Professional Documents
Culture Documents
BUKU PANDUAN
Disiapkan oleh:
Pemandu:
Salahuddin Husein, Ph.D. (Dept. of Geological Engineering UGM)
1
TRIP ITINERARY AND ROUTE
4 3
1
: Rute hari #1 Purwodadi 2
: Rute hari #2
2 : Stop site
2
DAFTAR ISI
3
PANDUAN KESELAMATAN, KEAMANAN, DAN KESEHATAN (K3)
FIELDTRIP
1) Sebelum keberangkatan:
Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman.
Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari.
2) Selama dalam kendaraan:
Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat duduk
secara rapi.
Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan
(kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.
Pada kondisi kendaraan tidak stabil (kendaraaan oleng/terbalik)
bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan
secara kuat pada bahu kursi di depan anda.
Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera
beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian.
3) Selama di lapangan
Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari
kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan.
Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi
yang terlindung dan tidak licin.
Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari
dehidrasi.
Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan
pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar
segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan
sebutkan lokasi anda secara jelas.
Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum meninggalkan lokasi
pengamatan.
4
I. PENDAHULUAN
Ekskursi Geologi Cekungan Jawa Timur Utara kali ini akan melalui beberapa
zona fisiografi1 regional, yaitu Zona Depresi Randublatung, Zona Pegunungan
Rembang, dan Zona Pesisir Utara Jawa (Gambar 1, 2). Setiap zona memiliki
karakteristik geomorfologi, stratigrafi, dan tektonik tersendiri. Terdapat 5 lokasi
pengamatan geologi yang akan dikunjungi, melintasi kabupaten Grobogan, Blora,
dan Rembang, di Provinsi Jawa Tengah.
Zona Rembang
Zona Solo
5o km
Gambar 1. Zonasi fisiografi regional Pulau Jawa bagian tengah dan timur (pembagian mengikuti
Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).
G. Genuk
Zona Zona
Randublatung Pesisir Utara
G. Muria
Zona
5 Randublatung
Rembang G. Lasem
G. Patiayam
Kudus Ujung Pangkah
4 Antiklinorium Rembang Utara
3 Tuban
Antiklinorium
Semarang Blora
Rembang
1
Purwodadi
S. Lusi Selatan Lamongan Antiklin
2 Bojonegoro Antiklin Sekarkorong
G. Ungaran Cepu Pegat
Antiklin Antiklin Gresik
Randublatung
Dander Ngimbang Antiklin
Lidah
ZONA KENDENG Surabaya
50 km
Gambar 2. Zonasi fisiografi Cekungan Jawa Timur Utara, dengan rute ekskursi dan lokasi
pengamatan.
1
Fisiografi adalah kenampakan permukaan Bumi yang khas, mencerminkan proses geologi dan formasi
batuan yang menyusunnya.
5
Kenampakan fisiografi tersebut dikontrol oleh tatanan tektonik Pulau Jawa
saat ini, yaitu terkait dengan kehadiran busur gunungapi di tepian konvergensi
lempeng litosferik (Gambar 3).
6
II. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG
Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang
berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini mencakup
daerah Purwodadi, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Van
Bemmelen (1949) menduga Depresi Randublatung terbentuk sebagai daerah
amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika
Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di
akhir Tersier. Hipotesis van Bemmelen tersebut tampaknya hanya berlaku untuk
Zona Randublatung bagian barat saja, yang membentang dari Purwodadi hingga
Randublatung, yang secara fisiografis memang membentuk depresi sempit terapit
dua lajur perbukitan. Adapun fisiografi Zona Randublatung bagian timur yang
membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan Surabaya, ditandai
dengan kemunculan banyak antiklin terisolir, seperti Dander, Pegat, Ngimbang,
Sekarkorong, dan Lidah (Gambar 2). Secara struktur, pola perlipatan antiklin-
antiklin tersebut masih mengikuti pola lipatan Zona Kendeng. Hal ini menunjukkan
proses isostasi negatif bukanlah faktor utama dalam pembentukan Zona
Randublatung, dan terdapat pula faktor tektonik kompresif dalam pembentukan
zona tersebut, sebagaimana yang terjadi di Zona Kendeng.
7
Zona Kendeng (Husein dkk., 2016). Menarik pula mencermati kehadiran Kendeng
Molasse di Perbukitan Dander yang menunjukkan sumber (provenance) dari
Formasi Pucangan di Zona Kendeng atau bahkan dari terobosan Gunungapi Pandan
di selatannya. Hal ini memberikan informasi tambahan, bahwa stratigrafi
Randublatung tidak hanya dibangun oleh Zona Rembang, namun juga mendapat
pengaruh dari Zona Kendeng, setidaknya saat Kendeng mulai terangkat semenjak
pertengahan Pliosen (Husein dkk., 2016).
LOKASI PENGAMATAN:
8
III. ZONA PERBUKITAN REMBANG
Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang
memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini
membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan
dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa
kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona
Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan
Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang
Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium
tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah
aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur (Gambar 2).
Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya dilakukan oleh sungai-
sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau Jawa, sehingga tidak
terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan tersebut.
1. Formasi Kujung
Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang
tersingkap, terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipan
9
batugamping dan batupasir, terutama di bagian bawah. Batugamping di
bagian bawah ini sering disebut sebagai Batugamping Kranji. Formasi ini
diendapkan lingkungan paparan tengah hingga paparan luar.
2. Formasi Prupuh
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan
Paciran, dengan stratotipe berupa batugamping bioklastik berlapis tebal,
keras, kaya akan fosil Orbitoid, yang berlapis dengan batugamping
kapuran berwarna putih kotor. Pada bagian bawah formasi ini ditemukan
Globigerina ciperoensis, Globigerina tripartita, Globorotalia kugleri, dan
Globigerinita dissimilis, sedangkan pada bagian atasnya muncul
Globigerinoides immatures. Umur Formasi Prupuh adalah N3-N5
10
(Oligosen Atas hingga Miosen Bawah). Pada batugamping bioklastika
dijumpai Spiroclypeus orbitoides, Lepidocyclina verrucosa, dan
Lepidocyclina sumatrensis. Lingkungan sedimentasinya adalah neritik
luar pada laut terbuka, dengan indikasi adanya gerakan massa gravitasi
lereng dasar laut. Formasi ini selaras terhadap Formasi Kujung di
bawahnya, juga terhadap Formasi Tuban yang ada di atasnya.
3. Formasi Tuban
Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat
monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara
umum tersusun oleh klastika karbonat dalam bentuk packstone-
wackestone, yang mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan
fragmen koral dan algae. Kandungan fosil Globigerinoides primordius,
Globortalia peripheronda, Globigerinoides sicanus yang menunjukkan
bahwa umur Miosen Awal dan lingkungan laut dalam.
4. Formasi Tawun
Secara umum Formasi ini tersusun oleh perselingan antara
batulempung pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan
foraminifera golongan orbitoid (Lepidocyclina, Cycloclypeus).
Batulempung pasiran berwarna abu-abu hingga abu-abu kecoklatan,
semakin ke atas cenderung berubah menjadi batulanau dengan konkresi
oksida besi. Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan,
sebagian bersifat gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya
berwarna coklat muda hingga abu-abu muda, berbutir halus sampai
sedang. Penyusun utamanya adalah fosil foraminifera besar dengan
sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan batugamping ini
mencapai 30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal hingga Miosen
Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam (outer
shelf) dari suatu laut terbuka.
5. Formasi Ngrayong
Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada
Formasi Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid
(Cycloclypeus) dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh
11
batupasir dengan sisipan batugamping orbitoid.
Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang
khas yaitu gelembur (ripple mark) dan keping-keping gipsum.
Batupasirnya berwarna merah kekuningan, sering menunjukkan struktur
soft sediment deformation, disertai fosil jejak berupa lubang vertikal
(memotong perlapisan) dari kelompok Ophiomorpha. Dari kenampakan
tersebut dapat ditafsirkan bahwa bagian bawah dari satuan ini pada
awalnya diendapkan pada dataran pasang-surut (intertidal area) yang
kemudian mengalami transgresi menjadi gosong lepas pantai (offshore
bar) atau shoreface yang tercirikan oleh batupasir merah, yang
selanjutnya semakin mendalam menjadi lingkungan paparan tengah
hingga paparan luar (middle to outer shelf) yang menghasilkan
batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi
tersebut dapat dilihat di daerah Polaman. Batupasir Ngrayong
merupakan reservoir utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah
sekitar Cepu. Ketebalan rata-rata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah
selatan dan juga ke arah timur, karena terjadi perubahan fasies menjadi
batulempung.
6. Formasi Bulu
Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai
penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini
tersusun oleh kalkarenit berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan
napal pasiran. Di beberapa tempat dijumpai kumpulan Cycloclypeus
(Katacycloclypeus) annulatus yang sangat melimpah. Kalkarenitnya
tersusun oleh litoklas karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta
butir-butir kuarsa, feldspar dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini
menjadi semakin tebal. Di bagian timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke
arah barat ketebalannya mencapai 300 m. Formasi ini diendapkan pada
kala Miosen Tengah pada lingkungan laut dangkal yang berhubungan
dengan laut terbuka.
12
7. Formasi Wonocolo
Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak
berlapis. Bagian bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan
batupasir gampingan, yang secara umum menunjukkan gejala
pengendapan transgresif. Total ketebalan dari formasi ini lebih kurang
500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan.
Pengendapannya terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan
paparan luar.
8. Formasi Ledok
Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin
Ledok, 10 km di utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas
perselang-selingan antara batupasir glaukonitik dengan kalkarenit yang
berlempeng-lempeng, dengan beberapa sisipan napal. Batupasirnya
berwarna kehijauan hingga kecoklatan, berbutir halus hingga sedang,
dengan komposisi mineral kuarsa, fragmen kalsit serta glaukonit yang
secara keseluruhan terpilah sedang. Ketebalan setiap perlapisan
berkisar antara 10 hingga 60 cm. Bagian bawah berbutir lebih halus
dari bagian atas. Ketebalan Formasi Ledok secara keseluruhan
mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini
berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran.
9. Formasi Mundu
Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh
napal masif berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan,
dengan kandungan foraminifera plangtonik yang sangat melimpah.
Disamping itu juga didapatkan kandungan glaukonit tetapi hanya dalam
jumlah sedikit. Di beberapa tempat, bagian atas dari formasi ini secara
berangsur berubah menjadi batugamping pasiran. Ketebalan dari
formasi ini cenderung bertambah ke arah selatan hingga mencapai
700 m. Formasi Mundu terbentuk sebagai hasil pengendapan laut dalam
yang terjadi pada zona N17 – N20 (Miosen Akhir – Pliosen).
13
10. Formasi Selorejo
Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal
grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan
batugamping napalan hingga batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di
desa Selorejo dekat Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo
kadang dianggap sebagai anggota dari Formasi Mundu, dan
merupakan reservoir gas yang terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun
reservoir). Lingkungan sedimentasi diduga terjadi di laut dalam, dimana
mekanisme arus turbid dengan penampian oleh arus dasar (bottom
current) yang membuat pemilahan test foraminiferanya teronggok
dengan tanpa matriks dalam bentuk grainstone dan packestones, dengan
porositas bisa mencapai 50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun
intra particles.
14
Formasi Ledok dan Wonocolo di bagian utara, serta semasa dengan
Formasi Mundu dan Lidah di selatan.
15
Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang
bertumpang-tindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas
deformasi yang dialami oleh daerah tersebut. Arah umum sumbu antiklin
bervariasi dari timur – barat hingga utara-baratlaut – selatan-tenggara.
Demikian pula dengan arah sesar naiknya, yang menerus hingga ke batuan
dasar, mengindikasikan tipe struktural thick-skinned tectonic (Musliki &
Suratman, 1996). Data stratigrafi regional mengindikasikan adanya 2 fase
ketidakselarasan, pertama terjadi setelah Pliosen, dan yang kedua terjadi
pada akhir Pleistosen. Setiap ketidakselarasan diikuti oleh deformasi
struktural, dimana fase pertama membentuk perlipatan berarah baratlaut-
tenggara dan timur-barat, sedangkan fase kedua hanya membentuk
antiklinorium berarah timur-barat saja (Soetantri et al., 1973).
Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme
struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu
penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting).
Usulan mereka sejalan dengan beberapa model tektonik yang pernah
diterapkan pada Cekungan Jawa Timur Utara, antara lain sistem penyesaran
geser (Situmorang et al., 1976), intrusi lempung diapirik (Soetarso &
Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang pengelupasan (Lowell, 1979).
Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono &
Lennox (1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian
tersebut berdasarkan pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang.
Blok pertama disebut sebagai Blok Plantungan, menempati Antiklinorium
Rembang Utara, dimana batuan yang lebih tua dapat terangkat ke
permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan batuan dasar. Blok
kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi Antiklinorium
Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah relatif
timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh
penyesaran geser sinistral pada batuan dasar yang berarah timurlaut-
baratdaya. Blok ketiga dinamakan Blok Kawengan, yang mencakup
Antiklinorium Rembang Selatan bagian timur, dimana sebaran lipatannya
memanjang dengan sumbu berarah relatif baratlaut-tenggara, dengan
mekanisme pembentukannya dikendalikan oleh sesar anjak yang
16
memanjang searah sumbu lipatan. Blok Nglobo-Semanggi dan Blok
Kawengan dibatasi oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya,
yang juga dianggap sebagai pembatas jenis hidrokarbon yang berkembang di
kawasan tersebut (Soeparyono & Lennox, 1989).
Hampir semua antiklin di Zona Rembang memiliki sayap asimetris
yang relatif landai, dan penunjaman sumbu (plunge) yang juga landai
(Soetantri et al., 1973). Sebagian antiklin dibatasi oleh sesar yang sejajar
(longitudinal) dengan sumbu lipatan, yang kadang merupakan jenis sesar
anjak dan naik. Sesar naik dapat diidentifikasi di bawah permukaan dengan
pengeboran dan sesimik, dimana mereka akan menghilang di kedalaman
tertentu, umumnya pada Formasi Tawun sebagai bidang pengelupasan.
Sesar anjak sekunder kadang berkembang di bawah permukaan, namun
hanya menjadi blind faults yang tidak sampai memotong permukaan, Di
permukaan, sesar naik hanya diduga berdasarkan sayap lipatan yang
bersudut besar saja. Bila ada sesar yang memotong sumbu lipatan, umumnya
adalah sesar normal, yang hanya berkembang di bagian atas lipatan.
LOKASI PENGAMATAN:
17
IV. ZONA PESISIR UTARA
Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi
yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga
merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini
dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang (Gambar 2).
Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh hulunya
ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan sedimen dari
Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang selain
mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang. Sungai
Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan
Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu
di Rawa Pening, sebuah genangan alamiah yang mengumpulkan air dari G.
Telomoyo.
Kedua sungai tersebut tercatat menutup selat laut yang besar, yang dikenal
sebagai Selat Muria. Selat Muria ini memisahkan Pulau Muria, sebagai sebuah pulau
gunungapi, dengan daratan utama Jawa. Berdasarkan dugaan atas catatan sejarah
18
(Soekmono, 1967), garis pantai pesisir utara Jawa Tengah dahulu pada abad ke-8
masih menjorok ke arah Purwodadi, dimana pusat Kerajaan Medang Kamulan
berada. Selanjutnya pada abad ke-16 di era keemasan Kesultanan Demak, garis
pantai diduga telah bergeser ke kota Demak saat ini (Gambar 5). Sehingga,
pergerakan majunya garis pantai sejauh 30 km terjadi dalam kurun waktu sekitar
800 tahun, dengan kecepatan sedimentasi rerata 40 m/tahun. Hingga saat ini
muara kedua sungai tersebut masih aktif dalam sedimentasi yang mendorong maju
garis pesisir antara Jepara dan Semarang, dicirikan tipe morfologi delta bird's foot
(Husein dkk., 2016). Di sisi lain, jejak Selat Muria yang mendangkal dan berubah
menjadi daratan aluvial tersebut juga membentuk aliran Sungai Juwana, yang
mengalir ke arah timurlaut melintasi Pati dan membentuk delta tipe cuspate di
sebelah barat Rembang (Husein dkk., 2016).
LOKASI PENGAMATAN:
19
V. DESKRIPSI LOKASI PENGAMATAN
1. Rembesan Gas Mrapen (Manggarmas, Godong, Grobogan)
Stopsite pertama ini bertujuan untuk mengamati rembesan gas di Desa
Manggarmas. Gas yang muncul di permukaan tersebut berkomposisi gas metana
(CH4), merupakan manifestasi dari terbentuknya gas biogenik di bawah
permukaan Bumi, dimana organisme mikro pengurai unsur organik bekerja di
kedalaman sekitar 1 km dan temperatur 70-80 oC. Material organiknya diduga
dari Formasi Wonocolo, yang kemudian meneruskan gasnya ke reservoar
Formasi Selorejo dan Ledok. Dekatnya formasi tersebut dengan permukaan dan
banyaknya struktur yang memotong reservoar, menyebabkan gas menjadi
muncul ke permukaan. Rembesan gas juga muncul di sebuah kolam berjarak 30
m dari titik Mrapen, yang dinamakan sebagai Umbul Dudo, dan mengandung
unsur klorida 62 ppm, sulfat 400 ppm, CO 2 2000 ppm, dan H2S 1,6 ppm.
20
muncul di sini sagat bervariasi, mulai dari gas biogenik, gas asosiasi minyak,
sampai dengan gas kondensat kering (Burhannudinnur dkk., 2012).
Gambar 7. (kiri) Erupsi mud volcano Bledug Kuwu; (kanan) Gryphon dan pond yang mulai
mengering membentuk mud crack.
Gunung lumpur di lokasi ini membentuk morfologi khas berupa pie, salsa
kecil, dan pool (Burhannudinnur dkk., 2012), dimana Bledug Kuwu merupakan
suatu pie besar dengan diameter 60 m. Di dalam pie utama tersebut terdapat
pie-pie kecil yang membentuk suatu kelurusan. Selain itu di Kuwu juga nampak
beberapa gryphon dengan pool diantaranya. Hal itu dimungkinkan karena pie-
pie kecil tersebut muncul mengikuti pola rekahan yang ada. Dari hasil analisa
kimia yang dilakukan Burhannudinnur dkk. (2012) diperoleh data bahwa pH air
di Bleduk Kuwu adalah 6,5 – 7 dengan suhu mencapai 30° C - 32°C. Gunung
lumpur di kompleks ini mempunyai kandungan Na, Cl, dan Mg yang lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa gunung lumpur yang berada di selatan dari
kompleks ini. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan material sumber dari
gunung lumpurnya. Komposisi mineral penyusun gunung lumpur ini terdiri dari
smektit, kaolinit, kuarsa, dan feldspar (Burhannudinnur, dkk., 2012).
21
sesar – sesar naik yang memotong daerah ini setelah mengalami inversi. Hal
itulah yang menjelaskan mengapa batuan metamorf dapat terbawa oleh
semburan gunung lumpur di sini.
Gambar 8. (a) Singkapan pada bekas bukaan tambang di Polaman (kamera menghadap timur),
tebing utara tersusun atas batulempung heterolitik, lantai bukaan tambang tersusun
atas batupasir kuarsa, dan tebing selatan tersusun oleh batugamping rudstones. (b)
Singkapan struktur gelembur gelombang (ripple marks) pada batulempung heterolitik,
panah menunjukkan arah arus purba (paleocurrent) bolak-balik yang ada di
lingkungan pasang-surut.
22
bagus sehingga baik untuk batuan reservoar. Shale dapat bertindak sebagai
source rock sementara batugamping Cycloclypeus dapat bertindak sebagai seal.
23
Gambar 10. (a) Singkapan di Kali Braholo yang menunjukkan perubahan dari batugamping menjadi
batuan silisiklastik dan menjadi batuan mix-silisiklastik sampai batugamping di bagian
atasnya (kamera menghadap barat daya). (b) Sumbu antiklin berarah relatif barat –
timur di Kali Braholo (kamera menghadap barat).
24
menunjam ke arah WSW (Gambar 12). Formasi Tawun tersingkap sebagai inti
lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana
Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif
landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah
lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke
arah barat di ujung baratnya (Gambar 12).
Wonocolo
N
Tawun
Ngrayong
Wonocolo
Legenda:
Ledok : batas sebaran unit formasi
: sumbu antiklin
Gambar 12. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan
(bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.
25
Husein dkk. (2015) melakukan 745 pengukuran pada struktur rapuh
(brittle) pada Antiklin Braholo, mencakup struktur kekar dan patahan. Populasi
data tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua,
kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan
kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok
kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NW-
SE (Gambar 13). Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada
satu bidang sesar, didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu
dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya
tersebut, diinterpretasikan bila gaya kompresi NW-SE merupakan gaya pembentuk
lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca
kompresi.
Gambar 13. (a) Hasil analisis paleostress fase tektonik pertama, dengan jumlah data 310
pengukuran. (b) Analisis paleostress fase tektonik kedua, dengan jumlah data 435 data.
(c) Reaktifasi sesar di puncak Antiklin Braholo, terekam sebagai superimposed
slickenlines pada grainstone Tawun. Kedudukan bidang sesar adalah N320oE/74.
Pergeseran pertama diindikasikan oleh striasi berwarna hijau dengan rake 33oNW,
berupa patahan normal sinistral yang dipicu oleh gaya kompresi tektonis berarah
WNW-ESE. Pergeseran kedua diindikasikan oleh striasi berwarna merah dengan rake
59oSE, merupakan patahan normal dekstral yang disebabkan oleh gaya regangan
berarah NW-SE (Husein dkk., 2015).
Dari analisis regional pada model elevasi digital, diketahui pula bahwa
lipatan-lipatan yang berkembang di Zona Rembang memiliki orientasi en echelon
berarah ENE-WSW (Gambar 14). Terhadap gaya tektonik regional Pulau Jawa yang
26
relatif berarah utara-selatan, orientasi antiklinorium Rembang membentuk sudut
(α) yang besar, sekitar 70o. Kondisi ini mengindikasikan bila Antiklinorium
Rembang tersebut berkembang pada sesar batuan dasar (basement fault) berarah
ENE-WSW dengan pergeseran horisontal yang relatif kecil (< 5 km) (Cramez &
Letouzey, 2001).
s3
Jepara
s1
Rembang
Pati
Basement faults (?)
Tuban
Demak
Blora s1
Lamongan
s3
Purwodadi Gresik
Cepu Bojonegoro
Randublatung
Surabaya
Sragen Ngawi
s1 regional
Mojokerto
Gambar 14. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya
dengan patahan basement. [kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya
kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah relatif utara-selatan menjadi
berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar
terhadap gaya tektonik utama (Husein et al., 2015).
Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar
umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik
σ1 regional, karena kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan
sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya
tektonik σ1 lokal akan mengalami modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap
sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi
pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus
terhadap sesar basement (Gambar 14).
27
5. Analog Sedimentasi Formasi Ngrayong (Hutan Mangrove Banggi,
Rembang)
Stopsite terakhir dalam fieldtrip ini adalah Hutang Mangrove Banggi,
Rembang. Di lokasi ini para peserta EGR dapat mengamati model lingkungan
sedimentasi modern pesisir utara Jawa saat ini, sebagai analog bagi rekaman
stratigrafi di Cekungan Rembang, terutama pada Formasi Ngrayong.
Gambar 15. Citra Google yang menunjukkan distribusi terumbu karang di perairan Rembang.
Lingkaran putih bergaris merah adalah lokasi stopsite 9.
Gambar 16. Citra Google yang menunjukkan sebaran lingkungan sedimentasi modern pesisir
Banggi, Rembang.
28
Lingkungan estuarina dengan model sedimentasi paparan lumpur (mud flat)
berada dalam jarak yang dekat dengan lingkungan delta untuk model sedimentasi
batupasir. Tidak berapa jauh di lepas garis pantai (~800 m) terdapat terumbu
karang sebagai model sedimentasi karbonat. Sekuen batuan sebagaimana Formasi
Ngrayong di singkapan Polaman dapat diandaikan terbentuk bila ketiga lingkungan
sedimentasi tersebut (mud flat, delta, terumbu) berada dalam sistem transgresif,
dimana muka air laut mengalami kenaikan dan menggeser lingkungan-lingkungan
sedimentasi tersebut secara lateral dan gradual.
29
Daftar Pustaka
Burhannudinnur, M., D. Noeradi, B. Sapiie, dan D. Abdassah (2012) Karakter Mud
Volcano di Jawa Timur, Proceedings the 41st IAGI Annual Convention and
Exhibition, Yogyakarta, EG-49, p. 300 – 304.
Hall, R. (2012) Late Jurassic - Cenozoic reconstruction of the Indonesian region and
the Indian Ocean. Tectonophysics, 570-571, pp. 1-41.
Hall, R., and C.K. Morley (2004). Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, &
H. (eds.) Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas.
Geophysical Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85.
Husein, S., A.D. Titisari, Y.R. Freski, dan P.P. Utama (2016) Buku Panduan Ekskursi
Geologi Regional 2016, Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, 63 hal.
Husein, S. (2015) Petroleum and Regional Geology of Northeast Java Basin, Indonesia
- Excursion Guide Book for Universiti Teknologi Petronas Malaysia.
Department of Geological Engineering Universitas Gadjah Mada, 21 p.
Husein, S., K. Kakda, dan H.F.N. Aditya (2015) Mekanisme Perlipatan En-Echelon di
Antiklinorium Rembang Utara, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
GEO41, pp 224-234
30
Novian, M.I., P.P. Utama, dan S. Husein (2013) Penentuan Batuan Sumber
Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil
Foraminifera. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan Teknik
Geologi FT UGM, Yogyakarta, pp. 519-534.
Novian, M.I., S. Husein, R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional
2014, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 54
hal.
Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge
University Press., 246 p.
Soetantri, B., L. Samuel, dan G.A.S. Nayoan (1973) The Geology of the Oilfields in
North East Java. Proceeding of 2nd Annual Convention and Exhibition of
Indonesian Petroleum Association, pp. 149-175.
Soetarso, B., and P. Suyitno (1976) The diapiric structure and relation on the
occurrence of hydrocarbon in northeast Java basin. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-19.
Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology.
Martinus Nyhoff, The Hague.
31