You are on page 1of 168

PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA

TIMOR BARAT

Arnold E. Manu
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang
Telp.(0380)-881084, HP.085239299545, E-mail: Maurin_01@yahoo.co.id

ABSTRACT

The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna
productive at different season. The location of this study is in the station of Lili
field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40
hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical
composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the
carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for
measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the
averages of forage fluctuation available is between 0.61-4,33 ton/hectare. The
lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is
0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the
highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases
and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was
increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is 2.71-
9.48%. The composition of CP in nature grass has no significant difference with
the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry
season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature
grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack
proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage
quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the
quality of nature grass become very low.
Key words : Production, savannah, pasture, West Timor

ABSTRAK

Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengukur produktivitas sabana Timor


Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda telah dilakukan
di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Naibonat Kupang, dengan sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha
dan berlangsung selama 1 (satu) tahun. Data yang dikumpulkan adalah: komposisi
botani, produksi, kualitas hijauan dan konsumsi di sabana serta daya tampung,
data dianalisis secara deskriptif. Ternak yang digunakan untuk pengamatan
konsumsi sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon. Pengukuran jumlah konsumsi
pakan di sabana pada puncak musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan
fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi
pada titik terendah terjadi pada puncak kemarau (Oktober) yaitu 0,61 ton/ha.
Kemudian bergerak naik pada di bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi
pada awal kemarau (April). Dari sini terus menurun dan mencapai titik terendah
di Oktober. Kandungan PK sangat besar variasinya diantara 2,71-9,48%.
Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Sebagian
besar hijauan adalah rumput alam (di atas 90%), hanya terdapat sedikit tanaman

Prosiding Semnas II HITPI Page 184


leguminosa. Konsumsi hijauan selama penggembalaan berkisar antara 0,7-1,9%
dari berat badan. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam
menyebabkan rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau
proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat
rendah mutunya.
Kata Kunci : Produksi, sabana, padang penggembalaan, Timor Barat

PENDAHULUAN

Timor Barat merupakan salah satu tempat konsentrasi ternak ruminansia di


Nusa Tenggara Timur (NTT). Ternak biasanya dipelihara dengan dilepas bebas di
padang penggembalaan dan dikandangkan pada malam hari. Hal ini
dimungkinkan karena didukung oleh potensi alam Timor Barat yang memiliki
padang sabana yang luas, menurut data tahun 1999 terdapat 1.399.980,824 ha, dan
yang digunakan sebagai padang penggembalaan seluas 736.981 ha. Kawasan
pulau Timor memiliki kondisi alam yang dipengaruhi oleh sistem angin muson
yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (tiga sampai empat bulan yaitu
Desember sampai Maret) dan musim kemarau panjang (delapan sampai sembilan
bulan yaitu April sampai Nopember). Adanya jarak waktu yang tidak seimbang
antara musim hujan dan musim kemarau mengakibatkan pengaruh negatif
terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia di padang penggembalaan dan
secara tidak langsung mempengaruhi proses produksi dan reproduksi ternak.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim sistem Schmidt dan Ferguson, wilayah
Timor Barat termasuk dalam tipe iklim E (agak kering) (Anonim, 2002). Kondisi
ini berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan air tanah untuk proses
fisiologis tanaman. Besarnya hasil fotosintesis netto pada tanaman berhubungan
erat dengan ketersediaan air di daerah perakaran termasuk hijauan yang terdapat
dalam hamparan sabana.
Gejala yang sudah lazim terjadi adalah kekurangan air selama musim
kemarau bagi pertumbuhan rumput, di samping terjadi kekurangan air selama
musim kemarau juga terjadi peningkatan suhu (mencapai di atas 32 o C) yang
mengakibatkan peningkatan laju proses fotosintesis dan menurun setelah
mencapai titik optimum. Keadaan ini bermuara pada menurunnya kualitas rumput
yang ditandai dengan menurunnya kandungan protein kasar. Penurunan
kandungan protein kasar akan berpengaruh terhadap penurunan total konsumsi
bermuara pada penurunan berat badan.
Berdasarkan pemikiran ini maka telah dilakukan suatu penelitian yang
bertujuan untuk: mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang
penggembalaan pada musim yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, yang memiliki sabana sebagai
padang penggembalaan seluas 40 ha. Penelitian berlangsung selama 1 (satu) tahun
yaitu selama 2 musim yang berbeda.

Prosiding Semnas II HITPI Page 185


Materi penelitian
Ternak percobaan. Ternak yang digunakan untuk pengamatan
konsumsi di sabana sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon kering.
Peralatan. Peralatan yang digunakan adalah timbangan duduk merk
Tanita kapasitas 115 kg dengan kepekaan 0,1 kg untuk menimbang ternak, untuk
hijauan dengan timbangan merk Camry kapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 g, dan
bingkai kuadrat untuk pengukuran produksi hijauan.

Metode penelitian
Untuk dapat menjawab tujuan yang diajukan dilaksanakan penelitian yang
meliputi:

Padang penggembalaan sabana


Untuk keperluan pengamatan komposisi botani, produksi dan kualitas
hijauan serta daya tampung, areal penggembalaan dibagi ke dalam 8 petak dengan
luas masing-masing petak 5 ha. Pengukuran dilakukan dengan metode Halls et al.
(1964) yang dikutip Susetyo (1980) yaitu dengan menggunakan bingkai kuadrat
berukuran 1 1 m2 sebagai titik pengamatan. Penempatan bingkai kuadrat
dilakukan dengan menggunakan bilangan teracak di setiap petak. Sebanyak 8 titik
pengamatan untuk masing-masing petak sehingga diperoleh 64 titik pengamatan.
Pengamatan dilakukan sepanjang tahun setiap 2 bulan sekali.

Pengamatan komposisi botanis


Pada setiap titik pengamatan diamati vegetasi yang ada yaitu rumput,
legum dan gulma, dan dihitung persentase masing-masing vegetasi dari setiap
petak. Kemudian dihitung rata-rata masing-masing vegetasi dari 64 titik
pengamatan.

Pengamatan produksi hijauan


Untuk mengukur produksi hijauan pada padang penggembalaan, pada
setiap titik pengamatan hijauan dipotong setinggi 5 cm dari tanah. Selanjutnya
dihitung produksi hijauan (g/BK/titik) setiap kali pemotongan dan produksi bahan
kering per hektar dari padang penggembalaan. Pemotongan dilakukan sepanjang
tahun bersamaan dengan pengamatan komposisi botani, kualitas hijauan dan daya
tampung. Dari 64 titik pengamatan ini kemudian dihitung rata-ratanya dan
dikonversi ke produksi per ha.

Pengamatan kualitas hijauan.


Pengamatan dilakukan sama dengan pengukuran produksi hijauan.
Kualitas hijauan dilakukan dengan analisis nilai nutrien, meliputi kadar PK, LK,
SK, abu, Ca, P, BETN, energi, NDF dan ADF, sedangkan TDN dihitung dengan
rumus Hartadi et al. (2005). Hijauan dari 64 titik pengamatan untuk setiap
pemanenan dikomposit kemudian dikeringkan dan diambil sampel sebanyak 10%
untuk dianalisis.

Daya tampung
Perhitungan daya tampung padang penggembalaan dilakukan dengan
membagi produksi hijauan/ha dengan kebutuhan BK/UT/tahun. Kebutuhan BK

Prosiding Semnas II HITPI Page 186


untuk 1 unit ternak (UT) adalah sebesar 2,5%/hari dari berat badan (BB). Satu UT
adalah satu ekor sapi dewasa dengan BB 400 kg atau 8 ekor domba dewasa
dengan BB 40 kg/ekor (Anggraeny dan Umiyasih, 2005).

Pengukuran jumlah konsumsi pakan di padang penggembalaan


Estimasi konsumsi bahan kering (dry matter=DM) di sabana dilakukan
dengan metode Fecal Techniques dengan rumus Minson (Manu et al., 2007):

DM = keluaran feses sehari


( 1 - DMD )

Estimasi keluaran feses menggunakan external indicator (tracer) yaitu chromic


oxide (Cr2 O 3 ) dan dilakukan selama 10 hari.
Keluaran feses/hari = Q/C
Q = jumlah tracer yang diberikan per hari
C = konsentrasi tracer pada sampel feses

Estimasi bahan kering tercerna (digestible dry matter = DMD) dari hijauan yang
digembalakan menggunakan internal tracer (tracer alami) yang tidak tercerna,
dalam hal ini yang digunakan adalah lignin.

DMD = X2 X1
X2
X1 = tracer alami di pakan
X2 = tracer alami di feses

Dari data konsumsi di sabana ini diketahui berapa kekurangan bahan


kering selama ternak kambing merumput.
Perhitungan konsumsi dilakukan pada puncak musim kemarau selama 10
hari di bulan Oktober. Tracer diberikan sebanyak 10 g/ekor/hari, sampel diambil
dari feses yang baru keluar dari rectum ternak sebanyak 10 g setiap
pengambilan. Setiap hari diambil sebanyak 4 kali yaitu pada pukul 06.00, 11.00,
17.00 dan 22.00. Sampel selama 10 hari dikomposit dan diperiksa tracer alami
(lignin) dan tracer chromic oxide.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Hijauan
Hasil penelitian produksi hijauan dan besarnya kapasitas tampung lokasi
penelitian tertera pada Tabel 1. Fluktuasi produksi hijauan dapat digambarkan
dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa fluktuasi hijauan
yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi (BK, PK)
terendah terjadi pada puncak kemarau (September-Oktober), kemudian bergerak
naik pada awal hujan yaitu bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada
awal kemarau yaitu bulan April. Produksi hijauan kemudian menurun dan
mencapai titik terendah bulan Oktober, jadi produksi rumput alam mulai membaik
pada bulan Desember.

Prosiding Semnas II HITPI Page 187


Hijauan di sabana merupakan asset yang sangat penting peranannya dalam
menunjang pengembangan usaha ternak ruminansia di Timor Barat. Hamparan
areal penggembalaan terdiri dari spesies rumput dan legum lokal serta adanya
leguminosa pohon dan tanaman keras lainnya yang tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam. Pengukuran produksi hijauan dalam areal
penggembalaan, penting artinya dalam menentukan peluang pengembangan
ternak yang diusahakan di atasnya. Produksi dan kandungan kimia rumput alam di
India yang beriklim semi arid seperti Timor dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004),
menunjukkan gejala yang sama.
Tabel 1 menunjukkan bahwa variasi kandungan PK sangat besar yaitu
diantara 2,71-9,48 %. Kandungan PK rumput alam ini tidak jauh berbeda dengan
PK rumput alam di lokasi lain di Timor yaitu 2,26% di akhir musim kemarau dan
menjadi 8-10% di musim hujan. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai
dengan perubahan musim. Pada musim hujan kandungan dinding sel rumput alam
di Timor yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebesar 65% dan
meningkat menjadi 85% pada musim kemarau (Nulik dan Bamualim, 1998).

Tabel 1. Produksi, daya tampung dan kualitas hijauan di lokasi penggembalaan


selama penelitian
Parameter M usim/Bulan
Hujan Awal kemarau Akhir kemarau
Des. Feb. Apr. Juni Agst Okt.
Produksi BK (ton/ha) 2,66 3,27 4,33 2,27 1,50 0,61
Daya tampung (UT/ha/thn) 0,74 0,91 1,20 0,83 0,42 0,17
BK (%) 16,01 22,27 40,41 71,22 78,41 80,41
PK (%) 6,18 9,48 8,65 6,45 4,43 2,71
LK (%) 2,78 2,17 1,77 1,65 1,16 1,93
SK (%) 20,38 36,15 42,54 45,63 58,47 69,22
BETN (%) 61,47 50,63 46,83 44,88 43,77 42,11
Abu (%) 9,81 11,57 10,21 11,39 12,17 13,92
Ca (%) 0,43 0,56 0,62 0,84 1,13 1,22
P (%) 0,15 0,24 0,29 0,35 0,64 0,58
Gross Energi (Kkal/kg) 3897 3915 4055 4144 4065 3982
NDF (%) 51,04 54,18 58,65 65,55 76,48 89,48
ADF 32,12 36,45 38,44 46,48 55,10 51,14
DT UT/ha/thn 0,74 0,91 1,20 0,93 0,42 0,17
BK=bahan kering; PK=protein kasar; LK=lemak kasar; UT=unit ternak

5
Produksi BK (ton/ha)

4
3
BK
2
1
0
Peb April Juni Agst Okt Des
Bulan
Gambar 1. Fluktuasi ketersediaan hijauan di lokasi penelitian

Kandungan kimia hijauan alam ini sangat mempengaruhi kecernaan


pakan, karena kecernaan berhubungan erat dengan kandungan PK dan dinding sel
(NDF). Semakin rendah PK dan semakin tinggi kandungan NDF akan semakin

Prosiding Semnas II HITPI Page 188


memperkecil kecernaan suatu bahan pakan. Aoetpah (2002) melaporkan bahwa
kecernaan BO (bahan organik) rumput alam Timor tertinggi terjadi pada bulan
Desember dimana rumput masih muda dan kandungan PK tertinggi di bulan ini,
dan kecernaan terendah di bulan Oktober. Setiap penurunan 1% PK maka
kecernaan BO turun sebesar 1,77%.
Secara fisiologis dapat dijelaskan bahwa sintesis protein mikrobia
tergantung kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorbsi ammonia
dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan dari rumen dan jenis fermentasi
rumen berdasarkan jenis pakan. Kualitas sumber protein penting karena 40% zein-
nitrogen, 90% casein-nitrogen dan 50% nitrogen tanaman diubah menjadi protein
mikrobia. Mikrobia rumen menggunakan 25-50% N dari protein pakan.
Kandungan PK ditentukan oleh konsentrasi N, semakin tingginya konsentrasi N
hijauan yang digunakan oleh mikrobia akan meningkatkan aktivitas pencernaan
mikrobia terhadap kandungan BO pakan (McDonald et al., 2002).
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa kandungan NDF berfluktuasi
mengikuti musim. Kandungan NDF terendah terdapat pada musim hujan
(Desember dan Pebruari), terus bergerak naik dan tertinggi pada puncak musim
kemarau yaitu Oktober. Fluktuasi kandungan PK dan NDF dapat digambarkan
dalam gambar seperti pada Gambar 2.

100
90
80
Kandungan(%)

70
60 PK
50
40 NDF
30
20
10
0
Des Feb Aprl Juni Agst Okt.
Bulan
Gambar 2. Fluktuasi kandungan PK dan NDF hijauan sabana

Aoetpah (2002) mendapatkan bahwa semakin tinggi kandungan NDF akan


menurunkan kecernaan BO pakan. Setiap kenaikan kandungan NDF rumput alam
sebesar 1% akan mengurangi kecernaan BO secara in vitro rata-rata sebesar
0,87%.
Daya cerna pakan dipengaruhi oleh komposisi nutrien dan daya cerna
berhubungan erat dengan kandungan serat kasar. Dinding sel tanaman terutama
terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama jika berikatan
dengan lignin. Setiap penambahan 10% serat kasar dalam tanaman menyebabkan
penurunan daya cerna BO sebesar 0,7-1,0 unit pada ruminansia (Katipana et al.,
2009). Pada tanaman muda kandungan selulosa dan hemiselulosa kira-kira 40%
dari BK dan karbohidrat yang larut dalam air terutama fruktan kira-kira 25%. Bila
hijauan semakin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa bertambah, sedangkan
karbohidrat yang mudah larut berkurang. Selulosa berhubungan erat dengan lignin
dan kombinasi lignin-selulosa yang merupakan bagian terbesar pada tanaman
yang tua maupun jerami. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim
tetapi oleh mikrobia, sedangkan lignin tidak dicerna oleh enzim maupun mikrobia

Prosiding Semnas II HITPI Page 189


rumen. Hal yang sama dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004) bahwa dengan
semakin rendah kandungan PK dan semakin tinggi serat kasar (ADF) kecernaan
BO pada kambing yang merumput semakin menurun.
Terdapat banyak pendapat mengenai mengapa lignin dapat mengurangi
biodegradasi BO. Jelantik (2001) merangkum beberapa pendapat yang
menyebutkan berbagai alasan hubungan kandungan lignin terhadap kecernaan BO
antara lain karena sulitnya mikrobia melekat pada substrat, lignin membentuk
lapisan bagian dalam yang tidak dapat dicerna, lignin terikat bersama-sama
hemiselulosa , atau lignin merupakan racun bagi mikrobia.
Produksi rumput alam yang berfluktuasi ini menyebabkan jumlah ternak
yang dapat ditampung per satuan luasan area penggembalaan juga berfluktuasi
seperti pada Tabel 1. Terjadi penurunan daya tampung padang penggembalaan
yang tajam dari bulan Juni ke bulan Oktober. Produksi rumput alam menjadi
sangat rendah selama puncak musim kemarau sehingga daya tampung hanya 0,6
UT/ha. Hal ini terjadi terutama akibat tidak adanya pertumbuhan rumput selama
tidak adanya curah hujan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau dan
ditambah dengan semakin naiknya suhu lingkungan dan semakin berkurangnya
kelembaban sehingga udara menjadi sangat kering. Dengan demikian peranan
pakan yang berasal dari luar lahan penggembalaan menjadi sangat penting selama
periode pertengahan sampai akhir musim kemarau, terutama pada wilayah yang
mempunyai kepadatan ternak tinggi.
Dari data Tabel 1 ini jelas terlihat padang sabana mulai memasuki akhir
musim kemarau sudah tidak bisa menyediakan rumput sebagai pakan ternak
dalam jumlah yang cukup. Kekurangan jumlah ini ditambah lagi dengan kualitas
rumput yang sudah menurun karena tingginya kandungan SK, NDF dan
rendahnya PK. Hal ini dapat mengakibatkan pada menurunnya produktivitas
ternak yang digembalakan di padang sabana ini.

Konsumsi di padang penggembalaan


Jumlah konsumsi BK pada puncak musim kemarau (bulan Oktober) dapat
dilihat pada Tabel 2. Hasil konsumsi BK pada Tabel 2 merupakan hasil
perhitungan dari rumus metode Fecal Techniques dan perhitungannya seperti
tertera pada Lampiran 1.

Tabel 2. Konsumsi hijauan di padang penggembalaan jika kebutuhan BK 3% dari BB


pada akhir musim kemarau
No. Konsumsi bahan Konsumsi bahan Konsumsi BK % Kekurangan
kering (g) segar (g) (% dari BB)
1 319,21 396,98 1,43 1,57
2 156,89 195,11 0,70 2,30
3 245,79 305,67 1,10 1,90
4 432,76 538,19 1,94 1,06
5 285,43 354,97 1,28 1,72
6 198,90 247,36 0,89 2,11
7 325,92 405,30 1,46 1,54
8 290,77 361,61 1,30 1,70
9 285,56 355,13 1,28 1,72
10 189,44 235,59 0,85 2,15

Prosiding Semnas II HITPI Page 190


Rata-rata konsumsi dari hasil perhitungan selama musim kemarau berkisar
antara 0,70% sampai 1,94% dari BB, jika kebutuhan BK dari ternak adalah 3%
dari BB, maka selama kemarau ada kekurangan sebanyak 1,06% sampai 2,30%
dari BB. Keadaan ini jelas sangat jauh dari kebutuhan ternak karena pada bulan
Oktober ini ketersediaan hijauan di lapangan sangat sedikit.

Komposisi Botani padang penggembalaan


Yang dihitung dalam penelitian ini adalah proporsi dari rumput,
leguminosa dan gulma. Setelah dihitung proporsinya maka untuk melihat jenis
rumput dan leguminosa hanya diidentifikasi yang dominan saja. Jenis rumput dan
leguminosa yang dominan terdapat di padang penggembalaan dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Jenis rumput dan legum yang dominan di padang penggembalaan


Rumput Leguminosa
Heteropogon contortus Alysicarpus vaginalis
Digitaria sangunalis Desmodium spp
Bothriochloa timorensis Glysine spp
Ischaemum timorense
Digitaria sp
Cyprus rotundus

Proporsi dari tanaman rumput, leguminosa dan gulma yang terdapat di


lokasi padang penggembalaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Proporsi rumput, leguminosa dan gulma di lokasi penggembalaan


Bulan Rumput (%) Leguminosa herba (%) Gulma (%)
Desember 92,3 4,1 3,6
Pebruari 91,3 4,8 4,2
April 90,4 4,3 5,3
Juni 91,9 2,5 5,6
Agustus 98,5 0,2 1,3
Oktober 99,2 - 0,8

Sebagian besar hijauan yang ada di padang penggembalaan adalah rumput


alam yakni diatas 90%, hanya terdapat relatif sedikit tanaman leguminosa.
Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan
rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau proporsi legum
sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya yang
menjadi sumber pakan satu-satunya. Pada kebanyakan padang rumput alam di
Timor sekarang ditambah dengan ancaman gulma semak bunga putih
(Chromolena odorata) yang semakin mempersempit lahan penggembalaan, tetapi
pada lokasi penelitian ancaman semak ini belum terlalu banyak karena gulma di
stasiun ini secara rutin setiap musim hujan dimusnahkan.
Pemeliharaan yang dilakukan adalah ternak digembalakan sepanjang pagi
sampai sore hari dan pada malam hari dikandangkan. Setelah masuk kandang
maka ternak diberi hijauan pohon, jenis hijauan yang diberikan sangat tergantung
pada ketersediaannya di sabana. Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada
musim dan sifat dari regrowth tanaman setelah pemotongan, maka ada perbedaan

Prosiding Semnas II HITPI Page 191


hijauan yang diberikan sepanjang tahun, yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis hijauan yang diberikan kepada ternak selama dikandangkan


Bulan Jenis Hijauan
Desember Januari Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica
Pebruari Maret Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica, Gliricidia
sepium
April Mei Gliricidia sepium, Leucaena leucochepala, Samania saman
Juni Agustus Samania saman, Schleichera oleosa
September Nopember Thamarindus, Schleichera oleosa

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut:
1. Produksi dan kualitas hijauan, daya tamping sabana Timor Barat
mengalami fluktuasi sesuai musim, produksi tertinggi di awal kemarau,
kualitas terbaik di musim hujan serta produksi dan kualitas terendah di
akhir kemarau.
2. Di akhir musim kemarau ternak hanya mengkonsumsi 0,7-1,94% BK
hijauan sabana dari BB sehingga mengalami kekurangan 1,06-2,3% BK
pakan dari kebutuhan 3 % BK berdasarkan BB.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny, Y.N. dan U. Umiyasih. 2005. Tinjauan tentang upaya penyediaan


hijauan pakan ternak sepanjang tahun di lahan kering. Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan
Kering. Fapet-UGM, Yogyakarta.
Anonim. 2002. Data Curah Hujan Daerah NTT. Stasiun Klimatologi Klas II
Lasiana, Kupang.
Aoetpah, A. 2002. Fluktuasi ketersediaan dan kualitas gizi padang rumput alam di
pulau Timor. J.of Dryland Agric. Information 11:32-43. Pusat Penelitian
Lahan Kering Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bhatta,R.,N.Swain, D.L. Verma and N.P.Singh. 2004. Study on feed intake and
nutrient utilitation of sheep under two housing system in a semi arid region
of India. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17 (6):814-819.
Hartadi,H., S.Reksohadiprodjo, A.D.Tillman. 2005. Tabel-tabel Dari Komposisi
Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Edisi kelima. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Jelantik, I G.N. 2001. Improving Bali cattle (Bibos banteng Wagner) production
Trough protein supplementation. PhD. Tesis. Dept. of Science and Animal
Health. The Royal Veterinary and Agricultural University Copenhagen.
Katipana, N.G.F., J.I. Manafe, D. Amalo. 2009. Manfaat Limbah Organik Bagi
Produktivitas Ternak Ruminansia, Ketahanan Pangan dan Pencemaran
Lingkungan: I. Uji Laboratoris Terhadap Produksi NH3 dan Tingkat
Degradasi Protein Limbah Organik dari Mikrobia Rumen. Laporan
Penelitian. Fakultas Peternakan Undana. Kupang.

Prosiding Semnas II HITPI Page 192


Manu, A.E., E. Baliarti, S. Keman, F. Umbu Datta. 2007. Effects of Local Feed
Supplementation on the Performance of Bligon Goat Does at the End of
Gestation Reared in West Timor Savannah. Anim. Proc. 9 (1): 1-8.
McDonald, P.; R.A Edwards; J.F.D. Greenhalgh; and C.A. Morgan. 2002. Animal
Nutrition. Prentice Hall. New York.
Nulik, J. dan A. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara.
Laporan Penelitian. BPTP Naibonat Kupang dan Eastern Island Veterinary
Service Project.
Susetyo. 1980. Padang Penggembalaan. Balai Penyuluhan Pertanian
Batangkaluku. Badan Pendidikan dan Latihan Penyuluh Pertanian,
Departemen Pertanian.

Prosiding Semnas II HITPI Page 193


PENDUGAAN DAYA TAMPUNG RUSA LIAR (Cervus timorensis) DI
PADANG RUMPUT MAR TAMAN NASIONAL WASUR MERAUKE

Bambang Tjahyono Hariadi1) dan Thimotius Sraun 1)


botjah93@gmail.com

ABSTRACT

The objective of this experiment was to know carrying capacity of rusa deer
(Cervus timorensisi) at Mar, Wasur National Park Merauke district. The data
collected were spesies of grasses, production each species and carrying capacity.
The results showed species of grasses were Cynadon dactylon, Imperata
cylindrica and Phragmites karka. Mar was dominated by Cynadon dactylon. The
production of Cynodon dactylon was 2.183 kg/ha. The Carryng capacity of rusa
deer was 0,5 ha/head/year.
Key words : Carryng capacity, rusa deer, savannah, national park

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar


(Macropus agilis) di Mar Taman Nasonal Wasur Merauke. Variabel yang diamati
yaitu jenis rumput, produksi per ha dan kapasitas tampung. Berdasarkan
pengamatan menunjukkan bahwa jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput
Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-
alang (Imperata cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka), dimana grinting
merupakan rumput yang sangat dominan. Produksi Grinting (Cynadon dactylon)
2.183 Kg/ha. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5
Ha/ekor/tahun.
Kata kunci : Daya tampung, padang rumput, rusa liar, taman nasional

PENDAHULUAN

Latar belakang
Taman Nasional Wasur merupakan taman nasional yang terletak di
kabupaten Merauke-Papua. Taman Nasioanl Wasur ditetapkan sebagai taman
nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor : 448/Menhut-
VI/1990, tertanggal 6 Maret 1990. Luas areal Taman Nasional Wasur sebesar
413.810 Ha.
Potensi flora dan fauna di Taman Nasional Wasur sangat besar. Taman ini
mempunyai 10 jenis induk vegetasi dengan daerah hutan savana 2/3 dari
seluruh taman. Habitat lain yang dapat dijumpai adalah hutan pantai, hutan bakau,
hutan bambu, padang rumput dan rawa sagu yang cukup luas. Di Taman Nasional
Wasur terdapat sekitar 80 jenis mamalia, dimana 27 jenis merupakan jenis
endemik. Jenis burung yang ada sekitar 390, sehingga merupakan daerah yang
paling kaya di Papua (Petocz, R.G. , 1987). Jenis-jenis fauna antara lain kanguru/
walabi lincah (Macropus agilis), kaswari (Casuarius-casuaarius) dan fauna
eksotik adalah rusa liar (Cervus timorensis).

Prosiding Semnas II HITPI Page 194


Permasalahan
Mar, merupakan salah satu zona inti di dalam kawasan Taman Nasional
Wasur. Di lokasi tersebut banyak dijumpai padang rumput/savana yang sangat
luas. Satwa yang bisa dilihat dalam padang rumput di Mar antara lain yaitu walabi
lincah dan rusa liar. Pengelolaan padang rumput di Mar menjadi sangat penting,
karena padang rumput tersebut menjadi sumber pakan utama bagi rusa liar .
Sedangkan rusa liar merupakan sumber protein yang penting juga bagi masyarakat
yang berdiam di dalam Taman Nasional Wasur maupun masyarakat di Merauke
dan sekitarnya. Kondisi padang rumput yang perlu diperhatikan adalah jangan
sampai terjadi kondisi over grazing maupun under grazing oleh rusa liar pada
padang rumput tersebut.
Untuk mencegah terjadinya kondisi over maupun under grazing di dalam
suatu kawasan padang rumput, salah satu caranya adalah dengan mengukur
kapasitas tampung/carrying capacity pada lokasi tersebut. Dengan mengetahui
adanya kapasitas tampung di padang rumput Mar, maka bisa diketahui berapa
jumlah ideal rusa liar yang dapat ditampung pada padang rumput tersebut.
Hal ini menjadi sangat penting bagi strategi pengelolan kawasan zona inti di
Mar tersebut. Bila jumlah rusa liar berlebihan maka perlu dilakukan pemburuan
terhadap rusa liar, agar tidak terjadi over grazing. Tetapi bila jumlah rusa liar
dirasa kurang, maka perburuan perlu dilarang, karena akan mengakibatkan
terjadinya under grazzing di padang rumput tersebut. Mengingat sampai
sekarang data tentang kapasitas tampung di Mar sampai saat ini belum ada, maka
penelitian untuk mengetahui kapasitas tampung di Mar mutlak perlu sebagai dasar
dalam pengelolaan zona inti di Mar Taman Nasional Wasur Merauke.

Tujuan dan Manfaat


Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar di Mar
Taman Nasonal Wasur Merauke.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam melakukan
strategi pengelolaan rusa liar di padang rumput Mar Merauke.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu


Penelitian ini dilakasanakan di padang rumput Mar Taman Nasional
Wasur. Penelitian dilaksanakan selama 7 hari.

Bahan dan Alat


Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu rumput. Sedangkan
alat yang dipakai adalah : Timbangan duduk berkapasitas 2 kg, meteran rol,
kantong plastik, parang, gunting, kwadran kayu ukuran 1 m2 , spirtus, kertas koran,
buku identifikasi jenis rumput, dan alat tulis menulis.

Metoda
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metoda deskriptif
dengan teknik survei. Survei dilakukan di Padang rumput Mar Taman Nasional

Prosiding Semnas II HITPI Page 195


Wasur Merauke. Untuk mengetahui produksi rumput dan kapasitas tampung,
pengambilan contoh rumput dilakukan secara stratifikasi dengan menggunakan
metoda kwadran (Alikodra 1990) dan (Reksohadiprodjo, 1996). Sedangkan
koleksi spesimen dilakukan untuk mengetahui spesies rumput yang dimakan oleh
rusa liar.

Identifikasi jenis rumput


Identifikasi jenis rumput dilakukan dengan mengamati jenis-jenis rumput
dan mencabut jenis rumput terutama yang sudah berbunga. Kemudian dicocokkan
dengan buku identifikasi lapangan ( Mannetje L. t and R.M. Jones, 1992).
Rumput yang belum teridentifikasi, akan dibuat spesimen basah untuk
diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium atau spesimen tersebut nantinya dikirim
ke Herbarium Bogoriense- Bogor.

Stratifikasi lokasi
Stratifikasi lokasi dilakukan berdasarkan jenis rumput yang tumbuh.
Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukan bahwa terdapat tiga jenis rumput
yaitu grinting (Cynodon dactylon ), Palungpung (Prhagmites karka) dan Alang-
alang (Imperta cylindrica). Tetapi luasan palungpung dan alang-alang sangat
kecil kurang dari 1%, maka pada kedua jenis rumput tersebut tidak diambil
sampelnya. Sedangkan grinting tumbuh sangat dominan di padang rumput
tersebut hampir 100%, sehingga padang rumput sangat homogen. Berdasarkan
hal tersebut maka dilakukan pengambilan sampel untuk rumput grinting pada tiga
lokasi yang berbeda.

Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menempatkan kwadran 1 m2 pada
padang rumput tersebut. Rumput yang masuk dalam kwadran semuanya dipotong
serendah mungkin dengan tanah, kemudian ditimbang berat segarnya.
Pengukuran produksi padang rumput dimodifikasi dari (Reksohadiprodjo, 1996):
1. Diamati spesies padang rumput yang dikonsumsi oleh satwa, dan dihitung
produksinya per hektar
2. Dihitung % cover masing-masing spesies, kemudian dijumlahkan sehingga
merupakan total % cover.
3. Ditentukan P.U.F (proper use factor). untuk menjamin pertumbuhan
kembali. PUF untuk penggunaan padang rumput yang ringan adalah 25%
4. Dipertimbangakan juga periode merumput atau periode stay dan periode
istirahat atau rest. Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996)
memasukkan periode rest(istirahat) 10-14 minggu atau 70 hari rata-rata
dan periode merumput 30 hari untuk negara tropis. Persamaan Voisin
(1959) dalam Reksohadiprodjo (1996) untuk mengukur kebutuhan luas
tanah pertahun adalah :
(Y-1) s = r
dimana Y = luasan tanah yang diperlukan oleh seekor satwa
s = Periode merumput (30 hari)
r = Periode istirahat (70 hari)
(Y-1) 30 = 70
30Y 30 = 70

Prosiding Semnas II HITPI Page 196


30Y = 100; Y = 3,3 (Kebutuhan tanah pertahun adalah
3,3 kali kebutuhan tanah perbulan).

Variabel yang diamati


Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu :
a. Jenis rumput
b. Produksi rumput dihitung dengan membandingkan berat segar rumput (gr)
per luasan 1 m2 .
c. Proyeksi daya tampung. Untuk menetapkan proyeksi daya tampung di
daerah tropis dimodifikasi berdasarkan rumus Voisin (1959) dalam
Reksohadiprodjo
( 1996) sebagai berikut :
(y - 1 ) s = r
dimana :
Y : angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per ekor rusa liar per
tahun terhadap kebutuhan per bulan
S : periode merumput (S = stay : selama 30 hari)
R : periode istirahat (r = rest : selama 70 hari)
Dengan menggunakan nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus di atas, maka diperoleh
nilai Y = 3,3. Sehingga dengan mengetahui kebutuhan luas tanah per bulan/Ha/
unit rusa liar (UR) , maka kebutuhan luas padang rumput atau daya tampung per
tahunnya dapat diketahui = 3,3 taksiran kebituhan luas tanah /bulan/UR.

Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan secara tabulasi sesuai dengan variabel
pengamatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis-jenis Hijauan
Jenis-jenis hijauan yang terdapat dalam padang rumput Mar Taman
Nasional Wasur yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynodon
dactylon) (L.) Pers.), palungpung (Phragmites karka) (Retz.) Trin., Alang-
alang (Imperata cylindrical) (L.) Beauv. Grinting mempunyai daya pengikat
tanah yang kuat dan tahan terhadap injakan sehingga rumput ini merupakan
rumput penutup halaman dan lapangan olah raga yang baik. Karena sifat-sifatnya
itulah rumput ini sudah umum ditanam. Grinting juga merupakan rumput
makanan ternak yang bernilai tinggi. Tumbuhnya memberi respon terhadap
pemupukan. Seperti jenis rumput lainnya, dalam penanamanya juga biasa
dicampur dengan jenis legum yang tujuannya untuk meningkatkan nilai gizi dan
produksinya. Jenis legum yang dapat ditanam bersama-sama yaitu Trifolium
repens, Trifolium procumbens, Trifolium dubium dan Lespedeza sp. (Anonimous,
1982)
Jenis legum (leguminosa) tidak dijumpai di padang rumput tersebut.
Berdasarkan kandungan gizinya, maka legum lebih tinggi kandungan protein
kasarnya dari pada rumput ( McIlroy R.J., 1977).
Dengan demikian maka sebenarnya rusa liar masih perlu suplai protein
kasarnya dalam pakannya, sehingga pertumbuhan rusa liar bisa lebih baik lagi.

Prosiding Semnas II HITPI Page 197


Dimana salah satu fungsi dari protein adalah untuk pertumbuhan (Tilmann, dkk.,
1998). Disamping itu peranan legum sangat penting untuk satwa, legum juga
mempunyai peranan sangat penting untuk padang rumput antara lain yaitu yaitu :
(1) memperbaiki kualitas produksi suatu padang rumput, karena kadar protein
kasar legum yang lebih tinggi dari pada rumput. (2) Memanfaatkan transfer
nitrogen dari legum untuk menjaga produksi rumput padang rumput karena
pelapukan bintil akar serta rontokan daun legum akan menyumbangkan N pada
tanah setelah melewati proses dekomposisi. Hal tersebut pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas satwa/walabi yang hidup pada padang rumput
tersebut (Humphreys, 1995). Alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan
penanaman legum yang sudah ada di dalam Taman Nasional Wasur. Apakah
berupa legum pohon, legum yang menjalar atau legum perdu.

Produksi Hijauan
Berdasarkan pengamatan lapangan terdapat tiga jenis rumput yang dapat
dikonsumsi oleh Rusa liar, yaitu palungpung, alang-alang dan grinting. Tetapi
yang diambil sebagai sampel hanya terhadap rumput grinting. Produksi rumput
grinting dari tiga lokasi di Mar disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Produksi rumput grinting di padang rumput Mar


No Tempat/Lokasi Produksi ( gr / m2 ) Produksi (kg /Ha)

1 Lokasi I 195 1.950


2 Lokaasi II 210 2.100
3 Lokasi III 250 2. 500
Rata-rata 218,3 2.183

Berdasarkan Tabel 1 tersebut diatas menunjukkan bahwa produksi


rumput grinting rata sebesar 2.183 kg/Ha. Dapat dikatakan cukup tinggi.
Berdasarkan waktu pengambilan sampel pada bulan November, maka waktu
tersebut merupakan akhir musim kering. Dengan demikian maka pada akhir
musim keringpun produksi grinting masih cukup tinggi.
Menurut Subagiyo dan Kusmartono (1988), musim terutama curah
hujan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi rumput. Dari
segi kualitas perubahan musim antara musim penghujan dan musim kemarau akan
mengakibatkan adanya perubahan nilai gizi rumput. Hal ini disebabkan karena
kandungan nilai gizi rumput berasal dari unsur hara dalam tanah. Dengan
berkurangnya kadar air tanah di musim kemarau, maka unsur hara tersebut kurang
dapat diabsorbsi rumput untuk pembetukan zat gizi. Dengan demikian maka
kandungan protein kasarnya pun pada mudim kemarau akan menurun. Disamping
itu radiasi sinar matahari yang lebih besar pada musim kemarau akan
mengakibatkan pembentukan serat kasar yang lebih aktif, sehingga kandungan
kasar rumput akan lebih tinggi.
Pada musim kemarau juga akan menurunkan kuantitas produksi rumput.
Karena kadar air tanah yang rendah, maka rumput akan mengalami hambatan
pertumbuhan karena berkurangnya kadar air tanah serta kurang dapatnya unsur
hara untuk diabsorbsi rumput untuk pertumbuhan tersebut. Bahkan penurunan
produksi rumput pada musim kemarau dapat mencapai lebih dari setengah

Prosiding Semnas II HITPI Page 198


produksi pada musim penghujan. Fluktuasi ini juga akan dapat mengakibatkan
fluktuasinya pertumbuhan satwa (rusa liar) di padang rumput tersebut.

Proyeksi Daya Tampung


Di dalam menentukan proyeksi daya tampung padang rumput Mar ditarik
beberapa asumsi sebagai berikut:
Berat rata-rata rusa liar diasumsikan adalah 110 kg, Semiadi (1998) dalam
Andoy E F S (2002) sehingga kebutuhan rumput/hijauan perhari adalah 10% dari
berat badan = 110 kg 10% = 11kg. Sehingga kebutuhan perbulan = 11 kg 30
= 330 Kg/bulan. Proyeksi daya tampung di padang rumput Mar disajikan dalam
Tabel 2.

Tabel 2. Proyeksi kebutuhan lahan/ekor rusa liar


Kebth.
Kons.pakan Kebth.
Jenis Produksi PUF lahan
No per bulan lahan
rumput (Kg/Ha) (25%) (tahun/
(Kg) (bulan/ Ha)
Ha)

1 Grinting 2.183 545,75(kg) 330 0,60 1,98

Keterangan : Kons.pakan : Konsumsi pakan


Kebuth. Lahan : Kebutuhan lahan

Berdasarkan tabel 2 di atas terlihat bahwa kebutuhan lahan seekor rusa


liar adalah 0,6 Ha/bulan atau 1,98 2 Ha/tahun. Dengan kata lain Daya Tampung
perhektar 0,5/ekor/th. Jumlah ini sama dengan yang dilaporakan oleh Burhanudin
M dkk. (2008) sebesar 0,5 ekor/ha/tahun di Tanjung Pasir Taman Nasional Bali
Barat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput Mar yang dikonsumsi
oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata
cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka).
2. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) 2.183 Kg/ha.
3. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5
Ha/ekor/thn.

Saran
Hal-hal yang perlu disarankan setelah penelitian ini yaitu: perlu dilakukan
survei jumlah populasi rusa liar di padang rumput Mar.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra Hadi S., 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan . Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prosiding Semnas II HITPI Page 199


Andoy Elvis Erikson Sonny, 2002. Studi Populasi Rusa Timr (Cervus timorensis)
dan Perburuan oleh Penduduk di Desa Poo, Tomer dan Sota Dalam Taman
Nasional Wasur Merauke. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Negeri
Papua. Tanpa Publikasi.
Anonimous, 1982. Rumput Dataran Rendah. Lembaga Biologi Nasional, Bogor.
Burhanudin Masyud, Indra Hadi Kusuma dan Yandi Rahmadani, 2008. Potensi
Vegetasi Pakan dan Efektivitas Perbaikan Habitai Rusa Timor (Cervus
timorensis de Blainfile 1828) di Tanjung Pasir Taman Nasional di Taman
Nasional Bali Barat). Media Knservasi. Vol.13 No.2. Agustus 2008 : 57-
64
Humphreys L.R., 1995. Diversity and Productivity of tropical legumes. In :
DMello J.P.F. and Devendra C (ed)., 1995. Tropical Legumes in Animal
Nutrition. CAB international, Wallingford UK.
Mannetje L. t and R.M. Jones, 1992. Forages. Prosea, Bogor.
McIlroy R.J., 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Petocz, R.G. , 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Pustaka
Grafitipers, Jakarta.
Reksohadiprodjo Soedomo, 1996. Evaluasi Produksi Pasture. Dalam Kursus
Singkat Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia. Jurusa liarn Nutrisi dan
Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, Yogjakarta.
Soesanto, H dan Subagiyo, 1988. Landasan Agrostologi. NUFFIC. Universitas
Brawijaya, Malang.
Subagiyo ,I. dan kusmartono, 1988. Ilmu Kultur Padangan. NUFFIC. Universitas
Brawijaya, Malang.
Susetyo, 1979. Pengelolaan dan Pemanfaatan Padang Rumput. Direktorat
Jendral Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Tillman A.D., Hartadi H., Reksohadiprodjo S., dan Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press dan Fakultas
Peternakan UGM., Yogjakarta.

Prosiding Semnas II HITPI Page 200


PENGARUH CARA PERSIAPAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI
BAHAN KERING DAN KUALITAS Centrosema pubescent Benth. DAN
Calopogonium mucunoides Desv. DI PADANG RUMPUT ALAMI

Luh Suariani , I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari


Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa

ABSTRACT

The low forage production of native grasslands result in the low ruminant
husbandry production. One effort that can be done to increase production and
pasture qualities is by planting of/ improved legumes. Therefore, an experiment
on land preparation was conducted to find a simple and cheap method for
legumes establishment. This research was conducted from February to June 2012,
at Lumbung village, Selemadeg-Tabanan district. Factorial randomized block
design with four land preparation methods (no tillage , herbicide aplication, with
burning and conventional tillage) and three kind legumes (without legumes,
Centrosema pubescent Benth., and Calogonium mucunoides Desv.) was used for
this research. Treatments were replicated three times. The result showed that
there were interactions between land preparation methods with the kind of
legumes on growth, area cover, and botanical composision. Land preparation
method by spraying herbicide (glyphosate) after were cut previously, were the
most adequate method for legumes planting to native grassland. To increase
feeding stuff supply from native grasslands, planting centro at land preparation
method using systemic herbicide is must appropriate. Research for longer time to
gain a data more precisely to forage production along the years is still required.
Key word: land preparation, legumes establishment, and native grassland.

ABSTRAK

Produksi hijauan di padang rumput alami yang rendah mengkibatkan


rendahnya produktivitas ternak ruminansia. Salah satu usaha yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan peroduksi dan kualitas hijauan adalah dengan
penanaman/penyebaran leguminosa. Oleh sebab itu, diperlukan cara persiapan
lahan yang tepat dan murah untuk menanam leguminosa di padang rumput
alami. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juni 2012, di
desa Lumbung, kecamatan Selemadeg-Tabanan. Rancangan yang digunakan
adalah rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 4 3 , dengan 4 cara
persiapan lahan : persiapan lahan tanpa olah tanah (Pt), persiapan lahan dengan
herbisida (Ph), persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan persiapan lahan
secara konvensional (Pk) dan tiga jenis leguminosa : tanpa leguminosa,
Centrosema pubescent Benth., dan Calogonium mucunoides Desv. Masing-
masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil percobaan
menunjukkan terdapat interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis
leguminosa terhadap pertumbuhan, produksi dan kualitas hijauan di padang
rumput alami. Jenis leguminosa yang mampu menghasilkan bahan kering lebih
tinggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrocema pubescens Benth.
Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering hijauan

Prosiding Semnas II HITPI Page 201


sebesar 20,8% pada pemotongan pertama dan 10,7% pada pemotongan kedua, dan
mampu meningkatkan kualitas protein hijauan sebesar 17,01% pada pemotongan
pertama dan 38,95% pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dengan
menyemprotkan herbisida yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong
terlebih dahulu, merupakan cara yang paling tepat dalam menanam leguminosa
ke padang rumput alami. Untuk meningkatkan ketersediaan pakan berkualitas,
menanam centro ke padang rumput alami dengan cara persiapan lahan
menggunakan herbisida yang berbahan aktif glyphosate adalah merupakan cara
yang paling tepat. Diperlukan suatu penelitian dalam jangka waktu yang panjang
untuk memperoleh data yang lebih akurat mengenai produksi hijauan pakan
sepanjang tahunnya.
Kata kunci: persiapan lahan, penyebaran legume, padang rumput alami

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan
produksi ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan makanan ternak yang
berkualitas sepanjang tahun. Hijauan makanan ternak yang berkualitas terutama
terdiri dari rumput rumputan sebagai sumber energi dan leguminosa sebagai
sumber protein. Di Indonesia, khususnya di Bali, petani ternak masih
memanfaatkan rumput lapangan sebagai pakan ternaknya (Mendra, 1992 ), karena
lahan yang khusus dipergunakan untuk menanam rumput tidaklah memadai.
Padang rumput alami yang tersebar pada beberapa daerah di Indonesia
luasnya 2.399.597 ha, dan lebih dari 90% luas padang rumput yang diusahakan
untuk menghasilkan pakan ternak di Indonesia didominasi oleh rumput alam dan
komponen leguminosa hampir tidak ada (Sanchez, 1993). Rendahnya
produktivitas ternak pada padang rumput alami didaerah tropis terutama
disebabkan oleh rendahnya kualitas hijauan. Salah satu faktor yang menyebabkan
rendahnya kualitas hijauan padang rumput alami adalah kelengasan dan
kesuburan tanah yang rendah (Sanchez, 1993).
Di negara-negara maju, asosiasi rumput dan leguminosa banyak
diterapkan di padang penggembalaan (padang rumput). Bayer (1990) menyatakan
bahwa keuntungan leguminosa dibandingkan dengan rumput adalah (1)
leguminosa dapat mengikat N bebas dan bersimbiose dengan rhizobia, (2) kualitas
hijauan leguminosa tidak menurun drastis pada musim kemarau, (3) hijauan yang
lebih banyak mengandung leguminosa mempunyai kandungan protein dan nilai
cerna yang lebih tinggi.
Pada umumnya leguminosa yang diintroduksikan ke dalam padang rumput
adalah leguminosa penutup tanah (cover crops), seperti Centrosema pubescens,
Calopogonium mucunoides dan Pueraria phaseoloides. Jenis leguminosa penutup
tanah ini adalah leguminosa tahunan yang tumbuhnya membelit dan memanjat,
dan panjangnya bisa mencapai 5 m (Bogdan, 1977) Spesies tahunan seperti
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides ini mempunyai sistem
perakaran yang kuat dan relatif tahan terhadap cekaman air. Centrosema
pubescens mempunyai pertumbuhan awal yang sangat lambat, tetapi akan
berkembang sangat cepat dan agresif jika sudah beradaptasi, serta mempunyai
daun yang lebat (Skerman, 1988). Sumbangan nitrogen yang dapat diberikan

Prosiding Semnas II HITPI Page 202


leguminosa setiap tahunnya pada padang rumput menurut Sanchez (1993) adalah
berkorelasi langsung dengan kandungan bahan kering bagian atas apabila spesies
yang digunakan telah dikelola dengan baik.
Di beberapa tempat yang mengembangkan padang rumput leguminosa,
daya tampung dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
padang rumput alamiah. Hal ini didukung oleh tMannetje dan Jones (1992) yang
menyatakan bahwa pada pertanaman campuran rumput dan leguminosa dapat
meningkatkan kapasitas tampung, meningkatkan kenaikan berat badan dan
meningkatkan produksi dari ternak.
Leguminosa memerlukan aerasi yang baik supaya bintil akar dapat
berkembang dan memfiksasi N bebas dengan baik. Hasil fiksasi N inilah nantinya
yang akan membantu pertumbuhan leguminosa, sehingga mampu berproduksi
maksimal dengan kualitas yang baik (Humphreys, 1980). Pada umumnya
leguminosa kalah bersaing dengan rumput lapangan yang telah menyesuaikan diri
dengan kondisi yang ada. Rumput-rumputan termasuk tanaman golongan C 4
sedangkan leguminosa termasuk golongan C 3 . Tanaman C 4 lebih efisien dalam
memanfaatkan sinar matahari, CO 2 dan lebih efisien dalam penggunaan air,
karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C 3
(Sastroutomo, 1980).
Cara persiapan lahan yang tepat juga bertujuan untuk mengurangi
kompetisi oleh rumput sehingga leguminosa dapat tumbuh optimum. Pemilihan
cara persiapan lahan ini sangat dibatasi oleh biaya, ketersediaan tenaga kerja dan
luasan padang rumput yang akan diintroduksi dengan leguminosa, serta tingkat
erosi (Leach et al., 1976 dalam Nurjaya, 1987).
Pengolahan tanah didalamnya termasuk pencangkulan sampai dengan
tanpa pengolahan hanya dibuat larikan atau ditugal.Selain dengan pengolahan
tanah pengelolaan padang rumput alam juga dapat dilakukan dengan pembakaran
padangan. Maksud utama pembakaran adalah untuk memusnahkan tanaman
rumput dan gulma yang tua dan tidak palatabel dan kering, serta untuk
merangsang pertumbuhan tanaman muda yang mengandung nutrisi yang lebih
tinggi dan lebih disukai ternak. Pembakaran juga dapat memberantas hama dan
penyakit baik yang menyerang ternak atau tanaman (Reksohadiprodjo, 1994),
serta melepaskan fosfor dan unsur hara yang lain yang terikat dalam jaringan
tanaman tua dan membuatnya tersedia bagi tanaman (Sanchez, 1993).
Pengontrolan kompetisi tanaman juga dapat dilakukan dengan
menggunakan herbisida. Herbisida sistemik seperti dalapon dan glyphosate,
ditranslokasikan ke tanaman dan akan membunuh sampai ke akar tanaman.
Nurjaya (1987) menemukan bahwa pada tanah berpasir, cara persiapan lahan
dengan memotong kemudian menyemprot dengan glyphosate 3 kg a.i. ha 1 dan
setelah dua minggu ditanami, memberikan hasil yang lebih baik daripada
persiapan lahan secara konvensional (membajak dan membersihkan tanaman yang
ada). Hal ini disebabkan oleh temperatur permukaan tanah lebih tinggi pada
persiapan lahan secara konvensional dibandingkan dengan menyemprotnya
dengan herbisida.

Rumusan Masalah
Padang rumput alami didominasi oleh rumput-rumputan lokal sehingga
kuantitas dan kualitas pakan ternak yang dihasilkan rendah. Penanaman

Prosiding Semnas II HITPI Page 203


leguminosa ke padang rumput alami merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan produktivitas padang rumput alami, namum leguminosa kalah
bersaing dengan rumput-rumput yang telah ada. Untuk itu diperlukan cara
persiapan lahan yang dapat mendorong pertumbuhan leguminosa.

MATERI DAN METODE

Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lumbung Kecamatan Selamadeg,
Kabupaten Tabanan, yang merupakan salah satu daerah lahan kering di Bali. Jenis
tanah dilokasi penelitian adalah tanah Inceptisol (berdasarkan peta jenis tanah
Propinsi Bali) dengan type iklim C menurut Schmit dan Ferguson (1951).
Ketinggian tempat dilokasi penelitian adalah + 50m dari permukaan laut. Padang
rumput ini didominasi oleh rumput lapangan yang mempunyai rhizome
(rizomathous). Tanah ditempat percobaan mempunyai kandungan N (rendah), P
(sangat rendah) dan K(rendah) dengan tektur tanah liat.

Materi
Jenis leguminosa penutup tanah yang diintroduksikan pada padang
rumput alami adalah centro (Centrosema pubescens Benth.) dan calopo
(Calopogonium mucunoides Desv.), yang bijinya diperoleh dari BPT/HMT Ciawi
Bogor.
Dalam percobaan ini di pupuk dengan 50 kg Urea ha-1 , 75 kg SP36 ha-1
dan 75 kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Pemupukan dilakukan seminggu
sebelum penanaman leguminosa.
Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Cangkul, sekop, dan sabit dipergunakan pada saat pengolahan lahan
2. Peralatan semprot (hand sprayer)
3. Timbangan yang berkapasitas 22,6 kg dengan ketelitian 10 g yang
dipergunakan untuk menimbang hijauan segar, Timbangan Mettler
Toledo PB 3002 berkapasitas 500 g dengan ketelitian 0,01mg untuk
menimbang sampel keperluan analisis kimia
4. Timbangan Bonso model 323, kapasitas 5000 g dengan kepekaan 1 g
untuk menimbang berat kering oven hijauan dan komponen hijauan
5. Oven pengering model GC-2 untuk mengeringkan sampel hijauan
6. Grinder untuk menggiling sampel
7. Penggilingan elektronik dengan diameter lubang 0,1 mm , persiapan
sampel untuk analisis kimia.
8. Dan berbagai peralatan yang diperlukan dalam analisis kandungan
bahan kering dan protein hijauan makanan ternak.

Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah :


a. Inokulan rhyzobium diperlukan untuk menginokulasi biji leguminosa,
b. Bibit leguminosa Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides,

Rancangan percobaan
Percobaan dilakukan dengan mempergunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap pola faktorial 4 3 dengan faktor pertama adalah empat cara persiapan

Prosiding Semnas II HITPI Page 204


lahan dan faktor kedua adalah dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa
penanaman leguminosa. Dari kedua faktor tersebut akan diperoleh duabelas
kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak
tiga kali, sehingga akan diperoleh 36 petak percobaan. Adapun perlakuan yang
diberikan adalah :
Faktor I : Cara persiapan lahan yaitu :
Pt = Tanpa Olah Tanah (TOT), pada lahan padang rumput dibuat larikan untuk
menanam leguminosa sedangkan tumbuhan yang sudah ada dipotong.
Ph = Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu kemudian disemprot
dengan herbisida glyphosate 3 kg a.i.(active ingredient) ha -1 . Setelah dua
minggu biji leguminosa baru ditanam dalam larikan.
Pp = Memotong dan seminggu kemudian membakar padang rumput, lalu
membuat larikan untuk ditanami leguminosa.
Pk = Pengolahan konvensional. Lahan diolah dengan mencangkul
mengumpulkan dan membersihkan rumput-rumput serta akar rimpangnya,
menghancurkan bongkahan tanah dan meratakan.

Faktor II adalah penanaman dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa
penanaman leguminosa yaitu :
LTl = Tanpa ditanami leguminosa (kontrol)
LCp = Centro (Centrosema pubescens Benth.)
LCm = Calopo (Calopogonium mucunoides Desv.)

Pertama-tama dilakukan Pelaksanaan pembuatan petak-petak yang


jumlahnya 36 petak dengan ukuran petak 3 4 m dan jarak antar petak adalah
0,4 m. Setelah dirandom maka tanah baru diolah sesuai dengan cara persiapan
lahan yaitu :
(a) Untuk Pt (Tanpa Olah Tanah). Rumput pada petak ini dipotong dan dibuat
Larikan, kemudian ditanami dengan leguminosa.
(b) Untuk Ph (dengan herbisida). Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu
kemudian baru disemprot dengan herbisida. Penanam leguminosa dilakukan
setelah 2 minggu penyemprotan.
(c) Untuk Pp (Pembakaran padang rumput). Rumput dipotong dan seminggu
sebelum penanaman dilakukan pembakaran pada padang rumput.
(d) Untuk Pk (Pengolahan konvesional). Pembersihan dan pencangkulan lahan
dilakukan seminggu sebelum dilakukannya penanaman dengan leguminosa.

Biji leguminosa sebelum ditanam/disebar telah diskarifikasi. Kebutuhan


biji centro dan calopo untuk setiap hektarnya adalah 5 kg dan 3 kg (tMannetje
dan Jones, 1992). Daya germinasi untuk centro adalah sebesar 80% dan 60%
untuk calopo.

Panen
Panen dilakukan dengan memotong tanaman pada ubinan dengan tinggi
pemotongan lima sentimeter. Luas ubinan adalah 2 1,5 m (Gambar 2).
Tanaman sampel adalah tanaman yang akan diukur panjangnya dan selanjutnya
akan didestruksi untuk melihat jumlah nodul efektifnya. Panen dilakukan
sebanyak dua kali yaitu pemotongan pertama pada saat tanaman berumur dua

Prosiding Semnas II HITPI Page 205


belas minggu, dan pemotongan kedua enam minggu kemudian (delapan belas
minggu setelah tanam).

Variabel yang diamati


Variabel yang diamati meliputi variabel respon pertumbuhan dan produksi
hijauan meliputi :
1. Komposisi botani
2. Kandungan dan produksi bahan kering (Dry Matter)
3. Kadar protein kasar (Crude Protein) hijauan
4. Kandungan abu dan bahan organik hijauan

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan apabila
terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, maka analisis
dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan dan dilakukann transformasi
beberapa data untuk menyeragamkan varians (Steel and Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Botani
Terdapat interaksi antara cara persiapan lahan (P) dengan jenis leguminosa
(L) terhadap komposisi botani rumput dan gulma pada pemotongan pertama dan
pada komposisi botani rumput, legum dan gulma pada pemotongan kedua (Tabel
5.1). Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan mengakibatkan menurunnya
prosentase rumput (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali
pada persiapan lahan dengan pembakaran yang ditanami dengan Calopo.
Penurunan prosentase rumput sebesar 33% dan 43,93% masing-masing terjadi
pada pastura yang ditanami Centro (LCp) dan Calopo (LCm) Pada pemotongan
pertama dan kedua, penanaman leguminosa juga mengkibatkan menurunnya
prosentase gulma yang tumbuh dan cara persiapan lahan meningkatkan jumlah
gulma secara nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada
penanaman dengan Calopo .
Pada pemotongan kedua, persentase rumput cenderung meningkat
dibandingkan dengan pada pemotongan pertama. Dengan penanaman leguminosa
prosentase rumput mengalami penurunan dibandingkan dengan tanpa ditanami
leguminosa dan dengan persiapan lahan ternyata mampu menurunkan prosentase
rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan.

Produksi Bahan Kering Leguminosa, Rumput dan Gulma


Terdapat interaksi yang nyata antara cara persiapan lahan dengan jenis
leguminosa terhadap produksi bahan kering rumput pada pemotongan pertama
dan produksi bahan kering leguminosa, rumput dan gulma pada pemotongan
kedua. Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang
nyata terhadap produksi bahan kering leguminosa dan gulma pada pemotongan
pertama (Tabel 5.1)

Prosiding Semnas II HITPI Page 206


Tabel 5.1 Signifikansi pengaruh cara persiapan lahan (P), jenis leguminosa (L)
dan interaksinya terhadap variabel yang diamati.
Variabel Pengaruh
P L PXL
PEMOTONGAN PERTAMA
4 Komposisi botani (%)
a) Rumput ** ** **
b)Leguminosa ** ** NS
c) Gulma ** ** *

9 Produksi (t ha 1 )
a). Produksi bahan kering rumput ** ** **
b). Produksi bahan kering gulma ** NS NS
c). produksi bahan kering leguminosa ** ** NS
d).Produksi total bahan kering hijauan ** ** **
e). Produksi total protein kasar NS ** NS
10 Kualitas hijauan (%)
a). Kandungan protein kasar ** ** *
b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS
c). Kandungan bahan organik NS NS NS
d). Kandungan abu. NS NS NS
PEMOTONGAN KEDUA
4 Komposisi botani (%)
a) Rumput ** ** **
b) Leguminosa ** ** **
c) Gulma ** ** **
9 Produksi (t ha -1 )
a). Produksi bahan kering rumput ** ** **
b). Produksi bahan kering gulma ** ** **
c). produksi bahan kering leguminosa ** ** **
d) Produksi total bahan kering hijauan ** ** NS
e) Produksi total protein kasar ** ** **
10 Kualitas hijauan (%)
a). Kandungan protein kasar ** ** **
b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS
c). Kandungan bahan organik NS NS NS
d). Kandungan abu. NS NS NS
11 Jumlah nodul NS NS NS
Keterangan :
1) * = berbeda nyata (P < 0,05 )
2) ** = berbeda sangat nyata (P < 0,01)
3) NS = tidak berbeda nyata (P> 0,05)

Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan tanpa penanaman


leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap poduksi bahan
kering rumput, kecuali pada persiapan lahan secara konvensional (Tabel 5.2).
Penanaman centro mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput pada
cara persiapan lahan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan. Pada
penanaman calopo, persiapan lahan dengan pembakaran menghasilkan produksi
bahan kering rumput yang lebih tinggi dibandingkan dengan persiapan lahan
konvensional, tetapi tidak berbeda nyata dengan persiapan lahan dengan herbisida
dan tanpa olah tanah. Persiapan lahan secara nyata (P<0,05) meningkatkan
produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, tetapi
penanaman leguminosa ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap berat
kering gulma (Tabel 5.2).

Prosiding Semnas II HITPI Page 207


Pada pemotongan kedua, persiapan lahan pada penanaman centro secara
nyata meningkatkan produksi bahan kering leguminosa dibandingkan dengan
tanpa persiapan lahan, sedangkan pada calopo persiapan lahan dengan herbisida
dan tanpa persiapan lahan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel
5.3). Produksi bahan kering leguminosa tertinggi dijumpai pada persiapan lahan
dengan herbisida dan ditanami dengan centro, serta yang terendah dijumpai pada
persiapan lahan secara konvensional yang ditanami dengan Calopo (Tabel 5.3).
Penanaman leguminosa mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput
dibandingkan dengan tanpa ditanami dengan leguminosa kecuali pada persiapan
lahan secara konvensional. Tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan
menekan produksi bahan kering rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan
lahan kecuali
pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penanaman dengan centro,
cara persiapan lahan memberikan produksi rumput yang sama kecuali pada
persiapan lahan secara konvensional yang mampu menekan produksi bahan
kering rumput. Pada penanaman dengan calopo, cara persipan lahan tidak
memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan
(Tabel 5.3).

Tabel 5.2 Pengaruh cara persiapan lahan (P) dan jenis leguminosa (L) terhadap
produksi bahan kering gulma dan leguminosa (t ha 1 ) pada
pemotongan pertama dan produksi bahan kering total (t ha -1 ) pada
pemotongan kedua (Pem.II)
Perlakuan Produksi bahan kering Prod. Bahan
Pemotongan I Kering total
Leguminosa Gulma Pem. II
-1
------t ha ---------- ------t ha-1 -----
Persiapan lahan
Pt (TOT) 1,47 c 0,68 b 2,85 a
Ph(herbisida) 2,39 a 1,06 a 2,84 a
Pp(pembakaran) 1,70 b 1,07 a 2,54 b
Pk(konvensional) 1,77 b 0,98 a 2,20 c
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) - 1,02 a 2,75 b
LCp (Centro) 1,71 b 0,89 a 3,08 a
LCm (calopo) 1,96 a 0,93 a 1,95 c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%

Tanpa penanaman leguminosa, persiapan lahan meningkatkan produksi


bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persipan lahan kecuali pada
persiapan lahan dengan herbisida. Pada penaman dengan centro, cara persiapan
lahan meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa
persiapan lahan, sedangkan pada penanaman calopo persiapan lahan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi bahan kerinng gulma (Tabel
5.3)

Prosiding Semnas II HITPI Page 208


Produksi Total Bahan Kering Hijauan di Atas Tanah
Interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah
pada pemotongan pertama (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua, cara
persiapan lahan dan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tetapi tidak terdapat interaksi
antara keduanya (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, tanpa penanaman
leguminosa, cara persiapan lahan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
(P>0,05) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah kecuali pada
persiapan lahan secara konvensional. Penanaman centro, memberikan hasil yang
berbeda nyata pada cara persiapan lahan yang berbeda, penanaman calopo
mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah meningkat
dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3).

Tabel 5.3 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap
produksi total bahan kering hijauan di atas tanah (DM) (t ha -1 ) pada
pemotongan pertama
Persiapan Jenis Leguminosa
Lahan Ltl LCp LCm
-1
----------t ha --------------
Pt (TOT) 3,93 ab 4,02 ab 3,36 b
Ph(herbisida) 3,69 ab 4,49 a 4,27 a
Pp(pembakaran) 3,71 ab 3,95 ab 4,19 a
Pk(konvensional) 1,83 c 3,76 ab 3,86 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan menurunkan (P>0,05)


produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa
persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Cara persiapan
lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas
tanah yang paling tinggi. Penanaman dengan centro meningkatkan (P<0,05)
produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa
penanaman leguminosa dan dengan penanaman calopo (Tabel 5.2).

Produksi Total Protein Kasar


Pada pemotongan pertama, jenis leguminosa memberikan pengaruh yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total protein kasar (Tabel 5.1) dan pada
pemotongan kedua interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
memberikan pengaruh yang sangat nyata (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama,
penanaman leguminosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi total
protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa, tetapi
antara centro dan calopo menunjukkan hasil produksi protein kasar yang tidak
berbeda nyata (Tabel 5.4).
Pada pemotongan kedua, penanaman centro berpengaruh nyata
meningkatkan produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan
penanaman calopo dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Pada cara

Prosiding Semnas II HITPI Page 209


persiapan lahan dengan menggunakan herbisida yang diitanami dengan centro
memberikan hasil produksi total parotein kasar hijaun yang paling tinggi dan yang
paling rendah dijumpai pada persiapan lahan secara konvensional yang tidak
ditanami dengan leguminosa.(Tabel 5.4).

Tabel 5.4 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap produksi
total protein (t ha-1 ) pada pemotongan kedua (Pem.II) dan kandungan
bahan kering (%) pada pemotongan pertama (Pem.I) dan kedua
(Pem.II)
Perlakuan Prod. Total Kandungan Bahan
Protein kasar Kering
Pem.I Pem.I Pem.II
-1
------t ha ------ --------------% ------------
Persiapan lahan
Pt (TOT) 0,49 a 27,43 a 26,50 a
Ph(herbisida) 0,54 a 26,56 a 29,20 a
Pp(pembakaran) 0,57 a 26,29 a 25,66 a
Pk(konvensional) 0,52 a 25,71 a 25,51 a
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) 0,38 b 26,52 b 26,54 a
LCp (Centro) 0,59 a 28,86 a 27,26 a
LCm (calopo) 0,62 a 24,12 c 24,10 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%

Tabel 5.5 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
terhadap produksi total protein kasar hijauan (t ha-1 ) pada
pemotongan kedua
Persiapan Jenis leguminosa
Lahan Ltl LCp LCm
-1
-------------- --t ha ------- -------
Pt (TOT) 0,30 d 0,38 c 0,31 d
Ph(herbisida) 0,27 de 0,63 a 0,39 c
Pp(pembakaran) 0,27 de 0,46 b 0,26 de
Pk(konvensional) 0,22 e 0,43 b 0,28 de
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Kandungan Protein Kasar


Pada pemotongan pertama dan kedua terdapat interaksi yang nyata
terhadap kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama,
penanaman leguminosa meningkatkan (P<0,05) kandungan protein kasar hijauan
dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa. Pada penanaman dengan
centro, cara persiapan lahan meningkatkan kandungan protein kasar hijauan
dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.6)
Pada pemotongan kedua, penanaman leguminosa meningkatkan

Prosiding Semnas II HITPI Page 210


kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman
leguminosa. Cara persiapan lahan tanpa penanaman leguminosa tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan.
Cara persiapan lahan dan penanaman leguminosa meningkatkan kandungan
protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada
penanaman calopo dengan cara persiapan lahan pembakaran (Tabel 5.6).

Tabel 5.6 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
terhadap kandungan protein kasar hijauan (%) pada pemotongan
pertama dan pemotongan kedua
Persiapan Jenis leguminosa
Lahan Pemotongan I Pemotongan II
Ltl LCp LCm Ltl LCp LCm
-------------------- % ----------------- ------------------- % -----------------
Pt (TOT) 10,89 de 12,88 c 15,24 ab 9,33 e 11,98 d 13,38 c
Ph(herbisida) 9,55 e 14,36 b 14,85 ab 8,94 e 18,60 a 18,24 a
Pp(pembakaran) 11,42 d 14,84 b 16,49 a 9,86 e 15,22 b 13,95 c
Pk(konvensional) 16,35 a 16,01 ab 16,81 a 9,3 e 15,51 b 18,67 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Kandungan Bahan Kering (DM)


Kandungan bahan kering (DM) pada pemotongan pertama dan kedua,
hanya dipengaruhi oleh jenis leguminosa (P<0,01) sedangkan untuk cara
persiapan lahan tidak menunjukkan hasil yang nyata (P>0.05) (Tabel 5.1) . Pada
pemotongan pertama, penanaman centro meningkatkan kandungan bahan kering
hijauan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan penanaman
calopo, tetapi pada pemotongan kedua, tanpa penanaman leguminosa dan dengan
penanaman centro memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan
penanaman calopo (Tabel 5.4).

Kandungan Bahan Organik


Pada pemotongan pertama dan kedua, perlakuan cara persiapan lahan dan
jenis leguminosa tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) pada
kandungan bahan organik hijauan (Tabel 5.1). Kandungan bahan organik pada
pemotongan pertama yang terendah diperoleh pada cara persiapan lahan dengan
pembakaran (Pp) dan yang tertinggi adalah pada persiapan lahan dengan herbisida
(Ph) tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), seperti tersaji dalam
Tabel 5.7 berikut.

Prosiding Semnas II HITPI Page 211


Tabel 5.7 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis legum terhadap kandungan
bahan organik (%) pada pemotongan pertama dan kedua, kandungan
abu (%) pada pemotongan pertama dan kedua , serta jumlah nodul
pada akhir penelitian
Perlakuan Kandungan Bahan Kandungan Abu Jumlah
Organik Nodule2)
Pem.I Pem. II Pem.I Pem. II
------- % --------- -------- % --------- (buah)
Persiapan lahan
Pt (TOT) 88,08 a1) 89,267 a 11,92 a 10,73 a 1,83 a
Ph(herbisida) 88,49 a 89,389 a 11,50 a 10,61 a 3,33 a
Pp(pembakaran) 86,98 a 89,953 a 13,02 a 10,05 a 2,50 a
Pk(konvensional) 88,11 a 89,880 a 11,89 a 10,12 a 2,17 a
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) 88,28 a 89,900 a 11,71 a 10,10 a
LCp (Centro) 88,00 a 89,301 a 12,00 a 10,70 a 2,92 a
LCm (calopo) 87,46 a 89,672 a 12,54 a 10,33 a 2,00 a
Keterangan : 1). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
2). Data ditransformasikan dengan transformasi logaritmik

Kandungan Abu
Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tdak menunjukkan pengaruh
yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan abu hijauan pada pemotongan pertama
dan kedua (Tabel 5.1 dan 5.7).

Jumlah Nodul
Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak memberikan pengaruh
yang nyata (P>0,05) terhadap jumlah nodul pada akhir penelitian (Tabel 5.1 dan
5.7).

Pembahasan
Pada persiapan lahan dengan menggunakan herbisida, glyphosate yang
bersifat sistemik berhasil membasmi rumput dan gulma sampai keakar-akarnya,
sehingga produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda
dibandingkan tanpa pengolahan tanah dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel
5.4). Produksi bahan kering pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami
dengan leguminosa, sebagian besar terdiri dari leguminosa itu sendiri (54,82%
pada centro, dan 54,24% pada calopo). Dengan rendahnya kompetisi rumput dan
gulma maka produksi total bahan kering hijauan di atas tanah pada cara
persiapan lahan dengan herbisida juga mencapai hasil yang tertinggi (Tabel 5.4).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nurjaya (1986) yang
menyatakan bahwa cara persipan lahan dengan memotong dan menyemprot
dengan herbisida glyphosat 3 kg a.i ha-1 dan setelah dua minggu ditanami dengan
leguminosa, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara
persiapan lahan secara konvensional. Hal ini disebabkan oleh temperatur

Prosiding Semnas II HITPI Page 212


permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional
dibandinngkan dengan cara persiapan lahan dengan herbisida.
Pada persiapan lahan dengan herbisida, produksi total bahan kering
hijauan di atas tanah tidak berbeda baik yang ditanami leguminosa atau tanpa
penanaman leguminosa. Hal ini diakibatkan karena rumput merupakan sumber
energi dengan kandungan bahan kering yang lebih banyak dibandinngkan dengan
leguminosa. Oleh sebab itu walaupun prosentase rumput lebih rendah pada
penanaman dengan leguminosa, produksi total bahan kering hijauan di atas tanah
tidak berbeda nyata. Sementara itu, penanaman leguminosa pada perlakuan ini
meningkatkan kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.7) dan juga
meningkatkan produksi total protein kasar hijauan (Tabel 5.6). Hal yang sama
juga dinyatakan oleh Sanchez (1993), dimana dinyatakan bahwa peranan
leguminosa dalam sistem asosiasi adalah untuk memberi tambahan nitrogen
kepada rumput dan memperbaiki kandungan hara secara menyeluruh pada padang
penggembalaan terutama protein, fosfor dan kalium. Sementara itu, leguminosa
yang berbeda mempunyai kemampuan untuk berkompetisi yang berbeda, dan
sangat ditentukan oleh sistem perakaran, lebar daun, dan sifat morfologis lainnya.
Pada tanaman leguminosa, penampilan dan juga hasil akhir selain dipengaruhi
oleh sifat genetika dan lingkungan serta interaksi keduanya, juga dipengaruhi oleh
efek dari rhizobium yang banyak terdapat dalam bintil akar. Kebanyakan
leguminosa bergantung kebutuhan nitrogennya kepada N hasil fiksasi bukan dari
N inorganik. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi pertumbuhan
leguminosa itu sendiri, sehingga N inorganik yang terdapat dalam tanah dapat
dimanfaatkan oleh tanaman lainnya (Sanchez, 1993). Hal ini lah yang mendorong
lebih tingginya produksi pastura campuran.
Selain itu sistem penanaman campuran akan menghasilkan pakan yang
berkualitas karena komposisi pakan ruminansia yang baik tersusun dari rumput-
rumputan dan leguminoa (Dubbs, 1971). Perbaikan kualitas hijauan selanjutya
akan meningkatkan daya tampung dan produktivitas ternak. Di beberapa tempat
yang telah mengembangkan padang rumput campuran leguminosa, daya tampung
ternak dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padanng
rumput alamiahPada pemotongan kedua, terjadi kecenderungan yang sama seperti
pada pemotongan pertama. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah
cenderung menurun yang diakibatkan oleh pemotongan (pengaruh pemotongan
tidak dianalisis secara statistik), yang menunjukkan centro dan calopo , terutama
calopo (Tabel 5.4) tidak tahan terhadap pemotongan yang terlalu cepat (umur 6
mingggu setelah pemotongan pertama) dan pemotongan yang terlalu rendah (5 cm
di atas tanah).
Selain itu, perakaran juga berperan dalam hal ini, dimana dengan
perakaran yang bagus maka tanaman akan dapat lebih berkompetisi dalam
menyerap unsur hara, air dan pada leguminosa, aerasi yang bagus pada tanah juga
akan sangat mempengaruhi aktivitas nodul, sehingga akan mempengaruhi juga
kemampuannya dalam memfiksasi N bebas (Sanchez, 1993).
Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dengan herbisida
memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang tidak berbeda
nyata dengan tanpa persiapan lahan, dan jenis leguminosa centro memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan calopo dan tanpa penanaman
leguminosa. (Tabel 5.2). Hal ini diakibatkan karena pada persiapan lahan dengan

Prosiding Semnas II HITPI Page 213


herbisida yang ditanami dengan leguminosa produksi bahan kering rumputnya
hampir sama dengan pada persiapan lahan tanpa olah tanah (Tabel 5.4), tetapi
untuk produksi bahan kering leguminosa pada persiapan lahan dengan herbisida
pada penanaman centro memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal inilah yang
mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah, pada persiapan
lahan dengan herbisida yang ditanami centro memberikan hasil yang paling
tinggi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanaman leguminosa dan
cara persiapan lahan mampu menekan pertumbuhan rumput dibandingkan dengan
tanpa olah tanah. Tanpa penanaman leguminosa, prosentase rumput masih tingggi
tetapi dengan penanaman leguminosa prosentase rumput berkurang baik pada
pemotongan pertama maupun pada pemotongan kedua. Calopo, pada pemotongan
pertama mempunyai daya menekan pertumbuhan rumput yang lebih tinggi
dibandingkan dengan centro.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa centro lebih tahan terhadap
pemotongan. Reksohadiprodjo (1994) menyatakan bahwa centro adalah
leguminosa dengan sifat tumbuh yang agresif, tumbuhnya merayap dan membelit
dengan batang-batang yang dapat mengeluarkan akar dari tiap ruas batangnya,
sehingga dapat menghindari dari tertutupnya oleh bayangan tanaman yang
tumbuh bersamanya, dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Centro merupakan
tanaman leguminosa tahunan yang lebih tahan terhadap pemotongan jika
dibandingkan dengan calopo (Skerman, 1988).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan
terhadap kualitas hijauan (kandungan bahan organik dan kandungan abu) kecuali
terhadap kandungan protein kasar hijuan (Tabel 5.7). Pada semua perlakuan
dihasilkan kandungan protein kasar di atas 7% yang merupakan kandungan
protein kasar kritis pada hijauan pakan ternak. Penanaman leguminosa nyata
meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa
ditanami leguminosa (Tabel 5.7). Cara persiapan lahan dengan herbisida
menghasilkan hijauan dengan kandungan protein kasar yang tertinggi, tetapi tidak
berbeda dengan antara leguminosa centro dan calopo.
Semakin besar persentase leguminosa, maka kandungan protein kasar akan
semakin besar dan semakin banyak prosentase rumput akan semakin menurunkan
kandungan protein hijauan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller (1984)
dan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa leguminosa mempunyai
nilai nutrisi yang lebih baik daripada rumput, memiliki kandungan protein kasar,
kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, dan seringkali mempunyai nilai serat kasar
yang lebih rendah. Sementara itu, Mc Illroy (1977) menyatakan bahwa tingkat
dan stadia pertumbuhan tanaman erat kaitannya dengan perbaikan kualitas pakan.
Selanjutnya dikatakan bahwa nilai gizi jenis hijauan makanan ternak dipengaruhi
oleh perbandingan daun/batang, fase pertumbuhan, kesuburan tanah dan
pemupukan, serta keadaan iklim. Lebih lanjut, Djuned, dkk. (1980) menyatakan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi kimia hijauan
diantaranya adalah faktor tanaman meliputi umur, jenis dan bagian tanaman.
Daun mempunyai nilai protein yang lebih tingggi dibandingkan dengan batang,
karena pada batang lebih banyak mengandung serat kasar dibandingkan dengan
daun.
Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dan kandungan protein

Prosiding Semnas II HITPI Page 214


kasar hijauan akan mempengaruhi produksi total protein kasar di padang rumput
alami. Produksi total protein kasar yang tertinggi diperoleh pada cara persiapan
lahan dengan herbisida yang ditanami dengan centro pada pemotongan pertama
dan kedua.(Tabel 5.1). Produksi total protein kasar berkorelasi erat dengan
produksi bahan kering leguminosa. Semakin banyak jumlah bahan kering
leguminosa pada hijauan akan semakin meningkatkan produksi total protein kasar,
dan dengan semakin banyaknya rumput maka akan mengakibatkan semakin
rendahnya produksi total protein kasar. Selain itu produksi total protein kasar juga
berkorelasi erat dengan nodul yang terbentuk. Nodulasi leguminosa juga dapat
mempertahankan tingginya konsentrasi protein pada rumput, sehingga keberadaan
leguminosa dalam hijauan akan memberikan pakan yang lebih baik bagi ternak
(Skerman,1977). Penanaman centro pada perbagai cara persipan lahan, mampu
meningkatkan produksi total protein kasar mendekati dua kali lipat pada
penanaman calopo. Hal ini disebabkan karena setelah defoliasi calopo lebih
lambat tumbuh kembali dibandingkan dengan centro.
Kompetisi yang terjadi setelah defoliasi, antar spesies tanaman yang
berbeda atau pada spesies yang sama meliputi banyak faktor. Penampilan spesies
tanaman yang berbeda dalam asosiasi yang berbeda dari sangat depresif, depresif
hingga menunjukkan interaksi yang tidak menguntungkan. Kompetisi akhirnya
akan mengurangi jumlah faktor yang esensial bagi masing-masing individu.
Berhasilnya tanaman dalam kompetisi tergantung pada kedalaman dan distribusi
akar, lebar daun dan sifat genetik (Donald,1963).
Rumput merupakan tanaman C 4 yang lebih efisien dalam memanfaatkan
sinar matahari, CO 2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai
sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C 3 (Sastroutomo, 1990).
Hal tersebutlah yang akan membatsi pertumbuhan leguminosa setelah
pemotongan. Selanjutnya Mc.Illroy (1977) menyatakan bahwa penekanan ini
disebabkan penaungan rumput dan persaingan akar dalam menyerap unsur hara di
dalam tanah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa dalam
hal produksi dan kualitas hijauan di padang rumput alami.
2. Jenis leguminosa yang lebih mampu menghasilkan bahan kering yang lebih
tingggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrosema pubescens
Benth.
3. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering dan
kualitas hijauan di padang rumput alami.
4. Cara persiapan lahan dengan menyemprotkan herbisida sistemik yang
berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara
yang paling tepat dalam menanam leguminosa di padang rumput alami.

Prosiding Semnas II HITPI Page 215


Saran
1. Dalam upaya meningkatkan ketersediaan pakan ternak yang berkualitas, maka
dapat dilakukan dengan mengintroduksikan leguminosa Centro kedalam
pastura alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida
2. Perlu dilaksanakan penelitian yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil
yang lebih tepat misalnya selama satu tahun, untuk melihat kemampuan
produksi padang rumput baik pada musim hujan maupun pada musim
kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Alison, M.W. and W.D. Pitman. 1995. Legumes Use in Pastures. Louisiana
Agriculture 38 : 16 17
Bahar,S., S. Hardjosoewignjo, I. Kismono, dan O. Haridjaja. 1999. Perbaikan
padang rumput alam dengan introduksi leguminosa dan beberapa cara
pengolahan tanah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4 (3) : 185 190
Bayer, W. 1990. Nappier Grass-A Promising Fodder for Smallholder Livestock
Production in the Tropics. Plant Research and Development. p. 103-111
Bogdan , A. V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and
Legumes). Longman ,London and New York.
Crowder, L. V. and H.R. Cheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. First
Publ. Longman, London, New York. P. 63 - 81
Djuned H, M.H.D.Wiradisastra, T.Aisyah dan Ana Rochana. 1980. Tanaman
Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran Bandung, 45 65.
Dubbs,A.I. 1971. Competition between grass and legumes spesies on dryland.
Agron.J. 63 : 359-362.
Donald, C.M. 1963. Competition among crop and pasture plants.
Adv.Agron.15.1-118
Humphreys , L. 1980. A Guide to Better Pasture for the Tropics and Subtropics.
Revised 4th . Wright Stephenson & Co. Australia.
Mendra, I. K. 1992. Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Delapan
Kabupaten di Bali. Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak UNUD bekerjasama
dengan Dinas Peternakan Propinsi Bali.
Miller, D. A. 1984. Forage Crops. Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Nurjaya, I.G.M.O. 1987. Studies on management of Imperata cylindrica (L)
Beauv. for oversowing pasture legumes. (Thesis). University of New
England.
Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Reynolds S.G. 1995. Pasture Cattle-Coconut Systems. Food and Agriculture
Organzation of The United Nations regional Office for Asia and the
Pasific (Rapa). Bangkok, Thailand.
Sanchez P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2. Terjemahan
Amir Hamzah. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Sarief. S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana . Jakarta.

Prosiding Semnas II HITPI Page 216


Skerman, P. J. 1988. Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. Rome.
Steel, R. G. dan J.H. Torrie. 1989. Principles and Procedur of Statistic. Mc
Graw-Hill Book Company. New York.
Suarna I W. 2001. Pengaruh pupuk organik kascing terhadap pertumbuhan,
hasil dan kualitas hijauan dalam sistem asosiasi rumput leguminosa serta
dampaknya terhadap prestasi kambing PE jantan. (Disertasi). Bandung.
Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
t Mannetje, L. and R.M. Jones. 1992. Plant Resources of South-east Asia,
Forages. No.4. Prosea, Bogor. Indonesia.
Whiteman, P.C. ;L. R. Humphreys; N. H. Nonteith; E. H. Holt; P. M. Bryant and
J.E. Slater. 1974. A Course manual In A Tropical Pasture Science.
A.A.U.C.S. Brisbane, Australia.
Whiteman, P.C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press, Oxf.

Prosiding Semnas II HITPI Page 217


PEMANFAATAN LIMBAH DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK
UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH

Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh

ABSTRAK

Provinsi Aceh merupakan daerah prioritas penyumbang ternak sapi potong


yang memberi kontribusi terhadap penyediaan daging untuk konsumsi dalam
daerah dan memberi pendapatan yang cukup tinggi 25,5%. Akan tetapi akhir-
akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya sangat lambat, sehingga terjadi
penurunan populasi ternak mencapai 1,25%. Salah satu penyebabnya yaitu
rendahnya daya reproduksi terutama pada usaha peternakan rakyat akibat dari
terbatasnya ketersediaan pakan. Penelitian ini bertujuan untuk ; 1). Meningkatkan
produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging 2).
mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah pertanian (padi dan kakao)
sebagai sumber hijauan pakan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh
Timur dan Kabupaten Bireuen. Ternak sapi di kelompokkan atas berdasarkan
umur dan bobot hidup. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok. Nilai ekonomis ransum dihitung menggunakan R/C ratio. Design
perlakuan pakan sebagai berikut : A0 =Perlakuan Petani dan A1 = 50% jerami
padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat ; A2 = 50% kulit kakao
fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat. Peubah yang diamati adalah:
Pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan analisis ekonomi (B/C ratio).
Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A0 sebesar
0,759 kg, A1 sebesar 0,801 kg dan A2 sebesar 0,675 kg. Nilai B/C ratio Ao
sebesar 1,48 ; A1 sebesar 1,55, dan A2 sebesar 1,39.
Kata kunci: integrasi, sapi, jerami padi, kulit kakao, ketahanan pakan

PENDAHULUAN

Kebijakan pembagunan peternakan di Provinsi Aceh dewasa ini lebih


ditekankan pada upaya untuk menyongsong kecukupan daging 2014. Salah satu
faktor yang dominan pada keberhasilan pengembangan ternak adalah ketersediaan
sumber pakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Provinsi Aceh sebagai salah
satu Provinsi yang memiliki ternak sapi lokal dengan populasi sebesar 587,122
ekor memiliki potensi lahan pertanian berupa perkebunan, antara lain kebun kakao
105,625 ha dan lahan sawah 352,201 ha. Kedua komoditi tersebut memiliki
potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Akan tetapi akhir-akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya
sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25%
(Dinas Peternakan Prov. NAD, 2009). Hambatan utama petani ternak khususnya
dalam peningkatan populasi ternak yaitu terbatasnya pakan. Perluasan areal untuk
penanaman rumput sebagai pakan ruminansia sangat sulit, karena alih fungsi
lahan yang sangat tinggi. Mengingat sempitnya lahan penggembalaan, maka
usaha pemanfaatan sisa hasil (limbah) pertanian untuk pakan perlu dipadukan
dengan bahan lain yang sampai saat ini belum biasa digunakan sebagai pakan.
Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan

Prosiding Semnas II HITPI Page 218


pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama
dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang
saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat
dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing
masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi
merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat
tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran,
Djajanegara, Kariyasa dan Kasryno, 2005).
Sistem integrasi tanaman ternak terdiri dari komponen budidaya tanaman,
budidaya ternak dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada masing-
masing komponen merupakan faktor penentu keberhasilan sistem integrasi
tersebut. Agar sistem integrasi berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan
produktifitas pertanian maka petani harus menguasai dan menerapkan inovasi
teknologi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak
sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang
tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003).
Berdasarkan peluang dan permasalahan yang ada Balai Penelitian
Teknologi Pertanian Aceh sebagai ujung tombak Badan Litbang Pertanian yang
ada di daerah dapat memberi dukungan yang signifikan terhadap keberhasilan
program Kementerian Pertanian. Terobosan yang dilakukan melalui keterpaduan
sub sektor yang saling berkaitan antara ternak dan tanaman secara bersinergis dari
hasil limbah yang dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan peternak yang
berwawasan agribisnis.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
ternak untuk mencukupi kebutuhan daging dan mendapatkan teknologi pakan
yang berasal dari limbah (kakao, jerami padi) sebagai sumber hijauan dan
ketahanan pakan serta bersifat agribisnis.

Metodologi
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten
Bireuen dari bulan Februari sampai dengan Desember 2012.

MATERI DAN METODE

Ternak sapi di kelompokkan atas dasar umur dan bobot hidup


menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan dan 3
perlakuan. Adapun pakan perlakuan sebagai berikut :
A0 = Perlakuan Petani
A1 = 50% jerami padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat
A2 = 50% kulit kakao fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat

Persiapan bahan biomas (jerami padi dan kulit kakao)


Proses biomas kulit buah kakao dihaluskan dengan pemakaian alat,
kemudian difermentasikan dengan bantuan stater starbio dan didiamkan selama 21
hari, untuk proses biomas jerami padi yang sudah dipanen difermentasikan selama
21 hari dengan bantuan stater probion. Sebelum diberikan perlakuan, terlebih
dahulu ternak ditimbang dengan bobot badan 180-230 kg/ ekor. Setiap ternak

Prosiding Semnas II HITPI Page 219


diberikan vitamin dan obat cacing. Dilakukan adaptasi selama 10 hari dengan
bahan pakan yang akan diuji. Setiap 10 hari ternak ditimbang. Pakan diberikan
sebanyak 10% dari bobot badan. Konsentrat diberikan setiap pagi bersama dengan
mineral blok. Peubah yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi
ransum dan analisis ekonomi (B/C ratio) berdasarkan nilai input dan output.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik di Kabupaten Bireuen


Desa Juli Mee Tengoh merupakan salah satu desa di Kecamatan Juli
Kabupaten Bireuen dengan luas wilayah 207 Ha. Jarak desa ke ibukota kecamatan
3,5 km dan jarak desa ke ibukota kabupaten 5,5 km. Desa ini mudah dikunjungi
karena transportasi dan sistem komunikasi relatif lancar. Batasan desa adalah
sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Meunasah Teungoh
Sebelah Timur berbatasan dengan Blang Keutumba
Sebelah Selatan berbatasan dengan Bate Raya, Peuraden
Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Gunci

Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani


Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Juli Mee Teungoh sangat
beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani.
Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman
semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan
ditanam adalah kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan
dan pisang. Adapun komoditas ternak yang banyak diusahakan adalah sapi,
kerbau, kambing, ayam dan itik.

Karakteristik Fisik di Kabupaten Aceh Timur


Desa Lhok Asahan merupakan salah satu desa di Kecamatan Idi Timur
Kabupaten Aceh Timur dengan luas wilayah 230 Ha. Jarak desa ke ibukota
kecamatan 1,5 km, dan jarak desa ke ibukota kabupaten 6,5 km.
Batasan desa adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Seunebok Kuyun
Sebelah Timur berbatasan dengan Meunasah Jempa
Sebelah Selatan berbatasan dengan Keutapang Dua
Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Tengoh

Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani


Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Lhok Asahan sangat
beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani.
Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman
semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan
ditanam adalah kelapa sawit, kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura
berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditi ternak yang banyak diusahakan
adalah sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik. Susunan dan komposisi pakan sesuai
dengan pemberian saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Prosiding Semnas II HITPI Page 220


Tabel 1. Susunan pakan berdasarkan bahan kering
Susunan Formulasi ransum (%)
Bahan pakan
A0 A1 A2
Hijauan 100 81.7 76.3
jerami padi fermentasi 0 18 0
kulit kakao fermentasi 0 0 23.4
Konsentrat 0 0.3 0.3
Total 100 100 100

Tabel 2. Komposisi bahan pakan sesuai jumlah yang diberikan (kg)


Susunan Formulasi Ransum (kg)
Bahan pakan
A0 A1 A2
Hijauan 18.46 15.36 14.44
jerami padi fermentasi 0 3.38 0
kulit kakao fermentasi 0 0 4.43
Konsentrat 0 0.06 0.06
Total 18.46 18.8 18.93

Pertambahan Bobot Badan Selama Penelitian


Rata-rata pertambahan bobot badan sapi selama penelitian 90 hari
perlakuan A0 (perlakuan petani) sebesar 38.97 g/ekor/hari, perlakuan A1
(pemakaian 50% jerami padi permentasi tambah 50% hijauan tambah 1%
konsentrat) sebesar 72.66 g/ekor/hari dan perlakuan A2 (kulit buah kakao
permentasi hijauan tambah 1% Konsentat) sebesar 60.66 g/ekor/hari.
Dari hasil data penelitian yang diperoleh A0 , A1 , dan A2 secara statistik
menunjukkan perbedaan tingkat pertambahan bobot badan ternak sapi yang nyata
terutama antara perlakuan petani (A0 ) dengan perlakuan penambahan bahan
pakan hasil fermentasi yaitu A1 dan A2 . Namun perbedaan pertambahan bobot
bobot badan ternak sapi yang diberikan pakan perlakuan hasil fermentasi antara
A1 dengan A2 memperlihatkan selisih yang tidak terlalu jauh. Hal ini disebabkan
karena pengaruh hasil proses fermentasi jerami padi (A1 ) yang menunjukkan
serat-seratnya sudah terurai semua sehingga memberikan daya cerna lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan petani maupun perlakuan penambahan kulit buah
kakao difermentasi.
Tingkat daya cerna pakan yang dikonsumsi dapat menunjukkan tingkat
tinggi rendahnya penambahan bobot badan, karena dapat memberikan gambaran
seberapa banyak pakan yang dikonsumsi ternak dapat diserap oleh pili-pili usus
untuk membentuk otot daging dan tidak banyak di buang dalam bentuk feses.
Fitriani (2003) menyatakan bahwa perlakuan amoniasi jerami padi dengan aditif
mikroba dapat meningkatkan nilai kecernaan NDF dan hemisellulosa rumput.

Tabel 3. Rataan Pertambahan Bobot Badan Sapi Selama Penelitian


(gram/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan Total Rata-rata
1 2 3
A0 38.97 39.96 37.98 116.91 38.97a
A1 69.03 37.98 74.97 217.98 72.66c
A2 56.97 62.01 63.0 181.98 60.66b
Ket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda nyata (P>0,05)

Prosiding Semnas II HITPI Page 221


Konsumsi Ransum Selama Penelitian
Pemberian pakan pada sapi ini sebanyak 10% dari bobot badan.
Perlakuan bahan pakan yang disusun terdiri dari tiga macam perlakuan yaitu ;
perlakuan A0 : pemberian pakan dilakukan oleh petani peternak atau perlakuan
petani berupa hijauan segar 100%, perlakuan A1 : (50% Hijauan, 50% jerami padi
difermentasi, 1% konsentrat), dan perlakuan A2 : (50% Hijauan, 50% kulit buah
kakao difermentasi, 1% konsentrat). Selama penelitian pakan yang diberikan
semua habis dimakan oleh ternak sapi tidak ada yang tersisa. Berdasarkan jumlah
perhitungan 10% dari bobot badan menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu
jauh antara perlakuan A0 dengan perlakuan memakai bahan pakan hasil fermentasi
yaitu ; perlakuan A1 dan perlakuan A2 dari jumlah pemberian pakan per-hari
sampai akhir penelitian.

Tabel 4. Jumlah konsumsi pakan per-individu ternak selama penelitian 90 hari


(kg)
Ransum Perlakuan
Bahan Pakan A0 A1 A2
Pemberian Pada Ternak 1661.4 1692 1703.7
Sisa pakan yang di Konsumsi 0 0 0
Jumlah Konsumsi Pakan 1661.4 1692 1703.7

Konsumsi pakan selama penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan


A0 mengkonsumsi pakan sebanyak 1661.4 kg, perlakuan A1 sebanyak 1692 Kg,
dan perlakuan A2 sebanyak 1703.7 kg. Berdasarkan hasil penelitian didapat
bahwa tingkat konsumsi pakan perlakuan A1 dan A2 lebih tinggi dibandingkan
pakan perlakuan A0 . Disebabkan karena tingkat daya cerna bahan pakan hasil
fermentasi terutama kulit buah kakao dan jerami padi sehingga dimanfaatkan oleh
ternak. Menurut Zainuddin (1995), kulit buah kakao mengandung 16.5% protein
dan 9.8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi kandungan protein meningkat
menjadi 21.9% serta mampu menurunkan kadar serat kasar dari 16.42 menjadi
10.15%.
Konsumsi pakan ditentukan oleh, kualitas pakan dan frekuensi pemberian
pakan yang memberikan pengaruh besar terhadap pertambahan bobot badan dan
biaya produksi selama pemeliharaan sapi atau penelitian berlangsung. Walaupun
seekor ternak memiliki potensi genetik tinggi, akan tetapi apabila tidak didukung
oleh makanan yang baik mutu dan cukup jumlahnya, maka ternak kurang dapat
menampilkan potensi tersebut.

Analisa ekonomi (B/C Ratio)


Telah diketahui bahwa pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam
suatu usaha peternakan baik itu ternak ruminansia maupun non ruminansia. Oleh
karena itu biaya pakan perlu ditekan serendah mungkin agar diperoleh pendapatan
yang lebih baik atau setinggi mungkin. Pendapatan merupakan selisih antara
penerimaan dan biaya produksi selama penelitian, dimana semakin besar produksi
yang dihasilkan semakin besar pula penerimaannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perhitungan analisis ekonomi (B/C ratio) adalah: konsumsi
ransum, bobot badan akhir, harga beli sapi, harga lainya dianggap sama. Hasil
produksi dan keuntungan selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.

Prosiding Semnas II HITPI Page 222


Tabel 5. Hasil produksi ternak sapi selama penelitian 90 hari

Bobot Bobot
Harga Karkas
Perlakuan Badan PBB Badan Penerimaan
Rp/Kg
Awal Akhir

A0 184.6 38.97 223.57 Rp. 35.000 Rp. 7.824.950


A1 188.0 72.66 260.66 Rp. 35.000 Rp. 9.123.100
A2 189.3 60.66 249.96 Rp. 35.000 Rp. 8.748.600

Tabel 6. Keuntungan bersih selama penelitian 90 hari


Biaya produksi Keuntungan
Perlakuan Penerimaan
(Rp) (Rp)
A0 Rp. 7.824.950 Rp. 5.261.554 Rp. 2.563.396
A1 Rp. 9.123.100 Rp. 5.889.358 Rp. 3.233.742
A2 Rp. 8.748.600 Rp. 6.284.309 Rp. 2.464.291

Pemanfaatan limbah hasil pertanian (jerami padi dan kulit buah kakao)
yang dilakukan pengolahan dengan cara fermentasi ternyata memberikan dampak
positif terhadap percepatan pertambahan bobot badan ternak sapi penelitian, yang
memberikan selisih tingkat keuntungan yang tinggi yang diperoleh dari masing-
masing pakan pelakuan dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi
tersebut. Dari hasil analisis ekonomi terhadap berbagai jenis pakan perlakuan
penelitian (A0 ,A1 ,A2 ) ; Pakan perlakuan A0 biaya produksi Rp. 5.261.554,-,
keuntungan Rp 2.563.396,- dengan B/C ratio 1,48 ; Pakan perlakuan A1 biaya
produksi Rp. 5.889.358,-, Keuntungan Rp. 3.233.742, -, dengan B/C ratio 1,55 ;
dan pakan perlakuan A2 Biaya produksi Rp. 6.284.309,-, keuntungan Rp.
2.464.291,- B/C ratio 1,39.
Berdasarkan data hasil penelitian usaha ternak sapi tentang perhitungan
analisis ekonomi menunjukkan bahwa pakan perlakuan A1 (jerami padi
difermentasi), memberikan keuntungan yang lebih besar dengan biaya produksi
rendah serta B/C ratio yang tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan
penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya. Dapat
disimpulkan perlakuan pakan A1 dengan memanfaatkan jerami padi yang diolah
dengan cara fermentasi dapat membantu petani ternak dalam memanfaatkan
produk limbah pertanian, sehingga dapat menurunkan ketergantungan terhadap
ketersediaan hijauan pakan. Pemanfaatan limbah pertanian dapat dilakukan
sejalan dengan pengolahan lahan pertanian dan pengaturan penanaman hijauan
makanan ternak.
Pakan perlakuan yang dilakukan petani atau perlakuan petani (A0 )
berdasarkan data tingkat analisis ekonominya lebih tinggi dibandingkan pakan
perlakuan penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya,
hal ini disebabkan karena pakan perlakuan petani jumlah biaya produksi lebih
rendah dengan hanya memakai pakan hijauan saja tanpa penambahan pakan
lainnya namun tidak memberikan tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi
seperti pada perlakuan penelitian dengan memakai bahan pakan hasil fermentasi
lainnya (A1 dan A2).

Prosiding Semnas II HITPI Page 223


Biaya produksi adalah sejumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor
produksi, yang digunakan dalam proses produksi, dan biaya adalah suatu nilai
yang dikorbankan untuk produksi (Teken dan Asnawi, 1977). Penerimaan adalah
hasil perkalian antara jumlah produksi fisik dengan harga satuan dari produksi
tersebut. Dalam hal ini jelas bahwa harga dari jumlah produksi sangat menentukan
besar kecilnya penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Sedangkan pendapatan
adalah jumlah penerimaan total dari hasil usaha setelah dikurangi biaya riil usaha
(Adiwilaga, 19820).
Untuk menilai kelayakan ekonomi dari hasil penelitian maka digunakan
analisa tingkat keuntungan dan rasio manfaat biaya (B/C Ratio) disajikan pada
Tabel 7.

Tabel 7. Nilai B/C Ratio selama penelitian 90 Hari


Biaya produksi
Perlakuan Penerimaan B/C Ratio
(Rp)
A0 Rp. 7.824.950 Rp. 5.261.554 1.48
A1 Rp. 9.123.100 Rp. 5.889.358 1.55
A2 Rp. 8.748.600 Rp. 6.284.309 1.39

KESIMPULAN

1. Pertambahan bobot badan sapi selama penelitian mengalami kenaikan yg


signifikan dengan pemberian ransum perlakuan yang terdiri dari pakan
perlakuan Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan
harian A0 sebesar 0,759 kg, A1 sebesar 0,801 kg dan A2 sebesar 0,675 kg.
Nilai B/C ratio Ao sebesar 1,48 ; A1 sebesar 1,55, dan A2 sebesar 1,39.
2. Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan seperti pelepah sawit, kulit
buah kakao yang di olah dengan cara fermentasi memberikan B/C ratio yang
lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, 2009. Data Base Peternakan Provinsi
Aceh. Banda Aceh.
Fitriani. 2003. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Yang Diberi pakan Jerami padi
Fermentasi ditambah Aktivator Mikroorganisme. Skripsi Jurusan
Peternakan Unsyiah, Darussalam Banda Aceh.
Pasandaran, Effendi. Djayanegara, Andi. Kariyasa, Ketut. Kasryno. Faisal.2006.
Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta
Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi Kelapa
Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan
Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63
Zainuddin. 1995. Kecernaan dan Fermentasi Limbah Kakao serta Manfaatnya.
Kumpulan Hasil-hasil Pertanian APBN TA 94/95, Balia Penelitian Ternak
Ciawi, Bogor.

Prosiding Semnas II HITPI Page 224


KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick
PADA SISTEM PENGGEMBALAAN DAN STOCKING RATE BERBEDA
DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA

Selvie D. Anis 1 , M.A. Chozin 2 , M. Ghulamahdi2 , Sudradjat 2 dan H. Soedarmadi3


1
DepartemenNutrisidanMakananTernakFakultasPeternakan UNSRAT, Manado.
2
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
3
DepartemenMakananTernakdanTeknologi Pakan, FakultasPeternakan IPB, Bogor.

ABSTRACT

Integreted pasture and livestock in coconuts based farming systems


were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization.
The aim of this experiment was to studies the effects of stocking rate and
grazing systems on performance of pasture. This experiment was conducted at
Coconut and Others Palma Research Center (BALITKA) Manado since July 2009
until June 2010. Two grazing system and three stocking rate were put on Split
Plot arrangement based on Rendomized Block Design (RBD). Measured variables
were number of mother plant, ground tiller, aerial tiller, weight of dry roots and
crown. The results shows that all highest performances measured were found
on the interaction of rotational grazing system (SP 2 ) and stocking rate 2,31
AU (SR3).
Key word: performance, humidicola, grazing system, stocking rate.

ABSTRAK

Integrasin pastura dan ternak sapi ke dalam system pertanian berbasis kelapa
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secar aberkelanjutan.
Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruhstocking rate dan system
penggembalaan terhadap keragaan pastura.Penelitian ini telah dilakukan di Kebun
Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak
Juli 2009 sampai Juni 2010. Perlakuan terdiri dari dua sistem penggembalaan dan
tiga stocking rate diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada
Rancangan Acak Kelompok (RAK). Variabel yang diukur adalah jumlah tanaman
induk, jumlah ground tiller, jumlah aerial tiller, bobot akar dan bobot crown.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua parameter keragaan pastura yang
terbaik diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan
stocking rate 2,31 UT (SR3).
Kata kunci : keragaan, humidicola, sistempenggembalaan, stocking rate.

PENDAHULUAN

Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan


produksi biomassa bahan kering hijauan di atas tanah (Flemmer et al., 2002) dan
pada tekanan penggembalaan berat akan terjadi pengurangan absorbsi unsur hara
yang dapat mengancam terhadap pemulihan jaringan fotosintesis (Dawson et al.,
2000), bahkan gangguan kehidupan perakaran dan kematian akar (Mousel et al.,
2005). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi
tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan

Prosiding Semnas II HITPI Page 225


konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins
et al.,2010). Sebelumnya, Gao et al. (2007) melaporkan bahwa penggembalaan
berat 2,9 Yaks/ha menghasilkan rasio biomassa akar/pucuk lebih tinggi dari pada
penggembalaan ringan 1,2 Yaks/ha dan medium 2,0 Yaks/ha. Naiknya alokasi,
yang biomassa komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap
perenggutan pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah
direnggut (Wang et al., 2003).
Ketika terjadi defoliasi atau perenggutan bagian pucuk tanaman akan
menyebabkan kehilangan unsur nitrogen, yang menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga tanaman berada
dalam keadaan homeostatis, secara otomatis tanaman akan melepaskan unsur
karbon ke lingkungan risosfer melalui eksudat akar (Manske, 2001; Kuzyakov,
2002; Mousel et al., 2003). Eksudat akar mengadung glukosa dan asam amino
yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri
(Kuzyakov, 2002).
Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa
hijauan berlimpah. Namun tanpa manajemen penggembalaan yang benar akan
terjadi akumulasi material mati yang dapat menghambat ternak untuk merumput
(Sollenberger dan Burns, 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang
optimum berbeda untuk setiap jenis rumput, dan sebagai contoh untuk jenis
limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan
memberi keragaan ternak terbaik pada struktur pastura dengan tinggi conopy
40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang terjangkau oleh ternak untuk
direnggut dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et al., 2002). Tinggi
tunggul yang tersisa 30 cm setelah digembalakan menghasilkan komponen daun
lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi
dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. Maximum
(Carnevalli et al., 2006), demikian juga dilaporkan pada jenis rumput
Brachiaria yang lebih sering digembalakan, efisiensinya lebih tinggi
dibandingkan dengan yang kurang digembalakan (CIAT, 2006).
Pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar
pengaruh stocking rate (SR). Sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan
hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan
bergizi, serta lebih disukai dan dipilih ternak (Mayne et al., 2000). Pada sistem
penggembalaan rotasi dengan SR tinggi, memberikan kenaikkan hasil susu sapi
per induk sebesar 16%, dibandingkan dengan hanya 4% pada SR
rendah,demikian juga pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi
pada rumput B.humidicola dengan naiknya SR (Pereira et al., 2009).
Penentu utama jumlah hijauan yang terenggut per hari oleh ternak sapi
adalah bobot hijauan per renggutan.Volume tersebut ditentukan oleh tinggi
rendahnya kanopi pastura, sebagai akibat dari perbedaan SR (Newman et al.,
2002; Carnevalli et al., 2006) dimana tinggi kanopi pastura antara 8-10 cm
memberikan hasil pertambahan berat badan lebih tinggi (Mayne et al, 2000).

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu


Percobaan ini dilaksanakan di lapang pada kebun percobaan Balai

Prosiding Semnas II HITPI Page 226


Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Desa Paniki Bawah,
Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak
pada 01o 30 LU, dan pada 124o 54 BT, dengan tinggi tempat 67 meter dpl.
Penelitian ini dimulai Juli 2009 sampai Juni 2010.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalahbibit tanaman B.humidicola, lahan
pertanaman kelapa berumur 50 tahun, jarak tanam 9 9 m sesuai lahan yang
tersedia, luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard tempat diletakan
timbangan ternak seluas 6 Ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 Ha. Ternak
sapi sebanyak 36 ekor dengan berat badan awal 260-280 kg, yang deberikan
suntikan subcutan dengan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi).
Alat yang digunakan adalah : traktor dan garuk, cangkul dan parang, timbangan
ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum
Model Weatherguide T M System, Taylor Precision Products, Oak Brook, IL
60523.

Metode
Dalam percobaan ini perlakuan yang akan diuji adalah dua sistem
penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP 1 ) dan
penggembalaan rotasi pada tahap perkembangan tanaman rumput mencapai 3,5
daun dewasa yang dihitung berdasarkan akumulasi unit panas sebesar 456 DD
(SP2 ), dan stocking rate (SR) terdiri atas 0,77 UT/pedok (SR1 ), 1,54 UT /pedok
(SR2 ), dan 2,31 UT/pedok (SR3 ). Percobaan ini menggunakan pola petak
terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK).

Variabel yang diukur


Keragaan pastura yang diukur meliputi produksi biomassa (bobot kering),
jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground dan aerial tiller) dengan
mengikuti prosudur pengambilan sampel menurut petunjuk Busque dan Herero
(2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan percobaan ini untuk mempelajari bagaimana mekanisme


persistensi rumput B. humidicola setelah digembalai. Untuk itu beberapa variabel
keragaan pastura telah diukur yang dapat menjadi indikator persistensi setelah
penggembalaan yaitu jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground tiller dan
aerial tiller), bobot akar dan crown.

Tanaman Induk
Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata SP
dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP 2 SR3
(12,22 tanaman), lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan interaksi
lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah diperoleh pada
interaksi SP2 SR1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih rendah dari
interaksi lainnya.

Prosiding Semnas II HITPI Page 227


Tabel 1. Pengaruh interaksi perlakuan system penggembalaan dan stocking rate
terhadap keragaan pasture B.humidicola.
Parameter
Interaksi
Aerial Ground Bobot
Tanaman Induk Crown
Tiller Tiller Akar
SP1-SR1 6,22b 13,22 b
16,55a 4,35c 5,11c
SP1-SR2 6,44b 18,78b 9,78b 5,48b 6,99b
SP1-SR3 9,22b 26,55 a
7,33b 6,06b 9,78b
SP2-SR1 2,66c 3,67c
12,77a 4,07c 3,48c
SP2-SR2 7,00b 14,00b 4,55b 5,80b 9,01b
SP2-SR3 12,22a 27,89 a
1,11c 11,09a 14,34a
Ket : angka yang diikuti huruf tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata P<0,05

Anakan/Ground Tiller. Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada


interaksi SP2 SR3 (27, 89) dan SP1 SR3 (26, 55) dimana keduanya berbeda nyata
lebih tinggi dari interaksi lainya, tetapi keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan
jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP 2 SR1 (3,67) dan
nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi
perlakuan SP2 SR3 tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa
hijauan terenggut oleh ternak, sehingga terjadi pengurangan phytomas berupa
mulsa dan material mati (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan
penetrasi cahaya yang cukup dan meningkat kankecepatan pertukaran
CO 2 melalui proses fotosintesis (Lecain et al., 2000; Bremer et al., 1998), dan
terjadi peningkatan suhu udara mikroklimat dekat permukaa ntanah yang
merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al., 2003).
Selanjutnya aktivitas fotosintesis meningkat pada bagian tanaman yang tidak
terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk yang bersinergi dengan naiknya
intesitas penyinaran akibat lingkungan pastura semakin terbuka (Schnyder dan
de Visser, 1999; Thornton et al., 2000).
Hasil penelitian Zhang et al. (2011) menunujukkan bahwa penggembalaan
berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada pedok yang digembalai
kumulatif perkecambahan meningkat 77% , sedangkan yang didefoliasi secara
mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah
kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah
lapisan atas (Wang et al., 2003). Pada pastura yang tidak digembalakan vegetasi
rumput akan menutupi permukaan tanah sehingga membatasi masuknya cahaya
matahari yang akan menentukan tinggi rendahnya suhu tanah lapisan atas
(Huang dan Gutterman, 2004; Romo, 2004).

Anakan/Aeriel tiller. Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi


SP1 SR1 (16,55) dan SP2 SR1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata
dibandingkan dengan interaksi lainnya. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah
dihasilkan oleh interaksi SP2 SR3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan
sebagian besar pucuk tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang
kemungkinan menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001).

Bobot Akar dan Crown. Akar sebagai representasi sumber cadangan


energy pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar

Prosiding Semnas II HITPI Page 228


dapat memberikan kontribusi lebih banya unsur C dan N ke dalam tanah
(Mouselet al, 2003). Bobot akar seberat 11,09 g dan bobot crown sebanyak
14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP 2 SR3 (Gambar), dan nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan interaksi lainnya.

Pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar bila
frekuensi defoliasi meningkat (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot
akar dan crown yang kami peroleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi
tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya
restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Hal ini penting
mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padangrumput. Gao et al.
(2007) melaporkan bahwap enggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio
akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium
2,0 yaks/ha. Hasil bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP2 SR3
sebanyak 11,09 g. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa pada sistem
penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya
akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistemp
enggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada system penggembalaan rotasi
tanman diberi kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam
perkembangan tanaman, naiknya proporsi pucuk selalu diimbangi dengan
perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh
Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa defoliasi yang berat tidak
berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown,
kecepatan rekrutmen akar dan tingkat hidup akar rumput Poa ligularis. Penulis
tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis
rerumputan yang tergolong persisten sebagai padang penggembalaan.
Kemungkinan lain dari hasil penelitian kami adalah bahwa rumput B.humidicola
semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar
dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon.
Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman
rumput tidak tergantung sepenuhnya cadangan energi yang berasal dari akar dan
crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007).

KESIMPULAN

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
Semua keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem
penggembalaan rotasi (SP2 ) dan stocking rate tiga (SR3 ).

Prosiding Semnas II HITPI Page 229


DAFTAR PUSTAKA

Baruch, Z., O. Guenni. 2007. Irradiance and defoliation effects in three species of
the forage grass Brachiaria. Tropical Grassland 41: 269-276
Busque.J., M. Herrero. 2001. Sward structure and patterns of defoliation of signal
gass (Brachiariadecumbens) pastures under different cattle gazing
intensities. Tropical Gassland 35: 193-204.
Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006.
Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca
under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176
Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006.
Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca
under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176
Centro InternationaleAgicultureTropicale (CIAT). 2009. Exploiting biological
nitrification inhibition in agiculture. http://www.ciat.cgiar.org.
Dawson, L.A., S.J. Gayston., E. Paterson. 2000. Effects of gazing on the roots and
rhizosphere of gasses. GasslandEcaophysisolgy and GazingEcoalogy. (Ed)
G. Lemaire et al. CAB International.
Flemer, A.C., C.A. Busso., O.A. Fernandez., T. Montani. 2002. Root gowth,
appearance and disappearance in perennial gasses: Effects of the timming of
water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science.
82: 539-547.
Gao, Y.H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang. 2007. Gazing intensity
impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern
Plateau. Research J. Agi and Biology Sci. 3 (6): 642-647.
Gittings,C., C.A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi. 2010.
Defoliation frequency affects morphophysiological traits in the
bunchgassPoaligularis. Int. J. Exptl Botany 79: 55-68.
Gomez, A.A and A.A. Gomez. 1995. ProsedurStatistikuntukPenelitianPertanian.
(Edisi II). PenerbitUniversitas Indonesia.
Huang, Z., Y. Guttreman. 2004. Seedling desiccation tolerance of
Leymusracemous(Poaceae) (wild rye) a perennial sand-dune grass
inhabiting the Junggar Basin of Xinjiang, China. Seed Sci. Res. 2(14):
233-241
Kuzyakov,Y.2002. Factor affecting rhizosphere priming effects.J.PlantNut.
SoilSci 165: 382-396
Lecain, D.R., Morgan, J.A., Schuman, J.D and H. Hart. 2000. Carbon exchange
rates gazed and ungazed pastures of Wyoming. J. Range Management.
53: 199-206.
Manske,L.L. 2001. Well-Timed gazing can stimulate gassgowth and tiller
development.North Dakota State University-NDSU Agiculture
Communication. hhtp://www.ag.ndsu.nodak.edu
Mayne, C.S,.Wright, I.A and G.E.J. Fisher. 2000. Gassland management under
gazing and animal respons. In: Gass Its Production and Utilization. Third
Edition.Edited by Alan Hopkins. Institute of Gassland and Environment
Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd.
McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson. 2003.

Prosiding Semnas II HITPI Page 230


Spring wheat leaf appearance and temperature: Extending the Paradigm?
Annals of Botany 91: 697-705.
Mousel, E.M., W.H. Schacht., C.W. Zanner., L.E. Moser. 2005. Effects of
Summer gazing strategies on organic reserves and root characteristics of
Big Bluestem. Crop Sci. 45: 2008-2014.
Newman,Y.C., Sollenberger.L.E., Kunkle.W.E and C.G. Chambliss. 2002.
Canopy height and nitrogen supplementation effects on performance of
Heifersgazinglimpogass. Agon.J.94:1375-1380
Pereira, J.M., Tarre, R.M., Macedo, R and R.M. Boddey. 2009. Productivity of
B.humidicola pastures in Atlantic forest region of Brazil as affected by
stocking rate and the presence of a forage legume. Nutr. Cycl. Agoecosyst
83 : 179-196.
Romo, J.T. 2001.Establishing winterfat in praire restorations in Saskatchewan.
Can. J. Plant Sci. 84: 173-179.
Schnyder.H and R.de Visser. 1999. Fluxes of reserve-derived and currently
assimilated C and N in perennial Ryegrass recovering from defoliation.
Plant Physiol.199: 1423-1436.
Sollenberger, L.E dan J.C. Burns. 2001.Canopy characteristics,
ingestivebehaviour and herbage intake in cultivated tropical grasslands. In:
Proc. Int Cong., 19th . Sao Pedro, Brazil.
Thornton,B., Miilard,P., and U. Bausewein. 2000. Reserve formation and
recycling of carbon and nitrogen during regowth of defoliated plants. P.
85-99. In: G. Lamaire et al. (ed). Gassland ecophysiology and gazing
ecology. CAB Internatonal, New York.
Wang, R.Z., Gao,Q and Q.S. Chen. 2003. Effects of climate change on biomass
and biomass and biomass allocation in Leymuschinensis (Poaceae) along
the Notrh-East China Transect (NECT). J. Arid.Environ. 54: 653-665.
Zhang R.,D.Huang., K. Wang., Y.T. Zhang., C.W. Wang. 2011. Effect of mowing
and grazing on ramet emergence of Leymus racemosus inthe inner
Mongolia Steppe during the spring regreening period. African J. Biotech.
10(12): 2216-2222.

Prosiding Semnas II HITPI Page 231


PERILAKU MAKAN RUMINANSIA SEBAGAI BIOINDIKATOR
FENOLOGI DAN DINAMIKA PADANG PENGGEMBALAAN

Suhubdy Yasin
Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Penggembalaan Kawasan Tropis,
Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB
e-mail: suhubdy1960@gmail.com

ABSTRACT

Grazingland or Rangeland is an eating table of ruminants and/or other


herbivores for supporting their life. The adequacy and uptake of essential nutrients
such as dry matter, protein and energy are very much determined by quality and
phenology of pasture vegetation. The phenology of grass influences directly to
ingestive behaviour of the herbivores. During grazing time, ruminant
animals/herbivores tend to select the pastures that are easy to be prehended for
fulfilling their dry matter requirement. Therefore, monitoring and recording the
diurnal ingestive or grazing behaviour of ruminant animals or other herbivores
would be as useful bioindicator for understanding the change of growth and
availability of grass on pasture and/or rangeland. This behavioral aspect of
ruminants is also useful clue and effective information to be considered for
managing the grassland developments. This paper reviews and discusses the
ingestive behaviour of ruminants as one of bioindicators determining the
phenology of grass and dynamics of grasslands or rangelands.
Keywords: bioindicator, grasslands, ingestive behaviour, plants phenology,
pastures, rangelands, ruminants

ABSTRAK

Padang rumput (penggembalaan) merupakan meja makan bagi ternak


ruminansia dan/atau herbivora lainnya untuk menopang hidupnya. Ketercukupan
kebutuhan dan asupan zat gizi utama seperti bahan kering, protein dan energi
sangat ditentukan oleh mutu dan fenologi tumbuhan pakan tersebut. Fenologi
tumbuhan pakan secara langsung mempengaruhi cara dan pola konsumsi
(ingestive behaviour) dari ternak herbivora. Pada saat merumput, ruminansia
memiliki kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan pakan yang gampang
disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan kering pakannya. Oleh sebab itu,
memonitor dan merekam karakteristik aktivitas merumput (grazing) dan pola
makan harian ruminansia dan/atau herbivora lainnya menjadi salah satu petunjuk
biologis (bioindikator) yang mungkin sangat berguna untuk mengungkapkan
perubahan yang terjadi terhadap padang penggembalaan dan aspek ini pula pada
gilirannya menjadi salah satu faktor manajemen strategis pengelolaan padang
penggembalaan. Makalah ini mereview dan mendiskusikan tentang perilaku
makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia sebagai salah satu bioindikator
fenologi dan dinamika padang penggembalaan alam dan/atau pastura.
Kata kunci: bioindikator, fenologi tumbuhan, padang penggembalaan, padang
rumput, perilaku makan, ruminansia

Prosiding Semnas II HITPI Page 232


PENDAHULUAN

Secara alamiah, ternak ruminansia atau herbivora lainnya mengandalkan


hijauan pakan dan/atau padang penggembalaan sebagai sumber zat gizi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ternak ini memenuhi kebutuhan bahan kering,
protein, dan energi dengan cara merumput secara bebas di atas padang
penggembalaan. Pemeliharaan ruminansia berbasis padang pengembalaan sangat
intensif dilakukan di negara-negara yang sistem peternakannya sudah maju,
seperti misalnya di Australia, Amerika, dan New Zealand. Sedangkan di
Indonesia, pemanfaatan padang rumput secara maksimal untuk produksi ternak
ruminansia masih relatif terbatas, kecuali di beberapa wilayah seperti Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Selatan
(Sulsel).
Secara tradisional (sistem pemeliharaan ternak berbasis cut-and-cary),
sumber hijauan pakan untuk ternak ruminansia cenderung diperoleh dari lahan-
lahan marginal seperti pinggir jalan raya, tepi sungai, areal persawahan, dan tanah
lapang yang berdekatan dengan tempat pemeliharaannya. Peternak mengarit
hijauan pakan dan diberikan secara langsung kepada ternaknya di kandang dan
pada kondisi seperti ini ternak piaraannya tak ada kesempatan untuk menyeleksi
atau memilih bahan pakan yang akan dikonsumsinya. Hal ini dimungkinkan
karena ternak tersebut tidak ada kebebasan untuk memilih atau karena
keterbatasan jumlah dan/atau tempat pemeliharaannya. Sedangkan pada padang
penggembalaan, ternak herbivora mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk
memilih hijauan pakan seluas-luasnya karena disamping ragam dan jenisnya yang
banyak juga tempatnya yang luas. Pada kondisi seperti ini, jumlah dan jenisnya
pakan yang disenggut (dikonsumsi) sangat dipengaruhi oleh karaketristik
morfologi (fisik), bologi, kimia, dan fenologi (fase pertumbuhan - vegetatif dan
generatif) tumbuhan pakan yang tersedia di atas padang penggembalaan.
Ruminansia atau herbivora mempunyai kecenderungan memilih dan menyenggut
hijauan (rerumputan, semak, dan/atau belukar) yang mudah disenggut untuk
memenuhi kebutuhan bahan keringnya (Forbes, 1995; Gregorini, dkk., 2008;
Prache, dkk., 1998; Yasin, 2012).
Pola makan ruminansia dan/atau herbivore non-ruminansia pada padang
penggembalaan dipengaruhi disamping oleh karakteristiknya, juga oleh fenologi
dan karakteristik tumbuhan pakan itu sendiri. Sekecil apa pun perubahan yang
terjadi pada tumbuhan pakan baik karena faktor iklim maupun intervensi manusia
akan tercermin secara cepat pada pola merumput ternak herbivora.
Di Indonesia, interaksi antara tumbuhan pakan dengan herbivora pada
padang penggembalaan masih relatif belum banyak diperhatikan atau
diungkapkan baik secara praktis maupun ilmiah (Yasin, 2012 dan 2013). Makalah
ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendiskusikan pola makan ruminansia
(ingestive behaviour) sebagai salah satu bioindikator fenologi dan dinamika
padang penggembalaan. Dan selanjutnya, informasi ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengelola dan
mengembangkan padang penggembalaan sebagai basis pengembangan dan
peningkatan produksi ternak ruminansia.

Prosiding Semnas II HITPI Page 233


NOLOGI DAN KARAKTERISTIK NUTRISI TUMBUHAN PAKAN

Fenologi tumbuhan didefinisikan sebagai siklus perubahan biologi


tumbuhan yang erat kaitannya dengan faktor iklim (MacAdam, 2009 dan Gibson,
2009). Pada saat musim penghujan, rerumputan yang potensial sebagai hijauan
pakan tumbuh dengan baik dan produksi biomassanya relatif berlimpah. Akan
tetapi pada musim kemarau, produktivitasnya relatif sedikit. Artinya, faktor
pembatasnya adalah ketersediaan air bukan hujan. Jika air dapat disediakan secara
memadai sepanjang tahun maka produksi dan ketersediaan hijuan pakan tak akan
menjadi kendala.
Fenologi tumbuhan pakan sangat mempengaruhi nilai gizi dan tabiat
makan dan/atau ruminasia (Flores, dkk., 1993; Minson, 1990; Prache, 1997;
Prache, dkk., 1998;). Pada fase vegetatif kandungan protein kasar cenderung
tinggi dan kadar seratnya relatif rendah. Demikian sebaliknya, kadar serat
cenderung semakin meningkat pada saat mencapai fase generatif (Brazle., dkk.,
2000). Tingginya kadar serat berkaitan erat dengan tingkat lignifikasinya. Hijauan
pakan biasanya disukai oleh ternak jika diberikan biomassa pada saat fase
vegetatif dan kurang diminati jika diberikan pada saat sudah menua. Pada kondisi
padang penggembalan, hijauan pakan yang sudah menua akan menyulitkan
ternak mengkonsumsinya hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam hal
menyenggut dan mengunyahnya (Yasin, 2012). Di samping itu, nilai nutrisinya
(daya cerna) pun cenderung menurun (Tabel 1, Minson, 1990).

Tabel 1. Daya cerna (in vitro) lima species rumput tropis (Minson, 1990).
Daya cerna bahan kering
Tumbuhan Pakan Monthly Mature Rata-rata
regrowths regrowths
Setaria sphacelata var. splendida 0,65 0,58 0,62
Digitaria decumbens 0,63 0,57 0,60
Chloris gayana 0,61 0,54 0,58
Panicum maximum 0,61 0,52 0,57
Pennisetum clandestinum 0,60 0,52 0,56
Rata-rata 0,62 0,55 0,59

Prosiding Semnas II HITPI Page 234


Gambar 1. Hasil pantauan perubahan biomassa () dan standing CP () dan
kandungan CP () dari tiga tingkat penggembalaan (a) NG: non-
grazed grassland, (b)LG: lightly grazed grassland, (c)MG:
intermediately grazed grassland, dan (d)HG: heavily grazed
grassland) pada stepa Xilingol, Mongolia (Kawamura dan Akiyama,
2010).

Perubahan kualitas hijauan pakan dapat dimonitor secara langsung dan


tidak langsung. Cara jitu dan sahih untuk menilai qualitas hijauan pakan adalah
dengan menyajikannya kepada ternak. Respons ternak ruminansia terhadap
hijauan yang dikonsumsinya dapat dimonitor dari pertambahan bobot badan dan
produksi air susunya. Namun, melakukan percobaan pemberian pakan biasanya
relatif membutuhkan waktu, biaya, dan fasilitas yang mahal (NRC, 1962; t
Mannetje and Jones, 2000). Pada kondisi padang penggembalaan, kualitas dan
kuantitas hijauan pakan sesungguhnya dapat diamati setiap saat dengan
memperhatikan tabiat atau pola makan ternak herbivore (Forbes, 1995). Gambar 1
mengilustrasikan perubahan kandungan nutrient (CP) dan biomassa hijauan pada
padang penggembalaan di Xilingol stepa di Mongolia (Kawamura dan Akiyama,
2010). Dari ilustrasi (Tabel 1 dan Gambar 1) menunjukkan bahwa fenologi
nampak mempengaruhi kandungan protein, jumlah biomassa hijauan, dan daya
cerna tumbuhan pakan.

FENOLOGI, PERILAKU MAKAN RUMINANSIA, DAN DINAMIKA


PADANG PENGGEMBALAAN

Berbagai ahli nutrisi ternak ruminansia telah melaporkan bahwa terdapat


hubungan yang positif antara fenologi tumbuhan pakan, pola makan, dan
dinamika padang penggembalaan (Bailey, dkk., 1996; Baumont, dkk., 2000;
Boland dan Scaglia, 2011). Selanjutnya Baumont dkk., (2000) menyimpulkan
bahwa pada pastura, konsumsi, komposisi pakan, dan dampak merumput terhadap

Prosiding Semnas II HITPI Page 235


berkembangan vegetasi merupakan interaksi yang kompleks antara ternak dan
vegetasi. Dinamika padang penggembalaan sesungguhnya sangat komplek
melibatkan komponen utama yaitu peternak, ternak, dan vegetasi. Ternak dan
tumbuhan pakan sangat rentan perubahan akibat perubahan pengaruh iklim. Oleh
sebab itu, untuk kontinyuitas hubungan ini, peternak harus mampu mengantisipasi
setiap perubahan yang terjadi terutama dalam beradapatsi pada kondisi lokal-
setempat. Kepekaan peternak untuk memantau dan merekam setiap perubahan
yang terjadi akan mendapatkan informasi yang akurat dalam mengelola padang
rumput alami maupun pastura.
Ternak herbivora mengekploitasi vegetasi padang penggembalaan untuk
memenuhi kebutuhan bahan kering dan zat makanan esensial lainnya. Konsumsi
pakan merupakan penentu utama keberlangsungan hidup dan berproduksi. Pada
kondisi padang penggembalaan yang kompleks, fenologi tanaman pakan secara
langsung mempengaruhi pola makan. Sebagai contoh, jika hijauan pakan yang
tersedia relatif sedikit dan tinggi tanaman relatif rendah untuk disenggut secara
maksimal, maka herbivora akan memperpanjang waktu merumput agar
mendapatkan total jumlah senggutan yang diharapkan (Baumont, dkk, 2000;
Brazle, dkk., 2000; Kirch, dkk, 2007; Gregorini, dkk, 2006; 2008; 2009; Boland
dan Scaglia, 2011; Yasin, 2012). Jika hijauan yang tersedia sangat padat dan
komposisi botaninya relatif seragam maka herbivora akan mempersingkat waktu
merumput akan tetapi memperpanjang waktu ruminasi (Bailey, dkk., 1996;
Gregorini, dkk., 2008; Yasin, 2012).
Ingestive behaviour dari ternak ruminansia ditentukan oleh karakeristik
vegetasi, kondisi fisiologi, dan aktivitas rongga mulut (buccal cavity) (Coleman,
dkk., 1989; Yasin, 2012). Komponen pola makan dapat dijadikan parameter
untuk menentukan konsumsi pakan harian dan secara keseluruhan hubungan
anatar komponen ingestive behaviour seperti diilustrasikan pada Gambar 2
(Gordon dan Lascano, 1993).

Gambar 2. Skema hubungan ingestive behaviour dengan konsumsi pakan harian


ruminansia (Gordon dan Lascano, 1993).

Prosiding Semnas II HITPI Page 236


Dalam waktu yang relatif lama (pada padang penggembalaan), konsumsi
harian dapat diestimasikan sebagai hasil kali antara massa senggutan (bite
weight), laju senggutan (bite rate), dan wakru merumput (grazing time).
Sedangkan pada tingkatan individual rumpun (patch) dan dalam waktu yang
relatif singkat/terbatas maka konsumsi pakan ditentukan oleh bite weight dan bite
rate. Jadi pada kondisi padang penggembalaan, pola makan menjadi sangat
komplek akibat interaksi antara fenologi tumbuhan pakan, jenis ternak, fase
fisiologi, serta faktor biotik dan abiotik lainnya (Coleman, dkk., 1989).
Pola makan ruminansia dan/atau herbivora lainnya sangat bervariasi mulai
dari tingkatan individu tumbuhan pakan hingga pada skala lanskap (Coleman,
dkk., 1989). Minson (1990) mengutip hasil penelitian Kibon dan Holmes (1987)
mengilustrasikan bahwa tinggi tanaman rumput berpengaruh terhadap pola
makan, konsumsi, dan produktivitas sapi laktasi (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh tinggi tumbuhan pakan terhadap pola makan, konsumsi, dan
produksi ternak sapi laktasi (Minson, 1990).
Tinggi hijauan pakan (cm)*
Komponen
4,8 6,4
Produksi hijauan (kg OM/ha) 1810 2734
Kepadatan anakan (1000/m2 ) 17 16
Proporsi dedaunan 0,51 0,55
Kebutuhan hijuan (kg OM/sapi/hari) 17 21
Daya cerna hijauan yang disenggut (OM) 0,76 0,77
Waktu merumput (menit/hari) 575 565
Total senggutan (000/hari) 44,7 43,3
Ukuran senggutan (mg OM/senggutan) 282 345
Konsumsi hijauan (kg OM/sapi/hari) 12,7 15,1
Produksi susu (kg FCM/hari) 26,3 28,1
Perubahan bobot badan (kg/hari) -067 +0,15
Keterangan: * diukur dengan menggunakan plate meter dengan tekanan sebesar 4,8kg/m2 ; OM:
organic matter; FCM: fat corrected milk.

Dari informasi pada Tabel 2 terindikasi bahwa fenologi tumbuhan pakan


(misalnya tinggi tumbuhan pakan) dapat mempengaruhi pola makan dan produksi
ternak ruminansia. Semakin tinggi rumput akan mempermudah ternak ruminansia
mengkonsumsinya dan pada gilirannya total konsumsi akan cepat terpenuhi.
Seperti diketahui bahwa ternak ruminansia besar (kerbau dan sapi) menggunakan
lidah dan bibir untuk ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) dan kuda
sebagai eating apparatus-nya, maka ternak ruminansia besar mempunyai tinggi
minimum rerumputan agar dapat disenggutnya dengan optimal. Allden dan
Whittaker (1970) melaporkan bahwa ternak domba akan semakin meningkatkan
jumlah senggutan per menit (biting rate) jika tinggi anakan rerumputan berkurang
dari 35 cm ke 5 cm dan semakin lebih ditingkatkan jumlah senggutannya jika
tingginya semakin lebih rendah dari 5 cm. Untaian diskusi singkat dalam makalah
ini menyajikan cukup informasi untuk menjelaskan bahwa tingkah laku makan
(ingestive behaviour) herbivora erat hubungannya dengan fenologi tumbuhan
pakan dan dinamika padang rumput.

Prosiding Semnas II HITPI Page 237


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia dan/atau
herbivora non-ruminansia merupakan salah satu bioindikator yang praktis, sakil
dan mangkus untuk mengetahui perubahan fenologi, karakteristik tumbuhan
pakan, dan dinamika padang penggembalaan.

Saran
Bioindikator ini dapat juga dijadikan petunjuk agronomis dalam
memaksimalkan komposisi botani padang penggembalaan, dan pada gilirannya
dapat pula dijadikan acuan ilmiah yang jitu untuk mengetahui perubahan kapasitas
produksi, nilai gizi, dan strategi untuk mengembangkan ternak ruminansia
berbasis padang penggembalaan.

DAFTAR PUSTAKA

Allden, WG. Dan Whittaker, IA.McD. 1970. The determinants of herbage intake
by grazing sheep: The interrelationship of factors influencing herbage
intake and availability. Aust. J. Agric. Res., 21:755-766.
Bailey, DW., Gross, JE., Laca, EA., Rittenhouse, R., Coughenour, MB., Swift,
DM. dan Sims, PL. 1996. Invited Synthesis Paper: Mechanism that results
in large herbivores grazing distribution patterns. J. Range Manage. 49:386-
400.
Boland, HT. dan Scaglia, G. 2011. Case Study: Giving beef calves a choice of
pasture type influences behaviour and performance. The Professional
Animal Scientist, 27:160-166.
Boumant, R., Ptache, S., Meuret, M. dan Morand-Fehn, P. 2000. How forage
characteristic influence behaviour and intake in small ruminants: a review.
Ivestock Production Science, 64:15-28.
Brazle, FK., Kilgore, GL., dan Fausett, MR. 2000. Effect of season on grazing
native-grass pastures. The Professional Animal Scientist, 16:30-32.
Coleman, SW., Forbes, TDA. Dan Stuth, JW. 1989. Measurements of the plant-
animal interface in grazing research. Dalam: Grazing Research: Design,
Methodology, and Analysis. CSSA Special Publication No. 16.
Flores, ER., Laca, EA., Griggs, TC. Dan Demment, MW. 1993. Sward height and
vertical morphologyal differentiation determine cattle bite dimensions.
Agron. J., 85:527-532.
Forbes, JM. 1995. Voluntary food Intake and Diet Selection in Farm Animals.
CAB International, UK.
Gordon, IG. Dan Lascano, C. 1993. Foraging strategies of ruminant livestock on
intensively manged grasslands: potential and constrains. Proceedings of the
XVII International Grassland Congress New Zealand, p.681-690.
Gibson, DJ. 2009. Grasses and Grassland Ecology. Oxford University Press, UK.
Gregorini, P., Gunter, SA. dan Beck, PA. 2008. Matching plant and animal
processes to alter nutrient supply in strip-grazed cattle: timing of herbage
and fasting allocation. J. Anim. Sci., 86:1006-1020.
Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Calwell, J., Bowman, MT., dan Coblentz,

Prosiding Semnas II HITPI Page 238


WK. 2009. Short-term foraging dynamics of cattle grazing swards with
different canopy structures. J.Anim. Sci. 87:3817-3824.
Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Soder, KJ. dan Tamminga, S. 2008.
Review: The interaction of diurnal grazing pattern, ruminal metabolism,
nutrient supply, and management in cattle. The Professional Animal
Scientist, 24:308-318.
Gregorini, P., Tamminga, S. dan Gunter, SA. 2006. Review: Behaviour and daily
grazing patters of cattle. The Professional Animal Scientist, 16:30-32.
Hodgson, J. 1982. Influence of sward characteristics on diet selection and herbage
intake by grazing animal. Dalam: J.B. hacker (Ed): Nutritional Limit to
Animal Production from Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux,
UK.
Kawamura, K. dan Akiyama, T. 2010. Simultaneous monitoring of livestock
distribution and desertification. Global Environment Research, 14:29-36.
Kirch, BH., Moser, LE., Waller, SS., Klopfenstein, TJ., Aiken, GE. dan
Strickland, JR. 2007. Selection and dietary quality of beef cattle grazing
smooth Bromegrass, Switchgrass, and Big Bluestem. The Professional
Animal Scientist, 23:672-680.
MacAdam, JW. 2009. Structure and Function of Plants. Wiley Blackwell, USA.
Minson, DJ. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press, Inc. San
Diego, USA.
National Research Council (NRC), 1962. Range Research. National Academy of
Science-National Research Council, Washington DC, USA.
Prache, S. 1997. Intake rate, intake per bite and time per bite of lactating ewes on
vegetative and reproductive swards. Appl. Anim. Behav., 52:53-64.
Prache, S., Gordon, IJ. Dan Rook, AJ. 1998. Foraging behaviour and diet
selection in domestic herbivores. Ann. Zootech., 47:335-345.
Prache, S., Roguet, C., dan Petit, M. 1998. How degree of selectivity modifies
foraging behaviour of dry ewes on reproductive compared to vegetative
swards structure. Appl. Anim. Behav., 57:91-108.
t Mannetje, L. dan Jones, RM. 2000. Filed and Laboratory Methods for
Grassland and Animal Production Research. CABI Publishing,
Wallingford, UK.
Yasin, S. 2012. Ingestive behaviour in ruminants: a methodological approach and
implication to feeding management strategies. LAP Lambert Academic
Publishing, Germany.
Yasin, S. 2013. Produksi Ternak Ruminansia (Kerbau dan Sapi). Pustaka Reka
Cipta, Bandung.

Prosiding Semnas II HITPI Page 239


POTENSI HIJAUAN DI PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo


Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Alamat: Kampus Gunung Kelua, Jl. Pasir Balengkong Samarinda
Telp./HP: 0541-250394 / 08158100662
Email: taufan.pd@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this study is to provide an overview of the potential forage


crop in oil palm plantations in terms of botanical composition, production, and
chemical composition to estimate the carrying capacity of oil palm plantations at
the age of 3 years and 6 years for beef cattle. Data collection was conducted in
Samboja district, Kutai regency, East Kalimantan province, from January to
March 2013. Plant samples were taken under oil palm plantations age 3 years and
6 years. Each age of plantation were taken 5 hectares, and every hectare were
picked 10 points by using the quadrant size of 1 m 1 m at random. The result
showed that plants growing on palm oil plantations 3 years dominated by
Paspalum conjugatum (45.54%), followed by Mikania micrantha (9.93%), and
Ottochloa nodosa (7.89%). While the age of 6 years dominated by Ottochloa
nodosa (33.89%), Melastoma malabatrichum (28.23%), and Paspalum urvillei
(8.37%). Dry weight production of plantation age 3 years was 3,205.1 kg per ha
decreased to 1,165.4 kg per ha in plantation age 6 years. Chemical composition,
especially CP increased from 8.25% at the age 3 years to 10.5% at the age 6 years,
while CF decreased from 23.20% at the age 3 years to 22.43% at the age 6 years.
Carrying capacity of oil palm plantations age 3 years was 1.44 AU ha -1 yr-1 and
age 6 years was 0.71 AU ha-1 yr-1 . Naturally, oil palm plantation in Kutai regency,
East Kalimantan has good potential as a source of beef cattle forage.
Key words: Oil palm, botanical composition, forage production, chemical
composition, carrying capacity

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai


potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari komposisi
botani, produksinya dan kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan
kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun untuk
sapi potong. Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai
dengan bulan Maret 2013. Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa
sawit yang telah berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di
ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di ambil sebanyak 10 titik dengan
menggunakan kuadran ukuran 1 m 1 m secara acak. Hasil pengamatan
menunjukan bahwa tanaman yang tumbuh pada perkebunan kelapa sawit umur 3
tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), diikuti oleh Mikania
micrantha (9,93%), dan Ottochloa nodosa (7,89%). Sedangkan pada perkubunan

Prosiding Semnas II HITPI Page 240


umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), Melastoma
malabatrichum (28,23%), dan Paspalum urvillei (8,37%). Produksi berat kering
tanaman pada perkebunan umur 3 tahun adalah 3.205,1 kg per ha menurun
menjadi 1.165,4 kg per ha pada perkebunan umur 6 tahun. Kandungan zat-zat
makanannya, terutama PK meningkat dari 8,25% pada umur tanaman 3 tahun
menjadi 10,5% pada umur 6 tahun, sedangkan SK menurun dari 23,20% pada
umur 3 tahun menjadi 22,43% pada umur 6 tahun. Kapasitas tampung perkebunan
kelapa sawit umur 3 tahun adalah 1,44 ST ha-1 th-1 dan umur 6 tahun adalah 0,71
ST ha-1 th-1 . Secara alami, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur memiliki potensi yang baik sebagai sumber
hijauan pakan sapi potong.
Kata kunci: Kelapa sawit, komposisi botanis, produksi hijauan, zat-zat makanan,
kapasitas tampung

PENDAHULUAN

Populasi sapi potong di Provinsi Kalimantan Timur dalam lima tahun


terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 tercatat 81.746 ekor (Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012) dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi 104.017 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2013). Di
Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri peningkatannya cukup besar dari 12.470
ekor pada tahun 2007 menjadi 21.900 ekor pada tahun 2011 (Dinas Peternakan
Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Meningkatnya populasi ini memberikan
konsekuensi terhadap penyediaan lahan bagi sapi potong. Lahan tersebut tidak
hanya berperan sebagai sumber hijauan pakan, namun juga sebagai ruang jelajah.
Hingga saat ini, di Provinsi Kalimantan Timur belum ada alokasi lahan yang
diperuntukan khusus sebagai kawasan peternakan, sehingga integrasi dengan
berbagai subsektor pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman pangan, dan
hortikultura, serta kehutanan, maupun pertambangan merupakan pilihan untuk
memenuhi kebutuhan pakannya.
Pada tahun 2011, luas areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan
Timur sudah mencapai 827.347 ha dari 339.292,50 ha pada tahun 2007 (Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Seiring dengan meningkatnya
areal perkebunan kelapa sawit, maka potensi untuk mengembangkan ternak sapi
potong secara terintegrasi di kawasan ini cukup besar. Menurut Direktorat Pakan
Ternak (2011) Konsep integrasi ternak dalam usahatani tanaman baik itu tanaman
perkebunan, pangan, atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan
sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Dengan
adanya ternak ini dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus produksi
ternaknya. Dengan demikian, dalam sistem integrasi ternak dan tanaman akan
terjadi suatu hubungan yang saling menguntungkan (mutualism sinergicity).
Keberadaan ternak di perkebunan kelapa sawit memberikan beberapa
keuntungan, diantaranya adalah mengurangi biaya untuk mengendalikan gulma
dan menyumbangkan kotoran ternak sebagai sumber hara bagi tanaman. Chung
(1994) menyatakan bahwa kerbau yang dipelihara di kebun kelapa sawit dapat
mengurangi biaya pengendalian gulma, selain itu juga akan diperoleh keuntungan
berupa daging dan ternak sebagai nilai tambah dalam proses produksi hilir.
Diketahui, penggunaan herbisida sebagai pengendalian gulma dilakukan pada

Prosiding Semnas II HITPI Page 241


kisaran 13-18 kali pada saat tanaman muda.
Di Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya di Kecamatan Samboja, saat
ini telah berkembang sistem pemeliharaan ternak sapi bali di bawah areal
perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan hijauan antar tanaman. Sistem
integrasi sapi-sawit dengan memanfaatkan hijauan tersebut cukup prospektif
untuk meningkatkan produksi ternak dan tanaman kelapa sawit yang baik. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan
antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari produksinya dan
kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari
kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun di perkebunan rakyat,
Kabupaten Kutai Kartanegara.

MATERI DAN METODE

Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai


Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan
bulan Maret 2013.
Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa sawit yang telah
berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5
hektar, dan setiap hektar di cuplik sebanyak 5 cuplikan dengan menggunakan
kuadran ukuran 1 m 1 m secara acak.
Untuk memperkirakan produksi hijauan per hektar digunakan rumus sebagai
berikut: P = C x 10.000 (LP JS), dimana P adalah produksi hijauan per hektar
(kg), C adalah rata-rata berat hijauan per m2 , LP adalah luas piringan pada pohon
kelapa sawit, dan JS adalah jumlah tanaman kelapa sawit dalam 1 hektar. Jumlah
tanaman kelapa sawit rakyat yang ditanama di Kecamatan Semboja, Kabupaten
Kutai kartanegara rata-rata 136 pohon per hektar. Jari-jari piringan pada pohon
kelapa sawit umur 3 tahun adalah 2 m dan pada umur 6 tahun adalah 3 m. Dengan
demikian luas piringan pohon kelapa sawit umur 3 tahun adalah 12,56 m2 per
pohon, dan umur 6 tahun adalah 28,26 m2 per pohon. Produksi hijauan antar
tanaman yang dimaksud adalah produksi berat kering, yaitu hijauan segar yang
telah di lakukan pengeringan dengan oven pada suhu 65 o C selama 48 Jam atau
beratnya stabil.
Komposisi botanis tanaman dihitung berdasarkan perbandingan berat kering
antara suatu spesies tanaman terhadap total berat kering seluruh tanaman dalam
setiap cuplikan, kemudian dibandingkan terhadap seluruh cuplikan. Pengambilan
sampel ini dilakukan sebelum dilakukan perhitungan produksi berat kering.
Komposisi kimia zat-zat makanan, dianalisis secara proksimat untuk
memperoleh kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, dan abu. Analisis
proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Pertanian
Universitas Mulawarman.
Untuk memperoleh perkiraan kapasitas tampung kebun kelapa sawit bagi
sapi potong, digunakan persamaan Voisin (Reksohadiprodjo, 1994). Persamaan
tersebut, yaitu (Y 1) s = r, dimana Y adalah jumlah luas lahan yang diperlukan
oleh seekor sapi, s adalah periode merumput pada setiap luas lahan, dan r adalah
periode istirahat agar tanaman melakukan pertumbuhan kembali. Dalam penelitian
ini s adalah 30 hari dalam satu bulan dan r adalah 60 hari. Sedangkan PUF
(proper use factor) yang diperhitungkan adalah 40%, dengan asumsi bahwa

Prosiding Semnas II HITPI Page 242


penggembalaan yang dilakukan adalah sedang. Setiap satu satuan ternak (ST)
dihitung setara dengan sapi jantan seberat 400 kg. Konsumsi hijauan segar
diasumsikan 10% dari setiap satuan ternak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi botanis
Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap seluruh
tanaman yang tumbuh bersamanya. Hijauan yang tumbuh di perkebunan kelapa
sawit rakyat, Kecamatan Samboja merupakan hijauan alam, sehinga perubahan
komposisi botanis hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti
kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan dari tajuk sawit (cahaya). Hasil
penelitian ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang tumbuh di bawah
kelapa sawit dengan umur yang berbeda proporsinya juga berbeda.
Pada kebun kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum
conjugatum (45,54%), yang diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan
Ottochloa nodosa (7,89%), sedangkan di kebun kelapa sawit umur 6 tahun
didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), yang diikuti oleh Melastoma
malabatrichum (28,23%) dan Paspalum urvillei (8,37%).

Tabel 1. Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit
umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara
Komposisi botanis (%) pada
No. Jenis tanaman kelapa sawit umur
3 tahun 6 tahun
1 Ageratum conyzoides 0 1,06
2 Asystasia intrusa 5,49 1,17
3 Borreria latifolia 6,73 5,47
4 Chromolaena odorata 1.96 0
5 Clidemia hirata 0 1,14
6 Cyperus brevifolius 0 0,48
7 Cyperus rotundus 0 1,15
8 Imperata cylindrica 2,05 0
9 Leptochloa chinensis 0,57 7,95
10 Melastoma malabatrichum 3,89 28,23
11 Mikania micrantha 9,93 3,9
12 Nephrolepsis bisserata 1,45 0
13 Ottochloa nodosa 7,89 33,89
14 Panicum sarmentosum 5,73 0
15 Paspalum conjugatum 45,54 1,49
16 Paspalum urvillei 3,07 8,37
17 Solanum violaceum 5,7 5,4

Berdasarkan hal tersebut nampak bahwa O. nodosa memiliki proporsi yang


semakin tinggi dengan meningkatnya umur pohon kelapa sawit. Hal ini

Prosiding Semnas II HITPI Page 243


menunjukkan bahwa O. nodosa lebih tahan terhadap naungan dibandingkan P.
conjugatum, dimana proporsinya menjadi sangat kecil, dari 45,54% (3 tahun)
menjadi 1,49% (6 tahun). Menurut Crowder & Chheda (1982) O. nodosa
merupakan rumput alam yang disukai oleh ternak dan sangat tahan terhadap
naungan, sehingga memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan di bawah
naungan. Suboh (1997) menjelaskan bahwa jenis tanaman yang biasa tumbuh di
bawah pohon kelapa sawit umumnya didominasi oleh O. nodosa, Axonopus
compressus, Mikania scandens, dan A. intrusa. Jenis-jenis tanaman ini biasanya
tumbuh baik pada intensitas penyinaran sebesar 40-60%. Sapi pada umumnya
merenggut tanaman ini, bahkan beberapa diantaranya memiliki kandungan zat
makanan yang kualitasnya bersaing dengan tanaman pakan budidaya.

Produksi hijauan antar tanaman


Hasil pengukuran produksi hijauan segar per m2 untuk vegetasi yang
tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun adalah 386,54 g m-2 dan
pada umur 6 tahun adalah 189,29 g m-2 . Setelah dilakukan konversi ke dalam 1
hektar yang selanjutnya dikurangi dengan luas piringan dalam 1 hektar untuk
masing-masing umur tanaman, maka rata-rata produksi hijauan antar tanaman di
bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun sebagaimana disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi hijauan antar tanaman di bawah pohon kelapa sawit umur 3
tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara
Produksi hijauan
Umur tanaman kelapa sawit
Berat segar (kg ha-1 ) Berat kering (kg ha-1 )
3 tahun 13.168 3.205,1
6 tahun 6.380 1.165,4

Berdasarkan hasil pengukuran tersebut nampak bahwa dengan semakin


meningkatnya umur tanaman kelapa sawit produksi hijauan yang tumbuh di
bawahnya juga menurun. Semakin tingginya umur tanaman kelapa sawit penetrasi
cahaya yang menerobos daun kelapa sawit semakin rendah sehinnga berpengaruh
terhadap produksi bahan kering tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa
sawit (Wong & Chin, 1998). Menurut Chin (1998) produksi bahan kering hijauan
pakan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit muda dapat mencapai 1.600
sampai 2.600 kg per hektar dan menurun hingga mencapai 600 kg per hektar
dengan semakin dewasanya umur tanaman kelapa sawit. Dalam kasus lainnya,
produksi bahan kering hijauan di bawah tanaman kelapa sawit umur 3-4 tahun
bisa lebih tinggi lagi dan dapat mencapai 13.280 kg per hektar per tahun
(Abdullah, 2006). Produksi hijauan antar tanaman kelapa sawit memiliki variasi
yang cukup tinggi berdasarkan derajat naungannya. Derajat naungan sangat
tergantung pada umur tanaman, tinggi tanaman, jarak tanam, kesuburan tanah, dan
karakteristik kanopi. Biasanya, jumlah cahaya semakin menurun dengan
bertumbuhnya tanaman muda. Pada kasus tanaman karet dan kelapa sawit umur
6-7 tahun cahaya yang menerobos kanopi pada siang hari dengan penyinaran
penuh hanya 10% dan penetrasi cahaya tersebut tidak berubah hingga tanaman
berumur 15-20 tahun (Chen, 1990). Pada transmisi yang rendah akan

Prosiding Semnas II HITPI Page 244


memberikan pengaruh terhadap mikroklimat yang ada di bawah kanopi, yang
kemudian menyebabkan suhu tanah menjadi lebih rendah. Kondisi yang demikian
berpeluang menghambat pertumbuhan dan akumulasi bahan kering pada tanaman
yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Abdullah, 2011).
Produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit
dapat diperbaiki melalui penanaman tanaman pakan unggul yang tahan terhadap
naungan. Hasil penelitian Hanafi (2007) mengemukakan terdapat beberapa
tanaman pakan unggul yang tahan terhadap naungan, diantaranya adalah Digitaria
milanjiana, Stylosanthes guianensis, Paspalum notatum, dan Calopogonium
caeruleum.

Komposisi Kimia Zat-zat Makanan


Komposisi kimia zat-zat makanan yang terkandung dalam hijauan yang
tumbuh di bawah pohon kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia zat-zat makanan hijauan yang tumbuh di bawah pohon
kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun
Umur Tanaman Kelapa Sawit
Zat-zat makanan
3 tahun 6 tahun
Protein kasar (%) 8,25 10,5
Serat kasar (%) 23,2 22,43
Lemak kasar (%) 4,2 2,4
Abu (%) 2,48 3,98
BETN (%) 61,87 60,69

Berdasarkan Tabel 3 tersebut nampak bahwa kandungan protein kasar dan


abu pada hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun
cenderung meningkat, sedangkan kandungan serat kasar, lemak kasar, dan BETN
cenderung menurun.
Meningkatnya kandungan protein kasar pada tanaman yang ternaungi oleh
kelapa sawit umur 3 tahun ke 6 tahun, dapat disebabkan oleh 2 hal. Pertama,
akibat berubahnya komposisi botanis. Pada tanaman yang tumbuh di bawah
tanaman kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum
(45,54%), sedangkan tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur
6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%). Diketahui kandungan
protein kasar P. conjugatum adalah 11,0 % dan O. nodosa 13,5% (Chen et al.,
1991). Dengan demikian, kandungan protein kasar pada tanaman yang tumbuh di
bawah kelapa sawit umur 6 tahun lebih tinggi.
Kedua, akibat berubahnya komposisi kimia yang disebabkan oleh naungan.
Naungan memilki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas
hijauan, sehingga dapat merubah komposisi kimia. Kandungan protein kasar
biasanya lebih tinggi pada bagian tanaman yang berada di atas daripada yang
berada di bawah (Buxton & Fales, 1994). Menurut Kephart & Buxton (1993)
konsentrasi protein kasar jauh lebih responsif terhadap naungan dibandingkan

Prosiding Semnas II HITPI Page 245


komponen kualitas lainnya. Disebutkan pula bahwa naungan sebesar 63% dapat
meningkatkan konsentrasi protein kasar sebesar 26% pada rumput. Meningkatnya
konsentrasi senyawa nitrogen akibat naungan biasanya dengan mengorbankan
karbohidrat terlarut.

Kapasitas Tampung
Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas tampung per
hektar tanaman kelapa sawit pada umur 3 tahun diperoleh hasil sebesar 1,44 ST
ha-1 dan untuk tanaman kelapa sawit umur 6 tahun sebesar 0,71 ST ha -1 .
Menurunnya kapasitas tampung ini berkaitan dengan menurunnya produksi
hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit akibat semakin tuanya umur
tanaman kelapa sawit. Pada tanaman kelapa sawit umur muda menghasilkan
hijauan yang tinggi sehingga dapat mendukung jumlah ternak yang optimum.
Menurunnya kapasitas tampung akibat semakin tuanya tanaman kelapa sawit juga
ditunjukkan oleh Wan Mohammad et al. (1997). Ketika tanaman kelapa sawit
berumur 1-2 tahun dapat menampung 3 ekor sapi per hektar, kemudian menurun
menjadi 2 ekor per hektar ketika tanaman telah berumur 2-3 tahun, selanjutnya
menurun lagi menjadi 1 ekor per hektar pada tanaman umur 5 tahun.
Untuk mempertahankan kapasitas tampung sebaiknya dilakukan
penggembalaan dengan sistem rotasi pada interval sekitar 60 hari. Chen & Dahlan
(1995) menyarankan agar system rotasi dilakukan pada interval 6-8 minggu agar
diperoleh kapasitas tampung yang berkelanjutan. Hal itu juga perlu
memperhatikan ketersediaan hijauan.
Dalam hal meningkatkan kapasitas tampung, selain memperbaiki jenis
hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit, bisa juga melalui
pemupukan. Hanafi (2007) melaporkan bahwa pemupukan dengan 100 kg urea +
50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk rumput, serta 50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk
legume ha-1 tahun-1 dapat meningkatkan kapasitas tampung dari 2,78 ST ha -1
menjadi 5,12 ST ha-1 pada tanaman kelapa sawit umur 4 tahun.

KESIMPULAN

Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa hijauan antar tanaman di


perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan bagi
sapi potong. Jenis-jenis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit
umumnya sebagai gulma, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan
pakan bagi sapi potong. Hal ini digambarkan oleh produksi hijauan yang tumbuh
di bawah tanaman kelapa sawit maupun komposisi kimia zat-zat makanan yang
dikandungnya. Berdasarkan produksi hijauan tersebut, perkebunan kelapa sawit
rakyat yang berada di Kecamatan Sembija, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat
menampung 1,44 ST ha-1 pada tanaman umur 3 tahun, dan menurun menjadi 0,71
ST ha-1 pada tanaman umur 6 tahun. Untuk mempertahankan kapasitas tampung
tersebut diperlukan pengelolaan hijauan pakan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2006. The development of integrated forage production system for


ruminants in rainy tropical region. Bull. Facul. Agric. Niigata Univ. 58 (2):

Prosiding Semnas II HITPI Page 246


125-128.
Abdullah, L. 2011. Prospek Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit-Sapi Potong
dalam Upaya Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Nasional 2014 :
Sebuah Tinjauan Perspektif Penyediaan Pakan. Orasi Ilmiah, disampaikan
pada Sidang Senat Terbuka (Wisuda) V Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
Kutai Timur. Sangatta.
Buxton, D.R., Fales, S.L. 1994. Plant Environment and Quality. Dalam: Fahey,
G.C (Ed). Forage Quality, Evaluation, and Utilization. American Society
of Agronomy, Madison, WI, USA.
Chen, C.P. 1990. Problem and Prospects of Integration of Forage Into Permanent
Crops. www.fao.org/ag/Agp/AGPC/doc/publicat/GRASSLAN/128.pdf
Chen, C.P., Wong, H.K., Dahlan, I. 1991. Herbivores and the plantations.
Proceedings of 3rd. International Symposium on Nutrition of Herbivores.
MSAP.
Chen, C. P., Dahlan, I. 1995. Tree spacing and livestock production. Paper
presented at the FAO First International Symposium on the integration of
livestock to oil palm production. 25-27 May 1995, Kuala Lumpur,
Malaysia.
Chin, F.Y. 1998. Sustainable use of ground vegetation under mature oil palm and
rubber trees fo commercial beef production. Dalam: de la Vina, A.C.,
Moog, F.A., (eds). Proceedings of 6th . Meeting of the Regional Working
Group on Grazing and Feed Resources for Shoutheast Asia. Legaspi City,
Philippines.
Chung, G.F. 1993. Herbicide evaluation for general weed control in immature oil
palm with and without EFN mulching. Dalam: Jalami Sukaimi et.al., (eds).
PORIM International Palm Oil Congress: Update are vision. Ministry of
Primary Industries Malaysia.
Crowder, L. V., Chheda, H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman
group. New York
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Buku Statistik Perkebunan
Tahun 2007-2011. Perkebunan Kalimantan Timur, Samarinda.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Statistik Peternakan
Kalimantan Timur Tahun 2007 2011. Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Laporan Penyelenggara
Rapat Konsultasi dan Koordinasi Teknis Daerah (Rakontekda)
Pembangungan Peternakan dan Pertemuan Kelompok Tani Ternak Se
Kaltim, Samarinda 25-26 Februari 2013. Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda.
Direktorat Tanaman Pakan. 2011. Pedoman Umum Pengembangan Integrasi
Tanaman Ruminansia Tahun 2012. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Hanafi, D.N. 2007. Keragaan Pastura Campuran pada Berbagai Tingkat Naungan
dan Aplikasinya pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Disertasi, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kephart, K.D., Buxton, D.R. 1993. Forage quality responses of C3 and C4
perennial grasses to shade. Crop. Sci. 33: 831-837

Prosiding Semnas II HITPI Page 247


Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Hijauan Makanan Ternak, edisi ke-3. BPFE.
Yogayakarta.
Suboh, I. 1997. Memaksimumkan pendapatan penanam kelapa sawit integerasi
tanaman/ternakan di ladang sawit. Seminar Pekebun Kecil Sawit/
Eksekutif Estet Pamol, Sabah. PORIM, 27-29 April 1997.
Wan Mohammad, Hutagalung, W.E., Chen, C.P. 1987. Feed availability,
utilization and constraints in plantation of Asia and the Pacific
performance and prospect. Trop. Grassl. 21 : 159-168.
Wong, C.C., Chin, F.Y. 1998. Meeting Nutritional Requirement of Cattle from
Natural Forages in oil plantation. National Seminar Livestock and Crop
Integration in Oil Palm Towards Sustainability, PORIM, 12-14 May 1998.
Keluang, Malaysia.

Prosiding Semnas II HITPI Page 248


PROSPEKTIF AGRONOMI DAN EKOFISIOLOGI Indigofera zollingeriana
SEBAGAI TANAMAN PENGHASIL HIJAUAN PAKAN
BERKUALITAS TINGGI

L. Abdullah
Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
e-mail: lukiabdullah@gmail.co m

ABSTRACT

Indigofera sp. are very diverse legume species. The plant has been utilized
as a natural dye for generations. One such species namely Indigofera
zollingeriana has been widely used as forage because of its advantages in the
agronomic and nutritional aspect. However, agronomic knowledge about
Indigofera is still limited. It is therefore, some results relating to agronomic and
nutritional aspect of I. zollingeriana are elucidated in this paper. Some of the
information obtained during this study showed that from agronomic view point I.
zollingeriana is a prospective plant, ease to be developed generatively and has a
high forage production capability and rapid regrowing. In addition it has the
ability to adapt to drought condition.
Keyword: Indigofera zollingeriana, agronomic view, and regrowing.

ABSTRAK

Indigofera merupakan leguminosa yang sangat beragam spesiesnya dan


kegunaannya. Masyarakat industri pakaian mengenal Indigofera sebagai tanaman
sumber pewarna alami yang sudah digunakan secara turun temurun. Salah satu
spesies Indigofera seperti Indigofera zollingeriana telah banyak digunakan karena
kelebihannya secara agronomis maupun nutrisi menjadikannya salah satu pilihan
sumber pakan berkualitas. Pengetahuan agronomi tanaman Indigofera masih perlu
disosialisaikan kepada masyarakat agar penggunaan hijauannya lebih luas.
Beberapa informasi yang berhasil diperoleh dari penelitian selama ini menunjukan
bahwa Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan secara
generative dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta
regrowing yang cepat. Selain itu memiliki kemampuan adaptasi kekeringan.
Kata kunci: Indigofera zollingeriana, secara gronomi, dan regrowing

PENDAHULUAN

Indigofera zollingeriana termasuk salah satu genus tanaman yang


memiliki kegunaan untuk industri baik industri pewarna secara alami maupun
industri peternakan. Keberadaan Indigofera di Indonesia telah dikenal sejak lama
untuk industri pewarna alami. Namun dilaporkan oleh banyak peneliti bahwa
Indigofera selain sebagai sumber pewarna alami terdapat beberpa spesies
Indigofera memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber protein. Setidaknya
terdapat 700 spesies Indigofera yang telah teridentifikasi. Sebanyak 64 spesies
ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2 sampai 12 mg
NO 2 /g tanaman. Empat spesies yang diuji 4 sampai 12 mg NO2/g yang cukup

Prosiding Semnas II HITPI Page 249


beracun untuk umur anak ayam 1 minggu. Sekitar 20 spesies yang telah dipelajari
untuk tanaman pakan. Beberapa spesies Indigofera yang diketahui memiliki
peranan penting sebagai bahan pakan antara lain, Indigofera zollingeriana,
Indigofera arrecta, Indigofera tinctoria, dan spesies lain seperti I. spicata and I.
nigritana yang diujikan pada ternak tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas
secara histologi.
Secara nutritif telah dilaporkan bahwa I. zollingeriana tergolong sebagai
tanaman legume semak yang mampu menghasilkan hijauan pakan dengan kualitas
tinggi (Abdullah et al., 2010) seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian cabang edible) Indigofera
zollingeriana

Sumber : (Abdullah et al., 2010)

Pengujian secara in vivo terhadap kambing perah PE dan Saanen dengan


pemberian hijauan I. zollingeriana dalam bentuk sampai taraf 100% menunjukan
peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa
kering (Apdini, 2012). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak
kambing Saanen dan peranakan etawah (PE) yang diberi pellet daun I.
zollingeriana sebanyak berturut-turut 761 ml dan 675 ml dibandingkan produksi
susu kambing pada waktu yang sama dari kambing Saanen dan PE berturut-turut
yang hanya 379 ml dan 390 ml.
Banyak pertanyaan di lapangan tentang prospek Indigofera sebagai
tanaman pakan yang baru-baru ini mulai banyak dibicarakan dalam forum ilmiah.
Secara ekofisiologis, I. zollingeriana termasuk tanaman yang sangat adaptif
terhadap kondisi lingkungan yang relatif kering, karena mekanisme fisiologi yang
dibangun dalam sistem tubuh tanaman tersebut melalui ekskresi prolin menjadi
salah satu cirinya, disamping terdapat mekanisme interaksi dengan hifa mikoriza

Prosiding Semnas II HITPI Page 250


yang sangat membantu I. zollingeriana untuk mempertahankan produksi daun
(Dianita, 2012). Indigofera dapat mempertahankan potensial airnya sangat rendah
dibandingkan legum lainnya pada keadaan kekeringan selama ada mikoriza yang
berinteraksi dengannya. Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman yang
sangat mudah dikembangkan, karena potensi reproduksinya yang tinggi untuk
menghasilkan polong dengan biji bernas, sifat tumbuh kembali (regrowing) yang
baik memungkinkan perkembangan cabang secara progresif, sehingga produksi
daun yang tinggi, responsif terhadap pemupukan baik melalui media (tanah)
maupun langsung pada permukaan daun, dapat diperlakukan dengan menyisakan
batang pada ketinggian 75-150 meter.

Produksi Hijauan dan Pembentukan Cabang/Ranting


Indikator produktivitas yang mudah diukur pada tanaman pakan adalah
produksi hijauan pakan (BK) selama setahun atau beberapa kali pemanenan.
Hijauan yang dimaksud meliputi daun, tangkai daun dan ranting yang dapat
dimakan (edible). Indigofera termasuk kedalam salah satu jenis tanaman herba
yang mampu menghasilkan hijauan pakan cukup tinggi (Gambar 1.) Kisaran
produksi hijauan Indigofera yang dapat dicatat di kebun percobaan di Darmaga
dan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 7-10 ton
BK/ha/panen (catatan: bahwa produksi hijauan ini diperoleh dari tanaman yang
diberi pupuk daun). Hasil pengamatan selama ini Indigofera memiliki prospek
yang cukup baik untuk dikembangkan karena alasan karakteristik agronomi dan
nilai nutrisinya (Abdullah et al., 2012). Secara agronomis produksi hijauan pakan
mengalami peningkatan dari pemangkasan pertama hingga pemangakan ke empat
(saat puncak musim hujan) secara eksponensial, namun mengalami pengurangan
biomasa setelah pemanenan ke enam. Tingginya pemangkasan (intensitas
defoliasi) dapat berpengaruh terhadap produksi hijauan, meskipun faktor ini tidak
nampak pengaruhnya terhadap produksi hijauan hingga pemanenan ke enam,
namun setelah pemangkasan ke enam pemangkasan dengan tinggi 1.00 meter
menghasilkan hijauan pakan lebih tinggi dibandingkan dengan pemangkasan lebih
pendek (0,75 m). Pemangkasan yang lebih tinggi hingga 1.5 m dilaporkan oleh
Andi Tarigan et al., (2010) menunjukan produksi hijauan lebih banyak
dibandingkan pemangkasan yang lebih pendek, namun tidak mengubah jumlah
cabang yaitu sekitar 15-24 buah cabang.

Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman


Indigofera zollingeriana. Sumber : Abdullah et al (2010)

Prosiding Semnas II HITPI Page 251


Pertumbuhan dan produksi hijauan tanaman pakan dipengaruhi oleh
intensitas pembentukan percabangan/ranting. Jumlah cabang tanaman Indigofera
pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak mengalami pemangkasan
pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2-6 ranting
yang pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan
segar. Jumlah ranting dan cabang meningkat secara eksponensial sampai
pemangkasan ke-6 dan cenderung melambat diatas pemangkasan ke-8. Produksi
hijauan pada sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan
cabang dan ranting, sehingga korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan
jumlah percabangan setelah pemangkasan ke-6 menyebabkan pertumbuhan daun
(kanopi) saling menutupi dan banyak daun tidak efektif dalam melakukan proses
fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan cabang ini
menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negatif (r=-0.979).
Berdasarkan pengalaman ini maka perlu dilakukan manajemen percabangan jika
sistem pemangkasan dilakukan hingga ketinggian tanaman 0.75-1.00 m.

Ketahanan terhadap Cekaman Kekeringan


Sebuah kajian ekofisiologi yang mempelajari ketahanan Indigofera
zollingeriana terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan oleh Herdiawan et al.,
2012 dan Sowmen 2012. Kedua studi menemukan hasil bahwa Indigofera
termasuk kedalam jenis tanam pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Kemampuan I. zollingeriana terhadap cekaman kekeringan ditunjukan dengan
nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8 mPa sampai -7,9 mPa. Selang
nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki kemampuan
adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim. Herdiawan et al.,
(2012) mengungkapkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi tajuk hingga
33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas lapang, namun tanaman ini
tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman mendapatkan
air kembali.
Tanaman I. zollingeriana mengalami titik layu permanen hingga umur 20
minggu untuk tanaman I. zollingeriana berumur sekitar 2 bulan, dimana kadar air
tanah tinggal 23%. Pada saat kondisi seperti ini tanaman ini menunjukan nilai
potensi air daunnya terrendah yaitu -7.9 (Sowmen, 2012). Temuan ini telah
mengungkap bahwa I. zollingeriana merupakan tanaman pakan yang dapat
bertahan pada kondisi kering.

Budidaya Tanaman Indigofera


Produksi Benih
I. zollingeriana merupakan salah satu jenis leguminosa semak yang sangat
mudah menghasilkan benih. Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara
7-17 buah dengan panjang polong antara 2.5-3.4 cm, jumlah benih per polong
antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82% (Gambar 2. Indigofera
mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang
menjadi polong memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis
benih terjadi hingga minggu ke-6 tergantung curah hujan. Warna polong yang
sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam kecoklatan dan terdapat relief
pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas. Polong merupakan
salah satu bagian tanaman yang paling mudah diserang hama. Frekuensi investasi

Prosiding Semnas II HITPI Page 252


hama dan penyakit seperti jamur pada polong dapat mencapai 36% pada musim
hujan.

Gambar 2. Bentuk tanaman dan polong Indigofera zollingeriana

Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%. Benih
normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase
perkecambahan (daya kecambah) 28-35% jika benih pernah mengalami
penyimpanan selama 2 bulan. Pada umumnya daya kecambah yang rendah
disebabkan oleh kulit benih yang tebal dan invasi jamur pada saat perkecambahan.
Pengalaman di laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB menunjukan
pemberian bahan organik (pupuk organik) pada media penyemaian dapat
meningkatkan daya kecambah menjadi 67%-74%. Perlakuan benih dengan
skarifikasi pemanasan kering dari 30o C menjadi 45o C menurunkan daya
kecambah dari 58% menjadi 29% pada pengamatan umur perkecambahan 7 hari.
Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negatif, karena
benih yang berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan
germinator terang (44% - 57% vs 24% - 29%; P<0.05). Karakteristik fisiologi
lainnya dari benih I. zollingeriana adalah menurunnya daya kecambah benih
jika telah mengalami penyimpanan dan penundaan waktu berkecambah.
Penyimpanan lebih dari 4 minggu dapat menurunkan daya kecambah benih
hingga 24%.
Secara fisik benih berwarna coklat (b) dan coklat kehitaman (c) bulat
berisi lebih baik dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau
kecoklatan (Gambar 3). Penambahan panjang hipokotil dari umur kecambah 4
hari ke umur 7 hari mencapai 177%, namun mengalami penurunan penambahan
tinggi hipokotil sebanyak 26.26% dengan bertambahnya umur kecambah menjadi
14 hari. Pengeringan benih hingga 45o C dapat menurunkan daya kecambah benih
hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur kecambah 4 hari dan 14
hari.

Gambar 3. Bentuk dan warna benih Indigofera pada kondisi masak fisiologis
berbeda. Benih berwarna coklat kehitaman lebih bernas dibanding
yang masih muda (Sumber Foto : Nanda dan Rhoma, 2011)

Prosiding Semnas II HITPI Page 253


Persemaian
Benih Indigofera sangat mudah dihasilkan Persemaian benih pada baki
yang berisi media tumbuh pasir, tanah dan pupuk kandang (1:1:1). Setelah
pengujian benih, benih langsung ditabur secara merata ke permukaan media tanam
pada baki Penyiraman dilakukan secara hati-hati agar kecambah tidak rusak,
tidak tergenang (Gambar 4). Hari ke 7-10 dipindahkan ke polibag ukuran 0.5 kg.
Bibit muda dipelihara di bawah naungan dengan menggunakan paranet naungan
65%. Pembersihan lahan, pembajakan, penggaruan, penggemburan, pengguludan
dan dibuat jarak tanam 1.5 1 m. Jarak individu tanaman antar guludan 1.5 m
dan jarak invidu tanaman dalam guludan 1m. Populasi tanaman 6600 individu
tanaman/ha. Tanaman berumur 1 bulan dapat dipindahkan secara hati-hati ke
lobang tanaman dengan jarak tanam yang sudah ditentukan.

Gambar 4. Proses penyemaian dan pembibitan tanaman Indigofera

Untuk hasil yang baik, pemberian pupuk kandang dalam lobang tanam
sebanyak 250-300g/lobang. Untuk menghasilkan bentuk tajuk yang baik dan
pertumbuhan cabang yang baik, potong tanaman dengan ketinggian 75-100cm.
Pemotongan pertama sebaiknya dilakukan setelah tanaman mencapai target
ketinggian yang diharapkan. Pemberian pupuk cair anorganik maupun organik
seperti urin sapi dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan tajuk lebih cepat
dibandingkan dengan kontrol (tanpa pupuk). Salah satu pupuk buatan yang
dikembangkan di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB yang
dirancang khusus untuk pertumbuhan tajuk Indigofera adalah INDIGO-
FERTILIZER dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk ini untuk setiap
satu liter diencerkan dalam 100-150 liter, tergantung hasil yang diharapkan.
Kebutuhan pupuk cair untuk satu hektar adalah 10 botol untuk sekali
penyemprotan. Pupuk daun diberikan 4 kali selama periode penanaman, yaitu
pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau
panen sebelumnya (Gambar 5).
Pemanenan dilakukan dengan interval 60 hari, menyisakan tegakan
tanaman 75-100 cm. bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible).
Batang yang tidak terpakai hasil pemangkasan yang dianggap tidak dapat dimakan
dapat digunakan sebagai kayu bakar ringan atau digunakan untuk mulsa.
Pertumbuhan kembali (regrowth) tajuk Indigofera akan terlihat setelah satu
minggu jika cukup curah hujan (Gambar 6). Daun dan batang dikeringkan,

Prosiding Semnas II HITPI Page 254


kemudian dirontokan dengan mesin perontok (daun kering dengan sendirinya
terlepas dari batang edible). Pengeringan dengan sinar matahari 4 jam sudah
menyisakan kadar air sekitar 28%, dan pada 2 jam pertama kadar air sudah
mencapai 30%, atau pengeringan dengan oven 70 o C selama 2 jam. Kadar air ini
sangat sesuai untuk pembuatan tepung (agar tidak terlalu berdebu) dan mudah
dibentuk pelet.

Gambar 5. Pertumbuhan, pembentukan tajuk dan penyemprotan pupuk cair pada


daun Indigofera

Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2010), mengungkapkan


bahwa aplikasi pupuk daun dapat memperbaiki produksi hijauan tanaman
Indigofera, total produksi daun, rataan tinggi tanaman, rataan jumlah cabang,
rataan persentase pucuk terhadap total daun dan rasio daun-batang. Seperti terlihat
pada Tabel 1. Respons tanaman I. zollingeriana terhadap perlakuan pemupukan
daun menunjukan bahwa terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan
produktivitasnya. Pemupukan daun dengan menggunakan pupuk cair INDIGO-
FERTILIZER juga dapat memperbaiki komposisi dan konsentrasi asam amino
pada daun (Abdullah dan Kumalasari 2012). Pemupukan tidak hanya melalui
daun tetapi praktek pemupukan dengan pupuk organik pada tanah sangat
dianjurkan, karena dapat meningkatkan produksi hijauan pakan secara signifikan
(18%).

Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan
pertumbuhan tanaman Indigofera

Sumber : Abdullah dan Kumalasari (2010)

Prosiding Semnas II HITPI Page 255


Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi
daun muda dan daun tua tanaman Indigofera. Dinamika komposisi antara daun
muda dan daun tuda terjadi sesuai waktu pemangkasan. Hasil studi menunjukan
bahwa semakin tua umur pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari semakin
meningkat proporsi daun tua dari 58.4% menjadi 75.3% dan semakin menurun
proporsi daun muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah dan Suharlina, 2010),
meskipun produksi total hijauan meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi
5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan komposisi ini adalah penurunan
kualitas yang ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 22% menjadi
20%, dan penurunan kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta
penurunan kecernaan 73.79% menjadi 69.63%.

Gambar 6. Pemanenan menghasilkan hijauan pakan dan batang untuk kayu bakar.
Pertumbuhan kembali setelah pemanenan pada musim hujan bisa
terlihat setelah satu minggu

Peran Tanaman Indigofera terhadap Kesuburan Tanah


Sebagai tanaman leguminosa yang akan dikembangkan untuk sumber
hijauan pakan, Indigofera juga diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap
kestabilan kesuburan tanah. Mekanisme simbiosis untuk fiksasi nitrogen udara
dengan bakteri rhizobium dan transfer unsur hara dan air melalui simbiosis
dengan mikoriza diharapkan dapat meningkatkan peran Indigofera dalam menjaga
ekologi tanah. Hasil pengamatan pada pot terkontrol di rumah kaca menunjukan
bahwa keberadaan Indigofera dipandang mampu mempertahankan kandungan C,
N dan P. Indigofera mampu meningkatkan residu akar dan asam organik pada
tanah sehingga dapat meningkatkan taraf kandungan karbon organik tanah sebesar
16.8%, yang berarti dapat memberikan peluang untuk berkembangnya
mikroorganisme tanah (Suharlina dan Abdullah, 2012). Demikian halnya dengan
kandungan N dan P tanah yang relatif masih stabil setelah penanaman Indigofera,
meskipun sebagian telah dimanfaatkan (uptake) oleh tanaman untuk kebutuhan
pertumbuhan dan pembentukan tajuk. Hal penting lainnya secara mikrobiologis,
keberadaan perakaran Indigofera pada tanah dapat meningkatkan populasi bakteri
pelarut fosfat, yang diduga menjadi salah satu factor stabilnya kandungan fosfat
tersedia pada tanah setelah penanaman Indigofera.

KESIMPULAN

Indigofera zollingeriana sebagai tanaman leguminosa sangat potensial


sebagai sumber hijauan pakan, yang secara agronomis mudah dikembangkan
melalui benih. Reproduktivitas yang tinggi memungkinkan pengembangan secara

Prosiding Semnas II HITPI Page 256


nasional untuk suplementasi protein dan perbaikan asupan nutrisi lainnya untuk
ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by


different concentration of foliar fertilizer. Med Pet., 33(3): 169-175
Abdullah, L and Suharlina, 2010. Herbage yield and quality of two vegetative
parts of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med.
Pet., 1(33): 44-49.
Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina. 2010. Pengembangan
Produk Hay, Tepung dan Pelet Daun Indigofera sp. sebagai Alternatif
Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan IPB.
Abdullah, L. and N.R.Kumalasari. 2012 Amino Acid Contents of Indigofera
arrecta Leaves After Application of Foliar Fertilizer. Journal of
Agricultural Science and Technology Vol. 1 No.8, hal 1224-1227, Des
2011, ISSN 2161-6256, David Publishing Co. Illinois, Amerika Serikat.
Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini. 2012.
Indigofera zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop
for Indonesia. Proceeding the 2nd International Seminar on Animal
Industry. JCC, Jakarta p.149-153
Andi Tarigan, L. Abdulla, S.P. Ginting dan I.G. Permana. 2010 Produksi dan
komposisi serta nutrisi In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi
pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 15(3): 188-195.
Apdini, T.A.P. 2011. Pemanfaatan Pellet Indigofera sp. pada Kambing Perah
Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm ,
Skripsi, IPB.
Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; Hegarty, M.P. 1987. Indigofera
species with agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies.
Australian Journal of Agricultural Research. v. 38(1) p. 177-186.
Dianita, R. 2012. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and
non Legume Plants in Integrated System. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor.
Iwan Hrdiawan,L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati. 2012.
Productivity of Indigofera sp. At different drought stress level and
defoliation interval. J. Animaland Veterinary Sci. 17(2):276-283
Suharlina dan L. Abdullah., 2012. Peningkatan produktivitas Indigofera sp.
Sebagai pakan hijauan berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic
cair : 1. Produksi hijauan dan dampaknya terhadap kondisi tanah. Pastura,
Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): 39-43
Williams., M. C 1981. Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy
Journal, Vol. 73 No. 3, :434-436

Prosiding Semnas II HITPI Page 257


MASALAH PENGEMBANGAN HIJAUAN MAKANAN TERNAK
DI ACEH

M. Nur Husin dan Didy Rachmadi


Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

ABSTRACT

Forage development in Aceh is slow if it is compared to other Agriculture


sectors. Program of population growth of animal ruminant and its genetic quality
depend on the quality and production of forage since forage is the basis of animal
feed of ruminant. The problems found were: forage planting was vegetative and
the raising system of ruminant was permanent grazing (traditional system). There
is no standard regulation about the land used in raising animal in agriculture area,
and no investor to develop Animal Husbandry sector as well. The result of the
research on the plant of grass and legume in Experimental Farm, University of
Syiah Kuala shows that it can improve carrying capacity from 6 Animal Unit
(AU) to 12 AU. There is a valuable potential land in Aceh to develop animal
ruminant in West Indonesia in order to achieve self supporting of meat in
Indonesia. Without sufficient fund this program is impossible to be implemented
in the future.
Key words: Forage, problems, and development.

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan di Aceh mempunyai peranan penting dalam


pembangunan pertanian secara keseluruhan, namun kemajuannya dirasakan
lamban bila dibandingkan dengan kemajuan di sektor pertanian lainnya. Berbagai
faktor yang menyebabkan lambatnya kemajuan ini dapat diidentifikasi antara lain:
Adanya penyakit parasiter, keguguran, mutu genetik ternak yang rendah,
kurangnya pemanfaatan bibit hijauan unggul dan cara beternak yang masih
tradisional.
Program peningkatan populasi dan mutu genetik ternak ruminansia selalu di
dasarkan kepada peningkatan mutu dan produksi hijauan, karena hijauan
merupakan basis utama makanan ternak ruminansia. Tanpa perbaikan mutu dan
produksi hijauan adalah sulit untuk memajukan usaha pengembangan ternak
ruminansia. Usaha apapun (pengobatan, bibit unggul) tidak akan nampak hasilnya
apabila masalah hijauan makanan ternak tidak ditanggulangi terlebih dahulu.
Hijauan yang mempunyai produksi tinggi membutuhkan tempat tumbuh
(tanah) dengan tingkat kesuburan tinggi. Kenyataan menunjukan bahwa lahan
yang tersedia untuk pengembangan perternakan adalah lahan klass IV sampai
kritis. Lahan ini harus dikelola dengan hati-hati disertai pemupukan berat.
Penanaman hijauan unggul (rumput, dan leruminosa) memungkinkan daya
tampung ternak dapat di pertinggi 5-20 kali (Mc Ilroy, 1976) di samping dapat
meningkatkan kesuburan tanah akibat fiksasi nitrogen oleh leguminosa. Tanaman
leguminosa selain mempunyai protein tinggi juga dapat berfungsi ganda dalam
penghematan penggunaan pupuk dan sintetik. Setiap kg N yang difiksasi setara
dengan 2,22 kg pupuk urea (N urea 46%)
Program budidaya hijauan unggul telah lama dilakukan di Aceh. Namun

Prosiding Semnas II HITPI Page 258


hasilnya masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain:
1. Keinginan masyarakat untuk menanam rumput unggul masih rendah, karena
tersedia rumput alam
2. Nilai ekonomis hijauan sangat rendah di bandingkan dengan tanaman lain.
3. Tidak mempunyai kebun bibit hijauan disetiap Kabupaten/Kota yang mudah
diperoleh peternak kecuali kabupaten Aceh Besar
4. Sistem pemeliharaan ternak dipedesaan pada umumnya masih tradisional
Merubah sistem usaha ternak dari sistem tradisional ke intensif bukanlah
pekerjaan yang mudah karena memerlukan perubahan bentuk usaha tani
ternak, disamping memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberanian,
kepercayaan dan modal usaha yang memadai. Untuk ini diperlukan pemikiran
para cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu dan investor untuk mengolah
sumber daya alam yang tersedia secara optimal.

PEMBAHASAN

Potensi Ternak Ruminansia


Potensi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba lokal)
sampai saat sekarang masih menjadi primadona dalam penyediaan daging di
Aceh. Jumlahnya semakin berkurang akibat adanya konflik bersenjata yang
dimulai tahun 1976 antara GAM dan pemerinta RI yang berkepanjangan dan
ditambah Tsunami 2004.
Potensi genetik sapi aceh tidak terlalu rendah dibandingkan sapi bali.
Pertambahan berat badan sapi jantan aceh yang dipelihara secara tradisional pada
umur 2-3 tahun antara 252-354 g/hari per ekor dan yang intensif 400-500
g/hari/ekor (Basri, 2003) sedangkan sapi bali mempunyai tambahan berat badan
jantan 600- 700 g/hari/ekor (Sitepu, 2009) dan Brahman Cross 1200 g/hari/ekor
(Rahmadi, 2012).
Menurut BPS (2012) di Aceh terdapat 701.284 ekor sapi (19.743 di
antaranya adalah sapi bali), kerbau 303.156 ekor, kambing 768.869 ekor, dan
domba 168.994 ekor. Populasi sapi, kambing dan domba terbesar di temukan di
pantai utara Aceh (Banda Aceh Sampai Aceh Tamiang), sedangkan populasi
kerbau banyak di temukan di Pantai Barat Selatan (Banda Aceh sampai Aceh
Singkil, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Pulau Simeulu). Pemotongan ternak sapi
75.097/ekor/tahun, kerbau 25.513/ekor/tahun, kambing 169.764 /ekor/tahun, dan
domba 43.780/ekor/tahun. Harga daging di Banda Aceh termasuk harga tertinggi
di Dunia. Secara konkrit harga daging sapi, kerbau dan domba berkisar antara Rp
110.000-Rp. 120.000 /kg dan harga daging kambing berkisar antara Rp 140.000-
Rp 150.000 /kg. (Mai 2013) dan pada hari Megang (2 hari sebelum bulan
puasa/idul Fitri dan Idul Adha) harga daging naik 20-30%.
Sistem pemeliharaan ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba pada
umumnya secara tradisional. Dimana ternak dilepas bebas mencari makan sendiri
di permukiman penduduk atau di jalan raya. Hal ini merugikan banyak pihak
karena menjadi hama bagi tanaman pertanian dan mengakibatkan sering
terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Pemeliharaan secara intensif
dengan pemberian hijauan unggul banyak di temukan di bantaran Krueng Aceh
dan Kabupaten Aceh Besar.

Prosiding Semnas II HITPI Page 259


Potensi Lahan
Aceh mempunyai lahan padang penggembalaan seluas 500.000/ha pada tahun
1973. Akibat infasi tanaman industri, perkebunan dan permukiman penduduk,
sekarang luasnya 232.023 ha, persawahan 314.991 ha, lahan kering 139.049 ha,
kebun rakyat 800.401 ha, perkebunan besar (sawit dan karet) 200.680 ha, lahan
pemukiman 305.624 ha, merupakan sumber lahan yang dapat digunakan untuk
pengembangan hijauan dan ternak (BPS, 2012).
Merubah sistem usaha ternak tradisional ke intensif akan memberikan
keuntungan antara lain;
1. Mempertinggi daya guna tanah dan daya tamping ternak
2. Memperluas lapangan kerja bagi pengangguran dan masyarakat pedesaan
3. Dapat menambah pendapatan dan mengurangi kemiskinan
4. Dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pengangguran dan Kemiskinan


Komplek bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI yang berkepanjangan
ditambah gempa dan Tsunami 26 Desember 2004, yang melanda Aceh telah
menimbulkan banyak korban jiwa manusia, ternak, tananam, harta benda, mata
pencaharian yang tidak terkira nilainya. Namun disisi lain, terdapat hikmah besar
yang timbul secara spontan dan sangat luar biasa dari masyarakat Indonesia dan
Internasional yang membantu perjuangan hidup mati rakyat Aceh. Perdamaian
antara GAM dan Pemerintah RI 15 agustus 2005 di Helsinki telah membawa
angin sejuk bagi rakyat miskin untuk bangkit kembali menyongsong hari depan
yang lebih cerah.
Daerah Aceh sejak kemerdekaan merupakan salah satu daerah kaya di
Indonesia dan dijuluki sebagai daerah modal (Soekarno, Presiden RI) namun
kenyataannya sampai saat ini merupakan salah satu daerah miskin di Indonesia
dengan jumlah penduduk 5,1 juta jiwa, penduduk miskin 19,46% dan
pengangguran 7,43% (di atas rata-rata nasional). Tidak diketahui secara pasti
kapan kemiskinan dan penganguran dapat ditanggulangi di Aceh. Masalah
kemiskinan dan kesempatan kerja merupakan masalah nasional yang belum dapat
ditanggulangi sampai saat sekarang. Jangankan masyarakat miskin dan pemuda
putus sekolah, Lulusan Sarjana saja banyak yang menganggur belum
mendapat pekerjaan yang layak.
Menciptakan lapangan kerja pada saat sekarang bukanlah pekerjaan mudah,
karena memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberaniaan dan modal usaha yang
memadai.
Membuka usaha peternakan adalah salah satu alternatif untuk menggurangi
pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan
strategi dan terobosan Gubernur Aceh (Zaini Abdullah, 2013) memilih bidang
usaha peternakan menjadi salah satu usaha andalan untuk memerangi kemiskinan
dan pengangguran Pekerjaan ini tidak semudah membalik telapak tangan

Budidaya Hijauan
Budidaya hijauan unggul daerah Aceh di temukan berkembang pesat
dipinggiran Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Daerah ini dikenal sebagai
kantong tempat penggemukan ternak dikandang (zero grazing). Diprediksi jumlah
rumput unggul yang telah dibudidaya mencapai 2.465 ha, dimana 70% berada di

Prosiding Semnas II HITPI Page 260


kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar dan 30% di wilayah Aceh lainnya.
Keadaan ini disebabkan karena sumber bibit hijauan unggul yang tersedia hanya
adalah di Unit Pelaksana Teknis Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan
Makanan Ternak (BPTU-HMT) Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Jarak (BPTU-
HMT) Indrapuri dengan ibu kota Banda Aceh 30 km.
Hasil penelitian hijauan unggul yang dikumpulkan dari kebun percobaan
HMT Unsyiah (Husin dkk., 2012) tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi Segar Hijauan Unggul Di Aceh


No. Nama Hijauan Produksi Ton /Ha
1. King grass (rumput raja) 220 - 230
2. Elephant grass (rumput gajah) 180 - 200
3. Guenia grass (rumput benggala) 150 - 170
4. Setaria (rumput lampung) 140 - 150
5. Star grass (rumput bintang) 60 - 70
6. Signal grass (rumput bede) 120 - 130
7. Paca grass (rumput kolonjono) 130 - 145
8. Coronivia grass (rumput beha) 28 - 32
9. Centro (kacang kupu) 28 - 31
10. Calopo (kacang asu) 36 - 38
11. Siratro (kacang kara) 40 - 44
12. Peuro (kacang ruji) 33 - 39
13. Leucaena (lamtoro) 55 - 60

Proyeksi hasil penelitian pada kebun kelapa rakyat yang ditumbuhi rumput
alam dengan penggantian spesies hijauan unggul daya tampung ternak dapat
ditingkatkan 8-12 Unit Ternak (UT/ha).

Kendala Pengembangan Hijauan Makanan Ternak Unggul


1. Sukar mendapat bibit dalam bentuk biji, reproduksi hijauan dilakukan dengan
cara vegetative (stek, stolon, dan anakan).
2. Pengembangan hijauan di daerah permukiman penduduk memerlukan biaya
tambahan untuk pemagaran, agar ternak tidak masuk ke kebun hijauan.
3. Sebagian tanah peternakan telah mendapat HGU diterlantarkan oleh pemilik
modal berdasi.
4. Tidak ada aturan yang jelas dari pemerintah tentang tata laksana penggunaan
tanah.
5. Program pengembangan bibit hijauan dari dinas terkait sangat sedikit.

Saran
1. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus membuat
peraturan yang jelas tentang Tata Laksana Penggunaan Tanah Peternakan,
Tanaman Pangan, Perkebunan, Budi daya Perikanan, dan Kehutanan.
2. Pemerintah membatalkan HGU dari pengusaha berdasi apabila dalam 1
(satu) tahun HGU tersebut tidak diusahakan.
3. Membuat kebun bibit hijauan makanan Ternak (HMT) di setiap
Kecamatan minimal 10 ha.

Prosiding Semnas II HITPI Page 261


4. Memberi pelatihan budidaya hijauan ternak kepada petani ternak yang
melibatkan tenaga ahli hijauan.
5. Pemerintah perlu menyediakan dana khusus untuk pengembangan HMT
dan ternak melalui dana APBN, APBA, dan APBD.
6. Pemerintah mencari Investor untuk menanam modal pada usaha
peternakan di Aceh agar realisasi swasembada daging di Indonesia
terpenuhi.

DAFAR PUSTAKA

BPS., 2012. Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh.
Rachmadi, D. 2012. Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum terhadap
Pertambahan Sapi Brachman Cross. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala.
Basri, H. 2003. Penggunaan Molases dalam Ransum terhadap Pertambahan Berat
Badan Sapi Aceh. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Kuala.
Husin, MN, M.J. Helmy., A.G. Fadli. 2010. Pedoman Memelihara Sapi di
Pedesaan. Badan Pembinaan Pendidikan Dayah. Pemerintah Aceh, Banda
Aceh.
Husin, M.N., Asril., M. Delima, D. Rachmadi. 2012. Kumpulan Hasil Penelitian
Hijauan. Laboratorium Hijauan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian, Unsyiah, Banda Aceh.
McIlroy, R.J., 1976. Pengantar Budidaya Rumput Tropika. Terjemahan. Pradnya
Paramita. Jakarta
Sitepu, M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. PT. Indek. Jakarta.
Zaini, A. 2013. Memperkuat Perekonomian yang Inklusif Melalui
Penanggulangan Kemiskinan dan Penurunan Pengangguran Menuju Aceh
Sejahtera. Tabloid Tabangun Aceh. Edisi 31, April 2013, Banda Aceh.

Prosiding Semnas II HITPI Page 262


PRODUKSI PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DAN POTENSI
PENGEMBANGAN SAPI BALI DALAM MENDUKUNG PROGRAM
KECUKUPAN DAGING DI PAPUA BARAT

Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan Iriani Sumpe


Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari

ABSTRACT

West Papua is an area with high potential for the development of beef
cattle because the capacity of the area is quite extensive. Availability of the
natural resources provides great opportunities to develop of Bali cattle business.
This study aims to analyze the botanical composition, carrying capacities, and
forage production potential in Kebar, West Papua. Botanical composition was
analyzed by the ranking method (dry weight rank) which observing only three
types of forage that has a big contribution, and set them as 1, 2, and 3 ranking
based on dry matter, while forage production was estimated by sample method
using 1 m2 quadrants. The results showed that almost 100% forage on pasture
were dominated by grass; very low carrying capacity of natural pastures, it was
about 0.48 to 1.70 UT / ha / year; forage production on natural pastures have not
any potential for planing of Bali cattle/beef cattle development to support beef
sufficiency program in West Papua.
Keywords: grassland natural, botanical composition, carrying capacities

ABSTRAK

Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan


ternak sapi potong karena daya dukung wilayah cukup luas. Ketersediaan
sumberdaya alam tesebut memberikan peluang besar bagi pengembangan usaha
peternakan sapi bali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi
botanis, kapasitas tampung, dan potensi produksi hijauan pakan di dataran Kebar
kabupaten Tambraw provinsi Papua Barat. Komposisi botanis dianalisis dengan
metode ranking (dry weight rank) yaitu dengan mengobservasi hanya tiga jenis
hijauan yang mempunyai kontribusi besar, dan menetapkannya sebagai ranking 1,
2, dan ranking 3 berdasarkan bahan kering, sedangkan produksi hijauan pakan
diestimasi dengan metode cuplikan menggunakan kuadran berukuran 1 m2 . Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir 100% hijauan pada padang
penggembalaan di dominasi jenis rumput; kapasitas padang penggembalaan alam
sangat rendah yaitu 0,48-1,70 UT/ha/tahun; dan produksi hijauan pada padang
penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk rencana pengembangan ternak
sapi bali dan/atau sapi potong untuk mendukung program kecukupan daging sapi
di provinsi Papua Barat.
Kata Kunci: Padang penggembalaan alam, komposisi botanis, kapasitas tampung

PENDAHULUAN

Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan


ternak sapi potong karena daya dukung wilayah berupa padang penggembalaan

Prosiding Semnas II HITPI Page 263


alami cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang
besar bagi pengembangan usaha peternakan sapi bali. Namun demikian sapi bali
saat ini cenderung mengalami penurunan kualitas karena adanya seleksi negatif
ditingkat peternak (Djagra et al., 2002; Jan, 2000; Talib et al., 2002;
Supriyantono et al., 2011).
Pembangunan peternakan secara nasional secara mutlak memerlukan
peran serta peternakan rakyat, mengingat produksi ternak di Indonesia didominasi
oleh peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional (99,70%) dan sisanya
sebesar 0,30% diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Soedjana, 2005).
Sehingga sangat perlu untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam
mengembangkan peternakan rakyat, melalui dukungan baik dari permodalan,
teknologi, bibit, manajemen pengembangan melalui standardisasi usaha
peternakan.
Peningkatan kualitas bibit sapi bali dapat dilakukan dengan
mengembangkan village breeding center (VBC) dengan melibatkan masyarakat.
Salah satu daerah pengembangan VBC di Papua Barat adalah Kabupaten Kebar
yang memiliki hamparan padang penggembalaan seluas 1.500 ha. Daerah ini
diharapkan mampu menjadi salah satu lumbung daging sapi di Papua Barat guna
mendukung Program Swasembada Daging Sapi 2014.
Pengembangan padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat
dilakukan hanya jika diketahui susunan/komposisi vegetasi dan kapasitas tampung
padang penggembalaan dimaksud.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi yaitu padang penggembalaan alam


kampung Inam dan kampung Jandurau. Kampung Inam dan Kampung Jandurau
merupakan bagian dari wilayah distrik Kebar, kabupaten Tambrauw, provinsi
Papua Barat.
Lokasi pengambilan sampel (cuplikan) ditetapkan secara purposif
berdasarkan jenis vegetasi (hijauan pakan ternak) dan luas padang penggembalaan
alam. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Menurut petunjuk
Susetyo (1980) yaitu untuk padangan dengan luas 65 ha, ditetapkan sebanyak 100
cuplikan. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal.
Metode dry weight rank (DWR) digunakan untuk mengestimasi komposisi
jenis-jenis hijauan pakan (komposisi botani) atas dasar bahan kering. Metode DWR
digunakan dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi
besar yang ditemukan dalam kuadran (ranking 1, 2, dan 3) tanpa melakukan pemotongan
dan pemisahan spesies hijauan. Selanjutnya untuk mengetahui produksi hijauan dan
sampel untuk analisis laboratorium, hijauan yang terdapat dalam areal kuadran
dipotong sekitar 5-10 cm di atas permukaan tanah dan ditimbang beratnya
menggunakan timbangan digital kapasitas 5 kg dengan ketelitian 10 g.
Variabel penelitian meliputi komposisi botani dan kapasitas tampung.
Komposisi botani dihitung untuk mengetahui komposisi atau susunan spesies
hijauan pada suatu padang penggembalaan. Jenis hijauan yang termasuk dalam
ranking 1, 2, dan 3, tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.
Selanjutnya dikalikan dengan angka konstanta berturut-turut 8,02; 2,41; dan 1
(jika total tidak sama) atau 70,2; 21,1; dan 8,7 (jika total sama) ,

Prosiding Semnas II HITPI Page 264


Kapasitas tampung dihitung berdasarkan petunjuk Subagio dan
Kusmartono (1988). Menentukan kuantitas produksi hijauan dalam kuadran 1 m2 .
Menetapkan Proper use factor (PUF) tergantung pada jenis ternak yang
digembalakan, spesies hijauan, dan kondisi tanah padang penggembalaan.
Penggunaan padang penggembalaan ringan, sedang, dan berat nilai PUFnya
masing-masing 25-30%, 40-45%, dan 60-70%. Menaksir kebutuhan luas tanah
per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan dan pada
penelitian ini diperhitungkan sebesar 10% dari berat badan ternak. Menaksir
kebutuhan luas tanah per tahun didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu
padang penggembalaan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi
ternak tumbuh kembali (periode istirahat) dan siap untuk digembalakan lagi.
Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah
digembalai selama 30 hari.
Taksiran kebutuhan kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus
Voisin, yaitu : (Y-1) s = r, dimana : Y = angka konversi luas tanah yang
dibutuhkan per tahun terhadap kebutuhan per bulan, s = periode merumput, dan r
= periode istirahat. Angka konversi luas tanah yang dibutuhkan dari per bulan
menjadi per tahun sebesar 3,3 ((Y-1) s = r ; r = 70 hari, dan s = 30 hari).
Pengukuran kapasitas tampung sapi dengan dasar kebutuhan pakan untuk ternak
sapi dewasa per hari adalah 3,1 kg bahan kering atau 10% dari berat badannya
(Reksohadiprodjo, 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Botani
Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang penggembalaan alam
memiliki variasi jenis hijauan (vegetasi) sangat tinggi. Jenis-jenis hijauan yang
tercatat pada tiga ranking terbanyak untuk dua lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada dua lokasi kampung Inam
Kel.
Kel. Wanimeri
NO Nama hijauan/Spesies Bitawi Keterangan
(%)
(%)
1 Bothriochloa ischaemum 14,29 R
2 Kyllinga brevifolia (teki) 38,93 R
3 Ischaemum indicum 24,64 R
4 Cyperus rotundus (teki) 4,28 R
5 Hyparrhenia hirta 14,29 R
6 Scirpus grossuss (teki) 3,56 R
7 Imperata cylindrica 73,42 R
8 Osmunda regalis (paku) 22,01 BP
9 Mikania cordata 2,28 BP
10 Lycopodium cernuum (paku) 2,28 BP
TOTAL 100,00 100,00
Rumput 100,00 73,42
Hijauan lain - 26,58
Keterangan : Kel. = kelompok; Ket. = keterangan, R = rumput, BP = bukan pakan ternak

Pada lokasi kampung Inam jenis hijauan yang dominan sangat berbeda
pada dua lokasi, masing-masing lokasi kelompok Wanimeri adalah tumbuhan teki

Prosiding Semnas II HITPI Page 265


(Kyllinga brevifolia) sebesar 38,93% dan 100% termasuk kategori rumput,
sedangkan pada kelompok Bitawi didominasi oleh Imperata cylindrica sebesar
73,42% dengan sebaran 73,42% rumput dan 26,58 bukan pakan ternak.

Tabel 2. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada lokasi kampung Jandurau


No. Nama hijauan/Spesies Persen Ket.
1. Paspalum conjugatum 18,28 R
2. Ischaemum indicum 12,87 R
3. Ipomea batas 0,73 BP
4. Phragmites karka 1,75 R
5. Mikania cordata (bkn pakan) 0,73 BP
6. Cyperus rotundus (teki) 9,36 R
7. Sida rhumbefolia 2,48 BP
8. Imperata cylindrica 20,76 R
9. Osmuda regalis (paku tauge) 11,70 BP
10. Rumput kelinci btg merah 0,73 R
11. Hyparrhenia hirta 9,79 R
12. Amaranthus sp (bayaman-bkn hmt) 1,75 BP
13. Panicum bunga coklat 6,58 R
14. Kyllinga brevifolia (teki) 1,75 R
15. Lycopodium cernuum (paku jari) 0,73 BP
TOTAL 100,00
Rumput 73,42
Hijauan lain 26,58
Keterangan : Ket. = Keterangan, R = Rumput, BP = Bukan pakan ternak

Pada lokasi kampung Jandurau tiga jenis hijauan yang dominan, masing-
masing 20,76% Imperata cylindrica, 18,28% Paspalum conjugatum, 12,87%
Ischaemum indicum dan tidak ditemukan jenis hijauan legum, tetapi hanya jenis
rumput dan jenis hijauan lainnya yang tidak termasuk jenis hijauan pakan (tidak
dapat dikonsumsi ternak). Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Setiana
(2010) bahwa ternak ruminansia secara alami memanfaatkan tumbuhan untuk
kebutuhan hidupnya, terutama jenis tumbuhan berasal dari famili Gramineae atau
Poacea atau rumputan. Menurut Kristianto dan Nappu (2004), sistem
pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh
karena ternak sapi pada siang hari diikat di padang penggembalaan alam dengan
kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak
didominasi oleh alang- alang dan semak belukar. Selanjutnya dikemukakan
bahwa hijauan pakan ternak lokal yang tidak bernilai gizi tinggi merupakan
penyebab utama rendahnya produks i sapi.

Potensi Produksi Hijauan dan Kapasitas Tampung


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas tampung padang
penggembalaan alam di dataran Kebar cukup rendah yaitu berkisar antara 0,48-
1,70 UT/ha/thn. Potensi produksi hijauan dan kapasitas tampung padang
penggembalaan menurut lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.

Prosiding Semnas II HITPI Page 266


Tabel 3. Potensi produksi hijauan dan estimasi kapasitas tampung
a. Padang Penggembalaan Alam
KAMPUNG INAM KAMPUNG JANDURAU
Variabel Pengamatan/Uraian
Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam
Produksi hijauan , kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478
Produksi hijauan , kg/ha, *10.000 9550 17510 10540 4780
Produksi hijauan tersedia, kg/ha,
2387,5 4377,5 2635 1195
*25% (rendah)
KT (carrying capacity), UT/ha/thn 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828
b. Kebun Rumput Raja
Variabel Pengamatan/Uraian HASIL
Produksi hijauan, kg/rumpun 4,2
Produksi hijauan (PH), kg/ha 67.200,00
Produksi hijauan tersedia, kg/ha
Musim hujan, 100%, (5/2)(1*PH) 168.000,00
Musim kemarau, 60%, (7/3)(0,6*PH) 94.080,00
Jumlah (kg/ha/thn) 262.080,00
Berat 1 unit ternak (UT) sapi , kg 250
Kebutuhan pakan (10% BB), kg/hari 25
Kebutuhan pakan per tahun (365
9.125
hari), 25 kg*365
Kapasitas tampung, UT/ha/thn 28,72
c. Total kapasitas tampung
(UT/ha/thn) 29,68 30,49 29,78 29,20

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa produktivitas padang


penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk mendukung rencana
pengembangan ternak sapi potong (sapi bali). Kapasitas tampung padang
penggembalaan alam sangat rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn atau
setinggi-tingginya dapat menampung 2 unit ternak (2 ekor sapi betina dewasa atau
1 UT setara satu ekor sapi betina dewasa dengan berat badan 250 kg).
Diperlukan upaya-upaya perbaikan padang penggembalaan alam dan
peningkatan kapasitas tampung. Salah satu upaya alternatif yaitu membangun
kebun hijauan pakan ternak. Jika dalam luasan 1 ha ditanami rumput raja dengan
jarak tanam 100 cm 60 cm, untuk jangka waktu satu tahun dapat mencapai
kapasitas tampung sekitar 28,72 UT/ha/thn atau setara 28,72 atau 29 ekor sapi
dewasa (lihat Tabel 3). Untuk mendukung peningkatan produksi sapi potong dan
usaha untuk mencapai program swasembada daging sapi, maka diperlukan
perbaikan tatalaksana pemeliharaan sapi di tingkat petani secara tepat (Kristianto
dan Nappu, 2004)

Komposisi Kimia Padang Penggembalaan Alam


Hasil analisis komposisi kimia nutrien hijauan pakan di lokasi penelitian,
masing-masing bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat
kasar (SK), dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) disajikan pada Tabel 4.

Prosiding Semnas II HITPI Page 267


Tabel 4. Komposisi kimia hijauan pakan di padang penggembalaan alam Kebar
No Komponen Komposisi Kisaran
1. Air (%) 9,74 8,25 10,75
2. BK (%) 90,26 89,26 91,75
3. PK (%) 3,99 3,54 4,42
4. LK (%) 2,37 1,98 2,81
5. SK (%) 40,87 37,37 46,63
6. BETN (%) 44,75 42,20 49,21
7. Abu (%) 8,02 5,27 10,57
Ca (%) 0,0874 0,0357 0,1162
P (%) 0,0809 0,0651 0,0993
8. GE (Kal/g) 4391,63 4092,55 4747,86
Keterangan :
BK =bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar,
BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = kalsium, P = fosfor, Kalori = gross energy (GE)

Rata-rata kandungan PK hijauan pakan pada padang penggembalaan alam


sebesar 3,99% termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini sesuai yang
dikemukakan oleh Siregar (1994) bahwa hijauan dikategorikan pada kualitas
rendah bila kandungan protein kasarnya kurang dari 5%, sedang bila kandungan
PK adalah 5-10%, dan tinggi bila PK hijauan adalah lebih besar dari 10%.
Rata-rata kandungan PK padang penggembalaan sebesar 3,99% (Tabel 1)
disebabkan karena komposisi botani hijauan sebagian besar adalah jenis rumput,
sebagian kecil hijauan bukan pakan, dan tanpa leguminosa. Kondisi padang
penggembalaan ini akan berdampak pada rendahnya produktivitas ternak karena
kebutuhan minimal PK bagi ternak ruminansia sebesar 8% tidak terpenuhi.
Produktivitas dan kualitas padang penggembalaan di kampung Inam dan
Jandurau perlu ditingkatkan dengan introduksi hijauan pakan jenis rumput dan
leguminosa yang sesuai kondisi setempat atau sesuai dengan jenis tanah dan
kondisi iklim.

KESIMPULAN

Hijauan pakan yang mendominasi padang penggembalaan alam Kebar


adalah jenis rumput dengan kapasitas tampung sangat rendah yaitu 2 UT/ha/tahun.
Produktivitas padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat ditingkatkan
dengan introduksi spesies yang cocok dan potensi produksi tinggi dan/atau perlu
dilakukan program pemberian pakan tambahan (dasar hijauan pakan).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek: DP2M
Ditjen Dikti, Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Nomor Kontrak:
244/SP2H/PL/Dit.Litabmas/ III/2012.

Prosiding Semnas II HITPI Page 268


DAFTAR PUSTAKA

Djagra, I.B., I.G.N.R. Haryana, I.G.M. Putra, I.B. Mantra, A.A. Oka., 2002.
Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Hasil Penelitian
Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan Fakultas Peternakan Universitas
Udayana, Denpasar.
Jan, R., 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali di Daerah Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM,
Yogyakarta.
Kristanto, L.K dan M. B. Nappu. 2004. Prospek Pengembangan Sapi Potong
Melalui Pola Pengembangan Kolektif Dalam Upaya Swasembada Daging
Sapi di Kalimantan Timur. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Samarinda
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE.
Yogyakarta.
Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Cetakan Pertama. Swadaya,
Jakarta.
Subagio, I dan Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan, NUFIC. Universitas
Brawijaya Malang.
Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono, 2011. Breeding Programme
Development of Bali Cattle at Bali Breeding Centre. Journal of Animal
Production. 13, 1: 45-51.
Susetyo, S, 1980. Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk
Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner and D. Lindsay, 2002.
Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing
Breeding Programs in Indonesia. Working Papers: Bali Cattle Workshop.
Bali, 4-7 February 2002.

Lampiran 1. Estimasi produksi hijauan rumput raja tahunan

Penanaman rumput Raja : 100 cm x 60 cm

Populasi 1 ha = (10.000 m2)/ (1 m x 0,6 m) = 16.666 rumpun; dalam


hitungan dibulatkan 16.000 rumpun

Untuk kondisi umum, 1 rumpun menghasilkan 7 (tujuh) kg hijauan segar


Khusus Kebar, diperhitungkan hanya 60% sehingga produksi hijauan segar
yang dihasilkan sebanyak 4,2 kg
Jadi produksi per ha = 4,2 kg * 16.000 rumpun = 67.200 kg/ha

Estimasi Produksi Hijauan setahun


Masa pertumbuhan dan produksi hijauan
Kemarau = 3 bulan
Hujan = 2 bulan
Jika data Klimatologi tahun 2010 : di Manokwari
Bulan Hujan = Nov, Des, Jan, Feb, dan Mart (5 bulan)

Prosiding Semnas II HITPI Page 269


Bulan Panas = April, Mei, Jun, Jul, Agust, Sep dan Okto (7 bulan)
Hitungan :
Hujan = (5 bulan / 2 bulan) x produksi hijauan
Kemarau = (7 bulan / 3 bulan) x produksi hijauan
Estimasi produksi rumput raja =

Estimasi Produksi Hijauan Produksi Hijauan TOTAL


Rata-Rata (kg/ha) Rata-Rata (kg/ha) PRODUKSI
HUJAN PANAS
(100%) (60%) HUJAN KEMARAU (kg/ha/thn)

67.200,00 40.320,00 168.000,00 94.080,00 262.080,00

Lampiran 2. Estimasi kapasitas tampung padangan di kampung Inam dan


Jandurau, Kebar, Manokwari

a. Padang Penggembalaan
Alam
KAM PUNG
Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan KAM PUNG INAM JANDURAU
Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam
Produksi hijauan kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478
Produksi hijauan kg/ha * 10.000 9550 17510 10540 4780
Produksi hijauan tersedia * 25%
kg/ha 2387,5 4377,5 2635 1195
(PHT) (rendah)
Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250 250 250 250
Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25 25 25 25
25 kg * 30
Kebutuhan pakan (30 hari) kg/bulan 750 750 750 750
hari
Kebutuhan luas lahan per bulan Ha/bula 750/PHT * 1
0,3141 0,1713 0,2846 0,6276
(LLB) n ha
Kebutuhan luas lahan per tahun Ha/UT/t
3,3 * LLB 1,0366 0,5654 0,9393 2,0711
(LLT) h
UT/ha/t
KT (carrying capacity) 1/LLT 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828
h
b. Kebun Rumput Raja
Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan HASIL
kg/rump
Produksi hijauan 4,2
un
Produksi hijauan kg/ha * 16.000 67200,00
Produksi hijauan tersedia kg/ha
(5/2)(1*Prod
M usim hujan 100% 168000,00
Hij)
(7/3)(Prod
M usim kemarau 60% 94080,00
Hij*0,6)
Jumlah
262080,00
(kg/ha/thn)
Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250
Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25
Kebutuhan pakan per tahun kg/ha/U 25 kg * 365
9125
(365 hari) T hari
Kebutuhan luas lahan per bulan UT/ha/ta 262080/9125 28,72

Prosiding Semnas II HITPI Page 270


hun
c. Total kapasitas tampung 29,68 30,49 29,78 29,20
PERTUMBUHAN GENERATIF ALFALFA (Medicago sativa L)
MUTAN TROPIS, RESPON TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT
(HASIL MUTASI INDUKSI EMS)

Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto


Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan manajemen pemupukan fosfat


untuk pertumbuhan generatif alfalfa yang ditanam pada ketinggian tempat
tertentu. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), terdiri dari 5
perlakuan (0, 50, 100, 150, 200 kg P2 O5 /ha) dan 4 kelompok ulangan. Variabel
yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah
tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, pemupukan fosfat tidak berpengaruh terhadap
jumlah tanaman yang berbunga dan berpolong pada umur 14 minggu. Pemupukan
fosfat tidak nyata meningkatkan persen tanaman alfalfa yang berbunga dan
berpolong, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Alfalfa mutan membutuhkan
pemupukan fosfat 122,50 kg P2 O5 /ha untuk mendapatkan berat per 100 biji yang
maksimum.
Kata kunci: alfalfa, pemupukan P, pertumbuhan generatif

ABSTRACT

The research was aimed to obtain management of Phosphat fertilization


for the growth generative of alfalfa at a certain altitude. The research Completely
Randomized Block Design with 5 treatments (0, 50, 100, 150, 200kg P2 O5 /ha)
and 4 replicated. The variable observed growth generative of alfalfa (number of
flowering plants, the number of pods plants and weight per 100 seeds). The result
of research showed P fertilization had no effect on the number of flowering plants
and pod plants at the age of 14 weeks. P fertilization did not increase the percent
of alfalfa plants were flowering and pods. Fertilizing of mutan alfalfa with 122.50
kg P2 O5 /ha of P-fertilizer provided the maksimum weight of 100 seeds.
Keywords: alfalfa, P fertilization, generative growth

PENDAHULUAN

Alfalfa (Medicago sativa L. ) dikenal sebagai Queen of Forages",


palatabel dan bergizi, kaya protein, vitamin dan mineral (Orloff, 1997), dapat
dipakai sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak karena
mempunyai serat kasar dan protein kasar yang tinggi. Tanaman alfalfa merupakan
leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (Hoy et al., 2002) dan
merupakan tanaman hari panjang. Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar
matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan
kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan
kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative

Prosiding Semnas II HITPI Page 271


Extension Service, 1998).
Kelebihan tanaman alfalfa dapat hidup 3 hingga 12 tahun, tergantung
varietas dan iklim di mana tanaman itu hidup. Tingginya dapat mencapai satu
meter, memiliki akar yang sangat panjang hingga mencapai 4,5 meter.
Keunggulan itulah yang menyebabkan alfalfa mampu bertahan hidup, sekalipun
saat terjadi kekeringan.
Alfalfa adalah tanaman tahunan berupa herba berakar dalam, bercabang dan
membentuk rhizom, mempunyai batang mendatar, menanjak sampai tegak,
berkayu di bagian dasar, cabang-cabang di bagian dasar dan menanjak setinggi
30-120cm, satu tangkai berdaun tiga (trifoliat), panjang daun 5-15mm, berbulu
pada permukaan bawah, tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat
berisi 10-35 bunga, mahkota berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih
(Mannetje dan Jones, 2000). Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa tersaji
pada Ilustrasi 1.
Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah
temperate (Hoy et al., 2002). Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari
dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan
kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan
kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative
Extension Service, 1998). Karakteristik Alfalfa di daerah temperate antara lain:
kapasitas produksi tinggi (40-150 ton bahan segar/ha/th), kualitas hijauan tinggi
(PK 18-24%), nilai kemampuan tumbuh tinggi yang dipengaruhi tekanan musim
dan resistensi terhadap penyakit daun dan tunas serta penyakit akar, kecepatan
tumbuh setelah pemotongan, penghasil biji yang baik (Smith et al., 1986). Alfalfa
tropis yang berasal dari Taiwan merupakan hasil perbaikan dari alfalfa subtropis
yang dilakukan para ahli pertanian di Taiwan, dapat beradaptasi dan tumbuh baik
di daerah tropis di Propinsi Taiwan sebagai penghasil hijauan. Perbaikan alfalfa
tropis yang berasal dari Taiwan telah dilakukan agar dapat beradaptasi secara
alami sebagai penghasil biji. Alfalfa di Indonesia belum menghasilkan biji.
Akibatnya tanaman alfalfa tidak berkembang karena keterbatasan bibit (Sajimin,
2011).

Tanaman Alfalfa Daun Alfalfa

Bunga Alfalfa Polong alfalfa


Ilustrasi 1. Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa

Prosiding Semnas II HITPI Page 272


Perbaikan tanaman dapat dilakukan antara lain dengan melakukan mutasi
induksi yang dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga benih yang
dihasilkan dapat dipakai sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan tanaman yang
dikehendaki. Keragaman yang tinggi merupakan salah satu faktor untuk merakit
varietas unggul baru (Hutami et al., 2006).
Unsur fosfat (P) pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu
pertumbuhan (Mikkelsen, 2004; Liani et al., 2011). Penelitian Yu et al. (2007)
menunjukkan bahwa alfalfa sangat sensitif terhadap P tersedia dan terdapat
korelasi positif antara penurunan P tanah tersedia dengan hasil hijauan alfalfa
setelah berumur 3 tahun. Pemupukan P sampai 100kg P2 O5 /ha dan Interval
defoliasi yang berbeda tidak mempengaruhi produksi bahan kering (BK), protein
kasar (PK) maupun serat kasar (SK) hijauan alfalfa (Widyati-Slamet et al., 2008).
Liani et al. (2011), mendapatkan produksi bahan kering tertinggi dengan
pemupukan TSP dengan dosis 125 mg P2O5/kg tanah.

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian yang digunakan biji hasil alfalfa mutan, hasil mutasi
induksi dengan EMS (Ethyl Methyl Sulfanate), kebun percobaan, kompos, pupuk
Urea (45%N), SP-36 (36% P2 O5 ), KCl (52%K 2 O), dan insektisida. Penelitian
dilaksanakan di kebun di desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten
Semarang yang terletak pada ketinggian + 400 m dpl.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) terdiri dari 5
perlakuan dosis fosfat (0, 50, 100, 150 dan 200kg P 2 O5 /ha) dengan 4 kelompok
ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa,
yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100
biji.
Data yang diperoleh diolah secara statistik menurut prosedur analisis
ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati, apabila
terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan (Steel
dan Torrie, 1980) dan Uji Polinomial. Apabila diperoleh pengaruh kuadratik,
dirumuskan dalam persamaan Polinomial Kuadratik y = a + bx + cx2 , selanjutnya
untuk mendapatkan Titik Puncak (TP) perlakuan pemupukan P optimum
diperoleh dengan rumus;
TP = - b , di mana a = intersep, b, c = koefisien regresi linier dan kuadratik.
2c
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tempat Penelitian
Penelitian untuk produksi biji dilakukan pada lahan di desa Sidomulyo
kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian +
400 m diatas permukaan laut. Hasil analisis tanah lahan penelitian mengandung P
potensial 499,39 ppm dengan pH 6,57 Temperatur selama penelitian berkisar
antara 23-35o C dengan kelembaban berkisar antara 31-80%. Masa adaptasi
tanaman alfalfa dari persemaian ke lahan + 2 minggu. Hujan turun sepanjang hari
pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah
hujan tidak terukur. Data yang didapat dari Balai Meteorologi dan Geofisika
didapatkan bahwa curah hujan selama bulan September 133 mm (4 hari hujan)

Prosiding Semnas II HITPI Page 273


lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Oktober 137 mm (10 hari hujan) lainnya
tidak terukur. Curah hujan bulan Nopember 217 mm (19 hari hujan) lainnya tidak
terukur. Pengamatan pada tanaman alfalfa dilakukan selama 16 minggu (Agustus-
Nopember 2011) setelah benih ditanam ke lahan, karena pengaruh cuaca,
beberapa tanaman belum berbiji, hal tersebut disebabkan karena Alfalfa tumbuh
untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat.

Pertumbuhan generatif alfalfa


Jumlah Tanaman Berbunga
Jumlah tanaman yang berbunga diamati pada umur tanaman 14 minggu.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berbunga. Persen
jumlah tanaman yang berbunga pada pemupukan P yang beda tersaji pada
Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah tanaman yang berbunga (14 mg) pada Pemupukan P yang
Berbeda
==========================================================
Perlakuan Jumlah tanaman yang berbunga
Pemupukan Ulangan Rerata
P 1 2 3 4
--------------------------- %/petak ------------------------------
P1 (0kg P2 O 5 /ha) 31,25 56,25 37,5 93,75 54,69
P2 (50kg P2 O5 /ha) 43,75 31,25 68,75 18,75 40,63
P3 (100kg P2 O5 /ha) 43,75 81,25 37,50 87,50 62,50
P4 (150kg P2 O5 /ha) 81,25 81,25 56,25 43,75 65,63
P5 (200kg P2 O5 /ha) 81,25 81,25 87,25 62,5 78,06
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Pemupukan P tidak mempengaruhi jumlah tanaman yang berbunga. Hasil


analisis tanah menunjukkan bahwa P2 O5 total 323,43 ppm melebihi yang
dibutuhkan legum (21-40 ppm) (Hardjowigeno, 1987), tetapi P yang ada pada
tanah bukan P tersedia, sehingga pemupukan P dengan berbagai level belum
mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa. Alfalfa sangat sensitif dengan P
tersedia (Yu et al., 2007), sehingga jika kandungan P pada media tanam cukup
tinggi, pemberian P tidak efektif. Kemungkinan P yang ada pada media tanam
dalam bentuk mineral yang kompleks, biasanya sangat lambat tersedia dan sulit
diserap oleh tanaman (Agustina, 2004). Unsur P pada dosis tinggi lebih
diinginkan legume untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004). Alfalfa pada
umur 10 minggu setelah tanam sudah memasuki akhir fase vegetatif, karena
beberapa tanaman dalam petak sudah mulai berkuncup dan tinggi tanaman lebih
dari 30 cm. Fase reproduktif alfalfa dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap
terakhir vegetatif dengan ditandai belum terdapat kuncup bunga dengan tinggi
tanaman lebih dari 30 cm, tahap kuncup bunga, tahap berbunga pertama, berbunga
semuanya dan pembungaan terakhir (Bagg, 2003).
Tanah lokasi penelitian pada waktu hujan tergenang air tetapi pada waktu
kering tanahnya padat sehingga aerasi kurang baik. Aerasi yang kurang baik
penyerapan P dan unsur-unsur lain nya akan terganggu. Selama penelitian hujan
turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang

Prosiding Semnas II HITPI Page 274


menyebabkan curah hujan tidak terukur. Hujan yang turun hampir sepanjang
penelitian menyebabkan tanaman bagian bawah busuk karena tergenang air.
Kisaran ph 4-9 secara normal. Kelarutan P paling tinggi pada pH yang rendah,
tetapi pada kenyataannya seringkali ion ini tidak banyak tersedia dalam larutan
tanah, karena adanya ion Fe, Al atau Ca yang bereaksi dengan ion orthofosfat
menjadi bentuk tambahan yang tidak tersedia dan sebagian besar fosfor yang
mudah larut diambil mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya yang diubah
menjadi humus (Agustina, 2004). Fungsi P dalam tanaman antara lain adalah
mempercepat pembungaan.

Jumlah Tanaman yang berpolong


Jumlah tanaman yang berpolong diamati pada umur tanaman 14 minggu.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berpolong. Persen
jumlah tanaman yang berpolong tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah tanaman yang berpolong (14 mg) pada Pemupukan P yang
Berbeda
==========================================================
Perlakuan Jumlah tanaman yang berpolong
Pemupukan Ulangan Rerata
Fosfat 1 2 3 4
--------------------------- %/petak ----------------------------
P1 (0kg P2 O 5 /ha) 12.50 31,25 12,50 37,50 23,44
P2 (50kg P2 O5 /ha) 25,50 18,75 37,50 6,25 21,88
P3 (100kg P2 O5 /ha) 37,50 68,70 25,00 62,25 48,36
P4 (150kg P2 O5 /ha) 56,25 68,75 6,25 6,25 34,38
P5 (200kg P2 O5 /ha) 37,5 37,5 12,50 50.00 34,38

Fosfat (P) cukup penting untuk produksi biji yang memuaskan. Tanaman
untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan
pertumbuhan puncak yg cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan
meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan
memperpanjang periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Saat bunga sudah mulai mekar
hujan turun sepanjang hari sehingga banyak bunga yang rontok dan daun alfalfa
membusuk karena kelembaban cukup tinggi 75-85. Pertumbuhan alfalfa
membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur
tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5
atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station
and Cooperative Extension Service, 1998).
Waktu yang ideal alfalfa berbunga untuk produksi biji yang tinggi adalah
pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, yang terus
sampai biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station
and Cooperative Extension Service, 1998). Kondisi cuaca yang tidak dapat
diprediksi menyebabkan pada saat berbunga musim kemarau sudah berakhir dan
hujan pada akhir bulan Nopember turun sepanjang hari walaupun curah hujan
masih rendah.

Prosiding Semnas II HITPI Page 275


Alfalfa berbunga kira-kira 7 minggu tiap periode, jika terjadi penyerbukan,
menghasilkan polong biji dan masak 3 sampai 5 minggu. Pada kondisi yang
bagus tiap polong mengandung 3 sampai 5 biji. Dibawah kondisi tekanan
serangga yang tinggi, beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup
(Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009).

Berat per 100 biji


Bulan Nopember curah hujan merata sepanjang hari sehingga polong yang
telah terbentuk tidak mengandung biji. Beberapa polong tidak mengandung biji
yang dapat hidup, hal tersebut disebabkan tanaman di bawah kondisi tekanan
serangga yang tinggi (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009). Alfalfa
tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat. Tanaman untuk
produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan
puncak yang cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan meningkatkan
pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan menunda periode
pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif
dan hasil biji lebih rendah. Waktu alfalfa berbunga yang ideal untuk produksi
biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira
3 minggu, dan biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment
Station and Cooperative Extension Service, 1998).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap berat per 100 biji alfalfa. Berat per 100 biji
alfalfa pada pemupukan P yang berbeda tersaji pada Tabel 3.
Hasil uji Duncan menunjukkan berat per 100 biji pada pemupukan P dosis
50 kg P2 O5 /Ha lebih tinggi dari semua perlakuan pemupukan. Pemupukan sampai
50 kg P2 O 5 /Ha meningkatkan berat per 100 biji pada alfalfa mutan kemudian
menurun pada perlakuan 100, 150, dan 200 kg P 2 O5 /Ha.

Tabel 3. Berat per 100 biji (16 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda
==========================================================
Perlakuan Berat per 100 biji
Pemupukan Ulangan Rerata
Fosfat 1 2 3 4
-------------------------------- g ---------------------------------
P1 (0kg P2 O 5 /ha) 0,5580 0,5520 0,6920 0,9460 O,6945b
P2 (50kg P2 O5 /ha) 1,3520 1,4100 1,3120 1,3100 1,3460a
P3 (100kg P2 O5 /ha) 0,8940 0,8460 0,7640 1,3720 0,9690b
P4 (150kg P2 O5 /ha) 0,7920 0,9860 1,1060 0,7520 0,9090b
P5 (200kg P2 O5 /ha) 1,3900 0,9240 0,8500 0,8700 1,0085b
*Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil uji lanjut menunjukkan besarnya nilai koefisien regresi pada


persamaan alfalfa mutan Y = 0,8348 + 0,0049 X - 0,00002 X2 (R2 = 0,13) yang
mempunyai titik puncak 122,50 kg P2 O5 /Ha. Pemupukan alfalfa mutan 122,50 kg
P2 O 5 /Ha memberikan berat per 100 biji yang optimum walaupun hanya
dipengaruhi 13% oleh pemupukan P, Hal tersebut disebabkan kandungan P pada
media tanam (499,39 ppm) melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm)
(Hardjowigeno, 1987), sehingga pemupukan P dengan berbagai level tidak akan

Prosiding Semnas II HITPI Page 276


mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa secara nyata.
Perubahan asam amino pada rantai DNA akan mempengaruhi
metabolisme tanaman. disebabkan alfalfa mutan mengandung asam amino yang
kaya AT dan GC, sehingga beberapa asam amino berubah karena komposisi nya
berubah (Yuwono, 2006). Perubahan asam amino akan mempengaruhi proses
metabolisme tanaman. Proses metabolisme tanaman akan mempengaruhi produksi
tanaman (biji). Pemakaian mutagen EMS dengan konsentrasi yang tepat
menunjukkan mutasi yang positif (Chopde, 2006). Mutasi dengan EMS akan
menunjukkan peningkatan perubahan genetik (Jabeen dan Mirza, 2002).
Perubahan genetik pada organisme yang tercermin dari perubahan ekspresinya
mungkin dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu.
Berdasarkan variabel genetik, alfalfa memiliki kemampuan beradaptasi yang baik
untuk kondisi lingkungan yang berbeda (Radovic et al., 2009).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan yang dapat diambil adalah, bahwa pada kondisi tempat


penelitian, tanaman alfalfa mutan kurang responsif terhadap pemupukan P.
Pemupukan P tidak meningkatkan persen tanaman berbunga dan berpolong alfalfa
mutan, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Pemupukan 122,50 kg P2 O 5 /ha
cukup memberikan berat per 100 biji yang maksimum.
Dapat disarankan bahwa, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap
karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa mutan ini untuk produksi biji pada
kondisi yang lebih mendukung.

DAFTAR PUSTAKA

Agriculture Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998. Alfalfa


Production Handbook. Kansas State University, Manhattan, Kansas.
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta.
Bagg, J. 2003. Cutting Management of Alfalfa. Government of Ontario. Ontaria
Hoy. D. M,., K. J. Mooere, J. R. George and E. C. Brummer. 2002. Alfalfa Yield
and Quality as Influenced by Establishment Method. Agron J. 94: 65-71.
Hutami, S., I. Mariska dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan Keragaman Genetik
Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. J. AgroBiogen 2(2):81-88.
Liani, Y., H. H. Qing, Sumarsono, D.W. Widjajanto and J. Guanjie. 2011.
Phosphate rock application on alfalfa (Medicago sativa L) production and
macronutrient in latosol soil. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 36 (4) :
290-296.
Mannetje, L dan R.M. Jones. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT.
Balai Pustaka, Bogor.
Mikkelsen, R. 2004. Managing phosphorus for maximum alfalfa yield and quality.
Dalam: Proccedings National Alfalfa Symposium, San Diego 13-15
December 2004. CA, CU Cooperative Extension, University of California,
Davis. Pp 617-622.
Oklahoma Cooperative Extension Service. 2009. Alfalfa Production Guide for
the Southern Great Plains. Division of Agricultural Sciences and Natural

Prosiding Semnas II HITPI Page 277


Resources. Oklahoma State University, Stillwater, Oklahoma.
Sajimin. 2011. Medicago sativa L (alfalfa) sebagai tanaman pakan ternak harapan
di Indonesia. Wartazoa vol 21(2):91-98.
Smith D, Raymond J.B and Richard P W. 1986. Forage Management. 5 th
Edition. Kendall/Hunt. Publishing Company. Dubuque. Iowa.
Steel, R.G.D and J.H Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics. Mc.
GrawHill Book Company, Inc. New York.
Widyati-Slamet, F. Kusmiyati dan E.D. Purbayanti. 2008. Produksi Alfalfa
(Medicago sativa). dengan Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang
Berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 33 (2 ): 158-163.
Yuwono, T.W. 2008. Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogjakarta
Yu Jia, Xu Bingcheng, Li Fengmin and Wang Xiaoling. 2007. Availability and
Contributions of soil phosphorus to forage production of seeded alfalfa in
semiarid Loess Plateau. Acta Ecologica Sinica. 2007, 27(1): 42-47.

Prosiding Semnas II HITPI Page 278


UJI PENGAWETAN TERHADAP DAYA SIMPAN BAHAN TANAM
STEK RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schummach)

M. Agus Setiana
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor
Hp. 0811111835
email: massetiana@yahoo.com

ABSTRAK

Pendistribusian bahan tanam stek masih menjadi kendala karena sifatnya


yang mudah rusak akibat faktor luar seperti mikroba dan fungi. Metode
penyimpanan stek yang baik diperlukan agar stek memiliki daya simpan yang
lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahan dan alat yang
dapat memperpanjang umur stek dan menentukan lama masa simpan yang terbaik
untuk bahan tanam stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola faktorial dengan ulangan 5 kali. Faktor A adalah perlakuan
pengawetan berupa 4 jenis bahan atau alat pengawet yaitu cairan gula 2%, cairan
lilin, silica gel dan refrigerator (4C) dan faktor B adalah 5 tingkat lama
penyimpanan 3, 6, 9, 12 dan 15 hari. Bahan yang digunakan adalah stek rumput
gajah (Pennisetum purpureum Schummach) sebanyak 625 batang. Peubah yang
diukur adalah keadaan umum stek, penyusutan bobot, awal pertumbuhan setelah
tanam, daya tumbuh, dan tinggi vertikal.
Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi nyata (P<0,05) terhadap
penyusutan bobot stek yang berpengaruh nyata antara penggunaan bahan
pengawet dengan lama penyimpanan, interaksi terjadi pada bahan pengawet gula,
silica gel, dan kontrol. Interaksi menunjukkan bahwa optimal lama penyimpanan
kurang lebih 13 hari. Lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
daya tumbuh, dimana lama penyimpanan 15 hari menunjukkan penurunan daya
tumbuh yang signifikan. Lama penyimpanan dan bahan pengawet berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap tinggi vertikal, dimana penyimpanan 15 hari secara
signifikan berpengaruh pada tinggi vertikal dan rataan tinggi vertikal tertinggi
pada penggunaan lilin dan gula. Daya simpan stek rumput gajah (Pennisetum
purpureum Schummach) dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahan
pengawet gula, silica gel, lilin, dan refrigerator pada suhu 4 C selama 15 hari.
Kata kunci: Pennisetum purpureum Schummach, stek, bahan pengawet,
penyimpanan.

ABSTRACT

Elephant grasss producers still can not distribute more than a week,
because of the damaged of the cutting by external factors such as microbes and
fungi. Therefor it is necessary that both storages methods cuttings that have a
longer shelf life. The aim of this study was to determine the materials and tools
that can extend the life of old cuttings and det ermine the shelf life is best for
planting material cuttings of elephant grass.
Experimental design used was completely randomized design (CRD)

Prosiding Semnas II HITPI Page 279


factorial with repeated 5 times. A factor is a preservation treatment is 4 types of
materials or equipment that is preservative 2% liquid sugar, liquid wax, silica gel,
an refrigerator (4C) and factor B are 5 levels of storage time of 3, 6, 9, 12, and 15
days. The materials used are cutting grass counted 625 pieces. The variables
measured were the general state of cuttings, weight decrease, and early growth
after planting, growing power, and vertical height.
Results showed that the real interaction (P<0.05) the weight decrease
significant cuttings between the used of preservatives with storage time, the
interaction occurs in sugar preservatives, silica gel and control. The teraction
showed a point of intersection between the sugar, silica gel and control over
storage time chart at approximately 13 days. Intersection indicates that the
maximum points of planting cuttings storage materials are given preservative
sugar, silica gel, and control is about 13 days. Storage time significantly (P<0,05)
the ability of grow, where teh storage time of 15 day showed a significant
reduction in the growth of storage longer than others. Preservative retention and
significantly (P<0.05) to the vertical height, where the storage time of 15 day
showed higher average vertical drop significantly and the average height of the
highest vertical is when using wax and sugar preservatives. The shelf life cuttings
of elephant grass (Pennisetum purpureum Schummach) can be improved by using
sugar preservatives, silica gel, wax, and refrigerator at 4C for 15 days storage
time and quality is good for 15 days of shelf life that is using a refrigerator at 4C.
Keyword: Pennisetum purpureum Schummach, cuttings, preservatives, storage

PENDAHULUAN

Kendala yang dihadapi pada saat penyediaan dan penyebaran bahan tanam
stek (vegetatif) adalah sifatnya yang mudah rusak akibat proses fisiologis dan
invasi mikroorganisme yang dapat menurunkan kandungan bahan organik. Dalam
distribusi stek yang relatif jauh memerlukan upaya penanganan stek yang tepat
untuk mempertahankan kualitas bibit dan mempertahankan daya tumbuh selama
penyimpanan. Bahan-bahan dan alat seperti lilin, gula, silica gel dan refrigerator
dapat digunakan sebagai sarana pengawetan. Penggunaan sarana pengawetan
tersebut diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan dapat membantu
penyebaran hijauan yang berkualitas tinggi ke daerah yang membutuhkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa teknik
pengawetan untuk dapat mempertahankan umur bahan tanam stek rumput gajah
(Pennisetum purpureum Shummach) selama penyimpanan

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan mulai bulan April-Mei 2012, di Laboratorium
Agrostologi Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor.

Materi
Bahan yang digunakan adalah stek Pennisetum purpureum Schummach
umur 4 bulan, panjang 20-25 cm, sebanyak 625 stek. Stek diambil dari tanaman
induk yang seragam dari Laboratorium Lapang Agrostologi. Bahan pengawet

Prosiding Semnas II HITPI Page 280


yang digunakan adalah larutan gula 2%, lilin, silica gel, dan pupuk. Alat yang
digunakan yaitu: refrigerator, karung, tali, polybag, dan cangkul.

Metode
Persiapan Stek dan Bahan Penyimpanan Stek
1. Pencelupan lilin
Kedua ujung stek dicelupkan ke dalam lilin yang telah. Setelah itu stek
didiamkan hingga lilin memadat, lalu dimasukkan ke dalam karung dan diikat.
2. Pencelupan cairan gula
Pencelupan stek pada cairan gula menggunakan konsentrasi 2%. Kedua ujung
stek direndam di dalam cairan gula selama 30 menit. Stek ditiriskan lalu
dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan rapat.
3. Penambahan silica gel
Stek ditimbang satu persatu, lalu dimasukkan dalam karung bersama silica gel
30 g dalam kemasan berpori. Kemudian karung tersebut diikat dengan rapat.
4. Penggunaan refrigerator (suhu 4C)
Refrigerator diatur suhunya menjadi 4C. Stek ditimbang dan dimasukkan ke
dalam karung lalu diikat dan dimasukkan ke dalam refrigerator.

Penyimpanan
Penyimpanan stek dilakukan pada setiap perlakuan pengawetan dibagi
menjadi 5 yaitu lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.

Penanaman
Setelah disimpan, stek ditimbang, dan ditanam di polybag yang berisi tanah
dan pupuk kandang (10 g/polybag), KCl (2 g/polybag), dan SP36 (2 g/polybag.

Peubah yang diamati


a. Keadaan umum stek
Keadaan umum yang diamati adalah perubahan warna, bau, fisik (tumbuhnya
cendawan) dan tekstur, pada setiap lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.
b. Penyusutan bobot stek
Stek ditimbang sebelum dan sesudah penyimpanan, dan dihitung selisihnya.
Rumus : selisih bobot stek (g) = bobot stek awal (g) bobot stek akhir (g).
c. Awal pertumbuhan setelah tanam
Diamati dan dicatat munculnya tunas dan daun awal setelah penanaman stek
(setiap 2 hari hingga hari ke-14).
d. Daya tumbuh
Pertumbuhan dilihat setelah muncul dua daun pada stek setiap perlakuan.
e. Tinggi vertikal
Tinggi vertikal stek diukur 15 Hari setelah Tanam (HST).

Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) faktorial dengan pengulangan 5 kali, dan setiap ulangan terdiri dari 5 stek.
Faktor A adalah perlakuan bahan/alat pengawet dan faktor B adalah lama
penyimpanan.

Prosiding Semnas II HITPI Page 281


Faktor A = Perlakuan bahan pengawet
A0 = Penyimpanan tanpa bahan pengawet (kontrol)
A1 = Penyimpanan dengan cairan gula
A2 = Penyimpanan dengan cairan lilin
A3 = Penyimpanan dengan silika gel
A4 = Penyimpanan dengan mesin pendingin (refrigerator)
Faktor B = Lama penyimpanan stek
B1 = Stek disimpan selama 3 hari
B2 = Stek disimpan selama 6 hari
B3 = Stek disimpan selama 9 hari
B4 = Stek disimpan selama 12 hari
B5 = Stek disimpan selama 15 hari

Model matematis yang digunakan pada penelitian ini yaitu:


Yijk = + ai + bj + (ab)ij + eijk
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan untuk perlakuan bahan pengawet (A0,,A5) ke-i
perlakuan lama penyimpanan (B1,,B5) ke-j dan ulangan k
= rataan umum
ai = pengaruh perlakuan A ke-i
bj = pengaruh perlakuan B ke-j
(ab)ij = pengaruh interaksi bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan ke-j
eijk = galat faktor A ke-i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k

Analisa data :
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan yang dilakukan terhadap bahan tanam stek meliputi keadaan


fisiologis, kualitas, dan daya tumbuh yang disajikan pada Tabel 1. Stek dengan
perlakuan menggunakan pengawet lilin sudah mulai mengalami perubahan warna,
bau, dan tekstur pada saat penyimpanan, karena lapisan lilin yang menutupi pori-
pori pada stek tersebut rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Pengamatan
bagian tekstur tidak terlihat adanya penyusutan meskipun bobotnya turun, hal ini
disebabkan karena penurunan bobot stek tidak terlalu banyak. Pelapisan lilin biasa
digunakan pada buah-buahan. Permukaan buah yang dilapisi oleh lilin dapat
mencegah terjadinya penguapan air sehingga dapat memperlambat kelayuan dan
menghambat laju respirasi (Suhaidi, 2008).
Pada perlakuan penanmabahan silica gel, terjadi perubahan warna stek
menjadi kuning kecoklatan, tumbuh cendawan dan terjadi penyusutan (keriput).
Hal ini diduga karena kurang banyaknya jumlah silica gel yang digunakan
sehingga kurang dapat menyerap air yang dapat menyebabkan kebusukan dan
kelembaban sehingga mempermudah tumbuhnya cendawan.
Stek yang disimpan dalam refrigerator dengan suhu 4C warna, bau dan
tekstur stek masih tetap terjaga sama sebelum stek mendapatkan perlakuan. Pada
penyimpanan dalam refrigerator aktivitas mikroba terhambat, sehingga tidak

Prosiding Semnas II HITPI Page 282


merusak stek. Menurut Thalib dan Widiawati (2010), penyimpanan pada suhu
dingin menyebabkan aktivitas mikroba akan semakin melemah.

Tabel 1. Perubahan Warna, Bau, Fisik (Cendawan), dan Tekstur Stek Selama
Penyimpanan
Lama penyimpanan (hari)
Perlakuan
3 6 9 12 15
Kontrol
Warna - + ++ +++ ++++
Bau - + ++ +++ ++++
Fisik (cendawan) + + ++ +++ ++++
Tekstur (keriput) - + ++ +++ ++++
Lilin
Warna - + ++ ++ +++
Bau - - + ++ +++
Fisik (cendawan) + + ++ ++ +++
Tekstur (keriput) - - - - -
Silica gel
Warna - + ++ ++ + ++
Bau - + ++ +++ ++++
Fisik (cendawan) + ++ +++ +++ ++++
Tekstur (keriput) - - ++ +++ +++
Refrigerator
Warna - - - - -
Bau - - - - -
Fisik (cendawan) - - - - -
Tekstur (keriput) - - - - -
Gula
Warna - + ++ +++ ++++
Bau - - + ++ +++
Fisik (cendawan) + + ++ +++ ++++
Tekstur (keriput) - - ++ +++ +++
Keterangan : Tanda (-) : belum ada perubahan, (+) : sudah terjadi perubahan dan semakin banyak
tanda (+) maka perubahan yang terjadi semakin meningkat.

Pada perlakukan dengan bahan pengawet gula, stek mengalami perubahan


warna, bau, fisik (tumbuh cendawan), dan tekstur (keriput), yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang menjadikan gula sebagai sumber nutrisinya. Menurut
Suwijah (2011), pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan karbon dan
nitrogen, dimana kebutuhan akan karbon dapat diperoleh dalam bentuk
karbohidrat sederhana, misalnya adalah sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lain.

Penyusutan Bobot Stek


Data pada Tabel 2 menunjukkan adanya interaksi yang nyata (P<0,05)
terhadap perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan pengawet.
Interaksi terjadi antara kontrol, gula dan silica gel, (Gambar 1), yang

Prosiding Semnas II HITPI Page 283


menunjukkan adanya titik perpotongan antara kontrol, gula dan silica gel pada
lama hari penyimpanan optimum (kurang lebih 13 hari).

Tabel 2. Rataan Penyusutan Bobot Stek (g) Selama Penyimpanan


Bahan Lama penyimpanan (hari)
Pengawet 3 6 9 12 15
c c b
Kontrol 2,762,18 4,240,99 6,041,34 6,360,95b 8,681,91a
Lilin 1,320,27d 3,560,50c 4,841,35c 4,320,46c 6,161,19b
Silica gel 2,280,52c 4,400,58c 6,721,91b 5,480,94c 9,562,58a
Refrigerat 0,840,55d 1,480,44d 2,800,98c 2,200,62d 2,761,32c
Gula 2,120,81c 5,481,97c 7,242,70b 6,241,51b 7,761,77a
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris menunjukkan interaksi yang berpengaruh nyata
pada (P<0,05) antara perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan
pengawet terhadap penyusutan bobot stek

12
10
Kontrol
8
Lilin
6
Silica Gel
4
Refrigerator
2
Gula
0
1 2 3 4 5

Gambar 1. Grafik Interaksi Penyusutan Bobot Stek

Rataan penyusutan bobot stek pada setiap perlakuan yang disimpan di


dalam refrigerator lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lain.
Hal ini disebabkan karena aktivitas hormon terhambat selama penyimpanan
dengan suhu dingin (4C), sehingga laju respirasi menurun. Menurut Yunarti
(2008), aktivitas tumbuh hormon semakin menurun sehingga bobot pada saat
sebelum dan sesudah penyimpanan tidak berbeda jauh.
Stek yang paling banyak mengalami penyusutan bobot adalah peyimpanan
dengan menggunakan pengawet gula dan silica gel. Beberapa stek ditumbuhi
cendawan sehingga cadangan makanan dalam stek berkurang dan bobot stek
menurun. Penyusutan bobot stek perlakuan gula dan silica gel masih lebih baik
dibandingkan dengan kontrol.

Awal Pertumbuhan Setelah Tanam


Stek dengan perlakuan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin
sudah mulai tumbuh tunas 2 hari setelah penanaman. Perlakuan dengan
menggunakan bahan pengawet lilin yang disimpan selama 12 dan 15 hari,
sebagian sudah mulai tumbuh tunas sebelum ditanam (Tabel 3).
Penyimpanan stek di dalam refrigerator memiliki pertumbuhan awal yang
relatif lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan yang lain, karena aktivitas
hormon pertumbuhan dalam stek terhambat pada suhu dingin, maka
membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan suhu normal, Menurut Salisbury
dan Ross (1992b), umumnya pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh

Prosiding Semnas II HITPI Page 284


suhu, saat tanaman berada pada suhu optimum maka tanaman tersebut dapat
tumbuh dengan baik, tetapi pada saat tanaman berada pada suhu di bawah suhu
minimun maka laju pertumbuhannya tidak baik.

Tabel 3. Awal Pertumbuhan Bahan Tanam Stek Setelah Tanam


Bahan Awal pertumbuhan setelah tanam (hari)
Pengawet 2 4 6 8 10 12 14
Kontrol + ++ +++ ++++ + + + ++ + + + ++ + + + + ++ + +
Lilin + ++ +++ ++++ + + + ++ + + + ++ + + + + ++ + +
Silica gel + ++ +++ ++++ + + + ++ + + + ++ + + + + ++ + +
Refrigerat - + ++ ++++ + + + ++ + + + ++ + + + + ++ + +
Gula + ++ +++ ++++ + + + ++ + + + ++ + + + + ++ + +
Keterangan : (-):belum ada pertubuhan, (+) : sudah terjadi pertumbuhan tunas dan semakin banyak
tanda (+) maka pertumbuhan yang terjadi semakin meningkat.

Pada perlakuan silica gel, pertumbuhan paling lambat terjadi pada


penyimpanan 12 dan 15 hari akibat kontaminasi mikroorganisme yang mengambil
cadangan makanan dalam stek. Hartman et al. (1997), menyatakan bahwa
serangan cendawan pada stek dapat langsung menurunkan daya tumbuh dan
kemampuan stek untuk bertahan hidup sehingga stek mengalami kematian.
Menurut Edi (2001), kecepatan tumbuh stek yang semakin menurun dikarenakan
cadangan karbohidrat yang diperlukan untuk energi oleh stek saat pertumbuhan
tunas semakin berkurang, baik akibat respirasi ataupun fermentasi yang dilakukan
oleh stek untuk mempertahankan jaringan maupun fermentasi yang dilakukan
oleh bakteri atau cendawan yang terdapat pada stek.
Stek dengan pengawet gula sudah terlihat pertumbuhan tunas 2 hari setelah
tanam dan tumbuh dua daun sempurna pada hari ke 6. Cadangan makanan yang
dibutuhkan selama penyimpanan masih tersedia, sehingga stek lebih cepat
tumbuh. Napitupulu (2006) menyatakan bahwa cadangan makanan yang cukup
mampu memenuhi nutrisi bahan stek agar tetap bertahan hidup dimana bahan stek
masih terlihat segar dan tahan terhadap penyakit.

Daya Tumbuh Stek


Stek yang diawetkan dengan lilin mulai tumbuh kuncup daun 2 hari setelah
penanaman, karena lapisan lilin menghambat kontaminasi mikroorganisme. Stek
yang tidak tumbuh, lebih sedikit pada penggunaan pengawet gula dibandingkan
dengan menggunakan lilin, silica gel, dan refrigerator. Cadangan makanan stek
masih tersedia sehingga daya tumbuhnya cepat. Penyimpanan dalam refrigerator,
tunas tumbuh setelah 4 hari penanaman dan daya tumbuhnya lebih lambat
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Stek membutuhkan waktu sesuai suhu
optimal untuk pertumbuhannya. Pengamatan pada keseluruhan perlakuan pada 2
minggu setelah penanaman, semua stek sudah tumbuh dengan sempurna,
Pada Tabel 4, pengawetan dan lama penyimpanan tidak memiliki interaksi
yang nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh stek. Lama simpan berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap daya tumbuh stek (3, 6, 9, 12 dan 15 hari). Penyimpanan 3, 6,
9, dan 12 hari menghasilkan daya tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penyimpanan 15 hari, karena terjadinya penurunan cadangan makanan dalam stek
yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Saputri (2012), menyatakan

Prosiding Semnas II HITPI Page 285


bahwa penyimpanan selama 3 hari tidak menimbulkan kerusakan yang berarti
sehingga daya tumbuh masih tinggi.
Penyimpanan pada suhu 4C, daya tumbuh stek setelah 15 hari adalah
paling baik dibanding pengawetan lainnya. Pertumbuhan tunas yang cepat pada 4
hari setelah tanam dan hari ke 15 sudah tumbuh dua daun sempurna. Kemampuan
tumbuh yang baik setelah disimpan pada suhu 4C juga disebabkan penyusutan
bobot yang terkecil dibanding perlakuan lainnya. Pada perlakuan silica gel, daya
tumbuh relatif lebih kecil akibat banyak ditumbuhi cendawan sehingga cadangan
makanan dalam stek berkurang. Stek dengan perlakuan lilin menunjukkan daya
tumbuh yang baik karena rata-rata daya tumbuhnya tidak jauh berbeda dengan
perlakuan penyimpanan menggunakan refrigerator, sehingga penggunaan lilin
dapat menjadi alternatif selain penggunaan refrigerator.

Tabel 4. Rataan Daya Tumbuh (%) Stek Berdasarkan Pengawetan dan Lama
Bahan Lama penyimpanan (hari)
Pengawet 3 6 9 12 15 Rata-rata
Kontrol 76 0,26 1000,00 96 0,09 920,11 760,26 880,11
Lilin 1000,00 960,09 92 0,18 960,09 840,17 940,06
Silica gel 920,11 1000,00 88 0,11 960,09 600,32 870,16
Refrigerat 1000,00 960,09 84 0,17 920,11 880,11 920,06
Gula 1000,00 1000,00 1000,00 960,09 840,09 960,07
Rataan 940,16A 980,07A 920,11A 940,06A 780,04B
Keterangan : superskrip pada baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05)

Tinggi Vertikal
Pengukuran tinggi vertikal dilakukan 15 Hari Setelah Tanam (HST).
Kemudian dihitung rata-rata tinggi vertikal tanaman untuk mengetahui bahan
pengawet mana yang memiliki kecepatan tumbuh yang lebih baik.

Tabel 5. Rataan Tinggi Vertikal (cm) pada Stek selama Penyimpanan


Bahan Lama Pengawetan (hari) Rataan
Pengawet 3 6 9 12 15
Kontrol 43,6611,09 59,629,39 54,968,04 53,3814,61 38,8 17,43 50,098,56b
Lilin 70,169,61 61,667,12 62,9419,34 70,607,86 52,5213,43 63,587,40a
Silica gel 53,164,14 64,061,48 56,929,55 60,806,00 28,7624,07 54,749,83b
Refrigerat 59,584,94 58,924,76 55,1215,68 52,825,49 45,2010,88 54,335,81b
Gula 64,36 10,36 66,902,12 63,609,47 57,748,23 50,147,41 60,556,72a
Rataan 58,1813,22A 62,237,33A 58,713,12A 59,076,45A 45,096,52B
Keterangan : superskrip pada kolom dan baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pengawetan dan lama penyimpanan


tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Namun lama penyimpanan dan penggunaan
bahan pengawet berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan tinggi vertikal.
Rataan tinggi vertikal pada lama penyimpanan 15 hari lebih rendah dibandingkan
dengan lama penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari. Maka semakin lama penyimpanan,
tinggi vertikal akan mengalami penurunan. Pengawetan dengan menggunakan
refrigerator suhu 4C memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi vertikal yang lebih
rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lainnya, hal ini disebabkan
karena pada saat pengambilan data tinggi vertikal stek masih dalam tahap adaptasi
terhadap lingkungan tempat penanaman stek setelah mengalami dormansi

Prosiding Semnas II HITPI Page 286


KESIMPULAN

Perlakuan pengawetan dengan menggunakan gula, silica gel, lilin dan


refrigerator dapat meningkatkan daya simpan dan pertumbuhan bahan tanam stek
rumput gajah selama penyimpanan hingga 15 hari. Pengawetan yang paling baik
adalah penyimpanan di dalam refrigerator dengan suhu 4C.

DAFTAR PUSTAKA

Agribisnis Deptan. 2008. Pengawetan Bunga Potong.


http://www.agribisnis.deptan.go.id. [9 Maret 2011].
Edi, A. 2001. Perbandingan Daya Tumbuh dan Kesempurnaan Tumbuh Stek
Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach) yang Disimpan
Dengan Metode Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Hartman, H. T & D. E. Kester. 1997. Plant Propagation Principles and Practices.
5rd. Prentice Hill.New York.
Meilawati, N. L. M. 2008. Pengaruh bahan stek dan konsentrasi zat pengatur
tumbuh hormonik terhadap keberhasilan stek Sansevieria trifasciata Tiger
Stripe. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Napitupulu, R. M. 2006. Pengaruh bahan stek dan dosis zat pengatur tumbuh
rootone-F terhadap keberhasilan stek Euphorbia milii. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rochman, K. dan S.S. Haryadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Diktat. Departemen
Agronomi IPB, Bogor.
Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992a. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Terjemahan D.
R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Institut Teknologi Bandung (ITB)-Perss,
Bandung.
Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992b. Fisiologi Tumbuhan jilid 3. Terjemahan D.
R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Institut Teknologi Bandung (ITB) -Press,
Bandung.
Saputri, E. L. 2012. Uji pengawetan terhadap daya simpan bahan tanam stek
rumput meksiko (Euchlaena mexicana Schrad). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suhaidi, I. 2008. Pelapisan Lilin Lebah untuk Mempertahankan Mutu Buah
Selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian Rekayasa. 1 (1): 47-50.
Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Raja Garfindo. Jakarta.
Suwijah. 2011. Pengaruh kadar gula, vitamin C dan kadar serat dari sari buah
markisa ungu (Passiflora edulis var eduls) pada pembuatan nata de coco
dengan menggunakan Acetobacter xylinum. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Thalib, A & Y. Widiawati. 2010. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Daya
Inhibitor Metanogenesis Sediaan Cair Kultur Bakteri Acetoanaerobium
noterae dan Acetobacterium woodii. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Buku I: 880-886.
Yunarti, R. A. 2008. Pengaruh suhu pemeraman dan konsentrasi etilen terhadap
mutu buah sawo (Achras Zapota L.) varietas sukatali ST 1. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prosiding Semnas II HITPI Page 287


ANALYSIS AND EXPRESSION OF AL-TOLERANT GENES
FROM SOYBEAN [Glycine max (L.) Merryl] ON FORAGE CROPS AND
Escherichia coli

S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati


Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University
Email: syaifulanwar06@yahoo.com, syaifulanwar2011@gmail.co m

ABSTRACT

In order to analyze and to study expressions of the Al-tolerant genes, we


have examined five clone genes that were isolated from soybean cv. Lumut.
Soybean cv. Lumut and Slamet, Centrocema pubescens, Pennisetum purpureum
and Escherichia coli were selected for futher analysis. Based on the DNA
sequencing, searching enzyme restriction sites and searching DNA homology with
the genebank database; the clones encoding: (1) Catalase (gmali12, that function
as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/PCNALP
(gmali15, that involved as one of transcriptional regulator in the eucaryotic cell
cycle), (3) Growth hormone (gmali22, this gene may play a role on stimulation of
cell growth/development), (4) Amine oxidase (gmAO, genebank accession
number AF313622, a gene that function as amine oxidation and/or antioxidant),
and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP, genebank accession number AF091304, a
serine protease gene). Expressions of the clone genes either on forage crops or
Escherichia coli indicated that all of the clones are basic genes, but its expression
increased with aluminium induction (Al-induced genes) and involved in
detoxification to Al stress. From this research, we also found similar responses
between oxidative stress and Al stress to gene responses.
Keywords: Analysis, Expression, Al-Tolerant Genes, Soybean, Forage, E. coli

INTRODUCTION

Aluminum (Al) is regarded as one of the main toxic factors which exist in
most acidic soil in Indonesia (Notohadiprawiro, 1983), even of the world,
comprising 1x109 hectares in the tropical and cool temperature regions (Van
Wambeke, 1976) or approximately 8% by Weight (Moller et al., 1984). Most Al
in soil is insoluble, associated with complex aluminosilicates and oxides.
However, under acidic soil condition (pH < 5) Al is converted from insoluble
forms into soluble Al +3 (Marschner, 1991; Driscoll and Schecher, 1990; and
Kinraide, 1991), which block growth of plant roots (Rajaram and Villegus, 1990;
Kinraide and Ryan, 1991; Foy et al., 1978; Wagatsuma et al., 1987; and Taylor,
1991). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits
plant growth, particularly in the tropical regions.
Approximately 40% of the worlds arable soils are too acid, and Indonesia
has over 47,6 millions hectares. A problem that is becoming increasingly severe,
because of the use of nitrogenous fertilizer, industrial pollution and acid rain (Van
breeman, 1985). Eventhough, normal rainfall can also cause acidification of soils
by promoting the leaching of basic cations such as Ca+2 , Mg+2 , K + and Na+ (Foy,
1984). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits
plant growth, particularly in the tropical regions (Kochian, 1995; Taylor, 1995;

Prosiding Semnas II HITPI Page 288


Matsumoto, 2000).
Identifying genetic resistance to aluminium toxicity would be a valuable
contribution toward the development of tolerant crops in the tropical areas,
especially in Indonesia. In these low pH aluminosilicate soils, the susceptibility
of field crops to aluminium toxicity leads to the inhibition of root growth into the
lower soil horison. Aluminium saturates the charged sites of the soil particle and,
along with the restriction of root growth, acts to impede cation exchange with
subsoil elements (Ca+2 , K +, and Mg+2 ), which are critical for normal plant
development. Determining the molecular basis of tolerance to increase levels of
aluminium in certain crops (such as soybean) poses a significant challenge.
Soybean is one of important crops in Indonesia. Its specific material for
Indonesian tradisional food such as tempe, tofu, sauce and soybean milk have
brought the soybean to an important position in Indonesian nutrition. Demand for
soybean is increasing with the increase on protein need due to improvement
program on Indonesian nutrition. The development of animal husbandry in
Indonesia have also increased the demand of this crop. Unfortunately, the
increase in demand for soybean can not be responded by the sufficient increase in
production of this crop. This research was conducted to support soybean breeding
programs by molecular approach. Considering the importance of molecular
information on soybean tolerance to Al, we proposed the research on molecular
biology of soybean tolerance to al stress as follow-through from previous
research, by two approach: (1) Analysis of the Al-tolerant and (2) Study of
expression of the cloned genes. The genes also have been evaluated to forage
crop by northern/slot blot hybridization (heterologous approach) and E. coli.

RESEARCH METHOD

The research consist of two programs: Research I (Analysis of Al-tolerant


genes) and Research II (Study expression of Al-tolerant genes).
Research 1. There are 3 steps in this program: (a) Analysis of clone genes
by nucleotide sequencing, (b) Analysis of clone genes by searching restriction
enzyme sites and (c) Analysis of clone genes by searching homology with
GeneBank database.
DNA synthesis for chain-termination sequencing is carried out two steps.
In the first, the primed strand of DNA is extended and at the same time labelled
by the incorporation of dye-nucleotide. . In the second step, dideoxynucleotides
are added to the population of labelled DNA molecules (ranging in length from a
few to many hundreds of nucleotides) and synthesis continues until a ddNTP is
incorporated, thus terminating the chains.
Analysis of clone genes by nucleotide sequencing was started with
cDNAs cloned from our previous study that is not analyzed yet (Anwar, 1999).
Plasmid cDNAs cloned are prepared using the alkaline lysis method (Sambrook et
al., 1989). The selected cDNA clones was sequenced by dideoxynucleotide
chain-termination method (Sanger et al., 1977).
Analysis of clone genes by searching restriction enzyme sites using the
amino acid and restriction enzyme sites software that have been developed by
DCRG-team database, which provided information about analysis of DNA

Prosiding Semnas II HITPI Page 289


especially for searching of restriction enzyme sites, start and stop codon, amino
acid sequence, including number of ATGC and amino acid.
Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database.
The resulted cDNA sequences are then compared to the existing genes sequences
in Genebank. First, we access to the NCBI (National Center for Biotechnology
Information) website (http://www.ncbi.nlm.nih.gov), and then select GeneBank
database for searching similarity/homology sites for nucleotide sequence (BLAST
program/BLAST web). Finally, follow instruction provided in the web electronic
guide till resulted kinds of the genes.
In Research II, expression of the cloned genes have been studied by (a)
using mRNA analysis by northern/slot blot hybridization method both on soybean
and forage crop and (b) Escherichia colis exposed to Al toxic level. There are 4
steps for analysis of transcript level/mRNA analysis i.e: (a) Planting material, (b)
total RNA Isolation, (c) probe preparation and (d) northern/slot blot hybridization.
Planting material was planted described by Anwar (1999). Total RNA was
isolated from the root tips ( 5 mm) and/or leaf of soybean and forage crop
treated and untreated with Al+3 , using phenol/SDS method (Ausabel et al., 1987).
Northern/Slot Blot Hybridization. Total RNA (10-15 g) samples was
denatured with glyoxal and DMSO, and followed incubation in 65 o C for 15
minutes. Then, the RNA was transferred to Hybond-N+ membranes (Amersham)
by Slot-Hybridization (prior to use, the slot must be cleaned with 0.1 N NaOH and
washed by steril water- DEPC treated). Probes was prepared from cDNA inserts
isolated from agarose gels and labelled by non radioactive system (ECL-system).
Hybridization was performed as described in Virca et al. (1990). The filter was
washed twice with 2xSSC+0.4%SDS for 10 min at 42 o C, and twice with 2xSSC
for 5 min at room temperature. Filter was stripped by immersion in warm (60 o C)
0.1% SDS and reprobed up to three times as described by Sambrook et al. (1989).
For Expression of clone genes by identifying tolerant-genes with its
expression on Escherichia coli to Al toxic level was implemented by addition of
Al toxic level on LB (Luria Bertani) culture (2% bactotryptone, 0.5% yeast
extract, 10 mM NaCl and 1% bactoagar. First of all, to set up assay for Al stress,
E. coli and E. coli containing vector was cultured in LB with various Al treatment
(0-500 ppm). Assay for Al-toxic level based on the reduction of E. colis growth
on media at least 75% from control (without Al). Secondly, all of the clones was
cultured at LB plate with addition of Al-toxic level based on previous study for 2
days. The clones that involved to Al tolerance was indicated by E. coli (contained
the clones) growing well in the selected media.

RESULTS AND DISCUSSIONS

Analysis of Al-tolerant Genes


There are five clones that are already analyzed (cDNA isolation and
sequencing, searching enzyme restriction sites and searching homology with
GeneBank database) as shown on Table 1 and Figure 1-5. Based on the searching
homology with the genebank database, the clones encode: (1) Catalase (gmali12,
that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like
protein/PCNALP (gmali15, that involves as one of transcriptional regulator in the
eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22), (4) Amine oxidase (gmAO,

Prosiding Semnas II HITPI Page 290


genebank accession number AF313622), and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP,
genebank accession number AF091304).

Table 1. Characteristics of clones


No. Clones Characteristics
1. gmali12 Nucleotide length=252 bp; Amino acid=84 aa; Encode=Catalase (CAT)
2. gmali15 Nucleotide length=254 bp; Amino acid=84 aa; Encode=PCNALP
3. gmali22 Nucleotide length=247 bp; Amino acid=65 aa; Encode= Growth Hormon (GH)
4. gmAO Nucleotide length=830 bp; Amino acid=250 aa; Encode= Amine Oxidase (AO)
5. gmAP Nucleotide length=657 bp; Amino acid=202 aa; Encode=Aminoacyl Peptidase (AP)
Notes : gmali12 = Glycine max aluminium induced number 12; gmali15 = Glycine max aluminium induced number 15
gmali22 = Glycine max aluminium induced number 22; gmAO = Glycine max Amine Oxidase
gmAP = Glycine max Aminoacyl Peptidase

1 tggataatgaatttccacatactgacactgagtattagggttaatatgtggaaattcatt 60
61 atccaaaaacaactcaaacttgattcccatgcaagttatatgtctttgtttgatagtttt 120
121 cttttttcttattttttttatgtgttatatttacagatgggtatatgttctttgtttcat 160
161 tttttaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcgat 240
241 ctaaaactagtc 252

Figure 1. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of


The gmali12 Clone. Amino acid residues are shown in the single- letter codes
(coding : Catalase)
1 tgattatccattgtgttgatgttcacatagtctcatacaagcataacagtttaatatggg 60
61 tgatcagttgttcccatagtctcatacaagcatatcagtttaatatgggtgatcactgtt 120
121 acgaacacaaagcaaacaatcctagatgtggacagatacacacaactgattatccattgt 180
181 gttgttgttccaacatatatttttatgacaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcg 240
241 atctagaactagtc 254

Figure 2. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of


The gmali15 Clone. Amino acid residues are shown
in the single- letter codes (coding : PCNALP)

1 tgagcagaaaaggcatttatatatattacataacttatataagtgatttctatgtcttga 60
61 ttatttggtaccttacatcatccccaaatgcaggcaaaattttgaatagcctaaaaaagc 120
121 gtgatgcctatgtatgtcttaatcacatgaataatcatcatcccaaaaatgagaatcaaa 180
181 agaaggaaattagatgaaaagaaaacatgtaatgctacaaaatgaagttgttttacttta 240
241 CTGCTTC 247

Figure 3. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of


The gmali22 Clone. Amino acid residues are shown
in the single- letter codes (coding : Growth Hormone)

1 gcaagaatggcacttcgttgaatggcagaagtggaattttcgtattggattcactcctag 60
61 ggagggtttggtaattcattcagtagcctatattgatggaagtcggggacgaagacctgt 120
121 ggcccatagattgagctttgttgagatggtagtcccgtatggagatcctaatgatcctca 180
181 ctataggaaaaatgcttttgacgctggggaagatggcctgggtaaaaatgctcattctct 240
241 caagaagggctgcgattgtttaggctatatcaaatactttgatgcgcacttcacaaactt 300
301 ctatggaggtgttgaaacaattgagaactgtgtttgtttgcatggagaagatcatggtat 360
361 tttatggaagcatcaagattggagaacaggattggctgaagttcgaaggtctagaaggct 420

Prosiding Semnas II HITPI Page 291


421 gacagtgtctttatatgcactgtggctaactatgagtatggatttttctggcacttttat 480
481 caggatggaaaaatagaagcagagatcaagctcacaggaattctcagcttaggatcactt 540
541 caaccaggtgaactcgaaaatatggcacaaccattgcacctggactatatgcgcctgtcc 600
601 accaacattttttgttgctcgtatggacatggcagtaaattgcaagcctggtgaaacatt 660
661 taatcaggttgttgaaggtgaatgtcaaaattgaaaaaccagaaacaataatgttcctaa 720
721 caatgcattttatgctgaaaaaaaaactgcttaaatcaaaaatggaagcaatgccttgat 780
781 tgtgacctttatctgcccctccctgggattgtttggaaccctaggacttt 830

Figure 4. Nucleotide sequence of the gmAO (Glycine max Amine Oxidase)


Clone.

1 atggcagctactcaggaagatgtgtactctgatcccggttctcctatgatgcggagaact 60
61 caagctgggacatacattattgccaggataaagaaggaaagtgatgaaggaagatatatt 120
121 tatactgaatggaaatggtgctacaccagaaggaaacattccattccttgatctgtttga 180
181 cataaatacaggtaaaaaaatggaacgaatctgggagagcgataaggagaagtattatga 240
241 gactgttgttgctctaatgtctgatcaagaagaaggggatttgtatttagataaactgaa 300
301 gaagatactgacttctaaagagtcaaaaactgaaaacacccaatactactttgttagctg 360
361 ggccagataaaaacatagttcaggttacaaatttccctcatccataccctcagcttgcat 420
421 ccattgcagaaagagatgatcagatatgaaagaaaagacggggttcaacttactgctaca 480
481 ttatacctaccaccaggttacaatccatcaacagatggccctttgccatgcctggtttgg 540
541 tcttacccaggagaatttaagaacaaagatgctgctggacaagttcgtggtctccaaatg 600
601 aatttgtaggctccacatcttcctgagtagctgccatcgcccgaaacttcattcgtt 657

Figure 5. Nucleotide sequence of the gmAP (Glycine max Aminoacyl


Peptidase) Clone.

Expression of Al-tolerant Genes


Plants show spesific responses to many kinds of stress (biotic and abiotic)
including aluminium stress. Genes response to Al stress will be reflected by
increasing transcription (production mRNA) level of one or more genes. The
molecular basis of these responses has not been completely worked out but there
are clear examples of the expressions of many induced genes by aluminium stress.
Based on slot blot analysis (Figure 6), all of the genes are basic genes
(appear at all of control media/media pH 6.0 without Al) , but its expression
increased with Al stress (media pH 4.0 with Al stress). Clone gmali12 is coding
catalase which involved as antioxidant. This result indicated that genes response
to Al stress is similar with oxidation stress responses. This novel information is
useful for genetic engineering. Similar result from the genes are expressed on
Escherichia coli.

Prosiding Semnas II HITPI Page 292


Glycine max cv. Lumut Glycine max cv. S lamet Centrosema pubescens Pennisetum purpureum
a b c d a b c d a b c d a b c d

gmali12

(% )
25 30 34 35 25 29 30 33 25 27 31 26 25 28 30 26

gmali15

(% )
22 23 26 30 25 25 31 35 20 28 30 34 25 30 32 33

gmali22

(% )
30 36 50 34 32 30 35 48 18 20 22 25 30 30 35 35

GmAO

(% )
25 30 35 40 20 20 22 35 0 0 0 0 20 20 24 25

GmAP

(% )
20 22 24 27 22 20 25 27 42 42 47 48 15 15 15 20
Notes : a = media pH 6.00 without Al; b = media pH 4.0 without Al
c = media pH 4.0 with 0.8 mM Al d = media pH 4.0 with 1.6 mM Al

Figure 6. Slot blot hybridization of clone genes on Glycine max,


Centrocema pubescens and Pennisetum purpureum

Assay for Al-toxic level on Escherichia coli, based on the reduction of E.


colis growth on media at least 75% from control (without Al). We found that
300 ppm Al is a critical assay for E. coli, and used it for study of expression of Al-
tolerant genes on Escherichia coli. The result of research is listed on Table 2-3
and Figure 7.

Table 2. Optical density value (OD550 ) of growth of E. coli in Luria


Clone T ime of Stress (h)
0 2 8 24 48
gmali12: B+none 0 0 0 0 0
B+VnR 0 0 0.115 0.247 0.225
B+VR 0 0.157 0.388 0.748 1.166
gmali15: B+none 0 0 0 0 0
B+VnR 0 0 0.115 0.247 0.225
B+VR 0 0.125 0.315 0.685 1.225
gmali22: B+none 0 0 0 0 0
B+VnR 0 0 0.115 0.247 0.225
B+VR 0 0.095 0.250 0.595 1.247
gmAO : B+none 0 0 0 0 0
B+VnR 0 0 0.088 0.282 0.200
B+VR 0 0.210 0.517 1.025 1.825
gmAP B+none 0 0 0 0 0
B+VnR 0 0 0.088 0.282 0.200
B+VR 0 0.144 0.414 0.661 0.934
Notes : B+none = DH10B E.coli; B+VnR = DH10B E.coli withVector/plasmid insite;
B+VR = DH10B E.coli with Vector Recombiant

Prosiding Semnas II HITPI Page 293


Table 3. Growth of E. coli in Luria Bertani agar media with 300 ppm Al for 24 h
Clones
Stress gmali12 gmali15 gmali22 gmAO gmAP
a b c a b c a b c a b c a b c

-Al: 125 130 120 125 130 135 125 130 120 87 110 126 87 110 106
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

+Al: 0 20 91 0 20 110 0 20 104 0 21 110 0 21 83


% 0 15 76 0 15 80 0 15 87 0 19 87 0 19 78
Notes : a = B+none = DH10B E.coli; b = B+VnR = DH10B E.coli withVector/plasmid insite;
c = B+VR = DH10B E.coli with Vector Recombiant

CONCLUSIONS

From this research, we concluded that nucleotide and sequencing of Al-


tolerant genes are coding: (1) Catalase (gmali12, that function as an antioxidant),
(2) Proliferating cell nuclear antigen like protein (gmali15, that involved as one of
tanscriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone
(gmali22), (4) Amine oxidase (gmAO, genebank accession number AF313622),
and (5) Aminoacyl peptidase (gmAP, genebank accession number AF091304)
Expression of Al-tolerant genes (gmali12, gmali15, gmali22, gmAO, and
gmAP) either on plant or Escherichia coli, indicated that all of the clones are
genes response to Al-induction and involved in detoxification to Al-stress.

ACKNOWLEDMENT

We appreciated and thanks to DGHE for sponsorship and for all of


members of Forage Science Laboratory Faculty of Animal Agriculture
Diponegoro University and PAU Bioteknologi IPB Bogor.

REFERENCES

Anwar, S. 1999. Cloning of Aluminium Induced Genes in Soybean [Glycine


max(L.) Merryl]. Dissertation PhD Program, IPB Bogor.
Anwar, S., Karno, F. Kusmiyati, M. Jusuf and Suharsono. 2000. Glycine max
Amine Oxidase (gmAO), mRNA sequence. GeneBank database, NCBI,
Access No.AF313622.
Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D.D. Moore, T.G. Seidman, J.A. Smith
and K. Struhl. 1987. Current Protocols In Molecular Biology. John
Wiley and Sons, New York.
Delhaize, E., P.R. Ryan and P.J. Randall. 1993. Aluminum tolerance in wheat
(Triticum aestivum L.). II. Aluminum stimulated excretion of maliec acid
from root apies. Plant Physiol. 103:695-702.
Driscoll, C.T. and W.D. Schecher. 1990. The chemistry of aluminum in the
environment. Environ. Geochem. Health 12:28-49.
Foy, C.D., R.L. Chaney and Mc. White. 1978. The physiology of metal toxicity
in plant. Annu. Rev. Plant Physiol. 29:511-566.
Foy, C.D. 1984. Physiological effects of hydrogen, aluminum, and manganese

Prosiding Semnas II HITPI Page 294


toxicity in acid soil. Agronomy Monograph 12:57-97.
Grierson, D. and S. Covey. 1985. Plant Molecular Biology. Blackie Publ., USA
New York.176p.
Jusuf, M., Suharsono, and D. Sopandie. 1998. Molecular biology of soybean
tolerance to aluminium stress. HTTP report Batch II. Jakarta.
Kinraide, T.B. 1991. Identity of the rhizotoxic aluminum species. Plant soil.
134:167-178.
Kinraide, T.B and P.R. Ryan. 1991. Cell surface change may observe the
identity of the rhizotoxic aluminum species. In D.D. Randall, D.G.
Blevins and C.D. Lies, ed., Current Topics in Plant Biochemistry and
Physiology. Univ. of Missouri, Columbia, pp. 94-106.
Kochian, L.V. 1995. Cellular mechanisms of aluminium toxicity and resistant in
plants. Ann.Rev.Plant.Physiol.Plnat Mol.Biol.46:237-260.
Marshner. 1991. Mechanism of adaptation of plants to acid soils. Plant Soil
134:1-20.
Matsumoto, H. 2000. Cell biology of aluminium tolerance and toxicity in higher
plants. Int.Rev.Cytol. (in press).
Moller T., J.C. Bailar, J. Kleinberg, C.O. Guss, M.E. Castellion, and C. Motz.
1984. Chemistry with Inorganic Qualitative Analysis. Acad Press, Inc.
Orlando.
Notohadiprawiro, T. 1983. Persoalan Tanah Masam Dalam Pembangunan
Pertanian Indoonesia. Bull Faperta UGM. 18:44-47.
Rajaram, S. and E. Villegas. 1990. Breeding wheat (Triticum aestivum) for
aluminum toxicity tolerance at CIMMYT. P. 489-495. In N.E. Bassam et
al (eds). Genetic aspexcts of plant mineral nutrition. Kluwer Acad. Publ.,
Dordrecht, the Netherlands.
Rhue, R.D., G.O. Grugan, E.W. Stockmeyer, and H.L. Everett. 1978. Genetic
control of aluminum tolerance in corn. Crop Sci. 18:1063-1067.
Sambrook J, E.F. Fritsch and T. Mamatis 1989. Molecular Cloning : A
laboratory Manual. Cold Spring Harbor laboratory Press, New York.
Sanger, F., S.Nicklen and A.R. Coulson. 1977. DNA sequencing with chain-
termination inhibitors. Proc.Natl.Acad. USA 74:5463-5467.
Taylor G.J. 1991. Current views of the aluminum stress respons : the
physiological bases of tolerance. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D.
Miles, eds., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology.
University of Missouri, Columbia, pp. 57-93.
Van Breemen N. 1985. Acidification and decline of Central European Forest.
Nature : 316 : 16.
Van Wambeke A. 1976. Formation, distribution and consequence of acid soils in
agriculture development. In M.J. wright and S.A. Ferrari, eds. Plant
adaptation to mineral stress in problem soils. Spec. Publ. Cornell Univ.
Agric. Exp. Stn. Ithaca, New York. Pp. 15-24.
Wagatsuma T., M. Kaneko and Y. Hayasaka. 1987. Destruction process of plant
root cells by aluminum. Soil Sci. Plant Nutr. 33 : 161-175.

Prosiding Semnas II HITPI Page 295


EVALUASI PRODUKTIVITAS TANAMAN KERANDANG (Canavalia
virosa) SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN TERNAK PADA LAHAN
PANTAI

Sajimin dan B.R. Prawiradiputra


Balai Penelitian Ternak P.O.Box 221 Bogor 16002

ABSTRAK

Tanaman kerandang (Canavalia virosa) adalah jenis leguminosa yang


banyak tumbuh dilahan salin (pantai). Indonesia merupakan negara kepulauan
yang memiliki garis pantai yang panjang dan berpotensi apabila dikelola dengan
baik seperti untuk penyediaan pakan ternak. Memelihara ternak merupakan
alternatif diversifikasi usaha untuk meningkatkan taraf hidup nelayan pada saat
tidak melaut. Tujuan penelitian untuk mengetahui produktivitas hijauan tanaman
kerandang pada berbagai media tanah. Rancangan percobaan adalah split plot
pola faktorial dengan faktor utama media tanam dan dosis pupuk limbah kopi.
Perlakuan yang diuji adalah tanah, pasir kali dan pasir pantai, media tersebut
diberi pupuk dengan dosis 0%, 5%, 10%, dan 15% yang diulang tiga kali.
Parameter yang diamati produktivitas hijauan setiap 60 hari, pertumbuhan
tanaman setiap minggu setelah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produktivitas hijauan berat kering tertinggi pada media pasir kali 25,9 gram per
panen pada dosis pemupukan 15%, kemudian diikuti pada media tanah 18,8
gram/tanaman/panen pada dosis 10%. Produksi terendah pada media pasir pantai
16,6 gram/tanaman/panen pada dosis 5%. Rataan produksi hijauan yang diberikan
pupuk dibandingkan dengan perlakuan kontrol (0%) meningkatkan produksi
92,99%. Produksi hijauan tiap panen terjadi penurunan setelah pemotongan ke
empat, sedangkan pada media pasir pantai pada awal produksi hijauan tertinggi
kemudian panen berikutnya menunurun sampai panen ke lima. Hasil penelitian
ini disimpulkan bahwa tanaman kerandang dapat ditingkatkan produktivitasnya
dengan pemberian pupuk organik dan setelah empat kali pemanenan perlu
pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil stabil.
Kata kunci : canavalia virosa, produksi hijauan, pupuk limbah kopi.

PENDAHULUAN

Porsi utama pakan ternak ruminansia adalah dari hijauan pakan yang
mencapai 80% dari pakan yang dikonsusmsi sebagai sumber serat. Namun pakan
utama tersebut pada musim kemarau selalu terjadi masalah kekurangan. Hal ini ini
disebabkan pengembangan tanaman pakan pada umumnya dilahan-lahan marginal
(kurang subur) atau sub-optimal.
Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi
sangat penting seperti tanah salin (pesisir). Ekstensifikasi tanah salin mempunyai
potensi yang besar karena Indonesia merupakan negara pulau yang mempunyai
garis pantai yang panjang dengan didominasi lahan salin. Menurut Suhardi (2008)
lahan pasir di Indonesia 181000 km yang berada disepanjang pantai dan belum
dimanfaatkan.
Pengembangan tanaman pakan ternak pada lahan marginal di pesisir yang
mengandung kadar garam (salinitas) tinggi diperlukan upaya perbaikan lahan

Prosiding Semnas II HITPI Page 296


terlebih dulu agar tanaman mampu tumbuh dan berproduksi. Salinitas
mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui keracunan akibat
penyerapan unsur garam berlebihan seperti natrium yang mengakibatkan
penurunan penyerapan unsur penting bagi tanaman (Purbayanti et al., 2010).
Tanaman kerandang (Canavalia virosa Roxb) adalah termasuk keluarga
Leguminosa dan merupakan tanaman perenial yang tumbuh baik di daerah pantai
dengan perbanyakan taanaman dengan biji atau stek. Pemanfaatan biji kerandang
dilakukan sebagai bahan pakan untuk menggantikan kedelai. Menurut Djaafar et
al. (2011) biji kerandang mengandung protein 31,3%, lemak 4,8%, abu 3,8% dan
asam amino seperti isoleusine, histidine, cystine, methionin, dan threonine. Biji
kerandang telah diolah menjadi tempe, tahu dan minuman fermentasi. Namun
mengandung HCN tinggi sehingga apabila digunakan sebagai bahan pangan perlu
proses pengolahan yang benar untuk menurunkan kandungan HCN. Menurut
Winarti et al. (2009) produktivitas kerandang biji 909,07 kg/ha, kulit biji 290,99
kg/ha, kulit polong 809,94 kg/ha dan daun serta batang 3100 kg/ha/panen
Kerandang termasuk tanaman kacang-kacangan tropis tahunan yang
merambat, berdaun tiga dengan bunga warna pink. Panjang bunga kerandang 3
cm, ukuran polong 17 cm 3 cm, warna biji coklat atau coklat kemerahan dengan
marble warna hitam (PROSEA, 1992). Tanaman tersebut mampu tumbuh cepat
di lahan pasir dan merupakan tanaman penutup lahan yang bagus untuk lahan
pasir yang kering. Saat ini tanaman kerandang tumbuh sebagai tanaman liar, yang
mampu hidup dan berproduksi tanpa adanya campur tangan manusia. Disamping
itu, kerandang juga mampu mengikat nitrogen dari udara sehingga berpotensi
untuk memperbaiki kesuburan lahan.
Pengembangan tanaman kerandang sebagai pakan ternak didaerah pantai
merupakan sumber hijauan yang dapat digunakan oleh nelayan terutama pada saat
tidak melaut. Penelitian ini bertujuan mempelajari produktivitas hiajauan dengan
pemotongan teratur dan pertumbuhan tanaman dengan penambahan pupuk
organik serta kualitas hijauan.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balitnak Bogor pada tahun 2011 -


2012. Penelitian merupakan percobaan pot menggunakan media tanah, pasir kali,
dan pasir pantai. Tanaman pakan yang digunakan kerandang (Canavalia virosa
Roxb (W&A). Percobaan disusun dengan rancangan split plot dengan dua
faktorial yaitu media tanam dan dosis pupuk dengan 3 kali ulangan. Faktor
pertama media tanam tanaman dan faktor kedua dosis pupuk organik 0%, 5%,
10% dan 15% dari berat tanah.
Tahap persiapan dilakukan penyiapan media yang diisikan dalam pot
berisi tanah kering 7 kg. Kompos limbah kopi yang digunakan mengandung bahan
organik C/N rasio 2,77%, P2 O5 4,25%, N 4,90%. Sedangkan media tanam
masing-masing tanah kandungan P 7,34%, K 8,32%, Mo 3,34% dan C/N rasio 7.
Media pasir kali kandungan P 8,69%, K 9,20%, Mo 2,53% dan C/N 8. Media
pasir pantai kandungan P 6,41%, K 7,12%, Mo 4,21% dan C/N 7.
Pemberian pupuk dilakukan saat pengisian pot dicampur merata sesuai
dengan perlakuan dan diinkubasikan selama satu bulan dan tiap tanaman
menerima N 17,15 g (dosis 5%), 34,3 g (dosis 10%), dan 51,45 g (dosis 15%).

Prosiding Semnas II HITPI Page 297


Tanaman setelah tumbuh merata umur 3 bulan dilakukan penyeragaman
(dipangkas) kemudian dipotong setiap 60 hari.
Peubah yang diamati meliputi laju pertumbuhan setiap 1 minggu (jumlah
tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Produksi hijauan segar dan kering setiap 2
bulan dan pada panen ke 4 (akhir) kegiatan diambil contoh hijauan komposit
untuk analisa protein kasar, serat kasar, Calsium dan Fosphor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju pertumbuhan tanaman


Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman kerandang pada media yang
berbeda memberikan respon pertumbuhan yang berbeda. Secara umum pada
media pasir kali rata-rata pertumbuhannya tertinggi dengan pemberian pupuk
limbah kopi, kemudian diikuti pada media pasir pantai dan terendah pada media
tanah (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang


Media Dosis pupuk Panjang tunas Jumlah daun Jumlah cabang
percobaan (%) (cm) (helai) (buah)
Tanah 0 351,7 b 154,7 b 19,0 a
5 346,0 b 196,1 b 28,3 a
10 509,0 a 237,7 b 30,3 a
15 357,3 b 214,3 b 27,3 a
Pasir kali 0 257,7 b 144,0 b 29,3 a
5 604,7 a 293,3 b 37,0 a
10 640 a 327,3 a 37,7 a
15 544,7 a 305,7 a 36,3 a
Pasir pantai 0 194,7 b 181,7 b 31,0 a
5 326,7 a 226,3 a 30,3 a
10 502,3 262,3 a 37,0 a
15 435,3 315,3 a 44,3 a
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata (P<0,05).

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jika dibandingkan perlakuan dosis


pupuk yang diberikan 5%, 10% dan 15% tinggi tanaman tidak beda nyata
(P<0,05) pada media tanah baik pada jumlah daun maupun cabang. Sedangkan
pada media pasir kali dan pasir pantai pemberian pupuk organik menunjukkan
lebih tinggi. Namun jika dibandingkan dengan kontrol ada penbedaannya nyata
lebih tinggi dan. Jumlah daun lebih banyak. Hal ini nampaknya pupuk yang
diberikan memberikan pengaruh pada pertumbuhan yang lebih cepat dengan
jumlah cabang dan daun lebih banyak dari perlakuan kontrol. Keadaan ini
mengindikasikan tanaman yang meiliki daun lebih banyak merupakan sumber
hijauan pakan yang baik. Keadaan ini juga terlihat pada hasil pengamatan
pertumbuhan setiap minggu (Gambar 1).

Prosiding Semnas II HITPI Page 298


A. Gambar pertumbuhan tanaman pada media tanah

B. Gambar pertumbuhan tanaman pada lahan pasir kali

C. Gambar pertumbuhan pada media pasir pantai

Gambar 1. Pertumbuhan tanaman pada berbagai media tumbuh

Pada Gambar 1 terlihat bahwa dari pengukuran tinggi tanaman dari

Prosiding Semnas II HITPI Page 299


minggu pertama sampai minggu ke 7 (sebelum panen) menunjukkan kenaikan
yang cukup signifikan kecuali yang kontrol pertumbuhannya tetap bertambah
walaupun tidak setinggi yang dengan perlakuan pupuk.
Sedangkan pada media tanah nampaknya perlakuan kontrol
pertumbuhannya tidak banyak berbeda banyak dengan perlakuan pemberian
pupuk. Hal ini diduga tanaman kerandang yang termasuk jenis legum mampu
mengikat nitrogen dari udara yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya
sehingga dapat tumbuh baik pada media tanah dari pada media lainnya. Peran
pupuk kandang sebagai sumber organik tanah dan unsur hara yang dibutuhkan
oleh tanaman terlihat nyata meningkatkan laju pertumbuhan. Penggunaan pupuk
organik menurut Purbayanti (2011) untuk tanah salin memberikan perbaikan sifat
kimia tanah yaitu penurunan salinitas dan perbaikan ketersediaan unsur hara.
Bertambahnya unsur hara dari pupuk yang diberikan pada media menunjukkan
peningkatan pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan.
Kemudian Burhanudin dan Nurmansyah (2010) juga melaporkan pupuk organik
berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dalam menunjang pertumbuhan
tanaman. Karena dalam pemberian pupuk organik terjadi proses dekomposisi
seperti yang dikemukakan Barber (1984) bahwa adanya proses dekomposisi dan
mineralisasi pupuk organik menghasilkan sejumlah hara dengan bantuan peran
mikro organisme tanah. Unsur-unsur hara seperti Ca, Mg, dan K menjadi bentuk
tersedia yang dapat diserap oleh tanaman untuk mendukung pertumbuhannya
seperti menambah tinggi, pertambahan cabang, dan tajuk tanaman. Selain itu
pupuk organik juga berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dan pertumbuhan
tanaman karena hara tetap tersedia. Hal senada juga dikemukakan oleh Baver
(1975) bahwa pupuk organik berpengaruh baik terhadap kondisi tanah dalam
menunjang pertumbuhan tanaman.
Pemberian pupuk organik pada penelitian ini dapat meningkatkan
ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman kerandang, sehingga dapat
memacu pertumbuhan tanaman. Sanchez (1976) melaporkan bahwa pemberian
pupuk organik (pupuk kandang) dapat meningkatkan unsur hara makro dan mikro
yang dibutuhkan tanaman.

Produksi hijauan
Produksi hijauan meningkat akibat pemupukan limbah kopi pada ketiga
media yang diaplikasikan seperti yang tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata produksi hijauan berat segar dan berat kering


M edia tanam Dosis pupuk (%) Berat segar (g/tanaman) Berat kering (g/tanaman)
Tanah 0 176,26 b 37,16 b
5 302,83 a 60,69 a
10 437,55 a 87,09 a
15 263,39 a 48.35 a
Pasir kali 0 157,19 b 38,09 b
5 572,57 a 123,38 a
10 665,54 a 107,26 a
15 633,56 a 129,71 a
Pasir pantai 0 193,81 b 43,24 b
5 304,74 a 68,56 a
10 342,74 a 74,8 a
15 370,56 a 77,86 a
Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom sama tidak beda nyata (P<0,05)

Prosiding Semnas II HITPI Page 300


Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa peningkatan produksi hijauan rata-
rata 160,08% dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada semua media. Jika
dibandingkan antara media tanah maka pada pasir kali produksi hijauannya
tertinggi kemudian diikuti pada media tanah dan terendah pada media pasir. Lebih
tingginya pada media pasir kali disebabkan kandungan hara yang lebih tinggi C/N
rasio (8) kandungan P (8,69%) dan K (9,20%). Sedangkan C/N rasio pada tanah
dan pasir kali 7. Hasil penelitian ini nampaknya kandungan hara media yang
lebih tinggi dan adanya penambahan jumlah pupuk organik yang lebih banyak.
Sehingga ketersediaan unsur hara mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman. Peningkatan hasil ini juga terlihat dari hasil hijauan yang dipanen tiap 2
bulan selama panen ke 1 - ke 4 produksinya masih tinggi kemudian panen ke 5
terjadi penurunan (Gambar 2).

A. Gambar produktivitas pada media tanah

B. Gambar produktivitas pada media pasir kali

C. Gambar produktivitas pada media pasir pantai


Gambar 2. Produktivitas hijauan tanaman kerandang pada panen 1 - panen 5
pada tiga media tanam.

Prosiding Semnas II HITPI Page 301


Pada Gambar 2 terlihat bahwa produksi hijauan rata-rata tiap panen
produksi hijauan tertinggi pada pemberian dosis 10% dari pada pemberian pupuk
organik dinaikan 15% di tiga media tanam. Hal demikian nampaknya dalam
penyerapan hara tanaman ada batas optimum sehinggadengan peningkatan
pemberian pupuk tidak meningkatkan produksi tanaman. Hasil serupa juga
dilaporkan Dahono (2011) pada tanaman pegagan dengan pemberian pupuk
kandang yang lebih tinggi tidak menaikkan produktivitas, bahkan cenderung
mengakibatkan penurunan kandungan asiatik oksida. Nampaknya hasil ini juga
terjadi demikian, sehingga yang efektif pemberian pupuk pada dosis 10%,
sedangkan dengan dinaikan dosis pemberian tidak meningkatkan produksi hijauan
maupun nutrisi.

Nilai nutrisi hijauan


Hasil analisa kandungan protein kasar tanaman kerandang mempunyai
nilai tertinggi 27,25% pada aplikasi pemberian pupuk organik limbah kopi 5%
pada media pasir kali. Hasil ini rata-rata dengan pemberian pupuk organik
maupun pada perlakuan kontrol tidak banyak perbedaan kandungan protein kasar,
serat kasar, Ca dan P (Tabel 3).

Tabel 3. Kandungan protein kasar, serat kasar, Ca dan P pada tanaman kerandang
yang ditanam di tiga media
Media Dosis Protein Serat kasar Calsium Fosphor
tanam pupuk (%) kasar (g/100 g) (g/100 g) (g/100 g)
(g/100 g)
Tanah 5 25,25 17,18 1,85 0,18
10 23,38 16,75 1,63 0,18
15 20,37 19,55 1,54 0,17
0 19,66 17,71 1,42 0,21
Pasir kali 5 27,25 15,87 2,00 0,23
10 27,02 16,51 1,83 0,29
15 22,51 20,51 1,83 0,29
0 18,53 22,08 1,45 0,18
Pasir pantai 5 23,82 18,92 2,20 0,20
10 23,98 17,40 1,46 0,18
15 27,12 12,68 1,62 0,14
0 24,80 17,22 1,82 0,21

Pada Tabel 3 terlihat kandungan nutrisi hijauan protein kasarnya rata-rata


tinggi yaitu mencapai 18,53-27,25%. Hasil analisa tersebut menunjukkan tidak
dipengaruhi oleh dosis pupuk yang digunakan karena pada perlakuan kontrol ada
yang lebih tinggi dari perlakuan pemberian pupuk organik. Hal ini disebabkan
Kerandang termasuk tanaman leguminosa yang mampu mengikat nitrogen dari
udara dan dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman sendiri.
Hasil penelitian ini rata-rata protein kasar daun 18,51-27,25% lebih tinggi
dari yang dilaporkan Winarti et al (2009) tanaman kerandang dari lapang daunnya
kandungan protein kasar 18,66%. Lebih tingginya kandungan protein kasar
disebabkan adanya pemberian pupuk sehingga ketersediaan hara yang dapat
diserap oleh tanaman. Seperti yang dilaporkan Dahono et al. (2011) bahwa

Prosiding Semnas II HITPI Page 302


tanaman pegagan yang diberikan pupuk organik lebih tinggi juga meningkatkan
kandungan asiatik oksida.

KESIMPULAN

1. Pertumbuhan tanaman kerandang pada media tanah pasir kali tertinggi


sedangkan produksi hijauan tidak banyak berbeda.
2. Penggunaan pupuk organik dari limbah kopi dapat meningkatkan produksi
pada ketiga media rata-rata mencapai 160, 2 % dari perlakuan kontrol.
3. Kandungan nutrisi hijauan dari masing perlakuan maupun media tanam yang
berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Barber, S. A. 1984. Soil Nutrient Bioavailability : A Mechanistic Approach. John


Willey & Sons. pp. 20-21.
Baver, L. D. 1975. Soil Physics. Third edition, John Willey and Sons, Inc. New
York. 552 p.
Burhanudin dan Nurmansyah. 2010. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan
kapur terhadap pertumbuhan dan produksi nilam pada tanah podsolik
merah kuning. Bul.Littro. Vol 21(2). P138-144.
Djaafar, T.F., Y.P. Wanita dan E.S. Rahayu. 2011. Novel product, fermented
drink from kerandang (C.virosa). The 12th Asean food Conference. 16 -
18 June 2011. Bangkok .Thailand. 704 -708.
Dahono, M.Ghulamahdi, S.A. Azis dan Adiwirman. 2011. Kombinasi pupuk NPK
dan pupuk kandang dalam peningkatan pertumbuhan dan produksi
asiatik oksida tanaman Pegagan. Jurnal Littri. 17(2) : 51 - 59.
PROSEA. 1992. Plant Resources of South-East Asia 4. Forages. Prosea, Bogor.
Purbayanti, E.D., D. Sutrisno, E. Hanudin dan S.P.S. Budi. 2010. Respon rumput
benggala terhadap gypsum dan pakan di tanah salin. J. Agron. Indonesia.
381 : 75 - 80.
Suhardi. 2008. Pengembangan Agro industri berbasis pangan lokal untuk
meningkatkan kedaulatan pangan. Pros. Semnas Pengembangan produk
berbasis pangan lokal. Universitas Mercu Buana, Yogyakarta
Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management of Soils in The Tropics. John
Willey and Sons, Inc. New York. 618 p.
Winarti, E., Sarjiman, Supriyadi dan N. Cahyaningrum. 2009. Potensi kerandang
(Canavalia virosa) sebagai sumber pangan dan pakan ternak alternatif. Pros.
Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. 765 - 769.

Prosiding Semnas II HITPI Page 303


INVENTARISASI HIJAUAN PAKAN KUDA PACUAN
DI NUSA TENGGARA BARAT*)

Sudirman 1), Gde Mertha2) dan Suhubdy 1)


1)
Dosen Fakultas Peternakan, 2)Dosen Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan - Universitas Mataram - Mataram,
Email: sudirman_syarifah2006@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pacuan kuda dilaksanakan setiap tahun di provinsi Nusa Tenggara Barat yang
diikuti oleh tidak kurang dari 700 ekor kuda pacuan dalam lima kelas lomba.
Kegiatan ini umumnya berlangsung selama 1-2 minggu di pulau Sumbawa dan
senantiasa menjadi agenda hiburan rakyat serangkaian dengan acara perayaan
hari-hari besar nasional maupun regional dan/atau lokal. Selama kurun waktu
tersebut, semua kuda yang akan dilombakan diberikan pakan berupa hijauan dari
jenis tumbuhan tertentu dan/atau spesifik. Tujuan penelitian ini adalah (1)
menginventarisisr jenis-jenis tumbuhan yang dijadikan hijauan pakan kuda
pacuan selama lomba berlangsung, dan (2) mengkaji komposisi nutrisi jenis
hijauan pakan dimaksud. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada
penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara. Semua kuda pacuan yang
berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat yang mengikuti
lomba pacuan kuda di kabupaten Sumbawa tahun 2012 diamati pemberian
pakannya, kemudian dilakukan identifikasi dan analisis komposisi nutrisi jenis
hijauan yang diberikan. Untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan, dilakukan
pengamatan langsung dan wawancara dengan peternak kuda pacuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tercatat 9 jenis tumbuhan (2 famili, 8 marga) yang
diberikan pada kuda pacuan selama lomba berlangsung, yaitu Alysicarpus
vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon dactylon
(Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae),
Brachiaria sp. (Poaceae), Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae)
dan Leersia hexandra (Poaceae). Hijauan pakan diberikan pada kuda pacuan
dalam bentuk pakan tunggal maupun kombinasi diantara jenis-jenis tumbuhan
tersebut dengan komposisi nutrisi yang berbeda.
Kata kunci: jenis hijauan pakan, kuda pacuan, poaceae, fabaceae

IDENTIFYING AND RECORDING OF FORAGES OFFERED TO


RICING HORCE IN WEST TENGGARA BARAT

Sudirman 1), Gde Mertha2) dan Suhubdy 1)


1)
Faculty of Animal Science , 2)Faculty of Teacher Training and Education
Mataram University - Mataram
Email: sudirman_syarifah2006@yahoo.co.id

ABSTRACT

A research had been done aimed at (1) identifying and recording the kind of
forages offered to ricing horses during the ricing competition, and (2) Analyzing
the chemical composition of that forages offered. Data had been collected by
doing an direct observation to forages and interview to the owners of the ricing

Prosiding Semnas II HITPI Page 304


horses who came to follow the competition at horse ricing arena at Sumbawa
Regency in 2012. All forages offered to each horse had been identified and
sampled for analyzing the chemical composition. The results of this research is
that there were eight types of forages given to ricing horseS. Those are
Alysicarpus vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon
dactylon (Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae),
Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae) dan Leersia hexandra
(Poaceae). The forage offered to the horse was either as sole or combined diet
with different nutritional contents.
Keywords: forages, fabaceae, poaceae, ricing horse, sumbawa

PENDAHULUAN

Pacuan Kuda pada awalnya merupakan sebuah tradisi pesta rakyat Nusa
Tenggara Barat secara turun-menurun, khususnya di wilayah kabupaten se Pulau
Sumbawa, sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rezeqi hasil panen padi. Mengingat masa panen tanaman padi waktu itu
sekitar enam bulan yang ditanam di sawah tadah hujan, maka tradisi rakyat
dimaksud hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Dengan semakin pendeknya
umur tanaman padi dan/atau masa panen berubah menjadi dua kali setahun, maka
acara Lomba Pacuan Kuda seringkali berlangsung lebih dari sekali setahun,
bahkan telah menjadi agenda rutin pengurus PORDASI (Persatuan Olahraga
Berkuda Seluruh Indonesia) bekerjasama dengan pemerintah daerah dirangkaikan
dengan perayaan hari besar nasional maupun regional. Tidak kurang kurang dari
700 ekor kuda pacu terbagi dalam lima kelas terdaftar sebagai peserta pada setiap
acara lomba yang memiliki bermacam-macam ciri yang bersifat karakteristik
morfologis (Sudirman, 2011). Hal inilah yang mendongkrak peluang peternak
untuk memelihara ternak kuda jantan pilihan, terutama dari keturunan kuda yang
memiliki silsilah jawara. Apabila kuda pacu dimaksud telah menurun kecepatan
atau tidak lagi menjuarai turnamen, masih memiliki nilai jual yang relatif tinggi
karena dapat digunakan sebagai kuda penarik Cidomo (Sudirman, dkk., 2012).
Memelihara Kuda Pacu ternyata memerlukan perhatian khusus, terutama
jenis hijauan pakan yang disajikan menjelang dan/atau pada saat dilombakan.
Hijauan pakan yang diberikan biasanya berupa campuran lebih dari lima jenis
dengan harapan saling menutupi kekurangan nutrisi masing-masing. Pemberian
hijauan pakan dimaksud hanya berpatokan pada tradisi yang turun-temurun atau
yang dilakuksn oleh pemilik kuda pacu yang seringkali menjadi juara pada
beberapa even sebelumnya.Dengan kata lain, para pemilik kuda pacu tidak
mengerti nama dan nutrisi apa serta berapa nilai yang terkandung di dalamnya
sehingga disenangi oleh kuda. Makalah ini menginformasikan beberapa jenis
hijauan pakan pavorit Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat serta komposisi
kandungan makro-nutrisinya.

MATERI DAN METODE

Penelitian yang telah dilaksanakan bulan Januari 2012 bertepatan dengan


pencanangan Revitalisasi Lomba Pacuan Kuda Tradisional Sumbawa oleh
Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat di Arena Pacuan Kuda Orong Gilae

Prosiding Semnas II HITPI Page 305


Sumbawa Besar. 179 orang resonden/pemilik kuda pacu yang telah berhasil
masuk babak semifinal ( 25 persen dari jumlah peserta) yang terbagi dalam lima
kategori kelas lomba (TK = 40 orang, O = 57 orang, TH = 35 orang, T = 30 orang,
dan D = 35 orang).
Wawancara dan inventarisasi langsung jenis hijauan pakan dilakukan pada
sore dan malam hari di lokasi kandang sementara yang didirikan di luar/tidak jauh
dari arena pacu. Sekitar 500 g sampel segar dari semua jenis hijuan pakan yang
tersedia di dalam kandang diambil secara acak kemudian dibawa ke laboratorium
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan dan Laboratorium Analitik
Universitas Mataram untuk dianalisis secara mikroskopis dan makroskopis
(Mertha, 2012) dan analisa proksimat bahan kering, protein kasar, lemak kasar,
serat kasar, energi kasar, kalsium dan fosfor (Harris, 1970 ; Sudirman, dkk.,
1993 ; Sudirman, 2013). Hasil penelitian berupa data kualitatif dibahas secara
diskriptif, dan data kuantitatif (nilai rata-rata) dianalisis statistik menggunakan
program Microsoft Excel (Santosa dan Ashari, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Wawancara yang dilakukan pada sore dan/atau malam hari, nampaknya


lebih banyak diperoleh informasi terutama yang terkait dengan jenis hijauan
pakan kuda pacu karena para responden cenderung berkumpul di kandang kuda
yang akan dilombakan keesokan harinya. Koleksi sampel semua jenis pakan tidak
mengalami kesulitan karena pada umumnya telah tersedia sehari sebelumnya serta
dibersihkan dan dipilah-pilah berdasarkan jenisnya. Penelitian menemukan
tidak kurang 25 jenis hijauan pakan yang diberikan kepada kuda pacu
merupakan penyusun utama komposisi botani dan merupakan famili
Poaceae, Cyperaceae, Commelinaceae, Euphorbiaceae, Amaranthaceae,
Fabaceae, Convolvuceae, dan lain-lain yang belum teridentifikasi. Tetapi hanya
delapan jenis hijuan pakan berikut ini (Tabel 1) yang dikoleksi dari responden
termasuk dalam famili Poaceae dan Fabaceae.

Tabel 1. Jenis Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat


No. urut Nama ilmiah Family
1. Desmodium dichotomum Fabaceae
2. Alysicarpus vaginalis Fabaceae
3. Cynodon sp Poaceae
4. Eulalia amora Poaceae
5. Cynodon dactylon Poaceae
6. Leersia hexandra Poaceae
7. Dactyloctenium aegyptium Poaceae
8. Eleusine indica Poaceae

Hasil pengamatan menunjukkan, Cynodon dactylon merupakan jenis


hijaun pakan yang dominan proporsinya dalam campuran pakan kuda pacu, relatif
sama dengan komposisi botani hijauan pakan kuda penarik cidomo di Kota
Mataram provinsi Nusa Tenggara Barat (Sudirman, dkk., 2012).
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan makro-nutrisi (bahan
kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kalsium dan fosfor) kelima jenis

Prosiding Semnas II HITPI Page 306


hijauan pakan kuda pacu di Nusa Tenggara Barat tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kadar Nutrisi Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat
LK SK GE Ca P
BK PK
Jenis Hijauan Pakan (%) (%) Kkal/k (%) (%)
(%) (%)
g
Desmodium dichotomum 88,72 10,99 1,78 21,21 5.132 0.18 0.16
Alysicarpus vaginalis 89,88 14,43 2,84 18,84 4.291 0.30 0.33
Cynodon sp 90,35 6,99 2,09 35,95 5.248 0.15 0.26
Eulalia fimbriata 92,34 14,25 2,65 23,11 4.857 0.19 0.45
Cynodon dactylon 81,30 16,28 1,96 30,65 5.767 0.25 0.26
Leersia hexandra 89,33 14,64 1,91 24,58 3.579 0.16 0.16
Dactyloctenium 7,50
92,71 2,36 27,47 3.720 0.17 0.54
aegyptium
Eleusine indica 90,01 12,19 2,66 28,00 3.981 0.29 0.28
Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, SK = Serat Kasar,
GE = Gross Energy, Ca = Kalsium, P = Fosfor.

Data kadar bahan kering pada Tabel 2 merupakan porsi di dalam hijauan
pakan kering udara (air dry basis), tetapi setelah dikonversikan ke dalam hijauan
segar ternyata kadar bahan keringnya (as fed basis) berturut-turut (dari atas ke
bawah): 25,30%, 22,55%, 32,08%, 43,19%, 30,35%, 25,13%, 30,32%, dan
32,50%. Hasil analisis laboratorium terhadap bahan kering (as fed basis) tersebut
memberikan informasi bahwa hijauan pakan yang diberikan telah dilayukan atau
mengandung kadar air sekitar 56, 81-77,45 persen. Secara umum dapat diartikan
bahwa pemilik kuda pacu yang menjadi responden didalam penelitian ini telah
memahami manajemen pemberian hijauan pakan atau efek negatif apabila ternak
mengkonsumsi hijauan pakan yang terlalu tinggi kadar air.
Kadar protein kasar Cynodon dactylon yang direkam dalam penelitian ini
hampir dua kali lipat dibanding laporan yang lain yaitu sebesar 9,70%, sedangkan
Dactyloctenium aegyptiu, Eleusine indica, dan Leersia hexandra relatif sama
kandungan proteinnya dibanding pernyataan Anonimus (cit. Adawiyah, 2012)
yaitu masing-masing 7,4-8,6%, 9,6-10,1%, dan 13,98%. Tingginya kadar protein
kasar Cynodon dactylon yang diberikan kepada kuda pacu di kabupaten pulau
Sumbawa diduga karena rumput dimaksud banyak tumbuh di areal persawahan
atau sengaja dipelihara sebagai pakan kuda pacu. Selain kadar protein kasar yang
relatif tinggi, informasi lain yang menarik terhadap Cynodon dactylon adalah
rendahnya kadar lemak kasar, tingginya energi, dan seimbangnya kandungan
kalsium dan fosfor.

KESIMPULAN

Terinventarisir delapan jenis hijauan pakan kuda pacu di provinsi Nusa


Tenggara Barat memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, relatif spesifik dan
telah menjadi pakan tradisional kuda pacu. Cynodon dactylon merupakan jenis
hijauan pakan pavorit kuda pacu dengan proporsi komposisi botani di dalam
campuran pakan sangat dominan dan diberikan minimal sebulan sebelum lomba.

Prosiding Semnas II HITPI Page 307


UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Riza Fakhlevi, Lismadia Utami, Saudatul Adawiyah,


Yuni Sulastiani, Marninayanti, dan seluruh panitia Revitalisasi Lomba Pacuan
Kuda Tradisional Sumbawa, yang telah membantu selama penelitian berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Saudatul, 2012. Inventarisai Jeni Pakan dan Energi Pakan dan
Kecepatan Lari Kuda Sumbawa. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Mataram.
Harris, Lorin E., 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild
Animals. Volume 1. An International Research System and Procedures for
Analyzing Samples. Printed in the United States of America.
Mertha, I Gde, 2012. Visualization of Forest Trees of Lombok. Biology
Departement Mataram University. Pendanaan dan Penerbitan: JIFPR dan
Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Santosa, P.B. dan Ashari, 2006. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan
SPSS. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Sudirman, Muhammad Warman, I Nyoman Budiardja, Sofyan D. Hasan, dan
Suhubdy, 1993. Aspek Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara Barat
Kaitannya dengan Kecepatan Lari. Laporan Penelitian. DP3M Dirjen Dikti.
Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Sudirman, 2011. Penetapan Rumpun Kuda Sumbawa. Makalah disampaikan dan
Dipertahankan di Depan Dewan Komisi Penilaian, Penetapan, dan
Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak. Bogor.
Sudirman, Suhubdy, Sofyan D. Hasan, Mohammad Iqbal, dan Oscar Yanuarianto,
2012. Profil Pakan Kuda Penarik Cidomo: Skrening Bahan Pakan Lokal
Berdasarkan Indeks Kecernaan. Laporan Penelitian. Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Universitas Mataram.
Sudirman, 2013. Evaluasi Pakan Tropis, Dari Konsep ke Aplikasi (Metode in-
Vitro Feses). Pustaka Reka Cipta, Bandung.

Prosiding Semnas II HITPI Page 308


PRODUKTIVITAS TENAGA PENGARIT BERDASARKAN MODA
PENGANGKUT DI PETERNAKAN SAPI PERAH PONDOK RANGGON,
JAKARTA TIMUR

Iwan Prihantoro 1), M. A Setiana, Annisa Bahar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas tenaga pengarit


dan efektivitasnya berdasarkan moda pengangkut yang dipergunakan di
peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Peternakan sapi perah
Pondok Rangon merupakan salah satu peternakan yang masih bertahan di DKI
Jakarta yang ketersediaan hijauan pakannya berasal pada padang rumput alam.
Penelitian didasarkan pada sumber data primer dan sekunder dengan cara sensus
dari total 22 peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak
di Pondok Rangon 40,91% telah berumur > 55 tahun dan 45,46% telah memiliki
pengalaman >20 tahun. Kapasitas mengarit tertinggi pada umur 38 tahun (395
kg/hari) dan moda truck lebih efisien dalam penyediaan hijauan dibanding pick up
dan becak motor.

PRODUCTIVITY OF GRASS SEEKERS BASE ON THE TRANSPORT


VEHICLE USED IN PONDOK RANGGON DAIRY CATTLE FARM,
EAST JAKARTA

ABSTRACT

The aim of this study were analyze productivity of grass seekers base on the
transport vehicle used in pondok ranggon dairy cattle farm, east jakarta. Pondok
Ranggon farm is one of the dairy cattle farms in Jakarta where the supply of
forage depend on natural pastures. Research based on primary and secondary data
from the farmers and grass seekers using census techniques of 22 farmers. The
result showed, that 40.91% farmers were > 55 years old and 45.46% had >20
years of experience. The highest capacity of grass seeker were 38 years old (395
kg/d). Truck more efficient in supplying forages (p<0.05) than pick up and motor
tricycles.
Keywords: grass seeker productivity, forage, dairy cattle

PENDAHULUAN

Usaha peternakan sapi perah sangat bergantung pada ketersediaan pakan


terutama hijauan yang nilainya mencapai 60-70% dari biaya produksi. Mengingat
tingginya biaya tersebut, perlu adanya perhatian tentang penyediaan pakan yang
baik dari segi kuantitas maupun kualitas. DKI Jakarta merupakan kota
metropolitan dengan pembangunan yang bertambah pesat setiap tahunnya yang
berdampak langsung terhadap berkurangnya lahan terbuka yang beralih fungsi
menjadi berbagai macam jenis bangunan. Dibalik pesatnya pembangunan Ibukota,
masih terdapat kawasan peternakan yang berbasis sapi perah. Peternakan sapi
perah Pondok Ranggon terletak pada koordinat 06 o 21.435 lintang selatan dan

Prosiding Semnas II HITPI Page 309


106o 54. 391 bujur timur. Kawasan peternakan Pondok Ranggon berbatasan
langsung dengan jalan Munjul Raya Kecamatan Cipayung (sebelah utara),
perikanan ikan arwana dan perkemahan pramuka Cibubur (sebelah barat),
Kabupaten Bekasi (sebelah selatan), dan Tempat Pemakaman Umum (sebelah
timur).
Penyediaan hijauan makanan ternak di Jakarta cukup sulit didapat karena
ketersediaan lahan yang sedikit dan produktivitas hijauan sangat tergantung pada
musim. Ketersediaan lahan hijau di Jakarta tiap tahun semakin berkurang seiring
bertambahnya penduduk, sehingga lahan hijau beralih fungsi menjadi pemukiman.
Hal ini menyebabkan ketersediaan hijauan pakan ternak berkurang, sehingga
peternak akan mencari hijauan ke daerah lain hingga ke luar daerah Jakarta. Pola
mengarit ke luar daerah ini mengakibatkan waktu peternak akan banyak terbuang
untuk mencari hijauan daripada mengurus ternaknya.
Tingginya minat beternak sapi perah di Pondok Ranggon semakin menuntut
pakan asal hijauan yang semakin tinggi. Permasalahan lain yang dihadapi yaitu
umumnya peternak tidak memiliki lahan khusus penyedia hijauan seperti kebun
rumput potong. Hingga saat ini penyediaan hijauan sangat bergantung pada
padang rumput alam yang ketersediaanya semakin menurun. Saat ini kajian
tentang produktivitas tenaga pengarit dan komposisi hijauan pakan domestik di
daerah penyedia hijauan belum dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas tenaga pengarit
dan efektivitasnya berdasarkan moda pengangkut yang dipergunakan di
peternakan sapi perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu penelitian


Penelitian dilaksanakan di kawasan usaha ternak sapi perah Pondok
Ranggon Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Waktu penelitian
dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Februari-April 2013.

Materi
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, GPS
device, kamera, dan kuisioner.

Prosedur
Pelaksanaan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
menggambarkan situasi atau keadaan berdasarkan data-data faktual dengan teknik
survei dan observasi langsung di kawasan peternakan sapi perah Pondok
Ranggon, Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Responden dari
penelitian ini adalah peternak sapi perah di Pondok Ranggon, dimana pemilihan
responden ini menggunakan teknik sensus terhadap 22 peternak sapi perah yang
berada di kawasan tersebut. Pengamatan dan pengukuran terhadap 19 peternak
dari total 22 peternak yang berada dikawasan ini hanya dilakukan terhadap
peternak atau buruh yang mengarit di area terbuka dalam penyediaan hijauan
pakan.

Prosiding Semnas II HITPI Page 310


Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Observasi
di lapangan meliputi pengamatan aktivitas pengarit dengan mengikuti peternak
selama mengarit dan dilakukan pencatatan serta dokumentasi. Observasi juga
dilakukan terhadap jarak dan waktu tempuh peternak ke tempat mengarit
menggunakan GPS untuk mengetahui jelajah pengarit dalam mencari hijauan, dan
jenis moda yang dipakai peternak untuk mengangkut dari hasil mengarit. Waktu
efektif dan areal jelajah peternak dalam mengarit dihitung, serta dilakukan
penimbangan terhadap hasil mengarit tiap peternak.
Analisis Deskriptif
Data survei dan observasi yang diperoleh terhadap responden masing-
masing dari peternak dan buruh pengarit di daerah Pondok Ranggon, kemudian
diolah secara deskriptif. Analisis deskriptif ini meliputi gambaran keadaan umum
di daerah penelitian, serta menggambarkan karakteristik peternak dan tenaga
pengarit yang meliputi, umur, pengalaman (beternak atau mengarit), pekerjaan,
dan pendidikan. Selain itu, analisis deskriptif dalam penelitian ini untuk
menggambarkan komposisi hijauan yang dikonsumsi ternak, waktu dan jarak
tempuh ke tempat mengarit, moda transportasi yang digunakan dalam mengarit,
serta kapasitas mengarit per satuan waktu dan areal jelajah dalam mengarit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Peternakan Pondok Ranggon
Kawasan peternakan sapi perah Pondok Ranggon terletak di Kelurahan
Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Keadaan permukaan
tanah di Pondok Ranggon bergelombang dengan dengan ketinggian 36 mdpl
dengan curah hujan 1000-2000 mm/tahun (Anggraeni, 2010). Temperatur dan
kelembaban udara harian berkisar antara 24-35o C dan 65-91% (Dewayani, 2012).
Pondok Ranggon mempunyai luas wilayah 366.015 ha dengan jumlah penduduk
24.962 jiwa (Profil Kelurahan Pondok Ranggon, 2012).
Peternak di Pondok Ranggon secara turun-temurun telah melakukan
kegiatan berternak secara tradisional sejak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Peternak di daerah ini telah memiliki struktur organisasi yang bernama Kelompok
Tani Ternak Swadaya Pondok Ranggon yang berdiri sejak tahun 1993. Kawasan
peternakan sapi perah Pondok Ranggon mempunyai luas sebesar 11 ha dari 30 ha
yang telah disediakan oleh pemerintah sesuai dengan SK Gubernur No. 300 tahun
1986. Ternak yang dipelihara meliputi ternak ruminansia, yaitu: sapi perah, sapi
potong, kerbau, domba, dan kambing perah. Sapi perah merupakan ternak
dominan yang dipelihara dengan populasi 1.100 ekor atau setara dengan 941.5
satuan ternak.
Penggunaan Lahan Kelurahan Pondok Ranggon
Berdasarkan data penggunaan lahan, penggunaan lahan di Kelurahan
Pondok Ranggon terdiri dari perumahan, perkantoran, rekreasi, sekolah, sarana
ibadah, pemakaman, jalur hijau dan lain-lain. Lahan yang dapat digunakan
sebagai sumber hijauan pakan di Kelurahan Pondok Ranggon meliputi jalur hijau
sebesar 0.54% dan pemakaman sebesar 18.56%. Kondisi ini menggambarkan luas
lahan hijau yang sangat terbatas. Hal ini dikarenakan maraknya pembangunan
pemukiman dan bangunan lainnya sehingga lahan untuk sumber hijauan pakan
berkurang.

Prosiding Semnas II HITPI Page 311


Tabel 1 Luas Penggunaan Lahan di Kelurahan Pondok Ranggon
Jenis Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
Perumahan 210.015 56.47
Perkantoran 4.6 1.24
Rekreasi/ OR 26 6.99
Fasum/Sekolah 20.5 5.51
Sarana Ibadah 22 5.92
Pemakaman 69 18.56
Jalur Hijau 2 0.54
Lain-lain 17.8 4.79
Sumber : Profil Kelurahan Pondok Ranggon, 2012

Karakteristik Peternak
Karakteristik peternak di Pondok Ranggon dibedakan berdasarkan umur
peternak, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pengalaman beternak.
Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar peternak di Pondok Ranggon berumur antara
25-70 tahun. Peternak berumur >55 tahun memiliki persentase paling besar yaitu
sebesar 40.91%. Umur tersebut merupakan umur yang cukup sulit untuk
mendapat pengarahan dalam mengembangkan usaha ternaknya. Hal tersebut
dikarenakan peternak beranggapan bahwa pengalaman adalah sumber utama
pengetahuan mereka dalam beternak.
Tingkat pendidikan peternak di Pondok Ranggon sebagian besar adalah
lulusan SMA (54.54%), sedangkan lulusan SD, D2, dan S1 masing-masing
sebanyak 27.27%, 4.55%, dan 13.64%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
peternak memiliki pendidikan yang relatif cukup tinggi. Meskipun tingkat
pendidikan tergolong cukup tinggi, peternak di Pondok Ranggon belum
menerapkan teknologi/mekanisasi dan masih bersifat tradisional.
Pekerjaan utama masyarakat di Pondok Ranggon adalah peternak dengan
persentase sebesar 90.9%. Secara umum peternak sapi perah di Pondok Ranggon
menjadikan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Hal ini disebabkan usaha
ternak sapi perah memberikan jaminan pendapatan yang berkesinambungan jika
dikelola dengan baik. Tingkat pengalaman beternak di Pondok Ranggon relatif
lama yaitu lebih dari 20 tahun yang merupakan warisan keluarga secara turun
menurun.
Tabel 2 Karakteristik Peternak
Karakteristik Individu Jumlah Responden Peternak Persentase (%)
Umur (Tahun)
a. 25 - 35 tahun 6 27.27%
b. 36 - 45 tahun 2 9.09%
c. 46 - 55 tahun 5 22.73%
d. > 55 tahun 9 40.91%
Pendidikan
a. SD 6 27.27%
b. SM A 12 54.54%
c. D2 1 4.55%
d. S1 3 13.64%
Pekerjaan
a. Peternak 20 90.9%
b. Petani 1 4.55%
c. Lainnya 1 4.55%
Lama beternak
a. 1 10 tahun 8 36.36%
b. 11 20 tahun 4 18.18%
c. > 20 tahun 10 45.46%
Sumber : Data primer 2013

Prosiding Semnas II HITPI Page 312


Produktivitas Tenaga Pengarit dan Manajemen Pakan Hijauan
Penyediaan hijauan pakan tidak terlepas dari ketersediaan alam dan
produktivitas tenaga pengarit. Berdasarkan status tenaga pengarit, hanya terdapat
5.26% pengarit yang berstatus sebagai pemilik ternak. Tenaga pengarit
didominasi oleh tenaga lepas/buruh sebanyak 94.74%. Karakteristik tenaga
pengarit di kawasan Pondok Ranggon disajikan pada Gambar 1.
Banyaknya tenaga pengarit meningkat seiring banyaknya jumlah ternak.
Pengaruh ini dimodelkan dalam bentuk persamaan linear. Berdasarkan model
tersebut dapat diambil kesimpulan berupa satu tenaga pengarit bertanggung jawab
terhadap 7.02 ST dengan Y = 32,23x - 25,21; R = 0,552. Banyaknya kapasitas
mengarit meningkat seiring besar berat badan pengarit dengan setiap kenaikan
bobot badan tenaga pengarit sebesar 1 kg meningkatkan menaikkan kapasitas
mengarit sebesar 19.663 kg. Berdasarkan umur tenaga pengarit, kapasitas
mengarit tertinggi berada pada umur 38 tahun dengan kapasitas mengarit sebesar
395 kg/hari dan pengalaman mengarit cenderung meningkatkan banyak kapasitas
mengarit.
Pemberian hijauan cenderung menurun seiring dengan banyaknya jumlah
kepemilikan satuan ternak (Gambar 2). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
peternak dalam mengarit. Peternak cenderung mengkonpensasi kekurangan
hijauan dengan konsentrat dan ampas tahu. Konsentrat memiliki zat makanan
utama (protein, lemak, karbohidrat) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
ternak. penambahan konsentrat terhadap sapi perah dara pada usaha peternakan
rakyat secara efektif meningkatkan pertambahan berat badan dan mempercepat
umur pubertas ternak (Mariyono et al., 1995)
200 800
Jumlah Ternak (ST)

kapasitas mengarit

y = 19,663x - 761,01
150 y = 32,234x - 25,214 600 R = 0,6383
R = 0,5528
100 400
(kg)

50 200
0 0
0 2 4 6 40 50 60 70
Jumlah Pengarit (orang) bobot badan tenaga pengarit (kg)

(a) (b)
800 y = -0,4561x 2 + 35,268x - 2000
Kapasitas mengarit (kg)

Kapasitas mengarit (kg)

286,17
600 1500
R = 0,3439
400 1000 y = 26,451x + 221,18
R = 0,2935
200 500
0 0
0 20 40 60 80 0 10 20 30
Umur Tenaga Pengarit (tahun) Pengalaman Mengarit (tahun)

(c) (d)
Gambar 1
Keterangan : (a) adalah hubungan banyak pengarit terhadap jumlah ternak, (b) adalah hubungan kapasitas mengarit
terhadap bobot badan, (c) adalah grafik hubungan antara kapasitas mengarit terhadap umur, dan (d) adalah
hubungan antara kapasitas mengarit terhadap pengalaman.

Prosiding Semnas II HITPI Page 313


y = -0,2967x + 20,524y = 0,0572x + 8,4675
30 Hijauan

Pemberian (kg/ST/hari)
R = 0,1272 R = 0,0623
25
20
Konsentrat
15
10
5 Ampas Tahu (BK)
0
y = 0,0803x + 4,3728

108
18

37

42
12

29
30

40
46

48
8
R = 0,1657
Jumlah Ternak (ST)

Gambar 2 Manajemen pemberian hijauan pakan

Moda Penyediaan Hijauan di Pondok Ranggon


Moda penyediaan hijauan di Pondok Ranggon terbagi atas 3 jenis alat
angkut yaitu gerobak (29%), pick-up (53%), truk (12%) dan becak motor (6%).
Berdasarkan hasil uji sidik ragam, moda truk berbeda nyata lebih efisien (p<0,05)
dibanding pick-up dan gerobak dalam perolehan hijauan. Hal ini disebabkan jarak
tempuh yang lebih jauh dan areal jelajah yang lebih luas. Berdasarkan jumlah
ternak, moda truk nyata lebih banyak dari gerobak dan pick up. Meskipun
demikian jumlah ternak/tenaga pengarit tidak menunjukkan perbedaan.

Tabel 3. Moda Penyediaan Hijauan Pakan


Jenis alat angkut
Parameter
Gerobak Pick-up Truk
c b
Jumlah Tenaga Pengarit (orang) 1.250.50 2.330.71 40a
Waktu tempuh (menit) 22.7522.65 15.226.98 321.41
b b
Jarak (mil) 1.201.22 2.812.29 10.61.84a
Jelajah mengarit (m2 ) 189.41161.08b 155.8452.49b 243.31116.5a
b b
Kapasitas hijauan (kg) 310.25231.42 859.00377.17 2382195.16a
jumlah Ternak (ekor) 28.7517.59b 43.8812.27b 15141.01a
Jumlah Ternak/ Tenaga 22.389.69 21.8713.64 37.7510.25
Pengarit
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama meunjukkan berbeda nyata pada
taraf p< 0.05

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak di Pondok


Rangon 40,91% telah berumur > 55 tahun dan 45,46% telah memiliki pengalaman
>20 tahun. Kapasitas mengarit tertinggi pada umur 38 tahun (395 kg/hari) dan
moda truck lebih efisien dalam penyediaan hijauan dibanding pick up dan becak
motor.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, L. 2010. Evaluasi usaha sapi perah dalam aspek financial berdasarkan
skala usaha yang berbeda (studi kasus pada kelompok tani ternak sapi perah

Prosiding Semnas II HITPI Page 314


swadaya Pondok Ranggon di Jakarta Timur). Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
Dewiyani, N. 2012. Hubungan antara produksi dan kualitas susu sapi perah
dengan faktor yang mempengaruhi (studi kasus di Pondok Ranggon, Jakarta
Timur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kantor Kelurahan Pondok Ranggon. 2011. Profil Kelurahan Pondok Ranggon
Tahun 2012. Kecamatan Cipayung. Kota administrasi Jakarta Timur.
Mariyono, A. Musofie, D. Pamungkas dan D. E. Wahyono. 1995. Pengaruh
pemberian pakan konsentrat pada sapi perah dara dalam usaha peternakan
rakyat terhadap tampilan produktivitas dan efisiensi ekonomis. J. Ilmu
Penelitian Ternak Grati. Vol 4 (1) : 1-5

Prosiding Semnas II HITPI Page 315


PRODUKTIVITAS DAN EMISI POLUTAN KAMBING PERANAKAN
ETAWAH YANG DIBERI WAFER RANSUM BERBASIS LIMBAH
TERFERMENTASI INOKULAN KONSORSIUM MIKROBA

Mudita, I M., A. A. P. P. Wibawa, I W. Wirawan, I G. L. O. Cakra dan I B. G. Partama


FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERS ITAS UDAYANA
HP. 081338791005, email : muditafapet_unud@yahoo.com

ABSTRACT

A Research had been carried out to optimise quality of ration wafer based
on nonconventional waste through biofermentation of consortium microbe
inocullant to support development sustainable goat livestock on Research Stasiun
Faculty of Animal Husbandry Udayana University, Bukit Jimbaran, Badung
Regency. Five consortium microbe inocullants used as fermentor for production
ration wafer based on nonconventional waste (WFc, WF 1 , WF2 , WF3 , and WF4 )
were inocullant of 1,5% rumen liquor and 0,05% optyzime enzyme, and 4
bioinocullant produced by combination of 2 levels bali cattle rumen liquor (10%
and 20%) and 2 levels termites (0,1% and 0,2%) cultivation on natural inocullant
medium (BR1 T1 , BR2 T1 , BR1 T2 and BR2 T2 ). Fifteen Goat of Etawah Crossbreed
were used in this research which designed of Randomized Block Designed with
five treatments and three blocks. The treatments were WFC are wafer silage ration
nonconventional waste fermented by 1.5% rumen liquor and 0.05% optizyme
enzyme, WF1 are wafer silage ration fermented BR1 T1 , WF2 are wafer silage ration
fermented BR2 T1 , WF3 are wafer silage ration fermented BR1 T2 , and WF4 are
wafer silage ration fermented BR2 T2 . The result showed there not significant
different (P>0,05) of animals productivities, production of N-NH3 , Propionic,
Butiric, pH, organic matter degradation on rumen, loss energy for VFA production,
loss energy as methane, loss energy as heat, rumen protein microbes synthesis,
efficiency of protein microbes synthesis, dry matter and nutriens digestibility, and
pollutant emisions of etawah crossbreed goat. Even though on total VFA, Acetic,
ATP production on rumen and synthesis of dry matter biomass microbes, given
WF3 (ration wafer fermented by BR1 T2 ) has higest value and significant different
(P<0,05) with WFc (ration wafer fermented by 1,5% rumen liquor and 0,05%
optyzime enzyme), and lowest (P<0,05) of population of rumen protozoa. It was
concluded that all ration wafer fermented consortium microbes inocullat has
similar productivities with lower pollutan emmisions of goat livestock.
Key word: Biofermentation, Consortium Microbes Inocullant, Nonnconventional
Waste, Ration Wafer

PENDAHULUAN

Pemanfaatan sumber daya lokal asal limbah sebagai wafer ransum


kambing akan mengoptimalkan pemanfaatan limbah, mengurangi sifat selektivitas
ternak dan pencemaran lingkungan (Hegarty, 2001; Bratasida, 2002). Disamping
secara alami, kambing mampu mengkonversi pakan berserat menjadi sumber
energi utama (Wanapat, 2000). Namun hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan
limbah sebagai pakan tanpa aplikasi teknologi menurunkan produktivitas serta
meningkatkan emisi polutan (Wibawa et al., 2009-2011; Mudita et al., 2009-

Prosiding Semnas II HITPI Page 316


2012). Hal ini menunjukkan konversi pakan berserat menjadi produk bermanfaat
(daging maupun susu) oleh kambing belum optimal, hanya 42% serat kasar pakan
limbah dapat dicerna (Mudita et al., 2010). Hal ini disinyalir akibat tingginya
kandungan lignoselulosa pakan limbah yang membatasi pemanfaatannya oleh
ternak (Perez et al., 2002).
Lignoselulosa merupakan komponen utama biomassa tanaman pembangun
dinding sel yang terdiri dari tiga polimer yaitu lignin (25-30%), selulosa (35-50%)
dan hemiselulosa (25-30%) yang berikatan kuat melalui ikatan non-kovalen dan
kovalen silang (Howard et al., 2003). Lignoselulosa hanya bisa didegradasi secara
sempurna oleh aktivitas kompleks enzim lignoselulase yang dihasilkan oleh
kerjasama berbagai mikroba (Sarkar et al., 2011; Wongwilaiwalin et al., 2010).
Sehingga pemanfaatan isolat tunggal tidak mampu mendegradasi ketiga polimer
tersebut secara sempurna.
Konsorsium mikroba merupakan sekelompok mikroba dengan aktivitas
sinergis mendegradasi senyawa/substrat secara berkesinambungan menghasilkan
produk akhir berupa monomer siap pakai (Pathma dan Sakthivel, 2012). Sarkar et
al. (2011) mengungkapkan pemanfaatan konsorsium mikroba mengoptimalkan
biodegradasi senyawa lignoselulosa melalui efisiensi waktu dan meniadakan bau
busuk dekomposting limbah organik dapur. Wongwilaiwalin et al., (2010)
mengungkapkan formulasi konsorsium mikroba dari 3 sumber serat yaitu baggas
tebu, jerami padi dan tongkol jagung MC 3 F mampu mengefisienkan
dekomposisi biomassa menjadi produk bernilai tinggi dengan aktivitas enzim
endoglukanase, xylanase dan -glukanase tinggi. Di alam, berbagai konsorsium
mikroba dapat diperoleh seperti isi rumen, rayap, cacing tanah, lahan pertanian,
lahan gambut dan sumber lainnya.
Hasil penelitian Hibah Bersaing I dan II (Wibawa et al., 2009-2010)
menunjukkan pemanfaatan 1,5% konsorsium mikroba cairan rumen sapi bali dan
0,05% enzim optizime menghasilkan wafer ransum limbah nonkonvensional
berkualitas dan produktivitas kambing PE yang tinggi. Sedangkan penelitian
Mudita et al. (2009-2012) menunjukkan pemanfaatan konsorsium mikroba asal
limbah rumen sapi bali dan rayap sebagai produk bioinokulan mampu
menghasilkan silase ransum berkualitas dengan tingkat kecernaan in-vitro yang
tinggi. Hasil-hasil penelitian tersebut dievaluasi lebih lanjut dalam optimalisasi
pemanfaatan limbah dalam penegmbangan peternakan kambing kompetitif dan
sustainable.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian Fapet UNUD Bukit Jimbaran


dengan waktu pengamatan dan pengambilan data lapangan selama 2 bulan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 5 perlakuan dan 3 kelompok.
Tiap unit perlakuan menggunakan 1 ekor kambing PE betina muda dengan bobot
badan awal 15,86 2,57 kg/ekor. Lima inokulan konsorsium mikroba asal limbah
isi rumen sapi bali, rayap dan/atau enzim optyzime dimanfaatkan dalam penelitian
ini. Satu inokulan terdiri dari 1,5% cairan rumen dan 0,05% enzim optizyme
R15 E5 yang merupakan inokulan terbaik hasil penelitian Hibah Bersaing I dan
II, dan 4 bioinokulan yang diproduksi dari kombinasi 2 level cairan rumen {10%
(R1) dan 20% (R2)} serta 2 level rayap {0,1% (T1) dan 0,2% (T2)} yang

Prosiding Semnas II HITPI Page 317


dibiakkan dalam medium inokulan alami secara anaerob T 39o C selama 1 minggu
(BR1 T1 , BR2 T1 , BR1 T2 dan BR2 T2 ) (Tabel 1). Inokulan tersebut dimanfaatkan
dalam produksi wafer ransum perlakuan yaitu WFc = Wafer ransum terfermentasi
1,5% cairan rumen dan 0,05% enzim optizyme, WF1 = Wafer ransum
terfermentasi bioinokulan BR1 T1 , WF2 = Wafer ransum terfermentasi bioinokulan
BR2 T1 , WF3 = Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1 T2 dan WF4 = Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR2 T2 .

Tabel 1. Komposisi Bioinokulan Limbah Rumen dan Rayap yang diproduksi


Bahan Bioinokulan Komposisi Bioinokulan
Alternatif BR1 T1 BR2 T1 BR1 T2 BR2 T2
Cairan Rumen sapi bali 10,00 20,00 10,00 20,00
Rayap 0,10 0,10 0,20 0,20
Molases 8,99 7,99 8,98 7,98
Urea 0,90 0,80 0,90 0,80
Tepung Tapioka 0,90 0,80 0,90 0,80
Dedak Padi 0,45 0,40 0,45 0,40
Kapur 0,22 0,20 0,22 0,20
Garam Dapur 0,22 0,20 0,22 0,20
Pignox 0,18 0,16 0,18 0,16
Dedak padi 0,02 0,02 0,02 0,02
Air Sumur 78,02 69,34 77,93 69,25
Total 100 100 100 100
Kandungan Nutrien dan Mikroba Bioinokulan1
Protein Terlarut (%) 4,03 4,49 4,39 4,37
Fosfor/P (mg/l) 156,54 160,95 160,96 159,14
Kalsium/Ca (mg/l) 975,00 981,25 975,83 969,17
Belerang/Sulfur/S (mg/l) 244,00 244,33 241,33 246,00
Seng/Zinkum/Zn (mg/l) 7,96 8,00 7,92 8,07
Total Bakteri (x109 11,96
koloni/ml) 13,27 12,94 14,01
Bakteri Selulolitik (x109 6,33
koloni/ml) 6,65 6,43 7,00
Bakteri Silanolitik (x109 4,87
koloni/ml) 6,01 5,56 6,39
Keterangan: 1)Hasil analisis Lab. Analitik UNUD, 2)Hasil Analisis Lab. Biofarmaka, Fakultas
Farmasi Univerrsitas Hasanuddin, Makassar

Peubah yang diamati adalah: 1) Variabel Produktivitas Ternak meliputi


pertambahan bobot badan harian, konsumsi bahan kering dan nutrien ransum
(Bahan Organik/BO, Protein Kasar/PK, Serat Kasar/SK dan Gross Energy/GE),
serta FCR, 2) Variabel Fermentasi Rumen, terdiri terdiri dari pH cairan rumen,
konsentrasi VFA Total dan Parsial (Asetat, Propionat, Butirat dan asam lain), dan
konsentrasi NNH3 cairan rumen, bahan organik terdegradasi (BOTr) dalam
rumen, produksi ATP dalam rumen, jumlah energi untuk produksi VFA, jumlah
energi hilang sebagai metan, jumlah energi hilang sebagai panas, sintesis
biomassa mikroba, sintesis protein mikroba dan efisiensi sintesis protein mikroba,
3) Variabel Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Wafer Ransum, meliputi KcBK,
KcBO, KcSK, KCPK, Kc.energi, serta 4) Variabel Emisi Polutan, meliputi kadar
CH4 dan CO 2 cairan rumen serta konsentrasinya tiap unit VFA total, serta
konsentrasi dan produksi NH3 feses dan urine harian.

Prosiding Semnas II HITPI Page 318


Tabel 2. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal
Bahan Penyusun Komposisi (%)
Jerami Padi 15,00
Serbuk Gergaji kayu 4,00
Umbi ketela pohon 10,00
Dedak Padi 25,00
Bungkil Kelapa 30,00
M olases 5,00
Urea 3,00
Garam dapur 1,50
Kapur/CaCO3 1,35
Lemak Tello 5,00
Pignox 0,15
TOTAL 100,00
Kandungan Nutrien *
Bahan Kering (% Asfed) 91,07
Bahan Organik (% BK) 85,46
Serat Kasar (% BK) 21,79
Protein Kasar (% BK) 14,71
Energi Bruto/GE (kkal/kg) 3222,55
Keterangan: * Hasil analisis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud

Tabel 3. Teknik Fermentasi Ransum Penelitian


Wafer Jumlah Komposisi Larutan Inokulan
Ransum ransum Cairan Enzim Bioinokulan Air Molases
basal (kg Rumen Optizyme aktif (liter) (liter) (liter)
Asfed) (liter) (kg)
WFc 100 1,5 0,05 - 77 1,5
WF1 100 - - 2,5 lt BR1 T1 76 1,5
WF2 100 - - 2,5 lt BR2 T1 76 1,5
WF3 100 - - 2,5 lt BR1 T2 76 1,5
WF4 100 - - 2,5 lt BR2 T2 76 1,5

Tabel 4. Kandungan Nutrien Wafer Ransum Penelitian


Kandungan Nutrien Wafer Ransum
Nutrien
WFc WF1 WF2 WF3 WF4
Bahan Kering (%
segar basis) 84,1102 84,1449 84,3375 83,8565 83,0318
Bahan Organik (%
BK) 85,8946 86,5790 86,3961 86,0740 86,6677
Serat Kasar (% BK) 13,3163 12,5741 12,6264 12,4943 12,4596
Protein Kasar (% BK) 16,0837 16,1644 16,9250 17,1836 17,1393
Energi Bruto/GE
(kkal/kg) 3504,07 3521,65 3687,35 3743,68 3734,04
Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud

Pertambahan bobot badan ternak ditentukan melalui penimbangan bobot


badan ternak setiap dua minggu sekali selama penelitian, Konsumsi bahan kering
dan nutrien ransum didasarkan pada jumlah konsumsi ransum (Asfed) dikalikan
kandungan bahan kering atau nutrien ransum, kecernaan bahan kering dan nutrien
ransum dihitung berdasarkan persentase selisih jumlah konsumsi nutrien ransum
dengan jumlah nutrien yang keluar melalui feses dibagi dengan jumlah konsumsi

Prosiding Semnas II HITPI Page 319


nutrien ransum. Populasi protozoa dihitung menggunakan haemocytometer
dengan pewarna larutan Methylgreen Formalin Saline/MFS (Ogimoto dan Imai,
1981), pH cairan rumen diukur dengan pH meter Hanna Tife HI 9025, Kadar
VFA total dihitung menggunakan metode General Laboratory Procedure (1966),
VFA parsial (Asetat, Propionat dan Butirat) dianalisis menggunakan Standard
Addition Technique dengan HPLC (ICI Organic Acids Column), sedangkan Asam
lemak lain dihitung dari selisih VFA total dengan jumlah konsentrasi asetat,
propionat dan butirat. Konsentrasi N-NH3 atau NH3 cairan rumen, feses dan urine
ditentukan dengan metode Phenolhypochlorite (American Society of Limnology,
1969), Bahan Organik terdegradasi dalam rumen (BOTr) ditentukan dengan
menghitung jumlah bahan organik tercerna dikalikan 0,65 (ARC, 1990).
Sedangkan efisiensi sintesis protein mikroba dihitung berdasarkan produksi
mikrobial protein tiap 100 g unit bahan organik terdegradasi.
Produksi methan dan Carbondioksida diestimasi berdasarkan produksi
VFA parsial (Owen and Goetsch, 1988), yaitu CH4 (mmol) = 0,5 Asetat 0,25
Propianat + 0,5 Butirat. Sedangkan CO 2 = 0,5 Asetat + 0,25 Propionat + 1,5
Butirat. Produksi ATP dalam rumen, jumlah energi untuk produksi VFA, jumlah
energi hilang sebagai metan, jumlah energi hilang sebagai panas, sintesis
biomassa (BK) mikroba dan sintesis protein mikroba dihitung berdasarkan
kesetimbangan fermentasi dalam rumen (Owens dan Goetsch, 1988), yaitu :
Produksi ATP dalam Rumen (mol) = 2,5Asetat + 2,75Propionat + 3,5Butirat
Energi VFA (Mkal) = 0,2094Asetat + 0,3672Propionat + 0,5243Butirat
Energi hilang sbg methan (Mkal) = 0,2108 (0,5Asetat+0,5Butirat
0,25Propionat)
Energi hilang sbg panas (Mkal) = 0,0042Asetat + 0,0028Propionat +
0,0188Butirat
Sintesis Biomassa Mikroba (g/h) = 25Asetat + 27,5Propionat + 35Butirat
6000 Prod ATP dalam Rumen
Sintesis Protein Mikroba (g/h) =
162 (0,5Asetat + 0,5Propionat + Butirat)

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat
hasil yang berbeda nyata (P0,05), analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Jujur (BNJ)/Honestly Significant Difference/HSD (Sastrosupadi, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produktivitas ternak
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian kelima wafer ransum berbasis
limbah nonkonvensional terfermentasi inokulan konsorsium mikroba
menghasilkan produktivitas ternak sama (P>0,05) (Tabel 5), walaupun secara
kuantitatif pemberian WF3 menghasilkan pertambahan bobot badan harian,
konsumsi serat kasar, konsumsi protein kasar dan konsumsi energi yang lebih
tinggi masing-masing sebesar 0,54-10,62%, 1,27-9,44%, 1,25-24,62%, dan 1,25-
24,61%. Terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik, pemberian WFc
menghasilkasn tingkat konsumsi secara kuantitatif tertinggi (510,88 g/e/h dan
441,90 g/e/h) yang lebih besar 0,04-1,15% dan 0,53-4,54% dibandingkan dengan
pemberian wafer ransum lainnya.

Prosiding Semnas II HITPI Page 320


Tabel 5. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap
Produktivitas Kambing PE
Perlakuan1
Peubah SEM 3
WFc WF1 WF2 WF 3 WF4
BB Awal (kg/ekor) 15,67a 15,72a 15,90a 15,93a 16,07a 1,26
BB Akhir (kg/ekor) 18,69a 19,04a 19,03a 19,27a 19,25a 1,29
PBBH (gram/hari) 60,37a2 66,42a 62,68a 66,78a 63,64a 5,63
Konsumsi BK (g/h) 510,88a 505,80a 507,96a 510,67a 505,07a 49,52
Konsumsi BO (g/h) 441,90a 437,91a 438,86a 439,56a 422,72a 53,45
Konsumsi SK (g/h) 61,74a 61,86a 62,07a 67,57a 66,72a 6,45
Konsumsi PK (g/h) 74,57a 79,53a 83,21a 92,93a 91,78a 8,08
Konsumsi GE
1624,67a 1732,58a 1812,75a 2024,64a 1999,57a 175,99
(kkal/h)
FCR 8,36a 7,67a 8,20a 7,68a 8,10a 0,63
Keterangan: 1 ) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu
Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR 1 T1 , WF2 yaitu Wafer ransum
terfermentasi bioinokulan BR 2 T1 , WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi
bioinokulan BR1 T2 , dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR2 T2; 2)
Hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
(P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the Treatment Means

Dihasilkannya produktivitas yang sama menunjukkan semua inokulan


konsorsium mikroba mempunyai kualitas baik yang ditunjukkan terjadinya
peningkatan kandungan protein dan energi serta penurunan kadar serat kasar
wafer ransum terfermentasi yang dihasilkan dibandingkan dengan kualitas ransum
basal (Tabel 2 dan 4). Hal ini cukup logis mengingat bioinokulan konsorsium
mikroba yang diproduksi dari limbah rumen sapi bali dan rayap mempunyai
kandungan nutrien dan mikroba yang cukup tinggi (Tabel 1), sedangkan inokulan
R15 E5 merupakan inokulan terbaik hasil penelitian hibah bersaing I dan II (2009-
2010). Sehingga semua inokulan tersebut mampu menjadi fermentor yang baik
untuk ransum berbasis limbah nonkonvensional. Disamping itu pada dasarnya
semua inokulan mengandung konsorsium mikroba dengan berbagai enzim
pendegradasi serat, dimana limbah isi rumen sapi bali maupun rayap merupakan
sumber konsorsium mikroba dengan populasi bakteri, fungi, maupun protozoa
yang tinggi serta kaya berbagai enzim pendegradasi serat, sedangkan enzim
optyzime merupakan enzim kompleks yang mengandung selulase, hemiselulase,
amylase, protease, dan pektinase (Guntoro, Pers.Comm), sehingga inokulan yang
dihasilkan kaya nutrien available, mikroba serta enzim pendegradasi serat pakan.
Secara kuantitatif, pemanfaatan bioinokulan konsorsium mikroba yang
diproduksi dari limbah rumen sapi bali dan rayap (BR1 T1 , BR2 T1 , BR1 T2 dan
BR2 T2 ) menghasilkan pertambahan bobot badan harian lebih tinggi 3,82-10,61%
dan dengan FCR lebih rendah 2,00-8,35% dibandingkan dengan pemanfaatan
R15 E5 inokulan limbah cairan rumen dan enzim optizime pada saat konsumsi
bahan kering dan bahan organik secara kuantitatif lebih rendah 0,04-1,14% dan
0,69-4,34% (Tabel 5). Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kandungan rayap
pada bioinokulan alternatif yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas
enzim khususnya CMCase (endo -D-1.4-glukanase), dimana diketahui rayap
mempunyai aktivitas CMCase yang tinggi yaitu 0,6961-0,7638 U/mg atau 7,11-
33,95 kali lebih besar dibandingkan dengan aktivitas CMCase cairan rumen
kerbau, bahkan 19,39-35,69 kali lebih besar daripada aktivitas enzim cairan
rumen sapi (Prabowo et al., 2007). Disamping itu kombinasi rayap dan cairan
rumen disinyalir meningkatkan kemampuan bioinokulan dalam mendegradasi

Prosiding Semnas II HITPI Page 321


serat pakan, karena produk hasil degradasi CMC-ase (sebagian besar dihasilkan
mikroba rayap) dapat dilanjutkan untuk didegradasi oleh enzim eksoglukanase
maupun -glukosidase (banyak dihasilkan mikroba cairan rumen) (Prabowo, et
al., 2007; Tresnawati Purwadaria et al., 2003;2004), sehingga meningkatkan
keseimbangan aktivitas kompleks enzim selulase (Beauchemin et al., 2003 dalam
Prabowo et al., 2007).

Fermentasi Rumen
Terhadap proses fermentasi rumen, penggunaan bioinokulan yang
diproduksi dari kombinasi 10% cairan rumen dan 0,2% rayap (BR1 T2 ) sebagai
fermentor dalam produksi wafer silase ransum berbasis limbah nonkonvensional
mengakibatkan penurunan (P<0,05) populasi protozoa sebesar 38,37%,
meningkatkan (P<0,05) produksi VFA total (78,67%), asam asetat (88,69%)
produksi ATP dalam rumen (83,67%) dan sintesis bahan kering mikroba rumen
sebesar 83,59%, sedangkan terhadap derajat keasaman rumen (pH), produksi N-
NH3 , asam propionat, asam butirat, jumlah bahan organik terdegradasi dalam
rumen, energi untuk produksi VFA, enegi yang hilang untuk produksi methan,
enegi panas, sintesis protein mikroba maupun efisiensinya belum secara nyata
(P>0,05) menghasilkan nilai yang berbeda dibandingkan inokulan kombinasi
cairan rumen dan enzim optizime (R15 E5 ) (Tabel 6). Hasil penelitian juga
menunjukkan penggunaan bioinokulan lain (BR1 T1 , BR2 T1 dan BR2 T2 ) secara
kuantitatif juga menurunkan populasi protozoa, meningkatkan VFA total, asam
asetat, produksi ATP dalam rumen dan sintesis biomassa mikroba, walaupun
belum menunjukkan nilai berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan
penggunaan inokulan R15 E5 (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap


Fermentasi Rumen Kambing PE
Perlakuan 1
Peubah S EM3
WFc WF1 WF2 WF3 WF4
Protozoa (x104) 6,62b 5,00ab 5,00ab 4,08a 4,31a 0,44
Ph 6,74a 6,84a 6,81a 7,00a 6,68a 0,17
N-NH3 (m.M ol) 20,03a 19,22a 18,50a 19,51a 20,41a 2,18
VFA Total (m.M ol) 81,50a 122,91ab 128,26ab 145,62b 134,94ab 12,33
VFA Parsial
- Asetat (mM ) 42,36a 67,75ab 68,58a 79,93b 71,03ab 6,47
- Propionat (mM ) 22,89a 34,42a 36,81a 42,26a 38,07a 5,48
- Butirat (mM ) 9,65a 14,42a 16,28a 15,97a 13,94a 2,41
- As. Lemak lain (mM ) 6,60a 6,33a 6,58a 7,46a 11,89a 1,70
BO Terdegradasi (g) 187,78a 201,93a 201,03a 225,00a 218,61a 34,94
Prod. ATP di Rumen 202,61a 314,48ab 329,68ab
30,57
(mM ) 371,96b 331,07ab
Energi u. Prod. VFA 22,33a 34,38a 36,42a
3,56
(M kal) 40,63a 36,16a
Energi M ethan (M kal) 4,50a 6,85a 7,00a 7,88a 6,95a 0,85
Energi Panas (M kal) 0,42a 0,65a 0,70a 0,75a 0,67 0,07
Sintesis BK M ikroba (g) 2026,07a 3144,81ab 3296,83ab 3719,57b 3310,66ab 305,71
SPM (g) 177,56a 177,80a 177,19a 178,94a 179,09a 1,64
eSPM (g/100 g BOTr.) 108,27a 88,75a 89,07a 80,29a 94,01aa 20,02
Keterangan: 1) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan
BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2; 2) Hurup yang sama pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the
Treatment Means

Prosiding Semnas II HITPI Page 322


Peningkatan sintesis bahan kering mikroba rumen (Microbial Biomass
Synthesis), produksi Adenosin Tri Phosphat/ATP dan produksi VFA total dan produksi
Asam Asetat pada kambing PE yang diberi wafer silase ransum terfermentasi
bioinokulan BR1 T2 (bioinokulan yang diproduksi menggunakan kombinasi 10%
limbah cairan rumen dan 0,2% rayap) menunjukkan pada kombinasi level cairan
rumen dan ekstrak rayap tersebut kondisi optimal rumen untuk pertumbuhan dan
aktivitas mikroba rumen khususnya bakteri pendegradasi serat pakan tercapai. Hal
ini tampak secara nyata dari pH cairan rumen yang berada dalam kisaran normal
yaitu pH 7 (kisaran pH normal adalah 6-7, Theodorou dan France, 1993) serta
didukung populasi protozoa terendah (4,08 x 104 sel/ml) (Tabel 6) sehingga
pertumbuhan dan aktivitas bakteri rumen menjadi lebih baik. Hal ini sejalan
dengan pendapat Van Glyswyk (1995) yang menyebutkan populasi protozoa yang
tinggi merupakan salah satu faktor pembatas aktivitas bakteri rumen khususnya
pada saat pasokan nutrien pakan rendah. Kamra (2005) juga menyatakan
peningkatan populasi protozoa akan menurunkan populasi bakteri khususnya
selulolitik bakteri akibat dimangsa protozoa. Sehingga penurunan populasi
protozoa dan kondisi pH rumen yang optimal serta didukung pasokan nutrien
ready fermentable yang tinggi (produksi ATP, VFA, N-NH3) akan mendukung
pertumbuhan dan aktivitas bakteri sehingga sintesis biomassa mikroba akan
meningkat.
Optimalisasi bioproses dalam rumen yang ditunjukkan dengan adanya
sintesis biomassa mikroba, produksi ATP dan produksi VFA yang tinggi,
disinyalir sebagai respon suplementasi 0,2% rayap pada bioinokulan yang
diproduksi dari 10% cairan rumen, dimana rayap telah diketahui mempunyai
berbagai mikroba (bakteri, fungi dan protozoa) serta menghasilkan kompleks
enzim selulase dan dengan aktivitas enzim CMC-ase yang tinggi (Prabowo et al.,
2006; Tresnawati Purwadaria, 2003;2004). Tingginya kandungan dan aktivitas
CMC-ase akan meningkatkan efektivitas degradasi serat ransum, dimana enzim
CMC-ase merupakan enzim yang paling awal/pertama mendegradasi serat pakan
khususnya dalam memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin
selulosa dari serat ransum berbasis limbah inkonvensional sehingga terbentuk
rantai-rantai individu selulosa. Disamping itu adanya limbah cairan rumen yang
juga diketahui mempunyai kandungan mikrobia dan enzim pendegradasi serat
pakan yang tinggi pula khususnya enzim eksoglukanase dan -glukosidase
(Prabowo et al., 2007; Mudita et al, 2008-2010) telah mampu secara baik
memanfaatkan atau memproses lebih lanjut produk yang dihasilkan oleh aktivitas
enzim CMC-ase. Enzim eksoglukanase dan -glukosidase (dari cairan rumen)
akan bekerja melanjutnya proses degradasi serat pakan dengan cara memotong
ujung-ujung rantai individu selulosa sehingga menghasilkan selobiosa, dan
selanjutnya enzim -glukosidase akan menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa.
Berlanjutnya secara baik degradasi serat ransum akan mengoptimalkan produksi
dan pemanfaatan nutrien available baik bagi mikroba rumen sendiri maupun
induk semang yang ditunjukkan dengan dihasilkannya ATP, VFA maupun sintesis
biomassa mikroba yang tinggi sehingga produktivitas dan efesiensi pemanfaatan
ransun oleh ternak akan meningkat (Tabel 5).

Kecernaan Nutrien Wafer Ransum


Terhadap kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum, pemanfaatan

Prosiding Semnas II HITPI Page 323


semua inokulan konsorsium mikroba sebagai fermentor wafer ransum limbah
nonkonvensional menghasilkan kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum
yang sama (P>0,05) (Tabel 7), walaupun secara kuantitatif penggunaan
bioinokulan konsorsium mikroba limbah isi rumen sapi bali dan rayap (BR1 T1 ,
BR2 T1 , BR1 T2 dan BR2 T2 ) menghasilkan nilai yang lebih tinggi masing-masing
sebesar 3,41-8,18%, 3,16-5,49%, 6,00-7,77%, 2,21-15,31% dan 6,97-9,05% untuk
kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar,
kecernaan serat kasar dan kecernaan energi dibandingkan dengan pemanfaatan
R15 E5 .

Tabel 7. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap


Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Wafer Ransum
Perlakuan1
Peubah SEM3
WFc WF1 WF2 WF3 WF4
Kecernaan BK (%) 67,14a2 70,08a 69,43a 71,94a 72,63a 4,11
Kecernaan BO (%) 70,55a 73,27a 72,78a 74,42a 73,21a 4,81
Kecernaan PK (%) 74,81a 79,49a 79,52a 80,62a 79,30a 3,73
Kecernaan SK (%) 46,64a 47,67a 48,91a 53,78a 51,97a 6,91
Kecernaan Energi (%) 71,83a 77,05a 77,09a 78,33a 76,84a 4,17
Keterangan: 1)WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime, WF1 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR1T1, WF2 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan
BR2T1, WF3 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1T2, dan WF4 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR2T2; 2) Hurup yang sama pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the
Treatment Means

Dihasilkannya kecernaan bahan kering dan nutrien wafer ransum yang


sama (P>0,05) menunjukkan semua inokulan konsorsium mikroba mempunyai
kualitas baik dan mampu menjadi fermentor yang baik sehingga mampu
menghasilkan wafer ransum berkualitas berbasis limbah nonkonvensional (Tabel
4). Pemberian wafer ransum berkualitas baik yang ditunjukkan dengan adanya
palatabilitas yang tinggi (Tabel 5) serta ditunjang proses fermentasi rumen yang
baik (Tabel 6) sehingga akan menghasilkan kecernaan nutrien wafer ransum yang
tinggi dan pada akhirnya menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula.

Emisi Polutan Usaha Peternakan Kambing PE


Emisi polutan usaha peternakan kambing PE yang diberi wafer silase
ransum terfermentasi bioinokulan yang diproduksi dari cairan rumen dan rayap
(WF1 , WF2 , WF3 , WF4 ) maupun terfermentasi inokulan cairan rumen dan enzim
optizime (WFc) menghasilkan nilai yang berbeda tidak nyata (P>0,05) hampir
pada semua peubah pengamatan kecuali kadar amoniak/NH3 urine (Tabel 8).
Peningkatan kadar NH3 urine terjadi pada ternak yang diberi perlakuan WF 2
(wafer silase ransum terfermentasi BR2 E1 ) yaitu 33,79 m.Mol atau meningkat
(P<0,05) sebesar 150,56% dibandingkan dengan perlakuan WFc (12,97 mg/h),
namun berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan lainnya. Namun
peningkatan kadar NH3 urine ini tidak sampai meningkatkan emisi NH3 urine
harian yang merupakan indikator secara langsung jumlah emisi yang dikeluarkan
ke lingkungan, sehingga tidak membawa pengaruh negatif bagi lingkungan.

Prosiding Semnas II HITPI Page 324


Tabel 8. Pengaruh Biofermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Terhadap Emisi
Polutan Kambing PE
Perlakuan1
Peubah SEM3
WFc WF1 WF2 WF3 WF4
Metan Cairan Rumen 20,28a 32,48a 33,23a 37,39a 32,97a 4,04
(m.Mol)
Emisi Metan Cairan 24,73a 26,28a 25,83a 25,83a 24,70a 2,15
Rumen (% bdsr.
Prod.VFA Total)
CO2 Cairan Rumen 42,37a 64,11a 67,92a 74,49a 65,94a 6,85
(m.Mol)
Emisi CO2 Cairan 50,74a 52,19a 52,78a 51,05a 49,00a 1,52
Rumen
(% bdsr. Prod.VFA
Total)
NH3 Feses (m.Mol) 21,85a 16,29a 17,08a 14,31a 20,79a 2,03
Prod. NH3 Feses (mg/h) 86,58a 67,15a 66,21a 62,88a 90,46a 11,87
NH3 Urine (m.Mol) 12,97a 19,83ab 33,79b 28,39b 21,75ab 2,92
Prod. NH3 Urine (ml/h) 105,20a 201,81a 244,75a 199,42a 161,13a 54,70
Keterangan: 1 ) WFc = Wafer ransum terfermentasi cairan rumen dan enzim optizime,
WF1 yaitu Wafer ransum terfermentasi bioinokulan BR1 T1 , WF2 yaitu Wafer
ransum terfermentasi bioinokulan BR 2 T1 , WF3 yaitu Wafer ransum
terfermentasi bioinokulan BR1 T2 , dan WF4 yaitu Wafer ransum terfermentasi
bioinokulan BR2 T2; 2 ) Hurup yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), 3) SEM = Standard Error of the
Treatment Means

Tidak terjadinya peningkatan emisi polutan usaha peternakan kambing


yang diberi wafer silase ransum berbasis limbah terfermentasi produk/inokulan
berbasis cairan rumen dan enzim optizime/rayap disebabkan berlangsungnya
proses metabolisme yang cukup baik yang ditunjukkan adanya nilai FCR yang
cukup rendah, tingkat kecernaan bahan kering maupun nutrien yang cukup tinggi,
dan bioproses dalam rumen yang baik (Tabel 5-7) sehingga emisi polutan yang
dihasilkan baik melalui fermentasi rumen (eruktasi gas methan), limbah feses
maupun urin ternak penelitian cukup rendah. Disamping itu hal ini juga sebagai
respon yang positif dari pemakaian kombinasi sumber inokulan baik kombinasi
limbah cairan rumen dengan enzim optizim maupun kombinasi limbah cairan
rumen dengan rayap. Dimana kedua kombinasi sumber inokulan ini telah mampu
menghasilkan keseimbangan enzim yang baik dalam proses degradasi wafer
ransum khususnya degradasi komponen serat pakan menjadi senyawa yang dapat
dimanfaatkan/diserap tubuh ternak untuk menunjang produktivitasnya.
Disamping itu, bila dibandingkan dengan emisi polutan khususnya emisi
CH4 dan CO2 per unit VFA total yang dihasilkan dari kambing PE yang diberi
wafer ransum tanpa aplikasi biofermentasi (Hasil penelitian Hibah Bersaing I
Tahun 2009) yaitu masing-masing 33,15% dan 55,66% tiap unit VFA total
(Wibawa et al., 2009; Mudita et al., 2010), menunjukkan pemanfaatan inokulan
konsorsium mikroba menghasilkan emisi CH4 dan CO 2 lebih rendah masing-
masing 20,72-25,49% dan 5,17-11,96%. Hal ini menunjukkan aplikasi teknologi
biofermentasi inokulan konsorsium mikroba sebagai fermentor dalam produksi
wafer ransum berbasis limbah nonkonvensional mampu menurunkan emisi
polutan usaha peternakan kambing PE.

Prosiding Semnas II HITPI Page 325


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian wafer


ransum terfermentasi kelima inokulan konsorsium mikroba menghasilkan
produktivitas, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum dan emisi polutan yang
sama, sedangkan pemanfaatan bioinokulan BR1 T2 menghasilkan VFA total, Asam
Asetat, produksi ATP di rumen dan sintesis biomassa mikroba tertinggi
dibandingkan dengan bioinokulan lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai DP2M
Dikti melalui Program Hibah Bersaing III (2011). Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada DP2 M Dikti, Rektor Universitas Udayana, LPPM Unud, Dekan
Fakultas Peternakan Unud, Dekan Fakultas Peternakan Unhas, Kepala Lab. serta
staf analis laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Biofarmaka Fakultas
Farmasi Unhas, Kepala Lab dan analis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud atas
segala bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. ICI Organic Acids Column. Instruction Manual. ICI Australia


Operations Pty Ltd. Scientific Instruments Division
Anonymous. Pedoman Kerja (Edisi Indonesia). Biocon Diagnostik. Quality
Diagnostics Manufactured in Germany. PT. Biocon Indonesia, Jakarta Selatan
Association of Official Analytical Chemist (A.O.A.C.). 1980. Official Method of
Analysis. 13th Ed., Washington, DC.
Bratasida. 2002. Sustainable human settlements CSD12, Navy, New York
Hegarty, R. 2001. Green House Gas Emission From The Australian Livestock
Sector. What Do We Know, What Can We Do. Australian Green House
Office, Canberra ACT. ISBN: 1 876536 69 1. [cited 2007 Decembre 24].
Available from: URL: http://www.greenhouse.gov.au/agriculture
/publications/pubs/ methane_emissions.pdf
Howard R. L., Abotsi E., J. V. Rensburg E. L., and Howard S. 2003.
Lignocellulose Biotechnology; Issues of Bioconversion and Enzyme
Production. Review. African Journal of Biotechnology Vol. 2 (12); 602-619
International Atomic Energy Agency/IAEA. 1997. Estimation of Rumen
Microbial Protein Production From Purine Derivatives in Urine. A laboratory
Manual for The FAO/IAEA Co-ordinated Research Programme on
Development, Standardization and Validation of Nuclear Based Technologies
for Measuring Microbial Protein Supply in Ruminant Livestock for
Improving Productivity. IAEA-TECDOC-945.Vienna, Austria
Kamra, D. N. .2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special Section: Microbial
Diversity. Current Science. Vol. 89. No. 1. hal 124-135. [cited 2007
Decembre 20]. Available from: URL:
http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf
Mudita, I M.. 2008. Suplementasi Multi Vitamin-Mineral dalam Ransum Komplit
Berbasis Jerami Padi Amoniasi Urea untuk Meningkatkan Efisiensi Sintesis

Prosiding Semnas II HITPI Page 326


Protein Mikroba Rumen Sapi Bali Penggemukan. Tesis Program Studi Ilmu
Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar
Mudita, I M., I G. L.O. Cakra, A.A.P.P.Wibawa, N.W.Siti. 2009. Penggunaan
Cairan Rumen sebagai Bahan Bioinokulan Plus Alternatif serta
Pemanfaatannya dalam Optimalisasi Pengembangan Peternakan Berbasis
Limbah yang Berwawasan Lingkungan. Laporan Penelitian Hibah Unggulan
Udayana. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar
Mudita, I M., T.I. Putri, T.G.B. Yadnya, dan B. R. T. Putri. 2010 a. Penurunan
Emisi Polutan Sapi Bali Penggemukan Melalui Pemberian Ransum Berbasis
Limbah Inkonvensional Terfermentasi Cairan Rumen. Prosiding Seminar
Nasional, Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
ISBN: 978-979-25-9571-0
Mudita, I M., A.A.P.P.Wibawa, I W.Wirawan, N.W.Siti, and I G.L.O.
Cakra.2011. Improving the Nutritive Value of Total Mixed Ration Based on
By-Products Fermented by Rumen Liquor and Enzyme. Indonesian Journal of
Nutrition & Feed Science Vol. 2 (1); 20-25.
Mudita, I M., I W. Wirawan, A.A.P.P. Wibawa, I G.L. O. Cakra and N. W. Siti.
2011. Optimising Rumen Function of Bali Cattle Fed Ration Based on
Agriculture By-Products with Supplementation of Multivitamin-Minerals.
Proceedings 3nd International Conference on Biosciences and Biotechnology.
278-286
Mudita, I M., I W. Wirawan, A.A.P.P.Wibawa, dan I G. N. Kayana 2012.
Penggunaan cairan Rumen dan Rayap dalam Produksi Bioinokulan Alternatif
serta Pemanfaatannya dalam Pengembangan Peternakan Sapi Bali Kompetitif
dan Sustainable. Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Universitas
Udayana, Denpasar.
Owens, F.N. dan A.L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed.
The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A. Reston Book.
Prentice Hall, Eglewood Cliffs, New Jersey.
Pathma, J. and N. Sakthivel. 2012. Microbial Diversity of Vermicompost bacteria
that Exhibit Useful Agricultural Traits and Waste Management
Potential.SpringerPlus.Vol.1(26);1-19
Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. De la Rubia, and J. Martinez. 2002.
Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and
Lignin; an overview. Int. Microbial, 5: 53-56
Prabowo, A., S. Padmowijoto, Z. Bachrudin, dan A. Syukur. 2007. Potensi
Mikrobia Seluloltik Campuran dari Ekstrak Rayap, Larutan Feses Gajah dan
Cairan Rumen Kerbau. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32[3] Sept. 2007
Putri, T.I., T.G.B.Yadnya, I M. Mudita, B.R. T. Putri., 2009. Biofermentasi
ransum berbasis bahan lokal asal limbah inkonvensional dalam
pengembangan usaha peternakan sapi Bali kompetitif dan sustainable.
Laporan Penelitian Tahun Pertama Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai
Prioritas Nasional Batch IV. Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Sarkar, P., M. Meghvanshi and rajni Singh. 2011. Microbial Consortium; A New
Approach in Effective Degradation of Organic Kitchen Waste. International
Journal of Environmenmtal Science and development. Vol. 2 No. 3; 170-174
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang pertanian. Edisi
Revisi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Prosiding Semnas II HITPI Page 327


Theodorou, M.K., and J. France. 1993. Rumen Microorganisms and Their
Interaction. In;Quantitative Aspests of Ruminant Digestion and
Metabolism.Edited by; J.M. Forbes and J. France. Pages; 145-163. C-A-B
International. United Kingdom at The University Press, Cambridge.
Tresnawati Purwadaria, Pesta A. Marbun, Arnold P. Sinurat Dan P. Ketaren.
2003a. Perbandingan Aktivitas Enzim Selulase Dari Bakteri Dan Kapang
Hasil Isolasi Dari Rayap. JITV Vol. 8 No. 4 Th 2003:213-219
Tresnawati Purwadaria, T., Pius P. Ketaren, Arnold P. Sinurat, and Irawan
Sutikno. 2003b. Identification and Evaluation of Fiber Hydrolytic Enzymes in
The Extract of Termites (Glyptotermes montanus) for Poultry Feed
Application. Indonesian Journal of Agricultural Sciences 4(2) 2003; 40-47
Tresnawati Purwadaria, T., Puji Ardiningsip, Pius P. Ketaren dan Arnold P.
Sinurat. 2004. Isolasi dan Penapisan Bakteri Xilanolitik Mesofil dari Rayap.
Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol. 9, No. 2.September 2004, hlm. 59-62
Van Glyswyk, N.O. 1995. Factors Limiting Proliferation of Desirable Groups of
bacteria in The Rumen of Animals Fed Poor Quality Feeds of High Fibre
Content. In; Rumen Ecology Research Plannig. Proceeding of Workshop held
at ILRI. Addis Ababa, Ethiopia 13 18 March 1995. Edited by;,R. J. Wallace
and A. L. Kassi. The International Livestock Research Institute, Nairobi,
Kenya., Addis Ababa, Ethiopia.
Wanapat, M. 2000. Rumen Manipulation to Increase the Efficient Use of Local
Feed Resources and Productivity of Ruminants in the Tropics. Asian-Aus. J.
Anim. Sci. 13 Supplement July B: 59-67
Wibawa, A.A. A. P. P., I M. Mudita, I W. Wirawan. I G. L. O. Cakra. 2009-2010.
Aplikasi Teknologi Suplementasi dan Biofermentasi dalam Wafer Ransum
Komplit Berbasis Limbah Inkonvensional dalam Pengembangan Peternakan
Kambing Sustainable dengan Emisi Polutan Rendah. Laporan Penelitian
Hibah Bersaing I dan II Universitas Udayana, Denpasar
Wongwilaiwalin, S., U. Rattanachomsri, T. Laothanachareon, L. Eurwilaichirt, Y.
Igarashi, V. Champreda. 2010. Analysis of a thermophilic lignocellulose
degrading microbial consortium and multi-species lignocellulolytic enzyme
system. Enzyme and Microbial Technology Journal 47; 283-290.

Prosiding Semnas II HITPI Page 328


PENGARUH PEMBERIAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT
MENGANDUNG UREA-KAPUR DAN UBI KAYU TERHADAP
PENAMPILAN KAMBING PE

I G. Mahardika*; N.S. Dharmawan**; K. Budaarsa*


I G.L.O. Cakra* , I P. Ariastawa* dan Indra Arimahayana*
*Fakultas Peternakan Universitas Udayana
**Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian hijauan


dan konsentrat yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu terhadap produktivitas
kambing. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan
dan 4 ulangan. Ke empat perlakuan yang dicobakan adalah Perlakuan A: ransum
dengan 75% konsentrat (mengandung 4% urea, 2% kapur dan 50% ubikayu) dan
25% hijauan (40% gamal dan 60% rumput raja), perlakuan B: rasnsum yang
terdiri 60% konsentrat 40% hijauan, perlakuan C: ransum dengan 45% konsentrat
dan 55% hijauan dan perlakuan D: ransum dengan 30% konsentrat dan 70%
hijauan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa produktivitas kambing yang
mendapat ransum dengan level konsentrat 45% sampai 75% tidak berbeda
sedangkan yang mendapat ransum dengan level konsentrat 30% lebih rendah.
Ransum yang memebrikan nilai ekonomi tertinggi adalah ransum yang
mengandung konsentrat antara 45% sampai 60%.
Kata kunci:Produktivitas, kambing, urea, kapur, ubi kayu.

EFFECT OF FORAGE AND CONCENTRATE FEED CONTAINING


UREA-LIME AND CASSAVA MEAL ON PRODUCTIVITY OF GOATS

I G. Mahardika*; N.S. Dharmawan**, K. Budaarsa*


I G.L.O. Cakra*, I P. Ariastawa* and Indra Arimahayana
*Faculty of Animal Husbandry, Udayana University
** Faculty of Veterinary Science, Udayana University

ABSTARCT

The experiment was conducted to study the effect of forage and


concentrate feed containing urea-lime and cassava meal on productivity of goat.
Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 4 replicates were
used in this experiment. Treatment A: ration with 75% concentrate (4% urea 2%
lime and 50% cassava meal) and 25% forage (40% gliricidia leaf and 60% king
grass), treatment B: ration with 60% concentrate and 40% forage, treatment C:
ration with 45% concentrate and 55% forage and treatment D: ration with 30%
concentrate and 70% forage. Results of this experiment showed productivity of
goat feed 45% to 75% higher than feed 30% concentrate. Ration with 45-60%
concentrate gives higher economic value.
Key words: Productivity, goats, urea, lime, cassava meal

Prosiding Semnas II HITPI Page 329


PENDAHULUAN

Suplementasi urea dapat digunakan sebagai sumber amonia (nitrogen),


tetapi urea sangat cepat melepas nitrogen (N) dalam rumen, dan dapat
memproduksi amonia dengan cepat sehingga bila dosisnya berlebihan akan
menyebabkan keracunan bahkan dapat menyebabkan kematian ternak (Stanton
dan Whittier, 2006). Huntington et al. (2006) melaporkan bahwa urea dihidrolisis
dengan cepat dalam rumen dan puncak produksi amonianya dicapai pada 1 jam
setelah pemberian urea. Taknik untuk memperlambat pelepasan amonia dari
hidrolisis urea di rumen dipandang lebih efisien, dan aman karena dapat
mencegah keracunan amonia (Galo et al., 2003).
Penggunakan urea dalam ransum perlu disertai dengan penggunaan
sumber energi (sumber karbohidrat) yang mudah larut/tersedia di dalam rumen,
karena untuk mensintesa protein mikroba yang optimal diperlukan keseimbangan
antara energi (VFA) dan nitrogen dalam bentuk N-NH3 . Bahan makanan sebagai
sumber karbohidrat yang sudah umum digunakan adalah molasis, namun bahan
ini harganya tinggi dan keberadaannya tidak tersebar diseluruh Indonesia, oleh
karena itu perlu dicarikan sumber karbohidrat alternatif lainnya seperti ubi kayu.
Ubi kayu mengandung energi yang tinggi (85% BK) tetapi rendah kandungan
proteinnya (Kyotong dan Wanafat, 2004; Wanafat dan Khampa, 2007).
Disamping itu ubi kayu mengandung karbohidrat lebih tinggi dibandingkan
dengan jagung (Somart et al., 2000; Chanjula et al., 2003). Hasil penelitian
Chanjula et al., (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi penggunaan urea dengan
pati yang berasal dari ubi kayu atau jagung dalam ransum sapi perah memberikan
respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi sapi perah. Sebelumnya
Gerparcio et al., (1979) mendapatkan kandungan pati ubi kayu (48,49%) lebih
tinggi dari kandungan pati jagung (45,35%). Disisi lain harga ubi kayu lebih
murah dibandingkan dengan jagung. Dari fenomena ini dapat menunjukkan
bahwa ubi kayu dapat dijadikan sumber energi yang potensial sebagai pakan
kambing. Namun imbangan yang optimal antara urea-kapur sebagai slow release
urea (SRU) dan ubi kayu dalam ransum kambing Peranakan Etawah (PE) belum
ada informasinya. Penelitian pendahuluan kami mendapatkan bahwa penggunaan
urea 5% dan 2% kapur dalam konsentrat yang disertai dengan penggunaan 50%
ubi kayu memberikan kinerja rumen yang terbaik. Berdasarkan atas hasil tersebut
perlu dicoba berapa imbangan hijauan dan konsentrat tersebut di dalam ransum
agar memberikan penampilan ternak yang terbaik dan efisiensi penggunaan pakan
yang tertinggi. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui produktivitas kambing yang diberikan pakan konsentrat mengandung
urea-kapur dan ubi kayu.
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain: 1)
sebagai dasar penyusunan ransum ternak kambing dengan menggunakan limbah
pertanian yang disuplementasi dengan urea-kapur dan ubi kayu. 2) Penerapan
hasil penelitian ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan
meningkatkan produktivitas ternak, 3) meningkatkan pendapatan peternak
kambing karena menggunakan pakan yang efisien serta menghasilkan ternak
dengan produksi yang baik.

Prosiding Semnas II HITPI Page 330


MATERI DAN METODE

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 ekor kambing


Peranakan Etawa (PE) jantan, dengan kisaran berat badan awal 25 kg. Kambing
tersebut ditempatkan sacara acak dalam kandang individu dengan kapasitas satu
ekor per kandang dan diberikan pakan sesuai dengan rancangan percobaan yang
digunakan.
Ransum yang diberikan pada penelitian ini terdiri dari imbangan antara
hijauan (40% gamal dan 60% rumput raja) dengan konsentrat yang mengandung
urea-kapur dan ubikayu. Ransum disusun disesuaikan dengan standar kebutuhan
kambing berat 25 Kg. dengan pertambahan berat badan 75g per hari (Kearl 1982)
dengan protein kasar 11% dan total digestible nutrien 72%.
Penelitian menggunakan rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
ulangan dan 4 Perlakuan. Adapuan keempat perlakuan yang dicobakan adalah:
Perlakuan A: Ransum yang terdiri dari 25% hijauan dan 75% konsentrat.
Perlakuan B: Ransum yang terdiri dari 40% hijauan dan 60% konsentrat.
Perlakuan C: Ransum yang terdiri dari 55% hijauan dan 45% konsentrat.
Perlakuan D: Ransum yang terdiri dari 70% hijauan dan 30% konsentrat.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan ternak, konsumsi pakan dan


konsumsi nutrien, pH rumen, NH3 , VFA total, asam asetat, asam propionat, asam
butirat, gas methan, efisiensi dan sintesis protein mikroba, populasi protozoa. Di
samping itu dihitung juga kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kadar
urea darah, Sintesis Protein Mikroba (SPM), serta Neraca protein dan energi.
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil
yang berbeda nyata (P< 0,05), analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari
Duncan (Steel dan Torrie, 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan ternak
Berat badan akhir kambing yang mendapat ransum yang terdiri dari 75%
konsentrat dan 25% hijauan (perlakuan A) adalah: 36,65 kg, sedangkan berat
badan kambing yang mendapat perlakuan B, C dan D berturut-turut adalah: 36,20
kg; 35,15 kg dan 32, 75 kg. Berat badan akhir kambing pada perlakuan D nyata
lebih rendah dari perlakuan A, B dan C (P<0,05). Lebih rendahnya berat badan
kambing pada perlakuan D tersebut disebabkan karena kambing pada perlakuan D
mengkonsumsi nutrien (energi, protein) yang lebih rendah dari peerlakuan
lainnya. Bila dihitung kenaikan berat badan selama 16 minggu maka diperoleh
kenaikan berat badan (PBB) kambing pada perlakuan A adalah: 112,50 g/h,
sedangkan pada perlakuan B. 0,79% lebih tinggi dan pada perlakuan C 6,75%
lebih rendah dari perlakuan A, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).
Kanaikan berat badan kambing pada perlakuan D nyata 31,74% lebih rendah dari
perlakuan A (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan yang
mengandung 45-75% konsentrat yang dikombinasikan dengan hijauan yang terdiri
dari 40% gamal dan 60% rumput raja memberikan pertumbuhan yang tidak
berbeda, sedangkan bila konsentratnya dibawah 45%, maka pertumbuhan
kambing menjadi nyata lebih rendah.

Prosiding Semnas II HITPI Page 331


Konsumsi ransum kambing yang mendapat perlakuan A adalah: 980,94
g/h, sedangkan konsumsi ransum pada perlakuan B, C dan D tidak berbeda
dengan perlakuan A (P>0,05). Dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda
tersebut akan menyebabkan kambing mendapatkan nutrien dengan jumlah
berbeda karena ransum pada perlakuan A mengandung konsentrat yang lebih
tinggi. Hal ini menyebabkan kenaikan berat badan kambing yang mendapat
konsentrat yang lebih banyak adalah lebih tinggi. Akibatnya adalah FCR kambing
pada perlakuan D paling tinggi.

Tabel 1. Penampilan Kambing yang mendapat pakan yang mengandung urea-


kapur dan ubi kayu
Variabel Perlakuan 1)
A B C D
Berat badan awal (kg) 24.05a 23.50a 23.40a 24.16a2)
Berat badan akhir (kg) 36.1a 36.19a 35.15a 32.76b
Kenaikan berat badan (g/h) 112,5a 113,39a 104.91a 76,79b
Konsumsi BK (g/h) 980.94a 984,41a 970,82a 960,32a
FCR 8,72a 8,68a 9,25a 12,51b
Keterangan:
1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan
C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan
D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)

Rendahnya pertumbuhan kambing pada perlakuan D disebabkan karena


penggunaan konsentrat yang terlalu rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan
akan nutrien untuk pertumbuhan. Di samping itu rendahnya pasokan nutrien juga
akan berpengaruh terhadap proses pencernaan di dalam rumen. Hal ini terlihat
dari sintesis protein mikroba (SPM) pada perlakuan D paling rendah yaitu 65,42
g/h, sedangkan pada perlakuan A, B, dan C adalah: 76,85; 72,72 dan 67,62 g/h.

Kecernaan Pakan
Pengukuran secara in-vivo terhadap kecernaan bahan kering ransum dan
kecernaan protein pakan mendapatkan bahwa kecernaan bahan kering ransum
pada perlakuan A adalah: 71,76% (Tabel 2), sedangkan kecernaan bahan kering
pada perlakuan B dan C tidak berbeda dengan perlakuan A (P>0,05), tetapi
kecernaan bahan kering ransum perlakuan D nyata lebih rendah dari perlakuan A
(P<0,05). Kecernaan protein semua ransum percobaan tidak berbeda nyata
(P>0,05).

Tabel 2. Kecernaan ransum yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu pada
kambing
1)
Variabel Perlakuan
A B C D
Kecernaan Bahan Kering (%) 71,76a 73,05a 70,16a 68,06a2)
Kecernaan Protein (%) 78,62a 78,80a 76,72a 75,00a
Sintesis Protein Mikroba (g/h) 76,85a 72,72a 67,62b 65,42b
Keterangan:
1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan
C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan
D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)

Prosiding Semnas II HITPI Page 332


Hasil pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) mendapatkan
bahwa KCBK ransum perlakuan A dan B tidak berbeda nyata (P<0,05) sedangkan
pada perlakuan C dan D nyata lebih rendah dari perlakuan A. Menurunnya KCBK
pada perlakuan C dan D ini disebabkan karena menurunnya porsi konsentrat yang
akan menyebabkan menurunnya jumlah jumlah nitrogen dan ubi kayu.
Menurunnya jumlah nitrogen dan ubi kayu ini menyebabkan aktivitas mikroba
rumen akan menurun. Demikian pula dengan degradasi bahan organik yang juga
menurun.
Kecernaan protein pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05), walaupun ada kecenderungan meningkatknya porsi
konsentrat menyebabkan kecernaan protein juga meningkat. Menurut Bach et al.
(2005) kecernaan protein ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tipe
protein dan interaksinya dengan nutrien lain khususnya karbohidrat serta populasi
mikroba yang dominan. Hasil penelitian Suryani (2012) mendapatkan bahwa sapi
bali yang diberikan ransum dengan kandungan gamal yang lebih tinggi kecernaan
proteinnya meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena meningkatknya
populasi bakteri proteolitik yang mengakibatkan aktivitas proteolitik meningkat.
Degradasi bahan kering dan bahan organik ini mempunyai hubungan
dengan sintesis protein mikroba yaitu semakin tinggi degradasinya dalam rumen,
maka pembentukan protein mikroba juga meningkat. Hasil ini didukung dengan
meningkatnya sintesis protein mikroba (SPM) pada ransum perlakuan A. Hasil
penelitian Erwanto (1995) mendapatkan bahwa pertumbuhan mikroba rumen
tergantung kepada tersedianya sumber nitrogen, karbohidrat yang mudah larut.
Laju kelarutan karbohidrat merupakan faktor penentu produksi protein mikroba
rumen. Karbohidrat berperan sebagai sumber energi dan sumber kerangka karbon
bagi mikroba .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan jumlah konsentrat
menjadi 45% dalam ransum menyebabkan menurunnya sintesis protein mikroba.
Penurunan ini erat kaitannya dengan menurunnya jumlah urea dan ubukayu yang
didapatkan oleh kambing pada perlakuan C dan D. Stern et al. (2006),
mendapatkan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan mikroba yang optimum
diperlukan pasokan nitrogen dan energi yang seimbang. Kelebihan nitrogen akan
menyebabkan konsentrasi NH3 dalam rumen akan meningkat yang dapat
menyebabkan keracunan, sedangkan kelebihan energi akan menyebabkan
penggunaan energi menjadi tidak efisien.

Keseimbangan Energi dan Protein


Pemberian ransum yang dengan komposisi hijauan dan konsentrat yang
mengandung urea-kapur dan ubikayu dalam jumlah berbeda menghasilkan energi
tercerna yang tidak berbeda (Tabel 3). Namun penurunan jumlah konsentrat di
dalam ransum akan menyebabkan menurunnya jumlah energi yang diretensi
secara signifikan (P<0,05). Penurunan energi yang diretensi ini disebabkan karena
ransum dengan jumlah konsentrat yang lebih tinggi mempunyai keseimbangan
nutrien yang lebih baik sehingga efisiensi penggunaan energinya juga lebih baik.
Hasil penelitian Partama et al. (2010) mendapatkan bahwa sapi bali yang
diberikan pakan jerami padi amoniasi yang disuplementasi dengan konsentrat
menghasilkan retensi energi yang lebih tinggi. Meningkatnya retensi energi ini
akan berdampak kepada pertumbuhan ternak yaitu semakin tinggi energi yang

Prosiding Semnas II HITPI Page 333


diretensi, maka pertumbuhan ternak lebih baik.

Tabel 3. Keseimbangan Energi dan Protein pada kambing yang mendapatkan


ransum mengandung urea-kapur dan ubi kayu.
Variabel Perlakuan 1)
A B C D
Energi tercerna/DE (k.kal/h) 2876a 2823a 2816a 2726a2)
Retensi Energi (k.kal/h) 326,1a 328,2a 304,8a 224,2b
Konsumsi protein (g/h) 203,80a 194,551a 181,95ab 170,22b
Protein tercerna (g/h) 160,20a 153,30a 139,60ab 127,70b
Retensi protein (g/h) 21,72a 21,91a 20,24a 14,77b
Keterangan:
1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan
C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan
D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)

Aspek Ekonomi
Harga ransum yang terdiri dari 75% konsentrat dan 25% hijauan
(perlakuan A) adalah Rp. 3.078, sedangkan harga ransum pada perlakuan B; C
dan D berturut-turut adalah: Rp. 2.742; Rp. 2.407 dan Rp. 2.071. Kaikan berat
badan kambing yang mendapat perlakuan A, B, C dan D berturut-turut: 112,50
g/h, 113,39g/h, 104,91 g/h dan 76,79 g/h. Bila dihitung biaya pakan untuk
kenaikan 1 kg berat badan (PBB), maka pada perlakuan A adalah Rp. 26.842/kg
PBB, sedngakan ransum pada perlakuan B, C dan D berturut-turut Rp. 23.811/kg
PBB, Rp. 22.274/kg PBB dan Rp. 25.905/kg PBB. Dilihat dari aspek ini maka
ransum pada perlakuan B (60% konsentrat dan 40% hijauan) serta ransum pada
perlakuan C (45% konsentrat dan 55% hijauan) memberikan nilai ekonomi
tertinggi karena memerlukan biaya pakan paling murah untuk mendapatkan
kenaikan berat badan. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya yang
dibutuhkan untuk menaikan 1 kg kenaikan berat badan mengikuti persamaan Y =
41506 748,25 X + 7,40 X2 (R2 = 0,95) (Gambar 1).
30000
Biaya pakan/PBBB (Rp/1 kg PBB)

25000

20000

15000

10000

5000

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Level konsentrat (%)

Gambar 1. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya pakan untuk


menaikan 1 kg berat badan

Prosiding Semnas II HITPI Page 334


Kurva Gambar 1. mengindikasikan bahwa pada level konsentrat yang
terlalu rendah meskipun biaya pakannya rendah akan menyebabkan kenaikan
berat badan yang rendah sehingga tidaf efisien. Demikian juga dengan
penggunaan konsentrat yang terlalu tinggi menyebabkan biaya pakan yang tinggi,
walaupun pertumbuhannya terbaik. Bila dilihat dari kurva tersebut, level
konsentrat yang paling efisien antara 45% sampai dengan 60% atau pada rata-rata
penggunaan konsentrat 50%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Produktivitas kambing yang mendapat pakan yang mengandung
konsentrat yang mengandung ure-kapur dan ubi kayu di atas 45% lebih
baik dibandingkan dengan kambing yang mendapat pakan dengan
konsentrat kurang dari 45%, sedangkan produktivitas kambing yang
mendapat pakan yang mengandung konsentrat antara 45% sampai 70%
tidak ada perbedaan.
2. Level konsentrat (mengandung urea-kapur dan ubi kayu) 45% sampai 60%
dan hijauan 40% sampai 55% memberikan nilai ekonomi yang terbaik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Penelitian dan


Pengabdian Masyarakat, Dikti atas pendanaan yang diberikan. Terimakasih
kepada Rektor Universitas Udayana dan Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini.
Kepada Andi Udin Saransi (analisis) di Laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas
serta Yogi dan Putri (mahasiswa S2 Program Pascasarjana Unud) terimakasih atas
segala bantuannya selama penelitian lapangan dan di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA
Bach, A., S. Calsamiglia, dan M.D. Stern. 2005. Nitrogen Metabolism in The
Rumen. J. Dairy Sci. 88(E.Suppl.): E9-E21. American Dairy Science
Association.
Cherdthong, A., M. Wanapat and C. Wachirapakorn 2011. Influence of urea
calcium mixture supplementation on ruminal fermentation characteristics
of beef cattle fed on concentrates containing high levels of cassava chips
and rice straw.
Chiba, L.I. 2009. Animal Nutrition Handbook. Second Revision. URL:
http://www.ag.auburn.edu/-chibale/animalnutrition.html diunduh 5Januari
2011.
Currier, T.A., D.W. Bohnert, S.J. FALCK, C.S. Schauer and S.J. Bartle. 2004.
Daily and alternate-day supplementation of urea or biuret to ruminants
Consuming low-quality forage: III. Effects on ruminal fermentation
characteristics in steers. J. Anim. Sci. 82: 15281535.
Erwanto, 1995. Optimalisasi system fermentasi rumen melalui suplementasi
sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba
pada ternak ruminansia Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian

Prosiding Semnas II HITPI Page 335


Bogor.
Galo, E., S.M. Emanuele, C.J. Sniffen, J.H. White and JR. Knapp. 2003. Effects
of a polymer-coated urea product on nitrogen metabolism in lactating
Holstein dairy cattle. J. Dairy Sci. 86: 2154-2162.
Huntington, G.B., D.L. Harmon, N.B. Kristensen, K.C. Hanson and J.W. Spears.
2006. Effects of a slowrelease urea source on absorption of ammonia and
endogenous production of urea by cattle. Anim. Feed Sci. Technol. 130:
225-241.
Kamra, D. N. .2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special Section: Microbial
Diversity. Current Science. Vol. 89. No. 1. hal 124-135. [cited 2010
Decembre 20]. Available from:
URL:http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf.
Khampa, S., M. Wanapat, C. Wachorapakorn, N. Nontaso and M. Watiaux ,2005.
Effect of urea level and sodium DL-malte in concentrate containing high
cassava chip on ruminal fermentation effeciensy, microbial protein
synthesis in lactating dairy cows raised under tropical condition. Asian-
Aust J. anim. Sci., 5: 837-844.
Kiyothong, K. & M. Wanapat. 2004. Growth, hay yield and chemical composition
of cassava and Stylo 184 grown under intercropping. Asian-
Aust.J.Anim.Sci.17:799-807.
McDonald, P., R. A. Edwards, dan J. F. D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition.
4th Edition. New York : Longman Scientific & Technical.
Partama, I.B.G., I G.L.O. Cakra, I W. Matheus, I K. Sutama dan N.G.K. Roni.
2010. Increasing productivity of bali steer through supplementation of
multi vitamins and minerals in ration based on ammoniation rice straw and
agroindustrial by products. Proceeding Conservation and Improvement of
World Indigenous Cattle. Held by Study Centre for Bali cattle Udayana
University.
Somart, K., Buttery, D.S., Rowlinson, P., and Wannapat, M. (2000). Fermentation
characteristics and microbial protein
Stanton, T.L. & J. Whittier. 2006. urea and NPN for cattle and sheep.
http://www.ext.colostate.edu/Pubs/Livestk/01608.html. [25-01-2011]
Stern, M.D., A. Bach and S. Calsamiglia. 2006. New Consepts in protein
Nutrition of Ruminants. 21st Annual Southwest Nutrition & Management
Conference. February 23 24. Pp: 45 46.
Suryani. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali yang
Diberikan Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sutardi, T, D. Sastradipradja, E. B. Laconi, Wardana, I G. Permana. 1995.
Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan serat
Bermutu rendah , Defaunasi
Wanapat, M. and O. Pimpa. 1999. Effect of ruminal NH3N levels on ruminant
fermentation, purine derivatives, digestibility and rice straw intake in
swamp buffaloes. Asian Aust. J. Anim. Sci. 12: 904-907.
Wanapat, M. & S. Khampa. 2007. Effect of levels of supplementation of
concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology,
microbial N supply and digestibility of nutrients in beef cattle. Asian-
Aust.J.Anim.Sci. 20:75-81.

Prosiding Semnas II HITPI Page 336


EKSPLORASI HIJUAN PAKAN BABI DAN CARA PENGGUNAANNYA
PADA PETERNAKAN BABI TRADISONAL DI PROVINSI BALI

K. Budaarsa, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa


Email: bdr.komang@yahoo.com HP. 08123629838
Fakultas Peternakan Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hijauan yang


diberikan sebagai pakan ternak babi dan cara penggunaannya di propinsi Bali.
Penelitian dilakukan dengan metode survei di seluruh kabupaten dan kota di Bali.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling, dengan
pengelompokan atas dataran rendah dan dataran tinggi di masing-masing
kabupaten dan kota. Pada masing-masing kelompok di ambil 2 orang peternak
babi tradisional, sehingga ada 4 peternak yang diwawancarai di masing-masing
kabupaten dan kota atau 32 peternak di seluruh Bali. Hasil survei menunjukkan
bahwa ada perbedaan hijauan yang diberikan oleh peternak di dataran rendah dan
dataran tinggi. Jenis hijauan yang diberikan di dataran rendah antara lain: batang
pisang (Musa paradisiaceae), kangkung (Ipomaea aquatica), biah-biah
(Limnocharis flava), dan eceng gondok (Eichornia crassipes). Sedamgkan di
dataran tinggi antara lain: batang pisang (Musa paradisiaceae), ketela rambat
(Ipomaea batatas), daunt alas (Colocasia esculenta) daun lamtoro (Leucaena
leucocephala) dan dag-dagse (Pisonia alba). Batang pisang dominan (95 %)
diberikan di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pemberian hijauan ada
dengan cara direbus ada yang diberikan dalam bentuk segar. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi dan cara
pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali. Batang
pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan babi pada
peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi.
Kata kunci: eksplorasi, hijauan dan peternakan babi tradisional

FORAGES EXPLORATION AND HOW TO USE ON TRADITIONAL


PIG FARM IN BALI PROVINCE

K. Budaarsa, N. Tirta. A, K. Mangku Budiasa dan P.A. Astawa


Email: bdr.komang@yahoo.com HP. 08123629838
Faculty of Animal Husbandry Udayana University

ABSTRACT

This study aims to determine the types of forages fed to pigs and how to
use them on traditional pig farm in the province of Bali. The research was
conducted using a survey in all districts and cities in Bali. Sampling was done by
stratified random sampling technique, by grouping the lowlands and highlands. In
each of the 2 groups in the capture of traditional pig farmers, so there are four
farmers interviewed in each city or district and 32 farmers across Bali. The survey
results indicate that there are differences in forage given by farmers in highlands
and lowlands. Given type of forage in the lowlands include: banana stem (Musa

Prosiding Semnas II HITPI Page 337


paradisiaceae), kale (Ipomaea aquatica), biah-biah (Limnocharis flava), and
water hyacinth (Eichornia crassipes). In the highlands include: banana stem
(Musa paradisiaceae), sweet potatoes (Ipomaea batatas), taro leaf (Colocasia
esculenta) lamtoro leaf (Leucaena leucocephala) and dag-dagse (Pisonia alba).
Banana stem dominant (95%) given in the lowlands and in the highlands. Giving
forage there by boiling was provided in the form of fresh. The conclusion from
this study is that there is diversity of forage species and ways of administration
among pigs in lowland plateau in Bali. Banana stem is the most widely used
forage to feed pigs on traditional pig farms, both lowland and highland.
Keywords: exploration, forage and traditional pig farm

PENDAHULUAN

Peternakan babi di Bali masih menempati posisi penting bagi masyarakat


pedesaan. Babi adalah salah satu komoditas ternak yang telah dipelihara sejak
lama oleh masyarakat. Usaha peternakan babi di Bali sebagian besar merupakan
peternakan tradisional yang memelihara babi dua atau tuga ekor di masing-masing
rumah tangga. Namun demikian, sudah banyak juga terdapat usaha peternakan
yang semi intensif dan bahkan modern dengan jumlah ternak piaraan lebih dari
100 ekor.
Peternak tradisional di pedesaan masih banyak yang memilih babi bali
untuk dipelihara, namun sudah banyak juga yang memelihara babi ras,
diantaranya babi landrace, duroc, large wight, dan yang lainnya. Babi bali di Bali
memiliki status sosial-budaya yang sangat penting sekali. Untuk kegiatan upacara
dan bahan upakara banyak mempergunakan daging babi. Selain untuk memenuhi
kebutuhan untuk upacara agama, daging babi juga digunakan dalam berbagai
aktivitas sosial. Babi Bali sangat cocok dipelihara oleh para ibu rumah tangga di
Bali sebagai celengan atau tatakan banyu, karena dengan pemberian pakan
seadanya dan pemanfaatan limbah dapur (banyu dan sebagainya) babi bali telah
mampu memberikan pertambahan berat badan yang baik.
Kalau dilihat sasaran yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi babi tahun 2013 adalah 7.113.310
ekor dan tahun 2014 adalah 7.204.768 ekor. Sementara target produksi daging
babi tahun 2013 adalah 143.992 ton dan tahun 2014 sebanyak 247.420 ton. Oleh
karena itu peningkatan produktivitas ternak babi menjadi suatu hal yang sangat
penting, selain untuk meningkatkan komoditas ekspor, juga untuk memenuhi
permintaan dalam negeri yang tiap tahun terus meningkat, contohnya untuk
kebutuhan babi guling di Bali (Budaarsa, 2002 dan Budaarsa, 2006).
Meningkatnya permintaan daging babi dalam negeri sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk non muslim dan kunjungan wisatawan mancanegara yang terus
meningkat (Budaarsa, 2012).
Peternakan babi tradisional di Bali masih menghandalkan limbah pertanian
lokal dan hijauan yang ada di sekitar mereka sebagai pakan utama. Mereka tidak
mampu membeli pakan komersial, karena harganya sangat mahal. Limbah
pertanian yang paling utama diberikan adalah dedak padi. Selain itu bungkil
kelapa yang diperoleh dari proses pembuatan minyak secara tradisional, juga
biasa diberikan pada ternak babi. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur
dengan hijauan.

Prosiding Semnas II HITPI Page 338


Hijauan yang diberikan jenisnya sangat beragam, tergantung lokasi daerah
dan musim saat itu. Di daerah dataran rendah, yang umumnya merupakan daerah
persawahan, peternak lebih banyak memberikan kangkung sebagai hijauan pakan.
Sedangkan di daerah dataran tinggi atau pegunungan lebih banyak pohon ketela
rambat yang diberikan. Pemberian hijauan ada yang diberikan dalam bentuk
segar, ada juga diberikan dengan merebus terlebih dulu. Batang pisang ternyata
merupakan bahan pakan yang dominan digunakan oleh peternak babi di seluruh
plosok daerah Bali.
Sampai saat ini belum ada informasi ilmiah mengenai jenis-jenis hijauan
lokal dapat diberikan pada babi, termasuk cara pemberiannya. Padahal
kenyataannya di lapangan peternak babi sebagaian besar memberikan hijauan
untuk ternak babinya. Hal ini dilakukan mengingat harga pakan komersial sangat
mahal, tidak terjangkau oleh peternak, karena umumnya mereka beternak secara
tradisional dengan jumlah satu-tiga ekor.
Informasi mengenai hijauan lokal dan kandungan nutrisinya untuk pakan
babi hampir belum ada. Padahal peternak babi khususnya di pedesaan di Bali,
sangat menghandalkan hijauan sebagai makanan tambahan. Hal ini mendorong
untuk dilakukannya penelitian ini, untuk memperkaya kasanah ilmu pengetahuan,
khususnya dalam pengembanan peternakan babi dengan berbasis sumber daya
hijauan lokal yang melimpah.

MATERI DAN METODE

Materi dalam penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan oleh
peternak babi tradisional di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan dengan
teknik stratified random sampling, dengan pengelompokan daerah atas dataran
rendah dan dataran tinggi di masing-masing kabupaten dan kota. Kesembilan
kabupaten dan kota tersebut adalah : Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem,
Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung dan Kota Denpasar. Pada masing-masing
kelompok di ambil 2 orang peternak babi tradisional, sehingga ada 4 peternak
yang diwawancarai di masing-masing kabupaten dan kota atau 32 peternak di
seluruh Bali. Pengelompokan tersebut didasarkan atas adanya perbedaan jenis
flora yang tumbuh di kedua dataran tersebut, walau perbedaannya tidak
signifikan. Di daerah dataran rendah secara umum adalah daerah persawahan,
maka hijauan yang tumbuh adalah tanaman yang tahan air. Demikian sebaliknya,
di daerah dataran tinggi umumnya daerah perkebunan, maka yang tumbuh adalah
tanaman yang kurang tahan air.
Penelitian dilakukan selama 7 minggu. Saat melakukan wawancara dengan
peternak, sekaligus dilakukan pengamatan langsung terhadap pakan babi yang
diberikan oleh peternak untuk diidentifikasi. Selain identifikasi jenis hijauan,
juga di catat cara pemberiannya. Peternak yang dipilih adalah peternak babi
tradisonal yang dengan ciri-ciri antara lain : memelihara 1-4 ekor babi, babi diikat
atau dikandangkan pada kandang sederhana, tidak memberikan konsentrat buatan
pabrik, dan tidak melakukan vaksinasi secara berkala. Data yang peroleh dianalisa
secara sederhana menggunakan analisa kuantitatip dan deskriptif.

Prosiding Semnas II HITPI Page 339


HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Hijauan
Kalau dilihat sebaran jenis hijauan yang diberikan oleh peternak babi di
masing-masing kabupaten/kota di Bali, tampaknya tidak banyak perbedaan antara
kabupaten satu dengan kabupaten lain. Jenis hijauan yang diberikan yaitu: batang
pisang, kangkung, ketela rambat, ketela pohon, daun papaya, daun pisang, bayam,
eceng gondok, daun lamtoro, daun talas, suweg, ules-ules, kerokot, genjer, daun
candung, daun dag-dag, padang cekuh dan daun labu. Jenis hijauan yang
diberikan dan nama lokalnya disajikan pada Tabel 1.
Dari 32 orang peternak tradisional yang diwawancarai, sebanyak 30 orang
atau 95% yang memberikan batang pisang. Batang pisang sangat dominan
digunakan baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi karena tanaman
pisang banyak tumbuh di kedua daerah tersebut. Batang pisang yang digunakan
adalah batang pisang yang sudah dipanen. Peternak tidak memilih jenis pisang
tertentu, yang penting pohon pisang tersebut sudah dipanen buahnya. Pohon
pisang ada di mana mana, dan panennya tidak mengenal musim. Oleh karena itu
sangat mudah didapat tanpa harus membeli.
Hijauan ketela rambat dan kangkung, hampir ada di semua kabupaten dan
kota di Bali. Kedua jenis tanaman ini juga banyak ditanam baik di dataran rendah,
maupun di dataran tinggi. Di daerah persawahan biasanya petani menanam ketela
rambat sehabis panen padi, ketika musim kemarau, sebagai tanaman sela,
menunggu musim tanam berikutnya. Pohon ketela rambat saat ini sudah
merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di pedesaan, sudah
banyak peternak yang membeli pohon ketela rambat untuk babi piaraannya.
Harganya relatif murah, satu ikat dengan berat kurang lebih 10 kg hanya Rp
10.000. Hijauan ketela rambat biasanya dipanen beberapa kali. Bisa dipotong
secara selektif beberapa kali sebelum umbinya di panen. Kemudian terakhir
dicabut saat umbinya dipanen.
Tanaman kangkung, selain ditanam secara khusus, juga banyak tumbuh
secara liar di parit-parit, di pinggir sungai atau tanah-tanah kosong yang tergenang
air. Tanaman kangkung sebenarnya ditanam sebagai bahan sayur, tetapi juga
diberikan untuk ternak babi. Oleh karena itu kangkung merupakan tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan banyak sawah-sawah diperkotaan
secara khusus ditanami kangkung dan dipanen setiap hari. Kangkung yang
kualitas bagus dijual untuk sayur, yang kualitas kurang bagus dijual untuk pakan
babi. Tanaman kangkung sebenarnya secara umum ada dua jenis, yaitu kangkung
darat dan kangkung air. Kangkung darat hidupnya memang di darat, kangkung
air hidup subur di daerah berair atau tergenang air. Kangkung yang banyak
digunakan untuk pakan babi di Bali adalah kangkung air.
Kalau dilihat dari ragam jenis hijauan yang diberikan pada ternak babi, di
daerah pegunungan jenis hijauannya lebih beragam dibandingkan dengan di
daerah dataran rendah. Hal tersebut karena memang di daerah pegunungan
persedian hijauan lebih beragam. Sebagai contoh tanaman suweg
(Amorphophallus campanullatus) dan ules-ules (Amorphophallus muelleri), hanya
ditemukan di dataran tinggi atau di pegunungan dan sangat jarang terdapat di
dataran rendah apalagi di persawahan. Tanaman suweg dan ules-ules ini adalah
tanaman semusim. Pohon dan daunnya muncul ke permukaan tanah hanya pada

Prosiding Semnas II HITPI Page 340


musim penghujan saja. Pada musim kemarau, pohonnya rontok, tetapi umbinya
tetap utuh di bawah tanah. Umbinya inilah di panen, bisa diolah untuk aneka
jenis panganan.

Tabel 1. Beberapa jenis hiajauan untuk pakan babi di Bali


No Nama tanaman Nama latin Nama lokal (Bali)
1. Batang pisang Musa paradisiaceae Gedebong
2. Ketela Rambat Ipomaea batatas Sela bun
3. Kangkung Ipomaea aquatic Kangkung
4. Daun talas Colocasia esculenta Don tales
5. Ketela pohon Manihot utilissima Sela sawi/kesawi/sela prahu
6. Daun papaya Carica papaya Don gedang
7. Daun lamtoro Leucaena leucocephala Don lamtoro
8. Daun pisang Musa paradisiaceae Don biyu
9. Bayam Amaranthus caudatus Bayem
10. Eceng gondok Eichornia crassipes Eceng gondok
11. Daun dag-dag Pisonia alba Dag-dagse
12. Suweg Amorphophallus campanullatus Suweg
13. Ules-ules Amorphophallus muelleri Tiyih
14. Kerokot Portulaca oleracea Kesegseg
15. Genjer Limnocharis flava Biah-biah
16. Daun candung Don candung
17. Padang cekuh Padang cekuh
18. Daun labu Cucumbita maxima Don labu/waluh

Cara Pemberian
Pemberian hijauan pada peternakan babi tradisional dapat dikatagorikan
menjadi dua, yaitu pemberian dalam bentuk segar dan direbus. Pemberiann dalam
bentuk segar ini dilakukan dengan cara memberikan langsung hijauan tersebut
setelah diambil dari sumbernya. Sebagai contoh, tanaman kangkung diambil dari
kebun dalam jumlah tertentu langsung diberikan dengan menaruh di samping
babi. Namun ada sebanyak 2% yang mencuci terlebih dahulu sebelum diberikan
kepada babi. Alasannya supaya bersih, sehingga babinya tidak sakit. Pemberian
dalam bentuk segar mempunyai kelebihan antara lain: lebih praktis, kandungan
nutrisinya utuh, dan tidak perlu waktu dan biaya untuk merebus. Kekurangannya:
sangat rentan terhadap penularan telur cacing, jika berlebihan ternak bisa
keracunan akibat toksin yang dikandungnya, dan kecernaannya lebih rendah
dibandingkan yang direbus.
Pemberian dengan cara merebus dilakukan terhadap hijauan yang menurut
peternak dianggap membahayakan kalau diberikan dalam bentuk segar.
Pengetahuan tersebut mereka terima secara turun temurun, sehingga apa yang
diwarisi itu akan diteruskan kembali kepada anak-anak mereka. Beberapa hijauan
yang harus direbus diantaranya: daun talas, genjer, suweg, ules-ules, candung, dan
daun papaya. Alasan utama mereka merebus hijauan adalah supaya babi tidak
keracunan. Alasan tersebut sangat masuk akal karena banyak diantara tanaman
tersebut yang mengandung toksin. Jika direbus maka kadar toksinnya akan
berkurang, bahkan hilang.
Merebus hijauan sebelum diberikan kepada ternak babi ternyata memang
ada manfaatnya. Pertama, toksin yang dikandungnya menjadi tidak aktif bahkan
hilang, sehingga babi aman mengkonsumsinya. Kedua, meningkatkan
valatabelitas, lebih lahap dimakan oleh babi karena baunya lebih enak dan

Prosiding Semnas II HITPI Page 341


merangsang. Ketiga, kecernaannya meningkat. Hanya saja dengan merebus akan
membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak. Kalau diperhitungkan secara
ekonomi, hal ini akan menambah biaya produksi. Hanya saja peternak tradisional
tidak memperhitungkan hal tersebut. Biasanya mereka merebus di atas tungku
menggunakan kayu bakar. Hijaun yang direbus sebagian besar peternak (60%)
mencampur dengan batang pisang, dedak padi atau polar.
Batang pisang sebelum diberikan terlebih dahalu dikupas lapisan luar yang
agak tua, kemudian di iris-iris dengan ketebalan kurang lebih 0,5 cm. Irisan
batang pisang tersebut kemudian ditumbuk sampai agak halus, di campur dengan
dedak padi atau polar, atau konsentrat lain yang dimilikinya. Semua peternak
(100%) menambahkan garam dapur secukupnya pada campuran pakan yang
direbus, sebelum diberikan kepada babi. Pemberian garam dimaksudkan untuk
menambah nafsu makan, disamping sebagai sumber mineral Na dan Cl. Peternak
tidak membeda-bedakan jenis batang pisang yang diberikan. Sangat tergantung
dari jenis pisang apa yang kebetulan panen saat itu. Batang pisang kandungan
utamanya adalah air, serat kasar dan mineral Zn (Hartadi, dkk. 1990). Jenis
tanaman di masing- masing daerah dan cara pemberiannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis hijauan yang diberikan berdasarkan letak geografis/lokasi daerah


dan cara pemberiannya
No Lokasi Nama Tanaman Bahan Pencampur Cara Pemberian
daerah
Ketela rambat - Diberikan utuh dalam bentuk segar
Kangkung - Diberikan dalam bentuk segar
Daun pisang - Diberikan dalam bentuk segar
Ketela pohon Daun talas, dedak Direbus dan ditambah garam
secukupnya
Daun papaya Dedak, polar, bungkil kelapa Direbus
Bayam Diberikan dalam bentuk segar
Batang pisang Dedak padi, polar Diris-iris tipis, kemudian ditumbuk,
bisa segar basa direbus
Daun talas Dedak padi, polar, batang Pelepah dan daunnya dicincang,
pisang kemudian direbus dengan bahan lain
1 Dataran Daun lamtoro - Diberikan dalam benuk segar
rendah Eceng gondok Dedak padi, polar, batang Dalam bentuk segar atau direbus
pisang
Genjer Dedak padi, polar, batang Direbus
pisang
Candung Dedak padi, polar, batang Direbus
pisang
Ketela rambat - Diberikan dalam bentuk segar
Batang pisang Dedak padi, polar, batang Dalam bentuk segar atau direbus
pisang
Daun talas Direbus
Daun pisang - Diberikan dalam bentuk segar
Daun lamtoro - Dalam bentuk segar
Bayam - Dalam bentuk segar
Daun papaya Dedak padi, polar dan batang Direbus
pisang
Daun dag-dag Dedak padi, polar dan batang dalam bentuk segar atau direbus
2 Dataran
pisang
tinggi Suweg Dedak padi, polar dan batang Direbus
pisang
Ules-ules Dedak padi, polar dan batang Direbus
pisang
Kerokot Dedak padi, polar dan batang direbus
pisang

Prosiding Semnas II HITPI Page 342


SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan sebagai
pakan babi di Bali cukup banyak. Terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi
dan cara pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali.
Batang pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan
babi pada peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran
tinggi. Hijauan tersebut dapat diberikan dalam bentuk segar maupun direbus.
Letak geografis (ketinggian tempat) mempengaruhi jenis hjauan yang tumbuh,
sehingga menyebabkan ada perbedaan jenis hijauan yang diberikan untuk babi
antara dataran rendah dan dataran tinggi.

Saran
Perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan hijauan lokal yang
menjadi pakan ternak babi, sehingga bisa menunjang peningkatan produktivitas
usaha ternak babi di Bali yang berbasis bahan pakan lokal. Penelitian ilmiah perlu
dilakukan untuk menggali potensi hijauan lokal untuk pakan babi, terutama dari
kandungan nutrisinya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih di sampaikan kepada Wayan Budiarta dan Gede Mahendra,


dan semua mahasiswa KKN Unud yang telah membantu mengumpulkan data
lapangan. Demikian juga kepada anggota grup riset Kajian Nutrisi Ternak
Nonruminansia yang telah memberikan dukungan semangat selama penelitian
ini, kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2011. Populasi Ternak 2010.


Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Bali Dalam Angka 2011.
Budaarsa, K. 2002. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kota Denpasar. Laporan
Penelitian. DIK. Universitas Udayana.
Budaarsa, K. 2006. Survei Kebutuhan Babi Guling di Kabupaten Badung.
Laporan Penelitian. DIK. Universitas Udayana.
Budaarsa, K. 1997. Kajian Penggunaan Rumput Laut dan Sekam Padi sebagai
Sumber Serat dalam Ransum untuk Menurunkan Kadar Lemak Karkas
dan Kolesterol Daging Babi. Disertasi Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Budaarsa, K. 2011. Nama Nama Latin Hewan. Denpasar. Udayana University
Press.
Cahyanti, I.D., E. Anggarwulan dan W. Mudyantini. Pertumbuhan, Kadar
Klorofil dan Nitrogen Total Gulma Krokot (Portulaca oleracea Linn.)
pada Pemberian Ekstrak Anting-anting (Acalypha indica.Linn.).
BioSMART Vol. 7.1. 27-31.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar RISKEDAS Indosesia Tahun 2007, DepKes, Jakarta.

Prosiding Semnas II HITPI Page 343


Hartadi,H., S Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Mansyur, U. Hidayat Tanuwiria dan Deny Rusmana. 2006. Eksplorasi Hijauan
Pakan Kuda dan Kandungan Nutrisinya. Universitas Padjadjaran Bandung.

Prosiding Semnas II HITPI Page 344


POTENSI PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI
DI BAWAH POHON KELAPA
KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
1
Artise H.S. Salendu dan 2 Femi H. Elly
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi,
Jl. Kampus Bahu Kleak Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia
e-mail: 1 artisesalendu@yahoo.com/08124426056
2
femi.elly@yahoo.com/081310980175

ABSTRAK

Kecamatan Lolayan memiliki potensi untk pengembangan ternak sapi


dilihat dari populasi ternaknya dan sumberdaya lahan. Permasalahannya lahan
yang ada belum dioptimalkan. Lahan di bawah kelapa dibiarkan ditumbuhi
rumput liar yang dikonsumsi oleh ternak. Berdasarkan pemikiran tersebut, telah
dilakukan penelitian tentang potensi pengembangan hijauan makanan ternak sapi.
Tujuan penelitian adalah menganalisis kapasitas tampung lahan di bawah pohon
kelapa untuk hijauan makanan ternak. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode suvey. Penetuan lokasi secara purposive yaitu desa Tonayan dan Bakan
yang memiliki populasi ternak sapi terbanyak. Penentuan responden secara simple
random sampling terhadap populasi petani di desa terpilih. Jumlah responden
sebanyak 52 orang. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif dengan
menggunakan formulasi kapasitas tampung (carring capacity). Nilai kapasitas
tampung (carring capacity) untuk kecamatan Lolayan sebesar 9,68, artinya
berdasarkan luas lahan yang tersedia maka populasi riil masih dapat ditingkatkan
9,68 kali. Nilai kapasitas tampung desa Bakan masih lebih tinggi dibanding
dengan desa Tonayan. Kesimpulan, kecamatan Lolayan memiliki potensi untuk
pengembangan hijauan di bawah pohon kelapa dilihat dari nilai kapasitas
tampung. Pengembangan hijauan ini dapat memberikan manfaat baik bagi ternak
sapi maupun bagi kelestarian lingkungan. Saran yang dapat disampaikan adalah
pengembangan hijauan di bawah pohon dilakukan bersama-sama dengan
pemerintah dan perguruan tinggi.
Kata kunci: ternak sapi, hijauan, kapasitas tampung, kelapa

POTENCY OF DEVELOPMENT FORAGE FOR CATTLE UNDER


COCONUT IN LOLAYAN DISTRICT
BOLAANG MONGONDOW REGENCY
1
Artise H.S. Salendu dan 2 Femi H. Elly
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi,
Jl. Kampus Bahu Kleak Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia
e-mail: 1 artisesalendu@yahoo.com/08124426056
2
femi.elly@yahoo.com/081310980175

ABSTRACT

Lolayan districts have the potential remedy cattle development seen from
the livestock population and land resources. The problem is that there has not

Prosiding Semnas II HITPI Page 345


been optimized land. Land under coconut are left overgrown with weeds that are
consumed by livestock. Based on these ideas, research has been conducted on the
potential development of cattle forage food. The purpose of research is to analyze
the capacities of land under coconut trees to forage fodder. The method used was
a survey. Determination of the location has been done by purposive sampling, the
village Tonayan and Bakan which has the largest cattle population. Determination
of the respondents by simple random sampling of the population of farmers in the
selected villages. The number of respondents as many as 52 people. Data was
analyzed using descriptive analysis with a capacity formulation (carring capacity).
Value capacities for Lolayan Distrct of 9.68, meaning that the area of land
available then the real population could be enhanced 9.68 times. Bakan village
capacities value is still higher than the village Tonayan. Conclusion, Lolayan
district has the potential for development of forage under coconut seen from a
capacity value. Forage development can provide benefits both for cattle and for
environmental sustainability. Suggestions that can be delivered is the development
of forage under the trees together with the government and universities.
Keywords: cattle, forage, carring capacity, coconut

PENDAHULUAN

Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang diandalkan oleh masyarakat
Kabupaten Bolaang Mongondow. Ternak sapi di daerah ini sebagai sumber
pendapatan bagi masyarakat petani. Ternak sapi juga dimanfaatkan sebagai tenaga
kerja untuk pengangkutan dan pengolahan lahan. Fenomena ini menunjukkan
bahwa ternak sapi sebagai sumber pendapatan alternatif bagi petani. Menurut
Elly, (2008) dan Elly et al. (2008), ternak sapi memiliki peran terhadap sumber
pangan (daging), sebagai tabungan, sumber pendapatan dan devisa, sumber tenaga
kerja, sumber pupuk organik serta sumber energi alternatif.
Kecamatan Lolayan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki ternak
sapi terbanyak yaitu sebesar 3210 ekor atau sekitar 14,16 persen dari total
populasi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan sumberdaya ternak
yang ada maka populasi ternak sapi di Kecamatan Lolayan mempunyai potensi
untuk dikembangkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan
pemeliharaan ternak sapi merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha
peternakan di daerah tersebut. Hal ini seperti yang terjadi di NTT (Ratnawaty et
al., 2004). Permasalahannya ternak sapi masih dipelihara secara tradisional dan
merupakan usaha sambilan. Ternak digembalakan di lahan lahan kering seperti di
lahan perkebunan kelapa. Ternak di daerah ini mengkonsumsi limbah pertanian
dan rumput yang tumbuh liar di lahan bawah pohon kelapa tersebut. Hal ini yang
menyebabkan produktivitas ternak sapi lebih rendah dibanding di daerah lain
seperti di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.
Lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan Lolayan dimanfaatkan petani
sebagai lahan tanaman pangan. Tetapi, hasil prasurvey menunjukkan bahwa lahan
di bawah pohon kelapa belum dimanfaatkan secara optimal. Artinya, lahan di
bawah kelapa tersebut masih banyak yang hanya dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Disis lain, ternak sapi membutuhkan pakan untuk peningkatan bobot badan yang
ideal sesuai dengan umur dan jenis ternaknya. Kondisi ini sama dengan di daerah
lain di Sulawesi Utara, seperti hasil penelitian Salendu (2012) di Kabupaten

Prosiding Semnas II HITPI Page 346


Minahasa Selatan. Lahan di bawah pohon kelapa yang belum dimanfaatkan dapat
ditanami hijauan makanan ternak. Berdasarkan pemikiran tersebut maka telah
dilakukan penelitian tentang potensi pengembangan hijauan pakan ternak sapi di
perkebunan kelapa di Kecamatan Lolayan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis kapasitas tampung lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan
Lolayan.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan Lolayan dengan menggunakan


metode survey. Jenis data yang digunakan adalah data cross section, dari sumber
data primer dan data sekunder. Data primer (cross section setahun) diperoleh dari
wawancara langsung dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
instansi yang terkait dengan penelitian ini serta data hasil penelitian yang
dipublikasi. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dengan petani peternak
serta pengamatan langsung di lapangan.
Desa sampel ditentukan secara purposive yaitu Desa Tonayan dan Desa
Bakan yang memiliki populasi ternak sapi terbanyak (BPS Kecamatan Lolayan,
2012). Responden ditentukan secara simple random sampling dari populasi petani
peternak sapi di desa terpilih. Jumlah responden sebanyak 52 sampel terdiri dari
32 petani peternak sapi untuk desa Tonayan dan 20 petani peternak sapi untuk
desa Bakan. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif dengan rumus
kapasitas tampung (Kementerian Pertanian, 2010) sebagai berikut :
P
Kapasitas Tampung =
K
Keterangan :
P : Produksi Hijauan (ton/ha/tahun)
K: Konsumsi Ternak (ST/tahun) yaitu 35 kg/ST/hari

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecamatan Lolayan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Bolaang


Mongondow yang memiliki luas wilayah 297 km dengan batas-batas : Sebelah
Utara berbatasan dengan Kecamatan Kotamobagu dan Kecamatan Passi; Sebelah
Selatan dengan Kecamatan Pinolosian; Sebelah Barat dengan Kecamatan dumoga
dan Sebelah Timur dengan Kecamatan Modayag.
Keberhasilan petani dalam berusaha ternak sapi ditentukan oleh tiga unsur
yang saling terkait yaitu penggunaan bibit, pakan dan manajemen usaha tersebut.
Selain itu, karakteristik petani peternak juga sangat menentukan keberhasilan
usaha ternak sapi. Karakteristik petani peternak dimaksud diantaranya umur,
pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
umur responden berkisar antara 26-79 tahun atau rata-rata 45,35 tahun. Umur
responden sebagian besar (98,08 persen) dikategorikan sebagai umur produktif.
Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar responden lebih mudah dalam
menerapkan iptek berkaitan dengan usahanya. Kiswanto et al. (2004)
mengemukakan bahwa makin tinggi umur petani, sampai batas tertentu, maka
kemampuan untuk bekerja akan meningkat sehingga produktivitasnya meningkat.
Tingkat pendidikan responden sesuai hasil penelitian berkisar antara

Prosiding Semnas II HITPI Page 347


tingkat pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi. Distribusi tingkat pendidikan SD
dan SMP masing-masing sebanyak 40,38 persen, SMA sebanyak 17,32 persen
dan PT 1,29 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani
peternak di lokasi penelitian dikategorikan rendah. Padahal, tingkat pendidikan
formal yang semakin tinggi dapat menyebabkan seseorang makin berpikir rasional
(Kiswanto et al, 2004).
Pakan merupakan salah satu unsur keberhasilan usaha ternak sapi. Hasil
penelitian menunjukkan ternak sapi mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput
yang tumbuh liar di lahan-lahan pertanian. Fenomena ini terjadi di beberapa
daerah di Indonesia. Hasil penelitian Ratnawaty et al. (2004) menunjukkan
hijauan yang biasa digunakan untuk konsumsi ternak sapi berasal dari rumput
alam dan limbah tanaman jagung, kacang tanah yang baru dipanen. Djajanegara
dan Ismail (2004) mengemukakan sebagian besar (95-100 persen) petani di
Wonogiri, Brobogan dan Blora memanfaatkan limbah tanaman sebagai pakan
sapi. Tetapi menurut Rohani et al. (2013), jerami tergolong pakan yang
berkualitas rendah.
Ternak sapi di Kecamatan Lolayan sesuai hasil penelitian digembalakan di
bawah pohon kelapa. Status lahan kelapa yang digunakan untuk menggembalakan
ternak sapi baik lahan sendiri maupun lahan yang dipinjam. Responden yang
memiliki lahan kelapa berjumlah 34 orang petani (65,38 persen) sedangkan 18
orang petani (34,72 persen) memanfaatkan lahan kelapa dengan status pinjam.
Rata-rata luas lahan kelapa yang dimiliki dan dipinjam sebesar 1,47 Ha.
Pemilikan ternak sapi di wilayah penelitian berkisar 2-6 ekor dengan
jumlah keseluruhan untuk 52 responden sebanyak 152 ekor yang terdiri dari 40
ekor jantan dan 112 ekor betina. Rumput yang dikonsumsi sesuai hasil penelitian
berupa jerami jagung, jerami padi, rumput gajah dan rumput lapang (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Limbah/Rumput oleh Ternak Sapi di Wilayah


Penelitian
No. Jenis Limbah/Rumput Konsumsi Rata-rata Persentase (%)
(Kg/Hari/Ekor)
1. Jerami Jagung 12,83 20,19
2. Jerami Padi 24,28 38,21
3. Rumput Gajah 11,25 17,70
4. Rumput Lapang 15,19 23,90
Total 63,55 100.00
Rata-rata 15,89

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi jerami padi adalah yang
terbanyak (38,21 persen). Hal ini ditunjang oleh keadaan wilayah penelitian yang
merupakan daerah produksi tanaman pangan (padi). Petani peternak dalam hal ini
telah memanfaatkan limbah padi yang selama ini hanya dibakar, walaupun
kualitas pakan tersebut masih sangat rendah.
Konsumsi rumput gajah adalah yang paling rendah yaitu sebanyak 17,70
persen. Rumput gajah di lokasi penelitian mudah diperoleh tetapi bukan ditanam
di lahan milik petani, sehingga untuk mendapatkannya membutuhkan waktu. Di
daerah penelitian pernah diintroduksi rumput gajah tetapi hanya petani tertentu
yang menanamnya. Pengetahuan petani tentang manajemen penanaman rumput
gajah sangat rendah.
Rata-rata konsumsi ternak sapi per ekor untuk hijauan sesuai Tabel 1

Prosiding Semnas II HITPI Page 348


sebanyak 15,89 kg per hari per ekor. Konsumsi pakan ini belum sesuai dengan
yang dianjurkan yaitu sekitar 10 persen dari berat badan ternak sapi. Hal ini
seperti yang dikemukakan Santoso (1989) bahwa ternak besar akan
mengkonsumsi hijauan sebesar 10 persen dari berat badannya atau sekitar 20-25
kg/ekor/hari.
Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan ternak sapi
(Salendu, 2012). Menurut Menegristek (2000), pakan yang makin baik kualitas
dan kuantitasnya menyebabkan makin besar tenaga yang ditimbulkan dan makin
besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging. Ternak sapi dalam masa
pertumbuhan dan sedang menyusui memerlukan pakan yang memadai dari segi
kualitas dan kuantitasnya. Kemampuan produksi ternak yang relatif rendah
tergantung kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia (Haryanto, 2009).
Berdasarkan kebutuhan ternak sapi tersebut maka sangat diperlukan penyediaan
pakan yang cukup dan berkesinambungan.
Sebagian besar lahan di bawah pohon kelapa di lokasi penelitian tidak
dioptimalkan. Ternak sapi yang digembalakan di bawah pohon kelapa hanya
mengkonsumsi rumput liar yang tumbuh di lahan tersebut. Upaya yang dapat
dilakukan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas pakan di lokasi penelitian
adalah lahan di bawah pohon kelapa ditanami hijauan makanan ternak.
Penanaman hijauan makanan ternak juga dapat bermanfaat dalam mengurangi
emisi CO 2 (Salendu, 2012). Penanaman hijauan ini dianggap seperti program
mempertahankan kelestarian hutan yang sering dianjurkan. Emisi CO 2 dari
perubahan penggunaan lahan menurut Herman et al. (2006) dapat dikurangi
dengan cara konversi hutan. Menurut Hurteau and North (2009) hutan dipandang
sebagai penyerap potensi karbon yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kecamatan Lolayan
memiliki potensi untuk pengembangan hijauan makanan ternak dilihat dari
kapasitas tampung lahan yang tersedia. Menurut Kementerian Pertanian (2010)
kapasitas tampung adalah kemampuan lahan untuk menampung ternak per satuan
ternak per satuan luas sehingga memberikan hasil yang optimal. Hasil analisis
kapasitas tampung di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kapasitas tampung (carring
capacity) untuk kecamatan Lolayan sebesar 9,68, artinya berdasarkan luas lahan
yang tersedia maka populasi riil masih dapat ditingkatkan 9,68 kali. Nilai
kapasitas tampung desa Bakan masih lebih tinggi dibanding dengan desa
Tonayan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembangan hijauan di bawah
pohon kelapa dapat dilakukan di lokasi penelitian, malahan populasi ternak masih
dapat ditingkatkan.

Tabel 2. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Kecamatan Lolayan, Desa Tanoyan


dan Desa Bakan
Koefisien/Variabel Kecamatan Lolayan Desa Tanoyan Desa Bakan
Luas Lahan Kelapa 3308,14 40,00 45,00
Produksi Rumput
(Ton/Ha/Tahun) 120,00 120,00 120,00
POPRIL 3210,00 101,00 51,00
Konsumsi
Ternak(Kg/ST/Hari) 35,00 35,00 35,00
Kapasitas Tampung 9,68 3,72 8,29

Prosiding Semnas II HITPI Page 349


Hijauan yang dapat ditanam di bawah pohon kelapa berupa rumput dan
leguminosa. Leguminosa dapat berfungsi sebagai tanaman penutup di bawah
pepohonan. Tanaman ini kebanyakan digunakan untuk lahan yang ditanami
tanaman keras seperti karet, kelapa sawit dan kelapa (Salendu, 2012). Keberadaan
tanaman penutup tanah di bawah pohon kelapa berguna untuk melindungi tanah
dari jatuhnya butir-butir hujan. Selain itu, adanya tanaman penutup tanah
menyediakan suatu perlindungan terhadap tanah sehingga dapat menjaga
kesuburan tanah.
Jenis rumput yang dapat diintroduksi di lahan di bawah kelapa misalnya
rumput Brachiaria mutica. Introduksi dapat dilakukan dengan memperhatikan
manajemen penanaman rumput di bawah pohon kelapa harus sesuai dengan yang
dianjurkan. Menurut Rahim (2006), apabila rumput penutup (cover grass)
digembalai secara berlebihan (over grazing) dapat menimbulkan erosi.
Pengendalian erosi sangat ditentukan oleh jumlah ternak yang digembalakan pada
suatu areal padang rumput (stocking rate). Penggembalaan harus diatur
sedemikian rupa agar tidak terjadi over grazing, jumlah ternak sebaiknya
tergantung pada kapasitas tampung (carring capacity) lahan di bawah pohon
kelapa tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecamatan Lolayan


memiliki potensi untuk pengembangan hijauan di bawah pohon kelapa dilihat dari
nilai kapasitas tampung. Pengembangan hijauan ini dapat memberikan manfaat
baik bagi ternak sapi maupun bagi kelestarian lingkungan.
Saran yang dapat disampaikan adalah pengembangan hijauan di bawah
pohon dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan perguruan tinggi sebagai
pendamping.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sam Ratulangi yang


telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh dana penelitian
melalui Hibah Unggulan UNSRAT Tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Djajanegera, A dan I.G. Ismail. 2004. Manajemen Sarana Usahatani dan Pakan
dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar, Sistem dan
Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi
Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Elly, F.H., B.M. Sinaga., S.U. Kuntjoro and N. Kusnadi. 2008. Pengembangan
Usaha Ternak Sapi Melalui Integrasi Ternak Sapi Tanaman di Sulawesi
Utara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Prosiding Semnas II HITPI Page 350


Haryanto, B. 2009. Inovasi Tehnologi Pakan Ternak Dalam Sistem integrasi
Tanaman-Ternak Berbasis Limbah Mendukung Upaya Peningkatan
Produksi Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Pengembangan Innovasi Pertanian 2 (3). 2009: 163-176.
Herman, F. Agus, and I. Las. 2006. Analisis Finansial dan Keuntungan yang
Hilang dari Pengurangan Emisi Karbon Dioksida pada Perkebunan Kelapa
Sawit. Jurnal Litbang Pertanian. Volume 28 (4), 2006. p: 127-133.
Hurteau. M, and M. North. 2009. Fuel Treatment Effects On Tree-Based Forest
Carbon Storage And Emissions Under Modeled Wildfire Scenarios. J.
Frontiers in Ecology and the Environment. Volume 7, Issue 8 (October
2009). p : 409-414.
Kementerian Pertanian. 2010. Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk
Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan.
Blue Print. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kiswanto., A. Probowo dan Widyantoro. 2004. Transformasi Struktur Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Jawa Tengah. Prosiding Seminar, Sistem dan
Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Menegristek. 2000. Budidaya Ternak Sapi Potong (Bos sp.). Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta.
Ratnawaty, S., M. Ratnada., Yusuf dan J. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak
di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar, Sistem dan
Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Rohani, St., I.M. Saleh dan M.Z. Mide. 2013. Pengaruh Pakan Komplit Berbahan
Jerami Padi Terhadap Peningkatan Berat Badan Sapi Yang Mempengaruhi
Harga Jual Sapi di Kabupaten Sinjai. Prosiding. Seminar Nasional
Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan
Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:118-120.
Salendu, A.H.S. 2012. Perspektif Pengelolaan Agroekosistem Kelapa-Ternak Sapi
di Minahasa Selatan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Santoso. B. T. 1989. Farm Forestri Penyediaan Hijauan Makanan Ternak. Poultry
Indonesia. No 118 Th ke-X. Hal : 47 - 50.

Prosiding Semnas II HITPI Page 351

You might also like