You are on page 1of 22

MADURESE CALENDAR SYSTEM

By
Adam Damanhuri

ABSTRACT

The purpose of this working paper is to give a brief explanation about


Madurese calendar system, its calculation system and complements. Madurese
calendar system constitutes of the lunar based calendar that completed by some
complements called ‘rangkapan’, which is influenced from Sultan Agung calendar
system.
Madurese calendar system is originally adopted from Sultan Agung
calendar system, which is already appropriate to the Islamic Hijriyah calendar
system. Afterwards this calendar system has been added by local elements, and
being set to suitable with Madurese realm condition. If the Sultan Agung calendar
system has been adjusted then equivalent with the Hijriyah calendar, Madurese
calendar tend to pattern the Hijriyah calendar.
There are other differences between complements in Madurese and Sultan
Agung calendar system, but although the differences are not too central, they may
stand for each culture and nurture behaviors. The Mataram-Java calendar system
has more detail and complete complements than Madurese calendar system. The
complements often use for people’s means of livehood, such as sowing the seed,
going to the sea, traveling, etc.
The knowledge and use of Madurese calendar system and its complements
are not quite familiar among Madurese people nowadays. Beside the dominant use
of Gregorian calendar, progress of technology, the study of calendar system
dominated by pesantren.

1
SISTEM PENANGGALAN MADURA

1. Pengantar
Sebuah sukubangsa yang telah mengenal dan menghitung waktu dapat
dikatakan sebagai sebuah sukubangsa yang telah mengenal teknologi dan
memiliki peradaban yang maju. Sejak berabad-abad lalu banyak sukubangsa di
belahan dunia ini yang telah mengenal dan menghitung waktu, seperti misalnya
sukubangsa Mesir dengan sistem penanggalan yang berdasar pada pergerakan
matahari dan bintang; masyarakat Cina yang menggunakan sistem luni-solar
(bulan-matahari) pada sistem penanggalannya; orang Babilonia kuno yang
menganut sistem solar pada almanaknya; hingga sukubangsa kita yang silam
mengenal sistem perhitungan menurut pergerakan matahari (tahun Saka dalam
sebagian besar kerajaan di Jawa) dan sistem perhitungan menurut pergerakan
bintang (suku Dayak di Kalimantan) sebagai sistem penanggalannya.
Namun tidak semua sukubangsa menciptakan sendiri sistem
penanggalanya. Banyak di antaranya yang mengadopsi dari sukubangsa lain, dan
menjadikannya miliknya dengan menambahkan unsur-unsur lokal budayanya. Hal
ini dikarenakan pada masa lampau masyarakat telah saling berhubungan antara
satu sukubangsa dengan yang lainnya, seperti misalnya dalam perdagangan,
peperangan yang diakhiri dengan pendudukan wilayah, penyebaran keyakinan
(agama), dan lain sebagainya. Hubungan yang terjadi tersebut dapat
mengakibatkan proses percampuran maupun tukar-pinjam budaya masing-masing
sukubangsa. Seperti halnya yang banyak terjadi pada sukubangsa di Nusantara,
terlebih lagi jika kita menilik sejarah kerajaan Nusantara dimana kerajaan-
kerajaan besar seperti kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Malaka hingga Mataram
menjadi kerajaan-kerajaan besar yang menguasai Nusantara secara periodik dan
mendominasi terjadinya percampuran budaya serta agama.
Sebagai salah satu sukubangsa di Nusantara, Madura menganut sistem
percampuran budaya dan agama tersebut dalam sistem kalendernya. Hal ini
dikarenakan bahwa sistem pemerintahan Madura selama berabad-abad telah

2
menjadi subordinat daerah kekuasaan yang berpusat di Jawa. Sekitar tahun 900-
1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur
seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para
penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di
pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura
ditaklukkan oleh Mataram. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura).
Sistem penanggalan Mataram diadopsi oleh masyarakat Madura pada saat
Madura dikuasai oleh Mataram. Namun karena kemudian Madura berada di
bawah kekuasaan kolonial Belanda, yakni tepatnya pada paruh pertama abad
kedelapan belas (mulai 1882), maka sistem penanggalan Mataram yang
merupakan perpaduan antara Jawa-Islam berangsur-angsur telah diberi tambahan
berupa elemen-elemen lokal. Seiring waktu, agama Islam berkembang pesat di
kalangan Masyarakat Madura. Maka yang terjadi ialah sistem penanggalan
Madura tersebut telah sepenuhnya beralih menjadi sistem penanggalan yang
berkiblat kepada sistem penanggalan Islam atau Hijriyah. Namun, tidak hanya
almanak Madura yang mengacu pada kalender Hijriyah saja yang dikenal oleh
masyarakat, almanak Masehi pun umumnya digunakan mayoritas penduduk
Madura. Hal itu terjadi karena dewasa ini sistem penanggalan Madura-Islam lebih
banyak dipelajari dan berkembang di lingkungan pesantren, dimana ilmu
astronomi merupakan salah satu cabang ilmu dalam agama Islam (ilmu falaq)
yang kerap dirasakan manfaatnya oleh ummat muslim terutama untuk
menentukan hari-hari penting.

2. Metode
Makalah ini merupakan sebuah studi pustaka yang mengutamakan
pengumpulan data dari studi-studi sebelumnya yang telah berupa buku, jurnal,
maupun catatan-catatan yang tidak diterbitkan. Mengingat bahwa penulis
bukanlah seorang yang ahli dalam ilmu Astronomi, hal-hal seperti penulisan
jumlah bulan dalam sistem penanggalan Madura, ditempuh melalui teknik
wawancara dengan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya.

3
3. Sejarah Penanggalan Nusantara
Pada masa prasejarah akhir atau mulai abad pertama, nenek moyang
Nusantara telah mengenal teknologi, di antaranya tentang: cara bercocok tanam,
cara berlayar, arah angin, dan astronomi (Marsono, 2001: 1 dalam Marsono 2004:
227). Pada permulaan abad ke 7 Masehi pulau Jawa telah menjadi pusat beberapa
kerajaan besar di Nusantara. (Encharta Encyclopedia). Beberapa kerajaan besar di
Nusantara awalnya merupakan kerajaan-kerajaan yang bercorak hindu-budha
yang merupakan pengaruh dari India dan Cina. Kerajaan-kerajaan besar di
Nusantara mengalami masa-masa keemasannya pada waktu itu, seiring dengan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah mereka kuasai. Sebuah prasasti tertua
yang berbahasa Sansekerta (berhuruf Jawa Kuna/Pallawa) tahun 726 Saka (25
Maret 804 Masehi) (Zoetmulder, 1983: 3 dalam Marsono, 2004: 228), merupakan
salah satu bukti nyata bahwa nenek moyang kita telah mengenal ilmu astronomi
yang dimanfaatkan untuk sistem penanggalan sejak berabad-abad silam.
Kalender Saka merupakan sebuah kalender yang berasal dari India, yang
menggunakan sistem penanggalan syamsiah-kamariah (candra-surya) atau sistem
luni-solar (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Saka), yang berdasarkan pada
posisi matahari sekaligus bulan. Untuk kemudian penanggalan tahun saka beserta
rangkapan-rangkapannya yang masuk ke Nusantara merupakan perpaduan hasil
akulturasi unsur asli Jawa dengan Hindu-Budha. (Marsono, 2004: 229). Sebagai
sebuah penanggalan yang berpatokan pada matahari, sebuah sistem penanggalan
solar biasanya juga mengenal periodik musim dalam satu tahun. Menurut
perhitungan sistem solar, satu tahun sama dengan 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan
45,5 detik. Sehingga jumlah hari dalam 1 bulan pada tahun saka berkisar antara 29
s/d 32 hari. Periodik musim pada sistem penanggalan solar biasanya mengikuti
posisi bumi terhadap matahari, dimana solastice (titik balik matahari, dimana
posisi matahari mencapai titik tertinggi maupun terendah) dan equinox (posisi
matahari tepat memotong garis tengah equator) terjadi pada 4 titik yang berbeda
setiap satu periode bumi berevolusi (musim panas, dingin, semi, dan gugur).

4
Nama Bulan Tahun Saka dan Umurnya
No. Nama Bulan Waktu Umur
1. Swarana 12 Juli s/d 12 Agustus 32 hari
2. Bhadra 13 Agustus s/d 10 September 29 hari
3. Asuji 11 September s/d 11 Oktober 31 hari
4. Kartika 12 Oktober s/d 10 Nopember 30 hari
5. Margasirsa 11 Nopember s/d 12 Desember 32 hari
6. Posya 13 Desember s/d 10 Januari 29 hari
7. Magha 11 Januari s/d 11 Pebruari 32 hari
8. Phalguna 12 Pebruari s/d 11 Maret 29 hari
9. Cetra 12 Maret s/d 11 April 31 hari
10. Wesakha 12 April s/d 11 Mei 30 hari
11. Jyestha 12 Mei s/d 12 Juni 32 hari
12. Asadha 13 Juni s/d 11 Juli 29 hari
Tabel 1. (Hadiwidjana, 1954:20; bdk
Zoetmulder, 1983:245; Partokusumo,
1995:221 dalam Marsono, 2004:230)

Selain almanak saka, masyarakat Jawa mengenal bencet sebagai alat untuk
menghitung (mengetahui) waktu berdasarkan posisi bayangan terhadap matahari.
Alat ini merupakan alat penghitung waktu yang menganut sistem solar yang
masih digunakan pada masa agama Islam masuk ke tanah Jawa. Hal ini
diungkapkan oleh Ammarell bahwa alat yang memanfaatkan sistem solar tersebut
digunakan oleh orang Jawa mulai tahun 1600 s/d 1855 Masehi (dalam
Wiryamartana, 2004: 90). Dari penggunaan bencet tersebut, masyarakat Jawa
kemudian membagi setahun menjadi 12 periode yang berbeda-beda, atau yang
lebih dikenal sebagai mangsa. (Ammarell dalam Wiryamartana, 2004: 90).

5
Nama Mangsa dan Umurnya
No. Mangsa Waktu Umur
1. Kasa Mulai 21/22 Juni 41 hari
2. Karo (Kalih) Mulai 1/2 Agustus 23 hari
3. Katelu (Katiga) Mulai 24/25 Agustus 25 hari
4. Kapat (Kasakawan) Mulai 17/18 September 25 hari
5. Kalima (Gangsal) Mulai 12/13 Oktober 27 hari
6. Kanem Mulai 8/9 Nopember 43 hari
7. Kapitu Mulai 21/22 Desember 43 hari
8. Kawolu Mulai 2/3 februari 26/27 hari
9. Kasanga Mulai akhir ferbruari/1 Maret 25 hari
10. Kasapulu (kasadasa) Mulai 25/26 Maret 24 hari
11. Desta Mulai 18/19 April 23 hari
12. Sada Mulai 11/12 Mei 41 hari
Tabel 2. (Van den Bosch ‘Javanische
Mansakalender’, p. 250 dalam Gene
Ammarell; Wiryamartana, 2004:91)

Pada waktu agama Islam masuk ke Nusantara, yakni pada abad ke 15,
sistem perhitungan yang berlaku dalam agama Islam (Hijriyah) mulai digunakan
orang. Namun orang tidak lantas mengesampingkan sistem almanak saka.
Kerajaan besar Islam seperti Mataram pun melakukan beberapa penyesuaian,
yakni pada waktu Sultan Agung (1613-1645) memerintah Mataram, kalender
Saka yang berbasis matahari (sistem Solar) dipadukan dengan kalender Hijriyah
dalam agama Islam yang dihitung berdasarkan bulan (sistem Lunar). (lihat
Marsono, 2004: 229). Penyesuaian yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tepat
pada tanggal 8 Juli 1633, sama dengan 1 Muharram 1043 Hijriyah, atau sama
dengan 1 Suro tahun Alip 1555 (pembulatan kedepan oleh Sultan Agung dari
tahun 1554). Angka tahun Saka pada waktu itu, 1554, tetap digunakan sehingga
menjadi tahun Jawa 1554.
Perhitungan sistem penanggalan Sultan Agung memiliki periode siklus
yang terdiri atas 8 tahun, yakni 5 tahun merupakan tahun pendek (wastu) dengan

6
jumlah hari 354 dan 3 tahun lainnya meripakan tahun panjang (wuntu) dengan
jumlah hari 355. Ini berarti jumlah rata-rata hari dalam setiap tahun penanggalan
Sultan Agung, yakni 354, 375 hari setiap tahun, tidak jauh berbeda dengan jumlah
hari dalam setiap tahun penanggalan Hijriyah, yakni 354, 36667 hari setiap
tahunnya. Namun walaupun demikian, Sultan Agung melakukan beberapa
penyesuaian agar sistem perhitungannya sesuai dengan sistem perhitungan
Hijriyah, yakni seperti melakukan pengunduran waktu (setelah 72 dan 120 tahun).
Hal itu dilakukan karena sistem penanggalan Sultan Agung memiliki selisih satu
hari setiap 120 tahun dengan tahun Hijriyah. (lebih lanjut lihat Marsono, 2004:
230-233).

Nama Bulan Dalam Sistem Penanggalan Sultan Agung dan Umurnya


No. Nama Bulan Umur Neptu Watak
1. Suro 30 hari 7 banyak celaka
2. Sapar 29 hari 2 baik, bersahaja
3. Mulud 30 hari 3 mudah celaka
4. Bakda Mulud 29 hari 5 selamat atas segalanya
5. Jumadilawal 30 hari 6 sakit berganti-ganti
6. Jumadilakhir 29 hari 1 mendapat restu orang tua
7. Rejeb 30 hari 2 banyak masalah
8. Ruwah 29 hari 4 selamat, hati-hati
9. Pasa 30 hari 5 banyak keberuntungan dan rezeki
10. Sawal 29 hari 7 banyak berniat jelek/jahat
11. Dulkangidah 30 hari 1 dikasihi saudara
12. Besar 29 hari 3 utama, selamat, baik
Tabel 3. (disunting dari Wardan, 1957: 14;
Tjakraningrat, 1994: 7; dan 73;
Partokusumo, 1995:22 dalam
Marsono, 2004: 235)

7
Penyesuaian yang dilakukan oleh Sultan Agung tersebut menunjukkan
bahwa peralihan budaya yang terjadi sangatlah dipengaruhi oleh pergantian
kepercayaan/agama, yang pada waktu itu terjadi yakni peralihan agama dari
Hindu-Budha ke Islam. Sejak saat itulah, sistem penanggalan yang berlaku di
Jawa, khususnya yang berada dalam kekuasaan Mataram, menggunakan sistem
penanggalan yang berdasarkan perhitungan bulan (Lunar). Meskipun sampai
sekarang masyarakat masih banyak mengenal rangkapan-rangkapan dari sistem
penanggalan yang dihitung dengan menggunakan perhitungan matahari (Solar)
atau yang lebih dikenal dengan almanak Saka.

4. Sistem Penanggalan Madura


Seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas bahwa Madura
merupakan salah satu daerah yang dikuasai oleh Mataram pada kisaran tahun
1624 Masehi. Pada waktu itu Islam telah masuk terlebih dahulu ke pulau Madura,
melalui bagian utara pulau Madura, Arosbaya-Bangkalan, kira-kira satu abad
sebelumnya. (http://www.eastjava.com/books/madura/html/hisleg.html). Jadi jauh
sebelum Mataram masuk ke Madura, agama dan budaya Islam telah mewarnai
kehidupan masyarakat Madura. Namun pengaruh Mataram dapat dilihat dalam
sistem penanggalan yang berlaku di Madura. Pada waktu Madura termasuk dalam
wilayah kekuasaan Mataram, Madura termasuk dalam wilayah agar
diberlakukannya dekrit Sultan Agung untuk merubah penanggalan Saka menjadi
penanggalan Jawa versi Islam yang menggunakan sistem perhitungan Lunar
(Kamariyah).
Kalender ini dinamakan kalender Hijriyah, karena penetapan tahun
pertama pada kalender ini disesuaikan dengan peristiwa hijrahnya Nabi
Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tanggal 15 Juli 622 M.
Kalender Hijriyah merupakan almanak yang menggunakan sistem perhitungan
kamariyah, yakni berdasarkan rata-rata siklus sinodik bulan. Artinya, penentuan
awal bulan ditandai dengan munculnya penampakan bulan sabit pertama kali
(hilal). Pada fase ini bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, oleh

8
karenanya hari baru dalam agama Islam dimulai pada saat terbenamnya matahari.
Kalender Hijriyah memiliki 12 bulan dalam setahun, dengan rata-rata 354,366667
hari setiap tahunnya. Sistem perhitungan Hijriyah memiliki periode siklus yang
per 30 tahun yang terdiri dari 11 tahun panjang (kabisat) dengan jumlah hari 354
setiap tahunnya dan 19 tahun pendek (basithoh) dengan jumlah hari 355 setiap
tahunnya. Jumlah hari dalam 1 tahun kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari
dibanding dengan 1 tahun kalender Masehi atau kalender lainnya yang
berdasarkan sistem perhitungan solar.
Perlu diketahui bahwa sistem perhitungan dalam almanak Hijriyah terbagi
menjadi dua bagian, yakni sistem perhitungan Urfi dan Hakiki. Sistem
perhitungan Urfi merupakan sistem perhitungan umum yang sifatnya masih
perkiraan (kasar), sedangkan sistem perhitungan Hakiki merupakan perhitungan
tingkat lanjut yang menerapkan perhitungan matematis (kalkulasi menggunakan
rumus-rumus/tetapan-tetapan) dan pengamatan posisi bumi, bulan, dan matahari
pada setiap bulannya (sejajar dalam satu garis bujur/ijtima’). Adapun umur hari
pada setiap bulan penanggalan Hijriyah di bawah ini masih berdasarkan sistem
perhitungan secara Urfi dengan ketentuan setiap bulan ganjil umur harinya selalu
genap.

Nama Bulan Dalam Tahun Hijriyah dan Umurnya


No. Nama Bulan Umur
1. Muharram 30 hari
2. Shafar 29 hari
3. Rabi’ul Ula 30 hari
4. Rabi’ul Tsani 29 hari
5. Jumadil Ula 30 hari
6. Jumadit Tsani 29 hari
7. Rajab 30 hari
8. Sya’ban 29 hari
9. Ramadhan 30 hari

9
10. Syawal 29 hari
11. Dzulqo’dah 30 hari
12. Dzulhijjah 29/30 hari
Tabel 4.

Almanak Madura merupakan adopsi langsung dari almanak Jawa versi


Mataram (Sultan Agung) yang diberi tambahan unsur-unsur lokal Madura. Sistem
penanggalannya pun berdasarkan pada perhitungan kamariyah, yakni cenderung
disesuaikan dengan kalender Hijriyah, seperti halnya sistem penanggalan Sultan
Agung. Identitas sistem penanggalan Sultan Agung dinyatakan lengkap apabila
disertai oleh rangkapan-rangkapannya. (Marsono, 2004: 234). Almanak Madura
memiliki rangkapan-rangkapan yang mayoritas merupakan rangkapan-rangkapan
yang sama dengan rangkapan-rangkapan pada almanak Jawa. Namun ada
beberapa rangkapan-rangkapan dalam sistem penanggalan Sultan Agung yang
tidak ditemui dalam sistem penanggalan Madura seperti rincian nama tahun dan
windu (lihat Marsono, 2004: 241-243). Perincian masing-masing almanak Madura
berserta rangkapan-rangkapannya dapat diperhatikan pada uraian di bawah ini.

4.1 Bulan (Bulan)


Jumlah bulan pada almanak Madura sama dengan almanak Sultan Agung
maupun almanak Hijriyah, yaitu terdiri dari 12 bulan dalam setiap tahunnya.
Ketetapan umur hari dalam setiap bulannya pada sistem penanggalan Madura
disesuaikan dengan umur hari dalam tiap bulan sistem penanggalan Hijriyah
(tabel 4) yang menggunakan sistem perhitungan Urfi. Nama-nama bulan pada
almanak Madura merupakan penggabungan antara nama-nama bulan pada
almanak Hijriyah dan almanak Sultan Agung yang disertai pula penambahan
unsur lokal, seperti misalnya nama bulan ke 4, 8, 11, dan 12 (Molot, Rebba,
Tekepe’, dan Reraja). Penamaan nama-nama bulan tersebut disesuaikan dengan
hari-hari penting yang terjadi atau rutinitas yang biasanya dilakukan dalam bulan
itu. Nama-nama bulan pada almanak Madura dapat dilihat pada tabel 5.

10
Nama Bulan Dalam Sistem Penanggalan Madura

No. Nama Bulan Umur Watak


1. Sora 30 hari Perselisihan/pertengkaran
2. Sappar 29 hari Banyak hutang
3. Molot 30 hari Kematian
4. Rasol 29 hari Perselisihan & pertengkaran
5. Jumadil Awwal 30 hari Hadiah
6. Jumadil Aher 29 hari Banyak keuntungan
7. Rejjheb 30 hari Banyak keturunan
8. Rebba 29 hari Keberuntungan
9. Pasa 30 hari Banyak dosa/kesalahan
10. Sabbal 29 hari Banyak hutang
11. Tekepe’ 30 hari Kesulitan/kesukaran
12. Reraja 29 hari Terkabulnya permohonan
Tabel 5. (disunting dari
Jordaan, 1985: 135)

Perlu diketahui bahwa ada perbedaan nama-nama bulan dalam kalender


Madura antara daerah Madura bagian barat (Bangkalan & Sampang) dan daerah
Madura bagian timur (Sumenep & Pamekasan), yakni pada bulan ke 1 dan ke 2.
Nama bulan Sora dan Sappar digunakan oleh masyarakat Madura bagian timur,
sedangkan masyarakat Madura bagian barat kerap mengenal nama kedua bulan
tersebut sebagai Tajin peddis dan Tajin mera. Hal itu dikarenakan budaya yang
melekat dalam masyarakat Madura bagian barat yakni membuat bubur gurih
untuk memperingati 1 Muharram (Sora) dan bubur manis untuk keselamatan
(Sappar). Kebiasaan yang telah lama dilakukan tersebut membuat masyarakat
Madura bagian barat lebih mengenal nama bubur daripada nama Sora maupun
Sappar untuk almanaknya.
Tidak seperti dalam sistem penanggalan Sultan Agung yang mengenal
neptu atau nakto (dalam bahasa Madura) untuk masing-masing bulan (perhatikan
tabel 3.), sistem penanggalan Madura hanya mengenal watak bulan yang

11
umumnya digunakan oleh masyarakat Madura untuk keperluan memulai suatu
pekerjaan. (lihat Jordaan, 1985: 135). Pada tabel 5 di atas, watak masing-masing
bulan hanya untuk keperluan memulai suatu acara pernikahan dalam masyarakat
Madura. Namun seiring dengan menguatnya Islam di kalangan masyarakat
Madura, rangkapan-rangkapan watak masing-masing bulan seperti yang
tercantum dalam tabel di atas tersebut sudah tidak ditemui lagi penggunaannya.

4.2 Are (Hari)


Karena sistem penanggalan Madura merupakan penyesuaian dari sistem
penanggalan Hijriyah (lunar), maka perhitungan ganti hari-nya pun dimulai saat
terbenamnya matahari (waktu Maghrib). Berbeda dengan sistem penanggalan
Masehi (solar) yang menghitung pergantian hari mulai pukul 00.00 malam.
Beberapa nama-nama are dalam kalender Madura pun mengadopsi dari nama-
nama hari dalam kalender Hijriyah, seperti Ahad (Ahad), Salasa (Tsalaatsa’),
Kemmes (Khamiis), dan Jum’at (Jum’aat).

Are Dalam Sistem Penanggalan Madura


No. Nama Are Nakto
1. Ahad 5
2. Sennen 4
3. Salasa 3
4. Rebbhu 7
5. Kemmes 8
6. Jum’at 6
7. Satto 9
Tabel 6. (Jordaan, 1985: 129)

Tidak seperti dalam rangkapan sistem penanggalan Sultan Agung, dimana


masing-masing hari mengenal adanya watak dan neptu. Rangkapan are dalam
sistem penanggalan Madura hanya mengenal nakto (neptu). Nakto merupakan
angka-angka yang telah ditentukan untuk masing-masing unsur are, pasaran, dan

12
lako. Setiap nakto are nantinya dikombinasikan dengan nakto pasaran untuk
melihat nakto dhina yang bersesuaian dengan lako.

4.3 Pasaran
Pasaran dalam rangkapan sistem penanggalan Madura sesuai dengan
jumlah pasaran dalam kalender Jawa, yakni berjumlah lima. Rangkapan pasaran
dalam sistem penanggalan Madura tidak memiliki watak pasaran sebagaimana
pasaran-pasaran dalam sistem penanggalan Jawa (lihat Marsono, 2004: 237).
Namun masing-masing nakto pada pasaran dapat dikombinasikan dengan nakto
pada are yang kemudian dapat dilihat jumlah nakto yang sesuai esse atau lako
yang mewakili watak. Penggabungan antara are dan pasaran dalam almanak
Madura disebut dengan dhina, misalnya Ahad-Pon, Kemmes-Manes, Satto-Baghi,
dan lain sebagainya. Pasaran pada sistem penanggalan Madura dapat dilihat pada
tabel 7. dibawah.

Pasaran Dalam Sistem Penanggalan Madura


No. Nama Pasaran Nakto
1. Pon 7
2. Baghi 4
3. Klebun 8
4. Manes 5
5. Paeng 9
Tabel 7. (Jordaan, 1985: 129)

4.4 Lako (esse)


Esse atau yang lebih dikenal dengan lako merupakan rangkapan dalam
sistem penanggalan Madura yang didapatkan dari penjumlahan antara nakto are
dan nakto pasaran. Lako atau esse kerap digunakan oleh masyarakat Madura
untuk mengenali watak dhina, yang diyakini dapat berpengaruh dalam kehidupan
manusia. Lako dan nakto-nya dalam sistem penanggalan Madura dapat dilihat
pada tabel 8. berikut.

13
Lako Dalam Sistem Penanggalan Madura
No. Nakto Lako
1 7 Bume kene’ (bumi kecil)
2 8 Apoy kene’ (api kecil)
3 9 Angen (angin)
4 10 Ghunong (gunung)
5 11 Pakse/mano’ (burung)
6 12 Sworgha/aras (langit)
7 13 Bulan/ghutongan (bulan)
8 14 Bintang/ghumolong (bintang)
9 15 Are (matahari)
10 16 Aeng (air)
11 17 Bhume raja (bumi besar)
12 18 Apoy raja (api besar)
Tabel 8. (disunting dari Jordaan, 1985: 130)

Pemahaman masyarakat Madura terhadap nakto lako umunya


dimanfaatkan untuk memprediksi watak dan sifat seseorang berdasarkan dhina
kelahirannya. Selain itu nakto lako juga kerap dimanfaatkan untuk prediksi
keberlangsungan dan kebahagiaan suatu perjodohan. Jordaan mengungkapkan
bahwa orang Madura memanfaatkan karakteristik-karakteristik lako ini untuk
keperluan peramalan tentang keberuntungan, kehilangan, penyakit, dan lain
sebagainnya. (1985: 130).

4.5 Tetemasa (Pratamangsa)


Tetemasa merupakan perhitungan waktu secara sistematis yang dimiliki
oleh orang Madura. (jordaan, 1985: 123). Dalam tetemasa, dapat dilihat bahwa
orang Madura telah mengenal pembagian waktu secara terperinci dalam satu
tahun dan merangkum pergerakan angin musim barat dan musim timur ke dalam
12 bulan atau musim. Tetemasa dalam sistem penanggalan Madura memiliki
jumlah 363 hari dalam setiap 1 tahun. (Jordaan, 1985: 125).

14
Tetemasa dalam sistem penanggalan Madura merupakan sistem
perhitungan waktu yang sama dengan pratamangsa/mangsa/titimangsa dalam
sistem penanggalan Jawa. (lihat Jordaan, 1985: 123). Tetemangsa seringkali
hanya digunakan sebagai sistem perhitungan waktu secara kasar oleh orang
Madura. Hal ini karena orang Madura cenderung tidak memperhatikan umur hari
dalam satu bulan, melainkan berpatokan pada angin musim yang berhembus pada
waktu tertentu. (Jordaan, 1985: 125). Tetemasa merupakan suatu pengetahuan
yang sangat mengesankan tentang hubungan manusia dengan alam.
Jika Ammarell mengungkapkan bahwa mangsa merupakan sistem
perhitungan waktu yang diperoleh dari penggunaan bencet, tetemasa dalam sistem
penanggalan Madura lebih cenderung dirumuskan dari hasil memperhatikan dan
memperhitungkan arah hembusan angin. Oleh karena itulah, tetemasa tidak hanya
dimanfatatkan para petani untuk bercocok tanam melainkan juga dimanfaatkan
nelayan untuk mencari ikan/melaut. Rangkapan tetemasa yang lebih terperinci
dapat dilihat pada tabel 10.

Tetemasa Dalam Sistem Penanggalan Madura


No. Tetemasa Waktu Umur
1. Kasa (Kartika) 20 Juni – 1 Agustus 41 hari
2. Karo (Pusa) 2 Agustus – 24 Agustus 23 hari
3. Kategha (Manggasari)/Nemor 25 Agustus – 17 September 25 hari
4. Kapat (Sitra) 18 September – 12 Oktober 25 hari
5. Kalema (Manggakala) 13 Oktober – 8 Nopember 27 hari
6. Kanem (Naya) 9 Nopemeber – 21 Desember 43 hari
7. Kapetto (Palguna) 22 Desember – 3 Pebruari 43 hari
8. Kaballu (Wisaka) 4 Pebruari – 28/29 Pebruari 25/26 hari
9. Kasanga (Jita) 1 Maret – 25 Maret 25 hari
10. Kasapolo/Dhasa (Srawana) 26 Maret – 18 April 24 hari
11. Dhasta (Padrawana) 19 April – 11 Mei 23 hari
12. Sadha (Asuji) 12 Mei – 21 Juni 41 hari
Tabel 9.

15
Babukon dalam Sistem Penanggalan Madura
No. Musim Umur Bayangan Angin Penyakit Pertanian
12.00 15.00 Dari arah Kekuatan
1. Kasa 30 hari 0,9 meter 3 meter Timurlaut selama 9 hari Sedang Sakit kepala Tembakau dipanen
sebagian
2. Karo 24 hari 0,6 meter 2,7 meter Selatan-tenggara Sedang Demam Panen tembakau
3. Kategha 25 hari 0,3 meter 2,4 meter Timurlaut Kuat (kencang) Demam tinggi -
4. Kapat 26 hari 0 meter 2,1 meter Timurlaut selama 7 Normal Penyakit mata -
hari, lalu selatan
5. Kalema 40 hari 0,3 meter 2,4 meter Baratlaut tetapi tidak Normal-sedang Rematik Benih jagung &
tetap singkong ditabur
6. Kanem 40 hari 0,6 meter 2,7 meter Barat - Penyakit perut Jagung dipanen
sebagian
7. Kapeto 25 hari 0,3 meter 2,4 meter Barat Sedang Penyakit Panen jagung
kuping
8. Kabalu 26 hari 0-0,3 2,1 meter Semula dari selatan, Bervariasi Kolera Benih jagung musim
meter kemudian berubah hujan/angin ditabur
9. Kasanga 27 hari 0,3 meter 2,4 meter Timurlaut Sedang Demam Benih kacang-
kacangan ditabur
10. Kasapolo 27 hari 0,6 meter 0,6 meter Tenggara - - -
11. Dasta 23 hari - 2,4 meter Tenggara tetapi tidak Normal-sedang Sakit kepala -
tetap & demam
12. Sadah 40 hari 1,2 meter 3,35 meter Timur Normal Demam Menanam tembakau
Tabel 10. (Jordaan, 1985: 124).

16
4.6 Babukon
Babukon sama dengan wuku dalam sistem penanggalan Jawa-Mataram.
Babukon dalam sistem penanggalan Madura terdiri dari 30 buko, dimana masing-
masing buko terdiri dari 7 hari dan dimulai dari dhina yang berbeda-beda. Begitu
juga setiap wuku dalam sistem penanggalan Jawa yang memiliki umur sama yaitu
tujuh hari, di mana dalam setiap satu siklus wuku terdiri dari 210 hari (30 x 7
hari). (lihat Marsono, 2004: 240).
Jika masing-masing wuku memiliki watak sendiri-sendiri dan kerap
digunakan untuk mengetahui sifat dan nasib manusia berdasarkan hari
kelahirannya (Marsono, 2004; 240), babukon cenderung digunakan oleh orang
Madura untuk mengetahui waktu sial (apes) dan waktu baik untuk manusia,
hewan ternak maupun tanaman. Hal ini terlihat dari 30 buko yang disunting dalam
tulisan Jordaan pada tabel 10. bahwa setiap buko memiliki masing-masing
rengkel/apes. Oleh karena itu, babukon juga digunakan untuk mengetahui waktu-
waktu yang tepat dalam memulai suatu kegiatan pada keseharian masyarakat
Madura, seperti menabur benih tanaman/padi, pindah rumah, melakukan
perjalanan, memperbaiki perahu/rumah, dan lain sebagainya. (lihat Jordaan, 1985:
133)
Setiap buko diyakini dapat membawa kematian bagi makhluk hidup
seperti hewan ternak, manusia, dan tanaman. Buko Senta, Bariga, Langker,
Tamber, Matal, dan Bala yang diyakini dapat mengakibatkan terhadap manusia
disebut buko mate (buko kematian). Karena dianggap sangat berbahaya maka
dianjurkan untuk tidak mengadakan perjalanan atau pindah rumah pada waktu
periode buko itu. Babukon umumnya dapat digunakan secara terpisah maupun
dikombinasikan dengan pancaraba.

Babukon Dalam Sistem Penanggalan Madura


No. Buko Dhina (hari) Rengkel (apes)
1. Senta Ahad-Paeng Manusia
2. Landhep Ahad-Baghi Hewan ternak

17
3. Buker Ahad-Manes Ikan
4. Kolanter Ahad-Pon Burung
5. Tolo Ahad-Kebun Kuda
6. Gumbreng Ahad-Paeng Tanaman / kayu
7. Bariga Ahad-Baghi Manusia
8. Neng bariga Ahad-Manes Hewan ternak
9. Julung wangi Ahad-Pon Ikan
10. Julung songsang Ahad-Klebun Burung
11. Galungan Ahad-Paeng Kuda
12. Konengan Ahad-Baghi Tanaman / kayu
13. Langker Ahad-Manes Manusia
14. Mandasiya Ahad-Pon Hewan ternak
15. Julung toyud Ahad-Klebun Ikan
16. Pa’ang Ahad-Paeng Burung
17. Kruwellut Ahad-Baghi Kuda
18. Marake Ahad-Manes Tanaman / kayu
19. Tamber Ahad-Pon Manusia
20. Madangkungan Ahad-Klebun Hewan ternak
21. Matal Ahad-Paeng Ikan
22.. Buji Ahad-Baghi Burung
23. Manael Ahad-Manes Kuda
24. Prangbakat Ahad-Pon Tanaman / kayu
25. Bala Ahad-Klebun Manusia
26. Wuku Ahad-Paeng Hewan ternak
27. Bajang Ahad-Baghi Ikan
28. Kulawu Ahad-Manes Burung
29. Dukot Ahad-Pon Kuda
30. Batugunong Ahad-Klebun Tanaman / kayu
Tabel 10. (Jordaan, 1985:132)

18
4.7 Pancabara
Pancabara belum pernah diuraikan secara terperinci sebelumnya dalam
penjelasan mengenai sistem penanggalan Madura beserta rangkapan-
rangkapannya. Pancabara merupakan cara meramalkan/memprediksikan sesuatu
berdasarkan pada kombinasi 7 hari are dan 5 hari pasaran. (Jordaan, 1985: 129).
Dalam kegiatan peramalan masyarakat Madura kerap memanfaatkan rangkapan-
rangkapan yang terdapat dalam sistem penanggalan Madura, sehingga pancabara
umumnya dikombinasikan dengan babukon dalam penggunaannya. Hal ini untuk
menambahkan informasi (peramalan) tentang masing-masing hari dalam babukon.
Dalam Jordaan, kombinasi antara pancabara dan babukon disajikan dalam bentuk
tabel, seperti yang terdapat dalam tabel 11. pada bagian lampiran.

5. Kesimpulan
Selama berabad-abad silam, sukubangsa di Nusantara banyak yang telah
mengenal tentang sistem perhitungan waktu. Sistem Astronomi yang dimiliki oleh
sukubangsa di Nusantara merupakan pengetahuan yang diperoleh dari
memperhatikan dan memperhitungkan keadaan alam. Sistem penanggalan Madura
merupakan suatu sistem perhitungan waktu yang beradasarkan pergerakan bulan
(sistem Lunar/Kamariyah). Sistem penanggalan Madura merupakan sistem
almanak yang berasal dari sistem almanak Jawa-Mataram (Sultan Agung), untuk
kemudian memilih untuk lebih menyesuaikan diri terhadap almanak Hijriyah
(Islam) dengan tetap mempertahankan beberapa rangkapan-rangkapan dari sistem
almanak Sultan Agung, seperti are, pasaran, lako, dan babukon.
Rangkapan-rangkapan dalam sistem almanak Madura tersebut semula
banyak dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan mata pencariannya, seperti
bercocok tanam dan mencari ikan sampai kegiatan keseharian seperti bepergian,
pindah rumah, memperbaiki perahu sampai peramalan. Namun seiring
berkembangnya teknologi dan kepercayaan (agama Islam), rangkapan-rangkapan
tersebut sangat jarang sekali dimanfaatkan. Terlebih lagi dalam agama Islam, ilmu
Astronomi dipelajari sebagai ilmu Falaq yang mengakibatkan pengetahuan
masyarakat tentang sistem perhitungan waktu didominasi oleh kalangan
pesantren.

19
Daftar Pustaka

Ammarell, Gene. Tanpa tahun. Sky Calendars Of The Indo-Malay Archipelago:


Regional Diversity/Local Knowledge, dalam Perbintangan dan Penaggalan
di Nusantara; di susun oleh I. Kuntara Wiryamartana. Yogyakarta.
Bouvier, Helene. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Madura. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Digital Microsoft Encarta Premium Encyclopedia.
Jordaan, Roy Edward. 1985. Folk Medicine in Madura. Disertasi Ilmu Sosial.
Leiden, Rijkuniversiteit.
Marsono. 2004. Sistem Penanggalan Sultan Agung, dalam Mempertanyakan Jati
Diri Bangsa. Divisi Penerbitan Unit Pengkajian dan Pengembangan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
http://www.eastjava.com/books/madura/html/hisleg.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender Bali
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender Hijriyah
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender Saka
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan Mataram
http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura
http://id.wikipedia.org/wiki/Raden Wijaya

20
Lampiran

Kombinasi antara Babukon dan Pancabara Dalam Sistem Penanggalan Madura


Buko Rengkel Dhina Dhina Dhina Dhina Dhina Dhina Dhina
Senta Manusia Ahad- Sennen- Slasa-Baghi Rebbhu- Kamis-Manes Jumat-Paeng Satto-Pon
Paeng Pon Macan Klebun Semut-semut Rayap kecelekaan
- - berkeliaran - menghilang menghilang
Landhep Hewan Ahad- Sennen- Slasa-Manes Rebbhu- Kemmes-Pon Jumat-Baghi Satto-
ternak Baghi Klebun - Paeng Semut-semut Kecelakaan Klebun
- - Merugikan bermunculan -

Buker Ikan Ahad- Sennne- Slasa-Pon Rebbhu-Baghi Kemmes- Jumat-manes Satto-Paeng


Manes Paeng - Buaya Klebun Kemujuran Macan
Kecelakaan - menghilang - muncul
parah
Kolanter Burung Ahad-Pon Sennen- Slasa-Klebun Rebbhu- Kemmes-Paeng Jumat-Pon Satto-Baghi
- Baghi Macan Manes - Kecelakaan Kemujuran
- menghilang Merugikan Semut-semut
bermunculan
Tolo Kuda Ahad- Sennen- Slasa-Paeng Rebbhu-Pon Kemmes-Baghi Jumat-Klebun Satto-Manes
Klebun Manes - Kecelakaan Buaya Kemujuran -
- Rayap menghilang
menghilang
Tabel 12. (Jordaan, 1985: 134)

21
22

You might also like