You are on page 1of 7

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa


(SLB-A) TPA Bintoro Kabupaten Jember.
(Self-esteem of Student Who Has Physically Handicap : Vision
Disability at SLB-A TPA Bintoro Jember Regency)
Riski Indra Irawati1, Erti Ikhtiarini Dewi 2, Emi Wuri Wuryaningsih3
1,2,3 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
Jl. Kalimantan No. 37 Kampus Tegal Boto Jember Telp./Fax. (0331) 323450
email: Riski.Irawati@gmail.com
Abstract
Blind is an individual sense of vision (they both ways) does not function as a receiver channel information in
the daily life like a normal person. Limitations experienced by individuals with visual impairment affects the
psychology of the visually impaired. One of the limitations of the impact of visual impairment was low selfesteem. The aim of this research was to describe the self-esteem of students with visual impairment in SLBA TPA Bintoro Jember regency. This research was a descriptive research. This research used self-esteem
variable. The population was all blind students at SLB-A TPA Bintoro Jember regency as many as 15
students. Sampling technique used total sampling. The data were analyzed by using univariate analysis to
define and categorize the self-esteem. The result showed that of 9 students (60%) had high/normal selfesteem and 6 students (40%) had low self-esteem. High self-esteem of student with visual impairment is
influenced by characteristics of the respondents such as age, old school, gender, education level, occupation
of parents and parent education. Family, community, and health agency can support student to increase selfesteem.
Keywords: Vision disability, Self-Estem
Abstrak
Tunanetra merupakan individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran
penerima informasi dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya orang normal. Keterbatasan-keterbatasan
yang dialami individu tunanetra mempengaruhi psikologi tunanetra. Salah satu dampak keterbatasan
tunanetra adalah harga diri rendah. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan gambaran harga diri siswa
tunanetra di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten Jember. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini
menggunakan variabel harga diri. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa tunanetra di SLB-A TPA
Bintoro Kabupaten Jember yaitu sebanyak 15 siswa. Teknik sampel menggunakan total sampling. Analisis
data menggunakan analisis univariat untuk menjelaskan dan mengkategorikan harga diri. Hasil menunjukkan
9 siswa (60%) mempunyai harga diri tinggi/normal dan 6 siswa (40%) mempunyai harga diri rendah. Harga
diri tinggi pada siswa tunanetra dipengaruhi oleh karakteristik responden seperti usia, lama sekolah, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan orang tua dan pendidikan orang tua. Keluarga, lingkungan, dan
petugas kesehatan dapat mendorong siswa untuk meningkatkan harga diri.
Kata Kunci: Tunanetra, Harga Diri
Pendahuluan
Tunanetra merupakan individu yang
indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak
berfungsi sebagai saluran penerima informasi
dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang
normal pada
umumnya
[1].
Tunanetra
merupakan salah satu macam cacat fisik.
Individu yang mengalami cacat fisik belum
mampu mengatasi rasa tertekan akibat cacat

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

yang dideritanya. Individu yang mengalami


cacat fisik lebih membatasi dirinya dengan
lingkungan sekitar karena mereka memandang
dirinya tidak berguna, tidak percaya diri dan
memiliki harga diri yang negative [2]. Harga diri
merupakan penilaian individu terhadap diri
sendiri, terhadap kemampuan diri, kejelekan diri,
kepentingan dan kesuksesan [3].
World
Health
Organization
(2010)
menyebutkan dari 6.697 juta orang di dunia 285

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

juta (4,25 %) orang diantaranya merupakan


penyandang tunanetra. Hasil sensus penduduk
tahun 2010 propinsi Jawa Timur menduduki
jumlah penduduk tunanetra terbanyak kedua di
Indonesia setelah propinsi Jawa Barat yaitu
sebanyak 842.836 jiwa. Jumlah penduduk
kategori tunanetra di Kabupaten Jember
sebanyak 62.036 jiwa.
Individu
tunanetra
mengalami
keterbatasan-keterbatasan kemampuan yang
dimilikinya. Keterbatasan kemampuan fisik ini
mempengaruhi psikis tunanetra. Keterbatasan
ini membuat individu tunanetra merasa terisolasi
dari dunia orang-orang normal, juga dapat
menimbulkan perasaan minder, ragu, tidak
percaya diri jika berada pada situasi yang tidak
dikenalnya [4]. Dampak dari keterbatasan yang
dialami individu tunanetra adalah mudah putus
asa, mudah menyendiri, mudah curiga serta
mudah tersinggung oleh orang lain [5].
Hasil wawancara dengan guru di SLB-A
TPA Bintoro menyatakan siswa tunanetra di
SLB-A TPA Bintoro secara psikologi ada
beberapa siswa tunanetra tidak percaya diri dan
malu dengan keadaannya jika bertemu dengan
orang baru, tetapi ada juga yang percaya diri
dengan keadaan fisiknya. Wawancara dengan
kedua siswa yang tinggal bersama orang tua
menyatakan jika setiap pergi ke sekolah diantar
oleh orang tuanya dan pulangnya selalu
dijemput oleh orang tuanya atau saudaranya
dan jika pergi ke tempat baru selalu dituntun
oleh orang lain. Hal ini kadang membuat siswa
merasa tidak berguna dan selalu menyusahkan
orang lain. Siswa yang tinggal di asrama jika
butuh bantuan meminta bantuan teman
seasrama, siswa di asrama saling membantu
teman-teman seasrama.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya
tanda-tanda harga diri rendah pada siswa
tunanetra di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
jember. Berdasarkan pada uraian tersebut,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra
di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten Jember.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Populasi yaitu siswa tunanetra di
SLB-A TPA Bintoro Kabupaten Jember. Jumlah
sampel sebanyak 15 siswa diambil secara total
sampling. Data dianalisis menggunakan
univariat. Etika penelitian pada penelitian ini
adalah
informed
consent,
kerahasiaan,
keanoniman, kesepakatan, dan kemanfaatan.

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
Tabel 1. Gambaran
Siswa
Tunanetra
Berdasarkan Usia dan Lama Sekolah
di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
Jember
Karakteristik
Min-Maks
Mean
SD
Siswa
Usia (tahun)
15,53
3,137
7-20
Lama Sekolah
3,73
2,052
1-8
di SLB (tahun)
Tabel 1 menunjukkan bahwa usia siswa
tunanetra rata-rata 15,53 tahun, usia termuda 7
tahun dan tertua 20 tahun. Lama sekolah siswa
rata-rata 3,73 tahun, lama sekolah terpendek 1
tahun dan lama sekolah terlama 8 tahun.
Tabel 2. Gambaran Siswa Tunanetra
Berdasarkan jenis Kelamin, Status tempat
tinggal, Pendidikan, Pekerjaan Orang Tua, dan
Pendidikan Orang Tua di SLB-A TPA Bintoro
Kabupaten Jember
No.
Karakteristik
Jumlah Persentase
Siswa
(orang)
(%)
1. Jenis kelamin
a. Laki-laki
8
53,3
b. Perempuan
7
46,7
Total
15
100
Status Tinggal
2.
a. Rumah
7
46,7
b. Asrama
8
53,3
Total
15
100
3. Pendidikan
a. TK
1
6,7
b. SD
5
33,3
c. SMP
5
33,3
d. SMA
4
26,7
Total
15
100
Pekerjaan
4
Orang Tua
1
6,7
a. PNS
6
40,0
b. Wiraswasta
3
20,0
c. Petani
5
33,3
d. Lain-Lain
Total
15
100
Pendidikan
5
Orang Tua
5
33,3
a. SD
3
20
b. SMP
6
40
c. SMA
1
6,7
d. PT
Total
15
100

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

Tabel 2. menunjukkan bahwa jenis


kelamin siswa tunanetra bervariasi. Status
tempat tinggal siswa tunanetra bervariasi.
Tingkat pendidikan paling banyak SD dan SMP
sebanyak 5 siswa. Sebagian besar pekerjaan
orang tua siswa adalah wiraswasta.Pendidikan
orang tua yang paling banyak adalah SMA
yaitu sebanyak 6 siswa.
Tabel 3. Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra
di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
Jember
Harga Diri
Frekuensi
Persentase
(%)
Harga Diri Rendah
6
40
Harga Diri
9
60
Tinggi/Normal
Total
15
100

jumlah siswa dengan harga diri rendah dengan


jumlah yang sama yaitu 3 siswa. Jumlah siswa
dengan harga diri rendah terbanyak pada
tingkat pendidikan SMA. Jumlah siswa dengan
harga diri rendah terbanyak pada orang tua
dengan jenis pekerjaan wiraswasta. Jumlah
siswa dengan harga diri rendah terbanyak pada
siswa dengan orang tua tingkat pendidikan
SMA.
Tabel 5. Gambaran Siswa Tunanetra
berdasarkan Indikator-indikator
Harga Diri di SLB-A TPA Bintoro
Kabupaten jember

Tabel 3. menunjukan sebagian besar


siswa tunanetra mempunyai harga diri
tinggi/normal yaitu sebanyak 9 siswa (60%) dan
mempunyai harga diri rendah sebanyak 6
siswa. Harga diri siswa tunanetra di SLB-A TPA
Bintoro Kabupaten Jember.
Tabel 4. Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra
Berdasarkan Karakteristik Responden
di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
Jember
Harga Diri
Karakteristik
Rendah
Tinggi/Normal
(%)
(%)
a. Laki-laki
4 (26,7)
4 (50)
b. Perempuan
2 (13,3)
5 (33,3)
Total
6 (40)
9 (60)
a. Rumah
3 (20)
4 (26,7)
b. Asrama
3 (20)
5 (33,3)
Total
6 (40)
9 (60)
a. TK
1 (6,7)
0 (0)
b. SD
1 (6,7)
4 (26,7)
c. SMP
1 (6,7)
4 (26,7)
d. SMA
3 (20)
1 (6,7)
Total
6 (40)
9 (60)
a. PNS
0 (0)
1 (6,7)
b. Wiraswasta
4 (26,7)
2 (13,3)
c. Petani
1 (6,7)
2 (13,3)
d. Lain-lain
1 (6,7)
4 (26,7)
Total
6 (40)
9 (60)
a. SD
2 (13,3)
3 (20)
b. SMP
0 (0)
3 (20)
c. SMA
4 (26,7)
2 (13,3)
d. PT
0 (0)
1 (6,7)
Total
6 (40)
9 (60)
Tabel 4. menunjukkan jenis kelamin
laki-laki lebih banyak memiliki harga diri
rendah. Status tempat tinggal menunjukkan

an penerimaan
diri secara
verbal
b. Menerima
kritikan dan
berhubungan
dengan orang
lain
c. Menceritakan
Keberhasilan
yang diraih
d. Pemenuhan
peran yang
signifikan

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

Indikator Harga
Diri

Kategori
Kurang Baik
(%)
(%)

F (%)

7
(46,7)

8
(53,3)

15
(100)

5
(33,3)

10
(66,7)

15
(100)

1
(6,7)

14
(93,3)

15
(100)

7
(46,7)

8
(53,3)

15
(100)

a. Mengungkapk

Tabel 5. menunjukkan bahwa dari


jumlah siswa diperoleh bahwa indikator harga
diri yang kurang adalah mengungkapkan
penerimaan diri secara verbal dan pemenuhan
peran yang signifikan. Indikator harga diri yang
baik
adalah
menerima
kritikan
dan
berhubungan
dengan
orang
lain
dan
menceritakan keberhasilan yang diraih. Hasil
penelitian dilihat dari nilai rata-rata dengan nilai
maksimal diperoleh nilai harga diri yang
tertinggi adalah indikator mengungkapkan
penerimaan diri secara verbal yaitu sebesar 7,4
dengan nilai tertinggi 10 dan nilai terendah 4.
Nilai rata-rata harga diri yang terendah adalah
indikator menerima kritikan dan berhubungan
dengan orang lain sebesar 4,8 dengan nilai
tertinggi 7 dan nilai terendah 1.
.

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

Pembahasan
Karakteristik Responden
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata usia siswa
tunanetra di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
Jember adalah 15,53 tahun. Berdasarkan
kelompok umur 10-19 tahun jumlah penduduk
tunanetra di Jawa Timur sebanyak 14.209 jiwa
[6]. Menurut Potter & Perry usia 15,53 tahun
berada pada rentang 13-20 tahun yang
termasuk dalam kategori remaja. Harga diri
akan turun secara signifikan selama masa
remaja [7].
Rata-rata lama sekolah adalah 3,73
tahun. Lama seseorang siswa sekolah di SLB
akan mempengaruhi pemahaman siswa
mengenai dirinya. Menurut Harter konteks
sosial seperti sekolah, memiliki pengaruh
terhadap perkembangan harga diri [8]. Di
sekolah siswa tunanetra akan berinteraksi dengan
guru dan teman sebaya. Menurut Humprey guru
memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan
harga diri murid, karena guru diterima sebagai
seorang yang ahli, berwenang, dan sumber pemberi
umpan balik selain dari kelompok teman sebaya [9].
Jenis kelamin siswa tunanetra di SLB-A
TPA Bintoro Kabupaten Jember bervariasi yaitu
laki-laki sebanyak 8 siswa (53,3%) dan
Perempuan sebanyak 7 siswa (46,7). Menurut
Rati dkk. disebagian besar usia, umumnya lakilaki memperlihatkan harga diri yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Rendahnya
harga diri pada perempuan berkaitan dengan
rendahnya penyesuaian yang sehat [8]. Hal ini
berbeda dengan hasil penelian ini dimana
jumlah siswa laki-laki lebih banyak memiliki
harga diri rendah disbanding dengan siswa lakilaki. Rendahnya harga diri laki-laki disebabkan
oleh faktor-faktor yang lain.
Distribusi
status
tempat
tinggal
bervariasi yaitu jumlah siswa yang tinggal di
rumah sebanyak 7 siswa (46,7%) dan siswa
yang tinggal di asrama sebanyak 8 siswa
(53,3%). Lingkungan tempat tinggal yang kurang
memberikan perlakuan yang baik akan
mempengaruhi harga diri tunanetra [9]. Menurut
Coopersmith roses pembentukan harga diri
diperoleh
dari
hasil
interaksi
dengan
lingkungannya, serta penghargaan, penerimaan
dan perlakuan orang lain terhadap dirinya [9].
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada
perbedaan harga diri antara siswa yang tinggal
di asrama dengan siswa yang tinggal di rumah.
Distribusi tingkat pendidikan siswa
tunanetra sebagian besar adalah SD dan SMP

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

yaitu
masing-masing
5
siswa.
Tingkat
pendidikan mempengaruhi harga diri seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin tinggi harga diri seseorang. Menurut
Coopersmith tingkat pendidikan yang lebih tinggi
memiliki banyak pengalaman, dan harga diri
yang tinggi dapat terbentuk dari pengalamanpengalaman, baik itu pengalaman yang
menyenangkan
maupun
yang
kurang
menyenangkan [10].
Jenis pekerjaan orang tua siswa yang
paling banyak adalah wiraswasta sebesar 6
orang tua siswa (40,0) dan presentase terendah
persentase terendah yaitu PNS sebanyak 1
orang tua siswa (6,7%). Orang tua merupakan
salah
satu
faktor
yang mempengaruhi
perkembangan siswa tunanetra. Pekerjaan
orang tua menentukan pemenuhan kebutuhan
pada anak-anaknya. Pekerjaan memberikan
pemenuhan kebutuhan, seperti kebutuhan
fisiologi, kebutuhan rasa aman, harga diri,
penerimaan
sosial,
status
sosial
dan
penghormatan dari orang lain [11]. Hasil
penelitian pada tabel 4 menunjukkan bahwa
siswa tunanetra dengan pekerjaan orang tua
wiraswasta memiliki harga diri dengan jumlah
siswa terbesar yaitu 4 siswa. Hal ini disebabkan
oleh sedikitnya intensitas pertemuan antara
anak dan orang tua. Interaksi yang kurang akan
menyebabkan harga diri seseorang menurun,
karena merasa tidak disayangi dan diperhatikan
oleh orang tua. Orang tua harus mampu
membantu siswa untuk memahami keadaan
dirinya
dengan
mengatasi
keterbatasanketerabatasan siswa tunanetra.
Distribusi
berdasarkan
tingkat
pendidikan orang tua jumlah terbanyak terdapat
pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) sebanyak 6 orang tua siswa (40%)
dan presentase terendah pada jenjang
Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 1 orang tua
siswa
(6,7%).
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi pembentukan harga diri, salah
satunya adalah orang tua [12]. Ada beberapa
cara untuk menjadi lebih siap dalam
menjalankan peran pengasuhan salah satuanya
dengan cara pendidikan [13]. Orang tua yang
dapat menerapkan pola asuh yang tepat pada
anaknya dapat mempengaruhi harga diri
anaknya. Menurut Coopersmit cara orang tua
memperlakukan
anak-anaknya
akan
mempengaruhi harga diri anak-anaknya tersebut
[14].

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

Harga Diri Siswa Tunanetra


Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan
mayoritas siswa memiliki harga diri tinggi/normal
yaitu sebanyak 9 siswa (60%) dan siswa yang
memiliki harga diri rendah sebanyak 6 siswa
(40%). Harga diri merupakan penilaian individu
terhadap diri sendiri terhadap kemampuan diri,
kejelekan diri, dan kesuksesan [3].
Harga diri siswa tunanetra dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Berdasarkan hasil
penelitian, sebagian siswa tunanetra berusia
remaja. Terdapat 5 remaja memiliki harga diri
rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Raty dkk, 2005 yang
menyatakan bahwa
harga diri cenderung
menurun pada masa remaja [8]. Pada masa
remaja seseorang akan lebih memperhatikan
perubahan aspek fisik dibanding dengan aspek
lainnya [15]. Remaja tunanetra merupakan
remaja yang mengalami cacat fisik, hal ini dapat
membuat harga diri menurun.
Hasil penelitian mayoritas siswa tunanetra
memiliki harga diri tinggi hal ini juga dipengaruhi
oleh lama siswa tunanetra sekolah di SLB.
Siswa yang paling lama sekolah di SLB memiliki
harga diri yang tinggi/normal. Di sekolah siswa
tunanetra akan berinteraksi dengan guru dan
teman sebaya. Komunikasi yang efektif dan
penghargaan atas prestasi yang diperoleh oleh
remaja tunanetra akan dapat meningkatkan
harga diri remaja tunanetra. Hal ini didukung
oleh Humprey yang menyatakan bahwa
interaksi dengan guru akan mempengaruhi
harga diri siswa tunanetra [9].
Faktor berikutnya yang mempengaruhi
harga diri adalah jenis kelamin. Berdasarkan
hasil penelitian siswa laki-laki lebih banyak
memiliki harga diri rendah yaitu sebanyak 4
siswa
(26,7%),
sedangkan
perempuan
sebanyak 3 siswa (13,3%). Hal ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Raty dkk. yang menyatakan remaja laki-laki
memiliki harga diri yang lebih tinggi dibanding
dengan remaja perempuan [8]. Perbedaan hasil
penelitian ini disebabkan oleh banyaknya faktor
yang mempengaruhi harga diri siswa tunanetra,
seperti status tempat tinggal, tingkat pendidikan,
pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan
orang tua.
Harga diri pada penelitian ini terdiri dari 4
indikator
yang
meliputi
mengungkapkan
penerimaan diri secara verbal, menerima
kritikan dan berhubungan dengan orang lain,
menceritakan keberhasilan yang diraih, dan
pemenuhan peran yang signifikan. Pada tabel 5

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

menunjukkan indikator harga diri dilihat dari


jumlah siswa diperoleh bahwa indikator harga
diri yang kurang adalah mengungkapkan
penerimaan diri secara verbal dan pemenuhan
peran yang signifikan. Indikator harga diri yang
baik adalah menerima kritikan dan berhubungan
dengan
orang
lain
dan
menceritakan
keberhasilan yang diraih. Pada hasil penelitian
dilihat dari nilai rata-rata dengan nilai maksimal
diperoleh nilai harga diri yang tertinggi adalah
indikator mengungkapkan penerimaan diri
secara verbal yaitu sebesar 7,4 dan nilai ratarata harga diri yang terendah adalah indikator
menerima kritikan dan berhubungan dengan
orang lain sebesar 4,8.
Hasil penelitian terlihat bahwa siswa
tunanetra di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
Jember telah mengungkapkan penerimaan diri
secara verbal dengan baik. Penerimaan diri
akan meningkatkan pemahaman diri terhadap
keadaan diri sendiri. Hal ini dapat meningkatkan
harga diri siswa tunanetra. Penerimaan diri
seseorang terhadap dirinya akan mempengaruhi
harga diri seseorang. Harga diri siswa tunanetra
dapat meningkat dengan penerimaan diri
dengan keterbatasan-keterbatasannya.
Nilai indikator yang terendah terdapat
pada
indikator
menerima
kritikan
dan
berhubungan dengan orang lain. Indikator ini
berhubungan
dengan
lingkungan
siswa
tunanetra. Menurut Coopersmith pembentukan
harga diri diperoleh dari hasil interaksi dengan
lingkungannya, penghargaan, penerimaan dan
perlakuan orang lain terhadap dirinya [9].
Bagaimana orang lain memperlakukan siswa
tunanetra akan mempengaruhi harga dirinya.
Hasil
penelitian
menunjukkan
indikator
menerima kritikan dan berhubungan dengan
orang lain memiliki nilai terendah. Peneliti
menyimpulkan bahwa siswa tunanetra belum
mampu memenuhi indikator ini. Hal ini sesuai
dengan hasil studi pendahuluan pada siswa
tunanetra di SLB-A TPA Bintoro Kabupaten
Jember mengungkapkan bahwa dirinya masih
merasa malu untuk berinteraksi dengan orang
yang baru dikenalnya.
Pemenuhan indikator yang baik pada
pada masing-masing pertanyaan membuat hasil
pengkategorian harga diri sebagian besar siswa
tunanetra memiliki harga diri tinggi/normal. Hasil
penelitian yang dilakukan di SLB-A TPA Bintoro
Kabupaten Jember menunjukkan sebagian
besar yaitu 9 siswa (60%) memiliki harga diri
yang tinggi/normal dan 6 siswa (40%) memiliki
harga diri rendah. Banyak faktor yang
mempengaruhi harga diri seseorang. Masing-

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

masing karakteristik responden mempengaruhi


harga diri siswa tunanetra.

Simpulan dan Saran


Sebagian besar siswa tunanetra di SLB-A
TPA Bintoro mempunyai harga diri tinggi/normal
yaitu sebanyak 9 siswa (60%) dan harga diri
rendah sebanyak 6 siswa (40%). Indikator harga
diri yang memiliki nilai rata-rata tertinggi adalah
indikator mengungkapkan penerimaan diri
secara verbal yaitu 7,4 dan indikator yang
memiliki nilai rata-rata terendah adalah indikator
menerima kritikan dan berhubungan dengan
orang lain yaitu 4,8.
Saran yang dapat direkomendasikan oleh
peneliti adalah diharapkan siswa tunanetra agar
lebih dapat berhubungan dengan orang lain,
bagi lingkungan tempat tinggal yaitu keluarga
dan sekolah agar dapat meningkatkan
kepedulian dan menghindari deskriminasi, serta
bagi instansi kesehatan agar dapat memberi
pendidikan terhadap lingkungan tempat tinggal
untuk lebih manerima dan memberikan
perlakuan yang baik kepada siswa tunanetra
sehingga dapat meningkatkan harga diri siswa
tunanetra.

[7]
[8]
[9]

[10]

[11]

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan terima kasih
kepada responden penelitian dan SLB-A TPA
Bintoro Kabupaten Jember.
[12]

Daftar Pustaka
[1]
[2]

[3]
[4]
[5]

[6]

Soemantri. Psikologi anak luar biasa.


Bandung: PT. Refika Aditama; 2006
Sadly R, Fitria K, Zulkifly. Peran orang tua
dalam penerimaan diri remaja penyandang
cacat fisik di nagari air bangis kecamatan
sungai baremas kabupaten pasaman barat.
[internet]. 2012. [diambil tanggal 15 Januari
2016]
dari:
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod
=viewarticle&article=181919
NANDA. Panduan diagnosa keperawatan.
Prima Medika; 2005
Efendi M. Pengantar psikopedagogik anak
berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara; 2005
Koerniawati Y. Hubungan antara dukungan
sosial dan konsep diri dengan kepercayaan
diri pada penyandang tunanetra. [internet].
2013. [diambil tanggal 28 Januari 2016]
dari:
http://eprints.ums.ac.id/26717/11/02._Nask
ah_Publikasi.pdf
BPS RI. Jumlah penduduk kesulitan
melihat. [internet]. 2010. [diambil tanggal 2

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

[13]
[14]
[15]

Mei
2016]
dari:
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel
?tid=274&wid=0
Santrock JW. Masa perkembangan anak.
Jakarta: Salemba Humanika; 2011
Santrock JW. Remaja edisi 11 jilid 1.
Jakarta: Erlangga; 2007
Khoiroh A. Peran dukungan sosial
terhadap pembentukan self esteem yang
tinggi pada remaja tunanetra di sekolah.
[internet]. 2014. [diambil tanggal 28
Januari
2016]
dari:
http://journal.unair.ac.id/downloadfullpapers-jpiod89a90a0422full.pdf.
Nurmalasari
Y.
Hubungan
antara
dukungan sosial dengan harga diri pada
remaja
penderita
penyakit
lupus.
[internet]. 2012. [diambil tanggal 4 Juni
2016] dari: https://www.google.com/url
Eliana R. Konsep diri pensiunan.
[internet]. 2003. [diambil tanggal 4 Juni
2016]
dari:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=
&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uac
t=8&ved=0ahUKEwi9r4_jtKLNAhVIvo8KH
WPxBcAQFggcMAA&url=http%3A%2F%2
Flibrary.usu.ac.id%2Fdownload%2Ffk%2F
psikologirika%2520eliana.pdf&usg=AFQjCNHPDm
FbjivyQHvpJ2Dy_9NEQfAWkw&bvm=bv.1
24272578,d.c2I
Potter PA, Perry AG. Fundamental
keperawatan volume 1. Jakarta: EGC;
2005
Wong DL, et al. Buku ajar keperawatan
pediatric edisi 6. Jakarta: EGC; 2008
Atkinson RL. et al. Pengantar psikologi.
Batam: Interaksara; 2007
Papalia DE, Olda SW, Feldman RD.
Human development. New York: McGrawHillCompanies; 2008

Irawati, et al, Gambaran Harga Diri Siswa Tunanetra di Sekolah Luar Biasa (SLB-A) TPA Bintoro..

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. (no.), Juni 2016

You might also like