You are on page 1of 80

STUDI PEMANFAATAN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb) DALAM PROSES

PEWARNAAN KAIN MORI

SKRIPSI

Hanna Rina Pransiska


F 34070065

2011
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
STUDY OF GAMBIER (Uncaria gambier Roxb) UTILIZATION ON THE COLORATION OF
MORI BATIK CLOTHES

Gumbira Said, E., Suparno, O., Pransiska, H.R.


Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural
University, Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia.
Phone 62 852 13230687, e-mail : napitupuluhanna@yahoo.com

ABSTRACT

Gambier is an extract of leaves and branches of gambier plant (Uncaria gambier Roxb).
Gambier is one of Indonesia export commodities mostly produced in Sumatera island. Indonesia
plays role as the worlds largest gambier exporter. In Indonesia, gambier utilized traditionally as
leather tanning material, ingredient of traditional medicine, rust omission, etc. Chemical components
of gambier mostly utilized are catechin and tannin. Technology of gambier processing that existed in
Indonesia is still low in capacity, so the processing of gambier is mostly done traditionally. This kind
of processing resulted on low quality and lack of economical value products of gambier. Therefore,
development of processing method and wide utilization of Gambier in industry are needed to increase
gambier added value. Tannin and catechin on gambier also can be utilized as colouring agent in textile
industry to gain reddish brown colour on batik clothes that will be endure on intense sunlight
exposure.
Textile industries in Indonesia, especially batik industries, are now developing rapidly where
the trend of batik clothes on every occasion is becoming common interest. On technological side, in
general the batik industrialists have not done any development on their production sytem and method,
so they could be more productive and produce uniformity of product quality. Utilization of natural
colouring agent is also not becoming a consideration of most batik industrialists in the environmental
issue that is now being widely concerned.
This study was aimed at giving added value on crude gambier as a natural colouring agent. In
this study, extract of secang (Caesalpinia sappan) and turmeric (Curcuma longa) were also used to
get different colour variations from gambier as natural colouring agent, and also to find out the best
product formulation for Mori batik clothes colourization.
The preliminary study showed that characteristics of gambier were water content of 13,89%,
ash content of 3,69%, catechin content of 42,5%, water unsolubles content of 11,46%, and alcohol
unsoluble content of 11,63%. The shape of gambier utilized in this study were mostly pieces with
brownish black colour. From the result of this study of asalan Gambier, it can be concluded that it was
not fulfilled the 1st and 2nd requirement of Indonesia National Standard.
The main study aimed to find out the influence of colouring solutions concentration on colour
resulted on clothes and the best colouring agent formulation with the fastness resistance to washery,
ironing, and sweat. The main colouring solution used were gambier solution of 10%, secang solution
of 10%, and turmeric solution of 10% formulated on 100% : 0%, 75% : 25%, 50% : 50%, 25% : 75%,
dan 0% : 100% ratio to colour Mori Batik clothes. Result of clothes immersion are diverse colour
variation showed from the measuring of colour brightness (L), colour sharpness (C) and hue degree.
Variance analysis showed that ratio of colouring solution concentration gave significant effects on
brightness value (L).
Analysis done to determine the best colouring product formulation were fastness resistance test
on washering, ironing, and sweat. From the fastness resistance test on washering, colouring solution
with gambier 100%, secang 100%, and turmeric 100% concentration have the best resistance on
washering. From the variance analysis, it was discovered that solution concentration treatment did not
give significant different on fastness resistance of washery on Grey Scale. Fastness resistance test on
ironing showed that colouring solution concentration of gambier 100%, secang 100%, gambier 75% :
secang 25%, and turmeric 100% has the best resistance on ironing showed by the lowest value of
colour alteration. Variance analysis showed that ratio of gambier and secang concentration did not
give significant difference of ironing fastness resistance. On the other hand, treatment of gambier and
turmeric concentration ratio gives significant different on ironing fastness resistance.
From fastness resistance test ofsweat on pH 8,8, it was discovered that colour solution of
gambier 100%, gambier 75% : turmeric 25%, and gambier 25% turmeric 75% concentration gave the
best fastness resistance of sweat. Variance analysis on gambier : secang colouring agent
concentration treatment showed that gambier : secang colouring concentration gave significant
different on sweat fastness resistance, while gambier : kunyit colouring concentration treatment did
not give significant effects on sweat fastness resistance.
Gambier 100%, secang 100%, and turmeric 100% concentration gave the best fastness
resistance of washery, gambier 100%, secang 100%, gambier 75% : secang 25%, and turmeric 100%
gave the best fastness resistance of ironing, turmeric 25%, and gambier 25% : turmeric 75%
concentration gave the best fastness resistance of sweat. Suggestions that can be given are, for the
following study different kinds of natural colouring materials can be applied to get various colours, on
the other hand usage of different fixation agent or mordant, and also different kind of clothes may be
used in the colouring process.

Key words: gambier, secang, turmeric, Mori clothes, colouring, natural dyes
HANNA RINA PRANSISKA. F34070065. Studi Pemanfaatan Gambir (Uncaria gambir Roxb) dalam Proses
Pewarnaan Kain Mori. Di bawah bimbingan E. Gumbira Said dan Ono Suparno. 2011.

RINGKASAN

Gambir merupakan hasil ekstrak daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb). Gambir merupakan
salah satu komoditas ekspor Indonesia yang paling banyak dihasilkan dari kepulauan Sumatera. Indonesia masih
memegang peranan sebagai eksportir gambir terbesar dunia. Gambir juga telah dimanfaatkan di Indonesia sejak
dahulu sebagai campuran makan sirih yang dapat menguatkan gusi. Gambir yang digunakan dalam campuran makan
sirih merupakan olahan berbentuk tepung yang pada awalnya terasa pahit di mulut, tetapi kemudian terasa enak dan
agak manis. Selain itu, gambir juga dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan penyamak kulit, ramuan obat
tradisional, penghilang karat, dan sebagainya.
Kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan ialah katekin dan tanin. Namun teknologi
pengolahan gambir yang ada di Indonesia masih rendah kapasitasnya, sehingga pengolahan gambir banyak
dilakukan secara tradisional yang menyebabkan mutu dan nilai ekonomi gambir juga menjadi rendah. Oleh karena
itu, diperlukan upaya pengembangan pengolahan dan pemanfaatan gambir secara luas dalam bidang industri untuk
meningkatkan nilai tambahnya. Tanin dan katekin dalam gambir juga dapat digunakan sebagai pewarna pada
industri tekstil sebagai bahan pembantu untuk mendapatkan warna coklat kemerah-merahan pada kain batik yang
tahan terhadap terik matahari.
Industri tekstil di Indonesia, khususnya industri batik, sedang berkembang pesat, karena tren pakaian batik
sedang diminati oleh semua kalangan. Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan
perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutu yang seragam untuk setiap lembar kain batik
yang dihasilkan. Pemakaian zat warna alam juga belum mendapat perhatian dari sebagian besar pengusaha batik
ditengah isu lingkungan yang berkembang sekarang.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan nilai tambah gambir asalan sebagai zat pewarna alami. Dalam
penelitian juga digunakan ekstrak secang dan kunyit untuk mendapatkan variasi warna yang banyak dari gambir
sebagai pewarna alami, serta mendapatkan formulasi produk terbaik sebagai pewarna kain batik mori.
Hasil penelitian pendahuluan diperoleh karekteristik gambir dengan kadar air sebesar 13,89%, kadar abu 3,69%,
kadar katekin 42,5%, kadar bahan tidak larut air 11,46%, dan kadar bahan tidak larut alkohol sebesar 11,63%.
Bentuk gambir yang digunakan sebagian bentuknya tidak utuh dengan warna hitam kecoklatan. Berdasarkan hasil
uji tersebut gambir asalan yang digunakan tidak memenuhi syarat mutu Standar Nasional Indonesia.
Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan pewarna terhadap warna yang
dihasilkan pada kain dan formulasi terbaik pewarna terhadap daya tahan luntur pencucian, gosokan, dan keringat.
Larutan pewarna utama yang digunakan adalah larutan gambir 10%, larutan secang 10%, dan larutan kunyit 10%
yang diformulasi dengan perbandingan 100% : 0%, 75% : 25%, 50% : 50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% untuk
mewarnai kain batik mori. Hasil pencelupan kain memperoleh variasi warna beragam yang ditunjukkan dari hasil
pengukuran kecerahan warna (L), ketajaman warna (C), dan derajat hue. Hasil analisis keragaman diperoleh
perlakuan perbandingan konsentrasi larutan pewarna memberikan perbedaan nyata pada nilai kecerahan (L).
Analisis yang dilakukan untuk menentukan formulasi produk pewarna terbaik adalah pengujian ketahanan
luntur warna terhadap pencucian, ketahanan luntur warna terhadap gosokan, dan ketahanan luntur warna terhadap
keringat. Dari hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian diperoleh larutan warna dengan
konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100% memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian yang
terbaik. Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa perlakuan konsentrasi larutan pewarna tidak memberikan
perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada skala abu-abu (Grey Scale). Pengujian
ketahanan luntur warna terhadap gosokan menunjukkan bahwa konsentrasi larutan pewarna gambir 100%, secang
100%, gambir 75% : secang 25%, dan kunyit 100% memiliki nilai ketahanan luntur terhadap gosokan terbaik
dengan nilai perubahan warna terkecil. Hasil analisis keragaman menyimpulkan perbandingan konsentrasi gambir
dan secang tidak memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur gosokan, namun perlakuan konsentrasi
gambir dan kunyit memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur gosokan.
Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap keringat pada pH 8,8 diperoleh larutan warna dengan
konsentrasi gambir 100%, gambir 75% : kunyit 25%, dan gambir 25% : kunyit 75% memiliki nilai ketahanan luntur
keringat terbaik. Hasil analisis keragaman menunjukkan perlakuan konsentrasi pewarna gambir : secang
memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur keringat, sedangkan perlakuan konsentrasi gambir : kunyit
tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap ketahanan luntur warna terhadap keringat.
Konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100% memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian yang
terbaik, gambir 100%, secang 100%, gambir 75% : secang 25%, dan kunyit 100% memiliki nilai ketahanan luntur
terhadap gosokan terbaik, dan gambir 100%, gambir 75% : kunyit 25%, dan gambir 25% : kunyti 75% memiliki
nilai ketahanan luntur keringat terbaik. Saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya adalah diperlukan
penggunaan berbagai jenis bahan pewarna alami yang lebih banyak untuk menghasilkan varian warna yang lebih
beragam, penggunaan zat fiksasi atau mordan yang beragam, dan juga jenis kain yang digunakan dalam pewarnaan.

Kata kunci : gambir, secang, kunyit, pewarnaan, kain mori, pewarna alami
STUDI PEMANFAATAN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb) DALAM PROSES
PEWARNAAN KAIN MORI

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Hanna Rina Pransiska
F 34070065

2011
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Studi Pemanfaatan Gambir (Uncaria gambir Roxb) dalam Proses Pewarnaan
Kain Mori
Nama : Hanna Rina Pransiska
NIM : F34070065

Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. H.E. Gumbira Said, MA.Dev Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T.
NIP. 19550521197903 1 002 NIP. 19721203199702 1 001

Mengetahui :
Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti


NIP. 19621009 198903 2 001

Tanggal lulus :
HALAMAN PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Studi Pemanfaatan
Gambir (Uncaria gambir Roxb) dalam Proses Pewarnaan Kain Mori adalah hasil karya
saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya.

Bogor, Juli 2011


Yang membuat Pernyataan,

Hanna Rina Pransiska


NRP. F34070065
Hak cipta milik Hanna Rina Pransiska, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seleruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto kopi,
mikrofilm dan sebagainya.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Duri pada tanggal 28 April 1989. Penulis adalah pertama dari
empat bersaudara dari ayahanda Wilmard Napitupulu dan ibunda Sinur Nababan. Pada
tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Budi Mulia Bogor.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Negeri 4 Bogor pada
tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 5 Bogor dan
lulus pada tahun 2007.

Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor


tahun 2007 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten pada mata kuliah Bioproses periode
2010/2011 serta pada mata kuliah Teknologi Penyimpanan dan Penggudangan periode 2010/2011. Penulis juga aktif
dalam organisasi kemahasiswaan dengan menjadi Pengurus PMK pada periode kepengurusan tahun 2009/2010
sebagai komisi pelayanan anak divisi pengajaran panti asuhan.

Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2010 dengan topik Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan
Mutu Bioetanol pada Produk Bioetanol di PT. Madu Baru PS. Madukismo Yogyakarta. Untuk menyelesaikan
tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul Studi Pemanfaatan Gambir
dalam Proses Pewarnaan Kain Mori.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan
penyusunan skripsi. Skripsi ini tidak akan berarti tanpa bantuan, arahan, bimbingan, dorongan motivasi
dan doa dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira Said, MA.Dev selaku pembimbing akademik I atas segala
bantuan, bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya
laporan ini.
2. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T selaku pembimbing akademik II atas segala bantuan,
bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini.
3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayunigsih, M.Si. selaku dosen penguji atas segala kritik dan sarannya
yang sangat berguna untuk perbaikan laporan ini, dan kepada panitia seminar yang juga
memberikan masukkan untuk penulisan laporan ini.
4. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan motivasi, inspirasi dan bantuannya kepada
penulis.
5. Ketua Departemen TIN yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mendapatkan
bantuan dana penelitian.
6. Ibu Egnawati, Bapak Gunawan, dan para teknisi laboratorium TIN yang telah membantu
penulis selama penelitian.
7. Teman-teman TIN angkatan 44 yang senantiasa memberi semangat dan dukungan kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini kemungkinan masih memiliki kekurangan sehingga
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang
membacanya.

Bogor, Juli 2011

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Tujuan ................................................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambir .............................................................................................................................. 3
B. Kandungan Kimia Gambir................................................................................................ 4
C. Kayu secang....................................................................................................................... 6
D. Kunyit ............................................................................................................................... 8
E. Zat Warna Alam ................................................................................................................ 10
F. Serat Kapas ........................................................................................................................ 11
G. Pencelupan Kain Kapas .................................................................................................... 12
H. Pengukuran Warna ............................................................................................................ 14
III.METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan .................................................................................................................. 16
B. Tata Laksana Penelitian .................................................................................................... 16
C. Rancangan Percobaan ....................................................................................................... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Bahan Baku......................................................................................................... 26
B. Penelitian Utama
1. Penentuan Konsentrasi Larutan Pewarna untuk Pewarna Kain .................................. 27
2. Ketahanan Lunutr Warna Terhadap Pencucian ........................................................... 34
3. Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan.............................................................. 38
4. Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat .............................................................. 39
5. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori .................................................................. 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 43
B. Saran................................................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 44
LAMPIRAN ........................................................................................................................... 46

ii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009 ...................................................... 3
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Gambir Tipe Udang, Cibadak,
dan Riau ....................................................................................................... 4
Tabel 3. Komponen-Komponen yang Terkandung dalam Gambir ........................... 5
Tabel 4. Kadungan Zat Kimia Rimpang Kunyit Pada Daerah
yang Berbeda ............................................................................................... 10
Tabel 5. Komposisi Kimia Serat Kapas ..................................................................... 12
Tabel 6. Interpretasi Warna Hue Pada Bola Imajiner Munsell .................................. 15
Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir AsalanSebagai Bahan
Baku Penelitian ............................................................................................ 26
Tabel 8. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam bola imajiner Munsell
pada Kain Hasil Pewarnaan ........................................................................ 31
Tabel 9. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam Bola Imajiner Munsell
pada Kain Hasil Pewarnaan ......................................................................... 33
Tabel 10. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori ................................................. 41

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Penampakan Contoh Tanaman Gambir .................................................... 3
Gambar 2. Beragam Jenis Gambir .............................................................................. 4
Gambar 3. Penampakan Tanaman Secang ................................................................. 7
Gambar 4. Struktur Kimia Brazilin dan Brazilein ...................................................... 8
Gambar 5. Penampakan Tanaman Kunyit .................................................................. 9
Gambar 6. Sturktur Kimia Selulosa ............................................................................ 11
Gambar 7. Diagram Alir Tata Laksana Penelitian ..................................................... 17
Gambar 8. Penampakan Gambir Asalan yang Digunakan dan Larutan Warna
yang Dihasilkan ........................................................................................ 20
Gambar 9. Penampakan Secang yang Digunakan dan Larutan Warna
yang Dihasilkan ........................................................................................ 20
Gambar 10. Penampakan Kunyit yang Digunakan dan Larutan Warna
yang Dihasilkan ........................................................................................ 21
Gambar 11. Penampakan Alat pH meter Merk Beckman ........................................... 21
Gambar 12. Proses Pengujian Viskositas Larutan Warna dengan Menggunakan
Viscometer Brookfield ........................................................................... 22
Gambar 13. Penampakan Kain Mori Putih yang Digunakan dalam
Pewarnaan ............................................................................................... 22
Gambar 14. Proses Pewarnaan Kain Mori .................................................................. 23
Gambar 15. Nilai pH Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan
Gambir:Secang dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi ............................. 28
Gambar 16. Nilai Viskositas Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan
Gambir:Secang dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi ............................. 28
Gambar 17. Diagram Nilai L dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi
Perbandingan Gambir dengan Secang yang Bervariasi .......................... 30
Gambar 18. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan .............................................. 30
Gamabr 19. Diagram Nilai L dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi
Perbandingan Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi .......................... 32
Gambar 20. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan ............................................. 34
Gambar 21. Bola Imajiner Munsell ........................................................................... 34
Gamabr 22. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Secang
dengan Skala Abu-abu ............................................................................ 35
Gambar 23. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Kunyit
dengan Skala Abu-abu ............................................................................ 35

iv
Halaman
Gambar 24. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna
dengan Nilai Skala Penodaan Kain ......................................................... 37
Gambar 25. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna
dengan Nilai Skala Penodaan Poliester ................................................... 37
Gambar 26. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna
terhadap Ketahanan Luntur Gosokan ...................................................... 38
Gambar 27. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna
terhadap Ketahanan Luntur Keringat ...................................................... 39
Gambar 28. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisa
Ketahanan Luntur Warna Pada Perbandingan Konsentrasi Gambir
dengan Secang yang Bervariasi .............................................................. 40
Gambar 29. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisa Ketahanan
Luntur Warna Pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit
yang Bervariasi ....................................................................................... 41

v
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Nilai Tahan Luntur Warna .................................................................................... 47
Lampiran 2. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
pH Larutan Warna ............................................................................................... 48
Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Nilai Viskositas Larutan Warna .......................................................................... 50
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Kain Hasil Pencelupan ......................................................................................... 52
Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
Kain Hasil Pencelupan ........................................................................................ 54
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian
Larutan Warna Gambir : Secang ....................................................................... 56
Lampiran 7. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian
Larutan Warna Gambir : Kunyit ........................................................................ 58
Lampiran 8. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan ......................... 60
Lampiran 9. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat ......................... 62

vi
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gambir merupakan hasil ekstrak daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb).
Gambir merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang paling banyak dihasilkan dari
kepulauan Sumatera. Sampai saat ini Indonesia masih memegang peranan sebagai eksportir gambir
terbesar dunia.
Gambir juga telah dimanfaatkan di Indonesia sejak dahulu sebagai campuran makan sirih
yang dapat menguatkan gusi. Menurut Heyne (1987), gambir yang digunakan dalam campuran makan
sirih merupakan olahan berbentuk tepung, pada awalnya terasa pahit di mulut tetapi kemudian terasa
enak dan agak manis. Selain itu, gambir juga dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan
penyamak kulit, ramuan obat tradisional, penghilang karat, dan sebagainya.
Kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan ialah katekin dan tanin. Namun
teknologi pengolahan gambir yang ada di Indonesia masih rendah kapasitasnya sehingga pengolahan
gambir banyak dilakukan secara tradisional, yang menyebabkan mutu dan nilai ekonomi gambir juga
menjadi rendah. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan pengolahan dan pemanfaatan
gambir secara luas dalam bidang industri untuk memberikan nilai tambah gambir.
Industri tekstil di Indonesia, khususnya industri batik, sedang berkembang pesat karena tren
pakaian batik sedang diminati oleh semua kalangan. Batik pada zaman dahulu merupakan pakaian
resmi kesultanan yang digunakan pada acara-acara kerajaan saja. Namun sekarang batik telah
berkembang dan telah menjadi warisan bangsa nonbenda yang diakui UNESCO. Deklarasi tersebut
ternyata mampu membangkitkan semangat mengenakan batik di masyarakat Indonesia. Batik tidak
hanya digemari di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Meningkatnya peminat batik merupakan
tantangan untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Nilai ekspor batik
Indonesia dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009
Tahun Nilai Ekspor (Juta US $)
2004 34,41
2005 12,46
2006 14,27
2007 20,89
2008 32,28
2009 125,86
Sumber: Departemen Perdagangan (2010)
Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan
sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutu yang seragam untuk setiap lembar kain batik
yang dihasilkan. Penggunaan zat warna alam juga belum mendapat perhatian dari sebagian besar
penguasaha batik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan zat warna alami yang berbahan
baku gambir dan diberi zat pigmen tambahan dari kayu secang dan kunyit untuk mendapatkan variasi
warna yang banyak dan juga untuk memperoleh ketahanan luntur yang baik.
Industri batik umumnya menggunakan pewarna sintetik dalam proses pewarnaan kain batik.
Tahun 1856, William Henry Parkin, seperti dikutip Djufri (1976), menemukan zat warna sintetik
yang dapat digunakan untuk pewarnaan tekstil, baik yang berupa serat alam maupun serat sintetik. Zat
warna sintetik tersebut lebih baik dibanding zat warna alami karena komposisinya tetap, pilihan warna
lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaannya lebih cerah, tersedia untuk
semua jenis serat dan umumnya mempunyai ketahanan luntur yang baik.

1
Namun demikian, zat warna sintetik tersebut juga mempunyai kekurangan dibalik kelebihan-
kelebihannya, antara lain harganya relatif mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan karena
pada proses pewarnaan dan penyempurnaan menggunakan zat kimia yang dapat meracuni lingkungan
seperti asam sulfat, asam klorida, krom, tembaga, seng dan kostik soda yang dapat menyebabkan
penyakit, seperti kanker kulit dan kerusakan otak manusia (Cahyadi, 2006). Dampak yang
ditimbulkan oleh zat warna sintetik membuat pengrajin tekstil mulai kembali menggunakan zat warna
alam yang tidak dapat ditiru oleh zat warna sintetik. Proses pewarnaan alam juga menghasilkan
limbah cair yang tidak beracun dan limbah padat yang dihasilkan juga dapat digunakan sebagai
kompos, sehingga potensinya untuk mencemari lingkungan dan penyebab penyakit pada manusia
dapat dihindari. Penggunaan zat warna alam lebih murah daripada zat warna sintetik karena bahan
bakunya mudah diperoleh di Indonesia dan proses ekstraksi juga dapat dilakukan dengan mudah, yaitu
dengan pelarut air (Downham dan Collins, 2000) .
Tanin dan katekin dalam gambir juga dapat digunakan sebagai pewarna pada industri tekstil
sebagai bahan pembantu untuk mendapatkan warna coklat kemerah-merahan pada kain batik yang
tahan terhadap terik matahari. Kayu secang mengandung pigmen merah alami yang disebut brazilein.
Warna merah tajam dari pigmen brazilein hanya didapatkan pada larutan secang dengan pH 5,7 7,
sehingga untuk mendapatkan spektrum warna merah pada pH dengan rentang yang lebih lebar dapat
dilakukan pencampuran atau kopigmentasi (Adawiyah, 2003). Kunyit memiliki komponen utama
kurkuminoid yang merupakan komponen zat pigmen yang memberikan warna kuning tua (orange)
pada kunyit (Rukmana, 1994).

B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan nilai tambah gambir asalan sebagai zat pewarna alami

2. Mendapatkan variasi warna dari gambir dengan penambahan zat warna dari kayu secang dan kunyit

3. Mendapatkan formulasi produk yang terbaik sebagai bahan pencelup untuk kain mori.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambir
Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) termasuk suku kopi-kopian (Rubiaceae). Tanaman
gambir termasuk jenis tanaman perdu yang memiliki batang berkayu dan apabila dibiarkan akan
tumbuh menjalar dan melingkar. Tanaman gambir dapat tumbuh di kawasan hutan dengan
ketinggian 100-800 meter di atas permukaan laut. Tanaman gambir tumbuh baik di daerah yang
memiliki curah hujan rata sepanjang tahun, mendapat cukup matahari, dan juga dapat tumbuh di
daerah tebing dengan pengairan yang baik. Tanaman gambir dapat tumbuh hampir di semua jenis
tanah dengan pH 4,8 5,5 (Hadad et al., 2007). Pada Gambar 1 diperlihatkan contoh tanaman
gambir.

Gambar 1. Penampakan Contoh Tanaman Gambir


Menurut Nuryeti et al. (1995), tanaman gambir tumbuh dengan baik pada daerah katulistiwa
dengan curah hujan 2500-3000 mm per tahun seperti di Kepulauan Riau, pantai timur Sumatera,
Indragiri, Bangka, Sumatra Barat, dan Kalimantan Barat. Tanaman gambir varietas unggul yang
terdapat di Sumatera Barat terdiri dari gambir tipe Udang, Cubadak, dan Riau. Ketiga jenis gambir
menunjukkan perbedaan karakteristik morfologi pada masing-masing genotipe yang menonjol.
Perbedaan yang paling menonjol terdapat pada warna pucuk daun, warna ranting, warna bunga,
dan warna buah. Perbedaan karakteristik gambir tipe Udang, Cubadak, dan Riau dapat dilihat pada
Tabel 2.

3
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Gambir Tipe Udang, Cubadak, dan Riau
Tipe
Parameter
Udang Cubadak Riau
Panjang daun (cm) 11-17 11-14 10-14
Lebar daun (cm) 7-10 6-8 5-8
Jumlah daun per ranting (lembar) 10-18 6-16 10-24
Jumlah ranting per cabang (buah) 5-9 4-8 6-11
Diameter batang (cm) 1,0-1,6 1,0-1,6 1,0-1,6
Diameter ranting (cm) 0,5-0,7 0,5-0,7 0,5-0,7
Bobot getah kering per ha (kg) 750-1200 630 50-950
Warna daun Hijau Hijau Hijau
kemerahan
Warna pucuk Hijau Hijau Hijau
kemerahan kemerahan kemerahan
Sumber : Denian et al. (2004) dalam Gumbira Said et al. (2009b)

Tanaman gambir dapat diandalkan sebagai investasi jangka panjang karena dianggap tidak
mempunyai musuh alam. Tanaman gambir memiliki nilai ekonomi dibagian batang dan daunnya
(Amos et al., 2004). Getah atau ekstrak daun dan ranting tanaman gambir yang telah dikeringkan
merupakan produk yang dikenal sebagai gambir asalan, nama dagangnya ialah gambier, cutch,
catechu atau pale catechu (Gumbira-Said et al., 2009b). Gambir yang diproduksi di Indonesia
berdasarkan perbedaan bentuk terdiri dari gambir Bootch, gambir lumpang, gambir coin, gambir
stik, gambir medan, dan gambir wafer blok. Pada Gambar 2 dapat dilihat penampakan berbagai
macam gambir diatas.

Gambar 2. Beragam Jenis Gambir


a. Gambir stick; b. Gambir coin; c. Gambir bootch; d. Gambir dairi; e.
Gambir lumpang; f. Gambir wafer block
(Gumbira-Said et al., 2009)

B. Kandungan Kimia Gambir


Ekstrak gambir memiliki beberapa komponen yaitu katekin, tanin, quersetin, katekin merah,
gambir floursein, abu, lemak dan lilin (malam). Kandungan utama gambir berupa katekin 7-13%
dan tanin 20-55% (Thorpe & Whiteley (1921) dalam Gumbira-Said et al. (2009b)). Katekin yang
berasal dari gambir mempunyai rumus C15H6O6 4 H2O dengan titik cair pada suhu 175-177oC.

4
Rendemen mutu gambir tidak hanya dipengaruhi oleh proses pengempaan tetapi juga
dipengaruhi oleh kondisi bahan baku. Menurut Burkill (1935), daun gambir muda mempunyai
kandungan catechin yang lebih tinggi dengan daun tua. Hal ini didukung oleh penelitian Risfaheri
dan Yanti (1993) yang menunjukkan bahwa daun muda menghasilkan rendemen katekin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua. Disebutkan pula daun gambir yang ditunda
pengolahannya selama dua hari akan menurunkan kadar catechin dan rendemennya. Penguapan
pada suhu rendah menghasilkan gambir dengan warna yang lebih baik (Eaton dan Bishop, 1926).
Tabel 3 memperlihatkan komponen-komponen yang terkandung dalam gambir.
Tabel 3. Komponen-Komponen yang Terkandung dalam Gambir
Nama komponen Jumlah (%)
Catechin 7-33
Asam cutechu tannat 20-55
Pyrocathecol 20-30
Gambir flouresensi 1-3
Catechu merah 3-5
Quersetin 2-4
Fixed oil 1-2
Lilin 1-2
Sumber : Thorpe & Whiteley (1921)
Kandungan katekin yang dilaporkan Thorpe & Whiteley (1921), tidak dapat mewakili atau
dijadikan patokan terhadap gambir secara umum, kerena gambir yang dihasilkan di Indonesia
sangat bervariasi dari 3,5-9,5% (Amos et al., 2005). Produk gambir yang digunakan untuk analisis
oleh Thorpe & Whiteley (1921) adalah produk gambir yang berasal dari daerah Semenanjung
Malaya. Sifat-sifat umum komponen yang terkandung dalam gambir menurut Nazir (2000) adalah
sebagai berikut:
1. Katekin
Katekin larut dalam alkohol dingin, air panas, asam asetat glasial dan aseton.
Katekin sukar larut dalam air dingin dan eter, selain itu tidak larut dalam CHCl3, metil
eter dan benzene. Katekin membentuk endapan jika bereaksi dengan Pb (CH3COO)2.
Katekin menghasilkan larutan yang berwarna biru jika bereaksi dengan FeCl3. Jika
katekin bereaksi dengan pine wood dan hydrochloric acid membentuk phloro glucinol.
2. Asam catechu tannat (Tanin)
Tanin larut dalam alkohol dan air dingin, tidak larut dalam eter. Tanin membentuk
endapan jika bereaksi dengan Pb(CH3COO)2 dan membentuk endapan berwarna hijau
jika bereaksi dengan CHCl3. Tanin bereaksi dengan pine wood dan hydrochloric acid
membentuk phloroglucinol. Tanin disebut anhyride dan dapat dihasilkan apabila larutan
dipanaskan pada suhu 110oC dengan larutan alkali karbonat.
3. Pyrocathenol
Pyrocathenol larut dalam air, alkohol, eter, benzene, klorofom, dan larut baik pada
piridin dengan larutan bersifat basa, jika dipanaskan akan memberntuk catechol.
Pyrocathenol membentuk warna hijau dengan FeCl3 dan membentuk endapan dengan
brom. Larutannya dalam air cepat berwarna coklat. Pyrocathenol dapat mereduksi perak
amoniakal dan fehling.

5
4. Gambir flouresensi
Gambir flouresensi dapat dilihat apabila larutan gambir dikocok dengan petroleum
eter dalam suasana sedikit basa. Gambir flouresensi pada lapisan petroleum eter terlihat
berpendaran berwarna hijau
5. Katekin merah
Katekin merah merupakan komponen yang membuat gambir berwana merah
6. Quersetin
Quersetin larut dalam air dan alkohol. Quersetin berubah warna menjadi gelap
dengan pemanasan.
7. Fixed oil
Fixed oil merupakan kandungan minyak di dalam gambir yang sulit menguap.
8. Lilin
Lilin terdapat pada permukaan daun gambir. Lilin merupakan monoester dari suatu
asam lemak dan alkohol.
9. Alkolodi
Alkoloid yang terdapat pada gambir ada enam jenis, yaitu dihidrogambir tanninna,
gambirdina, gambirina, isogambirina, auroparina, oksogambir-tanina. Tannin yang
terdapat pada gambir merupakan tannin yang tidak dapat terhidrolisis (tannin kondensasi).
Tannin pada gambir merupakan turunan flavanal yang tidak dapat dihidrolisis dengan
asam ataupun basa.

C. Kayu Secang (Caesalpinnia sappan L.)


Secang termasuk famili Leguminoseae yang termasuk tanaman perdu yang memanjat atau
pohon kecil, berduri banyak, dan tingginya mencapai 5-10 m. Caesalpinna sappan disebut juga
Bianceae sappan, dinamai sappan wood karena asli dari India Selatan dan Asia, dan dinamai
Brazil wood karena ditemukan juga di daerah Brazil. Menurut Heyne (1987), taksonomi secang
adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledone
Sub class : Aympetale
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae
Genus : Caesalpinia
Species : Caesalpinia sappan L.

Kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan
berbatu-batu, pada daerah dengan ketinggian tempat rendah dan sedang. Di Semanjung Malaysia,
pohon secang tumbuh dengan sangat baik pada tepi-tepi sungai yang berpasir. Pohon secang tidak
toleran pada tanah yang terlalu basah. Pohon kayu secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang
memiliki kisaran curah hujan tahunan 700-4300 mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah 24-
27,5oC, dan dengan kisaran pH tanah 5-7,5 (Heyne, 1987). Pada Gambar 3 diperlihatkan contoh
tanaman secang.

6
Gambar 3. Penampakan Tanaman Secang
Sumber : Museum Tekstil Jakarta (2011)
Bagian kayu secang yang sering digunakan adalah kayu dalam potongan-potongan atau
serutan kayu. Kepingan serutan kayu secang sangat bervariasi warnanya dari kuning hingga
merah. Kayu secang jika dilarutkan dalam air akan memberikan warna merah jambu yang
menarik, dan diketahui bahwa senyawa brazilein adalah yang menimbulkan warna tersebut.
Bagian kayu secang mengandung brazilin, brazilein, sappanchalcone, caesalpin J, caesalpin P,
protosalpin A, protosalpin B, homoisoflavonoid -sitosterol, monohidroksibrazilin, dan benzil
dihidrobenzofuran (Pawar et al., 2008).
Brazilein merupakan hasil oksidasi dari brazilin yaitu komponen utama yang diisolasi dari
tanaman secang. Brazilin tidak hanya dihasilkan dari Caesalpinia sappan namun juga dari
beberapa spesies tanaman Caesalpinia, seperti Caesalpinia echinata, Caesalpinia crista, dan
Haematoxylum camphecianum (Oliveira et al., 2002). Brazilin merupakan kristal berwarna kuning
yang jika mengalami oksidasi akan mengalami perubahan warna menjadi merah kecoklatan dan
dapat larut dalam air (Ye Min et al., 2006). Brazilin mempunyai warna kuning sulfur jika dalam
bentuk murni, dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis.
Asam tidak berpengaruh terhadap brazilin, tetapi alkali membuatnya bertambah merah. Brazilein
merupakan kristal kecoklatan yang terekstrak dari kayu secang yang berbentuk kristal. Paparan
udara dan cahaya pada brazilin dapat menyebabkan teroksidasinya gugus hidroksil dari brazilin
menjadi gugus karbonil. Kedua komponen brazilin dan brazilein merupakan tetrasiklik dengan dua
cincin aromatik, satu piron, dan satu cincin lima karbon (Oliveira et al., 2002). Struktur brazilin
dan brazilein dapat dilihat pada Gambar 4.

7
Brazilin Brazilein

Gambar 4. Struktur Kimia Brazilin dan Brazilein


Sumber : Oliveira et al., (2002).
Brazilein termasuk dalam golongan flavonoid sebagai homoisoflavonoid (Wongsookin et al.,
2008). Pigmen brazilein dapat berfungsi sebagai analgesik, antiinflamasi, antioksidan,
antidiabetes, antimikroba, antiaterogenik, pengatur haid, obat diare dan disentri, serta jamu
bersalin (Lim, 1997; Bae et al., 2005). Brazilein telah lama digunakan sebagai pewarna merah
untuk keramik, tekstil, dan sangat berpotensi juga digunakan sebagai pewarna makanan. Stabilitas
pigmen brazilein dipengaruhi oleh pH, suhu dan pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan
reduktor, serta metal. Brazilein berwarna kuning pada pH 4,5-5,5, merah pada pH 6-7, dan pada
pH di atas 8 berwarna merah keunguan (Adawiyah dan Indriati, 2003).

D. Kunyit
Tanaman kunyit termasuk ke dalam famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies
Curcuma domestica VALET. Kunyit dikenal dengan nama yang berbeda di tiap daerah, misalnya
kunyir, koneng temen (Sunda), kuning (Gayo, Batak), temu koneng (Madura), dan lain-lain.
Kunyit termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Susunan tubuh tanaman kunyit terdiri
atas akar, rimpang, batang semu, pelepah daun, daun, tangkai bunga, dan kuntum bunga (Sinaga,
2006). Pada Gambar 5 diperlihatkan penampakan tanaman kunyit.

8
Gambar 5. Penampakan Tanaman Kunyit
Sumber : Museum Tekstil Jakarta (2011)
Tanaman kunyit dapat tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis, baik di dataran rendah dan
dataran tinggi sampai ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Kondisi optimum suhu udara
untuk pertumbuhan kunyit yang baik berkisar antara 19o- 30oC dan curah hujan antara 1400-1500
mm per tahun. Berdasarkan penelitian Rostiana et al. (1990) dalam Rukmana (1994), ketinggian
tempat berpengaruh terhadap jumlah anakan per rumpun, bobot rimpang basah maupun kering,
kadar kurkumin, pati, dan minyak atsiri. Tanaman yang tumbuh di dataran tinggi memiliki kadar
pati dan minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan zat yang sama dari
tanaman yang tumbuh di dataran rendah. Namun produksi rimpang kunyit lebih banyak dihasilkan
dari tanaman di dataran rendah dibandingkan tanaman di dataran tinggi. Kunyit dapat beradaptasi
dengan baik di semua jenis tanah, dan tanah yang paling baik adalah tanah liat berpasir yang
gembur, subur, dan memiliki pengairan yang baik.
Rimpang kunyit secara keseluruhan membentuk rumpun dan bercabang-cabang. Kedalaman
rimpang tanah sekitar 16 cm, panjang akar sekitar 22,50 cm, tebal rimpang muda 1,61 cm, dan
rimpang tua 4 cm. Bentuk rimpang bervariasi, tetapi umumnya berbentuk bulat panjang. Kulit
rimpang muda berwarna kuning-muda dan dagingnya berwarna kuning. Kulit rimpang tua
berwarna jingga-kecoklatan dan dagingnya jingga-cerah agak kuning (Sinaga, 2006).
Menurut Purseglove et al. (1981), waktu pemanenan rimpang kunyit paling baik adalah saat
tanaman berumur sembilan bulan atau ketika batang dan daunnya telah mengering. Umbi batang
dan rimpang yang tua serta telah disimpan lebihlama warnanya lebih tua dan lebih baik
dibandingkan rimpang muda. Demikian juga daya tahannya lebih lama dan lebih kuat (Darwis et
al., 1991).
Kandungan zat kimia pada rimpang kunyit tua adalah minyak atsiri, pati, resin, protein,
selulosa, dan beberapa mineral lain (Rukmana, 1994). Rimpang kunyit dihasilkan dari dataran
rendah kandungan kimianya lebih tinggi dibandingkan dari dataran tinggi. Kandungan zat kimia
pada rimpang kunyit pada daerah ketinggian yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

9
Tabel 4. Kadungan Zat Kimia Pada Rimpang Kunyit Pada Ketinggian Daerah yang Berbeda
Kandungan Zat Dataran Rendah Dataran Tinggi
(Bobot Kering) (240 m di Atas Permukaan Laut) (1200 m di Atas Permukaan
Laut)
Kadar Minyak Atsiri (%) 1,8100 1,4600
Kadar Pati (%) 55,0300 47,8100
Kadar Serat (%) 3,4400 2,8700
Kadar Abu (%) 6,4700 7,5200
Indeks Bias 1,5030 1,5086
Bobot Jenis 0,9300 0,9465
Warna Minyak Kuning Kuning
Sumber : Taryono et al. (1988)
Komponen utama yang terpenting dari rimpang kunyit adalah kurkuminoid dan minyak
atsiri. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) (1994) menyatakan
bahwa kandungan kurkumin rimpang kunyit rata-rata 10,92%. Berbeda dengan temulawak,
kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit terdiri dari kurkumin, desmetoksikurkumin, dan
besdesmetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan komponen zat pigmen yang memberikan warna
kuning tua (oranye) pada kunyit. Warna ini sangat dipengaruhi oleh pH. Warna kuning cerah
diperoleh pada pH asam. Kandungan kurkuminoid yang terdapat dalam kunyit telah diketahui
memiliki banyak manfaat dan memiliki aktivitas biologis dengan spektrum luas, diantaranya
memiliki aktivitas antibakteri, antioksidan, antihepoksik, dan dapat dimanfaatkan untuk pewarna
(Rukmana, 1994).

E. Zat Warna Alam


Batik dan kerajinan tekstil menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual (ekonomi) yang
tinggi, karena memiliki nilai seni, etnik dan warna khas, sehingga berkesan eksklusif. Penggunaan
zat warna alam untuk tekstil perlu dikembangkan lebih baik lagi dengan eksplorasi sumber-
sumber zat warna alam. Eksplorasi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara kualitatif
warna yang dihasilkan oleh berbagai tanaman. Dengan demikian hasilnya dapat semakin
memperkaya sumber pewarna alam, sehingga ketersediaan zat warna alam selalu terjaga dan
variasi warna yang dihasilkan semakin beragam.
Zat warna alam pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan, yaitu
akar, kayu, daun, biji, dan bunga. Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-
tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil. Beberapa diantaranya adalah daun pohon nila
(indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis),
kunyit (Curcuma), teh, akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum
ferruginum), kesumba (Bixa orelana), dan daun jambu biji (Psidium guajava) (Susanto,1973).
Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999), sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk
tumbuhan. Di dalam tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda
tergantung menurut struktur kimianya. Pada umumnya golongan pigmen tumbuhan adalah
klorofil, karotenoid, flovonoid dan kuinon. Klorofil adalah istilah genetik untuk sejumlah pigmen
tumbuhan yang berkerabat dekat, yang menghasilkan warna hijau. Pigmen demikian sangat
berlimpah dalam tumbuhan. Klorofil kadang-kadang digunakan untuk mewarnai makanan dan
minuman. Karotenoid secara kimiawi dicirikan oleh suatu rantai panjang pliena alifatik yang
tersusun atas satuan isoprene (isoprene).

10
Struktur pigmen sangat bervariasi dan memiliki sifat warna yang intensif, yaitu kuning,
jingga, merah, dan lembayung. Contoh-cotoh pigmen karetonoid adalah bixin yang diperoleh dari
Bixa orellana L (kesumba), krosin (crosin) diperoleh dari Crocus satifus L(sapran = sapron).
Flavonoid, tersusun dari senyawa yang strukturnya didasarkan pada flavo atau flavana. Sub
kelompok flavonoid adalah morin yang dijumpai dalam berbagai jenis suku Moraceae. Kuinon
(quinones) mencakup berbagai senyawa yang mengandung struktur kuinon, warnanya biasanya
kuning sampai merah. Sub kelompok utamanya adalah benzokuinon, naftokuinon, dan
antrakuinon. Contoh pigmen naftokuinon adalah lowson dari Lawsonia inermis L (Henna), contoh
antrakuinon adalah alizarin, morindin, purpurin yang diperoleh dari jenis suku Rubiaceace.
Pewarna nabati penting lainnya yang tidak tergolong kedalam pigmen adalah indigo biru tua dari
jenis tumbuhan indigofera dan dari oksidasi indoksil yang dihasilkannya; pewarna kristalin merah,
disebut brazilein, yang diperoleh melalui oksidasi dari senyawa fenol yang keputih-putihan yang
ada dalam jenis-jenis Caesalpinia dan kurkumin yaitu kunyit (Curcuma longa L ) (Lemmens,
1998).
Pembuatan larutan zat warna alam mengambil atau mengeksplorasi pigmen pigmen
penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan baik yang terdapat pada daun, batang, buah,
bunga, biji ataupun akar. Proses eksplorasi atau pengambilan pigmen zat warna alam disebut
proses ekstraksi. Proses ektraksi tersebut dilakukan dengan merebus bahan dengan pelarut air.

F. Serat Kapas
Serat kapas memegang peranan yang penting dalam industri tekstil, karena sifat serat kapas
yang sangat baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakaian. Serat kapas dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kain blacu, kain mori, kain poplin, drill, dan
sebagainya. Serat kapas adalah serat yang dihasilkan dari rambut biji tanaman Gossipium yang
komponen penyusun utamanya adalah selulosa. Selulosa merupakan polimer linier yang tersusun
dari kondensasi molekul-molekul glukosa yang dihubungkan pada posisi 1 dan 4 dengan rumus
empiris ( C6H10O5). Struktur kimia selulosa dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur Kimia Selulosa


Sumber : Moerdoko et al. (1975) dalam Riawan et al. (2006)
Derajat polimerisasi selulosa pada kapas sekitar 10.000 dengan bobot molekul sekitar
1.5800.000. Selulosa mengandung tiga buah gugusan hidroksil, satu primer dan dua sekunder pada
setiap unit glukosa. Gugus hidroksil ini menyebabkan serat kapas memiliki tingkat absorpsi air
yang tinggi dan reaktif terhadap zat-zat kimia. Serat kapas tersusun dari sel-sel tumbuhan yang
banyak mengandung selulosa. Selain itu, juga terdiri dari minyak, lilin, pektin, dan zat-zat lain
(Riawan et al., 2006)
Warna kapas tidak benar-benar putih, melainkan putih kecoklatan. Kekuatan serat terutama
dipengaruhi oleh kadar selulosa dalam serat, panjang rantai selulosa, dan orientasinya. Kekuatan
serat kapas dalam keadaan basah lebih baik dibandingkan pada keadaan kering. Mulur serat kapas
paling tinggi dibandingkan serat selulosa alam yakni rata-rata bernilai 7%. Serat kapas memiliki

11
afinitas yang besar terhadap air. Serat kapas yang kering bersifat kasar, rapuh dan kekuatannya
rendah. Daya serap kapas berada pada kondisi standar adalah 7% - 8.5%.Bobot jenis kapas adalah
1,50 1,56 g/ml. Serat kapas jika dipanaskan pada selama lima jam pada suhu 120oC tidak
memperlihatkan perubahan kekuatan, namun pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan. Serat kapas akan kehilangan kekuatan secara keseluruhan jika dipanaskan
pada suhu 240oC (Djufri, 1996).
Serat kapas umumnya tahan terhadap kondisi penyimpanan, pengolahan, dan pemakaian
yang normal. Selulosa dapat dipengaruhi oleh asam kuat, oksidator, alkali kuat, jamur, dan hama.
Oksidator akan mengoksidasi selulosa menjadi oksiselulosa. Asam menyebabkan hidrolisis ikatan-
ikatan glukosa membentuk hidroselulosa, sehingga rantai-rantai molekul serat menjadi lebih
pendek. Larutan alkali kuat dengan konsentrasi yang tinggi menyebabkan penggelembungan yang
besar pada serat. Jamur yang tumbuh pada selulosa dapat menyebabkan pembusukan dan
memutuskan rantai-rantai selulosa. Kerusakan-kerusakan yang terjadi mengakibatkan penurunan
kekuatan serat (Sunarto, 2008). Komposisi kimia serat kapas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Serat Kapas
Komposisi Kandungan (% Bobot Kering)
Selulosa 94
Protein (% N x 6,25) 1,3
Pektat 1,2
Lilin 0,6
Abu 1,2
Pigmen dan zat-zat lain 1,7
Sumber : American Cotton Handbook (1978)

G. Pencelupan Kain Kapas


1. Pengertian Pencelupan
Pencelupan adalah salah satu cara yang meningkatkan nilai indera, dan
penyempurnaan juga memberikan peningkatan nilai indera dengan menimbulkan bulu-bulu
pada kain (raising), menghaluskan (glazing), dan dalam beberapa hal, dengan membuatnya
anti kusut, kedap air dan tolak air (Sugiarto, 1979). Pencelupan ialah pemberian warna pada
bahan tekstil secara merata. Tujuannya adalah agar bahan menjadi berwarna. Pemberian warna
tersebut dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada jenis serat yang diproses dan jenis
zat warna yang digunakan (Kustini, 1978)
Pencelupan adalah pemberian warna pada benang atau tenunan supaya warnanya
rata dan tahan cuci. Berhasil tidaknya suatu pencelupan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti suhu, pengadukan, bentuk dan ukuran zat warna, kecepatan celup dan kesadahan air.
Air pada proses pencelupan mutlak diperlukan sebagai media pembawa molekul-molekul zat
warna untuk dapat masuk kedalam serat. Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan
atau mendispersikan zat warna dalam air atau media lain, kemudian memasukkan zat warna
tekstil dalam serat (Riawan et al., 2006).
Penyerapan zat warna tekstil ke dalam serat merupakan suatu reaksi eksotermik dan
reaksi keseimbangan. Hasil pencelupan akan maksimal jika bahan yang akan dicelup mudah
menyerap air, bebas dari kotoran, bebas dari kanji dan jenis zat warna yang digunakan harus
mempunyai sifat mudah larut, mudah meresap dalam bahan dan tidak mudah lepas. Pencelupan
dengan zat warna alam sebaiknya menggunakan bahan berserat alam, meskipun tidak menutup
kemungkinan dengan serat sintetis, tetapi seratnya harus mendekati sifat-sifat serat alam. Hal

12
ini akan mempermudah proses pewarnaan dan hasilnya juga akan lebih baik. Kain yang akan
dicelup harus melalui proses pemasakan terlebih dahulu. Tujuan dari pemasakan adalah untuk
menghilangkan pengotor serat pada proses pembuatannya, sehingga daya serap kain meningkat
dan zat warna dapat tersebar dengan merata (Djufri, 1996).

2. Syarat-syarat Zat Warna


Pemberian warna pada kain dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari jenis zat warna
dan serat yang akan dicelup. Syarat-syarat zat warna yang akan digunakan dalam pencelupan
antara lain sebagai berikut (Djufri, 1996):
a. Zat warna harus mempunyai afinitas terhadap serat tekstil.
b. Zat warna harus mempunyai kemampuan untuk berdifusi.
c. Zat warna harus mempunyai kemampuan untuk menyerap suatu panjang gelombang
tertentu dengan intensif.
d. Zat warna harus dapat larut atau terdispersi dalam suatu zat pelarut.
e. Zat warna harus stabil setelah masuk dalam serat.
Zat warna yang memenuhi syarat-syarat tersebut dapat digunakan untuk mencelup serat
tekstil yang umumnya dilakukan dengan menggunakan zat substantif yaitu daya yang dipengaruhi
oleh warna yang keluar dari larutan dan masuk ke dalam serat.

3. Proses Masuknya Zat Warna kedalam Serat


Menurut Djufri (1996) pada pencelupan terjadi enam peristiwa penting yaitu:
a. Peristiwa migrasi, merupakan suatu proses pelarutan zat warna dan mengusahakan agar
larutan zat warna tersebut begerak menempel pada bahan. Makin tinggi suhu larutan
warna, maka makin cepat gerakan molekul zat warna.
b. Peristiwa adsorbsi, merupakan suatu proses menempelnya molekul zat warna pada
permukaan serat.
c. Peristiwa difusi, merupakan suatu proses masuknya zat warna dari permukaan bahan
kedalam bahan secara bertahap.
d. Peristiwa dispersi, merupakan suatu proses penguraian zat warna dalam larutan celup
e. Peristiwa absorpsi, merupakan suatu proses penyerapan zat warna dari permukaan serat
ke dalam serat.
f. Peristiwa fiksasi, merupakan suatu proses terikatnya molekul zat warna kedalam serat.
Beberapa jenis sifat zat warna memberikan pencelupan dalam waktu yang sangat cepat dan
terdapat pula beberapa sifat zat warna yang memberikan pencelupan yang sangat lambat.
Pencelupan yang sangat cepat mempunyai kecenderungan sukar rata, sedangkan pencelupan yang
sangat lambat akan menambah biaya pengerjaan dan sering mudah merusak serat (Riawan et al.,
2006).
Gaya-gaya ikat antara zat warna dan serat harus lebih besar dari pada gaya-gaya yang bekerja
antara zat warna dengan air, sehingga dapat menghasilkan pencelupan, hasil celup dan tahan cuci
yang baik. Hal tersebut dapat tercapai jika molekul zat warna mempunyai atom-atom tertentu,
sehingga akan memberikan daya tembus yang baik terhadap serat dan memberikan ikatan yang
kuat (Riawan et al., 2006).
Menurut Djufri (1996) pada dasarnya dalam pencelupan terdapat empat jenis daya ikat yang
menyebabkan adanya daya tembus atau daya cuci suatu zat warna pada serat yaitu sebagai berikut:
(1) Ikatan hidrogen, yaitu ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen pada gugus
hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom lainnya

13
(2) Ikatan elektrovalen, yaitu ikatan yang timbul karena gaya tarik menarik antara muatan
yang berlawanan
(3) Ikatan Van Der Waals, yaitu pada proses pencelupan daya tarik menarik dengan serat
akan bekerja lebih sempurna bila molekul-molekul zat warna berbentuk memanjang dan
datar dan antara molekul zat warna dengan serat mempunyai gugusan hidrokarbon yang
sesuai sehingga waktu pencelupan zat warna ingin lepas dari air dan bergabung dengan
serat
(4) Ikatan kovalen, merupakan reaksi pertukaran ion yaitu ikatan garam karena
menggunakan reaksi yang mirip dengan reaksi penggaraman.
Mordan disebut juga sebagai zat khusus yang dapat meningkatkan lekatnya berbagai pewarna
pada kain (Hasanudin, 2001). Tujuan dari pemberian mordan adalah untuk memperbesar daya
serap kain terhadap zat warna alam. Penggunaan pewarna alam untuk tekstil memerlukan mordan
atau perlakuan awal sebelum penggunaan pewarna pada bahan. Sebelumnya mordan yang
digunakan adalah mordan yang mengandung bahan kimia, seperti krom, timah, tembaga, seng, dan
besi (Dekranas, 1999). Mordan untuk pewarna alam telah dikembangkan yang tidak mengandung
zat kimia dan ramah terhadap lingkungan, seperti jeruk, jeruk nipis, cuka, sendawa (salpenter),
pijer (borax), tawas (alunin), gula batu, gula jawa (aren), tunjung, pruisi (coper sulfat), tetes tebu
(molase), air kapur, tape (tape ketela, tape ketan), pisang klutuk, daun jambu klutuk sebagai
alternatif yang digunakan sebagai mordan pada pewarnaan tekstil (Susanto, 1980).
Menurut Djufri (1976) dalam Riawan et al. (2006), proses mordanting dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu :
a. Cara mordan pendahuluan (pre mordan), pencelupan bahan yang dilakukan dengan
mencelupkan bahan dengan senyawa logam terlebih dahulu baru kemudian dicelup
dengan zat warna
b. Cara mordan simultan (meta-chrom, mono-chrom), pencelupan bahan yang dilakukan
dalam larutan celup yang terdiri dari zat warna dan zat mordan
c. Cara mordan akhir (after chrom), pencelupan bahan yang dilakukan denganmencelupkan
zat warna terlebih dahulu setelah zat warna terserap ke dalam bahan dilanjutkan dengan
pencelupan larutan mordan.

H. Pengukuran Warna
Warna dapat diukur dengna menggunakan alat kolorimeter, spektrofotometer, atau alat-alat
lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Spektrofotometer biasa digunakan untuk
mengukur konsentrasi suatu zat dalam larutan dengan prinsip penyerapan warna pada panjang
gelombang tertentu. Hasil dari pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dinyatakan
dalam nilai absorbansi (Hutching, 1999).
Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik untuk mendeskripsikan warna secara akurat
agar terjadi persamaan persepsi. Sistem notasi warna yang banyak digunakan adalah sistem notasi
Hunter (Hutching, 1999) yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L*,
a*, dan b*. Nilai L* menunjukkan kecerahan atau gelap sampel dan memiliki skala dari nol
sampai seratus, dengan nol menyatakan sampel sangat gelap dan seratus menyatakan sampel
sangat cerah. Nilai a* menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan a* positif
menunjukkan warna merah dan a* negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a* memiliki skala -80
sampai 100. Nilai b* menunjukkan derajat kuning atau biru, dengan b* positif menunjukkan warna
kuning dan b* negatif menunjukkan warna biru. Nilai b* memiliki skala dari -70 sampai 70
(Soekarto, 1997).

14
Pengukuran warna dengan sistem Munsell dilakukan sengan mengukur komponen warna
berdasarkan besaran value, hue, dan chroma. Nilai value menyatakan gelap dan terangnya warna.
C atau Chroma purity adalah parameter yang menunjukkan intensitas ketajaman warna dari suatu
sampel yang diukur dengan rumus + . Semakin tinggi nilai C maka warna akan terlihat
semakin tua karena intensitasnya meningkat (Hutching, 1999).
Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna obyek ke dalam diagram warna
Lab. Nilai hue diperoleh dengan menghitung invers tangen perbandingan b* dan a* atau hue sama
dengan (arctan (b*/a*) ) sehingga didapatkan sudut dari diagram warna. Derajat hue yang
dimasukkan ke dalam diagram warna akan dapat menampilkan secara objektif apakah sampel
berwarna mera, kuning, dan sebagainya. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell
dipengaruhi nilai a* dan b*. Jika nilai hue diperoleh pada metode Hunter bernilai negatif, maka
untuk menginterpretasikan warna pada diagram Munsell, nilai negatifnya dihilangkan terlebih
dahulu, kemudian diukur pada kuadran yang paling tepat sesuai dengan nilai a* dan b*-nya. Pada
kuadran satu, a* dan b* bernilai positif. Pada kuadran dua, a* bernilai negatif dan b* positif. Pada
kuadran tiga, a* dan b* bernilai negatif. Pada kuadran empat, a* bernilai positif dan b* bernilai
negatif (Hutching, 1999). Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell dapat dilihat pada
Tabel 6.

Tabel 6. Interpretasi Warna Hue Pada Bola Imajiner Munsell


Hue (o) Warna
21 (Kuadran I) 52 (Kuadran I) Merah
53 (Kuadran I) 84 (Kuadran I) Merah-Kuning
85 (Kuadran I) 21 (Kuadran II) Kuning
22 (Kuadran II) 61 (Kuadran II) Hijau-Kuning
62 (Kuadran II) 0 (Kuadran III) Hijau
1 (Kuadran III) 35 (Kuadran III) Biru-Hijau
36 (Kuadran III) 81 (Kuadran III) Biru
82 (Kuadran III) 36 (Kuadran IV) Ungu-Biru
37 (Kuadran IV) 71 (Kuadran IV) Ungu
72 (Kuadran IV) 20 (Kuadran I) Merah-Ungu
Sumber : Hutching (1999)
Nilai E merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara
keseluruhan. Semakin tinggi nilai E menunjukkan perubahan warna sampel selama perlakuan
semakin besar (Hutching, 1999). Nilai E dihitung dengan rumus L + a + b .

15
III. METODE PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas piala, neraca analitik, gelas ukur,
penangas air, wadah (baskom), dan sudip. Alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi bahan baku
dan analisis produk adalah labu takar, pipet Mohr, pipet tetes, cawan alumunium, cawan porselen,
labu dekstruksi, soxhlet, erlenmeyer, desikator, corong, sudip, oven, colormeter Colortech PCM,
spektrofotometer HACH, viscometer Brookfield, lempeng kaca, thermometer, dan labu ukur. Bahan-
bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kain mori berwarna putih, etil asetat, aquades,
gambir bootch, jeruk nipis, etanol, dan kertas saring, kayu secang, tawas, dan kunyit.

B. TATA LAKSANA PENELITIAN

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan analisis mutu gambir yang digunakan sebagai
bahan utama. Penelitian utama ialah pewarnaan kain mori dengan menggunakan pewarna alami yang
berasal dari gambir dengan campuran pigmen warna dari secang dan kunyit. Pewarnaan kain mori
diawali dengan pembuatan larutan pewarna alami, proses pewarnaan kain mori, dan terakhir dilakukan
uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, dan keringat.
Penelitian utama diawali dengan membuat larutan baku pewarna yang berasal dari gambir,
secang, dan kunyit. Masing-masing bahan dibuat dengan konsentrasi 10% (b/v) sebagai larutan baku
untuk proses pewarnaan. Selanjutnya, tiga larutan baku yang ada kemudian dibuat formula larutan
warna dengan memvariabelkan konsentrasi perbandingan larutan gambir dengan larutan secang, dan
larutan gambir dengan larutan kunyit. Penggunaan campuran larutan pewarnaan ditujukan untuk
menghasilkan formula larutan pewarna yang bain untuk mewarnai kain batik mori, baik dari segi
ketahanan luntur terhadap pencucian, ketahanan luntur terhadap gosokan, dan ketahan luntur terhadap
keringat. Data yang diolah adalah data kecerahan warna (L*) serta ketajaman warna kain (C) yang
dihasilkan dari proses pencelupan, dan penurunan nilai L*, C, dan nilai perubahan warna pada kain
secara keseluruhan (E) setelah pengujian. Diagram alir tata laksana penelitian dapat dilihat pada
Gambar 7.

16
Gambir Asalan Kain Mori Putih
Jeruk Nipis

Tawas dan
Pemasakan Pembuatan
Analisis Mutu Gambir Soda Abu
mordan 1%

Kain Siap Diwarnai


Mordan Jeruk Nipis
Secang dan Pembuatan Larutan
Kunyit Induk Pewarna 10%

Pencampuran Konsentrasi
Larutan Warna

Pewarnaan Kain

Fiksasi

Kain Hasil Pewarnaan

Analisis Ketahanan Luntur Warna


Terhadap Keringat, Pencucian, dan
Gosokan

Gambar 7. Diagram Alir Tata Laksana Penelitian

1. Analisis Gambir
1.1 Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105oC selama 15 menit,
kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur
pengeringan cawan diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel sebanyak 4-5 gram
ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama
tiga-lima jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai
didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
AB
% Kadar Air = 100%
C

Keterangan :
A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g)
B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g)
C : Bobot sampel basah (g).

17
1.2 Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar
sampai tidak mengeluarkan asap di atas Bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke
dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator
selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke
dalam tanur pada suhu 600oC selama satu jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase
kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
AB
% Kadar Abu = 100%
C

Keterangan :
A : Bobot cawan berisi abu sampel (g)
B : Bobot cawan (g)
C : Bobot sampel basah (g).

1.3 Kadar Katekin (SNI 01-3391-2000)


Prinsip : katekin adalah salah satu komponen utama pembentuk gambir yang larut
sempurna dalam etil asetat. Penyerapan atau absorpsi larutan di dalam etil asetat pada
panjang gelombang maksimum 279 nm sebanding dengan kadar katekin di dalam gambir.
a. Persiapan Standar Katekin dan Contoh Gambir (SNI 01-3391-2000)
Standar katekin dikeringkan di dalam oven dengan menggunakan kaca
arloji selama tiga jam pada suhu 105 C. Contoh gambir yang dihaluskan dibuat
lapisan tipis di atas kaca arloji. Lapisan gambir tersebut dikeringkan di dalam oven
pada suhu 105 C selama tiga jam sampai kehilangan bobot 15 17 %.
b. Pembuatan Larutan Standar (SNI 01-3391-2000)
Standar katekin yang sudah dikeringkan sebanyak 50 mg (Ws mg)
dituangkan ke dalam labu ukur 50 ml secara kuantitatif, dilarutkan dan diencerkan
dengan etil asetat sampai tanda tera (larutan A). Larutan A diletakkan dalam
penangas air selama lima menit untuk mencapai larutan yang homogen. Kemudian
dua ml larutan A dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup 100 ml dan dilarutkan
dengan 50 ml etil asetata (larutan B). Larutan B diletakkan dalam penangas air
selama lima menit. Larutan B siap untuk pengukuran.
c. Pembuatan Larutan Contoh Gambir (SNI 01-3391-2000)
Sebanyak 50 mg contoh gambir yang dikeringkan dimasukkan ke dalam
labu ukur 50 ml dan dilarutkan dengan etil asetat sampai tanda tera (larutan C).
Larutan C diletakkan dalam penangas air selama lima menit, kemudian disaring.
Sebanyak 15 ml filtrat pertama dibuang dan dua ml filtrat berikutnya dimasukkan ke
dalam erlenmeyer bertutup 100 ml dan ditambah 50 ml etil asetat (larutan D).
Setelah diletakkan dalam penangas air selama lima menit maka larutan D siap
dilakukan pengukuran.
d. Pengukuran Larutan (SNI 01-3391-2000)
Pengukuran kadar katekin menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada
panjang gelombang 279 nm dan 300 nm. Pengukuran dimulai untuk larutan blanko
(etil asetat) dengan absorban sama dengan nol. Pengukuran selanjutnya adalah
absorbansi larutan standar kemudian absorbansi larutan contoh.

18
Et Ws
% Kadar Katekin = 100%
Ec W

Keterangan :
Et : absorban / penyerapan larutan contoh pada panjang gelombang 279 nm
Ec: absorban / penyerapan larutan standar pada panjang gelombang 279 nm
W: bobot contoh gambir (mg)
Ws : bobot katekin standar (mg).

1.4 Kadar Bahan Tidak Larut Dalam Air dan Alkohol (SNI 01-3391-2000)
Prinsip : persentase bahan yang tidak larut dalam air dan alkohol diperoleh dengan
perbandingan antara bebas kotoran pada suhu oven 100 105 C dengan bobot contoh yang
diuji.
a. Penentuan Bahan Tidak Larut dalam Air
Sebanyak satu gram contoh gambir kering (bebas air) yang sudah
dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas piala 200 ml yang telah berisi 100 ml air.
Campuran tersebut dipanaskan sampai mendidih kemudian saring dengan
menggunakan cawan gooch yang telah diketahui bobotnya. Cawan gooch yang telah
berisi residu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 C selama satu jam, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot tetap.
b. Penentuan Bahan Tidak Larut dalam Alkohol
Sebanyak satu gram contoh kering (bebas air) gambir yang sudah
dihaluskan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 200 ml yang berisi 100 ml etanol
absolut. Erlenmeyer ditutup sumbat gabus yang diberi kapas dan dipanaskan sampai
mendidih. Kemudian campuran disaring dengan menggunakan cawan Gooch yang
diketahui beratnya. Cawan berisi residu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 C
selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

100 (W2 W)
Kadar bahan yang tidak larut dalam alkohol atau air =
W1
Keterangan:
W : bobot cawan Gooch
W1 : bobot contoh atas dasar bahan kering
W2: bobot residu yang tidak larut dalam alkohol atau air dan bobot cawan gooch.

1.5 Identifikasi kadar tanin dilakukan dengan pembuatan kurva standar dan analisis sampel
dengan menggunakan alat spektrofotometer Hach (AOAC, 1984).
a) Pembuatan Kurva Tanin Standar
Sebanyak 5 ml pereaksi Folin Denis dimasukkan ke dalam labu takar 100
ml yang telah diisi dengan 75 ml akuades, kemudian dimasukkan 10 ml larutan asam
tanat standar (0,1 mg/1 ml). Selanjutnya sebanyak 10 ml Na2CO3 jenuh ditambahkan
ke dalam campuran, dan ditepatkan hingga volume 100 ml dengan akuades. Larutan
kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit, selanjutnya dibuat kurva standar
dengan menggunakan larutan asam tanat standar 1 ml, 2 ml, 4 ml, 6 ml, dan 8 ml.
b) Analisis Sampel
Sebanyak 1 ml filtrat jernih dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,
kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Folin Denis dan 5 ml Na2CO3 jenuh kemudian

19
ditepatkan volume sampai 100 ml dengan akuades. Larutan dikocok dan dibiarkan
selama 30 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 760 nm.

2. Pembuatan Larutan Pewarna dan Lautan Mordan Akhir


Pada proses pewarnaan digunakan tiga jenis larutan pewarna induk yang dibuat
dengan konsentrasi 10% (b/v). Larutan yang digunakan untuk proses pewarnaan kain adalah
sebagai berikut:
2.1 Larutan gambir 10%
Larutan gambir 10% (b/v) merupakan larutan induk yang akan digunakan
untuk proses pewarnaan kain. Gambir yang digunakan adalah gambir asalan
yang dilarutakan di dalam air pada suhu 70oC. Penggunaan suhu 70oC
dimaksudkan untuk meningkatkan kelarutan gambir dalam larutan. Kemudian
larutan gambir disaring dan diambil filtratnya. Pada Gambar 8 dapat dilihat
penampakan gambir asalan yang digunakan dan larutan induk pewarna yang
dihasilkan.

(a) (b)
Gambar 8. Penampakan Gambir Asalan yang Digunakan dan Larutan
Warna yang Dihasilkan
(a). Gambir Asalan, (b) Larutan Warna Gambir

2.2 Larutan secang 10%


Larutan secang dibuat dengan bahan baku kayu secang yang diekstrak
sebanyak 10% (b/v) pada air panas dengan suhu 70oC. Kemudian larutan
dipisahkan dari ampasnya dan diambil filtratnya. Pada Gambar 9 dapat dilihat
penampakan secang yang digunakan dan larutan induk pewarna yang
dihasilkan.

(a) (b)
Gambar 9. Penampakan Secang yang Digunakan dan Larutan Warna
yang Dihasilkan
(a). Secang, (b) Larutan Warna Secang

20
2.3 Larutan kunyit 10%
Larutan kunyit 10% (b/v) dibuat dengan rimpang kunyit yang telah diparut
terlebih dahulu dan dilarutkan dalam air pada suhu 70oC. Kemudian disaring
dan dipisahkan ampas dan filtrat yang dihasilkan. Pada Gambar 10 dapat
dilihat penampakan kunyit yang digunakan dan larutan induk pewarna yang
dihasilkan.

(a) (b)
Gambar 10. Penampakan Kunyit yang Digunakan dan Larutan Warna
yang Dihasilkan
(a). Kunyit, (b) Larutan Warna Kunyit
2.4 Pembuatan larutan mordan
Langkah awal pembuatan mordan adalah jeruk nipis diperas untuk diambil
sarinya. Sari jeruk nipis yang didapat kemudian dicampurkan dengan satu liter
air panas dengan konsentrasi 1%, sehingga diperoleh larutan mordan akhir
sebanyak satu liter. Nilai pH larutan jeruk nipis 1% adalah 3.
2.5 Nilai pH
Larutan warna yang digunakan dalam proses pewarnaan diukur nilai
pHnya. Pengukuran nilai pH menggunakan alat pH meter yang bermerk
Beckman. Alat pH meter dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Penampakan Alat pH meter Merk Beckman

2.6 Pengukuran viskositas larutan warna(AOAC, 1995)


Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viskometer
Brookfield. Contoh larutan pewarna sebanyak 25 ml (jumlah yang diperlukan
untuk merendamkan tanda tera pada beban) dimasukan ke dalam gelas piala,
dan diatur suhunya agar tetap 25 0.5 C. Beban dan putaran per menit (rpm)
yang akan digunakan (bernomor) diatur terlebih dahulu untuk menentukan
angka konversinya yang terdapat pada tabel bagian atas alat. Contoh larutan
pewarna dimasukkan ke dalam wadah hingga tanda tera pada beban terendam.

21
Motor penggerak dijalankan setelah jarum menunjukan angka nol. Motor
dimatikan setelah satu menit, dan tombol penekan jarum ditekan, kemudian
dibaca angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut (A). Pada Gambar 12 dapat
dilihat proses pengujian viskositas dengan menggunakan viscometer
Brookfield. Rumus viskositas adalah sebagai berikut:
Viskositas (cP) = A x angka konversi

Gambar 12. Proses Pengujian Viskositas Larutan Warna dengan Menggunakan Viscometer
Brookfield

3. Pemasakan Kain Mori ( Riawan et al., 2006)


Kain yang digunakan dalam pewarnaan adalah kain batik jenis mori, yaitu kain yang
terbuat dari serat selulosa alami. Kain mori yang digunakan mendapat perlakuan pendahuluan
yaitu dengan dipanaskan pada air dengan suhu 70oC untuk melemaskan serat kain dan
menghilangkan kotoran yang terdapat pada kain agar tidak mengganggu proses pewarnaan. Kain
mori direndam selama 30 menit sambil sesekali diaduk, kemudian kain dibilas dengan air dingin.
Kain mori yang telah bersih kemudian diberikan perlakuan pre-mordan atau mordan awal untuk
membantu kain dapat menyerap warna lebih baik. Larutan mordan yang dibuat mengandung 8
gram tawas dan 2 gram soda abu (Na2CO3) dalam setiap 1 liter air yang digunakan. Larutan
kemudian direbus hingga mendidih kemudian dimasukkan kain mori dan direbus selama 1jam.
Kemudian kain kapas dibiarkan terendam dalam larutan selama semalam. Setelah direndam
semalaman dalam larutan, kain diangkat dan dibilas kemudian dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan. Pada Gambar 13 dapat dilihat penampakan kain mori putih yang digunakan dalam
pewarnaan.

Gambar 13. Penampakan Kain Mori Putih yang Digunakan dalam Pewarnaan

22
4. Penelitian Utama
4.1 Proses Pewarnaan
Proses pewarnaan kain dilakukan dengan cara kain dengan vlot 1:30 yang telah
diberikan mordan dibasahi dengan air dingin agar warna dapat diserap dengan baik. Vlot
merupakan perbandingan antara liter larutan pewarna dengan gram kain. Pada proses
pencelupan digunakan vlot 1:30, artinya adalah satu liter larutan warna digunakan unutk
mencelupkan 30 gram kain (Djufri et. al., 1996). Pewarnaan kain menggunakan glarutan
pewarna dari larutan induk gambir, secang, dan kunyit yang dicampurkan dengan konsentrasi
yang berbeda-beda pada suhu 70oC dengan cara kain dicelupkan atau direndam selama 15
menit, kemudian kain ditiriskan dan dikeringanginkan. Pencelupan kain dilakukan berulang
kali hingga lima kali dengan cara yang sama agar warna terserap merata pada seluruh bagian
kain dan juga agar daya serap kain terhadap larutan pewarna maksimum.
Proses selanjutnya ialah proses fiksasi yang dilakukan dengna merendam kain hasil
pewarnaan dalam larutan fiksasi. Larutan fiksasi yang digunakan ialah larutan jeruk nipis 1%
selama 15 menit. Kemudian kain dicuci dengan air bersih dan dikeringanginkan, sehingga
didapatkan kain hasil pewarnaan. Pada Gambar 14 diperlihatkan proses pewarnaan dan
proses fiksasi kain mori.

(a) (b)
Gambar 14. Proses Pewarnaan Kain Mori
(a). Proses Pewarnaan Kain Mori, (b) Proses Fiksasi Kain Mori

4. 2. Pengujian Hasil Pewarnaan

4.2.1 Nilai L*, a*, dan b* (Hutching, 1999)

Nilai L*,a*, dan b* kain berwarna dapat dilihat dengan menggunakan colormeter.
Kain hasil pewarnaan dievaluasi nilai L, a, dan b dengan alat colormeter merk
Colortech PCM.
4.2.2 Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Pencucian Rumah Tangga
(SNI ISO 105-C06:2010)
Contoh uji yang sudah diberi kain pelapis dicuci dalam larutan pencuci
dengan kondisi tertentu, dibilas dan dikeringkan. Perubahan warna pada contoh uji
dinilai dengan menggunakan standar abu-abu (grey scale), sedangkan penodaan warna
pada kain pelapis dinilai dengan menggunakan standar skala penodaan (staining scale).
Contoh uji disiapkan dengan menjahit dua helai kain (kain katun dan kain wol atau
poliester).
Kain uji yang telah dilapisi kain pelapis kemudian dicelupkan pada larutan
detergen typol 5 ml dalam satu liter air. Kemudian kain dicuci dengan cara memutar

23
kain selama 45 menit. Kain kemudian dibilas dengan air pada suhu 40oC dan
dikeringanginkan. Penilaian tahan luntur dilaksanakan terhadap perubahan warna
contoh uji dibandingkan dengan standar perubahan warna pada grey scale.

4.2.3 Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Gosokan (SNI 0288-2008)
Kain dibasahi dengan air suling pada suhu 27 C, kemudian diperas di
antara kertas saring. Kemudian kain digosokan 10 kali bolak-balik dengan batang besi
secara memutar dengan kecepatan satu putaran perdetik Kemudian kain dikeringkan di
udara sebelum dilakukan evaluasi.

4.2.4 Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Keringat (SNI ISO 105-
E04:2010)
Pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap keringat dilakukan dengan
menggunakan larutan alkali dan larutan asam. Larutan alkali dibuat dalam satu liter
larutan yagn mengandung 0,5 gram L-histidin, 5 gram natrium klorida (NaCl), 2,5 gram
dinatrium hidrogen ortofosfat dihidrat, dan larutan dibuat menjadi pH 8 dengan larutan
natrium hidroksida 0,1 mol/L. Larutan asam dibuat dalam satu liter yang mengandung
0,5 gram L-histidin, 5 gram natrium klorida (NaCl), 2,2 gram dinatrium hidrogen
ortofosfat dihidrat, dan larutan dibuat pH 5,5 dengan larutan natrium hidroksida 0,1
mol/L.
Kain kemudian dicelupkan pada masing-masing larutan alkali dan laurtan
asam secara terpisah. Kain uji dibiarkan dalam larutan selama 30 menit di dalam larutan
sambil ditekan dan dibalikkan beberapa kali untuk memastikan terjadi penetrasi secara
merata. Kemudian kain uji diperas untuk menghilangkan larutan yang berlebih dan
dikeringanginkan. Kain hasil uji kemudian dilakukan evaluasi kembali dengan
dibandingkan pada skala abu-abu.

5. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian adalah rancangan
percobaan acak lengkap faktor tunggal. Rancangan percobaan dilakukan pada dua
eksperimen yang terpisah, yaitu perbandingan konsentrasi gambir: secang dan perbandingan
konsentrasi gambir:kunyit. Model yang digunakan untuk desain tersebut adalah sebagai
berikut (Walpole, 1992)
Yij = + Ai + ij
Yij = nilai pengamatan ke-j (j = 1, 2) untuk taraf ke- i perlakuan A
= rata-rata umum
Ai = efek taraf ke- i untuk perlakuan perbandingan konsentrasi larutan gambir dan larutan
secang, juga perbandingan konsentrasi larutan gambir dan larutan kunyit pada eksperimen
terpisah
A1 = gambir : secang = 100% : 0%
A2 = gambir : secang = 75% : 25%
A3 = gambir : secang = 50% : 50%
A4 = gambir : secang = 25% : 75%
A5 = gambir : secang = 0% : 100%
Dilain pihak pada eksperimen kedua yaitu gambir dan kunyit berlaku:
B1 = gambir : kunyit = 100% : 0%

24
B2 = gambir : kunyit = 75% : 25%
B3 = gambir : kunyit= 50% : 50%
B4 = gambir : kunyit = 25% : 75%
B5 = gambir : kunyit = 0% : 100%
ij = kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke-j untuk taraf ke-i perlakuan B.

25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS BAHAN BAKU

Analisis bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan
pada penelitian utama. Parameter yang digunakan untuk analisis mutu gambir adalah kadar air, kadar
abu, kadar katekin, kadar tanin, kadar bahan tidak larut alkohol, dan kadar bahan larut alkohol. Hasil
analisis kemudian dibandingkan terhadap SNI 01-3391-2000 seperti dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir Asalan Sebagai Bahan Baku Penelitian
No. Jenis Uji Satuan Contoh Uji Persyaratan
Mutu 1 Mutu 2
1 Keadaan
-Bentuk Pecah dan Utuh Utuh
Utuh
-Warna Hitam Kuning sampai Kuning kecoklatan
Kecoklatan kuning kecoklatan sampai kuning
kehitaman
-Bau Khas Khas Khas
2 Kadar Air (b/b) % 13,89 Maks. 14 Maks. 16
3 Kadar Abu (b/b) % 3,69 Maks. 5 Maks. 5
4 Kadar Katekin (b/b) % 42,5 Min. 60 Min. 50
5 Kadar Bahan Tidak % 11,46 Maks. 7 Maks. 10
Larut Air
6 Kadar Bahan Tidak % 11,63 Maks. 12 Maks. 16
Larut Alkohol

Kadar air gambir asalan yang digunakan adalah 13,89%, sedangkan kadar abu adalah 3,69%.
Kadar air dan kadar abu pada gambir asalan yang digunakan masih memenuhi persyaratan mutu
Standar Nasional Indonesia yaitu maksimum 16% untuk kadar air dan 5% untuk kadar abu. Pengujian
kadar air pada gambir bertujuan untuk mengetahui umur simpan dan daya tahan gambir terhadap
serangan jamur. Semakin tinggi kadar air, maka gambir semakin mudah terserang jamur (Zulnely et
al., 1994).
Kadar abu menunjukkan kandungan unsur-unsur mineral dalam bahan yang diperoleh
sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar hingga bebas karbon. Menurut Soebito (1988), abu
adalah komponen yang tidak mudah menguap dan tetap tertinggal setelah proses pembakaran dan
pemijaran senyawa organik. Menurut Gumbira-Said et al. (2009), penggunaan air perebusan berulang
dan cairan sisa penirisan untuk perebusan kembali dalam proses produksi gambir diduga berkontribusi
terhadap tingginya kadar abu dalam gambir. Semakin tinggi kadar abu gambir menunjukan mutu
gambir yang semakin rendah, karena tingkat kemurnian gambir yang semakin rendah pula.
Kandungan katekin dalam gambir merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu
gambir. Semakin tinggi kadar katekin, mutu gambir semakin baik. Dari hasil pengujian (Tabel 7)
diperoleh kadar katekin pada gambir asalan yang digunakan sebesar 42,5%. Kadar katekin gambir
asalan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia yaitu minimal 50% (mutu2) dan minimal 60%
(mutu1). Kandungan katekin dalam gambir dapat digunakan sebagai pewarna tekstil dan
menghasilkan warna kecoklatan (Gove dan Webster, 1966).

26
Menurut Burkill (1935), gambir mengandung padatan yang diukur berdasarkan
kelarutan pada air dan alkohol. Kadar bahan tidak larut dalam air yang didapatkan pada gambir
yang digunakan pada penelitian adalah 11,46%. Nilai tersebut belum memenuhi persyaratan
mutu I dan II SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar bahan tidak larut dalam air gambir
maksimal 7% dan 10%. Hal ini menandakan bahwa tingkat kemurnian gambir rendah, dan
dapat disebakan oleh adanya kotoran kotoran seperti pasir, tanah dan kotoran lain yang tidak
terendapkan oleh air saat pengolahan gambir kering. Komponen penyusun dinding sel seperti
selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, protein dan lemak merupakan komponen yang tidak larut
di dalam air (Winarno dan Wirakartakusumah, 1981).
Kadar bahan tidak larut di dalam alkohol yang didapatkan pada gambir yang
digunakan pada penelitian adalah 11,63%. %. Nilai tersebut telah memenuhi syarat mutu I dan
mutu II SNI 01-3391-2000 dimana persyaratan kadar bahan tidak larut di dalam alkohol
gambir minimal 12% dan 16%. Menurut Sudibyo et al. (1988), kadar bahan tidak larut alkohol
yang tinggi dapat disebabkan oleh lamanya interaksi air dengan daun pada saat pengolahan
gambir. Semakin lama daun kontak dengan air, maka komponen bahan yang tidak larut di
dalam alkohol akan semakin mudah dikeluarkan dan terbawa bersama ekstrak gambir. Semakin
tinggi kadar bahan tidak larut alkohol menunjukkan tingginya kandungan bahan bukan gambir
seperti kotoran, dinding sel daun, dan bahan pemadat seperti tepung yang bukan berasal dari
ekstrak gambir (Agriawati, 2003).

B. PENELITIAN UTAMA
Penelitian utama ialah pewarnaan kain mori dengan menggunakan pewarna alami yang
berasal dari gambir dengan campuran pigmen warna dari secang dan kunyit. Pewarnaan kain mori
diawali dengan pembuatan larutan pewarna alami, proses pewarnaan kain mori, dan terakhir dilakukan
uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, dan keringat.
1. Penentuan Konsentrasi Larutan Pewarna Untuk Pewarnaan Kain
Penentuan konsentrasi larutan pewarna bertujuan untuk mengetahui perbandingan
konsentrasi larutan pewarna yang terbaik yang dapat mewarnai kain. Perbandingan konsentrasi gambir
dengan secang pewarna yang digunakan dalam larutan pewarna adalah 100% : 0%, 75%: 25%,
50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100%. Perbandingan konsentrasi yang sama juga dilakukan dalam
pembuatan larutan pewarna gambir dengan kunyit. Larutan warna yang dihasilkan kemudian akan
dilakukan pengukuran terhadap nilai pH dan viskositas larutan. Pengujian nilai pH dan viskositas
dimaksudkan untuk mengetahui sifat larutan warna yang digunakan untuk mewarnai kain dan melihat
kesesuaian penggunaan jenis serat kain dengan sifat yang dimiliki zat warna yang digunakan
(Karyana, 2005). Nilai pH dan viskositas larutan larutan warna yang digunakan dapat dilihat pada
Gambar 15 dan Gambar 16.

27
6 5,51 5,7

5 4,73 4,86
4,37 4,45
4,4 4,41 4,48
4,37
4

nilai pH 3
Gambir:Kunyit
2 Gambir:Secang

0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Konsentrasi

Gambar 15. Nilai pH Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan Gambir:Secang dan
Gambir:Kunyit yang Bervariasi

18 17 17
16
14 12
12
Viskositas (cP)

11
10
8
8 7 7 Gambir:Kunyit
6 Gambir:Secang
4 3
2 2
2
0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Konsentrasi

Gambar 16. Nilai Viskositas Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan Gambir:Secang
dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi

a. Nilai pH pada Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna yang Bervariasi


Nilai pH larutan warna pada perbandingan konsentrasi gambir dengan secang yang
bervariasi dapat dilihat pada Gambar 15. Nilai pH larutan warna pada konsentrasi gambir
dengan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing
adalah 4,37, 4,46, 4,54, 4,98, dan 5,74. Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa larutan warna
gambir 100% memiliki pH yang cenderung lebih asam dibandingkan semua larutan dan nilai
pH meningkat seiring penurunan konsentrasi gambir yang digunakan dalam larutan warna.

28
Dengan demikian larutan gambir 100% memiliki pH terendah yaitu 4,37 dan larutan secang
100% memiliki pH tertinggi yaitu 5,74. Secang memiliki pH berkisar 6-7 dan memiliki warna
merah menyala, sedangkan warna merah muda hingga merah keunguan pada pH 3-5(Oliveira
et al., 2002).
Nilai pH larutan warna pada perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit yang
bervariasi dapat dilihat pada Gambar15. Nilai pH larutan warna pada konsentrasi gambir
dengan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing
adalah 4,39, 4,45, 4,52, 4,89, dan 5,37. Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa larutan warna
gambir 100% memiliki pH yang cenderung lebih asam dibandingkan semua larutan dan nilai
pH meningkat seiring penurunan konsentrasi gambir yang digunakan dalam larutan warna.
Dengan demikian larutan gambir 100% memiliki pH terendah yaitu 4,39 dan larutan kunyit
100% memiliki pH tertinggi yaitu 5,37. Kunyit merupakan indikator asam basa alami yang
biasa digunakan untuk menunjukkan sifat asam atau basa suatu larutan, kunyit sendiri memiliki
pH asam (Rukmana, 1994).

b. Nilai Viskositas pada Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna yang Bervariasi


Menurut Yani (2009), viskositas adalah sifat cairan yang berhubungan dengan
kemudahannya untuk mengalir. Cairan dengan viskositas tinggi berupa cairan yang kental,
apabila cairan dituangkan akan sukar mengalir dengan sendirinya. Viskositas larutan warna
yang baik digunakan untuk mewarnai kain tidak terlalu tinggi (kental), karena larutan warna
yang kental akan menghambat penyerapan warna oleh serat yang digunakan (Riawan et al.,
2006). Nilai viskositas larutan warna yang digunakan dengan perbandingan konsentrasi
gambir dengan secang dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai viskositas (cP) larutan warna pada
konsentrasi gambir dengan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% :
100% masing-masing adalah 17, 11, 8, 7, dan 2. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa larutan
gambir 100% memiliki viskositas paling tinggi dan larutan secang 100% memiliki viskositas
paling rendah. Viskositas larutan warna menurun seiring dengan penurunan jumlah konsentrasi
gambir yang digunakan. Viskositas larutan warna dengan perbandingan gambir dan kunyit
dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai viskositas (cP) larutan warna pada konsentrasi gambir
dengan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing
adalah 17, 11, 7,4, dan 2. Gambir memiliki kandungan lilin dan fixed oil (Thorpe & Whiteley,
1921) yang menyebabkan larutan gambir yang dihasilkan memiliki nilai viskositas yang lebih
tinggi dan penurunan nilai viskositas larutan warna perbandingan gambir dan secang seiring
penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan.

c. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna yang Bervariasi


Dari tabel Anova (Lampiran 2 dan Lampiran 3) diketahui bahwa perbandingan konsentrasi
gambir dengan secang dengan nilai alfa 5% memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai pH
dan viskositas larutan warna yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut yaitu hasil perhitungan
nilai tengah pada uji Duncan, perbandingan konsentrasi gambir dengan secang pada semua
level memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH dan viskositas larutan warna yang
dihasilkan. Hasil pengujian ragam sidik diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir
dengan kunyit pada alfa 5% memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai pH dan viskositas
larutan warna yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perbandingan konsentrasi
gambir dan kunyit pada semua level perlakuan memberikan perbedaan yang nyata. Menurut
Djufri et al. (1978) dalam Riawan et al (2006), pH larutan warna yang baik untuk mewarnai

29
serat selulosa tidak terlalu asam, yaitu dengan nilai pH di atas 4. Dengan demikian semua
larutan yang dihasilkan baik digunakan sebagai pewarna pada serat selulosa.

d. Nilai L dan C pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang


Kemampuan larutan dalam mewarnai kain diukur melalui nilai kecerahan warna (L*)
dan ketajaman warna (C) yang dihasilkan. Diagram perbandingan nilai L* dan nilai C yang
dihasilkan dari larutan pewarna dengan konsentrasi yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar
17.
60
50,105 49,27
50 47,23 45,56
Nilai Hasil Pencelupan

42,18
40 35,44
29,86
30 24,45 24,52 27,21
Nilai L
20
Nilai C
10

0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Gambir : Secang
Gambar 17. Diagram Nilai L* dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi Perbandingan
Gambir dengan Secang yang Bervariasi

Nilai L* yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi
gambir dengan secang yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai L* hasil pewarnaan
kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%,
25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 50.105, 49.27, 47.23, 45.56, dan 42.18.
Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa semakin kecil jumlah konsentrasi gambir yang digunakan
maka semakin kecil nilai L* atau kecerahan yang dihasilkan. Dengan demikian konsentrasi
gambir 100% (konsentrasi secang 0%) memberikan warna yang paling cerah pada kain,
sedangkan konsentrasi gambir 0% (konsentrasi secang 100%) memberikan nilai L* paling
rendah yang artinya warna pada kain yang dihasilkan paling tua atau gelap.
Nilai C yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi
gambir dengan secang yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai C hasil pewarnaan
kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%,
25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 24,45, 24,52, 27,21, 29,86, dan 35,44. Dari
Gambar 17 dapat dilihat bahwa nilai C atau ketajaman warna yang dihasilkan dari pewarnaan
kain meningkat dengan penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan, dimana pada
konsentrasi gambir 100% (konsentrasi secang 0%) memiliki nilai C yang paling rendah dan
pada konsentrasi secang 100% (konsentrasi gambir 0%) memiliki ketajaman warna yang paling
tinggi. Pada Gambar 17 juga dapat dilihat bahwa nilai C meningkat seiring penurunan nilai L*
yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Semakin tinggi nilai L* atau warna kain semakin
cerah maka nilai ketajaman warna pada kain semakin rendah.

30
e. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang
Dari tabel Anova (Lampiran 4) diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir
dengan secang dengan nilai alfa 5% memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai L* dan nilai C
pada kain hasil pewarnaan. Dari hasil perhitungan nilai tengah pada uji Duncan, perbandingan
konsentrasi gambir dengan secang pada level gambir 75% dan secang 25% memiliki nilai
kecerahan (L*) yang paling baik dalam mewarnai kain dibandingkan semua level perbandingan
konsentrasi. Pada level konsentrasi gambir 0% dan secang 100% memiliki nilai ketajaman
warna terbaik pengaruhnya dibandingkan semua level perbandingan konsentrasi gambir dan
secang. Namun, pada level konsentrasi gambir 100% :secang 0% dan gambir 75% : secang
25% tidak dapat dibedakan pengaruh level perbandingan konsentrasi gambir dan secang
terhadap nilai kecerahan (L*) dan ketajaman warna (C) yang dihasilkan pada kain hasil
pencelupan.
Menurut Luftinor (1997), semakin besar jumlah molekul zat warna dalam larutan
maka akan semakin tua warna yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Secang memiliki
warna yang lebih tua dibandingkan gambir sehingga kecerahan warna (nilai L*) pada kain
semakin rendah dengan pertambahan konsentrasi secang yang digunakan dalam larutan
pewarna.

f. Derajat Hue pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang


Derajat Hue didapat dari arctan perbandingan nilai b dan a yang dihasilkan pada
kain hasil pewarnaan. Suatu warna tidak selalu diperoleh dari satu warna saja seperti merah,
kuning, hijau, atau biru saja tetapi dapat diperoleh dari kombinasi warna. Kombinasi warna
dapat merupakan kombinasi dari warna-warna utama seperti merah, hijau, kuning, dan biru
yang dipadukan sehingga diperoleh variasi warna-warna baru (Adrosko, 2006). Namun
terdapat perbedaan warna antara hasil interpretasi bola Munsell dengan warna yang dilihat
mata secara visual. Hal ini dikarenakan interpretasi warna pada Munsell hanya warna-warna
utama atau warna dasar saja. Selain itu, pencampuran warna pada pewarna alami tidak
menghailkan warna yang sama dengan pencampuran warna pada pewarna sintetik karena
warna yang dihasilkan pada pewarna alami tidak identik ato sama cerahnya dengan pewarna
sintetik.
Derajat Hue yang diperoleh dari kain hasil pewarnaan dengan larutan warna
gambir:secang menunjukan interpretasi warna dari merah hingga merah-ungu. Semakin tinggi
konsentrasi larutan secang yang digunakan, maka interpretasi warna semakin mengarah ke
warna merah-ungu. Nilai derajat Hue dan interpretasi warna dalam bola imajiner Munsell yang
didapat pada kain hasil pewarnaan dapat dilihat pada Tabel 8. Penampakan kain mori hasil
pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 18 dan penampakan bola imajiner Munsell dapat dilihat
pada Gambar 19.
Tabel 8. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam bola imajiner Munsell
pada Kain Hasil Pewarnaan
Konsentrasi Nilai Nilai Hue Interpretasi
Gambir : Secang a* b* Warna
100% : 0% 21,63 11,398 27,79 (Kuadran I) Merah
75% : 25% 21,78 11,254 27,33 (Kuadran I) Merah
50% : 50% 24,93 10,903 23,62 (Kuadran I) Merah
25% : 75% 27,91 10,611 20,82 (Kuadran I) Merah-Ungu
0% : 100% 33,99 10,031 16,44 (Kuadran I) Merah-Ungu

31
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 18. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan
(a). A1(Gambir 100%), (b). A2 (Gambir 75%:Secang25%), (c). A3( Gambir 50%:Secang 50%),
(d). A4 ( Gambir 25%: Secang 75%), (e). A5 (Secang 100%)

g. Nilai L dan C pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit


Nilai L* yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi
gambir dengan kunyit yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai L* hasil pewarnaan
kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25%
: 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 50,11, 53,66, 55,59, 57,88, dan 58,45. Gambar
19 dapat dilihat bahwa semakin kecil jumlah konsentrasi gambir yang digunakan maka
semakin besar nilai L* atau kecerahan yang dihasilkan. Maka konsentrasi gambir 100%
(konsentrasi kunyit 0%) memberikan warna yang paling gelap pada kain, sedangkan
konsentrasi gambir 0% (konsentrasi kunyit 100%) memberikan nilai L* paling tinggi yang
artinya warna pada kain yang dihasilkan paling cerah atau terang.

70
57,88 58,45
60 53,66 55,59
50,11
Nilai Hasil Pencelupan

50

40

30 25,28 25,66 25,97 26,85 Nilai L


24,45
20 Nilai C

10

0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Gambir : Kunyit

Gambar 19. Diagram Nilai L* dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi Perbandingan
Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi

Nilai C yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi
gambir dengan kunyit yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai C hasil pewarnaan
kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25%

32
: 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 24,45, 25,58, 25,66, 25,97, dan 26,85. Dari
Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai C atau ketajaman warna yang dihasilkan dari pewarnaan
kain meningkat dengan penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan, dimana pada
konsentrasi gambir 100% (konsentrasi kunyit 0%) memiliki nilai C yang paling rendah dan
pada konsentrasi kunyit 100% (konsentrasi gambir 0%) memiliki ketajaman warna yang paling
tinggi. Pada Gambar 19 juga dapat dilihat bahwa nilai C meningkat seiring peningkatan nilai
L* yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Semakin tinggi nilai L* atau warna kain
semakin cerah maka nilai ketajaman warna pada kain semakin tinggi.

h. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit


Dari tabel Anova (Lampiran 5) diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir
dengan secang dengan nilai alfa 5% memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai L* pada kain
hasil pewarnaan. Dari hasil perhitungan nilai tengah pada uji Duncan, perbandingan
konsentrasi gambir dengan kunyit pada level gambir 0% dan kunyit 100% memiliki nilai
kecerahan (L*) yang paling baik dalam mewarnai kain dibandingkan semua level perbandingan
konsentrasi. Pada level konsentrasi gambir 25% dan kunyit 75% memiliki nilai kecerahan
warna yang lebih baik pengaruhnya dibandingkan level perbandingan konsentrasi gambir 50%
dan kunyit 50%. Pada level konsentrasi gambir 50% dan kunyit 50% memiliki nilai kecerahan
warna yang lebih baik pengaruhnya dibandingkan level perbandingan konsentrasi gambir 75%
dan kunyit 25%. Pada level konsentrasi gambir 75% dan kunyit 25% memiliki nilai kecerahan
warna yang lebih baik pengaruhnya dibandingkan level perbandingan konsentrasi gambir
100% dan kunyit 0%. Namun, diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir dengan
kunyit dengan nilai alfa 5% tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ketajaman warna
(nilai C) pada kain hasil pewarnaan.

i. Derajat Hue pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit


Derajat Hue didapat dari arctan perbandingan nilai b dan a yang dihasilkan pada
kain hasil pewarnaan. Hue merupakan satuan yang digunakan Munsell untuk menterjemahkan
warna yang diperoleh dari pencampuran warna yang dilakukan. Namun terdapat perbedaan
antara interpretasi warna pada bola imajiner Munsell dengan warna yang ditangkap mata secara
visual (secara langsung). Hal ini dikarenakan pada bola imajiner Munsell warna
diinterpretasikan ke arah warna-warna dasar seperti merah, kuning, biru, dan hijau (Adrosko,
2006). Derajat Hue yang diperoleh dari kain hasil pewarnaan dengan larutan warna
gambir:kunyit menunjukan interpretasi warna merah. Nilai derajat Hue meningkat seiring
peningkatan konsentrasi larutan kunyit yang digunakan. Nilai derajat Hue dan interpretasi
warna dalam bola imajiner Munsell yang didapat pada kain hasil pewarnaan dapat dilihat pada
Tabel 9. Hasil pewarnaan kain mori dapat dilihat pada Gambar 20.
Tabel 9. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam Bola Imajiner Munsell
pada Kain Hasil Pewarnaan
Konsentrasi Nilai Nilai Interpretasi
Hue
Gambir : Kunyit a* b* Warna
100% : 0% 21,63 11,398 27,79 (Kuadran I) Merah
75% : 25% 22,25 12,011 28,37 (Kuadran I) Merah
50% : 50% 22,48 12,369 28,82 (Kuadran I) Merah
25% : 75% 22,67 12,661 29,18 (Kuadran I) Merah
0% : 100% 23,59 12,829 28,54 (Kuadran I) Merah

33
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 20. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan
(a). A1(Gambir 100%), (b). A2 (Gambir 75%:Kunyit 25%), (c). A3( Gambir 50%:Kunyit 50%),
(d). A4 ( Gambir 25%: Kunyit 75%), (e). A5 (Kunyit 100%)

Gambar 21. Letak Warna dalam Bola Imajiner Munsell


(A). Letak Nilai Hue Pada Gambir : Secang, (B). Letak Nilai Hue Pada Gambir :Kunyit

Pada Gambar 21 dapat dilihat letak derajat Hue pada bola imajiner Munsell. Panah A
menunjukkan letak nilai Hue dari atas ke bawah ( ditunjukkan dengan garis orange ), yaitu dari
konsenrtrasi gambir 100% sampai secang 100%. Letak Hue semakin ke bawah atau ke arah merah-
ungu seiring peningkatan konsentrasi secang yang digunakan pada larutan warna. Panah B
menunjukkan letak nilai Hue dari bawah ke atas (ditunjukkan dengan garis kuning), yaitu dari
konsentrasi gambir 100% sampai kunyit 100%. Letak Hue semakin ke atas atau ke arah kuning
seiring peningkatan konsentrasi kunyit yang digunakan dalam larutan warna.

2. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian

a. Evaluasi Perubahan Warna (Skala Abu-abu)


Penilaian skala abu-abu dilakukan dengan membandingkan perbedaan pada contoh
yang telah diuji dengan contoh asli terhadap perbedaan yang sesuai dengan urutan standar
perubahan warna yang digambarkan oleh grey scale (Djufri et al., 1973). Hasil pengujian
ketahanan luntur warna terhadap pencucian dari kain hasil pencelupan dengan zat warna

34
gambir-secang dan gambir-kunyit menunjukkan nilai 4 - 3 pada skala abu-abu. Data hasil
penelitian disajikan pada lampiran. Hasil ini menunjukkan bahwa contoh uji memiliki nilai
ketahanan luntur yang baik hingga cukup. Hasil konversi nilai skala abu-abu terhadap nilai
kromatisitas menunjukkan bahwa pada contoh uji terjadi perubahan warna setelah mengalami
pencucian. Perbedaan warna kain sebelum dan sesudah pencucian berkisar pada nilai 1,5
hingga 3. Nilai ketahanan luntur tertinggi adalah 1,5 dengan perbedaan warna sebesar 1,5
diperoleh dari kain yang dicelup pada larutan dengan konsentrasi gambir 100%, secang 100%,
dan kunyit 100%. Nilai ketahanan luntur terendah adalah 3 dengan perbedaan warna sebesar 3
diperoleh dari kain yang dicelup pada larutan dengan perbandingan konsentrasi gambir 50%
dan secang 50%.
Hasil data anova (Lampiran 6) pada nilai alfa 5% menunjukkan bahwa pada level
perbandingan konsentrasi gambir:secang dan gambir:kunyit tidak berpengaruh nyata terhadap
ketahanan luntur pencucian. Dengan demikian, level perbandingan konsentrasi yang diberikan
memberikan nilai ketahanan luntur pencucian yang sama pada setiap kain yang dihasilkan.
Penyerapan molekul zat warna ke dalam serat selulosa yang sebagian besar merupakan proses
imbibisi (Luftinor, 1997). Grafik hubungan perbandingan konsentrasi larutan pewarna dengan
skala abu-abu dapat dilihat pada Gambar 22 dan Gambar 23.

4,5 4 4
Skala Perubahan Warna (Gray

4
3,5 3 3 3
3
2,5
Scale)

2
1,5
1
0,5
0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Konsentrasi Gambir:Secang

Gambar 22. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Secang dengan


Skala Abu-abu
4,5 4 4
Skala Perubahan Warna (Gray

4
3,5 3 3 3
3
2,5
Scale)

2
1,5
1
0,5
0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Konsentrasi Gambir:Kunyit

Gambar 23. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Kunyit dengan


Skala Abu-abu

35
Proses imbibisi adalah berpindahnya molekul zat warna dari larutan yang
konsentrasi tinggi menuju larutan dengan konsentrasi rendah, yaitu dari larutan pewarna
menuju serat (Djufri et al.,1996). Semakin besar konsentrasi zat warna, maka konsentrasi zat
warna dalam serat semakin tinggi, sampai terjadi kesetimbangan. Kenaikan konsentrasi hanya
menyebabkan zat warna menempel pada permukaan, karena konsentrasi zat warna pada sumbu
serat sudah jenuh. Dengan demikian, semakin banyak zat warna yang menempel
mengakibatkan nilai tahan luntur warna semakin menurun (Sunarto, 2008).
Selain proses imbibisi, pada pencelupan selulosa umumnya terbentuk ikatan
hidrogen ataupun ikatan van der Waals. Gaya tarik menarik yang terjadi karena adanya gugus
hidroksil pada zat warna yang dapat mengadakan ikatan hydrogen dengan serat. Serat selulosa
dalam air bermuatan negatif, demikian juga zat warna alam bermuatan negatif, sehingga tidak
mungkin terjadi ikatan ion (Djufri et al., 1996).
Molekul-molekul zat warna dan serat mempunyai gugusan hidrokarbon yang sesuai,
sehingga waktu pencelupan zat warna mampu lepas dari air dan masuk ke dalam serat selulosa.
Gaya tersebut adalah gaya van der Waals yang merupakan gaya dispersi atau ikatan hidrofobik.
Zat warna alam yang digunakan masuk ke dalam serat dan kemungkinan menempel pada serat
tanpa adanya reaksi, sehingga daya ikatnya lemah. Kelemahan ini dapat diatasi dengan proses
fiksasi menggunakan jeruk nipis. Pada penelitian konsentrasi jeruk nipis yang digunakan yaitu
1% meskipun konsentrasi zat warna yang digunakan berbeda-beda. Menurut SNI 105-2010,
ketahanan luntur, semakin tinggi nilai ketahanan luntur maka kualitas kain hasil pencelupan
semakin baik. Oleh sebab itu, berdasarkan nilai hasil ketahanan luntur, secang 100% memiliki
nilai ketahanan luntur terbaik.

b. Evaluasi Penodaan (Skala Penodaan)


Evaluasi ketahanan luntur terhadap pencucian memerlukan evaluasi terhadap kain
pelapis putih yang dicuci bersama dengan kain berwarna. Skala penodaan pada poliester
menunjukkan nilai 4,5 sampai 5, sedangkan pada kain kapas berkisar 3,5 hingga 4,5. Hasil
konversi skala penodaan terhadap nilai kromatisitas menunjukkan bahwa contoh uji terdapat
perbedaan warna kain poliester sebelum dan sesudah pencucian berkisar pada nilai 0 4,
sedangkan pada kain kapas sebesar 2 5,6.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa contoh uji memberikan penodaan cukup
baik hingga baik pada kain kapas dan baik hingga baik sekali pada kain poliester. Grafik
hubungan level perbandingan konsentrasi larutan pewarna dengan evaluasi penodaan dapat
dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.

36
5
4,5
4

Skala Penodaan
3,5
3
2,5
2 Gambir : Secang
1,5 Gambir : Kunyit
1
0,5
0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna

Gambar 24. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna dengan Nilai
Skala Penodaan Kain

5
Skala Penodaan

3
Gambir : Secang
2
Gambir : Kunyit
1

0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna

Gambar 25. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna dengan


Nilai Skala Penodaan Poliester

Dari data Anova (Lampiran 6 dan Lampiran 7) menunjukkan bahwa level perlakuan
perbandingan konsentrasi gambir:secang dan gambir:kunyit memberikan pengaruh nyata pada
penodaaan kain kapas dan berpengaruh nyata juga pada penodaan poliester. Pada proses
pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian mengakibatkan zat warna terlepas dari kain
kemudian terlarut dalam larutan sabun dan lebih mudah menodai kain kapas.
Berdasarkan uji lanjut Duncan pada penodaan kain kapas untuk larutan
gambir:secang dan gambir:kunyit memiliki kesamaan hasil yaitu pada level perbandingan
konsentrasi 100%:0%, 75%:25%, dan 0%:100% berbeda nyata terhadap semua level
perlakuan. Namun pada level perbandingan konsentrasi larutan warna tidak memberikan
perbedaan nyata terhadap penodaan kain dan terhadap poliester.
Menurut Sunarto (2008), zat warna alami mudah menodai kain yang berasal dari
serat alam seperti wol, sutera, dan kapas. Dengan demikian, kain hasil pewarnaan memiliki

37
nilai penodaan lebih rendah dibandingkan poliester sebagai pembanding yang berasal dari serat
sintetik. Serat poliester adalah serat sintetik yang terbentuk dari molekul polimer poliester
linier dengan susunan paling sedikit 85% berat senyawa dari dihidroksil alkohol dan asam
tereftalat yang menyebabkan serat poliester sulit untuk dicelup (Riawan et al., 2006), sehingga
lebih sulit ternodai oleh kain hasil pencelupan dengan zat warna alam.

3. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan bertujuan untuk menentukan penodaan
tekstil berwarna pada kain lain yang disebabkan oleh gosokan. Ketahanan luntur warna terhadap
gosokan dilakukan terhadap gosokan basah dan gosokan kering. Skala penodaan yang dihasilkan dari
gosokan kering sangat baik pada kain, yakni tidak ada noda yang ditimbulkan akibat gosokan kering.
Gosokan basah menghasilkan nilai penodaan yang lebih rendah dibandingkan gosokan kering dengan
nilai 3,5 4,5 yang berarti ketahanan luntur gosokan kain bernilai baik hingga cukup baik. Jika
dikonversi ke dalam standar kromatisitas Adam, maka nilai perbedaan warna sebesar 2 5,6. Hal
tersebut disebabkan oleh air yang terserap pada kain penggosok. Menurut Suprijono (1974) dalam
Sunarto (2008), air menyebabkan penggembungan pada serat dan membuka pori-pori kain, sehingga
molekul zat warna lebih mudah keluar pada saat penggosokan dan mudah menempel ketika digosok
secara berulang-ulang. Grafik pengaruh konsentrasi larutan pewarna terhadap ketahanan luntur
gosokan basah dapat dilihat pada Gambar 26.

5
4,5
4
Skala Penodaan

3,5
3
2,5
2 Gambir : Secang
1,5 Gambir : Kunyit
1
0,5
0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna

Gambar 26. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna terhadap Ketahanan
Luntur Gosokan

Dari gambir di atas dapat diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir 100%, gambir
75%: secang 25%, kunyit 100% dan secang 100% memiliki nilai ketahanan luntur gosokan terbaik.
Dari data anova (Lampiran 8), menunjukkan bahwa level perbandingan konsentrasi gambir:secang
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap gosokan basah, sedangkan pada level perbandingan
konsentrasi gambir:kunyit memberikat perbedaan yang nyata terhadap ketahanan luntur gosokan.
Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi kunyit 100% berbeda nyata terhadap semua perlakuan.
Konsentrasi gambir 100% berbeda nyata dengan konsentrasi kunyit 100%, namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan yang lain. Konsentrasi gambir 75% : kunyit 25% berbeda nyata dengan konsentrasi
gambir 50%: kunyit 50% tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi gambir 25% : secang 75%.

38
4. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap keringat bertujuan untuk menentukan penodaan
tekstil berwarna pada kain lain yang disebabkan oleh keringat. Ketahanan luntur warna terhadap
keringat menggunakan larutan keringat dengan pH 8,8 (basa) karena larutan warna yang digunakan
dalam pewarnaan kain bersifat asam. Ketahanan luntur keringat pada kain uji memberikan nilai 2,5 -
3,5 pada skala penodaan, sedangkan skala penodaan pada poliester semua perlakukan memberikan
nilai 5. Hal tersebut disebabkan sifat kain poliester sulit diwarnai oleh pewarna alami. Zat warna yang
memiliki pH relatif asam kurang tahan terhadap larutan tandingan basa dan cenderung akan
memberikan perubahan warna pada kain, namun penggunaan zat fiksatif yang memiliki pH yang lebih
asam dibandingkan pH zat warna akan memperbaiki sifat ketahanan luntur warna pada kain hasil
pewarnaan (Riawan et al., 2006). Dengan demikian meskipun zat warna pigmen yang digunakan
relatif asam namun warna kain hasil uji ketahanan luntur terhadap keringat basa tidak mengubah
warna secara visual karena adanya penggunaan zat fiksatif yaitu larutan jeruk nipis 1%. Grafik
pengaruh perbandingan konsentrasi larutan pewarna dapat dilihat pada Gambar 27.

4
3,5
3
Skala Penodaan

2,5
2
Gambir : Secang
1,5
Gambir : Kunyit
1
0,5
0
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna
Gambar 27. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna terhadap Ketahanan
Luntur Keringat

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi gambir 100%, gambir 75%: kunyit 25%,
dan gambir 25% : kunyit 75% memiliki nilai ketahanan luntur warna terhadap keringat yang paling
baik dalam skala penodaan. Data anova (Lampiran 9) menunjukkan bahwa level perbandingan
konsentrasi larutan warna gambir:secang memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur
keringat kain. Berdasarkan perhitungan nilai tengah pada uji lanjut Duncan seluruh level
perbandingan konsentrasi gambir:secang memberikan perbedaan nyata pada setiap level perlakuan
konsentrasi. Namun pada level perbandingan konsentrasi gambir:kunyit tidak memberikan perbedaan
nyata pada ketahanan luntur terhadap keringat. Dengan demikian perbandingan konsentrasi gambir
dengan kunyit tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan luntur warna terhadap keringat. Gambar
28 menunjukkan penampakan kain hasil analisis ketahanan luntur warna terhadap keringat, gosokan,
dan pencucian.

39
Penampakan Setelah Analisis
Kode dan Ketahanan Ketahanan Ketahanan
Penampakan
konsentra Luntur Warna Luntur Warna Luntur Warna
Hasil Pewarnaan
si Larutan Terhadap Terhadap Terhadap
Pencucian Gosokan Keringat

A1
(Gambir
100%)

A2
( Gambir
75%:
Secang
25%)

A3
( Gambir
50% :
Secang
50%)

A4
( Gambir
25% :
Secang
75%)

A5
(Secang
100%)

Gambar 28. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisis Ketahanan Luntur Warna Pada
Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang yang Bervariasi

40
Penampakan Setelah Analisis
Kode dan Ketahanan Ketahanan Ketahanan
Penampakan
konsentra Luntur Warna Luntur Warna Luntur Warna
Hasil Pewarnaan
si Larutan Terhadap Terhadap Terhadap
Pencucian Gosokan Keringat

A1
(Gambir
100%)

B2
( Gambir
75%:
Kunyit
25%)

B3
( Gambir
50% :
Kunyit
50%)

B4
( Gambir
25% :
Kunyit
75%)

B5
(Kunyit
100%)

Gambar 29. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisis Ketahan Luntur Warna Pada
Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi

5. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori

Pada Tabel 10 disajikan perhitungan biaya untuk menghasilkan kain mori hasil pencelupan
menggunakan gambir, secang, dan kunyit sebagai pewarna alami. Kebutuhan biaya adalah
berdasarkan pertimbangan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pewarnaan kain kapas, yaitu jenis
kain yang digunakan adalah kain mori yang terbuat dari serat selulosa, air suling dengan pH netral
sebagai pelarut pada proses pembuatan larutan pewarna, gambir, secang, kunyit, jeruk nipis sebagai

41
mordan, tawas dan soda abu sebagai mordan awal pemasakan kain, dan perlakuan panas saat proses
pencelupan berlangsung.

Tabel 10. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori Per m2

Bahan Kebutuhan Satuan Harga/Satuan (Rp) Harga/m2 (Rp)


Gambir 100 gram Kg 30000 15000
Secang 100 gram Kg 8000 4000
Kunyit 100 gram Kg 8000 4000
30 gram
Kain Mori meter 20000 20000
(37 x 50 cm)
Tawas 8 gram Kg 8000 320
Jeruk Nipis 10 gram Kg 6000 320
Soda Abu 2 gram Kg 10000 100
Aquades 4 Liter Liter 1500 30000
Total 73740

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa untuk menghasilkan kain mori yang dicelup
dengan menggunakan pewarna alami dari campuran gambir, secang, dan kunyit, biaya per m2 kain
mori sebesar Rp 73.740,00.

42
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Larutan pewarna alami yang menggunakan campuran gambir, secang dan kunyit dapat
digunakan sebagai penghasil pigmen alami yang dapat mewarnai kain mori serta memberikan
spektrum warna yang beragam pada kain mori hasil pewarnaan. Nilai kecerahan (L*) warna kain
paling tinggi adalah pada konsentrasi kunyit 100% yaitu sebesar 58,45 dan nilai L* terendah
pada konsentrasi secang 100% yaitu sebesar 42,28. Nilai ketajaman warna (C) terbesar adalah
pada konsentrasi larutan secang 100% yaitu sebesar 35,44 dan nilai C terendah adalah pada
konsentrasi larutan gambir 100% yaitu sebesar 24,45. Berdasarkan uji kecerahan dan ketajaman
warna, perbandingan konsentrasi larutan warna gambir dengan secang dan gambir dengan kunyit
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai L* dan C yang dihasilkan.

Dari hasil uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, diketahui bahwa perbandingan
konsentrasi larutan gambir dengan secang dan gambir dengan kunyit tidak berpengaruh
signifikan terhadap ketahanan luntur warna pencucian pada skala abu-abu, namun memberikan
perbedaan nyata pada skala penodaan. Konsentrasi larutan warna yang memiliki nilai ketahanan
luntur warna terbaik adalah konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100%.

Pada uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada skala penodaan, diketahui bahwa
perbandingan konsentrasi larutan gambir dengan secang tidak berpengaruh nyata pada ketahanan
luntur warna terhadap gosokan. Namun, perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit
memberikan perbedaan nyata ketahanan luntur warna terhadap gosokan. Konsentrasi larutan
warna yang memiliki nilai ketahanan luntur warna terbaik adalah konsentrasi gambir 100%,
secang 100%, dan kunyit 100%.

Uji ketahanan luntur warna terhadap keringat dilakukan pada pH 8,8. Dari hasil pengujian
ketahanan luntur warna terhadap keringat, diketahui bahwa perbandingan konsentrasi larutan
gambir dengan secang dan gambir dengan kunyit tidak berpengaruh terhadap ketahanan luntur
keringat. Konsentrasi larutan warna yang memiliki nilai ketahanan luntur warna terbaik adalah
konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100%.

B. SARAN
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Untuk meningkatkan mutu kain mori hasil pewarnaan, diperlukan penggunaan berbagai sumber
bahan pewarna alami yang lebih banyak untuk mendapatkan berbagai variasi warna.

(2) Untuk meningkatkan mutu kain mori hasil pewarnaan, diperlukan penggunaan berbagai jenis
mordan untuk memperbaiki sifat ketahanan luntur warna.

43
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, D. R., dan Indriati. 2003. Color Stability of Natural Pigmen from Secang Wood ( Caesalpinia
sapppan L). Proceeding of The 8th Asean Food Conference; Hanoi.
Amos, L., Zainuddin, B, Triputranto, S. Rusmandana, dan Ngudiwaluyo. 2004. Teknologi Pasca Panen
Gambir. BTTP Press, Jakarta.
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry. AOAC.
Washington.
Badan Standar Nasional. 2008. SNI 0288-2008. Uji Gosokan. Badan Standarisai Nasional. Jakarta.
Badan Standar Nasional. 2010. SNI ISO 105-C06-2010. Uji Pencucian. Badan Standarisai Nasional. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 01-3391-2000. Gambir. Badan Standarisai Nasional. Jakarta.
Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula Vol II. Millbank, London.
Cahyadi, Wisnu. 2006. Bahan Pengawet Makanan. Bumi Aksara, Jakarta.
Darwis SN, Madjo Indo ABD, Hasiyah S. 1991. Tumbuhan Obat Famili zingiberaceae. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Dewan Kerajinan Nasional.1999. Strategi Penggunaan Kembali Warna-Warna Alam Di Arena Internasional.
Yogyakarta
Djufri, R, A. Koesnarno, A. Salihima, A. Lunis. 1996. Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan
Pengecapan. Institut Teknologi Testil, Bandung.
Downham, A. dan Collins, P.2000. Colouring Our Foods in the Last and Next Millenium. International Journal
of Food Science and Technology. 35:5-22.
Eaton, B. J., and R. O. Bishop. 1926. Pale Catechu, Extraction and Valuation. Malayan Agricultural Journal.
14 (2) : 37-48.
Gove, P. B. dan M. Webster. 1966. Websters Third Internasional Dictionary The English Language Unbridge.
G and C Merriam Company Publishers. Massachussetts.
Gumbira-Said, E., K. Syamsu, E. Mardliyati, A. Herryandie, N. A. Evalia, D. L. Rahayu, A. A. A. R.
Puspitarini, A. Ahyarudin, A. Hadiwijoyo. 2009b. Agroindustri & Bisnis Gambir Indonesia. IPB
Press, Bogor.
Hadad, M. A., N. R. Ahmad, M. Herman, H. Supriadi dan A.M. Hasibuan. 2007. Teknologi Budidaya dan
Pengolahan Hasil Gambir. http://balitri.litbang.go.id/database/ TEKNOLOGI%BUDIDAYA%20
DAN%20PENGOLAHAN%HASIL%20GAMBIR.pdf]
Hasanudin. 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya Pada Produk Batik danTekstil
Kerajinan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik, Yogyakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.
Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance Second Edition. Aspen Publishers, Inc, Maryland.
Lemmens, R. H. J. Dan N. W. Soetjipto. 1992. Tanaman Penghasil Bahan Pewarna dan Tanin. Plant
Resources of South East Asia. Prosea, Bogor.
Nazir, N. 2000. Gambir, Budidaya, Pengolahan Hasil dan Prospek Diversifikasinya. Yayasan Hutanku,
Padang.
Nuryeti, J. A. K., Aspiani, S. Amin, F. Indriani dan Tawazudin. 1995. Uji Coba Peralatan Ekstraksi Daun
Gambir Sebagai Sumber Tanin Hasil Rancang Bangun Balai Industri Banda Aceh. BBIHP, Banda
Aceh.
Oliveira, L. F. C., H. G. M. Edwars, E. S. Velozo, M. Nesbitt. 2002. Vibrational Spectroscopic Study of
Brazilin and Brazilein, The Main Constitunet of Brazilinwood from brazil. Journal of Vibrational
Spectroscopy 28 : 243-249.

44
Pawar, C. R., A. D. Landge, and S. J. Surana. 2008. Phytochemical and Pharmacological Aspect of
Caesalpinia sappan. Research Article.
Purseglove, J. W., Brown E. G., Green C. L, and Robins S. R. J. 1981. Species Vol 2. Longman, London.
Riawan , Indra., E. Hartoyo., S. Rukmini. 2006. Panduan Tekstil dan Evaluasi Tekstil. Museum Tekstil DKI
Jakarta.
Rukmana, R. 1994. Kunyit. Kaisiusmedia, Yogyakarta.
Sinaga, E. 2006. Botani Kunyit. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat Universitas Nasional,
Jakarta.
Sudibyo, A., S. Sait dan E. H. Loebis. 1988. Pengaruh Cara dan Lama Penyairan Terhadap Mutu Gambir
(Uncaria gambir Roxb.) yang Dihasilkan. Journal of Agro-Based Industry Vol.5, No.1. BBIHP,
Bogor.
Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sugiarto & Shigeru W. 2003. Teknologi Tekstil. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Susanto, S. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan Kerajinan : Departemen
Perindustrian.
Taryono. 1988. Budidaya dan Pengolahan Tanaman Kunyit (Curcuma domes-tica Val). Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Thorpe, J. F. dan Whiteley, M. A. 1921. Thorpes Dictionary of Applied Chemistry. Fourth Edition, Vol. II.
Longmans, Green and Co. London.
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika, Edisi Ke-3. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F. G. dan Wirahartakusumah, M.A. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta.
Ye Min, W. D. Xie, F. Lei, Z. Meng, Y. Zhao, H. Su, and L.Du. 2006. Brazilin and Important
Immunosuppresive component from Caesalpinia sappan L. Internasional Journal of
Immunapharmacology 6: 426-432.
Zulnely, E., S. Sumadiwangsa, Erik D, dan Umi K. 1994. Komponen Aktif Dua Puluh Jenis Tumbuhan Obat di
Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 22. 1 :43-50.

45
LAMPIRAN

46
Lampiran 1. Nilai Tahan Luntur Warna

1. Penilaian Perubahan Warna Pada Skala Abu-abu (Grey Scale)


Nilai Tahan Luntur Warna Perbedaan Warna (dalam satuan Evaluasi Tahan Luntur Warna
CD)
5 0 Baik Sekali
4 1,5 Baik
3 3,0 Cukup
2 6,0 Kurang
1 12 Jelek

2. Penilaian Penodaan Warna Pada Skala Penodaan (Staining Scale)


Nilai Tahan Luntur Warna Perbedaan Warna (dalam satuan Evaluasi Tahan Luntur Warna
CD)
5 0,0 Baik Sekali
4-5 2,0 Baik
4 4,0 Baik
3-4 5,6 Cukup Baik
3 8,0 Cukup
2-3 11,3 Kurang
2 16,0 Kurang
1-2 22,6 Jelek
1 32 Jelek

Keterangan :
C D : Color Difference berdasarkan standar kromatisitas Adam

47
Lampiran 2. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap pH Larutan Warna

a. Data Hasil Pengukuran Nilai pH Larutan Warna pada Perbandingan Konsentrasi Gambir:Secang
Perbandingan Konsentrasi Nilai pH
Gambir dan Secang Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 :0 4,37 4,4 4,39
75 : 25 4,41 4,52 4,47
50 :50 4,48 4,59 4,54
25 : 75 4,86 5,09 4,98
0 : 100 5,7 5,77 5,74

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai pH dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 2,51544 4 0,62886 75,85766 0,000116 5,192168 BN
Within Groups 0,04145 5 0,00829

Total 2,55689 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai pH dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% D
0% : 100% E
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

d. Data Hasil Pengukuran Nilai pH Larutan Warna pada Perbandingan Konsentrasi Gambir:Kunyit

Perbandingan Konsentrasi Nilai pH


Gambir dan Kunyit Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 :0 4,37 4,4 4,39
75 : 25 4,4 4,49 4,45
50 :50 4,45 4,58 4,52
25 : 75 4,73 5,05 4,89
0 : 100 5,51 5,22 5,37

48
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai pH dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,3496 4 0,3374 15,88512 0,004769 5,192168 BN
Within Groups 0,1062 5 0,02124

Total 1,4558 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

f. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai pH dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% D
0% : 100% E
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

49
Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Nilai Viskositas Larutan
Warna

a. Data Hasil Pengukuran Viskositas Larutan Warna pada Perbandingan Gambir dan Secang
Perbandingan Konsentrasi Viskositas (cP)
Gambir dan Secang Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 :0 17 18 17,50
75 : 25 8 9 8,50
50 :50 11 10 10,50
25 : 75 7 6 6,50
0 : 100 2 3 2,50

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai Viskositas dengan Nilai
= 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 246,4 4 61,6 123,2 3,51E-05 5,192168 BN
Within Groups 2,5 5 0,5

Total 248,9 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai pH dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% D
0% : 100% E
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

d. Data Hasil Pengukuran Viskositas Larutan Warna pada Perbandingan Gambir dan Kunyit
Perbandingan Konsentrasi Viskositas (cP)
Gambir dan Kunyit Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 :0 17 18 17,50
75 : 25 11 12 11,50
50 :50 7 8 7,50
25 : 75 3 4 3,50
0 : 100 2 3 2,50

50
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai Viskositas dengan Nilai
= 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 304 4 76 152 2,09E-05 5,192168 BN
Within Groups 2,5 5 0,5

Total 306,5 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

f. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai Viskositas dengan Nilai
= 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% D
0% : 100% E
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

51
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kain Hasil Pencelupan

a. Data Hasil Pengukuran Nilai L pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir
dengan Secang.

Perbandingan Konsentrasi Nilai L


Gambir (%) dan Secang (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 :0 50,3 50,96 50,63
75 : 25 50,57 49,74 50,16
50 :50 48,75 48,89 48,82
25 : 75 46,43 46,57 46,50
0 : 100 42,6 42,71 42,66

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai L pada Kain dengan
Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between Groups 85,48966 4 21,372415 181,76914 1,34E-05 5,192168 BN
Within Groups 0,5879 5 0,11758

Total 86,07756 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata
c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai L pada Kain dengan
Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% A
50% : 50% B
25% : 75% C
0% : 100% D
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

d. Data Hasil Pengukuran Nilai C pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir
dengan Secang

Perbandingan Nilai a Nilai b Nilai C


Konsentrasi Gambir Ulangan Ulangan Rata- Ulangan Ulangan Rata- Ulangan Ulangan Rata-
(%) dan Secang (%) 1 2 rata 1 2 rata 1 2 rata
100 :0 22,21 21,045 21,63 11,337 11,4585 11,40 24,94 23,96 24,45
75 : 25 21,44 22,12 21,78 11,282 11,226 11,25 24,23 24,81 24,52
50 :50 24,105 25,745 24,93 11,069 10,736 10,90 26,52 27,89 27,21
25 : 75 28,56 27,265 27,91 10,5 10,722 10,61 30,43 29,30 29,86
0 : 100 34,085 33,895 33,99 9,9615 10,1 10,03 35,51 35,37 35,44

52
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai C pada Kain dengan
Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 167,4941339 4 41,873533 93,935672 6,85E-05 5,192168 BN
Within Groups 2,228840886 5 0,4457682

Total 169,7229748 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

d. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai C pada Kain dengan
Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% A
50% : 50% B
25% : 75% C
0% : 100% D

53
Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kain Hasil Pencelupan

a. Data Hasil Pengukuran Nilai L pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir
dengan Kunyit.

Perbandingan Konsentrasi Nilai L


Gambir (%) dan Kunyit (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 :0 49,755 50,455 50,11
75 : 25 53,875 53,45 53,66
50 :50 55,79 55,395 55,59
25 : 75 57,16 57,705 57,43
0 : 100 58,12 58,775 58,45

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai L pada Kain dengan
Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 87,78356 4 21,94589 141,3402 2,5E-05 5,192168 BN
Within Groups 0,77635 5 0,15527

Total 88,55991 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai L pada Kain dengan Nilai
= 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% D
0% : 100% E
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

54
d. Data Hasil Pengukuran Nilai C pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir
dengan Kunyit

Nilai a Nilai b Nilai C


Perbandingan Konsentrasi
Gambir (%) dan kunyit (%) Ulangan Ulangan Rata- Ulangan Rata- Ulangan Ulangan Rata-
Ulangan 1
1 2 rata 2 rata 1 2 rata
100 :0 22,21 21,045 21,63 11,337 11,4585 11,40 24,94 23,96 24,45
75 : 25 22,405 22,1 22,25 12,0475 11,974 12,01 25,44 25,14 25,29
50 :50 22,695 22,255 22,48 12,3775 12,3595 12,37 25,85 25,46 25,65
25 : 75 22,8 22,545 22,67 12,614 12,7075 12,66 26,06 25,88 25,97
0 : 100 25,445 21,73 23,59 12,765 12,893 12,83 28,47 25,27 26,87

e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai C pada Kain dengan
Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
5%
Between
Groups 6,312861 4 1,578215 1,37599 0,361118 5,192168
TBN
Within
Groups 5,734833 5 1,146967

Total 12,04769 9

Keterangan : BN = Beda Nyata


TBN = Tidak Beda Nyata

55
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian Larutan Warna
Gambir : Secang

a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada larutan warna gambir : secang

Perbandingan Perubahan Warna (GS) Penodaan Kain Kapas (SS) Penodaan Poliester (SS)
Gambir : Secang 1 2 rata-rata 1 2 rata-rata 1 2 rata-rata
100% : 0% 1,5 3 1,5 2 4 4 0 2 0
75% : 25% 3 3 3 4 5,6 5,6 2 2 2
50% : 50% 3 3 3 5,6 5,6 5,6 4 4 4
25% : 75% 3 3 3 5,6 5,6 5,6 4 4 4
0% : 100% 1,5 1,5 1,5 2 2 2 0 0 0

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian
pada Kain Skala Abu-abu dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,6 4 0,4 4 0,08035 5,192168 TBN
Within Groups 0,5 5 0,1
Total 2,1 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian
pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,65 4 0,4125 8,25 0,019915 5,192168 BN
Within Groups 0,25 5 0,05

Total 1,9 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

56
d. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur
Pencucian pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% C
0% : 100% AB
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian
pada Kain Poliester dengan Nilai = 5%

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between Groups 0,4 4 0,1 4 0,08035 5,192168 TBN
Within Groups 0,125 5 0,025

Total 0,525 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

57
Lampiran 7. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian Larutan Warna
Gambir : Kunyit

a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada larutan warna gambir : kunyit

perubahan warna
Perbandingan penodaan kain kapas (SS) penodaan poliester (SS)
(GS)
Gambir : Kunyit
1 2 rata-rata 1 2 rata-rata 1 2 rata-rata
100% : 0% 4 3 4 4,5 4 4,5 5 4,5 5
75% : 25% 3 3 3 4 3,5 4 4,5 4,5 4,5
50% : 50% 3 3 3 3,5 3,5 3,5 4 4 4
25% : 75% 3 3 3 3,5 3,5 3,5 4 4 4
0% : 100% 4 4 4 4,5 4,5 4,5 5 5 5

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian
pada Kain Skala Abu-abu dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS Df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,6 4 0,4 4 0,08035 5,192168 TBN
Within Groups 0,5 5 0,1

Total 2,1 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian
pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS Df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,65 4 0,4125 8,25 0,019915 5,192168 BN
Within Groups 0,25 5 0,05

Total 1,9 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata
d. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan KunyitTerhadap Ketahanan Luntur
Pencucian pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% C
0% : 100% D
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

58
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian
pada Kain Poliester dengan Nilai = 5%

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between Groups 0,4 4 0,1 4 0,08035 5,192168 TBN
Within Groups 0,125 5 0,025

Total 0,525 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

59
Lampiran 8. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan

a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada larutan warna gambir : secang

Perbandingan Penodaan kain kapas (SS)


Gambir : Secang 1 2 rata-rata
100% : 0% 4 4,5 4,5
75% : 25% 4,5 3,5 4,5
50% : 50% 4 4 4
25% : 75% 3,5 3,5 3,5
0% : 100% 4,5 4,5 4,5

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur gosokan
pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,1 4 0,275 2,2 0,204989 5,192168 TBN
Within Groups 0,625 5 0,125

Total 1,725 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada larutan warna gambir : kunyit

Perbandingan penodaan kain kapas (SS)


Gambir : Kunyit 1 2 rata-rata
100% : 0% 4 4,5 4,5
75% : 25% 3,5 3,5 3,5
50% : 50% 4 4 4
25% : 75% 3,5 3,5 3,5
0% : 100% 4 4,5 4,5

d. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur gosokan
pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 0,9 4 0,225 9 0,016594 5,192168 BN
Within Groups 0,125 5 0,025
Total 1,025 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

60
e. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur
Gosokan dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% A
50% : 50% B
25% : 75% B
0% : 100% C
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

61
Lampiran 9. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat

a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap keringat pada larutan warna gambir : secang

Perbandingan
Penodaan Kain Kapas (SS)
Gambir : Secang
1 2 rata-rata
100% : 0% 3,5 3,5 3,5
75% : 25% 3 3 3
50% : 50% 2,5 2,5 2,5
25% : 75% 2,5 2,5 2,5
0% : 100% 2 2 2

b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur keringat
pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 2,581 4 0,64525 2581 1,8E-08 5,192168 BN
Within Groups 0,00125 5 0,00025

Total 2,58225 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

c. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur
Keringat dengan Nilai = 5%

Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat


100% : 0% A
75% : 25% B
50% : 50% C
25% : 75% AB
0% : 100% CB
Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata

d. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap keringat pada larutan warna gambir : kunyit

Perbandingan
penodaan kain kapas (SS)
Gambir : Kunyit
1 2 rata-rata
100% : 0% 3,5 3,5 3,5
75% : 25% 3,5 3 3,5
50% : 50% 3 3 3
25% : 75% 2,5 3,5 3,5
0% : 100% 2,5 2,5 2,5

62
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan kunyit Terhadap Ketahanan Luntur keringat pada
Kain Skala Penodaan dengan Nilai = 5%

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit 5%
Between
Groups 1,1 4 0,275 2,2 0,204989 5,192168 TBN
Within Groups 0,625 5 0,125

Total 1,725 9
Keterangan : BN = Beda Nyata
TBN = Tidak Beda Nyata

63
No. Analisis Kandungan ( % bb)
1 Kadar Air 9,41
2 Kadar Protein 10,12
3 Kadar Lemak 9,18
4 Kadar Abu 1,20
5 Kadar Protein 70,09

64

You might also like