You are on page 1of 6

Media Kedokteran Hewan

Vol. 22, No. 3, September 2006

Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu


Kambing Peranakan Ettawa
Isolation and Characterization of Staphylococcus aureus of Milk
of Ettawa Crossbred Goat
Agus Purnomo 1, Hartatik 1, Khusnan 1, Siti Isrina Oktavia Salasia 2, dan Soegiyono3
1 Akademi

Peternakan Brahmaputra, Jl. Ki Ageng Pemanahan, Nitikan, Yogyakarta, T el. 0274-384370,


e-mail: drh_khusnan@yahoo.com
2 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Olahraga, Karangmalang, Yogyakarta 55281
3 Departemen Pertanian Rep ublik Indonesia

Abstract
Staphylococcus aureus is a main bacteria causing mastitis of Ettawa crossbred goat. The mastitis
can raise an economical problem for farmers because of decreasing of milk production. S. aureus in the
milk will be spreading rapidly to decompose the milk.The aims of the research were to isolate and
characterize S. aureus from milk samples of Ettawa crossbred goat in Bantul, Sleman and Kaligesing.
Characterization of S aureus based on the mannitol salt agar (MSA) reactions, clumping f actor and
coagulation assays, production of hemolysins and pigments, and antibiotic sensitivity tests. From the
52 milk samples of Ettawa crossbred goat could be isolated 12 S. aureus. All 12 isolates fermented
mannitol, positive for coagulases, clumping f actors, and produced -hemolysis. S. aureus isolated from
Ettawa crossbred gout could produce an orange pigment for 3 isolates, yellow pigmented for 8 isolates
and white pigmented for 1 isolate. Based on the sensitivity tests to the antibiotics, revealed t hat one
isolate of S. aureus was resistent to oxytetracycline, ampicilin, erythromycin, and intermediate to
gentamycin. Three S. aureus isolates were intermediate to erythromycin. Most of S. aureus were still
susceptible to oxytetracycline, tetracycline ge ntamicin, ampicilin and erythromycin.
Key words: Staphylococcus aureus, Ettawa crossbred goat, milk sample

Pendahuluan

Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan


salah satu ternak indigenous di Indonesia yang
mempunyai potensi genetik tinggi sebagai penghasil
daging maupun susu, serta mampu menghasilkan
anak lebih dari satu ekor setiap kelahiran. Namun
angka kematian anak relatif tinggi, salah satu
penyebabnya adalah akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh anak yang baru lahir . Anak kambing
PE sangat tergantung pada antibodi induk yang ter dapat di dalam kolostrum dan kelangsungan hidup
berikutnya tergantung pada jumlah susu yang di produksi oleh induknya. Kasus mastitis atau radang
ambing pada kambing PE dapat mengancam
kelangsungan hidup anaknya, karena menurunnya
kemampuan produksi susu.
S. aureus merupakan agen penyebab utama
mastitis pada sapi perah maupun kambing (Agus,
1991; Barkema et al., 1998; Han et al., 2000). S. aureus
merupakan bakteri patogen utama yang sering
menyebabkan mastitis subklinis muapun mastitis

kronis. Kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan


infeksi S. aureus (Swart et al., 1984; Watts et al., 1986).
Mastitis pada kambing PE akibat infeksi S. aureus
selain dapat menyebabkan kerugian ekonomi aki bat
turunnya produksi susu juga dapat menjadi faktor
penyebab kematian anak periode menyusui. Kasus
mastitis pada kambing PE di wilayah Sleman sekitar
Juni 2003 dilaporkan menyebabkan kerugian ekono mi bagi peternak kambing PE.
S. aureus dalam susu segar dan produk pangan
dapat menyebabkan toxic schock syndrome sebagai
akibat dari keracunan pangan. Staphylococcal enterotoxin
(SE) merupakan agen yang menyebabkan syndrom
keracunan dalam makanan baik pada manusia mau pun hewan (Dinges et al., 2000 dan Omoe et al., 2002).
Sekitar 50% galur S. aureus memproduksi enterotok sin yang dapat menimbulkan keracunan pangan pada
manusia (Omoe et al., 2002). S. aureus menjadi
perhatian khusus dalam pengendalian penyakit
infeksius karena kuman ini mempunyai faktor -faktor
patogenisitas yang berperan dalam mempertahankan

142

Agus Purnomo dkk.; Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu Kambing

diri terhadap sistem kekebalan tubuh hospes dan


kuman ini diketahui telah resisten terhadap beberapa
macam antibiotik (Todar, 2002).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
beberapa karakter fenotipi k yang ikut menentukan
faktor-faktor patogenisitas dan resisten S. aureus terhadap beberapa macam antibiotik, sehingga dari
karakter fenotipik tersebut dapat digunakan sebagai
informasi dalam kontrol maupun pengendalian
mastitis.

Metode Penelitian
Pengambilan sampel susu
Sampel susu kambing Peranakan Ettawa diambil
secara aseptik dari puting susu kambing dan
ditampung dalam tabung reaksi steril. Jumlah sampel
susu sebanyak 52, berasal dari Barongan Bantul 18
sampel, Girimulyo Kulonprogo 2 sampel, Candige bang
Wedomartani Sleman 2 sampel, Girikerto Turi
Sleman 16 sampel, Srandakan Bantul 12 sampel dan
Kaligesing Purworejo 10 sampel.
Isolasi, identifikasi dan karakterisasi S. aureus
Sampel susu ditanam pada media agar
darah, diinkubasikan 37C selama 24 jam, koloni yang
tumbuh dan dicurigai sebagai S. aureus ditanam
ulang pada media agar darah dan diinkubasikan
37C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh ditanam
pada media mannitol salt agar (MSA) diinkubasikan
37C 24 jam.
Uji clumping factor dilakukan dengan menggunakan gelas objek menurut metode Brckler et al.
(1994). Plasma darah kelinci sebanyak 50 l diteteskan
pada gelas objek, kemudian dicampur dengan 1 usa
koloni bakteri. Setelah beberapa detik, diamati reaksi
antara Staphylococcus aureus dengan plasma kelinci
pada gelas objek, reaksi positif bila terjadi presipitasi
dan bila tidak ada presipitasi dinyatakan negatif.
Uji koagulase dilakukan dengan menggunakan
tabung yang berisi plasma darah kelinci, sesuai
metode Brckler et al., (1994). Bakteri ditanam dalam
tabung yang berisi plasma darah, diinkubasikan
selama 6 sampai 18 jam pada suhu 37C. Pengamatan
dilakukan pada 6 jam dan dilanjutkan setelah 18 jam.
Uji koagulase dinyatakan positip bila terjadi
gumpalan dalam tabung dan uji koagulase negatif
bila tidak terjadi penggumpalan dalam tabung.
Produksi hemolisin ditentukan berdasar adanya
zona hemolisis yang dibentuk oleh S. aureus pada plat
agar darah (Skalka et al., 1979). Bakteri ditanam dalam
plat agar (agar base, Oxoid, Jerman) dengan
penambahan darah domba, kemudian diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37C. S. aureus yang
memproduksi alfa-hemolisin akan membentuk zona
terang disekitar koloni, beta -hemolisin akan terlihat

143

zona agak gelap disekitar koloni, gama -hemolisin


tidak terlihat adanya zo na disekitar koloni. Kuman
yang memproduksi kombinasi alfa - dan betahemolisin akan tampak zona gelap dan terang di
sekitar koloni.
Produksi pigmen bakteri dapat dilihat dengan
cara mengulaskan 1 usa koloni bakteri diatas
membran nitroselulose yang diletak kan diatas plat
agar darah domba, warna pigmen akan terlihat
setelah inkubasi selama 18 -24 jam pada suhu 37C
(Lmmler, et al., 1986). Warna pigmen yang terbentuk
pada S. aureus bervariasi antara lain putih, kuning,
dan oranye (Brckler et al., 1994).
Uji kepekaan terhadap antibiotika
Kepekaan S. aureus terhadap beberapa antibiotika
ditentukan dengan menggunakan media agar Mller Hinton (Oxoid). Pedoman pengukuran zona inhibisi
untuk menentukan tingkat resistensi S. aureus terhadap
berbagai antibiotika ber dasarkan ketentuan National
Commitee of Clinical Laboratory Standards (NCCLS,
1998). Isolat S. aureus yang sudah ditumbuhkan pada
media Tod-Hewitt broth (THB, Oxoid), diulaskan
pada media agar Mller-Hinton sampai rata, ditunggu
sampai kering, kemudian lempengan diskus antibiotik
(Oxoid) ditempelkan diatas media. Antibiotika yang
digunakan adalah oksitetraiklin (10 g), tetrasiklin (30
g), gentamisin (10 g), ampisilin (10 g) dan
eritromisin (15 g). Media yang telah ditempeli discus
antibiotika kemudian diinkubasi pada suhu 37C
selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara
mengukur diameter zona hambatan pertumbuhan
bakteri pada sekitar lempengan diskus antibiotik

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan isolasi dan identifikasi bakteri dari


52 sampel susu kambing PE yang diteliti diperoleh 12
sampel susu atau 23.08% positif ditemukan
Staphylococcus aureus (Tabel 1). S. aureus dikenal
sebagai penyebab utama mastitis subklinis pada sapi
perah di wilayah Jawa Tengah (Salasia et al., 2004).
Kejadian mastitis pada kambing belum banyak diteliti
penyebabnya. Kejadian mastitis pada kambing PE
pernah terjadi di wilayah Sleman Yogyakarta pada
tahun 2003. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
sampel susu kambing PE yang berasal dari daerah
Sleman sebagian besar p ositif ditemukan S. aureus
dibandingkan daerah lain.
Karakterisasi fenotipik terhadap S. aureus
meliputi sifat pertumbuhan pada mannitol salt agar
(MSA), produksi hemolis in pada plat agar darah
domba, presipitasi pada uji clumping factor dan
koagulase terhadap plasma darah, dan terbentuknya
pigmen pada kertas membran nitroselulose.
Karakterisasi S. aureus asal susu kambing PE
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Media Kedokteran Hewan

Vol. 22, No. 3, September 2006

Tabel 1. Hasil Isolasi dan Identifikasi S. aureus Asal Susu Kambing Peranakan Ettawa
No.

Asal Kambing

Jumlah Sampel

Hasil Identifikasi S. aureus


Positif (%)

Negatif (%)

1.

Barongan Bambanglipuro Bantul Yogyakarta

10

2 (20)

8 (80)

2.

Girimulyo Kulonprogo Yogyakarta

0 (0)

2 (100)

3.

Candigebang Wedomartani Sleman Yogyakarta

1 (50)

1 (50)

4.

Girikero Turi Sleman Yogyakarta

16

6 (37.5)

10 (62.5)

5.

Srandakan Bantul Yogyakarta

12

2 (16.7)

10 (83.3)

6.

Kaligesing Purworejo

10

1 (10)

9 (90)

52

12 (23.08)

40 (76.92)

Jumlah

Tabel 2. Karakterisasi Fenotipik S. aureus Berdasarkan Pertumbuhan pada MSA, Uji Koagulase, Clumping
Factor, Sifat Hemolisis pada Plat Agar Darah dan Produksi Pigmen pada Membran Nitroselulose
Produksi pigmen
Kode
Clumping
Hemolisa
No.
MSA
Koagulase
Isolat
Factor
pada PAD
kuning
oranye
putih
1.

K 1-B

2.

K 4-A

oranye

3.

K 8-A

oranye

4.

K 14-A

5.

K 16-A

kuning

6.

K 16-B

kuning

7.

K 17-B

kuning

8.

K 18-B

kuning

9.

K 18-B

10.

K 19-B

kuning

11.

K 23-A

kuning

12.

K 27-B

kuning

12
(100%)

8
(66.6%)

Jumlah (%)

12
12
12
(100%)
(100%)
(100%)
Keterangan: MSA =mannitol salt agar, PAD = plat agar darah
Dari 12 isolat S. aureus semua memfermentasi
MSA (100%) (Gambar 1), positif pada uji koagulase
(100%) (Gambar 2) dan clumping factor (100%) serta
bersifat -hemolisis (100%) (Gambar 3). Tiga isolat
memproduksi pigmen oranye (25%), 8 isolat
memproduksi pigmen k uning (66,6%), dan 1 isolat
(8,4%) memproduksi pigmen putih (Gambar 4).
Menurut Brckler et al. (1994) S. aureus dapat
mengaglutinasi plasma darah, karena mempunyai
coagulase reacting factor (Jawetz et al., 1982; Joklik et al.,
1992). Menurut Brckler et al. (1994) peran koagulase

kuning

putih

oranye

3
(25%)

1
(8.4%)

yang dihasilkan oleh kuman digunakan sebagai


penentu spesies S. aureus, karena kuman ini
mengandung koagulase yang dapat menggumpalkan
plasma darah hospes. Dalam penelitian ini diketahui
bahwa semua isolat S. aureus positif pada uji clumping
factor dan koagulase, yang menunjukkan bahwa
kuman ini mempunyai sifat dapat merusak plasma
darah hospes.
S. aureus menghasilkan 4 jenis toksin hemolitik
yaitu (alpha), (beta), (gama) dan (delta)hemolisin (Brckler et al., 1994). Pada media agar

144

Agus Purnomo dkk.; Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu Kambing

darah S. aureus apabila membentuk zona terang


disekitar koloni, artinya membentuk -hemolisin,
sedangkan zona agak gelap termasuk -hemolisin
dan -hemolisin tidak terlihat zona disekitar koloni
sedangkan kombinasi antara -hemolisin dan hemolisin akan tampak zona gelap dan terang
disekitar koloni (Skalka et al., 1979). Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa semua isolat S. aureus
yang ditanam pada media agar darah membentuk
zona gelap disekitar koloni bakteri atau bersifat hemolisin. Hemolisin yang dihasilkan S. aureus
bersifat toksik karena dapat melisiskan sel darah
merah hospes. Hemolisin merupakan eksoprotein
yang mempunyai aktivitas baik enzimatis maupun
toksin (Williams et al., 2000). Kebanyakan S. aureus

Gambar 1. S. aureus memfermentasi mannitol


pada plat Mannitol Salt Agar
(MSA), mampu mengubah media
warna merah menjadi kuning.

yang memproduksi hemolisin termasuk bersifat


patogen (Brckler et al., 1994).
S. aureus yang mampu memproduksi pigmen
berwarna oranye dan kuning biasanya lebih patogen
dibanding dengan kuman yang memproduksi
pigmen putih (Brckler et al., 1994). Berbagai sifat
fenotipik yang diurai kan diatas berperan dalam
menentukan sifat virulen dari S. aureus. Dalam
penelitian ini sebagian besar S. aureus memproduksi
pigmen oranye dan kuning yang menunjukkan sifat
patogen.
Uji sensitivitas S. aureus terhadap antibiotik pada
media agar Mller-Hinton (Oxoid), menggunakan
antibiotika oksitetrasiklin, tetrasiklin, gentamisin,
ampisilin dan eritromisin seperti pada Tabel 3.

Gambar 2. Uji koagulase, S. aureus mampu menggumpalkan plasma


darah klinci
(bawah), kontrol negatif (atas).

Gambar 3. Sifat -hemolisis S.aureus, tampak


zona gelap mengelilingi koloni.

145

Gambar 4. S. aureus mampu memproduksi pig men oranye (o), pigmen kuning (k)
dan pigmen putih (p).

Media Kedokteran Hewan

Vol. 22, No. 3, September 2006

Tabel 3. Uji Sensitivitas S. aureus Asal Susu Kambing Peranakan Ettawa terhad ap Berbagai Antibiotika
No.

Jenis Antibiotika

Jumlah isolat S. aureus yang bereaksi terhadap antibiotika (%)


Sensitif

Intermediet

Resisten

11 (91.67)

0 (0)

1 (8,33)

Oksitetrasiklin

Tetrasiklin

12 (100)

0 (0)

0 (0)

Gentamisin

11 (91.67)

1 (8,33)

0 (0)

4.

Ampisilin

11 (91.67)

0 (0)

1 (8,33)

5.

Eritromisin

8 (66,67)

3 (25)

1 (8,33)

Berdasarkan uji sensitifitas terhadap 5 jenis


antibiotika diketahui bahwa sebagian besar isolate S.
aureus dari susu kambing PE masih sensitif terhadap
oksitetrasiklin (91,67%), tetrasiklin (100%), gentamisin
(91,67%) ampisilin (91.67%), dan eritromisin (66,67%).
Sebagian S. aureus bersifat intermediet terhadap
gentamisin (8,33%) dan eritromisin (25%). S. aureus
bersifat resisten terhadap oksitetrasiklin, ampisi lin
dan eritromisin masing -masing sebesar 8,33%.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa isolat S.
aureus yang berasal dari susu kambing PE masih
sensitif terhadap beberapa antibiotika. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian mastitis pada kambing
PE masih bisa diobati dengan berbagai antibiotika
yang sensitif. Sehingga berdasar uji sensitifitas
berbagai antibiotika terhadap S. aureus, pengobatan
terhadap infeksi S. aureus pada kambing PE dapat
direkomendasikan menggunakan tetrasiklin, gentamisin, oksitetrasiklin, ampisilin maupun eritromisin.
Akan tetapi adanya isolat S. aureus yang sudah
resisten dan intermediet tehadap antibiotika, mengin dikasikan bahwa beberapa antibiotika apabila diberi kan tidak sesuai dengan prinsip -prinsip pengobatan
antibiotika untuk mengatasi penyakit bakterial, maka
tidak menutup kemungkinan akan terjadi kecende rungan resisten terhadap antibiotika yang diberikan.
Kecendrungan resistensi tersebut dapat terjadi seperti
yang dilaporkan pada S. aureus sebagai penyebab
mastitis pada sapi perah di beberapa wilayah di Jawa
Timur yang telah resisten terhadap penicillin streptomycine (Suryanie dkk., 1990), dan masih
sensitif terhadap oxytetracyclin (Estoepangesti dkk.,
2003). Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat
terjadi lewat mekanisme mutasi, transformasi trans duksi maupun konjugasi (Timoney et. al., 1991).

Kesimpulan

Berdasar karakter fenotipik menunjukkan bahwa


sebagian besar S. aureus yang berhasil diisolasi dari
sampel susu kambing PE bersifat patogen. Berdasar
uji sensitifitas terhadap antibiotika menun jukkan
bahwa S. aureus masih bersifat sensitif terhadap

berbagai antibiotika. Akan tetapi adanya sifat resisten


dan intermedier terhadap beberapa antibiotika
menunjukkan adanya kecenderunga bahwa S. aureus
akan resisten terhadap berbagai antibiotika. Karakter
fenotipik yang menunjukkan sifat patogen dari
sebagian besar S. aureus ini dapat digunakan sebagai
penanda virulensi, sehingga pengendalian dan
kontrol mastitis pada kambing PE dapat
dikembangkan suatu vaksin dengan mengacu pada
faktor virulensi permukaan S. aureus yang bersifat
imunogenik.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dibiayai oleh Program Penelitian


Hibah Pekerti II/1 (2004) dari Proyek Peningkatan
Penelitian Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Woro Sri
Purwaningsih, SKH dan Joko Purwoko, SKH yang
telah membantu dalam koleksi spesimen dan
identifikasi isolat.

Daftar Pustaka
Agus, M. 1991. Mastitis study in dairy cattle in
Baturraden. Hemerazoa, 74, 21 -24.
Barkema, H.W., Y.H. Schukken, T.J.G.M. Lam, L.M.
Beiboer, H. Wilmink, G. Bonedictus, and A.
Brand, 1998. Incidence of clinical mastitis in
dairy herds grouped in three categorie by bulk
milk somatic cell counts. J. Dairy. Sci ; 81 : 411419.
Brckler, J., S. Schwarz, and F. Untermann. 1994.
Staphylokokken-Infektionen und Enterotoxine,
Band. II/1, In Blobel, H. und Schlie er (Eds.),
Handbuch der bakteriellen Infektionen bei
Tieren, 2. Auflage. Gustav Fischer Verl ag Jena,
Stuttgart.
Dinges, M.M., P.M. Orwin, and P.M. Schlievert. 2000.
Enterotoxin of Staphylococcus aureus. Clin.
Microbiol. Rev ; 13 : 16 -34.

146

Agus Purnomo dkk.; Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu Kambing

Estoepangesti, A.T.S., S. Prawesthirini, dan Budiarto.


2003. Peta resistensi antibiotika kuman penye bab mastitis pada sapi perah di wilayah kerja
KUD Dadi Jaya Purwodadi Kabupaten Pa suruan
Propinsi Jawa Timur. MKH; 19 (3) : 129-134.
Han, H.R, S.I. Park, S.W. Kang, W.S. Jong, and C.J.
Youn. 2000. Capsular polisaccharide typing of
domestic mastitis-causing Staphylococcus aureus
starins and its potential exploration of bovine
mastitis vaccine development. I. Capsular
polysaccharide typing, isolation and purification
of the strain. J. Vet. Sci ; 1 : 53 -63.
Jawetz, E., J.L. Melnick, and E.A. Adelberg, 1982.
Microbiology for medicine. 14 th ed. Lange
Medical Publications. Los Altos. California.
Joklik, W.K., H.P. Willett, D.B. Amos, and C.M.
Wilfert. 1992. Zinsser microbiology. 20 th ed.
Appleton and Lange. California.
Lmmler, C., P. Schaufuss, K. Goretzki, and H. Blob el.
1986. Screening for bacterial Fc-receptor activity
on nitrocellulose membranes. J. Immunol. Meth ;
90: 47-50.
National Committee of Clinical Laboratory Standards
(1998). Performance standards for antimicrobial
disc susceptibility tests. Approved Stand ard
ASM-2 Vol. 14 No. 16.
Omoe, K., M. Ishikawa, Y. Shimoda, D.L. Hu, Ueda,
and K. Shinagawa. 2002. Detection of seg, seh,
and sei genes in isolates and determination of
the enterotoxin productivities of S. aureus
isolates harbouring seg, seh, and sei genes. J. Clin.
Microbiol ; 40 : 857-862.
Salasia, S. I. O., Khusnan , C.Lmmler, and M.
Zschck. 2004. Comparative studies on pheno and genotypic properties of Staphylococcus
aureus, isolated from bovine subclinical mastitis
in Central Java in Indonesia an d Hesse in
Germany. J.Vet. Sci ; 5 (2): 103-109.

147

Skalka, B., J. Smola, and J., Pillich. 1979. A simple


method of detecting staphylococcal hemolysin.
Zbl. Bakteriol. Hyg. I. Abt. Orig. A ; 245 : 283-286.
Smith, T.H., K. F. Lawrence, and J.R. Middleton,
1998. Outbreak of mastitis caused by one strain
of Staphylococcus aureus in a closed dairy herd.
JAVMA ; 212 : 553-556.
Suryanie, H.E. Narumi, dan W. Tyasningsih. 1990.
Sensitivitas kuman Staphylococcus aureus dari air
susu ambing pernah mastitis dan pernah d iobati
dengan penicillin-streptomycine terhadap peni cillin. MKH ; 6(1) : 55-63.
Swartz, R., P.J. Jooste, and J.C. Novello, 1984.
Prevalence and types of bacteria associated
subclinical mastitis in Bloem Fonte in dairy
herds. Vet. Assoc ; 51 : 61.
Timoney, J.F., J.H. Gillespie, F.W. Scott, and J.E.
Barlough. 1991. Hagan and Bruners Micro biology and Infectious Diseases of Domistic
Animals. 8 th Ed. Cornell University Press, Ithaca
and London.
Todar, K. 2002. Staphylococcus. Bacteriology at UW Bacteriology 330 Home Page, 1 -7.
Watts, J.L., W.E. Owens, and S.C. Nickerson. 1986.
Identification of staphylococci from bovine
udders: evaluation of the API 20GP system. Can.
J. Microbiol ; 32 : 359-361.
Williams, R.J., J.M. Ward, B. Henderson, S. Poole,
B.P. OHara, M. Wilson, and S.P. Nair. 2000.
Identification of a novel gene cluster encoding
staphylococcal exotoxin -like proteins: Characterization of the prototypic gene and its product,
SET1. Infect. Immunol ; 68 : 4407-4415.

You might also like