You are on page 1of 92

ARSITEKTUR UNDANA

ANGKATAN 2014

Ar s i t e
Kampung Adat
JERE, DESA
INERIE,
KAB. NGADA
FLORES
NTT
Dosen Pembimbing :

Yohanes W. D. Kapilawi,
ST. MT

Debri A. Amabi, ST. MT

Thomas K. Dima, ST. MT

Oleh :
Arsitektur
Angkatan
2014

Angkatan 2014 UNIVERSITAS NUSA CENDANA


Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab atas sanggahan-Nya, penyusun
dapat menyelesaikan laporan mata kuliah arsitektur vernakular tepat pada waktunya.

Laporan ini membahas terkait kampung adat Jere, sebuah kampung di daerah

Ngada yang ditetapkan oleh penyusun sebagai lokasi studi ekskursi mata kuliah
arsitektur vernakular.

Sadar bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penyusun
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan

laporan ini

Ucapan trimakasih penyusun haturkan kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan ini.

Dosen pembimbing mata kuliah arsitektur vernakular Universitas Nusa

Cendana yang telah mendampingi & membimbing mahasiswa dalam


kegiatan studi ekskursi.

Alm. Bapak Lipus Tuga selaku Kepala Desa Inerie.


Bapak Nikolaus Dhei, Bapak Paulus Wera, dan alm. Bapak Damianus Sogo

yang telah bersedia menjadi narasumber untuk memberikan informasi


yang mnedukung studi eksursi.

Penduduk desa Jere & Maghilewa yang secara terbuka menerima


kehadiran rombongan.

Keluarga Bapak Marsel Bele Wea sekeluarga dan kakak Eli sekeluarga di
Malaphedo.
Orang tua mahasiswa yang telah mendukung kegiatan baik secara materi

dan non-materi.
Dan semua pihak yang telah membantu dalam terselenggaranya kegiatan

baik secara langsung maupun tidak.

Semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penyusun

Januari 2017

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . I

DAFTAR ISI ... II

BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG .............. 1


1.2 RUMUSAN MASALAH ........ 2
1.3 TUJUAN & SASARAN . 2
1.4 RUANG LINGKUP ......... 2
1.5 METODOLOGI PENELITIAN .. 3

BAB II : PEMBAHASAN ..... 4


2.1 SEJARAH KAMPUNG ADAT JERE 2
2.2 UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN PADA KAMPUNG ADAT JERE..... 2
2.2.1 SISTEM RELIGI ..... 8
2.2.2 SISTEM ORGANISASI DAN KEMASYARAKATAN 8
2.2.3 SISTEM PENGETAHUAN 10
2.2.4 SISTEM MATA PENCHARIAN .. 19
2.2.5 SISTEM TEKNOLOGI & PERLATAN 19
2.2.6 BAHASA 29
2.2.7 KESENIAN . 30

BAB III : KESIMPULAN ... 24


DAFTAR PUSTAKA ..... III

II
DAFTAR PUSTAKA

Arifmundar,A,dkk. (2002). Arsitektur indonesia heritage.Jakarta:Antar ahasa


Brunskill,RW. (1971). Illustrated handbook of vernacular architecture.London:Faber
Hakim, Rustam. (2012). Komponen perancangan arsitektur lansekap edisi
kedua.Jakarta:Bumi Aksara
James,spradley. 2007. Metode etnografi. Yogyakarta:tiarawacana
Koentjaraningrat. (1980). Pengantar ilmu antropologi.Jakarta:Rineka Cipta
Pitana. 1994. Dinamika masyarakat dan kebudayaan. Denpasar:Balipost
Rapoport,Amos. (1969). House form and culture. London:Pentice-Hall Inc
Rawi, Yoseph. (2007). Kebudayaan ngada.Bajawa
Soekanto,soerjono. 2007. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta:PT. raja grafindo persada

III
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan beragam kebudayaan yang
menjadi karakter dan identitas dari masing-masing daerah di dalamya. Karakteristik dan
identitas tersebut dapat berupa bahasa daerah, pakaian adat, kesenian daerah, dan juga
arsitektur daerahnya. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan keaslian dari hal-hal tersebut mulai memudar dan bahkan telah hilang dari
kehidupan masyarakat pada umumnya.
Kampung adat adalah tempat yang masih memegang teguh kebudayaan yang telah
bertumbuh sejak dahulu. Keberadaan kampung adat di Indonesia masih belum banyak
diketahui. Kampung adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi
dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para
anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan tradisi yang ditata
oleh suatu system budaya.(Surpha dalam Pitana 1994:139)
Salah satu hal yang menjadi identitas sebuah kampung adat adalah arsitektur
vernakulernya. Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari rakyat, lahir dari masyarakat etnik, dan berakar pada tradisi etnik
tersebut. Menurut Amos Rapopor ( 1969 ) arsitektur vernakular merupakan karya
arsitektur yang tumbuh dari segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau
memanfaatkan potensi-potensi lokal seperti material, teknologi dan pengetahuan. Setiap
daerah di Indonesia memiliki ciri dan karakteristik arsitektur tersendiri yang membuat
arsitektur di Indonesia sangat beragam. Pada satu pulau saja terdapat beragam langgam
arsitektur dimana salah satunya terletak di pulau Flores tepatnya di Desa Inerie,
Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Di desa Inerie terdapat sebuah kampung yaitu
kampung adat Jere. Kampung adat Jere merupakan salah satu kampung yang memiliki
nilai arsitektur vernakular dari segi lansekap, kebudayaan, struktur dan ruang.
Sebagai sebuah kampung yang terletak di bawah kaki gunung dengan kemiringan
tertentu dan dengan kondisi alam tertentu, arsitektur Jere memiliki karakteristik tersendiri
dalam menghadapi kondisi alam tersebut baik melalui struktur rumah, pola
perkampungan maupun material yang digunakan dalam pembangunan rumah. Adat
istiadat pada kampung adat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Hal ini
tampak dari beberapa hal, yakni pelaksanaan upacara-upacara adat pada berbagai

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 1


kegiatan, sistem matrilinear yang masih dianut, menjalankan tradisi dengan berbagai
macam larangan dan pantangan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut kebudayaan pada kampung adat Jere perlu digali lebih dalam
agar dapat dikenali karakteristiknya dan juga dapat diperkenalkan kepada semua pihak
sebagai salah satu aset berharga yang dimiliki bangsa Indonesia.

1.1. Rumusan Masalah


1. Bagaimana kondisi geografis kampung adat Jere?
2. Bagaimana sistem sosial dan kebudayaan masyarakat Jere ?
3. Bagaimana sistem struktur dan konstruksi pada rumah adat kampung Jere?
4. Bagaimana pola penyusunan ruang dalam pada rumah adat dan ruang luar pada
kampung adat Jere?

1.2. Tujuan
1. Mengetahui kondisi geografis kampung adat Jere.
2. Mengetahui sistem sosial dan kebudayaan masyarakat Jere
3. Mengetahui sistem struktur dan konstruksi pada rumah adat Jere
4. Mengetahui pola penyusunsan ruang dalam pada rumah adat dan ruang luar pada
kampung adat Jere

1.3. Ruang Lingkup


Dalam laporan ini,pembahasan akan dibatasi pada arsitektur vernakular kampung adat
Jere dari segi lansekap, kebudayaan, struktur dan ruang.

1.4. Sistematika Penulisan


Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini maka penulis menyusun sistematika
penulisan sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan, batasan
masalah, metodologi penulisan, serta sistematika penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang landasan teori, yakni teori-teori dasar arsitektur
vernakuler, struktur, ruang, dan lansekap baik dari jurnal, makalah,
internet, maupun buku-buku referensi lainnya.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 2


BAB III Bab ini berisikan kondisi pada kampung adat Jere baik dari segi
geografis, kebudayaan, keruangan, dan struktur rumah adat.
BAB IV PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil tulisan

1.5. Metodologi Penelitian


a. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan
pendekatan kualitatif untuk mengetahui gambaran arsitektur dari kampung adat Jere,
desa Inerie, kabupaten Ngada, dan pengaruh kehidupan budaya masyarakat kampung
adat Jere terhadap arsitektur tersebut, serta penerapan pola ruang pada bangunan
tersebut.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
Studi Ekskursi Vernakular ini dilakukan di Kampung Adat Jere, desa
Inerie,Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada Flores Nusa Tenggara Timur.
Dilaksanakan pada tanggal 14 Juli s.d. 29 Juli 2016.
c. Unit Penelitian
Unit penelitian ini adalah arsitektur rumah adat kampung Jere yang terdiri dari 9 buah
rumah adat yang dilihat dari segi lansekap, sosial budaya, stuktur, dan ruang.
d. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini untuk mencari data primer yaitu dengan
menggunakan metode observasi langsung dan wawancara mendalam dengan tokoh
adat dan tokoh ahli struktur mengenai rumah adat kampung Jere. Sedangkan untuk
data sekundernya di peroleh dari referensi berupa buku dan sumber resmi dari
internet.
e. Analisis Data
Data-data yang sudah terkumpul kemudian dikelompokan berdasarkan empat point
utama yaitu lansekap, sosial budaya, struktur dan ruang. Penyajian datanya bersifat
deskriptif dan disertai analisis data.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 3


Jere merupakan salah satu kampung adat di kabupaten Ngada yang memiliki
1.7. Kerangka Pikir karakteristik arsitektur vernakularnya sendiri

Kondisi geografis, sosial dan budaya masyarakat


mempengaruhi arsitektur vernakuler kampung adat Jere

Karakteristik arsitektur vernakular kampung adat Jere

Teori Data

Arsitektur
Arsitektur Kondisi Sosial vernakuler
vernakuler Kebudayaan Struktur Ruang Lansekap alam budaya kampung adat Jere

Unsur-unsur Bagian-bagian Pengelompokan Pola


kebudayaan struktur ruang permukiman
bangunan

Pengaruh kondisi geografis, sosial dan budaya Kondisi arsitektur vernakular


masyarakat terhadap arsitektur vernakular pada kampung adat Jere

Karakteristik arsitektur vernakular kampung adat Jere


Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Arsitektur Vernakular


Arsitektur merupakan seni dan teknik dalam merancang bangunan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis masyarakat. Ranah kajian arsitektur sangat luas
dan beragam,salah satunya adalah arsitektur vernakular. Vernakular berasal dari bahasa
latin yaitu Vernaculus yang berarti asli atau pribumi. Vernakular dalam arsitektur
merujuk pada arsitektur asli yang hadir pada waktu atau tempat yang spesifik (tidak
berasal dari luar).

Menurut Amos Rapopor ( 1969 ) Arsitektur Vernakular merupakan karya


arsitektur yang tumbuh dari segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau
memanfaatkan potensi-potensi lokal seperti material, teknologi dan pengetahuan.
Menurut Ronald Brunskill (2000) Arsitektur Vernakular merupakan karya yang dirancang
oleh seseorang atau sekelompok orang yang amatir (bukan perancang atau arsitek
profesional) tanpa pelatihan atau pengetahuan khusus mengenai perancangan.

Jadi , Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang tumbuh dan berkembang


dari rakyat, lahir dari masyarakat etnik, dan berakar pada tradisi etnik tersebut.

2.2 Lansekap
Secara umum lansekap diartikan sebagai ilmu arsitektur yang berorientasi pada
tatanan ruang luar, tidak hanya halaman rumah, kawasan rekreasi tetapi juga bisa
mencakup hamparan yang sangat luas. Oleh karenanya lansekap juga diartikan sebagai
bentang alam (Laurie, 1975). Makin jelas harmonisasi dan kesatuan antar elemen-
elemennya, makin kuat karakter suatu lansekap (Simonds, 2006).
Lansekap permukiman di pedesaan merupakan salah satu produk arsitektur.
Tatanan rumah-rumah, jalan, pusat kawasan, pasar, kebun dan sawah sering memiliki
pola yang unik. Lansekap tersebut tidak terjadi begitu saja. Sebagai tempat berkehidupan
yang meliputi geografi yang relatif permanen dan memiliki dasar cukup kuat pada aspek
sosial dan ekonominya, secara alami pemukiman terbentuk secara bertahap (Gallion &
Esiher, 1992).

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 5


Permukiman-permukiman yang dibangun oleh penduduk di suatu kawasan,
khususnya kawasan pedesaan akan sangat tergantung kepada kondisi lingkungan di
kawasan tersebut. Oleh karena itu, pola-pola pemukiman di wilayah pedesaan memiliki
ciri tersendiri. Secara umum, terdapat tiga pola permukiman pedesaan yang banyak
dijumpai di Indonesia, yaitu pola memanjang (linier), pola terpusat (nucleated), dan pola
tersebar (dispersed).

1. Pola Memanjang (Linier)


Pola memanjang permukiman penduduk dikatakan linier apabila rumah-rumah
yang dibangun membentuk pola berderet hingga panjang. Pola memanjang umumnya
ditemukan pada kawasan permukiman yang berada di tepi sungai, jalan raya, atau
garis pantai. Pola ini dapat terbentuk karena kondisi lahan di kawasan tersebut
memang menuntut adanya pola ini. Sungai, jalan, maupun garis pantai memanjang
dari satu titik tertentu ke titik lainnya, sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan
tersebut pun membangun rumah-rumah mereka dengan menyesuaikan diri pada
keadaan tersebut.
2. Pola Terpusat (Nucleated)
Pola terpusat merupakan pola permukiman penduduk di mana rumah-rumah
yang dibangun memusat pada satu titik. Pola terpusat umumnya ditemukan pada
kawasan permukiman di desa-desa yang terletak di kawasan pegunungan. Pola ini
biasanya dibangun oleh penduduk yang masih satu keturunan. Pola pemukiman ini
mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di
daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang
daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola pemukiman memusat mengitari mata
air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman pemukiman
memusat mendekati lokasi pertambangan.
3. Pola Tersebar (Dispersed)
Pada pola tersebar, rumah-rumah penduduk dibangun di kawasan luas dan
bertanah kering yang menyebar dan agak renggang satu sama lain. Pola tersebar
umumnya ditemukan pada kawasan luas yang bertanah kering. Pola ini dapat
terbentuk karena penduduk mencoba untuk bermukim di dekat suatu sumber air,
terutama air tanah, sehingga rumah dibangun pada titik-titik yang memiliki sumber air
bagus.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 6


2.3 Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu Budhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari Budhi yang berarti budi atau akal. Dalam hal ini,Kebudayaan
dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.

Koentjaraningrat (1980) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan dari


hasil budi dan karya. Dengan kata lain Kebudayaan adalah keseluruhan dari apa yang
pernah dihasilkan oleh manusia karena pemikiran dan karyanya.

Menurut E.B.Tylor (1871), kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia,


termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan lain.

Goodenough (dalam Kalangie,1994) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah


suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan
nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat.

Linton dalam buku: The Cultural Background of Personality, bahwa


kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku,
yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat
tertentu (Sukidin, 2005).

Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 2007) merumuskan, kebudayaan


sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah.

Jadi, kebudayaan adalah pikiran,karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar
pada nalurinya dan hanya bisa dicetuskan setelah melalui proses belajar.

Koentjaraningrat membagi kebudayaan atas 7 unsur yaitu sistem religi, sistem


organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi dan peralatan,bahasa dan kesenian.

Berikut adalah gambaran Kerangka Budaya menurut Koentjaraningrat (1985):

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 7


Gambar 2.3.1 Kerangka Budaya
Sumber : Dodiet Setiawan,

Sistem Budaya digambarkan dengan lingkaran yang paling dalam dan merupakan inti,
kemudian Sistem Sosial digambarkan dengan lingkaran kedua di sekitar inti, sedangkan
Kebudayaan Fisik digambarkan dengan lingkaran yang paling luar. Adapaun pembagian
lingkaran menjadi 7 (tujuh) bagian adalah melambangkan 7 Unsur Kebudayaan Universal
menurut konsep Koentjaraningrat. Ketujuh Unsur Kebudayaan Universal tersebut dapat
mempunyai Tiga Wujud Kebudayaan, yaitu Sistem Budaya, Sistem Sosial, dan Kebudayaan
Fisik.

Berikut penjabaran ketujuh unsur kebudayaan :

a. Sistem religi
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi
keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan mengacu kepada
pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto, 2007), yang menyebutkan
pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata belief, yang memiliki
pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 8


merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu
objek.
b. Sistem organisasi dan kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan,
organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan, kenegaraan, kesatuan hidup
dan perkumpulan. Sistim organisasi adalah bagian kebudayaan yang berisikan
semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia
mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan-tindakan
orang lain (Syani, 1995).
c. Sistem pengetahuan
Spradlye (dalam Kalangie, 1994) menyebutkan, bahwa pengetahuan budaya
itu bukanlah sesuatu yang bisa kelihatan secara nyata, melainkan tersembunyi dari
pandangan, namun memainkan peranan yang sangat penting bagi manusia dalam
menentukan perilakunya. Pengetahuan budaya yang diformulasikan dengan
beragam ungkapan tradisional itu sekaligus juga merupakan gambaran dari nilai -
nilai budaya yang mereka hayati.
Nilai budaya sebagaimana dikemukan oleh Koentjaraningrat (2002) adalah
konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu
masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Dan suatu sistem nilai budaya, yang sifatnya abstrak, biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
d. Sistem mata pencaharian hidup
Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai homo
economicus yang mejadikan kehidupan manusia terus meningkat. Dalam tingkat
sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam
tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam,
kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang
serakah. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi jenis
pekerjaan dan penghasilan (Koentrajaningrat, 2002).
e. Sistem teknologi dan peralatan
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka
akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi
yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 9
peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan
demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
f. Bahasa
Fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam
pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah
kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi
(Koentrajaningrat, 2002).
g. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi
hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga.
Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat, seni rupa, seni gerak,
lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni suara, bangunan, kesusastraan, dan drama
(Koentrajaningrat, 2002).

Kesemua unsur budaya tersebut terwujud dalam bentuk sistem budaya/adat-istiadat


(kompleks budaya, tema budaya, gagasan), sistem sosial (aktivitas sosial, kompleks sosial,
pola sosial, tindakan), dan unsur-unsur kebudayaan fisik (benda kebudayaan).

Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat ditemukan secara nyata pada kampung adat.
Kampung adat menurut UU desa nomor 6 tahun 2014 adalah pengakuan hukum adat
masyarakat sebagai subjek hukum dalam system pemerintahan, yaitu menetapkan unit social
masyarakat hokum adat seperti Nagari,Huta,Kampong,Mukim dll sebagai badan hukum
publik.

2.4 Ruang
Ruang merupakan elemen yang sangat penting dalam arsitektur. Secara harfiah, ruang
(space) berasal dari bahasa Latin, yaitu Spatium yang berarti ruangan atau luas (extent). Jika
dilihat dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai tempat (topos) atau lokasi (choros) yaitu
ruang yang memiliki ekspresi kualitas tiga dimensi.

Menurut Aristoteles, Ruang adalah suatu yang terukur dan terlihat, dibatasi oleh
kejelasan fisik, enclosure yang terlihat sehingga dapat dipahami keberadaanya dengan jelas
dan mudah. Dalam arsitektur, ruang terbagi menjadi ruang dalam (interior) dan ruang luar

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 10


(exterior). Ruang dimengerti sebagai sebuah wadah untuk melakukan suatu kegiatan tertentu
dan berguna dengan baik bagi para pelakunya (masyarakat), serta berfungsi dalam kaitannya
dengan kehidupan masyarakat tersebut.

Suparlan (1996) menyebutkan bahwa sebuah satuan tata ruang yang paling baku
yang selalu ada dalam kehidupan manusia di masyarakat manapun adalah rumah. Oleh
karena itu ruang menjadi satu kebutuhan pokok manusia dalam melakukan segala kegiatan
dan terlindung dari gangguan-gangguan lingkungan baik secara fisik maupun non fisik.

Hakekat ruang menjadi satu hal yang harus dimengerti dan dipahami sesuai dengan
fungsi dan penghuninya. Dengan demikian maka bagaimana ruang itu tercipta akan selalu
merupakan cerminan dari kondisi, setting dan waktu dimana ruang itu berada.

Konsep ruang dalam pandangan barat berasal dari dua konsep klasik yang bersumber
pada filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles, menyatakan bahwa ruang adalah
suatu medium dimana objek materiil berada, keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi objek
materiil tersebut (konsep position-relation). Konsep yang kedua dari Plato kemudian
dikembangkan oleh Newton yaitu konsep displacement-container yang melihat ruang sebagai
wadah yang tetap, jadi walaupun objek materiil yang ada didalamnya dapat disingkirkan atau
diganti namun wadah itu tetap ada (Munitz,1951).

Kedua konsep tersebut mendasari pandangan Barat yang melihat ruang dari dimensi
fisiknya yaitu suatu kesatuan yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi atau kedalaman,
dengan demikian ruang mempunyai sifat yang terukur dan pasti. Ini dipertegas oleh Descartes
dengan konsep Cartesian space yang memilah-milah ruang kedalam bentuk-bentuk
geometris seperti, kubus, bola, prisma, kerucut atau gabungan dari bentuk-bentuk geometris
tersebut (Van de Ven, 1978). Konsep ruang barat ini banyak sekali dipakai oleh para arsitek
masa kini. Nama ruang pada rumah tinggal modern mencerminkan secara jelas fungsi-
fungsi untuk pemenuhan kebutuhan fisik-biologis. Fungsi-fungsi yang mencerminkan
kebutuhan sosial dan ungkapan budaya kurang diperhatikan karena penataan ruang-ruang
tersebut lebih menekankan aspek ekonomis (efisiensi) dan teknis (Tjahjono,1989).

2.5 Struktur
Menurut (Harris, 2006), Struktur merupakan sebuah kombinasi unit yang dibangun
dan terhubung secara teratur untuk menciptakan kekakuan dari elemen-elemenya, sedangkan
konstruksi adalah proses pembangunan dari sebuah bangunan mulai dari pembersihan lahan

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 11


hingga pemasangan setiap komponen struktur. Menurut (Ching, 2008), Sistem struktural
sebuah bangunan dirancang dan dikonstruksikan untuk dapat menyokong dan menyalurkan
gaya gravitasi dan beban lateral ke tanah dengan aman tanpa melampaui beban yang
diizinkan atau yang dapat ditanggung oleh bagian-bagian sistem struktur itu sendiri.

Struktur dalam sebuah bangunan umumnya terbagi menjadi 3 yaitu, SubStruktur


yang meliputi bagian bawah bangunan (pondasi, sloof,dll), Supper-Struktur bagian tengah
bangunan (seperti kolom, balok,dll) dan Upper-Struktur yakni bagian atas dari bangunan
(seperti kuda-kuda,dll).

Brunskill (dalam Mentayani, 2012) mengemukakan bahwa Semua bangunan pada


umumnya memiliki strukturnya masing-masing termasuk bangunan vernakular. Bangunan
vernakular adalah sebuah bangunan yang didesain oleh amatir yang tidak memiliki
pengalaman membangun. Salah satu ciri arsitektur vernakular adalah menggunakan bahan
yang alami dan teknik konstruksi yang sederhana dengan cara menyusun tiang dan balok.
Penyatuan semua bagian bangunan dilakukan dengan cara membentuk dan menyambung
bagian kayu dengan beberapa alat khusus sederhana seperti kampak, gergaji, pahat, golok
(parang). Untuk kemudahan pemasangan, seringkali tiang dan balok disambung ditanah
sebelum diletakkan di atas batu pondasi. Penyusunan tiang dan balok pada prinsipnya tidak
menggunakan paku, tapi menggunakan sambungan lubang dengan pasak, sambungan paku
dan sambungan takik. Susunan tiang-tiang tersebut bersandar di atas batu pondasi dengan
stabilitas didapat dari rel-rel melintang yang masuk ke lubang yang dibuat didalam tiang.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 12


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Geografis


Kampung adat Jere merupakan sebuah kampung yang terletak dibawah kaki gunung
Inerie yang merupakan gunung berapi di desa Inerie, kecamatan Inerie, kabupaten
Ngada, Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.

Gambar 3.1.1 Peta Dasar Kampung Adat Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 13


3.1.1 Batas-batas kampung adat Jere

Batas- batas dari kampung adat Jere adalah sebagai berikut :


a. Batas utara kampung Jere tedapat gereja St. Familia
b. Batas selatan kampung Jere terdapat pohon pisang
c. Batas timur kampung Jere, yaitu jalan setapak
d. Batas barat kampung Jere terdapat pohon pisang dan kemiri

Gambar 3.1.1.1 Kondisi Batas Fisik dari Kampung Adat Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 14


3.1.2 Topografi
Kampung adat Jere terletak 200 m di atas permukan laut. Kampung ini
memiliki luas 6363 m2 . Kontur tanah pada perkampungan adat mencapai kemiringan
sekitar 8, yang dibagi menjadi 8 trap.
Kondisi tanah pada kampung adat Maghilewa sangat subur, berwarna hitam
serta memiliki kandungan pasir yang merupakan hasil dari letusan gunung api.

Gambar 3.1.2.1 Potongan Site Kampung Adat Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

3.1.3 Pembagian Ruang (Zoning Area)

Gambar 3.1.3.1 Penzoningan Ruang Luar


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 15


3.1.4 RumahTinggal

Gambar 3.1.4.1 Konfigurasi Letak Rumah Adat pada Kampung Adat Jere

Sumber :kelompoklansekapArsitekturVernakularUniversitas Nusa Cendana

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 16


Gambar 2.8. Jenis-Jenis Rumah

Sumber :kelompoklansekapArsitekturVernakularUniversitas Nusa Cendana

3.1.5 Pola Perkampungan


Kampung adat jere berkonfigurasi linear dengan sumbu timur laut dan
barat daya, dengan muka kampung menghadap timur laut. Rumah rumah
tersusun secara linear saling berhadapan dengan arah barat laut dan tenggara
menghadap ture (halaman). Pada ture terdapat ngadhu dan bhaga yang
dibangun menghadap muka kampung,

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 17


Gambar 3.1.5.1 Kondisi Pola Lansekap pada Kampung Adat Jere
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Gambar 3.1.5.2 Pola Linear pada Pemukiman Kampung Adat Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

3.1.6 Lingkungan Binaan

a. Aksesibilitas
Akses ke dalam kampung Jere

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 18


Gambar 3.1.6.1 Akses ke Dalam Perkampungan
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Keterangan :
: Jalan
: Main entrance
: Side entrance

Akses menuju kampung adat Jere terbagi atas 3, yaitu jalan utama dan
jalan alternatif. Jalan alternatif merupakan jalan yang digunakan pada saat-saat
khusus, seperti saat ritual adat atau uapacara khusus lainnya. Sedangkan jalan
utama merupakan jalan yang dipakain dalam keseharian hidup masyarakat.
Akses menuju ke perkampungan adat adalah menggunakan jalan yang terbuat
dari rabat dengan lebar jalan sekitar 2,5 meter dengan jarak sekitar 3 km.

Gambar 3.1.6.2 Akses ke Kampung Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 19


Gambar 3.1.6.3 Pencapaian Alternative Kedalam Kampung
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Gambar 3.1.6.4 Pencapaian Utama ke dalam Kampung


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Antara trap di dalam kampung dibuat jalur khusus berupa tangga dari
bebatuan ataupun tanah yang dibuat menyerupai tangga sehingga dapat
dipijaki. Setiap trap dilapisi dengan bebatuan yang bertujuan menahan tanah
agar tidak mudah longsor.

Gambar 3.1.6.5 Akses Antara Trap dalam Kampung Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 20


Gambar 3.1.6.6 Material Batu Sebagai Penahan Trap
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

b. Utilitas pada kampung adat Jere


- Listrik
Listrik pada perkampungan adat bersumber dari panel surya yang akan
berfungsi apabila cuaca pada perkampungan adat dalam keadaan baik.
Panel ini terletak pada kampung Maghilewa.

Gambar 3.1.6.7 Panel Surya Sebagai Sumber Listrik


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

- Air
Sumber air pada kampung adat Jere berasal dari mata air Wae Tena yang
berjarak 3 km dari bak penampungan

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 21


Gambar 3.1.6.8 Bak Air Sebagai Penampung Air
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

- Sampah
Pengelolaan sampah di desa ini masih bersifat tradisional yakni
dengan cara melubangi tanah sebagai tempat menampung sampah.

c. Vegetasi
Di sekeliling site terdapat beberapa jenis vegetasi diantaranya kemiri,
pisang, nanas, kelapa, kakao, jeruk, umbi-umbian, dan pohon kelor.
Vegetasi yang berupa pisang, nanas, jeruk, kakao, kelapa, umbi-umbian,
sengaja ditanam untuk memanfaatkan lahan kosong yang berada di
kampung adat. Sedangkan, vegetasi yang berupa kemiri tumbuh secara
alamiah. Untuk pohon kelor sendiri diwajibkan untuk ada pada setiap trap.
Hal ini dikarenakan, pohon kelor merupakan vegetasi yang digunakan
penduduk kampong adat untuk di konsumsi pada upacara adat dan dalam
konsumsi sehari-hari.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 22


Gambar 3.1.6.9 Letak Vegetasi pada Kampung Adat Jere
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

3.2 Sejarah Kampung Adat Jere


Orang Ngada umumnya percaya bahwa leluhur mereka yang pertama datang
adalah Oba & Ngana yakni 2 bersaudara bersama istri dan anak-anak mereka. Mereka
datang dengan perahu layar dan berlabuh di Lege Lapu dimuara sungai Waemokel
(sebuah daerah di Ngada). Mereka mula-mula menetap di Lege Lapu dan membagi-
bagikan tanah berbataskan pohon lontar (maghi padhi) dan barisan pandan pantai
(peda mera).
Para pakar mengatakan bahwa pendatang baru (Oba & Ngana) mula-mula
tinggal di Lege Lapu dan mengubah mata pencaharian mereka dari pelaut menjadi
petani. Tanah di Lege Lapu yang tidak cocok untuk bertani apalagi oleh
perkembangan penduduk yang cepat, menyebabkan tanah di lege Lapu menjadi
sempit dan tandus. Hal itu menyebabkan mereka berpindah dan menyebar, mencari
tanah-tanah pertanian yang subur untuk menetap. Sebagian pindah ke utara kearah
pedalaman, melalui Bela Gejo, Bei poso, lobobutu, wolo Ngadha, Soa. sebagiannya
kearah Riung, sebagianya ke arah Boawae, maupanggo dan yang lainnya kearah timur

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 23


dan daerah lainnya. Persebaran ini mengakibatkan adanya persamaan adat, bahasa dan
lain sebagainya.
Menurut pendapat para pakar kebudayaan, manusia-manusia pendatang baru
telah menyebar ke seluruh Ngada, berupa keluarga-keluarga kecil yang berada di
tempat-tempat subur. Tetapi keluarga-keluarga kecil itu berkembang dengan sangat
banyak sehingga kelompok-kelompok tersebut sulit diatur. Pada suatu masa,
kelompok tersebut terpecah lagi dan terpencar mencari tempat-tempat baru.
Seterusnya kelompok yang terpecah itu berkembang lagi dan terus menyebar
keseluruh Ngada.
Menurut para pakar kebudayaan, kelompok-kelompok yang terpisah-pisah itu merasa
senasib karna masih ada hubungan darah. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian
disebut woe . Woe berarti himpunan atau kelompok.
Sesuai perkembangan, kelompok/woe tersebut dapat diambil berdasarkan:
- Nama pemimpin atau pendiri dari woe tersebut
- Nama leluhur mereka yang sangat dihormati dan sangat berjasa
- Dapat diambil nama tempat pemukiman yang mula-mula nereka tempati
- Nama woe dapat diambil dari nama orang, nama benda, nama tumbuhan, atau
nama binatang yang dianggap keramat dan dihormati sesuai kepercayaan mereka.

Woe-woe ini berkembang dan meningkat jumlahnya karena sesuai perkembangan


penduduk, melalui proses yang lama, dimekar atau dipisahkan, atau membentuk woe
yang baru sesuai kesepakatan sehingga pada jaman ini pada etnis Ngadha terdapat
banyak woe.

Beberapa penyebab terjadinya woe:

a. Perkembangan jumlah manusia pada suatu keluarga dan memiliki harta kekayaan
yang berlimpah serta mempunyai seorang tokoh yang kuat dan berwibawa maka
timbul keinginan keluarga itu untuk mendirikan woe yang baru, terpisah dari woe
yang lama.
b. Terbentuknya kampung baru dan kampung baru tersebut sangat jauh dari
kampung asalnya dan penduduk didalam kampung baru itu makin lama makin
berkembang dengan memiliki lahan pertanian yang luas dan subur.
Perkembangan kampung baru, mula-mula berupa Bo atau Boa (=kampung
kecil). Ketika kampung itu menjadi ramai dan rumah-rumahnya menjadi banyak

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 24


maka dibentuklah kampung baru lengkap dengan rumah besar (rumah adat) dan
rumah-rumah kecil pendukungnya.
c. Adanya perselisihan sehingga terjadi perpecahan dan membentuk woe yang baru
d. Woe terbentuk karna terjadi perpindahan penduduk jauh dari woe asal, setelah
menetap lama ditempat yang baru.

Woe (suku) yang menetap dalam suatu daerah yang sama kemudian
bersepakat untuk membentuk suatu perkumpulan yang lebih besar yakni
kampung/desa.

Desa Jere (jere, artinya; rata) merupakan sebuah desa yang berada di bawah
kaki gunung Inerie. Desa ini didirikan oleh kakek Soba Nau, orang tertua dari salah
satu suku (woe) dalam desa yakni suku kemo (suku tertua). Desa ini ditempati oleh 4
suku (woe) yakni, kemo, turu, kutu, dan fugu. Suku kemo merupakan suku tertua
sedangkan suku kutu, turu & fugu merupakan suku-suku yang muncul setelahnya.Ke-
empat suku memiliki ikatan kekerabatan berdasarkan kesamaan darah (hubungan
genealogis). Setiap suku menganggap dirinya sama tanpa ada perbedaan terhadap
status atau semacamnya. Pandangan inilah yang melatarbelakangi desa dinamai jere
(arti; rata) .

Sebuah suku ditandai dengan adanya 1 Ngadhu (rumah pria) dan 1 Bhaga
(rumah perempuan).

Gambar 3.2.1 Ngadhu (kiri); Bhaga (kanan)


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana,
Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 25


3.3 Kebudayaan Kampung Adat Jere
Berikut ini merupakan unsur-unsur kebudayaan yang terdapat pada kampung adat Jere.

3.3.1 Sistem Religi

Pada zaman dahulu masyarakat Jere menganut kepercayaan


menyembah nenek moyang atau leluhur. Hal ini ditunjukkan dengan
pelaksanaan upacara-upacara adat sebagai bentuk penghormatan kepada
leluhur yang sampai saat ini masih dilaksanakan.
Agama Katolik masuk sebelum tahun 1919 ditandai dengan pembangunan
Gereja Katolik St. Familia pada tahun 1919. Pada saat yang bersamaan
dibangun juga sebuah sekolah dasar SDK St Familia.

3.3.2 Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan

Rata-rata penduduk Jere ialah rakyat jelata, sehingga tidak diterapkan


strata sosial /kasta dalam masyarakat. Penduduk jere menganut prinsip
matrilineal (suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ibu), dengan pembagian tugas :
Perempuan: menjaga ,mengatur setiap urusan dalam rumah
Laki-laki: memberi ijin terhadap suatu hal terkait urusan dalam rumah
Berikut bagan struktur organisasi kemasyarakatan kampung Jere

Gambar 3.3.2.1 Bagan Struktur Organisasi Kemasyarakatan


Kampung Adat Jere
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 26


Setiap suku dalam desa memiliki seorang kepala suku (tela one woe)
yang bertanggung jawab untuk mengatur urursan-urusan dalam sebuah suku.
Dibawah kepala suku terdapat kepala soma yang bertanggung jawab terkait
urusan-urusan dalam rumah, yang meliputi : urusan rumah tangga. Posisi
kepala soma diduduki oleh kepala keluarga rumah yang bersangkutan. Urusan
kesukuan meliputi merangkul seluruh anggota suku, melaksanakan pertemuan
atau kegiatan atau acara adat. Dalam masyarakat terdapat orang-orang yang
memiliki keahlian khusus dalam hal adat (dapat berkomunikasi dengan
leluhur) yang disebut ata tao kae.
Di dalam wilayah kesatuan adat Ngada terdapat pembagian golongan
masyarakat berdasarkan derajat yang biasanya disebut rang (kelas atau
tingkat). Di dalam pergaulan sehari-hari sangat keras dijaga antara rang atas
dan rang di bawahnya.
Pada masyarakat Jere tingkatan golongan ini hanya ada pada suku
Turu. Terdapat 3 golongan rang pada suku Turu, yakni :
- Gae, yakni orang rang atas yang tergolong masyarakat dengan derajat paling tinggi
atau dapat di samakan dengan kaum bangsawan walaupun ada perbedaan antara
orang gae dengan pengertian bangsawan pada umumnya.
Walaupun golongan itu kelihatan ada yang miskin dan tinggal di rumah yang
sederhana, tetapi derajat gae tetap melekat pada dirinya dan tetap dihormati terlebih
di dalam adat perkawinan. Dengan demikian dalam pergaulan sehari-hari orang yang
berstatus rang tengah dan rang bawah terlebih kaum pria harus menjaga jarak karena
bila terjadi pelanggaran maka resikonya besar.
- Gae kisa atau kuju, yakni orang rang tengah yang dalam kesehariannya disebut
sebagai orang kebanyakan. Golongan ini dapat disebut juga sebagai masyarakat
bebas dan yang paling besar jumlahnya.
- Soo atau Hoo, yakni orang rang bawah atau orang rang rendah yang dapat
disamakan dengan hamba. Terdapat pula dua macam sebutan bagi soo atau hoo,
yakni
Soo atau Hoo nee mori, yakni hamba yang mempunyai tuannya. Status golongan
ini benar-benar sebagai hamba yang hidup dan mengabdi pada tuannya. Orang-orang
pada golongan ini memiliki orang tua atau leluhur yang dulunya ditawan ketika
terjadi peperangan. Alasan lainnya adalah orang tua atau leluhur yang tidak sanggup
membayar hutang pada orang kaya. Untuk alasan ini hamba tersebut dapat bebas
apabila dapat membayar semua hutangnya.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 27


Ada pula hamba karena orang tua atau leluhurnya kedapatan mencuri, maka pemilik
barang dapat menjadikannya hamba. Soo dapat diperjualbelikan. Hamba yang dibeli
disebut soo ghae atau budak belian. Hamba yang mempunyai tuan disebut soo roro,
yakni hamba yang hanya pantas duduk di roro-wae (sudut tempat air minum dan
membantu menyorong kayu api ke dalam tungku api)
Soo atau Hoo mori bhaI, yakni hamba yang tidak mempunyai tuan. Mereka ini
bukanlah hamba yang sebenarnya dan dapat disebut sebagai orang rang bawah atau
masyarakat kelas bawah. Mereka memiliki rumah serta harta kekayaan sendiri dan
masih rapat hubungannya dengan anggota keluarganya yang lain.
Golongan ini ada karena orang tua atau leluhurnya dahulu telah melanggar adat
perkawinan, yakni melanggar adat perkawinan karena laki-laki rang tengah atau rang
bawah berselingkuh dengan perempuan gae. Pelanggaran ini disebut Laa Sala (jalan
di jalan bengkok ) atau disebut juga page leke (langkah yang bengkok) yang
maksudnya adalah bersalah karena melanggar adat perkawinan. Pelanggaran yang
kedua adalah pelanggaran adat perkawinan yang sangat memalukan, yakni
perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan yang sangat dekat hubungan
darahnya, seperti kakak-beradik yang masih sekandung atau sepupu dekat.

3.3.3 Sistem Pengetahuan


Sistem pengetahuan pada kampung adat Jere meliputi :
Cara pengukuran
Sistem satuan ukur yang dipakai dalam membuat rumah adalah
depa, yakni pengukuran dengan cara merentangkan kedua tangan, bukan
tangan semua orang tetapi tangan sang wanita pemilik rumah.
Cara membangun rumah
o Masyarakat desa menjunjung kekerabatan dalam bermasyarakat.
Gotong royong diterapkan demi terselesaikannya suatu pekerjaan
demikian pula ketika membangun rumah
o Jaman dahulu bahan bangunan untuk konstruksi rumah diangkut
menggunakan tali (leke), dimana tali diikatkan pada potongan kayu
untuk kemudian ditarik menggunakan tenaga manusia.
o Bahan bangunan yg digunakan ialah kayu (mangga, kelapa) dan
bamboo

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 28


Bangunan
- Ngadhu (rumah pria)
Fungsi:
Fungsi religius: simbol roh dari leluhur laki-laki yang namanya
dijadikan sebagai nama ngadhu merupakan perantara antara manusia
(anak/cucu) dengan dewa
Fungsi sosial: roh dari leluhur laki-laki yg namanya dijadikan sebagai
nama ngadhu merupakan pelindung & pemersatu semua anak & cucu
yang bernaung dibawah ngadhu tersebut.
Fungsi lain: tempat sembelih hewan untuk ritual. Di depan ngadu
ditancapkan batu tegak (peo) yang merupakan tempat mengikat hewan
yang kemudian ditarik menuju ngadhu.
Keterangan :

1. Akar ngadhu, bercabang 3 berada dalam


tanah

2. Susunan batu mengelilingi pangkal ngadhu


untuk memperkuat berdirinya ngadhu

3. Batang ngadhu berukir 3 sekmen

4. Singa ngadhu (telinga ngadhu)

5. Mata ngadhu dari kulit siput

6. Gubu ngadhu (atap berbentuk kerucut)

7. Mangu ngadhu (tiang tengan atap


ngadhu)

8. Orang-orang sambungan dari mangu


ngadhu berada diatas atap

9. Peo (batu tegak yang tertanam dibelkang


ngadhu)

Gambar 3.3.3.1 Ngadu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur
vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Tiang ngadhu terbuat dari batang pohon sebu/hebu yg memiliki tekstur


keras & tahan air

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 29


Tiang ngadhu diberi atap alang-alang berbentuk kerucut
Untuk memperkuat berdirinya batang ngadhu akar ngadhu dan batang
ngadhu dalam tanah dibungkus rapat dengan ijuk, hal ini mencegah
hancurnya pangkal ngadhu
Ukiran pada batang ngadhu terdiri atas 3 bagian/sekmen (nai telu)
sebagai simbol pakaian laki-laki terhormat yang terdiri atas 3 helai kain
yang dijahit bersambung. Tiap sekmen dibatasi oleh ukiran bergerigi
yg disebut riti (gerigi)

Gambar 3.3.3.1 Batang Ngadu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Pada ngadhu diikatkan kelapa. Kelapa ini diikat setelah selesai


pengerjaan ngadhu (menadakan ngadhu selesai dibuat) air & daging
buah kelap diminum oleh yg mengerjakan, sisanya diikat pada ngadhu

Gambar 3.3.3.2 Bagian Ngadhu yang Diikatkan Kelapa


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 30


Dibelakang ngadhu 3 atau 4 m ditanam sebuah batu tegak yg
dinamakan peo. Pada saat kerbau disembelih tali kerbau dimasukan
pada ujung atas batang ngadhu dan diteruskan pada peo. Peo perlu
ditopang dengan bambu agar tidak roboh. Berdasarkan kepercayaan
masyarakat setempat jika peo sampai roboh akan mendatangkan
kesialan dan bahkan bisa menimbulkan kematian bagi pemilik rumah
adat.

Gambar 3.3.3.3 Peo


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Bhaga (rumah perempuan)

Bhaga merupakan rumah adat yang berukuran kecil/mini dan


berdiri didepan ngadhu (berhadapan dengan ngadhu). Dinding bhaga
bagian depan setengah terbuka dan tidak mempunyai pintu. Sementara itu
bagian bawah bhaga diletakan batuan ceper sebagai tempat menaruh
sesajian.

Gambar 3.3.3.4 Bhaga


Sumber : Dokumetasi kelompok kerja arsitektur vernakular Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Bhaga memiliki beberapa fungsi, yakni :


Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 31
Fungsi Religius: sebagai simbol roh dari leluhur perempuan yg
namanya dijadikan sebagai nama bhaga merupakan perantara
antara manusia (anak,cucu) dengan dewa
Fungsi sosial: roh dari leluhur perempuan yg namanya dijadikan
sebagai nama bhaga merupakan pelindung semua anak & cucu
yang bernaung dibawah ngadhu tersebut.
Fungsi lainnya sebagai tempat penyembahan leluhur & sesajian
- Sao (rumah tinggal)

Sao berarti rumah/tempat tinggal. Selain sebagai bangunan tempat


tinggal sao merupakan suatu lembaga kekeluargaan sebagai satu bagian
yang bernaung dibawah satu ngadhu dan bhaga dibawah naungan 1 woe
(suku). Sebagai suatu struktur kekeluargaan sao memiliki tingkatan dari
yang lebih tinggi sampai pada tingkat yang lebih rendah;

1. Sao peka puu / sao saka puu

Secara harafiah sao berarti rumah, peka berarti letak/posisi.,


Puu berarti pangkal/pusat. Jadi Sao peka puu adalah rumah adat
/rumah besar yang statusnya sebagai induk/pangkal /pusat dari rumah
adat lainnya. Dalam hidup sehari-hari ia mengurus rumah tangganya
sendiri. Namun untuk urusan adat seperti tanah adat, ngadhu &
bhaga ketua dari Sao peka puu lah yang memimpinnya.

Dilihat dari bentuk fisiknya Sao peka puu memilki bentukan


yang sama dengan rumah adat lain yang membedakan ialah pada
puncak bubungan rumahnya ditempatkan sebuah rumah-rumahan
mini yang disebut Ana Ie. Ana Ie adalah simbol dari istri/ibu.
Demikian juga bagian paling dalam rumah adat lebih luas dari rumah
adat yang lain.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 32


Gambar 3.3.3.5 Ana Ie
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

2. Sao peka lobo / sao saka lobo

Secara harafiah sao berarti rumah, peka berarti letak/posisi,


lobo berarti ujung. Bangunan ini merupakan rumah adat yang
statusnya /posisinya berada diujung (lobo) sebagai lawan dari pangkal
(puu). Didalam urusan adat seperti tanah, ngadhu dan bhaga, ia
menduduki posisi kedua setelah Sao peka puu (sebagai wakil). Sao
peka puu dan Sao peka lobo merupakan simbol hubungan suami-
istri karna Sao peka puu adalah rumah dari bhaga (istri) dan Sao
peka lobo adalah rumah adat dari ngadhu (suami).

Dilihat dari bentuk fisiknya Sao peka lobo memilki bentukan


yang sama dengan rumah adat lain yang membedakan ialah pada
puncak bubungan rumahnya ditempatkan sebuah patung kayu
berbungkuskan ijuk yang disebut Ata yg berarti orang. Ata adalah
symbol dari suami/laki-laki. Selain itu bagian paling dalam rumah
adat lebih luas dari rumah adat yang lain.

Gambar 3.4.8 Ata


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 33


3. Sao wua ghao

Secara harafiah Sao berarti rumah, Wua berarti muat


(memuat), Ghao berarti menggendong/memangku. Jadi Sao wua
ghao adalah rumah adat yang berfungsi mendukung, merangkul /
memberikan dorongan/nasihat Selain itu Sao wua ghao bergungsi
sebagai pelerai terjadi perselisihan antara Sao peka puu dan Sao
peka lobo.

Sao wua ghao adalah rumah kepunyaan peo (leluhur laki2


yang hidupnya paling kurang 3 generasi sebekum ngadhu (leluhur
laki2 hidup). Peo berdiri tegak dibelakang ngadhu sebagai simbol
pelindung ngadhu sekaligus bhaga dan pelindung seluruh keturunan
yang bernaung di bawah ngadhu dan bhaga.

Dilihat dari bentuk fisiknya Sao wua ghao memilki bentukan


yang sama dengan rumah adat lain. Hal yg membedakan ialah pada
puncak bubungan rumahnya tidak ditempatkan ata (patung orang) &
ana ie (rumah mini).

Gambar 3.3.3.6 Sao Wua Ghao


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

4. Sao dai

Sao dai mempunya arti mendukung/mendampingi /membantu.


Sao Dai bertindak sebagai pendamping Sao peka puu dan Sao
peka lobo dalam urusan adat. Bentuk fisik dari Sao Dai tidak berbeda
dengan sao lainnya, yg berbeda ialah sao dai tidak mempunyai Ana

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 34


Ie (rumah mini) dan Ata (patung orang). Selain itu ukuran rumahnya
juga lebih kecil.

Gambar 3.3.3.7 Sao Dai


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

5. Sao kedhi

Sao kedhi atau sao keka artinya rumah kecil. Rumah ini
dibentuk dari bambu atau kayu bulat (Iie bodha) dindingnya dari
pelupuh bukan dari papan.

Gambar 3.3.3.8 Sao Kedhi atau Sao Keka


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

6. Keke uma dan keke tua

Pengetahuan lainnya, yakni terdapat rangkaian rahang hewan sembelihan


yang digantung dengan tali di bagian depan sao (rumah tinggal).
Rangkain tulang ini menandakan bahwa sao (rumah) bersangkutan
memiliki hutang hewan (babi/kerbau) sebanyak jumlah tulang yang ada.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 35


Gambar 3.3.3.9 Rahang Hewan Sembelihan
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

3.3.4 Sistem Mata Pencaharian Hidup

Mata pencaharian masyarakat Jere adalah berkebun. Hasil utama


perkebunannya berupa kelapa, kakao, pisang, kemiri, dan bengkuang.

Gambar 3.3.4.1 Perkebunan Jere : (Kiri-Kanan) Pisang, Kelapa, Cokelat


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Masyarakat Jere melakukan acara adat sebelum membuka kebun baru. Acara
adat ini dikenal dengan istilah keaea uma musi.

3.3.5 Sistem Teknologi dan Peralatan

Di dalam Sao Meze (rumah besar) setiap rumah adat kampung Jere
harus dilengkapi dengan benda-benda keramat sebagai simbol kehadiran Roh
leluhur sebagai pengantara antara manusia dengan dewa (Tuhan). Benda-
benda keramat itu adalah mataraga, sua uwi, kobho uwi, bokha uwi.

- Mataraga merupakan benda keramat yang terdiri dari dua bilah


papan yang sejajar yang dihubungkan dengan pasak atau baji,

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 36


yakni mistar dari papan agar kedua bilah papan yang berdiri tegak
lurus itu sejajar.

Gambar 3.3.5.1 Mataraga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Pada kedua papan tegak itu diukir sedemikian rupa sehingga


terdapat tiga buah takik bergerigi yang disebut rete, gerigi pada
rete atau takik itu disebut riti (gigi-gigi kecil). Mataraga tersebut
diletakkan pada dinding yakni pada papan besar yang paling tengah
(kedu) dari dinding paling dalam.

Gambar 3.3.5.2 Bagian-Bagian Mataraga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Keterangan gambar.
1.) dua bilah papan tegak yangsejajar yang dihubungkan pasak atau
baji
2.) lajasue atau lembing bercabang
3.) rete, semacam takik yang bergerigi (riti)
4.) sau kawa atau sau gae, parang pusaka atau parang keramat
5.) ehuja kawa atau gala gae (tombak atau lembing pusaka)

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 37


- Sua Uwi
Sua = tofa atau alat untuk menggali ubi atau untuk bekerja di
kebun
Uwi = ubi
Jadi, suwa uwi adalah tofa dari bambu untuk menggali ubi. Tofa
dari bamboo dibuat tajam untuk menggali ubi atau untuk bekerja di
kebun. Tetapi di dalam rumah adat sua uwi adalah tofa dari
bamboo, bersama kobho sea dan bhoka Uwi digantung disebelah
Mataraga, sebagai lambing kepemilikan tanah adat.

Gambar 3.3.5.2 Sua uwi


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Gambar 3.3.5.3 Sua uwi


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Keterangan.
1. Sua uwi
2. Kobho sea atau kobho uwi (tempat minum atau tempat makan
terbuat dari tempurung kelapa yang dilicinkan
3. Bhoka uwi adalah sejenis buah labu yang keras kulitnya.
Dahulu digunakan sebagai tempat penyimpanan bibit tanaman
seperti bibit kacang-kacangan, biji labu (lie besi),dll

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 38


4. Tali penghubung antara sua uwi, kobho uwi dan bhoka uwi
5. Bere kobho
- Kobho Uwi
Adalah sebuah tempat dari tempurung kelapa yang besar, yang
dibuat licin. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai
tempat tuak sebelum dibagi-bagikan ke setiap orang yang hadir.

Gambar 3.3.5.4 Kobho Uwi


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Bokha Uwi
Adalah sebuah jenis labu yang kulitnya keras. Bhoka yang besar
dapat dipergunakan untuk menyimpan bibit kacang-kacangan,
jewawut, dll.
Bhoka uwi adalah benda budaya yang keramat sebagai simbol
leluhur perempuan, yakni ketika masih hidup adalah istri dari
leluhur laki-laki, yang namanya diabadikan pada kobho uwi.
Selain benda-benda tersebut di atas terdapat beberapa benda keramat
lainnya, yakni :
- Senjata keramat
Bhuja kawa (tombak pusaka), gala gae (lembing keramat),
sau gae (parang keramat). Apabila diadakan upacara yang sesuai
atau untuk menari, senjata-senjata itu dapat dipergunakan. Tetapi
setiap harinya senjata itu disimpan melintang di mataraga atau
zeguraga atau fiI riti. Bhoka ulu artinya bhoka lambing tengkorak
musuh. Bhoka ini berbeda dengan bhoka uwi. Bhoka ulu
mempunyai jumlah yang sesuai dengan jumlah musuh yang
dibunuh oleh leluhur keluarga itu pada zaman perang dahulu.
Bhoka ulu selalu digantungkan diatas iru diatas dari para-para.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 39


- Perhiasan emas.
Emas dan perak disimpan oleh leluhur dengan upacara
suci.jadi benda itu dianggap keramat dan apabila sesekali harus
dikeluarkan dari tempatnya harus disertai upacara kecil, paling
kurang seekor ayam dibunuh untuk diadakan pau atau ria untuk
meminta restu leluhur

Dalam rumah adat terdapat beberapa perabot sebagai berikut.

- Kada, adalah sebuah tempat besar terbuat dari rotan atau dari kulit
batang bamboo, sebagai tempat menyimpan alat-alat makan yang
terbuat dari anyaman daun lontar atau dari daun pandan.

Gambar 3.3.5.5 Kada


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

o Wati /wati riti adalah tempat nasi (sebagai pengganti


piring). Pinggir atasnya bergerigi (riti)

Gambar 3.3.5.6 Wati


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

o Wati to : sama dengan wati tetapi pinggir atasnya tidak


bergerigi. Wati to mempunyai tutupan. Gunanya sebagai

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 40


tempat nasi untuk dibawa (to) sebagai sumbangan bagi
keluarga yang berpesta.
o Wati mini
o Kaladai adalah sebuah tempat mirip dengan wati to tetapi
ukurannya sedikit lebih kecil. Disebut pula Ana Monga
yang berfungsi sebagai tempat nasi untuk dibawa (to) ke
pesta sebagai sumbangan.

Gambar 3.3.5.7 Kaladai


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

o Sea tua : tempat yang terbuat dari tempurung kelapa dan


digunakan untuk minum moke.

Gambar 3.3.5.8 Sea Tua


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

o Bereoka : tempat untuk menyimpan siri pinang dan apabila


terjadi kematian maka tempat ini digunakan untuk
menyimpan beras.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 41


Gambar 3.3.5.9 Bereoka
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

o Sole : sama dengan wati to atau kaladai (Ana Monga) tetapi


ukurannya lebih besar dari kaladai fungsinya sama dengan
kaladai tetapi sole sering dibawa pada pesta yang lebih
besar.
o Bhodo : sama bentuknya dengan sole tapi ukurannya lebih
besar dari sole. Biasanya pada pesta-pesta besar,seperti
pesta rumah adat atau pesta ngadhu dan bhaga. Diatas
bhodo sering diletakan kepala babi dan dipikul oleh
pemuda-pemuda sambil menari disertai anggota keluarga
yang ikut menari pula. Bhodo diletakkan ditengah
kampung.
- Bere dawa, adalah tempat nasi berupa bere (anyaman dari daun
lontar atau daun pandan) yang tetap digantungkan di rumah induk.
Bere dawa ini berasal dari rumah-rumah pendukung atau sao Teke
sua. apabila ada pesta besar (pesta rumah adat,atau pesta ngadhu
dan bhaga), maka rumah-rumah pendukung dating mengambil bere
miriknya masing-masing kemudian bere itu diisi nasi yang
penuh,untuk dibawah ke rumah induk berpesta. Disebut bere dawa
karena bere itu digantungkan berderet (dawa) pada rumah adat.
- Kee,adalah semacam wati to,tetapi ukurannya sangat kecil
gunanya bukan untuk disumbangkan kepada yang berpesta
melainkan sebagai tempat nasi dan daging persembahan yang
diletakan dibawah mata raga/fii riti. Kee juga digunakan pada

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 42


waktu upacara kawin adat yang disebut rene. Nasi diisi penuh
hingga padat (rene : dipadatkan).

Gambar 3.3.5.10 Kee


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Pedho,adalah tempat yang bertutupan yag terbuat dari anyaman


daun lontar sebagai tempat menyimpan pakaian adat (pedho
lawo/pedho lue).

Peralatan yang digunakan dalam membangun rumah adalah sebagai


berikut.

1. Parang

Sebagai alat potong atau alat tebas (terutama selak belukar)


kala penggunanya keluar masuk hutan. Parang juga digunakan untuk
pertanian.

Gambar 3.3.5.11 Parang


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 43


2. Ijuk, sebagai alat pengikat bahan bangunan

Gambar 3.3.5.12 Ijuk


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

3. Gergaji, hamar, mistar, pemukul

Gambar 3.3.5.13 Gergaji, Hamar, Mistar, Pemukul


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Gergaji digunakan sebagai alat memotong kayu, hamar digunakan


sebagai alat pemukul paku, pahat digunakan sebagai alat memahat
kayu, mistar digunakan sebagai alat ukur bahan, alat pemukul
digunakan sebagai alat pemukul pahat.

3.3.6 Bahasa

Bahasa yang digunakan penduduk Jere dalam kesehariannya adalah bahasa


Bajawa. Bahasa ini juga digunakan pada saat upacara adat.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 44


3.3.7 Upacara-upacara adat

Masyarakat Jere memiliki beragam upacara adat yang dijabarkan sebagai


berikut.

1. Penerimaan dan pelepasan tamu


Masyarakat Jere melakukan upacara penerimaan dan pelepasan saat
kedatangan tamu. Upacara dilaksanakan di ruangan one dipimpin oleh
seorang juru adat (Ata Tau Kae) Jika jumlah tamu banyak, maka
perwakilannya diminta untuk bergabung di dalam ruang one sementara
tamu lainnya duduk di ruang teda one. Hal yang diperlukan pada upacara
ini adalah seekor ayam jantan, tuak (biasa disebut moke), dan nasi.
Upacara penerimaan dan pelepasan memiliki prosesi sebagai berikut.

- Setelah semua pihak yang terkait berkumpul di ruang one dan


selebihnya di ruang teda one, juru adat (Ata Tau Kae) memegang moke
dan mulai berbicara dalam bahasa adat (bahasa setempat, yakni bahasa
bajawa ). Sebelumnya juga telah disediakan nasi yang ditempatkan pada
beberapa wadah yang disebut wati. Moke yang telah didoakan kemudian
dibagikan kepada seluruh pengikut upacara di one maupun di teda one
dengan arah memutar ke kanan dan semua peserta upacara harus mendapat
bagian. Moke dibagikan oleh seseorang yang ditunjuk secara bebas.
Setelah minum, semua pengikut upacara dipersilahkan menikmati nasi
yang telah disiapkan. Pada acara pelepasan, makanan dibagikan oleh
seseorang yang ditunjuk.
-

Gambar 3.3.7.1 Moke dan Makanan yang Telah Siap Didoakan


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 45


Gambar 3.3.7.2 Makanan Untuk Leluhur Di Tempat Khusus (Kiri);
Pembagian Makanan Oleh Seorang yang Telah Ditunjuk (Kanan)
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Juru adat (Ata Tau Kae) memegang ayam yang telah disiapkan dan
kembali berbicara dalam bahasa adat. Ayam disembelih dan darahnya
ditempatkan pada sea tua yang telah disiapkan.

Gambar 3.3.7.3 Penyembelihan Ayam


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Pengolesan darah ayam pada beberapa bagian tertentu dari rumah adat
oleh mori sao, yakni keturunan laki-laki dari pemilik rumah adat yang
bersangkutan . Pengolesan ini harus dilakukan secara berurutan ke arah
kanan. Berikut ini merupakan area pengolesan darah ayam secara
berurutan.
Kedua bilah papan mataraga, kobho uwi, dan ketiga senjata pada
mataraga.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 46


Gambar 3.3.7.4 Pengolesan Darah Ayam Pada Mataraga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ke empat sudut rumah yang disebut bhisu.

Gambar 3.3.7.5 Pengolesan Darah Ayam Pada Bhisu (empat sudut


rumah)
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Para-para dan tungku

Gambar 3.3.7.6 Pengolesan Darah Ayam Pada Para-para dan


Tungku
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 47


Tolo pena

Gambar 3.3.7.7 Pengolesan Darah Ayam Pada Tolo Pena


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Watu Pali Wai

Gambar 3.3.7.8 Pengolesan Darah Ayam Pada Watu Pali Wai


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Watu mangu

Gambar 3.3.7.9 Pengolesan Darah Ayam Pada Watu mangu

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 48


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Ayam yang telah dipanggang disembelih untuk dilihat uratnya. Dari


tahapan ini dapat diketahui apakah kedatangan tamu di kampung Jere
diterima dengan baik atau tidak.

.
Gambar 3.3.7.10 Membaca Makna dari Urat Ayam
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

2. Pesta-pesta selama membangun rumah adat


Basa Mata Taka
Basa mata taka secara harafiah berarti membasahi mata kapak.
Arti secara luasnya adalah membasahi kapak dan alat tukang dengan
darah babi sebelum alat-alat itu dipergunakan sebagai alat menebang
kayu yang akan digunakan sebagai material rumah. Pohon yang telah
ditebang dibiarkan beberapa bulan agar kering sehingga dapat digergaji
untuk dijadikan balok dan papan sesuai kebutuhan.
Se Suna
Se suna disebut juga Gbhe puu kaju. Se suna berarti
membersihkan serbuk sesudah selesai digergaji. Gbhe puu kaju
berarti menutup pangkal pohon yang telah ditebang. Berdasarkan
kepercayaan, pokok bekas batang pohon yang telah ditebang untuk
bahan rumah tidak boleh tumbuh lagi sehingga harus ditutup dengan
serbuk dan daun-daun kering untuk dibakar.
Se suna atau gbhe puu kaju pada dasarnya merupakan syukuran
pada leluhur dan dewa karena pekerjaan penggergajian telah selesai.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 49


Hewan korban yang disembelih adalah seekor babi diiringi dengan
upacara ria ura ngana (doa sebelum babi disembelih).
Papan dan balok yang telah siap diangkut ke kampung oleh
pemuda dan pemudi kampung. Sesampainya di kampung semua pihak
yang terlibat dalam pengerjaan serta semua orang di kampung harus
diberi makan daging, nasi dan tuak sebagai ucapan terimakasih. Acara
ini disebut mege bue soga dan dapat juga disebut sebagai muku manu
yang berarti pisang/ayam sebagai simbol babi untuk memberi makan
pemuda dan pemudi.
Pengadaan tiang rumah adat
Sebuah rumah adat yang dibangun pada tempat yang rata dengan
kolong rumah rendah biayanya tidak mahal karena tiang rumah itu
terbuat dari batu yang disebut lke watu. Lke watu tidak diangkut dari
tempat yang jauh sehingga tidak perlu membutuhkan tenaga dan biaya.
Apabila di bangun pada tanah yang miring serta membutuhkan tiang
yang tinggi , maka rumah adat tersebut membutuhkan tiang kayu yang
berasal dari pohon juar (dalu) yang memiliki kayu yang sangat keras
yang sulit dimakan semut ataupun anai-anai.
Pohon juar adatu dalu biasanya tumbuh jauh dari kampung. Pada
zaman dahulu pohon juar yang telah dibersihkan dan dipahat
mendekati tiang rumah, dipikul beramai-ramai oleh masyarakat
kampung (dikenal dengan istilah bhei lke). Apabila di jalan yang lebar
dan rata, tiang rumah tersebut ditarik beramai-ramai yang disebut
ghoro lke.
Sebelum tiang rumah ditarik atau dipikul oleh masyarakat , tiang
tersebut terlebih dahulu dipikul dari hutan tempat penebangan menuju
jalan besar oleh laki-laki tanpa bersuara dan diusahakan agar tidak
dilihat oleh orang lain. Tiang-tiang yang dibawa ini dihiasi potongan
kain warna-warni. Kegiatan ini disebut bhagu lke.
Sehari sebelum tiang-tiang rumah adat dibawa dari hutan ke
kampung, perempuan-perempuan di dalam kampung menghias alu dan
lesung dengan potongan-potongan kain warna-warni dan beramai-
ramai menumbuk padi. Pada malam itu juga diadakan upacara kecil
yang disebut sero kipi, yakni satu tandan pisang dan satu batang tebu
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 50
lengkap dengan akar dan daunnya yang disandarkan pada dinding di
dalam rumah (one). Sero kipi disebut juga pei muku twu
(menyandarkan tandan pisang dan batang tebu).
Gere Ngia
Arti harafiahnya adalah membersihkan tempat. Sesuai arti itu,
tukang-tukang (lima pade) mengukur tempat yang telah diratakan,
yakni menentukan titik-titik sudut. Dan pada titik-titik sudut itulahakan
ditanam tiang-tiang rumah (lke). Dibuat pula hajat dengan upacara
pau ura ngana sebagai upacara mohon restu leluhur.
Titk-titik sudut itu ditentukan dengan alat yang disebut, suru nuba
yakni dua bilah bamboo yang sama panjangnya, diikat bersilang
ditengahnya. Kedua bilah bamboo yang diikat itu mempunyai jari-jari
yang sama panjangnya. Kemudian diletakan pada bidang yang menjadi
tempat rumah itu.
Bila ujung-ujung bambu itu dihubung-hubungkan, maka terjadilah
sebuah segiempat sama sisi (bujur sangkar). Pada ujung bambu itulah
menjadi titik-tiik untuk ditanami tiang-tiang rumah itu.
Kage Lke
Adalah suatu hajat yang ada yang agak besar, yang dihadiri seluruh
kampung. Kage Lke adalah acara memulainya menanamkan tiang-
tiang rumah, pada titik-titik yang telah ditentukan. Acara ini diawali
dengan acara soka lke
Gose Wisu
Gose Wisu sebenarnya adalah menanamkan (menancapkan) tiang-
tiang sudut dalam (wisu). Jadi Gose Wisu adalah hajat untuk meminta
restu leluhur agar pemasangan tiang-tiang sudut itu berjalan lancar.
Seperti telah disebutkan diatas, ujung bagian bawah dari tiang
sudut dipahat lancip dan ditanam pada balok dasar (loki) (bagian yang
lancip itu disebut, lasu wisu). Bagian atasnya, dipahat kecil atau lancip
disesuaikan dengan lubang pada balok atas yang disebut, ngani.
Ketika ke-empat tiang sudut itu selesai dipasang pada loki dan
bagian atasnya pada ngani, (pada lubang yang tepat), maka badan
rumah adat tersebut dapat terikat kuat serta dapat berdiri tegak.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 51


Kobo Ube
Arti harafiah dari kata, kobo ube adalah memukuli atau merotani
papan. Tetapi yang sebenarnya adalah, upacara syukur karena
pemasangan papan pada rumah adat telah selesai. Pemasangan dinding
pada rumah adat, tidak mempergunakan paku, melainkan ujung bawah
papan dipahat agak kecil sesuai dengan sponing pada balok dasar yakni
pada loki. Ujung papan itu seakan tertanam kuat pada loki tersebut.
Demikian pula, ujung atas papan dibuat agak kecil sehingga dapat
dimasukkan ke dalam sponing pada balok atas yang disebut ngani.
Karena itu, papan-papan itu berdiri tegak dan rapat.
Gose tudhi atau bahasa tudhi
Arti lurusnya adalah menancapkan pisau atau membasahi pisau.
Tetapi sebenarnya adalah suatu hajat dan upacara syukur, karena tiang
Iru ( semacam loteng ) selesai dipasang.
Tudhi atau tiang Iru diukir yang baik sebagai symbol pelindung
barang-barang perhiasan emas yang tersimpan di Iru (loteng). Karena
itu, harus diadakan upacara syukur.
Paja wae
Paja wae artinya mengerjakan rangka atap. Sedangkan wae
adalah mengatapi rumah dengan alang-alang.
Untuk mengerjakan rangka atap dan atap alang-alang, melibatkan
seluruh kampung serta anggota keluarga yang tinggal di kampung lain.
Karena itu semua orang-orang itu harus diberi makan dagin, nasi dan
tuak yang banyak.
Penyediaan alang-alang, biasanya melibatkan seluruh kampung
yang disebut ke keri yakni semacam arisan alang-alang. Setiap
rumah baik rumah besar maupun rumah kecil, diundang makan ( yang
tidak hadir makan bagian dging dan nasi dibawa ke rumahnya), dan
ditentukan jumlah ikatan alang-alang yang harus disediakan oleh setiap
rumah.
Pada hari pengerjaan atap rumah adat, alang-alang yang terkumpul
di tengah kampung terlebih dahulu dibuat upacara khusus, sebelum
alang-alang itu dipergunakan. Yakni dua atau tiga orang pemiik rumah
berpakaian adat lengkap menari mengelilingi kumpulan alang-alang
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 52
itu sebanyak tiga putaran. Hal ini disebut, jai liko keri yang artinya
, menari mengitari alang-alang. Tarian itu didahului Sa Ngaza (teriakan
memuji) sebelum gong dan gendang dibunyikan.
Robo keri
Robo keri berarti memotong atau menggunting ujung alang-alang
pada sisi kiri dan kanan atap yang berarti merapikan atap sehingga
kelihatan indah. Arti yang lebih luas adalah memberi makan kepada
masyarakat kampung dan semua yang telah menyelesaikan pengatapan
rumah adat tersebut.
Pesta peresmian rumah adat
Pesta ini merupakan pesta besar yang diiringi tarian jai dan bunyi
gong dan gendang.

3. Ritual kelahiran
Pada masyarakat Bajawa secara umum kelahiran anak baik laki-
laki maupun perempuan adalah berkah dari leluhur. Karena itu
kelahiran anak selalu disyukuri dengan rangkaian upacara adat sebagai
berikut.
Geka naja, yakni upacara yang dilakukan sesaat setelah seorang
anak lahir yang ditandai dengan pemotongan tali pusar (poro puse)
dan pemberi nama (tame ngaza). Untuk pemberian nama biasanya
semua daftar nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut
sampai sang bayi bersin. Bersin diyakini sebagai tanda
kesepakatan dari bayi. Pemberian nama melalui cara ini penting
dilakukan. Jika tidak, nak tersebut tidak akan bertumbuh dengan
normal dan sehat. dalam hal ini, kecocokan nama dan orang sangat
menentukan masa depannya.
Tere azi, yakni penempatan ari-ari pada suatu tempat yang tinggi
(di atas pohon). Masyarakat Bajawa memandang ari-ari sebagai
kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik.
Awalnya ari-ari ditempatkan di dasar rumah pokok.
Lawi Azi, Lawi ana, atau tau, yakni upacara yang bertujuan
mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan
mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 53
babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak
dicukur yang dikenal dengan istilah koi ulu.

4. Ritual pernikahan
Pergaulan antara rang atas dan rang bawah sangat dijaga. Dalam
adat perkawinan seorang laki-laki rang bawah dilarang kawin dengan
seorang perempuan dari rang atas. Hal ini berhubungan dengan
kepercayaan di mana dewa akan marah dan leluhur akan mengirimkan
malapetaka terhadap kampung dari salah satu pihak yang melanggar
adat kawin. Malapetaka tersebut dapat berupa hujan yang tak pernah
berhenti (rute subhe), banjir dan tanah longsor. Ketika ada yang
dicurigai melanggar adat tersebut, dewa (nitu) akan mengumumkan
nama si pelanggar adat dari bukit yang terdekat. Sebenarnya yang
disebut dewa atau nitu tersebut adalah orang yang berasal dari rang
atas yang menyamar.

Berikut merupakan tahapan pernikahan pada kampung adat Jere :

- Peminangan laa tana, yakni upacara dimana pihak laki-laki


meminta persetujuan dari pihak wanita atau disebut sebagai acara
masuk minta.
- Peku Meku, yakni acara bertemunya kedua orang tua mempelai di
rumah keluarga wanita untuk membahas waktu pernikahan. Selain
itu dikenal istilah tua kele manu kapu yang berarti keluarga
mempelai pria harus membawa ayam, tuak, dan kelapa. Acara ini
dinamakan idi nio manu. Makna upacara ini adalah sebagai tanda
penghargaan dari pihak pria kepada pihak wanita. Pada upacara ini
juga pihak pria menanyakan terkait besarnya weli (belis) yang
harus dibawa. Belis biasanya berupa hewan besar, kerbau, dan
kuda. Sebagai balasan, pihak wanita menyiapkan kain dan ternak
kecil (babi, anjing, ayam, dan kambing). Weli dibayar sebelum
nikah dan nilainya ditentukan oleh orang tua pihak wanita.
- Idi ngawu, yakni acara pembayaran belis.
- Upacara pernikahan

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 54


5. Ritual kematian
Dalam masyarakat Jere dikenal 2 jenis kematian, yakni kematian
wajar (mou waku) dan kematian tidak wajar (golo).
Kematian wajar (Mou Waku) dibagi kedalam beberapa ritual, yaitu:
1) Pasa sua : ritual dimana sebuah kayu ditikam ditanah tempat jenazah
disemayamkan
2) pasa peti : ritual memasukan jenazah kedalam liang kubur
3) sewo bemu : ritual setelah jenazah dimasukan ke liang kubur
4) kai boko: ritual akhir/penutup
Kematian tidak wajar (Golo) adalah kematian yang disebabkan
karena hal-hal yang dianggap tidak wajar seperti bunuh diri dan
kecelakaan. Sementara kematian wajar (Mou Waku) adalah kematian
yang dianggap wajar, misalkan seseorang yang meninggal karena sakit.
Pada ritual kematian tidak wajar (Golo), jenazah tidak diizinkan
untuk dibaringkan di teda one. Jenazah dibaringkan di luar rumah
sepanjang berlangsungnya upacara adat hingga penguburan. Sementara
pada kematian wajar (Mou Waku), jenazah dibaringkan di teda one.

6. Upacara Reba
Reba merupakan upacara syukuran atas hasil panen dan merupakan
syukuran akhir tahun.
Tahap-tahap upacara adat reba adalah sebagai berikut:
Reba Lanu, yakni upacara pembukaan seluruh rangkaian reba yang
dilakukan pada tempat khusus yang terletak di luar kampung, yang
disebut Lanu. Tahap ini bertujuan menghormati leluhur masyarakat
di kampung.
Dheke Reba, yakni upacara yang dilaksanakan pada malam pertama
reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku dating ke rumah
pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang
disebut Ka Maki Reba.
Tarian Reba, yakni kegiatan menari missal sambil menyanyikan
lagu reba yang disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini
dilaksanakan pada siang hari setelah malam Dheke Reba dengan
peserta tarian berpakaian adat lengkap.
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 55
Doya Uwi, yakni acara arakan ubi yang dilaksanakan di kampung.
Sui Uwi, yakni upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-
masing suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan
dan pesan kepada anak cucu dan leluhur. Acara ini juga sekaligus
menutup seluruh rangkaian reba pada umumnya.

3.3.8. Kesenian

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari


ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia
menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga
perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni
patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni
suara, bangunan, kesusastraan, dan drama (Koentrajaningrat, 2002).

1. Tarian
Jai
tarian ini biasa dipraktekan pada saat : gale ngani (pengambilan
material untuk pembuatan rumah adat), wae (pemasangan atap alang-
alang), dan api maru (rumah selesai dibangun).
Teke sao
2. Alat musik
Gendang
Gong
3. Ukiran
Ukiran rantai emas (terdapat pada sao, bhaga & ngadhu)
Ukiran ini bermakna hidup manusia harus murni.

Gambar 3.3.8.1 Ukiran Rantai Emas


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 56


Ukiran sawa/naga (terdapat pada sao) sebagai simbol pahlawan

Gambar 3.3.8.2 Ukiran Sawa/Naga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ukiran ayam/manu (terdapat pada sao) sebagai lambang musyawarah


mufakat.

Gambar 3.3.8.3 Ukiran Ayam/Manu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

4. Pakaian adat untuk Wanita

Gambar 3.3.8.4 Pakaian adat untuk Wanita


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 57


3.4 Rumah Adat Kampung Jere
3.4.1 Ruang pada rumah adat Jere
Rumah sebagai satuan tata ruang yang paling baku yang selalu ada dalam
kehidupan manusia di masyarakat manapun, termasuk dalam kampung Jere,
mempunyai arti tersendiri yang banyak memiliki makna dan arti dalam arsitektur
vernakular yang patut untuk diteliti termasuk ruang-ruang yang berada di dalam dan
sekitarnya. Menurut Yosef Rawi dalam bukunya Kebudayaan Ngadha (hal. 67, 2007),
orang tua dahulu menamakan rumah adat itu sebagai Lawe Ine yang berarti rumah
adat itu diibaratkan sebagai selimut dari ibu, sebagai simbol kehangatan, simbol cinta
kasih atau simbol berkat dan perlindungan dari leluhur. Disebut demikian, karena sao
meza atau rumah besar, selain berfungsi sebagai bangunan untuk tempat tinggal
manusia dan sebagai simbol seluruh anggota keluarga besar, juga merupakan tempat
bersemayamnya dewa dan roh para leluhur. Sebagai contohnya adalah pada setiap
Sao Meze digantungkan pada dinding belakang benda-benda keramat yakni
Mataraga, Sua Uwi, Kobho dan Bheka Uwi sebagai simbol kehadiran leluhur laki-
laki dan leluhur perempuan.

Ruang luar dan ruang dalam pada sao meze (rumah besar) sendiri secara
keseluruhan terdiri dari beberapa bagian. Ruang luar terdiri dari LewuSao (bagian
kaki rumah), Ture Sao (halaman rumah, bagian paling depan rumah) sedangkan pada
bagian dalam rumah terdapat TedaMoa (balai-balai kecil, terletak didepan rumah),
Teda One (balai-balai besar, berada di bagian tengah), One (ruang ritual yang berada
paling belakang), Ghubu Sao (atap rumah) dan Tolo (bagian dalam atap rumah adat
yang digunakan sebagai tempat penyimpanan) dan tambahan 2 kamar tidur pada
beberapa rumah adat yang dibangun kemudian. Secara vetikal Sao Mese terdiri atas
beberapa bagian yaitu lewu sao atau bagian kaki , teda one, dan atap. Area ruang luar
atau exterior pada sao meze terdapat Ture Sao dan LewuSao

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 58


Berikut ini merupakan penzoningan ruang dalam pada sao meze.

Gambar 3.4.1.1 Zoning Ruang dalam Pada Rumah Adat Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Pada zona publik, terdapat dua ruang utama yaitu,


- Ture Sao
Ture sao secara harafiah berarti halaman rumah yang merupakan susunan
atau tumpukan batu-batu datar, yang disusun rapih didepan Sao Meze, dengan
posisi lebih tinggi dari tanah. Fungsinya adalah untuk menahan air atau banjir
ketika hujan sehingga air tidak masuk kedalam kolong rumah sehingga tidak
merusakan tiang rumah.

Gambar 3.4.1.2 Ture Sao


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Fungsi lainnya sebagai tempat meletakan Watu Pali Wai ,yakni sebuah
batu ceper, yang terletak tepat di tengah Ture Sao atau segaris lurus dengan pintu
masuk sao meze dan mataraga yang terletak di bagian paling dalam one. Watu
pali wai sendiri berfungsi sebagai tempat pijakan sebelum masuk ke dalam atau
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 59
ketika ingin keluar dari sao meze. Fungsinya sesuai kepercayaan adalah ketika
ada orang yang hendak masuk atau keluar dari sao meze harus menginjak watu
pali wai, sehingga Roh para leluhur yang bersemayam didalam rumah adat itu
dapat mengetahui anak dan cucunya atau tamu yang masuk ke dalam rumah itu.
Menurut kepercayaan watu pali wai harus diletakkan sehingga tidak terjadi
musibah bagi pemilik rumah tersebut. Demikian juga ketika hendak
mengumumkan pengumuman penting yang berhubungan dengan adat, maka
sebelum mengumumkannya ke seluruh kampung, salah satu kaki dari orang yang
mengumumkan pengumuman tersebut harus menginjak dahulu watu pali wai
dan ketika hendak melaksanakan doa sebelum membunuh babi (ria uru ngana)
orang tersebut harus menginjak kakinya pada batu watu pali wai, pada upacara
lain, apabila ada upacara penolak bala ketika sakit atau mati, untuk membuang
sisa-sisa upacara adat maka sebelum melangkah keluar maka kakinya harus
terlebih dahulu menginjak pada watu pali wai, Yosef Rawi (hal. 69, 2007).

Gambar 3.4.1.2 Watu Pali Wai


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Pada ture sao juga terdapat Watu Mangu. Watu mangu merupakan batu
lonjong atau pipih berukuran kecil dan biasanya terdiri dari dua atau tiga batu
yang didirikan di bagian sampng kiri dan kanan ture sao. Menurut kepercayaan
masyarakat Jere, batu ini merupakan simbol leluhur yang menjaga rumah
tersebut, sehingga pada setiap sao meze atau rumah besar selalu terdapat watu
mangu.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 60


Gambar 3.4.1.3 Watu Mangu
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

- Teda moa
Teda moa berarti balai-balai luar dengan lantai yang terbuat dari pelapuh
(bambu yang di belah dan dibuat membentang seperti sebuah tikar) dan terbuka
(tidak memiliki dinding) yang berfungsi sebagai tempat untuk duduk santai atau
untuk menonton pertunjukan, atraksi atau tari-tarian, juga pada waktu tertentu
berfungsi sebagai tempat menenun dan anyam-anyaman.

Gambar 3.4.1.4 Teda Moa


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Pada area semi publik terdapat Teda one, yakni balai-balai dalam atau
balai-balai tengah karena berada di antara teda moa yang berada paling depan
rumah dan one yang berada paling belakang dari rumah, teda one berfungsi
sebagai tempat untuk makan dan minum, tempat musyawara yang bersifat umum,
dan tempat tidur bagi anak laki-laki atau tamu laki-laki. Teda one merupakan
bagian rumah yang setengah terbuka karena dinding yang mengelilinginya hanya
setengah atau tidak tertutup secara menyeluruh.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 61


Gambar 3.4.1.5 Teda one
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Pada Teda one terdapat satu bagian yang disebut Tolo Pena atau Pena.
Tolo pena merupakan tempat duduk untuk kepala keluarga pada musyawarah
keluaraga yang bersifat resmi. Tolo pena memiliki posisi yang lebih tinggi dari
teda one, dan sejajar dengan tinggi one yang berada tepat didepan pene (pintu
rumah). Fungsinya sebagai tempat duduk dan sebagai tempat pijakan sebelum
masuk one (ruang ritual), juga sebagai tempat wati (tempat menyimpan sirih dan
pinang). Terdapat juga tahta, berupa papan berukiran.

Gambar 3.4.1.6 Tolo pena


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Pada area Privat terdapat ruang yang disebut One, yakni ruang inti dalam
Sao Meze (rumah besar) yang memiliki fungsi sebagai ruang ritual, tempat
mataraga (tempat penyimpanan pusaka), masak, dll. Bentuk pintu masuk menuju
one berbeda dari pintu pada umumnya. Pintu ini kecil dan dibuat pendek dengan
tinggi 1,5 m dengan maksud agar setiap orang yang memasuki one membungkuk
sebagai bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang yang berada di
mataraga.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 62


Pada One terdapat beberapa bagian yaitu Lapu, Kogo Kae/kae,
mataraga, Papa Bhoko, Tolo, dan Papa Lewa. Bagian-bagian tersebut memiliki
fungsinya masing-masing dalam menunjang Sao Mese yakni sebagai berikut.

Lapu
Lapu adalah tempat menempatkan tungku api untuk memasak, yang berfungsi
sebagai dapur. Lapu ini terdiri dari 4 balok tebah yang membentuk bujur sangkar yang
didalamnya berisi abu untuk menanam lika.Lika merupakan 3 batu tungku yang tidak
memiliki arti simbolis, tetapi batu yang paling dibelakang dilambangkan sebagai
peowatu (dipercaya sebagai batu kutukan).

Gambar 3.4.1.7 Lapu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Kogo kae/Kae
Kogo kae berada pada atas tungku api, terdiri dari 2 susun kae, kaekedhi
(berada dibawah, untuk meletakan irus setelah dipakai) dan kae meze (yang berada di
atas, sebagai tempat menyimpan kayu api).

Gambar 3.4.1.8 Kogo Kae


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 63


Mhataraga
Mataraga merupakan dua bilah papan sejajar yang bertakik tiga yang terletak pada
dindig paling dalam dari One.

Gambar 3.4.1.9 Mhataraga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Papa Bhoko
Papa Bhoko merupakan tempat duduk Ibu (terhormat) ketika memasak pada
upacara penting. Bagian ini merupakan bagian terpendek dari One, karena bagian ini
dibatasi dengan Lapu.

Tolo
Tolo merupakan balai-balai kecil pada ujung atas dinding bagian Ulu dan
bagian Wai. Diatas Mataraga (Ulu) dan diatas pintu (Wai). Bagian Ulu berfungsi
untuk menyimpan barang berharga, bagian Wai berfungsi untuk menyimpan tempat
makanan.

Gambar 3.4.1.9 Tolo


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 64


Papa Lewa
Bagian ini merupakan bagian panjang sisi dari One, yang membentang dari
RoroWae sampai Ulu (tempat yang paling dalam dari One dekat dinding belakang).
Bagian ini juga merupakan bagian yang biasanya menjadi tempat duduk laki-laki
umum dan laki-laki tamu pada saat upacara adat.

Gambar 3.4.1.10 Papa Lewa


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Pada kampung adat Jere terdapat beberapa tipe Sao meze, yakni sebagai berikut.
1) Sao meze dengan 1 one tanpa tambahan ruang
Pada umumnya bangunan rumah adat di Kampung Jere disebut lengkap jika
memiliki 1 Teda Moa, 1 Teda One, dan 1 One. Pada tipe rumah adat ini Teda Moa
merupakan area publik pada rumah adat karena merupakan balai-balai luar dari rumah
adat yang berfungsi sebagai tempat untuk duduk santai atau untuk menonton
pertunjukan, atraksi atau tari-tarian, juga pada waktu tertentu berfungsi sebagai tempat
menenun dan anyam-anyaman. Sedangkan teda one merupakan ruang transisi atau
ruang yang menghubungkan antara ruang luar ( teda one) dengan ruang dalam pada
rumah adat yaitu one. Teda one berfungsi sebagai tempat untuk makan dan minum,
tempat musyawarah yang bersifat umum, dan tempat tidur bagi anak laki-laki atau tamu
laki-laki, sedangkan one yaitu ruang privat. Pada tipe rumah adat ini one berfungsi
sebagai sebagai ruang ritual, tempat matharaga (tempat penyimpanan pusaka), masak,
dan sebagainya.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 65


Gambar 3.4.1.11 Sao Meze dengan 1 One Tanpa Tambahan Ruang
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

2) Sao Meze dengan 1 one dan tambahan 2 kamar tidur


Sao ini merupakan pengembangan dari sao meze yang standar, yaitu terdiri
dari 1 teda moa, 1 teda one, dan 1 one serta penambahan 2 kamar tidur. Kedua kamar
tidur tersebut dibuat berdasarkan kemauan pemiliknya, yang biasa digunakan sebagai
tempat tidur untuk tuan rumah dan tempat tidur untuk tamu. Pada tipe Sao di atas, teda
moa merupakan balai-balai luar dari rumah adat yang merupakan area publik dari
rumah adat, memiliki fungsi sebagai tempat untuk duduk santai atau untuk menonton
pertunjukan, atraksi atautari-tarian, juga pada waktu tertentu teda moa berfungsi
sebagai tempat menenun dan anyam-anyaman. Teda one merupakan ruang transisi dari
sao yang menghubungkan teda moa dengan one atau kamar tidur, dan juga One
dengan kamar tidur. Sedangkan one merupakan ruang inti dari sao yaitu ruang privat
yang berfungsi sebagai ruang ritual, tempat matharaga (tempat penyimpanan pusaka),
masak, dll.

Gambar 3.4.1.12 Sao Meze Dengan 1 One Dan Tambahan 2 Kamar Tidur
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 66


3) Sao Meze dengan 2 one tanpa kamar tidur
Rumah adat ini merupakan rumah adat dengan yang terdiri atas 1 teda moa, 1
teda one, dan 2 buad one. Pada tipe rumah adat ini teda one berperan sebagai ruang
publik dan merupakan balai-balai luar dari sao yang berfungsi sebagai tempat untuk
duduk santai atau untuk menonton pertunjukan, atraksi atau tari-tarian, juga pada waktu
tertentu berfungsi sebagai tempat menenun dan anyam-anyaman. Teda one merupakan
ruang transisi dari sao yang menghubungkan teda moa dengan 2 buah one yang berada
dalam rumah adat ini. Sedangkan 2 buah one ini merupakan ruang inti dari rumah adat
yang berfungsi sebagai ruang ritual, tempat matharaga (tempat penyimpanan pusaka),
masak, dan sebagainya. Tipe rumah adat ini memiliki 2 buah one dikerenakan material
bangunan yang sangat mahal untuk pembangunan rumah sehingga 2 buah keluarga
tinggal dalam satu atap.

Gambar 3.4.1.13 Sao Meze dengan 2 One Tanpa Kamar Tidur


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

One , merupakan ruang yang paling inti dan paling sakral dalam sao meze.
Dalam membangun sao meze, panjang one ditentukan dengan ukuran depa perempuan
dewasa yang empunya rumah, yaitu 1 depa ditambah 1 depa dengan jari telunjuk
terlipat menjepit bambu yang digunakan sebagai alat ukur. Tinggi one yaitu 2,5 m
dengan dasar sejajar dengan Tolo Pena. Dalam merancang Teda One ,luasannya
tergantung dari keinginan pemilik rumah.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 67


3.4.2. Struktur dan konstruksi rumah adat Jere
Penduduk Flores, menurut Koentjoroningrat (2002) mulai dari daerah Riung
ke timur menunjukkan ciri-ciri Melanesia, sedangkan orang-orang Manggarai lebih
banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun suku bangsa Lamaholot
berbeda dari yang lain-lain karena mereka terpengaruh unsur-unsur budaya lain, seperti
: Belanda dan Portugis. Keutamaan masyarakat Flores, yaitu percaya kepada wujud
tertinggi, keadilan dan kejujuran, adat, upacara ritual, dan mitos, rasa kesatuan, dan
berjiwa seni dan musikal. Rumah adat Jere merupakan salah satu rumah adat yang ada
dipulau Flores dengan karakteristiknya sendiri. Rumah adat kampumg jere terbuat dari
material sepertinya kayu,bambu,dan juga alang-alang,dengan denah segi empat dan
konstruksi bangunannya yang unik. Rumah adat kampung jere terdiri dari 3 jenis
bangunan utama yaitu sao saka puu ( yang melambangkan perempuan), sao saka
lobo ( yang melambangkan laki laki) dan sao ( rumah adat biasa ).

Gambar 3.4.2.1 Jenis-Jenis Rumah Adat


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Secara umum rumah adat dari setiap suku yang ada di kabupaten Ngada
terdiri dari dua rumah adat pokok yaitu sao saka puu dan sao saka lobo dan juga
terdapat dua tugu yang mewaliki setiap rumah adat tesebut yaitu bhaga dan ngadhu.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 68


Gambar 3.4.2.2 Rumah Adat dan Tugu
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

- Sao saka puu


Secara harafiah sao berarti rumah, tempat tinggal, saka berarti
letak,posisi,kedudukan,status, dan puu berarti pangkal, pokok,
asal, pusat. Sao saka puu adalah rumah adat atau rumah besar
yang statusnya atau kedudukannya sebagai induk atau pangkal,atau
pusat dari rumah adat.
- Sao saka lobo
Secara harafiah sao berarti rumah, tempat tinggal, saka berarti
letak, posisi, kedudukan, status, dan lobo berarti ujung. Sao saka
lobo adalah rumah adat yang satatusnya atau posisinya,seakan
akan berada di ujung ( lobo) sebagai lawan dari pangkal ( puu ).

Gambar 3.4.2.3 Denah 3d Rumah Adat Jere


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 69


Gambar 3.4.2.4 Tampak Depan (Kiri) dan Tampak Samping
(Kanan) Rumah Adat Jere
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

a) Sub Structure
Untuk bagian Sub-Struktur terdiri atas tiang pondasi (leke), batu alas (wa
leke), balok tenga, balok leda, dan lantai (naja).
Tiang pondasi (Leke)
Tiang pondasi (leke) berupa tiang yang berfungsi sebagai penopang
bangunan dan meneruskan beban dari bagian atas ke dalam tanah. Ditanam
dengan kedalaman 1.5 m di dalam tanah, dengan beralaskan seuah batu alas
berbentuk pipih yang disebut wa leke. Ketinggian tiang pondasi dari permukaan
tanah rata rata 1 m, ketinggian tiang dipengaruhi oleh kontur tanah. Material
asli yang digunakan sebagai pondasi adalah dari batu pegunungan, keterbatasan
material batu menjadi kendala dalam proses pembangunan sehingga
masyarakat beralih menggunakan material kayu dale, namun karena terlalu
sering menggunakan material kayu sebagai pengganti masyarakat kini
menggunakan material dari beton sebagai tiang pondasi dengan jenis pondasi
tiang pancang.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 70


Gambar 3.4.2.5 (A) Pondasi Batu, (B) Pondasi Beton, (C) Pondasi Kayu
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Batu Alas (Wa Leke)


Batu alas (we leke) berupa batu pipih yang berfungsi sebagai alas pondasi
dan juga sebagai telapak dari pondasi pancang, material yang digunakan
adalah batuan pegunungan. Masyarakat sekarang menggunakan beton
sebagai pengganti batu alas.

Gambar 3.4.2.6 Watu Alas


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Balok Tenga
Tenga adalah balok dasar dari balok yang kayunya keras dan kuat.
Tenga adalah balok dasar yang diletakan atau terbentang disepanjang leke.
Balok tenga merupakan balok yang berfungsi layaknya sloof yaitu sebagai
pengikat kolom sehingga menjadi kaku. Balok tenga juga berfungsi sebagai
penahan beban tarik. Material yang digunakan sebagai balok tenga yaitu
kayu dale.
Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 71
Gambar 3.4.2.7 Balok Tenga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016
Balok Leda
Balok leda merupakan balok yang berfungsi sebagai penahan pelat
lantai, jarak antar balok leda yaitu berjarak 19 cm dengan yang lain. Leda
merupakan kasau sebagai balai-balai pelupuh, jadi leha diletakan terentang
atau berbaris rapat. Beberapa leha tepat dibawah pintu masuk ke dalam
rumah inti (one), dibuat lebih panjang menganjur ke luar, sebagai alas pena
atau tolo pena (wadah kecil di depan pintu masuk).
Leda atau kasau yang lebih panjang dibawah pintu, disebut Sobhi Laja
(sobhi= sisir bambu ; laja = layar perahu). Disebut sobhi laja karena
beberapa ledha dibawah pintu, berbaris seperti jari-jari sisir bambu (sobhi),
sedangkan pena atau papan tebal yang diletakan diatas leda tersebut,
berbentuk seperti layar perahu.

Gambar 3.4.2.8 Led


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 72


Lantai (Naja)
Lantai (naja) disusun dari material bambu yang disusun berupa pelat
tipis. Pelat tipis ini didapatkan dari bambu (peri) yang dibelah menjadi 2
bagian, kemudian masing masing bagian dipipihkan dan dipasang di atas
Ledha dan berupa lantai tipis dengan tebal 3 cm.

Gambar 3.4.2.9 Lantai Peri (Lantai Bambu)


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

b) Supper Structure
Super struktur merupakan bagian bangunan yang berada di permukaan
tanah atau diatas pondasi yang menerima beban hidup secara langsung (Harris,
2006). Dalam rumah adat kampung Jere, yang termasuk bagian bagian super
struktur yaitu loki, wisu, pete, wa, dan ube.
Loki
Loki adalah 4 buah balok yang terletak di atas tenga. Loki menjadi
dasar dari badan rumah seluruhnya. Dengan kata lain, loki dan tenga
memikul seluruh badan rumah adat khususnya bagian rumah inti (one).
Pada setiap sudut atau pada persambungan ke empat balok dasar itu,
ditanam tiang-tiang sudut, yang disebut wisu.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 73


Gambar 3.4.2.10 Loki
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Wisu
Wisu berfungsi sebagai kolom utama dalam bangunan. Wisu
sebenarnya berarti sudut, arti sebenarnya adalah tiang sudut. Ujung wisu
bagian bawah dibuat kecil yang disesuaikan dengan lubang pada loki (balok
dasar), sehingga ujung wisu itu dapat tertanam didalam loki. Ujung wisu yang
dibuat kecil dinamakan lasi wisu. Demikian juga ujung atas wisu dibuat
sedemikian (dibuat kecil) sehingga dapat dimasukan ke dalam ujung ngani
(balok atas). Karena itu badan one dapat berdiri tegak, tanpa mempergunakan
baut dan paku.

Gambar 3.4.2.11 Wisu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Ngani
Ngani adalah balok atau papan tebal yang dipasang pada bagian atas
berlawanan dengan loki. Loki dan ngani dibuat sponning agar ujung wisu
dan ujung papan dinding dimasukan ke dalam sponing sehingga ujung
dinding seakan terikat kuat.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 74


Gambar 3.4.2.12 Ngani
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ube
Ube berfungsi sebagai dinding yang berupa papan yang disusun, dengan
jumlah 7 buah.

Gambar 3.4.2.13 Ube


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Poli lewa
Merupakan balok panjang yang terletak berdampingan dengan ngani,
tetapi poli lewa lebih panjang dan menganjur keluar sebagai dasar atap
bagian one sampai ke teda one (balai-balai dalam).

Gambar 3.4.2.14 Ube


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

c) Upper Structure
Upper structure atau bagian atas bangunan yang dikenal dengan istilah
atap merupakan bagian teratas bangunan yang dapat berbentuk perisai, pelana
maupun datar. Upper-structure rumah tinggal vernakular yang ideal
menurut Teddy Boen (1978), denah bangunan berbentuk sederhana dan

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 75


simetris, konstruksi atap menggunakan bahan material yang ringan, dinding-
dinding penyekat di dalam bangunan dibuat teratur dan simetris, adanya
kolom atau tiang-tiang yang saling terhubung dan terikat, balok pengkaku
bidang dinding tersambung dengan tiang, dan rangka kuda-kuda menempel
kuat pada kolom yang berfungsi sebagai tumpuan (Pynkyawati, 2014). Upper
Struktur pada rumah adat ini meliputi balok dhoi tenga, gebhe, tudhi, lado lewa,
soku dolu, soku paja, soku, nedu, dan lenga.
Balok Dhoi Tenga
Merupakan balok yang berfungsi untuk menopang tiang nok (lado lewa).

Gambar 3.4.2.15 Balok Dhoi Tenga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana,Juli 2016

Tudhi
Tudhi dalam bahasa Bajawa berarti pisau. Tetapi arti tudhi disini
adalah keempat tiang penopang dari iru. Tudhi ditanam pada setiap sudut
atap bagian bawah. Keempat tiang tersebut dihubungkan dengan balok kayu
atau papan tebal yang disebut ghebhe iru, artinya balok yang mengelilingi
iru sebagai dasar meletakan iru. Tudhi berjumlah 4 buah dan dipasang /
disambungkan pada balok ghebhe.

Gambar 3.4.2.16 Balok Tudhi


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 76


Tudhi sangat penting mempunyai simbol pelindung barang pusaka yang
tersimpan diatas iru. Karena itu tudhi atau tiang sudut dari iru diukir seperti
wajah manusia. Ketika dibuat tudhi dan dipasang di bawah iru diadakan
juga syukuran/hajatan yang disebut basa tudhi (membasahi tudhi dengan
darah babi), atau disebut pula gose tudhi yang berarti menancapkan atau
memasang tudhi sebelum dimulai membuat atap rumah.

Lado Lewa
Lado lewa merupakan tiang nok dalam sao (rumah adat). Lado lewa
disambungkan dengan balok dhoi tenga.

Gambar 3.4.2.17 Lado Lewa


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Soku Dolu
Soku dolu merupakan jurai luar pada rumah adat ini. Material yang
digunakan sebagai soku dolu yaitu adalah bambu (peri). Soku dolu
merupakan bambu ulat yang menghubungkan tiang nok dengan mirplat
yang merupakan rangka sudut atap rumah. Dengan kata lain, soku dolu
adalah bambu bambu bulat yang menunjukan ujung kedua kuda-kuda ke
setiap sudut atap bagian bawah.

Gambar 3.4.2.18 Soku Dolu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 77


Soku paja adalah bilah-bilah bambu yang berfungsi sebagai reng yang
dipasang melintang sebagai tempat untuk sangkutan alang-alang dalam
rumah adat, jarak antar reng yaitu 35 cm.

Gambar 3.4.2.19 Soku Paja


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Soku Boda
Soku boda adalah bambu bulat kecil yang dipasang berbaris dari mirplt
sampai ke kuda-kuda, berfungsi sebagai usuk dalam rumah adat ini dengan
pemasangan antar usuk yaitu 35 cm.

Gambar 3.4.2.20 Soku Boda


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Nedu
Nedu sebagai komponen tambahan dalam rumah adat, terletak pada
ujung bangunan. Nedu adalah atap alang-alang yang menutupi kuda-kuda
harus tebal dan rapi dan dikerjakan oleh laki-laki yang terampil dan
berpengalaman agar tidak bocor.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 78


Gambar 3.4.2.21 Nedu
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Lenga
Lenga berfungsi sebagai tritisan untuk air hujan, terletak pada bagian
depan bangunan. Berupa potongan bambu yang disusun secara bolak
balik. Lenga adalah atap rumah adat yang terbuat dari belahan bambu.

Gambar 3.4.2.22 Lenga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Zo
Zo adalah bambu bulat yang panjang, mengelilingi ke empat sisi atap
bagian bawah. Ia tergantung di bawah poli lewa dengan tali ijuk yang
dianyam rapi.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 79


Gambar 3.4.2.23 Zo
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

d) Ngadu
Ngadhu merupakan sebuah tiang bulat yang diukir, tiang itu biasanya
berasal dari batang pohon sepu atau hebu yang sangat keras. Untuk dijadikan
batang ngadhu, diambil terasnya yang keras dibagian dalam. Kayu tersebut
tahan air dan sulit dimakan rayap.

Gambar 3.4.2.24 Ngadu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Tiang yang berukir diberi atap alang-alang berbentuk kerucut. Batang


ngadhu ditanam pada wadah yang kuat didalam lubang yang dipadati oleh tanah
dan batu-batu. Bagian diatas tanah dikelilingi kota batu yang tersusun rapi untuk
memperkuat berdirinya batang ngadhu. Untuk memperkuat berdirinya ngadhu,
akar ngadhu dan batang ngadhu yang berada didalam tanah, dibungkus dengan
ijuk. Hal ini mencegah hancurnya hancurnya pangkal ngadhu karena lapuk.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 80


Bagian batang ngadhu yang berada didalam tanah memiliki tiga akar
bercabang yang fungsinya ketika ngadhu ditanam, dikubur pula seekor ayam
merah, seekor babi merah, dan seekor anjing merah diantara ketiga akar ngadhu
tersebut. Pada ujung atas batang, ngadhu dibawah rangka atap, ujung batangnya
bercabang dua sebagai dasar meletakan rangka atap. Dibawah cabang ngadhu
tersebut terdapat singa ngadhu berbentuk telinga terbuat dari papan kecil.
Sedangkan untuk mata (mata ngadhu) terbuat dari dua kulit siput atau dapat
juga dipakai pecahan keramik.
Sebagai alas untuk meletakan tiang atap, diikat dua papan tebal
bersilang seperti bertengger pada ujung atas batang ngadhu. Dan tepat diatas
batang ngadhu, ditanam sebatang bambu 9 ruas pada persilangan papan
tersebut. Batang bambu itu dibungkus dengan ijuk sehingga terlindung dari
rayap.
Pada ruas yang ke-7 yang merupakan ujung atas dari atap kelihatanya seperti
puncak kerucut, dari puncak kerucut dipasang kasau dengan rangka bilah-bilah
bamboo kemudian penutup atap menggunakan alang-alang. Dua ruas sisa dari
kesembilan ruas bambu dubungkus dengan ijuk menyerupai manusia yang
sedang memegang parang dan tombak.

e) Bhaga
Bhaga dilihat dari bentuk fisiknya memiliki bentuk seperti rumah adat
berukuran kecil. Bhaga berdiri didepan ngaadhu atau berhadapan dengan
ngadhu. Yang berbeda adalah dinding bhaga bagian depannya setengah terbuka.
Tidak mempunyai pintu. Tetapi pada zaman dahulu, bhaga dibuat agak besar,
sebesar pondok dan bagian depan dibuat pintu masuk sebagai layaknya sebuah
rumah tinggal. Layaknya ngadhu ketika bhaga dibangun diikuti dengan ritual
adat.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 81


Gambar 3.4.2.25 Bhaga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Bhaga tidak dapat dipisahkan dari ngadhu. Bhaga adalah simbol dari
leluhur perempuan yang dulu semasa hidupnya, adalah istri dari leluhur laki-laki
yang namanya diberikan kepada ngadhu. Dengan kata lain nama ngadhu dan
bhaga dahulu semasa hidupnya adalah sepasang suami istri yang suci, ternama
dan sukses (kaya).
Layaknya ngadhu, bhaga pun mempunyai dua fungsi yakni fungsi
religius dan fungsi sosial. Dengan demikian, dipercaya bahwa roh leluhur yang
namanya diberikan kepada bhaga berfungsi sebagai perantara antara anak dan
cucu (seluruh keturunan) dengan dewa dan nitu. Karena leluhur (ngadhu dan
bhaga) adalah leluhur asal dari semua keturunannya yang bernaung di bawah
ngadhu dan bhaga tersebut.
Bhaga sebagai simbol leluhur perempuan yang menjadi istri dari
leluhur laki-laki, pasti juga selalu mendapingi ngadhu di dalam melindungi dan
mengayomi semua anak dan cucu. Karena hal itu maka letak berdirinya bhaga
harus berhadapan dengan ngadhu dan juga harus berada ditengah kampung.
Dalam sistim perkawinan adat Ngada ada sebuah ungkapan yang berbunyi
susu tere kodo, da lalu dheke ngage ngo!. Yang memiliki arti yang betina,
telah berada didalam sangkar, yang jantan datang mengunjungi. Hal tersebut
berdampak pada pembangunan bhaga dan ngadhu dimana ngadhu diusung
dari luar kampung untuk didirikan di hadapan bhaga.
Ungkapan diatas sesuai dengan adat Ngada, sistem perkawinannya
adalah dii sao (kawin masuk) yakni perempuan (istri) tetap tinggal
dirumahnya, suami datang dan tinggal di rumah istri. Keluarga istrinyalah yang

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 82


menetapkan kebijaksanaan di dalam soal-soal adat. Anak perempuan mereka
yang menentukan garis keturunannya. Ngadhu dan bagha selalu dibangun
segaris menghadap muka kampung, dengan posisi ngadhu berada di depan
bhaga. Filosofinya adalah pria sebagai garis depan pertahanan pelindung
kampung dan pelindung wanita.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 83


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kampung adat Jere merupakan sebuah kampung yang terletak dibawah kaki gunung
Inerie yang merupakan gunung berapi di desa Inerie, kecamatan Inerie, kabupaten Ngada,
Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur. Di sebelah utara kampung adat ini berbatasan dengan
gereja Katolik St Familia, di sebelah selatan berbatasan dengan kebun pisang, sebelah timur
berbatasan dengan jalan setapak, dan sebelah barat berbatasan dengan kawasan pohon pisang
dan kemiri. Kampung adat Jere terletak 200 m di atas permukan laut dengan luas 6363 m2 .
Kontur tanah pada perkampungan adat mencapai kemiringan sekitar 8, yang dibagi menjadi
8 trap. Kondisi tanah pada kampung adat Maghilewa sangat subur, berwarna hitam serta
memiliki kandungan pasir yang merupakan hasil dari letusan gunung api.

Agama yang dianut oleh penduduk Jere adalah Katolik. Walaupun begitu, masyarakat
Jere tetap meyakini keberadaan roh nenek moyang/leluhur mereka yang ditunjukkan dengan
pelaksanaan berbagai upacara adat sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Rata-rata
penduduk Jere ialah rakyat jelata, sehingga tidak diterapkan strata sosial /kasta dalam
masyarakat. Penduduk jere menganut prinsip matrilineal (suatu adat masyarakat yang
mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu). Setiap suku dalam desa memiliki seorang
kepala suku (tela one woe) yang bertanggung jawab untuk mengatur urursan-urusan dalam
sebuah suku. Dibawah kepala suku terdapat kepala soma yang bertanggung jawab terkait
urursan-urusan dalam rumah, yang meliputi : urusan rumah tangga. Posisi kepala soma
diduduki oleh kepala keluarga rumah yang bersangkutan. Urusan kesukuan meliputi
merangkul seluruh anggota suku, melaksanakan pertemuan atau kegiatan atau acara adat.
Dalam masyarakat terdapat orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam hal adat
(dapat berkomunikasi dengan leluhur) yang disebut ata tao kae.

Pada masyarakat Jere pembagian golongan masyarakat hanya ada pada suku Turu
yang terdiri atas gae (rang paling tinggi), gae kisa (rang tengah atau biasa dikenal sebagai
orang kebanyakan), soo (hamba).

Sistem pengetahuan pada masyarakat Jere berupa satuan ukur depa yang dipakai
dalam pembangunan rumah. Zaman dahulu bahan bangunan untuk konstruksi rumah

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 84


diangkut menggunakan tali (leke), dimana tali diikatkan pada potongan kayu untuk kemudian
ditarik menggunakan tenaga manusia. Bahan bangunan yg digunakan ialah kayu (mangga,
kelapa) dan bambu. Terdapat rangkaian rahang hewan sembelihan yang digantung dengan tali
di bagian depan sao (rumah tinggal) yang menandakan bahwa sao (rumah) bersangkutan
memiliki hutang hewan (babi/kerbau) sebanyak jumlah tulang yang ada. Mata pencaharian
masyarakat Jere adalah berkebun.
Rumah adat kampung Jere terdiri dari 3 jenis bangunan utama yaitu sao saka puu (
yang melambangkan perempuan), sao saka lobo ( yang melambangkan laki laki) dan sao
( rumah adat biasa ). Untuk bagian Sub-Struktur terdiri atas tiang pondasi (leke), batu alas
(wa leke), balok tenga, balok leda, dan lantai (naja). Bagian super struktur rumah adat Jere
terdiri atas loki, wisu, pete, wa, dan ubei. Upper Struktur pada rumah adat ini meliputi balok
dhoi tenga, gebhe, tudhi, lado lewa, soku dolu, soku paja, soku, nedu, dan lenga. Selain
rumah adat terdapat pula ngadhu dan bhaga. Ngadhu merupakan tempat menyembelih
hewan ritual. Bhaga merupakan rumah adat yang berukuran kecil/mini dan berdiri didepan
ngadhu serta berfungsi sebagai tempat penyembahan leluhur dan sesajian.

4.2 Saran

Kampung adat Jere merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang perlu
dijaga dan dilestarikan keberadaanya oleh semua pihak. Untuk itu beberapa hal berikut
disarankan untuk dilakukan.

- Masyarakat dan pemerintah daerah harus tetap melakukan upaya pelestarian terhadap
rumah adat Jere dengan arsitekturnya. Pemerintah daerah harus aktif dalam mengajak
masyarakat untuk bekerjasama dalam upaya pelestarian ini.,
- Pola perkampungan tradisional kampung Jere yang masih ada sampai sekarang
hendaknya terus terpelihara. Kemajuan zaman diharapkan tidak mengikis apa yang
telah ada sehingga kedepannya dapat memberikan gambaran kepada generasi
mendatang tentang ruang hidup generasi terdahulu mereka.

Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 85


Arsitektur Vernakular Kampung Adat Jere| 86

You might also like