You are on page 1of 19

The Islamic State aka Isis (in current Guardian house style) is a scary and

much-discussed phenomenon, erasing borders, conquering vast areas of Iraq


and Syria, massacring its enemies and beheading hostages in slick snuff and
propaganda videos. Barack Obama calls it Isil. David Cameron loyally follows
suit. Others refer to Isis or IS. Now Francois Hollande has renamed it Daesh.
Confused as to how to negotiate this linguistic and political minefield? You
might well be.

This terminological conflict has deep historic and cultural roots. The group
originated in 1999 as Jamaat al-Tawhid wal-Jihad quite a mouthful. It got
simpler in 2004 when its founder, a Jordanian called Abu Musab al-Zarqawi,
pledged an oath to al-Qaida, then still being run by Osama bin Laden from his
Pakistani hideout. Its Arabic name became Tanzim Qaidat al-Jihad fi Bilad al-
Rafidayn (dont ask!) though that was shortened in English to al-Qaida in
Iraq.

But then it got more complicated. In 2006, under a man who now calls himself
Abu Bakr al-Baghdadi, it morphed into the Islamic State in Iraq (Isi). In April
2013, two years into the uprising against Bashar al-Assad, Isi bigged itself up
as the Islamic State in Iraq and al-Sham (Al Dawla al-Islamyia fil Iraq waal
Sham) and declared a Caliphate a state for all Muslims. Al-Sham is the
historic Arabic name for Syria, Lebanon, and (according to some authorities)
Jordan and Palestine. This area is known in English (thanks to the antiquated
French phrase for the lands of the rising sun) as the Levant. Isis is the
Islamic State in Iraq and Syria. Isil is the Islamic State in Iraq and the Levant:
thus the moniker in Obamas and Camerons briefing books. Its the same
transatlantic solidarity that had London and Washington referring to UBL
(Usama Bin Laden) when everyone else used the more familiar OBL (Osama).

Opponents of the term Islamic State say it is neither Islamic nor a state: thus
the suggestion of a group of British imams to Cameron that he use the
expression Un-Islamic State. In a similar legitimacy-undermining vein
Egypts leading Islamic authority, Dar al-Ifta, urged the media to use the
rather heavy-handed QSIS: Al-Qaida Separatists in Iraq and Syria.

Advertisement

Daesh, now officially adopted by the French government, is the Arabic


acronym for Al Dawla al-Islamyia fil Iraq waal Sham, (though it should, to be
precise, really be rendered as Daish). But why the change? It was never golng
to be easy for the French EIIL (lEtat islamique de lIrak et du Levant) to
supplant the more widely used English ISIL or ISIS (cf Nato vs Otan, EU vs
UE). And it may, suggested one French blogger, have been chosen for
its sonorit pjorative (dche, douche, tache to be broke, shower, spot).
Hollande said he would be using the phrase Daesh cutthroats.

IS supporters, in any case, dislike the term Daesh as it does not spell out the
crucial Islamic component. In the words of Simon Collis, the British
Ambassador to Iraq: Arabic speakers spit out the name Daish with different
mixtures of contempt, ridicule and hostility. Daish is always negative. Its
certainly entered the ever-adaptive Arabic language big time: in the plural
form dawaish it means bigots who impose their views on others

Ini kelompok teroris, bukan negara. Saya tak


merekomendasikan kata 'Negara Islam' karena
istilah itu mengaburkan batasan antara Islam,
muslim, dan kaum militan"
Jakarta (ANTARA News) - Pers dan pemerintah sejumlah negara Barat mulai
menanggalkan kata "negara" dalam menyebut kelompok ekstremis Negara Islam
Irak dan Suriah (ISIS atau ISIL) yang kemudian menyebut diri "Negara Islam" (IS),
dan menggantinya dengan kata Daesh dari Bahasa Arab.

Menurut jaringan televisi CBS News Network di Kanada, Amerika Serikat mulai
meninggalkan kata ISIL atau ISIS atau IS, dan menggantinya dengan kata akronim
dari Bahasa Arab, Daesh, karena dinilai untuk lebih merendahkan kelompok militan
itu.

Saat berbicara di Brussels, Belgia, beberapa hari lalu, Menteri Luar Negeri AS John
Kerry mulai memakai istilah ini.

Saat itu Kerry berkata, "Dalam waktu kurang dari tiga bulan komunitas internasional
telah bersama-sama membentuk koalisi yang menjadi langkah penting dalam
mendegradasi dan mengalahkan ISIL atau Daesh.

"Daesh masih terus melakukan kejahatan-kejahatan yang mengerikan," sambung


Kerry.

Namun, pemerintah Kanada, Australia dan Inggris masih menggunakan kata ISIL,
sedangkan negara-negara lainnya dan banyak media massa menyebut "Negara
Islam" atau "IS". Media Kanada sendiri lebih memilih ISIS.
Pemerintah Prancis-lah yang pertama kali menggunakan sebutan Daesh pada ISIS
sejak September lalu.

Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius malah meminta media massa dan
negara-negara lain mengikuti langkah Prancis.

"Ini kelompok teroris, bukan negara. Saya tak merekomendasikan kata 'Negara
Islam' karena istilah itu mengaburkan batasan antara Islam, muslim, dan kaum
militan," kata Fabius.

"Orang-orang Arab menyebut mereka 'Daesh' dan saya akan menyebut mereka 'Si
Bengis Daesh," sambung Fabius.

"Daesh" sebenarnya akronim singkatan Bahasa Arab dari ISIS (al-Daullah al-
Islamiyah fil 'Iraq wal-Sham), tapi kedengaran seperti kata daes dan dahes dalam
Bahasa Arab yang berarti 'orang yang menyebarkan perselisihan'.

Mantan menteri luar negeri AS Hillary Clinton juga menolak istilah "Negara Islam".

Di Ottawa, Oktober silam, Clinton menjelaskan alasan penolakannya itu.

"Apa pun sebutan Anda, entah ISIS atau ISIL, saya menolak menyebut mereka
'Negara Islam', karena mereka bukan Islam dan bukan pula negara," kata Clinton
seperti dikutip CBS News Network.

Keberadaan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)
cukup mengusik kita. Upaya kelompok ini membentuk kekhalifahan dengan cara menaklukkan kota dan
membunuh sesama manusia secara sadis, serasa begitu dekat. Kedekatan karena rasa kemanusiaan
kita terguncang, sama seperti saat menyaksikan ibu dan anak-anak di jalur Gaza tewas mengenaskan
karena peluru Israel. Lebih terasa dekat lagi karena munculnya video yang seolah ditujukan khusus bagi
rakyat Indonesia di situs YouTube pada 22 Juli lalu.

Video berdurasi sekitar 8 menit itu berisi ajakan untuk bergabung dan mendukung perjuangan ISIS
menjadi khalifah dunia. Selanjutnya, muncul sekelompok masyarakat Indonesia yang mendukung
perjuangan ISIS.

ISIS memang jauh secara geografis, tetapi boleh jadi secara ideologis mereka dekat dengan kita, negara
yang dalam dua windu terakhir mendapati kelompok-kelompok militan beraksi dalam bentuk bom bunuh
diri. Latar belakang inilah yang seharusnya membuat fenomena ISIS tidak bisa dianggap remeh.
Pemerintah wajib mewaspadai tumbuhnya bibit-bibit radikalisme yang berpotensi memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa.

ISIS adalah kelompok militan yang berhasil membangun kekuatan militernya. Mereka mulai
diperhitungkan setelah berhasil menguasai Kota Raqqa di Suriah pada 2013. Lalu, ISIS mengejutkan
dunia ketika pada Juni lalu berhasil menguasai Mosul, kota kedua terbesar di Irak.

Berbagai versi muncul berkait sumber dana gerakan ini serta negara mana saja yang membesarkannya.
Ada yang menyebut dari Arab sendiri, tetapi ada juga yang mengabarkan dari negara Barat.

Apakah ISIS sebagai boneka atau benar-benar sebuah gerakan murni dari kelompok militan belum jelas
benar. Yang pasti imbas keberadaannya sudah sampai ke negeri kita. Sudah ada kelompokkelompok
pendukung visi yang diserukan dan misi yang dilakukan ISIS. Ketegasan sikap dari pemerintah sangat
penting.

Apa yang dinyatakan pemerintah sekurangnya menjadi acuan dasar masyarakat dalam bersikap.
Sementara ketegasan para ulama melengkapi acuan dasar dari sisi akidah. Ketegasan pemerintah itu
antara lain bisa diwujudkan dengan menanggapi secara terbuka berkait seruan bergabung dan
mendukung ISIS via internet.

Apa yang tersebut dalam video di situs YouTube itu dapat merongrong kedaulatan NKRI. ISIS
bertentangan dengan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal
Ika.

Ideologi ISIS menyatakan bahwa Pancasila sebagai thogut (berhala) yang harus diperangi. Selanjutnya,
pemerintah wajib mengusut Ihwal video ISIS.

Kementerian Komunikasi dan Informasi bersama Polri dapat melacak sumber video. Bahkan Polri
berkemampuan mencari siapa aktor dalam video tersebut. Kerja sama BIN, Polri, bersama Detasemen
Khusus Antiteror tak akan kesulitan mencari ihwal si aktor dan mengapa video itu sampai dibuat
kemudian diunggah.

Pemerintah juga harus aktif mendorong negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam untuk secara tegas menyikapi gerakan ISIS. Dari sisi akidah, peran ulama sangat
diharapkan. Selama ini ulama sebagai panutan cukup cepat memberikan fatwa berkait halal haram.

Kita mengapresiasi para ulama yang menegaskan bahwa ISIS bukanlah aliran agama yang berisi ajaran
teologi dan ritual keagamaan melainkan gerakan politik yang bisa mengancam kedaulatan dan konstitusi.
ISIS adalah sebuah gerakan politik yang menggunakan topeng agama. Dunia telekomunikasi informasi
sedemikian maju dan berkembang membuat awam dengan mudah mengakses bermacam informasi
termasuk yang bernuansa agitasi.

Penyikapan tegas dari pemerintah dan ulama memudahkan masyarakat mengambil sikap, memilih dan
memilah mana yang sejalan dengan NKRI dan mana yang bertujuan menghancurkan. Umat pun lebih
gampang menentukan sikap dan tidak gampang digoyahkan oleh propaganda yang menjadikan agama
label belaka. ***
Akibat serangan ini, pemerintah Malaysia mendapat peringatan dari
kelompok ISIS bernama Katibah Nusantara. Kelompok Katibah
Nusantara mengancam pemerintah Kuala Lumpur dan mendesak
pembebasan anggotanya.

Katibah Nusantara bagian dari ISIS berbahasa Melayu dan dipimpin


oleh Bahrun Naim yang saat ini masih berada di kota Raqqa, Suriah.
Bahrun Naim mengkoordinir dan memimpin kelompok ini dari
Suriah.

Katibah Nusantara mencakup wilayah Indonesia, Singapura,


Thailand selatan, sebagian wilayah Filipina dan Brunai Darussalam.
Diprediksikan anggota Katibah Nusantara mencapai beberapa ribu
orang. Ancaman serius Katibah Nusantara kepada pemerintah
Malaysia mengindikasikan bahwa kelompok ini memiliki kemampuan
militer dan logistik untuk menghadapi pemerintah Kuala Lumpur.

Inspektur Jenderal (Irjen) Tito Karnavian, kapolda Metro Jaya


seraya membenarkan ancaman tersebut menyatakan siap
menghadapi terorisme. Sejumlah warga Indonesia dan Malaysia
yang menjadi anggota ISIS secara praktis melayani kelompok
teroris ini untuk melancarkan operasi anti kemanusiaan dan
menjadi jembatan penghubung di Irak dan Suriah.

Mengingat pengakuan petinggi Malaysia bahwa ISIS memiliki


anggota sekitar 50000 di negara ini, maka hal ini tentunya dapat
menjadi ancaman serius bagi Kuala Lumpur. Kelompok ISIS
berbahasa Melayu jelas-jelas menggunakan bahasa ini dan strategi
tersebut dapat memperluas domain operasi mereka. Di tambah lagi
Katibah Nusantara dengan mudah memanfaatkan media.

Melalui sebuah pesan video Katibah Nusantara memperingatkan


bahwa mereka tidak akan tunduk pada pemerintah Malaysia, tapi
berniat untuk menerapkan peraturan mereka sendiri.

Sejumlah pengamat politik meyakini bahwa ISIS memanfaatkan


unsur pengaruhnya guna meraih ambisi mereka di Malaysia, karena
Muhammad Lutfi Arifin atau Abu Musab, mantan anggota Komite
Pusat Partai Islam Malaysia (PAS) tahun lalu dilaporkan tewas di
Suriah.

Tak diragukan lagi bahwa ancaman dan konfrontasi langsung ISIS


dengan pemerintah Malaysia merefleksikan sikap arogan, anti Islam
dan kemanusiaan Katibah Nusantara. Di sisi lain ketika aparat
keamanan Malaysia kini gencar menggelar operasi untuk
memusnahkan kelompok teroris ISIS dan cabangnya, maka mereka
juga harus berani menanggung konsekwensinya berupa balas
dendam kelompok ini di Malaysia.

Berdasarkan sejumlah bukti, pemerintah dan aparat keamanan


Malaysia memiliki informasi akurat sehingga mereka mengakui
bahwa Katibah Nusantara dengan 300 anggota khusus mampu
melancarkan operasi teror tingkat tinggi. Bahkan disebutkan bahwa
Bahrun Naim,warga Indonesia pendiri Katibah Nusantara berada di
balik serangan teror terbaru di Jakarta yang menewaskan sejumlah
orang.

Mengingat mantan anggota Partai Islam Malaysia (PAS) bergabung


dengan ISIS, maka bisa saja anasir di partai radikal Indonesia,
Singapura, Filipina dan Brunai Darussalam juga bergabung dengan
kelompok teroris.

Di sisi lain, ASEAN tidak memiliki pilihan lain kecuali menggalang


kerjasama penuh untuk memerangi terorisme, karena langkah
individu tidak akan berhasil. Serangan bergilir teroris di wilayah
ASEAN meski tidak memiliki dampak negatif cukup besar bagi
negara-negara anggota, namun hal ini dapat menjadi peringatan.
Dengan demikian negara kawasan Asia Tenggara akan mampu
menemukan solusi untuk memobilisasi tekad kolektif guna
memerangi fenomena buruk ini. (IRIB Indonesia/MF)

Akibat serangan ini, pemerintah Malaysia mendapat peringatan dari


kelompok ISIS bernama Katibah Nusantara. Kelompok Katibah
Nusantara mengancam pemerintah Kuala Lumpur dan mendesak
pembebasan anggotanya.

Katibah Nusantara bagian dari ISIS berbahasa Melayu dan dipimpin


oleh Bahrun Naim yang saat ini masih berada di kota Raqqa, Suriah.
Bahrun Naim mengkoordinir dan memimpin kelompok ini dari
Suriah.

Katibah Nusantara mencakup wilayah Indonesia, Singapura,


Thailand selatan, sebagian wilayah Filipina dan Brunai Darussalam.
Diprediksikan anggota Katibah Nusantara mencapai beberapa ribu
orang. Ancaman serius Katibah Nusantara kepada pemerintah
Malaysia mengindikasikan bahwa kelompok ini memiliki kemampuan
militer dan logistik untuk menghadapi pemerintah Kuala Lumpur.

Inspektur Jenderal (Irjen) Tito Karnavian, kapolda Metro Jaya


seraya membenarkan ancaman tersebut menyatakan siap
menghadapi terorisme. Sejumlah warga Indonesia dan Malaysia
yang menjadi anggota ISIS secara praktis melayani kelompok
teroris ini untuk melancarkan operasi anti kemanusiaan dan
menjadi jembatan penghubung di Irak dan Suriah.

Mengingat pengakuan petinggi Malaysia bahwa ISIS memiliki


anggota sekitar 50000 di negara ini, maka hal ini tentunya dapat
menjadi ancaman serius bagi Kuala Lumpur. Kelompok ISIS
berbahasa Melayu jelas-jelas menggunakan bahasa ini dan strategi
tersebut dapat memperluas domain operasi mereka. Di tambah lagi
Katibah Nusantara dengan mudah memanfaatkan media.

Melalui sebuah pesan video Katibah Nusantara memperingatkan


bahwa mereka tidak akan tunduk pada pemerintah Malaysia, tapi
berniat untuk menerapkan peraturan mereka sendiri.

Sejumlah pengamat politik meyakini bahwa ISIS memanfaatkan


unsur pengaruhnya guna meraih ambisi mereka di Malaysia, karena
Muhammad Lutfi Arifin atau Abu Musab, mantan anggota Komite
Pusat Partai Islam Malaysia (PAS) tahun lalu dilaporkan tewas di
Suriah.
Tak diragukan lagi bahwa ancaman dan konfrontasi langsung ISIS
dengan pemerintah Malaysia merefleksikan sikap arogan, anti Islam
dan kemanusiaan Katibah Nusantara. Di sisi lain ketika aparat
keamanan Malaysia kini gencar menggelar operasi untuk
memusnahkan kelompok teroris ISIS dan cabangnya, maka mereka
juga harus berani menanggung konsekwensinya berupa balas
dendam kelompok ini di Malaysia.

Berdasarkan sejumlah bukti, pemerintah dan aparat keamanan


Malaysia memiliki informasi akurat sehingga mereka mengakui
bahwa Katibah Nusantara dengan 300 anggota khusus mampu
melancarkan operasi teror tingkat tinggi. Bahkan disebutkan bahwa
Bahrun Naim,warga Indonesia pendiri Katibah Nusantara berada di
balik serangan teror terbaru di Jakarta yang menewaskan sejumlah
orang.

Mengingat mantan anggota Partai Islam Malaysia (PAS) bergabung


dengan ISIS, maka bisa saja anasir di partai radikal Indonesia,
Singapura, Filipina dan Brunai Darussalam juga bergabung dengan
kelompok teroris.

Di sisi lain, ASEAN tidak memiliki pilihan lain kecuali menggalang


kerjasama penuh untuk memerangi terorisme, karena langkah
individu tidak akan berhasil. Serangan bergilir teroris di wilayah
ASEAN meski tidak memiliki dampak negatif cukup besar bagi
negara-negara anggota, namun hal ini dapat menjadi peringatan.
Dengan demikian negara kawasan Asia Tenggara akan mampu
menemukan solusi untuk memobilisasi tekad kolektif guna
memerangi fenomena buruk ini. (IRIB Indonesia/MF)
Apa itu kumpulan IS?
WARTAWAN SINAR HARIAN
23 OKTOBER 2014
A- A+ (Ubah saiz teks)

KUMPULAN militan Negara Islam (IS) adalah kumpulan militan radikal yang
menggunakan nama Islam untuk berjihad, dan kini telah menguasai sebahagian besar
kawasan di timur Syria, di utara serta barat Iraq.

Kumpulan ini menggunakan taktik ganas termasuk pembunuhan beramai-ramai musuh


yang ditangkap, penculikan, dan memenggal kepala petugas media dari negara luar
sehingga menyebabkan campur tangan tentera Amerika Syarikat (AS) yang menyerang
kubu kumpulan itu di Iraq.

Matlamat IS adalah untuk mewujudkan sistem pemerintahan khalifah, iaitu negara yang
diperintah oleh seorang pemimpin politik dan agama.

Walaupun pada masa ini IS masih beroperasi di Iraq dan Syria, kumpulan itu telah
berjanji akan memperluaskan jajahan ke Jordan dan Lebanon serta membebaskan
Palestin.

Ia menerima sokongan militan Islam dari seluruh dunia dan menuntut semua ahlinya
bersumpah setia kepada ketuanya, Ibrahim Awad Ibrahim Ali al-Badri al-Samarrai, atau
lebih dikenali sebagai Abu Bakr al-Baghdadi.
Penubuhan IS boleh dikaitkan dengan kumpulan Tawhid wa al-Jihad yang diwujudkan
oleh seorang lelaki Jordan, Abu Musab al-Zarqawi pada 2002. Setahun selepas
pencerobohan AS di Iraq, Zarqawi menyokong Osama Laden, ketua kumpulan pejuang
Al-Qaeda di Afghanistan.

Zarqawi kemudian menubuhkan kumpulan Al-Qaeda di Iraq (AQI) yang menjadi


kumpulan utama dalam pemberontakan terhadap pencerobohan AS.

Selepas kematian Zarqawi pada 2006, AQI mewujudkan pertubuhan penaung, Negara
Islam di Iraq (ISI). Kumpulan ini bagaimanapun berjaya dilemahkan oleh serangan AS
dan penubuhan Majlis Sahwa oleh pemimpin puak Arab Sunni yang menolak
keganasan ISI. Selepas menjadi pemimpin kumpulan itu pada 2010, al-Baghdadi
membina semula keupayaan ISI. Menjelang 2013, ia sekali lagi melancarkan puluhan
serangan dalam tempoh sebulan di Iraq. Ia juga menyertai pemberontakan terhadap
Presiden Syria, Bashar al-Assad dengan menubuhkan Barisan al-Nusra.

Pada April 2013, al-Baghdadi mengumumkan penggabungan tenteranya di Iraq dan


Syria serta penubuhan Negara Islam di Iraq dan Jajahannya (ISIL). Pada 2014, ISIL
berjaya menakluki bandar Mosul di Iraq dan menuju ke arah Baghdad. Akhir bulan itu,
selepas menggabungkan pegangannya terhadap puluhan bandar dan pekan, ISIL
mengisytiharkan pembentukan negara khalifah dan menukar namanya kepada Negara
Islam (IS).

Kumpulan militan paling kaya

Beberapa anggaran menyebut IS dan sekutunya mengawal kira-kira 40,000 kilometer


persegi tanah di Iraq dan Syria, hampir sama dengan keluasan Belgium. Ada juga yang
percaya IS mengawal hampir 90,000 kilometer persegi kawasan, sama seperti keluasan
Jordan. Kawasan jajahan IS termasuk bandar Mosul, Tikrit, Falluja dan Tal Afar di Iraq,
bandar Raqqa di Syria dan medan minyak, empangan, jalan utama serta pintu
sempadan.

Sementara itu, seramai lapan juta orang dipercayai hidup di bawah kawalan penuh atau
kawalan separa IS, dengan kumpulan itu melaksanakan undang-undang syariah tegas
seperti memaksa wanita memakai purdah, orang bukan Islam perlu membayar cukai
khas (jizyah) atau memeluk Islam dan melaksanakan hukum hudud.

Dipercayai sehingga kini, ada seramai 31,000 anggota IS di Iraq dan Syria. Menurut
satu rekod, lebih 12,000 orang luar dari sekurang-kurangnya 81 negara, termasuk
2,500 orang dari negara Barat ke Syria untuk berperang sejak tiga tahun lalu.

Pejuang IS mempunyai akses dan berkeupayaan menggunakan pelbagai jenis senjata


berat termasuk pelancar roket, senjata antipesawat dan sistem peluru berpandu darat-
ke-udara mudah alih. Mereka memiliki kereta kebal dan kenderaan berperisai yang
dirampas daripada tentera Syria dan Iraq. IS dipercayai mempunyai rantaian bekalan
fleksibel bagi memastikan bekalan peluru dan senjata kecil.

IS dilaporkan mempunyai AS$2 bilion (RM6.5 bilion) wang tunai dan aset,
menjadikannya kumpulan militan terkaya di dunia. Pada peringkat awal, kebanyakan
sokongan kewangannya datang daripada orang perseorangan di negara Teluk Arab.

IS adalah pertubuhan yang mempunyai sumber kewangan sendiri, dengan mengumpul


jutaan ringgit setiap bulan daripada medan minyak dan gas yang dikawalnya, selain
cukai, tol, penyeludupan, ugutan dan penculikan. Pencerobohannya di Iraq memberikan
kumpulan itu akses kepada wang tunai yang disimpan di bank utama di bandar yang
ditaklukinya.

The jihadist group which controls large swathes of territory in Syria and Iraq is
sometimes referred to by different names by English-speaking governments and
media.

When talking about the group - which has also spawned affiliates elsewhere in the
Middle East, Africa and Asia - UN and US officials generally use the acronym "Isil", the
acronym of "Islamic State in Iraq and the Levant".
The group itself has not used that name since June 2014 when it declared the creation
a caliphate and shortened its name to "Islamic State" (IS) to reflect its expansionist
ambitions.

Since then, BBC News has been using that term, but qualifying it as "Islamic State
group" or "self-styled Islamic State" and shortening it to "IS" on subsequent mentions.

Other media have continued to use "Isil" or "Isis", which is based on the other widely
used translations of the group's former name - "Islamic State in Iraq and Syria" or
"Islamic State in Iraq and al-Sham".

But the term "Daesh" (or Da'ish) has also gained currency, both in the Middle East and
further afield, and has been used as a way of challenging the legitimacy of the group
due to the negative connotations of the word.

Daesh is essentially an Arabic acronym formed from the initial letters of the group's
previous name in Arabic - "al-Dawla al-Islamiya fil Iraq wa al-Sham". Although it does
not mean anything as a word in Arabic, it sounds unpleasant and the group's supporters
object to its use.

Daesh also sounds similar to an Arabic verb that means to tread underfoot, trample
down, or crush something.

IS, Isil and Isis


The root of the Isil-Isis inconsistency lies in the Arabic word "al-Sham".

At first, news outlets were unsure how to translate it into English, as it was not
immediately clear what the group was actually referring to.

Image copyrightIS PROPAGANDAImage captionPoliticians and the media are divided over what to
call the Islamic State group

Al-Sham can be translated variously as "the Levant", "Greater Syria", "Syria" or even
"Damascus".

The term al-Sham was commonly used during the rule of the Muslim Caliphs from the
7th Century to describe the area between the Mediterranean and the Euphrates,
Anatolia (in present day Turkey) and Egypt.

It was used until the first half of the 20th Century, when Britain and France drew the
new borders of the Middle East and created nation states.
The term "Levant" had for centuries been used by English speakers to describe the
eastern part of the Mediterranean, with its islands and the countries adjoining.

After World War One, the colonial powers understood it to be the area comprising what
is now Syria, Jordan, Lebanon, Israel, the Palestinian Territories and part of south-
eastern Turkey.

However, the term's colonial association means it would be unlikely to be endorsed by


the jihadists. They would also probably object to using just "Syria", as it suggests their
aspirations are limited to the modern state's borders. Various experts have therefore
said that the word al-Sham should not be translated.

Daesh
In the Arabic-speaking world, where the use of acronyms is otherwise uncommon,
Daesh is used widely but with pejorative overtones.

The label has gained currency despite or perhaps as a direct consequence of the
irritation it causes the group, and is now used widely across the world by politicians and
in the media.

"Frankly, this evil death cult is neither a true representation of Islam, nor is it a state,"
UK Prime Minister David Cameron told Parliament in December 2015 when announcing
that his government would be joining France in calling the group "Daesh" rather than
"Isil".
Dunia telah dikejutkan lagi dengan letupan bom yang berlaku berhampiran stadium sukan utama di
Perancis, serta serangan lelaki bersenjata di dalam dewan konsert Bataclan dan beberapa lokasi berbeza
sekitar bandar Paris yang mengakibatkan sekurang-kurangnya 150 orang terbunuh pada 13 November
2015. Angka korban tidak termasuk lapan anggota militan yang terbunuh, di mana kesemuanya telah
memasang bahan letupan pada tubuh. Ini menggambarkan bahawa mereka sudah merancang untuk mati.
Kumpulan militan Islamic State of Iraq and Syria yang lebih dikenali sebagai ISIS mengaku
bertanggungjawab atas serangan ini. ISIS dalam bahasa Arab dikenali sebagai Daish, singkatan untuk ad-
Dawlah al-Islamiah fil-Iraq wa-sh-Sham.

Pada 14 Januari 2016, berlaku pula letupan dan beberapa siri tembakan di Jakarta di negara jiran kita yang
membunuh sekurang-kurangnya 6 orang termasuk 3 anggota polis. Indonesia mengesyaki kejadian ini ada
kaitan dengan kumpulan pengganas ISIS.

Susulan keganasan yang berlaku di Jakarta, Ketua Polis Johor telah membuat kenyataan media berkenaan
amaran keselamatan tahap tertinggi serta mempertingkatkan kawalan keselamatan di seluruh Johor
terutama di kawasan tumpuan orang ramai seperti pusat membeli-belah, pusat hiburan dan pintu keluar
masuk negara seperti Kompleks Kastam dan Imigresen di Tuas, Jeti Pasir Gudang serta Lapangan
Terbang Antarabangsa Senai.

Tahniah atas kecekapan pasukan Polis Diraja Malaysia (PDRM) kerana berjaya menahan seorang lelaki
yang disyaki terlibat dalam kegiatan militan Daish ini di stesen LRT Jelatek, Ampang, pada 16 Januari
2016. Lelaki tersebut ditahan bersama senjata dan juga dokumen berkaitan Daish. Ketangkasan pihak
polis, terutama bahagian risikan Cawangan Khas Anti Pengganas (E8) Bukit Aman, berjaya mengelakkan
berlakunya tragedi yang mungkin mengakibatkan kehilangan nyawa. Kejadian ini membuktikan bahawa
Malaysia tidak terkecuali dari menjadi sasaran pengganas Daish. Malahan, sudah ada rakyat Malaysia
yang terbabit dengan kumpulan militan Daish ini.

Baru-baru ini, media tempatan dan antarabangsa melaporkan dua rakyat Malaysia dipercayai meletupkan
diri sendiri demi perjuangan bersama pengganas Daish. Mereka telah melancarkan dua serangan
berasingan di Syria dan Iraq yang dipercayai telah membunuh lebih 30 orang awam. Memang benar
apabila Menteri Pertahanan, Datuk Seri Hishamuddin Tun Hussein, mengesahkan mereka adalah rakyat
Malaysia.

Mohd Amirul yang baru berumur 26 tahun, berasal dari Terengganu, meletupkan bom yang berada
padanya dalam sebuah kereta semasa pertempuran di kubu Daish di Syria pada 29 Disember 2015.
Manakala Mohamad Syazwan, 31 tahun, adalah seorang dari tujuh pengebom berani mati yang
meletupkan diri di pusat latihan polis Iraq di pengkalan tentera udara Speicher, Tikrit, pada 3 Januari 2016.

Perdana Menteri, Datuk Seri Najib Tun Razak, melahirkan rasa terkejut dan kecewa kerana ia
mengakibatkan kehilangan nyawa lebih 30 orang yang tidak berdosa. Beliau telah menegaskan bahawa
tindakan dan ideologi ekstremis tidak diterima di Malaysia atau dalam Islam, dan kerajaan komited untuk
memerangi keganasan dalam segala bentuk. Kerajaan berusaha untuk mengetahui bagaimana dan
mengapa kedua-dua mereka sanggup melakukan perbuatan itu, dan kerajaan akan mengambil segala
langkah yang perlu untuk mengelakkan mana-mana individu lain dari turut terjebak.

Terdahulu, pada 26 Mei 2014, Ahmad Tarmimi Maliki yang berumur 26 tahun, seorang pekerja kilang di
Selangor, memandu kenderaan utiliti sukan (SUV) tentera jenis Hummers yang dilengkapi bahan letupan
dan merempuh ibu pejabat SWAT di daerah Al-Anbar Iraq, mengakibatkan kematian 25 tentera Iraq. Berita
tentang serangan ini disiarkan dalam media rasmi kumpulan militan ISIS dengan tajuk utama Mujahidin
Malaysia Syahid Dalam Operasi Martyrdom yang disertakan gambar Ahmad Tarmimi.

Ahmad Tarmimi dipercayai menjadi rakyat Malaysia pertama terbunuh sebagai pengebom berani mati.
Sebelum itu sememangnya terdapat beberapa kematian rakyat negara ini dalam peperangan di Syria tetapi
bukan sebagai pengebom berani mati. Bagi Malaysia yang digambarkan sebagai sebuah negara yang
mengamalkan kesederhanaan dalam Islam atau wasatiyyah, kejadian-kejadian ini amat membimbangkan.

Apatah lagi ditambah dengan laporan Pengarah Cawangan Khas Bukit Aman, Datuk Seri Mohamad Fuzi
Harun pada 12 Januari 2016 bahawa lapan kanak-kanak Malaysia diajar untuk menjadi pejuang kumpulan
militan. Kanak-kanak tersebut ditempatkan di kem IS untuk tujuan latihan. Menurut Mohamad Fuzi, terdapat
47 rakyat Malaysia yang menyertai IS di Syria, tidak termasuk 17 individu yang terbunuh dalam
pertempuran dan 6 pula maut kerana terbabit dengan pengeboman berani mati.
Satu lagi kejadian berlaku di sebuah pasaraya di Sungai Petani, Kedah, di mana seorang remaja lelaki
berusia 16 tahun yang berpakaian seperti anggota militan Daish dan menggunakan pisau, menyerang
seorang wanita kerana terpengaruh dengan fahaman militan . Menurut Ketua Polis Negara, Tan Sri Khalid
Abu Bakar, siasatan polis mendapati remaja itu terpengaruh dengan dakyah Daish melalui laman sosial
dan emel. Pelajar yang masih belajar di sebuah sekolah agama di Sungai Petani itu kini ditahan di bawah
Akta Kesalahan Keselamatan (Langkah-langkah Khas) 2012 atau SOSMA.

Mengapa golongan muda Malaysia, termasuk kanak-kanak, boleh terbabit dengan kumpulan militan ini?
Adakah Malaysia telah menjadi sasaran kumpulan ini untuk mendapatkan ahli yang lebih ramai? Begitu
mudahkah anak-anak kita terpengaruh dengan ajaran dan gerakan sedemikian? Mengapa?

Ketua Penolong Pengarah Bahagian Counter Terrorism, Datuk Ayob Khan Mydin Pitchay, mengatakan
bahawa hasil siasatan ke atas mereka yang terlibat dengan kegiatan keganasan ini, kebanyakannya terdiri
daripada penagih dadah atau golongan yang mempunyai masalah keluarga. Maka, kononnya untuk
menebus segala kesalahan mereka yang lalu, kerana merasa diri terbeban dengan dosa besar, mereka
mengambil jalan singkat ke syurga dengan mati syahid.

Dahulu, Malaysia pernah diancam dengan fahaman ekstremis Jemaah Islamiah (JI), diikuti dengan
Kumpulan Militan Malaysia (KMM). Menurut dua anggota Daish yang disoalsiasat oleh pihak polis, oleh
kerana terlalu taksub untuk mati syahid, mereka sanggup meluru ke arah bom yang dijatuhkan oleh pihak
lawan.

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan kali ke-106 yang bersidang pada 21-22 Oktober 2014
telah membincangkan isu umat Islam Malaysia yang berjuang atas nama ISIS. Muzakarah telah membuat
keputusan seperti berikut:

1. Setelah meneliti laporan penyelidikan yang telah diperakukan oleh Panel Pakar Akidah JAKIM dan kertas
kerja yang disediakan serta meneliti fakta-fakta, hujah-hujah dan pandangan yang dikemukakan,
Muzakarah mendapati bahawa:

a) Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and Levant (ISIL) merupakan rentetan
dari gerakan Salafi Jihadi di Iraq yang pada asalnya terdiri dari tiga organisasi jihad yang berbeza, iaitu
Ansar al-Islam yang terdiri dari kelompok Salafi Jihadi warga Iraq yang membentuk kawasan pemerintahan
Islam mereka yang tersendiri dan mengamalkan kehidupan Islami ortodoks dan radikal; kumpulan
Mujahidin yang berasal dari Jordan di bumi Iraq yang mengisytiharkan diri mereka sebagai Jamaah al-
Tawhid wa al-Jihad di bawah pimpinan Abu Musab al-Zarqawi yang berhijrah ke Iraq untuk melancarkan
jihad memerangi pendudukan tentera Amerika Syarikat ke atas bumi Iraq; dan mujahidin al-Qaeda yang
berhijrah dari Afghanistan, akibat serangan Amerika Syarikat ke atas bumi Afghan selepas peristiwa 11
September.

b) Kebanyakan para ulama Ahli Sunnah Wal Jamaah di seluruh dunia telah mengingatkan umat Islam agar
tidak terpengaruh dengan kumpulan ISIS atau ISIL ini kerana ideologi keganasan dan sikap mereka yang
mengkafirkan orang yang tidak sehaluan dengan mereka dan menghalalkan darah mereka. Mereka
membunuh rakyat tidak berdosa dan menghalau golongan Kristian dan Yazidi dengan penuh kezaliman.
Para Ulama Ahli Sunnah di seluruh dunia melabelkan ISIS atau ISIL ini sebagai Khawarij di zaman moden
dan Jumhur Ulama Ahli Sunnah bersepakat mengenai kesesatan dan juga penyelewengan golongan ini
dan memperingatkan umat Islam agar tidak terpedaya dengan segala propaganda ISIS atau ISIL.

2. Sehubungan itu, berdasarkan fakta-fakta yang telah dikemukakan dan selaras dengan nas-nas syarak,
Muzakarah berpandangan bahawa kecenderungan dan keghairahan umat Islam untuk berjihad atas nama
ISIS atau ISIL di bumi Syria adalah berpunca dari kekeliruan dalam memahami konsep jihad dan mati
syahid yang sebenar menurut Hukum Syarak. Seruan jihad dan mati syahid yang dipegang oleh mereka
adalah bercanggah dengan Islam dan boleh membawa kepada kekufuran kerana mereka menghalalkan
darah sesama umat Islam.

3. Oleh itu, Muzakarah menegaskan bahawa tindakan umat Islam dari Malaysia yang telah ataupun yang
ingin berjuang atas nama jihad di bumi Syria bagi menyokong golongan ISIS atau ISIL adalah sia-sia
kerana perjuangan mereka tidak tergolong sebagai jihad dan kematian mereka juga tidak dikategorikan
sebagai syahid menurut kerangka Hukum Syarak.

4. Muzakarah menasihatkan seluruh umat Islam di Malaysia supaya menginsafi diri dan tidak mudah
terpengaruh atau terjebak dengan keganasan dan propaganda perjuangan kumpulan ISIS atau ISIL ini.

Syabas kepada Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) yang memberikan penerangan dan kefahaman
kepada lebih sejuta orang sejak tahun lepas berhubung perspektif Islam tentang bahayanya fahaman
kumpulan pengganas Daish. Masyarakat diberi kefahaman mengenai salah tafsir jihad oleh kumpulan
pengganas ini. Sesi penerangan turut dilaksanakan di sekolah pondok dan madrasah.

Fahaman militan ISIS amat ekstrem sehinggakan mereka sanggup membunuh orang awam yang tidak
berdosa, membuatkan kumpulan militan Al-Qaeda tidak mahu ada kena-mengena dengan kumpulan
tersebut, menurut laporan BBC pada 3 Februari 2014.
Bagi umat Islam yang benar-benar ingin meneladani budaya syahid, contohilah pahlawan Islam Salahuddin
Al-Ayubbi atau Saladin, yang berjaya menawan semula Baitulmuqaddis dalam perang Salib pada 2 Oktober
1187, selepas 88 tahun kota itu dikuasai tentera Salib. Walaupun menerima tentangan hebat dari
masyarakat Kristian Eropah, beliau telah mendapat reputasi yang besar di Eropah. Salahuddin memberi
jaminan keselamatan perjalanan dan nyawa kepada semua masyarakat Kristian dan juga tentera Salib
Kristian yang kalah dalam perang, walaupun terdapat peristiwa penyembelihan orang-orang Islam
termasuk wanita dan kanak-kanak semasa tentera Salib menawan Baitulmuqaddis pada tahun 1099.
Sungguhpun berbeza kepercayaan, Raja Richard dari England memuji Salahuddin sebagai pemimpin
paling hebat dalam dunia Islam. Islam benar-benar dipandang hebat ketika itu.

Sudah hampir 15 tahun peristiwa serangan 11 September 2001 atau nine eleven (9/11) berlaku di
Amerika Syarikat. Kini Islamophobia semakin meningkat akibat keganasan kumpulan militan Daish atau
ISIS ini. Islam dikaitkan dengan terrorisme, fundamentalisme dan ekstrimisme. Islam dianggap radikal dan
bersifat fasis. Ini memberikan gambaran yang salah terhadap Islam dan umatnya.

Kumpulan militan ini mendakwa mereka mewakili Islam dan berjihad memperjuangkan Islam tetapi
sebenarnya mereka jauh tersasar dari ajaran Islam yang sebenar. Konsep jihad yang sebenar menuntut
umat Islam berjuang di jalan Allah dengan mematuhi syariah dan etika, mempertahan dan menegakkan
yang haq, bukannya dengan merosakkan harta benda serta membunuh manusia yang tidak berdosa.

Perang adalah salah satu dari pengertian jihad. Al-Quran menetapkan bahawa perang bela diri hanya boleh
diisytiharkan oleh pemerintah, bukannya perseorangan. Tetapi jihad yang lebih besar bukanlah perang.
Hal ini bersesuaian dengan maksud sabda Rasulullah SAW ketika Baginda baru sahaja kembali dari
Perang Badar dan diriwayatkan oleh banyak kitab hadis:

Kita kembali dari jihad yang terkecil menuju jihad yang besar, iaitu jihad melawan hawa nafsu.

Jihad melawan hawa nafsu merupakan perjuangan besar setiap Muslim. Nabi Muhammad SAW diutuskan
Allah SWT ke bumi sebagai rahmat seluruh alam dan tujuan Baginda tidak lain adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Oleh itu, jihad terbesar ialah membetulkan diri sendiri dengan akhlak
terpuji dan menjauhi perbuatan cela.
Anggota masyarakat perlu menggembleng tenaga membantu usaha-usaha yang dijalankan oleh pihak
kerajaan dan sama-sama memastikan usaha-usaha ini berterusan bagi menangani dan membanteras
kegiatan kumpulan militan ini. Inisiatif bersepadu melalui kerjasama di setiap peringkat adalah perlu,
terutama keluarga terdekat atau ibu bapa, bagi memastikan anak-anak muda tidak mudah terpengaruh
dengan fahaman radikal dan militan. Semoga bumi Malaysia akan terus aman dan tiada lagi rakyat
Malaysia yang terbabit dengan kumpulan militan ini.

Johari Yap
Pengerusi Persatuan Cina Muslim Malaysia (MACMA), Cawangan Kelantan

You might also like