Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing:
dr. Yuma Sukadarma, Sp.OG
Disusun oleh :
Floretta Dwinovi Pangputri 2016-061-055
Karel Pramana 2016-061-105
Klemens Edward 2016-061-110
Natasha Vinita Wardoyo 2016-061-134
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
PERIODE 23 APRIL 2018 – 7 JULI 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
berkatnya referat dengan judul “Penyakit Trofoblastik Gestasional” bisa diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami, dr.
Yuma Sukadarma, Sp. OG, yang telah menyediakan kemampuan dan pengalaman yang sangat
membantu dan mendukung kami dalam pembuatan referat ini. Referat ini mungkin tidak dapat
diselesaikan tanpa dukungan dari keluarga, teman, dan pihak lain yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Kami berharap referat ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pembaca
mengenai apa itu penyakit trofoblastik gestasional, serta bagaimana melakukan tatalaksananya.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan memiliki banyak kekurangan,
maka kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan referat ini. Kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar dapat dijadikan
perhatian dalam penulisan referat selanjutnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KESIMPULAN ......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 24
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Menambah pengetahuan mengenai penyakit trofoblastik gestasional
1.2.2 Tujuan Khusus
● Mengetahui definisi penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui epidemiologi penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui etiologi dan faktor risiko penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui patofisiologi penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui manifestasi klinis penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui cara mendiagnosis penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui terapi penyakit trofoblastik gestasional
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Gestational trophoblastic disease (GTD) adalah suatu kelompok tumor dengan
karakteristik proliferasi trofoblas yang abnormal.1 GTD terdiri dari sebuah spektrum
penyakit dari yang bersifat pre-maligna seperti mola hidatidosa komplit dan parsial
hingga mola invasif maligna, choriocarcinoma, dan yang paling jarang adalah placental
site trophoblastic tumor/epithelioid trophoblastic tumor (PSTT/ETT).2 Kelompok bentuk
maligna dari GTD ini disebut juga sebagai gestational trophoblastic neoplasia (GTN).
Bentuk dari GTD yang paling sering dengan karakteristik adanya vili adalah mola
hidatidosa. Mola hidatidosa adalah kehamilan dengan abnormalitas genetik yang
memiliki potensi maligna.3 Mola hidatidosa dibagi menjadi dua jenis yaitu mola
hidatidosa komplit dan parsial. Insiden gangguan trofoblastik menetap atau maligna lebih
sering ditemukan pada mola hidatidosa komplit (8%) dibandingkan dengan parsial
(0,5%).4
5
Faktor resiko yang memungkinkan terjadinya keganasan pada mola hidatidosa
adalah umur yang sudah lanjut usia, kadar β-hCG> 100.000 mIU/mL, ukuran uterus yang
terlalu besar dibandingkan dengan usia gestasi, theca-lutein cyst > 6cm, dan penurunan
kadar β-hCG yang lambat.
2.3 ETIOPATOGENESIS
Mola hidatidosa berasal dari fertilisasi dengan abnormalitas kromosom. Mola
hidatidosa komplit umumnya memiliki komposisi kromosomal diploid yang asalnya
androgenesis, artinya berasal dari paternal.1 Patogenesis mola hidatidosa komplit seperti
yang dijelaskan dalam gambar A dibawah, sperma haploid membuahi ovum yang tidak
memiliki kromosom atau dengan kromosom yang inaktif. Kromosom dari sperma
kemudian akan menduplikasi diri setelah proses meiosis. Kariotipe-nya dapat berupa
46,XY atau 46,XX.
6
myometrium, dan arteri spiralis. Trofoblas ini berperan dalam pertukaran molekular
antara maternal dan fetus.6
Pada mola hidatidosa terjadi proliferasi berlebih dari trofoblas dengan diffuse
swelling pada vili korionik. Hal tersebut akan memberikan hasil adanya degenerasi
hidropik dengan adanya vesikel seperti buah anggur mengisi uterus tanpa fetus.
Proliferasi sinsitiotrofoblas yang memproduksi hCG menyebabkan kadar hCG
yang sangat tinggi terutama pada mola hidatidosa komplit (>100.000 mIU/mL). Baik
subunit alfa maupun beta meningkat pada kondisi ini. Beta subunit bersifat unik untuk
hCG, namun alfa subunit dapat ditemukan pada LH, FSH, dan TSH sehingga kinerjanya
dapat menstimulasi kista theca lutein dan hipertiroidisme.5
Tidak terdapat adanya marker yang dapat memprediksi perubahan keganasan
secara pasti, sehingga pemantauan rutin dari kadar beta-hCG setelah kejadian GTD
menjadi krusial untuk mendeteksi transformasi keganasan.7
7
Pada mola hidatidosa komplit, umumnya bermanifestasi dalam
tanda-tanda berupa amenorrhea selama 1-2 bulan kemudian terdapat
perdarahan per vaginam yang dapat disertai dengan keluarnya vesikel,
uterus yang lebih besar dari usia gestasi (large-for-date uterus) dengan
konsistensi lunak karena tidak terdapat bagian-bagian janin, serta tidak
terdeteksi detak jantung janin (tidak adanya tanda viabilitas janin).
Manifestasi klinis berupa anemia dapat ditemukan akibat perdarahan
occult yang tidak terdeteksi. Hipertensi gestasional hingga preeklampsia
dapat ditemukan pada mola hidatidosa. Dampak dari mola hidatidosa
berupa peningkatan kadar hCG dapat bermanifestasi dalam gejala mual
dan muntah (hiperemesis gravidarum), gejala hipertiroidisme (anoreksia,
tremor, takikardia, takipnea), kista theca-lutein pada ovarium.
8
dengan metastasis paru dapat menunjukan gejala dispneu, batuk, dan nyeri
dada.9
Kebanyakan GTN diidentifikasi dari observasi pasien yang
menjalani evakuasi mola hidatidosa berdasarkan kriteria ß-hCG, seperti
yang disebutkan oleh FIGO. Kriteria tersebut adalah:
Plateau nilai ß-hCG selama 3 minggu,
Peningkatan nilai ß-hCG 10% atau lebih selama 2 minggu,
Nilai ß-hCG yang tetap terdeteksi setelah lebih dari 6 bulan evakuasi
mola hidatidosa,
Diagnosis secara histologi choriocarcinoma atau,
Bukti adanya metastasis secara klinis atau radiologis.
Setelah evakuasi mola hidatidosa dengan operasi, nilai ß-hCG akan
berkurang secara drastis, dengan penurunan secara cepat di awal, dan
penurunan lebih lambat setelahnya. Observasi tingkat ß-hCG yang rendah
selama lebih dari 2 hingga 3 minggu diperbolehkan, karena penundaan
tidak akan mempengaruhi kelangsungan hidup wanita. Ini sangat
bermanfaat untuk dokter yang berhadapan dengan tingkat ß-hCG yang
plateau atau yang meningkat, yang mana pengamatan lanjutan sebagai
kebalikan dari inisiasi kemoterapi mungkin diperlukan.
2.4.2 Klasifikasi
2.4.2.1 Mola hidatidosa
Mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi komplit dan parsial.
Perbedaan keduanya didasarkan atas gambaran histologis, kariotipe, dan
klinis. Mola hidatidosa komplit memiliki vili korionik abnormal yang
secara makroskopik terlihat sebagai kumpulan vesikel jernih yang difus
(Gambar 1).1 Kumpulan vesikel ini bervariasi dalam jumlah dan ukuran
dengan adanya pedunkula tipis. Mola hidatidosa komplit umumnya
diploid dan seluruhnya berasal dari paternal. Fetus umumnya tidak
terbentuk.4
9
Gambar . Mola hidatidosa komplit
Mola hidatidosa parsial bersifat lebih fokal dan dapat memiliki beberapa
bagian jaringan janin. Mola hidatidosa parsial umumnya memiliki kariotipe
triploid dengan satu set haploid maternal dan dua set haploid paternal,
disebabkan oleh fertilisasi dispermik atau fertilisasi dari sperma diploid.
Umumnya terdapat jaringan fetus dan plasenta yang besar. Triploid zigot ini
memiliki perkembangan embrionik, namun fetus umumnya juga tidak dapat
bertahan dan meninggal dalam beberapa minggu. Tabel berikut menjelaskan
perbedaan mola hidatidosa komplit dan parsial.1
10
2.4.2.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia
GTN dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mola invasif,
choriocarcinoma, dan placental-site trophoblastic tumor (PSTT). Mola
invasif atau chorioadenoma destruens memiliki karakteristik sama
dengan mola hidatidosa namun menginvasi hingga myometrium. Invasi
miometrium dapat melibatkan kapiler dan vena lokal, dengan perdarahan
vagina yang menetap sebagai gejala yang paling sering didapatkan.
Perforasi uterus dengan perdarahan intraperitoneum, dan infeksi
sekunder dari nekrosis tumor dapat terjadi. Walaupun kebanyakan dari
tumor tersebut akan hilang dengan sendirinya seiring dengan evakuasi,
kemoterapi mungkin diperlukan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas. Mola invasif umumnya dicurigai setelah mola hidatidosa
dievakuasi, beta-hCG tetap tinggi dengan tanpa bukti metastasis.10 Mola
invasif dapat dibedakan dengan choriocarcinoma dengan keberadaan
villi, yang tidak ditemukan pada choriocarcinoma.11
Gestational
trophoblastic
neoplasia
Placental-site tumor
(PSTT), epitheloid
Invasive mole Choriocarcinoma
trophoblastic tumor
(ETT)
11
hematogen dapat menyebar ke semua tempat. Tumor tersebut cenderung
mudah berdarah dan nekrotik. Metastasis lokal termasuk ke vagina dan
metastasis jauh termasuk ke paru-paru, otak, liver, saluran
gastrointestinal, dan ginjal. Paru-paru biasanya merupakan organ
pertama.6
12
anembrionik, aborsi inkomplit, missed abortion, kehamilan
kembar, serta mioma uteri dengan degenerasi kistik.
ii. Pada trimester II gambaran sonography sudah lebih spesifik. Mola
komplit memberikan gambaran “snowstorm” atau “sarang lebah”
(honey comb), yakni massa uterus ekogenik dengan beberasa
ruang kistik anekoik dengan diameter 5-10 mm tetapi tanpa
kantung gestasional. Sedangkan hasil yang menunjang gambaran
mola parsial adalah plasenta tebal multikistik dengan fetus atau
setidaknya jaringan fetus serta rasio dimensi transversal terhadap
anterioposterior dari kantung gestasional lebih besar dari 1.5.
iii. Pada 20-50% kasus ditemukan massa kistik multilokuler di daerah
adneksa yang berasal dari kista teka-lutein.
13
Patologi Mola Parsial Mola Komplit
Pemeriksaan lainnya13
i. Pemeriksaan darah lengkap untuk memeriksa adanya anemia
ii. Pemeriksaan golongan darah dengan cross-match untuk persiapan jika
terjadi perdarahan hebat saat evakuasi mola
iii. Pemeriksaan fungsi koagulasi untuk memeriksa adanya koagulasi
intravaskular diseminata
iv. Pemeriksaan fungsi tiroid untuk memeriksa adanya hipertiroidisme
v. Urinalisis, fungsi liver, dan jumlah platelet untuk memeriksa adanya
preeklampsia
vi. Radiografi thoraks, kepala, abdominopelvis untuk memeriksa adanya
metastasis
2.5.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia
Adanya perdarahan pervaginam yang menetap mendukung dilakukannya
pengukuran β-hCG dan pertimbangan terhadap kuretase sebagai alat diagnostik.
Ukuran uterus juga dinilai untuk mengetahui metastasis pada traktus genitalia
bawah, yang biasanya muncul sebagai massa vaskular kebiruan. Diagnosis GTN
umumnya ditegakkan hanya dari peningkatan kadar β-hCG yang menetap tanpa
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi, sehingga kriteria diagnosisnya
14
hanya mengacu pada kadar β-hCG. Biopsi tidak direkomendasikan karena dapat
menimbulkan perdarahan.1
Setelah diagnosis dapat ditegakkan, langkah berikutnya adalah mencari
kemungkinan metastasis, yaitu dengan pemeriksaan fungsi hati dan ginjal,
transvaginal sonography, rontgen atau CT scan toraks, CT scan atau MRI kepala
dan abdominopelvis. PET scan dan pemeriksaan β-hCG pada cairan serebrospinal
juga dapat digunakan meskipun jarang. Berikut adalah algoritma pemeriksaan
radiologis pada pasien dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya.
15
i. Preoperatif
Pada tahap ini, kita melakukan berbagai pemeriksaan untuk
mengetahui berbagai komplikasi yang mungkin terjadi dari mola
hidatidosa. Pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan seperti
preeclampsia, hipertiroid, anemia, ketidakseimbangan elektrolit, dan
metastasis. Rontgen thorax biasanya dilakukan, akan tetapi jika
ditemukan lesi di paru-paru atau ada tanda-anda pada organ lain dapat
dilakukan computed tomography (CT) dan magnetic resonance
(MRI). Penggunaan osmotic agent untuk membantu pembukaan dari
serviks dapat digunakan jika pembukaan serviks dinilai masih
minimal untuk dilakukan evakuasi.
ii. Intraoperatif
Pemilihan untuk pengobatan mola hidatidosa biasanya
menggunakan kuret dan vakum. Pada evakuasi mola hidatidosa,
perdarahan masif dapat terjadi sehingga diperlukan anestesi yang
cukup, akses intravena yang baik, serta persiapan transfusi darah yang
memadai. Pada saat evakuasi, penggunaan oksitosin 20 IU dalam
1.000 mL RL untuk pemberian kontinu dapat diberikan untuk
mengurangi perdarahan. Penggunaan ultrasonography pada saat
evakuasi direkomendasikan untuk mengetahui apakah seluruh mola
hidatidosa sudah diangkat dari rongga uterus. Jika perdarahan terus
terjadi meski proses evakuasi telah selesai dan oksitosin telah
diberikan, maka dapat diberikan agen uterotonic lainnya seperti
methylergonovin dan misoprostol. Prosedur kuret dan vakum
dilakukan dengan memasukkan suction kuret ukuran 10 – 14 mm.
Metode histerektomi dengan preservasi ovary dapat dilakukan pada
wanita yang menginginkan sterilisasi, selain itu histerektomi dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya GTN pada wanita berumur ≥ 40
tahun. Jika pada proses histerektomi ditemukan theca-lutein cysts
maka tidak perlu diambil, kista tersebut dapat menghilang dengan
sendirinya setelah kehamilan mola diterminasi.
iii. Post-evakuasi
Setelah dilakukan proses kuret, anti-D immunoglobulin
diberikan pada wanita yang memiliki RH D-negative dikarenakan
16
jaringan dari fetus pada mola hidatidosa partial dapat mengandung sel
darah merah yang memiliki D-antigen. Hal yang sama juga dilakukan
dengan mola hidatidosa complete dikarenakan konfirmasi tidak dapat
ditegakkan hingga hasil patologi telah dibaca. Penggunaan
kontrasepsi dilakukan setelah evakuasi, rekomendasi yang dianjurkan
adalah dengan menggunakan pil kombinasi atau medroxyprogesteron
acetat suntik atau metode kontrasepsi lain yang reliable. Intrauterine
device tidak digunakan hingga kadar β-hCG tidak terdeteksi lagi
dikarenakan resiko perforasi uterus jika terdapat mola invasive.
Pengawasan pasca evakuasi dilakukan dengan mengukur kadar serum
β-hCG serial. Pengukuran pertama dilakukan 48 jam setelah proses
evakuasi, angka ini digunakan sebagai baseline dan dibandingkan
dengan hasil pengukuran setiap 1 hingga 2 minggu, pengukuran
dilakukan hingga kadar β-hCG menurun hingga tidak dapat terdeteksi
kembali. Rata-rata resolusi dari mola partial adalah 7 minggu dan
untuk mola complete adalah 9 minggu. Setelah kadar β-hCG tidak
terdeteksi, kadar β-hCG diperiksa kembali setelah 6 bulan, jika
hasilnya tetap tidak terdeteksi maka kehamilan diperbolehkan
kembali.
2.6.1.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia15
Terapi untuk GTN biasanya menggunakan kemoterapi oleh ahli
onkologi. Kuret tidak rekomendasikan dikarenakan resiko terjadinya
perforasi dari uterus, perdarahan massif, infeksi, dan terbentuknya
perlengketa intrauterine, akan tetapi kuret dan suction tetap harus
dilakukan sebagai langkah awal pada pengobatan GTD demi. Ada
beberapa kriteria untuk memulai kemoterapi yaitu kadar hCG yang tetap
tinggi setelah evakuasi, ditemukan hasil choriocarcinoma dari
pemeriksaan histologi, terdapat metastasis ke otak, hati, atau sistem
pencernaan, terdapat metastasis di paru-paru dengan ukuran > 2cm,
serum hCG ≥ 20.000 IU/L lebih dari 4 bulan setelah evakuasi atau
terdapat perdarahan hebat atau adanya salah satu dari perdarahan
intraperitoneal atau gastrointestinal. Terapi untuk GTN dibagi menjadi
low risk dan high risk menurut kriteria skor FIGO, dimana mola
17
hidatidosa dengan skor 0 – 6 merupakan low risk sedangkan skor ≥ 6
disebut sebagai high risk.
18
2. High-Risk disease
Pada pasien dengan FIGO skor ≥ 6 memiliki resiko yang tinggi
untuk terjadi resistensi obat dan sebaiknya dilakukan terapi
menggunakan multi—gent kemoterapi. Beberapa kombinasi yang
dapat digunakan adalah MTX,FA dan ActD (MFA); MTX, ActD,
cyclophosphamide, doxorubicin, melphalan, hydroxyurea, dan
vincristine (CHAMOCA); MTX, ActD, dan cyclophosphamide
(MAC); etoposide, MTX, dan ActD (EMA). Kombinasi lini pertama
yang paling sering digunakan adalah kombinasi etoposide,
methotrexate, actinomycin-D ditambah cyclophosphamide, dan
vincristine (EMA/CO). Pada GTN terapi dianjurkan dilanjuktkan
selama 6 minggu setelah kadar serum hCG normal atau 8 minggu jika
terdapat faktor prognosis yang buruk contohnya terdapat metastasis
ke hati atau otak. Pada skor FIGO >13 biasanya berhubungan dengan
hasil akhir yang kurang bagus, dimana tidak hanya terjadi resistensi
terhadap obat tetapi juga terjadinya komplikasi yang lebih cepat dan
lebih parah. Pemberian dosis rendah EP (etoposide 100 mg/m2 dan
cisplatin 20 mg/m2 pada hari pertama dan kedua diulang setiap
minggu) selama satu hingga dua siklus sebelum memulai terapi
EMA/CO dapat menurunkan tingkat mortalitas dini dari 11 kematian
dari 140 pasien menjad 1 dari 140 pasien.
3. Resistant/recurrent disease
Sekitar 20-25% pasien dengan high-risk GTN terjadi resistensi
atau muncul kembali. Surgical dan regimen menggunakan cisplatin
dapat digunakan. Histerektomi dan metastektomi berperan penting
pada managemen pasien yang resisten terhadap kemoterapi.
Kemoterapi yang dapat digunakan biasanya adalah etoposide,
methotrexate, dan dactinomycin bergantian setiap minggu dengan
etoposide ditambah cisplatin (EMA-EP), dapat juga diberikan
paclitaxel dan etoposide bergantian setiap 2 minggu dengan paclitaxel
dan cisplatin (TE/TP), regimen terakhir terbukti memiliki efektifitas
yang sama dengan EMA-EP akan tetapi memiliki efek toksisitas
yang lebih rendah.
19
4. Placental site trophoblastic tumor dan ETT
Terapi utama dari patien dengan PSTT adalah operasi.
Histerektomi dengan pemeriksaan KGB pelvis direkomendasikan
untuk stage I yang muncul dalam 4 tahun setelah kehamilan terakhir.
Pasien dengan metastasis, diberikan kombinasi kemoterapi, EP/EMA
direkomendasikan diberikan selama 8 minggu setelah kadar serum
hCG normal.
20
selama 18 bulan dan kemudian dipantau setiap 6 bulan selama 2 tahun
lalu tiap tahun selama 5 tahun.
21
terjadinya keganasan pada mola hidatidosa adalah umur yang sudah lanjut usia,
kadar β-hCG> 100.000 mIU/mL, ukuran uterus yang terlalu besar dibandingkan
dengan usia gestasi, theca-lutein cyst > 6cm, dan penurunan kadar β-hCG yang
lambat. Rekurensi pada mola hidatidosa adalah 1-2% setelah 1 kali mengalami
mola hidatidosa, akan tetapi kemungkinan tersebut akan meningkat menjadi 16-
68% setelah mengalami mola hidatidosa yang kedua kali.
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24
14. Beckmann CR, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WN, Laube DW, Smith RP.
Obstetrics and Gynecology. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2010.
15. Santaballa A, García Y, Herrero A, Laínez N, Fuentes J, De Juan A, et al. SEOM
clinical guidelines in gestational trophoblastic disease (2017). Clin Transl Oncol.
2018;20(1):38–46.
25