You are on page 1of 17

BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Siswa Usia Madrasah Ibtidaiyah

Usia rata-rata anak Indonesia yang masuk madrasah ibtidaiyah adalah 6

6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian

tahapan perkembangan anak, berarti anak usia sekolah madrasah ibtidaiyah

berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9

tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).1

Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan

anak-anak yang usianya lebih muda. Anak pada usia ini senang bermain,

senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan

atau melakukan sesuatu secara langsung.2

Oleh sebab itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang

mengandung unsur permainan, mengusahakan siswa berpindah atau

bergerak, bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan

kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.

Sayangnya, paradigma yang diikuti banyak praktisi pendidikan saat ini

adalah learner centered, yaitu artinya bahwa siswa dianggap sebagai

pembelajar utama dan menjadi orbit semua aktivitas pembelajaran dalam

1
Desmita, Psikologi Perkembangan Pesrta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2016), Cet. Ke-6, h. 35
2
Ibid.

4
5

kelas. Untuk itu perlu diketahui gambaran siswa madrasah ibtidaiyah yang

menjadi pusat orbit pembelajaran itu.

Saat ini kurang tepat kalau melihat siswa hanya dari satu sisi belaka.

Artinya, hanya mengandalkan satu teori perilaku (behaviorisme) saja tidak

cukup. Begitu juga sebaliknya, siswa tidak cukup hanya dilihat dari sisi

iternal mentalnya (kognitivisme) saja. Oleh karena itu, untuk memaparkan

karakteristik siswa, kedua faktor internal dan eksternal dipakai secara

bersamaan sehingga didapatkan gambaran siswa yang utuh.3

Berikut ini adalah karakteristik belajar siswa MI dari berbagai aspek,

kognitif, biologis, dan sosial.

1. Karakteristik Belajar Internal Anak Usia Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Karakteristik belajar internal siswa banyak dipengaruhi oleh unsur

kognitif dan fisiologis otak. Kemampuan kognitif merupakan sesuatu

yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Aspek

kognitif merupakan isi internal yang bertanggung jawab atas proses

pembelajaran.4

a. Karakteristik Siswa Usia Madrasah Ibtidaiyah Secara Umum.

Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam

menyusun pengetahuan dan pemahamannya mengenai realitas.

Anak bukanlah tabularasa, seperti kertas putih atau gelas kosong

yang hanya pasif menerima informasi. Walaupun proses berfikir

anak mengenai realitas telah dipengaruhi oleh pengalaman dengan

3
Suhada, Modul Sejarah Kebudayaan Islam, (Tanggerang: Yapin An-Namiyah, 2015),
Cet. Ke-1, h. 14
4
Ibid.
6

dunia sekitarnya, namun anak lebih berperan aktif dalam

menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui

pengalamannya, serta dalam mengadaptasikannya pada

pengetahuan dan dunianya sendiri.5

Rata-rata umumnya perkembangan kognisi anak usia MI

berkisar antara 6-12 tahun mulai dari kelas satu sampai kelas enam.

Masa ini diidentifikasi oleh piaget sebagai period ke-3 dari empat

periode schemata kognisi. Keempat priode tersebut adalah:

1) Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)

2) Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)

3) Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

4) Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)6

Periode ketiga inilah yang dekat dan identik dengan usia MI.

Pada usia ini siswa mampu menggunakan logika yang memadai,

daya pikirnya sudah berkembang ke arah berfikir konkret dan

rasional (dapat diterima akal). Piaget menamakannya sebagai masa

operasi konkret, masa berakhirnya berfikir khayal dan mulai

berfikir konkret (berkaitan dengan dunia nyata).7

Dalam masa ini muncul ciri berupa penggunaan logika yang

memadai, kemampuan logika yang mereka kuasai berupa

pemikiran operasional konkrit, yang meliputi:

5
Ibid., h. 15
6
Ibid., h. 16
7
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2016) Cet. Ke-17. H.178
7

1) Pengurutan

Kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk,

atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran,

mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke

yang paling kecil.

2) Klasifikasi

Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi

serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau

karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-

benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian

tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa

animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan

berperasaan).

3) Decentering (Pelebaran Perspektif)

Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu

permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh

anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek

lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.

4) Reversibility

Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat

diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak

dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-

4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.


8

5) Konservasi

Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-

benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau

tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh,

bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama

banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain

yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama

banyak dengan isi cangkir lain.

6) Penghilangan Sifat Egosentrisme

Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang

lain.8

Anak pada usia Madrasah Ibtidaiyah tersebut, anak mulai

menunjukan perilaku belajar sebagai berikut:

1) Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu

aspek situasi ke aspek lainnya secara reflektif dan memandang

unsur-unsur secara serentak.

2) Mulai berfikir secara operasional.

3) Mengklasifikasikan benda-benda.

4) Membentuk dan menggunakan keterhubungan aturan-aturan,

prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan

sebab akibat.

8
“Perkembangan Kognitif Siswa Menurut Jean Piaget,” dalam www.wordpress.com,
didownload pada hari Senin, 2 April 2018 pukul 11.30 WIB
9

5) Memahami konsep substansi dari benda yang dipelajari seperti

volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.9

b. Karakteristik Siswa Dari Sisi Fisiologis Otak

Saat ini otak dianggap sebagai organ tubuh yang bertanggung

jawab atas proses pembelajaran terutama yang bersifat obyektif.

Otak adalah mesin penemu yang luar biasa hebat sampai bisa

mengantarkan manusia untuk sampai ke bulan.

Faktor internal lain dari dalam diri siswa digambarkan oleh

Teori Quantum Learning dari upaya Georgi Lozanov, pendidik

berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan penelitian yang disebutnya

suggestology. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti

mempengaruhi hasil situasi belajar. Teori yang akhirnya

dikembangkan oleh DePorter ini menunjukkan bahwa siswa punya

modal tinggi untuk mempelajari banyak hal dengan mengandalkan

apa yang ada di antara telinga kanan dan kiri, yaitu otak. Teori ini

juga mengidentifikasi kecenderungan belajar siswa yang berbeda-

beda.10 Perbedaan kecenderungan gaya belajar itu antara lain:

1) Kinestetik/somatik : Belajar dengan bergerak dan berbuat.

2) Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar.

3) Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan.

9
Suhada, op. cit., h. 16-17
10
“Karakteristik Anak Usia SD,” dalam www.khalidashopia. Blogspot.co.id, didiownload
pada hari Senin, 2 April 2018 pukul 12.00 WIB
10

4) VAK : Gabungan dari ketiga gaya belajar di atas.11

Sedangkan menurut konsep yang di kembangkan oleh Gardner

yang dikenal dengan Multiple Intelegences (Beragam Kecerdasan)

yang di pengaruhi oleh aktivitas kultural. Komponen-komponen

intelegensi yang mempengaruhi karaktersitik siswa MI dari sisi

fisiologis otak adalah:

1) Verbal Linguistik

Kecerdasan yang bertanggung jawab atas sensibilitas terhadap

bunyi, ritme, arti kata-kata dan fungsi bahasa.

2) Logika/Matematik

Kecerdasan yang mengembangkan sensibilitas dan kapasitas

yang mendeteksi pola-pola logika bilangan.

3) Musikal

Kemampuan untuk menghasilkan dan memahami nada, ritme

(melodi) dan ekspresi musik.

4) Spasial Visual

Kemampuan untuk memahami, memproses, dan berfikir dalam

bentuk visual dan menerjemahkannya ke dalam pikirannya

(imajinasi mereka sendiri).

5) Kinestetik

Yaitu kecerdasan dalam melakukan gerakan tubuh dan anggota

badan.

11
Ibid.
11

6) Naturalis

Adalah kemampuan untuk mengenali dan mengelompokan

fitur tertentu di lingkungan fisik sekitarnya, seperti binatang,

tumbuhan, dan kondisi cuaca. Kecerdasan ini membuat anak

mampu untuk mencintai lingkungan dan sesama makhluk

hidup.

7) Interpersonal

Kemampuan mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan

perasaan orang lain. Peka pada ekspresi wajah, suara dan

gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon

secara efektif dalam berkomunikasi.

8) Intrapersona

kemampuan untuk membedakan perasaanya yang kompleks

dan menggunakannya dalam berperilaku seperti pemahaman

atas kekuatan, kelemahan, keinginan, dan kecerdasan pada

dirinya.12

2. Karakteristik Belajar Siswa dari Faktor Eksternal Usia Madrasah

Ibtidaiyah (MI)

Anak tidak hanya belajar lantaran dorongan internal yang mereka

miliki dan kemampuan kognitif yang mengandalkan kerja dua belah

12
Suhada, op. cit., h. 18-19
12

otak. Anak juga belajar banyak dari faktor-faktor eksternal. Faktor-

faktor itu bisa berupa stimuli dari luar dirinya.

Menurut Bandura, “anak usia tingkat madrasah ibtidaiyah cendrung

belajar dengan cara modelling (pemodelan), yaitu menyesuaikan atau

mencontoh perilaku orang lain”.13

Melalui interaksi sosial seorang anak dapat belajar melalui

pengamatan (observation learning). Teori ini dikenal dengan nama

Operant Conditioning. Ada empat elemen penting yang menurut

Badura perlu di perhatikan dalam pembelajaran melalui pengamatan

yaitu:

a. Atensi

Anak bisa mempelajari sesuatu dengan baik apabila mereka

punya atensi (perhatian). Perhatian siswa biasanya tertuju pada apa

yang dimodelkan jika guru melakukannya dengan baik, menarik,

serta tahap demi tahap. Dengan atensi yang dia punyai, siswa

dengan senang hati menirukan keterampilan yang dilatihkan.

b. Retensi

Anak-anak usia madrasah ibtidaiyah bisa mengingat sesuatu

dengan baik lewat latihan dan pembiasaan yang sering atau disebut

retensi.

13
Ibid.
13

c. Reproduksi

Anak-anak usia madrasah ibtidaiyah senang sekali diberi

kesempatan untuk menunjukan apa yang dia kuasai.

d. Motivasi

Anak belajar sesuatu apabila mempunyai motivasi-motivasi

tertentu. Motivasi itu bisa berupa mendapatkan prestasi atau

menghindari hukuman.14

B. Implikasi Karakteristik Siswa Usia MI dalam Pembelajaran SKI

Karakteristik siswa usia tingkat MI yang dilihat dari berbagai teori

berimplikasi pada proses pembelajaran secara menyeluruh. Hal ini

dikarenakan oleh gagasan bahwa siswa tidak hanya dianggap belajar dari

dorongan internal dan kognitifnya saja tapi juga dari faktor eksternal yang

ada di seklilingnya.

Implikasi karakteristik siswa usia MI terhadap pembelajaran SKI

berdampak pada:

1. Implikasi Terhadap Perubahan Paradigma Pembelajaran

Mengingat bahwa peserta didik adalah subyek pembelajar utama

dalam kelas, maka perlu juga dilakukan perubahan paradigma

pembelajaran dari teacher centered menjadi learner centered. Berikut

ini adalah daftar perbedaan pembelajaran dengan dua paradigma yang

berbeda:

14
Ibid., h. 19-20
14

TEACHER CENTERED LEARNER CENTERED

 Pengetahuan ditransfer dari guru ke  Pengetahuan dibangun oleh

siswa. siswa.

 Pemerolehan pengetahuan lewat  Pemerolehan pengetahuan lewat

hafalan. komunikasi.

 Guru satu-satunya sumber  Guru bertindak selaku fasilitator.

pengetahuan.  Penilaian jadi satu dengan

 Pelaksanaan penilaian terpisah dari pembelajaran.

pembelajaran.  Penilaian untuk mendiagnosisi

 Mengajar dan menilai merupaka dua masalah guna perbaikan.

hal yang dipisahkan.  Mencari jawaban yang lebih baik

 Penilaian terhadap hasil belajar. dan belajar dari keslahan di

 Jawaban yang benar adalah tuntutan utamakan.

utama.  Kooperatif, kerjasama, dan saling

 Kompettif dan individualis. mendukung.

 Hanya siswa dianggap pembelajar  Guru dan siswa sama-sama

belajar.

Dengan paradigma learner centered, guru lebih banyak

memperhatikan keadaan dan kebutuhan siswa dari pada untuk

memikirkan materi yang diajarkan. Pemilihan strategi pembelajaran

lebih diutamakan dari pada materi ajar, karena pengalaman belajar

siswa dianggap lebih penting dari pada ketersampaian materi.


15

Adapun implikasi karakteristik anak usia MI terhadap

Pembelajaran SKI yaitu sebagai berikut:

a. Orientasi pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam bukan sekedar

pada hasilnya. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam lebih

dipusatkan pada proses berfikir atau proses mental. Di samping

kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan

anak sehingga sampai pada jawaban itu.

b. Pembimbingan peserta didik dalam pembelajaran Sejarah

Kebudayaan dapat dilaksanakan dengan memberikan kesempatan

seluas-luasnya kepada siswa untuk menampilkan perannya dalam

berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan

pembelajaran. Di dalam kelas, penyajian pengetahuan jadi (ready

made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak di dorong

menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan

dengan lingkungannya.

c. Pemakluman akan adanya perbedaan individual dalam hal

kemajuan perkembangan diperlukan dalam pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh

siswa tumbuh melalui urutan perkembangan yang sama. Namun

pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda.

d. Implikasi teori Vigotsky terhadap pembimbingan (scaffolding)

peserta didik dalam belajar Sejarah Kebudayaan Islam adalah

bahwa tugas guru adalah menyediakan dan mengatur lingkungan


16

belajarbagi siswa dan mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan,

serta memberikan dukungan yang dinamis, sedemikian sehingga

setiap siswa berkembang secara maksimal dalam zona

perkembangan masing-masing.

e. Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik

tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat

pengetahuan yang dimilikinya.

f. Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat

pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya. Hal ini

dikarenakan oleh perbedaan-perbedaan yang tidak bisa dilepaskan

dari kehidupan siswa baik itu yang menyangkut pikiran atau

tindakan.

g. Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus

bekerja sama dengan peserta didik yang lain. Peserta didik bisa

belajar bekerja sama dengan yang lainnya untuk menyelesaikan

tugas terstruktur atau tidak.

h. Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk dan

menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang

dimilikinya. Peserta didik tidak dianggap sebagai tabularasa

melainkan individu yang kaya dengan pengetahuan yang

diperolehnya lewat pengalaman.15

15
Khalidasophia, op. cit.
17

2. Implikaski Terhadap Pemilihan Model Pembelajaran

Beragamnya cara pandang dan teori yang dipakai untuk melihat

karakteristik siswa tingkat MI menuntut berbagai implementasi dalam

model pembelajaran SKI. Dalam model pembelajaran terdapat strategi

pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik

pembelajaran.

Joyce dan Weil mengklasifikasi model-model pembelajaran

menjadi empat kelompok, yaitu model pemrosesan informasi, model

pengembangan pribadi, model interaksi sosial, dan model modifikasi

tingkah laku.

a. Model-model Pemrosesan Informasi

Model pemrosesan informasi menitik beratkan pada penyelesaian

masalah, oleh karenanya model ini menekankan pada pemikiran

produktif. Beberapa contoh dari model ini adalah:

1) Model Pencapaian Konsep

Model pengembangan proses bertumpu pada proses

berpikir, antar lain adalah bagaimana cara mengorganisasikan

data atau informasi sehingga terbentuk konsep. Di samping itu,

juga dipelajarai cara-cara memahami konsep-konsep secara

efektif serta cara-cara penyajian yang bertahap sesuai dengan

tingkat pengetahuan siswa.

2) Model Berfikir Induktif


18

Dalam model ini, kemampuan untuk menciptakan konsep

dari upaya induksi dijadikan landasan utama untuk

mengembangkan kemampuan berpikir.

3) Model Inquiry

Pada hakikatnya belajar adalah berupa latihan berpikir

melalui pertanyaan-pertanyaan. Siswa dilatih berpikir secara

deduktif (misalnya merumuskan masalah-masalah dan

membuat hipotesis), maupun secara induktif (misalnya dapat

menarik kesimpulan dari data yang mereka cari).

4) Model Pengembangan Pola Berpikir Ilmiah

Model ini mengembangkan cara berpikir yang efektif,

denag asumsi bahwa dengan berpikir efektif, siswa akan dapat

menyerap lebih banyak informasi maupun konsep-konsep.16

b. Model-model Pengembangan Pribadi

Strategi belajar dari model Pengembangan Pribadi bertolak

dari kepentingan individual. Proses belajarnya ditunjukan untuk

memahami dirinya, kemudian meningkatkannya pada kemampuan

yang lebih tinggi, lebih kuat pendiriannya, lebih sensitif, yang

semuanya itu ditujukan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih

baik.17

Beberapa model yang termasuk dalam pengembangan pribadi

ini adalah:

16
Suhada, op. cit., h.25
17
Ibid., h. 26
19

1) Model Latihan Kesadaran Diri

Model ini memberi kesempatan kepada para siswa untuk

melakukan aktivitas, misalnya melakukan percobaan,

presentasi dan bertukar pikiran. Cara ini bertujuan agar para

siswa menyadari kapasitas diri, pikiran maupun perasaanya

sehingga berkembang secara lebih efektif.

2) Model Kerja Kelompok di Dalam Kelas

Model ini mempunyai tujuan akademik yang diraih

melalui tugas-tugas kelompok. Cara ini sekaligus dapat

digunakan untuk mengembangkan rasa tanggung jawab,

percaya diri, dan rasa solidaritas dalam bermasyarakat.18

c. Model-model Interaksi Sosial

Model interaksi sosial menekankan pada adanya hubungan

kerja sama antara individu dengan masyarakat, atau dengan pribadi

lain. Beberapa contoh model interaksi sosial ialah:

1) Model Penelitian Beregu

Model Penelitian Beregu Dapat digunakan untuk tujuan

belajar yang bersifat akademik maupun sosial, misalnya, untuk

menjadi seorang warga negara yang demokratis dan mampu

ikut memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi.

18
Ibid.
20

2) Model Bermain Peran

Model ini memberi kesempatan kepada siswa-siswa untuk

mengembangkan kemampuan sosial. Para siswa mepraktikkan

untuk menempatkan diri mereka di dalam peran-peran, guru

mengatur siswanya untuk berperan sesuai dengan

permasalahan yang akan dibahas. Dengan cara ini, diharapkan

siswa tidak hanya dapat lebih memahami permasalahan, tetapi

juga dapat menghayati nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya.

3) Model Latihan Dalam Laboratorium

Pembelajaran dilakukan melalui berbagai pengalaman

praktis maupun simulatif. Tujuannya adalah untuk

mengembangkan sikap dan pemahaman terhadap nilai-nilai

yang terkandung dalam interaksi antar manusia.19

19
Ibid., h. 27

You might also like