You are on page 1of 27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Ekosistem Sungai, Danau dan Laut
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen biotik
dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam
ekosistem perairan terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produser, konsumer,
dan dekomposer) yang membentuk suatu hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi (Hedy dan Metty, 1994).
Keanekaragaman ekosistem tidak luput dari macam-macam ekosistem yang
ada di dunia ini. Secara umum ekosistem dibedakan menjadi 2, yaitu ekosistem
darat dan ekosistem air. Ekosistem perairan dibedakan menjadi ekosistem air tawar
dan ekosistem air laut, dan yang akan di bahas pada makalah ini adalah ekosistem
perairan, yaitu ekosistem air tawar yang meliputi sungai dan danau, serta ekosistem
air laut yaitu pantai/pesisir, estuaria, bakau dan mangrove.
1. Ekosistem Sungai
Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buaan berupa jaringan
pengaliran air beserta material di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara,
dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan (PP No. 38 Tahun 2011,
dalam Maryono,2017). Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu
arah. Sungai biasanya berasal dari area pusat air di pegunungan. Volume dan
lebar sungai bertambah apabila mengalir ke bawah, bergabung bersama sungai
lain untuk mebentuk induk sungai (Latuconsina, 2016). Berdasarkan defenisi
tersebut maka diuraiakan bahwa bagian-bagian sungai secara memanjang dari
hulu ke hilir adalah mata air pertama, sungai bagian hulu (up-stream), sungai
bagian tengah (middle-stream), sungai bagian hilir (down-stream) (Maryono,
2017). Pengelolaan beberapa lahan basah seperti sungai merupakan masalah
yang sangat penting. Strategi pengelolaan lahan basah yang efektif adalah
dengan cara memasukkan seluruh wilayah badan air, misalnya daerah aliran
sungai, dalam kawasan yang dilindungi dan pengelolaan (Indrawan, 2007).
2. Ekosistem Danau
Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas dan mempunyai air
yang relatif tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen and

3
4

Vollenweiden, 1989). Sementara itu, menurut Lewis (2000) danau adalah suatu
badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air
yang bersifat khas dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai
produktivitas biologi yang tinggi. Ekosistem danau termasuk habitat air tawar
yang memiliki perairan tenang yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat
lambat sekitar 0,0001—0,01 m/detik. Pergerakan air pada danau dibentuk oleh
gelombang dan aliran air yang dipengaruhi oleh arah dan lama kecepatan angin,
bentuk tepian, serta kedalaman perairan tersebut.
Menurut Odum (1994), tipe danau dapat ditentukan berdasarkan 3 kategori
sebagai berikut.
a. Danau oligotrofik-eutrofik, yaitu klasifikasi danau menurut produktivitas
primernya. Danau oligotrofik merupakan danau yang memiliki kadar hara
yang rendah, sedangkan danau eutrofik merupakan danau dengan kadar hara
tinggi.
b. Danau khusus, meliputi danau distrofik dengan kandungan asam humat yang
tinggi; danau tua yang dalam dengan binatang yang endemik; dan lain-lain.
c. Danau binaan atau buatan, merupakan danau yang sengaja dibuat oleh
manusia sehingga tipe ini tergantung pada daerah dan pengairan alaminya.
Clapham (1983) membagi ekosistem perairan danau menjadi 2 zona
kehidupan (Gambar 2.1) yaitu :
a. Zona pelagik (daerah perairan terbuka), merupakan daerah dengan dasar
yang sangat dalam sehingga tanaman berakar tidak dapat hidup di zona ini.
b. Zona litoral (daerah tepian danau), daerah di mana sinar matahari dapat
menembus sampai ke dasar perairan.

Gambar 2.1 Zonasi Kehidupan Danau (Sumber: www.sweetwaterfishing.com.au.,


2010)
5

3. Ekosistem Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi
dengan ion CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya
tinggi dan penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan
suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian
atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin. Di daerah
dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah
permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari
pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya,
sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk.
Habitat laut dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah
permukaannya secara horizontal.
a. Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut.
 Litoral merupakan daerah yang berbatasan dengan darat.
 Neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus cahaya
matahari sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter.
 Batial merupakan daerah yang dalamnya berkisar antara 200-2500 m
 Abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih dalam dari pantai
(1.500-10.000 m).
b. Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari
tepi laut semakin ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut.
 Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman air
sekitar 200 m.
 Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalam
an 200-1000 m. Hewannya misalnya ikan hiu.
 Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman
200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
 Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai 4.000m;
tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar matahari tidak
mampu menembus daerah ini.
 Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman
lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan
6

ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di


tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang
tertentu.
Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel
yang hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi
beradaptasi dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan
pengeluaran air dengan cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan
diekskresikan melalui insang secara aktif.

4. Ekosistem Pantai/Pesisir
Pantai merupakan daerah pinggir laut atau wilayah daratan yang berbatasan
langsung dengan bagian laut (Wibisono, 2005). Menurut Nybaken (1992), pantai
adalah suatu daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter. Pantai juga bisa
didefinisikan sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan.
Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut dan
daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang
surut laut (Leksono, 2007). Sebagai wilayah peralihan, ekosistem pesisir
memiliki struktur komunitas dan tipologi yang berbeda dengan ekosistem
lainnya. Ekosistem pesisir dan laut beserta sumberdaya yang dikandungnya
sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir di dalam memenuhi kebutuhan
hidupya. Beragam ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir secara fungsional
saling terkait dan berinteraksi satu sama lain sehingga membentuk suatu system
ekologi yang unik (Tuwo, 2011).

5. Terumbu Karang
Didunia terdapat dua jenis karang yaitu karang hematifik dan karang
ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan
karang hermatifik didalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan
menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang
bersimbiosis didalam jaringan karang hermatifik. Sel-sel tumbuhan ini
dinamakan zooxanthellae. Selanjutnya karang hermatifik hanya ditemukan
didaerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar diseluruh dunia.
7

Karang dikelompokkan sebagai karnivora dan pemakan zooplankton


(hewan mikroskopis yang sifat hidupnya terbawa air), seperti larva udang, dan
larva moluska. Makanan karang berasal dari tiga sumber, yaitu ; 1) plankton
yang ditangkap melalui tentakel yang dilengkapi dengan sel peyengat pelumpuh
mangsa (nematocyst); 2) nutrisi organik yang secara langsung diserap dari air;
3) senyawa organic yang dihasilkan zooxanthellae, yaitu sejenis algae yang
hidup polip di karang. Untuk kepentingan pembentukan terumbu karang, sumber
ketiga merupakan yang paling penting. Jadi dalam proses pembentukan terumbu
karang terjadi hubungan saling menguntungkan antara polip karang dan
zooxanthellae.
Ketika terkena sinar matahari, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan
nutrisi yang terdiri dari glycerol, glukosa dan asam amino yang melekat dilapisan
luar polip karang. Sedangkan polip karang memberikan tempat hidup dan juga
CO2 untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Zooxanthellae juga
memengaruhi laju penumpukan zat kapur oleh polip karang. Polip karang
menyerap CaCo3 dari air laut, terjadi reaksi didalam tubuh polip dan
menghasilkan cangkang luar yang berupa zat kapur. Selain memberi nutrisi,
zooxanthellae, dengan pigmen-pigmen yang dimilikinya, memberikan warna
pada polip-polip karang sehingga menyebabkan terumbu karang tampak indah.
Terumbu karang tumbuh dipulau-pulau yang memiliki perairan pantai yang
jernih, kadar oksigen tinggi, bebas dari sedimen dan polusi serta limpahan air
tawar yang berlebihan. Berdasarkan hubungannya dengan daratan, terumbu
karang di Indonesia diklasifikasikan kedalam tiga kelompok besar sebagai
berikut;
a. Terumbu tepi ( fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan
sejajar dengan garis pantai. Contoh tipe terumbu tepi adalah terumbu karang
yang ada di derah mentawai, pengandaran dan parangtritis di pantai selatan
pulau Jawa.
b. Atol (atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di
tengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencpai 45 meter.
Contoh atoll atau terumbu cincin adalah atol takabonerate di Sulawesi
Selatan.
8

c. Terumbu penghalang (barrier reef) serupa dengan karang tepi, dengan


pengecualian jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan
cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Karang
penghalang dapat ditemukan di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, dan di
beberapa tempat dikalimantan Timur di Selat Makassar.
6. Padang Lamun
Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae)yang sudah
sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini
mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya hidup dilingkungan laut
yaitu; 1) mampu hidup di media air asin, 2) mampu berfungsi normal dalam
keadaan terbenam, 3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang
baik, 4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan
terbenam (Den Hartog, 1970). Lamun memiliki perbedaan yang nyata dengan
tumbuhan yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti makro algae atau
rumput laut (seaweeds). Tanaman lamun memiliki bunga dan buah yang
kemudian berkembang menjadi benih.
Untuk dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik pada perairan
laut, vegetasi lamun memiliki adaptasi khusus, yaitu sebagai berikut;

a. Daun lamun terdapat sejumlah besar rongga udara (lacunae) untuk


memungkinkan akumulasi dan pendistribusian gas, juga berfungsi sebagai
buoyancy untuk selalu tegak dalam air dan tetap fleksibel terhadap gerakan
arus.
b. Banyak akar terdapat banyak lacunae untuk memungkinkan pengaliran
oksigen hasil fotosintesis dari daun ke akar yang penting untuk respirasi
akar yang terbenam.
c. Memiliki sistem perakaran yang disertai rhizome yang saling menyilang
pada dasar perairan , menyebabkan vegetasi lamun sangat kuat menancap
pada dasar perairan laut.
Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi distribusi dan
pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah kecerahan, temperatur, salinitas,
substrat dan kecepatan arus.
9

7. Ekosistem Estuari
Estuari adalah ekosistem pesisir semi tertutup, sebagai daerah peralihan
antara air tawar yang berasal dari sungai dengan air asin dari laut (Wibisono,
2005). Wilayah perairan estuari bersifat sangat subur dan produktif dikarenakan
kandungan nutrien yang tinggi dari laut dan sungai. Kegiatan manusia di sekitar
perairan estuari akan mempengaruhi dinamika ekosistem estuari. Sebagian besar
penduduk dunia dan Indonesia (hampir mencapai 70%) bermukim di sekitar
wilayah pesisir dan sepanjang tepian sungai (Dahuri, 2011).
Perairan ini juga masih mendapat pengaruh dari pasang dan surut. Menurut
Wibisono (2007) kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan
menghasilkan suatu komunitas yang khas, karena kondisi lingkungan yang
bervariasi, antara lain :
 Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang dari laut, yang
berlawanan menjadikan pola sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri
fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
 Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan sifat fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat
air laut.
 Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan
komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan
sekelilingnya.
 Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air
laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah
estuaria tersebut.
8. Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan pasang surut, hutan
payau, atau hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu jenis tumbuhan
yang menyusun Hutan mangrove yaitu jenis rhizopora spp. Dengan demikian
pemberian istilah hutan bakau kurang tepat. Oleh sebab itu, ditetapkan hutan
mangrove sebagai nama baku untuk mangrove forest.
10

Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan substropika yang khas,
tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang banyak
terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh
optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang
aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan diwilayah pesisir yang
tidak bermuara sungai, pertumbuhan mangrovenya kurang optimal. Mangrove
tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal, dan berombak besar
dengan arus pasang surut kuat, karena kodisi ini tidak memungkinkan terjadinya
pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya.
Lugo dan Snedaker (1974) dalam day et al.,(1989), mengklasifikasikan
hutan mangrove menjadi 6 tipe komunitas hutan mangrove berdasakan pada
bentuk hutan dan kaitannya pada proses geologi serta hidrologi di Florida, USA,
yaitu 1) Hutan delta (over washforest); 2) Hutan tepi pantai (Fringe forest); 3)
Hutan Tepi sungai (riverin forest); 4)Hutan Daratan (basin forest); 5) Hammock
forest; 6)Hutan semak (Scrub forest).
Tingginya potensi ekosistem hutan mangrove memberikan fungsi fisik,
kimia, dan biologi, yaitu :
a. Fungsi fisik
1) Menjaga kestabilan garis pantai dari terjangan gelombang.
2) Melindungi pantai dari proses abrasi serta menahan tiupan angin kencang
dari laut. Hasil pengamatan sediadi (1991) menentukan erosi dipantai
marunda, Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m,
sementara yang bermangrove hanya 1 m.
3) Merangkap sedimen secara periodic hingga terbentuk lahan baru. Anwar
(1998) menginformasikan laju akumulasi tanah di suwung bali dan gili sulat
Lombok adalah 20,6kh/m2/thn .
4) Kawasan penyangga proses instrusi air laut ke darat, atau sebagai filter air
asin menjadi air tawar.
b. Fungsi kimia
1) Sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2 sehingga berperaan dalam
mengurangi laju pemanasan global
11

2) Sebagai pensiklus dan penyuplai nutrient yang diperlukan biota laut sebagai
pengelola bahan-bahan limbah hasil pencemaran industry maupun hasil
pencemaran kapal-kapal dilautan. Gunawan dan Anwar (2005) menemukan
tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar merkuri (Hg) 16 kali
lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove alami dan 14 kali lebih
tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery).
c. Fungsi biologi
1) Sebagai bahan pelapukan (serasah) yang merupakan sumber makan bagi
hewan avertebrata (detrivor) yang berperan sebagai sumber makanan hewan
yang lebih besar melalui rantai makanan.
2) Sebagai kawasan pemijahan (spawning ground), mencari makan(feeding
ground) dan pembesaran (nursery ground) biota laut. Hutan mangrove juga
dijadikan habitat ideal bagi fauna laut non-ikan seperti krustasea(kepiting
dan udang) dan moluska (gastropoda dan bivalvia).
3) Sebagai kawasan berlindung, bersarang serta berkembang biak bagi burung
dan satwa lainnya.
B. Kerusakan dan Upaya Konservasi Ekosistem Perairan
1. Ekosistem Sungai
a. Kerusakan Ekosistem Sungai
Manusia cenderung memanfaatkan sumber daya air pada perairan sungai
untuk berbagai kepentingan, misalnya air minum, pertanian,perikanan, industry,
dan transportasi. Seiring meningkatnya jmulah pendudu maka semakin
meningkat pula berbagai aktivitas manusia yang memanfaatkan sungai sebagai
ekosistem perairan. Sungai sebagai pendukung kehidupan manusia semakin
terbebani karena daya dukungnya semakin menurun, yang semakin diperburuk
dengan aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan sehingga menghasikan
bahan polutan yang menurunkan kualitas air perairan sungai sehingga tidak
dapat diperuntukkan secara maksimal (Latuconsina, 2016)
Polutan dari aktivitas manusia dapat dibagi ke dalam empat kateogri, yaitu :
 Patogen, menyebabkan penyakit, speerti kolera (vibrio cholera) masuk ke
badan air yang bersumber buangan limbah aktivitas manusia yang belum
diolah sebelumnya.
12

 Toksin, dapat membunuh semua organism atau secara selektif, seperti


pestisida yang bersumber dari aktivitas pertanian.
 Deoksigenators, kebanyakan dalam bentuk sampah organic yang
menurunkan kandungan oksigen terlarut pada kolom perairan akibat
perombakan oleh bakteri yang memanfaatkan oksigen.
 Pengayaan nutrient terutama dalam bentuk fosfat yang berasal dari detergen
atau pemupukan yang berlebihan, dan bentuk nitrogen yang berasal dari
aktivitas pertanian dan limbah domestik (Latuconsina, 2016).
b. Upaya Konservasi Ekosistem Sungai
Menurut (Maryono, 2008) upaya konservasi sungai dapat dibedakan secara
umum menjadi dua bagian; yaitu mempertahankan kondisi abiotik dan biotic
sungai serta meningkatkan kualitas lingkungan biotic dan abiotik sungai yang
rusak atau mengalami degradasi.
1) Mempertahankan kondisi abiotik dan biotic
Kondisi abiotik dan biotic yang harus dipertahankan dalam upaya
pemeliharaan sungai secara komperehensif adalah morfologi alur sungai,
komponen transportasi sedimen, vegetasi di bantaran sungai, dan berbagai
kondisi lokal tertentu di sungai.
a) Mempertahankan mofologi luar
Upaya mempertahankan morfologi alamiah sungai dapat diartikan
sebagai upaya mempertahankan dan menjaga kelangsungan ekosistem
di sungai yang bersangkutan. Dengan kondisi morfologi yang utuh,
komponen ekologi akan tumbuh dan komponen hidraulik mengikuti
secara proporsional. Karena morfologi sungai sebenarnya merupakan
hasil interaksi dengan komponen ekologi dan hidraulik, lika-liku alur
sungai terjadi sebagai respon sungai menyesuaikan topografi yang
dilaluinya.
b) Mempertahankan komponen sedimen transport sungai
Erosi tebing sungai di berbagai tempat sebenarnya merupakan upaya
sungai menemukaan stabilitasnya, demikian juga erosi dasar sungai.
Dalam kurun waktu perubahan morfologi, antara erosi dasar sungai
dengan agradasi di lokasi erosi tersebut kuantitasnya seimbang maka
13

yang terjadi adalah perubahan morfologi yang sangat cepat dan


irreversible. Jadi upaya-upaya eksktrim untuk menghentikan erosi dasar
sungai dengan plesteran atau dengan mengurung dengan batuan besar
atau membuat ground sill justru memutus daur agradasi dan degradasi,
yang dapat mengakibatkan berlanjutnya perubahan dasar sungai yang
bersangkutan.
c) Mempertahankan vegetasi di bantaran sungai
Vegetasi di bantaran sungai memiliki fungsi baik ditinju secara ekologi
maupun secara hidraulik. Secara hidraulik, vegetasi tebing sungai
berfungsi untuk menjaga stabilitas tebing sungai, baik dari gempuran
arus air, dari energy mekanik hujan, dan dari peresapan air ke pori-pori
rekahan tebing tinggi. Ranting dan cabang serta daun-daun tumbuhan di
pinggir sungai berperan sebagai komponen pemecah energy mekanik
arus air maupun air hujan.
d) Mempertahankan kondisi local atau zona tertentu di sungai
 Zona perakaran pohon pinggir sungai
 Zona tumbuhan perdu dan herba pinggir sungai
 Zona tumbuhan besar pinggir sungai
 Zona tumbuhan merambat di tebing sungai
 Zona endapan dan gerusan
 Batu-batuan di sepanjang sungai
 Kayu mati di sungai
 Vegetasi pada pulau-pulau dan gosong pasir di sungai
 Genangan-genangan di pinggir sungai
 Mata air di pinggir sungai
2) Revitalisasi – Restorasi Sungai (river-restoration)
Pada sungai yang telah dikembangkan atau dibangun (secara
antropogenik) sehingga kondisinya tidak alamiah lagi, perlu dilakukan
upaya sejauh mungkin untuk mengembalikan ke kondisi alamiahnya.
Disamping itu untuk sungai yang mengalami degradasi ekologi dan
hidraulik-morfologi bukan oleh kegiatan manusia (non antropogenik), perlu
dilakukan pemeliharaan atau restorasi (perbaikan) sehingga kualitas
14

ekologinya meningkat. Mengupayakan kondisi sungai yang telah dibangun


sebelumnya (dengan metode teknik hidraulik murni) menjadi sungai dengan
kondisi komponen ekologi dan hidraulik (termasuk seidmen dan morfologi)
yang sama atau menyerupai kondisi alamiahnya. Namun perlu disadari
bahwa upaya renaturalisasi biasanya akan sulit untuk mengembalikan
sungai kepada kondisi aslinya,sehingga upaya renaturalisasi memerlukan
kreativitas dan inovasi dengan bersandar pada konsep eko-hidraulik.
Inti konservasi sungai adalah mengupayakan komponen ekologi
yang pernah ada bias muncul kembali di lingkungaan sungai tersebut.
Beberapa upaya konservasi sungai yaitu;
a) Pembuatan fishway (tangga ikan) atau jarring-jaring untuk memanjat
kepiting pada bending-bendung sungai yang ada diperkotaan.
b) Pembuatan elemen yang dapat menghasilkan mikro turbulen untuk
menghilangkan kembali butiran halus yang mengendap di antara
batuan-batuan sungai.
c) Pembuatan kolam-kolam kecildi bantaran sungai untuk habitat biota
darat, amphibi, dan air, dengan memperhatikan kapasistas tamping
sungai.
d) Peningkatan kualitas air sungai dalam upaya peningkatan kualitas dan
kuantitas ekosistem sungai dengan pemberdayaan masyarakat.
e) Penghilangan talud sungai yang tidak bersifat urgent, sehingga tercipta
zona amphibidan terjalin keterkaitan antara kehidupan darat dan air.
f) Peletakan batu-batuan dengan jumlah dan ukuran tertentu sesuai kondisi
yang pernah ada di sungai untuk meningkatkan kualitas habitat sungai.
2. Ekosistem Danau
a. Kerusakan Ekosistem Danau
Kita patut khawatir dengan kondisi danau di indonesia, sedikitnya ada 10
danau yang dinyatakan terancam keberadannya, karena telah mengalami
kerusakan atau penurunan fungsi alami, contoh danau yang telah mengalami
penurunan fungsi alaminya yaitu danau Toba. Menurut Barus (2007) di Danau
Toba memberikan indikasi telah terjadi penurunan kualitas air di lokasi-lokasi
yang terkena dampak kegiatan masyarakat. Limbah domestik yang berasal dari
15

rumah tangga dan toko dibuang ke berbagai aliran sungai yang bermuara ke
Danau Toba. Banyak pemukiman penduduk di sekitar pinggiran Danau Toba
bertata letak membelakangi danau dan ternak masyarakat di kawasan itu juga
menghasilkan limbah yang langsung mencemari Danau Toba.
Salah satu kasus yang menjadi bukti nyata yang menyangkut penurunan
kualitas air Danau Toba adalah peningkatan pertumbuhan eceng gondok di
danau tersebut. Eceng gondok adalah salah satu tumbuhan yang hidup di air
berawarawa dan kotor. Hal ini dapat terjadi karena asupan meteri-materi organik
dan anorganik di dalam perairan yang diperoleh setiap harinya dari air limbah
domestik, pertanian dan juga limbah peternakan masyarakat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Escherichia coli terhadap 6 sampel air
Danau Toba di kawasan pemukiman penduduk Kecamatan Muara Kabupaten
Tapanuli Utara yang dilakukan oleh Sinaga (2014) menunjukkan bahwa kisaran
jumlah Escherichia coli berkisar antara 140 - >1600 jml/100 ml, hal ini tidak
sesuai dengan batas kandungan Escherichia coli yang ditetapkan oleh
pemerintah. Menurut PermenKes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 batas maksimal
jumlah Escherichia coli yang diperbolehkan yaitu 0 jml/100 ml, yang
menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas air di danau Toba.
Danau Rawa Pening juga salahsatu danau yang mengalami penurunan
kualitas, hal ini ditandai dengan penelitian yang dilakukan Trisakti (2014) yang
menyebutkan bahwa perkembangan eceng gondok yang signifikan terjadi pada
tahun 2005 dan 2013. Pesentase luas tutupan eceng gondok sekitar 25% pada
tahun 2000, mengalami peningkatan menjadi 65% pada tahun 2005, menurun
kembali menjadi 32% pada tahun 2009 dan selanjutnya meningkat kembali
menjadi 45% pada tahun 2013. Pertambahan eceng gondok yang sangat cepat
akan mengakibatkan terganggunya aktivitas budidaya perikanan, rusaknya
keindahan danau dan pendangkalan danau yang semakin cepat.
b. Upaya Konservasi Ekosistem Danau
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem
danau, diantaranya dengan melakukan konservasi berupa:
1) Pemerintah setempat sebaiknya membuat larangan tegas seperti
mengelurkan perda yang mengatur tentang pambakaran lahan dan hutan
16

2) Pelarangan pembuangan sampah dan limbah rumah tangga kedalam


danau
3) Pemerintah setempat sebaikanya membuat larangan tegas seperti
mengelurkan perda yang mengatur tentang pembuangan sampah
kedalam danau
4) Membuat spanduk, pelangkat yang berisikan tinjauan agar tidak
membuang sampah kedalam danau
5) Pemda memberikan teguran /melarang keras agar tidak membuang
limbah pabrik kedalam danau
6) Pabrik sebaiknya sebelum membuang limbah sekitar kawasan danau
menetralkan terlebih dahulu zat beracun yang terkandung didalamnya
7) Pemerintah memberdayakan masyarakat sekitar danau, seperti pada
Danau Rawa Pening untuk mengolah eceng gondok yang ada sebagai
bahan kerajinan yang dapat menghasilkan nilai ekonomis tinggi,
sehingga membantu perekonomian masyarakan sekitar serta daerah
tersebut.
3. Ekosistem Pantai/Pesisir
a. Kerusakan Ekosistem Pantai/Pesisir
Kerusakan lingkungan telah terjadi di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh
perilaku manusia di wilayah pesisir dan di daerah sekitarnya. Kerusakan
lingkungan tersebut dapat mengancam fungsi lingkungan hidup wilayah pesisir.
Fungsi lingkungan hidup akan mengancam kelestarian tipologi ekosistem
pesisir, yang meliputi ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem
yang tergenang air. Konservasi wilayah pesisir sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta
ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya
pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman hayati
b. Upaya Konservasi Ekosistem Pantai/Pesisir
Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat
di daerah pesisir laut. Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara
ekosistem laut dan ekosistem darat. Karena hempasan gelombang dan hembusan
17

angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat. Indonesia
merupakan negara berpantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika
Serikat (AS), Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai Indonesia tercatat sebesar
95.181 km.
Sedangkan Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke
arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air
asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Dahuri, 2011).
Usaha konservasi terhadap hutan pantai ini harus dilakukan, terutama pada
daerah-daerah yang menjadikan pantai sebagai sumber kehidupan. Pengrusakan
hutan pantai yang terus menerus baik sengaja ataupun tidak akan merusak
ekosistem pantai itu sendiri. Beberapa usaha konservasi yang bisa diterapkan
misalnya dengan melakukan penyuluhan terhadap masyarakat yang berada
diwilayah pesisir pantai. Hasil penelitian menyebutkan dengan strategi
penyampaian informasi tertentu dan dengan memperhatikan latar belakang
ekonomi akan sangat mempengaruhi keberhasilan usaha konservasi wilayah laut
dan pesisir.
Wilayah pesisir tergolong sumberdaya milik bersama, harus tetap lestari dan
berkelanjutan. Dengan telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan berupa
erosi dan pencemaran akan dapat mengancam keanekaragaman hayati dan
sumberdaya alam. Menurut Kastolani (2012) bahwa pemanfaatan sumberdaya
milik bersama harus mempertimbangkan faktor internalitas lingkungan dan
faktor ekstenalitas lingkungan. Yang dimaksud dengan internalitas lingkungan
adalah mengambil peran (bertanggungjawab) untuk mengelola dampak
lingkungan yang dapat merugikan keselamatan manusia dan lingkungan
sekitarnya. Sedangkan eksternalitas lingkungan adalah perilaku yang tidak
bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukannya sehingga dapat merugikan
manusia dan lingkungan sekitarnya.
18

Konservasi wilayah pesisir mengacu pada konsep pembangunan


berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang.
Pembangunan yang berkelanjutan dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi
lingkungan hidup. Lingkup pembangunan berkelanjutan meliputi aspek
lingkungan, ekonomi, dan sosial yang diterapkan secara seimbang serasi selaras
dengan alam. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3, bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Purba ed. (2002) mengemukakan lima prinsip utama pembangunan
berkelanjutan yakni dengan menggunakan prinsip (1) keadilan antar generasi;
(2) keadilan dalam satu generasi; (3) pencegahan dini; (4) perlindungan
keanekaragaman hayati; dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme
insentif.
4. Terumbu Karang
a. Kerusakan Terumbu Karang
Dampak kerusakan terumbu karang sebagai akibat kegiatan manusia
baik di darat maupun di pesisir dan lautan seperti pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kegiatan Manusia yang Berdampak pada Kerusakan Ekosistem Terumbu
Karang

No. Kegiatan Dampak Potensial


1. Penambangan karang Perusakan habitat, bila menggunakan bahan
dengan atau tanpa peledak dapat menimbulkan kematian masal
bahan peledak. hewan terumbu karang.
2. Pembuangan limbah Meningkatkan suhu air hingga 5-100C di atas
panas suhu normal air dapat mematikan karang dan
hewan lainnya serta tumbuhan yang berasosiasi
dengan terumbu karang.
3. Penggundulan hutan  Sedimen hasil erosi yang berlebihan dapat
di lahan atas (up land) mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar
muara sungai pengangkut sedimen yang
mengakibatkan kekeruhan air sehingga
menghambat fungsi zooxsanthellae yang
19

selanjutnya menghambat pertumbuhan terumbu


karang.
 Sedimen yang berlebihan dapat menyelimuti
polip-polip dengan sedimen yang dapat
mematikan karang, karena oksigen terlarut
dalam air tidak dapat berdifusi ke dalam polip.
 Karang di terumbu karang yang lokasinya dekat
dengan banjir akan dapat mengalami kematian
karena sedimentasi yang berlebihan dan
penurunan salinitas air.
4. Pengerukan di sekitar Arus dapat mengangkut sedimen yang teraduk
terumbu karang ke terumbu karang dan meningkatkan kekeruhan
air yang mengakibatkan seperti yang telah
diuraikan di atas.
5. Kepariwisataan  Peningkatan suhu air karena pencemaran panas
oleh pembuangan air pendingin pembangkit
listrik hotel, dengan akibat seperti yang telah
diuraikan di atas.
 Pencemaran limbah manusia dari hotel karena
limbah ini tidak mengalami pengolahan yang
memadai sebelum dibuang ke perairan lokasi
terumbu karang, dengan akibat terjadinya
eutrofikasi yang selanjutnya mengakibatkan
tumbuh suburnya (blooming) fitoplankton yang
meningkatkan kekeruhan air dan kemudian
terhambatnya zooxanthellae. Selain itu,
keruhnya air akan mengurangi nilai estetis
perairan terumbu karang.
 Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh
jangkar kapal.
 Pengoleksian terumbu karang yang masih hidup
dan hewan-hewan lain oleh turis dapat
mengurangi keanekaragaman hewani ekosistem
terumbu karang.
 Rusaknya terumbu karang yang disebabkan
oleh penyelam.
6. Penangkapan ikan  Penangkapan ikan hias dengan menggunakan
hias dengan kalium sianida bukan saja membuat ikan
menggunakan kalium pingsan namun juga berpotensi membunuh
sianida (KCN) karang dan avertebrata lain di sekitar lokasi,
20

karena hewan-hewan ini jauh lebih peka


terhadap zat-zat kimia.
 Penangkapan ikan konsumsi dengan bahan
peledak bukan saja mematikan ikan tanpa
diskriminasi, tetapi juga koral dan avertebrata
lain yang ada di sekitar lokasi.
b. Upaya Konservasi Terumbu Karang
Banyak kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan fisik bagi karang dan
mempengaruhi integritas struktur karang. Pengelola dan para pembuat
keputusan harus mengenali dampak manusia yang dapat dikurangi secara
mudah, dan berakibat sebaik mungkin bagi terumbu. Ini melibatkan
pertimbangan kapasitas dan finansial yang tersedia serta struktur pengelolaan
yang ada, juga analisa kemungkinan pemulihan terumbu setelah pemutihan
atau bentuk kerusakan lainnya. Oleh karena itu sebelum kita membicarakan
pilihan strategi pengelolaan, kita harus mempertimbangkan keadaan umum dari
terumbu karang dimasa mendatang. (Westmacott, Susie dkk. 2010)
1) Terumbu karang buatan
Metode sederhana ini adalah dengan menengelamkan struktur bangunan di
dasar laut agar dapat berfungsi seperti terumbu karang alami sebagai tempat
berlindung ikan. Dalam jangka waktu tertentu, struktur yang dibuat dengan
berbagai bahan seperti struktur beton berbentuk kubah dan piramida, selanjutnya
membantu tumbuhnya terumbu karang alami di lokasi tersebut. Dengan
demikian, fungsinya sebagai tempat ikan mencari makan, serta tempat memijah
dan berkembang biak berbagai biota laut dapat terwujud. Dengan adanya
terumbu karang buatan ini, diharapkan akan membawa dampak terhadap
lingkungan terumbu karang khususnya dan kelimpahan atau terbentuknya suatu
ekosistem baru bagi jenis-jenis ikan yang ada di perairan laut.Ada berbagai
macam bentuk terumbu karang buatan, yang salah satunya bentuk "pyramid".
Bentuk ini mempunyai keunggulan mempunyai daya tahan terhadap
gempuran arus dan gelombang karena mempunyai bagian dasar yang relative
lebih besar dari pada bagian atasnya. Baru-baru ini, masyarakat desa Angsana
Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu telah melabuh sebanyak 21 (dua
puluh satu) buah terumbu karang buatan bentuk pyramid yang telah dibuat
selama beberapa bulan sebelumnya. Terumbu karang ini terbuat dari beton
21

(semen) yang diberi kawat betoniser (sebagai tulang) untuk penguat fisiknya.
Bentuk terumbu karang buatan dapat ditunjukan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Terumbu Karang Buatan

2) Pencangkokan

Metode ini dikenal dengan transplantasi. Dengan memotong karang hidup,


lalu ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan diharapkan dapat
mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak dan dapat pula
dipakai untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak
ada. Bibit karang yang sering digunakan pada uji coba transplantasi ini adalah
dari genus Acropora yang terdiri dari A tenuis, A austera, A formosa, A
hyacinthus, A divaricata, A nasuta, A yongei, A aspera, A digitifera, A valida,
dan A glauca. persen. Hal tersebut diperkirakan karena spesies-spesies tersebut
memiliki cabang yang kecil dan mudah rapuh. Berdasarkan per tambahan tinggi
masing-masing karang tersebut, setelah berumur satu bulan pertambahan tinggi
terbesar dialami oleh Acropora yongei (rata-rata 0,4 cm), sedangkan
pertambahan tinggi terkecil dialami Acropora digitifera, yakni 0,1 cm.
(Santoso, dan Kardono, 2008).
Keberhasilan hidup suatu karang dalam suatu rehabilitasi dapat dilihat dari
besarnya ukuran karang transplantasi. Dalam transplantasi karang harus
memperhatikan ukuran terumbu karang tersebut, ukuran yang lebih kecil akan
memiliki tingkat kematian yang tinggi. Ikan yang dijumpai di terumbu karang
mencerminkan secara langsung jumlah dari habitat yang dapat didukung oleh
lingkungan terumbu karang. Mengantisipasi kerusakan karang yang sudah
22

serius dan perdagangan karang hias hidup, maka merasa perlu dilakukan suatu
solusi agar kondisi karang tidak semakin rusak. Berkaitan dengan hal tersebut
maka perlu dilakukan tindakan konservasi dan rehabilitasi. Salah satu langkah
kearah tersebut adalah melakukan penelitian transplantasi karang dengan
fragmentasi untuk mencarikan kemungkinan dapat dilakukan untuk
menyelamatkan kondisi karang. Trasnplantasi karang dapat dilihat pada gambar
2.3.

Gambar 2.3. Hasil Transplantasi Karang Usia 1 Tahun dan 4 Tahun


5. Padang Lamun
a. Kerusakan Padang Lamun
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan yang cukup
rentan terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga mudah mengalami kerusakan.
Ekosistem lamun juga sering dijumpai berdampingan atau saling tumpang tindih
dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Bahkan terdapat interkoneksi
antar ketiganya, dimana ekspor dan impor energi dan materi terjadi diantara
ketiganya. Ada ikan jenis-jenis tertentu dapat berenang melintas batas dari satu
ekosistem ke ekosistem lainnya.
Karena fungsi lamun tak banyak dipahami, banyak padang lamun yang
rusak oleh berbagai aktivitas manusia. Luas total padang lamun di Indonesia
semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut
sebanyak 30 – 40 %. Kerusakan ekosistem lamun antara lain karena reklamasi
dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan
cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-
fishing). Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten misalnya, telah
melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari ( DKI
23

Jakarta) telah berkurang sebanyak 25 % dari tahun 1999 hingga 2004.


(Taurusman, et.al. 2009)

Kerusakan lamun juga dapat disebabkan oleh natural stress dan anthrogenik
stress. Kerusakan-kerusakan ekosistem lamun yang disebabkan oleh natural
stress biasanya disebabkan oleh gunung meletus, tsunami, kompetisi dan predasi.
Anthrogenik stress bisa disebabkan :
1) Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.
2) Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh
sinar matahari).
3) Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak memupuk
tambak).
4) Water polution (logam berat dan minyak).
5) Over fishing (pengambilan ikan yang berlebihan dan cara penangkapannya
yang merusak).
b. Upaya Konservasi Padang Lamun
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun
di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi
kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini
akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat
yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar.
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam
konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun
adalah pengelolaan berbasis masyakat. (Taurusman, et.al. 2009).
1) Berwawasan Lingkungan.
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut
yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu
diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-
akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri
secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan
laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan
24

pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di


pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.

2) Pengelolaan Berbasis Masyarakat.


Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah
suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia,
dimanan pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-
organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Pengelolaan sumberdaya
berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai
proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu
mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Dahuri,
2003).
3) Rehabilitasi Padang Lamun
Menurut (Taurusman, 2009), merujuk pada kenyataan bahwa padang
lamun mendapat tekanan gangguaun utama dari aktivitas manusia maka untuk
merehabilitasinya dapat dilakukan melalui dua pendekatan: yakni ; Rehabiltasi
lunak (soft Rehabilitation), dan rehabilitasi keras (Hard Rehabilitation).
a) Rehabilitasi Lunak
Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan
asumsi jika akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai
kesempatan untuk merehabilitasidirinya sendiri secara alami.
Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia.
b) Rehabilitas Keras
Rehabiltsi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan
dilapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan
atau dengan transplantasi lamun dilingkungan yang perlu direhabilitasi.
Kegiatan transplantasi lamun di Indonesia belum berkembang luas. Berbagai
percobaan transplantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI domics yang masih dalam taraf awal. Pengembangan
transplantasi lamun telah dilaksanakan diluar negeri dengan berbagai tingkat
keberhasilan.
25

Rehabilitasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di


lapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau
dengan transplantasi lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan
transplantasi lamun belum berkembang luas di Indonesia. Berbagai percobaan
transpalantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi
LIPI yang masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantaasi lamun telah
dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan.
6. Ekosistem Estuari
a. Kerusakan Ekosistem Estuari
Estuari merupakan wilayah yang sangat dinamis (dynamics area), rentan
terhadap perubahan dan kerusakan lingkungan baik fisik maupun biologi
(ekosistem) dari dampak aktifitas manusia di darat ataupun pemanfaatan
sumberdaya perairan laut secara berlebihan (over-exploited).
Ancaman terhadap ekosistem estuaria memiliki dampak yang sangat besar
terhadap kehidupan organisme yang berada pada daerah tersebut. Ancaman
ekosistem estuaria di antaranya adalah ancaman pendangkalan, pencemaran, dan
ancaman Eutrofikasi. Setiap ancaman memiliki solusi dan penaggulangan
masing-masing. Seperti penanggulangan Pendangkalan di lakukan dengan cara
reboisasi gunung tandus agar tidak terjadi erosisi yang dapat mempercepat laju
sedimentasi dan mengakibatkan pendangkalan. Ancaman pencemaran di
tanggulangi dengan beberapa cara di antaranya sosialasi kepada masyarakat akan
pentingnya ekosisitem estuaria sehingga masyarakat tidak membuang sampah di
daerah estuaria. Penanggulangan Eutrofikasi di negara-negara maju masyarakat
yang sudah memiliki kesadaran lingkungan (green consumers) hanya membeli
produk kebutuhan rumah sehari -hari yang mencantumkan label "phosphate
free" atau "environmentally friendly".

b. Upaya Konservasi Ekosistem Estuari


Usaha konservasi ekosistem eustaria dapat dilakukan diantaranya dengan
melarang penduduk yang berada di wilayah aliran sungai untuk tidak membuang
sampah sembarangan ke dalam sungai. Selain itu dengan pelarangan terhadap
pengerukan daerah muara untuk mengambil sumber dayanya. Misalnya
26

pengerukan pasir, batu, ataupun hal-hal lain yang dapat merusak muara sungai.
Penyuluhan terhadap masyarakatpun penting dilakukan sebagai upaya preventif
terhadap kerusakan ekositem estuaria ini. Cara lain yang harus ditempuh adalah:
1) Memperbaiki Daerah Lahan Atas (up-land)
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dampak kerusakan pada
ekosistem perairan wilayah estuaria yaitu dengan menata kembali sistem
pengelolaan daerah atas. Khususnya penggunaan lahan pada wilayah daratan
yang memiliki sungai. Jeleknya pengelolaan lahan atas sudah dapat dipastikan
akan merusak ekosistem yang ada di perairan pantai. Oleh karena itu,
pembangunan lahan atas harus memperhitungkan dan mempertimbangkan
penggunaan lahan yang ada di wilayah pesisir. Jika penggunaan lahan wilayah
pesisir sebagai lahan perikanan tangkap, budidaya atau konservasi maka
penggunaan lahan atas harus bersifat konservatif. Perairan pesisir yang
penggunaan lahannya sebagai lahan budidaya yang memerlukan kualitas
perairan yang baik maka penggunaan lahan atas tidak diperkenankan adanya
industri yang memproduksi bahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau
limbah. Limbah sebelum dibuang ke sungai harus melalui pengolahan terlebih
dahulu sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan.

2) Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Secara Optimal


Wilayah estuaria yang berfungsi sebagai penyedia habitat sejumlah spesies
untuk berlindung dan mencari makan serta tempat reproduksi dan tumbuh,
oleh karenanya di dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya di
wilayah estuaria diperlukan tindakan-tindakan yang bijaksana yang
berorientasi pemanfaatan secara optimal dan lestari. Pola pemanfatan
sebaiknya memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Konservasi Estuaria menurut Kastolani (2012), meliputi kegiatan
pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian. Deskripsi kegiatannya adalah
sebagai berikut:
1) Pemanfaatan: Budidaya biota estuaria, nipah sebagai bahan baku gula dan
energi bioetanol.
2) Perlindungan: Memonitor pembabatan tumbuhan, dan pengambilan hewan
di estuaria
27

3) Pelestarian: Penanaman nipah, pembibitan biawak, ikan, dan lain-lain.


Contoh pelestarian ekosistem estuari yaitu pada ekosistem estuari yang ada
di Kawasan Segara Anak. Estuari di kawasan Segara Anak memiliki kriteria-
kriteria sehingga harus diberikan perlindungan seperti pembentukan taman
nasional atau sebagainya. Kriteria tersebut menurut Setyawan (2016) yaitu:
 Adanya ekosistem mangrove yang merupakan kawasan mangrove yang
terbesar di Pulau Jawa.
 Sebagai satu-satunya estuari di pesisir Selatan Pulau Jawa yang menghadap
ke Samudera Hindia, maka diversitas spesies atau genetik di kawasan
Segara Anakan menjadi penting.
 Sebagai satu-satunya estuari di pesisir Selatan Pulau Jawa.

7. Ekosistem Mangrove
a. Kerusakan Ekositem Mangrove
Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumber daya
keanekaragaman hayati pesisir dan lautan adalah:
1) Pemanfaatan berlebih (over eksploitation) sumber daya hayati
2) Penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang merusak lingkungan
3) Perubahan dan degradasi fisik habitat
4) Pencemaran
5) Introduksi spesies asing
6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya
7) Perubahan iklim global dan bencana alam.
Salah satu contoh dari pemanfaatan berlebih sumber daya hayati terjadi
pada ekosistem hutan mangrove yang merupakan bagian dari ekosistem laut
memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan mahkluk hidup.
Kerusakan hutan mangrove dan ekosistemnya diwilayah pesisir dewasa ini,
merupakan isu lingkungan yang penting dan menjadi perhatian Negara –negara
di Asia Tenggara (FAO 1985 dikutip Amri 2008). Kawasan hutan mangrove di
Indonesia begitu luas yakni sekitar 4,25 juta hektar atau 3,98% dari seluruh luas
hutan di Indonesia. Akan tetapi, dari seluruh luas kawasan mangrove itu, hanya
58,82 % atau 2, 5 juta hektar saja dalam keadaan baik. Sisanya mengalami
kerusakan akibat berbagai sebab (Siburian, 2016).
28

Dahuri dkk. (2001) mengindentifikasi beberapa faktor penyebab kerusakan


ekosistem hutan mangrove yaitu :
1) Konversi kawasan hutan mangrove secara tak terkendali menjadi tambak,
pemukiman, dan kawasan industry.
2) Terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kegiatan pembangunan.
3) Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan
lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (renewable capacity)
4) Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industry, dan rumah tangga.
5) Pengendapan akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang baik.
6) Proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur hara)
kedalam ekosistem mangrove.
7) Proyek pembangunan yang dapat menghalangi atau mengurangi sirkulasi
arus pasang surut.
Tingginya degradasi hutan mangrove di Indonesia menunjukan minimnya
pemahaman masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan mangrove sebagai
penyangga kehidupan. Selain itu, pemahaman masyarakat akan manfaat hutan
mangrove yang hanya dilihat dari produk langsung berupa kayu bakar, bahan
konstruksi jembatan dan bangunan lainnya, semakin menyebabkan keberadaan
ekosistem hutan mangrove dikawasan perairan pesisir menjadi terancam.
Aktivitas pembangunan diwilayah pesisir yang begitu tinggi secara
langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap degradasi
hutan mangrove.

b. Upaya Pelestarian Ekositem Mangrove


Upaya dalam konservasi mangrove tidaklah membutuhkan waktu singkat.
Diperlukan beberapa langkah untuk mewujudkan konservasi mangrove yang
berkelanjutan. Pertama kali yang dilakukan tentu saja survey untuk mengetahui
keadaan mangrove yang telah ada kemudia disusul dengan sosialisasi kepada
masyarakat mengenai perencanaan kegiatan konservasi.
Menurut Priyono (2010), tahapan teknis rehabilitasi mangrove adalah
sebagai berikut:
1) Pembuatan Bedeng
29

Pembuatan bedeng dilaksanakan secara bersama dengan masyarakat


sebagai pelaksana program. Lokasi bedeng, dipilih yang berdekatan dengan
lokasi penanaman mangrove. Hal ini, bertujuan untuk mempermudah distribusi
bibit mangrove pada saat penanaman. Selain itu, harus diperhatikan juga
tentang kondisi lingkungan, seperti tipe pasang surut di lokasi bedeng.
2) Survey Lokasi buah mangrove dan pengambilan buah
Buah mangrove diambil dari pohonnya secara langsung. Buah-buah
mangrove dari jenis Rhizophora dan Ceriops, terletak bervariasi di ketinggian
yang berbeda. Buah Rhizophora yang diambil adalah buah yang sudah matang,
yang ditandai dengan adanya cincin kuning di bagian propagulnya. Untuk jenis
Sonneratia, buah matang dicirikan dengan telah pecahnya kulit buah sehingga
terlihat biji-bijinya.
3) Pembibitan
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk melakukan pembibitan mangrove,
adalah polibek, buah mangrove berbagai jenis, lumpur, cetok, dan bedeng.
4) Pembangunan APO (Pemecah Gelombang)
Apabila diperlukan, sebaiknya setelah melakukan tahapan pembibitan dan
sebelum diadakan tahapan penanaman, maka dilakukan tahapan pembangunan
pemecah gelombang atau APO. Hal ini dilakukan untuk melindungi bibit-bibit
mangrove yang telah ditanam di lokasi program rehabilitasi mangrove. Apo bisa
dibedakan dari jenis bahan pembuatnya, bisa dibuat dengan beton dan semen
berbentuk bundar, beton dan semen berbentuk segiempat, potongan bambu
yang dianyam, dan ban bekas yang dikuatkan dengan potongan bambu.

5) Penanaman
Penaman mangrove, sebaiknya dilakukan pada saat air surut. Namun
demikian, apabila keadaan tidak memungkinkan, maka penanaman
mangrove bisa tetap dilaksanakan pada saat air tergenang, dengan syarat
pada saat melakukan penanaman, akar bibit benar-benar tertancap dengan
baik di sedimen dan terikat kuat di samping ajirnya.

You might also like