You are on page 1of 4

c.

akhlaq terhadap lingkungan

Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di


sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak
bernyawa.
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil
buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti
tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan
penciptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses
yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang
demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan
perusakan, bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus
dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk
menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara
wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa
binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga,
sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya--
"Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap
manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang,
kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan
dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.

‫َا‬
‫ُو ه‬‫ْتُم‬‫َك‬
‫تر‬َ ْ‫َو‬ ‫ل ينَة‬
‫ٍ أ‬ ِ ْ
‫ْ مِن‬ ‫َطَع‬
‫ْتُم‬ ‫َا ق‬ ‫م‬
َ‫ْنِ ا‬
ِ‫ّلل‬ ‫َبِإ‬
‫ِذ‬ ‫َا ف‬ ِ‫ُصُو‬
‫له‬ ‫ٰ أ‬ ‫ً عَل‬
‫َى‬ ‫َة‬
‫ِم‬‫َا ئ‬
‫ق‬
Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan
tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah ... (QS
Al-Hasyr [59]: 5).
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada
kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain
kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang
terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes
hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia
menyangkut pemeliharaan dan pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan
Nabi saw tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang
berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan
nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak
alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut
untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan)
menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

‫ْلَر‬
َ‫ْض‬ ْ‫َا‬‫َاتِ و‬ ‫ْنَا السَم‬
‫َا و‬ ‫َق‬‫َ ا خَل‬‫م‬
‫َجَل‬
ٍ ‫َأ‬ ْ ‫َّل ب‬
‫ِال حَقِ و‬ َِ ‫َا إ‬
‫ُم‬‫ْنَه‬
‫بي‬َ ‫َا‬ ‫َم‬‫و‬
‫ُ سَم‬
‫م‬
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara
keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS
Al-Ahqaf[46]:3).
Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja,
melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia
tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang
terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam.
Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani.
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak
sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya.

‫ُنَا‬
‫َا ك‬
‫َم‬‫َا و‬
‫ٰذ‬َ َ َ
‫ل نَا ه‬ ‫ِي سَخَر‬ َ َ
‫ال ذ‬ ‫ْحَا ن‬
‫سُب‬
َ ‫ْرِن‬
‫ِي ن‬ ‫ُق‬‫ُ م‬‫له‬َ
Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami,
sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf
[43]: 13).
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan
dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat
bersahabat.
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad
saw yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk
menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan memberi nama semua
yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. "Nama"
memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan
kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Nabi Muhammad saw telah mengajarkan:

Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang,


kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi
prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan".
Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat
ayat 11 adalah

‫ْم‬
ٍ ‫َو‬
‫ْ ق‬ ‫َو‬
‫ْمٌ مِن‬ ‫ي سْخَر‬
‫ْ ق‬ َ
َ ‫َّل‬
Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain.

Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit
dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia.
Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang
sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu
yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia
tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Manusia dalam hal ini dituntut
untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang
diraihnya serta cara meraihnya diridhoi Allah SWT, sesuai dengan kaidah
kebenaran dan keadilan.
Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa
keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Rasulullah bersabda,

Agama adalah hubungan interaksi yang baik.


Rasulullah juga bersabda:

Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang
mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (Diriwayatkan oleh At-
Tirmidzi). (sumber: "Membumikan" Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat Oleh M. Quraish Shihab)

You might also like