You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Struktur Baja

Perencanaan struktur dalam struktur dapat di definisikan sebagai


campuraan antara seni dan ilmu pengetahuan yang di kombinasikan dengan
institusi seorang ahli struktur mengenai prilaku struktur dengan dasar-dasar ilmu
pengetahuan dalam statika, mekanika bahan dan analisis struktur (Agus
Setiawan,2013).

Tujuan dari perencaan struktur menurut SNI 1725 tahun 2016 tentang
pembebanan untuk jembatan adalah mengahasilkan suatu struktur yang kuat,
kaku, stabil dan ekonomis. Suatu struktur dikatakan stabil jika tidak terjadi
penurunan (settlement), miring atau geser selama umur rencana struktur banguna
tersebut. Resiko terhadap kegagalan (failure) struktur dan hilangnya kemampuan
layanan selama umur rencananya juga harus diminimalisir dalam batas-batas yang
masih dapat di terima.

Prencanaan adalah sebuah proses untuk mendapatkan suatu hasil yang


optimum. Suatu struktur dikatakan optimum apabila memenuhi kriteria-kiteria
sebagai berikut:

a. Biaya minimum
b. Berat minimum
c. Waktu kontruksi minimum
d. Tenaga kerja minimum
e. Biaya manufaktur minimum
f. Manfaat maksimum pada saat masa layanan

Kerangka perencanaan struktur adalah pemilihan susunan dan ukuran dari


elemen struktur sehingga beban yang berkerja dapat dipikul secara aman, dan
pemindahan yang terjadi masih dalam batas-batas yang disyaratkan. Prosedu
perencanaan struktur secara iterasi dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Perancangan. Penetapan fungsi dari struktur


b. Penetapan konfigurasi struktur awal (preliminary) sesuai langkah 1
termasuk pemilihan jenis material yang akan digunakan
c. Penetapan beban kerja struktur
d. Pemilihan awal bentuk dan ukuran elemen struktur berdasarka langkah
1,2,3
e. Analisa struktur. Untuk memperoleh gaya-gaya dalam dan
perpindahan elemen
f. Evaluasi. Apakah perancangan sudah optimum sesuai yang diharapkan
g. Perencanaan ulang langkah 1 hingga 6
h. Perencanaan akhir, apakah langkag 1 hingga 7 sudah memberikan hasil
optimum

2.2 Konsep Dasar Metode Load And Resistence Factor Design (LRFD) &

Allowable Stress Design (ASD)

2.2.1 Metode Load And Resistence Factor Design (LRFD)

Menurut Charles G. Salmon Jhon E. Johnson konsep perencanaan


struktur digunakan dalam metode load and Load And Resistence Factor
Design (LRFD) mengacu pada keadaan atau kondisi batas struktur (limit
states) dan berfungsi selama batas layanannya, yang dapat berupa antara
lain : kondisi leleh,(plastis sempurna), putus/fratur (facture), tekuk
(buckling guling (overturning) atau slip (sliding). Keadaan batas tersebut
dapat tercapai dengan memperhitungkan kelebihan beban dan/atau
pengurangan kekuatan struktur yang terjadi pada masa layanan. Kelebihan
beban dapat disebabkan oleh kemungkinan perubahan fungsi bangunan
yang mengakibatkan berubahnya nilai beban-beban yang dipikul struktur,
sedangkan pengurangan kekuatan struktur dapat disebabkan antara lain
oleh kemungkinan ketidaksempurnaan bahan dan penyederhanaan
kekuatan dibandingkan dengan kondisi bahan dan perhitungan teoritis
yang digunakan.

Dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan tercapai batas


tersebut, tingkat keandalan kuat nominal lentur struktur pada konsep dalam
perencanaan Load And Resistence Factor Design (LRFD) dengan
kekuatan desain sebagai berikut :

Ru ≤ ØRn
Keterangan :
Ru = Kekuatan perlu menggunakan kombinasi DFBK
Rn = Kekuatan Nominal
Ø = Faktor Ketahanan
ØRn = Kekuatan Desain

2.2.2 Metode Allowable Stress Design (ASD)

Menurut Charles G. Salomon dan Johnson, 1992. Dalam metode


Allowable Stress Design (ASD) fokusnya terletak pada kondisi – kondisi beban
layan (yakni tegangan – tegangan unit yang mengasumsikan struktur elastis) yang
memenuhi persyaratan keamanan (kekuatan yang cukup) bagi struktur tersebut.

𝑅𝑛
≥ 𝑄𝑖
𝛾𝑖

Keterangan :
Rn = Kuat nominal, kekuatan elemen yang dihasilkan
𝑄𝑖 = Pengaruh beban nominal
𝛾𝑖 = Faktor kelebihan beban
∅ = Faktor Resintensi
2.3. Pembebanan Jembatan Jembatan raya
Menurut Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga
(1985) dalam “Tata Cara Perencanaan Jembatan raya” dan SNI 1725 tahun
2016 tentang pembebanan untuk jembatan, perencanaan teknik jembatan
penyeberangan untuk lalu lintas pejalan kaki dilakukan berdasarkan ketentuan
pembebanan sebagai berikut :
2.3.1. Beban Mati
1. Beban Nominal
Beban mati nominal akibat berat sendiri struktur harus dihitung
mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Berat sendiri struktur dihitung berdasarkan berat isi bahan yang
tercantum pada tabel 2.2.
b. Bahan - bahan struktur lainnya yang tercantum pada tabel 2.2,
nilai berat isi yang digunakan dalam perhitungan harus diambil
nilai berat isi yang diperoleh dari hasil pengujian dengan metoda
yang berlaku.
2. Beban Rencana
Beban mati rencana harus dihitung berdasarkan beban nominal
tesebut diatas dengan menggunakan faktor beban yang tercantum
pada tabel 2.3.
2.3.2. Beban Mati Tambahan

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang berbentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non strukturual, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu, nilai faktor beban mati
tambahan yang berbeda dengan ketentuan pada Tabel. 2.4 boleh digunakan
dengan persetujuan instansi yang berwenang. Hal ini bisa dilakukan apabila
instansi tersebut melakukan pengawasan terhadap beban mati tambahan pada
jembatan, sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.
Tabel 2.2 Berat isi Bahan

Berat Isi
No. Jenis Bahan
(kN/m³)
Lapisan permukaan
1 22
aspal
2 Besi tulangan 71
3 Beton prategang 25 – 26
4 Baja 78,5
5 Besi tuang 71
16 Air 10

Sumber : SNI 1725 – 2016 tentang pembebanan untuk jembatan


Tabel 2.3 Faktor beban untuk berat sendiri
Faktor Beban
Tipe
Bahan Kondisi Kondisi Batas Ultimit
Beban
Batas Layan Biasa Relieving
Baja 1,0 1,1 0,9
Tetap
Aluminium 1,0 1,1 0,9
Sumber : SNI 1725-2016 Tentang Pembebanan untuk Jembatan

Tabel 2.4 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan

Faktor Beban
Tipe
Kondisi Batas Layan Kondisi Batas Ultimit
Beban
Keadaan Biasa Relieving
Umum 1,0 2,0 0,70
Tetap
Khusus
1,0 1,40 0,80
(terawasi)
Sumber : SNI 1725-2016 Tentang Pembebanan Jembatan
2.3.3. Beban Hidup

Beban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan bergerak/lalu lintas


dan/atau pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan. Beban lalu lintas
untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan beban truk "T".
Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan
pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan
yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar
jalur kendaraan itu sendiri.
Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 gandar yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar
terdiri atas dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi
pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk "T" diterapkan per lajur lalu
lintas rencana.
Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu dalam perhitungan
jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban "T"
digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. Dalam keadaan tertentu
beban "D" yang nilainya telah diturunkan atau dinaikkan dapat digunakan (lihat
Pasal 8.5).

2.3.3.1 Lajur lalu lintas rencana

Secara umum, Jumlah lajur lalu lintas rencana ditentukan dengan


mengambil bagian integer dari hasil pembagian lebar bersih jembatan (w) dalam
mm dengan lebar lajur rencana sebesar 2750 mm. Perencana harus
memperhitungkan kemungkinan berubahnya lebar bersih jembatan dimasa depan
sehubungan dengan perubahan fungsi dari bagian jembatan. Jumlah maksimum
lajur lalu lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam
Tabel 2.5 Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu
memanjang jembatan.

Tabel 2.5 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana


Jumlah Lajur
Tipe Jembatan (1) Lebar Bersih Jembatan Lalu Lintas Rencana
(2)(mm) (n)
Satu Lajur 3000≤ w < 5250 1
5250≤ w < 7500 2
7500 ≤ w < 10,000 3
Dua Arah, tanpa
10,000≤ w < 12,500 4
Median
12,500≤ w < 15,250 5
w ≥ 15,250 6
5500≤ w ≤ 8000 2
Dua Arah, dengan 8250 ≤ w ≤ 10,750 3
Median 11,000≤ w ≤ 13,500 4
13,750≤ w ≤ 16,250 5
w ≥ 16,500 6
Sumber : SNI 1725 tahun 2016 tentang pembebanan untuk jembatan

2.3.3.2 Beban lajur “D” (TD)

Beban lajur "D" terdiri atas beban terbagi rata (BTR) yang digabung
dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 2.1. Adapun faktor beban
yang digunakan untuk beban lajur "D" seperti pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Faktor beban untuk beban lajur “D”

Faktor beban ( TD )
Tipe
Jembatan
beban Keadaan Batas Layan ( TDS ) Keadaan Batas Ultimit ( TDU )

Beton 1,00 1,80


Transien Boks
Girder 1,00 2,00

Baja

Sumber : SNI 1725 tahun 2016 tentang pembebanan untuk jembatan

Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q


tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu seperti berikut :
Jika L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa
15
Jika L ≥ 30 m : q = 9,0 (0,5 𝐿 ) kPa

Keterangan:

q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan (kPa)
L = panjang total jembatan yang dibebani (meter)

BGT
Intensitas

BGT=p
kN/m

intensitas

BTR=q kPa

BTR

Gambar 2.1 Beban lajur “D”

Sumber : SNI 1725 tahun 2016 tentang pembebanan untuk jembatan

Beban garis terpusat (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak
lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0
kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan
menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah
melintang jembatan pada bentang lainnya.

2.3.3.3 Beban truk "T" (TT)

Selain beban “D”, terdapat beban lalu lintas lainnya yaitu beban truk "T".
Beban truk "T" tidak dapat digunakan bersamaan dengan beban “D”. Beban truk
dapat digunakan untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor beban untuk
beban “T” seperti terlihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 - Faktor beban untuk beban “T”


Faktor beban
Tipe
Jembatan
beban Keadaan Batas Layan ( TDS ) Keadaan Batas Ultimit ( TDU )

Beton 1,00 1,80


Transien Boks
Girder
1,00 2,00
Baja

Sumber : SNI 1725 tahun 2016 tentang pembebanan untuk jembatan

Gambar 2.2 Pembebanan truk “T” (500 kN)


Sumber : SNI 1725 tahun 2016 tentang pembebanan untuk jembatan

Pembebanan truk "T" terdiri atas kendaraan truk semi-trailer yang


mempunyai susunan dan berat gandar seperti terlihat dalam Gambar 26. Berat dari
tiap-tiap gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan
bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 gandar
tersebut bisa diubah-ubah dari 4,0 m sampai dengan 9,0 m untuk mendapatkan
pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.

2.4 SAP 2000


SAP 2000 merupakan salah satu program analisa struktur yang lengkap
namun sangat mudah untuk dioperasikan. SAP 2000 ini adalah versi pertama dari
SAP yang secara lengkap terintegrasi dengan Microsoft Windows.
Prinsip utama program ini adalah pemodelan struktur, eksekusi analisa,
dan pemeriksa atau optimasi desain yang semua dilakukan dalam satu langkah
atau satu tampilan. Tampilan berupa model secara real time sehingga
memudahkan pengguna untuk melakukan pemodelan secara menyeluruh dalam
waktu yang singkat namun hasil yang tepat.
Beberapa kemampuan yang dimiliki oleh program ini antara lain :
1. Analisis yang cepat dan akurat.
2. Model pembebanannya yang lebih lengkap baik berupa static
loading maupun dynamic loading.
3. Pemodelan shell yang lebi akurat.
4. Analisis dinamika dengan Ritz dan Eigen velue.
5. Sistem koordinat ganda untuk bentuk geometri struktur yang
kompleks.
SAP 2000 tidak membatasi kapasitas analisis sehingga dapat diaplikasi
untuk bentuk ng paling kompleks sekalipun.

2.5 Kombinasi Beban


2.5.1. Umum
Bangunan gedung dan struktur lainnya harus dirancang menggunakan
ketentuan SNI 1727 : 2013. Bila elemen struktur dirancang berdasarkan material
standar atau spesifikasinya tertentu, harus dirancang secara khusus menurut SNI
1727 : 2013.
2.5.2. Simbol
Ak = Beban atau efek beban yang timbul dari kejadian yang luar biasa
D = Beban mati
Di = Beban es
E = Beban gempa
F = Beban akibat fluida degan tekanan yang ditentukan dengan jelas dan
tinggi maksimum
Fa = Beban banjir
H = Beban akibat tekanan tanah lateral, tekanan air tanah, atau tekanan
dari material dalam jumlah besar
L = Beban hidup
Lr = Beban hidup atap
R = Beban hujan
S = Beban salju
T = Beban peregangan sendiri
W = Beban angin
Wi = Angin pada es

2.5.3. Kombinasi Beban Terfaktor Yang Digunakan Dalam Metode Desain


Kekuatan
2.5.3.1. Pemakaian
Kombinasi beban dan faktor beban hanya digunakan pada kasus-kasus
dimana kombinasi pembebanan dan beban terfaktor tersebut secara spesifik diatur
oleh standar perencanaan yang sesuai.
2.5.3.2. Kombinasi Dasar
Struktur, komponen dan fondasi harus dirancang sedemikian rupa
sehingga kekuatan desainnya sama atau melebihi efek dari beban terfaktor dalam
kombinasi sebagai berikut :
1. 1,4D
2. 1,2D +1,6L
3. 1,2D +1,6L + 0,5 (Lr atau S atau R)
4. 1,2D + 1,6(Lr atau S atau R)+ (L atau 0,5W)
5. 1,2D +1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R)
6. 1,2D +1,0E + L + 0,2S
7. 0.9D + 1,0W
8. 0.9D + 1,0E
2.6. Faktor Bentuk (Shape Factor)
Faktor bentuk menunjukkan besarnya peningkatan kekuatan ketika
terbentuk penampak plastis. Semakin besar berarti bahwa banyak bagian
penampang belum “bekerja” maksimal saat dibebanin elastis. Baru maksimal jika
dibebanin plastis, tetapi kondisi seperti itu deformasinya relatif besar dan bersifat
permanen. Faktor bentuk yang kecil menunjukkan penampang efisien dan
ekonomis ditinjau dari pemanfaatan material. Berbagai faktor bentuk
diperlihatkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Faktor Bentuk Berbagai penampang balok


Sumber : Beedle 1958

2.7. Perencanaan Sambungan

Suatu konstruksi bangunan baja adalah tersusun atas batang-batang baja


yang digabung membentuk satu kesatuan bentuk konstruksi dengan menggunakan
berbagai macam teknik sambungan. Adapun fungsi/tujuan sambungan baja antara
lain :

1) Untuk menggabungkan beberapa batang baja membentuk kesatuan


konstruksi sesuai kebutuhan.
2) Untuk mendapatkan ukuran baja sesuai kebutuhan (panjang, lebar, tebal, dan
sebagainya).
3) Untuk memudahkan dalam penyetelan konstruksi baja dilapangan.
4) Untuk memudahkan penggantian bila suatu bagian/batang konstruksi
mengalami rusak.
5) Untuk memberikan kemungkinan adanya bagian/batang konstruksi yang
dapat bergerak, misalnya peristiwa muai-susut baja akibat perubahan suhu.
Jenis- Jenis Sambungan Baja
Jenis-jenis sambungan struktur baja yang digunakan adalah baut. Baut
adalah alat sambung dengan batang bulat dan berulir, salah satu ujungnya dibentuk
kepala baut (umumnya bentuk kepala segi enam) dan ujung lainnya dipasang
mur/pengunci. Dalam pemakaian di lapangan, baut dapat digunakan untuk membuat
konstruksi sambungan tetap, sambungan bergerak, maupun sambungan sementara
yang dapat dibongkar/dilepas kembali.
Bentuk uliran batang baut untuk baja bangunan pada umumnya ulir segitiga
(ulir tajam) sesuai fungsinya yaitu sebagai baut pengikat. Sedangkan bentuk ulir
segi empat (ulir tumpul) umumnya untuk baut-baut penggerak atau pemindah tenaga
misalnya dongkrak atau alat-alat permesinan yang lain.
Baut untuk konstruksi baja bangunan dibedakan 2 jenis:
1. Baut
Dua tipe dasar baut mutu tinggi yang distandarkan oleh ASTM adalah tipe
A325 dan A490. Baut A325 terbuat dari baja karbon yang memiliki kuat leleh 560
– 630 MPa, baut A490 terbuat dari baja alloy dengan berkisar antara ½ - 1½ in,
yang sering digunakan dalam struktur bangunan berdiameter ¾ dan 7/8 in, dalam
desain jembatan antara 7/8 hingga 1 in.
Tabel 2.8 Tipe-Tipe Baut
Tipe Baut Diameter Proof Stress Kuat Tarik Min.
(mm) (MPa) (MPa)
A307 6,35-104 - 60
A325 12,7-25,4 585 825
28,6-38,1 510 725
A490 12,7-38,1 825 1035
Sumber: Agus Setiawan (2008)
Tahanan Nominal Baut
Suatu baut yang memikul beban terfaktor Ru, sesuai persyaratan DFBK
harus memenuhi :
Ru ≤ ɸ. Rn
Dengan Rn adalah tahanan nominal baut sedangkan ɸ adalah faktor
reduksi yang diambil sebesar 0,75. Besarnya Rn berbeda-beda untuk masing-
masing tipe sambungan.
1. Tahanan Geser Baut
Tahanan nominal satu buah baut yang memikul gaya geser memenuhi
persamaan :
Rn = m.r1. 𝑓𝑢𝑏 .Ab .......... (27)
Dengan: r1 = 0,50 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser
r1 = 0,40 untuk baut dengan ulir pada bidang geser
𝑓𝑢𝑏 = kuat tarik baut
Ab = luas bruto penampang baut
m = jumlah bidang geser
2. Tahanan Tarik Baut
Baut yang memikul gaya tarik tahanan nominalnya dihitung menurut :
Rn = 0,75. 𝑓𝑢𝑏 .Ab .......... (28)
Persamaan (28) berlaku untuk semua baut, sedangkan untuk lubang baut
selot panjang tegak lurus arah gaya berlaku :
Rn = 2,0. db. tp. fu .......... (29)
3. Tahanan Tumpu Baut
Tahanan tumpu nominal tergantung kondisi yang terlemah dari baut atau
komponen pelat yang disambung. Besarnya ditentukan sebagai berikut :
Rn = 2,4. db. tp. fu .......... (30)
Dengan: db = diameter baut pada daerah tak berulir
tp = tebal pelat
fu = kuat tarik putus terendah dari baut atau pelat

2. Las
Pengelasan adalah suatu proses penyambungan bahan logam yang
menghasilkan peleburan bahan dengan memanasinya hingga suhu yang tepat
dengan atau tanpa pemberian tekanan dan dengan atau tanpa pemakaian bahan
pengisi. Beberapa jenis sambungan yang sering ditemui dalam sambungan las
adalah :
a. Sambungan sebidang
Sambungan sebidang dipakai terutama untuk menyambung ujung-ujung
pelat datar dengan ketebalan yang sama atau hampir sama. Keuntungan
utama jenis sambungan ini ialah menghilangkan eksentrisitas yang timbul
pada sambungan lewatan tunggal.
b. Sambungan lewatan
Jenis sambungan ini paling banyak dijumpai karena sambungan ini mudah
disesuaikan keadaan dilapangan dan juga penyambungannya relatif lebih
mudah. Juga cocok untuk tebal pelat yang berlainan.
c. Sambungan tegak
Jenis sambungan ini dipakai untuk membuat penampang bentukan (built-
up) seperti profil T, profil I, gelagar pelat (plate girder), pengaku tumpuan
atau penguat samping (bearing stiffener), penggantung, konsol (bracket).
d. Sambungan sudut
Sambungan sudut dipakai terutama untuk membuat penampang berbentuk
kotak seperti yang digunakan untuk kolom dan balok yang memikul
momen puntir yang besar.
e. Sambungan sisi
Sambungan sisi umumnya tidak struktural tetapi paling sering dipakai
untuk menjaga agar dua atau lebih pelat tetap pada bidang tertentu atau
untuk mempertahankan kesejajaran (alignment) awal.

Gambar 2.2 Tipe-tipe Sambungan Las


Sumber : Agus Setiawan (2008)

Adapun jenis-jenis las yang sering dijumpai antara lain:


a. Las Tumpul (groove Welds), las ini dipakai untuk menyambung batang-
batang sebidang, karena las ini harus menyalurkan secara penuh beban
yang berkerja, maka las ini harus memiliki kekuatan yang sama dengan
batang yang disambungnya.
b. Las sudut (fillet welds), tipe las ini paling banyak dijumpai dibandingkan
tipe las yang lain, 80% sambungan las menggunakan tipe las sudut.
c. Las baji dan pasak (slot and plug welds), jenis las ini biasanya digunakan
bersama-sama dengan las sudut. Manfaat utamanya adalah menyalurkan
gaya geser pada sambungan lewatan bila ukuran panjang las terbatas oleh
panjang yang tersedia untuk las sudut.

Tabel 2.9 Ukuran Minimum Las Sudut


Tebal Pelat (t, mm) Paling Tebal Ukuran Minimum Las Sudut (a, mm)
t≤7 3
7 ˂ t ≤ 10 4
10 ˂ t ≤ 15 5
15 ˂ t 6
Sumber: Agus Setiawan (2008)
Tahanan Nominal Baut
Filosofi umum dari DFBK terhadap persyaratan keamanan suatu struktur,
dalam hal ini terutama untuk las, adalah terpenuhinya persamaan:
ϕRmw ≥ Ru
Dengan: ϕ = faktor ketahanan
Rmw = tahanan nominal per satuan panjang las
Ru = beban terfaktor per satuan panjang las
a. Las Tumpul
Kuat las tumpul penetrasi penuh ditetapkan sebagai berikut:
 Sambungan dibebani gaya aksial
ϕRmw = 0,90 te fuw
 Sambungan dibebani gaya geser
ϕRmw = 0,80 te (0,6 fuw)
b. Las Sudut
Kuat rencana per satuan panjang las sudut, ditentukan sebagai berikut:
ϕRmw = 0,75 te (0,6 fuw)

c. Las Baji dan Pasak


Kuat rencana bagi las baji dan pasak ditentukan:
ϕRmw = 0,75(0,6 fuw) Aw
dengan: Aw = luas geser efektif las
fuw = kuat tarik putus logam las
Dapat dilihat di gambar 2.1 yaitu gambar baut yang digunakan pada
konstruksi baja.
Gambar 2.3 Baut
Sumber : www.google.com

You might also like