Professional Documents
Culture Documents
ANGKATAN 2014
Ar s i t e
Kampung Adat
JERE, DESA
INERIE,
KAB. NGADA
FLORES
NTT
Dosen Pembimbing :
Yohanes W. D. Kapilawi,
ST. MT
Oleh :
Arsitektur
Angkatan
2014
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab atas sanggahan-Nya, penyusun
dapat menyelesaikan laporan mata kuliah arsitektur vernakular tepat pada waktunya.
Laporan ini membahas terkait kampung adat Jere, sebuah kampung di daerah
Ngada yang ditetapkan oleh penyusun sebagai lokasi studi ekskursi mata kuliah
arsitektur vernakular.
Sadar bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penyusun
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan
laporan ini
Ucapan trimakasih penyusun haturkan kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan ini.
Keluarga Bapak Marsel Bele Wea sekeluarga dan kakak Eli sekeluarga di
Malaphedo.
Orang tua mahasiswa yang telah mendukung kegiatan baik secara materi
dan non-materi.
Dan semua pihak yang telah membantu dalam terselenggaranya kegiatan
Penyusun
Januari 2017
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . I
II
DAFTAR PUSTAKA
III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan beragam kebudayaan yang
menjadi karakter dan identitas dari masing-masing daerah di dalamya. Karakteristik dan
identitas tersebut dapat berupa bahasa daerah, pakaian adat, kesenian daerah, dan juga
arsitektur daerahnya. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan keaslian dari hal-hal tersebut mulai memudar dan bahkan telah hilang dari
kehidupan masyarakat pada umumnya.
Kampung adat adalah tempat yang masih memegang teguh kebudayaan yang telah
bertumbuh sejak dahulu. Keberadaan kampung adat di Indonesia masih belum banyak
diketahui. Kampung adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi
dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para
anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan tradisi yang ditata
oleh suatu system budaya.(Surpha dalam Pitana 1994:139)
Salah satu hal yang menjadi identitas sebuah kampung adat adalah arsitektur
vernakulernya. Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari rakyat, lahir dari masyarakat etnik, dan berakar pada tradisi etnik
tersebut. Menurut Amos Rapopor ( 1969 ) arsitektur vernakular merupakan karya
arsitektur yang tumbuh dari segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau
memanfaatkan potensi-potensi lokal seperti material, teknologi dan pengetahuan. Setiap
daerah di Indonesia memiliki ciri dan karakteristik arsitektur tersendiri yang membuat
arsitektur di Indonesia sangat beragam. Pada satu pulau saja terdapat beragam langgam
arsitektur dimana salah satunya terletak di pulau Flores tepatnya di Desa Inerie,
Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Di desa Inerie terdapat sebuah kampung yaitu
kampung adat Jere. Kampung adat Jere merupakan salah satu kampung yang memiliki
nilai arsitektur vernakular dari segi lansekap, kebudayaan, struktur dan ruang.
Sebagai sebuah kampung yang terletak di bawah kaki gunung dengan kemiringan
tertentu dan dengan kondisi alam tertentu, arsitektur Jere memiliki karakteristik tersendiri
dalam menghadapi kondisi alam tersebut baik melalui struktur rumah, pola
perkampungan maupun material yang digunakan dalam pembangunan rumah. Adat
istiadat pada kampung adat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Hal ini
tampak dari beberapa hal, yakni pelaksanaan upacara-upacara adat pada berbagai
1.2. Tujuan
1. Mengetahui kondisi geografis kampung adat Jere.
2. Mengetahui sistem sosial dan kebudayaan masyarakat Jere
3. Mengetahui sistem struktur dan konstruksi pada rumah adat Jere
4. Mengetahui pola penyusunsan ruang dalam pada rumah adat dan ruang luar pada
kampung adat Jere
Teori Data
Arsitektur
Arsitektur Kondisi Sosial vernakuler
vernakuler Kebudayaan Struktur Ruang Lansekap alam budaya kampung adat Jere
LANDASAN TEORI
2.2 Lansekap
Secara umum lansekap diartikan sebagai ilmu arsitektur yang berorientasi pada
tatanan ruang luar, tidak hanya halaman rumah, kawasan rekreasi tetapi juga bisa
mencakup hamparan yang sangat luas. Oleh karenanya lansekap juga diartikan sebagai
bentang alam (Laurie, 1975). Makin jelas harmonisasi dan kesatuan antar elemen-
elemennya, makin kuat karakter suatu lansekap (Simonds, 2006).
Lansekap permukiman di pedesaan merupakan salah satu produk arsitektur.
Tatanan rumah-rumah, jalan, pusat kawasan, pasar, kebun dan sawah sering memiliki
pola yang unik. Lansekap tersebut tidak terjadi begitu saja. Sebagai tempat berkehidupan
yang meliputi geografi yang relatif permanen dan memiliki dasar cukup kuat pada aspek
sosial dan ekonominya, secara alami pemukiman terbentuk secara bertahap (Gallion &
Esiher, 1992).
Jadi, kebudayaan adalah pikiran,karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar
pada nalurinya dan hanya bisa dicetuskan setelah melalui proses belajar.
Sistem Budaya digambarkan dengan lingkaran yang paling dalam dan merupakan inti,
kemudian Sistem Sosial digambarkan dengan lingkaran kedua di sekitar inti, sedangkan
Kebudayaan Fisik digambarkan dengan lingkaran yang paling luar. Adapaun pembagian
lingkaran menjadi 7 (tujuh) bagian adalah melambangkan 7 Unsur Kebudayaan Universal
menurut konsep Koentjaraningrat. Ketujuh Unsur Kebudayaan Universal tersebut dapat
mempunyai Tiga Wujud Kebudayaan, yaitu Sistem Budaya, Sistem Sosial, dan Kebudayaan
Fisik.
a. Sistem religi
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi
keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan mengacu kepada
pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto, 2007), yang menyebutkan
pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata belief, yang memiliki
pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat ditemukan secara nyata pada kampung adat.
Kampung adat menurut UU desa nomor 6 tahun 2014 adalah pengakuan hukum adat
masyarakat sebagai subjek hukum dalam system pemerintahan, yaitu menetapkan unit social
masyarakat hokum adat seperti Nagari,Huta,Kampong,Mukim dll sebagai badan hukum
publik.
2.4 Ruang
Ruang merupakan elemen yang sangat penting dalam arsitektur. Secara harfiah, ruang
(space) berasal dari bahasa Latin, yaitu Spatium yang berarti ruangan atau luas (extent). Jika
dilihat dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai tempat (topos) atau lokasi (choros) yaitu
ruang yang memiliki ekspresi kualitas tiga dimensi.
Menurut Aristoteles, Ruang adalah suatu yang terukur dan terlihat, dibatasi oleh
kejelasan fisik, enclosure yang terlihat sehingga dapat dipahami keberadaanya dengan jelas
dan mudah. Dalam arsitektur, ruang terbagi menjadi ruang dalam (interior) dan ruang luar
Suparlan (1996) menyebutkan bahwa sebuah satuan tata ruang yang paling baku
yang selalu ada dalam kehidupan manusia di masyarakat manapun adalah rumah. Oleh
karena itu ruang menjadi satu kebutuhan pokok manusia dalam melakukan segala kegiatan
dan terlindung dari gangguan-gangguan lingkungan baik secara fisik maupun non fisik.
Hakekat ruang menjadi satu hal yang harus dimengerti dan dipahami sesuai dengan
fungsi dan penghuninya. Dengan demikian maka bagaimana ruang itu tercipta akan selalu
merupakan cerminan dari kondisi, setting dan waktu dimana ruang itu berada.
Konsep ruang dalam pandangan barat berasal dari dua konsep klasik yang bersumber
pada filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles, menyatakan bahwa ruang adalah
suatu medium dimana objek materiil berada, keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi objek
materiil tersebut (konsep position-relation). Konsep yang kedua dari Plato kemudian
dikembangkan oleh Newton yaitu konsep displacement-container yang melihat ruang sebagai
wadah yang tetap, jadi walaupun objek materiil yang ada didalamnya dapat disingkirkan atau
diganti namun wadah itu tetap ada (Munitz,1951).
Kedua konsep tersebut mendasari pandangan Barat yang melihat ruang dari dimensi
fisiknya yaitu suatu kesatuan yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi atau kedalaman,
dengan demikian ruang mempunyai sifat yang terukur dan pasti. Ini dipertegas oleh Descartes
dengan konsep Cartesian space yang memilah-milah ruang kedalam bentuk-bentuk
geometris seperti, kubus, bola, prisma, kerucut atau gabungan dari bentuk-bentuk geometris
tersebut (Van de Ven, 1978). Konsep ruang barat ini banyak sekali dipakai oleh para arsitek
masa kini. Nama ruang pada rumah tinggal modern mencerminkan secara jelas fungsi-
fungsi untuk pemenuhan kebutuhan fisik-biologis. Fungsi-fungsi yang mencerminkan
kebutuhan sosial dan ungkapan budaya kurang diperhatikan karena penataan ruang-ruang
tersebut lebih menekankan aspek ekonomis (efisiensi) dan teknis (Tjahjono,1989).
2.5 Struktur
Menurut (Harris, 2006), Struktur merupakan sebuah kombinasi unit yang dibangun
dan terhubung secara teratur untuk menciptakan kekakuan dari elemen-elemenya, sedangkan
konstruksi adalah proses pembangunan dari sebuah bangunan mulai dari pembersihan lahan
PEMBAHASAN
Gambar 3.1.4.1 Konfigurasi Letak Rumah Adat pada Kampung Adat Jere
a. Aksesibilitas
Akses ke dalam kampung Jere
Keterangan :
: Jalan
: Main entrance
: Side entrance
Akses menuju kampung adat Jere terbagi atas 3, yaitu jalan utama dan
jalan alternatif. Jalan alternatif merupakan jalan yang digunakan pada saat-saat
khusus, seperti saat ritual adat atau uapacara khusus lainnya. Sedangkan jalan
utama merupakan jalan yang dipakain dalam keseharian hidup masyarakat.
Akses menuju ke perkampungan adat adalah menggunakan jalan yang terbuat
dari rabat dengan lebar jalan sekitar 2,5 meter dengan jarak sekitar 3 km.
Antara trap di dalam kampung dibuat jalur khusus berupa tangga dari
bebatuan ataupun tanah yang dibuat menyerupai tangga sehingga dapat
dipijaki. Setiap trap dilapisi dengan bebatuan yang bertujuan menahan tanah
agar tidak mudah longsor.
- Air
Sumber air pada kampung adat Jere berasal dari mata air Wae Tena yang
berjarak 3 km dari bak penampungan
- Sampah
Pengelolaan sampah di desa ini masih bersifat tradisional yakni
dengan cara melubangi tanah sebagai tempat menampung sampah.
c. Vegetasi
Di sekeliling site terdapat beberapa jenis vegetasi diantaranya kemiri,
pisang, nanas, kelapa, kakao, jeruk, umbi-umbian, dan pohon kelor.
Vegetasi yang berupa pisang, nanas, jeruk, kakao, kelapa, umbi-umbian,
sengaja ditanam untuk memanfaatkan lahan kosong yang berada di
kampung adat. Sedangkan, vegetasi yang berupa kemiri tumbuh secara
alamiah. Untuk pohon kelor sendiri diwajibkan untuk ada pada setiap trap.
Hal ini dikarenakan, pohon kelor merupakan vegetasi yang digunakan
penduduk kampong adat untuk di konsumsi pada upacara adat dan dalam
konsumsi sehari-hari.
a. Perkembangan jumlah manusia pada suatu keluarga dan memiliki harta kekayaan
yang berlimpah serta mempunyai seorang tokoh yang kuat dan berwibawa maka
timbul keinginan keluarga itu untuk mendirikan woe yang baru, terpisah dari woe
yang lama.
b. Terbentuknya kampung baru dan kampung baru tersebut sangat jauh dari
kampung asalnya dan penduduk didalam kampung baru itu makin lama makin
berkembang dengan memiliki lahan pertanian yang luas dan subur.
Perkembangan kampung baru, mula-mula berupa Bo atau Boa (=kampung
kecil). Ketika kampung itu menjadi ramai dan rumah-rumahnya menjadi banyak
Woe (suku) yang menetap dalam suatu daerah yang sama kemudian
bersepakat untuk membentuk suatu perkumpulan yang lebih besar yakni
kampung/desa.
Desa Jere (jere, artinya; rata) merupakan sebuah desa yang berada di bawah
kaki gunung Inerie. Desa ini didirikan oleh kakek Soba Nau, orang tertua dari salah
satu suku (woe) dalam desa yakni suku kemo (suku tertua). Desa ini ditempati oleh 4
suku (woe) yakni, kemo, turu, kutu, dan fugu. Suku kemo merupakan suku tertua
sedangkan suku kutu, turu & fugu merupakan suku-suku yang muncul setelahnya.Ke-
empat suku memiliki ikatan kekerabatan berdasarkan kesamaan darah (hubungan
genealogis). Setiap suku menganggap dirinya sama tanpa ada perbedaan terhadap
status atau semacamnya. Pandangan inilah yang melatarbelakangi desa dinamai jere
(arti; rata) .
Sebuah suku ditandai dengan adanya 1 Ngadhu (rumah pria) dan 1 Bhaga
(rumah perempuan).
4. Sao dai
5. Sao kedhi
Sao kedhi atau sao keka artinya rumah kecil. Rumah ini
dibentuk dari bambu atau kayu bulat (Iie bodha) dindingnya dari
pelupuh bukan dari papan.
Masyarakat Jere melakukan acara adat sebelum membuka kebun baru. Acara
adat ini dikenal dengan istilah keaea uma musi.
Di dalam Sao Meze (rumah besar) setiap rumah adat kampung Jere
harus dilengkapi dengan benda-benda keramat sebagai simbol kehadiran Roh
leluhur sebagai pengantara antara manusia dengan dewa (Tuhan). Benda-
benda keramat itu adalah mataraga, sua uwi, kobho uwi, bokha uwi.
Keterangan gambar.
1.) dua bilah papan tegak yangsejajar yang dihubungkan pasak atau
baji
2.) lajasue atau lembing bercabang
3.) rete, semacam takik yang bergerigi (riti)
4.) sau kawa atau sau gae, parang pusaka atau parang keramat
5.) ehuja kawa atau gala gae (tombak atau lembing pusaka)
- Bokha Uwi
Adalah sebuah jenis labu yang kulitnya keras. Bhoka yang besar
dapat dipergunakan untuk menyimpan bibit kacang-kacangan,
jewawut, dll.
Bhoka uwi adalah benda budaya yang keramat sebagai simbol
leluhur perempuan, yakni ketika masih hidup adalah istri dari
leluhur laki-laki, yang namanya diabadikan pada kobho uwi.
Selain benda-benda tersebut di atas terdapat beberapa benda keramat
lainnya, yakni :
- Senjata keramat
Bhuja kawa (tombak pusaka), gala gae (lembing keramat),
sau gae (parang keramat). Apabila diadakan upacara yang sesuai
atau untuk menari, senjata-senjata itu dapat dipergunakan. Tetapi
setiap harinya senjata itu disimpan melintang di mataraga atau
zeguraga atau fiI riti. Bhoka ulu artinya bhoka lambing tengkorak
musuh. Bhoka ini berbeda dengan bhoka uwi. Bhoka ulu
mempunyai jumlah yang sesuai dengan jumlah musuh yang
dibunuh oleh leluhur keluarga itu pada zaman perang dahulu.
Bhoka ulu selalu digantungkan diatas iru diatas dari para-para.
- Kada, adalah sebuah tempat besar terbuat dari rotan atau dari kulit
batang bamboo, sebagai tempat menyimpan alat-alat makan yang
terbuat dari anyaman daun lontar atau dari daun pandan.
1. Parang
3.3.6 Bahasa
- Juru adat (Ata Tau Kae) memegang ayam yang telah disiapkan dan
kembali berbicara dalam bahasa adat. Ayam disembelih dan darahnya
ditempatkan pada sea tua yang telah disiapkan.
- Pengolesan darah ayam pada beberapa bagian tertentu dari rumah adat
oleh mori sao, yakni keturunan laki-laki dari pemilik rumah adat yang
bersangkutan . Pengolesan ini harus dilakukan secara berurutan ke arah
kanan. Berikut ini merupakan area pengolesan darah ayam secara
berurutan.
Kedua bilah papan mataraga, kobho uwi, dan ketiga senjata pada
mataraga.
Watu mangu
.
Gambar 3.3.7.10 Membaca Makna dari Urat Ayam
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
3. Ritual kelahiran
Pada masyarakat Bajawa secara umum kelahiran anak baik laki-
laki maupun perempuan adalah berkah dari leluhur. Karena itu
kelahiran anak selalu disyukuri dengan rangkaian upacara adat sebagai
berikut.
Geka naja, yakni upacara yang dilakukan sesaat setelah seorang
anak lahir yang ditandai dengan pemotongan tali pusar (poro puse)
dan pemberi nama (tame ngaza). Untuk pemberian nama biasanya
semua daftar nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut
sampai sang bayi bersin. Bersin diyakini sebagai tanda
kesepakatan dari bayi. Pemberian nama melalui cara ini penting
dilakukan. Jika tidak, nak tersebut tidak akan bertumbuh dengan
normal dan sehat. dalam hal ini, kecocokan nama dan orang sangat
menentukan masa depannya.
Tere azi, yakni penempatan ari-ari pada suatu tempat yang tinggi
(di atas pohon). Masyarakat Bajawa memandang ari-ari sebagai
kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik.
Awalnya ari-ari ditempatkan di dasar rumah pokok.
Lawi Azi, Lawi ana, atau tau, yakni upacara yang bertujuan
mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan
mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 53
babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak
dicukur yang dikenal dengan istilah koi ulu.
4. Ritual pernikahan
Pergaulan antara rang atas dan rang bawah sangat dijaga. Dalam
adat perkawinan seorang laki-laki rang bawah dilarang kawin dengan
seorang perempuan dari rang atas. Hal ini berhubungan dengan
kepercayaan di mana dewa akan marah dan leluhur akan mengirimkan
malapetaka terhadap kampung dari salah satu pihak yang melanggar
adat kawin. Malapetaka tersebut dapat berupa hujan yang tak pernah
berhenti (rute subhe), banjir dan tanah longsor. Ketika ada yang
dicurigai melanggar adat tersebut, dewa (nitu) akan mengumumkan
nama si pelanggar adat dari bukit yang terdekat. Sebenarnya yang
disebut dewa atau nitu tersebut adalah orang yang berasal dari rang
atas yang menyamar.
6. Upacara Reba
Reba merupakan upacara syukuran atas hasil panen dan merupakan
syukuran akhir tahun.
Tahap-tahap upacara adat reba adalah sebagai berikut:
Reba Lanu, yakni upacara pembukaan seluruh rangkaian reba yang
dilakukan pada tempat khusus yang terletak di luar kampung, yang
disebut Lanu. Tahap ini bertujuan menghormati leluhur masyarakat
di kampung.
Dheke Reba, yakni upacara yang dilaksanakan pada malam pertama
reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku dating ke rumah
pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang
disebut Ka Maki Reba.
Tarian Reba, yakni kegiatan menari missal sambil menyanyikan
lagu reba yang disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini
dilaksanakan pada siang hari setelah malam Dheke Reba dengan
peserta tarian berpakaian adat lengkap.
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 55
Doya Uwi, yakni acara arakan ubi yang dilaksanakan di kampung.
Sui Uwi, yakni upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-
masing suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan
dan pesan kepada anak cucu dan leluhur. Acara ini juga sekaligus
menutup seluruh rangkaian reba pada umumnya.
3.3.8. Kesenian
1. Tarian
Jai
tarian ini biasa dipraktekan pada saat : gale ngani (pengambilan
material untuk pembuatan rumah adat), wae (pemasangan atap alang-
alang), dan api maru (rumah selesai dibangun).
Teke sao
2. Alat musik
Gendang
Gong
3. Ukiran
Ukiran rantai emas (terdapat pada sao, bhaga & ngadhu)
Ukiran ini bermakna hidup manusia harus murni.
Ruang luar dan ruang dalam pada sao meze (rumah besar) sendiri secara
keseluruhan terdiri dari beberapa bagian. Ruang luar terdiri dari LewuSao (bagian
kaki rumah), Ture Sao (halaman rumah, bagian paling depan rumah) sedangkan pada
bagian dalam rumah terdapat TedaMoa (balai-balai kecil, terletak didepan rumah),
Teda One (balai-balai besar, berada di bagian tengah), One (ruang ritual yang berada
paling belakang), Ghubu Sao (atap rumah) dan Tolo (bagian dalam atap rumah adat
yang digunakan sebagai tempat penyimpanan) dan tambahan 2 kamar tidur pada
beberapa rumah adat yang dibangun kemudian. Secara vetikal Sao Mese terdiri atas
beberapa bagian yaitu lewu sao atau bagian kaki , teda one, dan atap. Area ruang luar
atau exterior pada sao meze terdapat Ture Sao dan LewuSao
Fungsi lainnya sebagai tempat meletakan Watu Pali Wai ,yakni sebuah
batu ceper, yang terletak tepat di tengah Ture Sao atau segaris lurus dengan pintu
masuk sao meze dan mataraga yang terletak di bagian paling dalam one. Watu
pali wai sendiri berfungsi sebagai tempat pijakan sebelum masuk ke dalam atau
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 59
ketika ingin keluar dari sao meze. Fungsinya sesuai kepercayaan adalah ketika
ada orang yang hendak masuk atau keluar dari sao meze harus menginjak watu
pali wai, sehingga Roh para leluhur yang bersemayam didalam rumah adat itu
dapat mengetahui anak dan cucunya atau tamu yang masuk ke dalam rumah itu.
Menurut kepercayaan watu pali wai harus diletakkan sehingga tidak terjadi
musibah bagi pemilik rumah tersebut. Demikian juga ketika hendak
mengumumkan pengumuman penting yang berhubungan dengan adat, maka
sebelum mengumumkannya ke seluruh kampung, salah satu kaki dari orang yang
mengumumkan pengumuman tersebut harus menginjak dahulu watu pali wai
dan ketika hendak melaksanakan doa sebelum membunuh babi (ria uru ngana)
orang tersebut harus menginjak kakinya pada batu watu pali wai, pada upacara
lain, apabila ada upacara penolak bala ketika sakit atau mati, untuk membuang
sisa-sisa upacara adat maka sebelum melangkah keluar maka kakinya harus
terlebih dahulu menginjak pada watu pali wai, Yosef Rawi (hal. 69, 2007).
Pada ture sao juga terdapat Watu Mangu. Watu mangu merupakan batu
lonjong atau pipih berukuran kecil dan biasanya terdiri dari dua atau tiga batu
yang didirikan di bagian sampng kiri dan kanan ture sao. Menurut kepercayaan
masyarakat Jere, batu ini merupakan simbol leluhur yang menjaga rumah
tersebut, sehingga pada setiap sao meze atau rumah besar selalu terdapat watu
mangu.
- Teda moa
Teda moa berarti balai-balai luar dengan lantai yang terbuat dari pelapuh
(bambu yang di belah dan dibuat membentang seperti sebuah tikar) dan terbuka
(tidak memiliki dinding) yang berfungsi sebagai tempat untuk duduk santai atau
untuk menonton pertunjukan, atraksi atau tari-tarian, juga pada waktu tertentu
berfungsi sebagai tempat menenun dan anyam-anyaman.
Pada area semi publik terdapat Teda one, yakni balai-balai dalam atau
balai-balai tengah karena berada di antara teda moa yang berada paling depan
rumah dan one yang berada paling belakang dari rumah, teda one berfungsi
sebagai tempat untuk makan dan minum, tempat musyawara yang bersifat umum,
dan tempat tidur bagi anak laki-laki atau tamu laki-laki. Teda one merupakan
bagian rumah yang setengah terbuka karena dinding yang mengelilinginya hanya
setengah atau tidak tertutup secara menyeluruh.
Pada Teda one terdapat satu bagian yang disebut Tolo Pena atau Pena.
Tolo pena merupakan tempat duduk untuk kepala keluarga pada musyawarah
keluaraga yang bersifat resmi. Tolo pena memiliki posisi yang lebih tinggi dari
teda one, dan sejajar dengan tinggi one yang berada tepat didepan pene (pintu
rumah). Fungsinya sebagai tempat duduk dan sebagai tempat pijakan sebelum
masuk one (ruang ritual), juga sebagai tempat wati (tempat menyimpan sirih dan
pinang). Terdapat juga tahta, berupa papan berukiran.
Pada area Privat terdapat ruang yang disebut One, yakni ruang inti dalam
Sao Meze (rumah besar) yang memiliki fungsi sebagai ruang ritual, tempat
mataraga (tempat penyimpanan pusaka), masak, dll. Bentuk pintu masuk menuju
one berbeda dari pintu pada umumnya. Pintu ini kecil dan dibuat pendek dengan
tinggi 1,5 m dengan maksud agar setiap orang yang memasuki one membungkuk
sebagai bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang yang berada di
mataraga.
Lapu
Lapu adalah tempat menempatkan tungku api untuk memasak, yang berfungsi
sebagai dapur. Lapu ini terdiri dari 4 balok tebah yang membentuk bujur sangkar yang
didalamnya berisi abu untuk menanam lika.Lika merupakan 3 batu tungku yang tidak
memiliki arti simbolis, tetapi batu yang paling dibelakang dilambangkan sebagai
peowatu (dipercaya sebagai batu kutukan).
Kogo kae/Kae
Kogo kae berada pada atas tungku api, terdiri dari 2 susun kae, kaekedhi
(berada dibawah, untuk meletakan irus setelah dipakai) dan kae meze (yang berada di
atas, sebagai tempat menyimpan kayu api).
Papa Bhoko
Papa Bhoko merupakan tempat duduk Ibu (terhormat) ketika memasak pada
upacara penting. Bagian ini merupakan bagian terpendek dari One, karena bagian ini
dibatasi dengan Lapu.
Tolo
Tolo merupakan balai-balai kecil pada ujung atas dinding bagian Ulu dan
bagian Wai. Diatas Mataraga (Ulu) dan diatas pintu (Wai). Bagian Ulu berfungsi
untuk menyimpan barang berharga, bagian Wai berfungsi untuk menyimpan tempat
makanan.
Pada kampung adat Jere terdapat beberapa tipe Sao meze, yakni sebagai berikut.
1) Sao meze dengan 1 one tanpa tambahan ruang
Pada umumnya bangunan rumah adat di Kampung Jere disebut lengkap jika
memiliki 1 Teda Moa, 1 Teda One, dan 1 One. Pada tipe rumah adat ini Teda Moa
merupakan area publik pada rumah adat karena merupakan balai-balai luar dari rumah
adat yang berfungsi sebagai tempat untuk duduk santai atau untuk menonton
pertunjukan, atraksi atau tari-tarian, juga pada waktu tertentu berfungsi sebagai tempat
menenun dan anyam-anyaman. Sedangkan teda one merupakan ruang transisi atau
ruang yang menghubungkan antara ruang luar ( teda one) dengan ruang dalam pada
rumah adat yaitu one. Teda one berfungsi sebagai tempat untuk makan dan minum,
tempat musyawarah yang bersifat umum, dan tempat tidur bagi anak laki-laki atau tamu
laki-laki, sedangkan one yaitu ruang privat. Pada tipe rumah adat ini one berfungsi
sebagai sebagai ruang ritual, tempat matharaga (tempat penyimpanan pusaka), masak,
dan sebagainya.
Gambar 3.4.1.12 Sao Meze Dengan 1 One Dan Tambahan 2 Kamar Tidur
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016
One , merupakan ruang yang paling inti dan paling sakral dalam sao meze.
Dalam membangun sao meze, panjang one ditentukan dengan ukuran depa perempuan
dewasa yang empunya rumah, yaitu 1 depa ditambah 1 depa dengan jari telunjuk
terlipat menjepit bambu yang digunakan sebagai alat ukur. Tinggi one yaitu 2,5 m
dengan dasar sejajar dengan Tolo Pena. Dalam merancang Teda One ,luasannya
tergantung dari keinginan pemilik rumah.
Secara umum rumah adat dari setiap suku yang ada di kabupaten Ngada
terdiri dari dua rumah adat pokok yaitu sao saka puu dan sao saka lobo dan juga
terdapat dua tugu yang mewaliki setiap rumah adat tesebut yaitu bhaga dan ngadhu.
a) Sub Structure
Untuk bagian Sub-Struktur terdiri atas tiang pondasi (leke), batu alas (wa
leke), balok tenga, balok leda, dan lantai (naja).
Tiang pondasi (Leke)
Tiang pondasi (leke) berupa tiang yang berfungsi sebagai penopang
bangunan dan meneruskan beban dari bagian atas ke dalam tanah. Ditanam
dengan kedalaman 1.5 m di dalam tanah, dengan beralaskan seuah batu alas
berbentuk pipih yang disebut wa leke. Ketinggian tiang pondasi dari permukaan
tanah rata rata 1 m, ketinggian tiang dipengaruhi oleh kontur tanah. Material
asli yang digunakan sebagai pondasi adalah dari batu pegunungan, keterbatasan
material batu menjadi kendala dalam proses pembangunan sehingga
masyarakat beralih menggunakan material kayu dale, namun karena terlalu
sering menggunakan material kayu sebagai pengganti masyarakat kini
menggunakan material dari beton sebagai tiang pondasi dengan jenis pondasi
tiang pancang.
Balok Tenga
Tenga adalah balok dasar dari balok yang kayunya keras dan kuat.
Tenga adalah balok dasar yang diletakan atau terbentang disepanjang leke.
Balok tenga merupakan balok yang berfungsi layaknya sloof yaitu sebagai
pengikat kolom sehingga menjadi kaku. Balok tenga juga berfungsi sebagai
penahan beban tarik. Material yang digunakan sebagai balok tenga yaitu
kayu dale.
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 71
Gambar 3.4.2.7 Balok Tenga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016
Balok Leda
Balok leda merupakan balok yang berfungsi sebagai penahan pelat
lantai, jarak antar balok leda yaitu berjarak 19 cm dengan yang lain. Leda
merupakan kasau sebagai balai-balai pelupuh, jadi leha diletakan terentang
atau berbaris rapat. Beberapa leha tepat dibawah pintu masuk ke dalam
rumah inti (one), dibuat lebih panjang menganjur ke luar, sebagai alas pena
atau tolo pena (wadah kecil di depan pintu masuk).
Leda atau kasau yang lebih panjang dibawah pintu, disebut Sobhi Laja
(sobhi= sisir bambu ; laja = layar perahu). Disebut sobhi laja karena
beberapa ledha dibawah pintu, berbaris seperti jari-jari sisir bambu (sobhi),
sedangkan pena atau papan tebal yang diletakan diatas leda tersebut,
berbentuk seperti layar perahu.
b) Supper Structure
Super struktur merupakan bagian bangunan yang berada di permukaan
tanah atau diatas pondasi yang menerima beban hidup secara langsung (Harris,
2006). Dalam rumah adat kampung Jere, yang termasuk bagian bagian super
struktur yaitu loki, wisu, pete, wa, dan ube.
Loki
Loki adalah 4 buah balok yang terletak di atas tenga. Loki menjadi
dasar dari badan rumah seluruhnya. Dengan kata lain, loki dan tenga
memikul seluruh badan rumah adat khususnya bagian rumah inti (one).
Pada setiap sudut atau pada persambungan ke empat balok dasar itu,
ditanam tiang-tiang sudut, yang disebut wisu.
Wisu
Wisu berfungsi sebagai kolom utama dalam bangunan. Wisu
sebenarnya berarti sudut, arti sebenarnya adalah tiang sudut. Ujung wisu
bagian bawah dibuat kecil yang disesuaikan dengan lubang pada loki (balok
dasar), sehingga ujung wisu itu dapat tertanam didalam loki. Ujung wisu yang
dibuat kecil dinamakan lasi wisu. Demikian juga ujung atas wisu dibuat
sedemikian (dibuat kecil) sehingga dapat dimasukan ke dalam ujung ngani
(balok atas). Karena itu badan one dapat berdiri tegak, tanpa mempergunakan
baut dan paku.
Ngani
Ngani adalah balok atau papan tebal yang dipasang pada bagian atas
berlawanan dengan loki. Loki dan ngani dibuat sponning agar ujung wisu
dan ujung papan dinding dimasukan ke dalam sponing sehingga ujung
dinding seakan terikat kuat.
Ube
Ube berfungsi sebagai dinding yang berupa papan yang disusun, dengan
jumlah 7 buah.
Poli lewa
Merupakan balok panjang yang terletak berdampingan dengan ngani,
tetapi poli lewa lebih panjang dan menganjur keluar sebagai dasar atap
bagian one sampai ke teda one (balai-balai dalam).
c) Upper Structure
Upper structure atau bagian atas bangunan yang dikenal dengan istilah
atap merupakan bagian teratas bangunan yang dapat berbentuk perisai, pelana
maupun datar. Upper-structure rumah tinggal vernakular yang ideal
menurut Teddy Boen (1978), denah bangunan berbentuk sederhana dan
Tudhi
Tudhi dalam bahasa Bajawa berarti pisau. Tetapi arti tudhi disini
adalah keempat tiang penopang dari iru. Tudhi ditanam pada setiap sudut
atap bagian bawah. Keempat tiang tersebut dihubungkan dengan balok kayu
atau papan tebal yang disebut ghebhe iru, artinya balok yang mengelilingi
iru sebagai dasar meletakan iru. Tudhi berjumlah 4 buah dan dipasang /
disambungkan pada balok ghebhe.
Lado Lewa
Lado lewa merupakan tiang nok dalam sao (rumah adat). Lado lewa
disambungkan dengan balok dhoi tenga.
Soku Dolu
Soku dolu merupakan jurai luar pada rumah adat ini. Material yang
digunakan sebagai soku dolu yaitu adalah bambu (peri). Soku dolu
merupakan bambu ulat yang menghubungkan tiang nok dengan mirplat
yang merupakan rangka sudut atap rumah. Dengan kata lain, soku dolu
adalah bambu bambu bulat yang menunjukan ujung kedua kuda-kuda ke
setiap sudut atap bagian bawah.
Soku Boda
Soku boda adalah bambu bulat kecil yang dipasang berbaris dari mirplt
sampai ke kuda-kuda, berfungsi sebagai usuk dalam rumah adat ini dengan
pemasangan antar usuk yaitu 35 cm.
Nedu
Nedu sebagai komponen tambahan dalam rumah adat, terletak pada
ujung bangunan. Nedu adalah atap alang-alang yang menutupi kuda-kuda
harus tebal dan rapi dan dikerjakan oleh laki-laki yang terampil dan
berpengalaman agar tidak bocor.
Lenga
Lenga berfungsi sebagai tritisan untuk air hujan, terletak pada bagian
depan bangunan. Berupa potongan bambu yang disusun secara bolak
balik. Lenga adalah atap rumah adat yang terbuat dari belahan bambu.
Zo
Zo adalah bambu bulat yang panjang, mengelilingi ke empat sisi atap
bagian bawah. Ia tergantung di bawah poli lewa dengan tali ijuk yang
dianyam rapi.
d) Ngadu
Ngadhu merupakan sebuah tiang bulat yang diukir, tiang itu biasanya
berasal dari batang pohon sepu atau hebu yang sangat keras. Untuk dijadikan
batang ngadhu, diambil terasnya yang keras dibagian dalam. Kayu tersebut
tahan air dan sulit dimakan rayap.
e) Bhaga
Bhaga dilihat dari bentuk fisiknya memiliki bentuk seperti rumah adat
berukuran kecil. Bhaga berdiri didepan ngaadhu atau berhadapan dengan
ngadhu. Yang berbeda adalah dinding bhaga bagian depannya setengah terbuka.
Tidak mempunyai pintu. Tetapi pada zaman dahulu, bhaga dibuat agak besar,
sebesar pondok dan bagian depan dibuat pintu masuk sebagai layaknya sebuah
rumah tinggal. Layaknya ngadhu ketika bhaga dibangun diikuti dengan ritual
adat.
Bhaga tidak dapat dipisahkan dari ngadhu. Bhaga adalah simbol dari
leluhur perempuan yang dulu semasa hidupnya, adalah istri dari leluhur laki-laki
yang namanya diberikan kepada ngadhu. Dengan kata lain nama ngadhu dan
bhaga dahulu semasa hidupnya adalah sepasang suami istri yang suci, ternama
dan sukses (kaya).
Layaknya ngadhu, bhaga pun mempunyai dua fungsi yakni fungsi
religius dan fungsi sosial. Dengan demikian, dipercaya bahwa roh leluhur yang
namanya diberikan kepada bhaga berfungsi sebagai perantara antara anak dan
cucu (seluruh keturunan) dengan dewa dan nitu. Karena leluhur (ngadhu dan
bhaga) adalah leluhur asal dari semua keturunannya yang bernaung di bawah
ngadhu dan bhaga tersebut.
Bhaga sebagai simbol leluhur perempuan yang menjadi istri dari
leluhur laki-laki, pasti juga selalu mendapingi ngadhu di dalam melindungi dan
mengayomi semua anak dan cucu. Karena hal itu maka letak berdirinya bhaga
harus berhadapan dengan ngadhu dan juga harus berada ditengah kampung.
Dalam sistim perkawinan adat Ngada ada sebuah ungkapan yang berbunyi
susu tere kodo, da lalu dheke ngage ngo!. Yang memiliki arti yang betina,
telah berada didalam sangkar, yang jantan datang mengunjungi. Hal tersebut
berdampak pada pembangunan bhaga dan ngadhu dimana ngadhu diusung
dari luar kampung untuk didirikan di hadapan bhaga.
Ungkapan diatas sesuai dengan adat Ngada, sistem perkawinannya
adalah dii sao (kawin masuk) yakni perempuan (istri) tetap tinggal
dirumahnya, suami datang dan tinggal di rumah istri. Keluarga istrinyalah yang
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kampung adat Jere merupakan sebuah kampung yang terletak dibawah kaki gunung
Inerie yang merupakan gunung berapi di desa Inerie, kecamatan Inerie, kabupaten Ngada,
Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur. Di sebelah utara kampung adat ini berbatasan dengan
gereja Katolik St Familia, di sebelah selatan berbatasan dengan kebun pisang, sebelah timur
berbatasan dengan jalan setapak, dan sebelah barat berbatasan dengan kawasan pohon pisang
dan kemiri. Kampung adat Jere terletak 200 m di atas permukan laut dengan luas 6363 m2 .
Kontur tanah pada perkampungan adat mencapai kemiringan sekitar 8, yang dibagi menjadi
8 trap. Kondisi tanah pada kampung adat Maghilewa sangat subur, berwarna hitam serta
memiliki kandungan pasir yang merupakan hasil dari letusan gunung api.
Agama yang dianut oleh penduduk Jere adalah Katolik. Walaupun begitu, masyarakat
Jere tetap meyakini keberadaan roh nenek moyang/leluhur mereka yang ditunjukkan dengan
pelaksanaan berbagai upacara adat sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Rata-rata
penduduk Jere ialah rakyat jelata, sehingga tidak diterapkan strata sosial /kasta dalam
masyarakat. Penduduk jere menganut prinsip matrilineal (suatu adat masyarakat yang
mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu). Setiap suku dalam desa memiliki seorang
kepala suku (tela one woe) yang bertanggung jawab untuk mengatur urursan-urusan dalam
sebuah suku. Dibawah kepala suku terdapat kepala soma yang bertanggung jawab terkait
urursan-urusan dalam rumah, yang meliputi : urusan rumah tangga. Posisi kepala soma
diduduki oleh kepala keluarga rumah yang bersangkutan. Urusan kesukuan meliputi
merangkul seluruh anggota suku, melaksanakan pertemuan atau kegiatan atau acara adat.
Dalam masyarakat terdapat orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam hal adat
(dapat berkomunikasi dengan leluhur) yang disebut ata tao kae.
Pada masyarakat Jere pembagian golongan masyarakat hanya ada pada suku Turu
yang terdiri atas gae (rang paling tinggi), gae kisa (rang tengah atau biasa dikenal sebagai
orang kebanyakan), soo (hamba).
Sistem pengetahuan pada masyarakat Jere berupa satuan ukur depa yang dipakai
dalam pembangunan rumah. Zaman dahulu bahan bangunan untuk konstruksi rumah
4.2 Saran
Kampung adat Jere merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang perlu
dijaga dan dilestarikan keberadaanya oleh semua pihak. Untuk itu beberapa hal berikut
disarankan untuk dilakukan.
- Masyarakat dan pemerintah daerah harus tetap melakukan upaya pelestarian terhadap
rumah adat Jere dengan arsitekturnya. Pemerintah daerah harus aktif dalam mengajak
masyarakat untuk bekerjasama dalam upaya pelestarian ini.,
- Pola perkampungan tradisional kampung Jere yang masih ada sampai sekarang
hendaknya terus terpelihara. Kemajuan zaman diharapkan tidak mengikis apa yang
telah ada sehingga kedepannya dapat memberikan gambaran kepada generasi
mendatang tentang ruang hidup generasi terdahulu mereka.