Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The rate of buffaloes demand tends to increase with respect to the role as meat and producer of meat and
milk, as a producer of organic fertilizer and labor resources, in addition to the socio-cultural function
(tradition and rituals). In the Batak, Toraja, and several other tribes, buffalo has a very high value. In Tanah
Toraja, South Sulawesi, buffaloes are used in the ritual feast that is the buffalo fight or in the Toraja language
is called Mappasilaga Tedong. Therfore, the price of buffaloes is more expensive than that of cattle. Indonesia
has a variety of buffalo, where they had been separated from its original place in a long time so they adapted
to the local environment and are named according to the name of a place like Pampangan Buffalo
(Pampangan/South Sumatra), Binanga Buffalo (Tapanuli Selatan/North Sumatra), swamp buffalo (in Sumatra
and Kalimantan), Benuang Buffalo (Bengkulu), Spotted Buffalo in Tanatoraja (South Sulawesi), Sumbawa
Buffalo (NTB), Sumba Buffalo (NTT), Moa Buffalo (Maluku) etc. The buffaloes have advantages role
primarily concerned with genetic potential and environmental aspects. The buffaloes have a very high
adaptability and able to survive in conditions of low-quality feed. There are some constraints in the
development of buffalo including slow growth and the occurrence of inbreeding which can down-graded
buffalosbreeding condition. These constraints can be overcome by the efforts through technological
innovations (breeding, management, feed) as well as disease prevention and control. Improving quality
breeding stock, including: population selection on body weight and milk production, avoid inbreeding and the
implementation of artificial insemination in accordance to local potential. To maintain buffalo genetic
resources it needs to pursue the optimization of buffalo through the protection, conservation and sustainable
management.
Key Words: Potential, Buffalo, Social Cultural, Animal Genetic Resources
ABSTRAK
Laju permintaan ternak kerbau terus meningkat berkenaan dengan perannya sebagai penghasil: daging,
susu, pupuk organik dan sumber tenaga kerja. Selain itu kerbau mempunyai fungsi yang terkait dengan sosial
budaya (adat dan ritual). Kerbau dinilai sangat tinggi dalam budaya Batak, Toraja, dan beberapa suku lain. Di
Tana Toraja, Sulawsi Selatan, kerbau dipakai dalam ritual pesta kematian yaitu adu kerbau atau dalam bahasa
Toraja-nya Mappasilaga Tedong. Dengan kondisi sosial budaya yang seperti ini, harga kerbau jauh lebih
mahal dari pada sapi. Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat
asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat
seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau Rawa (Sumatra
dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tanatoraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB),
Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain. Ternak kerbau mempunyai kelebihan untuk
ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau
mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, mampu hidup pada kondisi pakan berkualitas rendah. Beberapa
kendala dalam pengembangan kerbau meliputi pertumbuhan yang lambat dan terjadinya inbreeding yang
dapat menurunkan mutu bibit, namun hal ini dapat ditekan dengan adanya upaya-upaya melalui perbaikan
teknologi (bibit, manajemen, pakan) serta pencegahan dan pengendalian penyakit. Perbaikan mutu ternak
bibit, meliputi seleksi populasi pada bobot badan dan produksi susu, kemudian menghindari perkawinan
dalam (inbreeding) serta pelaksanaan kawin suntik (IB) dan pengembangan ternak harus sesuai dengan
170
potensi daerah. Untuk mempertahankan sumber daya genetik (SDG) kerbau perlu mengupayakan optimalisasi
kerbau melalui perlindungan, pelestarian dan pengelolaan ternak kerbau secara berkelanjutan.
Kata Kunci: Potensi, Kerbau, Sosial Budaya, SDG
PENDAHULUAN
Kerbau merupakan salah satu ruminansia
besar/sumberdaya genetik yang keberadaanya
relatif kurang diperhatikan. Namun demikian,
secara nasional kontribusinya terhadap
pembangunan peternakan cukup berperan
penting.
FAO (2007) melaporkan, hanya 41 negara
yang
menunjukan
perhatiann
untuk
pemeliharaan kerbau. Dari negara-negara ini,
29% menyebutkan breeding kerbau merupakan
prioritas dan 22% memiliki program breeding.
Negara-negara yang memiliki program
breeding kerbau dengan tujuan utama produksi
susu adalah India, Pakistan, China, Mesir dan
Bulgaria.
Populasi kerbau di Indonesia pada tahun
2004 sekitar 2,4 juta ekor, menurun menjadi
1,93 juta ekor pada tahun 2008 (DITJENNAK,
2008). Populasi kerbau lebih terpusat di
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Jawa Barat
(Tabel 1), dimana sebagian besar kerbau
dipelihara oleh peternak kecil dengan tingkat
kepemilikan 2 3 ekor. Sementara data
pemotongan meningkat dimana pada tahun
2004
2005
2006
2007
2008 *)
NAD
409,071
338,272
371,143
390,334
410,518
Sumbar
322,692
201,421
211,531
192,148
197,335
Sumut
263,435
259,672
261,794
189,167
189,167
Jabar
149,960
148,003
149,444
149,030
170,568
NTB
156,792
154,919
155,166
153,822
169,204
NTT
136,966
139,592
142,257
144,981
159,479
Banten
139,707
135,040
146,453
144,944
144,944
Sulsel
161,504
124,760
129,565
120,003
120,003
Jateng
122,482
123,815
112,963
109,004
116,014
Sumsel
86,528
90,300
86,777
90,160
93,675
171
172
173
Tabel 2. Keunggulan ternak kerbau dibandingkan dengan sapi pada kondisi ekstensif
Parameter
Sapi
Kerbau
Beranak (%)
40
80
10
1,4
120-150
220-250
450
500
48
24
51-52
48-53
Karkas (%)
174
175
176
177