Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi
obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah menimbulkan reaksi
obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping. Reaksi
tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru disamping penyakit dasarnya,
tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan maut juga. Hipokalemi, intoksikasi
digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik merupakan contoh-contoh
efek samping yang potensial bebahaya. Gatal-gatal karena alergi obat,
mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi efek
samping yang ringan. Diperkirakan efek samping terjadi pada 6 sampai 15%
pasien yang dirawat di rumah sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-
10% dari efek samping. 40-60% disebabkan oeh gigitaan serangga, 20-40%
disebabkan oleh zat kontrasradiografi, 10-20% disebabkan oleh penicillin.
Syok anafilaktik merupakan bentuk terberat dari reaksi obat.
Anafilaktis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari
500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,
khususnya penisilin. Penisilin merupakan reaksi yang fatal pada 0,002 %
pemakaian. Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoik yang tersering adalah
pemekaian media kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontraksi
menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal
terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian
berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.
Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan 6
kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun
1959 – 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi
selama periode 1985-1989. Anafilaktif memang jarang terjadi, tetapi bila
terjadi umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena
itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapai keadaan tersebut sangat
diperlukan. Berangkat dari insiden tersebut, penulis merasa tertarik untuk
2
membahas lebih lanjut tentang syok anafilaktik dengan tujuan agar mahasiswa
pun pembaca mengetahui tentang konsep teori dari anafilaksis dan menerapkan
asuhan keperawatan yang tepat pada pasien syok anafilaktik.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Syok anafilaksis
2. Mendeskripsikan tentang konsep medis mengenai Syok anafilaksis, mulai
dari defenisi penyakit, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.
3. Mengetahui konsep keperawatan pada pasien dengan Syok anafilaksis,
mulai dari pengkajian, diagnose, dan intervensinya.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme
IgE maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab
anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon,
faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan
bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
4
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan
basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane
sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam
arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga
merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses
terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan
fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan
IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang
memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi
anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi
komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara
langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium,
antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang
terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema
karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan
menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat
terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi
miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila
sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
7
5. Pathway
9
6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik,
maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a) Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk
mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya
hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan
mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu
pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
b) Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun
setelah reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi
imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra
vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat
mengancam kehidupan.
c) Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh
antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat
spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada
beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung (non
imunologik) pada pelepasan histamin.
d) Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan
RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan
matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah
imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks
dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan
radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e) Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan
jumlah .
10
7. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah
ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini
karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan
erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1
:1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3
ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM)
dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml
sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi
epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi
absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat
suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila
keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di
perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan
dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau
diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis
terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
a) Memelihara saluran napas yang memadai.
Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya
saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada
kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk
mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
11
3) Circulation
Pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Terjadi hipotensi sampai syok, Aritmia
b. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
c. Gelisah
d. Pusing
e. Takikardi
f. Palpitasi
g. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi (pasang IV line)
4) Disability
A : Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan.
V : Vocalises, mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti.
P : Responds to pain only ( harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
U : unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
2. Secondary Survey
1. Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.
2. Riwayat AMPLE
S : Sympthom (tanda dan gejala)
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis,
atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan
obat-obatan herbal)
16
2.2.4 Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar
implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif
maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat
respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta
mendokumentasikan pelaksanaan perawatan (Doenges Marilynn E, 2000,
Rencana Asuhan Keperawatan).
2.2.5 Evaluasi
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon
pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil
yang diharapkan telah dicapai. Evaluasi merupakan proses yang interaktif
dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat
dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan
kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan/hasil
pasien yang mungkin diperlukan.
20
BAB III
TINJAUAN KASUS
I. PENGKAJIAN
Tanggal masuk : 12 Juli 2012, Pukul 13.40 WIB
Tanggal pengkajian : 12 Juli 2012, Pukul 13.40 WIB
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn.W
2. Usia : 65 Tahun
3. No. Register : 01154605
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Suku Bangsa : Jawa
6. Pekerjaan : Swasta
7. Agama : Islam
8. Status Perkawinan : Belum menikah
9. Alamat :-
10. Diagnosa Medis : Syok anafilaktik
B. Pengkajian Primer
1. Airway
Mulut bersih, oedem laring
2. Breathing
RR: 28x/menit, nafas cepat dan dangkal, terdapat pernafasan cuping
hidung, wheezing (+), rhonki (-), dipasang masker dengan O2
sebanyak 8 liter per menit.
3. Circulation
TD 70/palpasi, Nadi: 130x/ menit, Suhu : 360 C, capillary refill > 2
detik, akral dingin, turgor kulit kurang elastis, wajah pucat,
konjungtiva anemis, EKG : sinus takikardi
4. Disability
Tingkat kesadaran somnolen, dengan nilai GCS 12 (E3V4M5).
21
C. Pengkajian Sekunder
1. Exposure
Terdapat urtikaria pada wajah, leher, ekstremitas atas dan bawah,
abdomen
2. S : Pasien merasa sesak, gatal seluruh tubuh, diikuti mual,
muntah, dan keringatan.
P :-
L : pasien minum obat 20 menit yang lalu, Obat yg di makan,
amoksisilin 500mg, asam mefenamat 500 mg dan dexametason
0,5 mg
E : 20 menit yang lalu pasien minum obat karena sakit gigi,
kemudian Satu atau dua menit setelah makan obat pasien merasa
sesak, gatal seluruh tubuh, diikuti mual, muntah,dan keringatan.
3. Pemeriksaan Fisik
Bagian Keterangan
Pe : Bunyi pekak
A : terdengar wheezing
Pe : Bunyi tympani
4. Eliminasi
Terpasang kateter urin, dengan volume urin bag sebanyak ± 100 cc,
warna urin kuning.
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
1. Hematologi
2. Kimia darah
24
oedem laring
Persepsi nyeri
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Gangguan integritas
kulit