You are on page 1of 25

REFERAT

PENYAKIT TROFOBLASTIK GESTASIONAL

Pembimbing:
dr. Yuma Sukadarma, Sp.OG

Disusun oleh :
Floretta Dwinovi Pangputri 2016-061-055
Karel Pramana 2016-061-105
Klemens Edward 2016-061-110
Natasha Vinita Wardoyo 2016-061-134

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
PERIODE 23 APRIL 2018 – 7 JULI 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
berkatnya referat dengan judul “Penyakit Trofoblastik Gestasional” bisa diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami, dr.
Yuma Sukadarma, Sp. OG, yang telah menyediakan kemampuan dan pengalaman yang sangat
membantu dan mendukung kami dalam pembuatan referat ini. Referat ini mungkin tidak dapat
diselesaikan tanpa dukungan dari keluarga, teman, dan pihak lain yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Kami berharap referat ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pembaca
mengenai apa itu penyakit trofoblastik gestasional, serta bagaimana melakukan tatalaksananya.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan memiliki banyak kekurangan,
maka kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan referat ini. Kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar dapat dijadikan
perhatian dalam penulisan referat selanjutnya.

Jakarta, 06 Mei 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 4
1.2 TUJUAN ........................................................................................................................... 4
1.2.1 Tujuan Umum .......................................................................................................... 4
1.2.2 Tujuan Khusus ......................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 5


2.1 DEFINISI .......................................................................................................................... 5
2.2 EPIDEMIOLOGI .............................................................................................................. 5
2.3 ETIPATOGENESIS ......................................................................................................... 6
2.4 MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI ............................................................... 7
2.4.1. Manifestasi Klinis ................................................................................................... 7
2.4.2. Klasifikasi ............................................................................................................... 9
2.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS.......................................................................................... 12
2.6 TERAPI DAN PROGNOSIS .......................................................................................... 15

KESIMPULAN ......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 24

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penyakit trofoblastik gestasional didefinisikan sebagai sekelompok tumor yang
ditandai dengan proliferasi trofoblas yang abnormal. Salah satu yang termasuk di
dalamnya adalah mola hidatidosa. Mola hidatidosa, atau dikenal masyarakat sebagai
‘hamil anggur’, merupakan penyebab perdarahan yang sering pada kehamilan muda,
terutama pada usia reproduktif yang ekstrim, yaitu usia remaja awal atau perimenopause.
Jumlah insiden mola hidatidosa beragam, berkisar dari 1/100 kehamilan di Indonesia
hingga 1/500 kehamilan di Paraguay.
Suatu studi menunjukkan sebanyak 1,7% wanita dengan mola hidatidosa akan
mengalami rekurensi pada kehamilan berikutnya. Sekitar 20% wanita dengan mola
hidatidosa komplit dapat berkembang menjadi keganasan trofoblastik. Namun saat ini,
angka kematian akibat mola hidatidosa adalah nihil dikarenakan diagnosis dini dan terapi
yang akurat. Oleh karena itu, penulis ingin membahas penyakit trofoblastik gestasional
mulai dari definisi, patofisiologi, diagnosis, hingga tatalaksananya.

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Menambah pengetahuan mengenai penyakit trofoblastik gestasional
1.2.2 Tujuan Khusus
● Mengetahui definisi penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui epidemiologi penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui etiologi dan faktor risiko penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui patofisiologi penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui manifestasi klinis penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui cara mendiagnosis penyakit trofoblastik gestasional
● Mengetahui terapi penyakit trofoblastik gestasional

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Gestational trophoblastic disease (GTD) adalah suatu kelompok tumor dengan
karakteristik proliferasi trofoblas yang abnormal.1 GTD terdiri dari sebuah spektrum
penyakit dari yang bersifat pre-maligna seperti mola hidatidosa komplit dan parsial
hingga mola invasif maligna, choriocarcinoma, dan yang paling jarang adalah placental
site trophoblastic tumor/epithelioid trophoblastic tumor (PSTT/ETT).2 Kelompok bentuk
maligna dari GTD ini disebut juga sebagai gestational trophoblastic neoplasia (GTN).
Bentuk dari GTD yang paling sering dengan karakteristik adanya vili adalah mola
hidatidosa. Mola hidatidosa adalah kehamilan dengan abnormalitas genetik yang
memiliki potensi maligna.3 Mola hidatidosa dibagi menjadi dua jenis yaitu mola
hidatidosa komplit dan parsial. Insiden gangguan trofoblastik menetap atau maligna lebih
sering ditemukan pada mola hidatidosa komplit (8%) dibandingkan dengan parsial
(0,5%).4

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Studi epidemiologi melaporkan adanya variasi regional dari insidensi mola
hidatidosa. Asia Tenggara dan Jepang memiliki insidensi yang lebih tinggi (2,0 per 1000
kehamilan) dibandingkan di Amerika, Australia, Eropa, maupun Selandia Baru (0,57 –
1,1 per 1000 kehamilan).5
Beberapa faktor resiko telah dievaluasi dari mola hidatidosa yaitu usia maternal
yang ekstrim (<16 tahun dan >45 tahun), riwayat kehamilan mola sebelumnya, diet dan
genetik.6 Usia maternal yang ekstrim ini berhubungan dengan proses gametogenesis atau
fertilisasi yang abnormal terutama pada mola hidatidosa komplit. Resiko terjadinya mola
hidatidosa berulang setelah satu kali mola hidatidosa adalah sekitar 1% atau sekitar 10-
20 lipat dari populasi umum. Setelah kehamilan mola kedua, resiko kehamilan mola
berikutnya menjadi 15-20%.2 Diet merupakan faktor resiko yang masih menjadi
perdebatan, pada beberapa penelitian, mola hidatidosa dikaitkan dengan defisiensi
vitamin A. Kelainan autosomal resesif dengan mutasi gen NLRP7 dan KHDC3L lebih
rentan untuk alami kehamilan berupa mola hidatidosa komplit.6

5
Faktor resiko yang memungkinkan terjadinya keganasan pada mola hidatidosa
adalah umur yang sudah lanjut usia, kadar β-hCG> 100.000 mIU/mL, ukuran uterus yang
terlalu besar dibandingkan dengan usia gestasi, theca-lutein cyst > 6cm, dan penurunan
kadar β-hCG yang lambat.

2.3 ETIOPATOGENESIS
Mola hidatidosa berasal dari fertilisasi dengan abnormalitas kromosom. Mola
hidatidosa komplit umumnya memiliki komposisi kromosomal diploid yang asalnya
androgenesis, artinya berasal dari paternal.1 Patogenesis mola hidatidosa komplit seperti
yang dijelaskan dalam gambar A dibawah, sperma haploid membuahi ovum yang tidak
memiliki kromosom atau dengan kromosom yang inaktif. Kromosom dari sperma
kemudian akan menduplikasi diri setelah proses meiosis. Kariotipe-nya dapat berupa
46,XY atau 46,XX.

Gambar Skema patogenesis mola hidatidosa


Mola hidatidosa parsial umumnya memiliki kariotipe triploid (69, XXX, 69,XXY)
dalam proses seperti pada Gambar B. Kromosom ini terdiri dari dua set haploid paternal
yang disebabkan oleh dispermy (dua sperma) dan satu set haploid maternal.1
Kelainan kromosom ini akan menyebabkan gangguan diferensiasi dari trofoblas.
Saat awal diferensiasi embrionik, trofoblas terbentuk dari bagian luar blastosit, dengan
tiga lapis trofoblas yaitu sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan intermediate trofoblas.
Lapisan-lapisan ini akan membentuk vili korionik yang akan menginfiltrasi desidua,

6
myometrium, dan arteri spiralis. Trofoblas ini berperan dalam pertukaran molekular
antara maternal dan fetus.6

Pada mola hidatidosa terjadi proliferasi berlebih dari trofoblas dengan diffuse
swelling pada vili korionik. Hal tersebut akan memberikan hasil adanya degenerasi
hidropik dengan adanya vesikel seperti buah anggur mengisi uterus tanpa fetus.
Proliferasi sinsitiotrofoblas yang memproduksi hCG menyebabkan kadar hCG
yang sangat tinggi terutama pada mola hidatidosa komplit (>100.000 mIU/mL). Baik
subunit alfa maupun beta meningkat pada kondisi ini. Beta subunit bersifat unik untuk
hCG, namun alfa subunit dapat ditemukan pada LH, FSH, dan TSH sehingga kinerjanya
dapat menstimulasi kista theca lutein dan hipertiroidisme.5
Tidak terdapat adanya marker yang dapat memprediksi perubahan keganasan
secara pasti, sehingga pemantauan rutin dari kadar beta-hCG setelah kejadian GTD
menjadi krusial untuk mendeteksi transformasi keganasan.7

2.4 MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI


2.4.1 Manifestasi Klinis1,5,8
2.4.1.1 Mola hidatidosa

7
Pada mola hidatidosa komplit, umumnya bermanifestasi dalam
tanda-tanda berupa amenorrhea selama 1-2 bulan kemudian terdapat
perdarahan per vaginam yang dapat disertai dengan keluarnya vesikel,
uterus yang lebih besar dari usia gestasi (large-for-date uterus) dengan
konsistensi lunak karena tidak terdapat bagian-bagian janin, serta tidak
terdeteksi detak jantung janin (tidak adanya tanda viabilitas janin).
Manifestasi klinis berupa anemia dapat ditemukan akibat perdarahan
occult yang tidak terdeteksi. Hipertensi gestasional hingga preeklampsia
dapat ditemukan pada mola hidatidosa. Dampak dari mola hidatidosa
berupa peningkatan kadar hCG dapat bermanifestasi dalam gejala mual
dan muntah (hiperemesis gravidarum), gejala hipertiroidisme (anoreksia,
tremor, takikardia, takipnea), kista theca-lutein pada ovarium.

2.4.1.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia


Manifestasi klinis dari mola invasif termasuk perdarahan vagina
yang tidak teratur, subinvolusi uteri, dan kista teka lutein.6 Setelah
evakuasi kehamilan molar, level ß-hCG seharusnya menurun dan tingkat
harus ß-hCG harus dipantau untuk memastikan keberhasilan tatalaksana.
Pasien dengan level ß-hCG yang tidak turun ke level normal harus
dievaluasi untuk adanya GTN, karena biasanya pasien dengan GTN
asimtomatik. Level ß-hCG biasanya naik pada choriocarcinoma dan hanya
sedikit meningkat pada PSTT dan ETT. Pasien juga dapat menunjukan
gejala metastasis jauh seperti pasien dengan metastasis otak dapat
menunjukan gejala sakit kepala, kejang, atau hemiplegi, dan pasien

8
dengan metastasis paru dapat menunjukan gejala dispneu, batuk, dan nyeri
dada.9
Kebanyakan GTN diidentifikasi dari observasi pasien yang
menjalani evakuasi mola hidatidosa berdasarkan kriteria ß-hCG, seperti
yang disebutkan oleh FIGO. Kriteria tersebut adalah:
 Plateau nilai ß-hCG selama 3 minggu,
 Peningkatan nilai ß-hCG 10% atau lebih selama 2 minggu,
 Nilai ß-hCG yang tetap terdeteksi setelah lebih dari 6 bulan evakuasi
mola hidatidosa,
 Diagnosis secara histologi choriocarcinoma atau,
 Bukti adanya metastasis secara klinis atau radiologis.
Setelah evakuasi mola hidatidosa dengan operasi, nilai ß-hCG akan
berkurang secara drastis, dengan penurunan secara cepat di awal, dan
penurunan lebih lambat setelahnya. Observasi tingkat ß-hCG yang rendah
selama lebih dari 2 hingga 3 minggu diperbolehkan, karena penundaan
tidak akan mempengaruhi kelangsungan hidup wanita. Ini sangat
bermanfaat untuk dokter yang berhadapan dengan tingkat ß-hCG yang
plateau atau yang meningkat, yang mana pengamatan lanjutan sebagai
kebalikan dari inisiasi kemoterapi mungkin diperlukan.

2.4.2 Klasifikasi
2.4.2.1 Mola hidatidosa
Mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi komplit dan parsial.
Perbedaan keduanya didasarkan atas gambaran histologis, kariotipe, dan
klinis. Mola hidatidosa komplit memiliki vili korionik abnormal yang
secara makroskopik terlihat sebagai kumpulan vesikel jernih yang difus
(Gambar 1).1 Kumpulan vesikel ini bervariasi dalam jumlah dan ukuran
dengan adanya pedunkula tipis. Mola hidatidosa komplit umumnya
diploid dan seluruhnya berasal dari paternal. Fetus umumnya tidak
terbentuk.4

9
Gambar . Mola hidatidosa komplit
Mola hidatidosa parsial bersifat lebih fokal dan dapat memiliki beberapa
bagian jaringan janin. Mola hidatidosa parsial umumnya memiliki kariotipe
triploid dengan satu set haploid maternal dan dua set haploid paternal,
disebabkan oleh fertilisasi dispermik atau fertilisasi dari sperma diploid.
Umumnya terdapat jaringan fetus dan plasenta yang besar. Triploid zigot ini
memiliki perkembangan embrionik, namun fetus umumnya juga tidak dapat
bertahan dan meninggal dalam beberapa minggu. Tabel berikut menjelaskan
perbedaan mola hidatidosa komplit dan parsial.1

10
2.4.2.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia
GTN dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mola invasif,
choriocarcinoma, dan placental-site trophoblastic tumor (PSTT). Mola
invasif atau chorioadenoma destruens memiliki karakteristik sama
dengan mola hidatidosa namun menginvasi hingga myometrium. Invasi
miometrium dapat melibatkan kapiler dan vena lokal, dengan perdarahan
vagina yang menetap sebagai gejala yang paling sering didapatkan.
Perforasi uterus dengan perdarahan intraperitoneum, dan infeksi
sekunder dari nekrosis tumor dapat terjadi. Walaupun kebanyakan dari
tumor tersebut akan hilang dengan sendirinya seiring dengan evakuasi,
kemoterapi mungkin diperlukan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas. Mola invasif umumnya dicurigai setelah mola hidatidosa
dievakuasi, beta-hCG tetap tinggi dengan tanpa bukti metastasis.10 Mola
invasif dapat dibedakan dengan choriocarcinoma dengan keberadaan
villi, yang tidak ditemukan pada choriocarcinoma.11

Gestational
trophoblastic
neoplasia

Placental-site tumor
(PSTT), epitheloid
Invasive mole Choriocarcinoma
trophoblastic tumor
(ETT)

Choriocarcinoma adalah tumor epitel maligna invasif yang


memproduksi hCG dengan diferensiasi avilus disertai nekrosis dan
pendarahan. PSTT adalah trofoblas dengan implantasi ekstravilus
interstisial dengan perdarahan dan nekrosis yang lebih sedikit, kadar
hCG yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan dengan
choriocarcinoma. Kebanyakan metastasis GTN merupakan akibat dari
choriocarcinoma. Meskipun demikian. PSTT terkait dengan metastasis
pada saat diagnosis awal di 40% kasus dengan metastasis paru, dengan
paru merupakan tempat yang paling sering, dan 50% hadir dengan
metastasis pada saat diagnosis. Baik choriocarcinoma, PSTT, dan ETT,
dapat mengikuti setelah peristiwa kehamilan. Metastasis dari penyebaran

11
hematogen dapat menyebar ke semua tempat. Tumor tersebut cenderung
mudah berdarah dan nekrotik. Metastasis lokal termasuk ke vagina dan
metastasis jauh termasuk ke paru-paru, otak, liver, saluran
gastrointestinal, dan ginjal. Paru-paru biasanya merupakan organ
pertama.6

2.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS


2.5.1 Mola Hidatidosa
a. Anamnesis1,12
 Amenorrhea, biasanya disertai dengan perdarahan pervaginam.
Perdarahan biasanya tidak nyeri, walaupun dapat pula terjadi nyeri perut
bawah akibat kontraksi uterus
 Pengeluaran jaringan mola
b. Pemeriksaan Fisik1,12
 Diskrepansi fundus uteri dimana tinggi fundus uteri lebih besar daripada
usia kehamilan
 Denyut jantung janin negatif
 Dapat ditemukan vesikel seperti anggur di vagina
c. Pemeriksaan Penunjang
 β-hCG serum atau urin1
HCG (Human Chorionic Gonadotrophin) memiliki komponen
subunit alpha dan beta. Subunit alpha merupakan bagian yang
glikoprotein yang umum pada lutenising hormone (LH) dan thyroid-
stimulating hormone (TSH). Subunit beta merupakan bagian
glikoprotein yang spesifik pada hCG. Assay yang digunakan untuk
mendeteksi hCG secara khusus menggunakan antibodi spesifik untuk
subunit beta.2 Peningkatan level β-hCG pada mola parsial <100.000
mIU/mL dan terdapat peningkatan level β-hCG yang lebih tinggi pada
mola komplit yaitu >100.000 mIU/mL.
 Ultrasound sonography1,12
i. Pada trimester I gambaran sonography untuk mola hidatidiform
tidak spesifik. Gambaran dapat menyerupai kehamilan

12
anembrionik, aborsi inkomplit, missed abortion, kehamilan
kembar, serta mioma uteri dengan degenerasi kistik.
ii. Pada trimester II gambaran sonography sudah lebih spesifik. Mola
komplit memberikan gambaran “snowstorm” atau “sarang lebah”
(honey comb), yakni massa uterus ekogenik dengan beberasa
ruang kistik anekoik dengan diameter 5-10 mm tetapi tanpa
kantung gestasional. Sedangkan hasil yang menunjang gambaran
mola parsial adalah plasenta tebal multikistik dengan fetus atau
setidaknya jaringan fetus serta rasio dimensi transversal terhadap
anterioposterior dari kantung gestasional lebih besar dari 1.5.
iii. Pada 20-50% kasus ditemukan massa kistik multilokuler di daerah
adneksa yang berasal dari kista teka-lutein.

A. Potongan sagital uterus dengan mola hidatidiform komplit.


B. Gambaran mola hidatidiform parsial dengan plasenta multikistik.
 Histopatologi1
Gambaran histopatologi mola parsial dan komplit dapat dilihat pada Tabel di
bawah ini.

13
Patologi Mola Parsial Mola Komplit

Embrio-fetus Biasanya ada Absen

Amnion, eritrosit fetus Biasanya ada Absen

Edema vili Fokal Menyeluruh

Proliferasi trofoblastik Fokal, ringan hingga Ringan hingga berat


sedang

Atipik trofoblastik Ringan Berat

P57KIP2 immunostaining Positif Negatif

Analisis kariotipe Triploid Diploid

 Pemeriksaan lainnya13
i. Pemeriksaan darah lengkap untuk memeriksa adanya anemia
ii. Pemeriksaan golongan darah dengan cross-match untuk persiapan jika
terjadi perdarahan hebat saat evakuasi mola
iii. Pemeriksaan fungsi koagulasi untuk memeriksa adanya koagulasi
intravaskular diseminata
iv. Pemeriksaan fungsi tiroid untuk memeriksa adanya hipertiroidisme
v. Urinalisis, fungsi liver, dan jumlah platelet untuk memeriksa adanya
preeklampsia
vi. Radiografi thoraks, kepala, abdominopelvis untuk memeriksa adanya
metastasis
2.5.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia
Adanya perdarahan pervaginam yang menetap mendukung dilakukannya
pengukuran β-hCG dan pertimbangan terhadap kuretase sebagai alat diagnostik.
Ukuran uterus juga dinilai untuk mengetahui metastasis pada traktus genitalia
bawah, yang biasanya muncul sebagai massa vaskular kebiruan. Diagnosis GTN
umumnya ditegakkan hanya dari peningkatan kadar β-hCG yang menetap tanpa
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi, sehingga kriteria diagnosisnya

14
hanya mengacu pada kadar β-hCG. Biopsi tidak direkomendasikan karena dapat
menimbulkan perdarahan.1
Setelah diagnosis dapat ditegakkan, langkah berikutnya adalah mencari
kemungkinan metastasis, yaitu dengan pemeriksaan fungsi hati dan ginjal,
transvaginal sonography, rontgen atau CT scan toraks, CT scan atau MRI kepala
dan abdominopelvis. PET scan dan pemeriksaan β-hCG pada cairan serebrospinal
juga dapat digunakan meskipun jarang. Berikut adalah algoritma pemeriksaan
radiologis pada pasien dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya.

Gambar Algoritma Pemeriksaan Radiologis pada GTN

2.6 TERAPI DAN PROGNOSIS


2.6.1 Terapi
2.6.1.1 Mola Hidatidosa1,13
Kematian ibu dikarenakan mola hidatidosa sangatlah jarang
dikarenakan diagnosis yang awal, evakuasi mola yang baik dan
pengawasan post evakuasi yang baik untuk mendiagnosis GTN.
Tatalaksana yang biasanya dipilih adalah kuret dengan suction atau
dilakukan histerektomi pada pasien yang sudah berumur > 40 tahun dan
memiliki resiko tinggi terjadinya mola berulang. Ada beberapa persiapan
untuk menangani mola hidatidiform yang dapat dibagi menjadi 3 bagian
yaitu preoperatif, intraoperatif, dan post-evakuasi.

15
i. Preoperatif
Pada tahap ini, kita melakukan berbagai pemeriksaan untuk
mengetahui berbagai komplikasi yang mungkin terjadi dari mola
hidatidosa. Pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan seperti
preeclampsia, hipertiroid, anemia, ketidakseimbangan elektrolit, dan
metastasis. Rontgen thorax biasanya dilakukan, akan tetapi jika
ditemukan lesi di paru-paru atau ada tanda-anda pada organ lain dapat
dilakukan computed tomography (CT) dan magnetic resonance
(MRI). Penggunaan osmotic agent untuk membantu pembukaan dari
serviks dapat digunakan jika pembukaan serviks dinilai masih
minimal untuk dilakukan evakuasi.
ii. Intraoperatif
Pemilihan untuk pengobatan mola hidatidosa biasanya
menggunakan kuret dan vakum. Pada evakuasi mola hidatidosa,
perdarahan masif dapat terjadi sehingga diperlukan anestesi yang
cukup, akses intravena yang baik, serta persiapan transfusi darah yang
memadai. Pada saat evakuasi, penggunaan oksitosin 20 IU dalam
1.000 mL RL untuk pemberian kontinu dapat diberikan untuk
mengurangi perdarahan. Penggunaan ultrasonography pada saat
evakuasi direkomendasikan untuk mengetahui apakah seluruh mola
hidatidosa sudah diangkat dari rongga uterus. Jika perdarahan terus
terjadi meski proses evakuasi telah selesai dan oksitosin telah
diberikan, maka dapat diberikan agen uterotonic lainnya seperti
methylergonovin dan misoprostol. Prosedur kuret dan vakum
dilakukan dengan memasukkan suction kuret ukuran 10 – 14 mm.
Metode histerektomi dengan preservasi ovary dapat dilakukan pada
wanita yang menginginkan sterilisasi, selain itu histerektomi dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya GTN pada wanita berumur ≥ 40
tahun. Jika pada proses histerektomi ditemukan theca-lutein cysts
maka tidak perlu diambil, kista tersebut dapat menghilang dengan
sendirinya setelah kehamilan mola diterminasi.
iii. Post-evakuasi
Setelah dilakukan proses kuret, anti-D immunoglobulin
diberikan pada wanita yang memiliki RH D-negative dikarenakan
16
jaringan dari fetus pada mola hidatidosa partial dapat mengandung sel
darah merah yang memiliki D-antigen. Hal yang sama juga dilakukan
dengan mola hidatidosa complete dikarenakan konfirmasi tidak dapat
ditegakkan hingga hasil patologi telah dibaca. Penggunaan
kontrasepsi dilakukan setelah evakuasi, rekomendasi yang dianjurkan
adalah dengan menggunakan pil kombinasi atau medroxyprogesteron
acetat suntik atau metode kontrasepsi lain yang reliable. Intrauterine
device tidak digunakan hingga kadar β-hCG tidak terdeteksi lagi
dikarenakan resiko perforasi uterus jika terdapat mola invasive.
Pengawasan pasca evakuasi dilakukan dengan mengukur kadar serum
β-hCG serial. Pengukuran pertama dilakukan 48 jam setelah proses
evakuasi, angka ini digunakan sebagai baseline dan dibandingkan
dengan hasil pengukuran setiap 1 hingga 2 minggu, pengukuran
dilakukan hingga kadar β-hCG menurun hingga tidak dapat terdeteksi
kembali. Rata-rata resolusi dari mola partial adalah 7 minggu dan
untuk mola complete adalah 9 minggu. Setelah kadar β-hCG tidak
terdeteksi, kadar β-hCG diperiksa kembali setelah 6 bulan, jika
hasilnya tetap tidak terdeteksi maka kehamilan diperbolehkan
kembali.
2.6.1.2 Gestational Trophoblastic Neoplasia15
Terapi untuk GTN biasanya menggunakan kemoterapi oleh ahli
onkologi. Kuret tidak rekomendasikan dikarenakan resiko terjadinya
perforasi dari uterus, perdarahan massif, infeksi, dan terbentuknya
perlengketa intrauterine, akan tetapi kuret dan suction tetap harus
dilakukan sebagai langkah awal pada pengobatan GTD demi. Ada
beberapa kriteria untuk memulai kemoterapi yaitu kadar hCG yang tetap
tinggi setelah evakuasi, ditemukan hasil choriocarcinoma dari
pemeriksaan histologi, terdapat metastasis ke otak, hati, atau sistem
pencernaan, terdapat metastasis di paru-paru dengan ukuran > 2cm,
serum hCG ≥ 20.000 IU/L lebih dari 4 bulan setelah evakuasi atau
terdapat perdarahan hebat atau adanya salah satu dari perdarahan
intraperitoneal atau gastrointestinal. Terapi untuk GTN dibagi menjadi
low risk dan high risk menurut kriteria skor FIGO, dimana mola

17
hidatidosa dengan skor 0 – 6 merupakan low risk sedangkan skor ≥ 6
disebut sebagai high risk.

Gambar Staging dan Skoring GTD


1. Low-Risk disease (Skor 0 – 6 atau stage I)
Sebagian besar GTN merupakan Low-Risk. Pengobatan
kemoterapi yang direkomendasikan adalah single-agent kemoterapi,
obat yang paling sering digunakan adalah methotrexate (MTX)
dengan atau tanpa pemberian asam folat(FA) dan actinomycin-D
(ActD). Terapi lini pertama yang paling sering digunakan adalah
MTX dikarenakan toksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
ActD. Kemoterapi harus dilanjutkan hingga 6 minggu setelah kadar
serum hCG menjadi normal. Pada pasien dengan low-risk GTN, 10-
30% dapat terjadi resistensi terhadap pengobatan. Pengobatan pada
kasus resistensi seperti ini dapat diberikan pengobatan single-agent
lini kedua, yaitu pengobatan yang belum dipakai sebelumnya, akan
tetapi pada pasien dengan skor tinggi (5-6) memiliki resiko resistensi
yang lebih tinggi sehingga multi-agent kemoterapi dapat
dipertimbangkan. Pada pasien yang resisten setelah diberikan single-
agent lini kedua dapat diberikan kemoterapi kombinasi.

18
2. High-Risk disease
Pada pasien dengan FIGO skor ≥ 6 memiliki resiko yang tinggi
untuk terjadi resistensi obat dan sebaiknya dilakukan terapi
menggunakan multi—gent kemoterapi. Beberapa kombinasi yang
dapat digunakan adalah MTX,FA dan ActD (MFA); MTX, ActD,
cyclophosphamide, doxorubicin, melphalan, hydroxyurea, dan
vincristine (CHAMOCA); MTX, ActD, dan cyclophosphamide
(MAC); etoposide, MTX, dan ActD (EMA). Kombinasi lini pertama
yang paling sering digunakan adalah kombinasi etoposide,
methotrexate, actinomycin-D ditambah cyclophosphamide, dan
vincristine (EMA/CO). Pada GTN terapi dianjurkan dilanjuktkan
selama 6 minggu setelah kadar serum hCG normal atau 8 minggu jika
terdapat faktor prognosis yang buruk contohnya terdapat metastasis
ke hati atau otak. Pada skor FIGO >13 biasanya berhubungan dengan
hasil akhir yang kurang bagus, dimana tidak hanya terjadi resistensi
terhadap obat tetapi juga terjadinya komplikasi yang lebih cepat dan
lebih parah. Pemberian dosis rendah EP (etoposide 100 mg/m2 dan
cisplatin 20 mg/m2 pada hari pertama dan kedua diulang setiap
minggu) selama satu hingga dua siklus sebelum memulai terapi
EMA/CO dapat menurunkan tingkat mortalitas dini dari 11 kematian
dari 140 pasien menjad 1 dari 140 pasien.
3. Resistant/recurrent disease
Sekitar 20-25% pasien dengan high-risk GTN terjadi resistensi
atau muncul kembali. Surgical dan regimen menggunakan cisplatin
dapat digunakan. Histerektomi dan metastektomi berperan penting
pada managemen pasien yang resisten terhadap kemoterapi.
Kemoterapi yang dapat digunakan biasanya adalah etoposide,
methotrexate, dan dactinomycin bergantian setiap minggu dengan
etoposide ditambah cisplatin (EMA-EP), dapat juga diberikan
paclitaxel dan etoposide bergantian setiap 2 minggu dengan paclitaxel
dan cisplatin (TE/TP), regimen terakhir terbukti memiliki efektifitas
yang sama dengan EMA-EP akan tetapi memiliki efek toksisitas
yang lebih rendah.

19
4. Placental site trophoblastic tumor dan ETT
Terapi utama dari patien dengan PSTT adalah operasi.
Histerektomi dengan pemeriksaan KGB pelvis direkomendasikan
untuk stage I yang muncul dalam 4 tahun setelah kehamilan terakhir.
Pasien dengan metastasis, diberikan kombinasi kemoterapi, EP/EMA
direkomendasikan diberikan selama 8 minggu setelah kadar serum
hCG normal.

Gambar Regimen pengobatan

Resiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kemoterapi adalah 3


dan biasanya muncul pada tahun pertama saat pemantauan. Maka dari itu
pemantauan kadar hCG secara ketat diperlukan dan kehamilan perlu
ditundah terlebih dahulu. Pemantauan kadar hCG rata-rata dilakukan
selama 3 minggu setelah kadar serum hCG normal, pada GTN low-risk
setelah kemoterapi, dipantau setiap bulan selama 12 bulan lalu dipantau
setiap 6 bulan selama 1 tahun lalu setiap tahun selama 5 tahun. Pada
pasien dengan GTN high-risk, setelah kemoterapi dipantau setiap bulan

20
selama 18 bulan dan kemudian dipantau setiap 6 bulan selama 2 tahun
lalu tiap tahun selama 5 tahun.

Gambar Follow Up Schedule

2.6.2 Follow up dan Penanganan Resiko Keganasan


Setelah kuretase dan penanganan mola hidatidosa, diperlukan pemantauan
dan follow up kadar hCG karena tidak adanya marker atau penanda histopatologis
lain yang dapat memprediksi keganasan pada mola jinak. International
Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) membuat suatu indikasi untuk
kemoterapi setelah diagnosis GTD ditegakkan.2
Indikasi Kemoterapi pada GTD:
 Kadar hCG yang meningkat atau menetap setelah evakuasi mola (dievaluasi
dari minimal 4 nilai kadar hCG dalam 3 minggu (hari ke-1, 7, 14, dan 21)
dan kenaikan hCG lebih dari 10% dalam 2 minggu (hari-1, 7, dan 14)
 Perdarahan per vaginam berat atau tanda-tanda perdarahan gastrointestinal
atau intraperitoneal
 Hasil histologi choriocarcinoma
 Bukti metastasis di otak, liver, saluran gastrointestinal, atau adanya
radioopasitas > 2 cm pada x-ray paru
 Serum hCG ≥ 20.000 IU/l > 4 minggu setelah evakuasi

2.6.3 Prognosis 1,14


Prognosis dari mola hidatidosa bergantung pada beberapa faktor risiko dan
tipe mola. Pada mola hidatidosa partial, kemungkinan untuk terjadi keganasan
adalah 1-5%, sedangkan pada mola hidatidosa komplit memiliki kemungkinan
15-20% kemungkinan menjadi keganasan. Faktor resiko yang memungkinkan

21
terjadinya keganasan pada mola hidatidosa adalah umur yang sudah lanjut usia,
kadar β-hCG> 100.000 mIU/mL, ukuran uterus yang terlalu besar dibandingkan
dengan usia gestasi, theca-lutein cyst > 6cm, dan penurunan kadar β-hCG yang
lambat. Rekurensi pada mola hidatidosa adalah 1-2% setelah 1 kali mengalami
mola hidatidosa, akan tetapi kemungkinan tersebut akan meningkat menjadi 16-
68% setelah mengalami mola hidatidosa yang kedua kali.

22
BAB III
KESIMPULAN

Gestational trophoblastic disease (GTD) atau penyakit trofoblastik gestasional adalah


suatu kelompok tumor dengan karakteristik proliferasi trofoblas yang abnormal. GTD terbagi
menjadi pre-maligna dan maligna. Salah satu GTD yang paling sering terjadi adalah mola
hidatidosa. Insidensi mola hidatidosa bervariasi secara regional dengan insidensi di Asia
Tenggara mencapai 2 per 1000 kehamilan. Beberapa faktor risiko telah dievaluasi antara lain
usia maternal yang ekstrim dan riwayat kehamilan mola sebelumnya.
Mola hidatidosa berasal dari fertilisasi dengan abnormalitas kromosom. Kelainan
kromosom ini akan menyebabkan gangguan diferensiasi dari trofoplas sehingga terjadi
proliferasi berlebih dari trofoblas dengan pembengkakan difus pada vili korionik sehingga
terbentuklah degenerasi hidropik dengan adanya vesikel seperti buah anggur yang mengisi
uterus tanpa fetus. Proliferasi sinsitiotrofoblas yang berlebih menyebabkan kadar hCG yang
sangat tinggi terutama pada mola hidatidosa komplit.
Manifestasi klinis mola hidatidosa beragam tetapi amenorrhea selama minimal 1-2
bulan merupakan gejala yang selalu ada pada mola hidatidosa. Gejala-gejala lainnya dapat
berupa perdarahan pervaginam, keluarnya jaringan anggur, konsekuensi dari tingginya kadar
hCG (mual, muntah, hipertiroidisme, kista theca-lutein multipel), maupun anemia sebagai
akibat dari perdarahan. Dalam menegakkan diagnosis mola hidatidosa dimulai dengan
anamnesis yang meliputi gejala-gejala yang sudah disebutkan sebelumnya, pemeriksaan fisik
dimana dapat ditemukan ketidaksesuaian tinggi fundus uteri dengan usia kehamilan, denyut
jantung janin tidak ada maupun ditemukannya vesikel seperti anggur di vagina, serta melalui
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan hCG serum atau urin, ultrasonography dan
histopatologi.
Tatalaksana mola hidatidosa dibagi menjadi 3 bagian yaitu postoperative,
intraoperative, dan post-evakuasi. Pemilihan untuk pengobatan mola hidatidosa biasanya
menggunakan kuret dan vakus. Pada evakuasi mola hidatidosa, perdarahan masif dapat
terjadi sehingga perlu diperhatikan anestesi, akses intravena, dan persiapan transfuse dengan
baik. Prognosis bergantung pada beberapa faktor risiko dan tipe mola dimana tipe mola
parsial memiliki kemungkinan menjadi ganas sebanyak 1-5%, sedangkan mola komplit
sebesar 15-20%.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Spong CY, Dashe J. Williams Obstetrics. 24th


ed. New York: Mc-Graw Hill. 2014.
2. Gestational Trophoblastic Disease: ESMO Clinical Practice Guidelines | ESMO
[Internet]. [cited 2018 May 11]. Available from:
http://www.esmo.org/Guidelines/Gynaecological-Cancers/Gestational-Trophoblastic-
Disease
3. Joneborg U. Hydatidiform mole : prevalence and outcome [Internet]. Inst för kvinnors
och barns hälsa / Dept of Women’s and Children’s Health; 2016 [cited 2018 May 9].
Available from: http://openarchive.ki.se/xmlui/handle/10616/45164
4. Cavaliere A, Ermito S, Dinatale A, Pedata R. Management of molar pregnancy. J
Prenat Med. 2009;3(1):15–7.
5. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical
presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management of
hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol. 2010 Dec 1;203(6):531–9.
6. Gershenson D, Lentz G, Lobo R, Valea F. Comprehensive gynecology. 7th ed.
Elsevier; 2016.
7. Stevens FT, Katzorke N, Tempfer C, Kreimer U, Bizjak GI, Fleisch MC, et al.
Gestational Trophoblastic Disorders: An Update in 2015. Geburtshilfe Frauenheilkd.
2015 Oct;75(10):1043–50.
8. Callahan TL, Caughey AB. Blueprints Obstetrics & Gynecology. 6th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer. 2013.
9. Shaaban AM, Rezvani M, Haroun RR, Kennedy AM, Elsayes KM, Olpin JD, et al.
Gestational Trophoblastic Disease: Clinical and Imaging Features. RadioGraphics.
2017 Mar 1;37(2):681–700.
10. Singh A, Ratnani R. Heterogenous Presentation of Chorioadenoma Destruens. J
Obstet Gynaecol India. 2012 Dec;62(Suppl 1):71–4.
11. Seckl MJ, Sebire NJ, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic disease. The Lancet.
2010 Aug 28;376(9742):717–29.
12. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 7th ed. Philadelphia: Elsevier. 2010.
13. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2014.

24
14. Beckmann CR, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WN, Laube DW, Smith RP.
Obstetrics and Gynecology. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2010.
15. Santaballa A, García Y, Herrero A, Laínez N, Fuentes J, De Juan A, et al. SEOM
clinical guidelines in gestational trophoblastic disease (2017). Clin Transl Oncol.
2018;20(1):38–46.

25

You might also like