You are on page 1of 20

Ign.

Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Komunikasi Negosiasi China terhadap Penyelesaian


Sengketa Laut China Selatan

Ign. Agung Satyawan1

Abstract

South China Sea is one source conflict in the world. Some state in around the sea
try to claim the sea. Not only connected water area of states but also connected
more of wide interest include economic interest. South China Sea is predicated
has earth wealth especially as oil and earth gas sources. Some state which they
claim existention of the sea are China, Taiwan, Vietnam, Philipina and other state
especially states in ASEAN. To finish the conflict, one of China strategy is
applicate communication strategy which it’s called is negotiation. In international
relations, negotiation is core of diplomacy. Diplomacy is the conduct of
international relations by negotiation rather than by force, propaganda, or
recourse to law, and by other peaceful means (such as gathering information or
engendering goodwill) which are either directly or indirectly designed to promote
negotiation. Negotiation is a technique of regulated argument which normally
occurs between delegations of officials representing states, international
organizations or other agencies. The paper will explain about China interest in
South China Sea, how to strategy of China to do implementation its interest and
how to China develop negotiation with other states which they have conflict and
other actors which they have interest in South China Sea include United Stated of
America (USA) and Japan.
Key Words: Negotiation, interest, conflict, communication, states, international
relations.

Pendahuluan

Pada bulan April 2001 pesawat pengintai Angkatan Laut Amerika Serikat
jenis EP-3 Aries bertabrakan dengan pesawat tempur Republik Rakyat China
(untuk seterusnya disebut China) jenis F-8. Insiden ini terjadi di 70 mil laut
sebelah selatan pulau Hainan di atas laut China Selatan. Pesawat China berusaha
menyergap pesawat asing yang melanggar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 200
mil. Namun pihak Amerika menyatakan bahwa pesawatnya masih terbang di
1
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 1


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

kawasan udara internasional. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan intepretasi
hukum internasional yang berbeda. Perbedaan cara pandang ini akan sangat
berbahaya di daerah yang sedang menjadi sengketa. Insiden tersebut menunjukkan
bahwa Laut China Selatan dapat menjadi sumber konflik antar China dan Amerika
Serikat maupun dengan negara-negara lainnya.

Konflik yang terjadi antara China dengan negara-negara selain Amerika


Serikat yang berkaitan dengan kawasan Laut China Selatan sudah sering terjadi.
Pada tahun 1990 terjadi sengketa antara China dengan Vietnam berkaitan dengan
wilayah pengeboran minyak dan gas alam. Konflik bersenjata pun juga berkali-
kali terjadi. Kontak senjata di Laut China Selatan antara kapal angkatan laut
Vietnam dengan China terjadi pada tahun 1988. Pada tahun 1995 Angkatan Laut
Philipina memaksa China untuk membongkar patok-patok penanda yang dibuat
secara sepihak untuk menunjukkan bahwa wilayah itu milik China di gugusan
karang Mischief Reef di sisi timur Laut China Selatan.

Laut China Selatan adalah wilayah air yang terbentang diantara Selat
Taiwan di sebelah utara, Philipina di sebelah timur, daratan Asia Tenggara di
sebelah barat dan Selat Malaka di sebelah selatan. Ada 10 negara mengelilingi
Laut China Selatan yaitu: China, Taiwan, the Philipina, Malaysia, Brunei,
Indonesia, Vietnam, Singapura dan Kamboja. Kawasan laut ini ditaburi dengan
pulau-pulau kecil dan gugusan karang. Ada tiga gugusan pulau maupun karang
yaitu gugusan pulau-pulau Pratas, gugusan pulau-pulau Paracel, gugusan pulau-
pulau Spratly yang merurapakan gugusan terbesar serta satu gugusan karang yang
tenggelam ketika air pasang yaitu Macclesfield Bank (Amer, 2002).

Sumber sengketa di kawasan Laut China Selatan adalah saling tumpang


tindih batas yuridiksi wilayah maupun kedaulatan yang diklaim beberapa negara.
China dan Taiwan bersama-sama mengklaim gugusan pulau Pratas dan
Macclesfield Bank. China dan Vietnam bersama-sama mengklaim gugusan pulau
Paracel. Gugusan pulau Spratly diperebutkan antara China, Vietnam, Taiwan,
Philipina, Malaysia dan Brunei. China, Vietnam dan Taiwan mengklain seluruh
gugusan kepulauan ini, Philipina dan Malaysia mengklaim sebagian wilayah

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 2


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

kepulauan sedangkan Brunei mempunyai persoalan dengan saling tumpang


tindihnya Zona Ekonomi Eksklusif. Sampai sekarang sengketa yuridiksi wilayah
dan kedaulatan di Laut China Selatan belum tuntas diselesaikan. Hal ini berarti
wilayah ini tetap akan menjadi sumber konflik di kawasa Asia Pasifik pada masa
depan.

China sebagai negara terbesar di kawasan ini sekaligus sebagai aktor


dalam sengketa di Laut China Selatan mempunyai peran penting dalam
penyelesaian sengketa. Namun perilaku China di kawasan Laut China Selatan
tidak dipandu dengan politik luar negeri yang konsisten. Ada perbedaan antara
apa yang diucapkan dengan apa yang dilaksanakan (Stenseth, 1998). Sebagai
contoh ketika Perdana Menteri Li Peng mengunjungi Singapura dan Malaysia
pada tahun 1990 mengatakan bahwa China siap untuk mendiskusikan secara
konstruktif pengembangan ekonomi gugusan pulau Spratly yang menjadi kawasan
sengketa dengan pihak manapun sambil meminggirkan isu sensitive tentang
persoalan kedaulatan. Namun tidak lama kemudian pada tahun 1992 China
mengesahkan undang-undang baru tentang kewilayahan yang menyatakan bahwa
seluruh gugusan pulau di Laut China Selatan adalah milik China yang tak
terpisahkan. Undang undang ini tentu saja membuat negara-negara yang terlibat
sengketa menjadi cemas. Untuk meredakan ketegangan, Li Peng mengunjungi
Vietnam guna menawarkan kerja sama eksplorasi di Laut China Selatan dan
menjanjikan tidak akan memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. China juga
segera mendukung upaya perdamaian yang dilakukan ASEAN melalui Deklarasi
ASEAN tentang Laut China Selatan bulan Juli 1992. Namun pada tahun 1994 dan
1995 China secara sepihak membangun patok-patok penanda di kepulauan
Mischief Reef sebagai milik China yang juga diklaim Philipina sebagai miliknya.
Ketegangan antara kedua negara segera terjadi.

Upaya negosiasi yang dilakukan ASEAN dengan China membuahkan


hasil dengan disepakatinya prinsip-prinsip bertingkah laku (code of conduct) yang
berkaitan dengan wilayah Laut China Selatan tahun 2002. Prinsip-prinsip ini
untuk sementara dapat meredakan ketegangan diantara para pelaku sengketa

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 3


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

(Emmers, 2007). China juga mengembangkan proses negosiasi baik bilateral


maupun multilateral berkaitan dengan bagaimana penyelesaian sengketa Laut
China Selatan.

Tulisan ini akan membahas mengenai kepentingan China di Laut China


Selatan, bagaimana strategi China untuk mengimplementasikan kepentingannya
tersebut sehingga terjadi sengketa dengan negara-negara lain yang mengelilingi
Laut China Selatan. Kemudian juga akan dibahas bagaimana China
mengembangkan negosiasi atau dialog dengan negara-negara lain yang
bersengketa maupun pihak lain yang berkepentingan di Laut China Selatan.

Negosiasi

Negosiasi secara umum merupakan inti dari proses diplomasi. Adam


Watson menyebutkan bahwa diplomasi sebagai “negotiations between political
entities which acknowledge each other independence” (Watson, 1982). Secara
lebih rinci, G. R. Berridge menggambarkan diplomasi seperti “the conduct of
international relations by negotiation rather than by force, propaganda, or
recourse to law, and by other peaceful means (such as gathering information or
engendering goodwill) which are either directly or indirectly designed to promote
negotiation” (Berridge,1995). Sedangkan pengertian negosiasi dalam politik
internasional diartikan sebagai “a technique of regulated argument which
normally occurs between delegations of officials representing states, international
organizations or other agencies”. Oleh karena itu, negosiasi merupakan fungsi
dari diplomasi (Berridge,1995).

Negosiasi juga merupakan sarana negara ataupun pihak-pihak yang sedang


bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Negosiasi dalam
kaitan dengan penyelesaian konflik dapat didefinisikan sebagai berikut: “We
defined negotiation as a process by which states and other actors communicate
and exchange proposals in an attempt to agree about the dimensions of conflict
termination and their future relationship” (Bercovitch dan Jackson, 2001)

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 4


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Negosiasi dapat dibedakan menjadi negosiasi formal (track I diplomacy)


dan negosiasi informal (track II diplomasi). Negosiasi formal adalah negosiasi
yang para negosiatornya mewakili institusi formal (negara) sehingga hasil
kesepakatan negosiasi ini mengikat secara formal pula. Sebaliknya, negosiasi
informal adalah negosiasi yang para negosiatornya bukanlah mewakili Negara
(Bolewski, 2007). Biasanya negosiasi informal ini membantu terselenggaranya
negosiasi formal yang biasanya kaku dan lebih rumit.

Pada sisi lain, kaitan antara diplomasi dengan komunikasi sangatlah erat.
Stearns mengatakan bahwa: “Communication is the essence of diplomacy. There
has never been a good diplomat who was a bad communicator” (Stearns, 1996).
Bahkan diplomasi dengan komunikasi adalah dua hal yang identik. Constantinou
mengatakan: “In fact, diplomacy is often defined in terms of communication – as a
regulated process of communication” (Constantinou, 1996). Dengan nada yang
hampir sama, A. James mengatakan bahwa diplomasi adalah “the communication
system of the international society” (James, 1980). Hedley Bull juga menyatakan
bahwa diplomasi sebagai: “the transmitting of messages between one independent
political community and another” (Bull, 1977).

Berdasarkan berbagai pendapat dari para pakar hubungan internasional,


mereka menyepakati bahwa negosiasi merupakan salah satu sarana dari suatu
negara untuk meraih tujuannya disamping sarana lain seperti kekuatan militer.
Negosiasi juga merupakan fungsi utama dari diplomasi yang dalam bahasa
hubungan internasional juga disebut dengan soft power. Sedangkan diplomasi
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi.

Laut China Selatan

Menurut Biro Hidrografis Internasional, Laut China Selatan didefinisikan


sebagai laut yang semi tertutup yang terbentang dari Selat Karimata di selatan ke
Selat Taiwan di utara, dari daratan Asia Tenggara di sebelah barat ke Philipina di
sebelah timur. Daerah ini mempunyai luas 800.000 kilometer persegi dengan

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 5


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

ratusan karang, koral, daratan pasir maupun pulau-pulau kecil. Beberapa


diantaranya tenggelam dalam air ketika pasang. Kedalaman dari daerah ini sangat
bervariasi. Beberapa bagian sangat dangkal yang ditandai dengan adanya terumbu
karang. Daerah yang dangkal ini menyebabkan beberapa kapal kandas. Beberapa
tempat lainnya sangat dalam. Ke dalam maksimum lebih dari 18.000 kaki. Daerah
yang paling dalam terletak disebelah timur, berbatasan dengan Pulau Palawan di
Philipina. Daerah ini dikenal sebagai Palung Palawan.

Gambar 1
Laut China Selatan

Sumber: http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/South_China_Sea/Background.html

Daratan di wilayah Laut China Selatan dapat dibagi menjadi 3 kelompok


kepulauan dan sebuah daratan yang kadangkala tenggelam. Tiga kelompok
kepulauan itu adalah Kepulauan Pratas terletak kira-kira 230 mil laut tenggara
Hongkong dan barat daya Taiwan. Kepulauan Spratly yang merupakan kepulauan
terbesar di Laut China Selatan, terletak di bagian selatan Laut China Selatan.
Kepulauan ini terdiri dari lebih 100 pulau-pulau kecil, karang dan daratan pasir.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 6


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Bagian paling selatan kepulauan ini hanya berjarak kurang dari 100 mil laut dari
Brunei, Malaysia atau Pulau Palawan di Philipina. Sedangkan China daratan
berjarak lebih dari 700 mil laut dari Kepulauan Spratly. Sedangkan daratan yang
kadangkala tenggelam adalah daratan Macclesfield. Daratan ini terletak disebelah
tenggara kepulauan Paracel dan kira-kira terletak di tengah-tengah Laut China
Selatan.

Walaupun Laut China Selatan beserta pulau-pulaunya tidak cocok untuk


mendukung kehidupan manusia, wilayah ini mempunyai tiga aspek penting
sehingga menarik negara-negara di sekitarnya untuk bersaing menyatakan
kedaulatannya. Tiga aspek penting itu adalah lingkungan, sumber-sumber alam
dan lokasi geografis. Dari ketiga aspek ini, kandungan cadangan minyak dan gas
bumi serta letak geografis Laut China Selatan adalah hal yang paling penting.

Laut China Selatan, terutama kepulauan Spratly, dipercaya kaya akan


minyak dan gas bumi. Pada bulan Mei 1989, koran geologi China mengutip
laporan penelitian yang dibuat oleh Kementerian Geologi dan Sumber Mineral
China yang mengatakan bahwa kandungan minyak di Laut China Selatan
mencapai 130 juta barrel. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan 112 juta barel di
Irak yang merupakan peringkat kedua dari cadangan minyak kedua setelah Arab
Saudi. China juga mengestimasi Laut China Selatan mengandung 2000 trilyun
kubik cadangan gas alam. Oleh karena itu China menganggap Laut China Selatan
sebagai “Teluk Persia Kedua”.

Laut China Selatan adalah konektor antara Samudra Hindia dengan


Samudra Pasifik. Sejak jaman dulu penguasa-penguasa di sekitar Laut China
Selatan menggunakan laut ini untuk transportasi barang-barang dagangan. Laut
China Selatan juga dikenal sebagai jalur laut yang tersibuk di dunia. Karena
terletak di jalur strategis, sudah barang tentu Laut China Selatan mempunyai nilai
tambah dari segi militer. Pangkalan militer yang terletak di Laut China Selatan,
terutama di Kepulauan Spartly misalnya, dapat mengamati pergerakan kapal baik
kapal komersial maupun kapal perang dan pesawat terbang secara mudah. Pada
waktu Perang Dunia II, Jepang menggunakan Kepulauan Spratly sebagai

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 7


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

pangkalan militer untuk melancarkan serangan ke Philipina dan negara-negara


lainnya di Asia Tenggara.

Pembahasan

Memasuki era pascaperang dingin dan juga dalam rangka menghadapi


sangsi ekonomi negara-negara Barat pada tahun 1990-an, China merubah haluan
politik luar negerinya untuk mendekat kepada negara-negara Asia Tenggara, baik
secara bilateral maupun multilateral. Kedua belah pihak, China dan ASEAN
mencoba untuk saling menjalin kerjasama melalui berbagai macam dialog. Salah
satu kendala untuk menjalin kerjasama ini adalah sengketa Laut China selatan.

Elit politik China dalam memandang posisi strategis Laut China Selatan
terbelah menjadi dua yaitu kelompok nasionalis yang berhaluan garis keras dan
kelompok modernis yang moderat dan cenderung berhaluan lebih lunak.
Kelompok nasionalis yang pada umumnya berasal dari perwira militer, terutama
dari angkatan laut serta pimpinan Partai Komunis China. Mereka cenderung
mempertahankan kedaulatan China tanpa kompromi dan tidak segan
menggunakan sarana militer. Hasil kebijakan ini adalah terjadinya konflik militer
dengan negara tetangga seperti Vietnam.

Kebijakan dari kelompok ini sudah barang tentu merisaukan negara-negara


Asia Tenggara dalam berhubungan dengan China. Pada sisi lain, pendukung
kelompok modernis berasal elit politik yang propertumbuhan ekonomi China
seperti para pengusaha perusahaan minyak negara, petinggi di departemen
perdagangan dan petinggi di departemen luar negeri. Kelompok ini lebih
menekankan sarana diplomasi sebagai alat penyelesaian masalah. Persaingan
kedua kelompok ini menyebabkan kebijakan China di Laut China Selatan seperti
tidak konsisten, kadang-kadang keras dan pada suatu saat lunak. Hal ini
tergantung dari kelompok elit politik mana yang berkuasa dalam struktur
kekuasaan China.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 8


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Berkenaan dengan sengketa Laut China Selatan, China dan ASEAN mulai
mencari cara pemecahan masalah melalui negosiasi. Kedua belah pihak mencoba
untuk bernegosiasi melalui jalur formal misalnya melalui Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN (ASEAN Summit), sidang para menteri ASEAN (ASEAN
Ministerial Meeting/AMM) dan Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional
Forum/ARF). Negosiasi formal merupakan cerminan pendapat dan sikap
pemerintah dan sering disebut mekanisme Diplomasi Jalur Pertama (Track I
Diplomacy). Di samping negosiasi jalur pertama, dikembangkan pula mekanisme
Diplomasi Jalur Kedua (Track II Diplomacy) yaitu negosiasi secara informal
dimana pihak-pihak yang terlibat bukan merupakan wakil dari pemerintah.

Negosiasi Formal

Setelah memulihkan hubungan diplomatik bilateral dengan negara-negara


di Asia Tenggara pada tahun 1990-an, China kemudian mempersiapkan diri untuk
memasuki negosiasi multilateral dengan ASEAN. Inisiatif pertama kali dilakukan
oleh ASEAN dengan mengundang China sebagai tamu pada ASEAN Miniterial
Meeting (AMM) di Kuala Lumpur Malaysia pada bulan Juli 1991. Delegasi China
langsung dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Qian Qichen. Pada waktu yang
hamper bersamaan, China juga mengirim delegasi yang dipimpin Wang Yinfang
Direktur Asia Kementerian Luar Negeri yang dalam kapasitas pribadi menghadiri
negosiasi informal yang dikemas dalam acara Lokakarya Tahunan yang Kedua
“Managing Potential Conflict in The South China Sea” di Bandung yang
selanjutnya disebut Lokakarya. Sejak saat itu China melakukan negosiasi baik
formal maupun informal sekaligus dalam penyelesaian sengketa Laut China
Selatan.

Pada pertemuan AMM yang berlangsung di Kuala Lumpur tersebut, China


tidak dapat menghadiri ASEAN Post Ministerial Conference (ASEAN PMC)
karena China bukan sebagai mitra dialog ASEAN. Walaupun demikian, China
telah memberi sinyal bahwa ia akan bersedia menjadi mitra dialog ASEAN. Qian
Qinchen memberi indikasi bahwa Beijing memberi dukungan terhadap Zone of

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 9


Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan Nuclear Weapons Free Zone
(NWFZ) di wilayah Asia Tenggara. Sebagai hasil atas kesediaan ini, China
kemudian diundang Filipina untuk menghadiri AMM yang diselenggarakan di
Manila bulan Juli 1992.

Berkaitan dengan penarikan basis militer Amerika Serikat di Teluk Subic


pada akhir tahun 1992, China mengesahkan Undang-Undang Laut Teritorial dan
Zona yang berdekatan (Law on the Territorial Sea and the Contiguous Zone) di
bulan Februari serta menandatangani kontrak dengan perusahaan Crestone Energy
pada bulan Mei 1992 untuk pengeboran minyak dan gas di wilayah Laut China
Selatan. Pengesahan undang-undang dan penandatanganan kontrak kerja dengan
Crestone Energy membuat Qian sangat sibuk untuk menjelaskan kepada para
mitranya di ASEAN.

Dalam kunjungannya ke Brunei, ia menegaskan bahwa sengketa Laut


China Selatan harus dipecahkan melalui negosiasi damai. Ia menambahkan bahwa
isu Laut china Selatan dapat dikesampingkan sementara serta sengketa Laut China
Selatan sebaiknya tidak dijadikan isu internasional. Qian menegaskan lagi ketika
berkunjung ke Manila bahwa China sangat menerima pengembangan bersama
(joint development) di Laut China Selatan dengan mengesampingkan
persengketaan. China juga menegaskan bahwa Negara ini tidak mempunyai
intensi untuk mengisi kekosongan kekuasaan sepeninggal Amerika Serikat
maupun Uni Sovyet di Asia Tenggara ataupun memanfaatkan situasi yang
berubah ini untuk kepentingan pribadi negara yang bersangkutan.

Dalam pidato pembukaan di AMM, Presiden Fidel Ramos menekankan


bahwa usaha pencarian penyelesaian masalah di Kepulauan Spratly di laut China
Selatan tidak bisa ditunda lagi dan Manila akan mendorong ke forum internasional
untuk mendiskusikan isu tersebut. Walaupun demikian, sejumlah besar anggota
ASEAN enggan untuk mengantagoniskan Beijing. Jika Beijing merasa tersudut, ia
bisa memainkan “Kartu Kamboja” sehingga persoalan Kamboja yang dirintis
penyelesaiannya oleh Indonesia dapat berlarut-larut karena Beijing adalah pemain
utama di dalam persoalan Kamboja (Lee Lai To, 1999). Hasil maksimum dalam

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


10
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

negosiasi dalam pertemuan ini adalah terbitnya ASEAN Declaration on the South
China Sea.

Deklarasi ini memuat prinsip-prinsip umum dalam penyelesaian masalah


Laut China Selatan yang didasarkan dari pernyataan hasil Lokakarya di Bandung
tahun 1991 serta Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Patut dicatat pula
bahwa dalam negosiasi formal, China tampak tidak begitu siap untuk
mendiskusikan isu Laut China Selatan selain hanya mengklarifikasikan
keinginannya untuk memajukan kerjasama dan pengembangan bersama (joint
development) kawasan Laut China diantara negara-negara yang
mempersengketakan kawasan tersebut sambil mengesampingkan persoalan
kedaulatan.

Setelah mengumumkan ASEAN Declaration in the South China Sea, Qian


Qichen menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Filipina Roberto Romulo yang
kemudian menjadi Ketua Komite Tetap ASEAN bahwa prinsip-prinsip dalam
dokumen tersebut secara umum identik dengan posisi China. Hal ini berarti China
juga mendukung dokumen ASEAN tersebut. Dalam pertemuan para pejabat
senior dalam ASEAN PMC bulan Mei 1993, ASEAN setuju untuk memperluas
negosiasi keamanan dengan melibatkan negera-negara besar di kawasan Asia
Pasifik yang kemudian dikenal sebagai ASEAN Regional Forum (ARF). Ketua
sidang dalam pertemuan tersebut menegaskan :

“The continuing presence of the US, as well as stable relationship among


the US, Japan and China and other states of the region-wide would
contribute to regional stability. The prime object of a region-wide
cooperative security arrangement therefore would be to secure a
continuing US involvement in the Asia pacific and to address China’s
rising influence in the region” (Emmers, 2003).

Sebagai tamu yang menghadiri AMM ke-26 yang diselenggarakan di


Singapura pada Juli 1993, China merasa senang untuk berpartisipasi dalam dialog
regional dengan ASEAN. Qian Qichen menyatakan bahwa : “China does not seek
hegemony today, and it will not seek hegemony even when it becomes strong and
developed in the future” (Lee Lai To, 1999). Ia juga menjamin bahwa China tidak

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


11
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

akan pernah menjadi ancaman, baik secara riil maupun potensial terhadap negara
lain. Pada pertemuan pertama ARF tahun 1994 diputuskan bahwa Taiwan tidak
termasuk dalam patner dialog ARF. Menteri Luar Negeri Thailand sebagai ketua
ARF pertama menyatakan bahwa ASEAN menolak saran Amerika Serikat untuk
mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam forum ini.

Setelah insiden di Mischief Reef, China mengalami kesulitan untuk


menghentikan diskusi issue Laut China Selatan dalam ARF. Walaupun China
mencoba menegaskan kembali kepada Amerika Serikat ketika Qian Qichen
berkunjung ke New York bulan April 1995 bahwa China tidak mempunyai
keinginan menggunakan sarana militer untuk menyelesaikan persengketaan di
Kepulauan Spratly, Amerika Serikat bahkan mendorong ASEAN untuk
mendiskusikan isu ini lebih lanjut di Brunei bulan Agustus 1995 di pertemuan
ARF ke 2.

Filipina sebagai negara yang paling berkepentingan dalam insiden


Mischief Reef menyiapkan proposal untuk menginternasionalkan isu Laut China
Selatan, tetapi ditolak oleh anggota ASEAN lainnya karena sensivitas terhadap
China. Sebagai kompromi keinginan Filipina, para peserta dapat mengemukakan
idenya secara bebas pada pertemuan SOM bulan Juli 1995 sebelum dimulainya
pertemuan ARF. Secara jelas ASEAN lebih suka untuk tidak terlalu mengambil
posisi konfrontatif terhadap China dalam ARF, tetapi lebih berkonsentrasi
terhadap pembentukan rasa saling percaya (Confident Building Measures/CBMs),
diplomasi preventif dan penyelesaian konflik dalam arti luas.

Akhirnya, dalam laporan ketua sidang ARF pada bulan Agustus 1995
menyebutkan secara spesifik konlik Laut China Selatan pertama kali dalam ARF.
Dinyatakan bahwa para menteri luar negeri ARF mengekspresikan
keprihatinannya terhadap saling tumpang tindih kedaulatan di wilayah tersebut.
Para menteri luar negeri mendorong para peserta sengketa untuk menegaskan
kembali komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip yang relevan dalam hukum
internasional maupun UNCLOS dan deklarasi ASEAN tahun 1992 tentang Laut
China Selatan. Pada sisi lain, ketika Qian Qichen tiba di Brunei untuk pertemuan

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


12
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

ARF, ia menegaskan bahwa China siap untuk bekerjasama dengan negara yang
berkepentingan untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi damai
berdasarkan hukum internasional maupun aturan-aturan lain yang relevan dalam
UNCLOS.

Berkaitan dengan memajukan CBMs, Beijing mengumumkan publikasi


yang pertama tentang buku putih persenjataan pada bulan November 1995.
Kemudian pada bulan Mei 1996 China meratifikasi UNCLOS sehingga menjadi
basis legal untuk penyelesaian sengketa Laut China Selatan serta dasar untuk
menarik garis batas pantai beserta dasar lautnya maupun batas Kepulauan Paracel
menurut intepretasi China terhadap UNCLOS. Langkah China ke depan
mengindikasikan bahwa ia serius untuk menciptakan hubungan bertetangga secara
damai di kawasan Asia Pasifik.

Pada pertemuan ketiga ARF yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan


Juli 1996, Laut China Selatan masih disebut sebagai salah satu masalah keamanan
yang aktual. Ali Alatas, Menteri Luar Negeri Indonesia sebagai tuan rumah dan
ketua sidang, menyampaikan bahwa kawasan Asia Pasifik masih mempunyai
problem aktual keamanan termasuk sengketa wilayah yang belum terselesaikan
maupun klaim kedaulatan yang tumpang tindih. Dalam pertemuan tersebut juga
disebutkan pentingnya kode etik tingkah laku (code of conduct) di kawasan Laut
China Selatan.

Dalam rangka untuk mencitrakan bahwa China adalah negara yang


friendly dengan negara-negara ASEAN, ketika tahun 1997 terjadi krisis finansial
yang melanda ASEAN, China dan ASEAN sepakat untuk mendirikan China-
ASEAN Join Cooperation Committee (JCC). Untuk memfasilitasi JCC, China
menyediakan dana US$ 700,000. Setelah krisis moneter tahun 1997-1998,
negosiasi Laut China Selatan diintensifkan terutama dalam menyusun code of
conduct. ASEAN menugaskan Filipina dan Vietnam untuk menyusun formulasi
sebuah code of conduct yang didasarkan pada pengalaman mereka dalam
membuat code of conduct dengan China. Atas nama ASEAN pada Agustus 1999
Manila mempresentasikan draft code of conduct.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


13
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Pada pertemuan informal tingkat tinggi di Manila pada November 1999,


China menolak draft yang dibuat Manila, tetapi setuju untuk menggelar diskusi
lebih lanjut. Ada dua hal yang kontroversial yang terkandung dalam draft code of
conduct. Pertama, apakah code ini akan mengikat anggota secara legal ataukah
hanya semacam deklarasi politik. Kedua, ketidak-setujuan tentang bagaimana cara
untuk menentukan area geografis. China membatasi area persengketaan hanya
pada Kepulauan Sprtaly. Sedangkam Vietnam menentang dan mengusulkan
Kepulauan Paracel juga termasuk dalam code ini.

Untuk mengakomodasikan dua pandangan yang berbeda, konsultasi


informal ASEAN-China untuk membicarakan masalah Laut China Selatan
diselenggarakan di Thailand Maret 2000. Kedua belah pihak menyepakati tiga
prinsip. Pertama, sepakat untuk mendorong penyelesaian sengketa secara damai
tanpa menggunakan sarana militer ataupun kekerasan. Kedua, kedua belah pihak
setuju untuk mempelajari kemungkinan melakukan proyek bersama di kawasan
ini seperti proteksi lingkungan laut, kerja sama SAR, riset kelautan, komunikasi
dan navigasi yang aman dan perlawanan terhadap kriminal trans-nasional. Ketiga,
setuju untuk menggunakan prinsip-prinsip yang sudah dikenal secara universal
dalam hukum internasional termasuk UNCLOS.

Walaupun demikian masih terdapat perbedaan pandangan antara kedua


belah pihak. Pertama, China menegaskan bahwa code ini hanya berlaku di
Kepulauan Spratly sedangkan ASEAN menginginkan code ini diberlakukan di
Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. China berpendapat sengketa yang
berkaitan dengan Kepulauan Paracel akan diselesaikan antara China dan Vietnam
secara bilateral. Kedua, dalam draft ASEAN terdapat perintah untuk melarang
mendirikan bangunan di pulau yang tak berpenghuni, karang ataupun di tempat-
tempat yang menjadi sengketa. Sementara itu, versi China tidak menyebutkan hal
ini.

Ketiga, China meminta pihak-pihak yang bersengketa untuk tidak


menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan termasuk penangkapan
kapal-kapal ikan atau kapal-kapal sipil di kawasan sengketa. Sedangkan versi

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


14
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

ASEAN hanya mengusulkan penggunaan ukuran-ukuran yang adil dan bersifat


humanis. Keempat, ASEAN meminta pihak-pihak yang bersengketa
menginformasikan secara sukarela kepada pihak lain tentang kebijakan yang
dilakukan sekiranya berpengaruh terhadap kawasan sengketa; sedangkan versi
China tidak menyebutkan hal ini. Kelima, semua pihak diminta untuk menahan
diri untuk tidak melakukan latihan militer maupun pengintaian militer di
kepulauan Spratly. China juga menginginkan semua patrol militer harus dibatasi
di dalam kawasan sengketa, sementara versi ASEAN tidak menyebutkan hal ini
(Chin Yoon Chin, 2003)

Dalam menyiapkan code of conduct memakan waktu yang lama.


Pertemuan-pertemuan konsultasi China-ASEAN secara serial digelar diberbagai
tempat antara lain Malaysia pada bulan Mei 2000, di China Agustus 2000, di
Vietnam Oktober 2000, di Brunai Juli 2002. Akhirnya pada November 2002 di
Phnom Penh Kamboja, Declaration on the Conduct of Parties in the South China
Sea di tanda-tangani antara ASEAN dan China. Walaupun deklarasi ini tidak
mengikat, hal ini adalah upaya maksimum yang dilakukan oleh kedua pihak untuk
menyelesaikan persengketaan di Laut China Selatan. Disebutkan pula bahwa
kedua belah pihak sepakat untuk bekerja bersama secara multilateral. Patut dicatat
pada Oktober 2003 China menandatangani TAC sebagai aturan dasar hubungan
antar Negara di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, jalan untuk
menyelesaikan sengketa secara permanen menjadi semakin terbuka.

Negosiasi Informal

Negosiasi informal atau biasa disebut Track II Diplomacy adalah negosiasi


nonkedinasan terhadap suatu masalah dan dilakukan oleh organisasi non
pemerintah. Peserta dalam negosiasi ini hadir dalam kapasitas personal tanpa
melihat tingkat status kedinasan. Oleh karena itu, peserta dapat secara bebas
mengutarakan pendapatnya. Mekanisme Track II Diplomacy ini biasanya
membantu negosiasi formal yang bersifat alot dan berhati-hati. Contoh Track II
Diplomacy dalam kasus sengketa Laut China Selatan adalah Lokakarya

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


15
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

“Managing Potential Conflicts in the South China Sea” yang diselenggarakan


secara tahunan. Lokakarya ini diselenggarakan atas inisiatif Indonesia di bawah
pimpinan Duta Besar Hasjim Djalal dan Profesor Ian Townsend Gault dari
Canada. Lokakarya berlangsung dari tahun 1990 dan disponsori oleh Canadian
Development Agency (CIDA).

Proses Lokakarya bergerak dari persoalan-persoalan mudah ke persoalan-


persoalan rumit, dari jumlah peserta yang sedikit ke jumlah peserta yang banyak.
Menurut Hasjim Djalal, lokakarya ini mempunyai dua tujuan. Pertama, adalah
mengelola konflik yang potensial dengan mencari sesuatu yang semua pihak dapat
bekerja sama. Kedua, mengembangkan ukuran-ukuran kepercayaan (confidence-
building measures/CBMs) sehingga berbagai pihak peserta sengketa dapat merasa
nyaman dan kemudian dapat menciptakan atmosfir yang kondusif untuk
menyelesaikan sengketa (Djalal, 2000).

Semua peserta dari ASEAN hadir pada lokakarya pertama di Bali tahun
1990. Tujuan lokakarya pertama ini adalah membangun landasan mekanisme
kerja untuk lokakarya selanjutnya. Pada lokakarya ke-2 di Bandung 1991
diundang semua peserta sengketa termasuk Vietnam, China dan Taiwan.
Lokakarya mulai membahas hal-hal yang mudah dan tidak menyentuh hal-hal
yang sensitif seperti klaim wilayah dan kedaulatan. Pada awalnya peserta
berdiskusi dan mengidentifikasi berbagai wilayah yang kemungkinan dapat
dilakukan kerja sama. Kemudian berbagai topik tersebut ditempatkan ke dalam
beberapa kategori seperti proteksi lingkungan laut, alur pelayaran yang aman dan
sebagainya.

Setelah lokakarya ke-2 di Bandung tahun 1991 dan yang ke-3 di


Yogyakarta tahun 1992, peserta mulai mengarah kepada kongkritisasi dan
mewujudkan gagasannya. Kemudian pada lokakarya di Surabaya 1993 telah
didentifikasi berbagai topik yang sekiranya dapat dikerjasamakan. Berbagai
Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group/ TWG) dibentuk antara lain :
TWG di bidang riset ilmiah kelautan, TWG penilaian sumber daya, TWG proteksi

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


16
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

lingkungan laut, TWG persoalan hukum dan TWG keamanan pelayaran, navigasi
dan komunikasi.

Pada lokakarya ke-4 di Bukittinggi tahun 1994, peserta menyetujui


proposal TWG riset ilmiah kelautan untuk dilaksanakan kerjasama penelitian di
bidang keragaman hayati di Laut China Selatan. Dua proyek lagi bernama
kerjasama studi permukaan laut dan monitoring pasang naik di Laut China Selatan
dalam konteks perubahan iklim global serta pengembangan basis data, pertukaran
informasi dan sinergi para ilmuwan disetujui di Lokakarya ke-6 di Balikpapan
tahun 1995,

Sebagaimana telah disinggung di depan, Diplomasi Jalur II dapat


membantu mekanisme Diplomasi Jalur I. Rekomendasi lokakarya ke-2 di
Bandung telah diadopsi dan diformulasikan kembali kembali di AMM di Manila
tahun 1992 menjadi ASEAN Declaration on the South China Sea. Lokakarya juga
dapat menunjukkan bahwa China dan Taiwan dapat bekerja bersama untuk
mencari jalan terbaik guna penyelesaian sengketa Laut China Selatan.

Sebelum lokakarya, China dan Taiwan bekerja bersama ketika gesekan


militer di Laut China Selatan muncul antara China dan Vietnam tahun 1988.
Pasukan Taiwan yang berada di Pulau Itu Aba memberi suplai air bersih kepada
tentara China selama gesekan militer terjadi. Namun sayang sekali, kerja sama
China dan Taiwan menurun pada tahun 1995-1996 karena kunjungan Presiden
Taiwan Lee Tenghui ke Amerika Serikat sehingga menimbulkan ketegangan
hubungan di Selat Taiwan.

Proses berjalannya lokakarya juga menghadapi banyak halangan, terutama


dalam mengimplementasikan hasil lokakarya. Pemerintah para peserta lokakarya
kadangkala tidak mampu mengadopsi hasil lokakarya menjadi kebijakan resmi.
Oleh karena itu, beberapa proyek sudah disetujui tidak dapat dibiayai oleh
pemerintah dan karena itu sudah barang tentu proyek tersebut tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


17
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Kesimpulan

Laut China Selatan terletak pada jalur pelayaran yang sangat strategis,
mempunyai stok ikan yang melimpah, dan mempunyai ekosistem terunik di dunia.
Di laut ini pula terkandung deposit minyak dan gas yang sangat besar. Kedaulatan
di kawasan ini serta batas-batas jurisdiksi kelautan baik secara keseluruhan
maupun secara sebagaian oleh China Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan
Brunei. Klaim yang tumpang tindih semakin meningkat selama terjadi krisis
minyak tahun 1973 dan berlakunya UNCLOS secara efektif menyebabkan
munculnya konflik dan gesekan militer diantara mereka yang bersengketa. Oleh
karena itu Laut China Selatan merupakan salah satu area panas di dunia.

China dengan dilandasi dengan argumen yang kuat dalam mengklaim Laut
China Selatan berusaha secara sungguh-sungguh memelihara kedaulatanya. China
selalu mengatakan bahwa klaim-nya atas Laut China Selatan tidak terbantahkan
dan tidak dapat diganggu gugat. Walaupun demikian, kebijakan China atas
kawasan ini banyak dinilai kurang konsisten. Dalam satu sisi China menawarkan
cara penyelesaian sengketa dengan jalan damai, namun pada sisi lain China
menggunakan kekuatannya untuk menguasai beberapa pulau di kawasan Laut
China Selatan. Ketidak-konsistenan ini merupakan hasil dari pertarungan orientasi
politik para elit yang ada dipemerintahan yaitu kelompok garis keras (kelompok
nasionalis) dan kelompok garis lunak (kelompok modernis).

Bersama-sama dengan ASEAN sebagai sebuah institusi, China mencari


cara penyelesaian dengan berpartisipasi dalam negosiasi melalui diplomasi jalur I
(jalur formal) maupun melalui negosiasi jalur II (jalur informal). Hasil maksimum
proses negosiasi, baik melalui jalur formal maupun informal adalah disepakatinya
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea. Selain itu, ukuran
saling percaya diri (confidence building measures) diantara peserta sengketa juga
sudah mulai terbangun. Meskipun demikian, tumpang tindih jurisdiksi maupun
kedaulatan sebagai sumber konflik di Laut China Selatan masih tetap ada dan
belum terpecahkan.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


18
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

Hasil negosiasi yang utama, meskipun sumber masalah masih tetap belum
terpecahkan, adalah mampu menekan eskalasi konflik sejak adanya Declaration
on the Conduct of Parties in the South China Sea. Para peserta sengketa
menyepakati bahwa sengketa tidak dapat menghancurkan pengembangan
hubungan yang bersahabat dan jalinan kerjasama. Hubungan baik antara China
dan peserta sengketa lainnya, terutama hubungannya dengan ASEAN adalah jauh
lebih penting daripada esensi sengketa di Laut China Selatan.

Daftar Pustaka
Amer, Ramses. (2002). “Claims and Conflict Situations” in Timo Kivimaki, (ed),
War or Peace in The South China Sea?, Copenhagen: NIAS Press.
Bercovitch, Jacob and Jackson, Richard. (2001). “Negotiation or Mediation?: An
Exploration of Factors Affecting the Choice of Conflict Management in
International Conflict”, Negotiation Journal; Vol. 17, No. 1.
Berridge, G.R. (1995). Diplomacy: Theory and Practice, Harvester Wheatsheaf,
London: Prentice-Hall.
Bolewski, Wilfried. (2007). Diplomacy and International Law in Globalized
Relations. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag.
Chin, Yoon Chin. (2003). Potential for Conflict in The Spratly Islands,
http://www.ccc.nps.navy.mil/research/theses/Chin03.pdf.
Constantinou, C. M. (1996). On the Way to Diplomacy, Minneapollis: University
of Minnesota Press.
Department of Policy Planning, Ministry of Foreign Affairs, People’s Republic of
China. (2003). China’s Foreign Affairs: 2003 Edition, Beijing: World
Affairs Press.
Djalal, Hasjim. (2000). South China Sea Island Dispute,
http://rmbr.nus.edu.sg/exanambas/rbzs8-scs/djalal.html.
Emmers, Ralf. (2003). Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN
and the ARF, London and New York: RoutledgeCurzon.
_______ (2007). The De-escalation of the Spratly Dispute in Sino – Southeast
Asian Relations, Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies,
diakses dari
http://www.idss.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP129.pdf tanggal 15
Maret 2009.
James, A. (1980). “Diplomacy and International Society”, dalam International
Relations, Vol. 6.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


19
Ign. Agung Satyawan : Komunikasi Negosiasi China terhadap …

To, Lee Lai. (1999). China and the South China Sea Dialogues, London: Praeger.
Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, Historical
Evidence To Support China's Sovereignty over Nansha Islands, available at
http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19231.htm.

_____ International Recognition Of China's Sovereignty over the Nansha Islands,


available at http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19232.htm

_____ Jurisprudential Evidence To Support China's Sovereignty over the Nansha


Islands, available at http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/3754/t19234.htm

Stearns, M. (1996). Talking to Strangers: Improving American Diplomacy at


Home and Abroad, Princeton-New Jersey: Princeton University Press.
Stenseth, Leni. Nationalism and Foreign Policy: The Case of China’s Nansha
Rhetoric, diakses dari
http://www.prio.nno/research/asiasecurity/Publications/pdf/Stenseth_thesis.
pdf tanggal 10 Maret 2009
Watson, A. (1982). Diplomacy: The Dialogue Between States, London: Eyre
Methuen.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010


20

You might also like