Professional Documents
Culture Documents
Komunikasi Negosiasi China Terhadap Peny PDF
Komunikasi Negosiasi China Terhadap Peny PDF
Abstract
South China Sea is one source conflict in the world. Some state in around the sea
try to claim the sea. Not only connected water area of states but also connected
more of wide interest include economic interest. South China Sea is predicated
has earth wealth especially as oil and earth gas sources. Some state which they
claim existention of the sea are China, Taiwan, Vietnam, Philipina and other state
especially states in ASEAN. To finish the conflict, one of China strategy is
applicate communication strategy which it’s called is negotiation. In international
relations, negotiation is core of diplomacy. Diplomacy is the conduct of
international relations by negotiation rather than by force, propaganda, or
recourse to law, and by other peaceful means (such as gathering information or
engendering goodwill) which are either directly or indirectly designed to promote
negotiation. Negotiation is a technique of regulated argument which normally
occurs between delegations of officials representing states, international
organizations or other agencies. The paper will explain about China interest in
South China Sea, how to strategy of China to do implementation its interest and
how to China develop negotiation with other states which they have conflict and
other actors which they have interest in South China Sea include United Stated of
America (USA) and Japan.
Key Words: Negotiation, interest, conflict, communication, states, international
relations.
Pendahuluan
Pada bulan April 2001 pesawat pengintai Angkatan Laut Amerika Serikat
jenis EP-3 Aries bertabrakan dengan pesawat tempur Republik Rakyat China
(untuk seterusnya disebut China) jenis F-8. Insiden ini terjadi di 70 mil laut
sebelah selatan pulau Hainan di atas laut China Selatan. Pesawat China berusaha
menyergap pesawat asing yang melanggar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 200
mil. Namun pihak Amerika menyatakan bahwa pesawatnya masih terbang di
1
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
kawasan udara internasional. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan intepretasi
hukum internasional yang berbeda. Perbedaan cara pandang ini akan sangat
berbahaya di daerah yang sedang menjadi sengketa. Insiden tersebut menunjukkan
bahwa Laut China Selatan dapat menjadi sumber konflik antar China dan Amerika
Serikat maupun dengan negara-negara lainnya.
Laut China Selatan adalah wilayah air yang terbentang diantara Selat
Taiwan di sebelah utara, Philipina di sebelah timur, daratan Asia Tenggara di
sebelah barat dan Selat Malaka di sebelah selatan. Ada 10 negara mengelilingi
Laut China Selatan yaitu: China, Taiwan, the Philipina, Malaysia, Brunei,
Indonesia, Vietnam, Singapura dan Kamboja. Kawasan laut ini ditaburi dengan
pulau-pulau kecil dan gugusan karang. Ada tiga gugusan pulau maupun karang
yaitu gugusan pulau-pulau Pratas, gugusan pulau-pulau Paracel, gugusan pulau-
pulau Spratly yang merurapakan gugusan terbesar serta satu gugusan karang yang
tenggelam ketika air pasang yaitu Macclesfield Bank (Amer, 2002).
Negosiasi
Pada sisi lain, kaitan antara diplomasi dengan komunikasi sangatlah erat.
Stearns mengatakan bahwa: “Communication is the essence of diplomacy. There
has never been a good diplomat who was a bad communicator” (Stearns, 1996).
Bahkan diplomasi dengan komunikasi adalah dua hal yang identik. Constantinou
mengatakan: “In fact, diplomacy is often defined in terms of communication – as a
regulated process of communication” (Constantinou, 1996). Dengan nada yang
hampir sama, A. James mengatakan bahwa diplomasi adalah “the communication
system of the international society” (James, 1980). Hedley Bull juga menyatakan
bahwa diplomasi sebagai: “the transmitting of messages between one independent
political community and another” (Bull, 1977).
Gambar 1
Laut China Selatan
Sumber: http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/South_China_Sea/Background.html
Bagian paling selatan kepulauan ini hanya berjarak kurang dari 100 mil laut dari
Brunei, Malaysia atau Pulau Palawan di Philipina. Sedangkan China daratan
berjarak lebih dari 700 mil laut dari Kepulauan Spratly. Sedangkan daratan yang
kadangkala tenggelam adalah daratan Macclesfield. Daratan ini terletak disebelah
tenggara kepulauan Paracel dan kira-kira terletak di tengah-tengah Laut China
Selatan.
Pembahasan
Elit politik China dalam memandang posisi strategis Laut China Selatan
terbelah menjadi dua yaitu kelompok nasionalis yang berhaluan garis keras dan
kelompok modernis yang moderat dan cenderung berhaluan lebih lunak.
Kelompok nasionalis yang pada umumnya berasal dari perwira militer, terutama
dari angkatan laut serta pimpinan Partai Komunis China. Mereka cenderung
mempertahankan kedaulatan China tanpa kompromi dan tidak segan
menggunakan sarana militer. Hasil kebijakan ini adalah terjadinya konflik militer
dengan negara tetangga seperti Vietnam.
Berkenaan dengan sengketa Laut China Selatan, China dan ASEAN mulai
mencari cara pemecahan masalah melalui negosiasi. Kedua belah pihak mencoba
untuk bernegosiasi melalui jalur formal misalnya melalui Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN (ASEAN Summit), sidang para menteri ASEAN (ASEAN
Ministerial Meeting/AMM) dan Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional
Forum/ARF). Negosiasi formal merupakan cerminan pendapat dan sikap
pemerintah dan sering disebut mekanisme Diplomasi Jalur Pertama (Track I
Diplomacy). Di samping negosiasi jalur pertama, dikembangkan pula mekanisme
Diplomasi Jalur Kedua (Track II Diplomacy) yaitu negosiasi secara informal
dimana pihak-pihak yang terlibat bukan merupakan wakil dari pemerintah.
Negosiasi Formal
Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan Nuclear Weapons Free Zone
(NWFZ) di wilayah Asia Tenggara. Sebagai hasil atas kesediaan ini, China
kemudian diundang Filipina untuk menghadiri AMM yang diselenggarakan di
Manila bulan Juli 1992.
negosiasi dalam pertemuan ini adalah terbitnya ASEAN Declaration on the South
China Sea.
akan pernah menjadi ancaman, baik secara riil maupun potensial terhadap negara
lain. Pada pertemuan pertama ARF tahun 1994 diputuskan bahwa Taiwan tidak
termasuk dalam patner dialog ARF. Menteri Luar Negeri Thailand sebagai ketua
ARF pertama menyatakan bahwa ASEAN menolak saran Amerika Serikat untuk
mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam forum ini.
Akhirnya, dalam laporan ketua sidang ARF pada bulan Agustus 1995
menyebutkan secara spesifik konlik Laut China Selatan pertama kali dalam ARF.
Dinyatakan bahwa para menteri luar negeri ARF mengekspresikan
keprihatinannya terhadap saling tumpang tindih kedaulatan di wilayah tersebut.
Para menteri luar negeri mendorong para peserta sengketa untuk menegaskan
kembali komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip yang relevan dalam hukum
internasional maupun UNCLOS dan deklarasi ASEAN tahun 1992 tentang Laut
China Selatan. Pada sisi lain, ketika Qian Qichen tiba di Brunei untuk pertemuan
ARF, ia menegaskan bahwa China siap untuk bekerjasama dengan negara yang
berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi damai
berdasarkan hukum internasional maupun aturan-aturan lain yang relevan dalam
UNCLOS.
Negosiasi Informal
Semua peserta dari ASEAN hadir pada lokakarya pertama di Bali tahun
1990. Tujuan lokakarya pertama ini adalah membangun landasan mekanisme
kerja untuk lokakarya selanjutnya. Pada lokakarya ke-2 di Bandung 1991
diundang semua peserta sengketa termasuk Vietnam, China dan Taiwan.
Lokakarya mulai membahas hal-hal yang mudah dan tidak menyentuh hal-hal
yang sensitif seperti klaim wilayah dan kedaulatan. Pada awalnya peserta
berdiskusi dan mengidentifikasi berbagai wilayah yang kemungkinan dapat
dilakukan kerja sama. Kemudian berbagai topik tersebut ditempatkan ke dalam
beberapa kategori seperti proteksi lingkungan laut, alur pelayaran yang aman dan
sebagainya.
lingkungan laut, TWG persoalan hukum dan TWG keamanan pelayaran, navigasi
dan komunikasi.
Kesimpulan
Laut China Selatan terletak pada jalur pelayaran yang sangat strategis,
mempunyai stok ikan yang melimpah, dan mempunyai ekosistem terunik di dunia.
Di laut ini pula terkandung deposit minyak dan gas yang sangat besar. Kedaulatan
di kawasan ini serta batas-batas jurisdiksi kelautan baik secara keseluruhan
maupun secara sebagaian oleh China Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan
Brunei. Klaim yang tumpang tindih semakin meningkat selama terjadi krisis
minyak tahun 1973 dan berlakunya UNCLOS secara efektif menyebabkan
munculnya konflik dan gesekan militer diantara mereka yang bersengketa. Oleh
karena itu Laut China Selatan merupakan salah satu area panas di dunia.
China dengan dilandasi dengan argumen yang kuat dalam mengklaim Laut
China Selatan berusaha secara sungguh-sungguh memelihara kedaulatanya. China
selalu mengatakan bahwa klaim-nya atas Laut China Selatan tidak terbantahkan
dan tidak dapat diganggu gugat. Walaupun demikian, kebijakan China atas
kawasan ini banyak dinilai kurang konsisten. Dalam satu sisi China menawarkan
cara penyelesaian sengketa dengan jalan damai, namun pada sisi lain China
menggunakan kekuatannya untuk menguasai beberapa pulau di kawasan Laut
China Selatan. Ketidak-konsistenan ini merupakan hasil dari pertarungan orientasi
politik para elit yang ada dipemerintahan yaitu kelompok garis keras (kelompok
nasionalis) dan kelompok garis lunak (kelompok modernis).
Hasil negosiasi yang utama, meskipun sumber masalah masih tetap belum
terpecahkan, adalah mampu menekan eskalasi konflik sejak adanya Declaration
on the Conduct of Parties in the South China Sea. Para peserta sengketa
menyepakati bahwa sengketa tidak dapat menghancurkan pengembangan
hubungan yang bersahabat dan jalinan kerjasama. Hubungan baik antara China
dan peserta sengketa lainnya, terutama hubungannya dengan ASEAN adalah jauh
lebih penting daripada esensi sengketa di Laut China Selatan.
Daftar Pustaka
Amer, Ramses. (2002). “Claims and Conflict Situations” in Timo Kivimaki, (ed),
War or Peace in The South China Sea?, Copenhagen: NIAS Press.
Bercovitch, Jacob and Jackson, Richard. (2001). “Negotiation or Mediation?: An
Exploration of Factors Affecting the Choice of Conflict Management in
International Conflict”, Negotiation Journal; Vol. 17, No. 1.
Berridge, G.R. (1995). Diplomacy: Theory and Practice, Harvester Wheatsheaf,
London: Prentice-Hall.
Bolewski, Wilfried. (2007). Diplomacy and International Law in Globalized
Relations. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag.
Chin, Yoon Chin. (2003). Potential for Conflict in The Spratly Islands,
http://www.ccc.nps.navy.mil/research/theses/Chin03.pdf.
Constantinou, C. M. (1996). On the Way to Diplomacy, Minneapollis: University
of Minnesota Press.
Department of Policy Planning, Ministry of Foreign Affairs, People’s Republic of
China. (2003). China’s Foreign Affairs: 2003 Edition, Beijing: World
Affairs Press.
Djalal, Hasjim. (2000). South China Sea Island Dispute,
http://rmbr.nus.edu.sg/exanambas/rbzs8-scs/djalal.html.
Emmers, Ralf. (2003). Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN
and the ARF, London and New York: RoutledgeCurzon.
_______ (2007). The De-escalation of the Spratly Dispute in Sino – Southeast
Asian Relations, Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies,
diakses dari
http://www.idss.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP129.pdf tanggal 15
Maret 2009.
James, A. (1980). “Diplomacy and International Society”, dalam International
Relations, Vol. 6.
To, Lee Lai. (1999). China and the South China Sea Dialogues, London: Praeger.
Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, Historical
Evidence To Support China's Sovereignty over Nansha Islands, available at
http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19231.htm.