You are on page 1of 16

HUBUNGAN ANTARA PENERAPAN SISTEM

MANAJEMEN MUTU (SMM) TERHADAP PERFORMA


USAHA KECIL, DAN MENENGAH (UKM)
(Studi Kasus pada UKM yang telah menerapkan SMM di
Tangerang)

Oleh :

Farida
Herry Agung Prabowo

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS MERCU BUANA

2007
ABSTRACT
SMEs (Small and Medium Enterprises) play a very important role in Indonesian
economics. During indonesian economics crisis in 1997-1999 which many large
companies collapse, SMEs shows their performance and become the safety exit for the
nation. Their important role for added value processes especially in manufacturing
sectors always increase. From 54.51% in year 2000 to 56.72% in year 2003. They
provided 43.8% product and services needed by the nation in year 2003, and growth 4.15.1% per year. They also provide 99.45% job for indonesian and still become the bigest
sector providing employment.
In spite of the positive development of SMEs there were still many obstacles face of by
SMEs. One of the big problems is to compete in global market. Many of SMEs can not
enter the global market because they were not fulfiled with the requirement, which is high
product quality (quality standard). Many of them also loose their market to become
supplier for large companies because they still lack behind in promoting Quality
Management Program. This obstacle could be solved by adopting and implementing
Quality Management System.
Based on this research, only few SMEs in Tangerang have been implementing Quality
Management System (QMS). They implement various QMS, which is on average they
have achieved revenues between 100 millions rupiah per annum to 20 billions rupiah per
annum. Their market spread to Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi)
and Singapore. They have 20 400 employees. They have been implementing QMS for
2 10 years, and the correlation between these implementation with increasing
sales/revenues is and positive very strong ( R avrg = 0.926) whilst the correlation with
defect is strong negative (R avrg = - 0.882)
(keywords: SMEs, QMS implementation)

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian
Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa
krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.
Peranan usaha mikro, kecil dan menengah dalam penciptaan nilai tambah terus
meningkat dari 54,51% pada tahun 2000 menjadi 56,72% pada tahun 2003. Sebaliknya
peranan usaha besar semakin berkurang dari 45,49% pada tahun 2000 menjadi 43,28%
pada tahun 2003. Usaha mikro, kecil dan menengah menyediakan 43,8% kebutuhan
barang dan jasa nasional, sementara usaha besar 42,1% dan impor 14,1%.

Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Usaha mikro dan kecil sebesar 4,1% usaha
menengah tumbuh sebesar 5,1%, sedang usaha besar hanya tumbuh 3,5%.
Pertumbuhan usaha midro, kecil dan menengah telah meningkatkan kontribusi usaha
mikro, kecil, dan menengah untuk pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 2,37% dari
total pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,1%. Usaha mikro, kecil dan menengah
memiliki keunggulan pertumbuhan PDB yang tumbuh masing-masing 5,6%, 4,65%, dan
5,36% pada periode yang sama. Usaha mikro, kecil dan menengah berpotensi besar
mensuplai input pada industri sekunder dan tersier. Sehingga potensial dikembangkan
pada masa mendatang mengingat memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Usaha mikro, kecil dan menengah memberikan lapangan kerja bagi 99,45% tenaga kerja
di Indonesia, dan masih akan menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja pada
masa mendatang. Selama periode 2000-2003, usaha mikro dan kecil telah mampu
memberikan lapangan kerja baru bagi 7,4 juta orang dan usaha menengah mampu
memberikan lapangan kerja baru sebanyak 1,2 juta orang. Pada sisi lain, usaha besar
hanya mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 55.760 orang selama periode
2000-2003. Hal ini merupakan bukti bahwa UMKM merupakan katup pengaman
dinamisator dan stabilisator perekonomian Indonesia.

Mempertimbangkan ekonomi rakyat umumnya berbasis pada sumberdaya ekonomi lokal


dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu diekspor karena keunikannya,
maka pembangunan ekonomi rakyat diyakini akan memperkuat fondasi perekonomian
nasional. Perekonomian Indonesia akan memiliki fundamental yang kuat jika ekonomi
rakyat telah menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing dalam
perekonomian nasional. Untuk itu, pembangunan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan

usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi prioriatas utama pembangunan ekonomi
nasional dalam jangka panjang.

Tabel 1. Rata-rata Struktur PDB Menurut Skala Usaha Tahun 2000-2003


LAPANGAN USAHA
Pertanian,
perikanan,
peternakan,
kehutanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, gas, dan air bersih
Bangunan
Perdagangan, hotel dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan,
persewaan
dan
jasa
perusahaan
Jasa-jasa
PDB
PDB Non Migas

UK
85,74

Rata-rata 2000-2003
UM
UB
Struktur
9,09
5,17
16,89

6,73
15,14
0,52
43,88
76,60
36,69
16,80

2,96
12,98
6,80
22,57
20,81
26,64
46,47

90,3
71,89
92,68
33,55
3,59
36,67
36,73

12,20
25,10
1,73
5,93
16,15
5,50
6,64

35,59
40,55
46,22

7,16
15,22
17,19

57,25
44,24
36,60

9,86
100,00
87,74

Sumber : BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM

Pemberdayaan UMKM khususnya UKM

diharapkan akan meningkatkan stabilitas

ekonomi makro, karena menggunakan bahan baku lokal dan memiliki potensi ekspor,
sehingga akan membantu menstabilkan kurs rupiah dan tingkat inflasi. Pemberdayaan
UKM akan menggerakkan sektor riil, karena UKM umumnya memiliki keterkaitan industri
yang cukup tinggi. UKM diharapkan menjadi tumpuan pengembangan di sektor
perbankan yang kuat dan sehat pada masa mendatang, mengingat non-performing
loannya yang sangat rendah. Pemberdayaan UKM juga akan meningkatkan pencapaian
sasaran di bidang pendidikan, kesehatan, dan 4isbandin kesejahteraan masyarakat
Indonesia lainnya.
Adanya peningkatan lapangan kerja dan pendapatan diharapkan akan membantu
mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis serta
sejahtera. Sulit mewujudkan demokrasi yang sejati, jika terjadi ketimpangan ekonomi di
masyarakat, serta sulit mewujudkan keadilan jika ketimpangan penguasaan sumberdaya
produktif masih sangat nyata. Pemberdayaan UKM merupakan salah satu jawaban
untuk mewujudkan visi Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera.

Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh perusahaan dengan produktivitas yang


rendah, dimana perusahaan dengan produktivitas yang rendah inilah jumlah usaha

mikro dan kecil terkonsentarasi (84,7%). Hal ini mengindikasikan masing rendahnya
produktivitas dan daya saing usaha mikro, kecil dan menengah.

Salah satu jalan untuk dapat meningkatkan persaingan adalah melalui adopsi prinsipprinsip Sistem Manajemen Mutu (SMM). Namun penerapan Sistem Manajemen Mutu
memang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan masih sangat sedikit
UKM yang paham bahkan menerapkan SMM. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
UKM belum mengetahui keuntungan atau manfaat bila menerapkan SMM pada
perusahaannya, Sehngga masalah yang muncul adalah bagaimana pengaruh
penerapan SMM terhadap performa UKM.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik UKM yang telah menerapkan
SMM, serta mengetahui pengaruh penerapan SMM terhadap performa UKM.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Kecil Menengah (UKM)


Definisi atau kriteria yang digunakan untuk usaha kecil dan usaha menengah di
Indonesia sampai saat ini dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi dunia usaha,
serta kurang dapat digunakan sebagai acuan oleh instansi atau institusi lain, sehingga
masing-masing

institusi

menggunakan

definisi

yang

berbeda.

Institusi

yang

menggunakan kriteria berbeda antara lain BPS, Deperindag, dan Bank Indonesia, untuk
itu sedang dilakukan peninjauan ulang terhadap definisi UKM yang dapat digunakan
sebagai acuan utama.

Untuk keperluan penelitian ini maka definisi UKM yang dipakai adalah definisi yang
dikeluarkan oleh Kementrian Koperasi dan UKM, dimana disebtukan bahwa UK (usaha
kecil) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan criteria 1. kekayaan
bersih maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah, atau 2. penjualan tahunan maksimal
Rp 1 milyar, 3. Milik warga Negara Indonesia, 4. berdiri sendiri bukan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha menengah maupun besar.

Sedang UM (usaha menengah) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki criteria
sebagai berikut 1. kekayaan bersih lebih dari Rp 200 juta sampai Rp 10 milyar tidak
termasuk tanah atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik

langsung maupun tidak dengan usaha besar, berbentuk usaha orang perseorangan,
badan usaha tidak berbadan hukum dan atau yang berbadan hukum.

2.2.

Sistem Manajemen Mutu (SMM)

SMM didefinisikan oleh Juran (1993) sebagai filosofi yang bertujuan untuk mencapai
business excellence melalui penggunaan aplikasi dari tool dan teknik sebaik
penggunaan soft aspect dalam manajemen seperti motivasi dalam bekerja. Ide
utamanya adalah mutu terdiri dari 3 proses manajerial yaitu planning, control, dan
improvement.

Crosby (1986) mendefinisikan SMM sebagai cara yang sistematik dalam memastikan
bahwa aktifitas organisasi berjalan sesuai rencana. Ini merupakan konsern disiplin
manajemen dalam mencegah problem melalui penciptaan perilaku proses dan 6ssessm
yang memungkinan pencegahan. Filosofi SMM menurutya ada 5, yaitu

1.

Mutu didefisinisikan sebaga kesesuaian dengan kebutuhan

pelanggan bukan sebagai goodness atau elegance dari suatu produk.


2.

Tidak ditemuai masalah pada mutu.

3.

Selalu lebih murah.

4.

Ukuran performa utama adalah biaya mutu.

5.

Standar performa utama adalah zero defects.

Feigenbaum (1988) menggambarkan SMM dengan karakteristik sebagai berikut :


Mutu adalah proses yang sistematik dan terintegrasi yang mencakup aspek yang lebih
besar bukan hanya tanggung jawab fungsi/departemen teknik.

1. Mutu adalah tanggung jawab setiap orang dalam perusahaan bukan tanggung
jawab seseorang, sehingga mutu adalah terstruktur untuk mensuport kualitas
kerja individual dan teamwork antar departemen.
2. Perbaikan mutu harus meliputi pasar, teknik, dengan penekanan pada
pengembangan, manufaktur, dan terutama pada pelayanan.
3. Mutu harus memenuhi apa yang pembeli inginkan dan butuhkan.
4. Perbaikan mutu memerlukan aplikasi dari teknologi baru.
5. Perbaikan mutu dapat dicapai hanya melalui partisipasi semua orang.

Lima kunci sukses dalam implementasi SMM adalah :


1. Fokus pada kepuasan konsumen
2. Komitmen dari top manajemen dan pimpinan

3. Paham tentang SMM


4. Diimplementasikan secara terus menerus
5. Keterlibatan semua sdm dan perbaikan berkelanjutan
6. Pelatihan dan pendidikan.
2.3. Implementasi SMM pada UKM
Implementasi SMM masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Masih sangat
sedikit UKM yang mengimplementasikan SMM, padahal kenyataannya adalah
perusahaan besar memerlukan keterlibatan pemasok mereka untuk mensupport
implementasi SMM mereka. Sebagian besar pemasok adalah merupakan industri kecil
dan menengah (UKM), sehingga UKM harus proaktif dalam menghadapi kompetisi
global dan harus lebih efisien dan efektif untuk dapat survive dalam lingkungan bisnis.

Salah satu jalan menuju itu adalah dengan mengadopsi prinsip-prinsip SMM.
Implementasi SMM dapat membantu UKM untuk memanfaatkan sumberdaya mereka
secara efektif dan efisien, sehingg lebih fokus pada kebutuhan dan harapan pasar.
Implementasi pada UKM berbeda-beda tergantung dari ukuran, sumberdaya, dan
pengalaman mutu. Tetapi paling tidak ada 2 problem utama yaitu keterbatasan financial
dan sumberdaya teknik. (Lee and Oakes, 1995).

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan yang termasuk dalam kategori menengah
(UKM) dan telah menerapkan salah satu dari SMM di wilayah Tangerang. Pemilihan
wilayah Tangerang dilakukan mengingat Tangerang merupakan salah satu sentra UKM
dalam arti di wilayah ini terdapat berbagai jenis UKM dalam jumlah yang cukup besar.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer
merupakan data tentang karakteristik UKM, dan penerapan SMM UKM, rata-rata tingkat
kecacatan produk (produk cacat) atau rata-rata peningkatan penjualan sebagai ukuran
dalam menilai performa UKM. Data sekunder yang diperlukan merupakan data-data
yang berguna menunjang hasil penelitian ini.
Penelitian ini merupakan studi kasus pada 10 UKM yang telah menerapkan SMM di
wilayah Tangerang. Pengukuran tingkat penerapan SMM di perusahaan adalah sebagai
berikut :

1 = telah menerapkan inspection/self assessment, 2 = telah menerapkan, SPC , 3 =


telah menerapkan 5 S dan 3 M, 4 = telah menerapkan TQC, TQM, 7 tools of Quality,
Kaizen atau Cost of Quality, 5 = telah menerapkan ISO 9000-1994/98, ISO 9001-2000, 6
= telah menerapkan Six Sigma. Variabel performa perusahaan diukur dengan rata-rata
tingkat cacat produk atau rata-rata total penjualan tiap tahun.
Setelah memperoleh gambaran tersebut dilakukan pengujian ada tidak korelasi antara
tingkat penerapan SMM dengan penurunan tingkat cacat produk atau peningkatan
penjualan. Untuk melihat ada tidaknya korelasi antara tingkat penerapan SMM tingkat
penurunan cacat produk atau peningkatan penjualan tiap tahun digunakan uji korelasi
sederhana, yaitu dengan rumus :
nXY - XY
R=

{nX2 (X)2} {nY2-(Y)2}

Arti dari koefisien korelasi r :

1. Bila r => 0,90 < r < 1,00 atau -0,90 < r < -1,00, artinya hubungan sangat kuat.
2. Bila r => 0,70 < r < 0,90 atau -0,70 < r < -0,90, artinya hubungan yang kuat.
3. Bila r => 0,50 < r < 0,70 atau -0,50 < r < -0,70, artinya hubungan yang moderat.
4. Bila r => 0,30 < r < 0,50 atau -0,30 < r < -0,50, artinya hubungan yang lemah.
5. Bila r => 0,00 < r < 0,30 atau -0,00 < r < -0,30, artinya hubungan sangat lemah.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Karakteristik UKM

Gambaran umum UKM dilihat dengan cara memperhatikan beberapa karakteristik


khusus yang ada. Karakteristik UKM yang telah menerapkan SMM dalam penelitian ini
dijelaskan dengn melihat dari sisi jenis industri, total penjualan rata-rata per tahun,
jumlah karyawan tetap dan honorer, wilayah pasar yang telah dijangkau, serta lama
waktu penerapan jenis SMM yang telah dilakukan.
Jenis industri yang digeluti oleh UKM yang telah menerapkan SMM antara lain di bidang
makanan ringan, kardus, perbengkelan, otomotif, dan agribusiness manufacture. Jenis
produk yang dihasilkan/diperdagangkan

diantaranya adalah candy, sweety, sheet,

kardus, spare parts, jasa perbengkelan, AM tube, keju, day old chicken, dan lainlain.Total penjualan rata-rata per tahun dari seluruh sampel UKM yang telah
menerapkan SMM berkisar dari 100 juta rupiah sampai 20 milyar rupiah. Jangkauan

pasar yang dikuasai paling kecil adalah wilayah Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok
Tangerang dan Bekasi) sedangkan wilayah pasar terluas telah melakukan ekspor
sampai ke Singapura.
Jumlah karyawan tetap yang dimiliki tiap UKM berkisar antara 20 sampai 250 orang.
Sedangkan jumlah karyawan honorer dapat mencapai paling banyak 150 orang
meskipun ada beberapa UKM yang tidak memiliki karyawan honorer dan hanya
mengandalkan karyawan tetapnya saja dalam beroperasi. Bila dilihat dari total jumlah
karyawan yang dimiliki, masing-masing UKM rata-rata memiliki total jumlah karyawan
antara 20 sampai 300 orang. Lama penerapan SMM yang berkisar antara 2 sampai 10
tahun, dengan tingkat penerapan dan waktu awal penerapan yang berbeda-beda.
Tabel 2. Karakteristik UKM yang Telah Menerapkan SMM
Karakteristik
Satuan
Jenis Industri
Makanan ringan, kardus kemasan,
perbengkelan, otomotif, agribusiness
manufacture
Total Penjualan rata-rata/tahun
100 juta 10 milyar
Jumlah Karyawan Tetap
20 250 orang
Jumlah Karyawan Honorer
0 150 orang
Wilayah Pasar
Jabodetabek ekspor Singapura
Lama Penerapan SMM
2 10 tahun
4.2. Tingkat Penerapan SMM
Jenis SMM yang diterapkan terdiri dari self assessment, inspection, SPC, 5S, 3M,
Kaizen, Cost of Quality, 7 Tools of Quality, TQC, TQM, ISO 9000, dan Six Sigma.
Berdasarkan evolusi dari pendekatan mutu yang dipakai (berkaitan dengan metode,
waktu ditemukan dan diterapkannya) maka SMM di atas dikelompokkan dan diurutkan
sebagai berikut:

1. Inspection era adalah pendekatan mutu yang hanya mengandalkan penilaian


subjektif dari pembuatnya, dimana penekanannya hanya pada pengukuran,
pengecekan, penyortiran tanpa mencari penyebab dari buruknya mutu produk.
Bentuk aktivitasnya adalah self assessment dan inspection.

2. Statistical Quality Control / Statistical Process Control (SPC) era. Metode ini
ditandai dengan terbitnya buku Economic Control of Quality of Manufactured
Product oleh W.A Sheward pada tahun 1931. Metode ini menganggap bahwa
variasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam proses produksi dan
masih dianggap wajar selama berada pada rentang kendali. (SQC/SPC era
1931). Aktivitasnya adalah SPC dalam bentuk chek sheet dan bagan kendali
mutu.

3. Quality Management era (tahun 1980an). Sebuah era baru dalam manajemen
mutu, dimana mutu produk sudah dipandang sebagai keunggulan kompetitif
perusahaan sehingga perlu perencanaan strategis terhadapnya. Perencanaan
mutu produk yang dibuat sudah berorientasi pada konsumen. Metode yang
digunakan adalah TQC termasuk Kaizen, Cost of Quality, 5S, 3M, 7 tools of
quality dan TQM.

4. Era Standarisasi Mutu (ISO 9000 series 1994/1998, 9001-2000, ISO 12000,
14000,JIS, ). Ditandai dengan semakin meluasnya persyaratan sertifikat ISO
pada sebuah produk untuk memasuki pasar global. Sertifikasi ISO semakin
meluas pada tahun 1990an sampai saat ini.

5. Metode terbaru dalam manajemen mutu yaitu Six Sigma. (Mulai tahun 2000)
Bila dilihat berdasarkan tingkat penerapannya, maka jenis SMM yang paling banyak
digunakan oleh UKM adalah tingkatan ke 4 yang terdiri dari ISO series. Namun bila
dilihat dari lama penerapannya, tingkatan ke 4 ini adalah yang paling baru artinya jenis
SMM ini paling lama baru diterapkan 4 tahun terakhir. Kondisi ini dapat dimengerti
mengingat semakin ketatnya persaingan di pasar dimana sistem manajemen mutu dapat
menjadi salah satu keunggulan kompetitif untuk memasuki/memenangkan pasar
Tingkatan SMM paling banyak digunakan berikutnya adalah tingkat ke 2 yaitu SPC. Bila
dilihat dari lama penerapannya, tingkatan ini merupakan tingkatan SMM yang paling
lama digunakan, artinya jenis SMM ini telah diterapkan selama 14 tahun. Hal ini dapat
dijelaskan karena metode ini dari sisi penerapan adalah paling sederhana namun cukup
akurat sebagai alat pengendali mutu dibanding self assessment.

Jenis SMM yang paling sedikit digunakan adalah cost of quality, TQM, TQC, 7 tools of
quality, dan Keizen. Sedikitnya UKM yang menggunakan jenis SMM ini dikarenakan
tidak mudahnya perusahaan (UKM) memilah-milah dan melakukan penelusuran biaya
mutu. Sedangkan jenis SMM yang belum digunakan oleh UKM adalah six sigma, hal ini
dikarenakan UKM belum memiliki pemahaman yang memadai dan juga karena metode
ini masih relatif baru.
Tabel 3. Tingkat Penerapan SMM oleh UKM
Tingkat Penerapan SMM
% UKM yang
Lama Penerapan
menerapkan
Self Assessment, Inspection
15,4
1 9 tahun
SPC
23,1
3 14 tahun
5 S, 3 M, Cost of Quality, TQC, TQM,
23,0
2 9 tahun
7tools of Quality, Keizen
ISO 9000 series 1994/1998, 9001-2000,
38,5
1 4 tahun

10

ISO 12000, 14000, JIS.


Six Sigma

0,0

Bila dilihat dari banyaknya jenis SMM yang diterapkan oleh setiap UKM, ternyata tidak
selalu satu UKM menerapkan hanya

satu jenis SMM. Sebagian besar (66%) UKM

menerapkan lebih dari satu jenis SMM. Hal ini dikarenakan SMM merupakan sebuah
evoluasi (berkembang secara bertahap), dimana metode SMM yang satu (lama)
berkaitan dengan yang lain (baru) dan saling menyempurnakan.

Tabel 4. Banyaknya Tingkatan SMM yang Diterapkan oleh UKM


Jumlah SMM yang diterapkan/UKM
UKM yang
menerapkan (%)
1
34
2
33
3
33
4
0
5
0

4.3. Hubungan Penerapan SMM dengan Performa UKM


Telah dijelaskan bahwa setiap UKM tidak selalu menerapkan satu macam SMM. Satu
UKM dapat menerapkan lebih dari satu jenis SMM, UKM lain hanya menerapkan satu
jenis SMM dalam kurun waktu beberapa tahun. Untuk melihat pengaruh penerapan
SMM terhadap performa UKM maka penerapan SMM dilihat dari dua sisi. Sisi pertama
bagi perusahaan yang menerapkan lebih dari satu SMM adalah dengan melihat
perbedaan performa menurut perbedaan tingkat penerapan SMM. Sisi kedua bagi
perusahaan yang hanya menerapkan satu jenis SMM adalah dengan melihat perbedaan
performa setiap tahunnya. Disamping itu, karena adanya keterbatasan data yang
diperoleh maka performa perusahaan hanya dilihat dari tingkat penjualan per tahun dan
tingkat defect produk tiap tahun.

Tabel 5. Hubungan Antara Penerapan SMM dengan Penjualan/Tahun


Responden
R
R2 (%)
UKM 1
0.923
85.2
UKM 2
0.999
99.0
UKM 3
0.996
99.2
UKM 4
0.900
79.6
UKM 5
0.975
95.0
UKM 6
0.973
94.0
UKM 7
0.984
96.9
Rata-rata
0,964
92.7

11

Nilai R menunjukkan hubungan antara penerapan SMM dengan penjualan yang


diperoleh UKM per tahun. Hubungan antara penerapan SMM dengan besarnya
penjualan per tahun positif sangat kuat, artinya makin tinggi tingkat penerapan SMM
atau makin lama penerapan SMM yang dilakukan UKM akan semakin meningkatkan
total penjualan rata-rata per tahun. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R sebesar 0,964
(lihat tabel 5). Artinya makin tinggi tingkat atau makin lama penerapan SMM yang
dilakukan UKM akan semakin meningkatkan total penjualan rata-rata per tahun. Variasi
performa UKM yang ditunjukkan dengan variasi naik turunnya penjualan rata-rata per
tahun 92,7% dapat dijelaskan oleh variasi penerapan SMM. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai R2 sebesar 92,7%.

Sedangkan hubungan antara penerapan SMM dengan besarnya angka defect rata-rata
per tahun ditunjukkan oleh tabel 6 berikut. Pada tabel tersebut terlihat nilai R sebesar
-0,882 yang menunjukkan adanya hubungan yang negatif kuat antara tingkat penerapan
SMM dengan penurunan angka defect. Artinya makin tinggi tingkat atau makin lama
penerapan SMM yang dilakukan UKM akan semakin menurunkan defect rata-rata per
tahun. Sedangkan variasi tingkat defect per tahun 78,16% dapat dijelaskan oleh variasi
penerapan SMM, yang ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar78,16%.

Tabel 6. Hubungan Antara Penerapan SMM dengan Defect/Tahun


Responden
R
R2 (%)
UKM 8
-0,813
66,1
UKM 9
-0,929
86,3
UKM 10
-0,906
82.1
Rata-rata
-0,882
78,16
Bila dilihat lebih jauh yaitu dengan membandingkan dua nilai R di atas, terlihat bahwa
penerapan SMM lebih kuat pengaruhnya pada peningkatan penjualan dibandingkan
dengan penurunan defect. Hal ini dimungkinkan karena penerapan SMM lebih
berpengaruh pada pasar dibanding perbaikan proses manajemen di dalam UKM sendiri.
Artinya produk yang dihasilkan oleh UKM yang telah menerapkan SMM menjadi
pertimbangan yang sangat kuat bagi konsumen, meskipun penerapan SMM ini juga
berpengaruh pada peningkatan efektifitas dan efisiensi UKM itu sendiri.

Dari pembahasan di atas jelas terdapat hubungan yang kuat antara penerapan SMM
dengan peningkatan rata-rata penjualan per tahun atau penurunan rata-rata defect per
tahun pada UKM yang menerapkan SMM. Hal ini membuktikan bahwa penerapan SMM
sangat membantu UKM dalam memanfaatkan kelangkaan sumberdaya secara efektif

12

dan efisien untuk lebih fokus pada pemenuhan kepuasan dan harapan pelanggan, dan
pada akhirnya dapat menjalankan proses bisnis yang lebih efisien dan efektif dengan
menghasilkan produk atau jasa bermutu tinggi dengan biaya murah.

5. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan

1. Jenis industri yang digeluti oleh UKM yang telah menerapkan SMM adalah
makanan ringan, kardus, perbengkelan, otomotif, dan agribusiness manufacture.
2. UKM yang telah menerapkan SMM rata-rata memiliki total penjualan per tahun
100 juta rupiah sampai 20 milyar rupiah, dengan jangkauan pasar yang dikuasai
paling kecil adalah wilayah Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang dan
Bekasi) dan terluas telah melakukan ekspor sampai ke Singapura.
3. Jumlah karyawan tetap yang dimiliki tiap UKM berkisar antara 20 sampai 250
orang, dan karyawan honorer mencapai paling banyak 150 orang.
4. Lama penerapan SMM yang telah dilakukan berkisar antara 2 sampai 10 tahun,

5. Hubungan antara penerapan SMM dengan peningkatan rata-rata penjualan total


per tahun positif dan sangat kuat ( R rata-rata = 0.926) , dan hubungan antara
penerapan SMM dengan penurunan rata-rata tingkat defect per tahun negatif
kuat ( R rata-rata = - 0.882)

5.2. Saran
1. Dari Kesimpulan di atas, terlihat adanya hubungan yang kuat antara penerpan
SMM dengan peningkatan performa UKM sehingga program pemberdayaan
UKM agar memiliki keunggulan kompetitif elalui penerapn SMM, dapat
dipertimbangkan untuk diterapkan pada UKM yang lain secara selektif.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan membagi UKM berdasar jenis industri
untuk melihat ada tidaknya perbedaan efektifitas penerapan SMM pada jenis
industri yang berbeda.

6. DAFTAR PUSTAKA
Boediono, Koetoer., Wayan..Statistika dan Probabilitas, PT Remaja Rosda Karya
Bandung, (2004)

Crosby, P.B., (1980), Quality is Free The Art of Making Quality Certain, MacGraw Hill
Book Company, New York

13

Deming, W.E., (1986), Quality, Productivity, and Competitive Position, MIT Press.

Feigenbaum, AV (1988), Total Quality Development in the 1990s An international


perspective in Chase, R.I(ed), Total Quality Management : An IFS Briefing, IFS
Publication, pp 3-9

Ghobadian,A., Gallear, D.N., (1997), TQM and Organizational Size, International Journal
of Operation and Production Management, vol.17 No.2., pp 121-163

Heizer, and Render, (2003) Operation Management, Prentice Hall, New York.
Juran, J.M., Gyrna, F.M., (1993), Quality Planning and Analysis, (3rd ed) MacGraw Hill
Book Company, Singapore.

Lee, G.L., Oakes, L, (1995), The pros and cons of total quality management for small
firms in manufacturing: some experience down the supply chain, total quality
Management, Vol. 6 No 4, pp. 413-426.

Supranto, J., Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan uhtuk Menaikkan Pangsa


Pasar, Rineka Cipta, 2001

www.depkop.co.id.

14

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................... ..........................................................

.
DAFTAR ISI ........................................ ..........................................................

ii

.
ABSTRAK ........................................... ..........................................................

iii

PENDAHULUAN ................................

.
..........................................................

A. Latar Belakang ...............................

.
..........................................................

B. Perumusan Masalah ......................

.
..........................................................

C. Tujuan Penelitian ...........................

.
..........................................................

TINJAUAN PUSTAKA .......................

.
..........................................................

A. Usaha Kecil Menengah .................

.
..........................................................

B. Sistem Manajemen Mutu ..............

.
..........................................................

C. Implementasi SMM .......................

.
..........................................................

III

METODE PENELITIAN ......................

.
..........................................................

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN .............

.
..........................................................

10

A. Karakteristik UKM ..........................

.
..........................................................

10

B. Penerapan SMM pada UKM ..........

.
..........................................................

11

II

.
C. Hubungan Penerapan SMM
dengan Performa UKM

..........................................................

13

KESIMPULAN ..

.
..........................................................

15

VI

DAFTAR PUSTAKA .

.
..........................................................

16

15

16

You might also like