You are on page 1of 10

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1 Hasil Pengamatan
IV.1.1 Pengenceran
1 gr
1. 100 ml × 1.000.000 = 10.000 ppm
5 ml
2. 100 ml × 10.0000 = 5.000 ppm
2 ml
3. 100 ml × 5.000 = 100 ppm
0,1 gr
1) 10 ml × 100 = 1 ppm
0,2 ml
2) 10 ml × 100 = 2 ppm
0,3 ml
3) 10 ml × 100 = 3 ppm
0,4 ml
4) 10 ml × 100 = 4 ppm

IV.1.2 Kurva Baku


No. Jenis larutan (x) Absorbansi (y)
1 1 ppm 0,524 A a = 0,357
2 2 ppm 0,801 A
b = 0,2008
3 3 ppm 0,976 A
r = 0,9905
4 4 ppm 1,135 A
r = 0,9905
Kurva hubungan konsentrasi terhadap absorbansi
y

1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
x
0
1 2 3 4

22
23

IV.1.3 Data
Waktu Suhu
(Menit) 25˚C 45˚C
5 0,947 0,831
30 0,649 0,203

IV.1.4 Perhitungan
a = 0,357
b = 0,2008
r = 0,9905
1. Untuk suhu 25˚C
1) Menit 5
Y = a + bx
0,947 = 0,357 + 0,2008x
0,59 = 0,2008x
x = 2,94
2) Menit 30
Y = a + bx
0,649 = 0,357 + 0,2008x
0,292 = 0,2008x
x = 1,46
2. Untuk suhu 45˚C
1) Menit 5
Y = a + bx
0,831 = 0,357 + 0,2008x
0,474 = 0,2008x
x = 2,36
24

2) Menit 30
Y = a + bx
0,203 = 0,357 + 0,2008x
-0,172 = 0,2008x
x = -0,86
IV.1.5 Perhitungan Konsentrasi PCT
Waktu Suhu
(Menit) 25˚C 45˚C
5 2,94 2,36
30 1,46 -0,86

IV.1.6 Perhitungan Koefisien Korelasi


1. Untuk suhu 25˚C
Waktu Konsentrasi Log C 1/C
5 menit 2,94 0,46 2,174
30 menit 1,46 0,16 6,25

2. Untuk suhu 45˚C


Waktu Konsentrasi Log C 1/C
5 menit 2,36 0,37 2,702
30 menit -0,86 0,065 15,39

IV.1.7 Perhitungan Orde Reaksi


1. Untuk suhu 25˚C
Orde Regresi Hasil
a 3,236
0 b -0,0592
r -1
a 0,52
1
b -0,012
25

r -1
a 1,3588
2 b 0,163
r 1

2. Untuk suhu 45˚C


Orde Regresi Hasil
a 3,004
0 b -0,1288
r -1
a 0,431
1 b -0,0122
r -1
a 0,1044
2 b 0,51
r 1

IV.1.7 Orde Korelasi


Suhu
Orde
25˚C 45˚C
0 -1 -1
1 -1 -1
2 1 1

IV.1.8 Penentuan Nilai Mutlak


Penentuan nilai mutlak K reaksi dilihat dari nilai yang paling mendekati
1/-1. Jadi dari hasil perhitungan didapatkan orde 0.
Keterangan:
1. Nilai B didapatkan dari perbandingan orde 0 (regresikan antara waktu)
dan C (pada masing-masing suhu).
26

2. Nilai K untuk orde 0 dan 2 adalah B = K, sedangkan pada orde 1 adalah


K = B × 2,303
Suhu B K
25˚C -5,92 × 10-2 5,92 × 10-2
45˚C -12,88 × 10-2 -12,88 × 10-2

Penentuan nilai K pada suhu 30˚C dan usia simpan obat


Keterangan: Suhu (˚K) = 273 + suhu (˚C)
1) Untuk suhu 25˚C = 273 + 25˚
= 298˚K
2) Untuk suhu 30˚C = 273 + 30˚
= 303˚K
3) Untuk suhu 45˚C = 273 + 45˚
= 318˚K
Untuk nilai 1⁄T (x)

1. Untuk suhu 25˚C = 1⁄


298
= 3,355 × 10-3
2. Untuk suhu 30˚C = 1⁄
303
= 3,300 × 10-3
3. Untuk suhu 45˚C = 1⁄
318
= 3,14 × 10-3
Suhu Suhu ˚K 1⁄ (x) K Log K
T
25 298 3,355 × 10-3 5,92 × 10-2 1,23
30 303 3,300 × 10-3 13,836 1,141
45 318 3,14 × 10-3 12,88 × 10-2 0,89

Perhitungan untuk suhu 30˚C pada orde 2


Log K = Log A - Ea
Y = a × bx
Y = log K
27

Untuk dapat nilai K pada suhu 30˚C, maka diregresikan antara x dan log K
dan didapatkan nilai :
a = -4176
b = 1611,37
r = 1
Y = a + bx
= -4176 + 1611,37 (3,300 × 10-3)
= -4176 + 5,317
= 1,141
Y = log K
K = antilog K
= 13,830

Untuk orde 0
0,698
t 1⁄2 =
K
0,698
t 1⁄2 =
0,1288

t 1⁄2 = 5,42 menit

Waktu lama penyimpanan


T90 = 1⁄9 × Ca⁄K

= 1⁄9 × 10000⁄0,1288
10000
=
1,1592

= 8627 menit
= 144 jam
= 6 hari
IV.2 Pembahasan
Menurut Thabita (2013), stabilitas obat merupakan kemampuan
bentuk sediaan farmasi untuk mempertahankan sifat fisik, kimia, terapeutik,
dan mikroba selama penyimpanan dan penggunaan oleh pasien. Pada
28

praktikum kali ini kita akan menentukan stabilitas fisika suatu obat dalam
hal ini menggunakan sampel paracetamol berdasarkan pengaruh suhu.
Adapun prinsip percobaan pada praktikum kali ini yaitu penetuan
stabilitas fisika dari sampel paracetamol berdasarkan pengaruh suhu dengan
menggunakan instrumen spektrofotometer yang didasarkan pada hukum
Lambeert Beer “seberkas cahaya polikromatik melewati sebuah sampel
menjadi cahaya monokromatik, akan ada sebagian cahaya yang diserap,
sebagian cahaya dipantulkan, dan sebagian cahaya diteruskan” (Miller,
2000).
Pertama-tama semua alat yang akan digunakan dibersihkan dengan
alkohol 70% terlebih dahulu. Menurut Iriawati (2005), hal ini dilakukan
untuk mensterilkan alat yang akan digunakan agar terhindar dari bakteri atau
mikroorganisme. Selanjutnya digerus tablet paracetamol sebanyak 3 tablet
hingga benar-benar halus. Ditimbang paracetamol yang sudah digerus tadi
sebanyak 1 gram pada neraca analitik.
Selanjutnya dilakukan pengenceran bertingkat larutan standar
dengan melarutkan paracetamol sebanyak 1 gram dalam 100 ml alkohol ke
dalam gelas beker. Menurut Underwood (2001), larutan standar dibuat
dengan tujuan membuat kurva standar atau kuva kalibrasi sehingga nanti
diperoleh nilai panjang gelombang maksimum dari larutan standar tersebut.
Tahap selanjutnya diambil 5 ml dari larutan tersebut kemudian diencerkan
kembali dengan alkohol 100 ml hingga terbentuk konsentrasi 500 ppm. Dari
larutan tersebut, diambil kembali 2 ml kemudian diencerkan dengan 10 ml
alkohol hingga terbentuk konsentrasi 100 ppm sebagai larutan stok.
Menurut Underwood (2001), tujuan dilakukannya pengenceran bertingkat
ini untuk meminimalisir kesalahan, dan untuk mendapatkan nilai yang
akurat karena metode spektrofotometri berlaku pada larutan encer agar
larutan dapat tembus cahaya.
Dari larutan stok, tersebut selanjutnya dibuat larutan sampel dengan
konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, dan 4 ppm dengan mengambil masing-
masing sebanyak 0,1 ml, 0,2 ml, 0,3 ml, dan 0,4 ml dari larutan stok
29

kemudian diencerkan dengan alkohol sebanyak 10 ml sehingga terbentuk


masing-masing konsentrasi. Selanjutnya masing-masing larutan sampel ini
dimasukkan ke dalam vial dan ditutup dengan alumunium foil. Kemudian
diukur panjang gelombang absorbansi dari masing-masing konsentrasi
dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis.
Berdasarkan hasil absorban dari masing-masing konsentrasi yang
kami peroleh selanjutnya dibuat dalam kurva kalibrasi. Menurut Rohman
(2007), absorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva yang
menandakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Berdasarkan
hasil yang diperoleh semakin tinggi konsentrasi maka nilai absorbansinya
pun akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa hukum
lambert beer menyatakan hubungan linieritas antara absorban dengan
konsentrasi larutan analit. Hasil yang diperoleh diregresikan sehingga
diperoleh nilai a, b, dan r. Menurut Huda (2001) linieritas ini dilakukan
dengan membuat kurva kalibrasi larutan standar, dari kurva kalibrasi
tersebut diperoleh persamaan garis lurus atau regresi dan koefisien korelasi
yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara korelasi larutan standar
dengan nilai absorbansi yang dihasilkan.
Selanjutnya, berdasarkan hasil pengukuran tersebut diperoleh
panjang absorbansi tertinggi yaitu pada larutan sampel dengan konsentrasi
4 ppm sebesar 1,135 A. Selanjutnya larutan sampel dengan konsentrasi 4
ppm ini dibagi menjadi 4 bagian yang sama banyak kemudian dimasukkan
ke dalam masing-masing vial yang usdah dilabeli. Ke empat vial ini akan
diukur panjang absorbansinya setelah didiamkan pada suhu 25oC dan pada
suhu oven 45oC dengan selang waktu selama 5 menit dan 30 menit. Menurut
Attwood dan Florence (2011), hal ini dilakukan untuk melihat stabilitas
fisika dari obat sebagaimana sesuai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi stabilitas fisika suatu obat salah satunya yaitu suhu.
Selanjutnya, diukur panjang gelombang pada masing-masing vial
yang sudah didiamkan pada suhu dan waktu yang berbeda dengan
menggunakan spektrofotometer uv-vis. Berdasarkan hasil pengukuran,
30

diperoleh panjang gelombang absorbansi pada vial disuhu 250C dengan


selang waktu 5 dan 30 menit masing-masing sebesar 0,947 dan 0,649.
Sedangkan untuk panjang gelombang absorbansi pada vial disuhu 45oC
dengan selang waktu 5 dan 30 menit masing-masing sebesar 0,831 dan
0,203. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dapat dikatakan bahwa
sampel paracetamol tersebut mengalami degradasi atau penguraian ketika
terjadi kenaikan suhu. Reaksi obat ketika megalami degradasi dilihat dari
faktor stabilitas fisika yaitu diantaranya kristalilasi zat amor dalam obat-
obatan tersebut, pergantian kristal, pembentukan dan pertumbuhan kristal,
uap air termasuk sublimasi, dan absorbsi dalam kelembaban.
Setelah dilakukan pengukuran tersebut, dilanjutkan dengan
perhitungan koefisien relasi dari masing-masing suhu dan waktu serta
perhitungan orde reaksi. Menurut Connors (1986), orde reaksi kimia dapat
menunjukkan bentuk dari profil konsentrasi waktu dari obat atau produk
dimana tetapan kecepatan reaksi dapat ditentukan dari slopenya.
Berdasarkan kurva kalibrasi yang terbentuk sebelumnya, dapat dikatakan
bahwa hasil orde reaksi yang diperoleh adalah orde reaksi 0. Menurut Bajaj
(2012), penentuan orde reaksi 0 adalah jika kuva kalibrasi yang diperoleh
berupa garis lurus atau linier. Reaksi dianggap reaksi orde nol jika kecepatan
reaksi tidak bergantung pada konsentrasi dari reaktan, tetapi bergantung
pada hal-hal selain konsentrasi, seperti kelarutan. Pada praktikum ini,
metode yang kami gunakan untuk penentuan orde reaksi yakni metode
grafik.
Setelah dilakukan perhitungan orde reaksi, dilanjutkan dengan
penentuan waktu paruh dan t90 (lama waktu penyimpanan) dari sampel.
Berdasarkan perhitungan, dipeoleh waktu paruh dari sampel paracetamol
yang kami gunakan yaitu sebesar 5,42 menit dengan lama waktu
penyimpanan yaitu selama 6 hari. Adapun kemungkinan kesalahan pada
praktikum kali ini yaitu kurangnya pengatahuan praktikan mengenai
langkah-langkah pengukuran stabilitas obat sehingga berpengaruh terhadap
langkah-langkah yang kami lakukan saat praktikum. Kemungkinan
31

kesalahan lainnya juga mungkin saja terletak pada instrumen


spektrofotometer uv-vis yang kami gunakan sudah tidak layak, sehingga
diperoleh hasil pengukuran yang tidak seperti literatur pada umunya,
kemudian kelayakan dari kuvet yang kami gunakan juga sudah tidak layak
dikarenakan sudah tergores-gores atau kotor sehingga mempengaruhi
panjang gelombang absorbansi yang terbaca pada sampel.

You might also like