Professional Documents
Culture Documents
Abstract
The presence of madani society discourse in the Muslim world in the last
of 20th century and the beginning of 21st century has fulfilled the minimum of
the study of social philosophy in Islamic Philosophy. This phenomenon has brought
research questions: what is a madani society and what is its contribution to the
philosophy of education. Through a historical research, the data has collected
using documents and has analyzed using domain and reflective analysis. The research
has found that madani society is the opposite of barbaric and primitive society,
and not the opposite of religious society, responsible to build social order and
defend public interests, and based on some basic values: civility, respect of
differences, peaceful management of conflict and social control, autonomy and
self-regulating, and social solidarity. Based on such values, social relations in ‘madani
society’ are conducted by respecting the individual and communal rights, respecting
egalitarianism and improvement of human dignity, living together fully tolerant
and solid, respecting difference and managing peacefully conflict with dialogue,
without truth claim and discrimination, controlling public administration and
maintaining accountable government, and regulating transethnic public affairs with
autonomy and self-reliance through rules and conventions. Moreover, the discourse
contribution to the philosophy of education is that the nature of education is
transmiting basic Islamic values to the society members in order to develop as
Muslim civilized society who is also responsible to build an autonomous social
order and defend public interests, full of solidarity.
*
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. Ahmad Yani Tromol
Pos 1 Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, Surakarta 57102, Telp. +6271 717417, Faks: +6271 715448.
Abstrak
Kehadiran wacana ‘masyarakat madani’ di dunia Muslim pada akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21 telah mengisi kelangkaan kajian filsafat sosial dalam
Filsafat Islam. Fenomena ini mendorong suatu penelitian yang mempertanyakan
apa ‘masyarakat madani’ dan apa kontribusinya bagi filsafat pendidikan. Melalui
penelitian historis, data dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan dianalisis
dengan metode analisis domain dan metode reflektif. Penelitian menemukan
bahwa ‘masyarakat madani’ secara institusi adalah lawan dari masyarakat alami
(barbar dan primitif), bukan lawan masyarakat agama, yang bertanggungjawab
membangun tata sosial dan menjaga kepentingan umum, dan dibangun di atas
sekumpulan nilai-nilai dasar. Perangkat nilai dasar itu mencakup keadaban,
penghargaan terhadap perbedaan, manajemen konflik dan kontrol sosial secara
damai, otonomi dan kemandirian, serta solidaritas sosial. Karena itu, hubungan
sosial dalam ‘masyarakat madani’ dilakukan dengan mengakui hak-hak individu
dan komunal, menghargai persamaan manusia dan peningkatan martabatnya,
hidup berdampingan penuh toleransi dan solidaritas, menghargai perbedaan
dan mengelola konflik secara damai melalui dialog, tanpa klaim kebenaran dan
diskriminasi, mengawasi jalannya administrasi publik dan menjaga pemerintahan
yang akuntabel, serta mengatur urusan-urusan publik secara otonom dan mandiri,
melampaui batas-batas kesukuan melalui hukum tertulis dan konvensi. Kontribusi
wacana terhadap filsafat pendidikan adalah bahwa pendidikan itu pada hakikatnya
mewarisi nilai-nilai dasar Islam kepada warga masyarakat agar mereka ber-
kembang menjadi masyarakat Muslim yang beradab yang pada gilirannya
bertanggungjawab juga untuk membangun tata sosial yang otonom dan mandiri
dan menjaga kepentingan umum, penuh solidaritas sosial.
Pendahuluan
erbicara tentang filsafat, termasuk filsafat Islam, objek
1
Fu’ad Farid Isma‘il dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat
dan Islam), Terj. Didin Faqihudin, (Jogjakarta: IRCiSod, 2012), 52.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 25
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 27
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian historis dengan fokus pada
kajian teks sebagai sumber data.10 Data penelitian ini berupa panda-
ngan para filsuf dan ilmuwan Muslim tentang hakikat masyarakat
dengan fokus pada civil society atau masyarakat madani yang digali
dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal, dan artikel dalam web.
Dengan demikian, metode yang digunakan untuk pengumpulan
data dalam penelitian ini berupa dokumentasi.
Adapun para filsuf dan ilmuwan Muslim yang menjadi
sumber data yang terkait dengan pemikiran normatif dalam peneliti-
an ini adalah Abdulaziz Sachedina, al-Hassan ibn Talal, Abdul Majid
al-Ansari, Ahmad Syukr al-Subaihi, Mohammad Khatami, Akram
Dhiyauddin al-Umari, dan Asghar Ali Engineer.
8
Ahmad Baso, “Islam dan Civil Society di Indonesia: dari Konservatisme menuju
Kritik” dalam Tashwirul Afkar, No. 7, 2000, 18-19.
9
Kuntowjoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana bekerja
sama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2003), 191-
195.
Tiga Perspektif dalam Kajian Filsafat Sosial: Kasus Konsep Civil Society
Dari penelitian penulis terhadap perkembangan konsep civil
society, baik secara historis maupun kontemporer, yang ternyata ber-
sifat dinamis, ditemukan bahwa apapun konsep yang dirumuskan
mencakup tiga perspektif, yaitu perangkat nilai, hubungan sosial,
dan institusi.11 Civil society sebagai perangkat nilai dapat dilihat dari
kata kunci-kata kunci yang dikandung konsep, seperti kesukarelaan,
kewargaan, keswasembadaan, keswadayaan, keadaban, keterikatan
pada norma dan nilai, dan kemandirian (dari pasar dan negara).
Civil society sebagai institusi dapat dilihat pada bentuk konkret
civil society, atau Kardol menyebutnya agen civil society, seperti negara/
pemerintahan (Hobbes), lembaga perwakilan (Locke), kelompok
komersial, beradab (Moralis Skotlandia), kelas borjuis/korporasi
(Hegel, Marx), serikat pekerja (Marx, Gramsci), asosiasi sukarela
(Tocquivelle dan Parsons), dan lain-lain. Sedangkan civil society
sebagai hubungan sosial terlihat pada perumusannya sebagai ruang,
wilayah, atau bidang di mana individu berhubungan dengan masya-
rakat, seperti ruang publik yang terjadi di dalamnya kesadaran akan
kepentingan bersama, persamaan, keterbukaan, partisipasi, keadilan,
solidaritas sosial, dan penegakan rule of law.12
10
M. Abdul Fattah Santoso, “Respon Cendekiawan Muslim Indonesia terhadap
Gagasan Civil Society (1990-1999)”, disertasi tidak dipublikasikan, (Yogyakarta: Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2011), 81.
11
Ibid., 89.
Jurnal TSAQAFAH
Ḥ
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 29
ṣ ḥ Ṣ ḥ
Setelah dilakukan klasifikasi
ḥ terhadap data yang terkumpul,
maka pemikiran filsuf dan ilmuwan Muslim kontemporer tentang
hakikat masyarakat dengan fokus pada wacana masyarakatḌ madani
sebagai respon terhadap wacana global civil society dapat dipilah
menjadi dua kategori: visi normatif dan visi historis. Visi normatif
lebih merujuk kepada hasil refleksi filsuf dan ilmuwan Muslim
terhadap al-Quran, baik refleksi yang disertai argumentasi ayat-ayat
secara rinci, seperti dilakukan Abdulaziz Sachedina, al-Hassan ibn
Talal, Abdul Majid al-Ansari, dan Ahmad Syukr al-Subaihi, maupun
refleksi global tanpa argumentasi rincian ayat, seperti dilakukan
Mohammad Khatami. Adapun visi historis lebih merujuk pada hasil
refleksi filsuf dan ilmuwan muslim, seperti Akram iyauddin al-Umari
dan Asghar Ali Engineer, terhadap masyarakat madani yang dibangun
Nabi Muhammad SAW di Madinah melalui sebuah konstitusi yang
dikenal dengan Piagam Madinah.
12
Pesan Nabi Muhammad SAW pada khutbah wada’ (perpisahan):
ﰉ ﻋﻠﻰ ﺃﻋﺠـﻤﻰ ﻭﻻ ﺃﻻ ﻻ ﻓﻀﻞ ﻟﻌﺮ،ـﻜﻢ ﻭﺍﺣﺪ ﻭﺇ ﹼﻥ ﺃﺑﺎﻛﻢ ﻭﺍﺣﺪﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻻ ﺇ ﹼﻥ ﺭﺑ ﻳﺎ ﺃﻳ...
ﰉ ﻭﻻ ﻷﺣـﻤﺮﻋﻠﻰ ﺃﺳـﻮﺩ ﻭﻻ ﺃﺳـﻮﺩ ﻋﻠﻰ ﺃﺣـﻤﺮ ﺇﻻ ّ ﺑﺎﻟﺘــﻘﻮﻯ )ﺭﻭﺍﻩ ﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﺮ ﻟﻌﺠـﻤ
( ﺃﺣـﻤﺪ ﻋﻦ ﺃﰉ ﻧﻀﺮﺓ
13
Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (Oxford dan New
York: Oxford University Press, 2001), 81-82.
14
Ibid., 82-83.
15
Al-Hassan ibn Talal, “Documentation: Islam and Civil Society”, dalam Islam and
Christian-Muslim Relations, Vol. 8, No. 1, 1997, 100; `Abdul Majid al-Ansari, “Judhûr wa
Maz}ahir”, dalam http://www.balagh.com/islam/xn1c6btc.htm; dan Ahmad Syukr al-Subaihi,
Mustaqbal al-Mujtama` al-Madanî fî al-Alam al-`Arabî (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wahdah al-
`Arabiyah, 2000), 43-44.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 31
16
Al-Hassan ibn Talal, “Documentation”, 100.
17
Ahmad Syukr al-Subaihi, Mustaqbal al-Mujtama‘ al-Madanî, 45; dan ‘Abdul Majîd
al-Ansari, “Judhûr wa Maz}âhir”, http://www.balagh.com/islam/xn1c6btc.htm.
18
Al-Hassan bin Talal, “Documentation”, 100, 103.
19
‘Abdul Majid al-Ansari, “Judhûr wa Maz}âhir”, http://www.balagh.com/islam/
xn1c6btc.htm.
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ibid.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 33
27
Ibid.
28
Ibid., 3-4.
29
Ibid., 4.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 35
30
Akram Dhiyauddin al-‘Umari, Al-Mujtama‘ al-Madanî fî ‘Ahd al-Nubuwwah,
Khafâituhu wa tan“îmâtuhu al-Ûlâ, (Madinah: al-Majlis al-‘Ilmî li Ih}yâ al-Turâts al-Islâmî,
1983), 57-70, 72-80; Ahmad S. Moussalli, “Modern Islamic Fundamentalist Discources on
Civil Society, Pluralism and Democracy” dalam Augustus Richard Norton (Ed.), Civil
Society in the Middle East, Volume 1, (Leiden, New York dan Koln: E.J. Brill, 1995), 83; dan
al-Hasan ibn Talal, “Documentation”, 101.
konflik atau bahkan perang antar suku, dan semua orang dewasa
mengambil bagian mempertahankan kepentingan sukunya.
Hukum yang sesuai hanyalah qis}âs}, pembalasan yang setara.32
Gerakan Islam di Makkah mewarisi konteks masyarakat
semacam itu. Ketika Nabi dan para sahabatnya menerima per-
lakuan buruk yang tidak dapat ditolerir lagi, mereka pindah ke
Madinah (Yatsrib). Madinah juga merupakan masyarakat ke-
sukuan yang diatur oleh hukum masyarakat suku. Seperti
Makkah, di Madinah pun tidak ada negara, yang ada hanyalah
adat dan tradisi kesukuan. Dalam realitasnya, Madinah lebih
buruk daripada Makkah. Di Makkah perang antar suku tidak
sering terjadi, karena masyarakat berkembang ke arah masya-
rakat komersial dan kerja sama antar suku dalam perdagangan
lebih dibutuhkan. Sementara itu, Madinah—sebuah oasis—me-
rupakan masyarakat semi-agraris dan konflik antar suku sering
terjadi. Untuk tujuan mengakhiri konflik antar suku yang sering
terjadi itulah, orang-orang Madinah mengundang Nabi sebagai
arbitrator.33
Dengan demikian, Piagam Madinah merupakan satu bentuk
konstitusi pendahuluan bagi ‘negara’ Madinah yang melampaui
struktur kesukuan dan melintasi batas-batas kesukuan dalam
kerangka pengaturan urusan-urusan publik. Karena adanya pasal
dalam Piagam Madinah yang menyatakan bahwa bila Madinah
diserang oleh kekuatan luar maka semua warga Madinah harus
mempertahankannya secara bersama, maka untuk pertama kali
suatu konsep tentang ‘wilayah umum’ yang begitu penting bagi
suatu negara untuk dapat beroperasi mulai bergulir.34
b. Tata Sosial Masyarakat Muslim Pra-modern
Menurut al-Hassan ibn Talal, masyarakat Muslim pra-
modern ditata melalui suatu otoritas politik terpusat, memadukan
urusan temporal dan spiritual, yang legitimasinya diperoleh
melalui sumber-sumber keagamaan dan/atau penaklukan. Walau
demikian, ruang publik diisi langsung oleh berbagai asosiasi
kolektif, mencakup ulama, al-asyrâ (semacam kelas bangsawan,
31
Asghar Ali Engineer, “The Prophet’s Society of Madina” (http://www.islam21.net/
pages/ keyissues/key3-2htm), 1.
32
Ibid.
33
Ibid., 2.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 37
Zona 3 (Daerah
Pedalaman Jauh): Zona 2 (Daerah
Suku dan Petani, Pedalaman Dekat):
Otonom dari Suku dan Petani,
Otoritas Politik Otonom dari Otoritas
Politik
34
Al-Hassan bin Talal, “Documentation”, 101; Cf. Ahmad Syukr al-Subaihî, Mustaqbal
al-Mujtama` al-Madanî, 51.
35
Saad Eddin Ibrahim, “The Troubled Triangle: Populism, Islam and Civil Society in
the Arab World” dalam Bryan S. Turner (ed.), Islam: Critical Concepts in Sociology, Vol. II,
(London and New York: Routledge, 2003), 220.
36
Al-Hassan ibn Talal, “Documentation”, 101; Cf. Sa`ad al-Din Ibrahim, Al-Mujtama`
al-Madanî wa al-Tah}awwu al-Dimuqrât}î fî al-Wat}an al-`Arabî, (Kairo: Dâr Qubâ’, 2000), 19-
21. Ia lebih senang menggunakan kata ‘Arab’ daripada kata ‘Muslim’ dalam menjelaskan tata
sosial masyarakat Muslim pra-modern. Asosiasi-asosiasi kolektif yang otonom pada
masyarakat Muslim pra-modern ini diakui juga oleh pengamat Islam Barat, seperti John L.
Esposito dalam Esposito, John L. dan John O. Voll, Islam and Democracy, (New York:
Oxford University Press, 1996), 70.
37
Ahmad S. Moussalli, “Modern Islamic Fundamentalist Discources”, 84.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 39
38
Masoud Kamali, “Civil Society and Islam: A Sociological Perspective” dalam
Bryan S. Turner (ed.), Islam: Critical Concepts in Sociology, Vol. II (London dan New York:
Routledge, 2003), 97.
39
Ahmad S. Moussalli, “Modern Islamic Fundamentalist Discources”, 84-85.
40
Imad-ad-Dean Ahmad, “Building Muslim Civil Society from the Bottom Up”,
makalah disajikan dalam pertemuan the American Muslim Social Scientists di Georgetown
University, Washington, DC, 13-15 Oktober 2000 (http://www. minaret.org/civil society.
htm.).
41
Masoud Kamali, “Civil Society and Islam”, 96, 98-99.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 41
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 43
Penutup
Begitulah pergantian dari abad ke-20 (1900-an) ke abad ke-21
(2000-an) telah menorehkan sisi historisnya pada perkembangan
filsafat sosial dalam Filsafat Islam kontemporer melalui wacana
‘masyarakat madani’ sebagai respons terhadap wacana global tentang
civil society. Di tengah teori dan praktik tentang hakikat pendidikan
yang kehilangan perspektif sosiologis atau filsafat sosialnya, dan di
tengah perubahan situasi politik di banyak negara Muslim,
khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Irak, Yaman,
Syria, Mesir, Tunisia, Libia, dan Aljazair, yang penuh konflik, maka
deskripsi tentang wacana ‘masyarakat madani’ mendapatkan
urgensinya. []
Daftar Pustaka
Ahmad, Imad-ad-Dean. “Building Muslim Civil Society from the
Bottom Up”, makalah disajikan dalam pertemuan the American
Muslim Social Scientists di Georgetown University. Washing-
ton, DC. 13-15 Oktober 2000. Dalam http://www.minaret.org/
civil society.htm.
al-Ansari, ‘Abdul Majid. 2000. “Judhûru wa maz}âhiru al-Mujtama‘
al-Madanî fi al-Fikr wa al-Mujtama‘ al-Islâmî” dalam http://
www.balagh.com/islam/xn1c6btc.htm.
Baso, Ahmad. 2000. “Islam dan Civil Society di Indonesia: dari
Konservatisme menuju Kritik” dalam Tashwirul Afkar. No. 7.
Engineer, Asghar Ali. t.t. “The Prophet’s Society of Madina” dalam
http://www. islam21.net/ pages/keyissues/key3-2htm.
Esposito, John L. dan John O. Voll. 1996. Islam and Democracy. New
York: Oxford University Press.
Hussain, Muzaffar. 1982. “The Key Point in Iqbal’s Educational
Philosophy” dalam http://www. allamaiqbal.com/publications/
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Sosial dalam Filsafat Islam Kontemporer 45
journals/review/oct82/5.htm.
Ibrahim, Saad Eddin. 2003. “The Troubled Triangle: Populism, Islam
and Civil Society in the Arab World” dalam Bryan S. Turner
(ed.), Islam: Critical Concepts in Sociology. Vol. I. London dan
New York: Routledge.
Ibrahim, Sa‘ad al-Din. 2000. Al-Mujtama‘ al-Madanî wa al-Tah}awwu
al-Dimuqrât}î fî al-Wat}an al-‘Arabî. Kairo: Dâr Qubâ’.
Isma‘il, Fu’ad Farid dan Abdul Hamid Mutawalli. 2012. Cara Mudah
Belajar Filsafat (Barat dan Islam). Terj. Didin Faqihudin.
Jogjakarta: IRCiSod.
Kamali, Masoud. 2003. “Civil Society and Islam: A Sociological
Perspective” dalam Bryan S. Turner (ed.), Islam: Critical
Concepts in Sociology. Vol. II. London dan New York: Routledge.
Khatami, Seyyed Mohammad. “The Islamic World and Modern
Challenges,” makalah dalam Sidang Ke-8 Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Islam. Teheran. 9 Desember 1997. dalam http://
www.al-islam.org/ civilsociety /5.htm.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. 2003. Yogyakarta: Tiara Wacana
bekerja sama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada. Edisi Kedua.
Moussalli, Ahmad S. 1995. “Modern Islamic Fundamentalist Discources
on Civil Society, Pluralism and Democracy” dalam Augustus
Richard Norton (ed.), Civil Society in the Middle East, Volume 1.
Leiden, New York dan Koln: E.J. Brill. 79-119.
Nasr, Seyyed Hossein. 1987. Traditional Islam in the Modern World.
Kuala Lumpur: Foundation for Traditional Studies.
Al-Naqib, ‘Abd al-Rahman. 2000. “Avicenna” dalam Prospects: the
Quarterly Review of Comparative Education, vol. XXIII, no. 1/2.
Paris, UNESCO: International Bureau of Education.
Sachedina, Abdulaziz. 2001. The Islamic Roots of Democratic Pluralism.
Oxford dan New York: Oxford University Press.
Santoso, M.A. Fattah. 2011. “Respon Cendekiawan Muslim
Indonesia terhadap Gagasan Civil Society (1990-1999)”, Disertasi
tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga.
Jurnal TSAQAFAH