You are on page 1of 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi
obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah menimbulkan reaksi
obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping. Reaksi
tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru disamping penyakit dasarnya,
tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan maut juga. Hipokalemi, intoksikasi
digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik merupakan contoh-contoh
efek samping yang potensial bebahaya. Gatal-gatal karena alergi obat,
mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi efek
samping yang ringan. Diperkirakan efek samping terjadi pada 6 sampai 15%
pasien yang dirawat di rumah sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-
10% dari efek samping. 40-60% disebabkan oeh gigitaan serangga, 20-40%
disebabkan oleh zat kontrasradiografi, 10-20% disebabkan oleh penicillin.
Syok anafilaktik merupakan bentuk terberat dari reaksi obat.
Anafilaktis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari
500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,
khususnya penisilin. Penisilin merupakan reaksi yang fatal pada 0,002 %
pemakaian. Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoik yang tersering adalah
pemekaian media kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontraksi
menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal
terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian
berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.
Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan 6
kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun
1959 – 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi
selama periode 1985-1989. Anafilaktif memang jarang terjadi, tetapi bila
terjadi umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena
itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapai keadaan tersebut sangat
diperlukan. Berangkat dari insiden tersebut, penulis merasa tertarik untuk
2

membahas lebih lanjut tentang syok anafilaktik dengan tujuan agar mahasiswa
pun pembaca mengetahui tentang konsep teori dari anafilaksis dan menerapkan
asuhan keperawatan yang tepat pada pasien syok anafilaktik.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Syok anafilaksis
2. Mendeskripsikan tentang konsep medis mengenai Syok anafilaksis, mulai
dari defenisi penyakit, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.
3. Mengetahui konsep keperawatan pada pasien dengan Syok anafilaksis,
mulai dari pengkajian, diagnose, dan intervensinya.
3

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori


1. Definisi
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan
oleh reasi alergi (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical
Care), Hal.1033 ).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon
hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan
vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular (Robbins &
Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui
suntikan atau cara lain ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III
Jilid I, Hal. 622).

2. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme
IgE maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab
anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon,
faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan
bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
4

3) Obat lain (dekstran, flouresens)


4) Aktivasi komplemen
5) Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
6) Bahan dialisis
7) Modulasi metabolisme
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid
3. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
1) Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung
dan Palatum.
2) Pernapasan :
(1) Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
(2) Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
(3) Lidah : edema
(4) Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
3) Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi
sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik,
atau tanda-tanda infark miokard
4) Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-
kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.
5) Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
6) Mata : gatal, lakrimasi
7) Susunan saraf pusat : gelisah, kejang
4. Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun
yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel
mast dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE)
(anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok
anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan
makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi
5

histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator


menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos
bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran
kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan
dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran
Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu
kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan /
suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling
sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein
yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada
dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel
makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody
immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-
sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan
diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil
membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai
pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di
sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama,
maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk
dan diikat membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan
dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan
mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet
Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan
mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi
hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut
dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak
dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin.
6

Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan
basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane
sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam
arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga
merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses
terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan
fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan
IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang
memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi
anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi
komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara
langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium,
antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang
terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema
karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan
menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat
terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi
miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila
sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
7

Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat


dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan
yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan
bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan
pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.
8

5. Pathway
9

6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik,
maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a) Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk
mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya
hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan
mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu
pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
b) Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun
setelah reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi
imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra
vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat
mengancam kehidupan.
c) Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh
antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat
spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada
beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung (non
imunologik) pada pelepasan histamin.
d) Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan
RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan
matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah
imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks
dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan
radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e) Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan
jumlah .
10

7. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah
ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini
karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan
erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1
:1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3
ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM)
dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml
sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi
epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi
absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat
suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila
keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di
perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan
dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau
diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis
terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
a) Memelihara saluran napas yang memadai.
Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya
saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada
kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk
mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
11

diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada


pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering
menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering
mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya
tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan
yamg dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi
membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera
dirujuk ke rumah sakit.
b) Pemberian oksigen 4-8 liter/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun pada kardiovaskular.
c) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian
bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini
dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc-
0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau
aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5%
atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
a) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat
baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma,
dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan
sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja
mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh
darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat
menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
b) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolik.
c) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan
CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari
12

kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat


yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
d) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan,
para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan
infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam
250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4
mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila
diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann
anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan
pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin
1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa
endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas
kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi
obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan
tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat
penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi
dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi
reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian
inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat
disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1dangan AH2 bekerja
secara kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah.
Tergantung beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau
parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin
(150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai
ranitidin.
13

c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang


mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular.
Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis
akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis
yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan
tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena
dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya.
Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD,
Hal.190-192)
8. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
1) Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
2) Bronkospasme persisten
3) Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
4) Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
5) Kerusakan otak permanen akibat syok.
6) Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
7) Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I.
Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Primary Survey
1) Airway
a. Tanda – tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain ( look, listen, feel ) :
a) Adanya rasa tercekik di daerah leher
b) Suara serak sebab edema pada laring
c) Bersin hingga tersumbat serta adanya batuk, dan bunyi mengi.
d) Ditemukan edema pada lidah.
b. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
14

c. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas


pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift / jaw trust
b) Oropharyngeal airway/ nasophariyngeal airway, laryngeal
mask airway
c) Lakukan intubasi
2) Breathing
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain ( look, listen, feel ) :
a. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest,
sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
c. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
a) Pada syok anafilaktik bunyi stridor pada auskultasi paru
b) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
c) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d) Penilaian kembali status mental pasien.
e) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
- Pemberian terapi oksigen : Bag-Valve Masker
- Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
15

3) Circulation
Pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Terjadi hipotensi sampai syok, Aritmia
b. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
c. Gelisah
d. Pusing
e. Takikardi
f. Palpitasi
g. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi (pasang IV line)
4) Disability
A : Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan.
V : Vocalises, mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti.
P : Responds to pain only ( harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
U : unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
2. Secondary Survey
1. Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.
2. Riwayat AMPLE
S : Sympthom (tanda dan gejala)
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis,
atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan
obat-obatan herbal)
16

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,


dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab syok (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama) (Emergency Nursing
Association, 2007)

2. Catat adanya drainase dari mata dan hidung


3. Inspeksi lidah dan mukosa oral
4. Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
5. Kaji peristaltik saluran GI
6. Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
7. Pemeriksaan fisik

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas


2. Ketidakefektifan pola napas b/d spasme otot bronkus.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d penurunan curah jantung dan
vasodilatasi arteri
4. Gangguan integritas kulit b/d peningkatan produksi histamine dan
bradikinin oleh sel mast.
5. Gangguan Rasa nyaman b/d Hipermotilitas saluran cerna
2.2.3 Intervensi

Diagnosa NOC NIC

Ketidakefektifan Status pernafasan : Manajemen anafilaktik


bersihan jalan kepatenan jalan nafas Aktivitas-aktivitas:
nafas b.d Indikator: - Identifikasi dan bersihkan semua
obstruksi pada - Pernafasan cuping hidung: sumber alergi
jalan nafas 4-5 - Berikan cairan epinefrin 1:1000 melalui
- Penggunaan otot bantu subkutan dengan dosis sesuai usia
pernafasan : 4-5 - Berikan posisi yang nyaman
17

- Batuk : 4-5 - Pasang torniket sesegera mungkin pada


- Akumulasi sputum : 4-5 area diatas tempat masuknya alergen
- Sesak nafas saat istirahat : - Pertahankan kepatenan jalan nafas
4-5 - Monitor tanda-tanda vital
- Suara nafas tambahan :4-5 - Mulai pemberian cairan infus berupa
Keterangan : normal saline, Ringer laktat, atau
1 : Sangat berat plasma volume expander, yang sesuai
2 : Berat - Berikan cairan IV secara cepat (1000
2 : Cukup ml/jam) untuk mempertahankan tekanan
3 : ringan darah sesuai dengan instruksi dokter
4 : tidak ada atau protokol yang berlaku.
Keparahan Syok : - Berikan obat-obat
Anafilaktik spasmolitik,antihistamin atau
Indikator : kortikosteroid sesuai dengan keadaan
- Penurunan tekanan darah pasien, jika terjadi urtikaria,
sistolik : 4-5 angioderma, bronkospasme.
- Penurunan tekanan darah - Monitor kekambuhan reaksi anafilaktik
diastolik : 4-5 selama 24 jam.
- Laringospasme : 4-5
- Sesak nafas : 4-5
- Muntah : 4-5
- Diare : 4-5
- Penurunan urin output : 4-
5
- Penurunan tingkat
kesadaran : 4-5
Keterangan :
1 : Berat
2 : Cukup Berat
5 : Sedang
6 : ringan
7 : tidak ada
18

Ketidakefektifan Perfusi Jaringan : perifer Manajemen Syok


perfusi jaringan Indikator:
Aktivitas – aktivitas :
perifer b.d
 Muka Pucat : 4-5
penurunan curah 1. Monitor tand-tanda vital, tekanan
 Nilai rata-rata tekanan
jantung dan darah orthostatik, status mental
darah : 4-5
vasodilatasi dan output urin
 tekanan darah sistolik : 4-5
arteri 2. Posisikan pasien untuk
 tekan darah diastolik : 4-5
mendapatkan perfusi yangoptimal

Keterangan : 3. Buat dan pertahankan kepatenan

1 : berat jalan nafas

2 : cukup berat 4. Berikan oksigen dan / ventilasi

3: sedang mekanik sesuai kebutuhan

4: ringan 5. Monitor determinan dari

5: tidak ada pengiriman oksigen ke jaringan

Integritas jaringan : Kulit (mislanya PaO2, SaO2, niali

dan membran mukosa hemoglobin dan CO)

Indikator : 6. Berikan cairan IV kristaloid dan

- Suhu kulit 4-5 koloid

- Perfusi jaringan : 4-5


- Integritas kulit : 4-5
- Eritema : 4-5
Keterangan :
1 : Sangat terganggu
2 : Banyak terganggu
3 : Cukup Terganggu
4 : Sedikit terganggu
5 : tidak terganggu
19

2.2.4 Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar
implementasi/pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif
maka perlu mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat
respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta
mendokumentasikan pelaksanaan perawatan (Doenges Marilynn E, 2000,
Rencana Asuhan Keperawatan).

2.2.5 Evaluasi
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon
pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil
yang diharapkan telah dicapai. Evaluasi merupakan proses yang interaktif
dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat
dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan
kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan/hasil
pasien yang mungkin diperlukan.
20

BAB III

TINJAUAN KASUS

I. PENGKAJIAN
Tanggal masuk : 12 Juli 2012, Pukul 13.40 WIB
Tanggal pengkajian : 12 Juli 2012, Pukul 13.40 WIB
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn.W
2. Usia : 65 Tahun
3. No. Register : 01154605
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Suku Bangsa : Jawa
6. Pekerjaan : Swasta
7. Agama : Islam
8. Status Perkawinan : Belum menikah
9. Alamat :-
10. Diagnosa Medis : Syok anafilaktik
B. Pengkajian Primer
1. Airway
Mulut bersih, oedem laring
2. Breathing
RR: 28x/menit, nafas cepat dan dangkal, terdapat pernafasan cuping
hidung, wheezing (+), rhonki (-), dipasang masker dengan O2
sebanyak 8 liter per menit.
3. Circulation
TD 70/palpasi, Nadi: 130x/ menit, Suhu : 360 C, capillary refill > 2
detik, akral dingin, turgor kulit kurang elastis, wajah pucat,
konjungtiva anemis, EKG : sinus takikardi
4. Disability
Tingkat kesadaran somnolen, dengan nilai GCS 12 (E3V4M5).
21

C. Pengkajian Sekunder
1. Exposure
Terdapat urtikaria pada wajah, leher, ekstremitas atas dan bawah,
abdomen
2. S : Pasien merasa sesak, gatal seluruh tubuh, diikuti mual,
muntah, dan keringatan.

A : Tidak ada riwayat alergi

M : Obat yg di makan, amoksisilin 500mg, asam mefenamat 500 mg


dan dexametason 0,5 mg

P :-
L : pasien minum obat 20 menit yang lalu, Obat yg di makan,
amoksisilin 500mg, asam mefenamat 500 mg dan dexametason
0,5 mg
E : 20 menit yang lalu pasien minum obat karena sakit gigi,
kemudian Satu atau dua menit setelah makan obat pasien merasa
sesak, gatal seluruh tubuh, diikuti mual, muntah,dan keringatan.
3. Pemeriksaan Fisik

Bagian Keterangan

Bentuk mesochepal, rambut hitam, penyebaran


Kepala
rata, tidak terdapat luka.

Konjungtiva anemis, ikterus -/- , tidak terdapat

Mata perdarahan pada mata, ukuran pupil tidak sama


kanan 5mm, kiri 3 mm, reflek pupil +/+, oedem
periorbital, lingkaran hitam dibawah mata,
lakrimasi

Telinga Telinga bersih, tidak terdapat sekret yang keluar,


telinga kanan dan kiri simetris, tidak ada luka dan
bengkak pada telinga.
22

Mulut & Gigi Bibir kering pucat, tidak pecah-pecah, tidak


terdapat sariawan, mulut bersih, tidak ada
perdarahan pada gusi.

Leher Urtikaria, Tidak ada luka, tidak terdapat


pembesaran kelenjar tiroid.

Jantung I :Ictus cordis tidak nampak

Pa: ictus cordis teraba di SIC V

Pe : Bunyi pekak

A : Tidak terdapat suara jantung tambahan

I : Pengembangan paru simetris antara kanan dan


Paru kiri,terdapat retraksi dinding dada, menggunakan
otot bantu pernafasan.

Pa: taktil fremitus tidak dikaji.

Pe : terdengar bunyi sonor di seluruh lapang paru

A : terdengar wheezing

I :datar, tidak ada lesi pada abdomen, Urtikaria


Abdomen
A : BU (+) 6x/menit.

Pa: terdapat nyeri tekan pada abdomen region


kanan bawah, tidak terdapat massa

Pe : Bunyi tympani

Ekstremitas Urtikaria, Tidak Terdapat luka pada tangan kanan


atas dan kiri, kekuatan otot tidak dikaji.

Ekstremitas Urtikaria, Tidak Terdapat luka pada kaki kanan


23

bawah dan kiri, kekuatan otot tidak dikaji

Genetalia Tidak dikaji

4. Eliminasi
Terpasang kateter urin, dengan volume urin bag sebanyak ± 100 cc,
warna urin kuning.
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
1. Hematologi

2. Kimia darah
24

II. ANALISA DATA

NO. DATA MASALAH ETIOLOGI

1 DS: Ketidakefektifan reaksi antigen dalam


Pasien mengatakan sesak bersihan jalan nafas tubuh
DO:
Oedem laring histamin
RR : 28x/menit, nafas
cepat dan dangkal, permeabilitas
terdapat pernafasan kapiler
cuping hidung, wheezing
(+), dipasang masker banyak plasma
dengan O2 sebanyak 8 hilang
liter per menit.
syok sirkulasi
dinding

spasme otot polos


bronkus

oedem laring
Persepsi nyeri

Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas

2. DS: Gangguan integritas Aktivasi


Pasien mengeluh gatal- kulit komplemen Ig A
gatal
DO: Reaksi komplemen
Pasien tampak imun
menggaruk bagian yang
gatal Histamin meningkat
25

Terlihat urtikaria pada


bagian wajah,leher,badan Vasodilatasi perifer
dan ekstremitas, oedem menyeluruh
periorbital, lingkaran
hitam dibawah mata, Kemerahan
lakrimasi
Urtikaria

Gangguan integritas
kulit

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas
2. Gangguan integritas kulit b/d peningkatan produksi histamine dan
bradikinin oleh sel mast.

You might also like