You are on page 1of 6

14

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)


2(1) – Maret 2013 : 14-19 (ISSN : 2303-2162)

Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada Hewan Primata di Taman Satwa Kandi
Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat

Gastrointestinal helminths of the primates in Taman Satwa Kandi Sawahlunto,


West Sumatra

Fadhilah Rahmah*), Dahelmi dan Siti Salmah

Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis, Padang, 25163
*)
Koresponden: fadhillahrahmah@rocketmail.com

Abstract

A study about gastrointestinal helminths of four species of primate was conducted from June to
September 2012 at Taman Satwa Kandi Sawahlunto and Laboratory of Animal Taxonomy,
Andalas University, Padang. This study aimed to identify species of gastrointestinal helminths
of the primates and to determine the prevalence of the parasites. This study used non-invassive
method by collecting fresh fecal samples from ten individuals of captivated rimates and
collecting soil samples around exhibition cages. Those samples were examined by using
floating-centrifuge and filtration methods. The result showed that in the primates fecal were
found eggs of Ascaris lumbricoides (prevalence= 60%), eggs of Trichuris sp. (10%),
rhabditiform larvae of Strongyloides stercoralis (20%) and rhabditiform larvae of Necator
americanus (20%). In the contaminated soil were found eggs of Ascaris lumbricoides, eggs of
Enterobius vermicularis (10%), eggs of Necator americanus and rhabditiform larvae of
Strongyloides stercoralis. This result indicated those primates were vulnerable to the infection
of helminth parasites.

Keywords : gastrointestinal helmints, prevalence, primates, Taman Satwa Kandi

Pendahuluan Batasan yang diciptakan untuk


satwa-satwa tersebut dapat mengakibat-
Penyakit parasit merupakan salah satu kan terjadinya peningkatan penyakit.
faktor penting yang perlu diperhatikan Hewan-hewan tersebut akan menjadi
dalam pengelolaan penangkaran seperti lemah sehingga mudah terancam penyakit
kebun binatang atau taman satwa, seperti virus, bakteri, jamur dan cacing
termasuk diantaranya adalah kecacingan. parasit. Penyakit yang disebabkan oleh
Satwa, terutama primata yang ada di endoparasit saluran pencernaan umumnya
penangkaran atau rehabilitasi lebih tidak menyebabkan kematian secara akut,
beresiko terinfeksi parasit dibandingkan tetapi bersifat kronis sehingga pada satwa
dengan habitat aslinya, hal ini disebabkan dewasa akan mengakibatkan produksi dan
karena kondisi lingkungan yang tidak kemampuan kerja yang menurun,
sesuai dengan habitat aslinya. Pada sedangkan pada satwa muda akan
awalnya satwa mempunyai habitat di alam mengakibatkan pertumbuhan terhambat,
bebas, kemudian dipindahkan ke alam nafsu makan menurun, anemia dan diare
buatan, sehingga mengalami berbagai (Soulsby, 1982). Salah satu cara
perubahan lingkungan dan perlakuan, mendiagnosis keberadaan dari jenis cacing
seperti ruang gerak, pakan, minum dan parasit dalam tubuh satwa adalah dengan
tempat berteduh (Kusumanihardja, 1985). pemeriksaan tinja segar, untuk mencari
15
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(1) – Maret 2013 : 14-19 (ISSN : 2303-2162)

telur cacing parasit yang dikeluarkan Pemeriksaan Tinja dengan Metode Apung-
cacing betina setelah melakukan Sentrifus
perkawinan untuk melanjutkan siklus Tinja diambil sebanyak 5 gram,
hidupnya. diencerkan dengan 100 ml aquades dan
Taman Satwa Kandi merupakan dihomogenkan, kemudian disaring dengan
bekas areal penambangan batubara yang saringan teh dan kertas saring. Filtrat yang
dikembangkan menjadi tempat konservasi diperoleh diambil sebanyak 10 ml dan
(ex-situ) dalam bentuk taman satwa yang dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu
memiliki luas areal ± 5 ha. Taman Satwa disentrifugasi selama 10 menit dengan
ini terletak di Desa Sijantang Koto, putaran 2500 rpm. Filtrat yang bening
Kecamatan Talawi, Kotamadya dibuang dan selanjutnya ditambahkan
Sawahlunto, Sumatera Barat (Dinas larutan NaCl jenuh sampai angka 10 ml,
Pariwisata dan Kebudayaan Pemko lalu diaduk dan dibiarkan selama 10 menit.
Sawahlunto, 2008). Taman Satwa ini Telur akan mengapung ke atas, kemudian
didirikan pada tahun 2006 dan memiliki tempelkan kaca objek di atasnya, tutup
berbagai macam jenis koleksi hewan. Di dengan kaca penutup dan periksa di bawah
Taman Satwa Kandi telah pernah mikroskop dengan perbesaran 10 sampai
dilakukan penelitian mengenai cacing 100 kali (Dirjen Peternakan, 1999).
parasit pada rusa dan gajah, namun
penelitian mengenai cacing parasit saluran Pemeriksaan Tinja dengan Metode
pencernaan pada hewan primata belum Filtrasi
pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian Tinja diambil sebanyak 3 gram, kemudian
ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dihomogenkan dengan aquades dan
cacing parasit saluran pencernaan yang disaring dengan saringan yang berukuran 1
menyerang hewan primata dan mengetahui mm. Hasil saringan disaring lagi secara
prevalensi cacing parasit saluran pen- bertingkat dengan saringan berukuran
cernaan pada hewan primata di Taman 400µ, 100µ, 45µ. Filtrat terakhir dituang
Satwa Kandi Sawahlunto. ke dalam cawan petri dan adanya telur
cacing parasit dapat diamati (Tiuria,
Metode Penelitian Pangihutan, Nugraha, Priosoeryanto,
Hariyadi, 2008).
Penelitian ini dilakukan secara observasi
langsung dengan mengoleksi tinja semua Pemeriksaan Tanah dengan Metode
hewan primata yang berada pada masing- Apung-Sentrifus
masing kandang dan sampel tanah yang Tanah diambil sebanyak 2 gram, lalu
berada di dalam kandang di Taman Satwa dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan
Kandi Sawahlunto. Tinja diambil pada diencerkan dengan aquadest sebanyak 8
setiap hewan Primata yang berjumlah 10 ml, lalu dihomogenkan. Lalu disentrifus
individu. Tinja yang diambil adalah tinja selama 2 menit dengan putaran 1500 rpm.
yang segar, kemudian dimasukkan ke Larutan bagian atas yang tidak mengendap
dalam botol film dan diberi label. dibuang, kemudian tambahkan larutan
Kemudian diambil juga sampel tanah di NaCl jenuh sebanyak 8 ml sampai
dalam kandang dan dimasukkan ke dalam homogen. Sentrifus kembali selama 5
botol film dan diberi label. Sampel yang menit dengan kecepatan 1500 rpm. Angkat
telah dikoleksi selanjutnya dimasukkan ke dan letakkan di atas rak kayu. Tambahkan
dalam termos es yang telah diisi batu es larutan NaCl jenuh sampai permukaan
agar tinja tidak menjadi keras dan kering. menjadi cembung. Letakkan kaca objek di
Sampel yang diambil selanjutnya dibawa atas larutan, biarkan selama dua menit.
ke Laboratorium Taksonomi Hewan, Kemudian amati di bawah mikroskop
Jurusan Biologi, Universitas Andalas. dengan perbesaran 10 sampai 100 kali
Untuk mencegah tinja agar tidak menjadi (Salmah, Amir dan Syian, 1998 cit. Yarni,
keras, maka sebelum pemeriksaan, tinja 2011).
disimpan di dalam refrigerator. Telur cacing atau larva yang
ditemukan diidentifikasi menggunakan
16
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(1) – Maret 2013 : 14-19 (ISSN : 2303-2162)

beberapa buku referensi yaitu Mohr sentrifus. Telur cacing yang ditemukan
(1957), Brown (1979), Margono (1996), pada tinja berbentuk bulat atau oval,
Purnomo, Gunawan, Magdalena, Ayda berwarna kuning kecoklatan, memiliki
dan Hijriani (1996), Gandahusada et al. lapisan luar yang tebal dan lapisan dalam
(1998). yang lebih jernih. Panjang telur berkisar
41-70 µm dengan rata-rata 58±11,58 µm
Analisis Data dan diameter telur berkisar 32,5-46 µm
Untuk telur cacing parasit saluran dengan rata-rata 37,75±7,07 µm. Telur
pencernaan yang ditemukan pada tinja yang ditemukan pada tinja merupakan
hewan Primata dan tanah di kandang telur yang dibuahi dan telur yang
hewan Primata di Taman Satwa Kandi ditemukan pada tanah kandang merupakan
Sawahlunto diidentifikasi jenisnya, telur yang berisi embrio.
dihitung jumlah telur untuk masing-
masing jenis cacing, diukur panjang dan Trichuris sp.
diameternya dengan menggunakan Telur cacing ini hanya ditemukan pada
mikrometer dan diperhatikan warna serta tinja Ungko betina yang dipelihara di
ciri-ciri lainnya, kemudian difoto dengan kandang tersendiri dengan metode apung-
kamera digital. sentrifus. Telur cacing yang ditemukan
Prevalensi dapat diartikan sebagai berwarna kecoklatan serta memiliki
jumlah hewan yang terinfeksi (%) namun tonjolan yang tumpul pada kedua
dapat pula diartikan sebagai jumlah dari ujungnya yang jernih. Ukuran panjangnya
hewan yang sakit dibandingkan dengan berkisar antara 61-63 µm dengan rata-rata
jumlah populasi beresiko. Prevalensi dari 61,33±1,53 µm dan diameter telur berkisar
masing-masing cacing parasit saluran 21-22 µm dengan rata-rata 21,5±0,5 µm.
pencernaan yang menyerang hewan Manusia adalah hospes utama T. trichiura
Primata di Taman Satwa Kandi akan tetapi cacing tersebut juga pernah
Sawahlunto dihitung menurut Michael dilaporkan terdapat di dalam kera dan babi
(1984 cit. Yarni, 2011) (Noble and Noble, 1989).

Hasil dan Pembahasan Enterobius vermicularis (Linnaeus, 1758)


Telur cacing ini hanya ditemukan pada
Jenis-jenis Cacing Parasit Saluran tanah kandang Siamang betina dengan
Pencernaan pada Hewan Primata metode apung-sentrifus. Telur cacing yang
ditemukan berbentuk lonjong, asimetris,
Hasil pemeriksaan tinja sepuluh individu salah satu dindingnya mendatar dan sisi
hewan Primata dan pemeriksaan tanah lainnya berbentuk konvek. Dinding
yang terkontaminasi tinja pada masing- telurnya jernih dan tipis dan telur berisi
masing kandang hewan Primata di Taman embrio. Panjang telur berkisar antara 52-
Satwa Kandi Sawahlunto, ditemukan 73 µm dengan rata-rata 62,5±14,85 µm
empat jenis telur dan dua jenis larva dan diameter telur berkisar 23–29 µm
cacing parasit saluran pencernaan dari dengan rata-rata 26±4,24 µm. Manusia
kelas nematoda yaitu telur cacing Ascaris umumnya diduga merupakan satu-satunya
lumbricoides, Trichuris sp., Enterobius hospes, tetapi ternyata cacing-cacing ini
vermicularis, Necator americanus serta pernah dilaporkan pada beberapa mamalia
larva cacing Necator americanus dan lain seperti Siamang dan Simpanse (Noble
Strongyloides stercoralis. Pada metode and Noble, 1989).
filtrasi tidak ditemukan jenis cacing parasit
saluran pencernaan (Tabel 1). Necator americanus (Stiles, 1902)
Telur cacing N. americanus ditemukan
Ascaris lumbricoides (Linnaeus, 1758). pada tanah yang terkontaminasi tinja di
Telur A. lumbricoides ini ditemukan pada kandang Orangutan. Telur yang ditemukan
tinja dua individu Orangutan, dua individu berbentuk bulat, berdinding tipis
Siamang, dua individu Ungko dan di tanah transparan, bagian dalam berisi massa sel
kandang Orangutan dengan metode apung- dan berwarna kekuningan. Panjang telur
17
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(1) – Maret 2013 : 14-19 (ISSN : 2303-2162)

berkisar antara 64–70 µm dengan rata-rata yang akan menginfeksi hospesnya. Larva
68±3,46 µm dan diameter telur berkisar ini dapat hidup di tanah selama
42–45 µm dengan rata-rata 44±1,73 µm. berminggu-minggu (Mohr, 1957).
Berdasarkan bentuk, warna dan ukuran Pada penelitian ini, dari sepuluh
telur yang ditemukan pada penelitian ini, individu hewan Primata yang diteliti,
sesuai dengan ciri-ciri yang dikemukakan delapan individu diantaranya terserang
oleh Brown (1979) dan Purnomo et al., cacing parasit saluran pencernaan.
(1996). Brown (1979) menyatakan bahwa Individu yang tidak terserang cacing
telur cacing tambang (N. americanus) parasit saluran pencernaan yaitu
mempunyai ujung-ujung yang membulat Orangutan betina dan Simpai. Pada
tumpul dan selapis kulit hialin tipis yang Orangutan betina tidak ditemukan adanya
transparan. Purnomo et al., (1996) juga cacing parasit saluran pencernaan baik dari
menyatakan bahwa telur N. americanus Kelas Nematoda maupun dari Kelas
berukuran ± 70x45 µ, berdinding satu Trematoda dan Cestoda. Hal ini mungkin
lapis, tipis dan transparan. disebabkan karena Orangutan ini tidak
Pada penelitian ini juga terlalu aktif dibandingkan dengan dua
didapatkan larva rhabditiform N. individu Orangutan lainnya. Pada Simpai
americanus yang ditemukan pada tinja dua juga tidak ditemukan adanya cacing
individu Ungko betina. Larva rhabditiform parasit saluran pencernaan. Hal ini
yang ditemukan memiliki rongga mulut mungkin disebabkan karena jumlah
yang panjang dan sempit, serta memiliki Simpai yang diteliti hanya satu ekor,
ujung ekor yang runcing. Panjang larva Simpai juga dipelihara di kandang
berkisar antara 240–250 µm dengan rata- tersendiri, kandang Simpai tidak kontak
rata 243,33 ± 5,77 µm dan diameter tubuh dengan tanah serta perbedaan makanan
berkisar 12–16 µm dengan rata-rata 14, 67 simpai dengan hewan primata lainnya.
± 2,31 µm. Larva ini ditemukan pada tinja
yang sudah agak lama, karena larva telah Prevalensi Cacing Parasit Saluran
menetas. Pencernaan pada Hewan Primata

Strongyloides stercoralis (Bavay, 1876). Prevalensi dari masing-masing cacing


Pada penelitian ini hanya ditemukan larva parasit saluran pencernaan yang
rhabditiform S. stercoralis pada tinja ditemukan pada hewan Primata adalah A.
Ungko betina, tanah kandang Ungko, tinja lumbricoides dengan prevalensi tertinggi
Orangutan jantan dan pada tanah kandang yaitu sebesar 60%, diikuti oleh S.
Orangutan dengan metode apung- stercoralis dan N. americanus sebesar
sentrifus. Larva rhabditiform yang 20% dan prevalensi Trichuris sp. sama
ditemukan memiliki mulut yang pendek, dengan E. vermicularis yakni sebesar 10%
esophagus yang panjangnya 1/3 badannya, (Tabel 2). Tingginya prevalensi dari A.
ekor yang lancip dan berwarna bening. lumbricoides diperkirakan karena kondisi
Panjang larva berkisar antara 220–250 µm lingkungan kandang yang sangat
dengan rata-rata 236,67±15,28µm dan menguntungkan untuk berkembangnya
diameter tubuh berkisar 14–16 µm dengan cacing tersebut. Kondisi kandang yang
rata-rata 14,67±1,15 µm. Bentuk, warna langsung kontak dengan tanah serta tanah
dan ukuran dari larva yang ditemukan di dalam kandang agak lembab merupakan
sesuai dengan yang dikemukakan oleh salah satu faktor yang menyebabkan
Purnomo et al., (1996) bahwa larva tingginya prevalensi A. lumbricoides.
rhabditiform cacing S. stercoralis Telur A. lumbricoides dapat berkembang
memiliki panjang ± 225 µm dengan ruang dengan baik di daerah beriklim dingin
mulut terbuka, pendek dan lebar. maupun di daerah tropik. Tanah yang
Esophagusnya 1/3 dari tubuhnya dan lembab dan cukup teduh merupakan
ekornya berujung lancip. Larva ini lingkungan yang sesuai bagi
memakan detritus yang berada di dalam perkembangan telur Ascaris (Brown,
tanah untuk berkembang menjadi larva 1979).
filariform dengan panjang tubuh 550 µm
18
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(1) – Maret 2013 : 14-19 (ISSN : 2303-2162)

terhadap besarnya prevalensi cacing


parasit saluran pencernaan. Infeksi cacing
parasit yang ditemukan pada sebagian
besar hewan Primata di Taman Satwa
Kandi perlu mendapat perhatian khusus.
a b Pemberian obat cacing secara rutin perlu
dilakukan guna mengurangi infeksi cacing
di dalam tubuh hewan-hewan tersebut.

Kesimpulan
c d Berdasarkan hasil pemeriksaan tinja 10
individu hewan Primata ditemukan telur
cacing Ascaris lumbricoides dengan
prevalensi (60%), telur cacing Trichuris
sp. (10%), larva rhabditiform
Strongyloides stercoralis (20%) dan larva
e f rhabditiform Necator americanus (20%).
Pada tanah yang terkontaminasi tinja
ditemukan telur cacing Ascaris
lumbricoides, telur cacing Enterobius
vermicularis (10%), telur cacing Necator
americanus dan larva rhabditiform
g h
Strongyloides stercoralis.

Ucapan Terimakasih
i
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Gambar 1. Telur yang ditemukan pada tinja Dr. Rizaldi, Dr. Henny Herwina dan Putra
hewan primate di Taman Satwa Santoso, M.Si., atas arahan dan saran
Kandis. Ket.: (a) Telur A. selama penelitian dan penulisan artikel ini.
lumbricoides pada tinja Orangutan,
(b) Telur A. lumbricoides yang berisi
Daftar Pustaka
embrio pada tanah kandang
Orangutan, (c) Telur A. lumbricoides
pada tinja Siamang, (d) Telur A. Brown, H. W. 1979. Dasar Parasitologi
lumbricoides pada tinja Ungko, (e) Klinis Edisi ketiga. PT. Gramedia.
Telur Trichuris sp. pada tinja Ungko Jakarta.
Betina, (f) Telur N. americanus pada Dirjen Peternakan. 1999. Manual Standar
tanah kandang Orangutan, (g) Telur Metode Diagnosa Laboratorium
E. vermicularis pada tanah kandang Kesehatan Hewan Edisi I.
Siamang betina, (h) Larva Direktorat Bina Produksi
Rhabditiform S. stercoralis pada tinja Kesehatan Hewan. Departemen
dan tanah kandang Ungko dan
Pertanian. Jakarta.
Orangutan, (i) Larva Rhabditiform N.
americanus yang ditemukan pada Kusumanihardja, S. 1995. Parasit dan
tinja Ungko betina. Perbesaran 10 x Parasitosis Pada Hewan Ternak
40. dan Hewan Piaraan di Indonesia.
Pusat Antar Universitas
Perbedaan prevalensi cacing Bioteknologi. Bogor.
parasit saluran pencernaan pada hewan Michael, P. 1984. Ecologycal Methods for
Primata di Taman Satwa Kandi mungkin Field and Laboratory
disebabkan oleh adanya perbedaan umur, Investigation. Tata Mac Graw-Hill
keaktifan atau keagresifan hewan, kondisi Publishing Company Limited.
kandang, suhu, serta banyaknya hewan New Delhi.
dalam suatu kandang juga berpengaruh
19
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(1) – Maret 2013 : 14-19 (ISSN : 2303-2162)

Tabel 1. Jenis cacing parasit saluran pencernaan pada hewan Primata dan tanah kandang
dengan menggunakan metode apung- sentrifus dan filtrasi di Taman Satwa Kandi
Sawahlunto
No Jenis Parasit Jenis Hewan Primata yang Tinja Tanah
Terinfeksi
Sentrifuge Filtrasi Sentrifuge
Telur Larva Telur Telur Larva
1 Ascaris lumbricoides (Linnaeus, 1758) Pongo pygmaeus (2♂) + − − + −
Hylobates syndactylus + − − − −
(1♀,1♂)
Hylobates agilis (1♀, 1♂) + − − − −
2 Trichuris sp. Hylobates agilis (1♀) + − − − −
3 Enterobius vermicularis (Linnaeus, Hylobates syndactylus (1♀) − − − + −
1758)
4 Necator americanus (Stiles, 1902) Pongo pygmaeus − − − + −
Hylobates agilis (2♀) − + − − −
5 Strongyloides stercoralis (Bavay, Pongo pygmaeus (1♂) − + − − +
1876)
Hylobates agilis (1♀) − + − − +

Tabel 2. Prevalensi cacing parasit saluran pencernaan pada hewan Primata di Taman Satwa
Kandi Sawahlunto
No Jenis Cacing Parasit Prevalensi (%)
1 Ascaris lumbricoides 60
2 Trichuris sp. 10
3 Enterobius vermicularis 10
4 Necator americanus 20
5 Strongyloides stercoralis 20

Mohr, J. C. 1957. Parasit-Parasit Hewani Salmah, S., M. A. Amir dan Syian. 1998.
Jang Utama Pada Manusia. Telur Cacing Parasit Manusia
Bagian I. Protozoa danVermes. Yang Terdapat di Aliran Air
Fakultas Kedokteran Negeri Masuk Sungai Batang Arau.
Medan. Majalah Parasitologi Indonesia
Noble, E. R dan G. A. Noble. 1989. ke 2 (1 & 2): 33-39.
Parasitologi Biologi Parasit Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths,
Hewan Edisi Kelima. Arthropods, and Protozoa of
Diterjemahkan oleh drh. Wardi Domesticated Animals. English
Arta. Fakultas Kedokteran Hewan. Language Book Service
Gadjah Mada University Press. BailiereTindall. 7thEd.
Yogyakarta. Tiuria, R. J. Pangihutan, R. M. Nugraha,
Pemerintah Kota Sawahlunto Dinas B. P. Priosoeryanto, A. R.
Pariwisata dan Kebudayaan. 2008. Hariyadi. 2008. Kecacingan
Sawahlunto Kota Wisata Tambang Trematoda pada Badak Jawa dan
yang Berbudaya.Dinas Pariwisata Banteng di Taman Nasional Ujung
dan Kebudayaan. Sawahlunto. Kulon. Jurnal Veteriner 9 (2):94-
Purnomo, Magdalena, Ayda dan Harijani. 98.
1996. Atlas Helminthologi Yarni, R. 2011. Cacing Parasit Pada Rusa
Kedokteran. PT. Gramedia. (Cervus timorensis) di Taman
Jakarta Satwa Kandi Sawahlunto.
[Skripsi]. Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Andalas. Padang.

You might also like