Professional Documents
Culture Documents
TIMOR BARAT
Arnold E. Manu
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang
Telp.(0380)-881084, HP.085239299545, E-mail: Maurin_01@yahoo.co.id
ABSTRACT
The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna
productive at different season. The location of this study is in the station of Lili
field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40
hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical
composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the
carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for
measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the
averages of forage fluctuation available is between 0.61-4,33 ton/hectare. The
lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is
0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the
highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases
and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was
increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is 2.71-
9.48%. The composition of CP in nature grass has no significant difference with
the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry
season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature
grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack
proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage
quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the
quality of nature grass become very low.
Key words : Production, savannah, pasture, West Timor
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Metode penelitian
Untuk dapat menjawab tujuan yang diajukan dilaksanakan penelitian yang
meliputi:
Daya tampung
Perhitungan daya tampung padang penggembalaan dilakukan dengan
membagi produksi hijauan/ha dengan kebutuhan BK/UT/tahun. Kebutuhan BK
Estimasi bahan kering tercerna (digestible dry matter = DMD) dari hijauan yang
digembalakan menggunakan internal tracer (tracer alami) yang tidak tercerna,
dalam hal ini yang digunakan adalah lignin.
DMD = X2 X1
X2
X1 = tracer alami di pakan
X2 = tracer alami di feses
Produksi Hijauan
Hasil penelitian produksi hijauan dan besarnya kapasitas tampung lokasi
penelitian tertera pada Tabel 1. Fluktuasi produksi hijauan dapat digambarkan
dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa fluktuasi hijauan
yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi (BK, PK)
terendah terjadi pada puncak kemarau (September-Oktober), kemudian bergerak
naik pada awal hujan yaitu bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada
awal kemarau yaitu bulan April. Produksi hijauan kemudian menurun dan
mencapai titik terendah bulan Oktober, jadi produksi rumput alam mulai membaik
pada bulan Desember.
5
Produksi BK (ton/ha)
4
3
BK
2
1
0
Peb April Juni Agst Okt Des
Bulan
Gambar 1. Fluktuasi ketersediaan hijauan di lokasi penelitian
100
90
80
Kandungan(%)
70
60 PK
50
40 NDF
30
20
10
0
Des Feb Aprl Juni Agst Okt.
Bulan
Gambar 2. Fluktuasi kandungan PK dan NDF hijauan sabana
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
The objective of this experiment was to know carrying capacity of rusa deer
(Cervus timorensisi) at Mar, Wasur National Park Merauke district. The data
collected were spesies of grasses, production each species and carrying capacity.
The results showed species of grasses were Cynadon dactylon, Imperata
cylindrica and Phragmites karka. Mar was dominated by Cynadon dactylon. The
production of Cynodon dactylon was 2.183 kg/ha. The Carryng capacity of rusa
deer was 0,5 ha/head/year.
Key words : Carryng capacity, rusa deer, savannah, national park
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Latar belakang
Taman Nasional Wasur merupakan taman nasional yang terletak di
kabupaten Merauke-Papua. Taman Nasioanl Wasur ditetapkan sebagai taman
nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor : 448/Menhut-
VI/1990, tertanggal 6 Maret 1990. Luas areal Taman Nasional Wasur sebesar
413.810 Ha.
Potensi flora dan fauna di Taman Nasional Wasur sangat besar. Taman ini
mempunyai 10 jenis induk vegetasi dengan daerah hutan savana 2/3 dari
seluruh taman. Habitat lain yang dapat dijumpai adalah hutan pantai, hutan bakau,
hutan bambu, padang rumput dan rawa sagu yang cukup luas. Di Taman Nasional
Wasur terdapat sekitar 80 jenis mamalia, dimana 27 jenis merupakan jenis
endemik. Jenis burung yang ada sekitar 390, sehingga merupakan daerah yang
paling kaya di Papua (Petocz, R.G. , 1987). Jenis-jenis fauna antara lain kanguru/
walabi lincah (Macropus agilis), kaswari (Casuarius-casuaarius) dan fauna
eksotik adalah rusa liar (Cervus timorensis).
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam melakukan
strategi pengelolaan rusa liar di padang rumput Mar Merauke.
Metoda
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metoda deskriptif
dengan teknik survei. Survei dilakukan di Padang rumput Mar Taman Nasional
Stratifikasi lokasi
Stratifikasi lokasi dilakukan berdasarkan jenis rumput yang tumbuh.
Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukan bahwa terdapat tiga jenis rumput
yaitu grinting (Cynodon dactylon ), Palungpung (Prhagmites karka) dan Alang-
alang (Imperta cylindrica). Tetapi luasan palungpung dan alang-alang sangat
kecil kurang dari 1%, maka pada kedua jenis rumput tersebut tidak diambil
sampelnya. Sedangkan grinting tumbuh sangat dominan di padang rumput
tersebut hampir 100%, sehingga padang rumput sangat homogen. Berdasarkan
hal tersebut maka dilakukan pengambilan sampel untuk rumput grinting pada tiga
lokasi yang berbeda.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menempatkan kwadran 1 m2 pada
padang rumput tersebut. Rumput yang masuk dalam kwadran semuanya dipotong
serendah mungkin dengan tanah, kemudian ditimbang berat segarnya.
Pengukuran produksi padang rumput dimodifikasi dari (Reksohadiprodjo, 1996):
1. Diamati spesies padang rumput yang dikonsumsi oleh satwa, dan dihitung
produksinya per hektar
2. Dihitung % cover masing-masing spesies, kemudian dijumlahkan sehingga
merupakan total % cover.
3. Ditentukan P.U.F (proper use factor). untuk menjamin pertumbuhan
kembali. PUF untuk penggunaan padang rumput yang ringan adalah 25%
4. Dipertimbangakan juga periode merumput atau periode stay dan periode
istirahat atau rest. Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996)
memasukkan periode rest(istirahat) 10-14 minggu atau 70 hari rata-rata
dan periode merumput 30 hari untuk negara tropis. Persamaan Voisin
(1959) dalam Reksohadiprodjo (1996) untuk mengukur kebutuhan luas
tanah pertahun adalah :
(Y-1) s = r
dimana Y = luasan tanah yang diperlukan oleh seekor satwa
s = Periode merumput (30 hari)
r = Periode istirahat (70 hari)
(Y-1) 30 = 70
30Y 30 = 70
Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan secara tabulasi sesuai dengan variabel
pengamatan.
Jenis-jenis Hijauan
Jenis-jenis hijauan yang terdapat dalam padang rumput Mar Taman
Nasional Wasur yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynodon
dactylon) (L.) Pers.), palungpung (Phragmites karka) (Retz.) Trin., Alang-
alang (Imperata cylindrical) (L.) Beauv. Grinting mempunyai daya pengikat
tanah yang kuat dan tahan terhadap injakan sehingga rumput ini merupakan
rumput penutup halaman dan lapangan olah raga yang baik. Karena sifat-sifatnya
itulah rumput ini sudah umum ditanam. Grinting juga merupakan rumput
makanan ternak yang bernilai tinggi. Tumbuhnya memberi respon terhadap
pemupukan. Seperti jenis rumput lainnya, dalam penanamanya juga biasa
dicampur dengan jenis legum yang tujuannya untuk meningkatkan nilai gizi dan
produksinya. Jenis legum yang dapat ditanam bersama-sama yaitu Trifolium
repens, Trifolium procumbens, Trifolium dubium dan Lespedeza sp. (Anonimous,
1982)
Jenis legum (leguminosa) tidak dijumpai di padang rumput tersebut.
Berdasarkan kandungan gizinya, maka legum lebih tinggi kandungan protein
kasarnya dari pada rumput ( McIlroy R.J., 1977).
Dengan demikian maka sebenarnya rusa liar masih perlu suplai protein
kasarnya dalam pakannya, sehingga pertumbuhan rusa liar bisa lebih baik lagi.
Produksi Hijauan
Berdasarkan pengamatan lapangan terdapat tiga jenis rumput yang dapat
dikonsumsi oleh Rusa liar, yaitu palungpung, alang-alang dan grinting. Tetapi
yang diambil sebagai sampel hanya terhadap rumput grinting. Produksi rumput
grinting dari tiga lokasi di Mar disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut:
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput Mar yang dikonsumsi
oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata
cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka).
2. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) 2.183 Kg/ha.
3. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5
Ha/ekor/thn.
Saran
Hal-hal yang perlu disarankan setelah penelitian ini yaitu: perlu dilakukan
survei jumlah populasi rusa liar di padang rumput Mar.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra Hadi S., 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan . Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ABSTRACT
The low forage production of native grasslands result in the low ruminant
husbandry production. One effort that can be done to increase production and
pasture qualities is by planting of/ improved legumes. Therefore, an experiment
on land preparation was conducted to find a simple and cheap method for
legumes establishment. This research was conducted from February to June 2012,
at Lumbung village, Selemadeg-Tabanan district. Factorial randomized block
design with four land preparation methods (no tillage , herbicide aplication, with
burning and conventional tillage) and three kind legumes (without legumes,
Centrosema pubescent Benth., and Calogonium mucunoides Desv.) was used for
this research. Treatments were replicated three times. The result showed that
there were interactions between land preparation methods with the kind of
legumes on growth, area cover, and botanical composision. Land preparation
method by spraying herbicide (glyphosate) after were cut previously, were the
most adequate method for legumes planting to native grassland. To increase
feeding stuff supply from native grasslands, planting centro at land preparation
method using systemic herbicide is must appropriate. Research for longer time to
gain a data more precisely to forage production along the years is still required.
Key word: land preparation, legumes establishment, and native grassland.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan
produksi ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan makanan ternak yang
berkualitas sepanjang tahun. Hijauan makanan ternak yang berkualitas terutama
terdiri dari rumput rumputan sebagai sumber energi dan leguminosa sebagai
sumber protein. Di Indonesia, khususnya di Bali, petani ternak masih
memanfaatkan rumput lapangan sebagai pakan ternaknya (Mendra, 1992 ), karena
lahan yang khusus dipergunakan untuk menanam rumput tidaklah memadai.
Padang rumput alami yang tersebar pada beberapa daerah di Indonesia
luasnya 2.399.597 ha, dan lebih dari 90% luas padang rumput yang diusahakan
untuk menghasilkan pakan ternak di Indonesia didominasi oleh rumput alam dan
komponen leguminosa hampir tidak ada (Sanchez, 1993). Rendahnya
produktivitas ternak pada padang rumput alami didaerah tropis terutama
disebabkan oleh rendahnya kualitas hijauan. Salah satu faktor yang menyebabkan
rendahnya kualitas hijauan padang rumput alami adalah kelengasan dan
kesuburan tanah yang rendah (Sanchez, 1993).
Di negara-negara maju, asosiasi rumput dan leguminosa banyak
diterapkan di padang penggembalaan (padang rumput). Bayer (1990) menyatakan
bahwa keuntungan leguminosa dibandingkan dengan rumput adalah (1)
leguminosa dapat mengikat N bebas dan bersimbiose dengan rhizobia, (2) kualitas
hijauan leguminosa tidak menurun drastis pada musim kemarau, (3) hijauan yang
lebih banyak mengandung leguminosa mempunyai kandungan protein dan nilai
cerna yang lebih tinggi.
Pada umumnya leguminosa yang diintroduksikan ke dalam padang rumput
adalah leguminosa penutup tanah (cover crops), seperti Centrosema pubescens,
Calopogonium mucunoides dan Pueraria phaseoloides. Jenis leguminosa penutup
tanah ini adalah leguminosa tahunan yang tumbuhnya membelit dan memanjat,
dan panjangnya bisa mencapai 5 m (Bogdan, 1977) Spesies tahunan seperti
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides ini mempunyai sistem
perakaran yang kuat dan relatif tahan terhadap cekaman air. Centrosema
pubescens mempunyai pertumbuhan awal yang sangat lambat, tetapi akan
berkembang sangat cepat dan agresif jika sudah beradaptasi, serta mempunyai
daun yang lebat (Skerman, 1988). Sumbangan nitrogen yang dapat diberikan
Rumusan Masalah
Padang rumput alami didominasi oleh rumput-rumputan lokal sehingga
kuantitas dan kualitas pakan ternak yang dihasilkan rendah. Penanaman
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lumbung Kecamatan Selamadeg,
Kabupaten Tabanan, yang merupakan salah satu daerah lahan kering di Bali. Jenis
tanah dilokasi penelitian adalah tanah Inceptisol (berdasarkan peta jenis tanah
Propinsi Bali) dengan type iklim C menurut Schmit dan Ferguson (1951).
Ketinggian tempat dilokasi penelitian adalah + 50m dari permukaan laut. Padang
rumput ini didominasi oleh rumput lapangan yang mempunyai rhizome
(rizomathous). Tanah ditempat percobaan mempunyai kandungan N (rendah), P
(sangat rendah) dan K(rendah) dengan tektur tanah liat.
Materi
Jenis leguminosa penutup tanah yang diintroduksikan pada padang
rumput alami adalah centro (Centrosema pubescens Benth.) dan calopo
(Calopogonium mucunoides Desv.), yang bijinya diperoleh dari BPT/HMT Ciawi
Bogor.
Dalam percobaan ini di pupuk dengan 50 kg Urea ha-1 , 75 kg SP36 ha-1
dan 75 kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Pemupukan dilakukan seminggu
sebelum penanaman leguminosa.
Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Cangkul, sekop, dan sabit dipergunakan pada saat pengolahan lahan
2. Peralatan semprot (hand sprayer)
3. Timbangan yang berkapasitas 22,6 kg dengan ketelitian 10 g yang
dipergunakan untuk menimbang hijauan segar, Timbangan Mettler
Toledo PB 3002 berkapasitas 500 g dengan ketelitian 0,01mg untuk
menimbang sampel keperluan analisis kimia
4. Timbangan Bonso model 323, kapasitas 5000 g dengan kepekaan 1 g
untuk menimbang berat kering oven hijauan dan komponen hijauan
5. Oven pengering model GC-2 untuk mengeringkan sampel hijauan
6. Grinder untuk menggiling sampel
7. Penggilingan elektronik dengan diameter lubang 0,1 mm , persiapan
sampel untuk analisis kimia.
8. Dan berbagai peralatan yang diperlukan dalam analisis kandungan
bahan kering dan protein hijauan makanan ternak.
Rancangan percobaan
Percobaan dilakukan dengan mempergunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap pola faktorial 4 3 dengan faktor pertama adalah empat cara persiapan
Faktor II adalah penanaman dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa
penanaman leguminosa yaitu :
LTl = Tanpa ditanami leguminosa (kontrol)
LCp = Centro (Centrosema pubescens Benth.)
LCm = Calopo (Calopogonium mucunoides Desv.)
Panen
Panen dilakukan dengan memotong tanaman pada ubinan dengan tinggi
pemotongan lima sentimeter. Luas ubinan adalah 2 1,5 m (Gambar 2).
Tanaman sampel adalah tanaman yang akan diukur panjangnya dan selanjutnya
akan didestruksi untuk melihat jumlah nodul efektifnya. Panen dilakukan
sebanyak dua kali yaitu pemotongan pertama pada saat tanaman berumur dua
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan apabila
terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, maka analisis
dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan dan dilakukann transformasi
beberapa data untuk menyeragamkan varians (Steel and Torrie, 1989).
Komposisi Botani
Terdapat interaksi antara cara persiapan lahan (P) dengan jenis leguminosa
(L) terhadap komposisi botani rumput dan gulma pada pemotongan pertama dan
pada komposisi botani rumput, legum dan gulma pada pemotongan kedua (Tabel
5.1). Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan mengakibatkan menurunnya
prosentase rumput (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali
pada persiapan lahan dengan pembakaran yang ditanami dengan Calopo.
Penurunan prosentase rumput sebesar 33% dan 43,93% masing-masing terjadi
pada pastura yang ditanami Centro (LCp) dan Calopo (LCm) Pada pemotongan
pertama dan kedua, penanaman leguminosa juga mengkibatkan menurunnya
prosentase gulma yang tumbuh dan cara persiapan lahan meningkatkan jumlah
gulma secara nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada
penanaman dengan Calopo .
Pada pemotongan kedua, persentase rumput cenderung meningkat
dibandingkan dengan pada pemotongan pertama. Dengan penanaman leguminosa
prosentase rumput mengalami penurunan dibandingkan dengan tanpa ditanami
leguminosa dan dengan persiapan lahan ternyata mampu menurunkan prosentase
rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan.
9 Produksi (t ha 1 )
a). Produksi bahan kering rumput ** ** **
b). Produksi bahan kering gulma ** NS NS
c). produksi bahan kering leguminosa ** ** NS
d).Produksi total bahan kering hijauan ** ** **
e). Produksi total protein kasar NS ** NS
10 Kualitas hijauan (%)
a). Kandungan protein kasar ** ** *
b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS
c). Kandungan bahan organik NS NS NS
d). Kandungan abu. NS NS NS
PEMOTONGAN KEDUA
4 Komposisi botani (%)
a) Rumput ** ** **
b) Leguminosa ** ** **
c) Gulma ** ** **
9 Produksi (t ha -1 )
a). Produksi bahan kering rumput ** ** **
b). Produksi bahan kering gulma ** ** **
c). produksi bahan kering leguminosa ** ** **
d) Produksi total bahan kering hijauan ** ** NS
e) Produksi total protein kasar ** ** **
10 Kualitas hijauan (%)
a). Kandungan protein kasar ** ** **
b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS
c). Kandungan bahan organik NS NS NS
d). Kandungan abu. NS NS NS
11 Jumlah nodul NS NS NS
Keterangan :
1) * = berbeda nyata (P < 0,05 )
2) ** = berbeda sangat nyata (P < 0,01)
3) NS = tidak berbeda nyata (P> 0,05)
Tabel 5.2 Pengaruh cara persiapan lahan (P) dan jenis leguminosa (L) terhadap
produksi bahan kering gulma dan leguminosa (t ha 1 ) pada
pemotongan pertama dan produksi bahan kering total (t ha -1 ) pada
pemotongan kedua (Pem.II)
Perlakuan Produksi bahan kering Prod. Bahan
Pemotongan I Kering total
Leguminosa Gulma Pem. II
-1
------t ha ---------- ------t ha-1 -----
Persiapan lahan
Pt (TOT) 1,47 c 0,68 b 2,85 a
Ph(herbisida) 2,39 a 1,06 a 2,84 a
Pp(pembakaran) 1,70 b 1,07 a 2,54 b
Pk(konvensional) 1,77 b 0,98 a 2,20 c
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) - 1,02 a 2,75 b
LCp (Centro) 1,71 b 0,89 a 3,08 a
LCm (calopo) 1,96 a 0,93 a 1,95 c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Tabel 5.3 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap
produksi total bahan kering hijauan di atas tanah (DM) (t ha -1 ) pada
pemotongan pertama
Persiapan Jenis Leguminosa
Lahan Ltl LCp LCm
-1
----------t ha --------------
Pt (TOT) 3,93 ab 4,02 ab 3,36 b
Ph(herbisida) 3,69 ab 4,49 a 4,27 a
Pp(pembakaran) 3,71 ab 3,95 ab 4,19 a
Pk(konvensional) 1,83 c 3,76 ab 3,86 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%
Tabel 5.4 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap produksi
total protein (t ha-1 ) pada pemotongan kedua (Pem.II) dan kandungan
bahan kering (%) pada pemotongan pertama (Pem.I) dan kedua
(Pem.II)
Perlakuan Prod. Total Kandungan Bahan
Protein kasar Kering
Pem.I Pem.I Pem.II
-1
------t ha ------ --------------% ------------
Persiapan lahan
Pt (TOT) 0,49 a 27,43 a 26,50 a
Ph(herbisida) 0,54 a 26,56 a 29,20 a
Pp(pembakaran) 0,57 a 26,29 a 25,66 a
Pk(konvensional) 0,52 a 25,71 a 25,51 a
Jenis Leguminosa
Ltl (Tanpa legum) 0,38 b 26,52 b 26,54 a
LCp (Centro) 0,59 a 28,86 a 27,26 a
LCm (calopo) 0,62 a 24,12 c 24,10 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Tabel 5.5 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
terhadap produksi total protein kasar hijauan (t ha-1 ) pada
pemotongan kedua
Persiapan Jenis leguminosa
Lahan Ltl LCp LCm
-1
-------------- --t ha ------- -------
Pt (TOT) 0,30 d 0,38 c 0,31 d
Ph(herbisida) 0,27 de 0,63 a 0,39 c
Pp(pembakaran) 0,27 de 0,46 b 0,26 de
Pk(konvensional) 0,22 e 0,43 b 0,28 de
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%
Tabel 5.6 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa
terhadap kandungan protein kasar hijauan (%) pada pemotongan
pertama dan pemotongan kedua
Persiapan Jenis leguminosa
Lahan Pemotongan I Pemotongan II
Ltl LCp LCm Ltl LCp LCm
-------------------- % ----------------- ------------------- % -----------------
Pt (TOT) 10,89 de 12,88 c 15,24 ab 9,33 e 11,98 d 13,38 c
Ph(herbisida) 9,55 e 14,36 b 14,85 ab 8,94 e 18,60 a 18,24 a
Pp(pembakaran) 11,42 d 14,84 b 16,49 a 9,86 e 15,22 b 13,95 c
Pk(konvensional) 16,35 a 16,01 ab 16,81 a 9,3 e 15,51 b 18,67 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%
Kandungan Abu
Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tdak menunjukkan pengaruh
yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan abu hijauan pada pemotongan pertama
dan kedua (Tabel 5.1 dan 5.7).
Jumlah Nodul
Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak memberikan pengaruh
yang nyata (P>0,05) terhadap jumlah nodul pada akhir penelitian (Tabel 5.1 dan
5.7).
Pembahasan
Pada persiapan lahan dengan menggunakan herbisida, glyphosate yang
bersifat sistemik berhasil membasmi rumput dan gulma sampai keakar-akarnya,
sehingga produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda
dibandingkan tanpa pengolahan tanah dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel
5.4). Produksi bahan kering pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami
dengan leguminosa, sebagian besar terdiri dari leguminosa itu sendiri (54,82%
pada centro, dan 54,24% pada calopo). Dengan rendahnya kompetisi rumput dan
gulma maka produksi total bahan kering hijauan di atas tanah pada cara
persiapan lahan dengan herbisida juga mencapai hasil yang tertinggi (Tabel 5.4).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nurjaya (1986) yang
menyatakan bahwa cara persipan lahan dengan memotong dan menyemprot
dengan herbisida glyphosat 3 kg a.i ha-1 dan setelah dua minggu ditanami dengan
leguminosa, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara
persiapan lahan secara konvensional. Hal ini disebabkan oleh temperatur
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa dalam
hal produksi dan kualitas hijauan di padang rumput alami.
2. Jenis leguminosa yang lebih mampu menghasilkan bahan kering yang lebih
tingggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrosema pubescens
Benth.
3. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering dan
kualitas hijauan di padang rumput alami.
4. Cara persiapan lahan dengan menyemprotkan herbisida sistemik yang
berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara
yang paling tepat dalam menanam leguminosa di padang rumput alami.
DAFTAR PUSTAKA
Alison, M.W. and W.D. Pitman. 1995. Legumes Use in Pastures. Louisiana
Agriculture 38 : 16 17
Bahar,S., S. Hardjosoewignjo, I. Kismono, dan O. Haridjaja. 1999. Perbaikan
padang rumput alam dengan introduksi leguminosa dan beberapa cara
pengolahan tanah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4 (3) : 185 190
Bayer, W. 1990. Nappier Grass-A Promising Fodder for Smallholder Livestock
Production in the Tropics. Plant Research and Development. p. 103-111
Bogdan , A. V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and
Legumes). Longman ,London and New York.
Crowder, L. V. and H.R. Cheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. First
Publ. Longman, London, New York. P. 63 - 81
Djuned H, M.H.D.Wiradisastra, T.Aisyah dan Ana Rochana. 1980. Tanaman
Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran Bandung, 45 65.
Dubbs,A.I. 1971. Competition between grass and legumes spesies on dryland.
Agron.J. 63 : 359-362.
Donald, C.M. 1963. Competition among crop and pasture plants.
Adv.Agron.15.1-118
Humphreys , L. 1980. A Guide to Better Pasture for the Tropics and Subtropics.
Revised 4th . Wright Stephenson & Co. Australia.
Mendra, I. K. 1992. Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Delapan
Kabupaten di Bali. Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak UNUD bekerjasama
dengan Dinas Peternakan Propinsi Bali.
Miller, D. A. 1984. Forage Crops. Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Nurjaya, I.G.M.O. 1987. Studies on management of Imperata cylindrica (L)
Beauv. for oversowing pasture legumes. (Thesis). University of New
England.
Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Reynolds S.G. 1995. Pasture Cattle-Coconut Systems. Food and Agriculture
Organzation of The United Nations regional Office for Asia and the
Pasific (Rapa). Bangkok, Thailand.
Sanchez P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2. Terjemahan
Amir Hamzah. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Sarief. S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana . Jakarta.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Metodologi
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten
Bireuen dari bulan Februari sampai dengan Desember 2012.
Bobot Bobot
Harga Karkas
Perlakuan Badan PBB Badan Penerimaan
Rp/Kg
Awal Akhir
Pemanfaatan limbah hasil pertanian (jerami padi dan kulit buah kakao)
yang dilakukan pengolahan dengan cara fermentasi ternyata memberikan dampak
positif terhadap percepatan pertambahan bobot badan ternak sapi penelitian, yang
memberikan selisih tingkat keuntungan yang tinggi yang diperoleh dari masing-
masing pakan pelakuan dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi
tersebut. Dari hasil analisis ekonomi terhadap berbagai jenis pakan perlakuan
penelitian (A0 ,A1 ,A2 ) ; Pakan perlakuan A0 biaya produksi Rp. 5.261.554,-,
keuntungan Rp 2.563.396,- dengan B/C ratio 1,48 ; Pakan perlakuan A1 biaya
produksi Rp. 5.889.358,-, Keuntungan Rp. 3.233.742, -, dengan B/C ratio 1,55 ;
dan pakan perlakuan A2 Biaya produksi Rp. 6.284.309,-, keuntungan Rp.
2.464.291,- B/C ratio 1,39.
Berdasarkan data hasil penelitian usaha ternak sapi tentang perhitungan
analisis ekonomi menunjukkan bahwa pakan perlakuan A1 (jerami padi
difermentasi), memberikan keuntungan yang lebih besar dengan biaya produksi
rendah serta B/C ratio yang tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan
penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya. Dapat
disimpulkan perlakuan pakan A1 dengan memanfaatkan jerami padi yang diolah
dengan cara fermentasi dapat membantu petani ternak dalam memanfaatkan
produk limbah pertanian, sehingga dapat menurunkan ketergantungan terhadap
ketersediaan hijauan pakan. Pemanfaatan limbah pertanian dapat dilakukan
sejalan dengan pengolahan lahan pertanian dan pengaturan penanaman hijauan
makanan ternak.
Pakan perlakuan yang dilakukan petani atau perlakuan petani (A0 )
berdasarkan data tingkat analisis ekonominya lebih tinggi dibandingkan pakan
perlakuan penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya,
hal ini disebabkan karena pakan perlakuan petani jumlah biaya produksi lebih
rendah dengan hanya memakai pakan hijauan saja tanpa penambahan pakan
lainnya namun tidak memberikan tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi
seperti pada perlakuan penelitian dengan memakai bahan pakan hasil fermentasi
lainnya (A1 dan A2).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, 2009. Data Base Peternakan Provinsi
Aceh. Banda Aceh.
Fitriani. 2003. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Yang Diberi pakan Jerami padi
Fermentasi ditambah Aktivator Mikroorganisme. Skripsi Jurusan
Peternakan Unsyiah, Darussalam Banda Aceh.
Pasandaran, Effendi. Djayanegara, Andi. Kariyasa, Ketut. Kasryno. Faisal.2006.
Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta
Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi Kelapa
Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan
Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63
Zainuddin. 1995. Kecernaan dan Fermentasi Limbah Kakao serta Manfaatnya.
Kumpulan Hasil-hasil Pertanian APBN TA 94/95, Balia Penelitian Ternak
Ciawi, Bogor.
ABSTRACT
ABSTRAK
Integrasin pastura dan ternak sapi ke dalam system pertanian berbasis kelapa
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secar aberkelanjutan.
Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruhstocking rate dan system
penggembalaan terhadap keragaan pastura.Penelitian ini telah dilakukan di Kebun
Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak
Juli 2009 sampai Juni 2010. Perlakuan terdiri dari dua sistem penggembalaan dan
tiga stocking rate diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada
Rancangan Acak Kelompok (RAK). Variabel yang diukur adalah jumlah tanaman
induk, jumlah ground tiller, jumlah aerial tiller, bobot akar dan bobot crown.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua parameter keragaan pastura yang
terbaik diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan
stocking rate 2,31 UT (SR3).
Kata kunci : keragaan, humidicola, sistempenggembalaan, stocking rate.
PENDAHULUAN
Metode
Dalam percobaan ini perlakuan yang akan diuji adalah dua sistem
penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP 1 ) dan
penggembalaan rotasi pada tahap perkembangan tanaman rumput mencapai 3,5
daun dewasa yang dihitung berdasarkan akumulasi unit panas sebesar 456 DD
(SP2 ), dan stocking rate (SR) terdiri atas 0,77 UT/pedok (SR1 ), 1,54 UT /pedok
(SR2 ), dan 2,31 UT/pedok (SR3 ). Percobaan ini menggunakan pola petak
terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK).
Tanaman Induk
Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata SP
dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP 2 SR3
(12,22 tanaman), lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan interaksi
lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah diperoleh pada
interaksi SP2 SR1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih rendah dari
interaksi lainnya.
Pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar bila
frekuensi defoliasi meningkat (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot
akar dan crown yang kami peroleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi
tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya
restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Hal ini penting
mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padangrumput. Gao et al.
(2007) melaporkan bahwap enggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio
akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium
2,0 yaks/ha. Hasil bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP2 SR3
sebanyak 11,09 g. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa pada sistem
penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya
akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistemp
enggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada system penggembalaan rotasi
tanman diberi kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam
perkembangan tanaman, naiknya proporsi pucuk selalu diimbangi dengan
perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh
Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa defoliasi yang berat tidak
berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown,
kecepatan rekrutmen akar dan tingkat hidup akar rumput Poa ligularis. Penulis
tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis
rerumputan yang tergolong persisten sebagai padang penggembalaan.
Kemungkinan lain dari hasil penelitian kami adalah bahwa rumput B.humidicola
semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar
dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon.
Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman
rumput tidak tergantung sepenuhnya cadangan energi yang berasal dari akar dan
crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007).
KESIMPULAN
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
Semua keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem
penggembalaan rotasi (SP2 ) dan stocking rate tiga (SR3 ).
Baruch, Z., O. Guenni. 2007. Irradiance and defoliation effects in three species of
the forage grass Brachiaria. Tropical Grassland 41: 269-276
Busque.J., M. Herrero. 2001. Sward structure and patterns of defoliation of signal
gass (Brachiariadecumbens) pastures under different cattle gazing
intensities. Tropical Gassland 35: 193-204.
Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006.
Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca
under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176
Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais. 2006.
Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca
under four grazing managements. Tropical Grassland 40: 165-176
Centro InternationaleAgicultureTropicale (CIAT). 2009. Exploiting biological
nitrification inhibition in agiculture. http://www.ciat.cgiar.org.
Dawson, L.A., S.J. Gayston., E. Paterson. 2000. Effects of gazing on the roots and
rhizosphere of gasses. GasslandEcaophysisolgy and GazingEcoalogy. (Ed)
G. Lemaire et al. CAB International.
Flemer, A.C., C.A. Busso., O.A. Fernandez., T. Montani. 2002. Root gowth,
appearance and disappearance in perennial gasses: Effects of the timming of
water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science.
82: 539-547.
Gao, Y.H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang. 2007. Gazing intensity
impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern
Plateau. Research J. Agi and Biology Sci. 3 (6): 642-647.
Gittings,C., C.A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi. 2010.
Defoliation frequency affects morphophysiological traits in the
bunchgassPoaligularis. Int. J. Exptl Botany 79: 55-68.
Gomez, A.A and A.A. Gomez. 1995. ProsedurStatistikuntukPenelitianPertanian.
(Edisi II). PenerbitUniversitas Indonesia.
Huang, Z., Y. Guttreman. 2004. Seedling desiccation tolerance of
Leymusracemous(Poaceae) (wild rye) a perennial sand-dune grass
inhabiting the Junggar Basin of Xinjiang, China. Seed Sci. Res. 2(14):
233-241
Kuzyakov,Y.2002. Factor affecting rhizosphere priming effects.J.PlantNut.
SoilSci 165: 382-396
Lecain, D.R., Morgan, J.A., Schuman, J.D and H. Hart. 2000. Carbon exchange
rates gazed and ungazed pastures of Wyoming. J. Range Management.
53: 199-206.
Manske,L.L. 2001. Well-Timed gazing can stimulate gassgowth and tiller
development.North Dakota State University-NDSU Agiculture
Communication. hhtp://www.ag.ndsu.nodak.edu
Mayne, C.S,.Wright, I.A and G.E.J. Fisher. 2000. Gassland management under
gazing and animal respons. In: Gass Its Production and Utilization. Third
Edition.Edited by Alan Hopkins. Institute of Gassland and Environment
Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd.
McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson. 2003.
Suhubdy Yasin
Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Penggembalaan Kawasan Tropis,
Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB
e-mail: suhubdy1960@gmail.com
ABSTRACT
ABSTRAK
Tabel 1. Daya cerna (in vitro) lima species rumput tropis (Minson, 1990).
Daya cerna bahan kering
Tumbuhan Pakan Monthly Mature Rata-rata
regrowths regrowths
Setaria sphacelata var. splendida 0,65 0,58 0,62
Digitaria decumbens 0,63 0,57 0,60
Chloris gayana 0,61 0,54 0,58
Panicum maximum 0,61 0,52 0,57
Pennisetum clandestinum 0,60 0,52 0,56
Rata-rata 0,62 0,55 0,59
Tabel 2. Pengaruh tinggi tumbuhan pakan terhadap pola makan, konsumsi, dan
produksi ternak sapi laktasi (Minson, 1990).
Tinggi hijauan pakan (cm)*
Komponen
4,8 6,4
Produksi hijauan (kg OM/ha) 1810 2734
Kepadatan anakan (1000/m2 ) 17 16
Proporsi dedaunan 0,51 0,55
Kebutuhan hijuan (kg OM/sapi/hari) 17 21
Daya cerna hijauan yang disenggut (OM) 0,76 0,77
Waktu merumput (menit/hari) 575 565
Total senggutan (000/hari) 44,7 43,3
Ukuran senggutan (mg OM/senggutan) 282 345
Konsumsi hijauan (kg OM/sapi/hari) 12,7 15,1
Produksi susu (kg FCM/hari) 26,3 28,1
Perubahan bobot badan (kg/hari) -067 +0,15
Keterangan: * diukur dengan menggunakan plate meter dengan tekanan sebesar 4,8kg/m2 ; OM:
organic matter; FCM: fat corrected milk.
Kesimpulan
Perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia dan/atau
herbivora non-ruminansia merupakan salah satu bioindikator yang praktis, sakil
dan mangkus untuk mengetahui perubahan fenologi, karakteristik tumbuhan
pakan, dan dinamika padang penggembalaan.
Saran
Bioindikator ini dapat juga dijadikan petunjuk agronomis dalam
memaksimalkan komposisi botani padang penggembalaan, dan pada gilirannya
dapat pula dijadikan acuan ilmiah yang jitu untuk mengetahui perubahan kapasitas
produksi, nilai gizi, dan strategi untuk mengembangkan ternak ruminansia
berbasis padang penggembalaan.
DAFTAR PUSTAKA
Allden, WG. Dan Whittaker, IA.McD. 1970. The determinants of herbage intake
by grazing sheep: The interrelationship of factors influencing herbage
intake and availability. Aust. J. Agric. Res., 21:755-766.
Bailey, DW., Gross, JE., Laca, EA., Rittenhouse, R., Coughenour, MB., Swift,
DM. dan Sims, PL. 1996. Invited Synthesis Paper: Mechanism that results
in large herbivores grazing distribution patterns. J. Range Manage. 49:386-
400.
Boland, HT. dan Scaglia, G. 2011. Case Study: Giving beef calves a choice of
pasture type influences behaviour and performance. The Professional
Animal Scientist, 27:160-166.
Boumant, R., Ptache, S., Meuret, M. dan Morand-Fehn, P. 2000. How forage
characteristic influence behaviour and intake in small ruminants: a review.
Ivestock Production Science, 64:15-28.
Brazle, FK., Kilgore, GL., dan Fausett, MR. 2000. Effect of season on grazing
native-grass pastures. The Professional Animal Scientist, 16:30-32.
Coleman, SW., Forbes, TDA. Dan Stuth, JW. 1989. Measurements of the plant-
animal interface in grazing research. Dalam: Grazing Research: Design,
Methodology, and Analysis. CSSA Special Publication No. 16.
Flores, ER., Laca, EA., Griggs, TC. Dan Demment, MW. 1993. Sward height and
vertical morphologyal differentiation determine cattle bite dimensions.
Agron. J., 85:527-532.
Forbes, JM. 1995. Voluntary food Intake and Diet Selection in Farm Animals.
CAB International, UK.
Gordon, IG. Dan Lascano, C. 1993. Foraging strategies of ruminant livestock on
intensively manged grasslands: potential and constrains. Proceedings of the
XVII International Grassland Congress New Zealand, p.681-690.
Gibson, DJ. 2009. Grasses and Grassland Ecology. Oxford University Press, UK.
Gregorini, P., Gunter, SA. dan Beck, PA. 2008. Matching plant and animal
processes to alter nutrient supply in strip-grazed cattle: timing of herbage
and fasting allocation. J. Anim. Sci., 86:1006-1020.
Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Calwell, J., Bowman, MT., dan Coblentz,
ABSTRACT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Komposisi botanis
Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap seluruh
tanaman yang tumbuh bersamanya. Hijauan yang tumbuh di perkebunan kelapa
sawit rakyat, Kecamatan Samboja merupakan hijauan alam, sehinga perubahan
komposisi botanis hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti
kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan dari tajuk sawit (cahaya). Hasil
penelitian ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang tumbuh di bawah
kelapa sawit dengan umur yang berbeda proporsinya juga berbeda.
Pada kebun kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum
conjugatum (45,54%), yang diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan
Ottochloa nodosa (7,89%), sedangkan di kebun kelapa sawit umur 6 tahun
didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), yang diikuti oleh Melastoma
malabatrichum (28,23%) dan Paspalum urvillei (8,37%).
Tabel 1. Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit
umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara
Komposisi botanis (%) pada
No. Jenis tanaman kelapa sawit umur
3 tahun 6 tahun
1 Ageratum conyzoides 0 1,06
2 Asystasia intrusa 5,49 1,17
3 Borreria latifolia 6,73 5,47
4 Chromolaena odorata 1.96 0
5 Clidemia hirata 0 1,14
6 Cyperus brevifolius 0 0,48
7 Cyperus rotundus 0 1,15
8 Imperata cylindrica 2,05 0
9 Leptochloa chinensis 0,57 7,95
10 Melastoma malabatrichum 3,89 28,23
11 Mikania micrantha 9,93 3,9
12 Nephrolepsis bisserata 1,45 0
13 Ottochloa nodosa 7,89 33,89
14 Panicum sarmentosum 5,73 0
15 Paspalum conjugatum 45,54 1,49
16 Paspalum urvillei 3,07 8,37
17 Solanum violaceum 5,7 5,4
Tabel 2. Produksi hijauan antar tanaman di bawah pohon kelapa sawit umur 3
tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai
Kartanegara
Produksi hijauan
Umur tanaman kelapa sawit
Berat segar (kg ha-1 ) Berat kering (kg ha-1 )
3 tahun 13.168 3.205,1
6 tahun 6.380 1.165,4
Tabel 3. Komposisi kimia zat-zat makanan hijauan yang tumbuh di bawah pohon
kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun
Umur Tanaman Kelapa Sawit
Zat-zat makanan
3 tahun 6 tahun
Protein kasar (%) 8,25 10,5
Serat kasar (%) 23,2 22,43
Lemak kasar (%) 4,2 2,4
Abu (%) 2,48 3,98
BETN (%) 61,87 60,69
Kapasitas Tampung
Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas tampung per
hektar tanaman kelapa sawit pada umur 3 tahun diperoleh hasil sebesar 1,44 ST
ha-1 dan untuk tanaman kelapa sawit umur 6 tahun sebesar 0,71 ST ha -1 .
Menurunnya kapasitas tampung ini berkaitan dengan menurunnya produksi
hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit akibat semakin tuanya umur
tanaman kelapa sawit. Pada tanaman kelapa sawit umur muda menghasilkan
hijauan yang tinggi sehingga dapat mendukung jumlah ternak yang optimum.
Menurunnya kapasitas tampung akibat semakin tuanya tanaman kelapa sawit juga
ditunjukkan oleh Wan Mohammad et al. (1997). Ketika tanaman kelapa sawit
berumur 1-2 tahun dapat menampung 3 ekor sapi per hektar, kemudian menurun
menjadi 2 ekor per hektar ketika tanaman telah berumur 2-3 tahun, selanjutnya
menurun lagi menjadi 1 ekor per hektar pada tanaman umur 5 tahun.
Untuk mempertahankan kapasitas tampung sebaiknya dilakukan
penggembalaan dengan sistem rotasi pada interval sekitar 60 hari. Chen & Dahlan
(1995) menyarankan agar system rotasi dilakukan pada interval 6-8 minggu agar
diperoleh kapasitas tampung yang berkelanjutan. Hal itu juga perlu
memperhatikan ketersediaan hijauan.
Dalam hal meningkatkan kapasitas tampung, selain memperbaiki jenis
hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit, bisa juga melalui
pemupukan. Hanafi (2007) melaporkan bahwa pemupukan dengan 100 kg urea +
50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk rumput, serta 50 kg SP-36 + 50 kg KCl untuk
legume ha-1 tahun-1 dapat meningkatkan kapasitas tampung dari 2,78 ST ha -1
menjadi 5,12 ST ha-1 pada tanaman kelapa sawit umur 4 tahun.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
L. Abdullah
Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
e-mail: lukiabdullah@gmail.co m
ABSTRACT
Indigofera sp. are very diverse legume species. The plant has been utilized
as a natural dye for generations. One such species namely Indigofera
zollingeriana has been widely used as forage because of its advantages in the
agronomic and nutritional aspect. However, agronomic knowledge about
Indigofera is still limited. It is therefore, some results relating to agronomic and
nutritional aspect of I. zollingeriana are elucidated in this paper. Some of the
information obtained during this study showed that from agronomic view point I.
zollingeriana is a prospective plant, ease to be developed generatively and has a
high forage production capability and rapid regrowing. In addition it has the
ability to adapt to drought condition.
Keyword: Indigofera zollingeriana, agronomic view, and regrowing.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian cabang edible) Indigofera
zollingeriana
Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%. Benih
normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase
perkecambahan (daya kecambah) 28-35% jika benih pernah mengalami
penyimpanan selama 2 bulan. Pada umumnya daya kecambah yang rendah
disebabkan oleh kulit benih yang tebal dan invasi jamur pada saat perkecambahan.
Pengalaman di laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB menunjukan
pemberian bahan organik (pupuk organik) pada media penyemaian dapat
meningkatkan daya kecambah menjadi 67%-74%. Perlakuan benih dengan
skarifikasi pemanasan kering dari 30o C menjadi 45o C menurunkan daya
kecambah dari 58% menjadi 29% pada pengamatan umur perkecambahan 7 hari.
Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negatif, karena
benih yang berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan
germinator terang (44% - 57% vs 24% - 29%; P<0.05). Karakteristik fisiologi
lainnya dari benih I. zollingeriana adalah menurunnya daya kecambah benih
jika telah mengalami penyimpanan dan penundaan waktu berkecambah.
Penyimpanan lebih dari 4 minggu dapat menurunkan daya kecambah benih
hingga 24%.
Secara fisik benih berwarna coklat (b) dan coklat kehitaman (c) bulat
berisi lebih baik dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau
kecoklatan (Gambar 3). Penambahan panjang hipokotil dari umur kecambah 4
hari ke umur 7 hari mencapai 177%, namun mengalami penurunan penambahan
tinggi hipokotil sebanyak 26.26% dengan bertambahnya umur kecambah menjadi
14 hari. Pengeringan benih hingga 45o C dapat menurunkan daya kecambah benih
hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur kecambah 4 hari dan 14
hari.
Gambar 3. Bentuk dan warna benih Indigofera pada kondisi masak fisiologis
berbeda. Benih berwarna coklat kehitaman lebih bernas dibanding
yang masih muda (Sumber Foto : Nanda dan Rhoma, 2011)
Untuk hasil yang baik, pemberian pupuk kandang dalam lobang tanam
sebanyak 250-300g/lobang. Untuk menghasilkan bentuk tajuk yang baik dan
pertumbuhan cabang yang baik, potong tanaman dengan ketinggian 75-100cm.
Pemotongan pertama sebaiknya dilakukan setelah tanaman mencapai target
ketinggian yang diharapkan. Pemberian pupuk cair anorganik maupun organik
seperti urin sapi dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan tajuk lebih cepat
dibandingkan dengan kontrol (tanpa pupuk). Salah satu pupuk buatan yang
dikembangkan di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB yang
dirancang khusus untuk pertumbuhan tajuk Indigofera adalah INDIGO-
FERTILIZER dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk ini untuk setiap
satu liter diencerkan dalam 100-150 liter, tergantung hasil yang diharapkan.
Kebutuhan pupuk cair untuk satu hektar adalah 10 botol untuk sekali
penyemprotan. Pupuk daun diberikan 4 kali selama periode penanaman, yaitu
pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau
panen sebelumnya (Gambar 5).
Pemanenan dilakukan dengan interval 60 hari, menyisakan tegakan
tanaman 75-100 cm. bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible).
Batang yang tidak terpakai hasil pemangkasan yang dianggap tidak dapat dimakan
dapat digunakan sebagai kayu bakar ringan atau digunakan untuk mulsa.
Pertumbuhan kembali (regrowth) tajuk Indigofera akan terlihat setelah satu
minggu jika cukup curah hujan (Gambar 6). Daun dan batang dikeringkan,
Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan
pertumbuhan tanaman Indigofera
Gambar 6. Pemanenan menghasilkan hijauan pakan dan batang untuk kayu bakar.
Pertumbuhan kembali setelah pemanenan pada musim hujan bisa
terlihat setelah satu minggu
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Budidaya Hijauan
Budidaya hijauan unggul daerah Aceh di temukan berkembang pesat
dipinggiran Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Daerah ini dikenal sebagai
kantong tempat penggemukan ternak dikandang (zero grazing). Diprediksi jumlah
rumput unggul yang telah dibudidaya mencapai 2.465 ha, dimana 70% berada di
Proyeksi hasil penelitian pada kebun kelapa rakyat yang ditumbuhi rumput
alam dengan penggantian spesies hijauan unggul daya tampung ternak dapat
ditingkatkan 8-12 Unit Ternak (UT/ha).
Saran
1. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus membuat
peraturan yang jelas tentang Tata Laksana Penggunaan Tanah Peternakan,
Tanaman Pangan, Perkebunan, Budi daya Perikanan, dan Kehutanan.
2. Pemerintah membatalkan HGU dari pengusaha berdasi apabila dalam 1
(satu) tahun HGU tersebut tidak diusahakan.
3. Membuat kebun bibit hijauan makanan Ternak (HMT) di setiap
Kecamatan minimal 10 ha.
DAFAR PUSTAKA
BPS., 2012. Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh.
Rachmadi, D. 2012. Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum terhadap
Pertambahan Sapi Brachman Cross. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala.
Basri, H. 2003. Penggunaan Molases dalam Ransum terhadap Pertambahan Berat
Badan Sapi Aceh. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Kuala.
Husin, MN, M.J. Helmy., A.G. Fadli. 2010. Pedoman Memelihara Sapi di
Pedesaan. Badan Pembinaan Pendidikan Dayah. Pemerintah Aceh, Banda
Aceh.
Husin, M.N., Asril., M. Delima, D. Rachmadi. 2012. Kumpulan Hasil Penelitian
Hijauan. Laboratorium Hijauan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian, Unsyiah, Banda Aceh.
McIlroy, R.J., 1976. Pengantar Budidaya Rumput Tropika. Terjemahan. Pradnya
Paramita. Jakarta
Sitepu, M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. PT. Indek. Jakarta.
Zaini, A. 2013. Memperkuat Perekonomian yang Inklusif Melalui
Penanggulangan Kemiskinan dan Penurunan Pengangguran Menuju Aceh
Sejahtera. Tabloid Tabangun Aceh. Edisi 31, April 2013, Banda Aceh.
ABSTRACT
West Papua is an area with high potential for the development of beef
cattle because the capacity of the area is quite extensive. Availability of the
natural resources provides great opportunities to develop of Bali cattle business.
This study aims to analyze the botanical composition, carrying capacities, and
forage production potential in Kebar, West Papua. Botanical composition was
analyzed by the ranking method (dry weight rank) which observing only three
types of forage that has a big contribution, and set them as 1, 2, and 3 ranking
based on dry matter, while forage production was estimated by sample method
using 1 m2 quadrants. The results showed that almost 100% forage on pasture
were dominated by grass; very low carrying capacity of natural pastures, it was
about 0.48 to 1.70 UT / ha / year; forage production on natural pastures have not
any potential for planing of Bali cattle/beef cattle development to support beef
sufficiency program in West Papua.
Keywords: grassland natural, botanical composition, carrying capacities
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Komposisi Botani
Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang penggembalaan alam
memiliki variasi jenis hijauan (vegetasi) sangat tinggi. Jenis-jenis hijauan yang
tercatat pada tiga ranking terbanyak untuk dua lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada dua lokasi kampung Inam
Kel.
Kel. Wanimeri
NO Nama hijauan/Spesies Bitawi Keterangan
(%)
(%)
1 Bothriochloa ischaemum 14,29 R
2 Kyllinga brevifolia (teki) 38,93 R
3 Ischaemum indicum 24,64 R
4 Cyperus rotundus (teki) 4,28 R
5 Hyparrhenia hirta 14,29 R
6 Scirpus grossuss (teki) 3,56 R
7 Imperata cylindrica 73,42 R
8 Osmunda regalis (paku) 22,01 BP
9 Mikania cordata 2,28 BP
10 Lycopodium cernuum (paku) 2,28 BP
TOTAL 100,00 100,00
Rumput 100,00 73,42
Hijauan lain - 26,58
Keterangan : Kel. = kelompok; Ket. = keterangan, R = rumput, BP = bukan pakan ternak
Pada lokasi kampung Inam jenis hijauan yang dominan sangat berbeda
pada dua lokasi, masing-masing lokasi kelompok Wanimeri adalah tumbuhan teki
Pada lokasi kampung Jandurau tiga jenis hijauan yang dominan, masing-
masing 20,76% Imperata cylindrica, 18,28% Paspalum conjugatum, 12,87%
Ischaemum indicum dan tidak ditemukan jenis hijauan legum, tetapi hanya jenis
rumput dan jenis hijauan lainnya yang tidak termasuk jenis hijauan pakan (tidak
dapat dikonsumsi ternak). Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Setiana
(2010) bahwa ternak ruminansia secara alami memanfaatkan tumbuhan untuk
kebutuhan hidupnya, terutama jenis tumbuhan berasal dari famili Gramineae atau
Poacea atau rumputan. Menurut Kristianto dan Nappu (2004), sistem
pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh
karena ternak sapi pada siang hari diikat di padang penggembalaan alam dengan
kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak
didominasi oleh alang- alang dan semak belukar. Selanjutnya dikemukakan
bahwa hijauan pakan ternak lokal yang tidak bernilai gizi tinggi merupakan
penyebab utama rendahnya produks i sapi.
KESIMPULAN
Djagra, I.B., I.G.N.R. Haryana, I.G.M. Putra, I.B. Mantra, A.A. Oka., 2002.
Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Hasil Penelitian
Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan Fakultas Peternakan Universitas
Udayana, Denpasar.
Jan, R., 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali di Daerah Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM,
Yogyakarta.
Kristanto, L.K dan M. B. Nappu. 2004. Prospek Pengembangan Sapi Potong
Melalui Pola Pengembangan Kolektif Dalam Upaya Swasembada Daging
Sapi di Kalimantan Timur. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Samarinda
Reksohadiprodjo. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE.
Yogyakarta.
Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Cetakan Pertama. Swadaya,
Jakarta.
Subagio, I dan Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan, NUFIC. Universitas
Brawijaya Malang.
Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono, 2011. Breeding Programme
Development of Bali Cattle at Bali Breeding Centre. Journal of Animal
Production. 13, 1: 45-51.
Susetyo, S, 1980. Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk
Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner and D. Lindsay, 2002.
Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing
Breeding Programs in Indonesia. Working Papers: Bali Cattle Workshop.
Bali, 4-7 February 2002.
a. Padang Penggembalaan
Alam
KAM PUNG
Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan KAM PUNG INAM JANDURAU
Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam
Produksi hijauan kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478
Produksi hijauan kg/ha * 10.000 9550 17510 10540 4780
Produksi hijauan tersedia * 25%
kg/ha 2387,5 4377,5 2635 1195
(PHT) (rendah)
Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250 250 250 250
Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25 25 25 25
25 kg * 30
Kebutuhan pakan (30 hari) kg/bulan 750 750 750 750
hari
Kebutuhan luas lahan per bulan Ha/bula 750/PHT * 1
0,3141 0,1713 0,2846 0,6276
(LLB) n ha
Kebutuhan luas lahan per tahun Ha/UT/t
3,3 * LLB 1,0366 0,5654 0,9393 2,0711
(LLT) h
UT/ha/t
KT (carrying capacity) 1/LLT 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828
h
b. Kebun Rumput Raja
Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan HASIL
kg/rump
Produksi hijauan 4,2
un
Produksi hijauan kg/ha * 16.000 67200,00
Produksi hijauan tersedia kg/ha
(5/2)(1*Prod
M usim hujan 100% 168000,00
Hij)
(7/3)(Prod
M usim kemarau 60% 94080,00
Hij*0,6)
Jumlah
262080,00
(kg/ha/thn)
Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250
Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25
Kebutuhan pakan per tahun kg/ha/U 25 kg * 365
9125
(365 hari) T hari
Kebutuhan luas lahan per bulan UT/ha/ta 262080/9125 28,72
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Materi Penelitian yang digunakan biji hasil alfalfa mutan, hasil mutasi
induksi dengan EMS (Ethyl Methyl Sulfanate), kebun percobaan, kompos, pupuk
Urea (45%N), SP-36 (36% P2 O5 ), KCl (52%K 2 O), dan insektisida. Penelitian
dilaksanakan di kebun di desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten
Semarang yang terletak pada ketinggian + 400 m dpl.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) terdiri dari 5
perlakuan dosis fosfat (0, 50, 100, 150 dan 200kg P 2 O5 /ha) dengan 4 kelompok
ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa,
yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100
biji.
Data yang diperoleh diolah secara statistik menurut prosedur analisis
ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati, apabila
terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan (Steel
dan Torrie, 1980) dan Uji Polinomial. Apabila diperoleh pengaruh kuadratik,
dirumuskan dalam persamaan Polinomial Kuadratik y = a + bx + cx2 , selanjutnya
untuk mendapatkan Titik Puncak (TP) perlakuan pemupukan P optimum
diperoleh dengan rumus;
TP = - b , di mana a = intersep, b, c = koefisien regresi linier dan kuadratik.
2c
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tempat Penelitian
Penelitian untuk produksi biji dilakukan pada lahan di desa Sidomulyo
kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian +
400 m diatas permukaan laut. Hasil analisis tanah lahan penelitian mengandung P
potensial 499,39 ppm dengan pH 6,57 Temperatur selama penelitian berkisar
antara 23-35o C dengan kelembaban berkisar antara 31-80%. Masa adaptasi
tanaman alfalfa dari persemaian ke lahan + 2 minggu. Hujan turun sepanjang hari
pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah
hujan tidak terukur. Data yang didapat dari Balai Meteorologi dan Geofisika
didapatkan bahwa curah hujan selama bulan September 133 mm (4 hari hujan)
Tabel 2. Jumlah tanaman yang berpolong (14 mg) pada Pemupukan P yang
Berbeda
==========================================================
Perlakuan Jumlah tanaman yang berpolong
Pemupukan Ulangan Rerata
Fosfat 1 2 3 4
--------------------------- %/petak ----------------------------
P1 (0kg P2 O 5 /ha) 12.50 31,25 12,50 37,50 23,44
P2 (50kg P2 O5 /ha) 25,50 18,75 37,50 6,25 21,88
P3 (100kg P2 O5 /ha) 37,50 68,70 25,00 62,25 48,36
P4 (150kg P2 O5 /ha) 56,25 68,75 6,25 6,25 34,38
P5 (200kg P2 O5 /ha) 37,5 37,5 12,50 50.00 34,38
Fosfat (P) cukup penting untuk produksi biji yang memuaskan. Tanaman
untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan
pertumbuhan puncak yg cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan
meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan
memperpanjang periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Saat bunga sudah mulai mekar
hujan turun sepanjang hari sehingga banyak bunga yang rontok dan daun alfalfa
membusuk karena kelembaban cukup tinggi 75-85. Pertumbuhan alfalfa
membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur
tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5
atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station
and Cooperative Extension Service, 1998).
Waktu yang ideal alfalfa berbunga untuk produksi biji yang tinggi adalah
pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, yang terus
sampai biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station
and Cooperative Extension Service, 1998). Kondisi cuaca yang tidak dapat
diprediksi menyebabkan pada saat berbunga musim kemarau sudah berakhir dan
hujan pada akhir bulan Nopember turun sepanjang hari walaupun curah hujan
masih rendah.
Tabel 3. Berat per 100 biji (16 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda
==========================================================
Perlakuan Berat per 100 biji
Pemupukan Ulangan Rerata
Fosfat 1 2 3 4
-------------------------------- g ---------------------------------
P1 (0kg P2 O 5 /ha) 0,5580 0,5520 0,6920 0,9460 O,6945b
P2 (50kg P2 O5 /ha) 1,3520 1,4100 1,3120 1,3100 1,3460a
P3 (100kg P2 O5 /ha) 0,8940 0,8460 0,7640 1,3720 0,9690b
P4 (150kg P2 O5 /ha) 0,7920 0,9860 1,1060 0,7520 0,9090b
P5 (200kg P2 O5 /ha) 1,3900 0,9240 0,8500 0,8700 1,0085b
*Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
DAFTAR PUSTAKA
M. Agus Setiana
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor
Hp. 0811111835
email: massetiana@yahoo.com
ABSTRAK
ABSTRACT
Elephant grasss producers still can not distribute more than a week,
because of the damaged of the cutting by external factors such as microbes and
fungi. Therefor it is necessary that both storages methods cuttings that have a
longer shelf life. The aim of this study was to determine the materials and tools
that can extend the life of old cuttings and det ermine the shelf life is best for
planting material cuttings of elephant grass.
Experimental design used was completely randomized design (CRD)
PENDAHULUAN
Kendala yang dihadapi pada saat penyediaan dan penyebaran bahan tanam
stek (vegetatif) adalah sifatnya yang mudah rusak akibat proses fisiologis dan
invasi mikroorganisme yang dapat menurunkan kandungan bahan organik. Dalam
distribusi stek yang relatif jauh memerlukan upaya penanganan stek yang tepat
untuk mempertahankan kualitas bibit dan mempertahankan daya tumbuh selama
penyimpanan. Bahan-bahan dan alat seperti lilin, gula, silica gel dan refrigerator
dapat digunakan sebagai sarana pengawetan. Penggunaan sarana pengawetan
tersebut diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan dapat membantu
penyebaran hijauan yang berkualitas tinggi ke daerah yang membutuhkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa teknik
pengawetan untuk dapat mempertahankan umur bahan tanam stek rumput gajah
(Pennisetum purpureum Shummach) selama penyimpanan
Materi
Bahan yang digunakan adalah stek Pennisetum purpureum Schummach
umur 4 bulan, panjang 20-25 cm, sebanyak 625 stek. Stek diambil dari tanaman
induk yang seragam dari Laboratorium Lapang Agrostologi. Bahan pengawet
Metode
Persiapan Stek dan Bahan Penyimpanan Stek
1. Pencelupan lilin
Kedua ujung stek dicelupkan ke dalam lilin yang telah. Setelah itu stek
didiamkan hingga lilin memadat, lalu dimasukkan ke dalam karung dan diikat.
2. Pencelupan cairan gula
Pencelupan stek pada cairan gula menggunakan konsentrasi 2%. Kedua ujung
stek direndam di dalam cairan gula selama 30 menit. Stek ditiriskan lalu
dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan rapat.
3. Penambahan silica gel
Stek ditimbang satu persatu, lalu dimasukkan dalam karung bersama silica gel
30 g dalam kemasan berpori. Kemudian karung tersebut diikat dengan rapat.
4. Penggunaan refrigerator (suhu 4C)
Refrigerator diatur suhunya menjadi 4C. Stek ditimbang dan dimasukkan ke
dalam karung lalu diikat dan dimasukkan ke dalam refrigerator.
Penyimpanan
Penyimpanan stek dilakukan pada setiap perlakuan pengawetan dibagi
menjadi 5 yaitu lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari.
Penanaman
Setelah disimpan, stek ditimbang, dan ditanam di polybag yang berisi tanah
dan pupuk kandang (10 g/polybag), KCl (2 g/polybag), dan SP36 (2 g/polybag.
Analisa data :
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan
Tabel 1. Perubahan Warna, Bau, Fisik (Cendawan), dan Tekstur Stek Selama
Penyimpanan
Lama penyimpanan (hari)
Perlakuan
3 6 9 12 15
Kontrol
Warna - + ++ +++ ++++
Bau - + ++ +++ ++++
Fisik (cendawan) + + ++ +++ ++++
Tekstur (keriput) - + ++ +++ ++++
Lilin
Warna - + ++ ++ +++
Bau - - + ++ +++
Fisik (cendawan) + + ++ ++ +++
Tekstur (keriput) - - - - -
Silica gel
Warna - + ++ ++ + ++
Bau - + ++ +++ ++++
Fisik (cendawan) + ++ +++ +++ ++++
Tekstur (keriput) - - ++ +++ +++
Refrigerator
Warna - - - - -
Bau - - - - -
Fisik (cendawan) - - - - -
Tekstur (keriput) - - - - -
Gula
Warna - + ++ +++ ++++
Bau - - + ++ +++
Fisik (cendawan) + + ++ +++ ++++
Tekstur (keriput) - - ++ +++ +++
Keterangan : Tanda (-) : belum ada perubahan, (+) : sudah terjadi perubahan dan semakin banyak
tanda (+) maka perubahan yang terjadi semakin meningkat.
12
10
Kontrol
8
Lilin
6
Silica Gel
4
Refrigerator
2
Gula
0
1 2 3 4 5
Tabel 4. Rataan Daya Tumbuh (%) Stek Berdasarkan Pengawetan dan Lama
Bahan Lama penyimpanan (hari)
Pengawet 3 6 9 12 15 Rata-rata
Kontrol 76 0,26 1000,00 96 0,09 920,11 760,26 880,11
Lilin 1000,00 960,09 92 0,18 960,09 840,17 940,06
Silica gel 920,11 1000,00 88 0,11 960,09 600,32 870,16
Refrigerat 1000,00 960,09 84 0,17 920,11 880,11 920,06
Gula 1000,00 1000,00 1000,00 960,09 840,09 960,07
Rataan 940,16A 980,07A 920,11A 940,06A 780,04B
Keterangan : superskrip pada baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05)
Tinggi Vertikal
Pengukuran tinggi vertikal dilakukan 15 Hari Setelah Tanam (HST).
Kemudian dihitung rata-rata tinggi vertikal tanaman untuk mengetahui bahan
pengawet mana yang memiliki kecepatan tumbuh yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
INTRODUCTION
Aluminum (Al) is regarded as one of the main toxic factors which exist in
most acidic soil in Indonesia (Notohadiprawiro, 1983), even of the world,
comprising 1x109 hectares in the tropical and cool temperature regions (Van
Wambeke, 1976) or approximately 8% by Weight (Moller et al., 1984). Most Al
in soil is insoluble, associated with complex aluminosilicates and oxides.
However, under acidic soil condition (pH < 5) Al is converted from insoluble
forms into soluble Al +3 (Marschner, 1991; Driscoll and Schecher, 1990; and
Kinraide, 1991), which block growth of plant roots (Rajaram and Villegus, 1990;
Kinraide and Ryan, 1991; Foy et al., 1978; Wagatsuma et al., 1987; and Taylor,
1991). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits
plant growth, particularly in the tropical regions.
Approximately 40% of the worlds arable soils are too acid, and Indonesia
has over 47,6 millions hectares. A problem that is becoming increasingly severe,
because of the use of nitrogenous fertilizer, industrial pollution and acid rain (Van
breeman, 1985). Eventhough, normal rainfall can also cause acidification of soils
by promoting the leaching of basic cations such as Ca+2 , Mg+2 , K + and Na+ (Foy,
1984). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits
plant growth, particularly in the tropical regions (Kochian, 1995; Taylor, 1995;
RESEARCH METHOD
1 tggataatgaatttccacatactgacactgagtattagggttaatatgtggaaattcatt 60
61 atccaaaaacaactcaaacttgattcccatgcaagttatatgtctttgtttgatagtttt 120
121 cttttttcttattttttttatgtgttatatttacagatgggtatatgttctttgtttcat 160
161 tttttaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcgat 240
241 ctaaaactagtc 252
1 tgagcagaaaaggcatttatatatattacataacttatataagtgatttctatgtcttga 60
61 ttatttggtaccttacatcatccccaaatgcaggcaaaattttgaatagcctaaaaaagc 120
121 gtgatgcctatgtatgtcttaatcacatgaataatcatcatcccaaaaatgagaatcaaa 180
181 agaaggaaattagatgaaaagaaaacatgtaatgctacaaaatgaagttgttttacttta 240
241 CTGCTTC 247
1 gcaagaatggcacttcgttgaatggcagaagtggaattttcgtattggattcactcctag 60
61 ggagggtttggtaattcattcagtagcctatattgatggaagtcggggacgaagacctgt 120
121 ggcccatagattgagctttgttgagatggtagtcccgtatggagatcctaatgatcctca 180
181 ctataggaaaaatgcttttgacgctggggaagatggcctgggtaaaaatgctcattctct 240
241 caagaagggctgcgattgtttaggctatatcaaatactttgatgcgcacttcacaaactt 300
301 ctatggaggtgttgaaacaattgagaactgtgtttgtttgcatggagaagatcatggtat 360
361 tttatggaagcatcaagattggagaacaggattggctgaagttcgaaggtctagaaggct 420
1 atggcagctactcaggaagatgtgtactctgatcccggttctcctatgatgcggagaact 60
61 caagctgggacatacattattgccaggataaagaaggaaagtgatgaaggaagatatatt 120
121 tatactgaatggaaatggtgctacaccagaaggaaacattccattccttgatctgtttga 180
181 cataaatacaggtaaaaaaatggaacgaatctgggagagcgataaggagaagtattatga 240
241 gactgttgttgctctaatgtctgatcaagaagaaggggatttgtatttagataaactgaa 300
301 gaagatactgacttctaaagagtcaaaaactgaaaacacccaatactactttgttagctg 360
361 ggccagataaaaacatagttcaggttacaaatttccctcatccataccctcagcttgcat 420
421 ccattgcagaaagagatgatcagatatgaaagaaaagacggggttcaacttactgctaca 480
481 ttatacctaccaccaggttacaatccatcaacagatggccctttgccatgcctggtttgg 540
541 tcttacccaggagaatttaagaacaaagatgctgctggacaagttcgtggtctccaaatg 600
601 aatttgtaggctccacatcttcctgagtagctgccatcgcccgaaacttcattcgtt 657
gmali12
(% )
25 30 34 35 25 29 30 33 25 27 31 26 25 28 30 26
gmali15
(% )
22 23 26 30 25 25 31 35 20 28 30 34 25 30 32 33
gmali22
(% )
30 36 50 34 32 30 35 48 18 20 22 25 30 30 35 35
GmAO
(% )
25 30 35 40 20 20 22 35 0 0 0 0 20 20 24 25
GmAP
(% )
20 22 24 27 22 20 25 27 42 42 47 48 15 15 15 20
Notes : a = media pH 6.00 without Al; b = media pH 4.0 without Al
c = media pH 4.0 with 0.8 mM Al d = media pH 4.0 with 1.6 mM Al
-Al: 125 130 120 125 130 135 125 130 120 87 110 126 87 110 106
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
CONCLUSIONS
ACKNOWLEDMENT
REFERENCES
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Porsi utama pakan ternak ruminansia adalah dari hijauan pakan yang
mencapai 80% dari pakan yang dikonsusmsi sebagai sumber serat. Namun pakan
utama tersebut pada musim kemarau selalu terjadi masalah kekurangan. Hal ini ini
disebabkan pengembangan tanaman pakan pada umumnya dilahan-lahan marginal
(kurang subur) atau sub-optimal.
Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi
sangat penting seperti tanah salin (pesisir). Ekstensifikasi tanah salin mempunyai
potensi yang besar karena Indonesia merupakan negara pulau yang mempunyai
garis pantai yang panjang dengan didominasi lahan salin. Menurut Suhardi (2008)
lahan pasir di Indonesia 181000 km yang berada disepanjang pantai dan belum
dimanfaatkan.
Pengembangan tanaman pakan ternak pada lahan marginal di pesisir yang
mengandung kadar garam (salinitas) tinggi diperlukan upaya perbaikan lahan
Produksi hijauan
Produksi hijauan meningkat akibat pemupukan limbah kopi pada ketiga
media yang diaplikasikan seperti yang tertera pada Tabel 2.
Tabel 3. Kandungan protein kasar, serat kasar, Ca dan P pada tanaman kerandang
yang ditanam di tiga media
Media Dosis Protein Serat kasar Calsium Fosphor
tanam pupuk (%) kasar (g/100 g) (g/100 g) (g/100 g)
(g/100 g)
Tanah 5 25,25 17,18 1,85 0,18
10 23,38 16,75 1,63 0,18
15 20,37 19,55 1,54 0,17
0 19,66 17,71 1,42 0,21
Pasir kali 5 27,25 15,87 2,00 0,23
10 27,02 16,51 1,83 0,29
15 22,51 20,51 1,83 0,29
0 18,53 22,08 1,45 0,18
Pasir pantai 5 23,82 18,92 2,20 0,20
10 23,98 17,40 1,46 0,18
15 27,12 12,68 1,62 0,14
0 24,80 17,22 1,82 0,21
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Pacuan kuda dilaksanakan setiap tahun di provinsi Nusa Tenggara Barat yang
diikuti oleh tidak kurang dari 700 ekor kuda pacuan dalam lima kelas lomba.
Kegiatan ini umumnya berlangsung selama 1-2 minggu di pulau Sumbawa dan
senantiasa menjadi agenda hiburan rakyat serangkaian dengan acara perayaan
hari-hari besar nasional maupun regional dan/atau lokal. Selama kurun waktu
tersebut, semua kuda yang akan dilombakan diberikan pakan berupa hijauan dari
jenis tumbuhan tertentu dan/atau spesifik. Tujuan penelitian ini adalah (1)
menginventarisisr jenis-jenis tumbuhan yang dijadikan hijauan pakan kuda
pacuan selama lomba berlangsung, dan (2) mengkaji komposisi nutrisi jenis
hijauan pakan dimaksud. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada
penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara. Semua kuda pacuan yang
berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat yang mengikuti
lomba pacuan kuda di kabupaten Sumbawa tahun 2012 diamati pemberian
pakannya, kemudian dilakukan identifikasi dan analisis komposisi nutrisi jenis
hijauan yang diberikan. Untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan, dilakukan
pengamatan langsung dan wawancara dengan peternak kuda pacuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tercatat 9 jenis tumbuhan (2 famili, 8 marga) yang
diberikan pada kuda pacuan selama lomba berlangsung, yaitu Alysicarpus
vaginalis (Fabaceae), Desmodium dichotomum (Fabaceae), Cynodon dactylon
(Poaceae), Cynodon sp. (Poaceae), Dactyloctenium aegyptium (Poaceae),
Brachiaria sp. (Poaceae), Eleusine indica (Poaceae), Eulalia fimbriata (Poaceae)
dan Leersia hexandra (Poaceae). Hijauan pakan diberikan pada kuda pacuan
dalam bentuk pakan tunggal maupun kombinasi diantara jenis-jenis tumbuhan
tersebut dengan komposisi nutrisi yang berbeda.
Kata kunci: jenis hijauan pakan, kuda pacuan, poaceae, fabaceae
ABSTRACT
A research had been done aimed at (1) identifying and recording the kind of
forages offered to ricing horses during the ricing competition, and (2) Analyzing
the chemical composition of that forages offered. Data had been collected by
doing an direct observation to forages and interview to the owners of the ricing
PENDAHULUAN
Pacuan Kuda pada awalnya merupakan sebuah tradisi pesta rakyat Nusa
Tenggara Barat secara turun-menurun, khususnya di wilayah kabupaten se Pulau
Sumbawa, sebagai ungkapan rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rezeqi hasil panen padi. Mengingat masa panen tanaman padi waktu itu
sekitar enam bulan yang ditanam di sawah tadah hujan, maka tradisi rakyat
dimaksud hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. Dengan semakin pendeknya
umur tanaman padi dan/atau masa panen berubah menjadi dua kali setahun, maka
acara Lomba Pacuan Kuda seringkali berlangsung lebih dari sekali setahun,
bahkan telah menjadi agenda rutin pengurus PORDASI (Persatuan Olahraga
Berkuda Seluruh Indonesia) bekerjasama dengan pemerintah daerah dirangkaikan
dengan perayaan hari besar nasional maupun regional. Tidak kurang kurang dari
700 ekor kuda pacu terbagi dalam lima kelas terdaftar sebagai peserta pada setiap
acara lomba yang memiliki bermacam-macam ciri yang bersifat karakteristik
morfologis (Sudirman, 2011). Hal inilah yang mendongkrak peluang peternak
untuk memelihara ternak kuda jantan pilihan, terutama dari keturunan kuda yang
memiliki silsilah jawara. Apabila kuda pacu dimaksud telah menurun kecepatan
atau tidak lagi menjuarai turnamen, masih memiliki nilai jual yang relatif tinggi
karena dapat digunakan sebagai kuda penarik Cidomo (Sudirman, dkk., 2012).
Memelihara Kuda Pacu ternyata memerlukan perhatian khusus, terutama
jenis hijauan pakan yang disajikan menjelang dan/atau pada saat dilombakan.
Hijauan pakan yang diberikan biasanya berupa campuran lebih dari lima jenis
dengan harapan saling menutupi kekurangan nutrisi masing-masing. Pemberian
hijauan pakan dimaksud hanya berpatokan pada tradisi yang turun-temurun atau
yang dilakuksn oleh pemilik kuda pacu yang seringkali menjadi juara pada
beberapa even sebelumnya.Dengan kata lain, para pemilik kuda pacu tidak
mengerti nama dan nutrisi apa serta berapa nilai yang terkandung di dalamnya
sehingga disenangi oleh kuda. Makalah ini menginformasikan beberapa jenis
hijauan pakan pavorit Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat serta komposisi
kandungan makro-nutrisinya.
Tabel 2. Kadar Nutrisi Hijauan Pakan Kuda Pacu di Nusa Tenggara Barat
LK SK GE Ca P
BK PK
Jenis Hijauan Pakan (%) (%) Kkal/k (%) (%)
(%) (%)
g
Desmodium dichotomum 88,72 10,99 1,78 21,21 5.132 0.18 0.16
Alysicarpus vaginalis 89,88 14,43 2,84 18,84 4.291 0.30 0.33
Cynodon sp 90,35 6,99 2,09 35,95 5.248 0.15 0.26
Eulalia fimbriata 92,34 14,25 2,65 23,11 4.857 0.19 0.45
Cynodon dactylon 81,30 16,28 1,96 30,65 5.767 0.25 0.26
Leersia hexandra 89,33 14,64 1,91 24,58 3.579 0.16 0.16
Dactyloctenium 7,50
92,71 2,36 27,47 3.720 0.17 0.54
aegyptium
Eleusine indica 90,01 12,19 2,66 28,00 3.981 0.29 0.28
Keterangan: BK = Bahan Kering, PK = Protein Kasar, LK = Lemak Kasar, SK = Serat Kasar,
GE = Gross Energy, Ca = Kalsium, P = Fosfor.
Data kadar bahan kering pada Tabel 2 merupakan porsi di dalam hijauan
pakan kering udara (air dry basis), tetapi setelah dikonversikan ke dalam hijauan
segar ternyata kadar bahan keringnya (as fed basis) berturut-turut (dari atas ke
bawah): 25,30%, 22,55%, 32,08%, 43,19%, 30,35%, 25,13%, 30,32%, dan
32,50%. Hasil analisis laboratorium terhadap bahan kering (as fed basis) tersebut
memberikan informasi bahwa hijauan pakan yang diberikan telah dilayukan atau
mengandung kadar air sekitar 56, 81-77,45 persen. Secara umum dapat diartikan
bahwa pemilik kuda pacu yang menjadi responden didalam penelitian ini telah
memahami manajemen pemberian hijauan pakan atau efek negatif apabila ternak
mengkonsumsi hijauan pakan yang terlalu tinggi kadar air.
Kadar protein kasar Cynodon dactylon yang direkam dalam penelitian ini
hampir dua kali lipat dibanding laporan yang lain yaitu sebesar 9,70%, sedangkan
Dactyloctenium aegyptiu, Eleusine indica, dan Leersia hexandra relatif sama
kandungan proteinnya dibanding pernyataan Anonimus (cit. Adawiyah, 2012)
yaitu masing-masing 7,4-8,6%, 9,6-10,1%, dan 13,98%. Tingginya kadar protein
kasar Cynodon dactylon yang diberikan kepada kuda pacu di kabupaten pulau
Sumbawa diduga karena rumput dimaksud banyak tumbuh di areal persawahan
atau sengaja dipelihara sebagai pakan kuda pacu. Selain kadar protein kasar yang
relatif tinggi, informasi lain yang menarik terhadap Cynodon dactylon adalah
rendahnya kadar lemak kasar, tingginya energi, dan seimbangnya kandungan
kalsium dan fosfor.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, Saudatul, 2012. Inventarisai Jeni Pakan dan Energi Pakan dan
Kecepatan Lari Kuda Sumbawa. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Mataram.
Harris, Lorin E., 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild
Animals. Volume 1. An International Research System and Procedures for
Analyzing Samples. Printed in the United States of America.
Mertha, I Gde, 2012. Visualization of Forest Trees of Lombok. Biology
Departement Mataram University. Pendanaan dan Penerbitan: JIFPR dan
Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Santosa, P.B. dan Ashari, 2006. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan
SPSS. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Sudirman, Muhammad Warman, I Nyoman Budiardja, Sofyan D. Hasan, dan
Suhubdy, 1993. Aspek Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara Barat
Kaitannya dengan Kecepatan Lari. Laporan Penelitian. DP3M Dirjen Dikti.
Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Sudirman, 2011. Penetapan Rumpun Kuda Sumbawa. Makalah disampaikan dan
Dipertahankan di Depan Dewan Komisi Penilaian, Penetapan, dan
Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak. Bogor.
Sudirman, Suhubdy, Sofyan D. Hasan, Mohammad Iqbal, dan Oscar Yanuarianto,
2012. Profil Pakan Kuda Penarik Cidomo: Skrening Bahan Pakan Lokal
Berdasarkan Indeks Kecernaan. Laporan Penelitian. Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Universitas Mataram.
Sudirman, 2013. Evaluasi Pakan Tropis, Dari Konsep ke Aplikasi (Metode in-
Vitro Feses). Pustaka Reka Cipta, Bandung.
ABSTRAK
ABSTRACT
The aim of this study were analyze productivity of grass seekers base on the
transport vehicle used in pondok ranggon dairy cattle farm, east jakarta. Pondok
Ranggon farm is one of the dairy cattle farms in Jakarta where the supply of
forage depend on natural pastures. Research based on primary and secondary data
from the farmers and grass seekers using census techniques of 22 farmers. The
result showed, that 40.91% farmers were > 55 years old and 45.46% had >20
years of experience. The highest capacity of grass seeker were 38 years old (395
kg/d). Truck more efficient in supplying forages (p<0.05) than pick up and motor
tricycles.
Keywords: grass seeker productivity, forage, dairy cattle
PENDAHULUAN
Materi
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, GPS
device, kamera, dan kuisioner.
Prosedur
Pelaksanaan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
menggambarkan situasi atau keadaan berdasarkan data-data faktual dengan teknik
survei dan observasi langsung di kawasan peternakan sapi perah Pondok
Ranggon, Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur. Responden dari
penelitian ini adalah peternak sapi perah di Pondok Ranggon, dimana pemilihan
responden ini menggunakan teknik sensus terhadap 22 peternak sapi perah yang
berada di kawasan tersebut. Pengamatan dan pengukuran terhadap 19 peternak
dari total 22 peternak yang berada dikawasan ini hanya dilakukan terhadap
peternak atau buruh yang mengarit di area terbuka dalam penyediaan hijauan
pakan.
Karakteristik Peternak
Karakteristik peternak di Pondok Ranggon dibedakan berdasarkan umur
peternak, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pengalaman beternak.
Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar peternak di Pondok Ranggon berumur antara
25-70 tahun. Peternak berumur >55 tahun memiliki persentase paling besar yaitu
sebesar 40.91%. Umur tersebut merupakan umur yang cukup sulit untuk
mendapat pengarahan dalam mengembangkan usaha ternaknya. Hal tersebut
dikarenakan peternak beranggapan bahwa pengalaman adalah sumber utama
pengetahuan mereka dalam beternak.
Tingkat pendidikan peternak di Pondok Ranggon sebagian besar adalah
lulusan SMA (54.54%), sedangkan lulusan SD, D2, dan S1 masing-masing
sebanyak 27.27%, 4.55%, dan 13.64%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
peternak memiliki pendidikan yang relatif cukup tinggi. Meskipun tingkat
pendidikan tergolong cukup tinggi, peternak di Pondok Ranggon belum
menerapkan teknologi/mekanisasi dan masih bersifat tradisional.
Pekerjaan utama masyarakat di Pondok Ranggon adalah peternak dengan
persentase sebesar 90.9%. Secara umum peternak sapi perah di Pondok Ranggon
menjadikan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Hal ini disebabkan usaha
ternak sapi perah memberikan jaminan pendapatan yang berkesinambungan jika
dikelola dengan baik. Tingkat pengalaman beternak di Pondok Ranggon relatif
lama yaitu lebih dari 20 tahun yang merupakan warisan keluarga secara turun
menurun.
Tabel 2 Karakteristik Peternak
Karakteristik Individu Jumlah Responden Peternak Persentase (%)
Umur (Tahun)
a. 25 - 35 tahun 6 27.27%
b. 36 - 45 tahun 2 9.09%
c. 46 - 55 tahun 5 22.73%
d. > 55 tahun 9 40.91%
Pendidikan
a. SD 6 27.27%
b. SM A 12 54.54%
c. D2 1 4.55%
d. S1 3 13.64%
Pekerjaan
a. Peternak 20 90.9%
b. Petani 1 4.55%
c. Lainnya 1 4.55%
Lama beternak
a. 1 10 tahun 8 36.36%
b. 11 20 tahun 4 18.18%
c. > 20 tahun 10 45.46%
Sumber : Data primer 2013
kapasitas mengarit
y = 19,663x - 761,01
150 y = 32,234x - 25,214 600 R = 0,6383
R = 0,5528
100 400
(kg)
50 200
0 0
0 2 4 6 40 50 60 70
Jumlah Pengarit (orang) bobot badan tenaga pengarit (kg)
(a) (b)
800 y = -0,4561x 2 + 35,268x - 2000
Kapasitas mengarit (kg)
286,17
600 1500
R = 0,3439
400 1000 y = 26,451x + 221,18
R = 0,2935
200 500
0 0
0 20 40 60 80 0 10 20 30
Umur Tenaga Pengarit (tahun) Pengalaman Mengarit (tahun)
(c) (d)
Gambar 1
Keterangan : (a) adalah hubungan banyak pengarit terhadap jumlah ternak, (b) adalah hubungan kapasitas mengarit
terhadap bobot badan, (c) adalah grafik hubungan antara kapasitas mengarit terhadap umur, dan (d) adalah
hubungan antara kapasitas mengarit terhadap pengalaman.
Pemberian (kg/ST/hari)
R = 0,1272 R = 0,0623
25
20
Konsentrat
15
10
5 Ampas Tahu (BK)
0
y = 0,0803x + 4,3728
108
18
37
42
12
29
30
40
46
48
8
R = 0,1657
Jumlah Ternak (ST)
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, L. 2010. Evaluasi usaha sapi perah dalam aspek financial berdasarkan
skala usaha yang berbeda (studi kasus pada kelompok tani ternak sapi perah
ABSTRACT
A Research had been carried out to optimise quality of ration wafer based
on nonconventional waste through biofermentation of consortium microbe
inocullant to support development sustainable goat livestock on Research Stasiun
Faculty of Animal Husbandry Udayana University, Bukit Jimbaran, Badung
Regency. Five consortium microbe inocullants used as fermentor for production
ration wafer based on nonconventional waste (WFc, WF 1 , WF2 , WF3 , and WF4 )
were inocullant of 1,5% rumen liquor and 0,05% optyzime enzyme, and 4
bioinocullant produced by combination of 2 levels bali cattle rumen liquor (10%
and 20%) and 2 levels termites (0,1% and 0,2%) cultivation on natural inocullant
medium (BR1 T1 , BR2 T1 , BR1 T2 and BR2 T2 ). Fifteen Goat of Etawah Crossbreed
were used in this research which designed of Randomized Block Designed with
five treatments and three blocks. The treatments were WFC are wafer silage ration
nonconventional waste fermented by 1.5% rumen liquor and 0.05% optizyme
enzyme, WF1 are wafer silage ration fermented BR1 T1 , WF2 are wafer silage ration
fermented BR2 T1 , WF3 are wafer silage ration fermented BR1 T2 , and WF4 are
wafer silage ration fermented BR2 T2 . The result showed there not significant
different (P>0,05) of animals productivities, production of N-NH3 , Propionic,
Butiric, pH, organic matter degradation on rumen, loss energy for VFA production,
loss energy as methane, loss energy as heat, rumen protein microbes synthesis,
efficiency of protein microbes synthesis, dry matter and nutriens digestibility, and
pollutant emisions of etawah crossbreed goat. Even though on total VFA, Acetic,
ATP production on rumen and synthesis of dry matter biomass microbes, given
WF3 (ration wafer fermented by BR1 T2 ) has higest value and significant different
(P<0,05) with WFc (ration wafer fermented by 1,5% rumen liquor and 0,05%
optyzime enzyme), and lowest (P<0,05) of population of rumen protozoa. It was
concluded that all ration wafer fermented consortium microbes inocullat has
similar productivities with lower pollutan emmisions of goat livestock.
Key word: Biofermentation, Consortium Microbes Inocullant, Nonnconventional
Waste, Ration Wafer
PENDAHULUAN
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat
hasil yang berbeda nyata (P0,05), analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Jujur (BNJ)/Honestly Significant Difference/HSD (Sastrosupadi, 2000).
Produktivitas ternak
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian kelima wafer ransum berbasis
limbah nonkonvensional terfermentasi inokulan konsorsium mikroba
menghasilkan produktivitas ternak sama (P>0,05) (Tabel 5), walaupun secara
kuantitatif pemberian WF3 menghasilkan pertambahan bobot badan harian,
konsumsi serat kasar, konsumsi protein kasar dan konsumsi energi yang lebih
tinggi masing-masing sebesar 0,54-10,62%, 1,27-9,44%, 1,25-24,62%, dan 1,25-
24,61%. Terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik, pemberian WFc
menghasilkasn tingkat konsumsi secara kuantitatif tertinggi (510,88 g/e/h dan
441,90 g/e/h) yang lebih besar 0,04-1,15% dan 0,53-4,54% dibandingkan dengan
pemberian wafer ransum lainnya.
Fermentasi Rumen
Terhadap proses fermentasi rumen, penggunaan bioinokulan yang
diproduksi dari kombinasi 10% cairan rumen dan 0,2% rayap (BR1 T2 ) sebagai
fermentor dalam produksi wafer silase ransum berbasis limbah nonkonvensional
mengakibatkan penurunan (P<0,05) populasi protozoa sebesar 38,37%,
meningkatkan (P<0,05) produksi VFA total (78,67%), asam asetat (88,69%)
produksi ATP dalam rumen (83,67%) dan sintesis bahan kering mikroba rumen
sebesar 83,59%, sedangkan terhadap derajat keasaman rumen (pH), produksi N-
NH3 , asam propionat, asam butirat, jumlah bahan organik terdegradasi dalam
rumen, energi untuk produksi VFA, enegi yang hilang untuk produksi methan,
enegi panas, sintesis protein mikroba maupun efisiensinya belum secara nyata
(P>0,05) menghasilkan nilai yang berbeda dibandingkan inokulan kombinasi
cairan rumen dan enzim optizime (R15 E5 ) (Tabel 6). Hasil penelitian juga
menunjukkan penggunaan bioinokulan lain (BR1 T1 , BR2 T1 dan BR2 T2 ) secara
kuantitatif juga menurunkan populasi protozoa, meningkatkan VFA total, asam
asetat, produksi ATP dalam rumen dan sintesis biomassa mikroba, walaupun
belum menunjukkan nilai berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan
penggunaan inokulan R15 E5 (Tabel 6).
Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai DP2M
Dikti melalui Program Hibah Bersaing III (2011). Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada DP2 M Dikti, Rektor Universitas Udayana, LPPM Unud, Dekan
Fakultas Peternakan Unud, Dekan Fakultas Peternakan Unhas, Kepala Lab. serta
staf analis laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Biofarmaka Fakultas
Farmasi Unhas, Kepala Lab dan analis Lab. Nutrisi Ternak Fapet Unud atas
segala bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
ABSTARCT
Penampilan ternak
Berat badan akhir kambing yang mendapat ransum yang terdiri dari 75%
konsentrat dan 25% hijauan (perlakuan A) adalah: 36,65 kg, sedangkan berat
badan kambing yang mendapat perlakuan B, C dan D berturut-turut adalah: 36,20
kg; 35,15 kg dan 32, 75 kg. Berat badan akhir kambing pada perlakuan D nyata
lebih rendah dari perlakuan A, B dan C (P<0,05). Lebih rendahnya berat badan
kambing pada perlakuan D tersebut disebabkan karena kambing pada perlakuan D
mengkonsumsi nutrien (energi, protein) yang lebih rendah dari peerlakuan
lainnya. Bila dihitung kenaikan berat badan selama 16 minggu maka diperoleh
kenaikan berat badan (PBB) kambing pada perlakuan A adalah: 112,50 g/h,
sedangkan pada perlakuan B. 0,79% lebih tinggi dan pada perlakuan C 6,75%
lebih rendah dari perlakuan A, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).
Kanaikan berat badan kambing pada perlakuan D nyata 31,74% lebih rendah dari
perlakuan A (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan yang
mengandung 45-75% konsentrat yang dikombinasikan dengan hijauan yang terdiri
dari 40% gamal dan 60% rumput raja memberikan pertumbuhan yang tidak
berbeda, sedangkan bila konsentratnya dibawah 45%, maka pertumbuhan
kambing menjadi nyata lebih rendah.
Kecernaan Pakan
Pengukuran secara in-vivo terhadap kecernaan bahan kering ransum dan
kecernaan protein pakan mendapatkan bahwa kecernaan bahan kering ransum
pada perlakuan A adalah: 71,76% (Tabel 2), sedangkan kecernaan bahan kering
pada perlakuan B dan C tidak berbeda dengan perlakuan A (P>0,05), tetapi
kecernaan bahan kering ransum perlakuan D nyata lebih rendah dari perlakuan A
(P<0,05). Kecernaan protein semua ransum percobaan tidak berbeda nyata
(P>0,05).
Tabel 2. Kecernaan ransum yang mengandung urea-kapur dan ubi kayu pada
kambing
1)
Variabel Perlakuan
A B C D
Kecernaan Bahan Kering (%) 71,76a 73,05a 70,16a 68,06a2)
Kecernaan Protein (%) 78,62a 78,80a 76,72a 75,00a
Sintesis Protein Mikroba (g/h) 76,85a 72,72a 67,62b 65,42b
Keterangan:
1). A: Kambing yang mendapat ransum 75% konsentrat dan 25% hijauan
B: Kambing yang mendapat ransum 60% konsentrat dan 40% hijauan
C: Kambing yang mendapat ransum 45% konsentrat dan 55% hijauan
D: Kambing yang mendapat ransum 30% konsentrat dan 70% hijauan
2). Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05)
Aspek Ekonomi
Harga ransum yang terdiri dari 75% konsentrat dan 25% hijauan
(perlakuan A) adalah Rp. 3.078, sedangkan harga ransum pada perlakuan B; C
dan D berturut-turut adalah: Rp. 2.742; Rp. 2.407 dan Rp. 2.071. Kaikan berat
badan kambing yang mendapat perlakuan A, B, C dan D berturut-turut: 112,50
g/h, 113,39g/h, 104,91 g/h dan 76,79 g/h. Bila dihitung biaya pakan untuk
kenaikan 1 kg berat badan (PBB), maka pada perlakuan A adalah Rp. 26.842/kg
PBB, sedngakan ransum pada perlakuan B, C dan D berturut-turut Rp. 23.811/kg
PBB, Rp. 22.274/kg PBB dan Rp. 25.905/kg PBB. Dilihat dari aspek ini maka
ransum pada perlakuan B (60% konsentrat dan 40% hijauan) serta ransum pada
perlakuan C (45% konsentrat dan 55% hijauan) memberikan nilai ekonomi
tertinggi karena memerlukan biaya pakan paling murah untuk mendapatkan
kenaikan berat badan. Hubungan antara level konsentrat dengan biaya yang
dibutuhkan untuk menaikan 1 kg kenaikan berat badan mengikuti persamaan Y =
41506 748,25 X + 7,40 X2 (R2 = 0,95) (Gambar 1).
30000
Biaya pakan/PBBB (Rp/1 kg PBB)
25000
20000
15000
10000
5000
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Level konsentrat (%)
KESIMPULAN
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Bach, A., S. Calsamiglia, dan M.D. Stern. 2005. Nitrogen Metabolism in The
Rumen. J. Dairy Sci. 88(E.Suppl.): E9-E21. American Dairy Science
Association.
Cherdthong, A., M. Wanapat and C. Wachirapakorn 2011. Influence of urea
calcium mixture supplementation on ruminal fermentation characteristics
of beef cattle fed on concentrates containing high levels of cassava chips
and rice straw.
Chiba, L.I. 2009. Animal Nutrition Handbook. Second Revision. URL:
http://www.ag.auburn.edu/-chibale/animalnutrition.html diunduh 5Januari
2011.
Currier, T.A., D.W. Bohnert, S.J. FALCK, C.S. Schauer and S.J. Bartle. 2004.
Daily and alternate-day supplementation of urea or biuret to ruminants
Consuming low-quality forage: III. Effects on ruminal fermentation
characteristics in steers. J. Anim. Sci. 82: 15281535.
Erwanto, 1995. Optimalisasi system fermentasi rumen melalui suplementasi
sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba
pada ternak ruminansia Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian
ABSTRAK
ABSTRACT
This study aims to determine the types of forages fed to pigs and how to
use them on traditional pig farm in the province of Bali. The research was
conducted using a survey in all districts and cities in Bali. Sampling was done by
stratified random sampling technique, by grouping the lowlands and highlands. In
each of the 2 groups in the capture of traditional pig farmers, so there are four
farmers interviewed in each city or district and 32 farmers across Bali. The survey
results indicate that there are differences in forage given by farmers in highlands
and lowlands. Given type of forage in the lowlands include: banana stem (Musa
PENDAHULUAN
Materi dalam penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan oleh
peternak babi tradisional di provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan dengan
teknik stratified random sampling, dengan pengelompokan daerah atas dataran
rendah dan dataran tinggi di masing-masing kabupaten dan kota. Kesembilan
kabupaten dan kota tersebut adalah : Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem,
Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung dan Kota Denpasar. Pada masing-masing
kelompok di ambil 2 orang peternak babi tradisional, sehingga ada 4 peternak
yang diwawancarai di masing-masing kabupaten dan kota atau 32 peternak di
seluruh Bali. Pengelompokan tersebut didasarkan atas adanya perbedaan jenis
flora yang tumbuh di kedua dataran tersebut, walau perbedaannya tidak
signifikan. Di daerah dataran rendah secara umum adalah daerah persawahan,
maka hijauan yang tumbuh adalah tanaman yang tahan air. Demikian sebaliknya,
di daerah dataran tinggi umumnya daerah perkebunan, maka yang tumbuh adalah
tanaman yang kurang tahan air.
Penelitian dilakukan selama 7 minggu. Saat melakukan wawancara dengan
peternak, sekaligus dilakukan pengamatan langsung terhadap pakan babi yang
diberikan oleh peternak untuk diidentifikasi. Selain identifikasi jenis hijauan,
juga di catat cara pemberiannya. Peternak yang dipilih adalah peternak babi
tradisonal yang dengan ciri-ciri antara lain : memelihara 1-4 ekor babi, babi diikat
atau dikandangkan pada kandang sederhana, tidak memberikan konsentrat buatan
pabrik, dan tidak melakukan vaksinasi secara berkala. Data yang peroleh dianalisa
secara sederhana menggunakan analisa kuantitatip dan deskriptif.
Jenis Hijauan
Kalau dilihat sebaran jenis hijauan yang diberikan oleh peternak babi di
masing-masing kabupaten/kota di Bali, tampaknya tidak banyak perbedaan antara
kabupaten satu dengan kabupaten lain. Jenis hijauan yang diberikan yaitu: batang
pisang, kangkung, ketela rambat, ketela pohon, daun papaya, daun pisang, bayam,
eceng gondok, daun lamtoro, daun talas, suweg, ules-ules, kerokot, genjer, daun
candung, daun dag-dag, padang cekuh dan daun labu. Jenis hijauan yang
diberikan dan nama lokalnya disajikan pada Tabel 1.
Dari 32 orang peternak tradisional yang diwawancarai, sebanyak 30 orang
atau 95% yang memberikan batang pisang. Batang pisang sangat dominan
digunakan baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi karena tanaman
pisang banyak tumbuh di kedua daerah tersebut. Batang pisang yang digunakan
adalah batang pisang yang sudah dipanen. Peternak tidak memilih jenis pisang
tertentu, yang penting pohon pisang tersebut sudah dipanen buahnya. Pohon
pisang ada di mana mana, dan panennya tidak mengenal musim. Oleh karena itu
sangat mudah didapat tanpa harus membeli.
Hijauan ketela rambat dan kangkung, hampir ada di semua kabupaten dan
kota di Bali. Kedua jenis tanaman ini juga banyak ditanam baik di dataran rendah,
maupun di dataran tinggi. Di daerah persawahan biasanya petani menanam ketela
rambat sehabis panen padi, ketika musim kemarau, sebagai tanaman sela,
menunggu musim tanam berikutnya. Pohon ketela rambat saat ini sudah
merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di pedesaan, sudah
banyak peternak yang membeli pohon ketela rambat untuk babi piaraannya.
Harganya relatif murah, satu ikat dengan berat kurang lebih 10 kg hanya Rp
10.000. Hijauan ketela rambat biasanya dipanen beberapa kali. Bisa dipotong
secara selektif beberapa kali sebelum umbinya di panen. Kemudian terakhir
dicabut saat umbinya dipanen.
Tanaman kangkung, selain ditanam secara khusus, juga banyak tumbuh
secara liar di parit-parit, di pinggir sungai atau tanah-tanah kosong yang tergenang
air. Tanaman kangkung sebenarnya ditanam sebagai bahan sayur, tetapi juga
diberikan untuk ternak babi. Oleh karena itu kangkung merupakan tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan banyak sawah-sawah diperkotaan
secara khusus ditanami kangkung dan dipanen setiap hari. Kangkung yang
kualitas bagus dijual untuk sayur, yang kualitas kurang bagus dijual untuk pakan
babi. Tanaman kangkung sebenarnya secara umum ada dua jenis, yaitu kangkung
darat dan kangkung air. Kangkung darat hidupnya memang di darat, kangkung
air hidup subur di daerah berair atau tergenang air. Kangkung yang banyak
digunakan untuk pakan babi di Bali adalah kangkung air.
Kalau dilihat dari ragam jenis hijauan yang diberikan pada ternak babi, di
daerah pegunungan jenis hijauannya lebih beragam dibandingkan dengan di
daerah dataran rendah. Hal tersebut karena memang di daerah pegunungan
persedian hijauan lebih beragam. Sebagai contoh tanaman suweg
(Amorphophallus campanullatus) dan ules-ules (Amorphophallus muelleri), hanya
ditemukan di dataran tinggi atau di pegunungan dan sangat jarang terdapat di
dataran rendah apalagi di persawahan. Tanaman suweg dan ules-ules ini adalah
tanaman semusim. Pohon dan daunnya muncul ke permukaan tanah hanya pada
Cara Pemberian
Pemberian hijauan pada peternakan babi tradisional dapat dikatagorikan
menjadi dua, yaitu pemberian dalam bentuk segar dan direbus. Pemberiann dalam
bentuk segar ini dilakukan dengan cara memberikan langsung hijauan tersebut
setelah diambil dari sumbernya. Sebagai contoh, tanaman kangkung diambil dari
kebun dalam jumlah tertentu langsung diberikan dengan menaruh di samping
babi. Namun ada sebanyak 2% yang mencuci terlebih dahulu sebelum diberikan
kepada babi. Alasannya supaya bersih, sehingga babinya tidak sakit. Pemberian
dalam bentuk segar mempunyai kelebihan antara lain: lebih praktis, kandungan
nutrisinya utuh, dan tidak perlu waktu dan biaya untuk merebus. Kekurangannya:
sangat rentan terhadap penularan telur cacing, jika berlebihan ternak bisa
keracunan akibat toksin yang dikandungnya, dan kecernaannya lebih rendah
dibandingkan yang direbus.
Pemberian dengan cara merebus dilakukan terhadap hijauan yang menurut
peternak dianggap membahayakan kalau diberikan dalam bentuk segar.
Pengetahuan tersebut mereka terima secara turun temurun, sehingga apa yang
diwarisi itu akan diteruskan kembali kepada anak-anak mereka. Beberapa hijauan
yang harus direbus diantaranya: daun talas, genjer, suweg, ules-ules, candung, dan
daun papaya. Alasan utama mereka merebus hijauan adalah supaya babi tidak
keracunan. Alasan tersebut sangat masuk akal karena banyak diantara tanaman
tersebut yang mengandung toksin. Jika direbus maka kadar toksinnya akan
berkurang, bahkan hilang.
Merebus hijauan sebelum diberikan kepada ternak babi ternyata memang
ada manfaatnya. Pertama, toksin yang dikandungnya menjadi tidak aktif bahkan
hilang, sehingga babi aman mengkonsumsinya. Kedua, meningkatkan
valatabelitas, lebih lahap dimakan oleh babi karena baunya lebih enak dan
Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis hijauan yang diberikan sebagai
pakan babi di Bali cukup banyak. Terdapat keragaman jenis hijauan pakan babi
dan cara pemberiannya antara di dataran rendah dengan dataran tinggi di Bali.
Batang pisang merupakan hijauan yang paling banyak digunakan untuk pakan
babi pada peternakan babi tradisional, baik pada dataran rendah maupun dataran
tinggi. Hijauan tersebut dapat diberikan dalam bentuk segar maupun direbus.
Letak geografis (ketinggian tempat) mempengaruhi jenis hjauan yang tumbuh,
sehingga menyebabkan ada perbedaan jenis hijauan yang diberikan untuk babi
antara dataran rendah dan dataran tinggi.
Saran
Perlu diupayakan pelestarian dan pengembangan hijauan lokal yang
menjadi pakan ternak babi, sehingga bisa menunjang peningkatan produktivitas
usaha ternak babi di Bali yang berbasis bahan pakan lokal. Penelitian ilmiah perlu
dilakukan untuk menggali potensi hijauan lokal untuk pakan babi, terutama dari
kandungan nutrisinya.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
ABSTRACT
Lolayan districts have the potential remedy cattle development seen from
the livestock population and land resources. The problem is that there has not
PENDAHULUAN
Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang diandalkan oleh masyarakat
Kabupaten Bolaang Mongondow. Ternak sapi di daerah ini sebagai sumber
pendapatan bagi masyarakat petani. Ternak sapi juga dimanfaatkan sebagai tenaga
kerja untuk pengangkutan dan pengolahan lahan. Fenomena ini menunjukkan
bahwa ternak sapi sebagai sumber pendapatan alternatif bagi petani. Menurut
Elly, (2008) dan Elly et al. (2008), ternak sapi memiliki peran terhadap sumber
pangan (daging), sebagai tabungan, sumber pendapatan dan devisa, sumber tenaga
kerja, sumber pupuk organik serta sumber energi alternatif.
Kecamatan Lolayan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki ternak
sapi terbanyak yaitu sebesar 3210 ekor atau sekitar 14,16 persen dari total
populasi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan sumberdaya ternak
yang ada maka populasi ternak sapi di Kecamatan Lolayan mempunyai potensi
untuk dikembangkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan
pemeliharaan ternak sapi merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha
peternakan di daerah tersebut. Hal ini seperti yang terjadi di NTT (Ratnawaty et
al., 2004). Permasalahannya ternak sapi masih dipelihara secara tradisional dan
merupakan usaha sambilan. Ternak digembalakan di lahan lahan kering seperti di
lahan perkebunan kelapa. Ternak di daerah ini mengkonsumsi limbah pertanian
dan rumput yang tumbuh liar di lahan bawah pohon kelapa tersebut. Hal ini yang
menyebabkan produktivitas ternak sapi lebih rendah dibanding di daerah lain
seperti di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.
Lahan di bawah pohon kelapa di Kecamatan Lolayan dimanfaatkan petani
sebagai lahan tanaman pangan. Tetapi, hasil prasurvey menunjukkan bahwa lahan
di bawah pohon kelapa belum dimanfaatkan secara optimal. Artinya, lahan di
bawah kelapa tersebut masih banyak yang hanya dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Disis lain, ternak sapi membutuhkan pakan untuk peningkatan bobot badan yang
ideal sesuai dengan umur dan jenis ternaknya. Kondisi ini sama dengan di daerah
lain di Sulawesi Utara, seperti hasil penelitian Salendu (2012) di Kabupaten
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi jerami padi adalah yang
terbanyak (38,21 persen). Hal ini ditunjang oleh keadaan wilayah penelitian yang
merupakan daerah produksi tanaman pangan (padi). Petani peternak dalam hal ini
telah memanfaatkan limbah padi yang selama ini hanya dibakar, walaupun
kualitas pakan tersebut masih sangat rendah.
Konsumsi rumput gajah adalah yang paling rendah yaitu sebanyak 17,70
persen. Rumput gajah di lokasi penelitian mudah diperoleh tetapi bukan ditanam
di lahan milik petani, sehingga untuk mendapatkannya membutuhkan waktu. Di
daerah penelitian pernah diintroduksi rumput gajah tetapi hanya petani tertentu
yang menanamnya. Pengetahuan petani tentang manajemen penanaman rumput
gajah sangat rendah.
Rata-rata konsumsi ternak sapi per ekor untuk hijauan sesuai Tabel 1
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegera, A dan I.G. Ismail. 2004. Manajemen Sarana Usahatani dan Pakan
dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar, Sistem dan
Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi
Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Elly, F.H., B.M. Sinaga., S.U. Kuntjoro and N. Kusnadi. 2008. Pengembangan
Usaha Ternak Sapi Melalui Integrasi Ternak Sapi Tanaman di Sulawesi
Utara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.