Abses Septum Nasi yang Disebabkan Oleh Bakteri Anaerobik dari Flora Oral
ABSTRACT
Although nasal septal abscess (NSA) was
formerly common, it has become rare since
the development of antibiotics. NSA, if left
untreated, can lead to intracranial
complications such as meningitis and
eventually result in saddle-nose deformity.
NSA often occurs after injury, and
indigenous skin bacteria such as
Staphylococcus aureus are frequently
detected. We treated a patient who had
injured the upper alveolus in a fall on the
stairs and developed NSA two weeks later.
Anaerobic bacteria, including Veillonella
parvula and Peptostreptococcus sp., were
detected. Symptoms were relieved by
needle and incisional drainage. Our patient
represents a very rare case of NSA in terms
of the cause of onset and the detected
bacteria. Early drainage can result in good
outcomes.
Introduction
Nasal septal abscess (NSA) has been
uncommon since the development of
antibiotics, but can result in devastating
complications. It is best defined as a
collection of pus in the space between the
cartilaginous or bony nasal septum and its
overlying mucoperichondrium or
mucoperiosteum. NSA can lead to nasal
deformities such as saddle nose, and must
be treated early to avoid serious
complications such as skull-base and
intracranial infections. The most common
organisms cultured from NSA are aerobic
bacteria. Few cases concern anaerobic
bacteria. This report describes the recovery
of anaerobic bacteria of the oral flora.
ABSTRAK
Meskipun nasal septal abscess (NSA)
dulunya umum, telah menjadi langka sejak
perkembangan antibiotik. NSA, jika tidak
ditangani, dapat menyebabkan komplikasi
intrakranial seperti meningitis dan akhirnya
mengakibatkan deformitas saddle-nose.
NSA sering terjadi setelah cedera, dan flora
normal kulit seperti Staphylococcus aureus
sering terdeteksi. Kami merawat seorang
pasien yang mengalami cedera alveoli atas
saat terjatuh dari tangga dan mengakibatkan
NSA dua minggu kemudian. Bakteri
anaerob, termasuk Veillonella parvula dan
Peptostreptococcus sp., terdeteksi. Gejala
diperoleh dari jarum dan drainase insisi.
Pasien tersebut mengalami kasus NSA yang
sangat langka dalam hal penyebab onset dan
bakteri yang terdeteksi. Drainase awal dapat
memberikan hasil yang baik.
Pendahuluan
Nasal septal abscess (NSA) telah jarang
dijumpai sejak perkembangan antibiotik,
tetapi dapat mengakibatkan komplikasi yang
buruk. NSA didefinisikan sebagai kumpulan
nanah di ruang antara tulang rawan atau
tulang septum hidung dan
mucoperichondrium atasnya atau
mucoperiosteum. NSA dapat menyebabkan
deformitas hidung seperti saddle nose, dan
harus ditangani lebih awal untuk
menghindari komplikasi serius seperti
infeksi kranial dan intrakranial. Organisme
paling umum yang ditemukan dari NSA
adalah bakteri aerob. Beberapa kasus
menemukan bakteri anaerob. Laporan ini
menjelaskan penyembuhan dari bakteri
anaerob flora oral.
Case Report
A 69-year-old man who had traumatized an
upper dental alveolus in a fall 2 weeks
earlier presented with toothache, nasal
obstruction, and difficulty in breathing
through the nose. There was no
deformation of the external nose.
Endonasal examination revealed a bilateral
swelling in the nasal septum completely
obstructing the nasal cavity (Fig. 1).
Redness of the upper alveolar ridge and
looseness of the right anterior teeth were
observed, but no abscess was found in the
root of the tooth. Surgical examination
confirmed redness of the upper alveolar
ridge and looseness of the anterior teeth,
but revealed no fracture or hematoma. A
complete blood cell count showed a raised
white cell count of 9070/mm3 (neutrophil
60.8%), and a C-reactive protein level of
2.85 mg/mL.
Urgent computed tomography (CT)
revealed a thickened nasal septum and
thickened facial soft tissues (Fig. 2). Under
local anesthesia, needle aspiration with an
18-gauge needle drew 3 cc of pus, which
was sent for culture. Vaseline gauze
packing was inserted for 48 h. Levofloxacin
(500 mg) was administered orally for 5
days, and the symptoms of nasal congestion
disappeared. However, toothache and the
nasal obstruction returned after a week
(Fig. 3), so needle aspiration was
performed again, and 4 cc of pus was
obtained. A 1-cm incision was then made at
the site and the abscess cavity was washed.
A week later, the symptoms were relieved,
and the infection did not recur (Fig. 4).
Bacterial cultureof the first sample revealed
Veillonellaparvula and Peptostreptococcus
sp. A disk diffusion test showed that both
bacteria were highly susceptible to
piperacillin, clindamycin, cefmetazole,
imipenem, minocycline, and levofloxacin.
Laporan Kasus
Seorang pria berusia 69 tahun yang
mengalami trauma alveoli gigi atas pada
musim gugur 2 minggu sebelumnya datang
dengan sakit gigi, hidung tersumbat, dan
kesulitan bernafas melalui hidung. Tidak
ada perubahan hidung bagian luar.
Pemeriksaan endonasal didapatkan
pembengkakan bilateral di septum hidung
yang menutupi rongga hidung (Gambar 1).
Ditemukan kemerahan alveolar ridge atas
dan gigi depan bagian kanan yang longgar,
tetapi tidak ditemukan abses di akar gigi.
Pemeriksaan bedah mengkonfirmasi adanya
kemerahan pada alveolar bagian atas dan
kelonggaran gigi anterior, tetapi tidak ada
fraktur atau hematoma. Pemeriksaan darah
lengkap menunjukkan jumlah sel darah
putih meningkat 9070 / mm3 (neutrofil
60,8%), dan tingkat protein C-reaktif 2,85
mg / mL.
Computed tomography (CT) menunjukkan
adanya penebalan septum hidung dan
jaringan lunak wajah (Gambar 2). Dengan
anestesi lokal, dilakukan kultur dengan
aspirasi jarum 18-gauge untuk mengambil 3
cc nanah. Kasa vaselin dimasukkan selama
48 jam. Lalu diberikan Levofloxacin (500
mg) oral selama 5 hari, dan gejala hidung
tersumbat menghilang. Namun, sakit gigi
dan sumbatan hidung terjadi kembali setelah
seminggu (Gambar 3), sehingga aspirasi
jarum dilakukan lagi, dan diperoleh 4 cc
nanah. Kemudian dibuat insisi 1 cm di
lokasi dan rongga abses dicuci. Seminggu
kemudian, gejala menghilang, dan infeksi
tidak kambuh (Gbr. 4).
Bakteri dari sampel pertama menunjukkan
Veillonellaparvula dan Peptostreptococcus
sp. Tes difusi cakram menunjukkan bahwa
kedua bakteri sangat rentan terhadap
piperasilin, klindamisin, cefmetazole,
imipenem, minocycline, dan levofloxacin.
Discussion
Incision of a nasal septal abscess was first
reported in 1830 [1]. Since the development
of antibiotics, NSA has become rare. The
most frequent symptom is nasal
obstruction, followed by earache, purulent
nasal discharge, headache, and fever. NSA
is more common in children than in adults
[2], as the structure of children’s nasal
septum is not fully developed, and therefore
hematoma due to various causes is more
likely, and infection of the hematoma can
lead to abscess formation. Delay in
treatment can result in saddle-nose
deformity and intracranial infection [3],
including meningitis, cavernous sinus
thrombosis, and sepsis.
Ambrus et al. [4] reported the mechanism
of NSA formation: traumatic injury to
blood vessels of the nasal septal
perichondrium forms a sub-perichondrial
hematoma, infection of which forms an
abscess. Beck [5] classified the causes of
NSA as traumatic, secondary due to
odontogenic lesions and sinusitis, and
incidental.
Trauma is the leading cause of NSA.
Eighty-five percent of NSA resulted from
infected nasal septal hematoma [6]. NSA
was formed in 15% of patients with nasal
trauma [7]. NSA due to nasal trauma, the
most common trauma, is associated with
accidents, falls, fights, nasal packing after
septal surgery, chronic irritation, and
nasogastric intubation [8].
Diskusi
Insisi abses septum hidung pertama kali
dilaporkan pada tahun 1830.1 Sejak
antibiotik berkembang, NSA telah menjadi
langka. Gejala yang paling sering adalah
sumbatan hidung, diikuti sakit telinga,
cairan hidung bernanah, sakit kepala, dan
demam. NSA lebih sering terjadi pada anak-
anak daripada pada orang dewasa2, karena
struktur septum hidung anak-anak belum
sepenuhnya berkembang, dan karena itu
hematoma karena berbagai penyebab lebih
mungkin, dan infeksi hematoma dapat
menyebabkan abses. Keterlambatan dalam
perawatan dapat menyebabkan deformitas
saddle-nose dan infeksi intrakranial3,
termasuk meningitis, trombosis sinus
kavernosus, dan sepsis.
Ambrus dkk.4 menyatakan mekanisme
pembentukan NSA: cedera traumatik pada
pembuluh darah perikondrium septum
hidung yang membentuk hematoma sub-
perichondrial, infeksi yang membentuk
abses. Beck5 mengklasifikasikan penyebab
NSA sebagai traumatis, komplikasi
sekunder dari lesi odontogenik dan sinusitis,
serta insidental.
Trauma adalah penyebab utama NSA.
Delapan puluh lima persen NSA disebabkan
oleh infeksi dari hematoma septum hidung.6
NSA terbentuk pada 15% pasien dengan
trauma hidung.7 NSA karena trauma hidung,
trauma yang paling umum, berhubungan
dengan kecelakaan, jatuh, perkelahian,
tampon hidung setelah operasi septum,
iritasi kronis, dan intubasi nasogastrik.8
Cases of secondary NSA have been
associated with sinusitis, such as
ethmoiditis and sphenoiditis [9]. Lopes[10]
first reported NSA of dental origin in 1953.
Most odontogenic NSA is attributed to
dental caries in the maxillary region,
periapical lesions such as radicular and
odontogenic cysts, and impacted teeth. Our
patient represents a very rare case.
Although he had no odontogenic lesion, the
injury to his upper alveolus led to NSA 2
weeks later.
Aerobic bacteria are the most common
cause of NSA: Staphylococcus aureus
accounts for 70%, followed by
Pneumococcus spp. and Haemophilus
influenzae [11]. Rare causes include
methicillin-resistant S. aureus [12],
secondary fungal infection [13], and
anaerobic bacteria. In two cases of
anaerobic bacteria, Brook [14] found
Prevotella intermedia, Peptostreptococcus
magnus, and Prevotella melaninogenica.
We detected the anaerobic bacteria
Veillonella parvula and Peptostreptococcus
sp.
Veillonella parvula is a 0.3–0.5-mm
anaerobic Gram-negative diplococcus that
is part of the normal flora of the mouth
dental plaque and intestinal tract of humans
and other animals. It is a rare opportunistic
pathogen that causes oral abscess, usually
in mixed anaerobic infection. It is highly
susceptible to antibiotics and is relatively
rarely detected in anaerobic infection in the
head and neck region. Peptostrepto-coccus,
a Gram-positive coccus, is also part of the
normal flora of the mouth with various
species. We were not able to identify the
species. In a study reported in 2006 [15],
microbiological examination of
odontogenic lesions found 269 species, of
which 91 were anaerobes, including 13
Peptostreptococcus species and 1
Kasus NSA sekunder telah dikaitkan dengan
sinusitis, seperti ethmoiditis dan
sphenoiditis.9 Lopes10 pertama kali
melaporkan NSA yang berasal dari gigi
pada tahun 1953. Kebanyakan NSA
odontogenik berkaitan dengan karies gigi di
rahang atas, lesi periapikal seperti kista
radikuler dan odontogenik, dan gigi yang
berlubang. Pasien ini merupakan kasus yang
sangat langka. Meskipun ia tidak memiliki
lesi odontogenik, cedera pada alveoli
atasnya menyebabkan NSA 2 minggu
kemudian.
Bakteri aerob merupakan penyebab paling
umum dari NSA: Staphylococcus aureus
sebesar 70%, diikuti oleh Pneumococcus
spp. dan Haemophilus influenzae.11
Penyebab langka termasuk S. aureus
resisten methicillin12, infeksi sekunder
jamur13, dan bakteri anaerob. Dalam dua
kasus bakteri anaerob, Brook14 menemukan
Prevotella intermedia, Peptostreptococcus
magnus, dan Prevotella melaninogenica.
Peneliti menemukan bakteri anaerob
Veillonella parvula dan Peptostreptococcus
sp.
Veillonella parvula adalah bakteri anaerobik
diplococcus Gram-negatif berukuran 0,3-
0,5-mm yang merupakan bagian dari flora
normal mulut dan usus manusia serta hewan
lainnya. Ia merupakan patogen oportunistik
langka yang menyebabkan abses oral,
biasanya pada infeksi anaerob campuran. Ia
sangat rentan terhadap antibiotik dan relatif
jarang terdeteksi pada infeksi anaerob di
daerah kepala dan leher.
Peptostreptococcus, merupakan coccus
Gram-positif, juga merupakan bagian dari
flora normal mulut dengan berbagai spesies.
Peneliti tidak dapat mengidentifikasi
spesies. Dalam sebuah penelitian yang
dilaporkan pada 2006,15 pemeriksaan
mikrobiologi lesi odontogenik menemukan
269 spesies, 91 diantaranya adalah anaerob,
Veillonella species. Therefore, the
anaerobes detected in our patient are rare in
oral and odontogenic lesions.
NSA usually spreads bilaterally and causes
necrosis and perforation of the septal
cartilage. NSA occurs when hematoma is
infected. In our patient, however, the
abscess involved only the right nasal cavity,
and the septal cartilage remained intact.
Following the bruise on the upper lip, a
hematoma was formed in the upper dental
alveolus. The hematoma became infected
by oral anaerobes, which formed an abscess
cavity, which then expanded upward and
eventually formed the NSA. There are
many arteries and veins such as Greater
Palatine Artery that flow into the nasal
septum from the maxilla. We thought
hematoma was formed from the palatal side
to the right side of the nasal septum due to
the trauma of the maxillary bone, and after
that it infected from the mouth side and
formed an abscess. Therefore, appearance
of symptoms is slower than usual.
Although the pathogenic mechanism of
NSA in our patient was, in a broad sense,
traumatic, the NSA was not associated with
nasal trauma. This suggests that facial
trauma also can cause NSA.
Early pus drainage and administration of
strong antibiotics are essential in the
treatment of NSA [16]. When an abscess is
localized in the nasal cavity, fine-needle
aspiration needs to be performed.
Following bacterial culture of the
discharged fluid, the pathogenic bacteria
can be identified, and antibiotics effective
against S. aureus, the most likely
pathogenic bacterium, should be promptly
administered. Specifically, broad-spectrum
termasuk 13 spesies Peptostreptococcus dan
1 spesies Veillonella. Oleh karena itu,
anaerob yang terdeteksi pada pasien ini
jarang terjadi pada lesi oral dan
odontogenik.
NSA biasanya bilateral dan menyebabkan
nekrosis serta perforasi pada kartilago
septum. NSA terjadi ketika hematoma
terinfeksi. Namun, pada pasien ini, abses
hanya pada rongga hidung kanan, dan
kartilago septum tetap utuh. Setelah memar
di bibir atas, hematoma terbentuk di alveoli
gigi bagian atas. Hematoma menjadi
terinfeksi oleh bakteri anaerob mulut, yang
membentuk rongga abses, yang kemudian
meluas ke atas dan akhirnya membentuk
NSA. Ada banyak arteri dan vena seperti
Greater Palatine Artery yang berjalan dari
maksila ke septum hidung. Hematoma
terbentuk dari sisi palatal ke sisi kanan
septum hidung akibat trauma tulang
maksila, dan setelah itu terinfeksi dari
bagian mulut dan membentuk abses. Karena
itu, munculnya gejala lebih lambat dari
biasanya.
Meskipun mekanisme patogenik NSA pada
pasien ini adalah traumatis, NSA tidak
terkait dengan trauma hidung. Ini
menunjukkan bahwa trauma wajah juga
dapat menyebabkan NSA.
Drainase nanah dan pemberian antibiotik
yang kuat sangat penting dalam pengobatan
NSA.16 Ketika abses terjadi di rongga
hidung, aspirasi dengan jarum yang halus
perlu dilakukan. Setelah kultur bakteri dari
cairan yang keluar, bakteri patogen dapat
diidentifikasi, dan antibiotik yang efektif
terhadap S. aureus, bakteri patogen yang
paling memungkinkan, harus segera
diberikan. Digunakan antibiotik spektrum
luas sesuai empiris, terutama augmentin,
antibiotics are empirically used, notably
augmentin, penicillin, and quinolone. If a
patient shows little improvement, the
susceptibility of the bacteria to drugs
should be tested. When infection involves
the dorsum of the nose and a patient has
general symptoms such as fever, not only
fine-needle aspiration but also incisional
drainage should be performed.
After needle drainage as well as incisional
drainage, nasal packing is necessary for
between 48 and 72 h, along with oral
administration of antibiotics for between 7
and 10 days. Although our patient’s initial
symptoms improved after the first needle
drainage alone, the recurrence of symptoms
2 weeks later necessitated incisional
drainage. The size of the abscess indicates
that we should have performed incisional
drainage at the initial treatment.
Fortunately, owing to the absence of
damage to the septal cartilage, our patient
recovered fully without complications such
as saddle nose deformity.
Conclusion
NSA is relatively rare today because of the
development of antibiotics. We treated a
patient who had injured his upper lip and
developed NSA 2 weeks later. Oral
anaerobes were the causative
microorganisms. Because etiologies other
than nasal trauma can cause NSA, careful
observation of patients is therefore
necessary.
Ethical approval
All study participants provided informed
consent, and the study design was approved
by an ethics review board.
penicillin, dan quinolone. Jika pasien
membaik, kerentanan bakteri terhadap obat
harus diuji. Ketika infeksi melibatkan
dorsum hidung dan pasien memiliki gejala
umum seperti demam, tidak hanya aspirasi
jarum namun juga harus dilakukan drainase
insisi.
Setelah aspirasi jarum serta drainase insisi,
tampon hidung diperlukan antara 48 dan 72
jam, bersamaan dengan pemberian antibiotik
oral selama 7 hingga 10 hari. Meskipun
gejala awal pasien membaik setelah aspirasi
jarum pertama saja, munculnya gejala 2
minggu kemudian memerlukan drainase
insisi. Ukuran abses menunjukkan bahwa
kita harus melakukan drainase insisio pada
perawatan awal. Untungnya, karena tidak
adanya kerusakan pada kartilago septum,
pasien dapat pulih sepenuhnya tanpa
komplikasi seperti kelainan saddle nose.
Kesimpulan
NSA saat ini relatif jarang ditemukan karena
perkembangan antibiotik. Peneliti merawat
seorang pasien dengan luka pada bibir
atasnya dan berkembang menjadi NSA 2
minggu kemudian. Penyebabnya adalah
bakteri anaerob oral. Karena etiologi selain
trauma nasal dapat menyebabkan NSA,
diperlukan observasi pasien secara cermat.
Persetujuan etik
Semua peserta penelitian diberikan informed
consent, dan desain penelitian disetujui oleh
dewan etik.