel
yang diukur adalah SO2, CO, NO2, hidrokarbon, partikel dan kebisingan yang
dibandingkan dengan Kepmen LH No.41 Tahun 1999 (Tabel 11). Untuk gas
buang genset, variabel yang diukur adalah kadar SO2, CO2, NO2, hidrokarbon,
partikel dan kebisingan. Hasil pengukuran ini dibandingkan dengan Kepmen LH
No. 13 Tahun 1995. Khusus untuk kebisingan, hasil pengukuran dibandingkan
dengan Kepmen LH No. 48 Tahun 1996 (Tabel 12).
Tabel 11. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien Di Pabrik Kelapa Sawit Sei
Pagar Tahun 2006.
Baku
Mutu

Variabel

Partikel (g/Nm )
3

CO (g/Nm )
3

SO2 (g/Nm )
3

NO2 (g/Nm )
3

Hasil pengukuran
Awal
I

II

230

38,8

10

0,98

385
50

Saat ini

Ratarata

Sdde

Sblm
PKS

Di
PKS

Ssdh
PKS

Ratarata

Sdde

45,1

41,9

3,15

95,2

126,5

105,1

108,9

13,1

0,82

0,9

0,08

ttd

37,2

Ttd

37,2

0,00

15,5

17,7

16,6

1,1

1,05

2,54

1,92

1,84

0,61

6,5

9,01

7,76

1,25

14,42

20

17,49

17,20

2,28

Hidrokarbon (g/Nm )

160

49

74,8

58,5

60,8

10,6

Kebisingan (dls A)

35,0

52,1

64,7

52,8

56,53

5,78

Terjadi perubahan kualitas udara ambien akibat penggunaan lahan


sebagai perkebunan kelapa sawit, tetapi masih memenuhi standar mutu yang
ditetapkan. Pada saat awal, tidak dilakukan pengamatan hidrokarbon dan
kebisingan karena belum ada pencemaran dari kedua variabel tersebut.
Walaupun terjadi peningkatan setelah pembukaan lahan, kadar partikel, CO,
SO2, NO2 dan

hidrokarbon tergolong baik dan masih dibawah nilai ambang

batas (NAB) yang diperbolehkan. Nilai variabel hidrokarbon masih di bawah


NAB, sedangkan kebisingan melebihi NAB. Pengukuran kebisingan dilakukan di
sekitar PKS, di luar areal pemukiman karyawan maupun petani plasma sehingga
tidak mengganggu kondisi kesehatan karyawan dan petani plasma. Namun
demikian,

perlu dilakukan penataan areal PKS yang lebih baik sehingga

kebisingan yang disebabkan oleh operasi mesin-mesin untuk masa mendatang


juga tidak mengganggu kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar kebun.
Pencemaran udara juga dimungkinkan oleh gas buang dari genset dan
boiler PKS sehingga dilakukan pengukuran gas buang setiap tahunnya. Hasil
pengukuran yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan belum adanya
pencemaran oleh gas buang dari PKS yang terlihat dari nilai variabel partikel,

94
SO2, NO2 dan opasitas masih dibawah standar baku mutu. Namun demikian,
tindakan antisipasi pencemaran terus dilakukan dengan melakukan perawatan
genset dan boiler PKS secara berkala dan intensif mengingat masih adanya
kecurigaan dari masyarakat akan kontribusi pencemaran oleh PKS masih tinggi.
Tabel 12. Hasil Pengukuran Gas Buang Genset dan Boiler Pabrik Kelapa Sawit
Sei Pagar Tahun 2006.
Variabel

Hasil pengukuran saat ini

Baku
Mutu

Partikel (mg/Nm3)

Genset

Boiler

Rata-rata

Sddev

350,0

202,75

194,67

198,71

3,43

SO2 (mg/Nm )

800,0

31,94

34,95

33,45

1,51

NO2 (mg/Nm3)

1000,0

174,60

157,62

166,11

8,49

Opasitas (%)

35,00

28,00

20,00

24,00

3,40

Air permukaan (air sungai) dan air sumur merupakan komponen yang
rentan

terhadap

pencemaran

Pencemaran

bersumber

penggunaan

pupuk

dari

serta

oleh
air

limbah

aktivitas
limbah

perkebunan

PKS,

rumahtangga.

kelapa

penggunaan
Aktivitas

sawit.

herbisida,

rumahtangga

masyarakat (mandi, nyuci dan memasak) tidak memanfaatkan air permukaan


sehingga pemantauan kualitas air permukaan lebih difokuskan untuk pertanian
dengan mengacu kepada Kepmen LH No. 28 Tahun 2003, Baku Mutu Air
Sungai kelas II dan Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990. Aktivitas
rumahtangga masyarakat menggunakan air tanah (air sumur) dengan cara
membuat sumur pantek kedalaman 20-30 meter.
Limbah cair PKS sebelum tahun 2003 dibuang ke kali Iyek, setelah diberi
perlakuan fermentasi anaerob diikuti fermentasi aerob untuk memperbaiki sifatsifat fisik, kimia dan biologi sampai memenuhi nilai ambang batas (NAB) yang
diperbolehkan (Tabel 13). Total padatan terlarut, total suspensi terlarut dan
beberapa variabel kimia (terutama logam berat) menunjukkan peningkatan
konsentrasi pada tahun 1996 dibandingkan dengan tahun 1995, walaupun
nilainya masih di bawah NAB. Sifat biologi memperlihatkan perbaikan dari tahun
1995 ke tahun 1996. Secara umum, hal ini menunjukkan diperlukannya
pengelolaan limbah cair yang lebih hati-hati. Kemungkinan kinerja mesin PKS
perlu dikontrol lagi untuk menurunkan kadar logam berat yang terbawa pada
limbah cair. Kombinasi dengan perlakuan fermentasi anaerob dan aerob

95
diharapkan

limbah yang dibuang ke sungai tidak menimbulkan dampak yang

tidak diinginkan.
Tabel 13. Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar yang Dibuang
ke Sungai Iyek, Tahun 1995 dan 1996.
Variabel

Baku Mutu

Hasil pengukuran tahun


1995

1996

Rata-rata

Sddev.

Sifat fisika:
Temperatur (0C)
TSS (mg/l)
Padatan terlarut (mg/l)

27-28
250
2000

27
125
1250

27
137
1345

27,00
131
1297,5

0,00
6,00
47,5

Sifat kimia:
Nitrogen sbg N(mg/l)
pH
Kadmium(Cd)(mg/l)
Tembaga(Cu)(mg/l)
Timah hitam (Pb)(mg/l)
Seng(Zn) (mg/l)
Air raksa (mg/l)
Besi terlarut (mg/l)
Sulfida (mg/l)
Sianida (mg/l)

50
6,0-9,0
0,10
3,00
1,0
10,0
0,01
10,0
0,10
1,0

22,65
6,85
0,06
1,33
0,02
2,77
Ttd
5,12
0,04
0,08

27,15
7,05
0,05
1,41
0,02
3,22
Ttd
6,77
0,06
0,06

24,9
6,95
0,055
1,37
0,02
2,995
Ttd
5,945
0,05
0,07

2,25
0,10
0,007
0,04
0,00
0,225
0,825
0,005
0,01

100
300
25

86
188
18,76

79
164
16,88

82,5
176
17,82

3,50
12,00
0,94

Sifat Biologi:
BOD (mg/l)
COD (mg/l)
Minyak, lemak(mg/l)

Seiring dengan gencarnya isu pemanfaatan bahan organik sebagai


sumber pupuk dan ditemukannya teknologi pengelolaan limbah PKS yang lebih
baik maka sejak tahun 2003 limbah cair PKS dimanfaatkan sebagai sumber
pupuk organik yang diterapkan langsung ke kebun. Sistem ini disebut Land
Application (LA) dimana limbah cair diberi perlakuan fermentasi anaerob, diikuti
fermentasi aerob dengan kadar BOD sebagai fokus perhatian sampai mencapai
nilai < 3500 mg/ltr. Metode aplikasi LA yang diadopsi di lokasi penelitian adalah
flatbed system dimana air limbah dialirkan melalui pipa ke bak-bak distribusi
dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder. Dosis pengaliran limbah 12,6 mm
ekivalen curah hujan (ECH)/ha/bulan. Dengan sistem ini, diharapkan limbah cair
bisa meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit sekitar 16-66% (Deptan,
2006).

96
Untuk meyakinkan minimnya dampak negatif dari limbah pada sistem LA,
konsentrasi variabel lainnya juga dipantau dan diukur agar nilainya tidak
melebihi NAB. Dari hasil pengukuran limbah cair PKS sebagai bahan sistem LA
tahun 2005 dan 2006 menunjukkan bahwa kualitas limbah cair PKS di lokasi
penelitian tergolong baik dimana semua variabel yang diukur nilainya dibawah
ambang batas (Tabel 14). Terdapat logam yang tergolong logam berat terutama
timah hitam (Pb), tembaga (Cu) dan seng (Zn). Logam-logam ini mungkin
berasal dari mesin PKS yang haus ataupun berasal dari tanah yang terserap
bersama dengan unsur hara lainnya.
Tabel 14. Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar Tahun 2005
dan 2006
Variabel

Baku Mutu

Hasil pengukuran tahun


2005

2006

Rata-rata

Sddev.

BOD (mg/l)

3500

1637

1413

1525,00

112,00

TSS (mg/l)

1500

1105

1280

1192,50

87,50

Total nitrogen sebagai N

500

319,0

270,2

294,60

24,4

6,0-9,0

8,3

7,6

7,95

0,57

COD (mg/l)

6000

2216

2114

2165,00

51,00

Kadmium(Cd)(mg/l)

0,30

0,061

0,094

0,078

0,014

Tembaga(Cu)(mg/l)

3,00

0,220

0,145

0,183

0,028

Timah hitam (Pb)(mg/l)

1,10

0,345

0,238

0,292

0,057

Seng(Zn)(mg/l)

8,55

0,255

0,167

0,211

0,045

pH

Sungai utama yang melewati lokasi penelitian adalah Sungai iyek,


merupakan anak Sungai Kampar Kiri, dimana sebelum tahun 2003 dipakai
sebagai pembuangan limbah cair sesudah diberi perlakuan/penetralan dengan
sistem fermentasi anaerob diikuti fermentasi aerob. Oleh karena itu, kualitas air
sungai dilakukan pada Sungai Iyek di lokasi hulu (sebelum melewati lokasi) dan
di hilir (sesudah melewati lokasi) (Tabel 15). Secara umum, kualitas air sungai di
bagian hulu PKS lebih baik dibandingkan dengan di bagian hilir PKS. Hal ini
tercermin dari nilai variabel fisika, kimia dan biologi yang diukur. Variabel fisika
antara lain total padatan terlarut dan total suspensi terlarut masing-masing
sebesar 11,5 mg/ltr dan 6,4 mg/ltr di hulu, sedangkan di hilir nilainya masingmasing 25,0 mg/ltr dan 12,25 mg/ltr. Variabel kimia terlihat dari nilai nitrogen,
fosfat, florida dan H2S di hulu masing-masing sebesar 0,26 mg/ltr, 0,10 mg/ltr,
0,15 mg/ltr dan 0,001 mg/ltr sedangkan di hilir nilainya masing-masing 0,90

97
mg/ltr, 0,215 mg/ltr, 0,35 mg/ltr dan 0,002 mg/ltr. Variabel biologi terlihat dari nilai
variabel BOD, COD, minyak dan lemak serta total Coliform di hulu masingmasing 2,08 mg/ltr, 6,02 mg/ltr, 22640 g/ltr dan 44,38/100 ml air. Di sungai
bagian hilir, nilai variabel-variabel tersebut lebih tinggi masing-masing sebesar
2,49 mg/ltr, 14,74 mg/ltr, 48100 g/ltr dan 76,50/100 ml air. Kondisi tersebut
menunjukkan adanya kontribusi bahan pencemar yang berasal dari aktivitas
PKS melalui pembuangan limbah cair.
Tabel 15. Kualitas Air Sungai Iyek Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Tahun 2005 dan 2006
Variable

Baku
mutu

Hasil Pengukuran
Awal

Tahun
Hulu
2005

Temperatur ( C)

28

Pdtn larut (mg/l)

10

Pdtn suspensi (mg/l)

200

2006

Hilir
Rata-rata

2005

2006

Ratarata

27

27

27

27

28

28

28

146

10,5

12,0

11,5

23,0

27,0

25,0

22,6

5,8

7,0

6,4

11,5

13,0

12,25

6,3

6,08

6,19

6-8,5

6,0

7,4

6,2

6,8

BOD (mg/l)

20

2,44

2,48

1,67

2,08

1,69

1,29

1,49

COD (mg/l)

30

6,55

6,15

5,89

6,02

15,7

13,78

14,74

3,15

3,07

3,33

3,20

6,50

6,10

6,30

0,16

0,27

0,215

pH

DO (mg/l)
Total P (mg/l)

0,2

0,002

0,05

0,15

0,10

Total N (mg/l)

10

0,009

0,20

0,31

0,26

0,7

0,11

0,90

Kadmium (mg/l)

0,01

Ttd

0,0015

0,024

0,013

0,004

0,014

0,009

Tembaga (mg/l)

0,05

Ttd

0,01

0,064

0,033

0,008

0,05

0,029

Seng (mg/l)

1,00

0,003

0,04

0,022

0,031

0,022

0,034

0,028

Flourida (mg/l)

1,00

0,01

0,10

0,20

0,15

0, 50

0,20

0,35

Nitrit (mg/l)

0,05

0,003

0,02

0,03

0,025

0,02

0,05

0,035

H2S (mg/l)

0,002

0,002

0,001

0,001

0,001

0,001

0,003

0,002

6637

16625

22640

19633

37000

59200

48100

Ttd

ttd

ttd

ttd

Ttd

Ttd

Ttd

30

40

49

44,38

80

73

76,50

Mnyk. dan lmk. (g/l)


Fenol (g/l)
Ttl. Colifom/100ml

10

1
10

Dalam kurun waktu 1 tahun yaitu tahun 2005 dan 2006, kualitas air
Sungai Iyek di bagian hulu maupun bagian hilir relatif sama. Nilai variabel fisik
dan biologi yang diamati cenderung lebih tinggi pada tahun 2006, sedangkan
variabel kimia cenderung tetap bahkan tahun 2006 lebih rendah dibandingkan
tahun 2005. Yang perlu dipertimbangkan adalah konsentrasi

senyawa nitrit,

fosfat dan sulfat terlihat mendekati nilai batas ambang yang kemungkinan
berasal dari penggunaan herbisida untuk pengendalian gulma dan pupuk untuk
meningkatkan produksi. Kadar logam yang mendekati nilai ambang batas adalah

98
kadmium, tembaga dan seng yang kemungkinan berasal dari bahan pembawa
(carrier) pupuk dan herbisida. Diperlukan usaha untuk lebih berhati-hati dalam
penggunaan herbisida sesuai dengan karakter bahan aktifnya yang tidak
menimbulkan residu baik di air maupun tanah.
Secara umum, terjadi penurunan kualitas air sumur pantau akibat
penggunaan lahan sebagai kebun kelapa sawit selama kurun waktu 22 tahun
yang terlihat dari meningkatnya nilai variabel yang diukur terutama variabel kimia
(Tabel 16). Konsentrasi senyawa nitrat sebagai N meningkat dari 0,02 mg/ltr
menjadi 1,565 mg/ltr, amonia sebagai N dari 0,66 mg/ltr menjadi 0,94 mg/ltr,
khlorida dari 8,77 mg/ltr menjadi 22,4 mg/ltr, sulfat dari 12,08 mg/ltr menjadi
41,20 mg/ltr, seng dari 0,004 mg/ltr menjadi 0,06 mg/ltr, kadmium dari tidak
terukur menjadi 0,002 mg/ltr dan tembaga dari tidak terukur menjadi 0,009
mg/ltr. Kualitas air sumur pantau dalam kurun waktu 1 tahun yaitu tahun 2005
sampai 2006 relatif sama. Dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan,
kualitas air sumur pantau yang dipakai untuk aktivitas rumahtangga termasuk
baik dimana semua variabel yang diukur nilainya di bawah ambang batas. Hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan air sumur pantau aman untuk kesehatan
masyarakat karena belum tercemar oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit.
Tabel 16. Kualitas Air Sumur Pantau Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Tahun 2005 dan 2006
Variabel

pH
BOD (mg/l)
DO (mg/l)
Nitrat sbg N (mg/l)
NH3-N (mg/l)
Khlorida (mg/l)
Sulfat (mg/l)
Seng (mg/l)
Kadmium (mg/l)
Tembaga (mg/l)
Timbal (mg/l)

Baku
mutu

Awal

6,0-9,0
3,0
15
10
10
600
400
15
0,005
0,02
0,05

6,01
2,88
7,04
0,02
0,66
8,77
12,08
0,004
ttd
ttd
Ttd

2005
5,91
2,9
5,04
1,10
0,96
24,5
41,9
0,08
0,001
0,008
0,01

Hasil pengukuran
Tahun
2006
Rata-rata
5,73
5,54
2,77
2,63
5,05
5,05
1,565
2,03
0,94
0,91
22,4
20,3
41,20
40,49
0,06
0,04
0,002
0,003
0,009
0,010
0,01
0,01

Sddev.
0,22
0,135
0,005
0,465
0,025
2,10
0,71
0,02
0,001
0,0014
0,00

Lahan merupakan modal utama dalam membangun perkebunan kelapa


sawit dan tidak lepas dari dampak pengelolaan oleh petani. Berdasarkan Peta
Citra Landsat, diketahui penggunaan lahan di lokasi penelitian adalah untuk
semak belukar, hutan sekunder, kebun campuran, karet, kelapa sawit, ladang,

99
pabrik kelapa sawit (PKS) dan pemukiman serta fasilitas umum (Tabel 17,
Lampiran 12). Penggunaan lahan untuk kelapa sawit mendominasi dengan total
luasan 16 650 ha dimana seluas 8813 ha dikembangkan oleh PTPN V melalui
pembangunan kebun inti seluas 2813 ha, kebun plasma dengan sistem PIRTrans seluas 6000 ha dan kebun sistem Kredit Koperasi Primer untuk Para
Anggota (KKPA) seluas 7191 ha. Animo masyarakat kelihatan cukup tinggi
dimana seluas 646 ha kebun kelapa sawit dikembangkan oleh masyarakat
dengan modal swadaya. Kondisi perkebunan yang dikembangkan dengan modal
swadaya masyarakat kurang baik pertumbuhan dan produksinya karena
pengelolaannya kurang baik, dengan sarana produksi benih seketemunya,
pemupukan tidak teratur, tata air jelek (sering tergenang) dan TBS dipanen lebih
awal.
Tabel 17. Penggunaan Lahan Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar dan
Sekitarnya, 2007
Jenis penggunaan lahan

Luas

Sebaran (ha)

(ha)

Kebun

Luar kebun

Belukar

4636

4636

Hutan sekunder

996

996

Kebun campuran

5992

5992

Karet

5211

5211

Kelapa sawit menghasilkan

13246

7837

5409

Kelapa sawit belum menghasilkan

3404

3404

Ladang

3293

3293

Areal pabrik kelapa sawit

123

123

Pemukiman dan fasilitas umum

2271

2271

Jumlah

39231

10231

29000

Konversi penggunaan lahan dari hutan sekunder manjadi kebun kelapa


sawit berakibat pada perubahan keanekaragaman hayati flora dan fauna.
Struktur, keanekaan dan komposisi flora di perkebunan kelapa sawit merupakan
vegetasi monokultur yang didominasi oleh kelapa sawit, tetapi masih terdapat
tumbuhan lainnya yang tumbuh secara liar di sela-sela barisan kelapa sawit.
Penelitian yang dilakukan tahun 1992, menunjukkan adanya 22 jenis tumbuhan
liar di sela barisan kelapa sawit, di antaranya yang dominan adalah Akar pakis
(Stenochlaena palusteris), Paitan (Axonopus compressus) dan Bambuan

100
(Brachiaria sp.) (Tabel 18). Selain itu, terdapat juga jenis yang sub dominan
seperti Pakis rasam (Gleichenia linearis), Mikania (Mikania cordata) dan
kacangan (Pueraria javanica). Diketemukan juga tumbuhan liar yang tumbuh
pada batang pohon kelapa sawit yaitu Paku (Neprolepisbisserata) dan Kadaka
(Asplenium nidus) dan anakan kelapa sawit yang jatuh karena TBS umur tua
atau rontok saat panen dilakukan (PTPN V, 1992).
Tabel 18. Jenis Tumbuhan Pada Sela Barisan Kelapa Sawit Di Kebun Kelapa
Sawit Plasma Sei Pagar, 1992
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Nama Daerah/Indonesia

Akar pakis
Paitan
Bambuan
Paku rasam
Seduduk
Mikania
Kacangan
Gempur watu
Piti-piti
Kadaka
Ficus sp.
Rubu-rubu
Bujang semalam
Kacangan
Anggrung
Pakis tiang
Kerisan
Siani
Emilia
Bisoro
Suplir
Alang-alang
Sumber: PTPN V (1992).

Nama Ilmiah
Stenochlaena palustris
Anoxopous compressus
Brachiaria sp.
Gleichenia linearis
Melastoma malabraticum
Mikania cordata
Pueraria javanica
Borreraria hispida
Drymaria cordata
Asplenium nidus
Ficus sp.
Hyptis brevipes
Ageratum conyzoides
Calopogonium muconoides
Trema orientalis
Alsophila glauca
Cyperus sp.
Scyspus sp.
Emilia sonchifolia
Ficus septica
Adiantum tenerum
Imperata cylindrica

Sebagaimana halnya flora, fauna juga mengalami perubahan akibat


penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Hasil pengamatan Bagian
Bina Lingkungan PTPN V (1992) diketahui bahwa fauna yang hampir mengalami
kepunahan adalah jenis Rusa (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak),
Gajah (Elephas Maximus), Bebe (Helarotus malayanus) dan Harimau Sumatera.
Sampai tahun 1992, fauna yang berkembang dan mendominasi di areal
kebun kelapa sawit adalah Kelas Mammalia, Reptilia, Amphibia, Pisces dan

101
Aves. Kelas Mammalia didominasi oleh 3 jenis yaitu Kondit (Sus acrofa), Lasun
(Melogale cinerea) dan Tikus (Ratus sp.). Kelas Reptelia didominasi oleh 7 jenis
yaitu Ular Sanca (Phyton sp.), Ular Sendok (Naja sputatrik), Ular Hijau (Dryophis
sp.), Kadal (Mabuia multifasciata), Hap-hap (Draco volans),

Acrochordus

granulatus dan Biawak (Varanus salvator). Dari Kelas Amphibia didominasi oleh
3 jenis yaitu Katak Kecil (Rana sp.), Katak Pohon (Poly pedatus lencomystak)
dan Kodok (Bufo melanostictus).
Di perairan areal kebun sawit (sungai-sungai kecil) hidup dan
berkembang ikan Gabus, Lele, Tawes, Takang, Pantan, Sepat, Barau dan
Puyuh. Klas Aves didominasi oleh jenis Balam (Streptopelia chinensis), Jalak
(Acridotheres javanicus), Kerucuk (Phyinonotus goiavier)

Kacer (Capsychus

saularis), Sesep madu, Elang, Cucuk udang, Ayam hutan dan Alap-alap.
Sedangkan fauna yang berkembang di pekarangan jenisnya tidak sebanyak di
kebun kelapa sawit, hanya terdapat Mammalia, Amphibia dan Aves. Mammalia
yang hidup adalah jenis Tikus (Ratus sp.), Amphibia dari jenis Katak Kecil (Rana
sp) dan Kodok (Bufo melanostictus). Klas Aves didominasi oleh burung jenis
Burung Gereja (Passer montanus), Burung Pipit (Lonchura mallaca) dan Burung
Perinjak (Prinia familiasis).
Dalam usaha meningkatkan produksi kelapa sawit, tahun 1985
diintroduksikan fauna serangga penyerbuk kelapa sawit (SPKS) jenis Elaedobius
cameronicus dan serangga peredator ulat api jenis Eucanthecona sp.. Selain itu,
flora yang diintroduksikan ke areal perkebunan adalah jamur jenis Cordyceps sp.
yang menyerang cocon ulat api sebagai salah satu hama utama perusak daun
kelapa sawit. Pengamatan di lapangan menunjukkan sampai saat ini belum
diketemukan jenis hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi TBS
secara signifikan.
Melihat luasan dan vegetasi di sekitar kebun, pengembangan kelapa
sawit di lokasi penelitian masih memungkinkan pada lahan yang digunakan
sebagai belukar seluas 4636 ha, hutan sekunder seluas 996 ha, kebun
campuran seluas 5992 ha dan ladang seluas 3293 ha. Dilihat dari kondisi
pemasaran TBS, nampaknya animo masyarakat termasuk petani sawit plasma
semakin kuat untuk menanam kelapa sawit karena harga TBS saat penelitian
terus meningkat sampai sekitar Rp. 1600 - Rp. 2100/kg. Dengan tingkat harga
tersebut, petani memiliki kemampuan untuk menabung yang tinggi sebagai
modal untuk perluasan lahan dengan cara membeli dari masyarakat lokal.

102
Masalahnya, harga lahan sudah mahal dan status lahan kadang-kadang masih
sengketa sehingga menghambat pengembangan kebun kelapa sawit.
Kondisi iklim daerah tropis basah sangat mempengaruhi pembentukan
jenis tanah dimana berdasarkan Peta Satuan Lahan (Land Unit) yang dibuat
oleh Sudihardjo et al.(1990), lokasi penelitian terdapat 13 satuan lahan yaitu
D2.1.2, D2.1.3, AU1.2.1., AU1.2.2, Af1.3, Pf3.2, Pfq1.1, Pfq2.1, Pfq5.4, Pfq7.3,
Pq2.1, Pq4.2 dan Pq7.2. Sedangkan jenis tanah yang ditemui adalah Typic
Haplosaprists, Terric Haplohemists, Humic Dystrudepts, Typic Dystrudepts,
Kandiudults dan Hapludults dengan karakter seperti disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Karakter Berbagai Jenis Tanah dan Penyebarannya Di Kebun Kelapa
Sawit Plasma Sei Pagar dan Sekitarnya
Jenis tanah

Karakter Tanah
Tekstur

K-dd
Me/100

P-tsd.
Ppm

KTK
Me/100

Sebaran (ha)
pH

Kjnhn Al

Kebun

Luar
kebun

Typic Haplosaprists

Bahanorganik

Sedang

Tinggi

Tinggi

4-4,5

Rendah

8500

6470

Terric Haplohemist

Bahanorganik

Sedang

Tinggi

Tinggi

4-4,5

Rendah

750

5764

Humic Dystrudepts

Halussedang

Rendahsedang

Rendah
-sedang

Rendah

4-4,5

Tinggi

781

5374

Typic Dystrudepts

Sedang

Rendah

Rendah
-sedang

Rendah

4-4,5

Tinggi

200

8609

Kandiudults

Halussedang

Rendah

Rendah

Rendah

4-4,2

Tinggi

1012

Hapludults

HalusSedang

Rendah

Rendah

Rendah

4-4,2

Tinggi

1771

Jumlah

10231

29000

Jenis tanah di lokasi penelitian didominasi oleh Typic Haplosaprists dan


Terric Haplosaprists dari satuan lahan kubah gambut (D1.2.1 dan D2.1.3). Ini
menunjukkan sebagian besar tanah termasuk tanah organik dengan kondisi
gambut pada tingkat kematangan sedang (hemik) dan matang (saprik). Selain
itu, gambut ini juga tergolong gambut dangkal (<60 cm) dan gambut sedang (60140 cm). Jenis tanah ini, kombinasi dengan pengelolaan sangat menentukan
produktivitas lahan lokasi penelitian. Pengelolaan yang sesuai dengan
karakteristik tanah meliputi bibit, pemeliharaan, panen dan penanganan pasca
panen bisa meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan. Hal ini
berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia
(petani). Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui bimbingan dan
pelatihan oleh pihak terkait menjadi kunci utama untuk mencapai kondisi
perkebunan kelapa sawit yang optimal.

103
Kehadiran perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak saja
mempengaruhi

peningkatan

pendapatan

petani

plasma,

tetapi

juga

mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar kebun. Ini


merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perubahan persepsi
masyarakat dalam menerima kehadiran kebun sawit. Hasil pemantauan pihak
PTPN V menunjukkan adanya peningkatan

pendapatan petani plasma dan

masyarakat sekitar kebun sawit, demikian pula munculnya usaha-usaha


perekonomian baru seperti jasa transportasi (ojek), servise motor, pasar desa
dan lain-lain (Tabel 20). Pendapatan petani, buruh kebun sawit, pedagang, jasa
transportasi (ojek) dan jasa servise motor pada periode awal masing-masing
sebesar Rp. 3 774 000, Rp. 2 172 000, Rp. 2 361 000, Rp. 2 100 000 dan Rp. 1
980 000 per tahun. Pendapatan ini masih di bawah pendapatan per kapita level
Provinsi Riau sebesar Rp. 3 886 800 per tahunnya.
Dengan berjalannya waktu, pertumbuhan pendapatan petani plasma dan
masyarakat sekitar kebun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
pendapatan per kapita level Provinsi Riau. Hal ini berkaitan dengan laju
peningkatan produktivitas kelapa sawit yang menopang peningkatan pendapatan
masyarakat di sekitar kebun. Sampai tahun 2006, pendapatan petani plasma
rata-rata Rp. 28 072 000 per tahun, diikuti oleh pendapatan jasa servise motor
Rp. 18.540 000 per tahun, pedagang Rp. 17 524 000 per tahun, buruh
perkebunan Rp. 15 920 000 per tahun. Semua pendapatan tersebut lebih tinggi
dari pendapatan per kapita level provinsi Riau sebesar Rp. 15 120 000 per tahun
dan pendapatan perkapita nasional tahun 2006 sebesar Rp. 13 190 387 per
tahun.
Tabel 20. Matapencaharian dan Prakiraan Pendapatan Petani Plasma Di Sei
Pagar serta Masyarakat Sekitarnya
No

Mata pencaharian

Pendapatan
(Rp/Tahun)
1992

2006

Income/kapita (Rp/Tahun)
1992

2006

Riau

Riau

Nasional

1.

Petani plasma

3 774 000

28 072 000

3 886 800

15 120 000

13 190 387*

2.

Buruh perkebunan

2 172 000

15 920 600

3 886 800

15 120 000

13 190 387

3.

Pedagang

2 316 000

17 524 800

3 886 800

15 120 000

13 190 387

4.

Jasa transportasi

2 100 000

12 900 000

3 886 800

15 120 000

13 190 387

5.

Jasa servise motor

1 980 000

18 540 000

3 886 800

15 120 000

13 190 387

* Income per kapita Nasional tahun 2006 berdasarkan harga berlaku

tahun 2000 (BPS, 2007)

104
Hanya pendapatan jasa transportasi (ojek) sebesar Rp. 12 900 000 per
tahun, di bawah pendapatan per kapita Provinsi Riau maupun nasional.
Rendahnya pendapatan jasa transportasi dimungkinkan oleh meningkatnya daya
beli petani terhadap sepeda motor yang merubah perilaku petani yang
cenderung membeli yang baru dari pada menggunakan jasa transportasi ojek.
Sejalan dengan kondisi ekonomi, kondisi sosial masyarakat di sekitar
perkebunan kelapa sawit juga semakin membaik. Hal ini terlihat dari pendapat
masyarakat terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit (Tabel 21 ). Adanya
perbaikan infrastruktur, kesempatan kerja, pengendalian konflik menyebabkan
perbaikan dalam persepsi masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit.
Sementara frekuensi konflik masih tetap ada yang bersumber dari ketidak
tahuan masyarakat terhadap batas-batas areal perkebunan kelapa sawit,
kurangnya kesadaran dan pemahaman hukum masyarakat dan kecemburuan
terhadap pendapatan pengelola perkebunan.
Tabel 21. Pendapat Masyarakat Terhadap Kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit
Di Sei Pagar.
No

Persepsi masyarakat

Variabel
Awal

Saat ini

1.

Pendapat masyarakat terhadap


kegiatan perkebunan kelapa sawit

-Senang (55%)
-Tidak senang (45%)

-Senang (85%)
-Tidak senang (15%)

2.

Pendapat masyarakat terhadap PKS

-Menguntungkan (66%)
-Tidak menguntungkan
(34%)

-Menguntungkan (86%)
-Tidak menguntungkan
(14%)

3.

Kesempatan kerja dengan adanya


perkebunan kelapa sawit

4.

Penerimaan masyarakat terhadap


perkebunan kelapa sawit

-Meningkat (78%)
-Tetap (22%)
-Bisa
diterima
dan
berbaur (75%)
-Tidak menerima (25%)

-Meningkat (98%)
-Tetap (2%)
-Bisa
diterima
dan
berbaur (95%)
-Tidak menerima (5%)

5.

Konflik di masyarakat dengan adanya


perkebunan kelapa sawit

-Meningkat (60%)
-Tetap (40%)

-Meningkat (40%)
-Tetap (60%)

6.

Orang yang disegani masyarakat dan


dijadikan panutan dalam
penyelesaian konflik

-Pemuka agama (85%)


-Lurah (11%)
-Tokoh pemuda (4%)

-Pemuka agama (75%)


-Lurah (18%)
-Tokoh pemuda (7%)

Untuk meningkatkan persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap


perkebunan kelapa sawit, pihak pengelola PTPN V telah merintis dan membina
masyarakat melalui Program Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK). Hal ini
mengacu pada Keputusan Menteri Negara BUMN No. 236 Tahun 2003 tentang
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang mewajibkan kepada pengelola
untuk mengalokasikan keuntungan sebesar 2,5% untuk kegiatan sosial bagi

105
masyarakat sekitar perkebunan. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara
lain

merehabilitasi

fasilitas

kesehatan,

pendidikan,

tempat

ibadah

dan

infrastruktur.
4.2. Sifat Fisik dan Degradasi Lahan
Bentuk wilayah lokasi perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian
umumnya datar dengan kemiringan 0-3% dan hanya sebagian kecil saja wilayah
berombak dengan kemiringan 3-5%. Vegetasi yang menutupi permukaan tanah
di seluruh areal perkebunan sangat baik yang dilihat dari jenis tumbuhan di
lapangan yaitu rumput-rumputan alami, pakis resam, lumut-lumutan dan
tumbuhan perdu pendek lainnnya. Di antara dua barisan pohon kelapa sawit,
berselang setiap dua barisan pohon terdapat tumpukan pelepah dahan dan daun
kelapa sawit hasil pangkasan, memanjang sejajar barisan pohon kelapa sawit
yang sengaja ditempatkan oleh petani (gawangan mati). Tumpukan material ini
dapat berfungsi sebagai penyangga atau penghalang hanyutnya tanah oleh
aliran permukaan dan juga sebagai mulsa untuk mencegah gulma, menjaga
suhu tanah dan lain-lain.
Kombinasi dari sifat vegetasi penutupan tanah (coverage), peranan
gawangan mati, topografi wilayah yang datar dan penutupan tanah yang baik
(rapat) oleh tajuk kelapa sawit sendiri yang berumur 15-22 tahun maka
kemungkinan terjadinya erosi tanah oleh hujan dan aliran permukaan sangat
kecil atau bahkan tidak ada. Berdasarkan data yang diperoleh, erosivitas hujan
(R) untuk lokasi perkebunan Sei Pagar diperkirakan sebesar 1.750, dengan
erodibilitas tanah (K) berkisar antara 0,265-0,345 dan nilai faktor penutupan
tanaman dan konservasi tanah (CP) diasumsikan sebesar 0,01. Prediksi erosi
pada ke dua bentuk wilayah di lahan perkebunan tersebut disajikan dalam Tabel
22.
Tabel 22.

Faktor-Faktor Erosi dan Besarnya Erosi Di Kebun Kelapa Sawit


Plasma Sei Pagar, 2007
R

LS

CP

Erosi1
ton/ha/tahun

Datar

1.750

0,265

0,285

0,01

1,322

Berombak

1.750

0,345

0,567

0,01

3,423

Bentuk wilayah

Perhitungan erosi menggunakan Universal Soil Loss Equation (Wischmeier dan Smith, 1978).

Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa besarnya erosi umumnya masih


jauh di bawah erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss, TSL). Nilai

106
TSL untuk tanah di lokasi perkebunan ini sekitar 15 ton/ha/tahun. Sangat
rendahnya tingkat erosi tanah terlihat dari hasil analisa kimia contoh air sungai di
lokasi penelitian dimana kadar lumpur air rendah sekitar 41 83 mg/ltr dengan
warna air tergolong jernih.
Rendahnya tingkat bahaya erosi menyebabkan rendahnya degradasi
lahan, yang tercermin dari sifat-sifat fsika tanah yang mampu menunjang
pertumbuhan kelapa sawit dengan kategori baik (Tabel 23). Berat isi tanah di
lapisan atas berkisar antara 0,3 1,2 gram cm-3 dan lapisan bawah antara 0,3
1,4 gram cm-3. Nilai ini menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian didominasi
oleh tanah gambut yang mempunyai struktur gembur dan baik untuk
perkembangan akar tanaman. Pori aerasi atau pori drainase cepat tanah
tergolong sangat tinggi baik lapisan atas maupun lapisan bawah, kecuali pada
areal tanah mineral dengan berat isi 1,2 - 1,4 gram cm-3. Pori air tersedia juga
tergolong tinggi untuk lapisan atas maupun lapisan bawah. Permeabilitas tanah
lapisan atas termasuk sedang sampai cepat (20,6 41,5% volume) maupun
lapisan bawah (17,6 36,2% volume).
Tabel 23. Sifat-Sifat Fisika Tanah Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar,
2007
Nomor
Contoh

Kedalaman
(cm)

Berat isi

PW-1

0 20
20 -40
0 20
20 40
0 20
20 40
0 20
20 -40

0.7
0.9
1.2
1.4
0.3
0.4
0.3
0.3

PW-2
PW-3
PW-4

(grm/ cm)

Ruang pori
Total

Pori
Air tersedia
aerasi
............ % volume .............

67.9
59.0
47.5
42.8
85.2
75.5
84.2
80.9

21.2
18.1
9.2
8.6
24.4
25.9
32.9
22.5

21.8
17.6
20.6
17.8
41.5
26.0
29.7
36.2

Permeabilitas
(Cm/jam)

8.87
16.31
4.82
6.23
7.98
1.34
14.55
11.37

Berdasarkan interpretasi sifat fisika tersebut dan kondisi visual lapangan,


secara fisik kondisi tanah lokasi penelitian cukup baik untuk kelapa sawit. Hal
yang perlu diperhatikan adalah rendahnya berat isi tanah pada lapisan atas dan
lapisan bawah pada tanah gambut, tingginya porositas, kondisi air permukaan
tanah dan tingkat kesuburan tanah. Hal senada dikemukakan oleh Winarna
(2007) yang menyatakan bahwa tanah gambut mempunyai kejelekan jika
digunakan untuk kelapa sawit yaitu rendahnya berat isi, porositas tinggi, pH

107
sangat masam, ketersediaan unsur hara makro maupun mikro rendah serta
rentan terhadap kekeringan berlebihan yang merusak koloid gambut.
Hal yang menarik di lapangan adalah kondisi kelapa sawit yang
dikhawatirkan sebagian besar akan roboh (miring) berkaitan dengan rendahnya
berat isi gambut, ternyata hanya sedikit tanaman yang miring dan sebagian
besar tegak lurus. Kondisi ini dimungkinkan oleh adanya pengkayaan fraksi liat
oleh Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan karena lokasi penelitian
terletak di daerah aliran sungai dari kedua sungai tersebut. Pada waktu musim
penghujan, air sungai tersebut banjir dan mengendapkan lumpur di sepanjang
areal bantaran sungai termasuk lokasi penelitian. Dampak lainnya dari
mekanisme ini adalah kondisi (struktur) gambut menjadi lebih padat sehingga
penurunan permukaan tanah (subsidence) juga rendah. Pengamatan terhadap
perakaran tanaman keras (rambutan, palem, mangga) yang tumbuh di
pekarangan dan juga pondasi rumah transmigran menunjukkan adanya
penurunan permukaan tanah sekitar 15 cm -20 cm (relatif rendah) dalam kurun
waktu 17 tahun. Angka ini masih jauh dibawah standar kondisi kritis
pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian yaitu tingkat subsidence
melebihi 35 Cm dalam waktu 5 tahun (Winarna, 2007).
4.3. Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit
Kesesuaian lahan diperoleh dengan menumpang tindihkan (overlay) peta
land unit, peta rupabumi, peta vegetasi, peta zonasi iklim dan peta topografi.
Peta land unit diperoleh dengan menginterpretasi sifat-sifat fisika dan kimia
tanah sebagai salah satu komponen yang dipertimbangkan dalam penyusunan
tingkat atau kelas kesesuaian lahan (Tabel 24, Lampiran 13). Secara garis
besar, bahan induk tanah dilokasi penelitian ada 2 jenis yaitu bahan endapan
(aluvium) oleh aktivitas sungai besar (Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar
Kanan) dan bahan organik busukan dari kayu-kayu hutan dalam kondisi
anaerob. Pada fisiografi (bentuk wilayah) yang relatif datar, kedua bahan induk
ini membentuk tanah dengan sifat-sifat berbeda.
Bahan induk aluvium membentuk tanah Inceptisols, dimana pada daerah
peralihan dengan gambut mendapat pengkayaan bahan organik membentuk
tanah Humic Dystrudepts dengan kedalaman efektif dalam, drainase sedang,
kadar bahan organik tinggi, reaksi tanah masam, KTK rendah sehingga retensi
hara tinggi dan ketersediaan hara rendah. Bahan induk aluvium pada daerah

108
berjauhan dengan gambut, tidak mendapat pengkayaan bahan organik
membentuk tanah Typic Dystrudepts dengan kedalaman efektif dalam, kadar
bahan organik rendah, drainase sedang, reaksi masam, KTK rendah sehingga
retensi unsur hara tinggi dan ketersediaan hara rendah.
Tabel 24. Klasifikasi dan Karakteristik Tanah Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei
Pagar, 2007
Bahan
induk
Aluvium

Bentuk
wilayah

Klasifikasi tanah

Karateristik tanah

Datar
agak
berombak

Humic Dystrudepts

Dalam, drainase sedang,


masam, tekstur sedang, bahan
organik tinggi, retensi hara
tinggi, ketersediaan hara rendah
Dalam, drainase sedang,
masam, tekstur sedang, bahan
organik rendah, retensi hara
tinggi, ketersediaan hara rendah
Dalam, drainase agak
terhambat, saprik, masamsangat masam, retensi hara
tinggi
Agak dalam, drainase agak
terhambat, saprik, masamsangat masam, retensi hara
tinggi.

Typic Dystrudepts

Bahan
organik

Datar - agak
cekung
(kubah)

Typic Haplosaprists

Terric Haplosaprists

Bahan induk bahan organik membentuk 2 jenis tanah gambut yaitu Typic
Halosaprists dengan kedalaman efektif dalam, drainase agak terhambat (daerah
cekungan), kematangan gambut sudah lanjut (saprik), reaksi tanah masamsangat masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi tetapi
ketersediaan hara rendah. Tanah gambut yang lainnya yaitu Terric Haplosaprist
dengan kedalaman efektif agak dalam, drainase agak terhambat (daerah
cekungan), kematangan gambut lanjut (saprik), reaksi tanah masam-sangat
masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi tetapi ketersediaan hara
rendah. Kesesuaian lahan diperoleh dengan mengkombinasikan karakteristik
tanah ini dengan prasyarat pertumbuhan kelapa sawit berdasarkan metode
Hardjowigeno et al. (1999) dan Djaenudin et al. (2003)(Tabel 25, Lampiran 14).
Seluruh areal kebun termasuk kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai).
Sebagian besar (75%) termasuk tanah gambut jenis Typic Troposaprists dan
Terric Troposaprists tergolong kelas kesesuaian S2-f (cukup sesuai dengan
penghambat retensi unsur hara tinggi) karena pH tanah rendah. Kondisi ini

109
mungkin ditopang oleh sifat fisik tanah relatif baik untuk pertanian karena adanya
pengkayaan liat dan unsur hara dari endapan Sungai Kampar Kiri dan Sungai
Kampar Kanan. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa rata-rata
produksi kelapa sawit pada lahan ini sebesar 23,04 ton TBS/ha/tahun. Pada
kondisi seperti di lokasi penelitian, factor kedalaman gambut untuk kesesuaian
lahan kelas S2 bagi kelapa sawit tidak hanya 60-140 cm tetapi lebih dalam lagi
yaitu 140-200 cm (Ritung et al, 2007).
Tabel 25. Land Unit, Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit, Karakteristik dan
Sebarannya Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007
Land Unit

Kesesuaian

D.2.1.2

S2-f

Pq.2.1

S2-f

Pfq.1.1

S2-n,f

Pfq.2.1

S2-f

Au.1.3

S2-n,f

Karakteristik
Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena
pH dan KTK rendah (Typic Haplosaprists)
Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena
pH dan KTK rendah (Terric Haplosaprists)
Cukup sesuai dengan pembatas ketersediaan unsur hara
dan retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Humic
Dystrudepts)
Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena
pH dan KTK rendah (Humic Dystrudepts)
Cukup sesuai dengan pembatas ketersediaan unsur hara
dan retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Terric
Haplosaprists)
Jumlah (hektar)

Sebaran
(ha)
7750
203
384

996
891

10231

Produktivitas lahan seperti ini cukup baik untuk penggunaan perkebunan


kelapa sawit seperti dilaporkan oleh Juwanto (2007) bahwa pada penggunaan
tanah gambut untuk kebun kelapa sawit, produktivitasnya dipengaruhi oleh
kedalaman air tanah dan kematangan gambut. Peneliti lain melaporkan bahwa
produktivitas kelapa sawit pada lahan gambut Hemic Troposaprist agak dalam
dan dalam dipengaruhi oleh lingkar batang dan produksi aktual TBS (Koedadiri
et al., 2007). Winarna (2007) melaporkan bahwa tanah gambut saprik seperti di
lokasi penelitian paling potensial untuk digunakan sebagai kebun kelapa sawit
dengan produktivitas rata-rata 25,45 ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan
gambut hemik dan fibrik dengan produktivitas masing-masing 23,20 dan 20,80
ton TBS/ha/tahun.
Sekitar 25% termasuk kelas kesesuaian S2-f,n (cukup sesuai dengan
faktor penghambat retensi hara tinggi dan ketersediaan hara rendah) berkaitan
dengan pH dan KTK tanah rendah. Jenis tanah dengan kesesuaian ini adalah
Humic Dystrudepts dan Typic Dystrudepts. Kondisi ini disebabkan oleh sifat
bahan induk tanah berupa endapan batuan masam dan miskin unsur hara.

110
Namun demikian, produktivitas tanah ini cukup baik untuk digunakan sebagai
perkebunan kelapa sawit. Pahan (2005) menyatakan bahwa tanah mineral
masam seperti di lokasi penelitian dengan tingkat kesesuaian sesuai (S2)
mempunyai kisaran produktivitas luas

yaitu 19-24 ton TBS/ha/tahun. Hasil

wawancara dengan petani menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas kelapa


sawit di lokasi penelitian pada tingkat kesesuaian lahan S2-f,n sebesar 22,0 ton
TBS/ha/tahun.
4.4. Model Fungsi Produksi Kelapa Sawit
Model fungsi produksi kelapa sawit dalam bentuk tandan buah segar
(TBS) di lokasi penelitian diestimasi dengan Model Penyesuaian Parsial yang
dikembangkan oleh Nerlove (Nerloves Partial Adjustment Model) mengingat
respon petani terhadap rangsangan kenaikan harga memerlukan waktu antara
waktu adanya kenaikan harga dengan perubahan perilaku petani dalam
mengelola kebun sawitnya antara lain menambah luas tanam. Beda waktu
respon antara waktu kenaikan harga dengan perubahan perilaku ini disebut
beda kala (time lag). Untuk kondisi seperti ini, fungsi produksi Nerlove sudah
banyak digunakan dalam mengestimasi perubahan perilaku petani. Dalam
penelitian ini digunakan metode pendekatan tidak langsung (indirect method)
melalui langkah estimasi fungsi/persamaan luas areal tanam kelapa sawit dan
fungsi/persamaan produktivitas lahan kelapa sawit. Setelah estimasi-estimasi ini
dilakukan, maka produksi dapat diestimasi sebagai hasil kali hasil estimasi luas
areal tanam dengan hasil kali produktivitas lahan kelapa sawit plasma. Hal ini
dinyatakan dalam bentuk respon produksi.
4.4.1. Fungsi Luas Areal Tanam Kelapa Sawit
Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal tanam menunjukkan
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9997 yang menunjukkan bahwa keragaman
luas areal dapat dijelaskan oleh keragaman peubah-peubah penjelas sebesar
99,97%. Nilai F-hitung sebesar 8452.18, nyata pada taraf 1% mengindikasikan
bahwa peubah-peubah penjelas dalam model yang dikembangkan bisa
menjelaskan luas areal tanam secara baik (Tabel 26, Lampiran 15).
Tanda parameter dugaan harga TBS (HGBS) dan peubah beda kala
(LAGHGTBS) sesuai harapan yaitu bertanda positif, dengan besaran koefisien
regresi masing-masing 0,06 dan 0,23 serta berpengaruh nyata pada taraf nyata
5% dan 15%. Parameter dugaan lain yang sesuai harapan dan berpengaruh

111
positif adalah kebijakan pemerintah (DUMMY) dan teknologi pengelolaan kebun
kelapa sawit (TREND).
Tabel 26. Estimasi Luas Areal Tanam Kebun Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar,
2007
Ordinary Least Squares Estimates
Variabel endogen = LPS (luas areal tanam kelapa sawit)
Source
Model
Error
Corrected Total
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var

DF
7
16
23

Analysis of Variance
Sum of Squares Mean Square
0.115189
0.016456
0.000031
1.947E-6
0.115220

0.00140
8.82163
0.01582

Parameter
Variable DF Estimate
Intercept 1
6.615153
hgtbs
1
0.062739
hgkrt
1 -0.00173
uptk
1 -0.00495
dummy
1
0.007010
trend
1
0.007964
laglps
1
0.229191

R-Square
Adj R-Sq

F Value
8452.18

Pr > F
<.0001

0.99973
0.99961

Parameter Estimates
Standard
t Value Pr > |t| Variable Label
Error
1.266779
5.22
<.0001 Intercept
0.024520
2.56
0.0210 harga riil TBS
0.001631
-1.06
0.3058 harga riil karet
0.005951
-0.83
0.4174 upah tenaga kerja riil
0.001734
4.04
0.0009 kebijakan pemerintah
0.001686
4.72
0.0002
teknologi
0.148867
1.54
0.1432 lag luas tanam sawit

Parameter kebijakan pemerintah mempunyai koefisien regresi sebesar


0,007 dan nyata pada taraf uji 1%. Kebijakan pemerintah, terutama pemerintah
daerah umumnya menyangkut aspek kelembagaan, pembinaan teknis dan
penentuan harga TBS mempengaruhi sikap petani dalam mengambil keputusan
meningkatkan luas tanam. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah berkaitan
dengan kemudahan akses modal kerja, pengadaan sarana produksi (input,
terutama pupuk dan pestisida), inovasi teknologi dan pemasaran TBS. Jika
kebijakan pemerintah mendukung dalam pengelolaan kebun maka petani akan
meningkatkan luas lahan dan sebaliknya. Teknologi pengelolaan baik pada
aspek produksi TBS maupun pengolahan TBS mempunyai koefisien regresi
positif sebesar 0,008 dan berpengaruh nyata pada taraf uji 1%. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa petani meningkatkan luas areal sebagai akibat
kemajuan teknologi. Suatu contoh di lapangan adalah dengan ditemukannya
pemanfaatan sisa panen dan hasil sampingan pabrik kelapa sawit sebagai
pupuk organik menunjukkan respon petani yang nyata dalam meningkatkan luas
tanam karena faktor kelangkaan pupuk bisa diatasi.

112
Parameter dugaan upah tenaga kerja (UPTK) tidak berpengaruh nyata
pada taraf uji 20%. Kondisi ini mungkin berkaitan dengan kemampuan petani
dalam membayar upah tenaga kerja yang semakin baik dalam artian kenaikan
upah tenaga kerja di lapangan seimbang dengan kenaikan kemampuan petani
dalam membayar upah akibat meningkatnya pendapatan yang dari usahatani
kelapa sawit. Lebih jauh, peningkatan kemampuan petani dalam membayar
upah tenaga kerja didukung oleh tingkat produktivitas lahan yang relatif baik.
Parameter dugaan harga karet (HGKRT) juga berpengaruh tidak nyata pada
taraf uji 20%. Harga hasil komoditas karet sebagai pesaing di lokasi penelitian,
tidak mempengaruhi minat petani dalam meningkatkan atau menurunkan luas
areal kelapa sawit.
Dengan mengambil asumsi bahwa di Indonesia komoditas karet
merupakan pesaing utama, keragaman areal tanam kelapa sawit di Indonesia
memperlihatkan kecendrungan yang sama dengan hasil penelitian ini (Susila et
al.,1995). Dalam penelitian Susila et al. tersebut diperoleh pengetahuan bahwa
keragaman areal tanaman kelapa sawit menghasilkan dapat dijelaskan oleh
variabel akumulasi harga CPO satu sampai 3 periode sebelumnya, nilai tukar US
$ terhadap rupiah dan harga karet. Munculnya akumulasi harga CPO pada
estimasi tersebut menggambarkan adanya usaha untuk mengakumulasikan
informasi sebelum melakukan investasi pada komoditas kelapa sawit. Senada
dengan hasil penelitian tersebut, Saharun (2001) melaporkan bahwa perilaku
petani kakao perkebunan rakyat dalam menentukan areal tanamnya dipengaruhi
oleh peubah harga kakao, peubah dummy penyuluhan dan lag areal tanam satu
tahun.
4.4.2. Fungsi Produktivitas Lahan Kelapa Sawit
Parameter
menunjukkan

dugaan

persamaan

produktivitas

lahan

kelapa

sawit

koefisien determinasi sebesar 0,9859 yang berarti bahwa

keragaman produktivitas kelapa sawit dapat dijelaskan oleh peubah-peubah


penjelas sebesar 98,59%. Sementara itu, nilai F-hitung diperoleh sebesar 159,55
nyata pada taraf uji 1% yang menunjukkan peubah-peubah penjelas bisa
menjelaskan keragaman produktivitas kebun kelapa sawit plasma di lokasi
penelitian secara signifikan. Tanda dugaan parameter (koefisien regresi) peubah
penjelas harga TBS (HGTBS), harga pupuk Urea (HGPU), harga pupuk SP-36
(HGPS), harga pupuk KCl (HGPK), harga pupuk majemuk (HGPM) dan lag

113
produktivitas (LAGPS) sesuai harapan. Tanda parameter HGTBS dan LAGPS
positif, tanda parameter HGPU, HGPS, HGPK dan HGPM negatif (Tabel 27,
Lampiran 15).
Harga pupuk SP-36 dan KCl berpengaruh nyata terhadap produktivitas
kelapa sawit masing-masing dengan taraf nyata () 20% dan 15%. Batang,
tandan buah, tangkai daun dan daun kelapa sawit, seperti halnya tanaman
kelapa biasa termasuk tanaman berserat. Tanaman dalam kelompok ini
umumnya mempunyai sifat memerlukan unsur fosfat dan kalium lebih banyak
dari nitrogen. Analisis kimia tandan buah kosong menunjukkan kadar fosfat dan
kalium melebihi unsur lainnya masing-masing sebesar 0,4% dan 0,91% (Pahan,
2006). Kedua unsur tersebut sangat berperan dalam penyusunan sel daun agar
fotosintesa berjalan baik dan berujung pada meningkatnya produktivitas
tanaman. Oleh karena itu, dalam menyusun rekomendasi pemupukan kebutuhan
unsur hara kelapa sawit, pupuk SP-36 dan KCl selalu melebihi kebutuhan pupuk
Urea/ZA sebagai sumber nitrogen dengan kisaran 125 200% (Pahan, 2006;
Risza, 2008).
Memperhatikan peranan pupuk SP-36 dan KCl dalam peningkatan
produksi TBS mengindikasikan perlunya campur tangan pemerintah dalam
mensubsidi harga pupuk agar terjangkau oleh petani. Namun demikian,
kebijakan pemerintah dalam subsidi harga pupuk saat ini berlawanan dengan
kebutuhan jenis dan dosis pupuk untuk kelapa sawit yang hanya mensubsidi
harga pupuk Urea saja sedangkan pupuk SP-36 dan KCl tidak disubsidi. Hal ini
disebabkan oleh implementasi kebijakan subsidi harga pupuk masih mengikuti
kebijakan yang diterapkan untuk tanaman pangan yang secara umum
menunjukkan kebutuhan pupuk nitrogen melebihi kebutuhan pupuk lainnya.
Implementasi

kebijakan

subsidi

harga

pupuk

tersebut

menyebabkan

ketimpangan harga pupuk Urea dengan harga pupuk SP-36 dan KCl. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa harga pupuk Urea sekitar Rp. 1500 Rp.
2050/kg, harga pupuk SP-36 Rp. 4000 Rp. 5000/kg dan harga pupuk KCl Rp.
10 000 Rp. 11 000/kg.
Ketimpangan harga pupuk tersebut mempengaruhi perilaku petani
plasma dalam memupuk kalapa sawit. Petani umumnya memupuk dengan
pupuk Urea sesuai anjuran, tetapi pupuk SP-36 dan KCl masih di bawah
anjuran. Ada peluang pemanfaatan sisa tanaman terutama tandan buah kosong
sebagai sumber pupuk P dan K alternatif, tetapi sumbangan unsur fosfat dan

114
kaliumnya masih jauh di bawah kebutuhan tanaman. Secara ekonomi, kebijakan
pemerintah dalam peningkatan subsidi harga pupuk berdampak terhadap
penurunan produktivitas kelapa sawit yang berujung pada menurunnya produksi
TBS. Hal ini seperti dilaporkan oleh Sinuraya (2000) yang melakukan penelitian
terhadap tanaman karet dimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
harga pupuk berdampak terhadap penurunan produktivitas dan produksi karet
secara nyata di Provinsi Sumatera Utara.
Tabel 27. Estimasi Produktivitas Kebun Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar, 2007
Ordinary Least Squares Estimates
Variabel endogen = PS (produktivitas kelapa sawit)
Source
Model
Error
Corrected Total

DF
7
16
23

Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var

Analysis of Variance
Sum of Squares Mean Square F Value
4.963782
0.709112
159.55
0.071110
0.004444
5.034893

0.06667
3.21462
2.07385

R-Square
Adj R-Sq

Pr > F
<.0001

0.98588
0.97970

Parameter Estimates
Variable

Intercept
hgtbs
hgpu
hgps
hgpk
hgpm
lagps

DF

1
1
1
1
1
1
1

Parameter
Estimate

Standard
Error

5.983876
0.366164
-0.08045
-0.11648
-0.17139
-0.36419
0.823456

2.40279 2.49 0.0241


1.12427 0.33 0.7489
0.37261 -0.22 0.8318
0.08201 -1.42 0.1747
0.10152 -1.69 0.1108
0.36843 -0.99 0.3376
0.10892 7.56 <.0001

Mengingat
perekonomian

pentingnya

Indonesia,

t Value Pr < |t| Label Variable

peranan

sangat

layak

Intercept
harga riil TBS
harga riil pupuk urea
harga riil pupuk SP36
harga riil pupuk KCL
harga riil pupuk majemuk
lag produktivitas kelapa sawit

komoditas
pemerintah

kelapa

sawit

bagi

mempertimbangkan

kebijakan subsidi harga pupuk untuk kelapa sawit terutama untuk pupuk KCl.
Kebijakan harga untuk subsidi pupuk Urea kurang tepat diterapkan pada kelapa
sawit karena dua hal yaitu pertama faktor harga pupuk Urea yang murah
sehingga petani masih bisa membeli pupuk urea tanpa harga subsidi. Kedua
berkaitan dengan jumlah unsur yang dibutuhkan dimana kelapa sawit
memerlukan kalium lebih banyak dibandingkan dengan Urea.
Lag produktivitas kelapa sawit tahun lalu mempunyai nilai sebesar 0,82
berpengaruh nyata terhadap produktivitas kebun kelapa sawit plasma pada taraf
nyata 1%. Hal ini dimungkinkan oleh perilaku petani dalam merespon insentif
harga produksi kelapa sawit. Peningkatan harga produksi meningkatkan

115
pendapatan petani yang mengalokasikan pendapatannya untuk perawatan
kebun agar produktivitasnya meningkat. Respon perlakuan pemupukan kelapa
sawit memerlukan waktu yang lama sekitar 2 tahun terhitung sejak pemupukan
dilakukan (Adiwiganda, 2002). Dengan demikian, produktivitas kebun 1 tahun
sebelumnya berkontribusi nyata terhadap pruduktivitas saat ini.
Parameter dugaan harga TBS tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas pada taraf nyata 20%. Hal ini dimungkinkan oleh lambatnya
perubahan harga TBS yang terjadi sehingga memerlukan waktu relatif lama
untuk penyesuaian terhadap perubahan perilaku petani dalam mengelola kelapa
sawit. Parameter dugaan harga pupuk Urea mempunyai nilai sebesar -0,08 tidak
berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20%. Hal
ini berkaitan dengan sifat tanaman kelapa sawit yang termasuk tanaman
tahunan tidak memerlukan nitrogen terlalu banyak untuk pertumbuhan dan
produksi TBS. Parameter dugaan harga pupuk majemuk memperlihatkan
perilaku yang sama dengan harga pupuk Urea. Parameter harga pupuk
majemuk mempunyai nilai sebesar -0,36, tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20%. Hal ini disebabkan oleh sifat pupuk
majemuk sebagai substitusi pupuk lainnya (pupuk Urea, SP-36 dan KCl).
4.4.3. Respon Produksi Kelapa Sawit
Respon produksi kelapa sawit dihitung berdasarkan elastisitas areal
tanam dan produktivitas terhadap peubah harga TBS, upah tenaga kerja, harga
pupuk Urea, harga pupuk SP-36, harga pupuk KCl dan harga pupuk majemuk
(Tabel 28). Produksi TBS kelapa sawit lebih respon dalam jangka panjang
dibandingkan dengan jangka pendek yang tercermin dari elastisitas jangka
panjang lebih tinggi dari elastisitas jangka pendek pada semua peubah yang
diteliti.
Jika dilihat lebih rinci terlihat bahwa jika terjadi peningkatan harga TBS
sebesar 1% diikuti oleh peningkatan produksi kelapa sawit plasma sebesar
0,92% dalam jangka pendek dan sebesar 3,88% dalam jangka panjang. Respon
TBS terhadap luas areal tanam kelapa sawit baru kelihatan dalam jangka
panjang karena insentif harga TBS memerlukan waktu lama dalam merubah
perilaku petani dalam meningkatkan luas tanam. Hal ini masuk akal karena
kelapa sawit termasuk komoditas tanaman tahunan dimana perubahan perilaku
petani memerlukan waktu yang lama dalam memutuskan apakah mereka
mengelola kebun lebih baik atau tetap saja seperti tahun sebelumnya.

116
Peningkatan upah tenaga kerja dan harga karet tidak mempengaruhi perilaku
petani dalam meningkatkan produksi tandan buah segar kelapa sawit plasma.
Tabel 28. Elastisitas Luas Areal Tanam dan Produktivitas Lahan Kelapa Sawit
Plasma Jangka Pendek dan Jangka Panjang Di Sei Pagar, 2007
Peubah
Harga TBS
Upah Tenaga Kerja
Harga Karet
Harga Pupuk Urea
Harga Pupuk SP-36
Harga Pupuk KCl
Harga Pupuk Majemuk

Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang

Areal
0,297
0,385
- 0,008
- 0,014
- 0,003
- 0,004
-

Elastisitas
Produktivitas
0,618
3,492
- 0,104
- 0,588
- 0,132
- 0,748
- 0,196
- 1,109
- 0,126
- 0,719

Produksi
0,915
3,877
- 0,008
- 0,014
- 0,003
- 0,004
- 0,104
- 0,588
- 0,132
- 0,748
- 0,196
- 1,109
- 0,126
- 0,719

Produksi kelapa sawit tidak respon terhadap peubah harga pupuk Urea
dan pupuk majemuk dimana jika terjadi peningkatan harga pupuk Urea dan
pupuk majemuk produktivitas kelapa sawit tidak menurun secara nyata. Pada
kasus pupuk Urea, hal ini berkaitan dengan sifat genetik kelapa sawit yang tidak
memerlukan nitrogen dalam jumlah banyak dibandingkan dengan keperluan
fosfat dan kalium. Peningkatan harga pupuk Urea menyebabkan petani
mengurangi penggunaan pupuk Urea tetapi masih dalam dosis yang dibutuhkan
tanaman. Pupuk majemuk sifatnya sebagai substitusi dari pupuk Urea, SP-36
dan KCl karena kandungan unsur hara pupuk majemuk sama dengan pupuk
Urea, SP-36 dan KCl yaitu sebagai sumber unsur hara nitrogen, fosfat dan
kalium. Jika harga pupuk majemuk meningkat maka petani mengalihkan
dananya untuk pembelian pupuk Urea, SP-36 dan KCl.
Produksi kelapa sawit menunjukkan respon terhadap harga pupuk SP-36
dan pupuk KCl. Peningkatan harga pupuk SP-36 sebesar 1% akan menurunkan
produktivitas sebesar 0,13% dalam jangka pendek dan 0,75% dalam jangka
panjang. Demikian juga jika harga pupuk KCl meningkat sebesar 1% akan
berakibat menurunnya produktivitas kelapa sawit sebesar 0,20% dalam jangka
pendek dan sebesar 1,11% dalam jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan sifat

117
kelapa sawit yang memerlukan unsur fosfat yang terkandung dalam pupuk SP36 dan kalium dalam pupuk KCl lebih banyak dibandingkan dengan keperluan
nitrogen.
Dari kondisi tersebut kuat mengindikasikan diperlukannya kebijakan
subsidi harga pupuk terutama untuk pupuk KCl agar produksi kelapa sawit tetap
tinggi dan lestari. Pupuk SP-36 masih bisa disubstitusi dengan pupuk P-Alam
yang harganya lebih murah dari SP-36 tetapi efektivitasnya pada lahan kering
masam maupun lahan masam seperti lahan gambut tidak kalah dibandingkan
dengan pupuk SP-36. Sementara pupuk KCl tidak bisa disubstitusi oleh pupuk
lainnya sehingga diperlukan campur tangan pemerintah berupa subsidi harga
agar terjangkau oleh petani. Dengan kemajuan teknologi, sisa panen dan limbah
pabrik kelapa sawit bisa dijadikan sumber pupuk kalium tetapi belum mampu
memenuhi kebutuhan tanaman sehingga masih perlu masukkan dari luar sistem
tanah-tanaman.
Hasil penelitian perilaku petani kelapa sawit ini mirip dengan hasil
penelitian Bafadal (2000) pada tanaman kakao dimana produktivitas kakao tidak
respon terhadap harga kakao tetapi respon terhadap pupuk, sedangkan luas
areal tanam respon terhadap harga kakao. Yang lebih menarik adalah nilai
elastisitas jangka panjang lebih besar dari nilai elastisitas jangka pendek pada
semua peubah penjelas yang diteliti. Peneliti lain melaporkan bahwa perilaku
penawaran produksi kelapa sawit swasta nasional dipengaruhi oleh variabel
harga kelapa sawit (TBS), upah tenaga kerja dan perubahan teknologi,
sedangkan harga karet alam pengaruhnya sangat kecil (Sukiyono, 1995).
Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa pemberian pupuk dari luar
sistem tanah-tanaman menjadi kunci dari peningkatan produktivitas kelapa
sawit. Hal ini disebabkan oleh perilaku dari kelapa sawit yang termasuk tanaman
menyerap unsur hara dalam jumlah banyak untuk memproduksi hasil yang
tinggi. Sebagai gambaran, dalam 1 ton TBS setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg
TSP, 7,3 kg KCL dan 4,9 kg Kiserit (Moody et al., 2003). Bagian vegetatif
tanaman (batang, daun, akar) juga memerlukan unsur hara yang banyak setara
dengan keperluan bagian tanaman generatif (TBS) tersebut. Secara kuantitatif,
biaya pemupukan pada kelapa sawit tergolong tinggi yaitu sebesar 30% dari
total biaya produksi atau sebesar 60% dari total biaya pemeliharaan
(Poeloengan et al, 2005). Faktor lainnya adalah kondisi lahan perkebunan
kelapa sawit hampir semuanya berupa lahan miskin unsur hara yakni lahan

118
kering masam ataupun lahan gambut. Dalam kondisi seperti ini, untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi, konsep pemupukan 5T (lima tepat) yaitu
tepat jenis pupuk, dosis pupuk, waktu pemberian pupuk, cara pemberian pupuk
dan frekuensi pemberian pupuk) masih menjadi acuan dalam aplikasi
pemupukan (Koedadiri et al., 2005).
4.5. Analisis Kelembagaan
Analisis kelembagaan dalam pengelolaan kebun plasma kelapa sawit
berkelanjutan diestimasi dengan model Analytical Hierarchy Process (AHP).
Peranan dan keterkaitan lembaga dalam pengelolaan kebun kelapa sawit
plasma berkelanjutan menjadi fokus analisis. Terdapat 5 faktor yang menjadi
pertimbangan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu sumberdaya alam (SDA),
sumberdaya manusia (SDM), kearifan lokal, modal kerja dan kebijakan
pemerintah. Teridentifikasi 6 aktor yang berperan yaitu kelompok tani
(POKTAN), pemerintah daerah (PEMDA), Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), Perusahaan Inti, lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan non
formal. Terumuskan 5 tujuan yang ingin dicapai yaitu peningkatan pendapatan
petani, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kelestarian sumberdaya
alam, keharmonisan kearifan lokal dan penciptaan lapangan kerja. Pada hirarki
terakhir yang berupa alternatif pengelolaan, terdapat 3 alternatif sebagai solusi
untuk mencapai tujuan yaitu pengelolaan oleh perusahaan inti dalam hal ini
PTPN V, pengelolaan kerjasama antara perusahaan inti dengan masyarakat
(petani plasma) dan pengelolaan oleh masyarakat dengan memperkuat
kelompoktani melalui pembentukan gabungan kelompoktani (GAPOKTAN).
Penilaian dari setiap level hirarki dilakukan melalui Focus Group
Discussion (FGD) dari 14 orang pakar perkebunan yang terdiri dari staf PT
Perkebunan Nusantara V di Sei Pagar, staf PT. Perkebunan V Pekanbaru,
Pemerintah Daerah melalui Dinas Terkait (Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Badan
Pertanahan

Nasional

Tingkat

Kabupaten

Kampar

dan

Dinas

Koperasi

Kabupaten Kampar) serta LSM sebagai pewakil dari organisasi masyarakat


lokal. Pelaksanaan FGD mengikuti prosedur standar pelaksanaan FGD, dimulai
dari

penentuan

partisipan

untuk

memperoleh

partisipan

yang

memiliki

pemahaman sama terhadap model yang dibangun, pengantar pelaksanaan,


pelaksanaan dan pemantauan interaksi partisipan. Hasil analisis Program

119
Criterium Decision Plus (CDP) terhadap hirarki yang sudah ditetapkan disajikan
pada Gambar 14.

Peran dan keterkaitan lembaga dalam pengelolaan kebun


kelapa sawit plasma berkelanjutan
(1,000)

Fokus

Sumberdaya alam

Faktor
(0,380)

Aktor

Kelompok
tani

(0,268)

Tujuan

Meningkatkan
pendapatan
petani
(0,303)

Alternatif
Pengelolaan

Sumber
daya
manusia
(0,227)

Pemda

LSM

(0,267)

(0,194)

Meningkat
kan PAD
(0,291)

Kearifan
Lokal

Modal
kerja

Kebijakan
pemerintah

(0.101)

(0,144)

(0,147)

INTI

(0,147)

Kelestari
an SDA
(
0,108)

Lbg. keuangan formal


(0,082)

Lbg. keuangan non


formal
(0,043)

Keharmoni
san kearifan
lokal

Menciptakan lapangan kerja

(0,100)

(0,198)

Perusahaan
INTI

Kerjasama
INTI-Masyarakat

Masyarakat dgn
penguatan
GAPOKTAN

(0,128)

(0,359)

(0,513)

Gambar 14. Alternatif Pengelolaan, Tujuan dan Kontribusi Faktor dan Aktor
Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar.
Analisis yang lebih rinci pada level faktor, menunjukkan bahwa
sumberdaya alam (SDA) memegang peranan yang paling dominan untuk
mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dengan
kontribusi sebesar 38%, diikuti oleh sumberdaya manusia (SDM) dengan
kontribusi sebesar 23%, bobot modal kerja dan kebijakan pemerintah hampir
sama masing-masing sekitar 14%. Faktor kearifan lokal menunjukkan nilai bobot
terendah sebesar 10%. (Gambar 15).

120

Gambar 15. Kontribusi Faktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar.
Hasil

ini

mengindikasikan

bahwa

produktivitas

dan

kelestarian

sumberdaya alam harus menjadi pertimbangan utama untuk mencapai kondisi


kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan. Berkaitan dengan produktivitas dan
kelestarian sumberdaya alam, pemerintah merumuskan paket kebijakan
peningkatan produktivitas dan mutu hasil . Salah satu komponen dari paket
tersebut adalah pengembangan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi
wilayah, budaya dan sosial ekonomi masyarakat serta keamanan lingkungan
untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam (Ditjenbun, 2006b).

Kondisi

tersebut memang masuk akal karena sifat kelapa sawit mampu memproduksi
TBS dalam jumlah yang banyak tetapi juga memerlukan unsur hara yang
banyak. Sementara itu, lokasi pengembangan kelapa sawit di Indonesia
sebagian besar pada tanah-tanah lahan marginal yaitu pada tanah kering
masam sekitar 66% dan sisanya tanah gambut dengan potensi termasuk
kategori kesesuaian lahan kelas S2 (cukup sesuai) atau S3 (sesuai terbatas)
(Koedadiri et al., 2005).
Memperhatikan sifat tanaman kelapa sawit tersebut maka teknologi
pengelolaan lahan terutama teknologi pemupukan menjadi penting dalam rangka

121
memelihara kelestarian sumber daya alam. Ini disebabkan oleh ketidak
seimbangan penyediaan unsur hara oleh tanah dengan yang diperlukan oleh
tanaman. Kemampuan tanah menyediakan unsur hara jauh di bawah kebutuhan
tanaman, maka pemberian unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman berupa
pemupukan menjadi vital. Dalam paket pemeliharaan tanaman, alokasi dana
pemeliharaan untuk pupuk menempati tempat tertinggi yaitu sebesar 60% dari
kebutuhan dana pemeliharaan total (Adiwiganda, 2002). Dengan ketersediaan
unsur hara di dalam lebih kecil dari yang diperlukan maka terjadi ketidak
seimbangan antara unsur hara yang diserap dengan yang tersedia sehingga
terjadi pengurasan hara. Ketidak seimbangan ini menyebabkan penurunan
kualitas tanah (degradasi tanah secara kimia) yang secara langsung
menurunkan kelas kesesuaian lahan.
Sumberdaya manusia menempati urutan kedua diikuti oleh kebijakan
pemerintah. Hal ini juga masuk akal karena dalam era globalisasi, manusia
(penduduk) memegang peranan penting dalam aplikasi pengelolaan perkebunan
kelapa

sawit.

Keberhasilan

inovasi

dan

adopsi

teknologi

pengelolaan

perkebunan yang terus berkembang melalui arus perubahan informasi teknologi.


Sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai
akan merespon dengan cepat inovasi teknologi yang berujung pada peningkatan
produktivitas tanaman dan kualitas produksi. Hal ini senada dengan sasaran
pembangunan Daerah Provinsi Riau melalui Lima Pilar Utama dimana Pilar
Kedua adalah pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia (Syahza,
2008).
Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia sangat relevan
dengan pengembangan kelapa sawit yang merupakan komoditas global dengan
sasaran konsumen lebih banyak di pasar internasional. Pada level pasar
internasional maka kualitas barang yang dipasarkan (dalam hal ini CPO)
memegang peranan penting agar memperoleh harga tinggi sehingga aspek
ekonomi dari kondisi berkelanjutan bisa dicapai. Kualitas CPO yang tinggi tidak
lepas dari kemampuan sumberdaya manusia dalam mengaplikasi teknologi
pengelolaan tanaman selama proses produksi TBS disertai prosesing pasca
panennya. Di lain pihak, kebijakan pemerintah yang mendukung penerapan
teknologi pengelolaan tanaman dan pengolahan TBS yang tepat serta mata
rantai pemasaran CPO yang efisien sangat membantu dalam mencapai kondisi
berkelanjutan.

122
Rendahnya kontribusi modal kerja menjadi menarik karena kenyataannya
pengembangan kelapa sawit membutuhkan modal yang besar berkaitan dengan
skala usaha

ekonomi yang dicapai pada areal tanam yang luas. Hal ini

disebabkan oleh akses petani untuk memperoleh modal kerja sudah dijamin oleh
lembaga keuangan formal seperti bank pemerintah ataupun bank swasta
nasional. Masalahnya adalah penyaluran modal kerja tersebut harus didukung
oleh kebijakan pemerintah agar tercapai kondisi yang efisien dalam penyaluran
modal kerja dan memberikan manfaat semaksimal mungkin. Tingginya kontribusi
pendanaan dari lembaga keuangan merupakan salah satu kunci sukses yang
menentukan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di masa yang lalu
(Kartasasmita, 2005). Salah satu paket pemerintah dalam penyediaan modal
bagi petani kelapa sawit adalah penyediaan kredit dengan subsidi bunga untuk
revitalisasi perkebunan sehingga petani hanya membayar 10%/tahun sejak
tahun 2006 (sisa bunganya ditanggung pemerintah (Ditjenbun, 2006a).
Hasil analisis dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian
Kurniawan (2004) yang memperoleh bahwa untuk mencapai produksi bersih
pada industri pengolahan kelapa sawit, faktor biofisik terutama sumberdaya alam
menempati prioritas utama dengan bobot 27%. Aspek ekonomi menempati
prioritas kedua dengan bobot 21%, diikuti oleh aspek teknologi dan kebijakan
pemerintah masing-masing dengan bobot 18% dan 13%.
Aktor yang terlibat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma
berkelanjutan relatif kompleks dan masing-masing mempunyai kepentingan
tersendiri. Pada kondisi umum, keterlibatan aktor akan membela kepentingannya
masing-masing sehingga merangsang terjadinya konflik. Oleh karena itu,
diperlukan peranan salah satu aktor yang memiliki kewenangan mengatur
peranan aktor lainnya yang terlibat dalam bentuk perundang-undangan agar
keterkaitan semua lembaga tersebut menjadi sinergis dan saling mendukung.
Hasil analisis pada level aktor memperlihatkan adanya dukungan aktor
terhadap kontribusi faktor dimana kelompok tani dan Pemerintah Daerah
mendominasi masing-masing sebesar 27%, diikuti oleh LSM sebesar 19% serta
Perusahaan Inti 15% (Gambar 16).
Perilaku petani dalam mengelola lahan perkebunan kelapa sawit sangat
menentukan dalam mencapai kondisi berkelanjutan. Kebijakan pemerintah harus
mampu menggalakkan petani dalam mengelolaan kebunnya agar produktivitas
lahan terjaga. Paket kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran

123
sarana produksi, penyuluhan perkebunan, adopsi teknologi anjuran seyogyanya
dikemas dalam rumusan yang sederhana dan berpihak kepada petani. Hal ini
tersirat dari wawancara di lapangan dimana selama ini petani masih
mengeluhkan kebijakan yang kesannya memberatkan petani pekebun sawit.
Harga pupuk subsidi sangat jarang bisa diakses petani, harga pupuk mahal
dan susah diperoleh tepat waktu.

Gambar 16. Kontribusi Aktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di sei Pagar
Pemerintah Daerah semakin memegang peranan penting dalam
pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit juga berkaitan
dengan nuansa otonomi daerah. Dalam pengembangan kelembagaan pedesaan
termasuk Gapoktan sedikitnya ada 3 aspek yang perlu diperhatikan yaitu (1)
konteks otonomi daerah, (2) pengembangan kelembagaan sebagai sebuah
bentuk pemberdayaan dan (3) kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai
kemandirian lokal. Peranan pemerintah daerah menjadi semakin penting dilihat
dari aspek otonomi daerah karena sedikitnya ada 3 tiga peranan yaitu (a) untuk
memaksimumkan nilai, (b) sebagai lembaga yang memberi peluang kepada

124
akses masyarakat terhadap pemerintah dan (c) sebagai kompetitor terhadap
lembaga lain sehingga kondisi efisien dapat dicapai (Syahyuti, 2007).
Selama ini, instansi yang banyak terlibat dalam pengelolaan perkebunan
kelapa sawit plasma adalah Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Badan
Pengelola dan Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Pertanian, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Koperasi. Mekanisme saat ini,
semua instansi ini dibawah koordinasi Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah merumuskan kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara
terpadu menyangkut aspek teknis, ekonomi dan sosial. Implementasi kebijakan
yang sudah dirumuskan disalurkan melalui Perusahaan Inti, seterusnya ke KUD
dan kelompok tani.

Adanya kekurangan harmonisan hubungan antara

Perusahaan Inti dengan petani plasma berakibat kurang efektifnya kebijakan


yang sudah dirumuskan bagi petani plasma.
Merespon kondisi tersebut dan kaitannya dengan era otonomi daerah,
perlu dipertimbangkan lagi model keterkaitan antara instansi terkait dengan
stakeholders lainnya agar petani memperoleh bimbingan yang lebih intensif. Hal
ini dimungkinkan oleh semakin besarnya peranan Pemerintah Daerah dalam
membangun daerahnya masing-masing, dimana sektor perkebunan kelapa sawit
mempunyai kontribusi besar terhadap sumbangan PAD. Beberapa pemikiran
yang menjabarkan otonomi daerah agar sektor perkebunan berkembang baik
antara lain (a) perlu dilakukan pendidikan bagi petani plasma, (b) community
investment, (c) koordinasi dan sinkronisasi antar instansi terkait, (d) dorongan
bagi perusahaan besar dan professional dalam membina petani, (e) penyediaan
fasilitas kredit dari lembaga keuangan negara atau swasta dan (f) teknologi yang
efisien dan terjangkau bagi petani (Kartasasmita, 2005). Husien dan Hanafi
(2005) menyebutkan peranan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam
pengembangan kelapa sawit adalah (a) penyediaan lahan yang sudah melalui
penataan ruang yang berlaku untuk mengurangi konflik, (b) memberikan bantuan
modal kerja dan (c) memfasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit untuk
menampung produksi TBS petani.
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) memberikan kontribusi cukup tinggi
dan melebihi perusahaan Inti. Hal ini berhubungan dengan nuansa otonomi
daerah dimana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas terhadap
lembaga-lembaga daerah dalam mengelola sumberdaya alam termasuk LSM.
Selain itu, belajar dari masa lalu, perusahaan Inti yang memiliki kewenangan

125
luas dalam mengelola sumberdaya alam masih terkendala dengan belum
terakumulasinya kepentingan-kepentingan petani dan masyarakat lokal secara
proporsional. Dengan semakin terakumulasinya kepentingan petani pekebun
dan masyarakat lokal diharapkan menurunnya konflik sosial dan terjaganya
kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan kebun sawit.
Untuk mencapai kondisi perkebunan berkelanjutan, pada level tujuan
terlihat peningkatan pendapatan petani dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
menjadi penting karena kontribusi keduanya dominan sebesar 30% dan 29%;
diikuti oleh penciptaan lapangan kerja sebesar 20% (Gambar 17). Hasil ini
didukung oleh semakin meningkatnya peranan dan kontribusi petani maupun
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Merebaknya
nuansa otonomi daerah, memberikan peluang lebih besar bagi Pemda dalam
mengelola sumberdaya alam.

Gambar 17. Kontribusi Tujuan dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan di Sei Pagar
Namun demikian, dengan status penguasaan lahan milik sendiri,
persaingan pemasaran TBS petani makin ketat antara PKS Inti dan non Inti serta
keterampilan petani yang semakin meningkat dalam pengelolaan kebun kelapa
sawit maka orientasi peningkatan pendapatan petani nampaknya menjadi

126
pertimbangan yang utama untuk dipenuhi. Pengembangan kelapa sawit telah
terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani di Provinsi Riau lebih tinggi
dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya (Syahza, 2008). Dengan
semakin meningkatnya pendapatan petani maka PAD juga akan meningkat dari
kontribusi petani melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak motor maupun
barang mewah lainnya dan pajak produksi TBS.
Kegiatan perkebunan kelapa sawit juga mampu memberikan peluang
peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kebun yang terlihat dari
kontribusinya sebesar 20%. Ini penting karena masyarakat sekitar kebun akan
ikut merasa dilibatkan dan diperhatikan jika mereka memperoleh kesempatan
kerja baik pada pengelolaan kebun maupun sebagai buruh industri di PKS.
Selain itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga membuka peluang berusaha
di bidang jasa transportasi, dagang kebutuhan rumahtangga dan jasa servise
motor. Kesemuanya itu merupakan efek domino dari perkebunan kelapa sawit.
Permasalahan yang sering muncul di lapangan adalah ketidak sesuaian
keterampilan masyarakat lokal dengan kebutuhan tenaga kerja terutama untuk
pengolahan TBS di unit PKS karena rendahnya tingkat pendidikan.
Untuk

mengatasi

masalah

tersebut,

jika

memungkinkan,

pihak

Perusahaan Inti melakukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan


keterampilan calon tenaga kerja dari masyarakat lokal agar siap pakai. Pada
kasus Perkebunan Nusantara V, tahap awalnya hanya bisa memenuhi sekitar
0,6% tenaga kerja lokal dari total kebutuhan tenaga

terutama untuk PKS.

Dengan program pelatihan, pada tahun-tahun berikutnya proporsi tenaga kerja


lokal meningkat sampai mendekati 20% (PTPN V, 1992). Tenaga kerja untuk
pengelolaan kebun biasanya bisa direkrut langsung karena tidak memerlukan
keterampilan khusus. Kedua hal ini jika tidak dilakukan secara transparan bisa
merangsang kecemburuan yang meningkat menjadi konflik sosial.
Dengan memperhatikan kontribusi faktor dan aktor serta tujuan yang
ingin dicapai dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan,
alternatif

pengelolaan

yang

paling

memungkinkan

adalah

pengelolaan

perkebunan oleh petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani


(GAPOKTAN) dengan kontribusi sebesar 51%. Alternatif yang kedua adalah
pengelolaan perkebunan sawit sistem kemitraan petani dengan perusahaan Inti
dengan kontribusi 36%, dan terkecil kontribusinya adalah pengelolaan kebun
sawit oleh perusahaan Inti dengan kontribusi sebesar 13%.

127
Alternatif pengelolaan kemitraan petani dengan perusahaan Inti memberi
kontribusi cukup tinggi yaitu 36%, sedangkan pengelolaan oleh perusahaan Inti
kontribusinya paling kecil. Hal ini berkaitan dengan benturan kepentingan
perusahaan Inti dengan kepentingan petani yang selama ini lebih memihak
kepada kepentingan perusahaan Inti baik dari aspek teknis maupun ekonomi.
Aspek teknis antara lain konversi kebun yang kurang lancar dengan alasan
kebun belum memenuhi persyaratan teknis. Aspek ekonomi yang menonjol
adalah penentuan harga TBS yang didominasi oleh perusahaan Inti, walaupun
sudah terbentuk tim penentu harga TBS. Isu rendemen TBS sebagai komponen
penentu harga TBS dimonopoli oleh perusahaan Inti sehingga petani menerima
harga rendah. Kondisi ini memicu petani untuk merubah pengelolaan kebun
sawit menuju ke penguatan kelompok tani melalui pembentukan Gabungan
Kelompok Tani (GAPOKTAN).
Kondisi di lapangan tersebut diperkuat oleh

sasaran pembangunan

Daerah Provinsi Riau melalui Lima Pilar Utama dimana pembangunan ekonomi
berbasiskan kerakyatan. Untuk pembangunan ekonomi pedesaan, pemerintah
daerah

mengembangkan

sektor

perkebunan

dengan

arah

kebijakan

melaksanakan perluasan areal dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat (Syahza,


2008). Secara nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat
lembaga petani di pedesaan yaitu Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) yang
tertuang dalam dalam Program Revitalisasi Pertanian. Penguatan ini sangat
berkaitan dengan peranan GAPOKTAN tidak hanya terpaut pada peningkatan
produksi komoditas namun diharapkan dapat menjadi agent of education bagi
petani untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam berusaha dan
bermasyarakat. Selain itu, gerakan ini juga diharapkan sebagai gerakan untuk
membangun modal sosial (social capital) yang sangat dipentingkan untuk
memulihkan kohesivitas sosial bangsa (Baga, 2005).
GAPOKTAN adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang
melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan
sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi
anggotanya.

Tujuan

penguatan

GAPOKTAN

adalah

untuk

memperkuat

kelembagaan petani yang ada dalam rangka meningkatkan posisi daya tawar
petani berhadapan dengan pihak luar. Penguatan dalam hal ini merupakan
bentuk pemberdayaan petani dengan 2 prinsip dasar yaitu (1) menciptakan
peluang bagi petani untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut

128
cara yang dipilihnya sendiri dan (2) mengupayakan agar petani memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan peluang tersebut misalnya peningkatan
aksesibilitas petani terhadap faktor-faktor produksi, modal dan pasar. Dengan
strategis tersebut setidaknya ada 3 peran pokok GAPOKTAN yaitu (1) sebagai
lembaga sentral dalam sistem yang dibangun misalnya terlibat dalam
pengadaan dan penyaluran saprodi, pemasaran hasil pertanian, pencairan dan
pembayaran kredit dan lain-lain, (2) memperkuat ketahanan pangan di tingkat
desa dan (3) mulai tahun 2007 GAPOKTAN dianggap sebagai Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan (LUEP) sehingga bisa menerima dana penguatan modal
(Syahyuti, 2007).
Alternatif model pengelolaan oleh koperasi petani diperkuat oleh
kenyataan bahwa petani sudah memiliki pengalaman mengelola kebun sawit
lebih dari 20 tahun. Selama itu, petani mendapat bimbingan dalam pengelolaan
kebun menyangkut aspek pemupukan, pengendalian hama/penyakit dan gulma,
pemanenan sampai pemasaran TBS. Faktor lainnya adalah pelajaran dari
pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di masa lalu. Beberapa
kelemahan yang menonjol antara lain (a) Petani tidak pernah diberi pelatihan
untuk menjadi petani mandiri dan memiliki jiwa wiraswasta, (b) para pengambil
kebijakan tidak pernah mempertimbangkan untuk menggalakkan agar petani
bisa memupuk modal demi keperluan peremajaan ataupun pengadaan sarana
produksi dan (c) tidak ada upaya serius untuk menghimpun petani kelapa sawit
dalam satu wadah organisasi yang mapan (Kartasasmita, 2005).
Hal-hal

tersebut

menimbulkan

pemikiran

untuk

mencari

solusi

pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang lebih baik. Paradigma yang
berkembang

adalah

pembangunan

kemandirian

lokal

dalam

bentuk

pemberdayaan petani plasma melalui wadah koperasi kelompok tani. Lebih


lanjut, paradigma kemandirian lokal memiliki ciri-ciri: (a) pembangunan
berorientasi ke pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat (community
oriented), (b) pembangunan yang berlandaskan kepada kondisi sumberdaya
masyarakat lokal (community based), (c) pengelolaan pembangunan oleh
masyarakat lokal (community managed) dan (d) pendekatan pembangunan
dengan pemberdayaan sumberdaya manusia (empower); keadilan (equity);
produktivitas (productivity) serta berkesinambungan (sustainability) (Hasibuan,
2005).

129
Memperhatikan hasil analisis AHP, perkembangan kondisi lapang saat ini
dan program pemerintah yang dituangkan dalam Revitalisasi Perkebunan 2007,
kelembagaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma skim Perintisan
Kemandirian Petani Plasma (PRITAMA) merupakan alternatif yang paling sesuai
(Gambar 18).

PERMOHONAN PESERTA

DISBUN
PROVINSI
PERMOHON
AN PESERTA

DEP.KEUANGAN

USULAN SUB
SIDI BUNGA

SUBSIDI
BUNGA

DEPTAN/DIRJENBUN

PERSETU
JUAN
MITRA

USULAN
MITRA

PENUNJU
KAN
MITRA

DISBUN
KAB/KOTA
BANK PELAKSANA
PERMOHON
AN PESERTA

PERMOHON
AN MITRA

PERMOHON
AN PESERTA
AKAD
KREDIT

GAPOKTAN

AKAD
KREDIT

PERMOHO
NAN
MITRA

DISBUN
PROVINSI
DISBUN
KAB/KOTA
PERMOHO
NAN
MITRA

MITRA/PTPN V
PERJANJIAN
KERJASAMA

PERJANJIAN
KERJASAMA

DEWAN
PENGAWAS

PERJANJIAN
KERJASAMA

PETANI
PESERTA

Gambar 18. Alur Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan Skim PRITAMA
Skim kelembagaan kelapa sawit PRITAMA tersebut didorong oleh
keluarnya kebijakan pembangunan perkebunan yang teridiri dari kebijakan
umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum meliputi pemberdayaan agribisnis
perkebunan di hulu dan memperkuat di hilir guna meningkatkan nilai tambah dan
daya saing usaha perkebunan dengan pemberian insentif, penciptaan iklim

130
usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi masyarakat perkebunan serta
penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Hadi et al., 2007).
Lebih jauh diuraikan bahwa kebijakan teknis merupakan penjabaran dari
kebijakan umum meliputi kebijakan pengembangan komoditas, investasi usaha
perkebunan serta pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha. Kebijakan
pengembangan komoditas antara lain mencakup (a) penerapan teknologi
budidaya yang baik (good agriculture practice, GAP), (b) mendorong
pengembangan

komoditas

unggulan

nasional

dan

lokal,

(c)

optimasi

pemanfaatan sumberdaya lahan, (d) mendorong pengembangan aneka produk


dan peningkatan mutu hasil, (e) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana
pendukung

pengembangan

pengembangan

sistem

perkebunan

informasi

dan

mengenai

(f)

meningkatkan

teknologi,

peluang

upaya
pasar,

mamajemen dan permodalan.


Kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha mencakup
(a) mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian kelembagaan petani
untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait serta mengakses berbagai
peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia, (b) mendorong terbentuknya
kelembagaan komoditas yang tumbuh dari bawah, (c) mendorong pertumbuhan
kelembagaan keuangan pedesaan, (d) mendorong lebih berfungsinya lembaga
penyuluhan dan (e) mendorong kemitraan saling menguntungkan dan saling
memperkuat antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat di sekitar
kebun.
Dari Gambar 18 menunjukkan adanya 5 pihak yang terkait dalam alur
kelembagaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang mencakup
petani, mitra usaha, lembaga keuangan, pemerintah yang diwakili oleh
Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan. Diawali dengan minat petani
plasma menjadi petani peserta kebun kelapa sawit melalui pembentukan
lembaga pertanian di tingkat perdesaan yaitu Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN), mengajukan permohonan sebagai petani peserta skim PRITAMA
ke Bupati/Walikota melalui Dinas Perkebunan Kabupaten/kota. Selanjutnya
permohonan tersebut diteruskan ke Gubernur melalui Dinas Perkebunan
Provinsi dan akhirnya disampaikan ke Departemen Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Perkebunan. Permohonan itu ditembuskan kepada Bank Pelaksana.
Proses ini diakhiri dengan persetujuan petani plasma sebagai petani peserta

131
skim PRITAMA oleh Bapak Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan dari
Dirjenbun.
Paralel dengan GAPOKTAN, calon Mitra (dalam hal ini PTPN V)
mengajukan

permohonan

sebagai

calon

mitra

usaha

kepada

Bapak

Bupati/Walikota melalui Dinas Perkebunan Kabupaten, yang diteruskan kepada


Gubernur melalui Dinas Perkebunan Provinsi dan akhirnya disampaikan ke
Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Permohonan
calon Mitra usaha ditembuskan kepada Bank Pelaksana. Dirjenbun membuat
daftar usulan calon mitra usaha pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma
dan diusulkan kepada Bank Pelaksana. Proses ini diakhiri dengan penunjukkan
mitra usaha oleh Dirjenbun setelah mendapat persetujuan mitra usaha oleh
Bank Pelaksana.
Terdapat 3 masalah yang harus disepakati oleh Bank Pelaksana yaitu
persetujuan

mitra

usaha

dengan

Direktorat

Jenderal

Perkebunan

dan

mengajukan usulan subsidi bunga ke Departemen Keuangan sebagai jasa


dalam ikut membantu perekonomian rakyat. Setelah mendapat persetujuan
subsidi bunga dari Departemen Keuangan, kemudian melakukan akad kredit
dengan mitra usaha dan koperasi petani diikuti dengan realisasi kredit untuk
peremajaan kelapa sawit petani plasma.
Pada pihak petani plasma, GAPOKTAN dan mitra usaha dilakukan
perjanjian kerjasama terutama mekanisme pelaksanaan kegiatan perkebunan
kelapa sawit sebagai ikatan kerjasama. Kerjasama ini dibuat sedemikan rupa
sehingga implementasinya mampu memenuhi hasil analisis kelembagaan
dengan

pendekatan

proses

analisis hirarki.

Dari

faktor

yang

menjadi

pertimbangan utama, kelestarian sumberdaya alam harus bisa dipertahankan


karena perannya dominan untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit
plasma berkelanjutan yaitu sekitar 38%. Pada level hirarki berikutnya, peranan
petani plasma dan pemerintah daerah harus lebih diintesifkan melalui
peningkatan kapasitas kinerja kelompok tani dan pembinaan yang terpadu dan
sinergis dinas terkait mengingat berkaitan dengan peranan keduanya yang
dominan masing-masing sebesar 27%. Terpenuhinya peranan faktor dan aktor
tersebut diharapkan kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan
mampu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan yaitu meningkatkan pendapatan
petani dan pendapatan asli daerah (PAD).

132
Agar masing-masing pihak memiliki tanggungjawab maka petani peserta
dan mitra usaha mempunyai kewajiban dan hak yang harus dipenuhi selama
kerjasama berlangsung. Kewajiban petani peserta antara lain (a) melaksanakan
pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai standar teknis dengan bimbingan dari
mitra usaha dan atau instansi terkait, (b) membayar biaya pengembangan dan
management fee sebesar 5% termasuk bunganya setelah tanaman berproduksi,
dan (c) menjual semua hasil kebun (TBS) kepada pihak mitra dengan harga
sesuai ketentuan yang berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra
usaha dengan petani peserta selama satu periode siklus tanaman. Hak petani
peserta antara lain (a) memperoleh bimbingan teknis dan non teknis dari mitra
usaha dan atau dinas terkait, (b) memperoleh kredit investasi untuk pengelolaan
kebun kelapa sawit maksimal seluas 2 hektar, (c) memperoleh subsidi bunga
dari pemerintah, dan (d) memperoleh upah sebagai tenaga kerja saat
melaksanakan kegiatan di kebun sandiri dari mitra usaha.
Mitra usaha (dalam hal ini PTPN V) sebagai badan usaha komersial
harus memiliki beberapa persyaratan sehingga layak diberi hak dan kewajiban
serta tanggungjawab dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma.
Salah satu tanggungjawab yang dibebankab kepada mitra usaha adalah sebagai
penjamin atau avalist dari kridit yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh dari mitra usaha antara lain memiliki 5 M
yaitu (a) Money, memiliki modal/asset yang cukup, (b) Man, memiliki
sumberdaya manusia yang andal, (c) Method, telah berpengalaman dan
mempunyai beragam metodelogi

yang secara teknis bisa diaplikasikan dan

diterima petani peserta, (d) Material, memiliki perangkat lunak dan keras yang
andal untuk melaksanakan kegiatan di perkebunan, dan (e) Market, mempunyai
akses pemasaran TBS yang luas baik jaringan pemasaran domestik maupun
internasional (Hersuroso, 2005).
Mitra usaha juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi antara lain
(a) melaksanakan pembangunan kebun kelapa sawit sesuai standar yang
ditetapkan oleh Departemen Pertanian cq. Dirjenbun, (b) mengikut sertakan
petani peserta dalam membangun kebun, (c) membina secara teknis petani
peserta agar mampu melaksanakan kegiatan pengelolaan kebun, (d) membeli
TBS petani peserta dengan tingkat harga yang berlaku dan atau kesepakatan
antara kedua belah pihak, dan e) sebagai avalist, melaksanakan proses
penjaminan dan pengembalian kridit kepada Bank Pelaksana. Sementara itu,

133
hak mitra usaha antara lain (a) memperoleh management fee, dan (b)
memperoleh jaminan bahan baku PKS berupa tandan buah segar (TBS)
sepenuhnya dari petani peserta selama siklus tanaman menghasilkan.
Disamping kesepakatan perjanjian kerjasama, pihak koperasi petani dan
mitra usaha juga membentuk Dewan Pengawas (DP) yang ketua dan
anggotanya berasal dari perwakilan GAPOKTAN dan mitra usaha. Dewan ini
bertugas mengawasi jalannya pembangunan dan pengelolaan kebun kelapa
sawit untuk meminimalkan bias dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini penting
karena adanya masalah krusial dan sekaligus tantangan dimana pola pikir dan
perilaku petani dalam mengalokasikan modal dan sarana produksi lainnya sering
tidak sesuai dengan anjuran pihak pembina. Dengan semakin meningkatnya
pendapatan petani, mereka berusaha memenuhi kebutuhan rumahtangga petani
yang semakin beragam dari pola makan, pakaian dan transportasi. Kondisi ini
didorong oleh mudahnya petani mengakses kebutuhan tersebut. Hampir semua
rumahtangga petani memiliki sepeda motor, bahkan banyak rumahtangga petani
yang memiliki sepeda motor lebih dari 1 unit. Jadi masalah alat transportasi
bukan lagi hanya sebagai alat, tetapi sebagai status sosial. Semua kebutuhan
tersebut masih mengandalkan hasil sawit sehingga banyak petani yang terjerat
hutang, terutama sepeda motor. Kondisi ini merubah alokasi penghasilan
rumahtangga dari investasi ke kebun menuju ke pemenuhan pola hidup
konsumtif.
Skim PRIMATAMA merupakan modifikasi dari skim PIR-TRANS dan
Revitalisasi Pertanian (Tabel 29). Perbedaan Skim PIR-TRANS dengan skim
PRITAMA antara lain pada fungsi lembaga pendana (bank), pada perjanjian
kerjasama antara petani plasma dengan mitra, adanya Dewan Pengawas dan
subsidi bunga bagi bank pelaksana. Fungsi bank pelaksana pada skim PIRTRANS adalah sebagai bank penyalur (Channeling) yang hanya menyalurkan
kredit dari bank pusat untuk perusahaan inti dan petani. Pada skim PRITAMA
fungsi bank sebagai pelaksana (Executing) yaitu memberikan kredit dari dana
bank bersangkutan untuk perusahaan inti dan petani plasma.
Perjanjian kerjasama antara perusahaan inti (dalam hal ini PT.
Perkebunan Nusantara V) dengan petani plasma pada skim PRITAMA mengikuti
hasil proses analisis hirarki. Perjanjian kerjasama ini lebih memfokuskan pada
kelestarian sumberdaya alam, memberdayakan petani,

mengutamakan

peningkatan pendapatan petani sesuai konsep perkebunan kelapa sawit plasma

134
berkelanjutan. Keterikatan kedua belah pihak dibuat dalam bentuk hak dan
kewajiban disertai dengan adanya sanksi jika ada pelanggaran. Sanksi yang
dikenakan bagi pihak pelanggar masih dalam pembicaraan, tetapi pada
prinsipnya sanksi tersebut tidak merugikan kedua belah pihak melainkan tidak
memberi peluang bagi pihak ketiga untuk berpartisipasi dalam kerjasama yang
telah dibuat antara perusahaan inti dan petani plasma. Contohnya: pelanggaran
yang paling umum adalah penjualan TBS ke PKS non inti, maka sanksinya
adalah pihak PKS non inti tidak boleh melewati infrstruktur jalan yang ada di
kebun plasma karena dibangun oleh perusahaan inti.
Tabel 29. Karakteristik Kerjasama Pihak Terkait Pada Skim PIR-TRANS,
Revitalisasi Pertanian dan PRITAMA
Variabel
Fungsi bank
Kerjasama
petani-mitra

Dewan
Pengawas

Subsidi
bunga

PIR-TRANS
- Penyalur (Channeling)
- Konversi kebun
- KUD
sebagai
wadah
organisasi kelompok tani
dan menjembatani antara
mitra dengan petani
- Sertifikat diambil petani
setelah cicilan lunas
- Mitra sebagai pembina
teknis petani plasma
- Tidak ada sanksi bagi
petani
yang
tidak
memenuhi
kewajiban
menjual TBS ke PKS
mitra, jual kebun ke pihak
lain atau sebagai agunan

Jenis skim
Revitalisasi
Pertanian

- Pelaksana (Executing)
- Konversi kebun
- KUD sebagai wadah
organisasi kelompok
tani dan menjembatani
antara mitra dengan
petani
- Sertifikat tidak diambil
petani setelah cicilan
lunas
- Mitra sebagai pembina
teknis petani plasma
- Sanksi bagi petani
yang tidak memenuhi
kewajiban
menjual
TBS ke PKS mitra,
menjual kebun ke
pihak lain atau sebagai
agunan pinjaman.
- Tidak
ada
Dewan - Tidak
ada
Dewan
Pengawas pelaksanaan
Pengawas
binaan teknis dari mitra
pelaksanaan binaan
teknis dari mitra
- Tidak ada subsidi bunga - Ada subsidi bunga bagi
bagi bank pelaksana
bank pelaksana

PRITAMA
- Pelaksana (Executing)
- Konversi kebun
- KUD sebagai wadah
organisasi kelompok
tani dan menjembatani
antara mitra dengan
petani
- Sertifikat tidak diambil
petani setelah cicilan
lunas
- Mitra sebagai pembina
teknis petani plasma
- Sanksi bagi petani
yang tidak memenuhi
kewajiban
menjual
TBS ke PKS mitra,
menjual kebun ke
pihak lain atau sebagai
agunan pinjaman.
- Terdapat
Dewan
Pengawas
pelaksanaan binaan
teknis dari mitra
- Ada subsidi bunga bagi
bank pelaksana

Dewan Pengawas merupakan komponen organisasi dalam skim


PRITAMA yang tidak ada pada skim PIR-TRANS. Anggota Dewan Pengawas
teridiri dari perwakilan petani plasma dan perusahaan inti dengan fungsi utama
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama antara
perusahaan inti dan petani plasma yang telah disepakati. Dewan inilah yang
membuat kriteria sebagai acuan dalam menentukan pelanggaran yang dilakukan
baik oleh perusahaan inti maupun petani plasma. Hal ini bercermin dari

135
pengalaman selama satu periode dimana pelanggaran terhadap perjanjian
kerjasama dapat dilakukan baik oleh perusahaan inti maupun petani plasma,
tetapi tidak ada sanksi yang dikenakan. Kondisi ini memicu pelanggaran yang
lebih serius dan berujung pada keretakan hubungan antara perusahaan inti dan
petani plasma. Masih terkait dengan perjanjian kerjasama, pada skim PRITAMA
sertipikat petani ditahan terus oleh pihak bank untuk meneguhkan keterikatan
kedua belah pihak dan juga sebagai jaminan bagi perusahaan inti agar petani
menjadi lebih mentaati perjanjian yang telah disepakati.
Kebijakan baru dalam penyaluran kredit pada skim PRITAMA adalah
adanya subsidi bunga bagi bank pelaksana dan petani plasma sebagai insentif
pemerintah dalam memberdayakan masyarakat pedesaan dan perusahaan inti
karena telah berjasa dalam membangun kebun kelapa sawit untuk petani.
Dengan insentif ini diharapkan adanya peningkatan partisipasi pihak swasta
nasional

dalam

memberdayakan

masyarakat

pedesaan

dalam

usaha

mengentaskan kemiskinan.
4.6. Analisis Sistem Dinamis
4.6.1. Simulasi Model
Analisis sistem dinamis dilakukan untuk memperoleh model pengelolaan
perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan yang menggambarkan proses
interaksi antara komponen-komponen biofisik, ekonomi dan sosial serta
stakeholders dalam proses produksi serta pengolahan produksi kelapa sawit
(TBS) menjadi crude palm oil (CPO). Berdasarkan hasil penelitian yang sudah
dilakukan, umur ekonomis kelapa sawit yang dibudidayakan pada tanah-tanah
masam sekitar 25 tahun (Adiwiganda, 2002). Oleh karena itu maka model yang
dibangun di set dalam jangka waktu 25 tahun yaitu sejak tahun 2010 sampai
tahun 2035. Mengingat kompleknya permasalahan yang terjadi di lapangan
maka model pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan
dikelompokkan kedalam (a) sub model biofisik, (b) sub model ekonomi dan (c)
sub model sosial.
a. Sub Model Biofisik
Sub model biofisik pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan
merupakan model utama (main model) dari sistem yang dibangun, yang
memberikan gambaran pertumbuhan penduduk, perubahan luas lahan dan

136
peningkatan produksi serta dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan
lingkungan. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap sub model ini
dicantumkan dalam Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) pada Gambar 19.

PENDUDUK

+
LUAS LAHAN

KERUSAKAN
LINGKUNGAN

T. KERJA

+
INPUT

JUMLAH
TANAMAN

MANAJEMEN

+
+

DEGRADASI
LAHAN

+
PRODUKTIVITAS
LAHAN

+
+

PRODUKTIVITAS
TM

+
-

PRODUKSI

Gambar 19. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Biofisik


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di
Sei Pagar
Dari Gambar 19 terlihat bahwa jika penduduk meningkat jumlahnya, akan
memberikan tekanan terhadap luas lahan yang semakin menyempit. Tekanan
juga terjadi pada kerusakan lingkungan yang semakin intensif karena limbah
domestik, residu penggunaan pestisida, herbisida serta pupuk sebagai input
produksi kelapa sawit. Selain itu, kerusakan lingkungan berpengaruh langsung
terhadap kualitas lahan yang cenderung menurun atau terdegradasi, yang
secara langsung akan menurunkan produktivitas lahan. Lebih lanjut, tekanan
terhadap kedua variabel ini memberikan pengaruh negatif terhadap produktivitas
tanaman menghasilkan yang cenderung menurun. Selain menurunkan produksi,
tekanan ini juga memperpendek usia ekonomis kelapa sawit. Hubungan ini
disebut building block balancing terhadap produksi kelapa sawit.
Sebaliknya,

perbaikan

manajemen

yang

mengarah

ke

teknologi

optimalisasi pemanfaatan lahan dan sarana produksi (input), berdampak positif

137
terhadap peningkatan produktivitas tanaman menghasilkan, yang selanjutnya
meningkatkan produksi. Demikian juga tenaga kerja yang memiliki keterampilan
semakin

memadai

berpengaruh

positif

terhadap

manajemen

dan

pengoptimalisasian sarana produksi (input). Kondisi ini mampu meningkatkan


produktivitas tanaman menghasilkan dan sekaligus produksi kelapa sawit.
Bersamaan dengan itu, dengan kemajuan teknologi akan bisa meminimkan
dampak negatif terhadap lingkungan sehingga produktivitas lahan terpelihara
dan kerusakan lingkungan melalui pencemaran terkendalikan dengan baik.
Kondisi ini membentuk hubungan building block reinforcing terhadap produksi
kelapa sawit.
Berdasarkan diagram sebab-akibat tersebut, dapat dibuat Diagram Alir
sub model biofisik kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan (Gambar 20).
Terdapat 3 variabel utama (main variable) dalam diagram alir ini yaitu
perkembangan penduduk (JPDDK), luas lahan (LH) dan produktivitas tanaman
menghasilkan (PRDKTM). Ketiga variabel utama tersebut dikaitkan oleh variabel
penghubung (sub variable) yaitu tenaga kerja, input produksi, teknik budidaya
(management), daya dukung lingkungan, degradasi lahan, produktivitas lahan
serta kebutuhan modal. Keterkaitan variabel-variabel penghubung ini dengan
variabel utama menetukan pola produksi kelapa sawit plasma.
Sumberdaya manusia (penduduk) yang semakin meningkat jumlahnya
dari waktu ke waktu melalui faktor koreksi penambahan penduduk akan
meningkatkan jumlah angkatan kerja. Peningkatan ini terkait langsung dengan
luas lahan melalui faktor koreksi penambahan luas lahan yang cenderung
semakin rendah dari waktu ke waktu karena terbatasnya lahan yang ada.
Sedangkan luas lahan terkait dengan produksi melalui faktor laju penambahan
produktivitas tanaman menghasilkan yang secara langsung terkait dengan
tingkat produktivitas tanaman menghasilkan. Selain luas lahan, variabel
pengelolaan (management) dan input produksi juga terkait dengan variabel
utama produktivitas tanaman menghasilkan melalui variabel produktivitas lahan.
Variabel input produksi terkait dengan produktivitas lahan melalui faktor koreksi
input

produksi,

sedangkan

variabel

manajemen

melalui

faktor

koreksi

manajemen. Kedua variabel ini terkait dengan produksi melalui faktor laju
penambahan produktivitas tanaman menghasilkan.

138

FKJTK

JTK_1

FKPDDK

FLPLH

JPDDK
LPDDK
FJTK

FLH

FPDDK

LH

LPLH
FSDM

FKL

FKLING

FKKERLING

KERLING

FKDEG

SDM

FLPROD
FM

MANAJEMEN

DDLING

KPROD

PRDKTM

FMOD

JPROD
LPRDKTM

KEBMODAL

INDEK_HRG
PRDVTLHN

INPUTPROD

FINPUT
PENDMAS

FPENMAS

PENDMASY

Gambar 20. Diagram Alir Sub Model Biofisik Pengelolaan Kebun Kelapa
Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
b. Sub Model Ekonomi
Sub model ekonomi menggambarkan keterkaitan variabel biaya produksi
dan pengolahan produksi kelapa sawit dengan pasar, tenaga kerja, subsidi input,
regulasi, pendapatan, pajak dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tercermin
pada Gambar 21 yaitu Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) dan Gambar 22
Diagram Alir sub model ekonomi pengelolaan kebun plasma kelapa sawit
berkelanjutan.
Tergambarkan bahwa regulasi akan mempengaruhi subsidi input
produksi, yang selanjutnya mempengaruhi laju pertambahan biaya produksi dan
pengolahan produksi kelapa sawit. Selain itu, regulasi mempengaruhi tingkat
harga produksi, yang selanjutnya mempengaruhi penerimaan masyarakat. Oleh
karena itu, dalam nuansa otonomi daerah, regulasi diharapkan menghasilkan
paket kebijakan yang berpihak kepada kepentingan petani seperti harga sarana

139
produksi dan TBS yang transparan. Selama ini penentuan harga harga TBS
lebih didominasi oleh pihak Perusahaan Inti terutama dalam penetapan
rendemen minyak yang sangat berpengaruh terhadap harga akhir TBS petani.
Kondisi ini merangsang petani untuk menjual TBS ke PKS non inti karena
harganya lebih tinggi dan dibayar langsung secara tunai (cash).

+
+
REGULASI
INFRASTRUKTUR

STRUKTUR
PASAR

+
+

+
PAD

SUBSIDI

PAJAK

BIAYA INPUT
PRODUKSI

KUALITAS
PRODUK

+
-

BIAYA
PEMASARAN

+
+

HARGA
PRODUK

PENDAPATAN

JUMLAH
PRODUK

+
+

Gambar 21. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Ekonomi


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di
Sei Pagar
Kasus di lokasi penelitian dimana areal kebun plasma lebih luas dari
pada areal kebun inti menyebabkan tidak beroperasinya PKS secara kontinyu
dan merugikan Perusahaan Inti sendiri. Merespon kondisi ini, pihak PTPN V
sejak tahun 2005 sudah mengambil langkah langkah positif dan transparan
dalam penentuan harga TBS dan juga sistem pembayarannya yang menunda
waktu bayar TBS 1 minggu sejak diterima PKS Inti. Infrastruktur pasar
mempengaruhi struktur pasar, mempengaruhi efisiensi dan biaya pemasaran,
selanjutnya

mempengaruhi

harga

produk

dan

kemudian

penerimaan

masyarakat. Kualitas produksi dipengaruhi oleh kualitas bahan produksi dan

140
jumlah produksi, yang seterusnya mempengaruhi tingkat harga produksi dan
kemudian penerimaan masyarakat.

FINFSTR
IFSTR
STRKT_PSR

REGULASI

FBIAYA

FIFS

FFIN

FRLPBYPROD IRHGPROD
PNRMN_PETANI

FBI

PAD

FPAD

JPROD

IPJK

PAJAK

FPEN
FKLPBYPROD

BIAYA_PMSRN

FKBYPROD

LPBYPROD

BYPROD

PDPT_PETAN

FBP
BBUDDY
FBUDDY

FKEU
FKBUDDY

Gambar 22. Diagram Alir Sub Model Ekonomi Pengelolaan Kebun Kelapa
Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Di lain pihak, penerimaan masyarakat yang merupakan total output
mempengaruhi pendapatan masyarakat yaitu penerimaan bersih setelah
dikurangi biaya produksi. Pendapatan masyarakat mempangaruhi tingkat
penyetoran pajak kepada pemerintah antara lain pajak bumi bangunan, pajak
barang mewah (alat transportasi, elektronik) dan pajak penambahan nilai.
Peningkatan pajak meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang kemudian
digunakan

untuk

melaksanakan

pembangunan

antara

lain

perbaikan

infrastruktur pasar, transportasi, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum


lainnya.
c. Sub Model Sosial
Selain dampak fisik dan ekonomi, kehadiran perkebunan kelapa sawit
juga berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat di lokasi perkebunan.
Kondisi sosial ini disajikan dalam sub model sosial perkebunan kelapa sawit

141
plasma berkelanjutan seperti pada Gambar 23 yaitu Diagram Sebab-Akibat
(Causal Loop) dan Gambar 24 yaitu Diagram Alir sub model sosial pengelolaan
kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan.

+
JUMLAH
PRODUK

KONTINUITAS
KERUSAKAN
LINGKUNGAN

PENDAPATAN
MASYARAKAT

KUALITAS
PRODUKSI

KELEMBAGAAN

+
+ +

KUALITAS
SDM

TENAGA
KERJA

+
REGULAS

KAPASITAS
INDUSTRI

+
LIMBAH
INDUSTRI

TEKNOLOGI

PERMODALAN

+
+

Gambar 23. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Sosial


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di
Sei Pagar
Gambar tersebut dapat menjelaskan hubungan antara variabel kapasitas
industri pengolahan produksi kelapa sawit dengan tenaga kerja, kualitas
sumberdaya manusia, kelembagaan, teknologi pengolahan produksi, kontinuitas
produksi, produksi limbah dan kerusakan lingkungan. Pendidikan masyarakat
membentuk hubungan building block reinforcing terhadap kapasitas industri.
Pendidikan masyarakt mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan
perbaikan teknologi pengolahan produksi dan selanjutnya menurunkan emisi
limbah serta tingkat kerusakan lingkungan. Demikian juga kelembagaan,

142
mempengaruhi laju peningkatan kapasitas industri bersama dengan jumlah
produksi kelapa sawit.

PENDMASY
IRGTK

ITKIND

TK_2

FKON

FKLTS_SDM_1

KONTINUITAS
FKUL

JPROD
FKPIND

KUALITAS
TEKNOLOGI_1
LPIND
FPIND

KIND

FTIME
FK

FKLP

FJL

KELEMBAGAAN

JML_LIMBAH
KERLING_1

FLIMBAH
MODAL_1
FTEK

FPTEK
FP

Gambar 24.

IRMOIND

Diagram Alir Sub Model Sosial Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

Sebaliknya, limbah industri membentuk hubungan building block


balancing terhadap kapasitas industri. Peningkatan limbah industri meningkatkan
kerusakan lingkungan dan degradasi lahan, yang selanjutnya menurunkan
produktivitas lahan dan tingkat produksi kelapa sawit. Adanya perbaikan
teknologi akan mampu menjaga keseimbangan antara kedua mekanisme
tersebut. Teknologi tersebut antara lain aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit
sebagai pupuk organik setelah diberi perlakuan penurunan BOD sampai di
bawah 3500 mg/ltr dan teknik pemberian pupuk yang dibenam ke dalam tanah
untuk mengurangi kehilangan pupuk melalui penguapan, aliran permukaan dan
erosi. Pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release yang dibenamkan
kedalam tanah juga menurunkan pencemaran lingkungan secara nyata.

143
Simulasi model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit merupakan
penggabungan Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) sub model biofisik,
ekonomi dan sosial (Gambar 25) dan Diagram Alir sub model biofisik, ekonomi
dan sosial (Gambar 26)

PENDUDUK

TENAGA
KERJA_1

KERUSAKAN
LINGKUNGAN_1

LUAS LAHAN

+
+

MANAJEMEN

JUMLAH
TANAMAN

+
+
+

DEGRADASI
LAHAN

+
PRODUKTIVITAS
LAHAN

INPUT

+
PRODUKTIVITAS
TANAMAN

PENDAPATAN
PETANI

JUMLAH
PRODUKSI

PAJAK

+
+

KAPASITAS
INDUSTRI

KONTINUI
TAS

+
PAD

+
KERUSAKAN
LINGKUNGAN_2

LIMBAH
INDUSTRI

INFRASTRUKTUR

STRUKTUR
PASAR

KUALITAS
SDM

REGULASI

KUALITAS
PRODUKSI

SUBSIDI

+
KELEMBAGA
AN

+
+
+

BIAYA
PRODUKSI

TENAGA
KERJA_2

+
BIAYA
PEMASARAN

TEKNOLO
GI

PENDAPATAN
MASYARAKAT

HARGA
PRODUK

+
+

Gambar 25. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Pengelolaan Kebun


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Sei Pagar

144

FKJTK

JTK_1

FLPLH

FKPDDK

JPDDK
LPDDK
FJTK

FLH

FPDDK

LPLH

LH FKL

FKLING

FKKERLING

KERLING

FSDM FKDEG
SDM

FLPROD
FMMANAJEMEN

DDLING KPROD

PRDKTM

FMOD

JPROD
LPRDKTM

KEBMODAL

INDEK_HRG
PRDVTLHN

INPUTPROD

FINPUT
PENDMAS
FPENMAS

PENDMASY
IRGTK ITKIND

FINFSTR

TK_2

FKLTS_SDM_1FKON

IFSTR
STRKT_PSR

KONTINUITAS

PAD
REGULASI

FIFS

FFIN

FPAD

FKUL
FBIAYA FBI

FKPIND

KUALITAS
TEKNOLOGI_1

IRHGPROD
FRLPBYPROD
IPJK
PNRMN_PETANI
PAJAK

LPIND

FPEN

FPIND

BIAYA_PMSRN
KIND

FTIME
FK

FKLPBYPROD

FJL

FKLP KELEMBAGAAN

JML_LIMBAH
KERLING_1
FLIMBAH

LPBYPROD

FKBYPROD
BYPROD

FBP
PDPT_PETANI
BBUDDY
FBUDDY

FKEU

FKBUDDY

MODAL_1
FTEK

FPTEK
FP

IRMOIND

Gambar 26. Diagram Alir Pengelolaan Kebun Kelapa sawit Plasma


Berkelanjutan Di Sei Pagar

145
4.6.2. Validasi Model
Setelah simulasi, dilakukan proses analisis data simulasi pengelolaan
perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan yang hasilnya dimunculkan
dalam bentuk model persamaan dari setiap variabel pengelolaan kebun plasma
kelapa sawit berkelanjutan (Lampiran 16). Langkah ini diikuti dengan melakukan
validasi model untuk merepresentasikan kondisi sebenarnya atau kondisi nyata
di lapangan (Muhammadi et al., 2001). Uji validitas ini meliputi validitas struktur
dan validitas kinerja serta uji kestabilan dari model yang dibangun.
4.6.2.1. Uji Validitas Struktur
Pengujian validasi struktur model bertujuan untuk melihat kesesuaian
struktur model dengan perilaku sistem pada dunia nyata (Hartrisari, 2007).
Pengujian ini dilakukan terhadap model utama (main model) yaitu variabel
produksi tandan buah segar (TBS) pada sub model biofisik pengelolaan kebun
plasma kelapa sawit berkelanjutan. Pola produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh
luas lahan, teknologi atau manajemen dari sumberdaya manusia, masukkan
(input) terutama pupuk, sifat genetik dari tanaman itu sendiri dan produktivitas
lahan yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan.
Lahan dengan sifat-sifat kimia, fisika dan biloginya merupakan variabel
penentu terhadap produksi kelapa sawit dimana bersama dengan faktor daya
dukung lainnya menentukan pola produksi suatu tanaman. Sebagai media
tumbuh, aplikasi manajemen yang diterapkan seperti: pemupukan, pengendalian
hama/penyakit, pengendalian gulma semuanya diberikan melalui lahan. Dengan
demikian, sifat-sifat tanah, terutama yang berkaitan dengan kesesuaian lahan
sangat menentukan tingkat efektivitas dari manajemen yang diaplikasikan. Pada
tingkat manajemen sama akan memberikan hasil TBS berbeda jika diaplikasikan
pada tingkat kesesuaian lahan berbeda atau pada lahan dengan tingkat
produktivitas berbeda.
Sifat genetik tanaman adalah faktor bawaan (inherent) dari tanaman itu
sendiri yang mempengaruhi produksi TBS. Dengan kemajuan teknologi
pemuliaan, saat ini telah diketemukan satu varietas kelapa sawit unggul yang
disebut Varietas LaMe. Varietas ini bisa ditanam sebanyak 180 pohon/hektar,
sedangkan varietas yang ditanam saat ini populasinya lebih rendah sekitar 130
pohon/hektar.

Dengan keunggulan tersebut maka potensi produksinya juga

lebih tinggi yaitu antara 22,5-30,6 ton TBS/ha/tahun, lebih tinggi sekitar 34% dari

146
varietas saat ini antara 17,7-22.9 ton TBS/ha/tahun (Harahap et al., 2006).
Berbeda dengan tanaman semusim, pada kasus komoditas kelapa sawit yang
tergolong tanaman tahunan, selain faktor-faktor tersebut, pola produksi juga
ditentukan oleh umur tanaman. Secara umum, pada tahap awal produksi
rendah, diikuti pertumbuhan produksi cepat kemudian melambat lagi dan diikuti
penurunan produksi karena faktor usia tanaman. Pada banyak kasus, umur
produktif kelapa sawit yang dibudidayakan pada tanah masam mencapai sekitar
25 tahun dan sesudahnya perlu peremajaan karena pertimbangan teknis
maupun ekonomis (Adiwiganda, 2002; Pahan, 2006). Kombinasi antara
produktivitas lahan yang termasuk S2 (cukup sesuai), sifat genetik dan teknologi
pengelolaan, pola produksi kelapa sawit disimulasikan mengikuti bentuk s-curve,
yang oleh Meadows (1987) disebut pola limit to growth (Gambar 27,Tabel 30).
Rata-Rata Produksi Tandan Buah Segar (TBS)

TBS (T/Ha/Tahun)

30

20

10

0
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun

Gambar 27. Prediksi Pola Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kebun
Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Terlihat bahwa kelapa sawit mulai berproduksi pada tahun ke empat,
diikuti pertumbuhan produksi cepat pada usia muda (4-10 tahun), pada usia
selanjutnya (11-15 tahun) laju pertumbuhan produksi lambat kemudian pada
usia selanjutnya (16-25 tahun) produksi menurun. Produksi terendah pada awal
tahun yaitu 14,82 ton TBS/ha/tahun dan tertinggi pada umur tanaman 12 tahun
sebanyak 35,21 ton TBS/ha/tahun. Dengan kisaran produksi tersebut, rata-rata

147
tingkat produksi adalah 25,83 ton TBS/ha/tahun. Tingkat produksi ini lebih tinggi
dari hasil penelitian Winarna (2007) dimana tingkat produksi TBS pada lahan
gambut saprik berkisar 23,2 ton TBS/ha/tahun.
Tabel 30. Prediksi Rata-Rata Tingkat Produksi Tandan Buah Segar (TBS)
Kelapa Sawit Varietas LaMe Di Kebun Plasma Sei Pagar
No
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
Rata-rata

Produksi TBS (Ton/Ha/Tahun)


0
0
0
14,82
19,33
22,68
25,52
28,06
30,24
31,98
33,65
34,79
35,21
34,88
34,28
32,91
31,90
30,14
28,33
26,80
25,33
23,81
21,67
19,46
17,20
17,30
25.83

Walaupun produksi TBS simulasi lebih tinggi dari hasil kelapa sawit
plasma, kecenderungan produksi menunjukkan kemiripan dengan produksi TBS
petani plasma di lapangan saat ini yang umur tanaman kelapa sawit antara 1722 tahun. Pada umur tanaman kelapa sawit 17 tahun, rata-rata produksi TBS
petani lebih rendah yaitu sekitar 24,00 ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan
hasil simulasi sebesar 30,14 ton TBS/ha/tahun. Pada umur kelapa sawit 22

148
tahun, produksi petani sebesar 21,00 ton TBS/ha/tahun, lebih rendah dari hasil
simulasi sebesar 21,67 ton TBS/ha/tahun. Secara umum, rata-rata produktivitas
kelapa sawit plasma adalah 22,70 ton TBS/ha/tahun, sedangkan rata-rata
produksi simulasi sebesar 25,83 ton TBS/ha/tahun, lebih tinggi sekitar 13,79%.
Peningkatan produksi simulasi ini untuk mengantisipasi peningkatan tingkat
kesejahteraan sosial ekonomi petani pada periode mendatang yang cenderung
meningkat akibat inflasi dan peningkatan kebutuhan hidup.
4.6.2.2. Uji Validitas Kinerja
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dibangun layak
secara akademik dan juga untuk menghindari model yang salah. Cara pengujian
yang umum dilakukan adalah dengan memvalidasi output model menggunakan
uji statistik yang dikembangkan oleh Muhammadi et al. (2001) yaitu uji statistik
penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap aktual (absolut mean
error, AME) dan uji penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual (absolut
variation error, AVE) dengan kisaran nilai maksimal 10%. Lebih lanjut, dikatakan
bahwa uji validitas kinerja dapat dilakukan terhadap satu atau lebih variabel yang
dominan baik pada main model maupun co model. Berdasarkan hal tersebut dan
ketersediaan data yang ada, maka dipilih perkembangan jumlah penduduk
aktual dan simulasi di lokasi penelitian selama 5 tahun terakhir yaitu tahun 20032007 sebagai variabel untuk pengujian validasi kinerja (Tabel 31).
Tabel 31. Perbandingan Jumlah Penduduk Aktual dan Hasil Simulasi Kebun
Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2003-2007
No

Jumlah Penduduk

Tahun
Aktual

Simulasi

2003

11 715

11 654

2004

11 943

11 857

2005

12 182

12 063

2006

12 413

12 273

2007

13 643

12 487

Adapun rumus untuk menghitung AME dan AVE adalah sebagai berikut:
AME

= (Si Ai)/Ai X 100%

AVE

= (Ss Sa)/Sa X 100%

149
Dimana:
Si = Si/N ;
Ai = Ai/N ;
Ss = ((Si Si)2/N) ;
Sa = ((Ai Ai)2/N) ;

S = nilai simulasi
A = nilai aktual
Ss = deviasi nilai aktual
Sa = deviasi nilai simulasi
N = interval waktu pengamatan

Aplikasi rumus AME dan AVE terhadap jumlah dan perkembangan


penduduk antara aktual dan hasil simulasi tersebut diperoleh nilai AME berkisar
antara 0,55% sampai 1,24% dan nilai AVE berkisar antara 1,06% sampai 5,02%.
Kedua kisaran nilai tersebut masih dibawah nilai batas yang diperbolehkan yaitu
10% sehingga model yang dibangun memiliki kinerja yang baik, relatif tepat dan
dapat diterima secara ilimiah.
Berdasarkan jumlah dan perkembangan penduduk selama 5 tahun
tersebut dilakukan estimasi perkembangan penduduk aktual dan simulasi untuk
kurun waktu 25 tahun yaitu dari tahun 2010 sampai 2035 (Gambar 28). Terlihat
adanya kemiripan pola perkembangan jumlah penduduk antara aktual dengan
simulasi. Aktualnya, rata-rata pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian adalah
2,0 persen, simulasi sistem sebesar 1,71 persen. Ini menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan secara lebih intensif sehingga
tekanannya terhadap penggunaan lahan bisa lebih rendah.

Laju Perkembangan Penduduk

Jumlah Pneduduk

25000

20000
Nyata
Simulasi

15000

10000
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun

Gambar 28. Estimasi Perkembangan Jumlah Penduduk Aktual dan


Simulasi Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar

150
4.6.2.3. Uji Kestabilan Model
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan model dari dimensi waktu
dengan cara membandingkan hasil simulasi main model dengan co modelnya
(Muhammadi et al., 2001). Jika hasil simulasi dari variabel yang dibandingkan
menunjukkan kemiripan pola maka model yang dikembangkan termasuk
kategori stabil. Dalam penelitian ini, uji kestabilan model dilakukan dengan cara
membandingkan hasil simulasi

produktivitas lahan, kerusakan lingkungan

karena degradasi lahan, pendapatan petani dan kualitas sumberdaya manusia


akibat pemanfaatan untuk perkebunan kelapa sawit.
Secara umum, hasil simulasi memperlihatkan semua variabel yang
dibandingkan memiliki pola yang mirip mengikuti pola s-curve. Hal ini merupakan
pola

umum

dari

pemanfaatan

pertanian/perkebunan

sumberdaya

lahan

untuk

(Meadows,1987). Namun demikian, curve

kegiatan
variabel

produktivitas lahan, kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan dan kualitas


sumberdaya manusia (SDM) memperlihatkan pola yang

mirip. Variabel

produktivitas lahan meningkat cepat pada periode awal, diikuti peningkatan yang
lambat dan pada periode akhir produktivitas lahan cenderung menurun (Gambar
29). Sementara curve variabel pendapatan petani terlihat adanya penurunan
pendapatan yang lebih tajam pada periode umur tanaman melewati 20 tahun.
Produktivitas Lahan

Produktivitas (Ton TBS/Ha/Thn)

60

50

40

30

20

10
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun

Gambar 29. Prediksi Pola Produktivitas Lahan pada Model Pengelolaan


Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

151
Pada kasus ini, pola produktivitas lahan merupakan kombinasi faktor
eksternal (manajemen yang diterapkan) dengan faktor internal (sifat-sifat tanah
dan iklim). Aplikasi manajemen yang tepat terutama pemupukan yang sesuai
dengan konsep 5T (tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu pemberian, tepat cara
pemberian dan tepat frekuensi pemberian) akan bisa mempertahankan tingkat
produktivitas lahan. Hal ini erat kaitannya dengan keseimbangan dinamika unsur
hara di dalam tanah antara unsur yang masuk ke dalam tanah dan unsur yang
keluar dari dalam tanah. Sifat-sifat tanah sebagai media pertumbuhan kelapa
sawit yang umum merupakan lahan marginal dengan ketersediaan unsur hara
rendah dan banyaknya kebutuhan unsur kelapa sawit menyebabkan tambahan
unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman menjadi vital untuk menjaga
produktivitas lahan

Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan


0.09

Degradasi Lahan (%)

0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun

Gambar 30. Prediksi Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan pada


Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
di Sei Pagar
Terpeliharanya produktivitas lahan diperkuat oleh pola kerusakan
lingkungan akibat degradasi lahan (Gambar 30). Dari kurva terlihat adanya
peningkatan degradasi lahan rendah sekitar 0,03-0,08% yang disebabkan oleh
kondisi topografi dan penerapan teknologi pengelolaan tanaman. Topografi
lokasi sebagian besar datar dengan lereng 0-5% dan hanya sebagian kecil
berombak dengan lereng antara 5-8%. Kondisi topografi ini dan sistem perakan
tanaman kelapa sawit yang rapat sampai ke permukaan tanah mampu menahan

152
laju aliran permukaan pada waktu musim hujan maupun banjir. Pada kondisi
seperti di lokasi penelitian, tanaman kelapa sawit memenuhi syarat sebagai
tanaman konservasi karena memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan
memperbaiki tata air (Harahap, 2007). Dengan demikian, aplikasi pemupukan
konsep 5T akan efektif menjaga produktivitas lahan dan meningkatkan produksi
kelapa sawit. Pada kondisi topografi yang berlereng lebih terjal (bergelombang
sampai berbukit) maka produktivitas lahan cenderung menurun lebih cepat
karena tingginya erosi dan aliran permukaan. Laju erosi yang tinggi ini
merupakan faktor utama dari penurunan kualitas lahan selain pencemaran air
dan tanah akibat penggunaan sarana produksi (pupuk dan pestisida). Hal ini
seperti dilaporkan oleh Wigena et al. (2006) yang melakukan penelitian pada
kebun kelapa sawit di Desa Tanjung Benuang, Jambi, bahwa kerusakan
lingkungan akibat degradasi lahan terjadi lebih intensif dan menurunkan
produktivitas lahan secara nyata. Penurunan produktivitas lahan yang kecil
tersebut juga berkaitan dengan pola penurunan daya dukung lingkungan yang

Daya Dukung Lingkungan (%)

rendah (Gambar 31).

0.9995

0.9990

0.9985

0.9980
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun

Gambar 31. Prediksi Pola Daya Dukung Lingkungan pada Pengelolaan


Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Dengan asumsi nilai daya dukung lingkungan sebesar 1,0 sebagai nilai
yang menunjukkan daya dukung lingkungan yang terbaik (100%) maka daya
dukung lingkungan di kebun plasma kelapa sawit Sei Pagar masih tergolong
baik. Penurunan daya dukung lingkungan berkisar antara 0,002 0,01% atau

153
relatif tidak menurun selama pemanfaatan lahan untuk kebun kelapa sawit. Hal
ini disebabkan oleh kualitas lahan, air tanah permukaan dan udara yang masih
mampu mendukung pertumbuhan dan produksi kelapa sawit.
Hasil analisis fisika dan kimia tanah (Lampiran 17 dan Lampiran 18)
adalah faktor lainnya yang mendukung kondisi produktivitas lahan tersebut.
Terlihat adanya beberapa parameter yang kurang sesuai untuk kebutuhan hidup
tanaman kelapa sawit yaitu pH yang masam (<4,5), kejenuhan basa rendah
(<24%) dan KTK rendah (<16 me/100 grm)(Djaenudin et al., 2003). Selama
penelitian, dilakukan wawancara dengan petani di lokasi penelitian dimana hasil
wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) petani menyatakan
kualitas

lahan

agak/sedikit

menurun

dengan

berjalannya

waktu

akibat

pemanfaatan untuk kegiatan perkebunan, sebagian kecil (15%) menyatakan


menurun dan 5% menyatakan kualitas lahan tetap (Gambar 32).
Status Kualitas Lahan
90
80

Persentase petani

70
60
Tetap

50

Agak menurun

40

Menurun

30
20
10
0
1

Kualitas lahan

Gambar 32. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Lahan yang


Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Di Kebun
Plasma Sei Pagar
Beragamnya jawaban petani ini erat kaitannya dengan tingkat penerapan
teknologi pengelolaan. Penerapan teknologi pengelolaan yang baik umumnya
bisa menjaga kualitas lahan dan sebaliknya aplikasi teknologi yang kurang baik
menyebabkan
mengindikasikan

penurunan

kualitas

pemahaman

lahan.

petani

Hasil

wawancara

terhadap

pentingnya

ini

juga

peranan

pemeliharaan tanaman yang sesuai standar anjuran terutama pemupukan masih

154
bervariasi. Dikaitkan dengan kelestarian sumberdaya alam dan target produksi,
perilaku petani masih memerlukan bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif
agar pemahaman tersebut semakin meningkat. Keharmonisan kinerja antara
instansi terkait menjadi penting dalam rangka membina petani menyangkut
aspek teknis, ekonomi dan sosial. Lebih lanjut, infrastruktur dan sistem
pengadaan sarana produksi agar tepat waktu dan jenis pupuk yang dibutuhkan
oleh kelapa sawit perlu diperbaiki untuk mencapai kondisi berkelanjutan.
Selain hasil analisa tanah, hasil analisis kimia air tanah permukaan
menunjukkan adanya perubahan yang tidak nyata terhadap kebutuhan tanaman
(Lampiran 17). Nilai pH masih baik (>4,7), kadar kation (K, Ca, Mg,Na) masingmasing 0,01-0,02 me/ltr air, 0,02-0,07 me/ltr air 0,01-0,02 me/ltr air dan 0,020,08 me/ltr air. Kadar anion ( SO4, HCO3, NO3) juga memperlihatkan konsentrasi
yang mirip yaitu 0,01-0,02 me/ltr air, 0,02-0,07 me/ltr air dan 0,01-0,02 me/ltr air.
Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa semua petani menilai
kualitas air dan udara tetap (Gambar 33).
Status Kualitas Air dan Udara
120

Persentase petani

100

80
Air

60

Udara

40

20

0
1

Gambar 33. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Air Permukaan


dan Udara yang Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa
Sawit Plasma Di Sei Pagar.
Respon petani terhadap kualitas air ini kemungkinan berkaitan dengan
pemanfaatan air permukaan hanya untuk tanaman, sedangkan untuk kegiatan
rumahtangga petani memakai air tanah dengan membuat sumur bor. Sementara
itu, terhadap kualitas udara mungkin berkaitan dengan kondisi penutupan lahan

155
yang sudah rapat oleh kanopi kelapa sawit dan jauhnya tempat tinggal petani
dari lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga tidak kena pengaruh
aktivitas pabrik kelapa sawit.
Berkaitan dengan daya dukung lingkungan, limbah cair pabrik kelapa
sawit (PKS) bisa memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan produktivitas
lahan, lebih-lebih limbah cair PKS di lokasi penelitian dipakai sebagai sumber
bahan pembaik tanah ataupun pupuk organik yaitu system Land Application
(LA). Untuk melihat hal tersebut, dilakukan analisis kimia dan biologi contoh
limbah cair PKS dengan mengambil contoh pada kolam input LA (Lampiran 19,
Tabel 32).
Tabel 32.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Sifat-Sifat Kimia dan Biologi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di


Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Parameter

BOD (mg/l)
Fe (mg/l)
Al (mg/l)
Cu (mg/l)
Pb (mg/l)
Cd (mg/l)
Co (mg/l)
Hg (ppb)
Minyak dan lemak (mg/l)

Bakumutu
3500
0,3
0,2
1,0
3,0
0,005
0,1
0,05
3000

Nilai
Pengukuran contoh
2348
0.10
Td
0,00
1,12
0,00
0,04
Ttd
770

Keterangan: ttd = tidak terukur

Beberapa parameter yang diukur nilainya di bawah NAB seperti BOD


sebesar 2348 mg/ltr, minyak dan lemak 770 mg/ltr. Demikian juga dengan
konsentrasi logam seperti Fe, Al, Cu, Pb, Cd, Co dan Hg nilainya di bawah NAB.
Ini menunjukkan bahwa

limbah cair PKS yang diaplikasikan sebagai bahan

pembaik tanah/pupuk organik sudah memenuhi standar kualitas, baik secara


kimia maupun biologi. Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk organik
memberikan peluang untuk mengurangi kebutuhan pupuk anorganik baik pupuk
tunggal (Urea, SP-36, KCl, dolomit) maupun pupuk majemuk (NPK). Hal ini juga
membantu petani dalam meminimalkan biaya produksi untuk pembelian pupuk
anorganik yang harganya semakin mahal. Di pihak lain, terbatasnya produksi
limbah cair dan lamanya waktu yang diperlukan untuk fermentasi limbah cair
segar sampai siap

diaplikasikan ke tanaman

menjadi kendala dalam

memproduksi pupuk organik limbah cair. Sampai saat ini, pupuk organik limbah

156
cair baru bisa diaplikasikan pada luasan pertanaman terbatas terutama pada
areal kebun inti saja.
Dilihat dari variabel-variabel yang berkaitan dengan lahan, produktivitas
lahan untuk tanaman kelapa sawit di lokasi penelitian masih tergolong baik.
Tingkat kesesuaian lahan termasuk kelas S2 (cukup sesuai) dengan tingkat
produksi rata-rata sebesar 22,04 ton TBS/ha/tahun. Selain itu, analisis contoh
daun juga menunjukkan kadar unsur hara di dalam tanah yang sebagian besar
masih mampu memenuhi kebutuhan tanaman (Lampiran 20, Tabel 33).
Tabel 33. Kadar Beberapa Unsur Hara Contoh Daun Kelapa Sawit Plasma Di
Kebun Sei Pagar
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jenis unsur hara


Nitrogen (%)
Phosphor (%)
Kalium (%)
Magnesium (%)
Kalsium (%)
Sulfur (%)

Nilai
Bakumutu*
Pengukuran
2,50
2,51-2,73
0,15
0,15
1,00
0,5
0,24
0,22-0,28
0,60
0,77-0,99
0,22
0,13-0,15

Status
Baik
Baik
Defisien
Baik
Baik
Defisien

Keterangan: * Sumber: Fairhurst (2002)

Kadar unsur hara makro (N, P, Ca, dan Mg) masih dalam konsentrasi
yang memenuhi kebutuhan tanaman, sementara itu K dan S dibawah kebutuhan
tanaman. Hal ini berkaitan dengan tingkat kebutuhan tanaman terhadap kalium
yang melebihi unsur hara lainnya sehingga kekurangan unsur kalium merupakan
gejala umum dari tanaman kelapa sawit. Melihat gejala ini, usaha yang banyak
dilakukan saat ini adalah dengan mengembalikan tandan buah kosong ke areal
kebun sebagai sumber utama kalium (Fairhust, 2002). Sementara itu, kadar
unsur hara mikro kelihatannya masih memenuhi kebutuhan tanaman.
Secara ekonomi penerimaan dan pendapatan petani kelapa sawit plasma
menujukkan pola yang mirip dengan pola variabel produksi tandan buah segar
tanaman yang meningkat cepat di awal periode, diikuti dengan peningkatan
melambat dan menurun di akhir periode (Gambar 34). Hal ini memang logis
karena penerimaan petani diperoleh dari jumlah panen TBS dikalikan dengan
harga satuan

TBS. Pendapatan petani diperoleh dengan cara mengurangi

penerimaan biaya produksi, biaya pemasaran dan biaya-biaya lainnya (biaya


perbaikan jalan, iuran peribadatan, biaya timbangan dan biaya keamanan).

157
Biaya Produksi (BYPROD), Penerimaan (PNRMN) dan Pendapatan (PDPT) Petani
50,000,000
2

40,000,000
2

1
30,000,000

Rp/Ha/Tahun

2
1

20,000,000

2
10,000,000

2,015

2,020

PDPT_PETANI
PNRMN_PETANI
BYPROD

02

-10,000,000 1
2,010

2,025

2,030

2,035

Tahun

Gambar 34. Prediksi Pola Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan


Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar
Hal yang menarik adalah adanya sedikit perbedaan antara pola produksi
TBS dengan produktivitas lahan disebabkan oleh tidak adanya dominasi alamiah
faktor internal pada variabel produktivitas lahan. Jadi sifat-sifat bawaan tanah
(inherent soil properties) sudah berinteraksi dengan faktor lainnya seperti iklim
dan manajemen membentuk pola produktivitas lahan yang agak menurun pada
periode akhir siklus tanaman kelapa sawit. Produksi TBS merupakan fungsi dari
interkasi faktor eksternal (pengelolaan dan sifat-sifat lahan) dengan sifat genetik
tanaman. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan dimana produksinya sangat
dipengaruhi oleh umur tanaman yang polanya meningkat pada umur tanaman
muda, diikuti dengan peningkatan produksi lambat dan kemudian menurun pada
umur tanaman tua karena faktor usia. Secara ekonomis, umur kelapa sawit yang
sudah tua (melebihi 25 tahun) sudah tidak layak dan perlu diremajakan .
Kelapa sawit merupakan komoditas global sehingga pengelolaannya
dilakukan dengan penerapan agribisnis dengan skala ekonomi minimal 50006000 hektar/unit usaha. Hal ini memerlukan biaya produksi yang besar terutama

158
pada awal periode dimana petani tidak mungkin untuk membiayai sendiri.
Solusinya adalah pinjaman berjangka dari bank negara/swasta nasional dengan
tingkat suku bunga tertentu. Adanya pengaruh tingkat inflasi dan faktor ekonomi
lainnya menyebabkan meningkatnya modal kerja yang dibutuhkan untuk
pengelolaan kebun kelapa sawit yang memenuhi standar yang ditetapkan. Modal
kerja dipakai untuk biaya produksi terutama di periode awal tanam sampai
tanaman mulai menghasilkan (sekitar 3 tahun). Dengan asumsi rata-rata tingkat
produksi TBS yang ingin dicapai sebesar 25,83 ton TBS/ha/tahun, kebutuhan
modal kerja untuk operasional 3 tahun tersebut sekitar Rp. 22 833 500/ha.
Jumlah biaya ini sedikit lebih tinggi dari pola Program Revitalisasi Perkebunan
Kelapa Sawit yang dirancang oleh Departemen Pertanian Tahun 2007 sebesar
Rp. 22 000 000/ha (Ditjenbun, 2007). Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan
inflasi dan harga produk kelapa sawit terutama TBS yang cenderung meningkat
akhir-akhir ini.
Setelah

periode

awal

tersebut,

biaya

produksi

memperlihatkan

peningkatan dengan meningkatnya umur kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya upah buruh yang menyangkut upah pemeliharaan tanaman
(pemangkasan pelepah daun, pengendalian gulma dan hama/penyakit

dan

pemupukan), upah panen dan biaya transportasi dari kebun ke PKS. Sampai
umur kelapa sawit 25 tahun, biaya produksi terus meningkat terutama upah
panen karena panen semakin sulit dilakukan. Pada beberapa kasus, kelapa
sawit perlu diremajakan walaupun masih produktif karena biaya produksi tinggi
dan secara teknis panen sulit dilakukan.
Dari pola pendapatan, diperoleh rata-rata pendapatan petani sebesar Rp.
22 859 950/ha/tahun atau sebesar Rp. 1 904 995/ha/bulan dengan laju
pertumbuhan pendapatan rata-rata sebesar 3,35% (Tabel 34). Dengan
kepemilikan lahan seluas 2,0 hektar/kk maka pendapatan petani menjadi Rp. 45
719 900/tahun. Pendapatan masyarakat di sekitar kebun rata-rata sebesar Rp.
16 845 025/tahun. Tingkat pendapatan ini kemungkinan besar melebihi tingkat
pendapatan yang bersumber dari Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Riau
yang saat ini besarannya sekitar Rp. 1 000 000/bulan.
Perbandingan lainnya adalah kondisi dimana pendapatan petani mampu
memenuhi tingkat Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang mencakup pemenuhan
kebutuhan dasar petani, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan sedikit
menabung. Konsep KHL terdapat pada petani padi dimana dengan asumsi

159
jumlah anggota rumahtangga petani 3-4 orang/kepala keluarga, produksi beras
minimal 5000 kg/tahun. Dengan tingkat harga beras Rp. 4000/kg maka
pendapatan petani pada konsep KHL sebanyak Rp. 20 000 000/tahun
(Sinukaban, 2007). Tingkat pendapatan hasil simulasi tersebut juga sudah
memenuhi target Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui pengembangan
sektor perkebunan. Dengan visi Mewujudkan kebun untuk kesejahteraan
masyarakat Riau tahun 2020, target pendapatan petani kebun kelapa sawit
diharapkan rata-rata sebesar US $ 2000/kk/tahun (Husien dan Hanafi, 2005).
Tabel 34. Rata-Rata Pendapatan Petani Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei
Pagar
No
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Rata-rata

Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035

Laju pertumbuhan rata-rata

Pendapatan petani
(Rp/Ha/Thn)
-9 900 000
-4 638 400
-3 728 450
14 210 200
19 499 470
23 248 980
26 661 375
29 500 780
31 914 925
33 807 730
35 346 670
36 522 300
36 875 255
36 344 950
35 505 510
33 760 550
32 431 490
30 222 975
27 846 980
26 015 190
24 117 580
22 165 125
19 477 830
16 704 840
13 868 100
13 716 775
22 859 950
3,35%

160
Hal yang menarik pada pola pendapatan petani adalah adanya
pendapatan negatif selama 3 tahun pertama. Hal ini menunjukkan bahwa petani
pada

periode

awal

tersebut

tidak

memperoleh

pendapatan

melainkan

mengeluarkan dana untuk membiayai produksi seperti biaya bibit, pembukaan


lahan, tenaga kerja tanam dan lain-lain. Modal kerja yang berupa hutang ke
bank sebagaian besar diinvestasikan selama periode tersebut. Sementara itu,
untuk pendapatan, petani melakukan beberara kiat antara lain dengan menanam
tanaman pangan di sela barisan kelapa sawit, berburuh tani di kebun tetangga
ataupun perusahaan inti dan melakukan pekerjaan di luar usaha perkebunan
tukang ojek, jasa pertukangan dan jasa lainnya. Pada kasus di lokasi penelitian,
selain usaha tersebut, petani juga memiliki kebun kelapa sawit di luar kebun
plasmanya yaitu di lahan pangan dan pekarangan dengan luasan sekitar 1,0
hektar. Pada saat penelitian dilakukan, umur kelapa sawit di lahan pangan dan
pekarangan antara 10-12 tahun.
Pendapatan yang diterima petani dialokasikan untuk biaya rumahtangga,
pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan tabungan untuk perbaikan rumah,
peremajaan kebun dan keperluan lainnya. Meningkatnya pendapatan petani
berimbas kepada perbaikan kondisi sosial terutama kualitas sumberdaya
manusia seperti pendidikan (Gambar 35).

Pola curve peningkatan kualitas

sumberdaya manusia mirip dengan pola produktivitas lahan dimana meningkat


cepat pada priode awal, melambat pada priode pertengahan umur tanaman dan
kemudian relatif mendatar bahkan cenderung menurun pada akhir umur
tanaman. Hal ini berkaitan dengan pola pendapatan petani sebagai sumber
pembiayaan dalam mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam kaitannya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit,
kualitas sumberdaya manusia disetarakan dengan peningkatan produktivitas
tenaga kerja sebagai dampak dari tingkat pendidikan yang dicapai. Produktivitas
ini kemudian berhubungan dengan kemampuan untuk memperoleh dan
mengaplikasikan teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit yang tepat sesuai
kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani. Tersedianya fasilitas pendidikan yang
bisa diakses petani dari tingkat Sekolah Dasar, SLTP, SLTA dan bahkan sampai
ke jenjang Perguruan Tinggi sangat membantu dalam meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia di lokasi penelitian. Dengan kondisi tersebut, diharapkan
kualitas sumberdaya manusia meningkat di sektor perkebunan kelapa sawit
sampai mencapai pendapatan sekitar Rp. 55 000 000/tahun (sumbu Y).

161

Pendidikan Masyarakat
60

Tingkat pendidikan

50

40

30

20

10
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun

Gambar 35. Prediksi Pola Peningkatan Pendidikan Petani pada Model


Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar
Selain simulasi, untuk mengetahui kondisi pendidikan juga dilakukan
wawancara

dengan

petani

plasma.

Hasil

wawancara

dengan

petani

menunjukkan bahwa kehadiran kebun kelapa sawit meningkatkan pendidikan


petani secara nyata. Hanya 5 persen petani yang menyatakan pendidikan agak
meningkat, 80 persen menyatakan pendidikan meningkat dan 15 persen
menyatakan pendidikan meningkat dengan nyata (Gambar 36). Yang menarik
disini adalah proporsi persentase pendidikan tersebut juga sebagai cerminan
jenjang pendidikan yang diharapkan bisa dicapai. Jadi nantinya hanya sekitar
5% saja petani yang mencapai pendidikan rendah (Tamat SD), 80% petani
sudah menyelesaikan pendidikan SMP/SMA dan skitar 16% bisa mencapai
jenjang Perguruan Tinggi. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama umumnya ditempuh di desa-desa lokasi penelitian.
Untuk jenjang Sekolah Menengah Atas ditempuh di kota Pekanbaru, sedangkan
untuk jenjang Perguruan Tinggi ditempuh di Pekanbaru atau kota lainnya seperti
Padang, Yogyakarta, Bogor dan Bandung.

162

STATUS PENDIDIKAN PETANI


90

Persentase Petani

80
70
60
Agak meningkat

50

Meningkat

40

Meningkat nyata

30
20
10
0
1
Status Pendidikan

Gambar 36. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Pendidikan Petani


pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar
Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia berdampak positif terhadap
perilaku masyarakat terutama yang berkaitan dengan kepedulian terhadap
lingkungan dan pengelolaan kebun kelapa sawit. Beberapa indikator yang dapat
dilihat antara lain konflik sosial, perbaikan fasilitas umum, kesehatan masyarakat
dan penyerapan tenaga kerja. Wawancara dengan petani menunjukkan bahwa
sekitar 10% menyatakan konflik

sosial tetap dan 90% menyatakan agak

meningkat (Gambar 37). Walaupun demikian, secara kuantitatif, konflik antara


petani dengan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit termasuk jarang dan
timbul akibat keterkaitan petani plasma dengan perusahaan Inti bukan dari
masalah kelompok petani sendiri. Sumber konflik yang dominan adalah masalah
penguasaan lahan, kecemburuan sosial masyarakat lokal karena perhatian
pemerintah daerah lebih fokus kepada kelompok tani plasma dalam aplikasi
program-program pemberdayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tingkat
kepercayaan pemerintah daerah kepada kelompok tani plasma lebih tinggi,
lebih-lebih jika program tersebut ada sarana bantuan yang harus digulirkan
kepada kelompok lainnya.

163

Status Konflik Sos ial


100
90
Persentase petani

80
70
60

Tetap

50

Agak meningkat

40
30
20
10
0
1
Konf lik

Gambar

37.

Pendapat Petani terhadap Perubahan Konflik Sosial


Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

Melihat kondisi tersebut, solusi yang diambil oleh pemerintah daerah


adalah memperbaiki strategi pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan
masyarakat

lokal

bekerjasama

lebih

dengan

intensif.

Perusahaan

Dalam
Inti

aplikasinya,
dengan

strategi

dilakukan

merealisasikan

program

Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) yang menyangkut


aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, peribadatan dan kesehatan. Program
ini dilaksanakan berdasarkan acuan dari Surat keputusan Menteri Pertanian
yaitu Permen No. 05/MBU/2007 tanggal 24 April 2007 tentang Pemberdayaan
Masyarakat dengan menyisihkan keuntungan dari Perusahaan Inti sebesar
2,5%. Kegiatan yang dilakukan berupa Program Usaha Kecil dan Koperasi
(PKUK) yang bisa diakses oleh koperasi maupun kelompok tani.
Dengan program tersebut, fasilitas umum memperlihatkan perbaikan baik
dari segi kuantitas maupun kualitas. Wawancara dengan petani menunjukkan
bahwa 75% petani menyatakan kondisi fasilitas umum membaik dan sekitar 25%
menyatakan membaik secara nyata (Gambar 38). Sejalan dengan itu, kesehatan
masyarakat juga membaik dimana sebanyak 60% petani menyatakan kesehatan
masyarakat membaik dan 40% menyatakan membaik secara nyata (Gambar
39).

Indikator

kesehatan

masyarakat

dan

kondisi

fasilitas

umum

ini

mengindikasikan adanya dampak yang positif terhadap produktivitas masyarakat


dalam mengelola perkebunankelapa sawit. Produktivitas petani meningkat

164
berdampak terhadap produktivitas tanaman dan peningkatan daya serap tenaga
kerja dalam memproduksi dan pengolahan hasil perkebunan.

Status Fasilitas Umum


80
Persentase petani

70
60
50

Membaik

40

Membaik nyata

30
20
10
0
1
Fasilitas umu

Gambar 38. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Fasilitas Umum


pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar

Status Kesehatan Masyarakat


70
Persentase petani

60
50
40

Membaik

30

Membaik nyata

20
10
0
1

Kesehatan masyarakat

Gambar 39. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Kesehatan


Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

165
Penyerapan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit terjadi pada proses
produksi TBS dan pengolahan hasil TBS pada pabrik pengolahan kelapa sawit
(PKS) yang memproses TBS menjadi crude palm oil (CPO)(Gambar 40).
Wawancara dengan petani dan pekerja PKS memperlihatkan bahwa sebanyak
20% menyatakan adanya penyerapan tenaga kerja yang agak meningkat dan
sebanyak 80% menyatakan penyerapan tenaga kerja yang meningkat akibat
adanya

perkebunan

kelapa

sawit.

Peningkatan

serapan

tenaga

kerja

dimungkinkan oleh penerapan teknologi pengelolaan kebun yang semakin


intensif pada proses produksi TBS dan penerapan sistem Land Application (LA)
pada PKS.

Persentase petani

Status Penyerapan Tenaga Kerja


90
80
70
60
Agak meningkat

50
40
30
20
10
0

Meningkat

Penyerapan tenaga kerja

Gambar 40.

Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Penyerapan


Tenaga Kerja pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

Pengelolaan yang intensif secara langsung membutuhkan tenaga kerja


lebih banyak dan memberikan hasil TBS yang lebih tinggi. Untuk tenaga kerja di
kebun, tidak banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh pekerja. Umumnya
petani sudah mau memakai tenaga kerja yang tergolong masih usia produktif
(umur 15-60 tahun) dan sehat jasmani. Sementara itu, untuk tenaga kerja di
PKS, perekrutannya mengacu kepada Surat Keputusan Direktur Utama PT.
Perkebunan Nusantara V Tahun 2002 No 85-SKEP/05.D1/05.09/XI/2002.
Berdasarkan ketermapilannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan
PKS dapat dikelompokkan menjadi tenaga penyeleksi TBS dengan latar

166
belakang pendidikan agronomi, tenaga mekanik pengolahan TBS dengan latar
belakang pendidikan teknik mesin, tenaga pengontrolan mutu minyak sawit
mentah (crude palm oil, CPO) dengan latar belakang pendidikan industri kimia
serta tenaga pengelolaan limbah padat dan cair PKS dengan latar belakang
pendidikan kimia/biologi.
4.6.2.4. Uji Sensitivitas Model
Uji sensitivitas dilakukan untuk melihat respon model yang dibangun
terhadap suatu stimulus. Hal ini berkaitan dengan selalu terjadinya perubahan
dari variabel-variabel model akibat adanya intervensi eksternal seperti
perubahan harga TBS, luas areal tanam karena pertambahan penduduk,
perubahan harga sarana produksi dan lain-lain. Respon tersebut ditunjukkan
dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus dilakukan dengan
memberikan intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji
sensitivitas model terlihat dalam bentuk perubahan perilaku dan atau kinerja
model sehingga dapat diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu
atau lebih unsur dari model yang dibangun (Muhammadi et al., 2001). Hartrisari
(2007) menyatakan bahwa analisis sensitivitas secara umum menyatakan
sejauh mana kesimpulan hasil model dapat berubah bila variabel model dirubah.
Terdapat tiga jenis pengujian sensitivitas yaitu (1) sensitivitas numerik, (2)
sensitivitas perilaku model dan (3) sensitivitas kebijakan.
Dalam penelitian ini, uji sensitivitas yang dilakukan adalah uji sensitivitas
numerik dengan cara mengubah input yang yaitu luas lahan petani yang
cenderung menurun di masa mendatang akibat bertambahnya penduduk.
Perubahan numerik tersebut berupa luas lahan 6000 hektar menjadi 4500 hektar
dan 3000 hektar. Pada luasan lahan kebun kelapa sawit 6000 hektar
pendapatan petani menujukkan pola peningkatan pendapatan yang cepat pada
awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir
periode pertumbuhan (Gambar 41). Pada kondisi tersebut, menunjukkan bahwa
setiap kepala keluarga petani plasma memiliki luasan kebun 2,0 hektar sesuai
dengan pembagian lahan pada saat penempatan sebagai transmigrasi. Produksi
TBS petani rata-rata sebanyak 25,83 ton TBS/ha/tahun dan rata-rata
pendapatan Rp. 22 859 950/tahun.

167

Pendapatan petani (Rp/ha/thn)

40000000

30000000

20000000

10000000

0
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun
-10000000

Gambar 41. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan pada Luas Lahan 6000 Hektar
Jika dilakukan uji sensitivitas dengan merubah luas lahan menjadi lebih
sempit yaitu 4500 hektar pola pendapatan petani masih menunjukkan pola sama
dengan luas lahan 6000 hektar (Gambar 42). Pola pendapatan petani terlihat
masih mengikuti pola luasan lahan 6000 hektar dimana cepat pada awal
pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir
periode pertumbuhan. Produksi TBS dan pendapatan petani pada luas lahan
4500 hektar menurun mengikuti penurunan luas lahan dimana rata-rata produksi
adalah sebesar 18,75 ton TBS/ha/tahun dan rata-rata pendapatan petani Rp. 17
257 000/ha/tahun.
Uji sensitivitas dengan luas lahan 3000 hektar yang berarti setiap kepala
keluarga memiliki kebun kelapa sawit seluas 1,0 hektar akibat pertambahan
penduduk. Hasil uji sensitivitas juga menunjukkan pola pendapatan yang sama
dengan luas lahan 6000 hektar (Gambar 43). Pola pendapatan petani terlihat
cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun
pada akhir periode pertumbuhan. Produksi TBS dan pendapatan petani juga
menurun seperti halnya pada luas lahan 4500 hektar dimana rata-rata produksi
sebesar 12,6 ton TBS/ha/tahun dan rata-rata pendapatan petani sebesar Rp. 9
947 560/ha/tahun.

168

Pendapatan petani (Rp/ha/thn)

30000000

20000000

10000000

0
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun
-10000000

Pendapatan petani (Rp/ha/thn)

Gambar 42. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan pada Luas Lahan 4500 Hektar

20000000

10000000

0
2010

2015

2020

2025

2030

2035

Tahun
-10000000

Gambar 43. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma


Berkelanjutan pada Luas Lahan 3000 Hektar
Hasil uji sensitivitas menunjukkan model pengelolaan kebun plasma
kelapa sawit berkelanjutan respon terhadap perubahan numerik input yaitu luas
lahan akibat pertambahan penduduk. Pendapatan petani sebagai variabel
numerik output model memperlihatkan pola yang sama pada luas lahan 6000
hektar, 4500 hektar dan luas lahan 3000 hektar. Pola pendapatan tersebut
mengikuti pola produksi TBS yaitu meningkat cepat di awal periode
pertumbuhan tanaman diikuti dengan peningkatan lambat dan akhirnya menurun

169
pada akhir periode pertumbuhan tanaman. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa
model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan yang dibangun
termasuk kategori baik.
Berdasarkan hasil simulasi, pola pada ketiga sub model yang dibangun,
menunjukkan kemiripan yang menonjol yaitu pola berbentuk s-curve (limit to
growth). Pola seperti ini merupakan kondisi umum dari pemanfaatan lahan,
hutan ataupun lainnya dimana pada periode awal pertumbuhannya cepat, diikuti
pertumbuhan lambat dan periode pertumbuhan tetap atau bahkan cenderung
menurun terutama pada variabel produksi TBS dan pendapatan petani. Hal ini
disebabkan oleh faktor internal tanaman kelapa sawit yaitu umur tanaman yang
berkaitan dengan penurunan fungsi sel tanaman dan berpengaruh langsung
terhadap produktivitas tanaman. Berbeda dengan tanaman semusim yang
berumur pendek, penanaman dan panen dilakukan hanya sekali dan
sesudahnya dilakukan pengulangan pada periode berikutnya, tanaman tahunan
sekali tanam tetapi panen berulang kali sampai tanaman mati ataupun
diremajakan. Dari pola tersebut memberikan petunjuk akan perlunya kehatihatian dalam pengelolaan sumberdaya lahan, agar tujuan dari kondisi
berkelanjutan bisa dicapai yaitu memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial
yang selaras. Hal ini menjadi semakin penting mengingat Indonesia telah
menerima konsep Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dimana setiap
perusahaan perkebunan harus menerapkan best management practice (BMP)
agar kondisi berkelanjutan bisa dicapai (Deptan, 2008).
Dari aspek biofisik, produktivitas lahan sampai akhir periode siklus
tanaman relatif masih baik dengan tingkat kesesuaian lahan termasuk kelas S2
(cukup sesuai). Hal ini diperkuat dengan laju kerusakan lingkungan akibat
degradasi lahan yang rendah berkaitan dengan topografi dan kemampuan
kelapa sawit sebagai tanaman korservasi melalui sistem perakaran yang baik
(Harahap, 2007). Selain itu, penutupan permukaan tanah oleh kanopi kelapa
sawit memberikan perlindungan permukaan tanah dari kerusakan oleh butiran
air hujan. Variabel lainnya yang mendukung tingkat kesesuaian lahan adalah
rendahnya laju kerusakan lingkungan akibat penggunaan sarana produksi
seperti pupuk dan pestisida. Untuk limbah

pabrik pengolahan kelapa sawit,

kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan relatif rendah karena sudah


menerapkan sistem Land Application (LA) dari limbah cair untuk sumber pupuk
organik. Limbah padat (tandan kosong dan batok kelapa) diolah lagi untuk

170
pupuk, walaupun masih dengan teknologi sederhana. Sistem LA diterapkan
dengan metode Flatbed yaitu mengalirkan limbah cair melalui pipa ke bak-bak
distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder. Metode ini berpotensi
meningkatkan produksi TBS dengan kisaran 16-60% (Deptan, 2006).
Namun demikian, teknologi pengelolaan yang tepat, sesuai dengan
kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani menjadi masih diperlukan untuk masa
mendatang. Penggunaan bibit berkualitas dan berproduksi tinggi disertai dengan
applikasi pupuk dan pestisida yang tepat jenis, dosis, waktu dan cara pemberian
serta teknik panen yang tepat merupakan paket teknologi yang sampai saat ini
menjadi acuan yang harus dilaksanakan dalam rangka memenuhi tujuan biofisik
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Adiwiganda, 2002; Fairhust, 2007).
Applikasi pupuk yang disebar rata di permukaan tanah berkontribusi terhadap
pencemaran lingkungan sehingga perlu dirubah dengan pembenaman ke dalam
tanah ataupun pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release. Penelitian
Wigena et al. (2006) menunjukkan bahwa pemanfaatan pupuk majemuk padat
slow release pada tanaman kelapa sawit di tanah kering masam mampu
mengurangi kebutuhan pupuk sampai 50% dibandingkan penggunaan pupuk
tunggal tetapi produksi tetap baik.
Dari validasi kinerja model diketahui simulasi laju pertambahan penduduk
setinggi 1,7%, lebih rendah dari laju pertambahan penduduk di lapangan setinggi
1,9%. Hal ini menunjukkan perlunya usaha yang lebih giat dalam pengendalian
pertumbuhan penduduk untuk mencapai laju pertumbuhannya setinggi yang
diasumsikan pada model. Peningkatan pendidikan dan adopsi dari kegiatan
sosialisasi Keluarga Berencana (KB) dan perencanaan keluarga kecil, sehat dan
sejahtera merupakan salah satu solusi untuk pengendalian pertumbuhan
penduduk.

Pentingnya

laju

pertumbuhan

penduduk

berkaitan

dengan

penguasaan lahan yang memenuhi skala ekonomi rumah tangga yang laju
pertumbuhannya 0,5%. Sementara peluang perluasan kebun kelapa sawit petani
masih terkendala dengan penguasaan lahan di sekitar kebun sawit oleh
penduduk setempat yang berstatus girik. Secara sosial, lahan ini masih beresiko
jika diambil alih oleh petani melalui proses jual beli yang berujung menjadi lahan
sengketa.
Produksi TBS seperti yang disimulasikan akan berdampak positif
terhadap aspek ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pendapatan petani yang
secara nominal melebihi tingkat Upah Minimum Regional (UMR) untuk Provinsi

171
Riau sekitar 1.000.000/bulan maupun pendapatan rumahtangga petani visi
Pemerintah Provinsi Riau Tahun 2020 sebesar US $ 2000/kk. Dampak positif
juga dinikmati oleh masyarakat sekitar kebun dengan rata-rata pendapatan
sebesar Rp. 16 845 025/tahun. Lebih jauh lagi, diharapkan adanya perubahan
persepsi masyarakat terhadap perkebunan yang saat ini sudah relatif baik. Saat
ini, hasil survey yang dilakukan oleh PTPN V menunjukkan bahwa sebanyak
85% masyarakat senang dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit, sebanyak
86% menyata bahwa kehadiran kebun menguntungkan, 98% meningkatkan
kesempatan kerja. Sedangkan penerimaan masyarakat sangat baik dimana
sebesar 95% menerima dan berbaur dengan petani plasma. Demikian juga
dengan konflik, hanya 40% menyatakan bahwa konflik sosial agak meningkat
dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit (PTPN V, 2007).
Penguatan kelembagaan merupakan faktor lainnya yang berperan
penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dari analisis kelembagaan
dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) diketahui bahwa sumberdaya
manusia terutama petani plasma, berkontribusi dominan terhadap keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit. Untuk itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia
masih diperlukan agar memiliki keterampilan yang memadai dalam mengelola
usahataninya. Selain itu, kemampuan dalam mengorganisir kelompok tani juga
ditingkatkan sehingga kelompok tani ataupun Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN) menjadi lebih kompetitif dalam merekayasa jalur pemasaran
produksi TBS dan pengadaan sarana produksi. Peningkatan kapasitas kelompok
tani dan pemerintah daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma
berkelanjutan tersebut digambarkan dalam skim kelembagaan PRITAMA
(Perintisan Kemandirian Petani Plasma). Dalam skema ini difokuskan pada
penguatan GAPOKTAN dan bimbingan pemerintah daerah dalam menyalurkan
modal kerja sehingga diharapkan lebih efisien dan tepat sasaran. Sementara
penggunaan modal kerja, mekanisme kinerja keterkaitan kelompok tani dan
perusahaan Inti perlu diawasi oleh Badan Pengawas yang anggotanya berasal
dari perusahaan Inti dan petani plasma. Hasil analisis ini menunjukkan
kesamaan arah dengan skema penyaluran modal peremajaan kelapa sawit oleh
pemerintah dalam program Revitalisasi Perkebunan (Ditjenbun, 2007).
Memperhatikan fungsi GAPOKTAN yang relatif banyak tersebut maka
tiap GAPOKTAN akan didukung dari program penyuluhan dan penguatan
kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian, penguatan akses

172
teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan infrastruktur
pertanian dari Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan pembinaan usaha
pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian serta dukungan permodalan dari program Dana Penjaminan dimana
pada tahun 2007 perkebunan menerima skitar 35,22% (Syahyuti, 2007).
4.7. Analisis Prospektif
Prospektif analisis dilakukan untuk memperoleh strategi rumusan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan setelah diketahui
potensi dan permasalahan yang terjadi di lapangan melalui analisis-analisis
lainnya. Dari analisis sebelumnya diketahui sebanyak 17 variabel yang berperan
dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yaitu: luas lahan, status
penguasaan

lahan,

kesesuaian

lahan,

sumberdaya

manusia,

modal,

kelembagaan, teknologi, upah tenaga kerja, harga saprodi, harga produksi,


kebijakan pemerintah, pendapatan petani, pencemaran lingkungan, aturan World
Trade Organization (WTO), konflik sosial, produksi TBS dan kualitas CPO.
Langkah awal dari analisis prospektif adalah melakukan analisis
pengaruh

timbal

balik

atau

kaitan

pengaruh/ketergantungan

(influence/dependence, I/D) dari semua variabel terkait. Semua variabel


dimasukkan ke dalam matrik pengaruh variabel dan hubungan otomatis, diurut
dari lajur paling kiri ke bawah dan kekanan. Penilaian pengaruh teridiri atas
penilaian pengaruh langsung dari setiap variabel terhadap semua variabel
lainnya dengan menggunakan skala dari 0=tidak ada pengaruh sampai
3=pengaruh sangat kuat. Dengan perangkat lunak Microsoft Excel, semua nilai
yang

dimasukkan

akan

diakumulasi

untuk

memperoleh

pengaruh/ketergantungan global variabel yang dinilai. Dalam matrik ini, tidak


hanya pengaruh langsung, tetapi pengaruh tak langsung dari satu variabel
terhadap semua variabel lainnya juga bisa ditampilkan (Bourgeois, 2007)
(Lampiran 21 dan 22).
Pada pengaruh global, variabel kelembagaan memiliki nilai tertinggi (28),
kebijakan pemerintah (24), luas lahan (20), sumberdaya manusia (20), modal
(20), status penguasaan lahan (18), pencemaran lingkungan (17), teknologi (17),
kesesuaian lahan (16) dan pendapatan petani (16) (Tabel 35). Ketergantungan
global tertinggi diperoleh pada variabel pendapatan petani (31), diikuti oleh
modal (25), produksi TBS (25), kualitas CPO (22), teknologi (21), harga produksi

173
(21), konflik sosial (21), kesesuaian lahan (16), upah tenaga kerja (16) dan status
penguasaan lahan (14). Nilai kekuatan global menunjukkan bahwa kelembagaan
memiliki nilai tertinggi yaitu 0,08. Diikuti oleh kebijakan pemerintah 0,06, luas
lahan 0,05, status penguasaan lahan 0,04, sumberdaya manusia 0,04, harga
saprodi 0,04, kesesuaian lahan 0,03, modal 0,03, teknologi 0,03 dan
pencemaran

lingkungan

0,03.

Kekuatan

global

tertimbang,

variabel

kelembagaan memiliki nilai tertinggi (2,60), diikuti oleh kebijakan pemerintah


(1,86), luas lahan (1,41), sumberdaya manusia (1,33), harga saprodi (1,15),
status penguasaan lahan (1,14), aturan WTO (1,09), modal (1,00), kesesuaian
lahan (0,90) dan harga produksi (0,63)
Tabel 35. Nilai Pengaruh dan Ketergantungan Global Faktor - Faktor Terkait
Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Faktor
Luas lahan
Stt pnguasaan lahan
Kesesuaian lahan
SDM
Modal
Kelembagaan
Teknologi
Upah tenaga kerja
Harga saprodi
Harga produksi
Kebijkan pemerintah
Pendapatan petani
Pencemaran linkungan
Aturan WTO
Konflik sosial
Produksi TBS
Kualitas CPO

Pengaruh
global
20
18
16
20
20
28
17
11
15
13
24
16
17
6
14
13
12

Ketergantungan global
12
14
16
14
25
6
21
16
7
21
11
31
13
1
21
25
22

Kekuatan
global
0,05
0,04
0,03
0,04
0,03
0,08
0,03
0,02
0,04
0,02
0,06
0,02
0,03
0,02
0,02
0,02
0,02

Kekuatan global
ter timbang
1.41
1.14
0.90
1.33
1.00
2.60
0.86
0.51
1.15
0.56
1.86
0.61
0.61
1.09
0.58
0.63
0.50

Tahapan selanjutnya adalah analisis struktur yang meliputi kegiatan


penentuan posisi variabel, distribusi variabel dan seleksi variabel. Posisi variabel
dilakukan pada grafik berkuadran 4 dan 2 sumbu yaitu sumbu X (horizontal)
sebagai tempat kedudukan nilai ketergantungan dan sumbu Y (vertical) sebagai
tempat kedudukan nilai pengaruh dari variabel. Dengan memasukkan nilai
pengaruh dan ketergantungan, diperoleh sebaran semua variabel seperti
Gambar 44. Terlihat bahwa variabel-variabel yang memiliki pengaruh tinggi dan
ketergantungan rendah sebanyak 6 variabel yaitu: status penguasaan lahan,
luas lahan, kesesuaian lahan, sumberdaya manusia, kelembagaan dan

174
kebijakan pemerintah. Hanya 1 variabel yang memiliki pengaruh dan
ketergantungan tinggi yaitu modal. Sebanyak 5 variabel yang mempunyai
pengaruh rendah dan ketergantungan tinggi yaitu harga produksi, teknologi,
produksi TBS, pendapatan petani dan kualitas CPO. Sementara itu, variabel
yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan rendah sebanyak 4 yaitu aturan
WTO, harga saprodi, pencemaran lingkungan dan upah tenaga kerja.

TTingkat Kepentingan Faktor-Faktor Pengelolaan Perkebunan


Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
2.50

STTS PNGSAAN LHN

2.00

LUAS LAHAN
KESSAN LHN

MODAL

SDM

P e n g a ru h

1.50

KELEMBAGAAN

KEB PEMRTH

1.00
TEKNOLOGI
HRG PRODUKSI
PCMRN LINGKGN
KNFLIK SOSL
PRODUKSI TBS
HRG SAPRODI
UPAH TK

0.50

PDTN PETANI

KUALITAS CPO

ATURAN WTO

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

Ketergantungan

Gambar 44.

Sebaran Variabel-Variabel pada Pengelolaan Kebun Kelapa


Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar

Analisis bentuk distribusi variabel memperlihatkan bahwa variabelvariabel sebarannya dominan sepanjang garis diagonal kuadran I menuju ke
kuadran III. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sistem yang dibangun stabil
karena beberapa variabel penggerak (kuadran I, mempunyai pengaruh tinggi
dan ketergantungan rendah) dengan kuat mengatur variabel output (kuadran III,
mempunyai ketergantungan tinggi dan pengaruh rendah). Variabel marginal
(kuadran

IV,

pengaruh

dan

ketergantungan

rendah)

jumlahnya

sedikit

175
(Bourgeois, 2004). Dalam kondisi seperti ini, dengan meng adjust variabelvariabel pada kuadran I (luas lahan, penguasaan lahan, kesesuaian lahan,
sumberdaya

manusia,

kebijakan

pemerintan

dan

kelembagaan)

akan

menyebabkan pengaruh nyata pada output yang dihasilkan oleh sistem yang
dibangun yang tercermin pada variabel-variabel kuadran III (teknologi, produksi
TBS, kualitas CPO, harga TBS dan pendapatan petani). Jadi sistem yang
dibangun sudah termasuk baik, stabil serta sedikit mendapat pengaruh dari
variabel-variabel marginal pada kuadran IV.
Dengan memperhatikan posisi variabel-variabel tersebut kemudian
dilakukan seleksi variabel. Dalam tahapan ini, dipilih variabel yang memiliki nilai
pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah (kuadran I) karena variabel ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem yang dibangun, tetapi
ketergantungannya dengan variabel-variabel lainnya rendah. Selain itu, dalam
kasus ini, variabel modal yang memiliki pengaruh dan ketergantungan tinggi
diseleksi sebagai verabel kunci mengingat pembudidayaan kelapa sawit
memerlukan modal besar sehingga peranan modal sangat vital. Dengan
demikian, terdapat 7 variabel kunci yaitu luas lahan, penguasaan lahan,
kesesuaian lahan, sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, kelembagaan
dan modal. Secara kuantitatif, jumlah variabel kunci ini termasuk dalam kategori
baik dimana menurut Bourgeois (2007) jumlah variabel kunci yang memadai
pada analisis prospektif berkisar antara 4-8 variabel. Lebih dari 8 variabel akan
sulit membuat skenario, kurang dari 3 variabel akan menghasilkan skenario
sangat sederhana dan banyak informasi yang tidak tertampung.
Analisis morfologis adalah tahapan selanjutnya yang dilakukan dengan
membuat definisi keadaan variabel kunci di masa mendatang. Tujuan analisis ini
adalah untuk (a) menyusun domain kemungkinan di masa mendatang, (b)
mengurangi kombinasi variabel dengan keadannya dan (c) mengeksplorasi
alternatif yang konsisten, relevan dan kredibel (Bourgeois dan Jesus, 2004).
Untuk mengurangi banyaknya kombinasi antara variabel dengan keadaan
variabel, dilakukan identifikasi saling-ketidaksesuaian di antara keadaankeadaan (incompatibility identification). Dengan metode ini, kombinasi yang
mungkin terjadi berkurang secara nyata karena keadaan-keadaan yang tidak
mungkin terjadi dalam waktu bersamaan tidak boleh dikombinasikan. Dalam
penelitian ini, keadaan variabel kunci dan identifikasi keadaan yang salingketidaksesuaiannya disajikan paga Gambar 45. Terdapat 7 variabel kunci

176
dengan keadaan 3 2 3 3 3 3 3. Tanpa dilakukan identifikasi
incompability, akan terdapat sebanyak 3 x 2 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 = 1458
kombinasi. Dengan melakukan identifikasi incompability, kombinasi bisa
berkurang secara nyata sehingga sangat membantu dalam menyusun skenario.

Faktor
1A
Luas Lahan
Status
Penguasaan
Lahan
Kesesuaian
Lahan
Modal Kerja

Kualitas
Sumberdaya Manusia
Kinerja
Kelembagaan
Kebijakan
Pemerintah

Gambar

45.

Dari

Skenario Keadaan Mendatang


1B

Makin sempit,
terfragmentasi
2A
Semakin tidak
terjamin, banyak
lahan sengketa
3A
Menurun, penerapan
teknologi tidak intensif

Luas lahan tetap sama

4A
Sangat minim, akses
ke lembaga keuangan
susah
5A
Menurun,
keterampilan tidak
memadai, akses
teknologi susah
6A
Sangat lemah,
institusi terkait tidak
berperan
7A
Tidak mendukung,
tidak mengakumulasi
kepentingan petani

4B
Agak cukup, akses ke
lembaga keuangan
agak mudah
5B
Tetap, keterampilan
agak memadai, akses
teknologi agak lancar

2B
Semakin terjamin,
tidak ada lahan
sengketa
3B
Tetap, penerapan
teknologi semi intensif

6B
Agak kuat, peranan
institusi belum optimal
7B
Agak mendukung,
mengakumulasi seba
gian kepentingan petani

1C

Makin luas, membeli


dari masyarakat lokal

3C
Meningkat,
penerapan teknologi
intensif
4C
Cukup, akses ke
lembaga keuangan
mudah
5C
Meningkat,
keterampilan
memadai, akses
teknologi lancar
6C
Kuat dan harmonis,
peranan institusi
terkait optimal
7C
Mendukung,
kepentingan petani
semua diakumulasi

Keadaan Variabel-Variabel Kunci dan Incompatibility


Identification pada Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar
hasil

kombinasi

keadaan

variabel-variabel

kunci

dengan

keadaannya di masa mendatang diperoleh sebanyak 78 skenario yang


dikelompokkan kedalam dari 28 skenario pesimis, 38 skenario medium dan 12
skenario optimis (Tabel 36, Lampiran 23, 24 dan 25). Dari semua kombinasi
skenario tersebut dilakukan seleksi kombinasi skenario yang masuk akal dan
realistis berdasarkan kondisi yang berkembang di lapangan. Hal ini memberikan
gambaran bahwa urutan skenario yang disusun mengindikasikan urutan
realitasnya dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan.

177

Tabel 36. Skenario Strategis Aplikasi Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kombinasi Keadaan Di Masa Mendatang


Skenario Pesimis
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal kurang SDM
kurang terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah kurang mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal kurang SDM
kurang terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah kurang mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal kurang SDM
kurang terampil kelembagaan agak kuat kebijakan pemerintah kurang mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal kurang SDM
kurang terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan turun Status tidak terjamin Kesesuaian lahan turun Modal agak cukup
SDM kurang terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan turun Status tidak terjamin Kesesuaian lahan turun Modal kurang
SDM agak terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan tetap Status tidak terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal kurang SDM
tidak terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah kurang mendukung
Luas lahan tetap Status tidak terjamin Kesesuaian lahan turun Modal kurang
SDM tidak terampil kelembagaan lemah kebijakan pemerintah agak mendukung

Skenario Medium
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal agak cukup SDM
agak terampil Kelembagaan agak kuat Kebiajakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan menurun Modal agak cukup
SDM terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal cukup SDM agak
terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan menurun Modal agak cukup
SDM agak terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal agak cukup SDM
agak terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal agak cukup SDM
agak terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan turun Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal cukup SDM agak
terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan turun Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung

Skenario Optimis
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan meningkat Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan tetap Status terjamin Kesesuaian lahan meningkat Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung
Luas lahan meningkat Status terjamin Kesesuaian lahan tetap Modal cukup SDM
terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan meningkat Status terjamin Kesesuaian lahan meningkat Modal cukup
SDM terampil Kelembagaan agak kuat Kebijakan pemerintah mendukung
Luas lahan meningkat Status terjamin Kesesuaian lahan meningkat Modal cukup
SDM terampil Kelembagaan kuat Kebijakan pemerintah agak mendukung

178
Pada Skenario pesimis, terdapat 8 kombinasi variabel dan keadaannya
yang semuanya menggambarkan bahwa kondisi berkelanjutan hampir tidak
mungkin bisa tercapai karena semua keadaan variabel kunci tidak mendukung.
Salah satu keadaan yang mungkin terjadi berupa penyempitan luas lahan (1 A), status penguasaan lahan terjamin sehingga tidak banyak lahan sengketa (2 B), kesesuaian lahan yang tercermin dari produktivitas lahan terus menurun (3 A), modal kerja kurang karena aksesnya susah (4 - A), kualitas sumberdaya
manusia kurang terampil sehingga aplikasi teknologi pengelolaan tidak tepat (5 A), kelembagaan lemah, kinerja instansi terkait tidak berjalan baik dan kurang
harmonis sehingga pembinaan tidak berjalan(6 - A) dan kebijakan pemerintah
kurang mendukung sehingga tidak mengakumulasi kepentingan petani (7 - A).
Kombinasi keadaan variabel lainnya mungkin membaik (keadaannya di masa
mendatang level B), tetapi sebagian besar keadaan variabel kurang mendukung
berakibat skenario tersebut tidak memungkinkan untuk mencapai kondisi
perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan.
Terdapat 10 kombinasi keadaan variabel pada skenario medium yang
mengindikasikan kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan
memungkinkan bisa dicapai karena keadaan variabel cukup mendukung. Salah
satu kondisi yang mewakili skenario ini adalah luas lahan tetap (1 - B), status
penguasaan lahan terjamin berupa sertifikat sehingga sedikit kasus lahan
sengketa (2 - B), Kesesuaian lahan tetap (3 - B), modal kerja cukup tersedia dan
aksesnya agak mudah (4 - B), kualitas sumberdaya manusia cukup terampil
dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan yang dianjurkan (5 - B),
kelembagaan agak kuat walaupun kinerja instansi terkait belum optimal tetapi
pembinaan petani cukup intensif (6 - B) dan kebijakan pemerintah agak
mendukung dalam pengelolaan kebun sawit deengan mengakumulasi sebagian
kepentingan petani (7 - B). Adanya kombinasi keadaan variabel yang optimum
seperti modal cukup (4 - C), sumberdaya manusia terampil (5 C),
kelembagaan kuat (6 C) dan kebijakan pemerintah yang mendukung (7 C)
lebih memungkinkan kondisi berkelanjutan bisa tercapai.
Terdapat 6 kombinasi keadaan variabel pada skenario optimis yang
secara teoritis paling memungkinkan bisa mewujudkan kondisi perkebunan
kelapa sawit plasma berkelannjutan. Salah satu kombinasi keadaan variabel
adalah luas lahan petani tetap (1 B), status penguasaan lahan terjamin
sehingga hanya sedikit status lahan sengketa (2 B), kesesuaian lahan

179
meningkat karena penerapan teknologi pengelolaan yang tepat dan optimal (3
C), modal kerja tersedia cukup dan mudah diakses petani (4 C), sumberdaya
manusia terampil dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan yang dianjurkan
(5 C), kelembagaan kuat, kinerjanya harmonis dan optimal dalam membina
petani (6 C) dan kebijakan pemerintah mendukung mampu mengakumulasi
kepentingan petani dalam pengelolaan kebun sawit (7 C).
Jika diperhatikan realitas di lapangan, maka skenario yang paling
memungkinkan untuk bisa mencapai kondisi kebun kelapa sawit plasma
berkelanjutan adalah skenario medium. Skenario pesimis kecil kemungkinannya
karena sebagian besar keadaan variabel kunci pada kondisi tidak mendukung.
Beberapa keadaan variabel kunci bisa mendukung kondisi kebun berkelanjutan
seperti status penguasaan lahan sudah terjamin (sertifikat) dan luas lahan bisa
dipertahankan seperti saat ini dengan membeli kepada petani lokal.

Hal ini

masih harus mempertimbangkan resiko konflik sosial terutama pembelian lahan


dengan masyarakat lokal kerena rawan dengan permasalahan sosial sehingga
petani enggan melakukan pembelian lahan.
Skenario optimis secara teoritis paling berpeluang mencapai kondisi
kebun berkelanjutan, tetapi kenyataannya di lapangan tidak mungkin semua
variabel kunci bisa mencapai keadaan yang mendukung dalam waktu
bersamaan. Hal ini menyebabkan skenario sangat sulit diaplikasikan di lapangan
sehingga kondisi kebun berkelanjutan sulit direalisasikan. Kelembagaan masih
belum optimal terutama berkaitan dengan masalah pemasaran TBS dimana
posisi petani masih lemah dalam menentukan harga. Harga TBS masih
didominasi oleh pihak perusahaan baik perusahaan negara maupun swasta
sehingga petani menerima harga rendah. Pembinaan teknis juga tidak optimal
terutama setelah petani melunasi hutangnya, pembinaan hampir sepenuhnya
tergantung kepada kreativitas kelompok tani dalam mencari teknologi yang
sesuai dengan kondisi petani. Kebijakan pemerintah juga belum dirasakan
mendukung petani karena asumsi pemerintah bahwa petani sawit masih mampu
mandiri dalam kondisi perekonomian yang kurang baik seperti harga saprodi
terus meningkat dan susah diperoleh tepat waktu. Variabel modal kerja
merupakan satu-satunya yang bisa diakses petani melalui kerjasama dengan
koperasi karena petani bisa menyediakan agunan berupa sertifikat tanah. Selain
itu, pihak lembaga keuangan sudah mempercayai kemampuan pengembalian
hutang petani karena prospek komoditas kelapa sawit yang semakin membaik.

180
4.8. Sintesis Hasil Analisis
Sintesis hasil analisis merupakan pembahasan umum dilakukan dengan
mengintegrasikan semua hasil analisis yang dipakai yaitu kesesuaian lahan,
model produksi TBS, kelembagaan, model pengelolaan kebun plasma kelapa
sawit berkelanjutan dan skenario strategis implementasi model yang dibangun.
Analisis keterkaitan (AHP, Sistem Dinamis dan Prospektif Analisis) menunjukkan
kesamaan hasil dimana sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal kerja,
kelembagaan

dan

kebijakan

pemerintah

terutama

Pemerintah

Daerah

merupakan variabel kunci agar kondisi berkelanjutan dapat dicapai. Kondisi


kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan di masa mendatang berdasarkan
sintesa hasil analisis dan kondisi kebun kelapa sawit plasma saat ini disajikan
dalam satu rumusan skenario strategis (Tabel 37).
Hasil analisis prospektif menunjukkan variabel kunci dari analisis
kelembagaan dan sistem dinamis mendukung bahwa skenario strategis medium
yang paling memungkinkan untuk mencapai kondisi kebun plasma kelapa sawit
berkelanjutan. Hal ini terlihat dari kondisi biofisik, ekonomi dan sosial di masa
mendatang. Dari aspek biofisik, beberapa indikator seperti kesesuaian lahan,
produktivitas lahan, luas lahan, degradasi lahan, kerusakan lingkungan (tanah,
air dan udara) mendukung tercapainya kondisi perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan. Kesesuaian lahan masih dikategorikan sebagai S2 (cukup sesuai)
dengan rata-rata produksi sebanyak 25,83 ton TBS/ha/tahun. Degradasi lahan
melalui erosi dan aliran permukaan tidak terjadi karena topografi lahan termasuk
datar-agak berombak ( lereng 0-5 persen). Pada kondisi ini, kelapa sawit sendiri
bisa mencegah erosi dan aliran permukaan secara efektif.
Pabrik kelapa sawit yang mengolah TBS menjadi CPO sudah mampu
mengolah limbah padat (tandan buah kosong dan cangkang buah) dan
penerapan sistem Land Application (LA). Semua tandan buah kosong
dikembalikan ke lahan sebagai pupuk organik, sedangkan cangkang buah baru
50% diolah menjadi serbuk dan dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik.
Pada sistem LA, limbah cair bisa dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik
setelah diberi perlakuan fermentasi anaerob sampai pada kadar BOD < 3500
mg/liter. Limbah ini dialirkan ke areal perkebunan dengan sistem flat bed
melalui rangkaian irigasi pipa menuju bak penampung dan diteruskan dengan
parit primer dan sekunder terutama pada musim kemarau untuk menjaga
kebutuhan air tanaman selain sebagai pupuk organik.

181
Tabel 37. Rumusan Skenario Strategis Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Variabel
Biofisik:
- Kualitas lahan

- Luas lahan
- Produktivitas lahan
- Pencemaran lingkungan
(tanah, udara dan air)

- Sumberdaya manusia

Ekonomi:
- Modal kerja
- Pendapatan

Sosial:
- Konflik sosial

- Pendidikan dan
penyerapan
tenaga kerja

- Kelembagaan petani

- Status penguasaan
Lahan

Kondisi saat ini


S2-f dan S2-f,n (cukup sesuai
dengan faktor pembatas retensi
dan ketersediaan hara)
2,0 hektar/kk
22,54 ton TBS/ha/tahun
- Terjadi pencemaran lingkungan
terutama air karena pemupukan
dengan cara disebar rata di
permukaan tanah
- Penerapan sistem Land
Application terhadap limbah
PKS, pemanfaatan tandan
buah kosong sebagai pupuk
organik baru dimulai sehingga
masih berpotensi mencemari
lingkungan
-Pertumbuhan 2,0%, tekanan
terhadap lahan tinggi baik dari
sisi pencemaran maupun
fragmentasi lahan
- Keterampilan mengelola kebun
perlu ditingkatkan melalui
pelatihan

Kondisi pada model


Masih S2 karena degradasi
lahan dan penurunan daya
dukung lingkungan rendah
Bisa tetap 2,0 hektar/kk, beli
dari masyarakat sekitar
25,83 ton TBS/ha/tahun
- Pencemaran ringan karena
pemupukan dengan cara
dibenam ke dalam tanah
- Sistem Land Application dan
pemanfaatan tandan buah
kosong sebagai pupuk
organik sudah intensif
sehingga mengurangi
pencemaran lingkungan
- Pertumbuhan 1,7%, tekanan
terhadap lahan baik dari sisi
pencemaran maupun
fragmentasi lahan rendah
- Keterampilan mengelola
kebun memadai, perlu
ditingkatkan melalui pelatihan

Akses modal kerja dengan skim


kredit PIR-TRANS
- Pendapatan petani
Rp. 28 072 000/tahun/kk
- Pendapatan masyarakat
sekitar kebun
Rp. 15 920 000/tahun

Akses modal kerja dengan


skim Kredit PRITAMA
- Pendapatan petani
Rp. 45 719 900/tahun/kk
- Pendapatan masyarakat
sekitar kebun
Rp. 16 845 025/tahun

Hasil wawancara dengan


petani dan masyarakat oleh
PTPN V menunjukkan masih
ada konflik dengan bobot
sekitar 40% terkait dengan
penjualan TBS dan
pertanahan
Pendidikan masih rendah,
sebagian besar (sekitar 98%)
terserap pada kelompok
tenaga kerja tidak terampil
(non skill labour).
Hubungan kinerja perusahaan
inti dan petani plasma kurang
harmonis, tidak ada sanksi
terhadap pelanggaran perjanjian
kerjasama, binaan teknis kurang
intensif, LSM belum berperan
dalam penyaluran aspirasi
masyarakat
Sertifikat, dikembalikan ke petani
saat hutang lunas

Konflik meredam dengan


implementasi pemberdayaan
masyarakat (community
empowerment) melalui
program PKUK dengan
penyisihan keuntungan
perusahaan inti sebesar 2,5
Pendidikan meningkat, sudah
terserap pada kelompok
tenaga kerja terampil (skill
labour) dengan setara gaji
Rp. 55 000 000/tahun
Hubungan kinerja perusahaan
inti dan petani lebih harmonis,
ada sanksi terhadap
pelanggaran perjanjian
kerjasama, binaan teknis lebih
intensif, LSM berperan dalam
penyaluran aspirasi
masyarakat
Sertifikat, dipegang terus oleh
bank selama 1 siklus tanaman

182
Sumberdaya manusia adalah variabel biofisik yang ikut menentukan
untuk mencapai kondisi perkebunan berkelanjutan. Laju pertambahan penduduk
diharapkan

1,7%

untuk

mengimbangi

pertambahan

luas

lahan

dan

meminimalkan fragmentasi pemilikan lahan. Dengan tingkat pendidikan yang


sudah baik, pemahaman Keluarga Berencana yang baik maka laju pertambahan
penduduk setinggi 1,7% bisa dicapai. Selain itu, dengan pendidikan yang baik
akan berdampak terhadap adopsi teknologi pengelolaan yang semakin penting
kontribusinya dalam mewujudkan kondisi kebun berkelanjutan.
Dari aspek ekonomi, petani akan memperoleh pendapatan rata-rata
sebesar Rp. 45 719 900/tahun , sedangkan pendapatan masyarakat di sekitar
kebun rata-rata Rp. 16 845 025/tahun.

Sementara tingkat Upah Minimum

Regional (UMR) Provinsi Riau tahun 2007 sebesar Rp. 1 000 000/bulan. Standar
ekonomi lainnya yang bisa dipakai dalam menilai tingkat pendapatan
masyarakat adalah kebutuhan hidup layak (KHL) dimana setiap keluarga
minimal memperoleh pendapatan setara dengan 4000 kg beras/tahun. Dengan
harga beras rata-rata Rp. 5000/kg maka total pendapatan keluarga Rp. 20 000
000/tahun. Standar lainnya adalah target Pemerintah Daerah Provinsi Riau yaitu
pendapatan petani kelapa sawit sebesar US $ 2000/kepala keluarga/tahun.
Dari aspek sosial, kondisi yang dapat dijadikan indikator kesehatan
masyarakat, pendidikan masyarakat, kondisi fasilitas umum, konflik, penerimaan
masyarakat terhadap kehadiran kebun kelapa sawit dan penyerapan tenaga
kerja. Peningkatan pendapatan berdampak terhadap membaiknya kualitas
sumberdaya manusia melalui pendidikan. Hasil wawancara dengan petani
menunjukkan bahwa saat ini sebesar 82 persen petani menyatakan pendidikan
meningkat, 16 persen menyatakan meningkat nyata dan hanya 2 persen
menyatakan pendidikan agak meningkat.
Membaiknya kualitas sumberdaya manusia juga berdampak terhadap
perbaikan indikator sosial lainnya. Kesehatan masyarakat membaik, fasilitas
umum membaik, konflik sosial relatif rendah dan cenderung semakin membaik.
Penyerapan tenaga kerja baik pada proses produksi TBS maupun pengolahan
TBS menjadi CPO pada PKS meningkat. Hal yang lebih penting lagi bahwa
kehadiran kebun sawit mampu mnyerap tenaga kerja yang tidak memiliki
keterampilan maupun yang memerlukan keterampilan seperti tenaga teknis pada
PKS, manajemen kebun dan PKS. Perbaikan kondisi pendidikan diharapkan
akan mampu meningkatkan pendapatan petani jika bekerja di perkebunan

183
kelapa sawit dengan setara perolehan gaji sebesar Rp. 55 000 000. Penerimaan
masyarakat terhadap kehadiran kebun kelapa sawit semakin membaik dimana
95 persen menerima dan bisa berbaur, 5 persen menolak karena sulit berbaur.
Sementara itu, pendapat masyarakat terhadap kehadiran PKS, 86 persen
masyarakat menerima dan menguntungkan, 14 persen merasa tidak mendapat
keuntungan. Kondisi sosial saat ini tentu akan lebih membaik pada perode
pemodelan yaitu tahun 2010-2035 berkaitan dengan perbaikan pengelolaan
komponen biofisik, ekonomi dan sosial.
Skenario strategis kombinasi hasil analisis penelitian ini searah dengan
beberapa hasil rancangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang
dihasilkan

peneliti

terdahulu.

Poeloengan

(2002)

menganjurkan

untuk

memperoleh perkebunan kelapa sawit berkelanjutan diperlukan strategis dengan


memperbaiki aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Aspek biofisik antara lain (a)
peningkatan produktivitas lahan dan tanaman, (b) efisiensi biaya produksi dan
pengolahan hasil panen, dan (c) penerapan ecoplantation. Aspek ekonomi
memliputi (a) peningkatan pendapatan sebagai dampak perbaikan produktivitas
lahan dan tanaman dan (b) peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan
aspek sosial yang dianjurkan yaitu (a) capacity building bagi sumberdaya
manusia dan (b) penerapan sistem community development dalam rangka
meredam isu sosial yang umumnya datang dari masyarakat lokal.
Peneliti lain mengemukakan bahwa strategi pengelolaan perkebunan
kelapa sawit berkelanjutan di masa mendatang harunya tidak hanya berfokus
pada teknologi peningkatan produktivitas lahan dan tanaman melalui perbaikan
genetika bahan tanaman, efisiensi pemupukan dan pengendalian hama/penyakit
tetapi juga memperhatikan aspek lainnya. Aspek tersebut antara lain
pengedalian kerusakan lingkungan yang berdampak langsung terhadap
penurunan produktivitas lahan, dukungan yang kuat dari pemerintah dalam
bentuk kelembagaan serta penguatan lembaga penelitian antara institusi
penelitian dan pengembangan dengan perguruan tinggi (Darmosarkoro, 2006).
Fairhust et al., (2006) menganjurkan strategi pengelolaan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan secara parsial berfokus pada teknologi pengelolaan berbasis
pada konsep best management practice (BMP). Hipotesis dari konsep ini adalah
bahwa peningkatan produktivitas lahan dan tanaman akan meningkatkan
pendapatan petani dan selanjutnya akan berdampak terhadap pengendalian isu
sosial dengan masyarakat sekitar kebun.

184
Strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dari
penelitian ini juga searah dengan strategi pengelolaan kelapa sawit dengan
barometer Malaysia (Erningpraja et al, 2006). Dalam strategi barometer
Malaysia, terdapat 7 variabel yang harus dipenuhi yaitu (1) pencapaian tingkat
produktivitas tinggi, (2) pemenuhan ketersediaan sumberdaya manusia, (3)
peningkatan

fasilitas

bagi

perusahaan

dalam

berinvestasi,

(4)

sistem

kelembagaan yang mendukung industri kelapa sawit, (5) kebijakan dan


dukungan pemerintah terhadap penelitian dan pengembangan, (6) kelincahan
dalam pemasaran dan (7) konsolidasi dan penggabungan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari uraian hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perkebunan
kelapa sawit plasma berkelanjutan untuk periode 2010-2035 di Sei Pagar
memungkinkan dicapai melalui rekayasa model pengelolaan yang didukung oleh
kondisi biofisik, sumberdaya manusia dan pemerintah daerah. Kesimpulan
terinci adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar kesesuaian lahan kebun plasma termasuk kategori S2-f
(cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi unsur hara) dengan rata-rata
produktivitas 23,04 ton TBS/ha/tahun dan sebagian kecil termasuk kategori
S2-f,n (cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi unsur hara tinggi dan
ketersediaan unsur hara rendah) dengan rata-rata produktivitas 22,0 ton
TBS/ha/tahun.
2. Luas areal tanam kelapa sawit dipengaruhi oleh empat faktor yaitu harga
TBS, kebijakan pemerintah, teknologi pengelolaan dan luas areal tanam
tahun sebelumnya, produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu harga pupuk SP-36; harga pupuk KCl dan produktivitas tanaman tahun
sebelumnya. Respon petani dalam menambah luas areal tanam maupun
peningkatan produksi terhadap kebijakan pemerintah terjadi dalam waktu
yang relatif lama, sehingga peningkatan produksi ditempuh melalui
intensifikasi dengan pengoptimalan pemanfaatan sarana produksi baru
kemudian diikuti dengan ekstensifikasi
3. Sumberdaya alam (SDA), sumberdaya manusia (SDM) dan kebijakan
pemerintah merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan diiringi dengan
peningkatan peranan kelompok tani (POKTAN), Pemerintah Daerah Pemda)
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam merekayasa model
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan. Sementara itu,
pendapatan petani, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesempatan kerja
merupakan tujuan yang harus terpenuhi dalam merancang model dengan
memberdayaan Kelompok Tani (POKTAN) melalui penguatan Gabungan
Kelompok Tani (GAPOKTAN).
4. Berdasarkan peran dan keterkaitan semua pihak yang terlibat (petani,
institusi Pemda, LSM, lembaga keuangan), model kelembagaan Perintisan
Kemandirian Petani Plasma (PRITAMA) merupakan alternatif kelembagaan

186
yang cukup sesuai dengan kondisi yang berkembang di lapangan. Model
kelembagaan ini berfokus pada pemberdayaan kelompoktani, pemerintah
daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
lahan, sumberdaya manusia dan modal yang diperoleh dari lembaga
keuangan (bank) untuk mencapai kondisi kebun kelapa sawit plasma
berkelanjutan.
5. Model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma yang dibangun menunjukkan
penduduk, lahan dan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit
merupakan faktor utama yang menjadi kunci untuk mencapai kebun kelapa
sawit plasma berkelanjutan. Rata-rata pertambahan penduduk harus
dipertahankan sebesar 1,7% untuk mengurangi tekanan terhadap lahan.
Indikator perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan priode tahun 20102035 di Sei Pagar adalah:
a. Kondisi fisik lahan tetap baik, yang tercermin dari rendahnya degradasi
lahan sekitar 0,03-0,08% dan juga rendahnya penurunan daya dukung
lingkungan sekitar 0,002-0,01%. Berdasarkan kondisi lahan tersebut,
rata-rata produksi kelapa sawit yang bisa dicapai sebesar 25,83 ton
TBS/ha/tahun.
b. Pendapatan yang diperoleh petani rata-rata sebesar Rp. 45 719
916/tahun dan pendapatan masyarakat sekitar kebun rata-rata sebesar
Rp. 16 845 025/tahun. Pendapatan petani tersebut lebih tinggi dari
tingkat Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Riau sebesar Rp. 1 000
000/bulan ataupun Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebesar Rp. 20 000
000/KK/tahun.
c. Secara sosial, pendidikan petani meningkat setara dengan perolehan
pendapatan sebesar Rp. 55 000 000/tahun.
6. Terdapat 7 variabel kunci untuk mencapai kondisi kebun plasma kelapa
sawit berkelanjutan yaitu luas lahan, status lahan, kesesuaian lahan, modal,
SDM, kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Sistem yang dibangun stabil
karena variabel kunci (kuadran I) dengan kuat mengatur variabel output
(kuadran III). Rumusan skenario strategis medium paling berpeluang untuk
mengimplementasikan model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit
berkelanjutan yang dibangun. Penjabaran skenario medium tersebut berupa
kombinasi keadaan variabel di masa mendatang yaitu luas lahan agak
menurun, status penguasaan lahan terjamin berupa sertifikat, kesesuaian

187
lahan tetap, kualitas SDM cukup memadai dan agak terampil dalam
mengadopsi dan menerapkan teknologi pengelolaan, modal kerja agak
cukup dengan akses yang agak mudah, kelembagaan agak kuat dimana
peranan instansi terkait cukup optimal,

kebijakan pemerintah agak

mendukung pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma.


5.2. Saran
Hasil penelitian mengindikasikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Penelitian identifikasi dan pemanfaatan limbah padat dari sisa tanaman di
kebun maupun

pengolahan TBS dan limbah cair yang dihasilkan PKS

sebagai bahan pembaik tanah atau sumber pupuk organik disarankan perlu
dilakukan secara lebih detil dalam rangka mempertahankan kualitas lahan
dan meminimalkan pencemaran terhadap lingkungan serta berjangkitnya
hama/penyakit. Pemanfaatan limbah sebagai sumber pupuk organik menjadi
semakin penting untuk mengurangi biaya produksi karena pupuk anorganik
cenderung semakin langka dan harganya semakin mahal.
2. Akses petani terhadap penetapan harga TBS disarankan perlu ditingkatkan
melalui keterwakilan petani pada Tim Perumus Harga TBS di tingkat
Kabupaten maupun Provinsi untuk meningkatkan harga yang diterima petani.
Hal ini berkaitan dengan peranan harga TBS berpengaruh nyata terhadap
perilaku

petani

dalam

memperluas

areal

tanam

dan

peningkatan

produktivitas lahan. Perbaikan akses petani terhadap harga TBS akan


mengurangi penjualan TBS petani ke PKS non inti dan selanjutnya
kepercayaan petani terhadap kinerja Perusahaan Inti meningkat sehingga
mekanisme kemitraan dapat berjalan dengan baik.
3. Pemberdayaan petani melalui penguatan kelembagaan Gabungan kelompok
Tani disarankan perlu ditingkatkan menjadi Lembaga Usaha Ekonomi
Perdesaan (LUEP) agar akses petani terhadap sarana produksi, informasi
teknologi, informasi pasar dan akses terhadap modal meningkat. Kondisi
saat ini menunjukkan kelembagaan yang masih lemah sehingga membuka
peluang bagi masuknya penyedia sarana produksi terutama pupuk dengan
kualitas rendah dan bahkan sering palsu yang merugikan petani. Demikian
juga peluang pelepas uang (tengkulak) yang menjerat petani dengan bunga
tinggi sehingga pada akhirnya petani melepas asetnya (kebun) karena tidak
bisa membayar hutangnya.

188
4. Penelitian rekayasa model pengelolaan kebun plasma berkelanjutan
disarankan perlu dilakukan pada kondisi agroekosistem berbeda terutama
pada lahan kering masam yang mendominasi pengembangan komoditas
kelapa sawit di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa perbedaan kondisi lahan,
ekonomi dan sosial petani akan memberikan input, interaksi dan output yang
berbeda dengan kondisi di lokasi penelitian dan menyebabkan perbedaan
perilaku

dan

kinerja

model

pengelolaan

perkebunan

kelapa

sawit

berkelanjutan yang spesifik lokasi.


5. Implementasi model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan
melalui skenario strategi pengelolaan medium disarankan perlu didukung
dengan paket kebijakan pemerintah yang memadai agar model yang
dibangun bisa diterapkan secara efektif dan efisien.
6. Disarankan perlu dilakukan penelitian keanekaragaman hayati di lokasi
penelitian karena penelitian ini tidak mencakup kegiatan tersebut untuk
mengetahui dinamika keanekaragaman hayati terkait dengan peranannya
dalam mewujudkan kondisi kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan.

189
DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, S. 1992. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan


Swasembada Pangan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Adiwiganda, Y.T. and Z. Poeloengan. 1998. General Oil Palm Fertilizer
Recommendation in Indonesia: 25 Years Experience. International Oil
Palm Conference Commodity of The Past, Today, and Future.
Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan.
Adiwiganda, R. 2002. Pengelolaan Lapangan dalam Aplikasi Pupuk di
Perkebunan Kelapa Sawit. Seminar Nasional Pengelolaan Pupuk pada
Kelapa Sawit. PT. Sentana Adidaya Pratama. Medan.
Ardiansyah, F. 2006. Realising Sustainable Oil Palm Development in Indonesia
Challenges and Opportunities. International Oil Palm Confernce.
Optimum Use of Resources: Challenges and Opportunities for
Sustainable Oil Palm Development. Bali, 19-23 Juni 2006. Indonesian Oil
Palm Research Institute (IOPRI). Medan.
Alamsyah, T. 2000. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kegiatan
Perkebunan. Dalam Darnoko, W. Darmosarkoro, E.S. Sutarta, P. Guritno.
T. Herawan, L. Buana dan J. Ellisabeth (Eds.). Prosiding Pertemuan
Teknis Kelapa Sawit: Penanganan Terpadu Limbah Industri Kelapa Sawit
yang Berwawasan Lingkungan. Medan, 13-14 Juni 2000. Pusat
penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 1-12.
Baga, L. M. 2005. Penguatan Kelembagaan Koperasi Petani untuk Revitalisasi
Pertanian. Makalah Disampaikan pada Seminar Revitalisasi Pertanian
untuk Kesejahteraan Bangsa. 19 Juni 2005. Masyarakat Ilmuwan dan
Teknologi Indonesia (MITI). Jakarta. http://www.miti.or.id. 27 Nopember
2008.
Bafadal, A. 2000. Analisis Produksi dan Respon Penawaran Kakao Rakyat di
Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Bangun, D. 2002. Prospect and Challenges of Palm Oil Bussiness in Indonesia.
Proc. of Chemestry and Technology Conference: Enhancing Oil Palm
Industry through Environmentally Friendly Technology. Bali, 8-12 July
2002. Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. Pp. 23-30.
Basdabella, S. 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan
Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat. Disertasi. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis. Exploring
and Anticipating Challenges with Stakeholders. CAPSA Monograph. 46.
UNESCAP CAPSA. Bogor.
Bourgeois, R. 2007. Analisis Prospektif Partisipatif. Bahan Pelatihan/Lokakarya.
Training Of Trainer. ICASEPS. Bogor.

190
Darmosarkoro, W. dan S. Rahutomo. 2000. Tandan Kosong Kelapa Sawit
Sebagai Bahan Pembenah Tanah. Dalam Darnoko, W. Darmosarkoro,
E.S. Sutarta, P. Guritno. T. Herawan, L. Buana dan J. Ellisabeth (Eds.).
Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit: Penanganan Terpadu Limbah
Industri Kelapa Sawit yang Berwawasan Lingkungan. Medan, 13-14 Juni
2000. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 112-118.
Darmosarkoro, W. 2006. Towards Sustainable Oil Palm Industry in Indonesia.
International Oil Palm Conference. Optimum Use of Resources:
Challenges and Opportunitis for Sustainable Oil Palm Development. Bali,
19-23 June 2006. Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI).
Medan. Pp. 1-17.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Primatani Membangun Desa Berbasis
Inovasi. http://www. primatani.litbang.deptan.go.id. 10 Juli 2008
__________________________. 2008. Komitmen Pemerintah Membangun
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. http://www. indonesia.go.id. 20
Agustus 2008.
[DITJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan. 1992. Perusahaan Inti Rakyat
Perkebunan. Pelaksanaan dan Pelatihan. Direktorat Jenderal Perkebunan.
Jakarta.
__________________________. 2006a. Rencana Kegiatan Pembangunan
Perkebunan Tahun 2007. Departemen Pertanian. Jakarta.
___________________________. 2006b. Rencana Stratejik Pembangunan
Perkebunan 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta.
____________________________. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi
Perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao). Departemen Pertanian.
Jakarta.
Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Edisi I. Balai Penlitian Tanah,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Djafar, N. Ratnawati dan M. Aklmal. 2005. Pedoman Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO) Tentang Prinsip dan Kriteria Sustainable Palm Oil pada
Industri Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 13(2):85-110. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Djafar dan T. Wahyono. 2003. Skala Usaha dan Break Even Point Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 11(2): 61-73.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Dumelin, E., V. Rao, B.G. Smith, and R.H.V. Corley. 2002. Sustainable Palm Oil
Agriculture: The Unilever Initiative. Proc. of Chemistry and Technology
Conference: Enhancing Oil Palm Industry through Environmentally
Friendly Technology. Bali, 8-12 July 2002. Indonesian Oil Palm Research
Institute (IOPRI). Medan. Pp. 226-237.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Managemen.
IPB Press. Bogor.
Erningpraja, L. dan Z. Poeloengan. 2000. Rancang Bangun Model Produksi
Bersih Kebun Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 8(3): 203219. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

191
Erningpraja, L., T. Wahyono, M. Akmal, Ratnawati, dan A. Kurniawan. 2006.
Strategi Mengembalikan Kejayaan Kelapa Sawit Indonesia dengan
Barometer Malaysia. Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 14(1): 47-67.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Fairhurst, T. 2002. Estimasi Kebutuhan Pupuk. Makalah disampaikan dalam
Seminar Pengelolaan Pupuk pada Kelapa Sawit. P.T. Sentana Adidaya
Pratama. Medan 5 Maret 2002.
Farirhurst, T., W. Griffiths and A.G. Kerstan. 2006. Concept and Implementation
of Best Management Practice for Maximum Economic Yield in An Oil
Palm Plantation in Sumatera. International Oil Palm Confernce. Optimum
Use of Resources: Challenges and Opportunities for Sustainable Oil
Palm Development. Bali, 19-23 Juni 2006. Indonesian Oil Palm Research
Institute (IOPRI). Medan.
Folster, H. and P.K. Khanna. 1997. Dynamics of Nutrient Supply in Plantation
Soils. In E.K. S. Nambiar and A.G. Brown (Eds.): Management of Soil,
Nutrients and Water in Tropical Plantation Forests. Australian Center for
International Agricultural Research. Canbera, Pp. 339 - 378.
Ginting, P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Yrama
Widya. Bandung.
Hadi, P.U., Supriyati, A.K. Zakaria, T. Nurasa, F.B.M. Dabuke dan E. Ariningsih.
2007. Posisi dan Masa Depan Pembangunan Perkebunan Indonesia.
Pros. Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. K.
Suradisastra, Y. Yusdja dan P. U. Hadi (Eds.) Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Hal.
23 43.
Hall, C.A.S and J.W. Day. 1977. Ecosystem Modeling in Theory and Practice. An
Introduction With Case Historie. John Willey and Son. New York.
Handoko dan Y. Koesmayono. 2005. Kesesuaian Iklim Sebagai Faktor Penentu
Tingkat Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit: Pendekatan dengan
Model Simulasi Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Perkebunan
Kelapa Sawit Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat
sebagai Upaya Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April
2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 46 -59.
Harahap, Y., Winarna dan E.S. Sutarta. 2005. Produktivitas Tanaman Kelapa
Sawit: Tinjauan dari Aspek Tanah dan Iklim. Dalam W. Darmosarkoro,
E.S. Sutarta dan Winarna (Eds.). Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 255 -277.
Harahap, I. Y., Y. Pangaribuan, dan E. Listia. 2006. Keragaan Awal
Pertumbuhan dan Potensi Produktivitas Berbagai Varietas Kelapa Sawit
yang Ditanam dengan Populasi Tinggi. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit.
14(1): 1-10. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Harahap, E.M. 2007. Kelapa Sawit Penuhi Syarat Jadi Tanaman Konservasi.
www.antara.co.id. 20 Agustus 2008

192
Hardjomidjojo, H. 2004. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Hardjowigeno, S., Widiatmaka dan A.S. Yogaswara. 1999. Kesesuaian Lahan
dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Widiatmaka (Eds.). Jurusan Tanah.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri
dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. SEAMEO BIOTROP. Bogor
Hasan, H. 2003. Rancang Bangun Model Penilaian Kesesuaian dan Dinamika
Iklim untuk Perkebunan Kelapa Sawit. Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hasbi. 2001. Rekayasa Sistem Kemitraan Usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa
Sawit. Tesis. Pro, gram Pasacsarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hasibuan A. 2005. Prospek Pengembangan PIR Kelapa Sawit dan Peranan
Koperasi dalam Ekonomi Kerakyatan Di Masa Mendatang. Prosiding
Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat: Pemberdayaan
Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya Penguatan Ekonomi
Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April 2005. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Medan. Hal. 119 -125.
Hersuroso, H.I. 2005. Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Sekitar
Perkebunan Besar Melalui Program Pengembangan Masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat:
Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya
Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April 2005. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 93 -107.
Husien, H dan Hanafi. 2005. Peranan Pemerintah Daerah Dalam
Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat. Prosiding Seminar
Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan
Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya Penguatan Ekonomi Kerakyatan.
Pekan Baru, 15-16 April 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Hal. 154-162.
[ IWMI ] International Water Management Institute. 2004. Water Accounting for
Integrated Water Resources Management. Booklet on Tools and Concept
for Improved water Management. Colombo.
Institut Pertanian Bogor. 2000. Penelitian Evaluasi Efektivitas Pemberian Kredit
Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) untuk Pembiayaan
Perkebunan Kelapa Sawit. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian Institut
Pertanian Bogor Bank Indonesia. Bogor.
[ IPPM ] Institut Pendidikan dan Pembinaan Managemen. 1991. Pengambilan
Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk
Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Komplek. Cetakan Pertama.
L. Setiono (Penerjemah); I.K. Peniwati (Editor). Terjemahan dari:
Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for
Decision in Complex World. P.T. Dharma Aksara Perkasa. Jakarta

193
Iswati. A. 2004. Desain Pengelolaan Kebun Plasma Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Studi Kasus pada PIR Trans Kelapa Sawit P.T.P. Mitra Ogan di
Kabupaten Ogan komering Ulu, Sumatera Selatan. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Juwanto. 2007. Pengembangan Model Penilaian Kesesuaian Lahan Gambut
untuk Kelapa Sawit (Studi Kasus Wilayah Irigasi Muko-Muko Kanan).
www.bdpnuib.org, Juni 2007.
Karama, A.S. 2005. Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat yang Mensejahterakan.
Prosiding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat:
Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya
Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April 2005. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 11 -15.
Kartasasmita, S. 2005. Otonomi Daerah Dalam Pengembangan Perkebunan Di
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya
Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April 2005. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 35-45.
Koedadiri, A.D., W. Darmosarkoro dan E.S Sutarta. 2005. Potensi dan
Pengelolaan Tanah Ultisol pada Beberapa Wilayah Perkebunan Kelapa
Sawit di Indonesia. Dalam W. Darmosarkoro, E.S. Sutarta dan Winarna
(Eds.). Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Hal. 1 - 24.
Koedadiri, A.D., R. Adiwiganda, dan K. Martoyo. 2007. Produktivitas Kelapa
Sawit pada Tanah Hemic Troposaprist. www.iopri.org. Juni 2007.
Koutsoyannis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. The Macmillan
Press Ltd. United Kingdom.
Kurniawan, F. 2004. Penentuan Prioritas Penerapan Produksi Bersih Pada
Industri Pengolahan Kelapa Sawit (studi Kasus di PT. Perkebunan
Nusantara V Sungai Galuh-Riau). Tesis. Program Pasacsarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Lamade, E. and I.E. Setyo. 2002. Characterisation of Carbon Pools and
Dynamics for Oil Palm and Forest Ecosystems: Application to
Environmental Evaluation. Proc. of Chemestry and Technology
Conference: Enhancing Oil Palm Industry through Environmentally
Friendly Technology. Bali, 8-12 July 2002. Indonesian Oil Palm Research
Institute (IOPRI). Medan. Pp. 212 - 225.
Loebis, B. dan P.L. Tobing. 1989. Potensi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa
Sawit. Buletin Perkebunan. Indonesian Oil Palm Research Institute
(IOPRI). 20(1): 49-56. Medan.
Lord, S and C. Ross, 2005. Sustainable Oil Palm: Implementing The Principles
and Criteria of The Roundtable on Sustainable Palm Oil Within The
Framework of ISO 14001. The 3rd Meeting of RSPO. Singapura, 22-23
November 2005. www.rspo.org, 26 Desember 2005
Lubis, H.A. 1994. Pengantar Managemen Perkebunan Kelapa Sawit. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

194
Lubis, S., Bahtiar, S. Abbas dan Daswir. 1990. Pengorganisasian Kelompok
Petani PIR BUN Kelapa Sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis
Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat Pusat Penelitian
Perkebunan Medan Dinas Perkebunan Propinsi Riau. Pekan Baru, 1921 April 1990.
Maarif, S dan H. Tanjung. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen.
PT. Grasindo. Jakarta.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Meadows, D.H. 1987. Batas Batas Pertumbuhan.Terjemahan. P.T. Gramedia.
Jakarta
Miller, G.T. 1992. Living In The Environment: An Introduction To Environmental
Science. Seventh Edition. Wadsworth Publishing Company. California.
Mitchell, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Cetakan Pertama. Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Moody, P.W., R. Lefroy, I G. P. Wigena, N. Chinabut, N.C. Vinh, P.T. Cong, and
S. Phimsorn. 2003. Interpretation of Soil Chemical Analysis and The
Fertility Management of Upland Soils. International Training on Soil
Fertility Management. Department of Primary Industry. Queenlands.
Muhammadi, E. Aminullah dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis.
Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi. Manajemen. Edisi Pertama.
Cetakan Pertama. UMJ-Press. Jakarta.
Naibaho, P. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Indonesian Oil Palm
Research Institute (IOPRI). Medan.
Ng, A. 2005. The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Principles and
Criteria for Sustainable Palm Oil Production. The 3rd Meeting of RSPO.
Singapura, 22-23 November 2005. www.rspo.org, 26 Desember 2005.
Oates, W.E. 1999. The Resources for The Future Reader In Environmental and
Resource Management. Resources for the Future. Washington.
Pahan, I. 2005. Sebuah Pemikiran: Pola Peremajaan Areal Plasma dari Segi
Pembinaan Petani, Ketersediaan Modal dan Mengatasi Kesenjangan
Pendapatan. Prosiding Seminar Nasional Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat: Pemberdayaan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat sebagai Upaya
Penguatan Ekonomi Kerakyatan. Pekan Baru, 15-16 April 2005.
Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. Hal. 126-132.
________. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari
Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial:
Perspektif Ekonomi Institusi. Dalam E. Pasandaran dkk. (Eds). Prosiding:
Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi
Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Bogor.

195
_______________. 2002. A Framework Toward Sustainable Oil Palm
Development: Increasing What People Can Do or Can Be. Proc. of
Chemestry and Technology Conference: Enhancing Oil Palm Industry
through Environmentally Friendly Technology. Bali, 8-12 July 2002.
Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. Pp. 88-112.
Poeloengan, Z. 2002. Natural and Human Resources Capacity for Sustainable
Development of Oil Palm Industry in Indonesia. Proc. of Chemestry and
Technology Conference: Enhancing Oil Palm Industry through
Environmentally Friendly Technology. Bali, 8-12 July 2002. Indonesian
Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. Pp. 1-13
Poeloengan, Z., M.L. Fadli, Winarna, S. Rahutomo, dan E.S Sutarta. 2005.
Permasalahan Pemupukan pada Perkebunan Kelapa Sawit. Lahan dan
Pemupukan Kelapa Sawit. W.Darmosarkoro, E.S Sutarta dan Winarna
(Eds.). Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 67-80.
[PTPN V] Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara V. 1992. Studi Evaluasi
Lingkungan (SEL) Perkebunan Kelapa Sawit Sei Pagar, Sei Garo, Sei
Galuh dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Sei Galuh, Kabupaten
Kampar Provinsi Riau. P.T Tanindo. Jakarta
___________________________. 1996. Laporan Hasil Perlaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan
Kegiatan Perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit Unit Sei Galuh, Sei Garo
dan Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Pekanbaru.
__________________________. 2007. Laporan Sekilas Perkembangan Kebun
Plasma Sei Garo/Sei Pagar/Sei Galuh. Pekanbaru.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2000. Paket Teknologi untuk Pengembangan
Industri Kelapa Sawit Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
[PUSLITTANAK] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
2004. Participatory Impact Assessment Study on Sloping and Degraded
Lands for Sustainable Agriculture. Annual Report on Sloping and
Degraded Lands for Sustainable Agriculture in Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Reijntjes, C., B.Haverkot and A.W. Bayer. 2005. Pertanian Masa Depan:
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
Cetakan ke 7. E. Van De Fliert, dan B. Hidayat (Eds.). Terjemahan dari:
Farming for Future. Kanisius. Jakarta.
Risza, S. 2008. Kelapa Sawit: Upaya Peningkatan Produktivitas. Cetakan Ke 8.
Kanisius. Jakarta.
Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, and H. Hidayat. 2007. Guidelines and Suitability
Evaluation with A Case Map of Aceh Barat District. Indonesian Soil
Research Institute World Agroforestry Centre. Bogor.
Riyaldi dan H. Lumbantobing. 2005. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam
Menangkal Kemungkinan Masuknya Hama dan Penyakit Terbawa Benih
Impor Kelapa Sawit. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005:
Pemeliharaan Kesehatan Kelapa Sawit Melalui Pengendalian Terkini
Hama, Penyakit dan Gulma serta Aplikasi Pemupukan. Yogyakarta, 1314 September 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal. 1 - 12.

196
Riyadi dan Bratakusumah. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi
Menggali Potensi Mewujudkan Otonomi Daerah. P.T. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Roundtable on Sustainability Palm Oil (RSPO, 2005). The RSPOS Principles
and Criteria for Sustainable Palm Oil Production. Public Release Version.
The 3rd Meeting of RSPO. Singapura, 22-23 November 2005.
www.rspo.org, 26 Desember 2005.
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Kompleks. K.
Peniwati (Eds.). Diterjemahkan oleh L. Setiono. Terjemahan dari
Decision Making for Leaders. The Analytical Hierarchy Analysis for
decisions in Complex World. PT. Pustaka Binama Pressindo. Jakarta.
Saharun, L. 2001. Analisis Respon Areal dan Produksi Kakao Pada Perkebunan
Rakyat dan Perkebunan Besar di Propinsi Irian Jaya. Tesis. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[SEKJEN DEPTAN]. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian. 2008. Kinerja
Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 2007. www.deptan.go.id. 6
September 2008.
Setyarso, A. and C. Wulandari. 2002. Criteria and Indicator for Best Practices Oil
Palm Industry and Plantation Management. Proc. of Chemistry and
Technology Conference: Enhancing Oil Palm Industry through
Environmentally Friendly Technology. Bali, 8-12 July 2002. Indonesian
Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. Pp. 361-368.
Siegel, S. 1990. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. PT. Gramedia.
Jakarta.
Sinukaban, N. 2007. Konsep Kebutuhan Hidup Layak. Materi Mata Kuliah
Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sinuraya, J. F. 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara. Tesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soil Survey Staff. 1999. Keys to Soil Taxonomy. Ninth Edition. Department of
Agricultural Natural Resources Conservation Services. Washington.
Sudihardjo, H., H. Sosiawan, B. Kaslan, Mudjiono, H.J. Deri, dan J. Dai. 1990.
Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Pekanbaru
(0816), Sumatera. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Sukiyono, K. 1995. PIR/NES dan respon Penawaran Produsen Kelapa Sawit di
Indonesia. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 3(2): 163-178. Indonesian Oil
Palm Research Institute (IOPRI). Medan.
Sumodiningrat, G.
Yogyakarta.

1998.

Pengantar

Ekonometrika.

BPFE-Yogyakarta.

Supardi, I. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Edisi Kedua. Cetakan


Kedua. P.T. Alumni. Bandung.

197
Suslia, W. R., S. Bahtiar, P.U Hadi, A. Priyambodo, dan S.O. Lubis. 1995. Model
Ekonomi Minyak Sawit Mentah Dunia. Jurnal Agro Ekonomi. 14(2):21-43.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Bogor.
Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian:
Penjelasan Tentang Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel.
P.T. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
________. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN) Sebagai Kelembagaan Ekonomi Di Perdesaan.
http://www.pse.litbang.deptan.go.id. 15 Desember 2008.
Syahza, A. 2008. Pengaruh Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap
Ekonomi Regional Daerah Riau. http://www.bung_hatta.go.id. 2
Desember 2008.
Taryoto, A.H. 1995. Analisis Kelembagaan Dalam Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian: Suatu Pengantar. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian:
Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas
Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian.Bogor.
Troeh, F.R., J.A. Hobss, and R.L. Donahue. 2004. Soil and Water Conservation
for Productivity and Environmental Protection. Fourth Edition.Pearson
Education. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey.
Uexkhull, H.R. and T. Fairhust. 1991. Fertilizing for High Yield and Quality The
Oil Palm. IPI Bulletin. 12. Pp. 4-8.
[ UN ] United Nation. 1948. Report of The World Commission on Environment
and Development: Our Common Future. United Nation Documents.
http://www.un-documents.net.
Wahyono, T. 2003. Konflik Penguasaan Lahan Pada Perkebunan Kelapa Sawit
Di Sumatera. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 11(1). 47 - 59. Pusat
Penelitian kelapa Sawit. Medan
Wahyono, T dan M. Djafar, 2004. Pembangunan Ekonomi Melalui Perkebunan
Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 3(12).
176-184. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Widhiastuti, R. 2001. Pola Pemanfaatan Limbah Pabrik Pengolahan Kelapa
Sawit dalam Upaya menghindasri Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus I
Perkebunan Kelapa Sawit P.T. Tapian Nadengan SMART Group, Langga
Payung, Sumatera Utara). Disertasi. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Wigena, I G.P. and D. Santoso. 2003. Stick Fertilization and Its Effect to
Immature Oil Palm Grown on Xhantic Hapludox, Jambi. Proc. Seminar
Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik
Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Badan Litbang
Pertanian. Hal. 168 - 176.
Wigena, I G. P., J. Purnomo, E. Tuherkih dan A. Saleh. 2006. Pengaruh Pupuk
Slow Release Majemuk Padat terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Kelapa Sawit Muda pada Xanthic Hapludox di Merangin, Jambi. Jurnal
Tanah dan Iklim. 24. 10-20. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

198
Winarna. 2007. Lahan Gambut Saprik Paling Potensial untuk Kebun Sawit.
www.kapanlagi.com. 30 Juni 2007.
Winter, J. 2002. Material Recycling from Waste and Waterwaste of Oil Palm
Production for Sustainable Environmental Development. Proc. of
Chemistry and Technology Conference: Enhancing Oil Palm Industry
through Environmentally Friendly Technology. Bali, 8-12 July 2002.
Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI). Medan. Pp. 31-38.

199
Lampiran 1. Kriteria dan Indikator Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Menurut Setyarso dan Wulandari (2002).
Kriteria
Legalitas

Penyiapan dan
konservasi
tanah

Pengelolaan
produksi

Prosesing dan
pemasaran

Aspek
Ekologi/Lingkungan

Sosial

Pengelolaan bisnis

- Lokasi sesuai UU
berlaku
- Areal konservasi dan
kegiatan sosial minimal
20%
- Kebudayaan dan
sumberdaya ekonomi
lokal terpelihara
- Lokasi kebun tidak
di hutan lindung
- Perubahan ekologi tidak
merusak lingkungan
- Penggunaan areal
sesuai dengan potensi
- Penyiapan lahan
tanpa bakar
- Tidak terjadi degradasi
lahan
- Lahan terdegradasi
direhabilitasi
- Penyerahan kembali
tepat waktu areal
masyarakat/adat jika
waktu sewa sudah
habis
- Pengelolaan hama
terpadu
- Kebakaran minimal
- Dampak negatif
terhadap air, udara,
tanah dan spesies
endemi minimal
- Lereng >15% diteras
- Penurunan
permukaan
tanah gambut
minimal
- Penanaman cover
crops sekitar
80-100%
- Penggunaan bahan
kimia berbahaya
minimal

- Konsesi dan
penguasaan lahan
melibatkan
masyarakat lokal
- Penguasaan lahan
sesuai keinginan
masyarakat

- Areal maksimal
yang ditanami 65%
-Tidak boleh
mengganti
komoditas sawit
dgn komoditas
lainnya di areal
konsesi

- Masyarakat
Dilibatkan dalam
kegiatan penyiapan
lahan

- Konservasi tanah
berdampak positif
terhadap lahan
masyarakat

- Masyarakat
dilibatkan dalam
kegiatan
pengelolaan
produksi

- Pengelolaan limbah
sesuai prosedur standar
- Dampak limbah cair dan
gas terhadap lingkungan
minimal
- Teknologi prosesing
limbah berwawasan
lingkungan

- Masyarakat
dilibatkan dalam
kegiatan
prosesing dan
pemasaran produksi

- Panen dilakukan
saat buah matang
fisiologis untuk
memperoleh harga
yang lebih tinggi
- Analisis tanah dan
tanaman dievaluasi
setiap 5 tahun
- Pengamatan hama
dan penyakit
secara berkala
- Penggunaan jenis
dan dosis pupuk
berdasarkan
analisa tanah
- Tata ruang kebun
berdasarkan fungsi
tanaman, fasilitas
umum dan sosial,
PKS dan
infrastruktur
- Teknologi
pengelolaan kebun
sesuai ekosistem.
- Kadar asam amino
CPO < 5%
- Randemen TBS
baik, efisiensi
pengolahan TBS
> 95%
- Harga TBS
sesuai pasar

200
Lampiran 1. (Lanjutan)
Kriteria

Aspek
Ekologi/Lingkungan

Sosial

Pengelolaan bisnis

sumberdaya
manusia

- Pekerja tahu cara


mengamankan diri dari
kelainan mesin, bahan
kimia
- Pengelolaan limbah oleh
Tenaga profesional

- Masyarakat sekitar
diutamakan dalam
seleksi tenaga kerja
- Dilakukan pelatihan
untuk meningkatkan
skill tenaga kerja
- Tidak ada
diskriminasi antara
tenaga lokal dengan
upahan
- Tenaga lokal
Dijadikan tenaga
tetap

-Tingkat UMR
manusiawi
- Pekerja memiliki
skill untuk
menjamin mutu
produksi
- Pekerja mendapat
jaminan sosial dan
kesehatan
- Pekebun menjamin
tempat tinggal
pekerja

Pengembangan
regional

- Pekebun
memperhatikan flora
dan fauna endemik
dan habitatnya
- Bertanggungjawab
terhadap pengelolaan
lahan pasca operacional
- Harus ada lahan untuk
pembinaan masyarakat
lokal

- Pekebun
Memberdayakan
masyarakat sekitar
dengan perbaikan
fasisilitas umum,
kesehatan,
pendidikan,
memberikan
beasiswa
- Pekebun
meningkatka
kapasitas individu
lokal

-Informasi
pengelolaan kebun
sifatnya transparan
- Kelembagaan
ekonomi lokal tidak
terganggu

Aksesibilitas
informasi

- Informasi Pemantauan
dan pengelolaan
lingkungan transparan

- Komunikasi
masyarakat
lokal dan staf kebun
lancar
- Masyarakat
dilibatkan
dalam pengambilan
keputusan yang
mempengaruhi
kehidupan mereka

-Peluang bekerja
bagi masyarakat
lokal transparan
- Pengelolaan kebun
diaudit oleh ouditor
independen
minimal
1 kali/tahun
- Data produksi
berdasarkan umur
tanaman dan
kesesuaian lahan
direkam secara
berkala
- Perkebunan
didukung oleh
sistem komputer
dan bisa diakses
setiap saat.

203
Lampiran 3. Jenis dan Sumber Data Primer yang Dibutuhkan dalam Penelitian
No
Jenis data
Sumber
Keterangan
Data fisik
1.

Sifat kimia, fisika dan biologi


tanah

Analisis contoh
komposit dan bulk

Contoh tanah diambil


berdasarkan peta tanah

2.

Laju erosi tanah

Pendugaan USLE

Pendugaan berdasarkan kelas


lereng, konservasi, jenis
tanah, vegetasi

3.

Kualitas air tanah permukaan


(sungai dan sumur)

Analisis kimia
contoh air

Contoh berdasarkan radius


dari sumber polusi

4.

Kemiringan lereng

Survei

Didasarkan peta topografi dan


observasi lapangan

5.

Keragaan teras pada lahan


berlereng

Survei

6.

Pengelolaan pupuk

Survei

Jenis, dosis, waktu, dan cara


pemupukan

7.

Pengelolaan sisa panen

Survei

Pengolahan dan pemanfaatan


sisa panen

8.

Kesesuaian
suitability)

lahan

(Land

Desk study

Overlay peta tanah, topografi,


curah hujan, dan land use.

9.

Data fisik
relevan

lainnya

yang

Time series data

Data Ekonomi
1.

Skim kredit Pola PIR-Trans

Survei

2.

Produksi dan harga TBS

Survei

3.

Pendapatan dan pengeluaran


masyarakat

Survei

4.

Sistem pemasaran produksi

Survei

5.

Penyerapan tenaga kerja

Survei

6.

Data ekonomi
relevan

Survei

lain

yang

1.

Data sosial
Kesehatan masyarakat

Survei

2.

Konflik sosial

Survei

3.

Pendidikan masyarakat

Survei

4.

Aksesibilitas informasi
pengelolaan perkebunan

Survei

5.

Penerapan azas legalitas

Survei

6.

Interaksi dan
kelembagaan

Survei

7.

keterkaitan

Data sosial lain yang relevan

Survei

Time series data

204
Lampiran 4.
No

Jenis dan Sumber Data Sekunder yang Diperlukan dalam


Penelitian
Jenis data
Sumber
Keterangan

1.

Data fisik
Sifat kimia dan fisika tanah

2.

Laporan
Balitanah

Hasil pemetaan RLREP

Rencana Tata Ruang Kabupaten

Laporan

Dicari yang masih berlaku

3.

Rencana Strategis Pengembangan


Sawit Kabupaten

Laporan

Dicari yang masih berlaku

4.

Propinsi Riau dan


Kampar dalam Angka

Laporan

Dicari yang paling baru

5.

Pengelolaan pupuk

Laporan

6.

Laju erosi tanah

Laporan

7.

Koalitas air tanah dan udara

Laporan

8.

Pengelolaan hama/penyakit

Laporan

9.

Pengelolaan limbah PKS

Laporan

10.

Frekuensi kebakaran, kekeringan


dan kebanjiran

Laporan

11.

Keragaman biodiversitas

Laporan

12.

Pengelolaan sisa panen

Laporan

13.

Pengawasan kualitas produksi

Laporan

14.

Data fisik lain yang relevan

Kabupaten

Data ekonomi
1.

Produksi dan harga TBS, CPO

Laporan

2.

Pendapatan masyarakat

Laporan

3.

Sistem pemasaran produksi

Laporan

4.

Sistem rekrutmen dan penggajian


pekerja

Laporan

5.

Penyerapan tenaga kerja

Laporan

6.

Skim Kredit Pola PIR-Trans

Laporan

7.

Data ekonomi lain yang relevan


Data Sosial
Pendidikan, Kesehatan masyarakat
Sistem penguasaan lahan
Konflik sosial
Keselamatan kerja
UUD dan Perda yang berkaitan
dengan kelapa sawit
Aksesibiltas informasi pengelolaan
perkebunan
Building cavacity

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Laporan
Laporan
Laporan
Laporan
Laporan
Laporan
Laporan

Dicari yang masih berlaku

205
Lampiran 5.

Tujuan

Matrik Tujuan, Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik


Analisis dan Keluaran Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan
Jenis Data

Teknik pengum
pulan data

Teknik Analisis
data

Keluaran

Tingkat
Kesesuaian dan
produktivitas
lahan kelapa
sawit

Data:
- Peta jenis tanah
- Peta topografi
- Peta land use
- Peta lereng
- Pemeliharaan
kelapa sawit
- Produksi TBS

-Pengumpulan
laporan Balai
Penelitian
tanah,
Bakosurtanal.
- Survei lapang

Overlay
peta
yang ada

Peta
kersesuaian
lahan
dan
produktivitas
Kelapa sawit

Model produksi
kelapa sawit
plasma

- Produksi, harga
TBS (time series)
- Harga karet (time
series)
- Upah buruh (time
series)
- Harga saprodi
(time series)
- Kebijakan
pemerintah
- Status kesuburan
tanah

Survei lapang

Ekonometrika
Fungsi Prouksi
Nerlove,
indirect metohd

Model
luas
areal tanam,
produktivitas
dan produksi
kelapa sawit
plasma

Peranan dan
keterkaitan
institusi terkait
dan stakeholdres

Data:
- Jalur dan
pembinaan Instansi
Pemda Tingkat
Kabupaten dan
Propinsi
- Sumber dan jalur
dana pengelolaan
kelapa sawit plasma
- Kewajiban dan hak
perusahaan inti,
KUD, LSM, petani
plasma
- Mekanisme
pengembalian kredit
oleh petani plasma

Survei

Metode
Analitycal
Hierarcy
Process (AHP)

Peranan,
keterkaitan
kelembagaan
dan
skim
kredit
pengelolaan
Kebun
plasma
kelapa sawit
berkelanjutan

206
Lampiran 5. (Lanjutan)
Tujuan

Jenis Data

Model
pengelolaan
kebun
plasma
kelapa sawit
berkelanjutan

Data:
Fisik:
- Produktivitas kelapa sawit
- Peta Rencana Tata
Ruang Kabupaten
- Pengelolaan produksi
kelapa sawit
- Pemanfaatan sisa panen
dan tunasan
- Kapasitas, pengelolaan
limbah PKS
- Pencemaran tanah, air
dan udara
- Kesesuaian lahan
- Frekuensi kekeringan,
kebanjiran, kebakaran
- Keanekaragaman hayati
Ekonomi:
-Harga TBS
-Pendapatan dan
pengeluaran petani
- Sistem pemasaran
produksi
- Penentuan harga TBS
Sosial:
- Asas legalitas
- Konflik sosial
- Rekrutmen tenaga kerja
- Penyerapan tenaga kerja
- Interkasi dan keterkaitan
kelembagaan
- Aksesibilitas publik
terhadap pengelolaan
perkebunan kelapa sawit
rakyat
- Kesehatan, pendidikan
masyarakat

Strategi
implementasi
model
pengelolaan
kebun
plasma
kelapa sawit
berkelanjutan

Data:
Data komponen fisik,
ekonomi dan sosial yang
berperan penting dalam
model pengelolaan kebun
plasma kelapa sawit
berkelanjutan

Teknik pengum
Pulan data

Teknik
Analisis
data

Keluaran

Survei

Pendekatan
Sistem
Dinamis
dengan
perangkat
lunak
Powersim

Model
pengelolaan
kebun plasma
kelapa sawit
bekelanjutan

Metode
Analisis
Prospektif

Rumusan stra
tegi
implementasi
model
pengelola
an kebun
plasma
kelapa sawit

Survei

Survei

FGD dengan
para ahli
perkebunan
kelapa sawit
(staf PTPN V,
Instansi terkait)

207
Lampiran 6. Analisis Kebutuhan Stakeholders Pengelolaan Kebun Kelapa
Sawit Plasma Berkelanjutan
No.
1.

Kebutuhan stakeholders

Stakeholders
Petani sawit

Kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai


Tersedianya bibit sawit berkualitas
Pembinaan pengelolaan kebun yang baik
Tersedianya sarana produksi tepat waktu dengan harga
terjangkau
Degradasi lahan rendah
Pencemaran sumberdaya lahan, air dan udara rendah
Kehilangan keragaman biodiversitas rendah
Tersedianya sarana pendidikan, kesehatan dan sarana
sosial lainnya dengan kondisi layak
Pemasaran TBS lancar dengan harga memadai
Kondisi infrastruktur baik dan memadai
Pendapatan meningkat
Terbukanya peluang untuk bekerja dengan gaji memadai
Adanya pelatihan reguler untuk mningkatkan kapasitas dan
produktivitas tenaga kerja

2.

Perusahaan Inti
perkebunan
kelapa sawit

Tersedianya tenaga kerja dengan keterampilan memadai


Kondisi sosial, politik dan keamanan kondusif untuk
pengembangan kelapa sawit dari Instansi Kabupaten dan
Propinsi Terkait
Konflik sosial dan politik rendah
Tingkat kesesuaian lahan untuk kelapa sawit tidak marginal
Komitmen Pemerintah daerah, masyarakat serta LSM yang
ada untuk terus mendukung perkebunan kelapa sawit
Tersedianya TBS yang memenuhi standar kualitas untuk
PKS
Keuntungan perkebunan layak dan berkelanjutan
Loyalitas pekerja untuk mencapai efisiensi dan kapasitas
tenaga kerja yang memadai

3.

Dinas Perkebunan
Kabupaten

Tidak ada pelanggaran dalam konsesi sumberdaya lahan


Semua kegiatan sesuai dengan Peraturan dan PerundangUndangan yang berlaku
Rencana teknis pembinaan dan pemberdayaan
Sarana dan prasarana pelayanan pembinaan dan
pemberdayaan

208

Lampiran 6. (Lanjutan
No.

Stakeholders

Kebutuhan stakeholders

4.

Instansi Terkait
Tingkat Kabupaten
(Dinas Pertanian,
BPN, Dinas
Koperasi, Dinas
Pendidikan, Dinas
Kesehatan, Dinas
Sosial, Bapedalda)

Operasionalisasi semua kegiatan sesuai dengan


Undang-Undang dan Peraturan berlaku
Tersedianya fasilitas umum dan sosial yang memadai
Kompensasi kehilangan hak-hak masyarakat memadai
Penggunaan lahan sesuai dengan Tata Ruang Daerah
Ada
perencanaan,
program
pembinaan
dan
pemberdayaan masyarakat setempat
Degradasi lahan rendah
Pencemaran air, udara dan tanah rendah
Tidak ada konflik sosial dan politik
Penyerapan tenaga kerja non skilled dan skilled
Pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) meningkat
Pengelolaan
limbah
sesuai
standar
sehingga
pencemaran lingkungan rendah

5.

Lembaga Sosial
Masyarakat

Operasionalisasi semua kegiatan sesuai dengan


Undang-Undang dan Peraturan berlaku
Kompensasi kehilangan hak-hak masyarakat memadai
Ada
perencanaan,
program
pembinaan
dan
pemberdayaan masyarakat setempat
Degradasi lahan rendah
Pencemaran air, udara dan tanah rendah
Tidak ada konflik sosial dan politik
Pendapatan masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) meningkat
Penyerapan tenaga kerja non skilled dan skilled

6.

Masyarakat di luar
lokasi Perkebunan

Penyerapan tenaga kerja non skilled dan skilled


Pencemaran air, tanah, udara dan kehilangan
biodiversitas rendah
Pendapatan masyarakat meningkat
Dilibatkan dalam program pembinaan dan pemberdayaan

209
Lampiran 7. Kualitas Limbah cair Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit pada Kolam
Aerasi (siap dibuang ke Sungai Iyee)
Parameter
Satuan
Nilai baku mutu Hasil Pengukuran
Sifat fisika
Temperatur

27-28

27

Padatan terlarut

Mg/l

2000

1250

TSS

Mg/l

250

168

6,0-9,0

7,62

Sifat kimia
pH
Kadmium

Mg/l

0,10

0,094

Total Nitrogen sbg N

Mg/l

50

27,15

Tembaga

Mg/l

3,00

1,41

Timah hitam

Mg/l

1,0

0,236

Seng

Mg/l

10,0

3,22

Air raksa

Mg/l

0,01

Ttd

Besi terlarut

Mg/l

10,0

6,77

Sulfida

Mg/l

0,10

0,08

Sianida

Mg/l

1,0

0,08

BOD

Mg/l

100

86

COD

Mg/l

300

188

Minyak dan lemak

Mg/l

25

18,76

Sifat biologi

210

Lampiran 8. Kualitas air Sungai Iyee sebagai Media Pembuangan Limbah Cair
Pabrik Kelapa Sawit di Sei Pagar
Parameter
Satuan
Baku mutu
Hulu
Hilir
Fisika
0

27,5

27,1

26,9

Padatan terlarut

Mg/l

1000

33

30

Padatan tersuspensi

Mg/l

50

16

21

6-9

7,4

7,4

Temperatur

Sifat kimia
pH
Total P

Mg/l

0,2

0,14

0,15

Nitrat sbg N

Mg/l

10

0,30

0,60

Amonia

Mg/l

0,1

0,08

0,01

Kadmium

Mg/l

0,01

0,0015

0,004

Chromium Vallensi VI

Mg/l

0,05

0,01

0,006

Tembaga

Mg/l

0,02

0,01

0,02

Besi

Mg/l

0,14

1,63

Mangan

Mg/l

0,17

0,04

Seng

Mg/l

0,05

0,01

0,12

Khlorida

Mg/l

Ttd

2,26

Florida

Mg/l

1,5

0,10

0,07

Sulfat

Mg/l

0,075

0,6

BOD

Mg/l

3,0

1,23

2,30

COD

Mg/l

25

7,15

15,7

Oksigen terlarut

Mg/l

2,88

5,80

Minyak dan lemak

Mg/l

1000

59

50

Per 100 ml

1000

40

80

Sifat biologi

Total Coliform

211
Lampiran 9. Kualitas air tanah (air sumur pantau) di Lokasi Kebun Kelapa Sawit
Plasma Sei Pagar
Hasil pengukuran
Parameter
Satuan
Baku mutu
Awal
2005
pH

6,0-9,0

6,01

5,91

BOD

Mg/l

3,0

2.88

2,9

DO

Mg/l

15

7,04

5,04

Nitrat sbg N

Mg/l

10

0,02

1,10

NH3-N

Mg/l

10

0,66

0,96

Khlorida

Mg/l

600

8,77

24,5

Sulfat

Mg/l

400

12,08

41,9

Seng

Mg/l

15

0,04

0,08

Kadmium

Mg/l

0,005

Ttd

0,001

Tembaga

Mg/l

0,02

Ttd

0,008

Timbal

Mg/l

0,05

ttd

0,01

212
Lampiran 10. Matriks Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Jenis Dampak

Sumber Dampak
Tindakan

Rencana Pengelolaan Lingkungan


Tolok Ukur
Lokasi

Periode

Penurunan
kualitas udara

Kegiatan PKS,
transportasi TBS
dan CPO

Pemakaian master bagi


karyawan
Pemanfaatan tandan kosong
ke tanaman
Melakukan penghijauan
Perawatan masin PKS secara
rutin

PP No 41 Tahun 1999
Kepmen LH No 48
Tahun 1996
Kepmen LH No 13
Tahun 1995

Sebelum PKS, di
sekitar PKS dan
sesudah PKS
Emisi Boiler dan
Genset PKS

2 kali setahun

Penurunan
kualitas tanah

Budidaya tanaman
Kelapa sawit

Pemeliharaan saluran irrigis


Penanaman cover crops
Pemeliharaan tanaman secara
tepat

Laju intensitas erosi


USLE
Sifat fisik dan kimia
tanah

Areal perkebunan
kelapas sawit
plasma
Pada lahan
dengan
kemiringan >20%

1 kali setahun

Penurunan
kualitas air
permukaan

Pelaksanaan
Land Application
(LA)
Kebocoran
saluran
pembuangan
PKS dan IPAL

Perlakuan limbah cair dengan


fermentasi anaerob
Pembuatan sumur control
Perawatan kolam IPAL secara
teratur

Kepmen LH No 28
Tahun 2003
Baku Mutu Air Sungai
Kelas II
Permenkes No

Outlet PKS
Hulu, tengah dan
hilir sungai
Sumur pantau
pada areal LA

2 kali setahun
untuk air
permukaan
1 kali sebulan
untuk limbah
cair

Aktivitas kegiatan
kebun dan PKS

Kesempatan kapada
masyarakat menjadi pekerja di
kebun/PKS
Pengembangan sarana umum
dan sosial
Pendekatan sosial kepada
masyarakat

Tingkat pendapatan
masyarakat
Persepsi mayarakat
terhadap kebun dan
PKS
Frekuensi konflik

Desa di sekitar
kebun/PKS

1 kali setahun

Perekonomi
an dan
kondisi sosial
masyarakat
sekitar kebun

97/MENKES/SK/VII/2000

213
Lampiran 11. Matrik Pelaksanaan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Rencana Pemantauan Lingkungan
Dampak
Penting/Parameter
Terpantau

Sumber Dampak

Tolok Ukur /Parameter

Pelaksanaan
Metode

Hasil Pelaksanaan

Tindak lanjut
Kendala

Penurunan koalitas
udara

Aktivitas PKS dan


transportasi
TBS/CPO

Gas ambien: SO2, CO2,


NO2, Hidrokarbon,
partikel dan kebisingan
Emisi: Opasitas, SO2,
CO2, NO2, Hidrokarbon
dan kebisingan

Pengambilan
contoh udara dan
pengukuran
parameter secara
langsung di
lapangan

Semua parameter
memenuhi baku mutu
yang ditetapkan

Dilakukan secara
rutin

Penurunan kualitas
tanah (erosi, sifat
nimia dan fsika
tanah)

Budidaya tanaman
Kelapa sawit

Tingkat erosi tanah,


tingkat
kesuburan/kesesuaian
tanah

Pengukuran
langsung di
lapangan dan
analisa kimia/fisika
di laboratorium
tanah

Potensi erosi tanah


rendah, sifat kimia dan
fisika tanah masih baik
untuk kelapa sawit

Dilakukan secara
rutin

Pelaksanaan LA

Tingkat
kesuburan/kesesuaian
tanah

Pengukuran
langsung di
lapangan dan
analisa kimia/fisika
di laboratorium
tanah

Sifat kimia dan fisika


tanah masih baik untuk
kelapa sawit

Dilakukan secara
rutin

Penurunan kualitas
air permukaan

Kebocoran saluran
pembuangan PKS
dan IPAL

Baku Mutu Air Sungai


Kelas II

Pengambilan
contoh air sungai,
limbah cair dan air
sumur pantau

Semua parameter
memenuhi baku mutu
yang ditetapkan

Dilakukan secara
rutin

Penurunan kualitas
air tanah

Aplikasi LA

Permenkes No
97/MENKES/SK/VII/2000

Perekonomian dan
kondisi sosial
masyarakat sekitar
kebun

Aktivitas kegiatan
kebun dan PKS

Tingkat pendapatan
masyarakat
Persepsi mayarakat
terhadap kebun dan
PKS
Frekuensi konflik

Wawancara
terstruktur dengan
masyarakat sekitar
kebun

Pendapatan dan
kesejahteraan
masyarakat meningkat
Konflik dan
kecemburuan sosial
menurun

Tidak semua
masyarakat sekitar
kebun bisa
diangkat menjadi
karyawan
kebun/PKS

Program
penanganan
dampak sosial
dilakukan secara
konsisten dan
berkelanjutan

214

Lampiran 10. Land Use

Lampiran 11. Peta Land Unit

Lampiran 12. Peta Kesesuaian Lahan...

214
Lampiran 12. Peta Land Use Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, 2007

215
Lampiran 13. Peta Land Unit Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, 2007

216
Lampiran 14. Peta Kesesuaian Lahan Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, 2007

224
Lampiran 17. Hasil Analisis Fisika Contoh Tanah Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007
No/Kedalaman

Kadar air

BD

Ruang pori

(cm)

(% vol)

(gr/cc)

total(% vol)

Kadar air (% volume)


pF1

pF2

pF 54

Pori drainase (% volume)


pF 42

Cepat

Lambat

Air

Permeabili

tersedia

tas

(% vol)

(cm/jam)

1.I/0-20

40.3

0.7

67.9

61.7

46.6

35.9

14.1

21.2

10.7

21.8

8.87

1.II/20-40

38.2

0.9

59.0

52.6

40.8

35.6

18.0

18.1

5.2

17.6

16.31

2.I/0-20

32.0

1.2

47.5

46.2

38.4

31.6

11.1

9.2

6.7

20.6

4.82

2.II/20-40

30.9

1.4

42.8

43.1

34.2

29.3

11.4

8.6

4.9

17.8

6.23

3.I/0-20

67.7

0.3

85.2

71.2

60.8

52.8

11.4

24.4

7.9

41.5

7.98

3.II/20-40

62.0

.04

75.5

71.3

49.5

42.5

16.5

25.9

7.0

26.0

1.34

4.I/0-20

52.2

0.3

84.2

59.1

51.3

44.7

15.0

32.9

6.5

29.7

14.55

4.II/20-40

55.5

0.3

80.9

66.9

58.4

52.3

16.2

22.5

6.1

36.2

11.37

225
Lampiran 18. Hasil Analisis Kimia Contoh Tanah Komposit Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007
No.

P2O5

KTK

pasir

Tekstur (Pipet) (%)


debu

Liat

H2O

pH

C(%)

Bahan organik
N(%)

C/N

Bray(ppm)

Cmol/kg

(%)

KB
Ca

Mg

Total (HNO3 +HclO4) (ppm)


S

Fe

Al

Cu

Co

Abu

Si

(%)

(%)

PW1/I

24

41

35

4.7

5.00

0.33

15

3.8

13.32

1375

2469

230

1890

36517

0.19

PW1/II

22

42

36

5.1

0.86

0.09

10

3.7

5.88

327

2126

39

2177

47240

0.24

0.53

88.20

80.26

0.52

97.30

PW1/III

21

42

37

4.8

0.29

0.02

15

6.2

5.74

46

540

33

2208

44153

84.65

0.28

0.57

94.45

81.23

PW1/IV

20

43

37

4.7

0.26

0.02

13

2.0

7.82

13

458

28

1748

PW2/I

47

29

24

4.5

1.96

0.15

13

2.0

5.28

31

417

55

3394

40915

0.48

0.44

96.50

78.16

21137

0.21

0.36

94.16

PW2/II

50

23

27

4.8

0.52

0.05

10

3.1

4.07

36

375

55

73.44

3924

29263

0.32

0.54

95.00

PW2/III

45

27

28

4.8

0.19

0.02

10

4.5

7.03

150

353

86.45

55

3783

32948

3.34

0.52

93.64

73.98

PW2/IV

40

25

35

4.7

0.19

0.02

10

5.3

6.30

51

PW3/I

73

23

4.1

35.08

0.53

66

6.3

76.32

38

402

44

3975

38285

0.90

0.91

91.65

80.65

548

1975

901

43668

7.48

0.05

31.03

PW3/II

55

41

4.4

22.35

0.47

48

3.2

64.14

26.38

66

625

1382

2023

89340

7.76

0.52

54.75

47.08

PW3/III

69

29

4.5

43.40

1.37

32

3.6

76.99

PW3/IV

73

27

4.7

43.91

0.65

68

4.1

72.61

170

337

4194

939

61712

12.83

0.51

12.94

11.25

101

715

4088

783

54864

8.32

0.42

11.81

PW4/I

94

4.3

36.44

0.55

66

3.8

10.75

80.42

85

279

1828

1451

40772

10.70

0.56

27.66

22.68

PW4/II

39

32

29

4.7

14.83

0.85

17

PW4/III

71

29

4.8

37.91

0.61

62

6.8

53.76

96

274

2091

3008

105835

5.95

0.92

72.45

55.06

9.4

66.14

371

315

2802

1631

75653

24.73

0.41

24.66

PW5/I

80

16

4.0

33.99

0.62

20.22

55

6.6

71.70

109

867

784

908

17265

5.60

0.61

30.74

PW5/II

70

23

4.5

29.75

24.90

0.47

63

3.1

88.77

108

390

2977

1576

56178

11.05

0.50

38.48

35.01

PW5/III

26

40

34

4.8

PW5/IV

82

4.8

16.99

0.51

33

7.3

61.50

345

227

3625

3002

93506

8.62

1.00

64.04

55.07

40.70

0.74

55

7.6

59.08

125

689

5089

1393

67412

16.74

0.65

19.34

PW6/I

31

56

13

15.28

4.7

10.62

0.19

57

12.6

27.62

51

749

449

1580

27214

4.72

0.65

83.06

67.28

PW6/II

26

63

PW6/III

60

27

11

4.8

9.73

0.31

31

41.1

31.55

97

291

564

2919

46258

8.06

0.68

77.32

60.31

13

4.9

3.64

0.25

15

9.2

9.56

75

350

184

1029

16872

3.03

0.21

88.08

PW6/IV

23

59

72.23

16

4.9

1.60

0.13

12

7.6

7.75

68

321

325

1013

14851

2.85

0.20

96.80

77.93

226
Lampiran 19. Hasil Analisis Kimia Air Tanah Permukaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007
Me/l air bebas lumpur
pH
Lokasi
DHL
250C
Kation

Anion
ds/m
kation
K
Ca
Mg
Na
Fe
Al
NO3
SO4
Cl
NH4

HCO3

S.Hangtuah1 0,021

4,7

0,01

0,01

0,03

0,01

0,03

0,01

0,00

0,10

0,01

0,01

0,16

S.Hangtuah2 0,013

5,5

0,01

0,01

0,04

0,01

0,03

0,01

0,00

0,11

0,01

0,01

S.PKS

0,023

4,8

0,01

0,02

0,03

0,02

0,06

0,00

0,00

0,14

0,02

S. SP3

0,044

4,5

0,01

0,02

0,07

0,02

0,08

0,00

0,04

0,23

S. Iyee

0,014

5,0

0,01

0,00

0,02

0,01

0,05

0,00

0,00

S.Pongke

0,008

5,9

0,01

0,01

0,02

0,01

0,02

0,00

0,00

Anion

Kadar
lumpur
Mg/ltr

0,03

0,21

124

0,13

0,07

0,22

144

0,01

0,11

0,05

0,19

83

0,02

0,04

0,17

0,02

0,25

41

0,09

0,01

0,01

0,12

0,04

0,18

50

0,07

0,02

0,02

0,10

0,03

0,17

101

Lampiran 20. Hasil Analisis Kimia dan Biologi Limbah Cair PKS Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007
Sifat Kimia (Air bebas lumpur)
Sifat Biologi
Lokasi
Fe
Mg/l

Al
Mg/l

Cu
Mg/l

Pb
Mg/l

Cd
Mg/l

Co
Mg/l

B
Mg/l

Kolam 1

58,9

7,14

0,03

3,50

0,00

0,03

3,50

Kolam 2

0,14

Ttd

0,00

1,27

0,00

0,03

Kolam3/LA

0,10

Ttd

0,00

1,12

0,00

Kolam 4

ttd

Ttd

0,00

0,52

0,00

Hg
Mg/l

BOD
Mg/l

COD
Mg/l

O2-larut
Mg/l

Padatan
suspensi
Mg/l

Padatan
larut
Mg/l

Minyak dan
lemak
Mg/l

Ttd

5960

9100

0,00

7800

1734

77,0

1,27

Ttd

4120

7850

0,00

6450

1425

71,0

0,04

1,12

Ttd

2348

3918

0.00

1300

890

69,0

0,02

0,52

Ttd

1125

2645

0,0

850

550

34,5

227
Lampiran 21. Hasil Analisis Kimia Contoh Daun Kelapa Sawit Kebun Plasma Sei Pagar, 2007
Terhadap contoh kering 1050C

Lokasi
N
%

P
%

K
%

Ca
%

Mg
%

S
%

Fe
ppm

Al
ppm

Cu
ppm

B
ppm

Cd
ppm

Co
ppm

Kadar
abu
%

Si-kasar
%

Prod.rend
ah SP1

2,51

0,11

0,05

0,57

0,17

0,13

120

46

6,11

20

0,03

0,22

5,41

3,24

Prod.rend
ah SP3

2,58

0,15

0,03

0,91

0,22

0,14

94

36

7,29

25

0,05

0,37

4,69

2,15

Prod.sed
ang SP1

2,59

0,15

0,05

0,77

0,28

0,12

99

98

8,55

20

0,05

0,22

5,01

2,35

Prod.ting
gi SP4

2,73

0,15

0,04

0,99

0,24

0,15

123

90

8,53

23

0,02

0,39

4,93

0,73

Prod.sed
ang SP3

2,44

0,14

0,04

0,71

0,26

0,15

101

100

8,65

22

0,06

0,24

5,03

0,78

Prod.ting
gi SP3

2,81

0,16

0,05

1,00

0,27

0,17

125

93

9,00

28

0,07

0,44

5,02

0,84

Prod.rend
ah SP4

2,43

0,09

0,04

0,46

0,14

0,11

125

48

6,13

18

0,03

0,20

5,08

3,29

228
Lampiran 22. Nilai Pengaruh Langsung Satu Variabel terhadap Variabel Lainnya Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan di Sei Pagar, 2007
Thdp.

Ls

Stt

Kess

Lhn

lhn

lhn

SDM

Modal

Klbgn

Tknlg

Upah

Hrg

Hrg

Keb

Pdpt

Pncmr

Atrn

Knflk

Prod

Klts

TK

Sapdi

Prod

pemth

ptn

lingkgn

WTO

Sos

TBS

CPO

Jumlah

Dari
Ls lhn

__

20

Stt lhn

__

18

Kess lhn

__

16

SDM

__

20

Modal

__

20

Klbgn

__

28

Teknlg

__

17

Uph TK

__

11

Hrg sapdi

__

15

Hrg Prod

__

13

Keb Pemth

__

24

Pdpt ptn

__

16

Pncm lingk

__

17

Atrn WTO

__

Knfk Sos

__

14

Prod TBS

__

13

Klts TBS

__

229

Lampiran 23. Nilai Pengaruh Tak Langsung Satu Variabel terhadap Variabel Lainnya Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan di Sei Pagar, 2007
Thdp.

Ls

Stt

Kess

Lhn

lhn

lhn

SDM

Modal

Klbgn

Tknlg

Upah

Hrg

Hrg

Keb

Pdpt

Pncmr

Atrn

Knflk

Prod

Klts

TK

Sapdi

Prod

pemth

ptn

Lingkgn

WTO

Sos

TBS

CPO

Jumlah

Dari
Ls lhn

20

__

18

Kess lhn

__

16

SDM

__

20

Modal

__

20

Klbgn

__

28

Teknlg

__

17

Uph TK

__

11

Hrg sapdi

__

15

Hrg Prod

__

13

Keb Pemth

__

24

Pdpt ptn

__

16

Pncm lingk

__

17

Atrn WTO

__

Knfk Sos

__

14

Prod TBS

__

13

Klts TBS

__

Stt lhn

__

230
Lampiran 24. Kombinasi Keadaan Variabel Skenario Pesimis Implementasi Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario
Kesesuaian
Modal Kerja
Kualitas SDM
Kinerja
Kebijakan
Luas Lahan
Stts. Penguasaan
Lahan

Pesimis-1
Pesimis-2
Pesimis-3
Pesimis-4
Pesimis-5
Pesimis-6

Pesimis-7
Pesimis-8
Pesimis-9
Pesimis-10
Pesimis-11

Pesimis-12
Pesimis-13
Pesimis-14
Pesimis15

Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tidak terjamin
Tidak terjamin
Tidak terjamin
Tidak terjamin
Tidak terjamin

Tidak terjamin
Tidak terjamin
Tidak terjamin
Tidak terjamin

Terjamin, sertifikat
Terjamin, sertifikat
Terjamin, sertifikat

Kelembagaan

Pemerintah

Turun, teknologi
tidak intensif
Tetap, teknologi
semi intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif

Lahan
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah
Agak cukup, akses
sedang
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah

Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil
Tetap, agak
terampil
Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil

Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Agak kuat, instansi
belum optimal
Lemah, institusi
tidak berperan

Tidak mendukung

Tetap, teknologi
semi intensif
Tetap, teknologi
semi intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif

Minim, akses
susah
Agak cukup, akses
sedang
Agak cukup, akses
sedang
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah

Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil
Tetap, agak
terampil
Tetap, agak
terampil
Turun, tidak
terampil

Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Agak kuat, instansi
belum optimal
Agak kuat, instansi
belum optimal

Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah

Turun, tidak
terampil
Tetap, agak
terampil
Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil

Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Agak kuat, instansi
belum optimal
Lemah, institusi
tidak berperan

Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Agak mendukung

231
Lampiran 24. (Lanjutan)
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario

Luas Lahan

Stts. Penguasaan
Lahan

Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun karena
terfragmentasi
Turun karena
terfragmentasi

Tidak terjamin

Pesimis-21

Turun karena
terfragmentasi

Pesimis-22

Kesesuaian
Lahan

Modal Kerja

Kualitas SDM

Kinerja
Kelembagaan

Kebijakan
Pemerintah
Tidak mendukung

Tetap, teknologi
semi intensif
Tetap, teknologi
semi intensif
Tetap, teknologi
semi intensif

Minim, akses
susah
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah

Tetap, agak
terampil
Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil

Lemah, institusi
tidak berperan
Agak kuat, instansi
belum optimal
Lemah, institusi
tidak berperan

Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang
Agak cukup, akses
sedang

Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal
Lemah, institusi
tidak berperan

Tidak terjamin

Turun, teknologi
tidak intensif

Minim, akses
susah

Tetap, agak
terampil

Lemah, institusi
tidak berperan

Luas lahan tetap

Tidak terjamin

Pesimis-23

Luas lahan tetap

Tidak terjamin

Pesimis-24

Luas lahan tetap

Tidak terjamin

Pesimis-25

Luas lahan tetap

Tidak terjamin

Pesimis-26

Luas lahan tetap

Tidak terjamin

Turun, teknologi
tidak intensif
Tetap, teknologi
semi intensif
Tetap, teknologi
semi intensif
Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif

Minim, akses
susah
Minim, akses
susah
Minim, akses
susah
Agak cukup, akses
sedang
Minim, akses
susah

Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil
Tetap, agak
terampil

Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Lemah, institusi
tidak berperan
Agak kuat, instansi
belum optimal

Pesimis-27

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Pesimis-28

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif
Turun, teknologi
tidak intensif

Minim, akses
susah
Minim, akses
susah

Turun, tidak
terampil
Turun, tidak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal
Lemah, institusi
tidak berperan

Pesimis-16
Pesimis-17
Pesimis-18

Pesimis-19
Pesimis-20

Tidak terjamin
Tidak terjamin

Tidak terjamin

Tidak mendukung
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Tidak mendukung
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Tidak mendukung
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Tidak mendukung
Agak mendukung,

232
Lampiran 25. Kombinasi Keadaan Variabel Skenario Medium Implementasi Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario
Kesesuaian
Modal Kerja
Kualitas SDM
Kinerja
Kebijakan
Luas Lahan
Stts. Penguasaan
Kelembagaan

Pemerintah

Medium-1

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Lahan

Tetap, teknologi
semi intensif

Lahan
Agak cukup, akses
sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-2

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-3

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-4

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-5

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-6

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-7

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-8

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-9

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian

233
Lampiran 25. (Lanjutan)
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario

Luas Lahan

Stts. Penguasaan
Lahan

Kesesuaian
Lahan

Modal Kerja

Kualitas SDM

Kinerja
Kelembagaan

Medium-10

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-11

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-12

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-13

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-14

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-15

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-16

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-17

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-18

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Kebijakan
Pemerintah
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian

234
Lampiran 25. (Lanjutan)
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario

Luas Lahan

Stts. Penguasaan
Lahan

Kesesuaian
Lahan

Modal Kerja

Kualitas SDM

Kinerja
Kelembagaan

Kebijakan
Pemerintah
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi

Medium-19

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-20

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-21

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-22

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-23

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-24

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-25

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-26

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-27

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Medium-28

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

235
Lampiran 25. (Lanjutan)
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario

Luas Lahan

Stts. Penguasaan
Lahan

Kesesuaian
Lahan

Modal Kerja

Kualitas SDM

Kinerja
Kelembagaan

Kebijakan
Pemerintah
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi

Medium-29

Turun karena
terfragmentasi

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-30

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-31

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-32

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-33

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Medium-34

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Turun, teknologi
tidak intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Agak kuat, instansi
belum optimal

Medium-35

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Medium-36

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Medium-37

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Medium-38

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

236
Lampiran 26 . Kombinasi Keadaan Variabel Skenario Optimis Implementasi Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar
Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario
Kesesuaian
Modal Kerja
Kualitas SDM
Kinerja
Kebijakan
Luas Lahan
Stts. Penguasaan
Lahan

Lahan

Kelembagaan

Pemerintah

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Agak kuat, instansi
belum optimal

Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi

Optimis-1

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Optimis-2

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Optimis-3

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Optimis-4

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Optimis-5

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Optimis-6

Luas lahan tetap

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Optimis-7

Meningkat, beli
dari penduduk
lokal
Meningkat, beli
dari penduduk
lokal
Meningkat, beli
dari penduduk
lokal
Meningkat, beli
dari penduduk
lokal

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Terjamin, sertifikat

Tetap, teknologi
semi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Agak cukup, akses


sedang

Meningkat,
terampil

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Tetap, agak
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal
Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

Optimis-8
Optimis-9
Optimis-10

237

Lampiran 26. (Lanjutan)


Keadaan Variable Kunci Di Masa Mendatang
Skenario
Optimis-11
Optimis-12

Luas Lahan
Meningkat, beli
dari penduduk
lokal
Meningkat, beli
dari penduduk
lokal

Stts. Penguasaan
Lahan

Kesesuaian
Lahan

Modal Kerja

Kualitas SDM

Kinerja
Kelembagaan

Kebijakan
Pemerintah
Mendukung,
kepentingan
petani dakumulasi
Agak mendukung,
akumulasi
kepentingan
petani sebagian

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Agak kuat, instansi


belum optimal

Terjamin, sertifikat

Meningkat,
teknologi intensif

Cukup, akses
mudah

Meningkat,
terampil

Kuat, harmonis,
peranan instansi
optimal

You might also like