You are on page 1of 21

PENUANGAN LOGAM

II. TEORI DASAR

A. Defenisi Penuangan Logam


Proses penuangan (pengecoran) ialah pengisian rongga cetakan dengan
bahan tuangan yang telah dileburkan (dicairkan), berbagai cara penuangan
dapat dilakukan sesuai dengan system pengecoran yang digunakan, seperti
penuangan pada cetakan pasir dilakukan dengan system penuangan
menggunakan panci tuang (ladle), dimana cetakan dibuat pada rangka cetak.
Untuk pengecoran dengan cetakan logam dimana bentuk luar dari cetakan itu
sendiri telah didisain sesuai dengan perencanaan dalam proses pengecorannya.
Proses penuangan (pengecoran) dengan metoda sentrifugal dilakukan pada
pengecoran dengan menggunakan cetakan logam (die casting), tidak semua
bentuk benda tuangan dapat dilakukan dengan metoda ini, benda-benda bulat
silinder dan simetris sesuai dengan konstruksinya dapat di cor dengan metoda
sentrifugal ini. Secara prinsip proses pengecoran dengan sentrifugal ini dapat
dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.1 Proses penuangan (pengecoran)


Sumber : http://teknikmesin.org/proses-penuangan-pengecoran/
Penuangan (pengecoran) dengan cara centrifugal ini ialah
menggunakan putaran yang tinggi dari dies dengan demikian logam cair yang
cukup berat akan terlempar keluar dari posisi penuangan yakni ke posisi

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

bentuk dies sebagai bentuk benda kerja yang kita kehendaki. Pada Gambar
diatas diperlihatkan proses penuangan dengan system centrifugal pada posisi
Horizontal, sebenarnya proses penuangan sentrifugal ini dapat dilakukan pula
secara Vertical atau semi sentry fugal, hal ini tergantung bentuk benda kerja
yang akan dicor tersebut. Jadi walaupun sebenarnya centrifugal casting
memiliki keunggulan seperti hasil penuangan yang padat, permukaan tuangan
yang halus serta dapat membentuk dinding tuangan pada ukuran yang tipis
dan lainlain, namun hal ini akan bergantung pula pada kemungkinan
pengecoran yang paling baik yang dapat dilakukan untuk menghasilkan benda
cor yang memuaskan menurut bentuk yang dikehendaki. Pada gambar berikut
diperlihatkan prinsip pengecoran dengan centrifugal secara Vertical dan semi
centrifugal.

B. Jenis-jenis Pola
Pola merupakan gambaran dari bentuk produk yang akan dibuat. Pola
dapat dibuat dari kayu, plastic/polimer atau logam. Pemilihan material pola
tergantung pada bentuk dan ukuran produk cor, akurasi dimensi, jumlah
produk cor dan jenis proses pengecoran yang digunakan.
Jenis-jenis pola :
1. Pola tunggal (one pice pattern / solid pattern)
Biasanya digunakan untuk bentuk produk yang sederhana dan jumlah
produk sedikit. Pola ini dibuat dari kayu dan tentunya tidak mahal.

Gambar 2.2 Pola tunggal

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Sumber : http://indonesia-mekanikal.blogspot.co.id/2008/03/teknik-
pengecoran-logam.html
2. Pola terpisah (spilt pattern)
Terdiri dari dua buah pola yang terpisah sehingga akan diperoleh rongga
cetak dari masing-masing pola. Dengan pola ini, bentuk produk yang dapat
dihasilkan rumit dari pola tunggal.

Gambar 2.3 Pola terpisah


Sumber : http://indonesia-mekanikal.blogspot.co.id/2008/03/teknik-
pengecoran-logam.html
3. Match-piate pattern
Jenis ini popular yang digunakan di industri. Pola “terpasang jadi satu”
dengan suatu bidang datar dimana dua buah pola atas dan bawah dipasang
berlawanan arah pada suatu pelat datar. Jenis pola ini sering digunakan
bersama-sama dengan mesin pembuatan cetakan dan dapat menghasilkan
laju produksi yang tinggi untuk produk-produk kecil.
Pola mempunyai berbagai macam bentuk seperti diuraikan di bawah ini.
Pada pemilihan macam pola, harus diperhatikan produktivitas, kualitas
coran, dan harga pola.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.4 Match-piate pattern


Sumber : http://indonesia-mekanikal.blogspot.co.id/2008/03/teknik-
pengecoran-logam.html
C. Jenis-jenis Cetakan
1. Cetakan pasir basah
Cetakan pasir basah merupakan cetakan yang banyak digunakan dan
paling murah. Kata “basah” dalam cetakan pasir basah berati pasir cetak itu
masih cukup mengandung air atau lembab ketika logam cair dituangkan ke
cetakan itu. Istilah lain dalam cetakan pasir adalah skin dried. Cetakan ini
sebelum dituangkan logam cair terlebih dahulu permukaan dalam cetakan
dipanaskan atau dikeringkan. Karena itu kekuatan cetakan ini meningkat dan
mampu untuk diterapkan pada pengecoran produk-produk yang besar, dibuat
dari campuran pasir, lempung, dan air.

Gambar 2.5 Cetakan pasir


Sumber : http://diedlian.blogspot.co.id/2014/12/teknik-pengecoran-dengan-
cetakan-pasir.html
Cetakan pasir basah juga banyak digunakan untuk besi tuang, paduan
logam tembaga dan aluminium yang beratnya relatif kecil (maksimum 100
kg).
Keunggulan :
 Memiliki kolapsibilitas yang baik.
 Permeabilitas baik.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

 Reusabilitas yang baik, dan


 Murah.
Kelemahan :
 Uap lembab dalam pasir dapat menyebabkan kerusakan pada berberapa
coran, tergantung pada logam dan geometri coran.
Komposisi :
 Pasir (80-90) %.
 Bentonit (10-15) %.
 Air (4-5) %.
 Bahan penolong /grafit (2-3) %.
2. Cetakan pasir kering
Cetakan pasir kering, dibuat dengan menggunakan bahan pengikat
organik, dan kemudian cetakan dibakar dalam sebuah oven dengan temperatur
berkisar antara 204o sampai 316oC. Pembakaran dalam oven dapat
memperkuat cetakan dan mengeraskan permukaan rongga cetakan.Cetakan
pasir kering digunakan pada benda tuang yang berukuran besar (diatas 100
kg).
Komposisi :
 Pasir (80-90) %.
 Tanah liat (10-15) %.
 Gula tetes (1-2) %.
 Pitch (1-1,5) %.
 Milase (0,5-1) %.
 Air (kurang dari 4 %)
Keunggulan :
 Dimensi produk cetak lebih baik.
Kelemahan :
 Lebih mahal dibandingkan dengan cetakan pasir basah;
 Laju produksi lebih rendah karena dibutuhkan waktu pengeringan;

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

 Pemakaian terbatas untuk coran yang medium dan besar dalam laju
produksi rendah → medium.
3. Cetakan kulit kering
Cetakan kulit kering, diperoleh dengan mengeringkan permukaan pasir
basah dengan kedalaman 1,2 cm sampai dengan 2,5 cm pada permukaan
rongga cetakan. Bahan perekat khusus harus ditambahkan pada campuran
pasir untuk memperkuat permukaan rongga cetak.
Klasifikasi cetakan yang telah dibahas merupakan klasifikasi
konvensional. Saat ini telah dikembangkan cetakan yang menggunakan
pengikat bahan kimia. Beberapa bahan pengikat yang tidak menggunakan
proses pembakaran, seperti antara lain resin turan, penolik, minyak alkyd.
Cetakan tanpa pembakaran ini memiliki kendali dimensi yang baik dalam
aplikasi produksi yang tinggi.

Gambar 2.6 Shell mold casting


Sumber : http://www.custompartnet.com/wu/shell-mold-casting

D. Besi Cor Nodular


Grafit pada besi cor nodular menempati 10 – 15% dari volume total
material serta tersebar merata didalam struktur dasar (matriks) yang mirip
dengan baja karbon. Oleh karena itu sifat-sifat mekanik dari besi cor nodular
LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM
PENUANGAN LOGAM

dapat dihubungkan secara langsung dengan mampu tarik dan keuletan dari
matriks yang dimilikinya sebagaimana halnya dengan baja karbon.
Namun demikian karena didalam struktur besi cor nodular juga
terdapat grafit, maka mampu tarik, modulus elastisitas maupun ketahanan
impak secara proporsional akan lebih rendah dari baja karbon dengan matriks
yang serupa.
Matriks besi cor nodular bervariasi dari mulai struktur ferit yang lunak
dan ulet sampai dengan struktur perlit yang lebih keras serta kuat bahkan
struktur-struktur yang hanya dapat dicapai melalui penambahan bahan paduan
maupun melalui perlakuan panas seperti martensit dan bainit.
Sifat-sifat mekanik besi cor nodular dalam kaitannya dengan matriks
yang dimilikinya dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat mekanik besi cor nodular.

Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Mekanisme pembekuan besi cor nodular dapat dijelaskan secara lebih
mudah dengan menggunakan diagram terner Fe-C-Si, dimana akibat pengaruh
kandungan Si, maka diagram Fe-C akan berubah seperti ditunjukkan pada
gambar 2.7 sebagai berikut:

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.7 Diagram Fe-C-Si dengan Si 2.4 % (Pseudo Biner).


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Pada paduan hipoeutektik, pembekuan dimulai dari tumbuhnya besi
padat (austenit) dari cairan besi. Peristiwa ini berlangsung bersamaan dengan
turunnya temperatur cairan hingga melampaui temperatur eutektik
(undercooling) dan naiknya konsentrasi karbon didalam cairan sisa menuju ke
titik eutektik seperti terlihat pada kurva pendinginan spesifik untuk paduan
hipoeutektik.
Jumlah inti pembekuan yang sedikit akan mengakibatkan terjadinya
undercooling dibawah temperatur eutektik. Pada saat pengintian terjadi, energi
bebas dilepaskan sebesar energi yang dipergunakan untuk pencairan.
Pelepasan energi ini akan mengakibatkan naiknya kembali temperatur hingga
mencapai temperatur eutektik (rekaleszenz).
Pada tingkat keadaan ini selain austenit tumbuh pula grafit eutektik
secara bersamaan (disebut sel-sel eutektik). Pertumbuhan grafit
mengakibatkan berkurangnya konsentrasi karbon didalam paduan sehingga
pada akhirnya akan tersisa grafit bulat diantara butiran-butiran austenit yang
akan tertransformasi menjadi perlit.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.8 Kurva pendinginan besi cor nodular hipoeutektik.


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Untuk coran berdinding tebal atau karena suatu pendinginan lambat,
maka karbida besi yang membentuk perlit akan menjadi grafit, sehingga selain
perlit disekeliling grafit bulat akan terdapat struktur ferit. Persentase dari
perlit-ferit ini menentukan mampu tarik besi cor nodular.
Pada paduan hipereutektik pembekuan berlangsung mirip dengan
paduan hipoeutektik. Bedanya adalah, kristal yang pertama tumbuh adalah
grafit primer yang berbentuk bulat serta menurunkan konsentrasi karbon
didalam cairan menuju ketitik eutektik. Pembekuan selanjutnya berlangsung
sama seperti pada paduan hipoeutektik.
Gambar 2.9 adalah kurva yang menunjukkan daerah-daerah komposisi
besi cor nodular baik hipo maupun hipereutektik, dimana dari kurva ini dapat
ditentukan komposisi C maupun Si.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.9 Daerah komposisi besi cor nodular.


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Mekanisme pembentukan grafit bulat telah diteliti oleh banyak
peneliti, namun demikian jawaban yang lebih memuaskan tentang fenomena
ini masih terus dikembangkan dan didiskusikan.
Dari sekian banyak teori tentang pembulatan grafit, maka teori
gelembung gas (gas bubble theory) memberikan penjelasan yang mudah
dipahami serta mencakup beberapa teori yang lainnya, sebagaimana hasil
penelitian dari Haruki Itofuji.
Penelitian dilakukan terhadap suatu cairan besi cor nodular yang
dikuens pada saat pendinginan sehingga pada tempat dimana akan terbentuk
grafit bulat, ditemukan gelembung-gelembung gas yang merupakan gas Mg,
gas Ca dan/atau gas N2 yang terabsorbsi oleh unsure tanah jarang (rearearth).
Pada penelitian tersebut tampak bahwa hanya grafit bulat berukuran kecil
(dibawah 10 mm) yang ditemukan terbentuk didalam cairan.
Untuk partikel yang lebih besar, bentuk grafit ditentukan oleh lapisan
austenit yang berada disekelilingnya. Grafit menjadi bulat bila austenit dapat
terbentuk disekelilingnya dengan sempurna, sebaliknya grafit vermikular
tebentuk bila pada austenit, akibat adanya unsur-unsur pengganggu, terjadi

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

kanal-kanal yang menghubungkan grafit dengan cairan. Sedangkan bila


pertumbuhan grafit dalam gelembung gas terhenti serta tumbuh grafit dari inti-
inti baru disekitar austenit, akan terjadi grafit chunky (gambar 2.10).

Gambar 2.10 Skematik pembentukan grafit bulat.


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Teori lain dikemukakan oleh Marincek B, yaitu teori dengan landasan
energi permukaan. Dari penelitiannya ditemukan bahwa energi permukaan
antara grafit dengan cairan pada besi cor nodular lebih besar dari pada besi cor
lamelar. Dengan metode retakan kapiler (capillary rise method) dipastikan
bahwa tegangan permukaan pada grafit lamelar adalah 800 – 1100 dyne/cm,
sedangkan pada grafit bulat adalah 1400 dyne/cm (dyne adalah satuan gaya
dengan sistim cgs).
Penelitian ini berhasil menjelaskan, bahwa pembulatan grafit dapat
terjadi karena pada permukaan bulat (sphere) terdapat energi bebas permukaan
yang lebih kecil dari pada permukaan lamelar dengan volume yang sama
sehingga perbedaan energi antar permukaan cairan dengan grafit (interface
energy) menjadi besar. Perbedaan yang besar ini memaksa pertumbuhan
kristal grafit, dalam hal ini menurunkan rasio energi/volume, cenderung
menjadi bulat dari pada lamelar.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.11 Variasi energi bebas pembentukan grafit (DG) sebagai


fungsi dari interface energi cairan-grafit (g*SL).
Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Interface energi antara cairan-grafit merupakan fungsi dari kandungan
S. Bila terdapat cukup kandungan unsur reaktif terhadap S seperti Mg,
sehingga S didalam cairan dapat direduksi sekecil-kecilnya, maka interface
energi tersebut akan naik sehingga grafit bulat akan lebih memungkinkan
terbentuk.
Tercatat pula beberapa faktor yang menjadi penghambat terjadinya
grafit bulat, antara lain adanya unsur-unsur pengganggu didalam cairan (Sb,
Pb, As dan sebagainya), atau pemanasan lebih (superheating) serta penahanan
cairan setelah Mg-treatment. Faktor-faktor tersebut secara langsung
menurunkan tegangan permukaan. Selanjutnya kenaikan tegangan permukaan
teramati pula sejalan dengan penambahan unsur Mg didalam cairan
sebagaimana tampak pada gambar 2.12 dan 2.13.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.12 Variasi tegangan permukaan sebagai fungsi waktu penahanan pada
T konstan.
Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/

Gambar 2.13 Variasi tegangan permukaan sebagai fungsi Mg-rest.


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Dari gambar 2.13 tampak jelas, bahwa tegangan permukaan terbesar
yang menghasilkan pembulatan grafit optimum adalah pada kandungan Mg
sebesar 0.01-0.02%. Namun karena dalam pengukuran sulit untuk
membedakan antara Mg dengan MgS maupun MgO, maka kandungan Mg
(Mg-rest) yang dianjurkan adalah 0.015% lebih tinggi dari kandungan
seharusnya (0.025 – 0.035%).
Sifat-sifat Besi Cor Nodular dipengaruhi oleh semua unsur yang
terdapat dalam tabel periodik. Beberapa dari unsur ini memiliki konsentrasi
yang sedemikian kecilnya sehingga sulit dikenali, sedangkan beberapa yang
lainnya memiliki pengaruh yang relatif kecil. Setiap unsur secara umum
berpengaruh sebagai berikut:
 Menyebabkan atau meniadakan karbida.
 Membentuk serta mempengaruhi penyebaran grafit.
 Membentuk struktur dasar.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Gambar 2.14 Struktur Besi Cor Nodular perlitik dengan sedikit ferit.
Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/

Gambar 2.15 Pertumbuhan grafit yang menembus dinding austenit.


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Pengaruh unsur-unsur ini terutama berhubungan erat dengan kecepatan
pendinginan (ketebalan coran), oleh karenanya penentuan komposisi besi cor
nodular sangat memperhatikan masalah kecepatan pendinginan ini sehingga
akan diperoleh coran dengan struktur dasar tanpa ledeburit (perlit + karbida
bebas.
Didalam besi cor, karbon selalu dipengaruhi oleh silikon sehingga
dalam perhitungan digunakan CE (carbon equivalent) dengan hubungan
sebagai berikut:

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

CE = %C + 0.31 %Si.
CE yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terjadinya flotasi grafit
terutama pada coran yang cukup tebal, sedangkan CE yang rendah akan
memunculkan struktur yang semakin keras sampai dengan terbentuknya
ledeburit. Harga CE yang dianjurkan untuk ketebalan coran tertentu dapat
dilihat dari gambar 2.16.

Gambar 2.16 Harga CE yang dianjurkan untuk ketebalan coran tertentu.


Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Perbandingan antara karbon dengan silikon ditentukan dengan
memperhatikan pengaruh silikon terhadap sifat-sifat fisik maupun mekanik
besi cor nodular sebagai fungsi dari CE atau dalam hal ini ketebalan coran.
Kandungan silikon pada jumlah tertentu akan meningkatkan keuletan
besi cor sampai dengan 4 %, meningkatkan kekerasan terutama pada kondisi
anil namun menurunkan ketahanan impak serta konduktifitas termal, sehingga
dengan demikian perlu pembatasan-pembatasan.
Tabel 2.2 Komposisi C dan Si untuk Coran tanpa karbida bebas.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Sumber : https://hapli.wordpress.com/forum-ferro/besi-cor-nodular/
Persentase C dan Si yang dianjurkan untuk ketebalan coran maupun
struktur dasar yang dikehendaki dapat dilihat dari Tabel 2.2 Mangan adalah
unsur penggiat terbentuknya karbida besi sehingga jumlahnya dalam besi cor
nodular harus sangat dibatasi serta berhubungan dengan kandungan silikon
maupun ketebalan coran. Hubungan ini dapat dilihat pada gambar 2.17.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

Dari gambar 2.17 dapat dilihat aspek penting lain dari mangan. Pada
coran yang tipis sampai tebal maksimum 25 mm pengaruh mangan dalam
membentuk karbida tereliminasi oleh naiknya kandungan silikon, dimana
untuk kandungan Si yang tinggi dapat ditetapkan jumlah mangan yang cukup
tinggi pula. Sedangkan untuk coran yang tebal hal tersebut tidak dapat
dilakukan mengingat kecenderungan akan terjadinya segregasi.

Gambar 2.17 Mn maksimum yang dianjurkan sebagai fungsi


Si dan tebal coran.
Mangan akan tersegregasi semakin kuat pada kondisi pendinginan
yang lambat, sehingga pada akhirnya untuk kandungan mangan rata-rata 0.4
% akan naik menjadi 2.5 % atau lebih dibagian coran yang mengalami
pembekuan terakhir. Sedangkan silikon mengalami kejadian yang sebaliknya
dimana ia akan tersegregasi justru pada awal pembekuan.
Unsur yang merupakan penggiat pembentukan karbida besi dengan
pengaruh lebih kuat dari mangan adalah chrom (Cr), vanadium (V), bor (B),
telurium (Te) dan molibdenum (Mo). Sehingga untuk menghindari
terbentuknya karbida bebas unsur-unsur tersebut harus dibatasi sebagai
berikut: Cr: 0.05 %, V: 0.03 %, B: 0.003 %, Te: 0.003 %, Mo: 0.01 – 0.75 %.
Grafit bulat hanya mungkin terbentuk pada cairan dengan kandungan
sulfur rendah (S<0.01 %), oleh karenanya pada proses produksinya selain
LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM
PENUANGAN LOGAM

digunakan bahan baku dengan kandungan sulfur rendah, juga dilakukan


desulfurisasi dengan memadukan unsur Mg kedalam cairan.
Mg adalah unsur terpenting yang menghasilkan efek pembulatan
grafit. Efek ini terjadi bila terdapat kandungan Mg didalam besi sebesar 0.02%
– 0.05%. Namun karena unsur ini memiliki titik uap hanya 1107 oC disamping
kelarutannya didalam besi yang relatif rendah, maka untuk mencegah
kehilangan yang terlalu banyak saat pemaduan, Mg diberikan dalam bentuk
paduan FeSiMg.
Beberapa parameter yang berpengaruh pada pemaduan Mg adalah:
 Jenis paduan Mg.
 Temperatur pemaduan.
 Metode pemaduan.
 Jumlah S maupun O2 didalam cairan dasar (base iron).
Untuk menentukan jumlah Mg yang harus dipadukan kedalam cairan
dasar, perlu diperhatikan jumlah yang diperlukan sekaligus untuk desulfurisasi
serta deoksidasi, serta jumlah yang hilang akibat penguapan sebagai berikut:

Sebuah contoh aplikasi:


Kondisi proses:
Sulfur pada base iron (SB) = 0.02%.
Mg rest yang diharapkan (MgR) = 0.04%
Mg dalam paduan (MgRC) = 10% (FeSiMg10)
Efisiensi ladel (LE) = 26% (T = 1500 oC, berdasarkan percobaan).
Maka:

Dengan demikian, misalnya untuk kapasitas ladle treatment 250 kg,


diperlukan FeSiMg10 sebanyak: MgA = 0.018 x 250 kg = 4.5 kg, dengan
temperatur treatment = 1500 oC.

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

E. Paduan Aluminium
Aluminium adalah logam yang ringan dengan berat jenis 2.7 gram/cm3
setelah Magnesium (1.7 gram/cm3 ) dan Berilium(1.85 gram/cm3 ) atau
sekitar 1/3 dari berat jenis besi maupun tembaga. Konduktifitas listriknya 60
% lebih dari tembaga sehingga juga digunakan untuk peralatan listrik. Selain
itu juga memiliki sifat penghantar panas, memiliki sifat pantul sinar yang baik
sehingga digunakan pula pada komponen mesin, alat penukar panas, cermin
pantul, komponen industri kimia dll. Aluminium merupakan logam yang
reaktif sehingga mudah teroksidasi dengan oksigen membentuk lapisan
aluminium oksida, alumina (Al2O3) dan membuatnya tahan korosi yang baik.
Pemakaian aluminium dalam dunia industri yang semakin tinggi,
menyebabkan pengembangan sifat dan karakteristik aluminium terus menerus
ditingkatkan. Aluminium dalam bentuk murni memiliki kekuatan yang rendah
dan tidak cukup baik digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan ketahanan
deformasi dan patahan, maka dari itu perlu ditambahkan unsur lain untuk
meningkatkan kekuatannya. Aluminium dalam bentuk paduan yang sering
dikenal dengan istilah aluminium alloy merupakan jenis aluminium yang
digunakan cukup besar saat ini.
Berdasarkan metode peleburannya, paduan aluminium dikelompokkan
menjadi dua kelompok utama yaitu paduan tempa (wrought) dan paduan tuang
(casting). Jenis paduan aluminium saat ini sangat banyak dan tidak menutup
kemungkinan ditemukannya lagi jenis paduan aluminium baru, oleh karena itu
dibuatlah sistem penamaan sesuai dengan komposisi dan karakteristik paduan
aluminium tersebut untuk memudahkan pengklasifikasiannya. Salah satu
penamaan paduan aluminium adalah dengan standar AA, seperti pada Tabel
2.3.
Pada aluminium tempa, seri 1xxx digunakan untuk aluminium murni.
Digit kedua dari seri tersebut menunjukkan komposisi aluminium dengan limit
pengotor alamiahnya, sedangkan dua digit terakhir menunjukkan persentase
minimum dari aluminium tersebut. Digit pertama pada seri 2xxx sampai 7xxx

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

menunjukkan kelompok paduannya berdasarkan unsur yang memiliki


persentase komposisi terbesar dalam paduan.
Tabel 2.3 Daftar seri paduan aluminium tempa
No. Seri Komposisi Paduan
1xxx Aluminium murni
2xxx Paduan aluminium – tembaga
3xxx Paduan aluminium – mangan
4xxx Paduan aluminium – silicon
5xxx Paduan aluminium – magnesium
6xxx Paduan aluminium – magnesium – silicon
7xxx Paduan aluminium – seng
8xxx Paduan aluminium – timah – litium
9xxx Disiapkan untuk penggunaan di masa depan
Sumber : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/132994-T%2027820-
Analisis%20pengaruh-Tinjauan%20literatur.pdf
Digit kedua menunjukkan modifikasi dari unsur paduannya, jika digit
kedua bernilai 0 maka paduan tersebut murni terdiri dari aluminium dan unsur
paduan. Jika nilainya 1 – 9, maka paduan tersebut memiliki modifikasi dengan
unsure lainnya. Dua angka terakhir untuk seri 2xxx – 8xxx tidak memiliki arti
khusus, hanya untuk membedakan paduan aluminium tersebut dalam
kelompoknya.
Paduan aluminium tuang penamaannya memakai sistem tiga digit
diikuti dengan satu bilangan desimal. Tabel 2.4 menunjukkan seri paduan
aluminium tuang berdasarkan unsur paduannya.
Tabel 2.4 Daftar seri paduan aluminium tuang.
No. Seri Komposisi Paduan
1xxx.x Aluminium murni
2xxx.x Paduan aluminium – tembaga
3xxx.x Paduan aluminium – silicon – magnesium
4xxx.x Paduan aluminium – silicon

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM


PENUANGAN LOGAM

5xxx.x Paduan aluminium – magnesium


6xxx.x Tidak digunakan
7xxx.x Paduan aluminium – seng
8xxx.x Paduan aluminium – timah
9xxx.x Belum digunakan
Sumber : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/132994-T%2027820-
Analisis%20pengaruh-Tinjauan%20literatur.pdf
Dalam standar AA, angka pertama menunjukkan kelompok paduan,
angka kedua dan ketiga menunjukkan kemurnian minimum untuk aluminium
tanpa paduan dan sebagai nomor identifikasi untuk paduan tersebut, angka
keempat menandakan bentuk produk (.0 = spesifikasi coran, .1 = spesifikasi
ingot, .2 = spesifikasi ingot yang lebih spesifik).

LABORATORIUM PENGECORAN LOGAM

You might also like