You are on page 1of 18

REFLEKSI KASUS April 2018

“THALASSEMIA MAYOR”

Nama : Ery Prayudi


No. Stambuk : N 111 17 065
Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018

1
PENDAHULUAN

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik herediter


yang diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek genetik pada
pembentukan rantai globin. Penyakit ini baru muncul pada seseorang apabila ia
memiliki dua gen talasemia yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu satu dari ayah
dan satu dari ibu.1
Thalasemia tersebar diseluruh ras di mediterania, Timur tengah, India sampai
Asia tenggara dan presentasi klinisnya bervariasi dari asimptomatik sampai berat
hingga mengancam jiwa, tetapi tidak menutup kemungkinan penyakit ini dapat
ditemukan dimana saja diseluruh dunia.2
WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-
400 ribu bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalassemia di
Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita
baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia.3
Saat ini, penyakit thalasemia merupakan penyakit genetika yang cukup
banyak di Indonesia. Frekuensinya terus meningkat per tahun. Walupun begitu,
masyarakat tidak menaruh perhatian yang cukup besar terhadap penyakit yang sudah
menjadi salah satu penyakit genetika terbanyak ini. Hal ini disebabkan karena gejala
awal dari penyakit sangat umum. Padahal gejala akhir yang ditimbulkan akan sangat
fatal jika tidak ditangani secara akurat, cepat, dan tepat.4
Melihat kenyataan ini, maka sebaiknya kita harus mewaspadai dengan cara
mengetahui dengan benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini dapat
diidentifikasi dan penanganannya pun dapat dilakukan secara dini dengan cara yang
tepat.5

2
STATUS PASIEN

Identitas pasien
Nama : An. N
Umur : 12 thn 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal pemeriksaan : 2 April 2018
Ruangan : Catelia

Anamnesis
Keluhan Utama : Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak perempuan umur 12 tahun masuk rumah sakit tanggal 2 April
2018 dengan keluhan lemas yang dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Lemas dirasakan
hampir sepanjang hari disertai dengan pusing sehingga mengganggu akitifitas pasien,
keluhan berkurang jika pasien istirahat. Pasien juga mengeluhkan pucat pada hampir
seluruh bagian tubuhnya, keluhan dirasakan bersamaan dengan rasa lemasnya dan
nafsu makan menurun, keluhan seringkali di alami oleh pasien sejak kecil. Riwayat
BAB biasa, BAK lancar.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Pasien pertama kali mengalami keluhan yang sama pada usia 5 tahun, pasien
dirawat dengan penyakit Thalassemia dan sering keluar masuk rumah sakit. Pasien
terakhir kali dirawat 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama. Pasien rutin dalam
mengkonsumsi obat Desferasirox.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada riwayat penyakit di dalam keluarga pasien.

3
Riwayat makanan:
ASI Eksklusif 0-6 bulan
Bubur saring diberikan saat usia 6 bulan sampai 11 bulan
Makanan padat saat berusia 1 tahun
Riwayat sosial-ekonomi: menengah
Riwayat kebiasaan dan lingkungan:
Pasien sehari-hari beraktivitas di dalam maupun di luar rumah, riwayat pendidikan
sekolah pasien tidak terganggu.
Riwayat kehamilan dan persalinan :
Pasien merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Lahir normal, cukup bulan, lahir
langsung menangis, berat bayi lahir 2.800 gram.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Tingkat Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 127 cm
Berat Badan : 31 Kg
Status Gizi : CDC score 119 % (Gizi baik)

Tanda-tanda Vital
Nadi : 127 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu Badan : 37,3oC

Kulit : warna sawo matang, eritema (-), turgor < 2 detik, pucat (+), ikterus
(+)
Kepala : Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, tebal,
alopesia (-)
Mata : Palpebra : edema (-/-)

4
Konjungtiva : anemis (+/+)
Sklera : ikterik (+/+)
Refleks cahaya : (+/+)
Cekung : (-/-)
Telinga : otorhea (-/-)
Hidung : rhinorrhea (-/-)
Mulut : sianosis (-), kering (-)
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil : T1-T1 hiperemis (-/-), ulcus (-/-)
Faring : hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening : -/-
Toraks :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Ekspansi dada simetris bilateral
Palpasi : Fremitus vokal ka=ki
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Bronchovesikuler +/+, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midmclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, kesan normal
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
Perkusi : timpani (+), dullness (+) kuadran kiri atas dan bawah
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (+), spleenomegali (+) Schuffner
IV, ginjal tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, edem (-),

5
Genitalia : Tidak ada kelainan

Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 3,5 11,5-16,5 g/dl
Leukosit 14,6 3,5-10,5 /ul
Eritrosit 2,9 3,8-8,5 Juta/ul
Hematokrit 25 35-52 %

Trombosit 141 150-450 Ribu/ul

MCV 71,7 80 - 97 fl

MCH 23,6 26 – 32 pg

MCHC 32,9 31 - 36 g/dl

RESUME
Pasien anak perempuan umur 12 tahun MRS dengan keluhan malaise sejak 4 hari
yang lalu, disertai vertigo hampir sepanjang hari. Pasien juga mengeluhkan pucat
pada hampir seluruh bagian tubuhnya, keluhan sering dialami oleh pasien. Pasien
sebelumnya pernah dirawat pertama kali pada usia 5 tahun dengan keluhan yang
sama, dan di diagnosis Thalassemia, Pasien rutin mengkonsumsi obat Desferasirox
dari dokter.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan Umum : Sakit Sedang/


Composmentis/ Gizi Baik, Nadi: 127 x/menit, Pernapasan : 28 x/menit, Suhu Badan :
37,3oC, Kulit : Pucat (+) & Ikterik (+), Mata : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera
Ikterik (+/+), Abdomen : Hepatomegaly (+) Splenomegaly (+) Shuffner IV.

6
Diagnosis kerja : Anemia Susp. Thalassemia Mayor

Anjuran Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Fungsi Hati SGOT/SGPT
- Pemeriksaan Apusan Darah Tepi
- Pemeriksaan Aspirasi sum-sum tulang

Terapi :
 IVFD Ringer Lactate 12 tpm
 Desferasirox Tab 250 mg 3x1/hari
 Transfusi PRC 350cc / hari

7
DISKUSI

Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari
orang tua kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang
heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin yang
menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.1
Thalasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih,
sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk. Mutasi gen
pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa-thalassemia dan jika itu terjadi
pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit beta-thalassemia.6
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan
karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus
gen globin. Kerusakan pada salah satu kromosom homolog menimbulkan terjadinya
keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada kedua kromosom homolog
menimbulkan keadaan homozigot (-/-). 2

Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis
sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha,

8
khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya pembentukan
Hb.5
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying capacity
dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit)
mengalami hemolisa secara prematur.7
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-
sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang
prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang masif
yang memproduksi sel darah merah baru.2
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal
dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang
kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia
yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan menempatkan suatu stress
yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat sebagai kegalan dari
pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output, kerentanan terhadap
infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda tanpa
adanya terapi transfusi.3
Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen yang
sudah termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.4

9
1. Thalasemia α
a. Thalasemia homozigot (α0)
Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya
dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan
edema permagna dan hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan
eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s 80% dan sisanya
Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia gravidarum, perdarahan
post partum dan masalah karena hipertrofi plasenta. Pada pemeriksaan otopsi
memperlihatkan adanya peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi
berhasil diselamatkan dengan transfusi tukar dan berulang serta
pertumbuhannya bisa mencapai normal.1
b. HbH disease
Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL) dan
splenomegali sedang dimana Hb H (β4) dapat dideteksi dalam sel darah
merah dengan elektroforesis atau pada sediaan retikulosit. Pada kehidupan
janin ditemukan Hb Bart (γ4). HbH bisa diketahui dengan bantuan brilian
cresil blue yang akan menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan
inklusi. Setelah splenektomi, umumnya bentukkan ini makin banyak di
eritrosit. Pada beberapa kasus, penderita bisa tergantung transfusi sedangkan
sebagian besar kasus umumnya penderita bisa tumbuh normal tanpa
transfusi.3
c. Karier thalasemia α
Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-α). Biasanya
asimptomatis, didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan dengan
penurunan MCH dan MCV yang bermakna. Hb elektroforesisn normal dan
pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisa DNA. Pada masa neonatus, Hb
Bart’s 5-10 % tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang bisa
didapatkan inklusi pada eritrosit karier thalasemia α.4

10
2. Thalasemia β
Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan heterozigot
memperlihatkan gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang,
kesulitan makan, kelemahan umum. Bayi tampak pucat dan terdapat
splenomegali. Bila menerima transfusi berulang, pertumbuhannya bisa normal
hingga pubertas.7
Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak
bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal. Bila
terapi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukkan besi yang
efeknya mulai nampak pada dekade pertama. Adolscent growth spurt tidak akan
tercapai, komplikasi ke hati, endokrin, dan jantung.3
Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :
a. Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan
tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang
tersebut dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun.5
b. Pucat yang berlangsung lama.
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan dengan
anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan
sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang
tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan
yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial dalam limpa dan hati.6
c. Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran hati
dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis ekstrameduler
dan hemosiderosis. Dan akibat dari penghancuran eritrosit yang berlebihan
itu dapat menyebabkan terjadinya peningkatan biliribin indirek, sehingga

11
menimbulkan kuning pada penderita thalassemia dan kadang ditemui
trombositopenia.2
d. Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi
Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan gout
sekunder sering timbul, Sering terjadi gangguan perdarahan akibat
trombositopenia maupun kegagalan hati akibat penimbunan besi, infeksi dan
hemapoiesis ekstramedular. Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul
komplikasi akibat penimbunan besi yaitu Keterlambatan menarke (pada anak
perempuan) dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder akibat dari
hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin. Selain pada kelenjar
endokrin, hemosiderosis pada pankreas dapat menyebabkan diabetes mellitus.
Siderosis miokardium menyebabkan komplikasi ke jantung.2

Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° yang tidak


ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat,
banyak ditemukan poikilositosit yang terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel
target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah
splenektomi. Inklusi intraeritrosit, yang merupakan presipitasi dari kelebihan
rantai α, juga terlihat pasca splenectomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi
kurang dari 5 g/dL kecuali jika transfusi diberikan. Kadar bilirubin serum tidak
terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas
pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang
sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipiridol menyebabkan urin berwarna
coklat gelap, terutama pasca splenektomi.4

Berdasarkan gejala klinis talasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan,


yaitu mayor, intermedia dan minor (pembawa sifat). Batas di antara tingkatan tesebut
sering tidak jelas. Pada talasemia mayor, gejala klinis berupa muka mongoloid,
pertumbuhan badan kurang sempurna, pembesaran hati dan limpa, perubahan pada

12
tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan
pertumbuhan gigi biasanya buruk, sering disertai refraksi tulang rahang. Biasanya
mengalami anemia berat dan mulai muncul gejalanya pada usia beberapa bulan serta
menjadi jelas pada usia 2 tahun. Pemeriksaan fisik pada penderita talasemia berupa
pucat, bentuk muka mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak antara
kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar, dapat ditemukan ikterus, gangguan
pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali. Gangguan perkembangan tulang muka
dan tengkorak pada pasien talasemia memberikan gambaran radiologi tulang medulla
yang lebar korteks tipis dan trabekula besar.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia ialah:


1. Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun, dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit,
ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan
terjadi penurunan dari jumlah trombosit. Hitung retikulosit meningkat antara 2-
8%.

13
2. Gambaran darah tepi
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops
sel dan target sel.2
3. Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia
terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,
sedangkan TIBC akan meningkat.4
4. Fungsi Hati dan Bilirubin Serum
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan
berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.5
5. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.
Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun
juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk
melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α
adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β kadar Hb F
bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak
melebihi 1%.6
6. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan
normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.6
7. Pemeriksaan roentgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi

14
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan
dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang
terngkorak memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end”
yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.7

Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal ini
disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran eritrosit
mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena pada
anemia defisiensi Fe didapatkan :
1. Pucat tanpa organomegali
2. Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
3. Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi5

Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :


1. Tranfusi darah
Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan
memperpanjang umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi
komplikasi anemia, memberi kesempatan pada anak untuk proses tumbuh
kembang, memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada
usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah
dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan
hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah
harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah
akan mati. Khusus untuk penderita beta thalassemia intermedia, transfuse
darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta
thalssemia mayor (Cooley’s Anemia) harus dilakukan secara teratur.1
Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut
dengan jarak 2 minggu dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis

15
seperti Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang curiga
adanya hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfusi
darah diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan
dalam bentuk PRC 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.3

2. Kelasi Besi
Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena
penyakitnya tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi
tersebut adalah penumpukan besi diberbagai organ.6
Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000
mg/L atau saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20
kali transfusi. Pemberian dilakukan secara subkutan melalui pompa infus
dalam waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35 mg/kg BB/hari, minimal selama 5
hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis desferoxamine tidak

16
boleh melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas
desferoxamin direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi
ini.Saat ini sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia
masih kurang digunakan.7
3. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel
darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping
melakukan transfusi darah ataupun terapi kelasi besi. Asam Folat  2x1
mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.4
4. Splenektomi
Indikasi :
- limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien,
menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdominal dan bahaya
terjadinya rupture.
- meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB
dalam 1 tahun terakhir.5

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2,

edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712

2. Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of Pediatrics,

16th edition. WB Saunders company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634

3. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria; IDG

Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga. Penerbit

Badan Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84

4. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta

Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-

85

5. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Thalassemia

and Treating Thalassemia”.

6. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal 331

7. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal

Medicine, volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page

134-138

18

You might also like