You are on page 1of 152

Spektrum Ideologi dalam Dinamika Perpolitikan Indonesia

Week 7 | 071411231024 | Dinda Claudia A. E. P.

Pemikiran politik modern di Indonesia diawali oleh kebangkitan semangat nasionalisme di awal
abad 20 (Feith 1970). Kemudian, akhir periode kolonialisasi Belanda merupakan titik balik dari
lahir dan tumbuhnya kesadaran berpolitik di kawasan Nusantara. Perkembangan aspek sosial
dan ekonomi yang pesat, pengaruh pendidikan Barat, serta hegemoni ajaran Islam menjadi
faktor yang mendorong adanya kesadaran ini dan bahkan kemudian secara signifikan
mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat yang beriringan dengan konsepsi-konsepsi
tradisional (Alfian 1977, 193). Seiring persiapan mendirikan negara Indonesia, para pejuang
kemerdekaan pun mempersiapkan berbagai landasan Indonesia mulai dari proklamasi
kemerdekaan, dasar negara, hingga ideologi bangsa. Meskipun kesepakatan mengenai
pernyataan Indonesia merdeka dan dasar negara dapat dicapai, masih terjadi polemik
mengenai ideologi yang patut dianut Indonesia hingga kemudian mempengaruhi dinamika
perpolitikan di awal berdirinya negara.

Di awal abad 20, penerapan Politik Etis oleh Belanda memberikan kesempatan bagi generasi
muda bumiputera untuk mendapatkan pendidikan ala Barat hingga kemudian mendapatkan
pemahaman atas berbagai ideologi yang sedang berkembang kala itu seperti sosialisme,
komunisme, reformasi Islam, serta nasionalisme India, Cina Jepang (Feith 1970, xi). Membawa
pulang pengetahuan atas ideologi-ideologi tersebut ke Nusantara, para cendekiawan ini
kemudian melangsungkan perdebatan intelek semasa mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,
mengenai ideologi mana yang dianggap cocok untuk melandasi berdirinya Indonesia. Sebagai
salah satu dari sekian cendekiawan yang tak hanya mengamati namun ikut memperjuangkan
berdirinya Indonesia, sendiri menyampaikan adanya ideologi-ideologi utama yang berkembang
di masyarakat dan telah ada semenjak munculnya kesadaran nasionalisme di Nusantara.

Soekarno menjabarkan bahwa menurutnya terdapat tiga rumpun ideologi utama yang
menaungi seluruh organisasi politik Indonesia yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme
(Soekarno 1964). Kemudian, di masa pemerintahan Soekarno tahun 1950-1955 diadakan
pembagian di mana seluruh partai serta perwakilan rakyat dianggap sebagai bagian dari
kelompok Nasionalis, kelompok Islam, atau kelompok Marxis (Feith 1970, liv). Puncak proses
pemindahan perpecahan-perpecahan ideologis ini terjadi selama dua tahun kampanye besar-
besaran sebelum Pemilihan Umum 1955 yang didonimasi oleh empat partai utama yang
perselisihannya begitu bersifat ideologis (Feith 1970, xlvii). Praktik ‘pengelompokkan ideologi’
ini pun terus berlanjut. Setelah Soekarno selaku presiden mencanangkan bentuk pemerintahan
Demokrasi Terpimpin pasca 1958-1959, ketiga ideologi utama secara resmi dituangkan dalam
konsepsi Nasakom yang meliputi Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Feith 1970, liv).
Namun, terjadi pengimplikasian tak resmi di mana penentang Demokrasi Terpimpin yang
mencakup partai-partai terlarang seperti Masyumi (Masyarakat Muslim Indonesia) dan PSI
(Partai Sosialis Indonesia) dikategorikan sebagai ‘golongan keempat’.

Soekarno sendiri kemudian menjabarkan pemikirannya mengenai ketiga aliran ideologi utama.
Menurut Soekarno, Nasionalisme yang diperlukan Indonesia bukanlah Nasionalisme Eropa —
yang bersifat serang-menyerang, mementingkan diri sendiri, dan memperhitungkan untung
rugi— karena pastilah membinasakan bangsa sendiri melainkan Nasionalisme ke-Timur-an yang
menjunjung nilai-nilai kearifan budaya Timur (Soekarno 1964, 6). Nasionalisme kala itu tampak
melupakan keberadaan Islamisme, padahal kedua ideologi ini dulunya bersama-sama melawan
imperialisme dan kapitalisme Barat. Sejatinya, orang Islam pun juga berjuang demi keselamatan
negaranya, sehingga Soekarno menyebut kaum nasionalis yang menjalankan ke-Islam-annya
sebagai Nasionalisme Islam (Soekarno 1964, 7). Soekarno juga menjelaskan bahwa meskipun
bertolak belakang, bukan berarti Nasionalisme ke-Timur-an dan Marxisme yang bersifat
internasional tidak bisa saling bekerja sama. Pergerakan Marxisme di Indonesia, Asia, bahkan
dunia, merupakan tempat asal kemerdekaan. Soekarno pun menyimpulkan bahwa
Nasionalisme perlu merapat dengan Islamisme dan Marxisme demi persatuan Indonesia
(Soekarno 1964, 8).

Karena dominasi empat golongan semasa Pemilihan Umum 1955, masyarakatpun secara awam
menggambarkan seakan arena perpolitikan Indonesia dibagi ke dalam empat ideologi yakni
Nasakom dan oposisi Demokrasi Terpimpin (Feith 1970, liv-lv). Hal ini tidak tepat menurut Feith
karena jika dikaitkan antara warisan-warisan tradisional dan dunia modern, menurutnya
terdapat lima aliran ideologi yakni Komunisme, Nasionalisme Radikal, Islamisme, Sosialisme
Demokratis, dan Tradisionalisme Jawa (1970, liii). Komunisme diwakili oleh PKI (Partai Komunis
Indonesia) yang kala itu memiliki pengaruh paling kuat. Islamisme diwakili oleh kelompok
reformis yang aktif berpolitik di bawah Masyumi, dengan pengaruh Sosialisme Demokratis, dan
kelompok konservatif dengan corak paling tradisional yang dinaungi Nahdlatul Ulama, dengan
pengaruh Nasionalisme Tradisional terutama Tradisionalisme Jawa. Nasionalisme diwakili oleh
para organisatoris PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Kemudian, Tradisionalisme Jawa, yang
menurut Feith bersifat kontroversial, tidak secara eksplisit digambarkan golongan tertentu
namun pengaruhnya sangat merasuk ke dalam PNI, NU, dan bahkan instrument-instrumen
pemerintahan seperti ABRI, polisi, dan pamongpraja. Para aparat ini, menurut Hindley (1970,
27), merupakan kelompok yang menolak untuk menjadikan diri mereka bagian dari kontrol
partai. Disampaikan oleh Feith, klasifikasi lima kelompok ini agaknya mendobrak kekacauan
pandangan ideologi di periode tersebut dengan menjadikan kelompok-kelompok pemikiran
lebih berarti dan harmonis serta memberi gambaran yang agak sesuai dengan pengamatan
sejarah (Feith 1970, lvi-lviii)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam dinamika perpolitikan Indonesia, terdapat berbagai
ideologi yang saling berselisih dan memperebutkan dominasi. Menurut penulis, pembagian
ideologi yang sempat terjadi merupakan suatu bentuk malfungsi. Hal ini justru seakan
mengotak-ngotakkan masyarakat Indonesia ke dalam tiga, empat, lima kubu yang harus terlihat
jelas perbedaannya. Dengan membagi masyarakat berdasarkan perbedaan ideologi yang
dimiliki, justru akan terjadi perpecahan. Adanya ‘pengelompokan ideologi’ terbukti ‘berhasil’
melahirkan konflik dalam masyarakat Indonesia. Tiap-tiap ideologi saling bertentangan secara
sengit dan, bahkan sempat disinggung Soekarno, tidak mengakui eksistensi satu sama lain.
Puncaknya, terjadi pemberontakan komunis dan pemberontakan kaum Islam radikal di masa
pemerintahan Soekarno.

Terjadinya perselisihan ideologi yang mendalam antara satu sama lain bisa terbilang sangat
dini, karena kala itu Indonesia baru resmi berdiri. Menurut penulis, perselisihan ini bersifat naif
karena pada dasarnya, sesuai pernyataan Soekarno, ketiga ideologi ini bersama-sama
mendorong berdirinya Indonesia. Namun, penulis tidak setuju dengan adanya ‘pengelompokan
ideologi’ baik pembagian ideologi oleh Soekarno maupun pengklasifikasian ideologi yang
dituliskan oleh Feith. Sebagai negara yang begitu heterogen, tidak seharusnya masyarakatnya
diberi sekat satu sama lain. Kelemahan dari mengotak-ngotakkan ideologi adalah tidak adanya
ideologi yang bisa dibilang mirip satu sama lain, apalagi saling berbagai asumsi. Contoh paling
jelasnya adalah klasifikasi Komunisme dan Sosialisme menjadi satu, padahal di antara keduanya
terdapat kontras-kontras yang mencolok. Selain itu, dalam klasifikasi Agama, ideologi Islamisme
begitu mendominasi. Menyatukan pemikiran Kristen, Hindu, dan agama-agama lain di
Indonesia bersama Islamisme tidak bisa begitu saja dilakukan karena tiap-tiap agama memiliki
distingsi pemikiran masing-masing.

Menurut penulis, dalam mempersatukan sebuah negara yang sangat heterogen, diperlukan
satu ‘kiblat’ yang pasti untuk mewadahi berbagai perbedaan yang ada. Seperti keberhasilan the
founding fathers dalam menyepakati penggunaan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia
juga membutuhkan ideologi yang dapat menyatukan berbagai pemikiran politis yang ada di
Indonesia secara komprehensif. Jika masyarakat dibagi berdasarkan ideologi yang dianut, maka
jalannya politik di Indonesia akan terpecah dan tidak memiliki fokus yang pasti. Akan lebih baik
jika Indonesia menganut ideologi tunggal yang mencakup nilai-nilai positif dari berbagai
ideologi yang telah ada, sehingga dapat menutupi kekurangan masing-masing ideologi dan
menjadi satu kesatuan yang cukup komprehensif bagi Indonesia. Penulis mengutip van der
Kroef (1954) bahwa Pancasila dapat bertindak sebagai ideologi nasional karena dapat
mencakup keberagaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia, mengedepankan persamaan
hak dan kewajiban serta kedaulatan rakyat, serta dilandasi nilai-nilai luhur kepribadian bangsa.
Meskipun van der Kroef sendiri menyampaikan kelemahan Pancasila yang belum tentu sanggup
menanggulangi perubahan nilai-nilai tradisi dan konflik antar kultur, penulis berpendapat
bahwa pengaplikasian Pancasila sebagai ideologi tunggal dapat mengurangi risiko potensi
perpecahan akibat perbedaan ideologi. Pancasila sendiri merupakan suatu bentuk persatuan
hasil sintesis berbagai ideologi dan konsepsi yang ada, bukan sekadar suatu integrasi, sehingga
dapat menaungi perbedaan pemikiran yang ada.

Referensi

Alfian, 1977. “Indonesian Political Thinking: a Review”, dalam Indonesia, Vol. 11, pp. 193-200.

Feith, Herbert, dan L. Castles. (ed.), 1988. “Pengantar”, dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-
1965”, Jakarta: LP3ES, pp. xii-lxvii.

Hindley, Donald, 1970. “Alirans and the Fall of the Old Order”, dalam Indonesia, Vol. 9, pp. 23-
66.

Soekarno, Ir., 1964. “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, dalam Di Bawah Bendera
Revolusi, Jakarta: Departemen Penerangan, pp. 1-23.

Van der Kroef, Justus M. 1954. “Pantjasila; the National Ideology of the New Indonesia”, dalam
Philosophy East and West, Vol. 4 No. 3, pp. 225-251.

Konsep, Fungsi, Tujuan Pancasila dan UUD 1945

Konsep, Fungsi, Tujuan Pancasila dan UUD 1945

A. Konsep, Fungsi dan Tujuan Pancasila


Pancasila dapat diartikan sebagai lima dasar yang dijadikan dasar negara serta pandangan
hidup bangsa. Suatu bangsa tidak akan dapat berdiri dengan kokoh tanpa dasar negara yang
kuat dan tidak dapat mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang akan dicapai tanpa
Pandangan Hidup. Dengan adanya Dasar Negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing
dalam menghadapi permasalahan baik yang dari dalam maupun dari luar. Pengertian Pancasila
secara Etimologis, Historis dan Terminologis

Pancasila telah menjadi istilah resmi sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia, baik
ditinjau dari sudut bahasa maupun sudut sejarah. Berikut ini adalah pengertian Pancasila:

a. Secara Etimologis

Secara etimologis istilah 'pancasila' berasal dari sansekerta dari india (bahasa kasta brahmana).
Menurut muhammad yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan 'pancasila' memiliki dua
macam arti secara leksikal yaitu: "panca" artinya lima"syila" vokal i pendek artinya "batu sendi"
alas atau "dasar" "syiila" vokal i panjang artinya "peraturan tingkah laku yang baik, yang penting
atau yang senonoh"

b. Secara Historis

a) Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)

Pidatonya yang berisi lima dasar Negara Indonesia:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat

Usulan tertulisnya adalah sebagai berikut.

(1) Ketuhanan Yang Maha Esa

(2) Kebangsaan Persatuan Indonesia

(3) Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab

(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan

(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


b) Ir. Soekarno (1 Juni 1945)

(1) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia

(2) Internasionalisme atau Peri kemanusiaan

(3) Mufakat atau Demokrasi

(4) Kesejahteraan Sosial

(5) Ketuhanan yang berkebudayaan

Selanjutnya kelima sila tersebut dapat diperas menjadi 'Tri sila' yang rumusannya :

1) Sosio Nasional, yaitu Nasionalisme dan Internasionalisme

2) Sosio Demokrasi, yaitu Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat

3) Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tri Sila ini bisa diperas lagi menjadi Eka Sila, yaitu Gotong Royong.

c) Piagam Jakarta (22 Juni 1945)

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/


perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

c. Pengertian Pancasila secara Terminologis

(a) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/


perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

(b) Dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Peri kemanusiaan

3. Kebangsaan

4. Kerakyatan

5. Keadilan Sosial

(c) Rumusan Pancasila di Kalangan masyarakat

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Peri Kemanusiaan

3. Kebangsaan

4. Kedaulatan rakyat

5. Keadilan Sosial

Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara yang merupakan sumber kaidah hukum
yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan
dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk
mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang
berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara
Republik Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum,
terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita
hukum yang menguasai dasar negara.

Pancasila Sebagai Dasar Negara tentunya memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi Pancasila
adalah sebagai berikut:
(a) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang diyakini
kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila
Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai
cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman,
pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

(b) Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia. Menurut Von Savigny bahwa setiap bangsa
punya jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa.
Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia
sendiri yaitu sejak jaman dahulu kala. Menurut Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo bahwa Pancasila itu
sendiri telah ada sejak adanya Bangsa Indonesia. karena Pancasila memberikan corak yang khas
kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri
khas yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan
bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh
bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

(c) Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya Pancasila lahir bersama dengan
lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental
maupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain. Nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila dapat dijadikan dasar dalam motivasi dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk mencapai tujuan nasional,
yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Pancasila sebagai pedoman dan pegangan dalam pembangunan bangsa dan Negara agar
dapat berdiri dengan kokoh. Selain itu, pancasila sabagai identitas diri bangsa akan terus
melekat pada di jiwa bangsa Indonesia. Pancasila bukan hanya di gali dari masa lampau atau di
jadikan kepribadian bangsa waktu itu, tetatapi juga diidealkan sebagai kepribadian bangsa
sepanjang masa.

(d) Perjanjian Luhur artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara
tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia).

(e) Sumber dari segala sumber tertib hukum artinya; bahwa segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia harus bersumberkan Pancasila atau tidak bertentangan
dengan Pancasila. Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945,
kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi
suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dari
UUD1945, serta hukum positif lainnya.

(f) Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual yang berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini hendak
diwujudkan oleh bangsa Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah NKRI yang merdeka,
bersatu,berdaulatan rakyat dalam suasana peri-kehidupan bangsa yang aman, tenteram,tertib
dan dinamis, serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,bersahabat dan tentram.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …” pada kutipan alenia
dapat disimpulkan bahwa tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia adalah.

a. Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi


segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Melindungi segenap bangsa
artinya adalah pemerintah berupaya untuk melindungi seluruh bangsanya, dari segi internal
maupun eksternal.

b. Tujuan nasional bangsa yang kedua adalah memajukan kesejateraan umum/bersama.


Negara Indonesia menginginkan situasi dan kondisi rakyat yang bahagia, makmur, adil, dan
sentosa.

c. Tujuan Indonesia menurut UUD 1945 yang ketiga adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sebuah bangsa akan maju bila didukung oleh rakyatnya yang memiliki pengetahuan
luas, pintar, dan intelek.

d. Tujuan nasional Indonesia yang terakhir adalah ikut berperan aktif dan ikut serta dalam
melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
kedilan sosial.

(g) Pancasila sebagai falsafah hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan sarana yang ampuh untuk mempersatukan Bangsa Indonesia. karena Pancasila
adalah palsafah hidup dan kepribadian Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang oleh Bangsa Indonesia diyakini paling benar, adil, bijaksana dan tepat untuk
mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.

(h) Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia. Ideologi dapat diartikan sebagai Ilmu tentang
ide atau gagasan yang bersifat mendasar. Ideologi ialah seperangkat nilai yang diyakini
kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan untuk menata masyarakatnya. Pancasila
sebagai ideologi nasional merupakan kumpulan nilai yang diyakini kebenarannya oleh Bangsa
Indonesia dan digunakan untuk menata masyarakat. Sebagai ideologi bangsa Indonesia, yaitu
Pancasila sebagai ikatan budaya( cultural bond) yang berkembangan secara alami dalam
kehidupan masyarakat Indo nesia bukan secara paksaan atau Pancasila adalah sesuatu yang
sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Sebuah ideologi dapat
bertahan atau pudar dalam menghadapi perubahan masyarakat tergantung daya tahan dari
ideologi itu. Fungsi Pancasila sebagai Ideologi Negara, yaitu :

a. Memperkokoh persatuan bangsa karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.

b. Mengarahkan bangsa Indonesia menuju tujuannya dan menggerakkan serta membimbing


bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan.

c. Memelihara dan mengembangkan identitas bangsa dan sebagai dorongan dalam


pembentukan karakter bangsa berdasarkan Pancasila.

d. Menjadi standar nilai dalam melakukan kritik mengenai kedaan bangsa dan Negara.

Tujuan dari Pancasila

Tujuan dari Pancasila adalah sebagai berikut :

a. Menghendaki bangsa yang religius yang taat kepada Tuhan

b. Menjadi bangsa yang menghargai Hak Asasi Manusia (Ham)

c. Menghendaki menjadi bangsa yang nasionalis yang mencintai tanah air Indonesia

d. Menghendaki bangsa yang demkratis

e. Menjadi bangsa yang adil secara sosial ekonomi

B. Konsep dan Fungsi UUD 1945

UUD 1945 adalah hukum dasar yang menetapkan struktur dan prosedur organisasi yang harus
diikuti oleh otoritas publik agar keputusan-keputusan yang dibuat mengikat komunitas politik.

Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar yang
tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertulis. Dengan demikian
setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan
bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan
perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
UUD 1945, dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau
hierarki peraturan perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam
hubungan ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD
1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma
hukum yang lebih tinggi, dan pada akhirnya apakah norma-norma hukum tersebut
bertentangan atau tidak dengan ketentuan UUD 1945.

Undang-Undang Dasar bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hukum dasar, melainkan hanya
merupakan sebagian dari hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Disamping itu masih
ada hukum dasar yang lain, yaitu hukum dasar yang tidak tertulis.

Sebagai sumber hukum tertinggi dan sumber segala kewenangan karena UUD 1945 itu
merupakan sumber dari segala sumber hukum, sumber dari segala kewenangan, sumber dari
segala badan kenegaraan.

Fungsi UUD 1945 adalah sebagai pedoman acuan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Pokok pikiran UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. Sepakat untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945

2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia

3. Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil (menyempurnakan agar betul-betul


memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensil )

4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normative yang ada dalam penjelasan UUD 1945
kedalam pasal-pasal UUD 1945.

Adapun sifat-sifat UUD 1945 antara laian:

(a) Sifatnya tertulis maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum positif yang mengikat
pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun setiap warga negara.

(b) Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan Bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel.
Memuat aturan-aturan pokok yang harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman
serta memuat HAM.

(c) Memuat norma-norma/ aturan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
(d) Dalam setiap hukum nasional UUD 1945 merupakan peraturan hukum positif tertinggi,
disamping itu sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah
alam hirarchi tertib hukum Indonesia.

Eksistensi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Eksistensi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

A. Hakikat, Kedudukan dan Nilai-nilai yang Terkandung dalam Pancasila

Sebuah negara membutuhkan landasan filosofis untuk menyusun tujuan negara. Keberadaan
Pancasila sebagai dasar negara dewasa ini mendapat sorotan publik. Berbagai pendapat negatif
terkait Pancasila perlu diluruskan agar tidak terseret pada dogma-dogma menyesatkan.

Bangsa Indonesia mengenal istilah Pancasila jauh sebelum Indonesia merdeka. Pancasila
merupakan ideologi bangsa Indonesia. Secara harafiah Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu
“Panca” yang berarti lima dan “Sila” yang berarti aturan yang melatarbelakangi perilaku
seseorang atau bangsa, kelakuan atau perbuatan sesuai dengan adab yang dijadikan sebagai
dasar. Karena itu, Pancasila berarti rangkaian lima aturan tentang dasar-dasar atau prinsip-
prinsip petunjuk perilaku dan perbuatan masyarakat Indonesia. Kelima sila tersebut kemudian
berperan menjadi pandangan hidup, keyakinan, atau cita-cita bangsa Indonesia yang berfungsi
sebagai dasar dalam mengambil suara keputusan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan
telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai Dasar
Negara Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Selain itu,
Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan bersama para founding fathers
yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia.

Namun, dibalik itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan
ketatanegaraan Indonesia. Pembahasan sejarah perumusan Pancasila begitu sensitif dan dapat
mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta
kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai
dengan pencetus istilah Pancasila. Buku ini sedapat mungkin menghindari polemik dan
kontroversi tersebut. Oleh karena itu, substansinya lebih bersifat suatu”perbandingan” (bukan
“pertandingan”) antara rumusan satu dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-
dokumen yang berbeda. Penempatan rumusan yang lebih awal tidak mengurangi substansi dan
orisinalitas fakta sejarah yang ada.

Dari kronik sejarah setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang pernah muncul. Rumusan
Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama.
Secara berturut-turut akan dikemukakan rumusan dari Moh. Yamin, Soekarno, Piagam Jakarta,
hasil BPUPKI, hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959),
versi berbeda, dan versi populer yang berkembang di masyarakat.

Pancasila merupakan hasil pemikiran para pendiri bangsa yang biasa dikenal dengan Piagam
Jakarta. Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-
usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yaitu :

• Lima Dasar oleh Mohammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin
merumuskan lima dasar sebagai berikut: Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri
kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu
berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama
berkembang di Indonesia Mohammad Hatta dalam memonya meragukan pidato Yamin
tersebut.

• Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Soekarno
mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Dasar
Perwakilan, Dasar Permusyawaratan, Kesejahteraan, dan Ketuhanan. Nama Pancasila itu
diucapakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juli itu, katanya:

Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan


ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya adalah Pancasila. Sila artinya azas atau
dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen
penetapannya adalah:

• Rumusan Pertama: Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945

• Rumusan Kedua: Pembukaan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945


• Rumusan Ketiga: Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tanggal 27
Desember 1949

• Rumusan Keempat: Mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara tanggal 15 Agustus


1950

• Rumusan Kelima: Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit
Presiden 5 Juli 1959)

Piagam Jakarta merupakan kristalisasi dari kebudayaan bangsa Indonesia yang menjadi sumber
insipirasi dan motivasi para pendiri bangsa untuk membentuk suatu negara merdeka yang lebih
baik. Pancasila lahir dari kebudayaan bangsa Indonesia, bukan berasal dari negara lain.
Sehingga pada hakekatnya Pancasila merupakan manifestasi bangsa Indonesia yang sudah
tumbuh dalam jiwa manusia Indonesia dan kemudian di aplikasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Konstruksi UUD 1945 secara eksplisit tidak menjelaskan tentang kata Pancasila. Namun, secara
implisit sila-sila yang terkandung dalam Pancasila tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat berbunyi, “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai Pancasila secara sah diakui oleh Bangsa
Indonesia dan dijadikan sebagai dasar dalam mencapai tujuan negara. Pancasila merupakan
dasar negara Republik Indonesia yang disepakati sejak bangsa Indonesia memproklamasikan
diri sebagai negara yang merdeka baik dari politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-
kemanan pada tanggal 17 Agustus 1945. Segala pengaturan penyelengaraan kehidupan
kenegaraan harus mengacu pada Pancasila.

Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, selanjutnya dituangkan dalam
batang tubuh UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal, kemudian dituangkan dalam wujud berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya secara tertulis. Sedangkan, peraturan lainnya yang
tidak tertulis terpelihara dalam konvensi atau kebiasaan warga dan tata negaraan. Dalam
kaitannya Pancasila mempunyai sifat mengikat dan keseharusan atau bersifat imperatif, artinya
sebagai norma hukum yang tidak boleh dilanggar atau dikesampingkan. Nilai-nilai dasar dalam
Pancasila yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Adapun
penjelasan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Kata kunci dalam sila pertama ini adalah Tuhan. Hal ini dapat diinterpretasikan sesuai dengan
hakekat dan sifat-sifat Tuhan. Sehingga, bangsa Indonesia mutlak percaya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa apa pun keyakinan dan agamanya terserah, asalkan tidak bertentangan dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam suatu negara yang demokratis tidak dibenarkan
adanya pemaksaan agama. Setiap warga negara berhak memeluk agama dan kepercayaan
masing-masing berdasarkan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab. Sehingga, tercipta
kerjasama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda menuju Tri Kerukunan
umat beragama, antara lain kerukunan intern umat beragama, kerukunan antara umat
beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Dalam sila pertama
terkandung nilai Ketuhanan antara lain:

a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang


Maha Esa

b. Membina kerukunan hidup antara sesama umat pemeluk agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa

c. Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang bersifat asasi sehingga tidak
memaksakan suatu agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terhadap orang
lain

d. Nilai sila pertama menjiwai nilai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua merupakan kesesuaian dengan hakekat manusia. Hanya orang yang sadar akan
dirinya adalah manusia yang akan bisa memperlakukan orang lain sebagai manusia makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya sikap saling menghargai setiap manusia, maka akan
timbul persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-
bedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin. Hormat menghormati, saling bekerjasama,
tenggang rasa, dan teposeliro merupakan sebagian perwujudan dan menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan antara lain:

a. Pengakuan terhadap martabat manusia

b. Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia


c. Pengertian manusia yang beradab, memiliki daya cipta, rasa dan karsa serta keyakinan,
sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan

d. Nilai sila kedua ini dijiwai sila pertama, dan menjiwai sila ketiga, keempat serta kelima

3. Persatuan Indonesia

Pengakuan terhadap nilai-nilai Kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan adalah modal awal bagi
terciptanya persatuan bangsa Indonesia. Sikap yang mampu menempatkan kepentingan bangsa
Indonesia diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta persatuan Indonesia atas dasar
Bhineka Tunggal Ika. Pada sila ketiga terkandung nilai peraturan bangsa antara lain:

a. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendalami wilayah Indonesia

b. Bangsa Indonesia adalah bangsa persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia

c. Pengakuan terhadap ke-Bhineka Tunggal Ika-an suku bangsa (etnis) dan kebudayaan
bangsa yang berbeda

d. Nilai sila ketiga dijiwai sila pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan

Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap bangsa Indonesia mempunyai kedudukan,
hak dan kewajiban yang sama. Setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang
layak, pendidikan dan pengakuan keagamaan. Kerakyatan merupakan kata kunci pada sila
keempat. Hal ini berarti rakyat mempunyai kedudukan yang tinggi dalam penyelengaraan
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedaulatan negara ditangan rakyat, maka segala
keputusan diutamakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Nilai-nilai yang
terkandung dalam sila keempat antara lain:

a. Kedaulatan negara ditangan rakyat

b. Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau


golongan

c. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
d. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat yang amanahnya untuk
melaksanakan permusyawaratan

e. Sila keempat dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta menjiwai sila kelima

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Hakekat dari sila kelima adalah adil, yaitu kesesuaian dengan hakekat adil. Kata adil dapat
diartikan dengan tidak memihak, memberikan yang bukan hak, mengambil hak, adil terhadap
diri sendiri dan orang lain. Perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau
kemasyrakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan dalam bidang sosial terutama
meliputi bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan
nasional. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kelima meliputi:

a. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama

b. Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana


kekeluargaan dan kegotong-royongan

c. Cinta akan kemajuan dan pembangunan

d. Sila kelima dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat

Apabila diuraikan lebih jauh, pemahaman mengenai hakekat Pancasila menghasilkan suatu
kesimpulan bahwa sila-sila yang terdapat dalam Pancasila antara satu dengan yang lainnya
saling berkaitan (koheren) dan tidak dapat diputarbalikkan (konsistensi).

Gambar piramida tersebut menunjukkan bahwa sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan
yang utuh dan sistematis. Apabila nilai-nilai normatif dalam Pancasila tersebut dilanggar maka
yang bersangkutan dikenai sanksi hukum. Misalnya jika ada warga negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana korupsi, pembunuhan, perampokkan, pemerkosaan, penghinaan dan
lainnya maka orang tersebut akan dikenai hukuman sesuai dengan berat-ringannya tindak
pidana yang dilakukannya.
Nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi jembatan persatuan dan kesatuan bangsa.
Apabila jiwa manusia Indonesia tidak menaikkan nilai-nilai Pancasila maka akan menjadi
jembatan penghubungan persaudaraan antar suku. Sehingga pelanggaran terhadap hukum
maupun konflik suku, ras antar golongan dapat terhindarkan.

B. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Dinamis, dan Remofmatif

Pengertian Ideologi secara harfiah berarti a system of ideas yakni suatu rangkaian ide yang
terpadu menjadi satu. Horton dan Hunt (dalam Margono dkk) mengartikan ideologi sebagai
suatu sistem gagasan yang menyetujui seperangkat norma bertalian dengan Newman yang
memberi pengertian ideologi sebagai seperangkat gagasan yang menjelaskan atau
melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan atau cara hidup dilihat dari segi tujuan,
kepentingan atau status sosial dari kelompok atau kolektivitas dimana ideologi itu muncul.
Selanjutnya Mubyarto menjelaskan bahwa ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan
simbol-simbol kelompok masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman
kerja atau pedoman untuk mencapai tujuan bangsa itu. Dari berbagai tindakan tersebut
Margono dkk, menyimpulkan ideologi sebagai seperangkat ide dasar masyarakat dan bangsa
yang menjadikan pegangan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama. Karakterisasi
ideologi sebagai pandangan dirumuskan sebagai berikut:

a. Ideologi sering kali muncul dan berkembang dalam situasi krisis

b. Ideologi memiliki jangkauan yang luas, beragam dan terprogram

c. Ideologi mencakup beberapa strata pemikiran dan panutan

d. Ideologi memiliki pola pemikiran yang sistemis


e. Ideologi cenderung eksklusif, absolute dan universal

f. Ideologi memiliki sifat empiris dan normatif

g. Ideologi dapat dioperasionalkan dan didokumentasikan konseptualisasinya

h. Ideologi biasanya terjalin dalam gerakan-gerakan politik

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh tersebut diatas penulis dapat menarik benang merah
bahwa yang dimaksud dengan ideologi adalah gagasan atau ide yang bersumber dari
sekolompok manusia yang mempunyai tujuan yang sama dan kemudian dijadikan sebagai
penunjuk arah segala keputusan yang diambil. Fungsi ideologi bagi suatu bangsa antara lain:

a) Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual

b) Sebagai jembatan pergesaran kendali kekuasan dari generasi tua (founding fathers) dengan
generasi muda

c) Sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan
bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan

Pancasila sebagai pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia dalam pelaksanaannya tidak
boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik agama, kesusilaan, hukum, maupun
sopan santun yang berlaku dalam kehidupan masyrakat Indonesia. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan hasil sebuah aufklarung yang mendalam
mengenai masa depan yang dicita-citakan bangsa Indonesia serta prinsip hidup yang melandasi
kehidupan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita masa depan bangsa Indonesia. Suatu
pandangan hidup selalu mengandung isi tentang konsep-konsep dasar mengenai masa depan
dan cita-cita yang diharapkan serta cara pencapaiannya secara prinsipal. Pancasila merupakan
pandangan hidup yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan gerakan-gerakan
dalam hidup karena secara historis Pancasila merupakan kristalisasi nilai yang telah lama ada
dan hidup serta berkembang dalam akar pribadi dan budaya bangsa Indonesia.

Sebagai ideologi, Pancasila bersifat terbuka, dinamis dan formatif. Pancasila sebagai ideologi
terbuka memiliki arti bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai dasar tetap berlaku universal dan
tidak langsung bersifat operasional. Arti kata terbuka menurut Poespowardojo dalam Tobroni
bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tersebut bisa dimaknai, dijabarkan dan interpretasi
secara kritis, kreatif, dan rasional oleh bangsa Indonesia sehingga mudah di operasionalkan
menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi “terbuka” adalah
sebagai berikut:

a. Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila tersebut


b. Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan stategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaannya

c. Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi
pengalaman yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara.

Berbeda dengan indikator ideologi terbuka yang mempunyai prinsip-prinsip antara lain:

a) Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat

b) Bukan berupa nilai dan cita-cita

c) Kepercayaan dan kesetiaan yang kaku. Pancasila bukanlah ideologi yang tertutup karena
indikator dari ideologi tertutup tersebut bertolak belakang dengan Pancasila

d) Terdiri atas tuntunan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak

Argumentasi bangsa Indonesia menggunakan ideologi adalah karena sebuah negara


memerlukan sebuah ideologi untuk menjalankan sistem pemerintah yang ada pada negara
tersebut, dan masing-masing negara berhak menentukan ideology apa yang paling tepat untuk
digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah ideologi terbuka karena Indonesia
menganut sitem pemerintahan demokratis yang didalamnya membebaskan setiap masyarakat
untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai dengan keinginannya masing-masing.
Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah yang paling tepat digunakan
oleh Indonesia.

Selanjutnya, dikatakan sebagai ideologi yang dinamis, karena nilai-nilai dalam Pancasila
tersebut perlu dikembangkan sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan manusia
Indonesia. Nilai-nilai dasar yang tetap dalam Pancasila selalu mengisi segala bentuk perubahan
kehidupan manusia Indonesia. Dinamisasi nilai-nilai Pancasila itu penting agar Pancasila tidak
menjadi beku, kaku dan membelenggu.

Pancasila dianggap sebagai ideologi yang reformatif memiliki arti bahwa nilai-nilai dalam
Pancasila itu secara operasional bisa bersifat aktual, antisipatif, adaptif dan bisa diperbarui
maknanya. Pembaruan makna bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar tetap yang terkandung
didalamnya, tetapi mengeksplisitkan wawasan dan kandungan secara konkrit sehingga memiliki
kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa
muncul dan berkembang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan IPTEK, dan
perkembangan kehidupan bangsa Indonesia secara luas. Dewasa ini bukti bahwa Pancasila
sebagai ideologi yang reformatif dapat dilihat dengan munculnya banyak partai politik,
perubahan terhadap UUD 1945, dan persamaan kedudukan dihadapan hukum yang sekarang
gencar ditegakkan.

C. Pancasila Sebagai Moral Pembangunan

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merasa materiil, spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, rakyat dalam suasana peri
kehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan
yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Pada hakekatnya pembangunan merupakan upaya untuk melakukan perubahan dari suatu
kondisi ke kondisi yang lebih baik. Setiap negara membutuhkan pembangunan untuk
melakukan perubahan sosial menuju ke suatu tujuan yang ditentukan dan disepakati bersama.
Perubahan yang dilaksanakan dapat bersifat evolusi dan revolusi. Perubahan menuju ke arah
yang dicita-citakan itu biasa dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan
nasional merupakan berbagai upaya dilakukan secara konstuktif dan terencana untuk cita-cita
masyarakat atau tujuan nasional. Agar semua itu bisa terwujud dan terlaksana sesuai dengan
kehendak dan cita-cita masyarakat, pembangunan harus berlandaskan kepada ideologi bangsa
yang bersangkutan. Maka dari itu pembangunan di Indonesia berdasarkan Pancasila.

Pembangunan nasional Indonesia berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, baik
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan. Demikian halnya dengan
pelaku-pelaku pembangunan, segala aktivitas hendaknya diupayakan untuk mencapai tujuan
hidup bersama, bukan hanya demi kepentingan sesaat masing-masing pihak. Pancasila juga
dijadikan dasar berperilaku serta bersikap pelaku pembangunan. Apabila hal itu tidak dilakukan
pembangunan nasional tidak akan berjalan dengan lancar dan sesuai kepentingan rakyat.

Suatu pembangunan nasional secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada landasan
falsafah bangsa yang menjadi keyakinan dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Falsafah
yang diyakini dan telah berakar dalam masyarakat adalah dasar semua tingkah laku masyarakat.
Demikian halnya pembangunan nasional dalam bidang ekonomi. Masyarakat dengan sistem
perekonomian bentuk apa pun selalu memiliki empat tugas pokok dalam pembangunan bidang
ekonomi sebagai berikut:
1. Menentukan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan dalam masyarakatnya dalam
jumlah berapa banyak, dimana (di daerah mana) serta dengan cara apa barang atau jasa
tersebut diproduksi dengan cara paling baik

2. Mengalokasikan seluruh barang dan jasa yang dihasilkan yaitu: (GDP) (Grass Domestic
Product) diantara para konsumen perorangan/individu (misalnya sepeda motor, pakaian, alat-
alat rumah tangga dan sebagainya); penggantian barang modal yang harus selama
berlangsungnya proses produksi (bangunan, jalan, mesin, peralatan, dan sebagainya); serta
pertumbuhan ekonomi dimasa datang melalui investasi baru atau tambahan net untuk
cadangan modal

3. Menetapkan bagaimana pendistribusian semua keuntungan (pendapatan nasional)


diantara anggota masyarakat, dalam bentuk gaji, pembayaran, bunga, sewa, pembagaian laba,
dan sebagainya

4. Siapa yang membuat keputusan yang menyangkut produksi dan distribusi pendapatan
nasional dan untuk siapa keputusan tersebut dibuat

Upaya untuk melaksanakan keempat tugas tersebut dilaksanakan dengan cara menjalankan
sistem ekonomi. Mulai dengan cara desentralisasi dalam pengambilan keputusan dengan
berpedoman pada batas-batas pemilikan sumber daya swasta (kapitalisme pasar) sampai
perencanaan terpusat dan pengawasan atas pemilikkan sumber daya oleh masyarakat
(ekonomi sosialis).

Bagaiamana dengan perekonomian sekarang apakah tetap berdasarkan Pancasila? Jawabnya


YA. Secara teoritis dasar perekonomian negara Indonesia Pasal 33 UUD 1945 yang tentunya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Substansi
Pancasila ada pada alinea ke IV). Namun, dalam tataran praktis perekonomian Indonesia sedikit
banyak bergerak kearah neo-liberalisme, karena pengaruh arus globalisasi dan menyosong
Asean Free Trade Area Tahun 2010. Selain itu, permasalahan urgen bidang perekonomian
sekarang adalah meningkatnya budaya konsumerisme yang lebih menyukai produk luar negeri.
Budaya konsumerisme yang sedang melanda bangsa Indonesia menyebabkan rendahnya
tingkat produktivitas masyarakat, karena mereka cenderung lebih suka menghabiskan nilai
guna barang dibandingkan mengembangkan produksi. Hal ini dapat diatasi dengan menetapkan
suatu gagasan revolusioner pembangkit semangat kewirausahaan yang dapat membantu
perekonomian negara. Misalnya saja baru-baru ini diterapkannya hari batik nasional setiap
tanggal 1 Oktober. Gerakan ini mendorong pengerajin batik untuk meningkatkan kualitas
produksinya agar mampu bersaing di tingkat internasional.
D. Pancasila Sebagai Sistem Etika

Pembahasan mengenai etika tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai. Nilai adalah apa yang
dianggap bernilai atau berharga yang menjadi landasan, pedoman, pegangan, dan semangat
seorang dalam melaksanakan sesuatu. Nilai dapat dipandang sebagai apa yang berharga yang
dijadikan standar berkelakuan. Standar berkelakuan yang dimaksud dapat berwujud agama
(dosa-pahala, halal-haram, benar-salah, menurut agama); etika (hak-kewajiban, bermoral-tidak
bermoral, adil-tidak adil, jujur-tidak jujur, tanggung jawab-tidak tanggung jawab dan lain
sebagainya); estetika (indah-tidak indah, bagus-buruk, pada tempatnya-tidak pada tempatnya);
hukum (sah-tidak sah, boleh-tidak boleh secara hukum, sesuai peraturan-melanggar peraturan
dan sebagainya).

Hakekat nilai menurut Djahari dalam Margono dirumuskan sebagai harga, makna, isi dan pesan,
semangat atau jiwa yang tersurat atau yang tersirat dalam fakta, konsep dan teori sehingga
bermakna secara fungsional. Fungsi dan nilai kegunaan itu adalah untuk melandasi,
mengarahkan, mengendalikan dan menentukan kelakuan seseorang. Ada perilaku-perilaku yang
berlandaskan dan diarahkan oleh nilai yang dihargai pelakunya dan ada juga kelakuan-kelakuan
yang tanpa berlandaskan nilai. Hal ini bisa saja karena bersifat mekanis atau behavioristik, ikut-
ikutan atau karena asal-asalan. Misalnya buku ilmiah yang populer adalah suatu barang yang
bernilai tinggi bagi para penstudi, sehingga adanya suatu buku sangat berharga bagi para
penstudi (ke sekolah/kampus membaca buku sebagai penambah ilmu pengetahuan).

Nilai bersifat relatif karena senantiasa mengacu pada penilaian baik-buruk, benar-salah, wajar-
tidak wajar dan lainnya dengan penggunaan standar-standar penilaian tertentu. Karena
banyaknya standar penilaian, maka penilaian baik-buruk, benar-salah, adil-tidak adil, maka
masing-masing orang dapat saja menganggap apa yang bernilai itu berbeda karena berbeda
standar penilaian. Namun demikian, secara umum ada juga nilai-nilai yang dipandang universal
misalnya nilai kebenaran atau kebaikan. Hal ini berarti siapa pun mengakui nilainya. Ada yang
menyebut nilai universal sebagai nilai dasar atau nilai subjektif, nilai kkhusus, atau nilai
instrumental yakni nilai yang sudah mempunyai warna secara khusus yang warna dan isi
pesannya sesuai dengan kelompok manusia dan kondisi penganutnya masing-masing, yang nilai
kebenaran dan kebaikannya bisa saja bersifat relatif. Di samping itu ada juga nilai praktis yang
kebenarannya bersifat fungsional di mana nilai sesuatu itu tergantung pada fungsinya.

Sesuai dengan jenisnya, Spranger mengklarifikasikan nilai menjadi:

1. Nilai pengetahuan,

2. Nilai sosial,
3. Nilai ekonomi,

4. Nilai kekuasaan,

5. Nilai estetis, dan

6. Nilai agama

Phenix dalam Margono dkk mengklarifikasikan nilai sebagai berikut:

1. Nilai simbolis (bahasa, matematika, bahasa isyarat, ritual-ritual dan sistem simbol
lainnya);

2. Empiris (ilmu pengetahuan); estetis (seni); etis (makna-makna moral)

3. Sinnoetis (pengalaman-pengalaman atau pengetahuan relasional yang bersifat pribadi)


dan

4. Sinoptis (seperti agama, filsafat, sejarah)

Nilai juga diklarifikasikan menjadi nilai universal atau niai objektif atau nilai intrinsik dan ada
juga nilai subjektif atau instrumental, nilai praktis atau fungsional.

Setelah membahas pengertian dari nilai maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan jika
yang dimaksud dengan Pancasila sebagai sistem etika adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
sila Pancasila merupakan suatu nilai yang sudah menjadi pilihan bangsa tersebut digunakan
sebagai landasan atau acuan dalam hidup dan saling berinteraksi dengan manusia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

E. Pancasila Sebagai Landasan Teori Hukum Indonesia

Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 memberi arti
berlakunya tata hukum nasional dan tidak berlakunya tata hukum kolonial. Tata hukum yang
baru tersebut dilandaskan pada kerohanian Pancasila, jadi tata hukum itu dapat disebut sebagai
Sistem Hukum Pancasila.

Salah satu usaha untuk mengorganisasikan kehidupan masyarakat antara lain dengan jalan
hukum. Suatu bangsa, sadar atau tidak, selalu dihadapkan pada suatu pertanyaan fundamental
terlebih dahulu, yaitu bagaimana pandangan mengenai manusia dalam masyarakat. Pancasila
adalah jawaban bangsa Indonesia terhadap pertanyaan dasar tersebut yang dinyatakan secara
sadar dan eksplisit. Kedudukan Pancasila niscaya merupakan wawasan kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang terdalam mengenai keharusan-keharusan yang dikehendakinya.

Teorisasi hukum secara mendasar Pancasila akan memunculkan Teori Hukum Pancasila.
Teorisasi tersebut terjadi atas dasar kesadaran bahwa pengorganisasian masyarakat di dasarkan
pada Pancasila, termasuk sistem hukumnya. Penyusunan sistem hukum Pancasila sudah
diamanatkan sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, khususnya pada bagian
pembukaan. Hukum adalah bidang yang paling jelas mendapatkan tugas untuk berbenah atas
dasar Pancasila. Bahwa sampai sekarang tugas tersebut belum diselesaikan dengan baik adalah
soal lain. Perkembangan tersebut merupakan bagian penting yang dapat dijelaskan dari adanya
hubungan kait-mengait yang erat antara hukum dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat.
Hukum bukan lembaga yang memiliki otonomi penuh untuk menata masyarakat. Apa yang
dapat dilakukan oleh hukum banyak tergantung dan ditentukan oleh interaksinya dengan
proses dan kekuatan lain dalam masyarakat.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum sehingga segala aspek
ketatanegaraan harus berdasar pada hukum positif. Segala ide dan konsep yang tercipta entah
itu sistem ekonomi Pancasila atau sistem Politik Pancasila, hanya dapat dilakukan apabila
terdapat hukum. Kaitannya dengan hal tersebut hukum merupakan saringan yang harus dilalui
oleh konsep dan sistem tersebut agar dapat dijalankan atau terwujud. Dan disinilah pentingnya
Pancasila dalam pembangunan hukum di Indonesia. Segala bentuk aturan yang akan
diberlakukan (menjadi hukum positif) terlebih dahulu harus disesuailan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Karena lima dasar negara itulah yang akan menjadi barometer
dalam membentuk suatu aturan yang bersifat hierarkis. Aturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan yang lebih tinggi. Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan
harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
Artinya, substansinya produk hukum merupakan karakter produk hukum yang responsif (untuk
kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi rakyat).
F. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, paradigma berarti kerangka berpikir. Robert Fredrichs
pada tahun 1970 merumuskan pengertian paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar
dari suatu displin ilmu tentang apa yang menjadi pokok permasalahan yang semestinya
dipelajari. Kemudian pada tahun 1975, Goerge Ritzer memberikan pengertian yang lebih jelas
dibandingkan dengan pengertian paradigma sebelumnya. Paradigma adalah suatu pandangan
yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari oleh suatu cabang atau displin ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma
merupakan alat bantu bagi ilmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-
persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta aturan-aturan apa
yang harus diikuti dalam menginterpretasikan ilmu yang diperoleh.

Paradigma adalah suatu jendela tempat seseorang akan menyaksikan fenomena, memahami,
dan menafsirkan secara objektif berdasarkan kerangka acuan yang terkandung didalam
paradigma tersebut, baik itu konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan kategori-kategori tertentu.
Oleh karena itu, terhadap suatu fenomena yang sama yang dilihat dari paradigma yang berbeda
akan menghasilkan suatu kesimpulan yang berbeda.

Pancasila sebagai paradigma kehidupan berarti Pancasila merupakan dasar/kerangka


berpikir/fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia memandang
dunia dalam kerangka Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Misalnya dalam
melaksanakan pembangunan nasional. Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai
barometer keberhasilan pembangunan. Apakah pembangunan nasional yang dilaksanakan
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, atau malah bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila. Begitu juga dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
berdasarkan Pancasila. Segala ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia disesuaikan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tidak semua ilmu pengetahuan dan
teknolgi dapat berkembang di Indonesia.

Realitas sejarah membuktikan bahwa sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai
persaingan ideologi antara blok Barat yang mengusung lahirnya liberalisme-kapitalisme dan
blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, terjadi perubahan mendasar pada
tata pergaulan dunia. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin
yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin di akhir dekade
1980-an dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode mulitipolar. Periode
multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama satu dekade, juga pada akhirnya
disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Goerge Bush menyuguhkan doktrin
unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi unipolar
yang ada di bawah pengaruhnya.

Berakhirnya perang ideologi tidak berarti hilangnya konsep “saling mempengaruhi”


antarnegara. Kemungkinan untuk saling berebut pengaruh dapat kembali muncul, sebagaimana
fenomena persaingan antarbangsa dan negara pada dimensi ekonomi warga bangsanya (AFTA
2010). Kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan
kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya. Pancasila sebagai
ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah paradigma dan metode
bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan
makmur.

Sebagai paradigma kehidupan, Pancasila menjadi pedoman dan pegangan bagi tercapainya
persatuan dan kesatuan dikalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antar warga
negara dan tanah airnya. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial,
budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan
kesejahteraan bangsa. Dengan ditabuhnya gendang reformasi, ini merupakan kesempatan
emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para
pendiri negara kita untuk membangun negara Republik Indonesia yang berkarakter. Meskipun
sekarang terlihat melemahnya kesadaran hidup berbangsa terutama dalam bidang politik.
Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisem, tidak direndahkannya konsesus
nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi
korupsi, demokratis yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan
munculnya kelompok-kelompok yang mempromosikan secara terbuka ideologi diluar Pancasila.
Dengan demikian, diperlukan suatu kebulatan untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan agar kesejahteraan nasional dan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.
Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan

(Civic Education)
A. Embrio dan Konsep Dasar Ilmu Kewarganegaraan

Di era reformasi dan era globalisasi ini seakan-akan Pancasila “hilang dari peredaran” dan
bahkan hanya cenderung dijadikan pajangan dinding baik dikantor, sekolah, maupun institusi
formal. Padahal ia sesungguhnya tidak hanya merupakan ideologi bangsa Indonesia tetapi juga
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan
tujuan bangsa Indonesia. Pandangan yang demikian sempit terhadap Pancasila tentunya
berimplikasi pada Pendidikan Kewarganegaraan menjadi satu mata pelajaran pokok (wajib)
dalam dunia pendidikan. Pada hakekatnya Pendidikan Kewarganegaraan berkaitan dengan
warga negara dan negara. Oleh sebab itu, diperlukan suatu pemahaman yang holistik dan
komprehensif mengenai pendidikan kewarganegaraan sesungguhnya.

Embrio materi pendidikan kewarganegaraan berkaitan dengan hal-hal sekitar hak dan
kewajiban warga negara dan negara. Analisis materi tersebut dilakukan melalui dua kajian.
Pertama, kajian kronologis yang meliputi pengertian hak dan kewajiban, latar belakang
timbulnya hak dan kewajiban, pelaksanaannya, dan hambaran-hambaran yang timbul dalam
pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, kajian bidang kehidupan yang meliputi hak dan
kewajiban warga negara dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan
pertahanan keamanan.

Sinkronisasi antara materi kajian kronologis hak dan kewajiban dengan kajian bidang-bidang
kehidupan warga negara hendaknya selalu dimaknai dalam konteks bernegara. Dengan
demikian, analisis materi pendidikan kewarganegaraan yang meliputi hak dan kewajiban
seharusnya diartikan sebagai materi yang memaparkan hubungan warga negara dengan
organisasi negaranya. Jadi yang ditekankan dalam materi ini adalah korelasi antara warga
negara dan negara dalam pelaksanaan dan kewajiban.

Kewajiban terhadap hak dan kewajiban warga negara berikut; hak dan kewajiban negara lebih
diupayakan pada pemberian informasi tentang potensi yang dimiliki (hak) warga negara, negara
dan apa saja yang harus dilakukan keduanya (kewajiban). Lebih lanjut kajian mengenai hak dan
kewajiban warga negara dan negara diharapkan mampu mengantarkan keduanya menjalin
hubungan secara wajar, demokratis, jujur, transparan, serta adil. Hal ini dapat tercapai apabila
keduanya memiliki kesadaran yang tinggi dan konsisten untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya. Sedangkan kajian tentang bidang kehidupan warga negara dapat digunakan
sebagai upaya pembuktian apakah hak dan kewajiban mereka telah ditampakkan dalam
hubungan ideologis dengan negara secara wajar, demokratis, transparan, jujur, serta adil.

Pada perkembangannya, ilmu kewarganegaraan mengalamai beberapa kali perubahan terkait


objek kajiannya. Pertama kali dikenal dengan istilah civics, kemudian menjadi citizenship dan
selajutnya civic education. Civics merupakan suatu displin ilmu pengetahuan yang objek
kajiannya adalah hak dan kewajiban. Pemahamannya ditempuh dnegan bepikir secara ilmiah
dengan mengikuti alur pikir dan ideologi. Citizenship mencoba mencari kejelasan status orang
sebagai warga negara dengan menggunakan cara kerja sosiologis, yuridis, materil dan formal.
Objek kajiannya adalah identifikasi fungsi dan peranan warga negara menggunakan cara kerja
lingkungan pendidikan formal dan nonformal. Targetnya adalah pembentukan kepribadian
warga negara yang baik. Pemahaman mengenai pendidikan kewarganegaraan yang akan
penulis sampaikan secara komprehensif dan akan menyajikan suatu cakrawala berpikir baru.

B. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Terminologi istilah Civic Education mempunyai pandangan bahwa kata/istilah tersebut


bermaksud sama, yaitu mengarah pada pentingnya pendidikan demokrasi atau pendidikan
politik bagi rakyat atau masyarakat. Pada sisi yang lain, gerakan yang menunjukkan pentingnya
Civic Education itu ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang panjang. Dalam kesempatan
ini, penulis tidak bermaksud untuk memaparkannya, melainkan langsung berfokus pada
pengertian atau definisi Civic Education secara hakiki.

Secara etimologis istilah Civic Education oleh sebagian pakar Indonesia diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan
diwakili oleh Azyumardi dan tim ICCE (Indonesia Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai
pengembang “Civic Education” di Perguruan Tinggi yang pertama, sedangkan istilah Pendidikan
Kewarganegaraan diwakili oleh Zamroni, Muhammad Numam Soemantri, Udin S. Winataputra
dan Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Nerphin Panjaitan, Soeditarjo, dan pakar
yang lain.

Istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada satu identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan.


Namun, disisi lain istilah Pendidikan Kewarganegaraan secara substansi tidak saja mendidik
generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam
konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah
Pendidikan Kewarganegaraan melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi
warga dunia (global society). Dengan demikian orientasi Pendidikan Kewarganegaraan secara
substansi lebih luas cakupannya dari pada Pendidikan Kewarganegaraan.

Pendidikan Kewarganegaraan semakin menemukan momentumnya pada dekade 1990-an


dengan pemahaman yang berbeda-beda. Bagi sebagian ahli, Pendidikan Kewarganegaraan
diidentikkan dengan Pendidikan Demokrasi (democracy education).

Bagi Azyumardi Azra, Pendidikan Demokrasi (democracy education) secara substansi


menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai budaya, praktik
demokrasi melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan HAM mengandung pengertian sebagai
aktivitas mentransformasikan nilai-nilai HAM agar tumbuh kesadaran akan penghormatan,
perlindungan, dan penjaminan HAM sebagai suatu yang kodrati dan dimiliki oleh setiap
manusia. Supaya pendidikan HAM mencapai tujuan, diperlukan beberapa persyaratan:
Pertama, lingkungan kelas harus demokratis. Kedua, pasal-pasal mengenai HAM tidak dapat
diajarkan secara verbal, melainkan harus melalui situasi dan pengalaman yang dikenal oleh
peserta didik. Ketiga, sistem pembelajaran yang dikembangkan adalah sistem interaktif.

Lebih lanjut Azra menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang
cakupannya lebih luas daripada pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM karena mencakup
kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of
law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan
negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga negara dan sistem
yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum,
pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan
kerja sama, keadilan sosial, pengertian antarbudaya, kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi
manusia.

Sementara Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan


demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan
bertindak demokratis melalui aktivitas penanaman kesadaran kepada generasi baru bahwa
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan dimana seorang mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku politik sehingga
yang bersangkutan memiliki political knowledege, awarness, attitude, political efficacy, dan
political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan
menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyrakat dan bangsa.

Pendapat lain, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dalam demokrasi adalah


pendidikan untuk “mengembangkan dan memperkuat” pemerintahan otonom (self
government). Pemerintahan otonom demokrasi berarti bahwa warga negara aktif terlibat
dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya didikte orang lain atau memenuhi
tuntutan orang lain.

Sedangkan menurut Aristoteles dalam bukunya “Politics” (340 SM); “if liberty and equility, as is
thought by some, are chiefly to be found Indonesia democracy, they will be attained when all
person alike share Indonesia the government to the utmost” (Jika kebebasan dan kesamaan
sebagaimana pendapat sebagian orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka
kebebasan dan kesamaan itu akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil
bagian sepenuhnya dalam pemerintahan). Namun hemat penulis pendapat Aristoteles itu
adalah dapat dalam konteks negara kota (City State) yang jumlah penduduknya masih sangat
sedikit waktu itu. Sedangkan dalam konteks negara modern sekarang ini, meskipun ada
mekanisme pemilihan kepala negara atau kepala daerah oleh rakyat secara langsung. Misalnya,
harapan atas partisipasi semua orang atau rakyat tanpa terkecuali sebagaimana yang diinginkan
Aristoteles di atas tidaklah mungkin tercapai.

Menjadi lebih cepat jika dari pernyataan Aristoteles diatas, dipahami bahwa cita-cita demokrasi
dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warga negara (dalam arti optimal) dapat
berpartisipasi dalam pemerintahannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Benjamin Barber
bahwa dalam demokrasi, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang
plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya
mengakomodasi pihak lain dan semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai.

Dari berbagai definisi yang diberikan para ahli diatas, jika diambil inti-sarinya, maka Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education) adalah program pendidikan yang membahas tentang
masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM,
dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implemantasinya menerapkan prinsip-prinsip
pendidikan demokratis dan humanis.

Selanjutnya, Pendidikan Kewarganegaraan dikenal dengan istilah Pendidikan Kewiraan (tahun


1973) mengalami perkembangan yang menentukan bagi perjalanan sistem pendidikan nasional
Indonesia. Hal ini terbukti bahwa dalam penyelenggaraan kurikulum pendidikan tinggi,
Pendidikan Kewarganegaraan ditemukan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Pendidikan Kewarganegaraan mengembon misi mempersiapkan bangsa Indonesia yang
tangguh dalam mengatasi tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang berpengaruh
pada eksistensi dirinya. Secara programatik, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk pendidikan
untuk menjadi (educational becoming) yang isinya menekankan pada upaya pembentukan
manusia yakni mahasiswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajibannya
terutama kesadaran akan wawancara nasional dan pertahanan keamanan nasional.

Bukanlah suatu persoalan ketika ada perbedaan pendapat mengenai istilah Pendidikan
Kewarganegaraan. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah suatu pengayaan khasanah
pengetahuan bagi bangsa Indonesia, yang sudah menggunakan istilah Pendidikan
Kewarganegaraan. Hemat penulis, istilah yang paling tepat adalah Pendidikan
Kewarganegaraan. Karena selain mempersiapkan manusia Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam konteks hubungan dengan negara, Pendidikan Kewarganegaraan juga akan
menjadikan manusia Indonesia sebagai warga dunia yang kompeten. Mengapa hal ini
diperlukan? Dalam konteks globalisasi setiap individu harus mempunyai suatu karakter yang
mampu membawa diri di kancah internasional. Artinya, setiap individu harus menunjukkan
kepribadiannya di dunia luar maupun menjadi bagian dari warga negara dunia. Hal ini dapat
mengurangi sifat chauvinisme, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat
dalam pandangan internasional.

C. Kompetensi Dasar dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Kompetensi merupakan kemampuan dan kecakapan, yang terukur setelah peserta didik
mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan, yang meliputi kemampuan akademik,
sikap, dan keterampilan. Dalam Pendidikan Kewarganegaraan kompetensi dasar atau
kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis, Pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan
pengetahuaan kewargaan (civic knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan
Kewarganegaraan antara lain demokrasi, HAM, dan masyarakat madani; Kedua, kecakapan dan
kemampuan sikap kewarganegaraan (civic dispotion) antara lain mencakup pengakuan
kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keberagaman, kepekaan terhadap masalah
warga negara; dan Ketiga, kecakapan dan kemampuan mengantikulasikan keterampilan
kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik,
kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

D. Pendekatan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Pemahaman mengenai konsep pendidikan dapat ditelisik melalui pendekatan yang digunakan
dan ruang lingkupnya. Berdasarkan embrio materi pendidikan kewargenegaraan, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan yuridis, pendekatan struktural fungsional, pendekatan etika
moral, pendekatan psikologis pedagogis, pendekatan humanistik yang selanjutnya penulis
uraikan sebagai berikut ini:

1. Pendekataan Yuridis

Pendekatan Yuridis mengantarkan bangsa Indonesia untuk memahami norma-norma formal.


Dengan norma itu mereka akan memiliki sikap loyal terhadap konstitusi. UUD 1945 merupakan
norma tertinggi dinegara Indonesia yang di dalamnya memuat hak-hak dan kebebasan individu
(warga negara). Penempatan posisi UUD 1945 tersebut sangat logis karena UUD 1945 dijiwai
oleh nilai-nilai Pancasila yang menjadi sumber hukum tertinggi. Kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara juga tercermin dalam konstitusi negara Indonesia yang memiliki kekuatan
mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia.
2. Pendekatan Struktural Fungsional

Latar belakang pendekatan ini dapat dielaborasi dari tradisi teori sosiologi, yang dikembangkan
antara lain oleh Emile Durkeim, Vilvredo Pareto, Parsons dan Merton. Ritzer mengemukakan
dalam tradisi struktural fungsional, maysarakat dipandang sebagai suatu sistem yang di dalam
memiliki bagian-bagian yang saling berhubungan. Sementara itu, sistem sosial harus dipahami
atas dasar pentingnya keseimbangan antar bagian dalam suatu sistem tadi.

Titik sentral pendekatan sosial fungsional memberikan perhatian utama pada keteraturan
(order, meredam konflik, mengandalkan konsensus, mempertahankan, pola keseimbangan, dan
menggunakan fungsi). Talcott Parsson (dalam Margono), dalam melakukan analisa sistem
masyarakat, memperkenalkan adanya empat subsistem dari sistem umum tindakan manusia,
yaitu organisme, personalitas, sistem sosial, dan sistem cultural. Keempat sistem tindakan
manusia itu dilihat sebagai susunan mekanis yang saling berkaitan dan menunjukan tata urutan
yang bersifat sibernetik (cybernetic order) yang masing-masing memiliki fungsi. Organisme
memiliki fungsi adapatasi; personalitas berfungsi untuk mencapai tujuan; sistem memiliki fungsi
intergritas; latensi untuk mempertahankan norma dan pola kehidupan.

Dalam pendidikan kewarganegaraan, pendekatan struktural fungsional diproyeksikan dalam


analisis nilai fungsional terhadap sistem politik yang digunakan sebagai wacana demokrasi.
Sukarna (dalam Margono) menegaskan bahwa sebuah sistem politik memiliki fungsi antara lain:

a. Mengembangkan aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan


ketertiban dan memenuhi tuntutan yang harus dilaksanakan secara wajar

b. Merumuskan kepentingan rakyat

c. Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan

Setiap sistem politik, bagaimanapun juga harus merumuskan kepentingan-kepentingan dasar


dalam mempersatukan warga negara. Hal itu mengandung makna bahwa hak-hak dasar warga
negara harus diakui sebagai sebuah potensi individu yang pada gilirnya akan diapresiasikan
dalam menjaring kewajiban yang harus mereka lakukan. Dengan demikian, sosialisasi politik
yang bersumber pada hak dan kewajiban warga negara tidak bisa ditawar lagi agar setiap warga
negara menyadari hak-hak yang disandang dan kewajiban yang harus diemban dalam proses
politik negaranya.

Pemikiran tersebut sangat relevan dengan program pendidikan kewarganegaraan, terutama


tentang pembinaan warga negara agar mampu berpartisipasi dalam bentuk bangunan struktur
politik antara lain partai politik, DPR/MPR, Presiden serta institusi lain sebagai komponen
sistem politik negara. Tindakan warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban
hendaklah dianggap sebagai sebuah fakta sosial yang harus diintegrasikan gerak sistem politik
yang ada. Hal itu berarti dalam membangun sebuah struktur politik pemerintahan demokrasi,
pemilihan pemimpin tidak saja ditentukan oleh organisasi politik dan lembaga negara, tetapi
juga oleh suara atau pemilih atau rakyat.

3. Pendekatan Etika Moral

Kedua pendekatan ini dibangun dari sebuah paradigma definisi sosial dan perilaku sosial yang
sebagian besar digali dari Waber dan Skiner. Weber dalam menganalisis tindakan sosial
menemukan lima ciri pokok yang menjadi sasaran kajiannya, antara lain:

a. Tindakan sosial menurut si aktor mengandung makna subjektif

b. Tindakan nyata maupun yang bersifat membatin, sepenuhnya bersifat subjektif

c. Tindakan itu harus mempunyai pengaruh positif yang dapat diulang-ulang sebagai suatu
bentuk persetujuan

d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau beberapa individu

e. Tindakan itu harus memperhatikan orang lain dan mengarah kepada orang lain

Secara logika, munculnya tindakan moral tidak bisa dipisahkan dengan argumen-argumen
moral. Vloemans dan Joliver (dalam margono) menegaskan bahwa logika merupakan ilmu
berpikir yang tepat dibahas atau dibicarakan jika ada pemikiran dan perkataan dalam bentuk
bahasa. Argumentasi moral adalah uraian yang membahas pengembangan moral dengan cara
menurut logika yang didukung oleh fakta dan bukti sehingga kekeliruan berpikir dapat
dihindari.

Dalam kaitan itu Bertens menyatakan bahwa argumentasi moral merupakan unsure keempat
dalam proses terbentuknya pertimbangan moral sesudah ketiga unsur yang lain: sikap awal,
informasi moral, dan norma moral. Sejalan dengan itu Jacob Bronowski menegaskan bahwa
kualitas tindakan moral akan dibentuk oleh beberapa besar perhatian aktor terhadap suatu
objek moral dan terbentuknya pertimbangan moral.
Dengan menggunakan etika moral, pendidikan kewarganegaraan yang menempatkan tindakan
sosial warga Negara hendaknya memberi penjelasan berdasarkan proses terbentuknya
pertimbangan moral. Dengan demikian pelaksanaan hak dan kewajiban oleh warga negara
Indonesia hendaknya diartikan sebagai sebuah kristalisasi tindakan moral yang diproses melalui
pertimbangan moral dengan menggunakan bahan informasi moral Pancasila dan UUD 1945
sebagai etika nasional bangsa Indonesia. Etika nasional tersebut digunakan sebagai parameter?
Apakah tindakan moral warga negara Indonesia dapat dibenarkan atau ditolak, sehingga
dengan demikian menggambarkan baik dan buruknya tindakan yang dilakukan?

Sebuah contoh: apakah seorang pemilih dalam pemilihan umum mencoblos dengan benar atau
memilih golput? Contoh lain : apakah semaraknya peristiwa unjuk rasa yang dilakukan oleh
sekelompok mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam menuntut cita-cita reformasi total yang
disertai dengan perusakan fasilitas umum dan bentrok dengan aparat keamanan sehingga
memakan korban jiwa dapat digunakan sebagai sebuah wacana pencerminan tindakan moral?
Hal demikian memerlukan analisis kritis.

4. Pendekatan Psikologis Pedagogis

Pendekatan tersebut lebih menekankan pada dunia belajar dan lingkungan dimana peserta
didik melakukan kegiatan itu. Pendekatan psikologis diartikan sebagai pendekatan yang
dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan jiwa peserta didik yang sesuai
dengan jenjang pendidikan mereka. Secara makro, materi pendidikan kewarganegaraan banyak
berkaitan dengan fakta konsep, dan generalisasi yang semuanya senantiasa merujuk pada hak
dan kewajiban. Misalnya:

• Pengumpulan massa yang kemudian turun ke jalan (long march) dengan membawa
spanduk bertuliskan tuntutan tertentu dengan yel-yel tertentu

• Demontrasi

• Setiap warga negara berhak berkumpul dan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun
tulisan

5. Pendekatan Humanistik

Pendekatan humanistik adalah suatu pendekatan bahwa setiap individu memiliki perbedaan
potensi. Pada pendidikan kewargaan pendekatan ini menjadi sangat relevan mengingat warga
dunia memiliki karakter dan budaya yang berbeda. Jadi, setiap individu dapat menjadi bagian
dari warga dunia dengan berbagai cara yang tetap dan sesuai dengan kemampuannya. Mereka
dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk menanggapi berbagai persoalan
terkini.

Berkaitan dengan ruang lingkup, pendidikan kewargaan (civil education) meliputi tiga materi
pokok : demokrasi, HAM, dan masyarakat madani. Ketika materi inti tersebut kemudian
dijabarkan menjadi beberapa materi yang menjadi bahan kajian dalam pembelajaran
pendidikan kewargaan :

1. Pendahuluan

2. Identitas Nasional

3. Negara

4. Kewarganegaraan

5. Konstitusi

6. Demokrasi

7. Otonomi Daerah

8. Good Governance

9. HAM

10. Masyarakat Madani

Dengan demikian substansi pembelajaran pendidikan kewargaan (civil education) diarahkan


untuk “nation and character building” bangsa Indonesia yang relevan dalam memasuki era
demokratisasi.

E. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan

Maksud paradigma dalam konteks pendidikan kewargaan ini terkait dengan empat landasan
pelaksanaan pendidikan ini, yaitu menyangkut peserta didik, dosen, materi, dan manajemen
pendidikan yang digunakan. Secara umum ada dua kutub paradigma pendidikan yang
paradoksal, yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistic.

Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa pendidikan tempat melatih dan


mempersiapkan peserta didik untuk masa dating. Oleh karena itu peserta didik ditempatkan
sebagai objek semata dalam proses pembelajaran, sementara dosen sebagai satu-satunya
sumber ilmu, kebenaran dan informasi. Karena itu, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi
pembelajarannya disusun secara kaku sehingga memasung kreativitas peserta didik, termasuk
dosennya. Sedangkan manajemen pendidikannya dilakukan secara sentralistik, birokratis, dan
monolitik. Akibat dari orientasi tersebut, lulusan pendidikannya menjadi manusia robot dan
tidak kreatif, tidak demokratis, dan mewarisi sikap otoriter.

Sebaliknya, paradigma pendidikan humanistic mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik
yang mempunyai potensi dan karakteritis yang beragam. Karena itu, dalam pandangan ini,
peserta didik ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran yang disusun
berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis, dan
fenomenologis, sehingga materi aja selalu actual, dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan
perubahan sosial masyarakat. Begitu juga manajemen pembelajarannya lebih menekankan
pada dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas, menggunakan metode
pembelajaran yang bervariasi, dan demokrasi.

Oleh karena itu, untuk kelas pembelajaran pendidikan kewargaan diperlukan paradigma
pendidikan humanistic sebagai laboratorium demokrasi di Indonesia. Semangat
kewarganegaraan yang memancarkan dari cita-cita atau nilai demokrasi dan HAM tersebut
kemudian diterapkan secara interaktif, empiris, dan konstektual demokratis untuk
memanusiakan manusia rakyat Indonesia pada umumnya peserta-peserta didik pada
khususnya.

Hukum dan Kewarganegaraan

A. Asas Hukum Kewarganegaraan


Kehidupan berbangsa dan beragama dituntut tidak dilepaskan dari persoalan
kewarganegaraan. Hukum dan kewarganegaraan menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji
lebih mendalam mengingat salah satu unsur konstitutif berdirinya negara adalah rakyat. Jika
pengaturan mengenai kewarganegaraan belum mencerminkan amanat konstitusi tentunya hal
ini akan menjadi penghambat terwujudnya negara hukum yang demokratis. Sebaliknya,
pengaturan yang aspiratif dapat mendorong kemajuan bangsa Indonesia.

Kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Adapun asas-asas
kewarganegaraan universal meliputi ius sanguinis, ius soli, dan campuran. Pengertian asas-asas
tersebut dalam UU No. 12 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :

• Law of the soil adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
negara tempat kelahiran

• Kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi


setiap orang

• Kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan


ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang

Selain asas di atas, beberapa hak khusus juga menjadi dasar penyusunan undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia :

1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan


kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan
tujuannya sendiri

2. Asas perlindungan maksimal adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan
apapun di dalam maupun luar negeri

3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan
bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya
bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya

5. Asas non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakukan dalam segala hal
yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin
dan gender

6. Atas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang
berhubungan dengan kewajiban menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia
pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya

7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal yang
berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka

8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau
kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia agar masyarakat mengetahuinya

Analisis penulis, beberapa asas diatas sangat relevan digunakan sebagai dasar dalam
pembuatan undang-undang kewarganegaraan. Hal ini mengingat status kewarganegaraan
seseorang bersifat substantive, dimana rakyat adalah salah satu unsur konstitutif terbentuknya
suatu negara. Aturan kewarganegaraan yang jelas dan sesuai dengan situasi dan kondisi suatu
bangsa akan mampu mendorong perkembangan bangsa. Misalnya, dewasa ini sedang
berkembang gagasan transparansi dan HAM. Asas keterbukaan dan penghormatan terhadap
HAM menjadi salah satu rujukan dalam undang-undang kewarganegaraan.

Sementara itu, penentuan kewarganegaraan yang didasarkan pada aspek perkawinan


mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat:

a. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan
yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah
kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan dalam masalah kewarganegaraan suami
dan istri sama dan satu

b. Asas persamaan derajat berasumsi bahwa suatu perkawinan tidak untuk menyebabkan
perubahan status kewarganegaraan suami atau istri. Keduanya memiliki hak yang sama untuk
menentukan sendiri kewaganegaraan mereka. Jadi mereka dapat berbeda kewarganegaraan
seperti halnya ketika belum berkeluarga
Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai asas yang dianut negara
tersebut. Pada dasarnya suatu negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan
kewarganegaraan. Negara lain juga tidak boleh menentukan siapa saja yang menjadi warga
negara dari suatu negara. Hal ini disebabkan karena setiap negara mempunyai kedaulatan.

Pengaturan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan


problem kewarganegaraan bagi seorang warga, terutama bagi mereka yang melakukan
perkawinan dengan warga negara asing. Problem kewarganegaraan adalah status
kewarganegaraan yang mereka anut (apatride dan bipatride). Apatride adalah istri untuk orang-
orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Apatride adalah terjadi apabila warga Negara A
(penganut asas ius soli) menikah dengan warga Negara B (penganut asas ius sanguinis)
melahirkan seorang anak di Negara A. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki
kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu orang-orang
yang memiliki banyak kewarganegaraan.

Persoalan tersebut tidak terkenal di dalam UU No. 12 Tahun 2006. Pemberian


kewarganegaraan ganda hanya diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan
suatu pengecualian. Setelah mengetahui asas hukum kewarganegaraan, selanjutnya kita dapat
menelusuri siapa saja yang termasuk Warga Negara Indonesia:

1. Warga Negara Indonesia

Setiap negara mempunyai pengaturan perihal kewarganegaraan yang berbeda. Negara


Indonesia telah menentukan siapa yang menjadi warga negara. Ketentuan tersebut tercantum
dalam Pasal UUD 1945 berikut:

1. Yang menjadi Negara adalah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara

2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia

3. Hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dengan undang-undang

Berdasarkan hal di atas kita mengetahui bahwa menjadi Warga Negara Indonesia adalah :

a. Orang-orang Indonesia asli


b. Orang-orang bangsa lain disahkan dengan undang-undang menjadi warga Negara

Perbedaan yang paling terlihat antara warga Negara dan penduduk adalah siapa yang
bertempat tinggal di Indonesia. Penduduk mencakup Warga Negara Indonesia dan orang asing
yang bertempat tinggal di Indonesia. Karena itu, jumlah penduduk Indonesia lebih banyak
dibandingkan dengan Warga Negara Indonesia. Ketentuan mengenai syarat menjadi warga
Negara Indonesia diatur dalam undang-undang. Barang siapa ingin menjadi warga Negara
Indonesia dapat mengajukannya melalui pewarganegaraan.

Adapaun undang-undang yang mengatur tentang warga Negara adalah undang-undang No. 12
Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tata cara
bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui permohonan. Dalam
undang-undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh
melalui pewarganegaraan.

Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon dengan memenuhi persyaratan


berikut:

1. Telah berusia 18 (depalan belas) tahun atau sudah kawin

2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara


Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh)
tahun tidak berturut-turut

3. Sehat jasmani dan rohani

4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang
Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945

5. Tidak pernah dijatuhkan pidana karena melakukan tindakan pidana yang diancam
dengan pidana penjara 1 (satu) tahun

6. Jika memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak memiliki kewarganegaraan ganda

7. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap

8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara

Syarat-syarat di atas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menjadi Warga
Negara Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan adalah pewarganegaraan ditempuh oleh
Warga Negara Asing yang ingin menjadi Warga Negara Indonesia atau oleh anak-anak hasil
perkawinan campuran yang menyebabkan mereka memiliki kewarganegaraan ganda.

2. Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia

Disamping ini diperolehnya kewarganegaraan seseorang, ada juga hal yang menyebabkan
hilangnya kewarganegaraan seseorang. Artinya, status kewarganegaraan Indonesia yang
dimiliki seseorang menjadi hilang. Dengan hilangnya status kewarganegaraan ini berarti segala
hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia tidak dapat diperolehnya lagi.
Penyebab hilangnya kewarganegaraan seseorang antara lain:

Pertama, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri. Artinya, seseorang


dengan kemauannya sendiri menginginkan menjadi warga Negara lain dan sudah secara hukum
menginginkan keluarga dari Negara Indonesia.

Kedua, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu. Ia dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh
Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah
kawin, dan bertempat tinggal diluar negeri. Dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan
Republik Indonesia tidak berarti ia tidak memiliki kewarganegaraan.

Ketiga, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden. Secara
sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga
Negara Indonesia.

Keempat, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara
asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Kelima, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan
untuk suatu negara asing.

Keenam, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang
dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas
namanya.

Ketujuh, bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja
tidak menyatakan keinginan untuk tetap menjadi negara Indonesia sebelum jangka waktu 5
(lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi
Warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis
kepada yang bersangkutan.

Kedepalan, perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga asing
kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan
istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.

Kesembilan, laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga asing
kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Atau jika ingin
menjadi warga negara RI, ia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginan kepada
pejabat atau perwakilan RI yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki
tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Surat
pernyataan dapat diajukan oleh perempuan setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya
berlangsung.

Kesepuluh, setiap orang yang memperoleh kewarganegaraan RI berdasarkan keterangan yang


kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai
orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya. Materi
mengumumkan nama orang yang kehilangan kewarganegaraan RI dalam berita negara Republik
Indonesia.

Beberapa item yang menyebabkan hilangnya kewarganegaraan seseorang perlu menjadi


pelajaran bagi setiap individu. Di sinilah pentingnya pendidikan kewarganegaraan yang sering
tanpa disadari diabaikan perkembangannya.

B. Hubungan Warga Negara dengan Negara

Negara sebagai suatu entitas adalah abstrak, yang tampak adalah unsur-unsur negara yang
berupa rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu unsur negara adalah rakyat. Rakyat yang
tinggal diwilayah negara menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Warga negara adalah
bagian dari penduduk suatu negara. Warga negara memiliki hubungan dengan negaranya.
Kedudukannya sebagai negara menciptakan hubungan berupa peranan, hak, dan kewajiban
yang bersifat timbal balik.
Kewarganegaraan memiliki keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara
negara dan warga negara. Kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan
negara. Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis

Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang
dan negara. Adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang
tersebut berada dibawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan
hukum misalnya akta kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, dan sebagainya.

b. Kewarganegaraan dalam arti sosiologis

Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan
emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan
tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara bersangkutan.

Dalam wacana pendidikan kewarganegaraan, negara harus diposisikan sejajar dengan warga
negaranya. Warga negara tidak dilawankan dengan negaranya, tetapi justru dipersepsikan
sebagai mitra. Selama negara masih berada diatas warga negara atau masyarakat, hubungan
antara keduanya tidak akan berlangsung harmonis. Secara normatif hubungan antara warga
negara dan negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang melekat antara
keduanya sehingga proses dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis
dengan berdasar pada norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Etika hubungan yang hendak
dikembangkan dalam proses komunikasi antara negara dan warga negara harus berlangsung
secara timbal balik. Sebalikya, secara empirik, bisa jadi hubungan antara warga negara dan
negara justru melanggar norma bangsa dan negara yang disepakati bersama. Jika hal itu terjadi,
pola hubungan warga negara harus dikembalikan pada hubungan yang bersifat konstitusional.

Ketika salah satu di antaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai dasar dan standar
normatif, hubungan itu mulai koyak dan biasanya warga negara selalu berada dalam posisi yang
lemah. Melalui instrument kekuasaan, negara bisa melakukan cara-cara yang represif atau
hegemonik untuk mengetahui warga negara agar legitimasi warga negara selalu mengalir pada
negara. Untuk membangun hubungan antara warga negara dan negara secara adil dan
berimbang, normatif, dan etik, dapat ditempuh langkah-langkah berikut:

a. Invenarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara

b. Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara dengan variabel yang
melekat pada organisasi negara
c. Mempersiapkan hubungan kedua variabel (negara dan warga negara) dengan hubungan
hak dan kewajiban keduanya

d. Mencari dasar norma sebagai pembenar hubungan antara warga negara dengan negara,
yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi

Hubungan warga negara dengan negara tidak berlangsung menurut gradasi tingkatan yang
vertikal melainkan menjadi hubungan yang sederajat. Masing-masing mempunyai nilai
fungsional sendiri dan terjalin secara interaktif dalam pemetaan secara sistemik. Negara tidak
dibenarkan mendominasi warga negara, begitu juga warga negara tidak dibenarkan secara
anarkis menjatuhkan negara.

Aplikasi normatif hubungan antara warga negara dan negara dapat digambarkan dalam bentuk
tabel pada halaman berikut.

Wujud hubungan antara warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan (role).
Peranan pada dasarnya adalah tugas yang dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki, dalam
hal ini sebagai warga negara. Hak dan kewajiban negara Indonesia tercantum dalam pasal 27
sampai pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak Warga Negara Indonesia antara lain:

a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

b. Hak membela Negara

c. Hak berpendapat

d. Hak kemerdekaan memeluk agama

e. Hak mendapatkan pengajaran

f. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia

WARGA NEGARA

a
r

l Potensi

Kemampuan

Cita-cita

Aspirasi

Perilaku

Tindakan

Prestasi

Dan sebagainya

WARGA NEGARA

l Politik

Ekonomi

Sosial-budaya
Hankam

Pendidikan

Hukum

Agama

Dan sebagainya

g. Hak ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan sosial

h. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial

Sedangkan kewajiban Warga Negara Indoneisa terhadap negara Indonesia adalah:

a. Kewajiban mentaati hukum dan pemerintah

b. Kewajiban membela Negara

c. Kewajiban dalam upaya pertahanan Negara

Selain itu, ditentukan pula hak dan kewajiban negara terhadap warga negara. Hak dan
kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban warga
negara terhadap negara. Beberapa ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintah

b. Hak negara untuk dibela

c. Hak negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan untuk kepentingan rakyat

d. Kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil

e. Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara

f. Kewajiban negara mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat

g. Kewajiban negara memberi jaminan sosial


h. Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah

Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang dalam UUD 1945
mencakup berbagai bidang. Bidang-bidang ini antara lain bidang politik dan pemerintahan,
sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan. Semua bidang tersebut
menunjukkan adanya hubungan sinergis antara warga negara dan negara. Negara memberikan
suatu jaminan pemberian hak yang diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban sebagai warga
negara, tindakan tersebut juga berlaku sebaliknya. Dalam tataran teoretis hubungan keduanya
sudah diatur dengan jelas dan disertai sanksi bagi siapa pun yang melanggar. Namun masih
terdapat beberapa penyimpangan kedua belah pihak. Di era reformasi demokrasi ini
diharapkan segala bentuk penyimpangan maupun penyelewengan akan hak dan kewajiban
masing-masing dapat diminimalisir sehingga tercipta kerja sama yang mampu mendorong
pembangunan nasional yang lebih baik.

C. Analisis Yuridis Tanggung Jawab Negara terhadap Warga Negara

Pembahasan mengenai hubungan warga negara dengan negara tentunya tidak terlepas dari
sebuah tanggung jawab. Dalam konstitusi Republik Indonesia ditegaskan bahwa negara
bertanggung jawab atas warga negara. Tanggung jawab negara terhadap warga negara meliputi
bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan keamanan.

Pasal 31 perubahan UUD 1945 ayat (1) menyatakan, “Setiap warga Negara berhak
mendapatkan pendidikan”, dan ayat (2) “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintahan wajib membiayainya”. Janji pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam
Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditanda tangani
Presiden 8 Juli 2003.

Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU SPN) antara lain disebutkan:

Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”. Pasal 6 ayat (1) “Setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Pasal 11 ayat (1) “Pemerintah dan
Pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi” Pasal
11 ayat (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun”.
Janji pemerintah ini sudah dengan Konvensi Internasional Bidang pendidikan yang dilaksanakan
di Dakkar, Senegal, Afrika pada Tahun 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan
memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya.
Selanjutnya, dalam masa kampanye legislatif dan calon presiden (capres), pendidikan menjadi
komoditas yang ditonjolkan. Semua capres menjanjikan pembenahan sektor pendidikan. Yang
belum jelas, komitmen yang menyentuh akar permasalahan dalam bidang pendidikan dan
skenario mengatasi berbagai permasalahan itu.

Mengacu pasal 31 perubahan UUD 1945 ayat (1) dan (2), UU SPN No. 20 tahun 2003, dan
kesepakatan dalam Konvensi Internasional bidang pendidikan di Dakkar tahun 2000.
Masyarakat mempunyai persepsi, pendidikan dasar akan gratis. Padahal kenyataannya, siswa
masih dikenai berbagai pungutan, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Bahkan
Komite Sekolah yang semestinya berfungsi sebagai lembaga pengontrol sekolah di tengarai
memberikan justifikasi bagi berbagai pungutan yang diadakan sekolah. Pemberian subsidi biaya
oleh pemerintah tidak sertamerta menggratiskan pendidikan bagi warga. Di Jawa Timur
misalnya, pemerintah provinsi dan kabupaten memberikan subsidi sebesar Rp15.000 untuk SD-
MI (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah) dan Rp20.000 untuk SLTP-MTs (madrasah
tsanawiyah). Ini berarti disekolah-sekolah yang membiayai penyelenggaraan pendidikan lebih
dari Rp15.000 dan Rp20.000 per-siswa, kemungkinan besar orangtua atau wali murid
menanggung kekurangan biaya. Padahal, ada banyak sekolah (baik negeri maupun swasta) yang
menganggarkan unit cost di atas Rp15.000 dan Rp20.000.

Program pemberian subsidi biaya minimal pendidikan dasar bisa menimbulkan dua macam
kekecewaan. Pertama, sebagai masyarakat yang sudah terlanjur berharap pada pendidikan
gratis untuk anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun akan kecewa karena ternyata orangtua
atau wali murid masih harus membayar iuran pendidikan. Sekali lagi, mereka menganggap
bahwa yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan permainan kata-kata (SPP-sumbangan
pembinaan pendidikan-ditiadakan, juga iuran BP3-badan pembantu penyelenggaraan
pendidikan-tidak diberlakukan). Namun, ternyata masih ada biaya yang harus dikeluarkan.

Kedua, orangtua (terutama dari kalangan miskin) makin tercekik oleh berbagai biaya tambahan
mulai dari seragam, buku pelajaran, darma wisata, dan sebagainya. Dalam lingkaran setan
kemiskinan pendidikan, siswalah yang menjadi korban yang paling menderita. Dalam proyek
pengadaan buku pelajaran, seragam, dan sebagainya, guru (dan juga kepala sekolah)
mengambil keuntungan dengan dalih kesejahteraan guru yang amat memprihatinkan. Jika
siswa tidak mampu membayar berbagai biaya tambahan itu, terancamlah kesinambungan
pendidikannya. Pembiayaan pendidikan yang tanggung-tanggung oleh pemerintah akan
menimbulkan (atau makin mengukuhkan) kesenjangan di masyarakat.
1. Realitas Kesenjangan Sekolah Kaya-Miskin

Minimnya tanggung jawab dan peran pemerintah dalam bidang pendidikan makin
mengukuhkan segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Siswa-siswi dari keluarga
miskin yang mendapat subsidi pemerintah tidak akan mampu menanggung kekurangan biaya
sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di “sekolah-sekolah miskin”,
dimana operasional per anak tidak jauh melebihi anggaran yang sudah ditetapkan. Sementara
itu, siswa-siswi dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan
prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini memadai dari siswa, sekolah-
sekolah ini tentunya lebih leluasa untuk membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan.
Besarnya anggaran tidak menjamin mutu pendidikan di suatu sekolah. Namun, kekurangan
anggaran hampir pasti amat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dalam jangka waktu
panjang, disparitas sekolah miskin dan kaya serta anak miskin dan kaya akan semakin lebar
bahkan, di beberapa daerah banyak sekolah miskin harus ditutup karena sudah tidak mampu
lagi membiayai penyelenggaraan pendidikan.

Efek kemiskinan dalam pendidikan juga memperlebar jurang antara kota dan desa. Kesenjangan
antara sekolah kaya dan miskin ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, di negara sekaya
Amerika Serikat pun disparitas ini muncul di permukaan sebagai fenomena neoliberalisme yang
amat memprihatinkan.

2. Mempertanyakan Tanggung Jawab Negara

Mengacu Pasal 31 Perubahan UUD 1945 No. 20 Tahun 2003, dan Konvensi Dakkar, pemerintah
wajib menyediakan pendidikan bermutu secara gratis pada setiap warga negara. Secara
terperinci, Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan: “Dana pendidikan selain gaji
pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.

Bahwa ternyata anggaran pendidikan seperti disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI
di depan sidang DPR 15 Agustus 2003 ditetapkan sebesar kurang lebih Rp15,2 triliun (berarti
hanya 4,12 dari anggaran pendapatan negara sebesar Rp343,9 triliun dan anggaran belanja
negara yang sebesar Rp368,8 triliun), telah menjadi pelanggaran awal oleh pemerintah
terhadap UU SPN. Dalam konteks negara yang sedang mengalami krisis multidimensional,
keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk
dipahami dan diterima. Bahkan pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan
partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan yang ada. Misalnya, swadaya masyarakat
dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.
Seharusnya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan
wewenang. Namun, ketika negara tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis
kepada setiap warga negara dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam
pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada
masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus, mulai dari pelaksanaan UAN, penetapan
penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UUB, EBTADA,
dan sebagainya), sampai sistem penerimaan siswa baru menunjukkan kewajiban dan layanan
publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang.
Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajiban masyarakat harus memahami dan menerima
keterbatasan itu. Namun, ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah,
mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perizinan, dan
sebagainya).

Ketidakseimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini mendapatkan sorotan dalam


masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika negara masih beriktikad baik untuk
memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik. Meskipun demikian, tidak
seharusnya muncul sikap saling menyalahkan antara pihak satu dan yang lain. Reformasi
konstitusi yang melahirkan undang-undang berkualitas harus bernar-benar dilaksanakan
dengan baik. Negara harus memegang teguh komitmen yang sudah dituangkan dalam undang-
undang, begitu juga masyarakat harus taat pada aturan yang berlaku dan bersikap aktif dalam
mendorong perkembangan pendidikan di Indonesia.

Hal berikutnya berkaitan dengan kesejahteraan sosial yang menjadi tanggung jawab negara
menjadi salah satu bahan diskusi dalam berbagai pertemuan. Sebagaimana yang tercantum
dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3), negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Bentuk pelayanan yang menjadi
tanggung jawab negara tersebut disarankan lebih baik daripada sebelum reformasi. Perubahan
dan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah kearah yang lebih baik belum cukup. Begitu banyak
fenomena yang menggambarkan pelayanan terbaik dalam kesehatan hanya diberikan kepada
mereka yang mempunyai uang lebih. Masyarakat miskin, meskipun mendapat jaminan
kesehatan dari pemerintah berupa “kartu gakin”, tidak mendapatkan pelayanan yang layak.

Upaya demikian dirasakan kurang efektif karena jaminan yang diberikan pemerintah tersebut
tidak membuat pihak Rumah Sakit memberikan pelayanan yang maksimal, namun
membedakan dengan mereka yang tidak menggunakan kartu gakin. Peristiwa ini seharusnya
menjadi perhatian negara yang bertanggung jawab atas kesejahteraan warga negaranya.
Apabila persoalan ini belum diselesaikan dengan baik, kepercayaan masyarakat terhadap
kinerja pemerintah semakin melemah dan rakyat mungkin bersikap apatis terhadap
perkembangan negara, atau bahkan menimbulkan gerakan separatis sebagai wujud
perlawanannya terhadap negara.

3. Kepercayaan Publik Terhadap Aparat

Pemberian subsidi untuk siswa dari keluarga miskin perlu disertai antisipasi terhadap teknis
pelaksanaan distribusi dana. Sosialitas, pendataan, dan distribusi subsidi pendidikan ini harus
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Berbagai kasus
penyelewengan dalam program Jaring Pengaman Sosial dan yang lain makin mengikis
kepercayaan publik terhadap aparat negara (baik eksekutif maupun legislatif). Dinas pendidikan
dan kebudayaan di berbagai tingkat perlu menyiapkan segala perangkat sosialisasi, pendataan.
Dan distribusi dengan lebih bertanggung jawab, jujur, dan transparan. Sementara itu, fungsi
kontrol yang dilakukan masyarakat baik secara formal lewat Dewan Pendidikan dan komite
Sekolah maupun lembaga masyarakat nonformal harus lebih digalakkan lagi. Sanksi tegas
terhadap penyelewengan yang mungkin muncul harus disiapkan agar good govermance tidak
hanya menjadi slogan semata.

Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang
lebih baik. Janji para wakil rakyat yang sudah terpilih untuk dewan mendatang dan capres untuk
mengedepankan pendidikan perlu komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas
kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari.
Masyarakat tentu harus menggunakan hak mereka untuk terus mengontrol pemenuhan janji
tersebut.

Begitu halnya dengan pemberian jaminan kesejahteraan sosial pemerintah kepada rakyat harus
mendapat suatu jaminan yang tidak hanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam tataran praktis negara harus menegakkan aturan yang ada. Negara seharusnya
berusaha secara maksimal untuk memperoleh dukungan dari semua pihak agar kesejahteraan
sosial dapat terwujud. Dan ini menjadi tugas penting pemerintah yang harus segera
diselesaikan.

D. Politik Hukum Kewarganegaraan

Esensi UU No. 12 Tahun 2006 ditafsirkan bahwa semangat dari undang-undang tersebut adalah
mempermudah dan melindungi hak-hak warga negara dan bertujuan memberi kepastian
hukum. Bahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Hamid Awalidin) menyatakan bahwa
paradigma pemerintah tentang kewarganegaraan berubah. Sebelumnya cara pandang
kewarganegaraan didominasi latar belakang etnis atau suku, namun sejak undang-undang itu
disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, cara pandang tersebut berubah. Cara pandang
kewarganegaraan itu menurut Materi Hukum dan Hak Asasi Manusia didasarkan pada hukum
“bukan lagi etnis atau warna kulit, tidak diskriminatif dan menghargai prestasi seseorang”.

Kemudian ditegaskan bahwa dengan cara pandang itu, setiap orang yang ingin menjadi Warga
Negara Indonesia tidak lagi harus susah payah mengurus syarat administrasi yang bertele-tele
termasuk SBKRI. Kedati demikian, masalah kewarganegaraan warga Tionghoa Indonesia bukan
lantas terselesaikan. Sebagai contoh konkret masih terjadi kesulitan-kesulitan dengan warga
Tionghoa Indonesia. Mereka yang hendak menjadi Warga Negara Indonesia atau
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia
ternyata menemui kesulitan yang hanya dapat diatasi dengan bantuan dari pihak Negara atau
pelaksanaan undang-undang kewarganegaraan yang baru sesuai dengan semangat pembaruan
dan bersifat nondiskriminatif.

Harian kompas sehari sebelum penegasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memuat
berita yang sangat mengejutkan bahwa ternyata banyak warga Tionghoa di Surabaya yang
dianggap sebagai Negara asing walaupun lahir dan tumbuh besar di Indonesia. Berdasarkan
pemantauan wartawan harian kompas di lapangan, ditegaskan bahwa ternyata di Jakarta pun
praktik diskriminasi pada Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa masih terjadi kendati
undang-undang kewarganegaraan baru diberlakukan.

Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga Negara. “Penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian
bahwa orang-orang bangsa Indonesia asli adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Secara yuridis,
ketentuan ini oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
keadaan tanpa kewarganegaraan. Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli),
orang yang lahir di wilayah Republik Indonesia mendapatkan perlindungan dan kepastian
hukum, karena mereka adalah Warga Negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan atas
kelahirannya dalam wilayah Negara Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak ada anak
yang lahir menjadi apatride. Persoalan bipatride yang ada di Indonesia merupakan suatu
pengecualian.

Interprestasi tentang pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli ini setidak-tidaknya


memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis konstitusional yang tidak dapat diabaikan
sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 dan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
(sebelum perubahan) dengan Pasal 1 huruf (a) dan (b) UU No. 3 Tahun 1946. Jadi mereka yang
menjadi Warga Negara Republik Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 sama aslinya
seperti yang dimaksud asli berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 3 Tahun 1946 bahwa Warga Negara
Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dalam Negara Republik Indonesia secara
otomatis menjadi Warga Negara Republik Indonesia.

Pasal 2 berikut penjelasannya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 telah memperjelas dan
mempertegas dan kepastian hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia yang sejak
kelahirannya di wilayah Republik Indonesia tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas
kehendak sendiri.

Sehubungan dengan itu, guna mempertegas siapa saja yang menjadi Warga Negara Indonesia,
Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006 menegaskan sebagai berikut:

Warga Negara Indonesia adalah:

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan


perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum undang-undang ini
berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia

b. Anak yang lahir dan perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara
Indonesia

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia
dan ibu Warga Negara Asing

d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu
Warga Negara Indonesia

e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia,
tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut

f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia

g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia

h. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang
diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin
i. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya

j. Anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah Negara Republik Indonesia selama ayah
dan ibunya tidak diketahui

k. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya

l. Anak yang dilahirkan diluar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan
ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan
sumpah atau menyatakan janji setia

UU No. 12 Tahun 2006 ternyata belum memberikan pemecahan dan penyelesaian masalah
kewarganegaraan bagi warga Tinghoa Indonesia yang tidak memiliki surat bukti
kewarganegaraan. Kita masih membutuhkan peraturan pelaksana UU No. 12 Tahun 2006 dan
Peraturan Perundang-undangan masa silam yang justru sudah dinyatakan tidak berlaku.

Lahirnya undang-undang kewarganegaraan yang baru diharapkan dapat memberikan


pemecahan dan penyelesaian secara tertib, tegas, dan tuntas, agar mereka yang tidak memiliki
surat bukti kewarganegaraan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia baik melalui
permohonan pewarganegaraan maupun secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia
melalui peraturan pengganti undang-undang atau pemulihan dengan keputusan presiden.

Masalah kewarganegaraan bagi warga Tionghoa Indonesia yang belum mempunyai dan
memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia dengan cara demikian dapat diatasi. Jadi untuk
jangka panjang keturunan seluruh warga Tionghoa Indonesia dalam membina persatuan dan
kesatuan akan lebih mudah dan lebih lancar, dapat dimengerti, diyakini, dan dihayati. Selain itu,
warga Negara Tionghoa yang ingin menjadi warga Negara Indonesia diharapkan menunjukkan
aktikad baik dalam memperjuangkan keinginannya.

Negara kesatuan Republik Indonesia tidak hanya mempunyai UUD 1945 dan Undang-Undang
Hak Asasi Manusia, Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Undang-Undang
Kewarganegaraan Baru yang menjamin perlakuan baik dan adil terhadap Warga Negara
Indonesia dan Warga Negara Asing yang selaras dengan ukuran dan anggapan internasional,
tetapi juga memiliki aparatur penyelenggaraan negara, kebijakan, pelaksanaan program,
ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan perlakuan
dan layanan yang sama kepada seluruh Warga Negara Indonesia.

Aparatur penyelengaraan negara yang belum atau tidak berhasil menjalankan amanat yuridis
konstitusi sebagaimana diharapkan oleh warga negara yang berkepentingan dan oleh
Pemerintah perlu secara tegas diberi sanksi sebagaimana diamanatkan Pasal 36 UU No. 12
Tahun 2006.

UU No. 12 Tahun 2006 perlu senantiasa dikawal dan diperjuangkan dengan memperbaiki
kesalahan dimasa lampau dan memperkuat yang sudah benar untuk masa depan bangsa dan
Negara Republik Indonesia. Sesungguhnya dengan semangat mewujudkan supremasi hukum
dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, supaya perjuangan berbagai
pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berbagai organisasi non pemerintah. Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang tidak kenal untuk mewujudkan perlakuan yang
adil bagi semua warga telah berhasil dengan disahkannya undang-undang kewarganegaraan
baru. Undang-undang ini diharapkan secara objektif dalam kehidupan sehari-hari dan tidak
diskriminatif terhadap warga negara yang hendak memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia.

Dalam perjuangan itu seluruh Warga Negara Indonesia dengan jiwa Pancasila berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 tanpa memandang suku, etnis, ras, agama dan kepercayaan
mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk mengabdi kepada tanah air.

E. Problematika Hukum Kewarganegaraan dan Solusinya

Konsep kewarganegaraan dalam UU No. 62 Tahun 1958 yang masih menggunakan etnis dan ras
membuat hak-hak dasar Warga Negara Indonesia menjadi hilang. Latar belakang inilah yang
menyebabkan lahirnya undang-undang kewarganegaraan yang baru, yaitu UU No. 12 Tahun
2006. Undang-Undang tersebut pengganti UU kewarganegaraan lama yang dinilai sudah
ketinggalan zaman.

Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 memunculkan secercah harapan. Pertama, dengan disahkan
UU yang baru tersebut diharapan segala bentuk diskriminasi yang selama ini terjadi segera
dapat di akhiri. Kedua, dengan lahirnya UU kewarganegaraan yang baru tersebut semoga
polemik tentang siapakah Warga Negara Indonesia asli dapat diakhiri. Ketiga, dengan lahirnya
UU kewarganegaraan yang baru tersebut maka siapa pun dan dari latar belakang etnis apa pun
bisa menjadi bagian interal bangsa ini atau menjadi Warga Negara Indonesia asal dilahirkan di
Indonesia. Keempat, UU kewarganegaraan yang baru tersebut semoga dapat menjadi
terobosan baru yang progresif dan konstruktif dalam membangun kebersamaan kita sebagai
anak bangsa.

Perkawinan adalah ikatan batin yang suci dan diberkati tuhan. Dalam konsep demokrasi
modern, negara tidak boleh mengintervensi warganya dengan siapa dia menikah. Apakah
dengan pria asli Indonesia atau warga Negara asing. Di Indonesai, tidak dapat dipungkiri bahwa
perempuan WNI adalah pelaku mayoritas kawin campur. Tetapi, di Indonesia, hukum yang
berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan WNI. Sebagai
contoh, bila wanita Indonesia menikah dengan pria asing maka wanita tersebut akan kehilangan
kewarganegaraannya dan akan ikut dengan warga negara suaminya.

Dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 ini, masalah diskriminasi gender dan dikonotomi
ras dapat dihilangkan. Wanita WNI yang menikah dengan pria WNA tidak otomatis kehilangan
status WNI. Lebih dari itu, perempuan WNI bisa menjadi sponsor suami untuk menjadi WNI
tanpa harus melalui proses naturalisasi. Dengan adanya UU yang baru ini tercermin adanya
persamaan hukum dan HAM serta penghapusan diskriminasi. Di samping itu, anak secara
otomatis menjadi WNI karena UU yang baru ini menganut dua asas. Pendeknya, anak usia
dibawah 18 tahun hasil pernikahan transnasional dapat memiliki kewarganegaraan ganda.
Selama ini, dalam masalah kewarganegaraan, Indonesia hanya mengenal asas ius soli
(berdasarkan tempat kelahiran) serta ius sanguinis (berdasarkan garis darah ayah). Undang-
Undang tersebut telah membuka asas baru, yaitu kewarganegaraan danga terbatas. Artinya,
seorang anak sebelum mencapai usia 18 tahun dimungkinkan punya kewarganegaraan ganda.
Setelah melewati umur itu, atau menikah, ia harus menentukan status kewarganegaraannya.
Untuk kepentingan ini, ia diberi ketenggangan waktu selama tiga tahun. Jadi secara substansial
UU No. 12 Tahun 2006 tersebut tidak lagi menggunakan pendekatan etnis dan ras. Dengan
demikian hak-hak dasar Warga Negara Indonesia diakui keberadaannya. Di samping itu, poin
yang lebih berarti adalah wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing tidak perlu risau lagi
dituduh menculik saat ingin menemui anak-anaknya di luar negeri dan mengajaknya ke
Indonesia.

Walaupun UU No. 12 Tahun 2006 rela disahkan, bukan berarti tidak ada kendala dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kewarganegaraan di Indonesia. Oleh sebab itu,
pelaksanaannya harus diawasi. Pemerintah harus memiliki komitmen tinggi dalam
pelaksanaannya. Pemerintah harus bekerja keras agar seluruh bentuk implementasi undang-
undang tersebut berjalan dengan efektif.

Pemerintah, dalam hal ini departemen Hukum dan HAM, harus mensosialisasikannya terlebih
dahulu kepada masyarakat, termasuk juga kepada perwakilan rakyat RI diluar negeri. Di
samping itu, pemerintah juga harus segera mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan
undang-undang ini agar tidak ada lagi oknum pejabat yang sengaja menghambat proses
kewarganegaraan.

Seluruh kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM di Indonesia perlu memberikan
pelayanan yang maksimal kepada masyarakat yang membutuhkan. Pekerjaan ini harus
ditangani secara profesional. Untuk itu, birokrasi yang bertele-tele, rumit, dan penuh aroma
korupsi harus dipangkas habis. Dan sanksi pidana harus diberikan kepada siapa pun yang
hendak mempersulit warga keturunan. Mentalitas birokrasi yang kerap mempersulit pengurus
kewarganegaraan harus diberi sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Semoga UU No. 12 Tahun 2006 dapat menghapus segala perbedaan, penguculan, atau
pembatasan atas hak dasar. Harapan yang paling utama adalah semoga undang-undang
tersebut dapat menjadi payung bagi segenap masyarakat dan bangsa Indonesia untuk sama-
sama membangun bangsa tanpa sekat, perbedaan suku, dan golongan. Jadi, selamat tinggal
diskriminasi.

Hak Asasi Manusia

A. Redefinisi HAM (Melakcak akar kata “asasi” dalam idiom HAM)

Hak Asasi Manusia menjadi isu sentral dalam berbagai perbincangan. Pengakuan akan Hak Asasi
Manusia tidak jarang menjadi dalil dalam setiap pemberontakan. Atau bahkan mejadi senjata
ampuh bagi mereka yang mencoba memberi pembenaran. Namun, dibalik itu semua konsepsi
tentang HAM kurang mendapat respon dari masyarakat. Mereka hanya mengartikan HAM
berdasarkan info yang diperoleh tanpa berusaha mengkaji lebih dalam tentang pengertian
“asasi” dalam idiom HAM. Sehingga diperlukan suatu telaah lebih dalam melacak akar kata
“asasi” tersebut, tidak gampang mengambil kesimpulan mengenai HAM.

Redefinisi Hak Asasi Manusia (HAM) secara akademis perlu dilakukan, karena kata HAM
merupakan turunan (terjemahan) dari berbagai istilah asing yaitu “Human Rights” (bahasa
Inggris) dan “Mansen Rechten” (bahasa Belanda). Selain kata HAM, masih ada padanan kata
yang lain yaitu Hak Dasar Manusia (HDM) sebagai terjemahan dari istilah “Fundamental Rights”
(bahasa Inggris) dan “Grond Rechten” (bahasa Belanda). Dengan demikian, perlu ketegasan
penggunaan istilah yang tepat termasuk dalam pendefinisiannya. Sebab, salah pendefinisian
atau salah interpretasi atas HAM atau HDM dapat menimbulkan pemaknaan secara kontekstual
apalagi pada tataran impelementasinya.

Redefinisi ini penting karena dipicu oleh adanya terjemahan atas HAM yang bervarian dalam
hukum positif kita. Antara ketetapan MPR tentang HAM, Undang-Undang HAM, dan UU
peradilan HAM, terdapat perbedaan redaksional dan subtansial dalam mendefinisikan HAM.
Dalam perbedaan definisi HAM tersebut, terkandung problematika yuridis yang lain yaitu
dimanakah posisi yang tepat pengaturan masalah HAM ini dalam hukum positif kita.
Problematika yuridis terakhir ini juga penting dikaji, karena implikasi yuridisnya dapat
berdampak luas, utamanya dalam praktik penegakan HAM yang banyak disorot belakangan ini.

Sebagai ilustrasi awal penulis kutipkan definisi HAM yang dirumuskan Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM:

“HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas,
atau diganggu gugat oleh siapapun” (kursif,penulis).

Dari rumusan definisi HAM di atas, sepintas disamakan antara kata “asasi” dengan kata “dasar”
dalam idiom HAM, atau dalam HAM ada beberapa hak dasar yang melekat pada diri manusia
baik yang sifatnya kodrati dan universal atau hak dasar yang tidak bersifat kodrati dan tidak
universal. Atau justru devinisi Ketetapan MPR di atas yang kurang tepat, sehingga perlu
dipikirkan perubahan formulasinya.

Terlepas dari problematika di atas, saat ini jaringan HAM sering disalahartikan atau
disalahgunakan. Dengan alih HAM, program penghijauan dalam suatu kawasan dapat
memarginalkan hak-hak individual maupun hak atas tanah ulayat masyarakat adat. Sebaliknya,
program penyelesaian suatu konflik di masyarakat oleh aparat keamanan, jika tidak hati-hati
dapat berbalik menjadi bumerang sebagai tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan atau
dituduhkan kepada aparat keamanan. Karena itu penulis tekankan sekali lagi bahwa redenfinisi
atas HAM adalah penting.

Menurut catatan sejarah, potret penegakan HAM merupakan mosaik bagi perjuangan sebuah
kemerdekaan, kebebasan, keadilan, persamaan, persaudaraan, perdamaian, dan perlindungan.
Liku-liku perjuangan dan penegakannya juga mengalami pasang surut dalam pencerminan akan
pencerahan atau sebaliknya berubah pada keburaman martabat jutaan wajah umat manusia.
Pada mulanya praktik pelanggaran HAM, beranjak dari sikap superioritas primordialistik
kelompok tertentu yang didukung oleh instrumen rasisme, bahasa, agama dan startipikasi
sosial, serta berbagai penyimpangan lainnya. Ironisnya, pelanggaran HAM dewasa ini justru
diprakarsai oleh negara-negara yang menjuluki dirinya sebagai negara pembela HAM
demokrasi.

Contoh konkret, Amerika Serikat dengan sekutunya telah menghancurkan komunitas bangsa
Afganistan, dengan dalil negara tersebut menyembunyikan Usamah Bin Laden pimpinan
Organisasi Al-qoidah dituduh melakukan teror terhadap Gedung WTS dan pentagon, padahal
belum ada pembuktian secara syah melalui pengadilan internasional. Sebaliknya, Amerika
Serikat dan para sekutunya sengaja membiarkan aksi brutal Tentara Israel terhadap Presiden
Yaser Arafat dan masyarakat Palestina diluar daerahnya. Dalam hal mana aksi ini jelas-jelas
merupakan pelanggaran HAM berat, karena telah melakukan pembunuhan massal (genocide)
terhadap bangsa Palestina dan melanggar tata krama pergaulan internasional.

Oleh karena itu penting untuk melakukan redefinisi dan reposisi HAM diatas, sekaligus melacak
akar kata “asasi” dalam idiom HAM, agar ditemukan format penggunaan istilah yang tepat dan
pemaknaan istilah HAM secara benar. Dengan demikian pemahaman tentang HAM tidak saja
terbatas seperti pemahaman konsep barat yang hanya memandang HAM sebagai produk
secara dari pemikiran ideologis dan kepentingan politik semata, tetapi pemahaman HAM ditarik
pada masalah yang paling mendasar yaitu HAM dalam perspektif teologis dan garis lurus
(transenden) sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dipertanggung jawabkan oleh
siapapun kehadiran-Nya. Termasuk upaya mencari format yang tepat pengarutan HAM dalam
hukum positif Indonesia.

1. Melacak akar kata “asasi” dalam idiom HAM

Terminologi istilah “Hak-hak Asasi Manusia (HAM)” dalam kepustakaan ilmu politik dan hukum
kata negara dapat dilacak terjemahan istilah asing yaitu: “droits del”homme” (bahasa Prancis),
“Human Rights” (bahasa Inggris), dan “Mensen Rechten” (bahasa Belanda). Sedangkan “Hak-
hak Dasar Manusia (HDM)” merupakan terjemahan istilah “Fundamental Rights” (bahasa
Inggris) dan “Grond Rechten” (bahasa Belanda).

Permasalahannya, apakah tepat HAM merupakan terjemahan dari istilah Human Rights dan
Mensen Rechten? Secara itemologis kata “human” atau “mensen” berarti manusia, sedangkan
kata “rights” atau “rechten” berarti hak-hak, jadi terjemahan leksikalnya adalah “Hak-hak
Manusia” bukan “Hak-hak Asasi Manusia” Lalu dari mana kata “asasi” itu muncul dalam idiom
HAM seperti yang lazim kita kenal sekarang ini. Untuk menjawab permasalahan ini, paling tidak
ada tiga pendekatan yang penulis gunakan yaitu: pendekatan bahasa, pendekatan sejarah, dan
pendekatan hukum positif.

Pertama, pendekatan bahasa. Menurut kamus bahasa Arab, kata “asasi” diambil dari suku kata
“asasun” yang berarti asas, dasar dan kata ”asasiun” yang berarti bersifat asasi, mendasar, atau
menurut dasar.

Dengan demikian terjemahan istilah HAM yang lazim digunakan sekarang ini lebih dipengaruhi
atau berasal dari terminologi bahasa Arab yaitu dalam konteks istilah “Al-huquq Al-Asasiyun Al-
Insaniyah”.

Secara umum memang banyak sarjana yang menggunakan istilah HAM, walaupun diantara
mereka ada juga yang menggunakan istilah lain seperti: hak-hak manusia, hak-hak
fundamental, hak-hak dasar manusia, dan kewajiban dasar manusia. Dalam hal ini penulis lebih
sependapat menggunakan istilah “Hak-hak Asasi Manusia” (HAM).

Penekanan pada kata “asasi” dalam HAM, karena hak tersebut sifatnya kodrat, universal, tidak
dapat dicabut, tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain, dan hak-hak tersebut mutlak
adanya, misal: hak untuk hidup, hak untuk melangsungkan keturunan, hak kebebasan berpikir,
dan hak dalam memilih agama.

Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli terdahulu yang relevan dikembangkan disini. Menurut
Padmo Wahyono penggunaan kata ”asasi” dalam istilah HAM menimbulkan kesan bahwa hak-
hak tersebut (termasuk kewajiban-kewajiban) bersifat mutlak adanya.

Sedangkan Soetandyo Wignyosoebroto mendefinisikan HAM sebagai hak-hak yang melekat


secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok bioligis sebagai manusia yang memberikan
jaminan moral dan legal kepada setiap manusia itu untuk menikmati kebebasan dari setiap
bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan, ataupun perilaku apapun
lainnya yang menyebabkan manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang
dimuliakan Allah. Gunawan Setiardja dalam tinjauannya secara objektif, HAM merupakan
kewenangan yang melekat pada manusia sebagai manusia.
Atau menurut Bagir Manan, pemaknaan HAM semacam ini bersifat enlightened (hak yang asasi)
tentang manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Jacques Maritain dalam tulisan “The Rights of
Man” yaitu hak-hak yang dipunyai oleh seseorang karena secara faktual ia adalah manusia.
Sebutan lain seperti dikemukakan oleh Scott Davidson bahwa hak-hak asasi yang tidak boleh
dikurangi itu mempunyai karakteristik sebagai ius cogens yaitu norma-norma yang tidak pernah
boleh dicabut, dan dalam artian itu harus dianggap sebagai “asasi”, baik dalam bidang hukum
HAM Internasional maupun Hukum Internasional pada umumnya.

Kedua, pendekatan sejarah. Menurut Subhi Mahmassani, sejarah perkembangan pemikiran


mengenai HAM (minus kata “asasi”, yaitu hak-hak manusia) ini dapat dilacak sejak jaman adat
kuno (masa jahiliyah), yaitu adanya pengakuan terhadap hak untuk hidup, hak kawin dengan
cara membeli istri, hak poligami, dan hak melakukan tuntutan di depan kepala suku. Demikian
halnya pada masa Yunani dan Romawi di masa lampau. Misal para filosof Yunani mengatakan
bahwa perbudakan adalah hal yang alami dan diperlukan untuk kelangsungan kerja dalam
perekonomian pada waktu itu. Mereka juga mengatakan bahwa suami mempunyai kekuasaan
atas istrinya yang diikat dengan cara pembelian, dan orang yang berutang boleh diperbudak.
Diskursus HAM ini semakin mendapat tempat pada zaman abad pertengahan , yaitu melalui
kepemimpinan Rasul Muhammad SAW yang mengakomodasi nilai-nilai HAM dalam Piagam
Madinah (622 M), seperti prinsip persamaan, demokrasi, keadilan, dan hak kebebasan memilih
agama.

Dalam perkembangan berikutnya, menurut Franz Magnis Suseno pemahaman HAM (dengan
kata “asasi” di dalamnya), pertama kali muncul pada zaman dan dalam lingkungan budaya
tertentu, tepatnya di Inggris abad ke-17, pada ambang zaman modern. Pada waktu itu HAM
tidak dirumuskan sekaligus, melainkan sangat tergantung pada tantangan, ancaman, atau
rangsangan sosial khas sebuah konteks tertentu. Bahwa manusia memiliki hak-hak karena ia
manusia, pertama kali di sadari berhadapan dengan kebrutalan absolutisme raja-raja abad ke-
17.

Penolakan terhadap absolutisme itu menghasilkan kayakinan akan hak-hak kebebasan asasi
manusia yang perlu dihormati untuk menjamin keutuhan manusia, yang kerena itu tidak boleh
dilanggar oleh penguasa. Begitu seterusnya perkembangan HAM di bidang ekonomi, sosial,
budaya, dan hak-hak kolektif lainnya (HAM generasi ketiga) seperti hak atas identitas kultural.

Ketiga, pendekatan hukum positif (normatif). Pada aspek ini, penulis tidak bermaksud menurut
cikal bakal kodifikasi atau pengaturan mengenai HAM sejak zaman pra-sejarah. Sebab kalau
mau dimulai saat itu, pengaturan mengenai hal ini sudah dimulai sejak zaman Kodifikasi Hukum
Adat Babilonia, yaitu dengan Undang-Undang Hamurabi, Salon, dan Lembaran Duabelas (sekitar
abad 20 SM). Kemudian lebih diwujudkan pada zaman abad pertengahan Masehi yaitu dengan
Piagam Madinah yang telah meletakkan prinsip-prinsip dasar atau hak asasi manusia yang
sangat modern, seperti: hak kebebasan berpikir, hak hidup sehat, hak mendapatkan
penghidupan yang layak, hak memilih agama, dan lain sebagainya. Namun penulis lebih
terfokus pada pengaturan HAM di Indonesia pasca kemerdekaan RI.

Dalam konteks hukum positif Indonesia, pengaturan mengenai HAM (dengan istilah yang
beragam) dapat ditemukan didalam konstitusi. Secara eksplisit UUD 1945 tidak mengenal istilah
HAM, tetapi prinsip-prinsip atau beberapa jenis dari HAM secara implisit telah dinormatifkan
dalam beberapa pasalnya, misal hak berserikat dan berkumpul (Pasal 28), hak beribadat dan
menjalankan syariat agama (Pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (Pasal 31), dan sebagainya.

Pada Konstitusi RIS 1949, secara eksplisit telah mengatur masalah ini tapi dengan sebutan “Hak-
hak Dasar Manusia” dan “Kebebasan Dasar Manusia”.

Kemudian dengan penyebutan istilah yang sama, UUDS 1950 juga mengaturnya dan
menambahkan istilah yang lain yaitu “Asas-asas Dasar” dengan demikian dapat penulis
simpulkan bahwa istilah HAM tidak dikenal dalam ketiga konstitusi yang pernah berlaku dan
diberlakukan di Indonesia, sedangkan istilah “Hak-hak Dasar Manusia (HDM) dikenal dalam
konstitusi RIS dan UUD sementara 1950. Atau dengan kata lain, UUD 1945 tidak mengenal
istilah HAM, karena UUD 1945 dirumuskan sebelum Deklarasi Universal HAM PBB.

Di era awal Orde Baru, MPRS memang pernah membentuk Panitia Ad-Hoc untuk
mempersiapkan “Dokumen rancangan Piagam HAM” dengan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966.
Namun, berdasarkan keputusan Pimpinan MPRS 6 Maret 1967 No.24/B/1967, hasil karya
panitia Ad.Hoc HAM ini ditolak, karena pemerintah waktu itu lebih mengutamakan hal-hal yang
mendesak, disamping karena ada ancaman G30 S/PKI.

Istilah HAM nyata-nyata dikenal dan diatur setelah Amademen kedua UUD 1945 yaitu pada Bab
X dalam pasal 28A – 28J, tetapi pengertian atau definisi tentang HAM tidak dirumuskan
didalamnya. Kalau dilihat secara subtansial, jenis HAM yang diatur sudah jauh sampai kriteria
HAM yang berkembang pada generasi III dewasa ini yaitu hak atas pembangunan, hak atas
lingkungan hidup yang sehat, dan hak atas akses informasi.

Istilah maupun pengertian HAM secara eksplisit dan gramatikal telah dirumuskan kedalam
ketentuan berikut yaitu: Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU No.39 Tahun
1999 tentang sayangnya pengertian HAM yang dirumuskan di dalam ketiga ketentuan
peraturan perundang-undangan ini sedikit membingungkan, karena kata asasi disampaikan
dengan kata dasar. Yaitu artinya hak-hak asasi disamarkan artinya dengan hak-hak dasar. Atau
sebaliknya, jangan-jangan antara HAM dengan HDM berbeda dalam pemaknaan gramatikalnya.

Jawaban pertanyaan ini akan diuraikan berikut ini.


2. Persamaan dan/atau Perbedaan Hak Asasi dan Hak Dasar

Sebelum mengetahui ada atau tidak persamaan dan perbedaan antara hak-hak asasi dan hak-
hak dasar dalam terminologi HAM, ada baiknya penulis menuliskan terlebih dahulu pengertian
HAM yang dirumuskan oleh masing-masing ketentuan perundang-undangan dibawah ini.

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM pada bagian lampiran mendefinisikan HAM
dalam tiga rumusan yaitu :

Definisi I, Bagian I Sub C butir 2A:

HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas,
atau diganggu gugat oleh siapapun.

Definisi II, bagian I Sub D butiran 1:

HAM adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia,
bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan hakikat dan martabat manusia.

Definisi III, Bagian II sebelum pasal-pasal:

HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan
hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Selanjutnya, manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat
perkembangan kehidupannya dalam masyarakat.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mendefinisikan HAM dalam dua pengertian, yaitu :

Definisi I, Bagian Konsideran Menimbang butir B:


HAM adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Definisi II, Dalam Pasal 1 Ayat (1) dan (2) :

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang diri manusia demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.

Kemudian rumusan pengertian HAM yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM adalah :

Definisi I, Bagian Konsideran Menimbang:

HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal
dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun

Definisi II, Dalam Pasal 1:

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang diri manusia demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Komentar kritis penulis terhadap berbagai rumusan pengertian/definisi HAM di atas di


antaranya sebagai berikut:

Pertama, ada beberapa istilah atau idiom yang digunakan dalam tiga peraturan di atas yaitu:
Hak-hak Asasi Manusia (HAM), Hak-hak Dasar Manusia (HDM), dan Kewajiban Manusia (KDM).
Kedua, pengertian atau definisi (HAM) yang digunakan dalam masing-masing peraturan di atas
cukup beragam, kadang-kadang terkesan tumpang tindih, atau bisa jadi justru saling
melengkapi. Demi kepastian hukum, dalam hal ini penulis sependapat dengan “redaksional”
definisi HAM yang di rumuskan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000, yang
masing-masing tertuang dalam definisi yang kedua yaitu :

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, diri manusia, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dasar pertimbangan penulis adalah :

a. HAM diartikan seperangkat hak (bukan hak-hak dasar). Artinya pengertian HAM disini
meliputi hak-hak asasi yang bersifat universal, melekat pada diri manusia sebagai manusia,
bersifat kodrati dan berbagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tidak boleh dirampas, diabaikan,
atau diganggu gugat oleh siapapun. Atau meminjam istilah, Scott Davidsen sebagai bersifat
“iuscogens” dan bersifat “enlightened” menurut istilah yang diberikan Jacques Manrain.

b. Definisi HAM yang diberikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 di
atas dapat diterima, dengan catatan ada tambahan kalimat : “Seperangkat hak … (juga) bersifat
universal, langgeng, kodrati, … dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun. Kemudian dari sudut pandang teori dan ilmu perundang-undangan (legislative
drafting) penetapannya adalah tepat, karena definisi atau pengertian dalam setiap peraturan
perundang-undangan selalu diletakkan pada bagian batang tubuh, dalam hal ini pada setiap
Pasal 1. Sementara definisi HAM dalam peraturan yang lain di atas, tidak tepat, karena ada yang
diletakkan pada bagian konsideran dan bagian lampiran undang-undang.

c. Sedangkan definisi HAM sebagai “hak dasar” atau “hak-hak dasar” … dan seterusnya
seperti di atas, adalah kurang tepat; karena meskipun secara bahasa-pengertian harfiah
(leksikal) antara “hak asasi” dan “hak dasar” adalah sama, namun secara maknawi (gramatikal)
pengertian kata “hak asasi” dalam idiom HAM adalah lebih luas dan melingkupi jika
dibandingkan pengertian kata “hak dasar”.

Ketiga, ada persamaan dan perbedaan antara kata “asas/asasi” dengan kata “dasar”
sebagaimana yang dirumuskan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998, definisi I-UU No. 39 Tahun
1999 dan definisi I-UU No. 26 Tahun 2000. Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia asas
adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), dasar cita-cita, dan
hukum dasar. Asasi bersifat dasar, pokok. Sedangkan kata dasar mempunyai arti tanah yang
ada dibawah air, bagian yang terbawah, lantai, latar, lapisan yang paling bawah, bakat, alas,
pokok atau pangkal sesuatu pendapat (ajaran, aturan), memang begitu (tentang adat,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya), dan ling bentuk gramatikal yang menjadi asal dari suatu
bentukan. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab sebagaimana dikemukakan pada bagian
terdahulu, kata asas berasal dari kata “asasun” dan “asasiun” yang artinya asas, bersifat asasi,
atau bersifat dasar. Dengan demikian secara harafiah (leksikal) kebahasaan antara asas dan
dasar adalah sama, sedangkan secara maknawi (gramatikal) kata asas berbeda atau lebih luas
dari pada kata dasar. Sebab “asas” merupakan dasar pemikiran yang masih umum dan abstrak,
berupa ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, adapun “dasar” (analog dari kata
kaidah/norma) merupakan konkretisasi dari asas dalam bentuk pasal-pasal, penkabaran dari
ide, dan sudah ada sanksi.

Keempat,dalam perspektif “Teori Spektrum”, pembagian idiom kata ke dalam “Human


rights/Mensen Rechten” (yang di artikan HAM) dan “fundamental Rights/Grond Rechten”
(diartikan HDM) adalah tepat, karena menurut teori tersebut HAM diibaratkan sebuah
“matahari” yang memancarkan sinarnya ke prisma kaca lengkung, dimana dari prisma kaca
lengkung tersebut memantulkan cahaya bak pelangi yang warna-warni dengan arah yang
terpencar. Matahari sebagai lambang HAM, ia merupakan karunia Illahi untuk seluruh alam
semesta beserta semua mahluknya. Jadi ia bersifat universal, langgeng, dan tidak mengenal
dimensi ruang dan waktu. Sedangkan pantulan cahaya warna-warni dari prisma lengkung itu
ibarat HDM, ia memancarkan warna yang berbeda-beda karena sangat dipengaruhi oleh
dimensi ruang dan waktu. Demikian halnya, hak-hak dasar manusia itu biasanya merupakan
penjabaran dari HAM yang telah dinormatifkan kedalam pranata hukum diberbagai negara, jadi
pelaksanaan dan penghormatannya berbeda-beda pula. Singkat kata: HAM itu bersifat
universal, tanpa membedakan paham-paham atau ideologi-ideologi tertentu, yakni apakah
liberal, individual, ataupun kekeluargaan. Sedangkan HDM sebagai pelaksanaan dari nilai-nilai
yang ada dalam HAM oleh suatu negara sangat dipengaruhi oleh paham, ideologi, sistem
hukum, dan konfigurasi politik negara tersebut.

Kelima, terhadap definisi HAM yang dirumuskan oleh TAP MPR No. XVII/MPR/1998 “adalah
antara hak asasi dasar …dst,” dimana ia tidak membedakan antara hak asasi dengan hak dasar,
hemat penulis perlu di sempurnakan. Meskipun bisa saja rumusnya tetap begitu, dengan
maksud HAM adalah universal dan hak dasar merupakan bagian dari unsur-unsur HAM. Akan
tetapi lebih selamat dan jaminan kepastian hukum kalau rumusan tersebut diamandemen,
sehingga rumusnya: “HAM adalah seperangkat hak …dst” sebagaimana rumusan UU No. 39
Tahun 1999 pada definisi kedua. Kemudian ditambahkan rumusan definisi Hak-hak Dasar
Manusia (HDM) secara tersendiri dalam pasal-pasal tersebut. Rumusan HDM yang penulis
tawarkan adalah “HDM adalah seperangkat hak yang menjadi kebutuhan dasar manusia
undang-undang”. Contohnya hak mogok, yang diatur oleh UU ketenaga kerjaan; hak konsumen
atas informasi yang akurat dan lengkap atas barang dan jasa, yang diatur oleh UU Perlindungan
Konsumen, dan sebagainya.

Pengertian HAM secara umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia sebagai
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada mahluknya yang dibawa sejak lahir.

Hal ini berarti bahwa hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab
lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi
inti nilai kemanusiaan. Perwujudan hak asasi manusia walaupun demikian tidak dapat dilakukan
secara mutlak karena masih dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain. Memperwujudkan hak
asasi sendiri harus memperhatikan hak orang lain, karena itulah dalam diri setiap pribadi
manusia harus ada sikap saling menghargai dan menghormati orang lain sehingga tidak
melanggar aturan yang berlaku. Hormatilah orang lain sehingga tidak melanggar aturan orang
yang berlaku.

Hak yang dimiliki seseorang tersebut mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya
seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai tuntunan yang harus dipenuhi pihak
lain. Dalam pergaulan masyarakat adalah mustahil jika membicarakan hak tanpa adanya suatu
kewajiban. Hak asasi manusia dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seorang untuk
melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan meningkatkan kehidupan dan
mengembangkan kepribadiannya.

John Locke pengertian hak asasi manusia sebagai hak yang dibawa sejak lahir yang secara
kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Karena
manusia adalah mahluk sosial, hak-hak itu akan berhadapan dengan orang lain, maka:

• Hak asasi manusia harus dikorbankan untuk kepentingan masyarakat, sehingga lahir
kewajibaban

• Hak asasi semakin berkembang meliputi berbagai bidang kebutuhan antara lain hak di
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya

Pengertian HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, hak-hak yang memiliki manusia menurut
kodratnya yang tidak dapat disahkan oleh hakekatnya sehingga sifatnya suci. Di dalam UU No.
39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak manusia yang harus dilindungi meliput: hak untuk
hidup, hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan,
hak turut serta dalam pemerintahan, serta hak wanita dan hak anak.

Maududi seorang pemikir Islam (dalam Tobroni) mengatakan bahwa pandangan Islam manusia
memiliki hak-hak dasar yang melekat dalam dirinya, misalnya hak untuk hidup, hak atas
keselamatan hidup, hak untuk mendapatkan kehormatan kesuciannya bagi kaum perempuan,
hak untuk memperoleh kebutuhan hidup pokok, hak individu atas kebebasan, hak atas
keadilan, kesamaan yang paling utama diantara hak-hak dasar adalah hak untuk hidup.

Berdasarkan beberapa uraian ataupun pendapat tokoh-tokoh terkemuka, penulis mengartikan


hak asasi manusia sebagai segala sesuatu yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati
dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sejak dalam kandungan hingga orang lain tidak
dapat mengambilnya. Konsekuensi dari hak tersebut akan menimbulkan suatu kewajiban asasi.

3. Klasifikasi HAM

Kesadaran akan hak asasi timbul dalam peradaban Barat pada abad ke 17 dan ke 18M sebagai
reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau
manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana diketahui jika manusia pada zaman dahulu
terdiri dari dua lapisan besar yaitu lapisan atas minoritas adalah mereka yang mempunyai hak;
lapisan bawah mereka yang mempunyai hak-hak dan mempunyai kewajiban sehingga
diperlukan sewenang-wenang oleh lapisan atas.

Menurut catatan sejarah, kesadaran tersebut memicu upaya-upaya perumusan dan


pendeklarasian HAM melalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam sejarah
ketatanegaraan di Inggris dan Prancis, yaitu ditandai dengan keberhasilan rakyat Inggris
memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan Inggris yang dituangkan dalam berbagai
piagam seperti :

1. Munculnya perjanjian agung “magna charta” di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai
bagian dari pemberontakan pada beron terhadap Raja John (saudara Raja Richard berhati singa,
seorang pemimpin tentara salib).
2. Keluarnya Bill of Right pada 1628 yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan
raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun atau
memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapapun.

3. Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776 yang memuat penegasan
bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan
mengejar kebahagiaan, serta mengharuskan mengganti pemerintahan yang tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.

4. Deklarasi HAM dan warga negara (Deklaration) Destroit de I”Hamme et du citoyen/


declaration of the Rights of man and of the citizen) dari Prancis pada 4 Agustus 1789 dengan
menitik beratkan pada lima hak asasi:

a. Pemilikan harta (propierte)

b. Kebebasan (liberte)

c. Persamaan (egalite)

d. Keamanan (scurite)

e. Perlawanan terhadap penindasan (Resestence a I”oppresion)

5. Deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human


Rights), pada 10 Desember 1948 yang memuat tentang pokok-pokok kebebasan, persamaan,
pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama.

Akar perkembangan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebenarnya
dapat diketahui melalui berbagai dokumen pendeklarasian, pemikiran para filsuf dan pemikir
politik. Berikut ini tabel tentang perkembangan pemikiran HAM :

No Tahun Nama

Dokumen Keterangan

2500 s.d
1000 SM

Hukum

Hamurabi

Perjuangan Nabi Ibrahim melawan kelaliman Raja Namrud yang memaksakan harus
menyembah patung (berhala). Nabi Musa, memerdekakan bangsa Yahudi dari perbudakan Raja
Firaun (Mesir) agar terbebas dari kewenangan raja yang merasa dirinya sebagai Tuhan

Terdapat pada masyarakat Babylonia yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang


menjamin keadilan bagi warganya

600 SM

Di Athena (Yunani), Solon telah menyusun undang-undang yang menjamin keadilan dan
persamaan bagi setiap warganya. Untuk itu dia membentuk heliaie, yaitu Mahkamah Keadilan
untuk melindungi orang-orang miskin dan Majelis Rakyat atau Ecdesia. Karena gagasannya
inilah Solon dianggap sebagai pengajar demokrasi. Perjuangan Solon didukung oleh Parisles
(tokoh negarawan Athena)

527 s.d

322 SM

-
-

Kaisar Romawi pada masa Flavius Anacius Justianus menciptakan peraturan hukum modern
yang terkondifikasi yang Corpus Luris sebagai jaminan atas keadilan dan hak asasi manusia

Pada masa kebangkitan Romawi telah banyak lahir filsuf terkenal dengan visi tentang hak asasi,
seperti Sokrates dan Plato yang banyak dikenal sebagai peletak dasar diakuinya hak-hak asasi
manusia. Serta Aristoteles yang mengajarkan tentang pemerintahan yang berdasarkan
kemanusiaan dan cita-cita mayoritas warga

4 30 SM s.d

632 M Kitab Suci

Injil Dibawah oleh Nabis Isa Al Masih

sebagai peletak dasar etika Kristiani dan

ide pokok tingkah laku manusia agar

senantiasa hidup dalam cinta kasih,

baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia

5 1215 Magna

Charta

(Masa pemer-

intahan

Lockland)

di Inggris Pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia, antara lain mencakup :

Raja tidak boleh memungut pajak kalau tidak dengan izin dari Great Council
Orang tidak boleh ditangkap di penjara, disiksa atau disita miliknya tanpa cukup alasan
menurut hukum negara

6 1629 Petition

of Rights

(Masa

pemer-

intahan

Charles I

di Inggris) Pajak dan hak-hak istimewa harus dengan izin parlemen

Tentara tidak boleh diberi penginapan di rumah-rumah penduduk

Dalam keadaan damai, tentara tidak boleh menjalankan hukum perang

Orang tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan yang sah

7 1679 Habeas

Corpus

Act (masa

pemerin-

tahan

Charles II

di Inggris) Jika diminta, hakim harus dapat menunjukkan orang yang ditangkapnya
lengkap dengan alas an penangkapan itu

Orang yang ditangkap harus diperiksa selambat-lambatnya dua hari setelah


penangkapan

8 1689 Bill of

Rights

(Masa
pemerin-

tahan

Willem III

di Inggris) Membuat undang-undang harus dengan izin parlemen

Pengenaan pajak harus dengan izin parlemen

Mempunyai tentara harus dengan izin parlemen

Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat bagi parlemen

Parlemen berhak mengubah keputusan raja

9 1776 Declaration

of Inde-

pendence

(Amerika

Serikat) Bahwa semua orang diciptakan sama. Mereka dikaruniai oleh Tuhan hak-
hak yang tidak dapat dicabut dari dirinya adalah hak hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar
kebahagiaan (life, liberty, and pursuit of happiness)

Amerika Serikat dianggap sebagai Negara pertama yang mencantumkan hak asasi dalam
konstitusi (dimuat secara resmi dalam Constitution of USA tahun 1787) atas jasa Presiden
Thomas Jefferson

10 1789 Declatation des droits de L”home et du Citoyen (Prancis) Pernyataan hak-hak


asasi manusia dan warga Negara sebagai hasil revolusi Prancis di bawah pimpinan Jenderal
Laffayete, antara lain menyebutkan:

Manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak-hak yang sama

Hak-hak itu adalah hak-hak kebebasan, hak milik, keamanan dan sebagainya

11 1918 Rights of Determina- tion Tahun-tahun berikutnya, pencantuman hak asasi


dalam konstitusi diikuti oleh Belgia (1831), Jerman (1919), Australia dan Ceko (1920), Uni Soviet
(1936), Indonesia (1945) dan sebagainya
12 1941 Atlantic carter (Dipelo- pori oleh Franklin D. Rooselvelt) Muncul pada saat
berkorbannya perang Dunia II kemudian disebutkan empat kebebasan (the four Freedoms)
antara lain:

Kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berorganisasi

Kebebasan untuk beragama dan beribadah

Kebebasan dari kemiskinan dan kekurangan

Kebebasan seseorang dari rasa takut

13 1948 Universal Declaration of Human Rights Pernyataan sedunia tentang hak-hak


asasi manusia yang terdiri dari 30 pasal. Piagam tersebut menyerukan kepada semua anggota
dan bangsa di dunia untuk menjamin dan mengakui hak-hak asasi manusia yang dimuat di
dalam konstitusi Negara masing-masing

14 1966 Convenants

of Human

Rights Telah diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB yang isinya antara lain:

The International on Civil and Political Rights, yaitu memuat tentang hak-hak sipil dan
hak-hak politik (persamaan hak antara pria dan wanita)

Optional Protocol, yaitu adanya kemungkinan seorang warga Negara mengadukan


pelanggaran hak asasi kepada The Human Rights Commite PBB setelah melalui upaya
pengadilan di negaranya

The International Convenant of Economic, Sosial and cultural Rights, yaitu berisi syarat-
syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi ekonomi, sosial dan budaya

Berbagai pemikiran tersebut jika dirangkum menghasilkan berbagai macam hak asasi manusia
yang mencerminkan martabat kemanusiaan. Berikut ini pandangan Aristoteles, John Locke,
Montesquieu, dan J.J. Rousseau yang mengidentifikasi macam-macam HAM antara lain:

1. Hak kemerdekaan atas diri sendiri

2. Hak kemerdekaan beragama

3. Hak kemerdekaan berkumpul


4. Hak menyatakan kebebasan warga Negara dari pemenjaraan sewenang-wenang (bebas
dari rasa takut)

5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Berbeda dengan Briely yang mengemukakan macam-macam HAM adalah sebagai berikut:

1. Hak mempertahankan diri (self preservation)

2. Hak kemerdekaan (independence)

3. Hak persamaan pendapat (equality)

4. Hak untuk dihargai (respect) dan

5. Hak bergaul satu dengan yang lain

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM


mengklasifikasikan HAM sebagai berikut:

1. Hak-hak ekonomi, sosial & budaya

• Hak yang setara antara perempuan & laki-laki

• Hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak

• Hak untuk mendirikan serikat pekerjaan

• Hak-hak dalam keluarga & perkawinan

• Hak atas kehidupan yang layak

• Hak atas pendidikan

• Hak atas pelayanan kesehatan

• Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya

• Hak untuk memperoleh informasi

2. Hak-hak sipil & politik

• Hak untuk menentukan nasib sendiri


• Non diskriminasi

• Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki

• Hak untuk hidup

• Hak untuk bebas dari penyiksaan

• Hak atas kebebasan bergerak, berpindah & bertempat tinggal

• Hak atas keadilan dalam proses peradilan

• Hak untuk berkeluarga

• Hak untuk berkeyakinan dan beragama, dan

• Hak untuk berkumpul dan berserikat

Dari beberapa pandangan tentang macam-macam HAM diatas dapat ditarik benang merah
bahwa pada dasarnya hak-hak asasi manusia meliputi:

a) Hak asasi pribadi, yaitu hak yang tumbuh dari dalam diri setiap individu dan mendasar

b) Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang sifatnya penunjang bagi kelangsungan
(mempertahankan, mengembangkan) kehidupan setiap individu

c) Hak asasi dalam bidang polotik, yaitu hak yang dimiliki setiap individu untuk berperan
dalam pemerintahan

d) Hak asasi dalam hukum, yaitu suatu hak yang melekat pada diri setiap individu untuk
mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum

e) Hak asasi sosial dan kebudayaan, yaitu hak yang dimiliki setiap individu untuk
bermasyarakat dan mengembangkan segala potensi kebudayaan yang ada

B. HAM dalam berbagai Perspektif

Permasalahan HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagad, sejak pertengahan
abad ke-20. Hingga kini HAM tetap menjadi isuaktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik
dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional. HAM tidak hanya dipandang dari sudut
kepemilikan dan bagaimana dijalankan, melainkan lebih dari itu. Untuk mengetahui lebih lanjut
HAM dapat dilihat dari perspektif Islam, politik, sosiolosgis dan geografis. Berikut ini pandangan
tentang HAM ditinjau dari berbagai perspektif.

1. HAM Dalam Perspektif Islam

Ketika memahami HAM dalam perspektif Islam tentu lebih mudah, karena Islam adalah ajaran
komprehensif yang bersumber dari wahyu Illahi (Al-Qur’an) dan berfungsi sebagai petunjuk dan
penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda antara kebenaran dengan kesalahan (al-
furqon).

Cara pandang Islam dalam HAM tidak terlepas dari cara pandangnya terhadap status dan fungsi
manusia. Manusia adalah mahluk Allah yang terhormat (QS Al-Israa’/6:70), (QS Al-Hijr/15: 28-
29) dan fungsional (QS Al-An’am/6: 165) serta (QS Al-Ahzab/ 33:72). Dari eksistensi ideal,
manusia ditarik kepada kehidupan yang rill agar ia dapat terpuji sebagai mahluk yang
fungsional. Dalam kaitan ini, manusia disebut khalifah dalam pengertian mandataris yang diberi
kuasa dan bukan sebagai penguasa. Dalam status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia
hanya mempunyai kewajiban kepada Allah SWT (karena itu Allah semata yang mempunyai hak-
hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumnya. Semua itu merupakan amanah yang diemban
(QS Al-Ahzab/33: 72). Sebagai realisasi perjanjiannya dengan Allah pada awal penciptaannya
(QS At Taubah/9: 111).

Meskipun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT, pada gilirannya


kewajiban ini akan menimbulkan hak yang berkaitan dengan hubungan dengan sesama
manusia. Kewajiban bertauhid (meng-Esa-kan Allah) misalnya apabila dilaksanakan dengan
benar, akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan sesama
manusia, seperti hak persamaan, hak kebebasan, dan memperoleh keadilan. Seorang manusia
mengakui hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya
dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu Islam memandang hak asasi manusia dengan cara
pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris tetapi bersifat theosentris
(sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada HAM merupakan bentuk
kualitas kesadaran keagamaan yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah
ini akan dipaparkan konsep dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-
Hadist.
a. Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seorang sangat dihormati dan
keberadaannya harus dipelihara sebagaimana dalam Al-Israa’ ayat 33 yaitu membunuh orang
dibolehkan karena alasan yang benar, misalnya qisas bagi orang yang terbukti membunuh
orang lain dengan sengaja

b. Pengamanan hak milik pribadi (QS. Al Baqarah/2: 181)

c. Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (QS. An-Nur/ 24:27)

d. Hak untuk memperoleh keadilan hukum

e. Hak untuk menolak kezaliman (QS. An-Nisa’/4: 148)

f. Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu’an al-munkar, yang didalamnya


juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (QS. Al-A’raf/7: 165 dan Qs. Al-Baqarah/
2:110)

g. Kebebasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini
berkaitan dengan menegakkan yang ma”ruf dan mencegah yang mungkar

h. Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang
melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah QS. Ali
Imron/ 3:100

i. Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya.
Dengan kata lain seseorang harus dianggap tidak bersalah jika belum terbukti melakukan
kejahatan

j. Hak memperoleh perlakuan yang sama dari Negara dan tidak melebihkan seseorang
atas orang lain (QS. Al-Qashash/ 28: 4)

Beberapa hak yang sudah dipaparkan di atas merupakan suatu bukti jika Islam memandang
HAM dari segi hubungan antara Allah dengan manusia maupun manusia yang satu dengan
manusia lainnya. Hak-hak tersebut merupakan pemberian Allah SWT kepada setiap makhluk-
Nya setelah menjalankan kewajibannya, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama satu
dengan lainnya. Dan orang lain tidak dapat menghapusnya atau mengambilnya, hanya Allah
SWT yang berhak menentukan segalanya.

2. HAM dalam Perspektif Politik


Sering terdengar jika dalam politik tidak dikenal lawan ataupun kawan, yang ada hanyalah
kepentingan. Seringkali apa yang menjadi hak seorang dalam politik dijadikan sebagai alat
untuk mencapai kekuasaan. Misalnya dengan alasan setiap orang mempunyai kedudukan yang
sama dalam pemerintahan maka satu orang dengan yang lainnya saling mencari alasan agar
kekuasaan tersebut menjadi miliknya.

Pada dasarnya setiap orang mempunyai kedudukan politik yang sama, maksudnya kesempatan
yang sama untuk berpolitik. Yang membedakan hanya status sosial yang diperoleh setelah ia
dapat meyakinkan orang lain tentang konsep perpolitikan yang ditawarkan. Sudut pandang
politik tentang HAM dan lainnya adalah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk
memperjuangkan kepentingannya. Baik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.

3. HAM dalam Perspektif Sosiologi

Secara sosiologi setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup bermasyarakat dan
mengembangkan kemampuannya. Apapun suku, agama, ras ataupun golongannya, mereka
tetap mempunyai kedudukan sama dalam masyarakat. Mereka adalah makhluk sosial yang
saling membutuhkan dan saling dan saling berinteraksi.

4. HAM dalam Perspektif Geografi

Secara geografi seorang mempunyai hak untuk hidup dan mengembangkan kemampuannya
dimanapun ia mau. Tetapi yang perlu ditekankan dalam perspektif geografi adalah bahwa
seseorang dapat kehilangan apa yang menjadi haknya apabila bertentangan dengan hukum
yang berlaku, dalam artian ia dapat berkembang dan diterima oleh suatu wilayah apabila
wilayah tersebut secara hukum dapat ditempati/menjadi kewenangan. HAM dalam perspektif
geografi dipandang secara manusiawi bahwa manusia dapat menjadikan bumi sebagai media
untuk memperoleh manfaat dan memberikan manfaat tersebut kepada orang lain.

C. Reposisi Pengaturan HAM dalam Hukum Positif Indonesia

Sejarah membuktikan bahwa sejak awal kemerdekaan RI hingga sekarang, hukum positif kita
telah mengakui dan menuangkan masalah HAM dan berbagai peraturan perundang-
undangannya. Bahkan bisa dibilang, Indonesia adalah satu-satunya Negara yang mengatur
masalah HAM mulai dari konstitusi sampai pada peraturan pelaksanaannya. Kemudian muncul
pertanyaan, sebetulnya di manakah posisi/letak pengaturan HAM yang lebih tepat secara
hukum, apakah pengaturan dalam bentuk konstitusi atau undang-undang?

Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Ismail Suny, bahwa masalah HAM lebih
tepat diatur dalam konstitusi, bukan dalam ketetapan MPR. Rumusan umum tentang HAM
dalam konstitusi tersebut, selanjutnya dan seyogyanya diantur lebih terpencil dalam ketentuan
peraturan pelaksanaan dalam bentuk Undang-Undang (UU). Argumentasi penulis adalah:

Pertama, pengaturan HAM dalam konstitusi (UUD 1945 dan Amandemen II UUD 1945) adalah
tepat, karena secara hukum akan lebih menjamin terpeliharanya the body of the constitution
(konstitusi itu sendiri). Cara semacam ini seperti yang dilakukan oleh pengaturan masalah HAM
dalam Amandemen I-X Konstitusi Amerika Serikat. Di samping konstitusi itu merupakan hukum
dasar tertulis yang paling tinggi derajatnya dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia.

Kedua, secara teoretik, pengaturan HAM ke dalam konstitusi (UUD 1945) adalah sesuai dengan
pendapat Steenbeek yang menyatakan bahwa salah satu materi muatan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar itu berupa jaminan adanya HAM.

Ketiga, sebaliknya menetapkan peraturan HAM ke dalam ketetapan MPR (seperti Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 di atas) adalah tidak tepat. Keberatan pertama, ketetapan MPR itu merupakan
jenis kebijakan umum (public policy) yang pada lazimnya tidak mengatur ancaman hukuman,
sehingga bagi yang melanggar Tap MPR tersebut tidak mempunyai akibat hukum secara
langsung. Solusinya dalam konsteks Indonesia, seyogyanya MPR mempunyai kemampuan
politik untuk mencabut Tap MPR yang mengatur HAM di atas, karena sudah diatur dalam
Amandemen Konstitusi.

Keempat, adapun penjabaran secara detail dari ketentuan mengenai masalah HAM dalam UUD
1945 tersebut, dituangkan dalam UU dalam hal ini UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun
2000, atau UU yang lain. Dalam UU inilah rumusan/definisi tentang HAM itu di atur, demikian
juga terperincian hukum materiil dan formilnya. Sebab dalam setiap UU pasti ada ketentuan
sanksi hukumnya, artinya bagi para pelanggar HAM yang terbukti di pengadilan dapat
dikenakan sanksi tegas berdasar ketentuan UU ini.

Kelima, terdapat keanekaragaman pengaturan HAM (utamanya mengenai perbedaan rumusan


definisi HAM) seperti diungkapkan di atas, pendapat penulis cukup seperti rumusan pengertian
HAM yang diberikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 (pada masing-
masing definisi kedua). Karena itu definisi pertama dalam kedua UU tersebut harus
diamandemen, demikian juga Tap MPR No. XVII/MPR/1998 itu harus dicabut oleh MPR.
Makalah terjadi perbedaan rumusan pasal atau definisi HAM seperti di atas, solusinya; Jika
dalam UUD kewenangan interpretasi cukup diberikan kepada MPR sebagai refleksi dari konsep
kedaulatan rakyat, atau oleh Mahkamah Konstitusi (untuk prospek ke depan pasca amandemen
UUD 1945). Jika dalam bentuk UU, semestinya MA dapat menggunakan haknya melalui
mekanisme judicial review.

D. Politik Hukum dan Upaya Penegakkan HAM di Indonesia

Situasi yang mengiringi suksesnya pemimpin Negara, the aftermath yang mengiringinya,
memang telah menunjukkan adanya suatu pergeseran dalam berbagai tatanan pranata
masyarakat. Pertanyaannya adalah: Kearah mana pergeseran ini terjadi? Keprihatinan dalam
menjalani masa ini masih belum memudar bahkan makin menggelisahkan, apalagi dengan
adanya berbagai ketidaktentuan yang melanda. Namun, layaknya hal ini tidak menjadi bangsa
Indonesia makin terpuruk, seperti kata Nietsche, “was micht umbringt macht mich staerker”,
atau disadur dengan kematian dan cedera korban-korban tindak kekerasan bersenjata di
berbagai wilayah Indonesia, sungguh menimbulkan duka cita yang amat sangat. Layaknya
disimak adanya banyak orang yang menganalogikan kondisi semacam ini dengan perang
saudara yang terjadi di negara-negara lain. HAM seakan sekedar angin lalu yang tidak layak
menjadi perhatian warga maupun pemegang kekuasaan. Sulitlah untuk mengingkari
bahwasanya peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa kritisnya integrasi bangsa, betapa
rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan berbagai perangkat politik,
sosial dan hukum. Belum lagi adanya sekelompok orang yang dapat dikategorikan sebagai kaum
oportunis, yang berperilaku berdasar “aji mumpung, aji sluman slumun slamet”.

Kondisi yang tengah kita alami pada masa tradisi ini, sulit diingkari, merupakan kulminasi dari
ketidakpercayaan rakyat pada pranata sosial yang ada, terutama pranata hukum yang belum
mencerminkan adanya keadilan. Berbagai ledakan yang terjadi secara sporadic maupun tidak,
bahkan yang juga telah membangkitkan gerakan sentrifugal, merupakan ancaman bagi seluruh
bangsa, yang akan permasalahannya tidak jauh dari “hukum dan keadilan”. Masyarakat masih
dalam keadaan menunggu, apa kiranya yang akan dilakukan penyelenggara negara sekarang ini
mengenai berbagai masalah yang dihadapi, khususnya di bidang hukum?

Sejumlah masalah yang layak dicatat terjadi berkenaan dengan bidang hukum antara lain
adalah sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial, belum memadainya perangkat
hukum yang mencerminkan keadilan sosial, inkonsistensi dan diskriminasi penegakkan hukum,
besarnya intervensi kekuasaan terhadap hukum dan lemahnya perlindungan hukum terhadap
masyarakat.
Semua fenomena di atas masih sebagian dari faktor-faktor yang telah memudarkan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua atributnya (pembuat, penegak dan
simbol-simbol hukum), serta juga mereduksi kepastian hukum sebagai suatu pilar yang
melandasi tegaknya hukum di manapun. Salahkah kalau orang melerai adanya distrust,
disrespect and disobedience to law? Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah hukum yang
mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Namun
sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat manusia. Enam ratus
tahun sebelum Masehi misalnya, Anarchasis menulis bahwasanya hukum seringkali berlaku
sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap "...the weak and the poor, but easily be
broken by the mighty and rich....". Dalam Second Treatise of Government (1690), John Locke
pun telah memperingatkan kita bahwa "wherever Law ends, Tyranny begins”. Berdasar hal
inilah maka jelas bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian dan
keterikatan pemerintah pada rakyatnya, dan tidak semata-mata merupakan hukum yang
diinginkan rakyat untuk mengatur mereka. Setelah terpuruk pada kondisi semacam ini,
reformasi hukum adalah suatu conditio sine qua non bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan
negara yang berdasar atas hukum. Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang berpihak
pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang mencerminkan kemajuan dan
perlindungan HAM, sebagaimana telah dicantumkan dalam Konstitusi. Bahwasanya hukum
bukan hanya merupakan pedoman berperilaku bagi rakyat, tapi juga bagi aparat pemerintahan
dan seluruh penyelenggara kegiatan kenegaraan, dan merupakan suatu norma yang telah
diakui secara universal.

Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya dipergunakan sebagai alat
untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pemerintah dan
pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak,
agar dapat mancapai kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat yang sejahtera, yakni bahwa
hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara hukum. Reformasi hukum sebagai
suatu upaya pembaruan yang menyeluruh dan bertahap dalam masa transisi ini,

seyogyanya dilakukan tcrhadap sistem hukum yang mencakup baik substansi hukum, aparat
hukum dan juga budaya hukum. Sebab, hanya memprioritaskan yang satu dan mengabaikan
yang lain sehingga tidak akan mencapai sasaran yang dituju.

Satu dari sekian banyak hal yang juga memprihatinkan adalah adanya kecenderungan upaya
rekayasa sosial untuk ”menyeragamkan” pemikiran yang sangat bertentangan dengan asas
kebebasan yang terkandung dalam konsep HAM. Sebagai akibatnya, alur pemecahan masalah
yang konvergen yang terbentuk tidak memberikan peluang bagi adanya kemajemukan
pendapat maupun critical thinking, bahkan seringkali tidak mampu untuk memberikan
pemahaman dan penerimaan akan adanya perbedaan antar kelompok.
Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi kata kunci dalam perkembangan Indonesia beberapa
tahun terakhir ini, bahkan telah menjadi. salah satu indikator yang diperhitungkan negara
donor dalam menentukan bantuannya. Kesadaran akan pentingnya HAM ini juga telah disadari
para pembentuk kebijakan dengan diberlakukannya UU No. 59 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Hak mengherankan jika masalah ini juga mengemuka dalam pembicaraan mengenai
Amandemen Konstitusi, yang akhirnya menghasilkan sejumlah ketentuan yang dimuat dalam
Pasal 28A sampai dengan 28J. Masuknya ketentuan tentang HAM ke dalam Konstitusi
perubahan sendiri sudah menjadi bahan perdebatan yang tiada habisnya, karena UU N0. 39
Tahun l999 telah merinci HAM, sedang dalam pembahasan hanya sebagian yang dimasukkan.
Mudah dipahami, bahwa perumusan ketentuan di atas merupakan hasil dari tuntutan civil
society yang makin menguat yang mencerminkan keinginan publik untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dan penentuan kebijakan.

Dikaitkan dengan perkembangan kondisi di Indonesia akhir-akhir ini, beberapa hal yang
mencolok dalam kaitannya dengan HAM antara lain adalah keinginan sejumlah daerah untuk
melepaskan diri dari negara dan adanya berbagai konflik yang bernuansa kekerasan, termasuk
yang diduga didasari pada perbedaan etnis.

Indikasi terjadinya disintegrasi dimulai dari yang lebih konkret pada beberapa tahun terakhir ini
ketika sejumlah wilayah di Indonesia sudah melakukan upaya-upaya ke arah perpecahan
melalui berbagai cara. Peristiwa yang terjadi di Timor Timur mungkin dapat diidentifikasi
sebagai salah satu faktor pemicu. Fenomena tersebut menunjukkan adanya krisis integrasi
bangsa, dan rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan sejumlah
perangkat politik, sosial dan hukum. Berbagai pendapat mengenai faktor korelatif dan kausatif
konfIik sosial telah diketengahkan melalui media massa ataupun pertemuan-pertemuan ilmiah.
Common denominator dari faktor yang berkaitan dengan konflik sosial adalah adanya collective
discontent dalam masyarakat, antara lain karena adanya kesenjangan sosial ekonomi,
ketidakpahaman tentang makna demokrasi, inkonsistensi dan diskriminasi dalam pengambilan
kebijakan publik, rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, dan keputusan
yang di ambil tidak didasarkan pada pertimbangan local culture, local needs, and local
potentials. Apa yang sudah dan sedang terjadi di Indonesia saat ini merupalkan sesuatu yang
belum pernah terjadi dalam skala seperti ini. Salah satu dampak negatif adanya social
discontent semacam ini, adalah upaya disintegrasi. Upaya untuk melaraskan diri dari negara
sering dikaitkan dengan ketentuan yang ada pada Pasal 1 International Covenant on Civil and
political Rights, dan juga International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang
berbunyi: ”... all peoples have the rights of self detennination. By virtue of that rights they
freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural
development..."
Right of self determination tidaklah dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan adanya
disinterasi bangsa. Lahirnya pasal ini berdasarkan kondisi dunia pada waktu itu yang marak
terjadi imperialisme dan kolonialisme. Ide dasar ketentuan ini adalah bahwa setiap bangsa
memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. Implikasi negatif yang ditimbulkan
bagi suatu bangsa adalah membahayakan integrasi bangsa.

Pelanggaran dan Pengadilan Hak Asasi Manusia

Dalam konteks Hak Asasi Manusia yang sering muncul dan menjadi bahan pembicaraan publik
adalah pelanggaran HAM. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku UU N0. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan
HAM. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan
individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain
tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. Pelanggaran
HAM dikelompokkan dalam dua bentuk yaitu: pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM
ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan
berdasarkan UU N0. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, sedangkan bentuk pelanggaran
HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran berat itu.

Kejahatan genosida adalah setiap perubahan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan,
purbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan
dan perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan
apartheid.

Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara (state-
uctcrs) maupun bukan aparatur negara (non state actors). Karena itu, penindakan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditunjukan terhadap aparatur negara, tetapi
juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggar
HAM tersebut dilakukan melalui proses peradilan HAM mulai dari panyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non
diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan pengadilan umum.

Konsepsi HAM harus dibarengi dengan membangun masyarakat yang demokratis, yaitu
masyarakat yang menghargai pluralisme. Begitu juga dengan negara harus melindungi warga
negara dan menegakkan aturan hukum tanpa membedakan jenis, agama, atau latar belakang
sosial ekonomi (negara yang menjunjung tinggi prinsip persamaan hukum bagi setiap warga
negara).
SISTEM PEMERINTAHAN

A. Teori Terbentuknya Pemerintahan

Berbagai negara di belahan bumi memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Jauh
sebelum terciptanya sistem pemerintahan itu sendiri, konsep pemerintahan mengalami
perkembangan pada tiap zaman. Mulai dari pemerintahan yang sangat sederhana sampai
sekarang yang dianut berbagai negara. Pemerintahan di zaman purba ditandai oleh banyaknya
sistem pemerintahan dan sistem yang paling dikenal adalah polis Yunani. Selain polis Yunani,
kerajaan Inka yang berdiri antara tahun 1200-1500 Masehi memiliki sistem pemerintahan
despotisme yang ditandai oleh kekuasaan sewenang-wenang dan tak terbatas pihak penguasa.
Plato dan Aristoles-lah yang memperkenalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik dan
buruk dengan alasan pembagian tersebut. Konsep-konsep pemerintahan yang baik dan buruk
menurut Plato dan Aristoles masih tercermin sepanjang sejarah pemerintahan di dunia hingga
saat ini.

Awal pemerintahan Romawi merupakan suatu wujud kombinasi bentuk pemerintahan yang
baik menurut konsep Plato dan Aristoteles. Pada abad pertengahan pengaruh agama Kristen
masuk ke dalam sistem pemerintahan yang lebih dikenal dengan teori dua belah pedang.
Runtuhnya polis Yunani serta konflik antara Paus dan Raja berkepanjangan pada akhir abad
pertengahan memunculkan pemerintahan di zaman baru dengan konsep tentang adanya
kemandirian serta kekuatan pemerintahan. Untuk itu Machieavelli muncul dengan sebelas dalil
dalam karyanya, Sang Raja, yang mengajarkan tentang bagaimana seorang raja harus
mempertahankan serta memperbesar kekuasaan pemerintah dengan menghalalkan segala
cara.

Pemerintahan yang diprakarsai Machiavelli tersebut bukanlah suatu kemajuan konsep


pemerintahan. Konsep pemerintahan yang ditawarkan hanya menambah daftar panjang
absolutisme raja, karena untuk mempertahankan kekuasaannya raja mempunyai hak prerogatif
yang otoriter. Demi tercapainya tujuan pemerintahan, raja dapat melakukan apa pun, sehingga
hal ini sangat bertentangan dengan kehendak rakyat pada masa itu yang sudah bosan dengan
kekuasaan absolut raja dan gereja.

Abad ke-18 merupakan awal lahirnya ilmu pemerintahan modern yang ditandai dengan
berkembangnya kameralistik (ilmu perbendaharaan) di Pursia. Landasan berpikir yang
digunakan adalah bahwa negara harus mengurusi lapangan pekerjaan dan pangan.
Terlaksananya kegiatan negara tersebut didukung dengan kinerja yang optimal dan pejabat
yang profesional untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini bahan-bahan statistika
mempunyai nilai yang besar dan dapat diandalkan. Artinya, yang ditekankan dalam
mewujudkan kesejahteraan umum adalah analisis statistika pejabat yang berkaitan dengan
tingkat kebutuhan negara dan perekonomian negara.

Merosotnya pandangan kameralistik dilanjutkan dengan munculnya pemikiran negara hukum


abad ke-19. Perkembangan negara hukum tersebut merambah ke hukum pemerintah. Pada
bidang ilmu pemerintahan Burke dan Benthan menganjurkan perlunya perbaikan atas kelalaian
dinas pemerintah dan staf yang berlebihan jumlahnya, tidak aktif dan tidak kompeten.

Di Amerika Serikat, ilmu pemerintahan berkembang sebagai suatu bidang otonom dan
dipelopori oleh Professor Wodroow Wilson (kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat).
Kajian tentang ilmu pemerintahan sangat penting, sehingga diadakan studi khusus tentang
masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang berdaya
guna. Tujuan diselenggarakannya ilmu pemerintahan yang otonom pada waktu itu adalah untuk
membentuk sistem pemerintahan negara Amerika Serikat yang kokoh dan berpengaruh besar
di dunia. Dalam perkembangannya, ilmu pemerintahan dipengaruhi oleh ilmu-ilmu humaniora
(sosiologi, psikologi, psikologi-sosial, antropologi, ekonomi, politikologi). Hal ini ditandai dengan
kolaborasi antar disiplin ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan teori-teori, istilah-istilah
serta metode-metode semua ilmu tersebut. Semua itu menghasilkan ilmu pemerintahan yang
komprehensif.

Ilmu pemerintahan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dibuktikan pada tahun
1960 John Locke menggagas sebuah teori pemerintahan liberal, yaitu ajaran tentang
pemerintahan demokrasi modern. Dalam teorinya, John Locke menggambarkan bahwa legislatif
adalah kekuasaan tertinggi dan eksekutif berada di bawahnya. Rasionalisasinya adalah
penyelenggaraan pemerintahan memerlukan pembatasan kekuasaan pemerintahan dengan
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia antara lain: hak atas keselamatan pribadi, hak
kemerdekaan, dan hak milik. Kemudian di Inggris pada sekitar tahun 1700 berdirilah
pemerintahan monarki parlementer dimana kedaulatan negara berada di tangan perwakilan
rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Revolusi Amerika pada tahun 1776
dan Revolusi Prancis pada tahun 1789 mempercepat proses demokratisasi dan pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia. Terhadap itu semua muncul reaksi konservatisme terutama
dari Burke dan Hegel. Birokrasi lahir di istana raja dan merupakan perwujudan dari orang-orang
kepercayaan yang memerintah bersama raja dan diberi pembagian tugas berdasarkan selera
pribadi dan tradisi.

Pemerintahan negara berkembang menjadi pemerintahan, yang memberikan pelayanan


kepada para warganya. Pemerintah lebih banyak mengurusi kesejahteraan, penghidupan,
pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan tunjangan sosial atau jaminan hidup bagi warga
yang menganggur.
Ilmu pemerintahan telah menjadi multi disiplin dengan penekanan pada organisasi,
pengambilan keputusan, perencanaan, dan prinsip swastanisasi dalam pemerintahan.

Bertalian dengan penerapannya, ilmu dapat dibedakan atas ilmu murni (pure science), ilmu
praktis (applied science), dan campuran. Sedangkan dalam hal fungsi kerjanya, ilmu dapat
dibedakan atas ilmu teoritis nasional, ilmu empiris praktis, dan ilmu teoritis empiris. Ilmu
pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari cara melaksanakan koordinasi dan kemampuan
memimpin bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, dalam hubungan antara pusat dan daerah,
antarlembaga, serta antara yang memerintah dan yang diperintah. Pendapat bahwa
pemerintahan merupakan suatu seni adalah hal yang wajar, yaitu kemampuan menggerakkan
organisasi-organisasi, administrator, dan kekuasaan kepemimpinan, serta kemampuan
menciptakan, mengkarsakan, dan merasakan surat-surat keputusan yang berpengaruh, atau
kemampuan mendalangi bawahan serta mengatur lakon pemerintah sebagai penguasa.
Pandangan yang demikian menekankan cara yang digunakan dalam penerapan ilmu
pemerintahan. Ilmu pemerintahan merupakan ilmu terapan karena mengutamakan segi
penggunaan dalam praktik, yaitu dalam hal hubungan antara yang memerintah (penguasa) dan
yang diperintah (rakyat).

Sebagai disiplin ilmu, ilmu pemerintahan mempunyai objek material dan objek formal. Objek
formal ilmu pemerintahan bersifat khusus dan khas, yaitu hubungan pemerintahan dengan sub-
subnya (hubungan, antara pusat dan daerah, hubungan antara yang diperintah dan yang
memerintah, hubungan antarlembaga serta antardepartemen), termasuk pembahasan output
pemerintahan seperti fungsi, sistem, aktivitas, kegiatan, gejala, perbuatan, serta peristiwa elite
pemerintahan yang berkuasa.

Objek material ilmu pemerintahan sama dengan objek material ilmu politik, ilmu administrasi
negara, ilmu hukum tata negara dan ilmu negara itu sendiri, yaitu negara. Selain objek, disiplin
ilmu pemerintahan menggunakan asas. Asas adalah dasar, pedoman atau sesuatu yang
dianggap kebenaran serta menjadi tujuan berpikir, dan prinsip yang menjadi pegangan. Ada
beberapa asas pemerintahan, antara lain asas aktif, asas “mengisi yang kosong” Vrij Bestuur,
asas membimbing, asas Freies Eremessen, asas “dengan sendirinya”, asas historis, asas etis, dan
asas Detroumement de Pouvoir.

Selanjutnya, teknik-teknik pemerintahan menyangkut berbagai pengetahuan, kepandaian dan


keahlian tertentu untuk melaksanakan dan menyelenggarakan berbagai peristiwa
pemerintahan. Di Indonesia ada beberapa teknik: Diferensiasi, Integrasi, Sentralisasi,
Desentralisasi, Konsentrasi, Dekonsentrasi, Delegasi, Perwakilan, Pembatuan, Kooperasi,
Koordinasi, dan Partisipasi.
Menurut Taliziduhu N, pemerintahan dapat digolongkan menjadi 2 golongan besar, yaitu
pemerintahan konsentratif dan dekonsentratif. Pemerintahan dekonsentratif terbagi atas
pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan luar negeri. Pemerintahan dalam negeri terbagi
atas pemerintahan sentral dan desentral. Pemerintahan sentral dapat diperinci menjadi
pemerintahan umum dan bukan pemerintahan umum. Yang termasuk ke dalam pemerintahan
umum adalah pertahanan keamanan, peradilan, luar negeri, dan moneter.

Ilmu pemerintahan yang terus mengalami perkembangan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Perkembangan itu ditentukan oleh perkembangan masyarakat, seperti pertambahan dan
tekanan penduduk, ancaman atau perang, dan penjarahan yang dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain.

Berbagai negara memerlukan tatanan pemerintahan yang dapat mendukung perkembangan


negara yang bersangkutan. Karena itu, para pakar berusaha menganalisis dan mencari
formulasi sistem pemerintahan yang sesuai. Untuk mempermudah pemahaman tentang
terbentuknya pemerintahan berikut ini penulis gambarkan dalam bentuk skema.
Skema 6.1
Skema Perkembangan Ilmu Pemerintahan
Skema 6.2.

Penggolongan Ilmu Pemerintahan

Menurut Taliziduhu N

Pada perkembangannya banyak tanggapan dari para tokoh dan ahli berkaitan dengan
pengertian pemerintahan. Ermaya, misalnya, membedakan pemerintah dan pemerintahan.
Pemerintah adalah lembaga atau badan-badan politik yang mempunyai fungsi melakukan
upaya untuk mencapai tujuan negara sedangkan pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga
atau badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Dari
pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah pada hakekatnya adalah
aspek statis, sedangkan pemerintahan adalah aspek dinamisnya. Selanjutnya, Ermaya
menyebutkan bahwa pemerintahan dapat dibedakan dalam pengertian luas dan dalam
pengertian sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan badan publik yang
meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara.
Dalam arti sempit, pemerintahan adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaan
eksekutif.

Menurut Koswara, karakteristik pemerintahan yang berorientasi Anglo Saxon lebih


memperhatikan kemandirian masyarakat regional dan lokal:

a. Partisipasi masyarakat yang luas dalam kegiatan pemerintahan,

b. Tanggung jawab sistem administrasi kepada badan legislatif,

c. Tanggung jawab pegawai peradilan biasa, dan

d. Sifatnya lebih desentralistik

Berbeda dengan karakteristik pemerintahan yang berorientasi pada sistem kontinental:

a. Pemusatan kekuasaan ditangan eksekutif,

b. Terdapat dominasi otorisasi nasional,


c. Profesionalisme aparat pemerintah,

d. Memisahkan secara psikologis dari rakyat biasa dan tanggung jawab pemerintah pada
peradilan administratif,

e. Kecenderungan sentralistik

C.E. Strong dalam Koswara mengutarakan makna pemerintahan sebagai berikut:

Pemerintahan menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat


digunakan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara baik ke dalam maupun ke luar.
Untuk melaksanakan kewenangan itu, pemerintah harus mempunyai kekuatan tertentu, antara
lain di bidang militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, kekuatan
legislatif atau pembuatan undang-undang, serta kekuatan finansial atau kemampuan
mencukupi keuangan masyarakat dalam rangkat membiayai keberadaan negara bagi
penyelenggaraan peraturan. Semua kekuatan tersebut harus dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan kepentingan negara.

Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli tersebut penulis menarik suatu
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan adalah segala kegiatan
penyelenggaraan negara oleh lembaga eksekutif bersama legislatif guna mencapai tujuan
negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

B. Perkembangan Pemerintahan

Selaras dengan perubahan zaman, konsep pemerintahan terus mengalami perkembangan.


Sejak abad pertengahan para ahli politik sudah berusaha menyusun klasifikasi bentuk
pemerintahan yang demokratis, tetapi baru sebatas diskursus tentang sistem parlementer dan
sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh, The Analysis of Political Systems,
Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979) menguraikan dua sistem pemerintahan yang paling
populer dan paling banyak digunakan di negara-negara konstitusional demokratis. Dalam
diskursus ilmiah tentang sistem pemerintahan, Inggris selalu dipandang sebagai contoh
pemerintahan parlementer dan Amerika Serikat sebagai model pemerintahan presidensial.
Dasar pemikiran yang digunakan adalah dalam tataran praktis Inggris dipimpin oleh seorang
raja, namun masih memiliki Perdana Menteri untuk menjalankan tugas pemerintahan. Hal ini
berbeda dengan Amerika Serikat di mana eksekutif mempunyai peran sentral dalam
penyelenggaraan negara. Duverger kemudian memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga,
sistem semipresidensial, dan Blondel (Kavanagh dan Peele, Eds., London, Heinemann, Boulder,
1984) memperkenalkan sistem semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system).
Apakah sistem pemerintahan Indonesia sama atau berbeda dari ketiga konsep pemikiran
tersebut?

1. Sistem Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer sebagaimana yang berkembang sekarang ini merupakan


hasil pemikiran para ahli negara. Pada abad XVI sebagai reaksi terhadap kekuasaan Raja James I
yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan parlementer diawali dengan berdirinya
lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang secara bertahap mengambil alih kekuasaan
legislatif dari tangan raja. Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggris tidak
mengenal pemisahan kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian,
kekuasaan eksekutif tetap berada di tangan raja. Dalam perkembangan selanjutnya kekuasaan
eksekutif raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat dari anggota-anggota
badan perwakilan. Karena para menteri harus bertanggung jawab kepada badan perwakilan,
pada perkembangannya kekuasaan badan perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai
pemegang kedaulatan negara. Para menteri secara kolektif (kabinet) harus bertanggung jawab
kepada badan legislatif dan menjadi bagian dari badan tersebut.

Dalam sistem parlementer tidak ada separation of power, yang ada adalah fusion of power
antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dengan kata lain, sistem parlementer
adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam
suatu lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang bernama parlemen.

Pada sistem parlementer, cabang eksekutif dipimpin oleh kepala negara, atau seorang raja
dalam negara monarki konstitusional, atau seorang presiden dalam republik, atau perdana
menteri sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan ditunjuk oleh kepala negara dan
para menteri diangkat oleh kepala negara atas usul kepala pemerintahan. Kabinet, yang terdiri
dari Perdana Menteri dan para menteri, adalah lembaga kolektif. Perdana menteri adalah orang
yang pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan seorang
menteri.

Kekuasaan perdana menteri dalam kenyataannya selalu lebih besar daripada menteri. Perdana
menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan secara kolektif bertanggung
jawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau kabinet secara politis bertanggung jawab
kepada parlemen. Untuk menghindarkan kekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial
partai karena mayoritas partai terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul
kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen.
Salah satu karakteristik utama sistem parlementer yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial
adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan
dan pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem parlementer pemerintah tidak
berada di atas badan perwakilan, dan sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi daripada
pemerintah. Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh
rakyat, pemerintah parlementer hanya bertanggung jawab secara tidak langsung kepada
pemilih. Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara
rakyat dan pemerintah.

Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat. Parlemen sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat kekuasaan dalam sistem politik harus
selalu mengusahakan agar tercapai dinamika hubungan politik yang seimbang antara badan
legislatif dan badan eksekutif. Hubungan antara legislatif dan eksekutif sangat erat akan
menciptakan supremasi parlementer.

Berdasarkan sejarah pertumbuhannya, sistem parlementer dapat dianggap sebagai jawaban


atas kebutuhan untuk membatasi kekuasaan raja yang sebelumnya berkembang sesuai dengan
prinsip raja tidak mungkin melakukan kesalahan (the King can not do wrong) yang berlaku
umum di lingkungan negara-negara monarki seperti Inggris, Belanda dan Belgia.

Menelisik lebih lanjut tentang sistem parlementer, Jimly mengatakan bahwa sistem
parlementer dapat diketahui dari enam ciri umum, yaitu:

1. Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen

2. Kabinet dibentuk sebagai suatu kesatuan dengan tanggung jawab kolektif di bawah
perdana menteri

3. Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen sebelum periode


kerjanya berakhir

4. Setiap anggota kabinet adalah anggota perlemen yang terpilih

5. Kepala pemerintahan (perdana menteri) tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan
hanya dipilih oleh parlemen dari salah seorang anggota parlemen

6. Adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan

Dalam sistem parlementer badan eksekutif dan legislatif saling bergantung. Kabinet sebagai
bagian dari badan eksekutif diharapkan mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan
legislatif yang mendukungnya. Keberlangsungan kabinet bergantung pada dukungan badan
legislatif (asas tanggung jawab menteri). Apabila kabinet mendapat mosi tidak percaya dari
parlemen atau kabinet tidak didukung oleh mayoritas anggota parlemen, maka kabinet harus
mundur atau membubarkan diri. Dan bersamaan dengan pengunduran dirinya, perdana
menteri dapat membubarkan parlemen dan sekaligus menentukan pelaksanaan pemilihan
umum berikutnya. Kabinet semacam ini dinamakan kabinet parlementer. Bobot
ketergantungan antara eksekutif dan legislatif ini berbeda pada setiap negara, tetapi umumnya
badan eksekutif dan legislatif dicoba untuk diseimbangkan.

Berdasarkan pemaparan tentang sistem pemerintahan parlementer di atas dapat ditarik


benang merah bahwa indikator sistem pemerintahan parlementer antara lain:

a) Terdapat sekelompok eksekutif dalam menjalankan pemerintahan yang bertanggung


jawab baik secara perseorangan maupun bersama-sama

b) Adanya kerja sama antara eksekutif dan legislatif. Legislatif dapat menyampaikan mosi
tidak percaya kepada eksekutif dan sebaliknya

c) Kepala negara hanya simbol pemersatu (pemerintahan terletak pada perdana menteri
dan menteri-menterinya), sehingga segala tindakan pemerintahan dilakukan oleh kepala
pemerintahan. Raja hanya sebagai simbol

2. Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem pemerintahan presidensial lahir di Amerika Serikat. Dalam sistem pemerintahan


presidensial tidak terdapat pemisahan yang tegas antara kepala negara dan kepala
pemerintahan. Kedua jabatan tersebut menyatu pada presiden atau sebutan lain tergantung
bentuk negaranya dan istilah yang dipakai di suatu negara. Dewan menteri yang disebut kabinet
dibentuk oleh presiden dan bertanggungjawab kepada presiden.

Sistem pemerintahan presidensial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala
pemerintahan (chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan tunggal
(single executive). Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden tidak mempunyai
hak konstitusional untuk membubarkan parlemen, begitu juga parlemen tidak dapat
menjatuhkan eksekutif. Selain itu, kepala negara atau kepala pemerintahan yang biasanya
dipilih langsung oleh rakyat atau melalui mekanisme lain yang sah, misalnya melalui pemilihan
umum tidak langsung dalam forum MPR seperti di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.

Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan
dalam konstitusi suatu negara dan tidak dapat dipaksa mengundurkan diri oleh badan legislatif,
kecuali melalui impeachment karena kepala negara melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan konstitusi. Bagir Manan mengemukakan bahwa Amerika Serikat merupakan negara
yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial murni. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
ciri-ciri penggunaan sistem pemerintahan presidensial:

1. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal

2. Presiden adalah penyelenggara pemerintah yang bertanggung jawab dan memiliki


berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif yang lazim melekat pada jabatan
kepala negara (head of state)

3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (Congress), karena
itu tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh Congress

4. Presiden tidak dipilih dan diangkat oleh Congress, tidak dipilih langsung oleh rakyat,
walaupun secara formal dipilih badan pemilih (electoral college).

5. Presiden memangku jabatan empat tahun (fixed), dan bahaya dapat dipilih dua kali
masa jabatan berturut-turut (8 tahun)

6. Presiden dapat diberhentikan dari jabatan melalui “impeachment” karena alasan


tersangkut “treason, bribery, or other big crime and misdemeanors” (melakukan
pengkhianatan, menerima suap, atau melakukan kejahatan yang serius)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden
memiliki kedudukan yang seimbang dengan legislatif maupun yudikatif, sehingga tidak dapat
saling menjatuhkan kecuali dengan alasan yang ditentukan UUD.

3. Sistem Campuran

Pada hakikatnya, sistem pemerintahan campuran merupakan variasi dari sistem pemerintahan
presidensial dan pemerintahan parlementer. Situasi dan kondisi yang berbeda di setiap negara
menyebabkan adanya perbedaan ciri-ciri yang terdapat dalam kedua sistem pemerintahan
tersebut.

Pada sistem pemerintahan campuran, presiden merupakan kepala pemerintahan yang dibantu
oleh kabinet. Tetapi Presiden bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, sehingga Presiden
dapat dijatuhkan oleh lembaga tersebut. Berkaitan dengan hal ini Tutik Triwulan berpendapat
bahwa negara yang menganut sistem pemerintahan campuran adalah negara Republik
Indonesia. Untuk mempertajam analisis, berikut ini penulis mempaparkan sistem pemerintahan
Indonesia sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945.

a. Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945

Sri Soemantri dalam bukunya Bunga Rampai Hukum Tata Negara Republik Indonesia
mengemukakan dua macam sistem pemerintahan yang pokok, yaitu sistem pemerintahan
presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dalam bahasa Inggris sistem pemerintahan
parlementer disebut the paliamentary-cabinet government, sedangkan sistem pemerintahan
presidensial disebut the presidensiil government (S.L Witman and J.J Wuest).

Sebagaimana dikutip Sri Soemantri, S.L Witman and J.J Wuest mengemukakan ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer:

1. Berdasarkan prinsip difusi (penyebaran) kekuasaan;

2. Terdapat pertanggung jawaban bersama antara pimpinan/kepala eksekutif dengan para


menteri;

3. Eksekutif harus mengundurkan diri atau berhenti jika tidak memperoleh dukungan
mayoritas dari legislatif dan eksekutif dapat membubarkan legislatif bersamaan dengan
berhentinya/mundurnya eksekutif;

4. Kepala eksekutif (perdana menteri) dipilih oleh kepala negara dengan dukungan
mayoritas legislatif

Sistem pemerintahan presidensial menurut kedua pakar Amerika Serikat tersebut mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berdasarkan prinsip atau asas pemisahan kekuasaan

2. Eksekutif tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan legislatif dan eksekutif tidak
harus mundur jika tidak mendapat mayoritas dukungan dari legislatif

3. Tidak ada tanggung jawab bersama antara presiden dan kabinetnya. Menteri-menteri
sepenuhnya bertanggung jawab kepada kepala/pimpinan eksekutif

4. Eksekutif (kepala eksekutif) dipilih oleh dewan pemilih


Setelah memaparkan perbedaan antara kedua sistem pemerintahan tersebut, Sri Soemantri
menyimpulkan bahwa ciri pertama tidak terdapat dalam negara Indonesia dan sebagian dari ciri
kedua juga tidak ada dalam UUD 1945. Pemegang kekuasaan eksekutif tidak mempunyai
wewenang untuk membubarkan lembaga perwakilan baik DPR maupun MPR. Dalam UUD 1945
sebelum perubahan hanya ditemukan ketentuan Presiden dipilih oleh MPR dan tunduk serta
bertanggung jawab kepada MPR.

Dengan demikian, bagian kedua dari ciri kedua S.L. Witman dan J.J. Wuest tidak terdapat dalam
sistem pemerintahan Indonesia. Hanya ciri ketiga dan keempat saja yang dianut Indonesia.
Sedangkan ciri kedua hanya berkaitan dengan pertanggung jawaban kepada MPR. Dengan
demikian Negara Republik Indonesia tidak sepenuhnya menganut sistem pemerintahan
presidensial.

Berdasarkan dengan ciri sistem pemerintahan parlementer yang dikemukakan oleh S.L. Witman
dan J.J Wuest, Sri Soemantri dalam Bangun berpendapat bahwa sistem pemerintahan Indonesia
berkaitan dengan ciri kedua, yaitu “the executive must resign together with the rest of the
Cabinet when his policies are no longer accepted by the majority of the membership of the
legislature”. Hal ini dapat dilihat dari tugas dan wewenang MPR berkaitan dengan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. MPR berhak mengangkat dan
memberhentikan presiden apabila presiden melanggar UUD 1945.

Sebelum perubahan UUD 1945, mekanisme pemberhentian presiden dapat dilihat dalam Tap
MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Dalam Pasal 7 Tap MPR No. III/MPR/1978
ditentukan bahwa apabila DPR menganggap presiden sungguh-sungguh melanggar haluan
negara, maka DPR dapat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan presiden. Apabila
presiden tidak memperhatikan memorandum DPR dalam arti memperbaiki tindakan-
tindakannya yang salah, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa
dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden. Apabila pertanggungjawaban presiden
tidak diterima oleh MPR, maka presiden dapat diberhentikan meskipun masa jabatannya belum
berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa masa jabatan presiden Indonesia selama lima tahun itu
tidak fixed seperti berlaku di Amerika Serikat yang menganut sistem pemerintahan presidensial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia sebelum dilakukan
perubahan juga mempunyai ciri sistem pemerintahan parlementer.

b. Sistem Pemerintahan Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945


Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang
mempunyai ciri-ciri parlementer. Sistem ini, ditinjau dari pengalaman sejarah bernegara bangsa
Indonesia dan dari pencapaian tujuan negara, yaitu masyarakat yang adil dan makmur dinilai
tidak efektif dan kondusif.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil dan efisien, panitia ad hoc 1 MPR-RI membuat
lima kesepakatan tentang prinsip-prinsip perubahan UUD 1945. Salah satu dari lima
kesepakatan tersebut adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial atau sering
disebut purifikasi sistem pemerintahan presidensial. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut
dapat ditarik benang merah ciri-ciri pemerintahan presidensial:

1. Dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan dianut asas
trias politica dalam bentuk pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian
kekuasaan (distribution of power)

2. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemegang kekuasaan eksekutif) sekaligus


sebagai kepala negara

3. Presiden tidak dipilih oleh legislatif akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum

4. Presiden memiliki masa jabatan yang tetap (fixed)

5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada legislatif, oleh sebab itu Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh legislatif

6. Presiden tidak berhak membubarkan legislatif (DPR)

7. Presiden dapat diberhentikan dari masa jabatannya melalui impeachment dengan


syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan tindak pidana

Pertama, prinsip trias politica tercermin dalam pasal-pasal UUD 1945. Kekuasaan eksekutif
berada di tangan presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang
mengamanatkan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan legislatif
ada pada DPR yang berwenang untuk membuat undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, militer, tata usaha
negara. Selain itu juga terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan hukum.

Kedua, Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Ketentuan Presiden sebagai
kepala pemerintahan dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Presiden sebagai kepala
negara mempunyai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan fungsi-fungsi
seremonial, serta mempunyai fungsi simbolik. Kekuasaan presiden sebagai kepala negara dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 10-16 UUD 1945. Misalnya, Pasal 10 menentukan bahwa presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara.

Ketiga, perwujudan kedaulatan rakyat dapat dilihat Pasal 6A Ayat (1) dan (2) yang
mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat secara nyata ditentukan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pengalaman pemilihan presiden
melalui MPR menunjukkan bahwa terjadi distorsi antara kemauan rakyat dan hasil pilihan MPR.

Keempat, pembatasan masa jabatan. Pasal 7 UUD 1945 sudah menentukan bahwa masa
jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun dan dibatasi hanya dua kali masa
jabatan. Pembatasan periode bertujuan agar seseorang tidak berkuasa terlalu lama sehingga
terjadi sentralistik kekuasaan yang pada akhirnya menimbulkan tirani. Pembatasan masa
jabatan merupakan solusi cerdas dalam rangka menjaga suhu perpolitikan yang demokratis dan
melahirkan kepemimpinan bangsa secara periodik.

Kelima, presiden tidak bertanggungjawab kepada legislatif sehingga presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh legislatif. Bab III UUD 1945 yang mengatur tentang kekuasaan pemerintahan
negara mulai dari Pasal 4 sampai Pasal 17 tidak memuat ketentuan yang mengatur
pertanggungjawaban Presiden kepada legislatif. Tidak diaturnya pertanggungjawaban Presiden
kepada legislatif adalah konsekuensi penguatan sistem pemerintahan presidensial. Dengan
sistem pemerintahan presidensial ini presiden bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni
rakyat. Wujud pertanggungjawaban ini dapat dilihat dalam masa pemilihan presiden dan wakil
presiden periode berikutnya. Apabila kinerja presiden dan wakil presiden dinilai gagal, mereka
tidak dipilih lagi.

Keenam, presiden tidak berhak membubarkan legislatif (DPR). Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 7C UUD 1945 yang menentukan bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan DPR. Kedudukan antara DPR dan presiden serta wakil presiden yang seimbang
menyebabkan kedua lembaga ini tidak dapat saling menjatuhkan. Konsekuensi logis dari prinsip
kedaulatan di tangan rakyat menyebabkan tidak adanya monopoli satu lembaga saja. Lembaga-
lembaga negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat diharapkan menjalankan tugas dan
fungsinya dengan baik agar tujuan negara dapat tercapai.

Ketujuh, presiden dapat diberhentikan dari masa jabatannya melalui impeachment dengan
alasan telah melakukan pengkhianatan, menerima suap, atau melakukan kejahatan yang serius.
Pasal 7A UUD 1945 mensyaratkan bahwa Presiden dapat diberhentikan atas dasar hukum,
bukan alasan yang bersifat politik. Perubahan UUD 1945 menunjukkan bahwa tidak ada lagi
lembaga yang dominan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, sehingga
pemberhentian Presiden dari masa jabatannya tanpa alasan yang jelas tidak dapat dibenarkan.

Tujuh ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan presidensial, yang dianut
Indonesia setelah perubahan UUD 1945 memosisikan presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif yang lebih kuat jika dibandingkan sebelum perubahan UUD 1945. Sistem
pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia pasca perubahan UUD 1945 tentu memiliki
berbagai kekurangan karena tidak satu pun sistem pemerintahan yang sempurna.
Kesempurnaan suatu sistem pemerintahan dalam arti mampu menyejahterakan rakyat
tergantung dari budaya politik elit politik dan masyarakat dimana sistem pemerintahan itu
diterapkan. Jika masyarakat cerdas politik memiliki budaya politik yang tidak parokial,
kesejahteraan dapat tercapai. Hal ini disebabkan masyarakat mampu menciptakan strategi-
strategi yang baik dalam mengatasi permasalahan.

C. Manajemen dan Kepemimpinan Pemerintahan

Berbicara mengenai pemerintahan tentunya tidak terlepas dari istilah manajemen dan
pemerintahan. Istilah manajemen dan kepemimpinan sangat sering kita dengar. Bahkan kata itu
sering disamakan artinya. Sebenarnya apa perbedaan “hakiki” antara manajemen dan
kepemimpinan? Berbagai pakar mempunyai bermacam-macam pendapat tentang manajemen
dan kepemimpinan. Satu penjelasan yang mudah dipahami adalah dari Stephen Covey. Andai
kata kita akan membuka hutan untuk ekplorasi hasil hutan, maka seorang pemimpin akan
mengatakan, “Baik, dari berbagai informasi dan pertimbangan, saya putuskan hutan di lereng
bukit itu yang harus kita tebang dulu”. Sebagai pemimpin ia menjelaskan bagian hutan mana
yang harus dibuka, saatnya manajemen berperan. Para manajer akan memikirkan cara, alat,
metode yang paling efektif untuk membuka hutan itu. Seorang manajer akan memakai gergaji
listrik, atau gergaji panjang karena medannya sulit, atau bahkan berjalan melingkar untuk
mencari celah agar mudah membuka bagian hutan itu.

Kepemimpinan adalah yang menentukan arah, sedangkan manajemen berusaha mewujudkan


agar arah itu bisa tercapai. Manajemen lebih peduli pada pemilihan metode dan cara agar
tujuan itu bisa dicapai secara efektif.

Warren Bennis, pakar kepemimpinan dan manajemen terkenal, dengan cerdas mengatakan,
“Pemimpin menaklukkan situasi. Mungkin situasi itu kacau, membingungkan, mengherankan
dan bahkan menantang kita dan bisa membungkam kita jika kita biarkan situasi itu makin
memburuk. Manajemen berarti mengelola, sedangkan kepemimpinan, menginovasi. Manajer
adalah tiruan, sedangkan pemimpin adalah asli. Manajemen menjaga hal-hal, pemimpin
mengembangkan hal-hal. Manajemen berfokus pada sistem dan struktur sedangkan
kepemimpinan berfokus pada orang-orang”.

Kunci dari kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin memberikan pengaruh kepada
bawahannya. Pengaruh tersebut dapat berupa karisma, gaya memimpin, nilai plus dalam
bidang akademik, dan sebagainya. Dalam hal kepemimpinan ia berbuat, bertindak, bekerja
untuk mempengauruhi orang agar mau bergerak menuju arah yang sudah dicanangkan.
Kepemimpinan dikatakan sukses jika orang-orang itu kemudian bergerak, maju, dan
menganggap tujuan itu milik mereka yang harus mereka perjuangkan dan capai.

Istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris management. Istilah ini terjadi dari akar kata
manus yang berarti tangan, yang berkaitan dengan kata manageric yang berarti beternak.
Menegeril juga berarti sekumpulan binatang liar yang dikendalikan di dalam kandang. Kata
manus dipengaruhi oleh kata menege dari bahasa Prancis kuno menege. Kata ini berasal dari
kata latin mansionaticum yang berarti pengelolaan rumah besar. Jadi dipandang dari segi arti
kata, manajemen sebagai (1) proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai
sasaran dan (2) pejabat pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan atau
organisasi.

Pengertian istilah management adalah proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak


berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan satu tujuan. Sumber disini mencakup
orang-orang, alat-alat, media, bahan-bahan, uang, dan sarana yang diarahkan dan dikoordinasi
agar terpusat dalam rangka menyelesaikan tujuan.

Pengertian manajemen dapat diartikan sebagai sebuah proses khas, yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Ini semua dilakukan untuk
menentukan atau mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya
manusia dan sumber-sumber daya lainnya.

Dilihat dari aspek etimologinya, manajemen berasal dari kata manage atau manus (latin) yang
berarti memimpin, menangani, mangatur dan (atau) membimbing. Dari pengertian tersebut
dapat diketahui bahwa manajemen adalah applied science (ilmu aplikatif), dimana jika
dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi: (1) Perencanaan (planning), fungsi
perencanaan mencakup penetapan tujuan, standar, penentuan aturan atau prosedur, dan
pembuatan rencana serta ramalan (prediksi) apa yang diperkirakan terjadi. (2)
Pengorganisasian (organizing), fungsi pengorganisasian meliputi pemberian tugas kepada
masing-masing pihak, membentuk bagian, mendelegasikan, atau menetapkan jalur wewenang
atau tanggung jawab dan sistem komunikasi, serta mengkoordinir kerja setiap bawahan dalam
suatu tim kerja yang solid dan terorganisir. (3) Penggerakan (actuating), pemimpin perlu
menggerakkan kelompok secara efisien dan efektif ke arah pencapaian tujuan. Dengan
actuating ini, pimpinan berusaha menjadikan organisasi bergerak dan berjalan secara efektif
dan dinamis. (4) Pengawasan (controling), fungsi ini bisa juga disebut pengendalian atau
evaluasi.

Kita membedakan antara kepemimpinan, leadership dan pengelolaan atau management.


Pengelolaan merupakan pengertian yang lebih sempit daripada kepemimpinan. Hal yang paling
penting dalam pengelolaan adalah tercapainya tujuan organisasional lembaga. Kunci perbedaan
antara kepemimpinan dan pengelolaan adalah kata organisasi. Dengan latar belakang
pembedaan itu, pengelolaan didefinisikan sebagai “bekerja dengan orang-orang secara pribadi
dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasional lembaga”. Seorang pemimpin dapat
mencapai tujuannya sendiri atau membantu orang lain mencapai tujuan pribadi mereka tanpa
menjadi manajer yang efektif. Pengelolaan terutama harus ditujukan kepada pencapaian tujuan
kelompok, lembaga.

Selain dimensi organisasional, pengelolaan juga mempunyai dimensi lain, yaitu tanggung jawab
sosial. Setiap lembaga merupakan anggota organ tubuh masyarakat dan ada demi masyarakat.
Jadi dimensi pengelolaan yang lain adalah mengelola dampak dan tanggung jawab sosial atau
usaha yang dijalankan. Tidak ada kelompok atau lembaga yang berada dalam kekosongan.
Setiap keputusan yang penting adalah seperti batu yang dilempar di tengah danau, dalam arti
membawa riak pengaruh pada hidup lembaga dan masyarakat.

Dalam suatu pemerintahan, kepemimpinan memegang peran penting yang sangat menentukan
keberlangsungan hidup suatu negara. Salah satu konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh
praktisi manajemen di Amerika adalah konsep SERVE yang berarti melayani. Konsep utamanya
adalah bahwa apa pun jabatan formalnya, orang-orang yang ingin menjadi pemimpin besar
harus mempunyai sikap melayani orang lain. Dalalm buku The Secret – Rahasia Kepemimpinan
oleh Ken Blanchard dan Mark Miller, konsep SERVE dijelaskan secara singkat. SERVE merupakan
singkatan dari lima kata kunci, yaitu :

S ~ See the Future (Melihat Mata Depan)

E ~ Engage and Develop Others (Libatkan dan Kembangkan Orang lain)

R ~ Reinvent Continuously (Temukan Kembali Terus Menerus)

V ~ Value Results and Relationship (Hargai Hasil dan Hubungan)

E ~ Embody the Values (Mewujudkan Nilai)


Rangkaian lima huruf tersebut mempunyai makna yang briliant. Huruf S (See the future)
mempunyai makna bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pemikiran yang inovatif,
dinamis, dan terbuka. Artinya, pemimpin harus bersedia dan sanggup membantu orang-orang
yang dipimpinnya dan mampu memprediksikan keuntungan maupun kerugian melangkah ke
arah yang dituju. Setiap orang perlu melihat dirinya, kemana mereka pergi dan apa yang akan
menuntun perjalanan mereka. Jadi, dalam melihat tujuan yang ingin dicapai, pemimpin harus
berpikir secara komprehensi.

Huruf kedua, E: Engange and Develop Others (Libatkan dan Kembangkan Orang Lain) berarti
dalam menjalankan seorang pemimpin memerlukan orang lain. Tindakan yang harus dilakukan:
pertama, merekrut atau memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat. Kedua, melakukan
apa pun yang diperlukan untuk mempengaruhi orang-orang tersebut.

Selanjutnya, huruf R: Reinvent Continuously (Temukan Kembali Terus-Menerus) berarti


pemimpin harus menemukan kembali setidaknya melalui tiga tahap. Tahap pertama, bersifat
pribadi, maksudnya introspeksi diri: apakah dalam menjalankan kepemimpinnya seorang
pemimpin tidak berdasarkan egoisme atau kepentingannya. Dengan pola pikir demikian,
seorang pemimpin akan mampu melakukan koreksi diri dan segera memperbaikinya. Tingkat
penemuan kembali yang kedua berkaitan dengan sistem dan proses kepemimpinannya: apakah
sesuai dengan kondisi suatu bangsa atau tidak. Misalnya, dalam keadaan genting seorang
pemimpin negara harus segera mengambil satu keputusan agar negara tersebut dapat berjalan
normal. Ketiga, melibatkan struktur organisasi itu sendiri (negaranya). Seorang pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya selayaknya mengambil suatu tindakan dalam upaya
mengembangkan negaranya. Sehingga seorang pemimpin dalam hal ini selalu berusaha
menemukan cara-cara yang inovatif agar kinerja aparat di bawahnya menjadi lebih baik.

Huruf V adalah singkatan dari Value Results and Relationship (Hargai Hasil dan Hubungan).
Seorang pemimpin harus menghargai kinerja yang dipimpin, dan nilai itu akan menuntun
perilaku pemimpin dan menjamin keberhasilan kepemimpinannya.

Huruf E terakhir adalah Embody The Values (Mewujudkan Nilai). Ini adalah sesuatu yang
mendasar dan berlangsung terus menerus. Seorang pemimpin yang baik dapat menunjukkan
segala nilai yang telah dirumuskannya dan dijadikan sebagai landasan berpikir. Sejatinya, semua
kepemimpinan dibangun di atas kepercayaan. Salah satunya adalah hidup konsisten dengan
nilai-nilai yang kita akui.

Pola kepemimpinan seperti di atas merupakan satu indikator suatu negara dapat mencapai
tujuan yang dicita-citakan. Seorang pemimpin yang mempunyai karakter SERVE tersebut
niscaya dapat mengatasi segala persoalan yang ada dalam pemerintahan, entah itu persoalan
dari dalam maupun luar negeri. Namun, perlu diingat bahwa setiap orang mempunyai gaya
kepemimpinan yang dipakai yang terpenting dapat meningkatkan kesejahteraan. Pada
akhirnya, yang diharapkan adalah pemimpin yang memimpin dengan tidak didasarkan pada
kekuasaan atau jabatan sebaliknya, tetapi pada hati yang melayani, sehingga menjadi ilham
bagi semua orang.

Kepemimpinan dalam pemerintahan tentu tidak akan menjadi perhatian yang serius dari
berbagai kalangan apabila tidak memiliki peran yang sangat sentral dalam suatu negara. Lantas
pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peran pemerintahan dalam mencapai tujuan
negara?

D. Mewujudkan Good Governance

Istilah good gevernance sering didengarkan dalam berbagai diskusi pengertian good
gevernance menurut World Bank adalah penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien,
menghindari salah alokasi investasi mencegah korupsi baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan kerangka hukum dan politik bagi timbulnya
aktivitas kewiraswastaan. Pandangan demikian merupakan suatu pandangan yang dilihat dari
aspek ekonomi. Secara keseluruhan karakteristik good governance adalah sebagai berikut:

a. Participant. Peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk


memformulasikan kebijakan publik. Masyarakat berperan aktif dalam penyelenggaraan negara,
bukan hanya menerima segala keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Baik secara
individu maupun kelompok, masyarakat dapat mengajukan rekomendasi disertai rasionalisasi
atas suatu kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

b. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Kerangka
hukum yang jelas dan tidak berpihak pada siapa pun dapat terlaksana apabila ada komitmen
yang solid antara masyarakat, aparat penegak hukum, dan pengadilan.

c. Transparancy. Informasi publik harus terbuka dan mudah diperoleh serta dipahami oleh
masyarakat. Transparansi kepada masyarakat terkait segala penyelenggaraan negara (kecuali
hal-hal yang bersifat rahasia negara) akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Selain itu akan memperkecil adanya kekurangan yang dilakukan oleh pejabat.

d. Responsiveness. Entitas publik harus mampu melayani semua stakeholder-nya.


Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat,
sehingga kebijakan tersebut selayaknya tidak berpihak pada golongan tertentu tetapi kepada
seluruh masyarakat.
e. Concensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda
untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-
kebijakan maupun prosedur-prosedur.

f. Equality. Semua warga negara tidak terkecuali mempunyai kesempatan untuk


meningkatkan dan menjaga kesejahteraan mereka. Negara harus memberikan jaminan kepada
warga negara bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan dapat meningkatkan
taraf hidupnya sesuai dengan keterampilan yang ia miliki asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang.

g. Effectiveness and efficiency. Entitas publik harus mampu menghasilkan “produk” sesuai
dengan kemampuan mereka dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sebaik mungkin.
Pemanfaatan yang optimal atas sumber daya alam dan sumber daya alam dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi.

h. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan


masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan stakholder lainnya.

i. Stategic Vision. Para pemimpin entitas publik harus mempunyai perspektif good
governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan
dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Jadi wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid,
bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga sinergi interaksi yang konstruktif
di antara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Karena good governance
meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga
merupakan upaya menyempurnakan sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu
negara secara menyeluruh.

Sedangkan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dibutuhkan seorang pemimpin yang
memiliki kejelasan visi, model perencanaan strategis, model pengukuran kinerja serta laporan
kinerja (performance report) yang akan dimanfaatkan baik bagi eksternal organisasi maupun
internal organisasi untuk perbaikan kinerja organisasi secara berkelanjutan.

Pemimpin yang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut akan dapat melaksanakan,


memenuhi, dan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa
(clean and good governance). Penyelenggaraan pemerintahan yang baik menghendaki adanya
akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan rule of law. Pemerintahan yang bersih menuntut
peniadaan praktik yang menyimpang (maladministration) dan mengikuti etika administrasi
negara. Sedangkan pemerintahan yang berwibawa menuntut kedudukan, ketaatan, dan
kepatuhan rakyat terhadap undang-undang. Pemerintahan yang bijaksana berarti
menggunakan otoritasnya untuk menjalankannya administrasi publik dan berusaha
menumbuhkan rasa memiliki dan bertanggung jawab masyarakat atas proses administrasi
publik dan hasil pembangunan yang dicapai.

RINGKASAN DEMOKRASI

A. Dinamika Demokrasi di Dunia

Demokrasi yang berkembang dewasa ini, pada awalnya mendapat respon negatif dari para
filosof zaman Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles. Mereka menganggap bahwa demokrasi
sangat dekat dengan tirani. Plato menyatakan bahwa demokrasi merupakan yang terburuk dari
semua pemerintahan yang berdasarkan hukum dan merupakan yang terbaik dari semua
pemerintahan yang tidak mengenal hukum Aristoteles tampak lebih realistis memandang
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang paling dapat ditolerir daripada jenis tirani dan
oligarki. Model negara oligarki biasanya diperintah kelompok orang yang berasal dari kalangan
feodal.

Konsep demokrasi mendapat tanggapan negatif dari filosof Yunani, namun bangsa Yunani telah
mempraktikkan dalam kehidupan bernegara sejak abad ke-4 SM hingga ke-6 SM. Pada masa itu
demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung yang berarti seluruh rakyat secara
langsung mengambil peran untuk menjalankan seluruh kekuasaan politik. Praktik demokrasi
pertama kali dilakukan di negara Polis (negara yang jumlah pendukungnya sangat sedikit) yang
sering disebut sebagai negara kota.
Pada awalnya, embrio demokrasi berasal dari kejenuhan rakyat terhadap model pemerintahan
yang dijalankan. Sebelum adanya demokrasi terdapat sistem pemerintahan yang dikuasai oleh
negara. Hal ini menyebabkan rakyat tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah
penyelenggaraan negara. Rakyat hanya menjalankan apa yang sudah digariskan negara. Dengan
begitu, tidak ada kebebasan individu maupun kelompok. Semua orang memiliki kedudukan
yang sama. Sebaliknya, negara yang menganut paham liberalisme, prinsipnya adalah kebebasan
individu maupun golongan. Sehingga, negara tidak berhak ikut campur tangan atas rakyatnya.
Mereka yang mampu bertahan (hidup) dan bersaing dapat melanjutkan kehidupannya,
sedangkan mereka yang lemah akan tergilas oleh kelompok-kelompok besar. Untuk
memperjelas embrio demokrasi lihat skema dibawah ini.

Gambar 8.1

Lahirnya Demokrasi

Sejarah demokrasi merupakan wujud dari ketidakpuasan rakyat terhadap negara-negara yang
menjalankan liberalisme dan utilitarianisme. Demokrasi merupakan jawaban atau solusi dari
keinginan untuk menciptakan negara yang tidak berpihak pada siapapun, tetapi rakyat yang
menjadi penentu kemajuan suatu negara.

Pada masa Yunani Kuno, demokrasi yang dijalankan sering disebut demokrasi pseudo. Hal ini
disebabkan perempuan dan budak tidak berhak mempunyai suara, yang berhak hanya laki-laki
yang sudah dewasa. Pada masa itu masih terdapat diskriminasi yang membeda-bedakan warga
negara, sehingga model demokrasi yang diterapkan Yunani Kuno belum dapat dikatakan
sebagai demokrasi yang sebenarnya.

Sepanjang abad pertengahan, paham demokrasi tidak mengalami perkembangan berarti.


Karena itulah zaman pertengahan disebut dengan abad kegelapan. Baru pada masa
Renaissance berkembang ide tentang kedaulatan, teori kontrak sosial, dan doktrin hak-hak
alamiah. Ide-ide jelas mendukung berkembangnya paham demokrasi. Seperti halnya John Locke
seorang filosof berkebangsaan Inggris menyatakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak
atas hidup, kebebasan dan hak memilih (live, liberal, prperty). Baron Montesquieu, seorang
filosof Perancis yang dikenal sebagai perintis ajaran pemisahaan kekuasaan, menyatakan bahwa
sistem politik dapat menjamin hak-hak politik melalui ajaran trias politica, yaitu sistem
pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bentuk: legislatif, eksekutif, yudikatif, yang masing-
masing harus dikendalikan oleh individu-individu berbeda dan merdeka. Beberapa wacana yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh besar menjadi barometer bagi setiap negara-negara modern.

Wacana demokrasi dan praktiknya dalam kehidupan suatu negara mengalami perkembangan
cukup penting pada era 1970-an. Pada masa itu terjadi peralihan sistem pemerintahan ke arah
demokrasi di berbagai negara Eropa, seperti Yunani, Portugal, dan Spanyol. Fenomena yang
sama pada era 1980-an di negara Asia Timur, seperti Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan.
Wacana demokrasi juga berkembang pesat dan mengalami puncaknya pada tahun 1990-an.

Demokrasi yang diterapkan di berbagai negara di dunia biasanya terbentuk demokrasi langsung
(direct democracy) dan tidak langsung (indirect democracy). Pengertian demokrasi langsung
adalah rakyat ikut serta secara langsung mewujudkan kedaulatan politiknya. Keberadaan
lembaga legislatif pada sistem demokrasi langsung hanya berfungsi sebagai pengawas atau
pengontrol jalannya pemerintahan. Namun demikian, dalam tataran praktis demokrasi
langsung terjadi dalam kelompok-kelompok terbatas. Sementara pemilihan pejabat eksekutif
pada setiap tingkatan dilakukan secara langsung orang rakyat. Demikian juga pada pemilihan
jabatan legislatif. Berbeda dengan demokrasi tidak langsung, perwujudan kedaulatan politiknya
dilaksanakan oleh lembaga perwakilan. Wakil rakyat dituntut untuk bersikap aktif terhadap
suara rakyat agar ditindaklanjuti dalam kebijakan dan program aksi. Bentuk demokrasi tidak
langsung biasanya dikenal dengan demokrasi perwakilan. Kadar nilai demokrasi dalam suatu
negara berbeda, artinya apabila suatu negara menjalankan pemilu tidak secara langsung,
negara tersebut tidak dapat dikatakan tidak demokratis. Namun nilai demokrasi itu perlu dilihat
dalam aspek lain, misalnya perekonomian, pendidikan, dan sebagainya.

B. Demokrasi Menuju Masyarakat Madani (Civil Society)

Civil society adalah jaringan kerja yang kompleks dari organisasi-organisasi yang dibentuk
secara sukarela, yang berbeda dari lembaga-lembaga negara yang resmi dan yang bertindak
secara mandiri atau dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga negara.

Sebagai jaringan kerja antarlembaga yang terpisah dari negara namun tunduk terhadap aturan
hukum yang berlaku, civil society merupakan wilayah publik yang diciptakan dan dijalankan
oleh warga negara biasa (bukan oleh pejabat pemerintah). Mohammad S Hikam dalam Suteng,
mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri
antara lain: sukarela (voluntary), swasembada (self-generating) dan swadaya (self supporting),
mandiri ketika berhadapan dengan negara, dan terikat oleh norma-norma atau nilai-nilai
hukum yang diikuti warganya. Civil Society terwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat
masyarakat di luar pengaruh negara.

Lary Diamond dalam Suteng menyatakan bahwa civil society melingkupi kehidupan sosial
terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadya secara parsial,
otonom pada negara dan terkait pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama.
Menurutnya indikator civil society antara lain:

1. Perkumpulan dan jaringan perdagangan produktif

2. Perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilai-


nilai kepercayaan

3. Organisasi yang bergerak di bidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ide-
ide, berita, informasi publik

4. Gerakan perlindungan konsumen, perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis


minoritas, perlindungan kaum cacat, perlindungan korban diskriminasi

Paparan di atas menunjukkan bahwa civil society tersusun atas berbagai organisasi
kemasyarakatan yang bercirikan:

1. Lahir secara mandiri, artinya warga masyarakat sendiri yang membentuknya bukan
penguasa negara
2. Keanggotaannya bersifat sukarela atau dasar kesadaran masing-masing anggota

3. Mencukupi kebutuhannya sendiri (swadaya) paling tidak untuk sebagian, sehingga tidak
bergantung pada bantuan pemerintah/negara

4. Bebas atau mandiri dari kekuasaan negara, sehingga berani mengontrol penggunaan
kekuasaan negara

5. Tunduk pada aturan hukum yang berlaku atau seperangkat nilai/norma yang di yakini
bersama

Keterkaitan antara civil society pada budaya politik demokrasi terlihat pada ciri kelima. Namun
demikian, konsep kemandirian yang dipegang menyebabkan munculnya pandangan bebas
dalam arti sempit. Banyak yang mengartikan jika kebebasan yang dimiliki terlepas dari aturan
hukum yang berlaku. Di dalam negara demokrasi terdapat berbagai macam organisasi civil
society yang melakukan kegiatan mandiri dan bebas dari kontrol pemerintah. Tujuan mereka
adalah mewujudkan kebaikan bersama (public good), misalnya menyelenggarakan sekolah,
memberdayakan masyarakat miskin, mendirikan wirausaha, dan sebagainya. Semua kegiatan
civil societ tersebut selaras dengan tujuan negara. Jadi, meskipun terlepas dari kontrol
pemerintah, civil society tetap sejalan dengan negara karena antara keduanya terdapat
hubungan penyeimbangan. Misalnya, pemerintah mendirikan sekolah negeri sebagai salah satu
upaya mencerdaskan bangsa, sementara civil society mendirikan sekolah swasta.

Dewasa ini muncul sekelompok orang yang mempunyai komitmen melawan kejahatan
(anggapan mereka) dengan jalan yang tidak tepat yaitu terorisme. Kelompok militan tersebut
menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuannya. Terorisme dilarang di Indonesia karena
tindakan pembunuhan merupakan pelanggaran hukum. Karena itu, kelompok terorisme
bukanlah bagian dari masyarakat madani, meskipun mempunyai tujuan yang solid. Karena
tujuannya bertentangan dengan tujuan negara, terorisme harus diberantas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat dampak negatif adanya terorisme terhadap kondisi
perpolitikan dan perekonomian bangsa Indonesia sangat besar. Akibat tersebut tentu saja akan
mempengaruhi keseluruhan NKRI.

C. Unsur-Unsur Budaya Demokrasi

Semua kebebasan tidak dapat disamakan dengan demokrasi, atau dengan kata lain demokrasi
bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung makna yang luas.
Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa memperhatikan orang lain bukanlah
ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif budaya demokrasi mengandung unsur-unsur
antara lain: kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, menghormati kejujuran, menghormati
penalaran, dan keadaban.

1. Kebebasan

Kebebasan diartikan sebagai keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan
atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas kehendak sendiri,
tanpa tekanan dari pihak manapun. Kebebasan tidak dapat diartikan sebagai bebas tanpa batas,
namun kebebasan tetap dibatasi oleh peraturan yang berlaku. Kebebasan yang bertanggung
jawab, bermanfaat bagi masyarakat, dan tidak merugikan masyarakat umum merupakan
substansi kebebasan. Nilai-nilai kebebasan seperti itu tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku di Indonesia dan tetap menghormati kebebasan individu yang lain.

Sebagai contoh, sekelompok orang yang mendirikan suatu organisasi masyarakat yang bergerak
di bidang keagamaan (a) Dalam menjalankan visi dan misinya, organisasi tersebut tidak boleh
bertentangan dengan norma yang berlaku, misalnya norma menghargai organisasi masyarakat
yang bergerak dibidang keagamaan yang lain. (b) Nilai-nilai yang tercermin dalam organisasi
tersebut tidak boleh dipaksanakan untuk dijalankan oleh ormas yang lain.

2. Persamaan

Manusia merupakan mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meskipun secara fisik
berbeda, namun derajat mereka di hadapan Tuhan adalah sama. Pandangan tersebut
merupakan barometer dari budaya demokrasi. Demokrasi memandang kedudukan manusia
satu dengan yang lain sederajat meskipun mereka berbeda. Nilai dan keluhurannya sebagai
manusia dalam masyarakat (dignity of men as human being), kedudukan hukum, politik adalah
sama. Setiap pribadi mempunyai kesempatan sama dalam berpolitik, penegakan hukum,
pendidikan dan lain sebagainya.

Nilai persamaan yang tertanam dalam jiwa menjadi satu kontrol bahwa setiap orang harus
menghargai harkat dan martabat antara satu individu dengan individu yang lainnya. Selain itu,
memiliki kesediaan untuk bekerjasama dan menerima kenyataan bahwa nilai-nilai dan prinsip
kadangkala saling bertentangan. Kesadaran tersebut harus tumbuh dalam jiwa setiap individu
yang menginginkan terciptanya perdamaian.
3. Solidaritas

Arti kata solidaritas secara epistemologi adalah sifat satu rasa (senasib); perasaan setia kawan.
Jadi, solidaritas dapat diartikan kesediaan untuk memperhatikan kepentingan dan bekerja sama
dengan orang lain. Nilai solidaritas mengikat manusia yang sama-sama memiliki kebebasan
untuk mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Dalam kehidupan demokratis dikenal
dengan ungkapan setuju dan tidak setuju. Hal itu menunjukkan adanya prinsip solidaritas,
sebab walau berbeda pandangan atau kepentingan, para pihak tetap sepakat untuk
mempertahankan kesatuan/ikatan bersama. Solidaritas ini merupakan perekat bagi para
pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke dalam perpecahan akibat terlalu mengutamakan
kebebasan pribadi tanpa mengingat adanya persamaan hak maupun semangat kebersamaan.

Nilai solidaritas dapat menumbuhkan sikap batin dan kehendak untuk menempatkan kebaikan
bersama di atas kepentingan pribadi, mengasihi sesama dan murah hati terhadap sesama
warga masyarakat. Dengan tumbuhnya sikap tersebut, perasaan saling melindungi dan menjaga
satu sama lain akan terwujud sehingga tercipta kedamaian.

4. Toleransi

Toleransi adalah sikap atau sifat toleransi. Bersikap toleran artinya bersikap menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan dan sebagainya) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian sendiri. Dengan
demikian toleransi menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap sesuatu yang tidak
kita setujui, karena kebutuhan untuk bertoleransi akan muncul jika ada penolakan satu pihak
terhadap pihak lain. Di dalam konsep toleransi terdapat penolakan maupun kesabaran.

Masyarakat demokratis menganggap seseorang berhak memiliki pandangannya sendiri, tetapi


ia akan memegang teguh pendiriannya itu dengan cara toleran terhadap pandangan orang lain
yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya. Toleran berbeda dengan
permisif yaitu sikap memperbolehkan segala sesuatu. Nilai toleransi dapat mendorong
tumbuhnya sikap toleran terhadap keanekaragaman, sikap saling percaya dan kesediaan untuk
berkeyakinan sama antar pihak yang berbeda-beda keyakinan, prinsip, pandangan, dan
kepentingannya.

5. Menghormati Kejujuran

Kejujuran merupakan suatu sikap yang terbuka untuk menyatakan kebenaran. Kejujuran
berperan sebagai filter konflik akibat kebohongan. Kejujuran dalam menjalani hubungan
antarwarga negara sangat diperlukan bagi terbangunnya solidaritas kokoh antarwarga
masyarakat demokratis.

Begitu juga halnya dengan pemerintah harus terbuka kepada rakyat dalam segala urusan
pemerintahan kecuali yang bersifat rahasia negara. Mengingat rakyat juga mempunyai hak
untuk mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah dan bagaimana pemerintah menjalankan
tugasnya. Misalnya dalam pengambilan suatu keputusan tentang kenaikan harga BBM,
pemerintah seharusnya melakukan diskusi-diskusi bersama masyarakat tentang kebijakan yang
akan diambil. Dalam forum diskusi tersebut pemerintah dapat menyampaikan alasan-alasan
mengapa kebijakan tersebut harus ditempuh sehingga pada akhirnya keputusan tersebut tidak
menimbulkan kontroversi yang berujung pada munculnya demonstrasi tak terkendali di
beberapa daerah. Rakyat tidak akan skeptis terhadap kinerja pemerintah dan juga tidak apatis
dengan kebijakan yang diambil. Hak inilah yang disebut dengan terciptakan hubungan yang
sinergis dan mutualis antara pemerintah dengan rakyat.

Nilai menghormati kejujuran yang tertanam dalam jiwa akan menumbuhkan integritas diri,
sikap disiplin diri, dan kesetiaan pada aturan-aturan dan pada akhirnya akan terpelihara
masyarakat yang demokratis. Demokratis tanpa kejujuran adalah semu. Menghormati kejujuran
merupakan cermin persamaan pandangan akan kebenaran yang sesungguhnya. Harapannnya
adalah tercapai tujuan bersama.

6. Menghormati Penalaran

Penalaran adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela


tindakan tertentu, dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberi penalaran
akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi dan ada banyak
kemungkinan atau cara untuk mencapai tujuan. Penalaran diperlukan bagi terbangunnya
solidaritas yang kokoh dalam masyarakat demokratis. Bila pemerintah memberikan penalaran
atas kebijakan yang ditetapkan, pemerintah akan memperoleh legitimasi dari masyarakat.
Sebaliknya, jika pemerintah menolak untuk memberikan penalaran terhadap kebijakannya, hal
itu akan memperlemah wibawa pemerintah dan mendorong timbulnya sikap pasif atau
pemberontakan rakyat. Hal itu berarti komunikasi yang dijalin keduanya buruk.

Menghormati penalaran mendorong tumbuhnya keterbukaan pikiran dan sikap skeptis yang
sehat dan pengakuan terhadap sikap ambiguitas kenyataan sosial dan politik. Cakrawala
berpikir masyarakat yang positif akan mendorong timbulnya pendewasaan sosial.
7. Keadaban

Tingkat kecerdasan lahir-batin yang tinggi atau kebaikan budi pekerti merupakan substansi dari
keadaban. Perilaku yang beradab adalah perilaku yang mencerminkan penghormatan terhadap
dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain sebagaimana tercermin dari sopan santun dalam
bertindak, termasuk penggunaan bahasa tubuh dan bicara yang beradab.

Nilai keadaban akan menjadi pedoman perilaku warga negara yang menjunjung demokrasi,
yang serba santun, menguatamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, semaksimal
mungkin menghindari penggunaan kekerasan, dalam menyelesaikan persoalan bersama, dan
patuh pada norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bersama.

Bertalian dengan unsur-unsur budaya demokrasi Henry B. Mayo memberikan pandangan nilai-
nilai yang terkandung demokrasi antara lain:

a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Perselisihan yang


terjadi di masyarakat harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam
usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat

b. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang


sedang berubah. Pemerintah harus dapat menyelesaikan kebijaksanaannya kepada perubahan
sosial dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendali

c. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, bukan mengangkat diri sendiri


atau keturunan. Cara-cara pergantian kepemimpinan melalui kekerasan, mengangkat diri
sendiri, atau pewarisan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.

d. Membatasi penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Demokrasi mengutamakan


konsensus atau mufakat dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan antarwarga. Oleh
karena itu, penggunaan kekerasan sejauh mungkin harus dihindarkan

e. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, yang


tercermin dalam keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan dan tingkah laku.
Walaupun demikian, keanekaragaman itu perlu dijaga agar tidak melampaui batas karena
demokrasi juga memerlukan persatuan dan integrasi

f. Menjamin tegaknya keadilan. Keadilan yang dicapai maksimal adalah keadilan relatif
karena setiap keputusan selalu ada golongan-golongan yang merasa diperlakukan tidak adil.
Keadilan menjadi penting dalam demokrasi karena adanya mayoritas dan minoritas dalam
mekanisme pengambilan keputusan secara demokratis. Hubungan antara mayoritas dan
minoritas harus dijaga dengan baik agar demokrasi tidak berubah menjadi tirani mayoritas.
Beberapa unsur budaya demokrasi diatas dapat dijadikan pedoman pemerintah bersama
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan harapan demokrasi dapat
terwujud secara nyata dan bukan pseudo belaka karena pada dasarnya budaya demokrasi
dapat tumbuh dalam suatu negara apabila ada kerjasama yang singkat antara pemerintah dan
masyarakat.

D. Potret Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia

Berdirinya suatu negara dan terbentuknya suatu pemerintahan sebagai pelaksanaan negara
didasarkan pada tujuan untuk mencapai suatu kesejahteraan bagi para warganya. Dalam rangka
mencapai tujuan inilah, demokrasi dan varian-variannya dipandang sebagai suatu cara atau
mekanisme yang paling baik dibandingkan mekanisme lainnya, seperti otoritarianisme, fasisme,
totaliter, sentralisme dan sejenisnya. Namun, pada kenyataannya, dari seluruh negara yang
memilih untuk menerapkan sistem demokrasi ternyata mengalami tingkat kesejahteraan yang
sangat berbeda. Permasalahan-permasalahan seperti kemiskinan, pemerataan kemakmuran,
korupsi, kesejenjangan ekonomi, kesehatan yang buruk, lemahnya pendidikan, dan lain-lain
masih menjadi momok yang dialami negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang baru
belajar menerapkan demokrasi.

Dalam negara Indonesia, perkembangan demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya


mengalami pasang surut (ilustrasi) dari masa ke masa. Dalam perjalanan bangsa dan negara
Indonesia, masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya
dalam berbagai sisi kehidupan bangsa dan bernegara. Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia
telah menerapkan sekurang-kurangnya 4 (empat) model demokrasi yang saling berbeda, baik
dalam hal namanya maupun unsur-unsur pokoknya, yaitu (1) Demokrasi Liberal atau demokrasi
Parlementer (1950-1959), (2) Demokrasi Terpimpin (1959-1966), (3) Demokrasi Pancasila
(1966-1998), dan (4) Demokrasi Reformasi (1998-sekarang).

Uniknya, semua model demokrasi tersebut mengklaim sebagai model yang paling sesuai
dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan didukung oleh mayoritas elemen warga negara.
Baru ketika rezim penguasa yang menerapkan model demokrasi bersangkutan runtuh, semua
elemen warga negara tersebut berbalik dan bersama-sama berteriak bahwa model demokrasi
yang dijalankan oleh rezim penguasa terdahulu bertentangan dengan Pancasila.

Pengalaman pergantian dari model Demokrasi Liberal ke model Demokrasi Terpimpin,


kemudian dari model Demokrasi Terpimpin ke model Demokrasi Pancasila, dan akhirnya dari
model Demokrasi Pancasila ke model Demokrasi Reformasi (konstitusional) saat ini dapat
dijadikan bukti mengenai kenyataan termaksud.

Dari pengalaman sejarah pelaksanaan beberapa model demokrasi di atas, dapat kiranya
dinyatakan bahwa selama ini Pancasila sebagai ideologi negara (sumber dari segala sumber)
yang seharusnya menjadi sumber bagi penentuan model demokrasi yang akan dijalankan malah
berfungsi seperti “kunci inggris” yang dapat disesuaikan dengan semua ukuran sekrup.
Sehingga yang selama ini terjadi adalah model demokrasi (yang diterapkan) yang menentukan
pemahaman Pancasila terhadap demokrasi, bukan sebaliknya, yaitu pemahaman demokrasi
terhadap Pancasila yang menentukan model demokrasi yang harus diterapkan. Atau dapat juga
dikatakan bahwa selama ini perumusan dan penentuan atas model demokrasi yang akan
diterapkan dilakukan dari luar kerangka Pancasila, kemudian Pancasila “dipaksakan” untuk
memahami demokrasi berdasarkan model demokrasi yang diterapkan tersebut.

Oleh karena itu, agar dapat memberikan pemahaman yang utuh, komprehensif dan holistik
berkaitan dengan kejelasan konsep demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berikut
ini akan dijelaskan perjalanan demokrasi dalam bingkai sejarah ketatanegaraan Indonesia.

1. Perjalanan Demokrasi Terpimpin (1945 – 1959)

Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebuatan demokrasi parlementer. Implementasinya
sistem parlementer yang mulai berlaku sejak sebulan sesudah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950
ternyata tidak cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi
musuh bersama tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah
kemerdekaan. Lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk
dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer yang badan


elsekutifnya terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head)
beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena itu, kedudukan
presiden hanya sebagai simbol yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung karena
kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri. Di samping itu, karena ada fragmentasi
partai-partai politik, kabinet pada masa itu jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang
dibangun dengan sangat gampang pecah dan kemudian mengakibatkan destabilisasi politik
nasional.

Selain itu, dalam sistem demokrasi parlementer pada saat itu terdapat beberapa kekuatan
sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realitis dalam konstelasi
politik nasional, padahal mereka merupakan kekuatan paling penting, yaitu seorang presiden
yang tidak mau bertindak sebagai rubber stamp president (presiden yang membubuhi cap
belaka) dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia pada umumnya.

Faktor-faktor tersebut, dan ditambah ketidakmampuan para anggota partai-partai yang


tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk
undang-undang dasar yang baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar
1945. Pada masa inilah sistem demokrasi parlementer berakhir.

2. Perjalanan Demokrasi Parlementer (1959 – 1965)

Selama kurun waktu 1956 hingga 1958, pemerintahan dalam sistem demokrasi parlementer
yang didukung luas oleh sipil mendapat tantangan yang semakin mengancam keberadaannya.
Berakhirnya Kabinet Ali II dan perdebatan panas yang tak kunjung usai di dalam Majelis
Konstituante, khususnya mengenai dasar negara, melahirkan situasi politik yang tidak menentu.
Selain itu, kekacauan sistem kepartaian pada masa demokrasi parlementer di Indonesia
mempunyai kesamaan dengan kekacauan dalam sistem multipartai di negara mana pun di
dunia. Hampir semua partai politik, baik besar maupun kecil, merasa memikul tanggung jawab
untuk mengontrol pemerintahan dengan cara berkoalisi. Sistem kepartaian dalam demokrasi
parlementer tidak mampu mengatasi konflik politik yang terjadi dalam tubuhnya sendiri.

Ciri demokrasi pada periode ini kemudian kita kenal dengan demokrasi terpimpin karena dalam
hal ini dominasi presiden menjadi hal yang utama dalam menjalankan sistem pemerintahan.
Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua: Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
demokrasi terpimpin menurut Ir. Soekarno pada saat setelah mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959?
Dalam amanahnya, Soekarno sebenarnya telah menyebutkan tidak kurang dari 12 definisi
tentang demokrasi terpimpin, antara lain: “(1) Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau
menurut istilah Undang-Undang Dasar 1945” kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”; (2) Demokrasi Terpimpin bukanlah
diktator, berlainan dengan demokrasi sentralisme, dan berbeda pula dengan demokrasi liberal
yang dipraktikkan selama ini; (3) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan
kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia; (4) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di
segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan; (5) Inti dari pimpinan dalam demokrasi terpimpin
adalah permusyawaratan; (6) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang
membangun diharuskan dalam alam demokrasi terpimpin; (7) Demokrasi Terpimpin adalah
alat, bukan tujuan; dan (8) Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin adalah mencapai suatu
masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spritual.”

Dengan kata lain sistem demokrasi terpimpin harus menjadi alat rakyat untuk mengatasi dan
keluar dari kemelut kesemrawutan perpolitikan Indonesia, alat rakyat untuk mencapai tujuan
rakyat, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur. Rakyat bukan alat demokrasi. Karena itu,
menurut Soekarno, demokrasi terpimpin tidak menitikberatkan pada “satu orang sama dengan
satu suara”, tetapi pada: (a) tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan
umum, berbakti kepada masyarakat, berbakti kepada bangsa, berbakti kepada negara; dan (b)
tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa dan
negara itu.

Pemaparan Soekarno di atas menyebutkan bahwa demokrasi terpimpin bukan produk barat,
tetapi demokrasi Timur yang sejalan dengan kepribadian dan jiwa bangsa Indonesia. Demokrasi
terpimpin sesuai dan cocok dengan masyarakat Indonesia yang masih tradisional, setengah
feodal, berpendidikan rendah, bahkan masih buta huruf. Demokrasi ini didasarkan pada asas
gotong royong, yang berasal dari demokrasi peninggalan nenek moyang di Indonesia.

A. Syafi”i Ma”arif, sebagaimana dikutip oleh Tim ICCE UIN Jakarta, mengatakan bahwa sistem
demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam keluarga
besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Berdasarkan
hal tersebut, istilah demokrasi terpimpin dapat disebut pula dengan demokrasi kekeluargaan.
Dengan demikian kekeliruan yang sangat besar dalam sistem demokrasi terpimpin Soekarno
adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yaitu absolutisme dan pemusatan
kekuasaan pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan checks and balances
dari legislatif terhadap eksekutif.

3. Perjalanan Demokrasi Pancasila (1965 – 1998)

Sistem demokrasi periode orde baru lazim kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila. Landasan
formal sistem Demokrasi Pancasila adalah Undang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-
ketetapan MPRS dalam sistem Demokrasi Pancasila ini. Pancasila merupakan bagian dari
ideologi dan asas tunggal. Awal mula lahirnya Demokrasi Pancasila ini adalah ketika muncul
pertentangan dan suhu konflik politik semakin meninggi serta tidak terkendali. Akhirnya,
muncul kudeta PKI yang gagal pada 30 September 1965, dan pada masa itu pula kekuasaan
Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berakhir. Pucuk tertinggi kekuasaan Indonesia
berpindah dari Soekarno ke tangan Soeharto melalui sebuah surat yang dalam sejarah
Indonesia disebut Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Entah benar atau tidak (cetak
miring dari penulis). Soeharto mulai berkuasa dan memerintah dengan tekad memperbaiki
kesalahan dan kekeliruan yang terjadi pada kedua sistem politik terdahulu, yang berlangsung
pada masa-masa kekuasaan Soekarno: demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.

Istilah Demokrasi Pancasila muncul secara resmi pada tahun 1968, tiga tahun setelah peristiwa
30S/PKI. Istilah itu kemudian disahkan melalui ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968. Namun
ketetapan ini tidak menjelaskan secara terperinci bagaimana sebenarnya esensi dan
mekanisme pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Ketetapan ini hanya memaparkan dan
menjelaskan mekanisme pembuatan keputusan melalui musyawarah dan mufakat. Bahkan
konsep operasional demokrasi Pancasila secara resmi tidak pernah dijelaskan sepenuhnya.
Konsep operasional Demokrasi Pancasila sebenarnya pernah diusulkan menjadi agenda Sidang
Umum MPR 1993, tetapi kemudian usulan itu ditolak.

Disisi lain, pemerintahan orde baru belum memiliki konsep operasional demokrasi Pancasila
yang telah diterapkan dalam lembaga legislatif. Namun, para pemimpin bangsa ini telah
mengemukakan dan merumuskan pemikiran-pemikiran dalam beberapa tulisan. Seperti yang
diungkapkan oleh soepomo, konsep dan mekanisme demokrasi Pancasila cenderung bersifat
filosofis ketimbang petunjuk operasional, dalam sidang BPUPKI. Dokumen sejarah ini
sebenarnya juga dapat dijadikan rujukan tetap konsep dan mekanisme Demokrasi Pancasila.

Dokumen sejarah lainnya tertuang dalam GBHN 1993, yang menyebutkan bahwa demokrasi
Pancasila dijadikan salah satu dasar pembangunan nasional. Mekanisme dasar demokrasi
Pancasila dilandaskan pada sistem pemerintahan yang lebih ditetapkan dalam UUD 1945, yang
masih bersifat umum dan tidak terurai secara terperinci.

Usaha perumusan tentang demokrasi Pancasila sebenarnya telah banyak diupayakan dan
dilakukan di beberapa forum formal, antara lain Seminar Angkatan Darat II pada Agustus 1966
dan Musyawarah Nasional II Persahi: The Rule of Law pada Desember 1966. Simposium Hak-
hak Asasi Manusia, pada Juni 1967, misalnya, merusmuskan bahwa “Demokrasi Pancasila,
dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penetapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan
dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat rezim Nasakom
sangat menderita dan menjadi korban, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan
sehingga menjadi suatu “political culture” yang penuh vitalitas. Harus ditekankan bahwa
dengan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada peranan ABRI, Kesatuan Aksi dan
Golongan Karya dimasa depan, namun “orde baru” tidak akan dapat berhasil apabila tidak
timbul suatu proses penyehatan atau regenerasi dalam kepartaian Indonesia”.

Penguasa orde baru sejak awal memang berkeinginan untuk melaksanakan demokrasi Pancasila
secara murni, yaitu sesuai dengan tuntutan dan ketentuan UUD 1945. Rezim orde baru sudah
menetapkan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila. Namun upaya untuk mewujudkan
keinginannya itu sama sekali tidak mudah. Menyadari kesulitan yang akan dialami, rezim orde
baru memilih strategi untuk merampungkan proses dan langkah pemurnian itu secara
bertahap. Dan tahapan yang dijalani oleh orde baru adalah menjadikan dan merumuskan
Pancasila sebagai ideologi. Ideologi Pancasila bersumber pada cara pandang integralistik
(Indonesia) yang mengutamakan gagasan tentang negara yang bersifat persatuan. Ideologi
Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai tentang gagasan-gagasan yang mendasar,
dilandaskan pada pandangan hidup bangsa, Pancasila, merupakan jawaban atas perlunya
falsafah dasar NKRI.

Pancasila kemudian diformalkan menjadi satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan sosial
politik dan organisasi keagamaan kemaksyarakatan lainnya. Proses penerapan Pancasila
sebagai asas tunggal sebenarnya telah didahului dengan pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila, yang lazim kita kenal dengan sebutan P4. Hal ini diatur melalui
ketentuan Tap MPR Nomor 4/1978. Pancasila mulai disosialisasikan dan dimasyarakatkan lebih
efektif melalui pelaksanaan P4. Tahapan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya
penggunaan ideologi lain selain Pancasila.

Dengan demikian, secara umum dapat dijelaskan bahwa watak Demokrasi Pancasila tidak
berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena Demokrasi Pancasila memandang
kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang
sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama bagi semua
rakyat. Untuk itu, pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara
dalam menjalankan hak politik.

Namun demikian, selama rezim orde baru berkuasa, demokrasi dalam pengertian normatif
maupun empirik tidak pernah sejalan. Pengalaman selama 30 tahun lebih era orde baru tidak
menunjukkan bahwa pelaksanaan Demokrasi Pancasila sesuai dengan nilai-nilai di dalamnya
dan masih agak jauh dari kenyataan. Selama ini, Demokrasi Pancasila hanya merupakan slogan
kosong atau retorika dan gagasan yang belum sampai pada tataran praksis atau penerapan.
Meminjam istilah Idris Thaha, rezim orde baru telah menciderai bahkan membonsai demokrasi
karena antara yang disemboyankan dan yang dipraktikkan berbeda sangat jauh. Pohon
demokrasi yang ditanam kedua pemimpin ini tidak tumbuh subur, malah mati secara perlahan-
lahan. Dengan kata lain, pemimpin nasional gagal mewujudkan dan membangun negara yang
demokratis. Demokrasi Pancasila dan demokrasi lainnya di Indonesia terbukti amburadul dan
masyarakat hanya menjadi “tumbal” sistem demokrasi yang berjalan tidak sebagaimana
mestinya.

Oleh karena itu, praktik Demokrasi Pancasila yang berlangsung sepanjang orde baru
dikendalikan secara sentralistik oleh kontrol kekuasaan rezim Soeharto. Soeharto berhasil
menjadikan Demokrasi Pancasila sebagai “alat” untuk mengkristalisasikan kekuasaannya
semata.soeharto memimpin pelaksanaan Demokrasi Pancasila secara sentralistik. Kekuatan
yang sentralistik dan mempersonal inilah yang melanggengkan tegaknya “Demokrasi Terpimpin
Konstitusional” ala Soeharto, yang disebutnya dengan Demokrasi Pancasila. Soeharto dan
rezimnya benar-benar menjadi penghambat dan penghalang tegaknya sistem demokrasi yang
dibangun dan dibuatnya sendiri. Orde baru benar-benar tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah rezim pemerintahan yang sangat kuat. Selama tiga dasawarsa berada di tampuk
kekuasaan, ia telah berkembang menjadi kekuatan raksasa “leviatan” sosial budaya, ekonomi,
dan diatas semua itu politik, dengan demokrasi Pancasilanya. Dengan kata lain, sistem
demokrasi Pancasila ala-Soeharto belum juga dapat ditegakkan secara utuh dan komprehensif.

4. Perjalanan Demokrasi Transisi 1998-sekarang

Pada Kamis, 21 Mei 1998, pukul 09.00, Presiden Soeharto mengucapkan kalimat-kalimat
bersejarah yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional di Istana Negara: “Saya
memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak
saya bacakan pernyataan ini pada hari ini.....”. Pernyataan itu dibacakan Soeharto setelah 72
hari ia dilantik menjadi Presiden RI untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 11
Maret 1988.

Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi
di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan
tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang
kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan dibangun.
Selain itu, dalam fase ini pula, bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan negara
yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoritarian sebagaimana yang terjadi
pada masa periode orde lama dan orde baru.

Indonesia pasca-Soeharto sedang berada dalam masa-masa transisi. Yang dimaksud dengan
transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim politik lainnya.
Transisi selalu dibatasi oleh permulaan proses sebuah rezim otoritarian dan diakhiri oleh
berbagai bentuk rezim yang tidak tunggal yaitu pengesahan beberapa bentuk demokrasi,
kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif
revolusioner.

Salah satu ciri penting dari sistem pemerintahan transisi adalah bahwa selama masa selang
waktu itu aturan main politik sama sekali tidak menentu, dan bahkan aturan main
dipertarungkan secara sengit diantara para pelaku politik. Masing-masing pelaku politik yang
berjuang dalam pertarungan itu berusaha memuaskan kepentingan pribadi sesaat atau
kepentingan orang lain. Dengan kata lain, transisi merupakan masa-masa ketidakpastian
sebuah aturan yang selalu berubah, yang disertai pertarungan antarpelaku politik sesuai
dengan kepentingannya. Biasanya para penguasa otoriter memodifikasi peraturan-peraturan
politik untuk menjamin hak-hak individu dan kelompok, dan kemudian mereka
mentransformasikan dirinya ke dalam bentuk demokrasi. Inilah yang disebut dengan
demokratisasi.

Sukses atau gagalnya transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci: (1)
komposisi elit politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur politik atau perubahan sikap terhadap
politik dikalangan elit dan non elit, dan (4) peran civil society (masyarakat madani). Keempat
faktor itu harus berjalan secara sinergis dan berkelanjutan sebagai modal untuk
mengkonsolidasikan demokrasi. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra, langkah
yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya
mencakup reformasi dalam tiga bidang besar. Pertama, reformasi sistem konstitusi
(constitutional reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan
perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institutional reform and
empowerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik.
Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis.

Indikasi ke arah terwujudnya kehidupan demokratis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia


yang mengalami masa transisi menuju demokrasi di Indonesia, antara lain reposisi dan
redefinisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kaitannya dengan keberadaan pada sebuah
negara demokrasi, pemilihan Presiden secara langsung menjadi salah satu indikator bahwa
dalam sistem ketatanegaraan ini telah mengarah kepada suatu perwujudan demokrasi,
amandemen pasal-pasal dalam konstitusi negara RI (Amandemen I-IV), kebebasan pers,
kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. Tetapi sampai saat ini masih dijumpai indikasi
kembalinya kekuasaan status quo yang ingin memutarbalikkan arah demokrasi Indonesia
kembali ke periode sebelum orde reformasi.

Kondisi transisi demokrasi Indonesia saat ini masih berada di persimpangan jalan yang belum
jelas arah pelabuhannya. Perubahan sistem politik melalui paket amandemen konstitusi
(amandemen I-IV) dan pembuatan paket perundang-undangan politik (UU Partai Politik, UU
Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD dan
DPD) belum mampu mengawal transisi menuju demokrasi, dan hal ini masih menjadi
pertanyaan besar. Sampai saat ini substansi demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
baik secara praksis maupun secara konseptual masih belum mampu mengangkat dan
memperbaiki keterpurukan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (kalau tidak mau
dikatakan sama sekali belum terbangun dan terwujud).

NASIONALISME
Nasionalisme “natie;nation adalah masyarakat yang bentuknya diajukan sejarah. Kesatuan
bahasa adalah salah satu sifat dari nation,begitu juga kesatuan daerah. Selanjutnya sifat-sifat
yang lain dari suat nation adalah kesatuan hidup ekonomis, hubungan ekonomi, kesatuan
keadaan jiwa yang terlukis dari kesatuan kebudayaan”.

Nasional kesadaran diri yang meningkat dan yang diajukan oleh kecintaan yang melimpah pada
negeri dan bangsa sendiri, kadang-kadang disertai akibat mengecilkan arti bangsa-bangsa lain.

Pengertian diatas hanya merupakan salah satu contoh dari berbagai makna istilah termasuk
yang pernah dikemukakan dari sudut pandang ilmu tertentu. Berikut ini adalah definisi
nasionalisme menurut beberapa ahli:

1. Ernest Renan

Menurut renan bangsa adalah jiwa,suatu atas kerohanian. Suatu jiwa yang menimbulkan asas
kerohanian itu antara lain: pertama, kemulian dimasa lampau, yang dari aspek ini bangsa dapat
disebut sebagai suatu hasil histori; kedua, keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang,
jadi merupakan suatu persetujuan atau solidaritas besar dalam bentuk tetap mempergunakan
warisan dari masa lampau tersebut bagi waktu sekarang dan seterusnya.

Dasar dari paham kebangsaan,bekal bagi berdirinya suatu bangsa adalah suatu kejayaan
bersama pada masa lampau, dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-
kemenangan. Kenangan-kenangan nasional pendertiaan atau kesengsaraan lebih berpengaruh
daripada kejayaan. Ingatan pada penderitaan-penderitaan yang dialami inilah yang menjadi
cambuk bagi suatu bangsa untuk membela bangsanya dari tekanan-tekanan luar, sehingga
timbul usaha bersama.

Renan berpendapat bahwa syarat mutlak suatu bangsa yakni plebsit setiap hari yaitu suatu hal
yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang yang mengandung hasrat untuk
hidup bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan. Apabila warga suatu bangsa
bersedia memberikan pengorbanan bagi eksitansi bangsanya, maka bangsa tersebut akan tetap
bersatu dan hidup terus, bila bangsa tidak bangsa tersebut akan terpecah-belah. Bagi Renan,
manusia bukan budak dari keturunannya atau rasnya, bahasanya, agamanya, atau tempat
tinggalnya. Bangsa adalah suatu kesadaran moral.

Menurut analisis pendapat Renan tersebut dapat dibenarkan karena pada dasarnya setiap
individu mempunyai hak sejak lahir, jadi mereka dapat menentukan nasibnya sendiri, meskipun
tidak dipungkiri jika agama dan keturunan mempengaruhinya. Apabalia suatu bangsa dibentuk
berdasarkan suatu paksaan bukan kesadaran dari individu tersebut, maka pertahanan atau
keutuhan bangsa itu akan mudah roboh. Bukankah suatu bangsa adalah apabila manusia yang
ada didalamnya mencintai apa yang telah mereka bentuk. Beberapa penganut Renan antara
lain:

• Lothrop Storddard

Nasionalisme adalah keadaan rohani yakni suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah orang
yang memiliki rasa kebangsaan (nationality) suatu perasaan tergolong bersama-sama menjadi
bangsa. Nationalisme is a belief, head by a fairly large number of individual that they constitute
a nasionality; it is a sense of belonging together as a nation.

• Prof Snouck Hurgronje

Dalam bukunya Nederland En De Islam menghendaki agar atas dasar “le desir de vivre ensenble
bangsa Belanda dan Indonesia secara berangsur-angsur dapat menjadi suatu bangsa, pada
dasarnya juga dapat digolongkan sebagai pengikut teori ini.

2. Otto Bouer

Otto Bouer adalah seorang tokoh partai sosial demokrat berkebangsaan Austria. Pada tahun
1907 dalam menjawab persoalan was isi eine nation beliau mengemukakan eine nation ist eine
aus shicksalsgemein scaft erwachsene charactergemeinscaft. Suatu bangsa adalah suatu
masyarakat ketertiban yang muncul dari perasaan senasib atau dengan perkataan singkat
bangsa adalah satu kesamaan peragai/karakter yang timbul karena kesamaan
nasib/pengalaman.

3. Rudolf Kjellen

Sesuatu bangsa dapat dianggap mulai sadar sebagai suatu bangsa apabila para warga bangsa
tersebut bersumpah pada dirinya sendiri seperti yang dilakukan oleh bangsa Swiss waktu
mendirikan persekutuan. Sesuatu bangsa dapat dianggap sudah mulai dewasa apabila setiap
warga bangsa tersebut dapat berkesadaran termasuk dalam suatu berkepribadian yang
berderajat lebih tinggi dan lebih besar. Dengan demikian timbul kesadaran suatu bangsa untuk
mengurus nasibnya sendiri dalam bentuk keinginan untuk hidup bernegara sendiri (nationale
staat) yang merdeka. Dengan hidup bernegara ini proses yang terjadi dalam bangsa tersebut
berubah menjadi proses politik.

4. Hans Kohn
Dalam bukunya yang berjudul ”Nasionalisme arti dan sejarahnya” memberi pengertian
nasionalisme adalah suatu paham bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada
negara kebangsaan.

5. Arif Budiman

Nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah
yang sama, bahasa yang sama dan pengalaman yang sama.

6. Adolf Heukent

Nasionalisme sebagai pandangan yang berpusat pada bangsanya. Menurutnya, kata


nasionalisme mempunyai dua arti. Dalam arti nasionlaistis merupakan suatu sikap keterlaluan,
sempit, dan sombong. Sikap nasionalistis merupakan tidak menghargai orang lain seperti
semsetinya. Apa yang menguntungkan bangsa sendiri dianggap benar begitu saja, meskipun hal
itu akan menginjak-injak hak dan kepentingan bangsa lain. Dengan demikian nasionalisme ini
justru mencerai-beraikan bangsa satu dengan bangsa lain. Bukan sikap yang mempersatukan
bangsa. Analisis menulis sikap yang demikian adalah rasa cinta yang panatis berlebihan
sehingga tidak menghiraukan yang lain.

Berbeda dengan pengertian nasionalisme positif yakni sikap yang memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan serta harga diri bangsa sekaligus menghormati bangsa lain.
Sikap yang demikian menjadi alat pemersatu bangsa yang menjemuk (perbedaan ras, suku,
agama). Selain sikap nasionlisme positif berfungsi untuk membina rasa identitas, kebersamaan
dalam negara serta bermanfaat untuk mengisi kemerdekaan yang diperoleh.

7. Lyman Tower Sargent

Satu ungkapan perasaan yang kuat dan merupakan usaha pembelaan daerah atau bangsa
melawan pengusaha luar. Identitas yang menjadi cirri khas adalah menampakkan identitas
masa lalu, suatu sejarah nenek moyang, akar yang menampakan diri dalam suatu tradsi
(sebagai suatu proses peneguran,perpaduan) dari suatu daerah, sejarah, bangsa dan agama.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang nasionalisme tersebut diatas, penulis dapat
mengambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nasionlisme adalah suatu paham
yang mengikat sebagian umat manusia dengan tali solidaritas sekaligus menciptakan atau
mempertegas garis pemisah antara imagined comunity yang baru dengan siapa saja yang
dikhayalkan sesuai batasnya. Dalam tataran praktis tumbuhnya rasa kebangasaan dan cinta
tanah air dalam diri indivudu atau kelompok nasionalisme dipengaruhi oleh faktor pendorong.
C. Sebab Timbulnya Nasionalisme

Timbulnya nasionalisme bukan merupakan peristiwa yang terjadi tanpa sebab, kebangkitan
nasional Indonesia ditandai oleh berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei dan sampai saat
ini selalu diperingati setiap tahun sebagai hari kebangkitan. Kebangkitan nasional dipengaruhi
oleh dua faktor pendorong, yakni yang bersifat intern dalam arti bahwa secara langsung dialami
atau menimpa rakyat Indonesia dan yang bersifat ekstern adalah segala sesuatu yang secara
tidak langsung mempengaruhi warga bangsa Indonesia atau berbagai kejadian ditempat lain
yang secara fisik maupun spisikis pendorong terjadinya kebangkitan tersebut.

Adapun faktor yang berasal dari dalam bangsa Indonesia yaitu segala bentuk kejadian atau
peristiwa yang dialami bangsa Indonesia. Ditelistik lebih jauh sejarah menunjukkan jika bangsa
Indonesia selama masa penjajahan mengalami nasib sangat buruk. Seperti diketahui isi pidato
Ratu Belanda pada tahun 1902 antara lain telah menegaskan akan dibentuknya sebuah panitia
kemunduran kesejahteraan untuk menyelidiki penyebab kemunduran. Menurut penyelidikan
panitia ini sebab-sebabnya adalah:

1. Penduduk Jawa perkembangan sangat pesat. Kalau pada tahun 1815 kira-kira baru lima
juta, ternyata pada akhir abab ke-19 meningkat menjadi sekitar 30 juta jiwa. Karena tidak ada
usaha bagi ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Khususnya tanaman padi, maka hal
tersebut menimbulkan tidak adanya keseimbangan

2. Penduduk masih tetap dibebani berbagai jenis tanaman paksa dan kerja rodi seperti
pada zaman VOC, sehingga semangat untuk berkerja keras menjadi hilang

3. Pada saat itu pemerintah kolonial belum benar-benar berkuasa diluar pulau Jawa. Diluar
pulau Jawa perkebunan yang berguna bagi kelangsungan negara hanya di Deli saja sehingga
beban penduduk di pulau Jawa semakin bertambah

4. Banyak perkebunan besar yang tidak membayar pajak. Pajak pendapatan dari pegawai
pemerintah kolonialpun tidak besar, sebaliknya para petani dan penduduk pribumi mendapat
beban pajak yang sangat besar

5. Pemasaran gula tebu di Eropa mulai tersaingi oleh gula bit, yang mulai ditanam di
berbagai negara yang berada di benua Eropa, oleh karena itu harga gula, kopi mulai merosot.
Karena pendapatannya berkurang maka para pengusaha perkebunan melakukan penghematan
dengan cara menurunkan upah buruh dan menurunkan sewa tanah, bahkan banyak pula buruh
dilepas sehingga pengangguran bertambah dan kemiskinan penduduk semakin meningkat lagi.
Kenyataan diatas mengakibatkan merosotnya keadaan sosial-ekonomi penduduk, sehingga
hampir tak tetanggung lagi. Semua ini dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing
sehingga sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mengakhiri penderitaan.

Pelaksanaan politik etis sebagai akibat dari adanya gerakan politik kemunduran kemakmuran
yang dilancarkan parlement negara induk sejak awal abab ke 20 mengakibatkan mulai adanya
perubahan seperti:

• Diterapkannya politik desentralisasi

• Adanya otonomi bagi Hindia-Belanda dalam hubungannya dengan negara induk,


khususnya dalam status sebagai badan hukum

• Praktikkannya pemisahan anggaran belanja antara Hindia-Belanda dan anggaran belanja


dari negara induk

Selain dalam bidang kesejahteraan social (pangan) dan politik pada masa penjajahan juga
terdapat pembedaan jenis sekolah. Tidak semua warga Hindia-Belanda diperbolehkan sekolah.
Selanjutnya, faktor-faktor historis yang membangkitkan nasionalisme Indonesia dimasa lalu.
Nasionalime Indonesia, seperti dikemukakan diatas meskipun memiliki kaitan erat dengan
kemunculan gagasan nasionalisme dan negara bangsa di Eropa bukanlah berarti dengan begitu
mudah kita mempersamakan kedua ritus nasionalisme. Sebab, kekuatan-kekuatan sejarah yang
membangkitkan tumbuhnya nasionalisme Indonesia, pada segi-segi tertentu, berbeda-beda
dengan kekuatan sejarah yang membidangi lahirnya nasionalisme Eropa.

Nasionalisme Indonesia bangkit dalam konteks histori nasionalisme Indonesia yang unik, dan
keunikan itu semakin transparans bila nasionalisme Indonesia itu dibandingkan dengan
nasionalisme Filipina, Malaysia dan negara Afrika.

Kahin menjelaskan beberapa kekuatan sejarah yang membangkitkan nasionalisme kita.


Pertama adalah agama Islam. Islam sebagai agama mayoritas menjadikan nasionalisme
Indonesia unik bila dibandingkan dengan nasionalisme barat. Seperti dikatakan diatas, dibarat
nasionalisme tumbuh karena terjadinya pertarungan antara kaisar dengan kekuasaan gereja,
sementara di Indonesia nasionalisme pada segi-segi tertentu, justru merupakan produk ritus ke
Islaman. Dalam bahasa kahin, nasionalisme Indonesia tidak lain merupakan suatu produk
homogenitas keagamaan yang ditanamkan Islam karena ia merupakan agama mayoritas
Indonesia.

Begitu eratnya kaitan Islam dengan rasa kebangsaan, gambaran tentang perjuangan dimasa-
masa awal pergerakan nasional tidak lain adalah pribumi muslim. Islam menjelaskan posisi
sosial seseorang, apakah ia seorang nasionalis atau bukan. Fungsi identifikasi nasionalistik itu
mirip dengan apa yang terjadi di Malaysia. Mereka yang non muslim, bagaimanapun loyalitas
mereka kepada bangsa, tetap sulit di identifikasi atau diakui sebagai bangsa Melayu maka,cara
terbaik untuk bisa di identifikasi sebagai bangsa Melayu adalah dengan menjadi seorang
muslim. Agama Islam menjadi simbol perlawanan pribumi terhadap kolonialisme Belanda
selama berbad-abad. Kehadiran Islam dalam wacana politik zaman penjajahan memperjelaskan
identifikasi diri (self identification) tentang siapa yang pejuang, penjajah atau pengikut-
pengikutnya. Dalam perang Aceh, penjajah Belanda di identifikasi sebagai kafir dan harus
diperangi.

Shouck Hurgronye berpendapat bahwa berkegigihan rakyat Aceh secara terus-menerus


memerangi Belanda tidaklah semata-mata karena alasan politik bahwa Belanda adalah penjajah
melainkan juga karena mereka adalah orang-orang kafir yang wajib diperangi. Jadi perlawanan
rakyat Aceh memiliki dasar teologis yang kokoh. Dalam konteks inilah konsep jihad (dalam
makna khusus perang suci) memilki pengorbanan khusus dalam mengorbankan semangat anti
kafir Belanda. Karena itu tidak mengherankan, menurut Herbert Feith dan Lance Castle
berbagai gerakan anti penindasan kolonialis di Indonesia digerakan oleh Ruh Jihad Islam.

Sejarah mencatat agama Islam juga memberikan basis ideologis yang kokoh bagi terbentuknya
organisasi-organisasi nasionalis perintis kemerdekaan seperti serekat Islam, Muhammadyah
dan Nahdatul Ulama yang menurut nieuwenhuijz merupakan organisasi yang sangat kuat
mengidentifikasi Islam dengan nasionalisme Indonesia yang merdeka dari penjajahan kolonial.

Kedua, kebangkitan nasional Indonesia juga karena adanya bahasa Melayu, dengan ditetapkan
bahasa Melayu sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober ia telah menjadi perekat ikatan batin
rakyat Indonesia. Bahwa persatuan itu telah berhasil mendobrak sentimen-sentimen parokhial
dalam nasionalisme Indonesia. Penggunaan bahasa Melayu dalam bahasa sehari-hari menjadi
sebuah senjata bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan Belanda. Hemat penulis, hal ini
didasarkan pada persamaan bahasa yang dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan saling
memiliki. Perasaan ini mendorong setiap orang untuk menjadi bagian dari orang lain yang
integral.

Pembodohan yang dilakukan Belanda melalui jalur bahasa ternyata menghasilkan semangat
nasionalisme. Bahasa Belanda yang peruntukkan orang-orang Belanda diharapkan
menimbulkan perasaan rendah dari bangsa Indonesia. Dengan cara itu Belanda telah
mempolitisasi bahasa sebagai senjata politik untuk mempertahankan struktur kekuasaan
kolonial diatas kebodohan dan kedugaan serta perasaan rendah diri Inlanders. Pemerintah
kolonial tahu bahwa penggunaan bahasa Belanda oleh rakyat jajahan akan menghilangkan
perasaan interioritas mereka dan itu tentu saja dihindari. Cara itu juga dimasukkan agar rakyat
jajahan terisolir dari dunia luar tetapi pemerintahan kolonial tidak menyadari akibat politisasi
bahasa itu. Pelarangan itu ternyata justru berakibat buruk. Kaum pergerakan nasionalis
kemudian menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan menjadikan senjata ampuh
melawan pemerintahan Belanda. Ritus kebesaran masa lampau Indonesia (the glory of the
past) merupakan kekuatan sejarah yang membangkitkan etos nasionalisme Indonesia. Fundasi
nasionalisme Indonesia sedemikian tokoh karena negara ini memiliki zaman keemasan dan
kebesaran dimasa lampau. Dizamannya, Singasari pernah meluluhlantakkan ambisi
amperialistik khublaikahan untuk menaklukkan tanah Jawa pada abad ke 13. Kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya mencakup hampir seluruh kepulauan nusantara, laut cina selatan, sebagian
daerah India dan berhasil keluar sebagai pemenang dalam perang melawan Kerajaan Kamboja
serta menjadi pusat internasional study agama budha kerajaan lain, Majapahit selain mengusai
hampir seluruh nusantara dan sebagian tanah melayu juga berhasil membangun sistem
pemerintahan yang stabil,kuat dan disegani kerjaan-kerajaan di asia tenggara. Kebesaran dan
zaman keemasan Indonesia masa lampau itu tercatat dalam monumen-monumen historis,
diantaranya candi borobudur yang dibangun dinasti syailendra pada abad 9 M. Ukiran,
urnamen, konstruksi bangunan dan relief candi ini amat mengagumkan. Sejarahwan Belanda
terkemuka, Vlekke menghitung terhadap sekitar kurang lebih 400 arca, dan ukiran serta relief
menghiasi dinding dan teras-teras candi. Berdasarkan pengamatan arkeologis historisnya atas
kemegahan candi ini, Vlekke berkesimpulan bahwa mataram di zaman syailendra pastilah
merupakan kerajaan yang kaya dan makmur, memilki penguasaan yang kuat dan disegani,
kebudayaan dan berbagai karya kesenian dan lain-lain.

Kaum nasionalis pejuang seperti Soekarno, Hatta, Nazer Pamunjak, Sutomo, Sharir dan lain-lain
menyadari benar makna simbolik kebesaran masa lampau itu untuk dijadikan kekuatan
penggerak kebangkitan nasionalisme. Untuk membangkitkan rasa percaya diri sebagai suatu
bangsa yang besar, Soekarno kerap mengungkapkan kebesaran Indonesia zaman kerajaan
Majapahit abad ke 13. Obsesi Soekarno akan persatuan dan kesatuan nasional juga tidak bisa
dilepaskan dari kebesaran dan keemasan Nusantara masa lampau itu. Bagi Soekarno zaman
keemasan itu menjadi kredosentral nasionalismenya. Vlekke juga mengungkapkan ketika tokoh-
tokoh nasionalisme itu diadili kolonial Belanda, mereka membuat pembelaan dengan
menggunakan fakta-fakta sejarah zaman kebesaran dan keemasan masa lampau itu. Dipengadili
mereka mengejek hakim-hakim Belanda dengan menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia
pada masa lampau. Dengan bangsa pejuang nasionalis mengatakan bahwa ketika candi
borobudur dibangun pada abad ke 9, pada kurun yang sama bangsa Belanda masih merupakan
bangsa yang liar. Masih menjadi bangsa bar-bar, belum beradad (uncivilized), bangsa Belanda
masih tinggal di gua-gua dan masih membunuh sesamanya.

Selain faktor-faktor diatas, kebangkitan nasionlisme juga terjadi karena pengaruh internasional.
Kemunculan nasionalisme Indonesia sangat dipengaruhi oleh kemenangan Jepang atas Rusia
pada tahun 1905. Dengan kemenangan itu, bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia kembali
memperoleh rasa percaya diri. Kemenangan itu melebur mitos keunggulan ras Barat atas ras
Asia. Keberhasilan modernisasi Jepang yang dilakukan sejak restorasi meiji semakin
memperkokoh percaya diri itu. Juga gerakan-gerakan politik nasionalis radikal Eropa yang
menuntut kemerdekaan seperti yang terjadi di Polandia, Cekozlowakia, Findlandia dan negara-
negara Balltik, pada awal abad ke 20. Dinegara-negara itu kaum nasionalis berhasil melawan
kolonialisme dan imperialisme dan membentuk negara-negara merdeka. Peristiwa bersejarah
ini berpengaruh terhadap mahasiswa Indonesia (misalnya Hatta, Sutomo, Natsir Pamunjak dan
Syharir) yang sedang belajar di Eropa, terutama di Belanda. Ketika mereka kembali ke
Indonesia, setelah menyelesaikan study-nya, gerakan-gerakan anti kolonialisme Eropa itu
memberikan inspirasi bagi mereka untuk membangkitkan perasaan nasionalisme dan
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Melihat fakta sejarah nasionalisme bangsa Indonesia pada masa penjajahan sudah selayaknya
bangsa Indonesia berbangga dan berhati besar atas perjuangan dimasa lampau. Sejarah
bukanlah hiasan atau sekadar peringatan seremonial semata. Namun tongkat estafet sejarah
tetap berjalan dan harus dilanjutkan dengan segudang prestasi dikanca nasional maupun
internasional degadrasi nasionalisme yang sekarang ini dirasakan munculnya egoisme,
hedonisme dan kapitalisme selayaknya dibenturkan dengan sejarah pada masa lampau. Dengan
demikian diarahkan akan tumbuh nasionalisme yang baru, bukan nasionalisme dalam arti
sempit belaka karena nasionalisme mempunyai arti yang sangat penting dalam berbahasa dan
bernegara

D. Arti penting Nasionalisme dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Ketika lokalitas dan globalitas dapat disandingkan untuk saling menguatkan, maka nasionalisme
harus dibangun suatu kesadaran bersama, pengalaman bersama, dimana NKRI sebagai negara
adalah perahunya, payungnya, panggung kehidupannya. Tanpa kesadaran demikian, manusia
Indonesia tanpa sadar merusak tempat hidupnya sendiri, melubangi perahunya sendiri yang
berakibat hilang ditelan lautan, bahkan sampai musnah ditelan arus liar perkembangan zaman.

Hakikat nasionalisme Indonesia karena itu harus dirumuskan dengan kondisi yang sebenarnya,
berdasarkan kepentingan, kebutuhan, dan berbagai permasalahannya tanpa harus bilangan arti
penting sejarahnya. Artinya, sejarah merupakan cerminan bagi bangsa Indonesia sehingga
mawas diri. Hasil yang diharapkan adalah dapat memperkaya cara bangsa Indonesia untuk
bertahan hidup, serta berfikir kritis menghadapi berbagai persoalan dalam dan luar negeri.
Dengan demikian bangsa Indonesia harus menumbuhkan jati diri/identitas dikanca
internasional dengan jalan menanamkan rasa kebangsaan yang berpijak kepada Pancasila.

Nasionalisme harus dibangun berdasar kepentingan yang konkrit, untuk hidup dan merasakan
permasalahan bangsa dalam segala bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan
keamanan) yang langsung maupun tidak dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia. Dengan
begitu maka kebangsaan Indonesia dilestarikan secara defensif, antisipasi dan dinamis untuk
mengatasi perubahan sistem sosial politik yang terukur karena batasan-batasannya ditentukan
berdasarkan tantangan masa kini dan masa depan bukan sekadar utopia masa lalu
(terkungkung dalam ketakutan), ataupun khayalan masa depan yang terlalu imajiner. Pemikiran
yang nyata sangat diperlukan untuk membangun suatu bangsa yang kuat dan mempunyai cita-
cita luhur emosional. Konsumerisme, kapitalisme dan edonisme mulai menjadi virus yang harus
segera ditumpas habis.

Karena kondisi yang demikian rumit dan menjadi penyakit bangsa, maka diperlukakan manusia-
manusia kompeten yang mampu membuka semangat bangsa yang percaya diri bangsa untuk
bangkit. Nasionalisme dapat kembali ditegakkan apabila ada kesadaran, kerja sama, dan
tindakan nyata dari pemerintah bersama masyarakat yang menunjukkan bahwa bangsa
Indionesia adalah bangsa yang besar dan mempunyai bargaining position kuat di dunia
internasional.

Dengan demikian untuk membangun rasa nasionalisme bangsa, nilai-nilai kearifan lokal perlu
ditegakkan hal ini disebkan adanya kesadaran dan tumbuhnya nilai-niali kearifan lokal dapat
mendorong setiap individu untuk berfikir bijak tentang persoalan negaranya. Sikap apatis dan
skeptis akan menyelenggarakan negara dapat diatasi dengan tumbuhnya rasa nasionalisme
yang kuat mulai dari tingkat lokal. Hal terpenting adalah tauladan serta dorongan dari
pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah untuk selalu menanamkan kebanggaan sebagai
bangsa Indonesia, bukan bangsa yang lain.

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

DAN IDEOLOGI NEGARA

1. Pentingya Ideologi bagi suatu bangsa dan negara

Ideologi berasal dari kata idea yang artinya pemikiran, khayalan. konsep, keyakinan, dan kata
logos yang artinya logika, ilmu atau pengetahuan. Jadi, ideologi dapat diartikan ilmu tentang
keyakinankeyakinan atau gagasan-gagasan. Ada beberapa pengertian ideologi menurut para
tokoh seperti berikut.:

a. Menurut Destutt de Tracy, ideologi diartikan sebagai Science of Ideas, di dalamnya ideologi
dijabarkan sebagai sejumlah program yang diharapkan membawa perubahan lembaga dalam
suatu masyarakat.

b. Menurut Ali Syariati, ideologi adalah keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang


ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa, atau suatu ras tertentu.

Ideologi umumnya dirumuskan dari pandangan hidup, baik pandangan yang bersumber dari
ajaran agama maupun dari falsafah hidup. Ideologi yang berasal dari ajaran agama seperti
Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun agama lainnya, ideologi ini biasanya bersifat umum dan
universal, artinya berlaku untuk semua umat manusia. Sedangkan ideologi yang berdasarkan
falsafah hidup biasanya berlaku untuk partai, kelas maupun bangsa bersangkutan, sehingga
herlaku local atau untuk kelompok atau bangsa itu sendiri. Dari pengertianpengertian ideologi
di atas, maka dapat dikaji lebih lanjut mengenai unsurunsur suatu ideologi. Menurut Koento
Wibisono ada tiga unsur penting dalam suatu ideologi, yaitu:

a. Keyakinan, yaitu setiap ideologi selalu menunjukkan gagasan vital yang sudah diyakini
kebenarannya untuk dijadikan dasar dan arch strategic bagi tercapainya tujuan yang telah
ditentukan.

b. Mitos, yaitu konsep ideologi selalu memitoskan suatu ajaran yang secara optimal dan
pasti, yang menjamin tercapainya tujuan melalui cara-cara yang telah ditentukan.

c. Loyalitas, yaitu setiap ideologi menuntut keterlibatan optimal atas dasar loyalitas dari
pendukungnya.

Dengan memperhatikan pengertian dan unsur-unsur ideologi, dapat dikatakan bahwa semua
komponen itu adalah pandangan hidup yang sudah disertai dengan cara-cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, dan sudah menjadi milik kelompok atau bangsa
tertentu. Misalnya ideologi yang dimiliki bangsa Indonesia. Dalam suatu ideologi harus
terkandung tiga komponen dasar, yaitu:

· Keyakinan hidup, yaitu konsepsi yang menyeluruh tentang alam semesta (kosmos).
Dalam konsepsi ini akan dihadapkan antara keyakinan hidup dengan alam semesta, yang di
dalamnya tercermin tiga keyakinan dasar, yaitu hal yang menyangkut hakikat diri pribadi,
hakikat yang menyangkut hubungannya dengan sesama, serta hubungan antara pribadi dengan
Tuhan.

· Tujuan hidup, yaitu konsepsi tentang cita-cita hidup yang diinginkan.

· Cara-cara yang dipilih untuk mencapai tujuan hidup, termasuk juga di dalamnya berbagai
macam institusi (lembaga), program aksi, dan lain sebagainya.

Arti Penting Ideologi bagi Suatu Bangsa dan Negara

Bagi negara-negara yang mengalamai penjajahan, ideologi di maknai sebagai keseluruhan


pandangan, cita-cita, nilai, dan keyakinan yang ingin diwujudkan. Ideologi sangat diperlukan
karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran akan kemerdekaan, memberi motivasi
dalam perjuangan melawan penjajah. Pentingnya Ideologi dapat dilihat dari fungsinya. Bagi
suatu negara, ideologi merupakan sesuatu yang berfungsi sebagai pandangan hidup dan
petunjuk arah semua kegiatan hidup serta penghidupan suatu bangsa di berbagai aspek
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Ideologi diperlukan oleh suatu bangsa untuk mewujudkan tujuan negaranya. Tanpa
kesepakatan bersama, tidak mungkin tujuan untuk meraih cita-cita atau harapan negara dapat
menjadi kenyataan.

Arti penting Ideologi adalah sebagai berikut:

1. Negara mampu membangkitkan kesadaran akan kemerdekaan, memberikan orientasi


mengenai dunia beserta isinya, seta memberikan motivasi perjuangan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.

2. Dengan ideologi nasionalnya, suatu bangsa dan negara dapat berdiri kukuh dan tidak
mudah terombang-ambing oleh pengaruh ideologi lain serta mampu menghadapi persoalan-
persoalan yang ada.

3. Ideologi memberikan arah dan tujuan yang jelas menuju kehidupan yang di cita-citakan.
Ideologi yang dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh rakyat dapat mewujudkan
persatuan dan kesatuan demi kelangsungan hidupnya.

4. Ideologi dapat mempersatukan orang dari berbagai golongan, suku, ras, dan agama,
bahkan dari berbagai ideologi.

5. Ideologi dapat mempersatukan orang dari berbagai agama.


6. Ideologi mampu mengatasi konflik atau ketegangan social.

Pancasila Sebagai Ideologi Negara

Pancasila disebut sebagai ideologi negara karena Pancasila telah memenuhi unsur-unsur
keyakinan hidup, tujuan hidup, cara-cara yang dipilih untuk mencapai tujuan hidup, sehingga
Pancasila dapat dikatakan sebagai suatu ideologi. Unsur keyakinan hidup dalam Pancasila
tercermin pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab dan
persatuan Indonesia. Bangsa Indonesia merumuskan tujuan hidupnya dalam sila kelima, yakni
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hidup yang sangat mulia itu tentunya
harus diperjuangkan dengan segala pengorbanan dengan cara-cara yang efektif . Cara-cara yang
digunakan untuk mewujudkan sila kelima adalah melalui sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam sila inilah tercermin makna
demokrasi. Dengan prinsip demokrasi, tujuan hidup bangsa dan negara akan diupayakan untuk
diwujudkan dengan sebaik-baiknya.

2. Pengertian Pancasila

Ditinjau dari asal-usulnya, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung
dua suku kata, yaitu panca dan syila. Panca berarti lima dan syila dengan huruf i yang dibaca
pendek mempu-nyai arti 5atau sendi, dasar, alas atau asas. Sedangkan syila dengan
pengucapan i panjang (syi:la) berarti peraturan tingkah laku yang baik, utama atau yang
penting. Dengan demikian Pancasila dapat diartikan berbatu sendi lima, atau lima tingkah laku
utama, atau pelaksanaan lima kesusilaan Pancasyila Krama).

Apabila ditinjau dari segi kesejarahan (historis), istilah Pancasila pertama kali ditemukan dalam
agama Budha. Dalam Kitab Tri Pitaka Pancasila diartikan sebagai lima aturan kesusilaan yang
dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh penganut agama Buddha. Dalam Kitab Vinaya Pitaka,
yang merupakan salah satu bagian dari Kitab Tri Pitaka, disebut ada lima pantangan atau lima
larangan yang wajib dihindari oleh setiap pemeluk Budha, yaitu: menghindari pembunuhan,
menghindari pencurian, menghindari perzinaan, menghindari kebohongan, menghindari
makanan dan minuman yang memabukkan yang menyebabkan ketagihan. Masuknya agama
Buddha ke Indonesia turut membawa ajaran Pancasila tersebut.

Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk istilah Pancasila
dimasukkan dalam kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Dalam buku tersebut
dituliskan “Yatnanggegwani Pancasyiila Kertasangskarbhisekaka Krama” yang artinya Raja
menjalankan ke lima pantangan (Pancasila) dengan setia. Istilah Pancasila juga dapat kita
jumpai dalam sebuah kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Dalam buku itu terdapat istilah
Pancasila yang diartikan sebagai pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama), yaitu:

· Tidak boleh melakukan kekerasan

· Tidak boleh mencuri

· Tidak boleh berwatak dengki

· Tidak boleh berbohong

· Tidak boleh mabuk minuman keras.

Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, istilah Pancasila kembali mencuat ke


permukaan. Pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang pertama tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno dalam pidatonya mengatakan “ ...
namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa, namanya Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.” Setelah berakhirnya sidang BPUPKI tersebut
dibentuklah Panitia Sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan “Piagam
Jakarta”. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka, PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menetapkan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
Republik Indonesia sebagaimana terdapat Pembukaan UUD 1945, alinea IV dengan urutan
sebagai berikut:

a. Ketuhanan Yang Maha Esa

b. Kemanusiaan yang adil dan beradab

c. Persatuan Indonesia

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

3. Sejarah Perumusan Pancasila


Perumusan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tidak terlepas dari sejarah
perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang
tahun 1942, awalnya bangsa Indonesia menyambut baik kedatangan Jepang. Rupanya
kedatangan Jepang tidak mengubah nasib bangsa ke arah yang lebih baik, bahkan sebaliknya,
ternyata lebih kejam daripada pemerintah Hindia Belanda. Maka di daerah-daerah muncul
perlawanan terhadap Jepang Pada tahun 1943 posisi Jepang semakin genting karena
menghadapi gempuran tentara Sekutu. Di samping itu, mereka juga menghadapi perlawanan di
setiap daerah. Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk mendesak
Jepang agar bersedia memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Desakan tersebut
ternyata mendapatkan respon dari pemerintah Jepang. Pada tanggal 7 September 1944
Perdana Menteri Koyso menjanjikan kemerdekaan kelak di kemudian hari. Untuk meyakinkan
bangsa Indonesia terhadap janji tersebut. dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoshakai pada 1 Maret 1945.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari 60 anggota berasal dari Indonesia, 4 anggota keturunan Cina,
satu anggota keturunan Belanda dan satu anggota dari keturunan Arab. Dalam salah satu
sidang BPUPKI, tepatnya tanggal 1 Juni 1945, telah diadakan pembicaraan mengenai dasar
negara Indonesia. Dalam sidang tersebut Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya dan
mengemukakan lima prinsip yang sebaiknya dijadikan dasar negara Indonesia Merdeka, yaitu:

a. Kebangsaan Indonesia

b. Internasionalisme atau perikemanusiaan

c. Mufakat atau demokrasi

d. Kesejahteraan sosial

e. Ketuhanan

Ir. Soekarno kemudian menegaskan bahwa kelima alas itu dinamakan Pancasila. Setelah Sidang
I BPUPKI berakhir dibentuklah Panitia Kecil atau Panitia Sembilan untuk merumuskan ide dasar
negara dengan bahan utama yang telah dibi.carakan dalam sidang BPUPKI. Pada tanggal 22 Juni
1945 panitia kecil bersidang dan berhasil merumuskan Piagam Jakarta, yaitu:

a. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

b. Kemanusiaan yang adil dan beradab

c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/p erw
akilan

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Setelah BPUPKI dibubarkan, sebagai gantinya dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau Dokuritsu Zyunbi Inkai pada tanggal 7 Agustus 1945. Tugas semula dari panitia
ini adalah mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan serah terima
kemerdekaan yang direncanakan pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun dengan takluknya
Jepang kepada Sekutu. maka pada tanggal 14 Agustus terjadi kekosongan kekuasaan di
Indonesia. Kesempatan yang baik dan sempit itu akhirnya dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia
untuk melakukan langkah besar dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945. Sehari setelah kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, PPKI bersidang dan
berhasil menetapkan:

a. Memilih Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

b. Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam UUD 1945 inilah rumusan Pancasila yang sah sebagai dasar negara dapat kita temui,
yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV dengan rumusan sebagai berikut.

a. Ketuhanan Yang Maha Esa

b. Kemanusiaan yang adil dan beradab

c. Persatuan Indonesia

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/


perwakilan

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Kedudukan dan Fungsi Pancasila

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Dasar negara dapat berupa suatu falsafah yang dapat merangkum atau menyimpulkan
kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Dasar negara merupakan
fondasi atau landasan yang kuat dan kokoh serta tahan terhadap segala gangguan, hambatan
maupun rintangan dari dalam maupun dari luar, sehingga bangunan gedung di atasnya dapat
berdiri dengan kokoh dan kuat. Bangunan itu ialah negara Republik Indonesia yang ingin
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan dirumuskannya Pancasila oleh
para pendiri negara adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai apa yang
dikatakan oleh Radjiman Widyodiningrat bahwa hakikat Pancasila adalah sebagai dasar negara.
Demikian pula Muhammad Yamin, Mr. Soepomo dan Ir. Soekarno juga menyebutkan perlu
adanya dasar negara Indonesia yang merdeka yaitu Pancasila. Dengan demikian, para pelaku
sejarah memang berniat merumuskan Pancasila sebagai landasan negara, sebagai falsafah
negara dan ideologi negara dan tidak ada niatan lainnya. Pancasila sebagai dasar negara berarti
Pancasila menjadi dasar atau pedoman dalam penyelenggaraan negara. Seandainya negara
adalah sebuah bangunan, maka Pancasila sebagai fondasi yang nantinya akan dijadikan tempat
berpijak bangunan-bangunan berikutnya. Dengan demikian, Pancasila dijadikan dasar dan
tonggak dalam pembuatan segala peraturan perundang-undangan negara serta berbagai
peraturan lainnya yang mengatur di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, maupun pertahanan dan keamanan. Di samping Pancasila sebagai dasar
negara, Pancasila juga sebagai cumber hukum yang paling utama bagi segala perundang-
undangan yang akan dibuat dan digali. Oleh sebab itu, Pancasila di samping memerankan diri
sebagai dasar negara juga memerankan diri sebagai sumber tertib hukum bagi Republik
Indonesia.

Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan Keadilan social
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dicantumkan rumusan tersebut dalam Pembukaan UUD
1945, kita yakini bahwa rumusan itu adalah pancasila. Dengan kata lain, Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum di negara RI. Karena segala kehidupan negara berdasarkan
Pancasila maka pelaksanaan kehidupan ketatanegaraan juga harus berlandaskan hukum,
artinya, semua tindakan kekuasaan atau kekuatan dalam masyarakat harus berdasarkan
peraturan hukum.

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Sebagai pandangan hidup, Pancasila merupkan kristalisasi pengalaman-pengalaman hidup


dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang telah membentuk sikap, watak, perilaku, tata
nilai, moral, serta etika yang melahirkan pandagan hidup. Pancasila sebagai petunjuk hidup
bangsa Indonesia memberi arah bagi bangsa Indonesia dalam kegiatan dan aktivitas hidup di
segala bidang kehiduppan serta dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk di berbagai bidang
kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila Sebagai Jiwa Bansa Indonesia

Sebagai jiwa bangsa, Pancasila menjadi dasar aspirasi, semangat, dan motivasi perjuangan
bangsa Indonesia, yang membedakannya dengan bangsa lain.

Pancasila sebagai Tujuan Bangsa Indonesia

Sebagai tujuan bangsa, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai luhur
yang dicita-citakan dalam mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Pancasila
merupakan tujuan yang hendak dicapai bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur,
serta materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat,
bersatu dalam suasana perikehidupan bangsa yang tenteram, tertib, damai, dan dinamis.

Pancasila sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia

Sebagai perjanjian luhur bangsa, Pancasila di sepakati bersama oleh pembentuk negara.
Pancasila menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara serta rakyat telah bersepakat
untuk melaksanakan, memelihara, dan melestarikannya.

Pancasila sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, bahwa seluruh tata kehidupan berbangsa
dan bernegara, seluruh peraturan perundang-undangan harus bersumber pada pada pancasila.

5. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Suatu ideologi harus mampu menghadapi segala bentuk tantangan dan hambatan serta
perkembangan dari dalam negeri maupun perkembangan global. Pancasila sebagai suatu
ideologi tidak akan menutup rapat-rapat terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi
pada era globalisasi dan era informasi. Oleh sebab itu, Pancasila harus menjadi ideologi
terbuka, artinya Pancasila harus membuka diri terhadap perubahan dan tuntutan
perkembangan zaman. Menurut Dr. Alfian Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat ditunjukkan
dengan memenuhi persyaratan tiga dimensi, yaitu:

a. Dimensi realita, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut harus
bersumber dari kenyataan hidup yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat merasakan dan
menghayati ideologi tersebut, karena digali dan dirumuskan dari budaya sendiri. Pada
gilirannya nanti akan merasa memiliki dan berusaha mempertahankannya. Ideologi Pancasila
benar-benar mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan
kenyataan yang ada dan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian bangsa Indonesia betul-
betul merasakan dan menghayati nilai-nilai tersebut dan tentunya akan berusaha untuk
mempertahankannya.

b. Dimensi idealisme, mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan cita-cita tersebut suatu bangsa
akan mengetahui ke arah mana tujuan akan dicapai. Pancasila adalah suatu ideologi yang
mengandung cita-cita yang akan dicapai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Cita-cita tersebut akan mampu menggugah harapan dan memberikan optimisme
serta motivasi kepada bangsa Indonesia. Maka semua itu harus diwujudkan secara nyata dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

c. Dimensi fleksibilitas, yaitu suatu dimensi yang mencerminkan kemampuan suatu ideologi
dalam mempengaruhi sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat. Mempengaruhi berarti ikut memberikan warna dalam perkembangan masyarakat,
sedangkan menyesuaikan diri berarti masyarakat berhasil menemukan pemikiran-pemikiran
baru terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Ideologi Pancasila memiliki sifat
yang fleksibel, luwes, terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru tanpa menghilangkan hakikat
yang terkandung di dalamnya. Dengan sifat fleksibel tersebut ideologi Pancasila akan tetap
aktual dan mampu mengantisipasi tuntutan perkembangan zaman.

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara.

Pancasila sebagai suatu ideologi mengandung nilai-nilai yang disaring dan digali dari nilai-nilai
luhur dan kepribadian bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut memberikan pengaruh bentuk
sikap dan perilaku yang positif. Nilai dapat diartikan sebagai kualitas atau isi dari sesuatu.
Sesuatu dikatakan bernilai apabila mempunyai kegunaan, keberhargaan (nilai kebenaran),
keindahan (nilai estetis), kebaikan (nilai moral atau etis) maupun mengandung unsur religius
(nilai agama). Sesuatu yang bernilai akan selalu dihargai dan dihormati di manapun sesuatu itu
berada.

Menurut Prof. Dr. Notonegoro, nilai dapat dibagi rnenjadi tiga, yaitu:

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.

b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan dan aktivitas.
c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Sedangkan nilai kerohanian dapat diperinci menjadi empat macam, yaitu:

a. Nilai kebenaran/ kenyataan, yaitu nilai yang bersumber dari pada unsur akal manusia
(rasio, budi, cipta).

b. Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur rasa manusia

c. Nilai kebaikan atau nilai Moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak/ kemauan
manusia.

d. Nilai religius, merupakan nilai ketuhanan, kerohanian tertinggi dan mutiak. Nilai ini
bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa “ mengandung dua
pengertian pokok, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan berasal dari kata Tuhan,
yaitu zat yang maha kuasa, yang menciptakan alam semesta. Oleh karena itu, Tuhan sering
disebut Causa Prima, yaitu penyebab pertama yang tidak disebabkan lagi. Tuhan. selaku causa
prima mempunyai sifat yang abadi, yang sempurna, yang kuasa, tidak berubah, tidak terbatas,
dzat yang mutlak yang adanya tidak terbatas, pengatur segala tertib alam. Sedangkan Yang
Maha Esa dapat diartikan yang Mahasatu atau yang Mahatunggal, dan tidak ada yang
mempersekutukan-Nya.

Dengan demikian, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia
percaya dan takwa kepada Tuhan: Yang Maha Esa, Tuhan Pencipta Alam Semesta beserta
isinya. Kepercayaan dan ketaqwaan tersebut mengandung pengertian selalu berusaha
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. menurut ajaran agama dan
kepercayaannya masing-masing.

Untuk memperkuat sila Ketuhanan Yang Maha Esa maka dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1
disebutkan “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat 2 “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Secara rinci nilai-nilai yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah:

§ Adanya sikap percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

§ Kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

§ Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama antarpemeluk beragama dan


penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

§ Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan penganut kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

§ Hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak asasi yang paling
hakiki.

§ Tiap-tiap penduduk mempunyai kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing.

§ Tidak memaksakan agama dan kepercayaan kepada orang lain.

§ Tiap-tiap penduduk mempunyai kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing

2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan sifat hakiki manusia sebagai makhluk sosial
(homo socius). Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yang merupakan makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan melengkapi manusia dengan jasmani dan rohani, yang keduanva
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan sering disebut pribadi manusia.

Adil dalam pengertian yang objektif diartikan sebagai apa adanya. Seseorang dikatakan adil
apabila memberikan kepada seseorang sesuai dengan haknya. Memperlakukan seseorang
dengan pilih kasih dan berat sebelah bisa dikatakan sebagai perlakuan tidak adil.

Beradab berasal dari kata adab yang diartikan budaya, sedangkan beradab berarti berbudaya.
Manusia yang beradab berarti manusia yang tingkah lakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai
kebudayaan. Dan nilai budaya merupakan nilai-nilai yang luhur yang dijunjung tinggi oleh
manusia. Oleh sebab itu, nilai-nilai luhur tersebut dapat dijadikan pedoman dan tuntunan
dalam kehidupan sehari-hari.

Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan suatu kebulatan pengertian yang lengkap
tentang manusia. Hal ini berarti di samping sebagai makhluk individu manusia juga sebagai
makhluk sosial, di mana keduanya harus ditempatkan pada tempat yang sesuai. Kemanusiaan
yang adil dan beradab dapat pula diartikan sebagai suatu penghargaan dan penghormatan
terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur, tanpa membeda-bedakan perbedaan
keyakinan hidup, status sosial, politik, ras, warna kulit, keturunan, bahasa, agama, budaya,
adat-istiadat maupun suku. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila kemanusiaan yang
adil dan beradab adalah sebagai berikut:

§ Mengakui dan menghargai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.

§ Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan


agama dan kepercayaan, suku, ras, keturunan, adat, status sosial, warna kulit, jenis kelamin,
dan lain sebagainya.

§ Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. Mengembangkan sikap tenggang


rasa (tepo seliro).

§ Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

§ Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

§ Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

§ Berani membela kebenaran dan keadilan dengan penuh kejujuran.

§ Bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia.

§ Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

3. Sila Persatuan Indonesia

Sila Persatuan Indonesia terdiri dari dua kata yang penting yaitu persatuan dan Indonesia.
Persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh, tidak pecah-belah. Sedangkan persatuan
mengandung pengertian disatukannya berbagai macam corak yang beraneka ragam menjadi
satu kesatuan. Keanekaragaman masyat:akat Indonesia diharapkan dapat diserasikan menjadi
satu dan utuh, tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persatuan Indonesia mengandung arti persatuan
bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Persatuan yang didorong untuk mencapai kehidupan
yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia
mengandung arti kebangsaan (nasionalisme), yaitu bangsa Indonesia harus memupuk
persatuan yang erat antara sesama warga negara, tanpa membeda-bedakan suku atau
golongan serta berdasarkan satu tekad yang bulat dan satu cita-cita bersama.

Dengan demikian, secara lebih rinci sila Persatuan Indonesia mengandung nilai-nilai sebagai
berikut.

§ Dapat menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa


dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

§ Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

§ Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

§ Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.

§ Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan


keadilan sosial.

§ Mengembangkan persatuan berdasar Bhineka Tunggal Ika.

§ Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan

Untuk menjelaskan sila ini ada beberapa kata perlu dipahami, yaitu kerakyatan, hikmat
kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. Kerakyatan berasal dari kata “rakyat” yang
berarti sekelompok manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu. Kerakyatan berarti suatu
prinsip yang mengakui bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Kerakyatan juga
sering disebut kedaulatan rakyat. Hal ini berarti rakyatlah yang berkuasa, rakyatlah yang
memerintah atau sering disebut dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Hikmat kebijaksanaan mempunyai arti suatu sikap yang dilandasi penggunaan akal sehat dan
selalu mempertimbangkan kepentingan persatuan dan kesatuan. Kepentingan rakyat akan
dijamin dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong itikad baik sesuai dengan
hati nurani.
Permusyawaratan berarti suatu tata cara yang khas bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan
atau memutuskan sesuatu berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan
berdasarkan mufakat. Pelaksanaan dari kebenaran ini, memerlukan semangat mengutamakan
kepentingan nasional dibandingkan kepentingan daerah, golongan maupun pribadi. Hal ini
merupakan itikad yang baik dan ikhlas dilandasi pikiran yang sehat, ditopang oleh kesadaran
bahwa kepentingan bangsa dan negara mengalahkan kepentingan yang lain.

Perwakilan berarti suatu tata cara untuk mengusahakan ikut sertanya rakyat mengambil bagian
dalam urusan negara. Bentuk keikutsertaan itu ialah badan-badan perwakilan, baik pusat
maupun daerah. Keanggotaan badan-badan perwakilan itu ditentukan melalui suatu pemilihan
yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan


mengandung arti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya, dilakukan melalui
perwakilan. Keputusankeputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat dilakukan melalui
musyawarah yang dipimpin oleh akal sehat Berta penuh rasa tanggung jawab baik kepada
Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah:

§ Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.

§ Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.

§ Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

§ Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai dalam musyawarah.

§ Dengan itikad baik dan rasa tanggungjawab menerima dan melaksanakan hasil putusan
musyawarah.

§ Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau


golongan.

§ Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

§ Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
§ Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk menyalurkan
aspirasinya.

5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial adalah keadaan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan,
baik material maupun spiritual. Artinya, keadilan itu tidak untuk golongan tertentu saja tetapi
untuk seluruh masyarakat Indonesia, tanpa membedakaan kekayaan, jabatan maupun suku
tertentu. Keadilan sosial dapat diartikan suatu pengaturan yang tepat dari suatu masyarakat
nasional yang bertujuan untuk memupuk dan mendorong perkembangan segenap kemampuan
yang setinggi mungkin dari seluruh kepribadian anggota masyarakat. Seluruh rakyat Indonesia
adalah setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia baik yang mendiami wilayah kekuasaan
Republik Indonesia maupun warga negara yang berada di negara lain.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah setiap rakyat Indonesia mendapat
perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik. ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan. Pengertian adil juga mencakup pengertian adil dan makmur. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia mempunyai pengertian pada dua aspek tujuan hidup, yaitu :

§ Masyarakat yang berkeadilan, yaitu kondisi masyarakat yang menunjukkan pada tata
kehidupan yang terpenuhi kebutuhan hidup manusianya dalam aspek rohani.

§ Masyarakat yang berkemakmuran, yaitu kondisi masyarakat yang menunjukkan pada tata
kehidupan yang terpenuhi berbagai kebutuhan hidup dari segi material atau jasmani.

Secara rinci nilai-nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
adalah:

§ Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana


kekeluargaan dan kegotongroyongan.

§ Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
Menghormati hak orang lain.

§ Suka memberi pertolongan kepada orang lain.

§ Tidak menggunakan hak milik perorangan untuk memeras orang lain.


§ Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.

§ Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.

§ Suka bekerja keras.

§ Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan
bersama.

§ Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
keadilan sosial.

Polemik "Empat Pilar" perlu memperoleh perhatian


Kamis, 27 Februari 2014 20:53 WIB | 2.587 Views
Pewarta: Ruslan Burhani

Ketika Pancasila menjadi pilar akan berpotensi


meminggirkan makna dan kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara,"
Jakarta (ANTARA News) - Polemik tentang Empat Pilar Kebangsaan perlu
memperoleh perhatian serius, mengingat yang dipersoalkan adalah Pancasila
bukan pilar, tetapi dasar atau landasan sebuah negara.

"Ketika Pancasila menjadi pilar akan berpotensi meminggirkan makna dan


kedudukan Pancasila sebagai dasar negara," Sekjen DPP KNPI, Jailani Paranddy di
Jakarta, Kamis.

Dalam keterangan persnya, Jailani mengatakan, tujuan utama rumusan Pancasila


dalam sidang BPUPKI adalah sebagai dasar negara dalam konteks "philosofische
grondslag" yang akan menjadi ikatan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia.

Karena itu, sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila
merupakan dasar negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan pemersatu
dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Namun mulai tahun 2010, ketika MPR RI melakukan sosialisasi Empat Pilar
Kebangsaan, dimana Pancasila diposisikan sebagai salah satu pilar yang sejajar
dengan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

Dalam perkembangannya, konsep empat pilar ini terus dikritisi dan ditentang oleh
berbagai kalangan. Bahkan banyak kalangan meminta agar MPR RI menghentikan
sosialisasi konsep Empat Pilar Kebangsaan karena tidak ada regulasi hukumnya.

Sebelumnya, Ketua Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Pattimura, Dr. Hendrik


Salmon, SH, MH, mengatakan bahwa istilah empat pilar itu bisa menimbulkan
penafsiran yang bias soal pancasila.

"Bahwa Pancasila itu adalah dasar negara. Sehingga istilah empat pilar harus
dihapus," katanya.(*)

You might also like