You are on page 1of 20

KONSEP CIVIL SOCIETY NURCHOLISH MADJID

DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI MASYARAKAT


INDONESIA KONTEMPORER

Nur Fazillah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
nurfazilla28@yahoo.co.id

Abstract
Civil society is the political ideals of Islam, that is to create a civilized
society and independent. This study as a purpose to determine the relevance of the
concept civil society Nurcholish Madjid and condition of Indonesian society
contemporary.
The result of this research indicates that concept of civil society
Nurcholish is a virtuous society or public morality (civilized society). There are
three formulas civil society of Nurcholish, that is: democracy, civil society (civil
society), and civility (civility). Civil society of Nurcholish has characteristics:
egalitarianism, openness, rule of law and justice, tolerance and diversity, as well
as the deliberations. Rationale Nurcholish on civil society, that is: the Koran and
the Hadith, the classical Islamic history (time of the Prophet), the principle of
democracy, and the figures that influence it. By paying attention to the potential of
the Indonesian people, especially the noble values derived from religious
teachings, and given the Indonesian society is a religious, then according to
Nurcholish Indonesian people have all the equipment and the potential to enforce
the civil society (civil society). Idea of Nurcholish to realize civil society in
Indonesia is very relevant to Indonesia today, because civil society is the concept
of democracy, pluralism, freedom, tolerance, the principle of consultation,
egalitarian, and openness, as well as applying the principle of fairness. Ideals of
Nurcholish for Indonesia is a democratic process, because democracy is the home
for civil society. Nurcholish aspires open democratic process monitoring and
balancing dynamics (check and balance) community.

Keywords: Nurcholish Madjid, civil society, democracy, egalitarian, and


tolerance.

Abstrak
Masyarakat madani (civil society) merupakan cita-cita dari politik Islam,
yaitu untuk menciptakan masyarakat yang berperadaban dan mandiri. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui relevansi konsep Nurcholish Madjid tentang civil
society dengan kondisi masyarakat Indonesia kontemporer.
Konsep civil society menurut Nurcholish yaitu masyarakat yang berbudi
luhur atau masyarakat berakhlak mulia (masyarakat berperadaban). Ada tiga
rumusan masyarakat madani menurut Nurcholish, yaitu: demokrasi, masyarakat
madani (civil society), dan civility (keadaban). Masyarakat madani menurut
Nurcholish mempunyai ciri-ciri: egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum
dan keadilan, toleransi dan kemajemukan, serta musyawarah. Landasan pemikiran
Nurcholish tentang civil society yaitu: Alquran dan Hadis, sejarah Islam klasik
(masa Nabi Saw), prinsip demokrasi, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya.
207 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

Dengan memperhatikan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, terutama


nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, dan mengingat masyarakat
Indonesia adalah masyarakat religius, maka menurut Nurcholish bangsa Indonesia
memiliki semua perlengkapan dan potensi untuk menegakkan masyarakat madani
(civil society). Gagasan Nurcholish untuk mewujudkan adanya masyarakat madani
di Indonesia dianggap sangat relevan untuk Indonesia sekarang, karena
masyarakat madani adalah konsep mengenai demokrasi, pluralisme, kebebasan
manusia, toleransi, prinsip musyawarah, egaliter, dan keterbukaan, serta
menerapkan prinsip keadilan. Cita-cita Nurcholish bagi Indonesia adalah proses
demokrasi, karena demokrasi merupakan rumah bagi masyarakat madani.
Nurcholish mencita-citakan proses demokrasi yang membuka dinamika
pengawasan dan penyeimbangan (chek and balance) masyarakat.

Kata Kunci: Nurcholish Madjid, civil society, demokrasi, egalitarianisme, dan


toleransi.

Pendahuluan
Islam mencita-citakan terciptanya masyarakat ideal, yaitu masyarakat
Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr (negerimu adalah negeri yang baik, dan
Tuhanmu adalah Tuhan maha pengampun).1 Untuk mencapai masyarakat yang
dicita-citakan itu, maka harus disusun rangkaian pola yang bertendensi dan
berdimensi umat yang satu dan umat yang bertakwa. Masyarakat yang dicitakan
oleh Islam sebagai masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr ialah
karena masyarakat tersebut dibangun dan dibina oleh dan dalam struktur yang
berpolakan hukum-hukum Allah Swt. dengan Alquran dan Sunnah sebagai
sumbernya. Masyarakat Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr bercirikan antara
lain: umat yang satu, tegaknya musyawarah dalam berbagai urusan, tegaknya
keadilan, tumbuhnya persatuan dan kejama’ahan, adanya kepemimpinan yang
berwibawa dan taat kepada Allah Swt. dan tidak saling menghina antara sesama.2
(lihat Q.S. Al-Baqarah: 213)
Namun pada kenyataannya, yang terjadi dalam masyarakat modern di
Indonesia adalah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan dicita-citakan
Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan, egaliter,
musyawarah, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang
sering didapati di Indonesia sekarang, yaitu: adanya ketidak harmonisan antar
sesama masyarakat, antara satu golongan atau aliran saling menjelek-jelekkan,
saling bermusuhan, pelecehan terhadap agama, dan bahkan sering dijumpai sikap
arogansi dari penguasa terhadap masyarakat, dan juga sebaliknya. Seharusnya,
Indonesia dapat menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat paling ideal di
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 208

dunia, karena Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama


Islam, jadi sudah sepantasnya Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai, prinsip-
prinsip, maupun ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiadaan tatanan sosial politik yang mapan di Indonesia dapat
menghancurkan kehidupan berbangsa, demokrasi, serta menghilangkan keadilan
dan kemerdekaan, tidak ada lagi yang namanya persamaan hak asasi manusia, dan
juga keselamatan jiwa manusia tidak terjamin di Indonesia. Ketiadaan yang
seperti demikian telah menjadi pengalaman perjalanan sejarah bangsa selama
lebih dari setengah abad di Indonesia. Karena itu, upaya penataan kembali sistem
kehidupan secara mendasar perlu dilakukan dengan mencari rumusan baru yang
diharapkan dapat menjamin akan tegaknya demokrasi, adanya keadilan, HAM
ditegakkan, dan juga adanya sikap toleransi dikalangan masyarakat Indonesia.3
Jaminan seperti ini hanya dapat dilihat dalam konsep masyarakat madani yang
mempunyai ciri-ciri: kemandirian, toleransi, keswadayaan, saling tolong
menolong, dan menjunjung tinggi norma dan etika.
Masyarakat madani (civil society) merupakan cita-cita politik Islam, untuk
menciptakan masyarakat yang berperadaban dan mandiri. Konsep civil society
diartikan sama dengan konsep masyarakat madani, dimana sistem sosial yang ada
dalam masyarakat madani diambil dari sejarah Nabi Muhammad Saw., sebagai
pemimpin ketika itu yang membangun peradaban tinggi dengan mendirikan
Negara-Kota Madinah dan meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan
menggariskan ketentuan untuk hidup bersama dalam suatu dokumen yang di kenal
dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madînah).4
Istilah masyarakat madani di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh
Anwar Ibrahim, tokoh terkemuka kedua di Malaysia setelah Mahathir Muhammad
saat berceramah dalam acara Festival Istiqlal pada tahun 1995. Namun, menurut
M. Dawan Rahardjo, istilah masyarakat madani pertama diperkenalkan oleh M.
Amien Rais, meskipun yang punya peran besar mensosialisasikannya adalah
Aswab Mahasin melalui pengantarnya terhadap buku Masyarakat Madani karya
Ernest Gellner (1999). Tidak hanya tokoh-tokoh yang telah disebutkan itu,
Nurcholish Madjid (kemudian disebut Nurcholish) yang merupakan tokoh
intelektual Muslim Indonesia juga ikut andil dalam mengembangkan konsep civil
society di Indonesia.5
209 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

Menurut Nurcholish, masyarakat madani sebenarnya adalah merujuk pada


masyarakat Islam yang pernah dibangun oleh Nabi Saw di negeri Madinah.
Masyarakat madani tersebut bertujuan untuk mendirikan dan membangun
masyarakat yang berperadaban berlandaskan ajaran Islam dan masyarakat yang
bertakwa kepada Allah Swt. Dasar-dasar masyarakat madani ini tertuang dalam
Piagam Madinah.6 Nurcholish menyatakan bahwa masyarakat madani diperlukan
dalam membangun tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
demokratis, karena masyarakat madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, civility (berkeadaban), keadilan, egaliter,
dan juga prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu
dengan kestabilan masyarakat. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis,
komponen rakyat yang disebut masyarakat madani harus memperoleh peran yang
utama. Ini didasari pada kenyataan bahwa dalam sistem yang demokratis,
kekuasaan tidak hanya ditangan penguasa melainkan ditangan rakyat.7
Masyarakat yang seperti inilah kiranya yang diwacanakan oleh Nurcholish
dan tentunya yang diinginkan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
mencita-citakan suatu masyarakat yang bersatu dan diikat oleh rasa persatuan
nasional, tujuannya adalah untuk membangun negara yang majemuk, tidak
membeda-bedakan ras, suku, agama, golongan, etnis, dan bahkan kepentingan.
Jadi, konsep yang sangat sesuai dan cocok untuk Indonesia adalah masyarakat
madani (civil society).

Biografi Nurcholish Madjid


Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 17 Maret
19398 dan meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 (usia 66 tahun). Ayah
Nurcholish bernama KH. Abdul Madjid bin Ali Syukur, yang dikenal sebagai
pendukung Masyumi, sedangkan ibunya bernama Fatonah adalah putri Kiai
Abdullah Sadjad dari Kediri, Nurcholish mempunyai tiga orang adik.9 Nurcholish
memulai pendidikannya ketika ia memasuki Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah
Ibtidaiyah, kemudian Nurcholish melanjutkan ke pondok Pesantren Darul Ulum
Rejoso di Jombang.10 Kemudian Nurcholish melanjutkan ke KMI (Kuliyyatul
Mu’allimin) Pondok Modern Gontor. Pondok Modern Gontor ini merupakan
pondok yang sangat modern pada waktu itu. Setelah menamatkan sekolah di
Gontor, Nurcholish melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah11 pada Fakultas
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 210

Sastra dan Kebudayaan (1968). Nurcholish meraih gelar doktor di Universitas


Chicago, Amerika Serikat (1984) dengan disertasi Ibn Taimiyya On Kalam And
Falasifa di bawah bimbingan Fazlur Rahman.12
Pengembangan intelektualnya telah membuat Nurcholish dipercaya duduk
sebagai aktivis pada organisasi ekstra mahasiswa yaitu sebagai Ketua Umum HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) sampai dua periode pada tahun 1966-1969 dan
tahun 1969-1972. Nurcholish juga pernah menjabat sebagai Presiden Mahasiswa
Islam se-Asia Tenggara, dan pernah menjadi Asisten Sekretaris Jendral
International Islamic Federation of Students Organization (IFFSO). Disebabkan
oleh pengalamannya itulah ide-ide segar Nurcholish muncul, Nurcholish tidak
segan-segan mengemukakan gagasannya baik dalam forum resmi intern
mahasiswa maupun dalam pertemuan umum.13
Nurcholish dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan pemikiran Islam
Indonesia pada dekade tahun 1970-an, bahkan beliaulah yang dinyatakan sebagai
pencetus pembaharuan pemikiran Islam. Itu dikarenakan pada pidatonya tanggal 2
Januari 1970 di Jakarta dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi HMI,
PII (Pelajar Islam Indonesia), GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), dan
PERSAMI (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), pada waktu itu Cak Nur
membawakan makalah yang berjudul Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam
dan Masalah Integrasi Umat, itulah momentum yang dianggap sebagai
pembaharuan pemikiran Islam Indonesia.14
Pujian dan gelar terhadap Nurcholish tidak sedikit diberikan kepadanya.
K.H. Hamam Ja’far menyebut Nurcholish sebagai perpustakaan berjalan. Media
massa Barat menyebutnya sebagai Voice of Reason (suara kebenaran) atau Heart
of His Nation (nurani bangsa). Pada tahun 1970-an, Nurcholish digelari sebagai
Natsir Muda. Menjelang pemilihan presiden, Nurcholish dijuluki sebagai Guru
Bangsa. Tidak hanya itu, Dawam Raharjo di harian Republika tanggal 8 Februari
2003 dalam artikelnya yang berjudul Di Sekitar Cara Mendiskusikan Pemikiran
Keagamaan Akhir-akhir ini, Dawam menyatakan: sebagai seorang yang
mempunyai rasa tanggung jawab ilmiah yang tinggi, Nurcholish menyertakan
catatan kaki yang lengkap.15 Komaruddin Hidayat yang mengenal Nurcholish
lebih dekat menyatakan bahwa Nurcholish sangat mengesankan ketika bicara,
tanpa emosi, dan tanpa semangat menggurui, kaya dengan ilustrasi dan rujukan
kepustakaan serta kemampuan mengartikulasikan gagasan dengan jernih. Bagi
211 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

mereka yang akrab dengan tradisi intelektual Islam abad pertengahan, tidak kaget
dengan berbagai pikiran Nurcholish, karena Nurcholish selalu merujuk pada
sumber Kitab Kuning yang klasik.16
Pada 1986, Nurcholish bersama beberapa pemikir Muslim modernis
mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Bagi Nurcholish, Paramadina
merupakan media untuk membangun suatu tatanan masyarakat madani yang
mengacu ke masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. Di
Paramadina, orang-orang (Islam) menengah kota berdiskusi tentang masalah-
masalah keagamaan dan kekinian. Nurcholish menjadikan Paramadina sebagai
tempat untuk mensosialisasikan agama dan pemikiran pembaharuannya.
Pembentukan Paramadina sejalan dengan cita-cita Nurcholish yang ingin
menghadirkan Islam yang bersifat spiritual dan menjadikannya sebagai
spiritualitas universal untuk mempertemukan dimensi transendental agama-agama
(kalimah sawa’) di tengah-tengah masyarakat plural.
Nurcholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta
pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi
majalah Forum. Nurcholish juga aktif di LIPI sebagai anggota staf peneliti, dan
menjadi penulis tetap harian Pelita Jakarta tahun 1988.17 Sejak tahun 1990-an,
Nurcholish menduduki jabatan penting, antara lain: Anggota MPR-RI periode
1987-1992, dan periode 1992-1997, Anggota Dewan Pers Nasional, tahun 1990-
1998,18 dan Ketua Dewan Pakar ICMI. Pada tahun 2003, Nurcholish pernah
menjadi kandidat Presiden berpasangan dengan ketua umum Golkar, Akbar
Tanjung.19
Sebagai salah satu cendekiawan Muslim ternama, Nurcholish
meninggalkan karya-karya di antaranya: Cendekiawan dan Religiusitas
Masyarakat, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Cita-Cita Politik Islam Era
Reformasi, Islam Agama Peradaban, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam
dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, dan masih banyak lagi karya-karya Nurcholish yang lainnya.

Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Civil Society


Istilah masyarakat madani pertama kali dikemukakan oleh kelompok
Nurcholish dan beberapa tokoh ICMI yang berarti masyarakat yang beradab,
berakhlak mutlak, dan berbudi pekerti luhur.20 Nurcholish menyatakan bahwa
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 212

masyarakat madani mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk


menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.21
Nurcholish memberikan pengertian tentang masyarakat madani yakni masyarakat
yang berbudi luhur atau masyarakat berakhlak mulia atau masyarakat
berperadaban. Dalam bahasa Arab, kata madani juga berarti civil, seperti kata-kata
al-ahkam al-madaniyyah (civil law) atau al-qanūn al-madanî (civil code).22
Dalam konteks masyarakat Islam, istilah masyarakat madani merujuk
kepada masyarakat secara keseluruhan, baik itu individu, keluarga, maupun
negara, yang semuanya memiliki sifat dan budaya teras, yaitu berperadaban.
Keseluruhan komponen masyarakat madani bergerak bersama-sama untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang menegakkan nilai-nilai kebaikan (ma’rūf)
demi terbentuknya masyarakat yang beradab (tamaddūn). Model masyarakat ideal
yang pertama dan menjadi contoh dalam sejarah Islam ialah masyarakat dan
negara Madinah. jika dalam masyarakat Barat, civil society akhirnya adalah
demokrasi yang lahir setelah proses sekularisasi, maka dalam masyarakat Islam
tidak demikian adanya. Dalam masyarakat Islam, civil society (masyarakat
madani) dibentuk dengan landasan, motivasi, dan etos keagamaan. Maka dari itu,
agama merupakan kriteria paling utama mayarakat madani (masyarakat
berperadaban) tersebut.23
Ada tiga term yang menjadi satu kesatuan konsep ketika Nurcholish
membicarakan rumusan masyarakat madani, pertama: demokrasi, kedua:
masyarakat madani (civil society), dan ketiga: civility. Menurutnya, jika
demokrasi harus punya rumah, maka rumah bagi demokrasi ialah masyarakat
madani (civil society), dimana berbagai macam perserikatan, klub, gilda, sindikat,
federasi, persatuan, partai dan kelompok bergabung untuk menjadi perisai antara
negara dan warga negara.24 Sedangkan civility merupakan kualitas etik yang
dimiliki oleh masyarakat, seperti toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang
betanggung jawab. Nurcholish menyatakan bahwa masyarakat madani sangat
ditentukan oleh sejauh mana kualitas civility tersebut dimiliki warganya. Civility
mengandung makna toleransi, yang mempunyai arti kesediaan pribadi-pribadi
untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, juga
kesediaan untuk menerima pandangan bahwa tidak selalu ada jawaban yang benar
atas suatu masalah.25
213 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

Nurcholish menegaskan bahwa civil society adalah tidak hanya sekedar


campuran berbagai bentuk asosiasi, tetapi pengertian civil society juga mengacu
pada kualitas civility, tanpa civility lingkungan hidup sosial hanya terdiri dari
faksi-faksi, klik-klik, dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang. Civility
mengandung makna toleransi, kesediaan individu-individu untuk menerima
berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, bersedia untuk
menerima pandangan penting bahwa tidak ada jawaban yang selalu benar atas
suatu permasalahan.26
Civil society adalah musuh dari otrokrasi, kediktatoran dan bentuk-bentuk
lain dari kekuasaan arbitrer. Civil society merupakan bagian organik dari
demokrasi, dan dia musuh atau lawan dari rezim-rezim absolutis. Mencemaskan
civil society akan menumbangkan pemerintahan adalah suatu pemikiran yang
salah dan merupakan sikap yang naif. Bahkan antara pemerintahan dan civil
society sebenarnya mempunyai hubungan yang lebih sering didefinisikan dalam
kerangka kerjasama dari pada konflik. Dalam suatu pemerintahan, civil society
harus diberi ruang untuk bernafas lega melalui pelaksanaan yang konsisten dan
konsekuen akan kebebasan-kebebasan asasi, yaitu kebebasan menyatakan
pendapat, berkumpul dan berserikat.27
Mengingat mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, maka Nurcholish
mengajak bangsa ini bersama-sama mengembalikan Indonesia ke khiththah-nya,
yaitu negara bangsa, dengan menggunakan referensi masyarakat Madinah yang
pernah dibangun Nabi Saw di Yatsrib yang segera diubahnya menjadi Madinah.
Dengan mengutip pemikiran Robert N. Bellah (sosiolog Amerika), Nurcholish
menegaskan bahwa sistem politik yang dirintis Nabi Saw di Madinah dan juga
yang dikembangkan oleh Khalifah ar-Rasyidah adalah contoh bangunan
masyarakat nasional modern dalam sejarah umat manusia, dan merupakan suatu
wujud nyata nasionalisme egaliter partisipatoris.28 Menurut pandangan
Nurcholish, dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia
yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat Ketuhanan, dengan
konsekuensi berbuat baik kepada sesama manusia, dan juga dibutuhkan adanya
keterlibatan dan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, Nabi Saw
telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani,
yaitu: egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi,
kemajemukan, dan musyawarah.
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 214

Berikut penjelasan mengenai ciri-ciri masyarakat madani yang


diwacanakan Cak Nur:
a. Egalitarianisme
Cak Nur menyatakan bahwa faktor yang sangat fundamental dan dinamis
dari etika sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme, semua anggota
keimanan, tidak peduli warna kulit, ras, maupun status sosial atau ekonominya
adalah partisipan yang sama dalam komunitas. Selain tercermin pada berbagai
peristilahan seperti bahasa, egalitarianisme adalah sebagai aspek paling dinamis
dari ajaran sosial-politik Islam, itu tercermin juga dalam pilihan bahasa Melayu
(Riau) sebagai bahasa nasional.29
Nurcholish melanjutkan bahwa egalitarianisme Islam menyangkut rasa
keadilan, keberadaan, kerakyatan dan persamaan, prinsip musyawarah (demokrasi
partisipatif), hikmat (wisdom), dan rasa perwakilan (representativeness). Dalam
setiap masyarakat selalu diperlukan adanya kelompok yang teguh dan tegar
memiliki komitmen kepada nilai-nilai itu dan memperjuangkannya.
Egalitarianisme ini dapat dipahami dengan kuat menyangkut rasa dan kesadaran
hukum, dan kesadaran bahwa tidak seorangpun dibenarkan berada di atas hukum.
Egalitarianisme diwujudkan oleh Nabi Saw. dalam rintisannya untuk membentuk
komunitas negara yang berkonstitusi. Setiap konstitusi mengikat semua warga
masyarakat, dan harus ditaati dan dipatuhi dengan konsekuen sesuai dengan
perintah agama untuk menaati setiap perjanjian dan kesepakatan bersama.30
b. Keterbukaan
Keterbukaan yaitu kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai
(duniawi) yang mengandung kebenaran. Perintah Alquran bagi kaum Muslim
untuk mendengarkan ide-ide (pikiran-pikiran) dan mengikuti mana yang paling
baik, menurut Nurcholish agaknya berbenturan dengan keadaan umat Islam
sekarang ini. Umat Islam sekarang lebih cenderung dan bersifat tertutup,
Nurcholish mengibaratkannya sebagai berdada sempit dan sesak seperti orang
yang terbang ke langit, dan itu merupakan salah satu tanda kesesatan. Sedangkan
sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk
dari Allah Swt.31 Sikap terbuka akan menumbuhkan kesadaran sebagai sesama
manusia dan sesama makhluk akan menumbuhkan rasa saling menghargai dan
menghormati pada diri seseorang, berbentuk hubungan sosial yang saling
mengingatkan tentang apa yang benar, tanpa memaksakan kehendak pribadi.
215 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

Korelasi pandangan hidup yang seperti ini merupakan sikap terbuka kepada
sesama manusia dalam bentuk kesediaan untuk mengikuti mana yang terbaik.
Tidak hanya itu, sikap terbuka sesama manusia dalam arti saling menghargai dan
tidak lepas dari sikap kritis adalah indikasi dari adanya petunjuk dari Tuhan,
karena rasa itu sejalan dengan rasa ketaqwaan.32
c. Penegakan hukum dan keadilan
Menurut Nurcholish, Keadilan dalam Alquran dinyatakan dengan istilah-
istilah ‘adl dan qisth. Pengertian adil dalam Alquran juga terkait dengan sikap
seimbang dan menengahi (fair dealing), dalam semangat moderniasasi dan
toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan). Dengan sikap
berkeseimbangan tersebut, kesaksian dapat diberikan dengan adil, karena
dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap berlebihan. Seorang saksi
tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan pengetahuan yang tepat
mengenai suatu persoalan dan mampu menawarkan keadilan.33 (lihat Q.S. An-
Nisa: 135)
Mendalamnya makna keadilan juga terlihat dari tugas Nabi Saw yang
utama, yaitu menegakkan keadilan dan tugas ini sebenarnya juga merupakan
tanggung jawab bagi seluruh masyarakat dan badan-badan pemerintahan.34
Nurcholish menjelaskan bahwa dalam penegakan hukum dan keadilan, Nabi tidak
pernah membedakan antara orang kaya dengan orang miskin, orang atas dengan
orang bawah. Nabi menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa pada zaman
dahulu itu karena jika orang atas berbuat kejahatan dibiarkan begitu saja, tetapi
jika orang bawah yang berbuat kesalahan maka akan dan pasti dihukum.35 Berikut
hadis Nabi mengenai keadilan:
ُ ‫ت لَقَطَع‬
.‫ْت يَ َدٌَا‬ ِ َ‫َوإِوِّي َوالَّ ِري وَ ْف ِسي بِيَ ِد ِي لَوْ أَ َّن ف‬
ْ َ‫اط َمةَ بِ ْىتَ ُم َح َّم ٍد َس َسق‬
Artinya: Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalau seandainya
Fathimah bintu Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. (HR.
Bukhari)36
d. Toleransi dan kemajemukan
Toleransi adalah salah satu asas masyarakat madani (civil society) yang
dicita-citakan oleh semua orang. Di Indonesia, Sebagian besar masyarakatnya
beragama Islam, dan itu bisa disebut sebagai dukungan terhadap paham toleransi,
karena Islam memiliki pengalaman melaksanakan toleransi dan pluralisme yang
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 216

unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih
masih tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia, yakni di mana
agama Islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami
kesulitan berarti. Tapi sebaliknya, di mana agama mayoritas bukan Islam dan
kaum Muslim menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan yang tidak
kecil, kecuali di negara-negara demokratis Barat. Di sana umat Islam sejauh ini
masih memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak mereka.37
Berpangkal dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam, Al-
Quran mengajarkan bahwa umat Islam harus menghormati semua pengikut kitab
suci (Ahl al-Kitâb).38 (Lihat dalam Q. S. Al-Maidah: 82). Maka dari itu, Nabi Saw
yang ditegaskan sebagai suri tauladan umat manusia adalah seorang pribadi yang
sangat toleran kepada sesama manusia, khususnya para sahabat karena adanya
rahmat Allah Swt.39 Pola hidup manusia menganut hukum Sunnatullāh tentang
kemajemukan (pluralitas), antara lain karena Allah Swt menetapkan jalan dan
pedoman hidup (syir’ah dan minhāj) yang berbeda-beda untuk berbagai golongan
manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan
permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan kearah kebaikan (al-
khayrāt).40
e. Musyawarah
Musyawarah berasal dari kata bahasa Arab, yaitu syurā. Menurut
Nurcholish, konsep musyawarah selalu menjadi tema penting dalam setiap
pembicaraan tentang politik demokrasi, dan tidak dapat dipisahkan dari konsep
politik Islam. Bagi Nurcholish, musyawarah yang secara kebahasaan berarti saling
memberi isyarat, yaitu isyarat tentang apa yang baik dan benar mempunyai
kesamaan dasar dengan ajaran saling berpesan tentang kebenaran sebagai syarat
ketiga keselamatan manusia, setelah syarat-syarat iman dan amal shaleh.
Musyawarah merupakan perintah Allah Swt yang langsung diberikan kepada Nabi
Saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu proses pengambilan
keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama. Mufakat
(muwāfaqah atau muwāfaqat) adalah terjadinya persetujuan atas suatu keputusan
yang diambil melalui musyawarah.41
Dalam musyawarah terkandung sejumlah elemen yang dengan sendirinya
akan ditemukan berkaitan dengan proses politik, yaitu yang disebut dengan istilah
partisipasi, kebebasan, dan persamaan. Tidak mungkin sebuah musyawarah
217 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

dijalankan tanpa kehadiran dari ketiga elemen tersebut. Tidak mungkin juga
mengadakan musyawarah tanpa adanya kehadiran, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Musyawarah juga tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya
kebebasan untuk menyatakan pendapat atau freedom of expression. Dan dalam
pengambilan keputusan dalam musyawarah dilandasi oleh kebebasan dan haruslah
didasari oleh semangat persamaan atau equality.42
Banyak ayat Alquran dan Hadis Nabi Saw yang menyatakan tentang
musyawarah, di antaranya lihat Q.S. Ali Imran:159. Berikut Hadis Nabi Saw.
tentang musyawarah:
)ً‫ (زواي ابه ماج‬.ً‫از أَ َح ُد ُك ْم أخاي فليس ُس علي‬
َ ‫إذا إِسْت َش‬
Artinya: Apabila salah seorang di antara kamu meminta bermusyawarah
dengan saudaranya, maka penuhilah. (HR. Ibnu Majjah)
Nurcholish menyatakan bahwa dalam masyarakat yang diatur oleh prinsip-
prinsip musyawarah, tidak ada kebenaran mutlak ataupun dalil-dalil mati (artinya
yang tidak dapat ditawar-tawar) yang menentukan tingkah laku manusia. Dalam
musyawarah, yang harus dicoba dengan tulus dan serius oleh setiap peserta adalah
mendengarkan, memahami dan menghargai pendapat orang lain, dan pada
urutannya memberi pendapat dengan penuh ketulusan dan rasa hormat kepada
para pendengar. Jika terdapat perbedaan, maka yang harus dilakukan adalah
menunjukkan sikap hormat dan respek kepada sesama. Ini tidak hanya
menyangkut persoalan etika dan sopan santun, tetapi lebih dari itu adalah sikap
saling menghormati dan penuh pengertian antar sesama, untuk menciptakan
mekanisme berpikir yang baik, maka dengan begitu musyawarah akan mencapai
tujuan yang sebaik-baiknya.43

Landasan Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Civil Society


1. Alquran Dan Hadis,
Nurcholish melandaskan pemikirannya pada Alquran dan Hadis, itu
terlihat ketika Nurcholish berbicara tentang asas pluralisme dan toleransi sebagai
pilar utama terbangunnya masyarakat madinah. Nurcholish mengutip surat al-
Maidah ayat 48 untuk menjelaskan tentang kemajemukan, dan juga surat-surat
lain dari Alquran, seperti: surah al-Hujurat: 13, al-Baqarah: 251, 256, 62, & 148,
al-Maidah: 44-50, al-Kafirun: 1-6, al-Ankabut: 46, dan surah Ali-Imran: 113-115.
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 218

Selain dari Alquran, Nurcholish juga merujuk kepada hadis-hadis Nabi


Muhammad Saw dalam mengembangkan pemikirannya.
2. Sejarah Islam Klasik (Masa Nabi Saw),
Nurcholish menyatakan bahwa adalah Nabi Saw sendiri yang telah
memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat
berperadaban, yaitu ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan kemudian Nabi Saw
mengubah nama Yatsrib menjadi al-Madînah (kota), atau sering pula disebut
sebagai kota Nabi (Madînat al-Nabi). Menurut Nurcholish, semenjak Rasulullah
melakukan hijrah dari Makkah ke Yatsrib sampai saat ini, Islam telah
menampilkan dirinya secara sangat terkait dengan masalah politik, khususnya
hubungan antara agama dan negara.
3. Prinsip Demokrasi,
Menurut Nurcholish, demokrasi mempunyai nilai-nilai yang merupakan
implikasi masyarakat demokratis, seperti: hak-hak asasi manusia, kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, tertib dan keadilan hukum,
perwujudan dan kesempatan yang merata, dan seterusnya. Karena itu, demokrasi
dikatakan sebagai hasil perkembangan masyarakat yang bertahap. Akan tetapi,
pencepatan proses demokratisasi sangat tergantung kepada kemauan dan
keputusan politik pemimpin negara dan kaum terpelajar masyarakat.
4. Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya,
Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Nurcholish seperti: Mukti
Ali, Deliar Noer, Harun Nasution, dan sosok Haji Abdul Madjid (ayahnya
Nurcholish). Di Universitas Chicago Nurcholish belajar di bawah bimbingan
Fazlur Rahman, Nurcholish juga mengagumi Mohammad Natsir. Pemikiran
Nurcholish mengenai civil society terinspirasi dari cendekiawan Barat, yaitu:
Robert N. Bellah, Marshall G.S. Hodgson, Ernest Gellner, dan Enrich Fromm.
Nurcholish juga terinspirasi dari sosok filsuf Muslim ternama, yaitu Ibn Taimiyah
tentang politik Islam.

Relevansi Konsep Nurcholish Madjid tentang Civil Society dengan Kondisi


Masyarakat Indonesia Kontemporer
Pembukaan UUD 1945 adalah menjadi faktor pendukung bagi negara
Indonesia yang sedang mengalami saat-saat yang demokratis seperti sekarang ini
untuk mewujudkan masyarakat madani. Namun sangat disayangkan, yang terjadi
219 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

sekarang ini adalah dapat dikatakan jauh dari harapan (UUD 1945). Pada
kenyataannya, Indonesia yang merupakan negeri yang didirikan oleh pejuang-
pejuang yang religius sekarang dikuasai oleh pejabat-pejabat yang rakus dan
korup yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada memperjuangkan
kepentingan rakyat, hukum seolah-olah tergadaikan demi kepentingan politis,
antara pemimpin dan rakyat tidak seiring jalan. Para koruptor semakin merajalela
dan ada yang lepas dari hukum begitu saja, penista agama tidak dapat diadili
dengan semestinya, belum lagi masalah kemorosotan akhlak dikalangan remaja.
Melihat kenyataan tersebut, maka sudah sepantasnya rakyat Indonesia
kembali berkaca pada konsepnya Nurcholish yang menawarkan solusi untuk
Indonesia. Rakyat Indonesia harus sadar betul akan tujuan bernegara,
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 alinea keempat. Dengan
memperhatikan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, terutama nilai-nilai
luhur yang bersumber dari ajaran agama, dan mengingat masyarakat Indonesia
adalah masyarakat religius, maka menurut Nurcholish bangsa Indonesia memiliki
semua perlengkapan dan potensi untuk menegakkan dan mewujudkan masyarakat
madani (civil society). Tidaklah berlebihan rasanya jika berharap bahwa
masyarakat madani akan segera tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Nurcholish menghimbau kepada masyarakat Indonesia agar tidak terjatuh lagi
dalam kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya, caranya adalah dengan
menjunjung tinggi mekanisme pengawasan dan pengimbangan. Karena
pengawasan dan pengimbangan yang dilakukan secara mantap dan terbuka akan
dapat menghindari Indonesia dari bencana.44
Gagasan Nurcholish untuk mewujudkan adanya masyarakat madani di
Indonesia dianggap masih sangat relevan untuk Indonesia sekarang, karena
memang masyarakat madani adalah konsep mengenai demokrasi, pluralisme,
kebebasan manusia, toleransi, menerapkan prinsip musyawarah, egaliter, dan
keterbukaan, serta menerapkan prinsip keadilan.
Di kaitkan dengan keadaan Indonesia saat ini, hampir setiap hari
diberitakan adanya tindakan kekerasan dan kekejaman manusia, baik itu melalui
TV, radio, koran, media sosial seperti facebook, twitter, instagram, maupun berita
online. Seakan nyawa seseorang sangatlah murah harganya, dari kasus-kasus
seperti demikian, maka sudah seharusnya masyarakat Indonesia kembali
memperhatikan nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 220

tinggi nilai-nilai itu, karena menurut Nurcholish, perikemanusiaan itu adalah


prinsip dalam hidup berbangsa, dan bangsa yang melanggar prinsip-prinsipnya
maka bangsa tersebut tidak akan bertahan lama, dia akan hancur secara perlahan.
Nurcholish yakin bahwa konsep masyarakat madani sangat sesuai untuk
Indonesia adalah karena Indonesia merupakan suatu bangsa yang sedang
berkembang menuju ke arah kedewasaan. Berdasarkan pernyataan yang penuh
harapan ini didasarkan pada keberhasilan gerakan reformasi yang telah
membuahkan hasil berupa kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul,
kebebasan berserikat, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan
beribadah adalah menjadi karakteristik yang mendasar bagi masyarakat
demokratis. Kebebasan ini adalah aset yang sangat penting bagi bangsa Indonesia
dalam tahap perkembangannya. Inilah harapan paling mendasar bahwa bangsa
Indonesia akan mampu mewujudkan cita-citanya, yaitu mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat dalam bingkai negara kebangsaan yang berdaulat.
Dengan kebebasan-kebebasan tersebut, maka proses-proses dalam masyarakat
yang berkaitan dengan kehidupan umum akan berlangsung transparan,
accountable, dan auditable.45
Alasan lain mengapa masyarakat madani sangat relevan untuk diwujudkan
di Indonesia adalah karena adanya keinginan di kalangan masyarakat Indonesia
untuk membangun masyarakat yang mampu berkreasi, dan mandiri. Konsep civil
society (masyarakat madani) diperlukan di Indonesia karena cita-cita untuk
membangun demokrasi adalah nilai-nilai yang terdapat di dalam civil society, dan
juga karena masyarakat madani sangat identik dengan masyarakat modern.
Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia, sudah seharusnya
masyarakat Indonesia meninggalkan praktek-praktek kejahatan, kekerasan,
adanya sikap yang tidak saling menghargai antar sesama, tidak terbuka, dan
tindakan-tindakan yang tidak bermoral lainnya. Dengan modal kebebasan, maka
masyarakat Indonesia bisa memulai hidup baru untuk menjadi lebih baik, yang
menuntut semua lapisan masyarakat untuk hidup saling prihatin dan saling
menyayangi. Untuk menciptakan masyarakat yang seperti demikian, maka bangsa
Indonesia membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk membangun
masyarakat yang adil, terbuka, bebas, dan egaliter, sehingga kemudian dapat
menciptakan negara Indonesia sebagai salah satu negara demokratis didunia.
221 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

Itulah nilai-nilai masyarakat Madinah yang sudah seharusnya dijunjung bersama,


masyarakat madani (civil society).

Penutup
Konsep Civil Society menurut Nurcholish yakni masyarakat yang berbudi
luhur atau masyarakat berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban. Ada tiga
term yang menjadi satu kesatuan konsep ketika Nurcholish membicarakan
rumusan masyarakat madani, pertama: demokrasi, kedua: masyarakat madani
(civil society), dan ketiga: civility. Menurutnya, jika demokrasi harus punya
rumah, maka rumah bagi demokrasi ialah masyarakat madani (civil society).
Sedangkan civility merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, seperti
toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang betanggung jawab.
Masyarakat madani menurut Nurcholish mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: Egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi
dan kemajemukan, serta musyawarah. Landasan pemikiran Nurcholish Madjid
tentang civil society yaitu: Alquran dan Hadis, sejarah Islam klasik (Masa Nabi
Saw), prinsip demokrasi, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya.
Gagasan Nurcholish untuk mewujudkan adanya masyarakat madani di Indonesia
adalah masih sangat relevan untuk Indonesia sekarang. Karena memang
masyarakat madani adalah konsep mengenai demokrasi, pluralisme, kebebasan
manusia, toleransi, menerapkan prinsip musyawarah, egaliter, dan keterbukaan,
serta menerapkan prinsip keadilan. Cita-cita Nurcholish bagi Indonesia adalah
proses demokrasi, alasannya adalah karena demokrasi merupakan rumah bagi
masyarakat madani. Nurcholish mencita-citakan proses demokrasi yang membuka
dinamika pengawasan dan penyeimbangan (chek and balance) masyarakat.

Catatan
1
Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), h. 165.
2
Ibid., h. 166.
3
Achmad Jainuri, “Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan Khusus Tentang Sikap
Budaya, Agama, dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III, Tahun ke 2: Juli-Desember 2000,
h. 21.
4
Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman
Nabi (Jakarta: Gema Insani, 1999) h. 108.
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 222

5
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan
Cita-cita Reformasi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), h. 7.
6
Ibid., h. 193.
7
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Cet. III (Jakarta: Prenadamedia Group,
2013), h. 223.
8
Kuntowijoyo, dkk. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana (Jakarta: Paramadina,
2003), h. 18.
9
Ibid.
10
Marwan Saridjo, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
(Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), h. 3.
11
Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 151.
12
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I (Jakarta: Paramadina,
1999), halaman biografi.
13
Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, h. 152.
14
Ibid.
15
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme, dan Liberalisme Agama (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 66-67.
16
Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. II (Jakarta:
Paramadina, 2000), h. xiv-xv.
17
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-II (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2003), h. 104.
18
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, h. 60.
19
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 300.
20
Ibid., h. 75.
21
Ibid., h. 217.
22
Jalaluddin Rakhmat, et.al., Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran dari Pembaharu
Sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 371.
23
Nurcholish Madjid, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon
Transpormasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 318.
24
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 145.
25
Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 15.
26
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 148.
27
Ibid., h. 150.
28
Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.
Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014), h. 296.
223 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

29
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet-XI (Bandung: Mizan,
1998), h. 71.
30
Ibid., h. 73-74.
31
Ahmad Gaus Af., Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2010), h. 98.
32
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 117.
33
Ibid., h. 116.
34
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia, 2008), h.
240.
35
Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Ulumul Quran, No.
2/VII/96, Jakarta: LSAF-PPM, 1996, h. 51-55.
36
M. Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim, terj. Elly Lathifah, Ringkasan
Shahih Muslim, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 502.
37
Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid 4 (Jakarta: Mizan,
2011), h. 3447.
38
Ibid., h. 3448.
39
Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996),
h. 44.
40
Ibid., h. 43.
41
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat, Cet. III (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 8.
42
Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 350.
43
Nurcholish Madjid, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 214.
44
Nurcholish Madjid, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, h. 322.
45
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, dalam Titik
Temu: Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 1, No. 2, Januari-Juni 2009, h. 27.

Daftar Pustaka
Alquran & Hadits

Al-Albani, M. Nashiruddin, Mukhtashar Shahih Muslim, terj. Elly Lathifah,


Ringkasan Shahih Muslim, Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia,


2008.

Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya


dengan Cita-Cita Reformasi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999.
Konsep Civil Society Nurcholish Madjid (Nur Fazillah) 224

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-11, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2003.

Gaus AF, Ahmad, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner,
Jakarta: Gramedia, 2010.

Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; Pengusung Ide Sekularisme,


Pluralisme, dan Liberalisme Agama, Jakarta: Hujjah Press, 2007.

HD. Kaelany, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Cet. II, Jakarta: Bumi
Aksara, 2005.

Hidayat, Komaruddin, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I, Jakarta:
Paramadina, 1995.

Kuntowijoyo, dkk. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana, Jakarta:
Paramadina, 2003.

Madjid, Nurcholish, Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina,


1996.

Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,


1999.

Madjid, Nurcholish, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi:


Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1994.

Madjid, Nurcholish, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respons


Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta:
Mediacita, 2000.

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi


Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2000.

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet. Ke-XI,


Bandung: Mizan, 1998.

Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis


Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta:
Paramadina, Cet. IV, 2000.

Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam


Kehidupan Masyarakat, Cet. III, Jakarta: Paramadina, 2004.

Nafis, Muhammad Wahyuni, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas, 2014.

Rachman, Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid I & 4, Jakarta:


Mizan, 2011.
225 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225

Rakhmat, Jalaluddin, et.al., Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran dari


Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Saridjo, Marwan, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap
Berjilbab, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005.

Taufik, Akhmad, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic


Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani,
Cet. III, Jakarta: Prenadamedia Group, 2013.

Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan


Zaman Nabi, Cet. I, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Jurnal
Jainuri, Achmad, “Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan Khusus Tentang
Sikap Budaya, Agama, dan Politik”, dalam Jurnal Al-Afkar, Edisi III,
Tahun ke 2: Juli-Desember 2000.

Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,


No. 2/VII/96, Jakarta: LSAF-PPM, 1996.

Madjid, Nurcholish, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi”, dalam


Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 1, No. 2, Januari-Juni 2009.

You might also like