You are on page 1of 20

Coping Strategy for Primipara Mother That Experinced In Postpartum

Depression
Faridhatun Nasekah
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas No 9 Yogyakarta
Faridha_khafidd@gmail.com

Abstrak
This study aims to determine the presenting symptoms in primipara mother
who experience postpartum depression, postpartum depression trigger, coping
strategies used in primipara mother who experience postpartum depression as well
as the positive and negative effects of postpartum depression is. Research methods
that researchers use qualitative research method is the type of phenomenology.
Subjects were two respondents who experienced postpartum depression. Data
collection techniques in this study was conducted using semi-structured
interviews. Leveraging the use of sources of data and methods of triangulation.
Results showed symptoms in the mother can be seen from primipara
psychological and physical symptoms, such as sensitivity, sadness, confusion,
dizziness, crying easily, less angry for no reason, erratic mood swings, feelings of
guilt and worthlessness excessive, search greater attention than ever before, the
emergence of excessive jealousy against children, the emergence of doubt in the
care of children, loss of appetite and severe weight loss, fatigue and insomnia.
Stressors trigger postpartum depression in subjects including; presence of
decreased attention and support is given from a large family, unpreparedness
through pregnancy, physical environment residence YS subject, the subject is
doing a dual role CC and applied parenting parents subject CC. Coping strategies
used by both subjects is problem focused coping and emotional focused coping,
including; planful problem solving, confronative coping, seeking social support,
information seeking, distancing, escape avoidance, accepting responsibility, and
self-criticism. Positive and negative impacts that arise are subject YS can find the
meaning of life and the love of children and her husband, on the of subject CC can
provide information to the family about the support needed primipara mother. The
subject makes a negative impact YS become more sensitive, prone to crying, and
the emergence of feelings of regret, where as subject CC lost interest in to the
move. The conclusion suggests that the subject YS more often use problem
focused coping strategies than emotional focused coping so subject YS correct the
problem so it is not getting worse. As for the of subject CC subject tend to use the
emotional focused coping with the problems that focused the subject naturally
does not immediately improved.
Keyword : Postpartum Depression, Coping Strategy.

Pendahuluan
Bagi seorang wanita yang sudah menikah memiliki anak adalah sebuah
impian dalam keluarga kecilnya. Kehamilan adalah momen yang sangat ditunggutunggu bagi pasangan suami istri. Kehamilan dapat menjadikan mereka memiliki
keturunan yang dapat membuat keluarga kecilnya semakin berwarna dan semakin
bahagia. Anak adalah pelengkap kebahagiaan keluarga kecil mereka karena
kelahiran seorang anak dapat memberikan arti dan makna bagi pasangan suami
dan istri dan menjadikan keluarga lebih harmonis, tetapi permasalahan yang
sering muncul bagi ibu yang pertama kali melahirkan atau disebut dengan istilah
primipara pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika pertama kali menjadi
seorang ibu sangatlah beragam.
Hal ini wajar jika melihat bahwa ini adalah pengalaman pertama kalinya
mengalami proses persalinan. Oleh karena itu, dukungan keluarga khususnya
suami dan ibu kandung sangat mempengaruhi keberlangsungan proses
persalinannya. Banyak para ibu muda yang pertama kali mengalami persalinan
menjadi sangat manja dan sangat membutuhkan sesosok figur pendamping yang
dapat menguatkan dan memotivasinya.
Hudson (2000) berpendapat bahwa ada empat masalah yang sering dialami
ibu muda diantaranya adalah depresi, rendah diri, kesepian, dan kebutuhan untuk
dukungan sosial. Beck (Hudson, 2000) menemukan bahwa perasaan kesepian
sering ditunjukkan ibu yang menderita depresi postpartum. Menurut Unger
(Hudson, 2000) bagi remaja, dukungan yang signifikan didapatkan dari orang lain
dapat membantu memperkuat peran bagi ibu baru.
Penelitian Dormire, dkk (Hudson, 2000) terhadap ibu muda setelah satu
bulan melahirkan menemukan bahwa ibu muda tersebut membutuhkan dukungan
sosial untuk menjadi ibu yang efektif. Kehadiran ibu kandung dapat memberikan
banyak pelajaran berharga mengenai bagaimana mengasuh bayi untuk pertama
kalinya. Dukungan sosial telah diidentifikasi sebagai faktor penting yang
mempengaruhi masa transisi menjadi orang tua baru.
Menurut Urbayatun (2010) primipara yaitu ibu yang baru melahirkan anak
pertama. Bobak (Munawaroh, 2008) menerangkan bahwa ibu primipara pasca
melahirkan lebih membutuhkan dukungan daripada yang sudah mempunyai
pengalaman melahirkan sebelumnya, kurangnya dukungan dari orang-orang
terdekat dapat menyebabkan penurunan fungsi psikologis (satu kemunduran
dalam kemampuan mental) yang akan menyebabkan ibu menjadi depresi.
Menurut Urbayatun (2010) pihak-pihak yang dapat berperan untuk memberi
dukungan sosial pada wanita primipara adalah suami dan pihak lain diluar suami,
antara lain keluarga maupun significant persons seperti petugas paramedis.
Tanggung jawab pengasuhan ibu primipara kepada anaknya tergantung pada
dukungan dari keluarga, teman, dan sumber daya masyarakat (Klerman, dalam
Hudson, 2000).
Marmi (2011) mengatakan setelah melahirkan, banyak wanita memiliki
suasana hati yang berubah-ubah. Kehilangan nafsu makan, menderita masalah
tidur, dan munculnya perasaan sedih. Jika tidak merasa lebih baik setelah

seminggu atau lebih, disebut dengan depresi postpartum (depresi pasca


melahirkan). Depresi postpartum mempengaruhi sekitar 10-15% wanita setelah
melahirkan. Maulana (2009) berpendapat di Amerika Serikat, sekitar 30% dari ibu
yang baru saja melahirkan mengalami depresi pasca melahirkan.
Depresi pasca melahirkan dapat mengganggu proses peran ibu primipara
ditambah lagi jika tidak disertai dukungan keluarga khususnya suami ibu kandung
maupun diluar keluarganya seperti; bidan, dokter dan bagian medis lainnya. Jika
tidak segera diatasi dapat memunculkan stres yang berkepanjangan. Menurut
Mccubbin, dkk (Judge, 1998) strategi coping keluarga berpotensi dapat
memperkuat atau mempertahankan keluarga untuk melindungi keluarga dari
tuntutan munculnya stres. Keluarga juga berpotensi dapat memperkuat atau
mempertahankan sumber daya keluarga untuk melindungi keluarga dari dampak
tekanan. Diharapkan dukungan keluarga dapat membantu ibu primipara dalam
mengatasi permasalah-permasalah yang terjadi selama proses mengasuh bayi
untuk pertama kalinya.
Menurut Marmi (2011) banyak ibu dapat mengalami distress yang tidak
seharusnya dan kecemasan hanya karena tidak dapat mengantisipasi atau tidak
mengetahui perubahan psikologis, perubahan emosi, dan adanya penyesuaian
yang merupakan bagian integral proses kehamilan, persalinan dan pascanatal.
Banyak bukti menunjukkan bahwa periode kehamilan, persalinan dan pasca natal
merupakan masa terjadinya stres berat, kecemasan, gangguan emosi dan
penyesuaian diri.
Strategi coping menurut Lazarus dan Folkman (Sarafino, 2006) adalah
proses mengelola tuntutan, baik yang bersifat eksternal maupun internal yang
dinilai melampaui kemampuan seseorang. Menurut definisi ini, coping termasuk
salah satu usaha atau upaya untuk mengelola stres, terlepas dari seberapa
maksimal upaya yang dilakukannya. Strategi coping melibatkan upaya untuk
mengubah penyebab stres (problem focused coping) dan upaya untuk mengatur
respon emosi ke stressors (emotion focused coping).
Menurut Nurhayati (2005) kemampuan setiap individu dalam memilih
strategi coping dan menggunakannya untuk mengurangi tekanan adalah berbeda.
Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai bagaimana dan kapan
harus memakai strategi coping yang diperlukan. Billings dan Moos (Nurhayati,
2005) menyatakan bahwa faktor usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi,
kesadaran emosional, tingkat pendidikan, dan kesehatan fisik akan berpengaruh
terhadap kecenderungan penggunaan strategi coping. Menurut Rutter (Choirul&
Himawan, 2005), strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai
dengan jenis stres dan situasi.
Dukungan sosial yang tinggi berfungsi sebagai pendukung bagi
kesejahteraan, sedangkan dukungan yang rendah akan memunculkan adanya stres
(Chao, 2011) . Adapun menurut Carver, dkk (Chao, 2011) memaparkan bahwa
tanggapan terhadap stres tertentu mungkin cenderung menjadi maladaptive.
Terdapat tiga aspek dalam coping yang menghindar menurut Carver, dkk
(Chao, 2011) yaitu :
1) Berfokus pada melampiaskan emosi.
2) Ketidakpedulian perilaku.

3) Pelepasan mental.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa strategi coping
merupakan pendekatan yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi tekanan
atau permasalahan yang dihadapi individu baik yang datang dari dalam individu
itu sendiri maupun dari lingkungannya. Dukungan sosial yang tinggi juga sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan individu dalam mengatasi tekanan atau
permasalahan yang dialaminya begitu juga sebaliknya.
Lazarus dan Folkman (Nevid, dkk., 2005) menggolongkan dua strategi
coping yang biasa dilakukan oleh individu yaitu :
1) Problem focused coping
Usaha individu untuk menilai stressor yang mereka hadapi dan melakukan
sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi untuk meringankan efek
dari stresor tersebut. Adapun aspek-aspeknya meliputi:
a) Planful problem solving, merupakan suatu respon atau reaksi yang timbul
dengan melakukan kegiatan tertentu yang bertujuan untuk melakukan perubahan
keadaan, dengan cara melakukan pendekatan secara analitis dalam menyelesaikan
masalah.
b) Confronative coping adalah suatu respon atau reaksi yang timbul dengan
melakukan kegiatan tertentu yang bertujuan untuk melakukan perubahan keadaan
dengan cara menantang langsung (konfrontasi) sumber masalah.
c) Seeking social support merupakan suatu respon atau reaksi dengan mencari
bantuan dari pihak luar, dalam bentuk bantuan nyata, ataupun dukungan sosial.
2) Emotion focused coping
Adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengurangi atau
menghilangkan dengan segera dampak stressor dengan menyangkal adanya
stressor atau menarik diri dari situasi. Adapun aspek-aspeknya meliputi :
a) Distancing adalah tidak melibatkan diri pada permasalahan atau membuat
menjadi terlibat positif.
b) Escape avoidance adalah usaha untuk menghilangkan atau melarikan diri dari
masalah yang dihadapi.
c) Self controling atau kendali diri yang merupakan suatu bentuk respon dengan
melakukan kegiatan pembatasan atau regulasi baik dalam perasaan maupun
tindakan.
d) Accepting responsibility merupakan suatu respon yang menimbulkan dan
meningkatkan kesadaran akan perasaan diri dalam suatu masalah yang dihadapi,
dan berusaha menempatkan segala sesuatu sebagaimana mestinya.
e) Positive reappraisal merupakan suatu respon dengan cara menciptakan makna
positif dalam diri sendiri yang tujuannya untuk mengembangkan diri termasuk
melibatkan hal-hal yang religius.
Menurut Skinner (Sarafino, 2006) pengklasifikasian bentuk coping adalah
sebagai berikut :
1) Problem focused coping
Adalah bentuk coping yang berorientasi pada masalah. Adapun bentukbentuknya meliputi :
a) Planfull problem solving, adalah Individu yang memikirkan dan
mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang

mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang
masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan
mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.
b) Direct action, meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah
secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang diperlukan.
c) Assistance seeking, yaitu usaha untuk mencari dukungan dan bantuan dari
orang lain berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya.
d) Information seeking, adalah usaha individu dalam mencari informasi dari
orang lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan individu tersebut.
2) Emotional focused coping
Adalah perilaku coping yang berorientasi pada emosi. Aspek-aspeknya
diantaranya :
a) Avoidance, adalah usaha untuk menghindari masalah yang ada dengan cara
berkhayal atau membayangkan pada situasi yang menyenangkan.
b) Denial, usaha individu menolak masalah yang ada dengan menganggap seolaholah tidak ada masalah dan mengabaikan masalah yang dihadapinya.
c) Self criticism, keadaan dimana individu yang larut dalam permasalahan dan
menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya.
d) Possitive reappraisal, individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami
dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman
tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi coping
terbagi menjadi dua diantaranya : cara mengahadapi masalah yang menjadi
penyebab timbulnya masalah secara langsung disebut dengan problem focused
coping. Adapun aspek-aspek dari problem focused coping terdiri dari ; planful
problem solving, confrontative coping, seeking social support dan information
seeking. Sedangkan emotional focused coping adalah usaha yang mengarahkan
pada pemuasan emosi dan tidak pada pemecah masalah. Aspek-aspek dari
emotional focused coping meliputi; distancing, escape avoidance, self control,
accepting responsibility dan self criticism.
Menurut Lazarus dan Folkman (Sarafino, 2006) faktor yang mempengaruhi
strategi coping yaitu :
1) Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.
2) Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber psikologis yang sangat penting dalam mengatasi
masalah.
3) Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan
alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut dengan hasil
yang ingin dicapai, dan melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan
yang tepat.

4) Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan menjadi
hubungan sosial dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
berlaku dimasyarakat.
5) Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain,
saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
6) Materi
Meliputi sumber daya berupa uang, barang barang atau layanan yang
biasanya dapat dibeli.
Menurut Aldwin & Revenson (Hasjanah, 2012) faktor-faktor yang
mempengaruhi coping meliputi :
1) Jenis kelamin, perempuan lebih rentan mengalami stres dibanding dengan
laki-laki. Oleh karena itu perempuan lebih sering menggunakan coping
dibandingkan dengan laki-laki.
2) Tahap perkembangan dan usia, tahap dan perkembangan seseorang
mempengaruhi pemilihan coping yang digunakan, karena semakin bertambah
umur menunjukkan semakin matang seseorang dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi dan semakin baik coping yang digunakan.
3) Tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
semakin rentan seseorang mengalami stres, karena semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka akan semakin baik coping yang akan digunakan.
4) Situasi dan kondisi dalam keadaan stres dalam mengambil keputusan dengan
kondisi tergesa-gesa kadang tidak memikirkan akibatnya.
Jadi faktor-faktor strategi coping meliputi kondisi fisik, psikis, sosial dan
keterampilan yang dimiliki pada setiap individu yang bersangkutan dalam
menyelesaikan masalah. Setiap individu memiliki strategi pemecah masalah yang
berbeda-beda tergantung pada setiap aspek fisik, psikis, sosial dan keterampilan
dalam memecahkan masalah yang dimilikinya.
Menurut Nevid dkk, (2005) postpartum berasal dari akar bahasa latin post
yang berarti setelah, dan papere berarti menegeluarkan. Menurut DSM IV,
depresi postpartum diklasifikasikan berdasarkan lima atau lebih gejala yang
menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya selama kurang lebih empat
minggu dalam kondisi kemunculan gejala postpartum; paling kurang satu gejala
dari salah satu mood terdepresi atau kehilangan minat atau kesenangan.
Berbeda dengan pengertian menurut Charkowski (Hasjanah, 2012)
mengatakan bahwa baby blues syndrome atau postpartum blues perubahan
suasana hati pada wanita yang setelah melahirkan. Gejala muncul sekitar tiga
sampai empat hari setelah persalinan dan biasanya hilang dalam waktu 10 hari
setelah persalinan, namun jika wanita mengalami gejala lebih lama disebut
depresi postpartum. Adapun menurut Marmi (2012) postpartum blues
merupkan kesedihan atau kemurungan setelah melahirkan, biasanya hanya muncul
sementara waktu yakni sekitar dua hari hingga dua mingggu sejak kelahiran bayi
dan dikategorikan sebagai sindrom gangguan mental yang ringan.

Menurut Urbayatun (2010) banyak wanita yang pertama kali melahirkan


mengalami depresi postpartum tetapi kondisi tersebut tertutupi dengan kondisi
adat istiadat setempat yang menekankan bahwa wanita harus merasa bahagia
ketika melahirkan seorang anak. Menurut Lubis, (2010) depresi postpartum
adalah perasaan sedih akibat berkurangnya kebebasan bagi ibu, penurunan
estetika dan perubahan tubuh, berkurangnya interaksi sosial dan kemandirian.
Menurut Marmi (2012) depresi postpartum adalah gangguan emosional
pasca persalinan yang terjadi pada 10 hari pertama masa setelah melahirkan dan
berlangsung terus-menerus hingga enam bulan bahkan sampai satu tahun.
Menurut Reets (Urbayatun, 2010) depresi postpartum berlangsung antara enam
minggu sampai satu tahun.
Depresi postpartum dapat diartikan sebagai usaha mengurangi stigma dan
memungkinkan ibu dengan berbagai gangguan pasca melahirkan untuk mengakui
bahwa mereka sakit dan perlu untuk mencari bantuan (Mallikarjun & Oyebode,
2005). Sebagian perempuan menganggap bahwa masa-masa setelah melahirkan
adalah masa-masa sulit yang dapat menyebabkan mereka mengalami tekanan
secara emosional. Gangguan-gangguan psikologis yang muncul juga dapat
mempengaruhi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi
hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang
sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun lamanya.
Jadi depresi postpartum adalah kondisi suasan hati yang tidak stabil yang
dirasakan pada ibu yang pertama kali melahirkan setelah kurun waktu lebih dari
satu minggu persalinan. Merasa tidak mampu dalam menjalankan kewajibannya
sebagai ibu baru, kecemasan yang berlebihan merasa takut apa yang telah
dilakukannya tidak sesuai dengan peran barunya dan cenderung lebih sensitif.
Berdasarkan kriteria DSM-IV, gejala depresi postpartum adalah sebagai berikut :
1) Mood terdepresi hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan
subyektif (misalnya, perasaan sedih atau kosong) maupun pengamatan yang
dilakukan oleh orang lain (misalnya, tampak sedih).
2) Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua aktivitas sepanjang
hari.
3) Penurunan berat badan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5) Agitasi atau reterdasi psikomotor hampir setiap hari.
6) Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari.
7) Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang belebihan atau tidak
sesuai (yang dapat berupa waham).
8) Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan.
9) Pikiran tentang kematian atau ide bunuh diri yang berulang.
Adapun menurut Nevid dkk, (2005) gejala depresi postpartum adalah
gangguan dalam selera makan dan tidur, self esteem yang rendah, serta kesulitan
dalam mempertahankan konsentrasi atau perhatian. Menurut Lubis (2010) gejalagejala depresi postpartum yaitu; sulit tidur, kurang nafsu makan, cemas, tidak
berdaya, kehilangan kontrol, pikiran yang menakutkan mengenai kondisi bayi,
kurang memperhatikan bentuk tubuhnya, tidak menyukai bayi, dan takut

menyentuh bayinya. Semenetara gejala fisik postpartum ialah sulit bernafas dan
seringnya jantung berdebar-debar, sedangkan gejala psikisnya yaitu tidak mau
mengurus dirinya atau bayinya, gampang murung, mudah marah, dan terkadang
mengalami halusinasi pendengaran.
Menurut Ling&Duff (Marmi, 2012) bahwa gejala depresi postpartum yang
dialami 60 % wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya, tetapi
dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum
mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain :
1) Mimpi buruk
Biasanya terjadi sewaktu tidur, karena mimpimimpi yang menakutkan,
individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.
2) Insomnia
Sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti kecemasan
dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia.
3) Phobia
Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak
dapat dihilangkan atau ditekan, meskipun diketahui bahwa hal itu irasional
adanya.
4) Kecemasan
Adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhwatiran yang timbul karena
yang dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sebagian
besar sumber tidak diketahui.
5) Meningkatnya sensitivitas
Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang
lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif dapat meningkatkan sensitivitas ibu
Santrock (Marmi,2012).
6) Perubahan mood
Munculnya perasaan yang mudah berubah dapat menimbulkan kecemasan
dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar-benar
memusuhi bayinya.
Gejala depresi postpartum menurut Suryani (2005) adalah sebagai berikut :
1) Sulit tidur, bahkan bayi sudah tidur.
2) Nafsu makan hilang.
3) Perasaan tidak berdaya atau kehilangan kontrol.
Jadi gejala depresi postpartum sangat dapat dilihat dari perubahan
psikologis, fisik dan perubahan emosi yang dialami ibu primipara diluar
kebiasaan yang sering dilakukannya. Perhatian dari significant person sangat
berpengaruh terhadap muncul tidaknya depresi postpartum. Jika pihak-pihak yang
terkait dengan ibu primipara dapat melihat sejak dini apa saja yang menunjukkan
gejala- gejala depresi postpartum akan meminimalkan tingkat keparahan depresi
postpartum yang dialaminya.
Menurut Lubis (2012) adaptasi psikologis pada masa nifas meliputi ;
1) Fase taking in
Merupakan fase ketergantungan ibu yang berlangsung dari hari pertama
sampai hari kedua pasca melahirkan. Pengalaman selama persalinan kerap kali

berulang dan menjadikan ibu senang menceritakan proses kelahiran


menjadikannya lelah dan membutuhkan istirahat.
2) Fase taking hold
Fase ini berlangsung antara tiga sampai 10 hari setelah melahirkan. Selama
fase ini, ibu selalu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dan bertanggung
jawab merawat anak. Perasaan ibu sangat sensitif sehingga mudah tersinggung.
Saat ini ibu sangat membutuhkan dukungan, dan bimbingan dari orang lain.
Periode ini dianggap masa perpindahan dari keadaan ketergantungan menjadi
keadaan mandiri. Kegagalan pada masa fase taking hold menyebabkan depresi
postpartum.
4) Fase letting go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya
yang berlangsung selama 10 hari setelah melahirkan, ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungannya.
5) Bounding attachment
Bounding adalah hubungan antara anak dan ibu. Attachment ialah suatu
keterikatan anak dan ibu. Jadi, proses bounding attachment akan terus meningkat
seiring dengan sikap penerimaan ibu terhadap bayinya.
Menurut Marmi (2011), banyak ibu dapat mengalami distress yang tidak
seharusnya dan kecemasan hanya karena tidak mengantisipasi atau tidak
mengetahui pergolakan psikologis normal, perubahan emosi, dan penyesuaian
yang merupakan bagian integral proses kehamilan, persalinan dan pascanatal.
Banyak bukti menunjukkan bahwa periode kehamilan, persalinan dan pasca natal
merupakan masa terjadinya stres berat, kecemasan, gangguan emosi dan
penyesuaian diri.
Jadi perubahan psikologis pada ibu primpara adalah kondisi yang pasti
terjadi pada perubahan situasi ibu baru dilihat dari perubahan peran dan tanggung
jawab antara sebelum dan sesudah mengalami persalinan, dengan perubahan
peran dan tanggung jawab yang baru menjadikannya membutuhkan waktu dalam
melakukan penyesuaian dirinya. Dukungan keluarga sangat mempengaruhi dalam
proses penyesuaian pada ibu baru. Sehingga diharapkan ibu primipara dapat
mengatasi permasalahan yang dialaminya dengan menggunakan strategi coping
yang baik dan tepat, karena peran ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan
kondisi bayi yang dilahirkannya. Semakin cepat ibu primipara mengatasi kondisi
depresi postpartum yang dialaminya maka akan sangat bagus bagi kelangsungan
tanggung jawab perannya sebagai ibu baru. Keadaan depresi postpartum
menyebabkan ibu tidak bisa berfungsi baik sebagai ibu terhadap anak dan
merupakan bahaya terhadap perkembangan anak yang sehat (Monks, 2004).
Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gejala apa saja
yang muncul pada ibu primipara yang mengalami depresi postpartum, pemicu
munculnya gejala depresi postpartum dan bagaimana strategi coping pada ibu
primipara yang mengalami depresi postpartum serta dampak positif dan negatif
dari depresi postpartum tersebut.

Metode Penelitian
peneliti tertarik untuk menggunakan penelitian kualitatif fenomenologi,
karena dapat mengungkapkan permasalahan yang akan diteliti secara lebih
mendalam bahkan sulit sekalipun. Hubungan yang baik dengan subjek penelitian
juga dapat sangat menentukan hasil penelitian.
Pendekatan yang akan peneliti gunakan dalam analisis data dengan
menggunakan analisis isi (content analysis), karena dapat memudahkan peneliti
dalam menginterpretasikan data melalui meaning unit yang didapatkan dari hasil
wawancara dengan responden dan lebih memahami hasil data yang telah diambil
dan data atau informasi yang diperoleh dapat lebih detail ketika dianalisis.
Menurut Holsti (Moleong, 2008) analisis isi adalah teknik apapun yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan
karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan sistematis
Peneliti akan menggunakan purposive sampling, khususnya criterion
sampling sebagai berikut :
1. Ibu yang melahirkan untuk pertama kali.
2. Ibu yang mengalami depresi postpartum dalam kurung waktu seminggu sampai
dengan satu bulan lebih.
Peneliti menggunakan metode wawancara semi terstuktur dengan harapan
dapat menggali permasalahan dengan baik dan mendalam. Tujuan dari wawancara
semi terstruktur menurut Sugiyono (2011) adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang menjadi responden dalam
wawancara juga diminta pendapat dan ide-idenya. Penggunaan metode
wawancara semi terstruktur juga dapat memberikan kebebasan dan kesempatan
kepada informan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti tanpa
adanya batasan yang ketat sehingga menjadikan hubungan antara informan dan
peneliti tidak kaku dan tegang.
Selain menggunakan wawancara, peneliti juga menggunakan pengamatan
lain yaitu observasi. Menurut Hadi (1968) observasi diartikan sebagai pengamatan
dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Adapun
menurut Sarwono (2006) kegiatan observasi meliputi; pencatatan secara
sistematik mengenai kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan
hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan.
Peneliti menggunakan observasi non partisipan, karena peneliti hanya
mengikuti sebagian kegiatan subjek dalam kehidupan subjek dan peneliti juga
tidak mengalami secara langsung. Peneliti juga menggunakan bantuan field note
dan rekaman dalam proses penelitian guna mencatat setiap peristiwa yang
berlangsung selama observasi maupun wawancara. Metode pengumpulan data
yang peneliti gunakan adalah wawancara dan observasi. Wawancara adalah
metode penelitian yang meliputi pengumpulan data melalui interaksi verbal secara
langsung antara pewawancara dengan responden. Observasi adalah pengamatan
terhadap perilaku-perilaku subyek yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
Tahap awal penelitian, peneliti membuat guide wawancara dengan bentuk
wawancara semi terstruktur untuk memudahkan peneliti dalam memberikan
pertanyaan yang sesuai dan tidak melenceng dari apa yang menjadi fokus dari

tujuan penelitian. Peneliti juga dapat mengembangkan pertanyaan sesuai dengan


kebutuhan informasi yang ingin didapatkan sehingga informasi yang didapatkan
menjadi lebih banyak dan mendalam.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan penelitian. Peneliti membuat
kesepakatan dengan responden mengenai pelaksanaan waktu dan tempat yang
akan digunakan dalam pelaksanaan wawancara, ketika wawancara berlangsung
peneliti juga melakukan observasi non partisipan dengan melihat kemungkinankemungkinan yang dimunculkan subjek selama proses wawancara berlangsung
yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Selain mencatat peneliti juga merekam
pembicaraan dengan responden guna menghindari adanya kelupaan dalam
penelitian.
Keterpercayaan penelitian dapat menjadi sangat penting karena akan
mempengaruhi hasil penelitian dan sejauh mana peneliti dapat melakukan
penelitian secara tepat. Metode keterpercayaan dalam penelitian ini peneliti
menggunakan triangulasi sumber data dengan menggunkan informasi dari
significant person dari subjek yang diteliti guna membandingkan data yang
diperoleh dari subjek yang diteliti dengan pihak-pihak yang terkait dengan subjek
penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan kriteria menurut DSM-IV mengenai gejala depresi postpartum
didapatkan informasi yang sejalan dengan gejala depresi postpartum yang muncul
pada kedua subjek penelitian yaitu subjek menjadi lebih sensitif setelah
persalinan, mudah menangis, mengalami kebingungan ketika merawat anaknya,
munculnya perasaan bersalah yang tinggi dalam merawat anak, mengalami
pusing, perubahan mood mencari perhatian orang disekelilingnya serta munculnya
perasaan cemburu yang berlebih terhadap anak kedua subjek, hal tersebut akan
menjadi permasalahan ketika ibu baru tersebut tidak dapat melakukan perubahan
dalam kondisi perasaannya dengan segera setelah melahirkan anak bahkan
mengacu pada munculnya depresi postpartum (Nevid, dkk 2005).
Pada subjek CC, subjek memiliki perasaan cemburu yang berlebihan
terhadap anaknya dibandingkan dengan subjek YS. Subjek CC merasa bahwa
setelah persalinan subjek mengalami penurunan perhatian dari keluarga besarnya.
Seolah-olah semua perhatian beralih kepada anak subjek, sehingga menjadikan
subjek memiliki perasaan jengkel dan benci terhadap anak subjek CC, karena
menurut subjek CC, anak subjek telah merebut perhatian yang diberikan orangorang disekelilingnya. Jika dibandingkan dengan subjek YS, subjek CC jauh lebih
mendapatkan perhatian dari keluarga besarnya, sedangkan pada subjek YS,
subjek tidak mendapatkan perhatian yang penuh dari keluarga besarnya karena
latar belakang subjek yang mengalami kehamilan akibat pergaulan bebas dan
lokasi tempat tinggal orangtua maupun mertua subjek yang jauh dari subjek YS.
Subjek YS hanya mendapatkan perhatian dari teman kuliah yang sama
sekali belum perpengalaman dalam merawat anak dan suami subjek YS yang
lebih banyak mendampingi subjek ketika siang hari, karena suami subjek YS
harus bekerja di malam hari. Adapun anak subjek YS sangat rewel ketika malam

hari. Oleh karena itu subjek YS lebih mudah menangis dan cenderung merasa
kesepian ketika harus merawat anaknya seorang diri tanpa ada yang membimbing
dan memberi tahu bagaimana harus merawat anaknya untuk pertama kalinya.
Subjek YS terkadang bertanya kepada orangtua subjek melalui telefon untuk
menanyakan bagaimana harus merawat anaknya, tetapi subjek YS tetap merasa
kesulitan dan kebingungan karena tidak melihat secara langsung bagaimana harus
merawat anaknya. Ditambah lagi dengan kondisi buruknya lingkungan tempat
tingggal kos subjek YS, menjadikan subjek YS memiliki perasaan bersalah yang
tinggi ketika di tempat kos subjek YS hanya subjek yang membawa seorang bayi
dan anak subjek YS selalu menangis di malam hari ketika anggota kos lainnya
sedang beristirahat
Kedua subjek penelitian juga menunjukkan adanya gejala fisik depresi
postpartum seperti penurunan nafsu makan dari sebelumnya sehingga menjadikan
kedua subjek penelitian mengalami penurunan berat badan dari sebelumnya.
Selain itu kedua subjek penelitian juga mengalami insomnia (kesulitan tidur)
ketika di malam hari karena menurut subjek CC subjek merasa terhantui dengan
rutinitas menangis anak subjek di malam hari, meskipun subjek CC sudah ada
pembantu yang membantunya dalam merawat anaknya. Berkaitan dengan
pengertian yang diungkapkan oleh Marmi (2011) yang juga mengatakan bahwa
setelah melahirkan, banyak wanita memiliki suasana hati yang berubah-ubah.
Kehilangan nafsu makan, menderita masalah tidur, dan munculnya perasaan
sedih. Jika tidak merasa lebih baik setelah seminggu atau lebih, disebut dengan
depresi postpartum. Sedangkan menurut Nevid dkk, (2005) gejala depresi
postpartum juga ditunjukkan dengan gangguan dalam selera makan dan tidur,
akibatnya menjadikan subjek menjadi mudah lelah ketika merawat anaknya dan
melakukan rutinitas sehari-hari.
Subjek CC merasa lebih mudah lelah dan merasa malas dalam beraktivitas
lainnya, seperti ketika teman kampus subjek CC mengajak subjek untuk bepergian
subjek CC lebih memilih untuk pulang dan bersitirahat di rumah. Sedangkan
sebelum persalinan subjek gemar berjalan bersama teman-temannya. Subjek CC
menjalani peran ganda yaitu peran ibu baru dan mahasiswa semester lima, tetapi
subjek CC dalam menjalani aktivitas ibu rumah tangga dan merawat anaknya
sudah dibantu oleh seorang pembantu. Pada subjek YS subjek hanya menjalani
peran ibu rumah tangga saja. Munculnya perasaan mudah lelah dan malas juga
berakibat terhadap perlakuan masing-masing subjek terhadap anaknya, terlihat
ketika anak subjek terus menangis dan kedua subjek tidak mengerti apa yang
mengakibatkan anak subjek terus menangis mereka melakukan pengalihan
perhatian dengan membiarkan anak subjek menangis, bahkan pada subjek CC
terkadang subjek CC mengajak suami subjek untuk pergi dari rumahnya untuk
sekedar refreshing sejenak dan menyuruh pembantunya untuk menangani anak
subjek CC.
Subjek YS juga mengalami keraguan dalam merawat anaknya terlihat ketika
subjek YS merasa kebingungan dalam memberikan ASI untuk pertama kalinya,
karena subjek YS mengalami kesakitan ketika sedang menyusui anaknya,
sedangkan anak subjek YS terus menangis jika tidak diberikan ASI. Selain itu
subjek YS juga mengalami kesulitan bergerak karena kondisi tempat tidur subjek

YS dan anaknya yang teletak dilantai sedangkan subjek YS masih merasakan


kesakitan efek jahitan setelah persalinan, tetapi subjek YS harus memaksakan
dirinya untuk beraktivitas karena menurut subjek YS jika tidak dirinya siapa lagi
yang akan mengerjakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Hal tersebut tidak
terjadi pada subjek CC, karena subjek CC sudah menaruh kepercayaan dalam
merawat anak subjek kepada pembantunya, tetapi subjek CC mengalami
penurunan konsentrasi dalam mengerjakan tugas kuliah maupun ketika sedang
mengikuti perkuliahan di kelas.
Pemicu munculnya depresi postpartum pada kedua subjek terlihat dari
berbagai faktor yang berbeda-beda. Pada subjek YS pemicu munculnya gejala
depresi postpartum karena subjek YS tidak memiliki kesiapan dan penerimaan
persalinan, karena subjek YS mengalami unwanted pregnant akibat pergaulan
bebas. Menurut Nevid, dkk (2005) faktor lain yang dapat memicu munculnya
depresi postpartum adalah memiliki bayi yang tidak diinginkan. Selain itu
buruknya lingkungan fisik tempat tinggal subjek YS juga mempengaruhi
munculnya gejala depresi postpartum pada subjek YS.
Latar belakang subjek YS mengandung juga mengakibatkan penurunan
dukungan dari keluarga besar khususnya orangtua terhadap subjek YS, ketika
subjek YS menjalani persalinan dan setelah persalinan, sehingga menjadikan
subjek YS cenderung merasa kesepian. Pernyataan subjek YS sesuai dengan
pendapat Beck (Hudson dkk, 2000) yang mengataan bahwa perasaan kesepian
sering ditunjukkan ibu yang menderita depresi postpartum. Adapun menurut
Bobak (Munawaroh, 2008) juga menerangkan bahwa ibu primipara pasca
persalinan lebih membutuhkan dukungan dibandingkan dengan ibu primipara
yang sudah mempunyai pengalaman melahirkan sebelumnya, selain itu kurangnya
dukungan dari orang-orang terdekat dapat menyebabkan penurunan fungsi
psikologis (satu kemunduran dalam kemampuan mental) yang akan menyebabkan
ibu menjadi depresi.
Berbeda pada sujek CC munculnya stressor depresi postpartum pada subjek
CC karena adanya penurunan dukungan yang subjek CC dapatkan antara sebelum
dan setelah persalinan dari keluarga besar subjek CC khususnya ibu kandung
subjek CC yang mengakibatkan munculnya perasaan kecemburuan yang
berlebihan terhadap anak subjek CC dan perubahan mood yang tidak stabil.
Interaksi kasih sayang orang tua yang tidak konsisten dalam memberikan kasih
sayang, mengakibatkan anak menjadi tidak mempunyai pedoman yang jelas
dalam membentukan indentitas dirinya (Buss, dalam Atkinson dkk, 1999).
Harapan subjek CC perhatian yang mereka berikan kepada anaknya
sekedarnya saja, selain itu menurut subjek anaknya masih sangat kecil. Bahkan
menurut subjek justru ibu yang mengalami persalinan yang jauh lebih
diperhatikan karena kondisi setelah persalinan sangat melelahkan. Sejalan dengan
penelitian yang diungkapkan oleh Urbayatun (2010) yang mengatakan bahwa
pihak-pihak yang dapat berperan untuk memberi dukungan sosial pada wanita
primipara adalah suami dan pihak lain diluar suami, antara lain keluarga maupun
significant persons seperti petugas paramedis. Tanggung jawab pengasuhan ibu
primipara kepada anaknya tergantung pada dukungan dari keluarga, teman, dan
sumber daya masyarakat (Klerman, dalam Hudson dkk, 2000).

Faktor usia subjek CC yang masih muda dengan usia 21 tahun yang
menjalani peran ganda yaitu peran menjadi ibu primipara dan peran sebagai
mahasiswa semester lima juga menjadikan subjek semakin tidak stabil secara
emosi dan mudah lelah dalam menjalani aktivitas sehari-harinya, sehingga
berdampak kepada perlakuan subjek CC terhadap anak subjek CC. Selain itu pola
asuh manja yang diterapkan orangtua subjek CC terhadap subjek CC juga
berpengaruh terhadap munculnya kepribadian histrionik yaitu kecenderungan
melibatkan emosi yang berlebihan dan kebutuhan yang besar untuk menjadi pusat
perhatian, cenderung dramatis dan emosional (Nevid dkk, 2005) dan proyeksi,
yang berarti khayalan yang dirasakan oleh seseorang dan implus-implus yang
sebenarnya dipindahkan kepada orang lain, tidak berasal dari dalam diri sendiri
(Feist J & Feist G.J, 2008). Orang dengan kepribadian histrionik dapat lebih
menuntut agar orang lain memenuhi kebutuhan mereka akan perhatian (Nevid,
dkk 2005). Adapun menurut Atkinson dkk, (1999) jika sifat kepribadian menjadi
bersifat maladaptif akan mengganggu kemampuan individu berfungsi, maka
sifat-sifat tersebut merupakan gangguan kepribadian. Orang yang menderita
gangguan kepribadian biasanya tidak merasa sangat terganggu atau cemas dan
tidak mempunyai motivasi untuk mengubah perilakunya.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menemukan dua jenis strategi coping
yang digunakan oleh kedua sujek penelitian, yaitu problem focused coping dan
emotional focused coping dengan perbedaan antara masing-masing subjek. Pada
subjek YS lebih banyak menggunakan problem focused coping, sedangkan pada
subjek CC cenderung menggunakan emotional focused coping dalam menghadapi
setiap masalah yang dihadapinya. Menurut Nurhalimah (2005) kemampuan setiap
individu dalam memilih strategi coping dan menggunakannya untuk mengurangi
tekanan adalah berbeda. Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai
bagaimana dan kapan harus memakai strategi coping yang diperlukan. Adanya
variasi dalam penggunaan strategi coping dapat disebabkan karena strategi
penanggulangan tidak harus berakhir dengan penyelesaian masalah sekaligus
(Sarafino, 2006).
Adapun hasil penelitian menunjukkan pada problem focused coping bentuk
planful problem solving yang digunakan subjek YS terlihat dari usaha subjek YS
dalam memahami tangisan anaknya dengan cara membedong anak subjek YS
yang ternyata berhasil membuat anak subjek YS menjadi diam. Subjek YS dalam
merawat anaknya, tanpa adanya dukungan dan bimbingan langsung dari keluarga
besarnya, tetapi subjek YS tetap berusaha mencari informasi melalui internet,
buku dan bertanya kepada ibu yang sudah berpengalam di sekeliling lingkungan
kos subjek YS. Berbeda pada subjek CC, bentuk planful problem solving yang
digunakan subjek CC, ketika subjek CC berusaha melakukan perubahan keadaan
yang terjadi pada dirinya bukan yang berkaitan pada masalah dalam merawat
anak subjek CC karena subjek CC sudah menaruh kepercayaan yang tinggi
kepada pembantu subjek CC dalam merawat anaknya, seperti ketika subjek
mengalami insomnia subjek berusaha melakukan cara-cara mengatasi insomnia
begitu juga ketika subjek mengalami penurunan nafsu makan subjek berusaha
mengatasinya dengan memakan buah atau sayur saja.

Bentuk confrontative coping dari problem focused coping pada subjek YS


terlihat ketika subjek YS berusaha menantang langsung sumber masalah yaitu
kehamilannya yang tidak diinginkan dengan cara membiarkan bahkan terkesan
sama sekali tidak merawat bayi yang ada di dalam kandungannya, harapan subjek
YS adalah anak yang didalam kandungannya tidak telahir (keguguran).
Sedangkan pada subjek CC terlihat pada sikap subjek yang merasa senang ketika
anak subjek CC lebih nyaman dengan orang lain dibandingkan dengan dirinya,
karena dengan begitu subjek CC dapat melakukan aktivitas lain seperti tidur dan
beristirahat. Terkadang pengabaian, membantu orang dalam mengelola stres,
paling tidak secara temporer (Nevid dkk, 2005).
Bentuk seeking social support dari problem focused coping juga
ditunjukkan pada kedua subjek penelitian. Subjek YS akan menghubungi suami
subjek untuk segera pulang dan meminta suami subjek YS untuk membantu
subjek dalam merawat anaknya ketika subjek YS merasa kebingungan dalam
merawat bayinya di malam hari. Hal tersebut juga dilakukan pada subjek CC
ketika subjek merasa lelah, kebingungan dalam merawat anaknya ketika malam
hari, maka subjek CC akan membutuhkan bantuan suami dan pembantu subjek
CC dalam ikut berperan merawat anak subjek CC, sejalan dengan pendapat
Mccubbin dkk (Judge, 1998) bahwa strategi coping keluarga berpotensi dapat
memperkuat atau mempertahankan keluarga untuk melindungi keluarga dari
tuntutan munculnya stres. Adapun menurut Nevid, dkk (2005) dukungan dari
orang-orang disekitarnya dapat membantu orang tersebut menemukan alternatif
strategi coping dalam menghadapi stressor atau sejedar memberi dukungan
emosional yang dibuthkan selama masa-masa sulit.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya bentuk information seeking dari
problem focused coping yang digunakan oleh kedua subjek penelitian ketika
mengalami ketidaktahuan dalam merawat anaknya, usaha yang mereka lakukan
adalah bertanya kepada keluarga besar khususnya orangtua, mertua dan orang
orang di sekeliling subjek baik secara langsung melalui melalui telefon seluler.
Selain ketika merawat anak, subjek CC dalam menyelesaikan tugas kuliahnya
juga berusaha bertanya atau mengerjakan bersama teman kuliah atau suami subjek
CC ketika mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas. Pencarian informasi
juga dapat membantu individu untuk tetap bersifat optimis, karena dengan
pencarian informasi tersebut timbul harapan akan mendapatkan informasi yang
bermanfaat (Nevid dkk, 2005).
Hasil strategi coping yang menunjukkan aspek emotional focused coping
yaitu distancing hanya digunakan pada subjek YS tidak digunakan juga pada
subjek CC. Distacing digunakan subjek YS ketika subjek YS berkeinginan
memiliki anak laki-laki ketika persalinan nanti, tetapi ketika subjek YS
mendapatan anak perempuan ketika persalinan subjek pun tetap merasa senang,
karena bagi subjek YS anaknya cantik dan lucu. Adapun pada subjek CC subjek
cenderung menggunakan bentuk escape avoidance dari emotional focused coping
ketika anak subjek CC menangis dan tidak bisa diam, subjek CC berusaha
mengalihkan permasalahan dengan meminta suami atau pembantunya untuk
menangani anak subjek CC karena subjek CC sudah merasa lelah.

Adapun pada bentuk accepting responsibility dari emotional focused coping


juga digunakan pada kedua subjek penelitian memiliki perbedaan antara kedua
subjek penelitian. Pada subjek YS subjek dapat menemukan arti hidup dari
masalah yang subjek hadapi dan berusaha menempatkan segala sesuatu
sebagaimana mestinya, selain itu subjek juga semakin menyanyangi anak dan
suami subjek. Sedangkan pada subjek CC, bentuk accepting responsibility yang
digunakan subjek ketika subjek mengetahui bahwa subjek CC mengandung
meskipun tidak sesuai dengan perencanaan yang diharapkan subjek CC dan
suami, tetapi subjek CC berusaha menerima keadaan dengan perasaan senang.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya self criticism dari emotional
focused coping terlihat dari kedua subjek penelitian. Pada subjek YS terlihat
ketika subjek YS dalam kondisi seorang diri dan tidak ada keluarga ataupun suami
yang menemaninya, subjek semakin terlarut dalam permasalahan dan cenderung
menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya, sedangkan
pada subjek CC, munculnya perasaan tidak mampu dalam merawat anaknya
terlihat ketika anak subjek CC merasa nyaman ketika bersama orang lain bukan
pada subjek CC.
Kedua subjek penelitian mengungkap bahwa strategi coping yang mereka
gunakan tidak semuanya efektif mengatasi gejala depresi postpartum yang
dihadapinya. Faktor keterampilan coping yang digunakan setiap individu juga
memberikan kontribusi pada kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian
yang penuh tekanan (USDHHS, dalam Nevid dkk 2005). Pada subjek YS subjek
optimis bahwa strategi coping yang digunakannya dapat mengatasi gejala depresi
postpartum yang dialaminya sehingga gejala depresi postpartum dapat segera
teratasi dan tidak semakin parah, sejalan dengan pendapat Cerver dkk, dalam
Nevid (2002) yang mengatakan bahwa optimisme dapat dikaitkan dengan
rendahnya tingkat depresi pascapersalinan. Sedangkan pada subjek CC, subjek
mengatakan bahwa strategi coping yang sudah subjek gunakan tidak efektif
mengatasi gejala depresi postpartum, karena hingga sekarang subjek masih
merasakan gejala depresi postpartum tersebut meskipun sudah adanya penurunan.
Selain itu subjek YS, ketika menghadapi setiap permasalahan khususnya
depresi postpartum, subjek dapat lebih mengontrol emosinya terlihat dari dampak
terjadinya depresi postpartum yang subjek alami subjek dapat lebih menemukan
arti hidup bagi subjek YS. Reaksi yang muncul pada individu terhadap stres
berbeda, tergantung faktor psikologis seperti bagaimana individu memaknai
peristiwa yang menimbulkan stres tersebut (Nevid, 2002). Adapun pada subjek
CC, karena peran ganda yang harus subjek jalani antara peran menjadi ibu baru
dan peran menjadi mahasiswa dalam usia subjek yang masih muda 21 tahun
menjadikan emosi subjek tidak stabil dan sangat berdampak pada perlakuan
terhadap anak subjek CC berkaitan dengan pendapat Billings dan Moos
(Nurhayati, 2005) yang menyatakan bahwa faktor usia, dan kesadaran emosional
akan berpengaruh terhadap kecenderungan penggunaan strategi coping.
Perkembangan seseorang mempengaruhi pemilihan coping yang digunakan,
karena semakin bertambah umur menunjukkan semakin matang seseorang dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dan semakin baik coping yang digunakan
(Aldwin & Revenson, dalam Hasjanah 2012).

Munculnya gangguan kepribadian histrionik pada subjek CC juga sangat


berpengaruh terhadap efektifitas coping yang subjek gunakan, karena gangguan
kepribadian merupakan cara yang tidak dewasa dan tidak wajar dalam mengatasi
stres atau memecahkan masalah (Atkinson, dkk 1999). Selain itu adanya defence
mechanism transkulphasi pada subjek CC juga mempengaruhi perilaku subjek
dalam pengambilan coping yang sesuai. Mekanisme pertahan hanya menunjukkan
maladjustment kepribadian jika mekanisme itu menjadi cara yang dominan untuk
menanggapi masalah (Atkinson dkk, 1999). Dapat disimpulkan bahwa kondisi
lingkungan dan materi yang serba kecukupan pada subjek CC tidak menjamin
akan munculnya strategi coping yang tepat untuk mengatasi depresi postpartum,
justru kepribadian yang dimiliki oleh subjek CC jauh lebih berpengaruh terhadap
perilaku subjek CC dalam pemilihan strategi yang tepat.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti akan
menyimpulkan mengenai gejala depresi postpartum yang muncul pada kedua
subjek penelitian, pemicu atau stressor depresi postpartum, strategi coping yang
digunakannya. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan dari hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dibahas sebelumnya :
1. Gejala-gejala yang muncul pada ibu primipara yang mengalami depresi
postpartum secara psikologis maupun secara fisik adalah sebagai berikut :
a. Gejala psikologi
Gejala psikologi yang muncul pada kedua subjek adalah kecenderungan
munculnya perasaaan sensitif, sedih, bingung, pusing,sedih, mudah menangis,
mudah marah tanpa sebab, perubahan mood yang tidak menentu, perasaan
bersalah dan tidak berharga yang berlebihan, pencarian perhatian yang lebih
besar dari sebelumnya, munculnya kecemburuan yang berlebih terhadap anak
dan munculnya keragu-raguan dalam merawat anak.
b. Gejala fisik
Gejala fisik yang muncul pada kedua subjek adalah penurunan nafsu makan
yang mengakibatkan penurunan juga pada berat badan subjek dari sebelumnya,
mudah lelah dalam melakukan aktivitas, mengalami insomnia (sulit tidur) ketika
malam hari hampir setiap hari.
2. Pemicu atau stressor depresi postpartum
Ada banyak hal yang memicu munculnya stressor depresi postpartum pada
kedua subjek penelitian. Masing-masing subjek penelitian memiliki alasan yang
berbeda-beda, diantaranya adalah usia ibu primipara mempengaruhi faktor
kognitif pada ibu primipara, kesiapan dan penerimaan dalam menjalani kehamilan
dan persalinan, serta dukungan sosial khususnya dari keluarga besar sebelum dan
setelah persalinan. Adapun pada subjek YS juga ditemukan bahwa pemicu
stressor depresi postpartum adalah lingkungan fisik tempat tinggal subjek yang
kurang mendukung. Berbeda pada subjek CC yang menunjukkan bahwa pola asuh

orangtua subjek CC dan peran ganda yang harus subjek CC jalani juga
berpengaruh terhadap depresi postpartum.
3. Strategi Coping yang Digunakan.
Pada kedua subjek penelitian menggunakan strategi coping yang berbedabeda. Penggunaan variasi coping ini tidak mengindikasikan bahwa strategi yang
diambil dan diputuskan tanpa adanya pertimbangan penyelesaian masalah. Subjek
YS, menggunakan problem focused coping terlebih dahulu meskipun ketika
ditengah-tengah proses menghadapi permasalahan subjek YS juga menggunakan
emotional focused coping. Adapun pada subjek CC, subjek menggunakan strategi
emotional focused coping terlebih dahulu ketika mengatasi permasalahan depresi
postpartum. Berjalannya waktu subjek CC juga menggunakan strategi problem
focused coping.
Kedua jenis coping yang digunakan kedua subjek penelitian memiliki
perbedaan dalam keberhasilan coping yang digunakan. Subjek YS dapat
menurunkan adanya tingkat depresi postpartum dari sebelumnya dengan
kecenderungan menggunakan problem focused coping. Adapun pada subjek CC
kecenderungan menggunakan emotional focused coping yang digunakannya tidak
efektif mengatasi atau menurunkan munculnya depresi postpartum.
4. Dampak Positif dan Negatif dari Gejala Depresi Postpartum
Kedua subjek penelitian mengalami dampak positif negatif yang berbedabeda.
a. Dampak positif :
Subjek YS dapat lebih menemuan arti hidup dan semakin menyayanyi
suami dan anak subjek YS. Berbeda pada subjek CC dampak positif dari depresi
postpartum menambah informasi kepada lingkungan sekitar khususnya keluarga
besar mengenai dukungan yang dibutuhkan pada ibu primipara yang mengalami
depresi postpartum.
b. Dampak negatif :
Subjek YS menjadi lebih sensitif, mudah menangis dan munculnya perasaan
menyesali keadaan subjek yang sudah mempunyai anak. Berbeda pada subjek CC
kehilangan minat untuk melakukan aktivitas.
Daftar pustaka
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic Criteria from Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revision.
Washington, DC.

Anam, C & Himawan, A.T. 2005. Peran Emotional-Focused Coping terhadap


Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder Para Karyawan yang
Menyaksikan Peledakan Bom di Depan Kedutaan Besar Autralia di Jakarta
Tahun 2004. Humanitas. Vol: 2, No.2. 112-119.

Atkinson, R.L & Atkinson, R.C. 1999. Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan.
Jilid 2. Agus Dharma (editor). Jakarta: Erlangga.
Chu, R &Chao, L. 2011. Managing Stress and Maintaining Well-Being: Social
Support, Problem-Focused Coping, and Avoidant Coping. Journal of
Counseling and Development.Vol: 89, 338+.
Hadi, S. 1968. Metodologi Research. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada.
Hasnajah, Y. 2012. Coping pada Ibu yang Mengalami Baby Blues Syndrome.
Skripsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Ahmad Dahlan.
Hudson, D.B., Elek, S.M., & Grossman, C.C. 2000. Depression, Self-Esteem
Loneliness, and Social Support among Adolescent Mothers Participating in
the New Parents Projec. Adolescence. Vol: 35, 445+.
Judge, S. L. 1998. Parental Coping Strategies and Strengths in Families of Young
Children with Disabilities. Family Relations. Vol.47, 263+.
Lubis, H. Z. 2010. Pengantar Psikologis untuk Kebidanan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Mallikarjun, P. K., & Oyebode, F. 2005. Prevention of Postnatal Depression.
Perspectives in Public Health. Vol. 125, 221+.
Marmi, S.ST. 2012. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas peuperium Care.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Maulana, Mirza. 2009. Seluk Beluk Repreduksi dan Kehamilan. Yogyakarta :
Garailmu.
Moleong.L. J. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Muhadjir, N. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Munawaroh, H. 2008. Hubungan Paritas Dengan Kemampuan Mekanisme
Koping Dalam Menghadapi Postpartum Blues Pada Ibu Post Sectio Caesaria
Di Bangsal Mawar 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi. (Tidak
Diterbitkan). Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan UMS.
Nevid, J; Rathus, S.A; Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 1.
Ratri Medyan (editor). Jakarta : Erlangga.

Nurhayati, S.R. 2006. Peningkatan Kemampuan Menggunakan Problem Focused


Coping Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Humanitas.
Vol: 3, No. 1. 18-28.
Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologis (LPSP3).
Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction, Second
Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc
Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Strauss, A. & Corbin, J. 2009. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Suryani, A. Y. 2005. Psikologi Ibu dan Anak. Yogyakarta: Fitramaya.
Urbayatun, S. (2010). Dukungan Sosial dan Kecenderungan Depresi PostPartum
Pada Ibu Primipara di Daerah Gempa Bantul. HUMANITAS. Vol. VII, No.
2. 114-122.

You might also like