You are on page 1of 115

KARAKTERISTIK MINYAK IKAN

DARI LIMBAH PENGOLAHAN FILET


IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)

EMA HASTARINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Minyak Ikan


dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)
dan Patin Jambal (Pangasius djambal) adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Ema Hastarini
F 261070081
ABSTRACT

EMA HASTARINI. Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet


Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius
djambal). Under the direction of DEDI FARDIAZ, HARI EKO IRIANTO and
SLAMET BUDIJANTO.

Patin (Pangasius sp) which is the common name is catfish, has been well-
known as a highly economic freshwater fish in Indonesia. Its high lipid content
considered as source of unsaturated fatty acids including omega-3 which brings
advantages for human health. This research project aims to obtain physico-
chemical characteristics of the purified oil derived from the waste of Siam
(Pangasius hypothalamus) and Jambal (Pangasius djambal) catfish fillet
production, particularly on its fatty acids and glycerides profile. The project had
been done in stages including raw material (waste from catfish fillet processing)
characterization, oil extraction, oil purification, and purified oil characterization.
Fish oil extraction is conducted by using a modified wet rendering method. During
the catfish fillet processing, besides of getting the flesh-fillet as the main product,
it remains also the other parts of fish (waste) that can be classified into 6
components i.e. head, spin-fin, skin, belly flap, trimmed flesh, and viscera. The
head, belly flap, and viscera are considered to be the potential parts using for raw
material in fish oil production that could yield the crude oil of 9.84%, 28.52%, and
20.34%, respectively derived from Siam, while 9,54%, 25,60% dan 30,05%
derived from Jambal catfish. Fatty acids profile derived from both Siam and
Jambal catfish showed that the palmitic and oleic acids are the major
components. The percentage of long chain unsaturated fatty acid showed a
higher amount of the total lipid, that were 53.24%, 54.38%, 52.74% respectively
derived from head, belly flap, and viscera of Siam, and 62.70%, 62.92%, 61.97%
derived from Jambal catfish. Even though only in small amount, Omega-3 fatty
acids i.e. linoleic, EPA and DHA were detected in this experiment from both
species. The typical result of FTIR spectrum profile were obtained. Nevertheless,
in the range of 3050 – 2800 cm-1 representing the unsaturated fatty acids, FTIR
absorbance on Jambal catfish showed a bigger and more sharply spectrum.
Glycerides profile resulted 19 types of TAG in both spesies. According to the
standard, 11 types of TGA were identified, which are OLO, PLO, PLP, OOO,
POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS and LaPP/MMP, respectively based on ECN
and retention time. Hydrolysis using lipase enzyme from mold Thermomyces
lanuginosa could specifically hydrolyze the position of sn-1 and sn-3 of TAG into
DAG and MAG. DSC results demonstrated the 3 zones of melting point of Siam
catfish oil, i.e range of (-30) – (-16) C, range of (-16) – 25 C, and range of 25 –
46 C. While in Jambal catfish oil, it was earlier detected, i.e. at -34 C at the range
up to 40 C.

Key words : Pangasius hypopthalmus, Pangasius djambal, extraction, fish oil,


fatty acids profile, glycerides profile.
RINGKASAN

EMA HASTARINI. Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet


Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius
djambal) dibawah bimbingan DEDI FARDIAZ, HARI EKO IRIANTO dan
SLAMET BUDIJANTO.

Ikan Patin memiliki kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber
asam lemak tidak jenuh termasuk asam lemak omega 3 yang memiliki fungsi
positif bagi kesehatan manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan
ekstraksi, memurnikan dan mengkarakterisasi minyak ikan dari limbah
pengolahan fillet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Jambal
(Pangasius djambal) terutama mengenai profil asam lemak dan profil gliserida
pada minyak ikan patin.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi karakterisasi
bahan baku limbah filet ikan patin, ekstraksi minyak ikan, pemurnian minyak ikan
dan karakterisasi minyak ikan murni. Ekstraksi minyak ikan yang digunakan
menggunakan metode wet rendering (Sathivel et al. 2008 yang dimodifikasi).
Tahap pemurnian minyak yang dilakukan adalah proses pemucatan yang
dikombinasikan dengan pemanasan dan pengadukan. Setelah melalui tahap
pemurnian, minyak ikan patin murni yang didapatkan kemudian disimpan
didalam botol gelap dan disimpan pada suhu -18 ºC hingga dianalisa.
Pada proses pengolahan filet ikan patin, selain daging filet sebagai hasil
utama, didapatkan bagian tubuh lainnya sebagai sisa ataupun limbah sebanyak
enam (6) bagian. Keenam bagian limbah tersebut meliputi kepala, tulang-ekor
(bagian tulang badan yang bersambungan dengan ekor), kulit, daging belly flap
(daging pada bagian perut), daging sisa trimming (daging sisa perapian filet) dan
isi perut. Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin berkisar antara 2.72%
hingga 35.32%. Bagian yang terendah kadar lemaknya adalah daging fillet
skinless yaitu 2.72% untuk ikan patin Siam dan 2.89% untuk Jambal dan bagian
yang tertinggi yaitu daging belly flap sebesar 36.21% untuk patin Siam dan
36.50% untuk patin Jambal. Bagian limbah yang didapatkan digunakan sebagai
bahan baku kemudian diekstraksi minyaknya menggunakan metode wet
rendering yang dimodifikasi.
Bagian kepala, daging belly flap dan isi perut merupakan bagian yang
potensial digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak ikan dengan
rendemen minyak ikan kasar yang dihasilkan berturut – turut sebesar 9,84%,
28,52% dan 20,34% untuk ikan patin Siam dan 9,54%, 25,60% dan 30,05%
untuk ikan patin Jambal.
Profil asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis Siam maupun
Jambal menunjukkan bahwa asam lemak dominan adalah asam palmitat dan
oleat. Persentase kelompok asam lemak tak jenuh rantai panjang memiliki
jumlah yang lebih tinggi secara total keseluruhan yaitu sebesar 53.24%, 54.38%,
52.74%dan 62.70%, 62.92%, 61.97% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam
dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Asam lemak omega 3
yaitu linolenat, EPA dan DHA terdeteksi pada penelitian ini baik minyak ikan dari
limbah ikan Patin jenis Siam maupun Jambal. Kandungan asam lemak omega 3
minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin Siam lebih rendah
dibandingkan dengan dari ikan patin Jambal yaitu 53.24%, 54.38%, 52.74%dan
3.35%, 3.15%, 2.95% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal
bagian kepala, daging belly flap dan isi perut.
Hasil analisa angka asam lemak bebas yang menyatakan kerusakan awal
minyak terdeteksi sangat rendah pada minyak ikan patin baik Siam maupun
Jambal pada semua perlakuan yaitu berkisar antara 0.22 – 0.84%. Hal ini
menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang dihasilkan masih memiliki mutu
yang bagus. Berkaitan pula dengan masih rendahnya angka peroksida yang
didapatkan yang menunjukkan nilai maksimal sebesar 3.93 meq/kg untuk minyak
ikan patin Siam pada bagian isi perut dan 7.77 meq/kg untuk minyak ikan patin
Jambal juga pada bagian isi perut. Berdasarkan standar minyak ikan yang
ditetapkan International Association of Fish Meal Manufacturers untuk angka
peroksida sebesar 3-20 meq/kg dan kadar asam lemak bebas dibawah 7%
sehingga minyak ikan patin murni yang dihasilkan masih masuk dalam standar
minyak ikan yang ditetapkan. Angka iod dari minyak ikan patin Jambal lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan
dikarenakan kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Jambal
lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam.
Profil spektra FTIR minyak ikan patin Siam dan yang berasal dari minyak
ikan patin Jambal, khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 penyerapan FTIR
pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam. Spektra pada wilayah
tersebut menggambarkan adanya kandungan asam lemak tidak jenuh pada
minyak ikan patin Siam maupun Jambal.
Sistem NARP-HPLC dalam penelitian ini menggunakan HPLC fase
terbalik (reversed-phase) dengan kolom C-18, panjang 25 cm dan diameter 4.6
mm, dengan fase bergerak campuran aseton-asetonitril (85:15) dengan
kecepatan elusi 0.8 ml per menit dan detektor RID, beberapa jenis TGA dalam
minyak ikan patin Siam dan Jambal dapat dipisahkan dengan baik. Profil
gliserida menghasilkan 19 jenis TAG baik pada minyak ikan limbah patin Siam
maupun Jambal. Berdasarkan standar, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis
TGA, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya adalah OLO, PLO, PLP,
OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPP/MMP.
Hidrolisis menggunakan enzim lipase yang diperoleh dari kapang
Thermomyces lanuginosa mampu menghidrolisis secara spesifik posisi sn-1 dan
sn-3 dari TAG menjadi DAG dan MAG. Pola hidrolisis yang terjadi hampir sama
di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam,
pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO
dan POP.
Hasil Analisa DSC menunjukkan bahwa terdapat tiga zona titik pencairan
minyak pada patin Siam yaitu – 30 sampai – 16 oC, kisaran suhu – 16 sampai 25
o
C, dan kisaran suhu 15 sampai 46 oC. Sedangkan pada patin Jambal, titik cair
terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai
dengan 40 oC.

Kata kunci : Pangasius hypopthalmus, Pangasius djambal, ekstraksi, minyak


ikan, profil asam lemak, profil gliserida
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK MINYAK IKAN
DARI LIMBAH PENGOLAHAN FILET
IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)

EMA HASTARINI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

Dr. Nancy Dewi Yuliana, MSc


Dr. Wini Trilaksani, MSc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS


Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc
Judul Disertasi : Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet
Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan
Patin Jambal (Pangasius djambal)

Nama : Ema Hastarini

NRP : F 261070081

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, M.Sc Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr.
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Pangan

Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 13 Agustus 2012 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
disertasi ini. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktoral pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan, saran, arahan, dukungan dan semangat
selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto selaku anggota komisi pembimbing yang
telah membimbing dan memberikan dukungan bagi pelaksanaan penelitian
3. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku anggota komisi pembimbing yang
juga telah membimbing dan mengarahkan bagi pelaksanaan penelitian
4. Ibu Dr. Nancy Dewi Yuliana, MSc dan Dr. Wini Trilaksani, MSc selaku penguji
luar komisi pada sidang tertutup atas masukan dan sarannya
5. Ibu Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS dan bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno
Hariyadi, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka atas saran,
masukkan dan kritikan yang membangun demi sempurnanya karya ilmiah ini
5. Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan atas beasiswa yang telah
diberikan
6. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Biotek Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) yang telah memberikan ijin untuk
melanjutkan program studi Doktoral
7. Teman – teman dan sahabat – sahabatku.. Yeni, Diah Ayu, Yanti, Devi, Ida,
Didi, Wawan, Bakti atas persahabatan yang luar biasa, kebersamaan dan
dorongan semangat serta bantuannya selama penelitian berlangsung
8. Kakelti dan rekan-rekan di Kelti Pengolahan Produk, Lab pengolahan dan
sensori (pak Sahid, Hasta, Ika dan pak Yayat), Lab. Kimia (Indra dan pak Iim)
dan Lab. Bioteknologi (Maya, Asri, Gintung) BBPP4KP atas bantuan dan
kerjasamanya selama penelitian.
7. Teman - teman IPN IPB: Mba Rini, Pak Mursalin, Arif, Inneke, bu Elvira, mbak
Wulan, pak Rahman atas bantuan, dan kerjasamanya.
8. Ayahanda Suwardi (alm) dan ibunda Wiryatmi, atas kasih sayang, dorongan
moril dan materiil, pengorbanan dan kesabarannya dalam mendukung penulis
menyelesaikan pendidikan serta ibu mertua yang senantiasa mendoakan penulis
demi kelancaran dalam menempuh pendidikan ini.
9. Kakak – kakak tersayang di Jakarta, Semarang dan Yogya serta Makassar
yang senantiasa memberikan support tak henti – hentinya dan doa demi
keberhasilan penulis menyelesaikan karya ilmiah ini
10. Semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan pendidikan dan
penelitian ini semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.

Secara khusus dan terimakasih yang sedalam-dalamnya tak lupa penulis


haturkan kepada suami tercinta Gusran Wasirnur dan ananda tersayang
Rajendra Gama Khosyirio atas kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, motivasi
dan hiburannya dalam menemani penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Bogor, Juli 2012

Ema Hastarini
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 20 Agustus 1973 dari Ayah


Suwardi (alm) dan Ibu Wiryatmi yang merupakan anak kedelapan dari delapan
bersaudara.
Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Jurusan
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Pada
tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan S-2 ke Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada melalui program beasiswa URGE,
Dikti. Penulis melanjutkan studi program Doktoral pada tahun 2007 di Program
Studi Ilmu Pangan, Departemen ITP, Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor melalui program beasiswa Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 2002 sampai
sekarang sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-Balitbang KP-
Kementrian Kelautan Perikanan dan bergabung dengan kelompok peneliti bidang
pengolahan produk Kelautan dan Perikanan. Peneliti telah melakukan beberapa
penelitian di bidang pengolahan produk antara lain kandungan asam lemak
omega 3 pada makro dan mikroalga, diversifikasi produk udang dan ikan air
tawar, pengembangan teknologi pengolahan filet dan produk – produk berbasis
surimi dan saat ini sedang melakukan penelitian dengan topik karakteristik
minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin. Publikasi penelitian yang
terkait penelitian disertasi dengan judul Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah
Pengolahan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Jambal (Pangasius
djambal) telah diterima di jurnal Agritech, Universitas Gadjah Mada dan akan
diterbitkan pada bulan November 2012.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Tujuan ......................................................................................................... 3
Manfaat ....................................................................................................... 4
Hipotesis ...................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Patin (Pangasius sp) ............................................................................ 5
Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp) ......................................... 7
Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp) ...................................... 10
Lemak dan Minyak ..................................................................................... 12
Minyak Ikan .............................................................................................. 13
Pemurnian Minyak Ikan ............................................................................. 14
Karakterisasi Minyak Ikan ......................................................................... 16
Asam Lemak .............................................................................................. 18
Asam Lemak Omega 3 .............................................................................. 20
Komposisi dan Distribusi Asam Lemak pada Trigliserida ........................... 22
Peranan dan Manfaat Nutrisi Lemak berdasarkan
Komposisi Asam Lemak ........................................................................... 24
Manfaat Minyak Ikan dalam Bidang Pangan dan Kesehatan ..................... 25
Aplikasi Minyak Ikan pada Produk Pangan ............................................... 27

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat .................................................................................... 28
Bahan ........................................................................................................ 28
Alat .................................................................................................. 28
METODE ................................................................................................... 28
Tahap I: Karakterisasi Bahan Baku Limbah Fillet Ikan Patin ...................... 29
Tahap II: Ekstraksi Minyak Ikan ................................................................. 30
Tahap III. Pemurnian Minyak Ikan.............................................................. 32
Tahap IV: Karakterisasi Minyak Ikan Patin Murni ....................................... 32
PROSEDUR ANALISIS ............................................................................. 33
Kadar lemak .............................................................................................. 33
Kadar iodine .............................................................................................. 33
Angka Asam ............................................................................................ 34
Bilangan penyabunan ................................................................................ 34
Bilangan Peroksida .................................................................................... 34
Profil asam lemak ..................................................................................... 35
Analisa gugus fungsi……………………………………………………………36
Penentuan Profil Gliserida............................................................................37
Warna............................................................................................................37
Viskositas......................................................................................................38
Titik leleh (Melting Point) dengan alat DSC ................................................ 38
Analisis Data .............................................................................................. 38

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Bahan Baku Ikan Patin ..............................................................39
Proses Pemfiletan Ikan Patin .....................................................................41
Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin ...........................................................43
Kadar Lemak Limbah Ikan Patin ................................................................46
Profil Asam Lemak Minyak Limbah Ikan Patin ...........................................47
Pemurnian Minyak Ikan Patin ....................................................................52
Karakteristik Minyak Ikan Patin ..................................................................53
Karakteristik Kimia Minyak Ikan Patin ........................................................54
Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin ................................................55
Profil Spektra FTIR Minyak Ikan Patin ................................................57
Profil Gliserida Minyak Ikan Patin ........................................................60
Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin ................................................63
Karakteristik Fisik Minyak Ikan Patin ...........................................................65
Warna Minyak Ikan Patin ....................................................................65
Viskositas Minyak Ikan Patin ...............................................................66
Karakteristik Termal Minyak Ikan Patin ......................................................67
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 72
Simpulan.................................................................................................... 72
Saran ......................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74


DAFTAR TABEL

Halaman
1. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama ........................... 8
2. Kandungan Lemak, Protein dan Kadar Air bagian-bagian Limbah
catfish ......................................................................................................... 12
3. Profil dan Komposisi Asam Lemak Catfish dari bagian – bagian
limbah yang berbeda .................................................................................. 19
4. Perbandingan Profil Asam Lemak Isi perut Catfish dengan Daging
Fillet Beberapa Jenis Ikan Lainnya ............................................................. 20
5. Jumlah Maksimum Penggunaan Ingredien Pangan Omega pure ............... 26
6. Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin .............................................................. 44
7. Kadar Lemak Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin Siam dan Jambal ............ 47
8. Profil Asam Lemak dari Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin Siam
dan Jambal ................................................................................................. 49
9. Rendemen Minyak Ikan Patin Murni ........................................................... 53
10. Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Murni .............................................. 54
11. Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Murni ................... 56
12. Korelasi pola FTIR minyak ikan Patin Siam dan Jambal dibandingkan
dengan Minyak Ikan MaxEPA (Jun, 2009) ................................................. 59
13. Jenis TAG yang Teridentifikasi...................................................... ............... 62
14. Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin oleh Lipase (Lipozyme TL IM)

setelah Hidrolisis selama 12, 18, dan 48 jam pada Inkubasi Suhu
55 oC .......................................................................................................... 64
15. Hasil Analisa Warna Minyak Ikan Patin ....................................................... 65
16. Viskositas Minyak Ikan Patin Murni ............................................................. 67
17. Perbandingan Minyak Ikan Patin dari bagian isi perut berdasarkan
nilai viskositas, angka iod dan kandungan asam lemak tidak jenuh ............ 67
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam) .............................................. 5
2. Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia ........................................................... 9
3. Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp) ...................................... 11
4. Trigliserida .................................................................................................. 13
5. Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari Catfish
Visceral Oil ................................................................................................. 16
6. Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA ................... 17
7. Struktur EPA dan DHA................................................................................ 20
8. Struktur Trigliserida ..................................................................................... 23
9. Tahapan Umum Penelitian ......................................................................... 29
10. Diagam alir proses ekstraksi minyak ikan patin ........................................... 31
11. Bahan Baku Ikan Patin (a) Siam (b) Jambal ............................................... 39
12. Proses Pemfiletan Ikan Patin ...................................................................... 42
13. Ektraksi minyak Ikan Patin pada Suhu 70 ºC .............................................. 48
14. Rendemen Minyak Ikan Kasar Ikan Patin Siam dan Ikan Patin Jambal ....... 51
15. Pemurnian Minyak Ikan Patin ..................................................................... 52
16. Profil spektra FTIR minyak Ikan Patin Siam ................................................ 58
17. Profil spectra FTIR minyak Ikan Patin Jambal ............................................ 58
18. Profil TAG utama dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal ................... 61
19. Contoh Kromatogram Minyak Ikan Patin Siam setelah Hidrolisis
dengan lipase (Lipozyme, TL IM) selama 12 jam pada Suhu 55 oC ............ 63
20. Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Siam .......................................... 68
21. Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Jambal ....................................... 70
22. Perbedaan Pola Karakteristik Termal Minyak Bagian Limbah Ikan
Patin, yaitu Bagian (A) kepala (B) bagian belly flap, dan (C) isi
perut....... .................................................................................................... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam


Bagian Kepala.................................................................................................80
2. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam
Bagian Daging Belly Flap.................................................................................81
3. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam
Bagian isi perut................................................................................................82
4. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal
Bagian Kepala................................................................................................83
5. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam
Bagian Daging Belly Flap...............................................................................84
6. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam
Bagian Isi Perut..............................................................................................85
7. Analisa Statistik Kadar Lemak Ikan patin Siam dan Jambal..........................86
8. Analisa Statistik Rendemen Minyak Murni dan Hasil Analisa
Kimia Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal...................................................89
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan patin termasuk komoditas ikan yang banyak diminati dan


produksinya mengalami peningkatan secara signifikan selama beberapa tahun
terakhir, yaitu pada tahun 2004 produksinya adalah sebesar 23.962 ton dan
meningkat menjadi 51.000 ton pada tahun 2008 kemudian pada tahun 2010
produksi budidaya ikan patin mencapai 147.888 ton (Pusdatin KKP 2011).
Produksi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ini menjadikan ikan patin
sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan.
Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan
patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan
patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Ikan Patin adalah salah satu
ikan air tawar yang sangat populer dikonsumsi di seluruh dunia. Negara-negara
besar seperti Amerika, Inggis, dan Prancis memerlukan 500 ton ikan patin
sebagai bahan makanan sehari-hari. Di negara tersebut, patin biasanya diolah
menjadi makanan yang cukup digemari masyarakat setempat karena dagingnya
yang putih dan gurih. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di dunia
hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang
memasoknya dalam bentuk filet. Setiap tahun Vietnam memproduksi 1 juta ton
ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia 250.000 ton diantaranya
ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar Eropa terus meningkat
sampai saat ini (Pusdatin KKP, 2011).
Ikan Patin memiliki kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber
asam lemak tidak jenuh yang sangat baik, termasuk asam lemak omega 3 yang
memiliki fungsi positif bagi kesehatan manusia. Asam lemak omega-3 seperti
asam eikosa pentaenoat (C20:5) dan asam dokosa heksaenoat (C22:6)
umumnya terdapat dalam minyak atau lemak ikan. Keuntungan mengkonsumsi
asam lemak omega-3 adalah adanya tendensi dapat menurunkan kadar
kolesterol dan lemak dalam darah sehingga tidak terjadi penimbunan pada
dinding pembuluh darah (Pak 2005).
Ikan Patin di Indonesia sebagian besar dijual dalam bentuk produk filet
segar ataupun beku selain dijual sebagai ikan utuh. Rendemen daging ikan pada
2

proses pengolahan filet umumnya mencapai sekitar 45%, sedangkan bagian


lainnya termasuk isi perut, lemak abdomen, tulang, kulit dan hasil pengeratan
atau trimming sebesar 55% belum dimanfaatkan secara optimal (Sathivel et al.
2002). Pada umumnya yang dikonsumsi adalah bagian daging ikan patin, tetapi
sesungguhnya keseluruhan tubuh ikan termasuk isi perut dapat dimanfaatkan
untuk industri manufaktur pembuatan produk pasta atau ekstraksi minyak ikan
untuk meningkatkan nilai tambah produk.
Proses pengolahan ikan umumnya menghasilkan limbah hingga lebih dari
50% dari keseluruhan berat ikan yang diolah. Limbah dari proses pengolahan
ikan biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakan ikan, selain minyak
(Zuta et al. 2003). Pada pengolahan ikan patin ada juga bagian-bagian yang
umumnya terbuang seperti timbunan lemak abdomen yang terdapat di bagian
perut patin serta organ dalam tubuh ikan seperti hati, saluran pencernaan, insang
dan telur. Bagian-bagian yang terbuang tersebut hanya digunakan untuk bahan
pembuatan pakan ikan, sehingga masih diperlukan pengembangan pemanfaatan
isi perut ikan patin termasuk didalamnya lemak abdomen untuk meningkatkan
nilai tambah produk. Menurut Hwang et al. (2004), isi perut ikan lele termasuk
didalamnya seperti saluran pencernaan, hati, empedu dan deposit lemak pada
abdomen lemak merupakan sumber lemak yang potensial untuk dikembangkan
dengan kandungan omega 3 yang tinggi.
Kandungan lemak dan komposisi asam lemak dari ikan dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya (1) lingkungan tempat hidupnya (2) spesies (3)
jaringan tubuh (4) makanan (Hadiwiyoto 1993). Umumnya lemak disimpan di
dalam tubuh ikan untuk keperluan saat migrasi yang lama dan untuk
membangun kelenjar- kelenjar tertentu. Sebagai contoh ikan hiu mengandung
minyak hati sampai 80% dari lemak total dalam bentuk squalene. Deposit lemak
pada ikan patin cenderung disimpan di bagian perut (abdomen) dengan berat
sekitar 7% dari berat total tubuh ikan. Depot lemak sendiri umumnya ditemukan
di sepanjang struktur daging ikan dengan kandungan yang bervariasi antar
species (Ratna 1998).
Beberapa penelitian sebelumnya seperti Hwang et al. (2004) melaporkan
bahwa isi perut ikan lele mengandung lebih banyak lemak dan asam lemak tidak
jenuh jamak (PUFA) dibandingkan dengan dagingnya. Sathivel et al. (2002)
menganalisa komposisi asam lemak minyak kasar yang diekstraksi dari isi perut
ikan lele dengan berat sekitar 14% dari berat tubuhnya. Hasil ekstraksinya
3

menunjukkan bahwa total asam lemak tidak jenuh dari minyak isi perut ikan lele
sekitar 26.13% sedangkan dari daging filetnya sekitar 25.93%. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa bagian tubuh yang berbeda akan memberikan
karakteristik yang berbeda pula ditinjau dari profil dan komposisi asam lemaknya.
Hasil-hasil penelitian di atas menjadi dasar bagi penelitian ini dimana
bagian-bagian limbah yang didapatkan dari proses pengolahan filet ikan patin
dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk menjadi produk yang memiliki nilai tambah.
Limbah ikan patin yang didapatkan dari proses pengolahan filet selama ini
dimanfaatkan hanya untuk bahan baku pakan ikan, yaitu bagian kepala, tulang,
dan kulit. Harga jual limbah patin itu berkisar Rp 1.000 per kg. Harga yang
sangat rendah untuk limbah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
pemanfaatan limbah ikan patin menjadi produk yang dapat dimakan dan memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi. Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita
miliki, peluang tersebut dapat dimanfaatkan, tidak hanya ikan diolah dalam
bentuk filet tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian
pula limbah yang selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut
yang sebenarnya masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan
bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk
meningkatkan pendapatan. Limbah ikan patin akan diekstrak menjadi minyak
ikan patin dan diproses lebih lanjut untuk kemudian dikarakterisasi sebagai dasar
bagi pengembangan produk pangan maupun ingredien pangan.
Penelitian profil dan komposisi asam lemak dari beberapa limbah ikan
telah banyak dilakukan (Sathivel et al. 2002; Hwang et al. 2004), namun untuk
jenis – jenis ikan patin yang ada di Indonesia belum dilakukan, baik untuk ikan
patin jenis Siam maupun jenis Jambal yang merupakan dua jenis ikan patin
terbanyak dikonsumsi di Indonesia. Penelitian mengenai profil gliserida dari
minyak limbah ikan patin juga belum dilakukan hingga saat ini.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data karakteristik


fisiko-kimia minyak yang telah dimurnikan dari minyak hasil ekstraksi limbah
pengolahan filet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin Jambal
(Pangasius djambal).
4

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai


karakteristik minyak yang diperoleh dari limbah hasil pengolahan filet ikan patin
Siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin Jambal (Pangasius djambal) sebagai
dasar pengembangannya menjadi produk ingredien pangan.

Hipotesis

Minyak ikan yang diekstrak dari dua jenis ikan patin (patin Siam dan patin
Jambal) dan bagian limbah yang berbeda akan memberikan karakteristik fisiko-
kimia yang berbeda
5

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Patin (Pangasius sp)

Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak


dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan
mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas
golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang
berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 1998).

Gambar 1 Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam)

Menurut Saanin (1984) klasifikasi dan identifikasi ikan patin adalah


sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Species : Pangasius pangasius

Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang cukup dikenal
di Indonesia, serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ikan patin banyak
6

dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk olahan baik segar
maupun asap. Produk olahan ikan patin segar pada umumnya adalah pempek,
nugget, bakso, otak – otak dan produk olahan perikanan lainnya. Daging ikan
patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya
khas, enak dan gurih. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar
kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging ternak. Protein daging ikan
patin cukup tinggi yaitu 16.58%.
Dalam bahasa Inggris catfish populer sebagai ikan lele atau ikan patin
alias ikan kucing lantaran mempunyai "kumis". Jenis-jenis ikan patin menurut
Khairuman dan Sudenda (2002) antara lain:

1. Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius spp. Salah satu jenis populer yang
berpeluang menjadi komoditas ekspor adalah patin jambal (Pangasius
djambal Bleeker) yang hidup di sungai-sungai besar di Indonesia. Jenis lain
adalah patin kunyit yang hidup di sungai-sungai besar di Riau.
2. Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu,
lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus
(pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya
hanya di Kalimantan Timur.
3. Pangasius bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan
merupakan komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa dan beberapa
negara Asia.
4. Patin siam dengan nama latin Pangasius hypopthalmus adalah patin bangkok
atau lele bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand)

Ikan patin (pangasius pangasius) masih memiliki hubungan kekerabatan


dengan ikan patin siam (Pangasius sutchi) yang berkembang dan tersebar di
kawasan Asia Tenggara. Dalam klasifikasi biologi, ikan patin termasuk Ordo
Ostariophysi, Familia Pangasidae dan Genus Pangasius (Djarijah 2001). Ikan
Patin jambal (Pangasius djambal) termasuk kedalam kelompok Ikan lele yang
berukuran besar, dimana kelompok Pangasius ini terdiri dari 19 species yang
tersebar mulai dari daratan India, Indocina, Burma, Malaysia dan Indonesia
(Khairuman dan Sudenda 2002).
Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan
7

patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan
patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Patin jambal adalah salah satu
dari kelompok pangasius yang banyak terdapat di sungai, danau dan perairan
umum lainnya di Indonesia dan banyak di jumpai di daerah Jambi, Riau dan
Kalimantan. Dari hasil evaluasi di lapangan menunjukan bahwa ikan ini
mempunyai karakter yang menguntungkan untuk budidaya dan bisa mencapai
ukuran yang lebih besar dari 20 kg bobot badan namun ketersediannya masih
bergantung dari hasil tangkapan di alam. Dengan keberhasilan Balai Budidaya
Air Tawar Jambi dalam produksi massal benihnya sejak 2002, maka terbuka
peluang usaha pembesarannya. Sehingga budidaya patin jambal dapat dijadikan
arternatif komoditi air tawar untuk di masa mendatang.
Ikan patin merupakan salah satu komoditi ikan air tawar yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan serta memiliki harga jual yang tinggi. Hal
inilah yang menyebabkan ikan patin (Pangasius sp) ini mendapat perhatian dan
diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Beberapa keunggulan
ikan patin seperti tempat pemeliharaan tidak memerlukan air yang mengalir dan
hanya dalam waktu pemeliharaan 6 bulan dapat mencapai panjang 35 – 40 cm
(Djarijah 2001).

Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp)

Menurut Thuy (2002) Ikan patin merupakan komoditi perikanan budidaya


terbesar di sungai Mekong, Vietnam. Dimana ikan patin memiliki nama pasaran
“pangasius‟. Produk ikan patin di Vietnam dikenal dengan nama “Tra” untuk ikan
patin jenis Pangasius hypopthalmus dan “Basa” untuk ikan patin jenis Pangasius
bocourti. Pada awalnya ikan patin jenis Pangasius bocourti yang dipasarkan
terlebih dahulu, dengan daging berwarna putih dan kandungan lemak yang lebih
tinggi. Namun seiring dengan perkembangan waktu, ikan patin jenis Pangasius
hypopthalmus mulai dibudidayakan lebih intensif karena membutuhkan waktu
budidaya yang lebih pendek dibandingkan jenis Pangasius bocourti.
Perkembangan dari juvenil hingga ukuran panen untuk jenis Pangasius
hypopthalmus hanya memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Ikan jenis ini pun lebih
tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang oksigen.
Hingga kini kebutuhan ikan patin dalam negeri belum terpenuhi. Produksi
ikan patin pada tahun 2004 mencapai 23.962 ton menjadi 51.000 ton pada tahun
2008. Impor patin setiap tahun rata – rata 1000 ton. Setiap tahun Vietnam
8

memproduksi 1 juta ton ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia
250.000 ton diantaranya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar
Eropa terus meningkat. Saat ini sekitar 25 persen pangsa pasar di Eropa
membutuhkan ikan patin (Pusdatin KKP 2011). Semangat mengembangkan
budidaya ikan patin di tanah air terganjal lemahnya daya saing. Hal ini terjadi
akibat harga pakan ikan yang mahal karena sebagian masih impor sehingga
harga filet yang dihasilkan menjadi tinggi.
Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan ikan dalam negeri dan luar
negeri, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 5 (lima) tahun terakhir
terus mendorong pengembangan usaha budidaya ikan karena kegiatan
penangkapan ikan harus dikendalikan, karena banyak kawasan laut yang dalam
kondisi lebih tangkap. Dalam rangka mendukung pengembangan budidaya ikan,
KKP telah menerapkan kebijakan Pengembangan Kawasan Komoditas
Unggulan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk memacu budidaya ikan 10
(sepuluh) komoditas unggulan termasuk didalamnya ikan patin (Ferinaldy 2009).
Data produksi ikan patin tampak pada Tabel 1, dimana pada tahun 2005 sebesar
32.575 ton kemudian meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 147.888 ton
pada tahun 2010.

Tabel 1 Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama (Ton)*

Rincian 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Patin 32,575 31,490 36,260 51,000 75,000 147,888


* = Data Produksi Ditjen Budidaya KKP (Pusdatin KKP 2011)

Menurut data statistik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)


tahun 2011, produksi budidaya ikan patin semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Selama kurang waktu 2007-2009 kenaikan rata-rata produksi komoditas
patin selalu di atas 50% per tahun. KKP optimistis produksi patin Indonesia
mampu mencapai 1,8 juta ton pada 2014 sehingga menjadikan ikan patin
sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan.
Dalam rangka memanfaatkan lahan gambut yang banyak terdapat di
Kalimantan, KKP melalui Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin
membuka instalasi untuk dimanfaatkan sebagai area pengembangan budidaya
ikan patin. Keberhasilan panen ikan patin di lahan gambut menunjukkan bahwa
uji coba kegiatan budidaya ikan dapat dilakukan di area-area yang tidak dapat
9

dimanfaatkan bahkan cenderung menimbulkan masalah, seperti halnya lahan


gambut sejuta hektare di Kalimantan dan lahan tadah hujan di Gunung Kidul.
Berdasarkan data dari KKP, produksi patin selalu meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih
sangat luas,yaitu; berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta
perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan
secara massal. Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat
warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai ikan lele tersebut.
Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang
kaya akan sungai.

Gambar 2 Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia

Pengembangan patin di Kabupaten Kampar, Riau, tak cukup sampai di


budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya. Sebuah
perusahaan patungan yang melibatkan Pemerintah provinsi Riau, Pemerintah
kabupaten Kampar dan pihak swasta bersiap membangun pengolahan ikan patin
untuk ekspor. Pada penyelenggaraan Catfish day 2009 di Jogjakarta
tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi
pada produksi secara kuantitas, tetapi sama sekali belum menyentuh masalah
pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak
mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Hal ini
10

menjadi perhatian dalam proses pengembangan dan peningkatan nilai tambah


produk dari ikan patin.

Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp)

Dalam dunia perikanan, ikan patin dikenal sebagai komoditas yang


memiliki prospek cerah. Daging ikan patin memiliki karakteristik rasa yang sangat
khas sehingga digemari masyarakat. Penyebaran konsumen penggemar daging
ikan patin ini tidak terbatas di Indonesia saja tetapi juga sudah sampai ke negara
– negara Eropa, Amerika dan negara – negara Asia sehingga ikan patin ini
berpeluang untuk diekspor. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di
dunia hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang
memasoknya dalam bentuk filet.
Ikan patin merupakan salah satu ikan air tawar unggulan dan sudah mulai
dibudidayakan dalam skala besar baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun
ekspor. Ikan patin untuk ekspor biasanya diolah dalam bentuk filet, baik ”frozen
filet” maupun ”breaded filet”. Masalah utama yang sering dihadapi dalam
pengolahan filet ikan patin adalah bau lumpur, ”drip loss” dan ”oxidative rancidity”
diikuti dengan perubahan warna filet menjadi kekuningan. Beberapa masalah
teknis ini perlu mendapat perhatian dalam pengembangan riset mengenai ikan
patin ini. Selain itu, ikan patin merupakan ikan yang berlemak tinggi. Kadar lemak
yang tinggi dalam tubuh ikan patin menyebabkan daging ikan ini mudah sekali
mengalami reaksi oksidasi.
Ikan patin yang biasa dikonsumsi memiliki berat sekitar 500 g hingga 1
kg. Bagian – bagian tubuh ikan patin yang biasanya dimanfaatkan konsumen
terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan tujuan dan cara
memanfaatkannya. Rendemen merupakan bagian tubuh yang dapat
dimanfaatkan. Rendemen juga merupakan suatu parameter yang paling penting
untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan.
Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang
dapat digunakan sebagai bahan makanan (Hadiwiyoto, 1993). Rendemen daging
ikan sangat bervariasi tergantung pada jenis ikan, bentuk tubuh dan umur ikan
(Suzuki 1981).
Pada Gambar 3 disajikan gambaran mengenai jumlah atau porsi
pemanfaatan ikan patin per bagian tubuh berdasarkan data yang terdapat pada
11

Laboratorium Benih Ikan dan Laboratorium Lapangan Perikanan, Departemen


Teknologi Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB,
Bogor tahun 2003.

Gambar 3 Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp).

Bagian tubuh ikan seperti kulit, kepala, sirip, tulang dan isi perut disebut
dengan inedible portion atau bagian tubuh ikan yang tidak dapat dimakan,
sementara dagingnya adalah edible portion atau bagian tubuh yang dapat
dimakan (Zaitzev et al. 1969). Bagian tubuh yang tidak dapat dimakan tersebut
umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan perikanan dimana
pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan ikan ataupun hewan ternak
lainnya.
Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita miliki, peluang tersebut
dapat dimanfaatkan, ikan tidak hanya diolah dalam bentuk filet tetapi juga
dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian pula limbah yang
selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut yang sebenarnya
masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan bisa menghasilkan
produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk meningkatkan nilai
ekonomis.
Pada pengolahan filet ikan patin terdapat limbah yang selama ini
terbuang ataupun hanya dimanfaatkan sebatas sebagai bahan baku pakan ikan
12

dengan nilai jual yang rendah. Limbah tersebut meliputi kepala, tulang, ekor,
belly flap (daging bagian perut), daging sisa trimming (pengeratan/perapian filet)
dan isi perut (viscera) yang mengandung lemak abdomen sangat banyak.
Limbah dari proses pengolahan filet ikan patin ini dapat dikembangkan menjadi
produk yang bernilai tambah terutama dari bagian lemak yang kemungkinan
mengandung asam – asam lemak yang berguna bagi kesehatan. Bagian –
bagian limbah ikan lele juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan Lemak, Protein dan Air Bagian-bagian Limbah Ikan Lele

Bagian-bagian Kadar Lemak (%) Kadar Protein (%) Kadar air (%)
limbah ikan lele
Isi perut 33.6 14.7 50.1
Saluran 5.8 13.4 79.5
pencernaan
Hati 8.8 11.4 74.9
Gallbladder 0.3 2.6 88.9
Lemak simpanan 90.7 1.3 8
perut
Daging filet 9 14.4 74.4
Daging belly flap 14.7 13.5 71.2
Sumber : Sathivel et al. (2002)

Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida dari gliserol. Dalam


pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul
gliserol dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut
berbeda –beda), yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air .
Bila R1=R2=R3 , maka trigliserida yang terbentuk disebut trigliserida sederhana
(simple triglyceride), sedangkan bila R1, R2,R3, berbeda, maka disebut trigliserida
campuran (mixed triglyceride).
Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan
ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud
padat atau cair tergantung komposisi asam lemak penyusunnya. Lemak dan
minyak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya dan hanya berbeda
13

dalam bentuk wujudnya (Ketaren 1986). Struktur trigliserida adalah sebagai


berikut:

Gambar 4 Trigliserida (Ketaren 1986)

Minyak-minyak dan lemak merupakan bagian dari lipida yang didalamnya


larut vitamin-vitamin A,D,E dan K. Sebagai sumber asam lemak essential,
merupakan sumber energi yang tinggi. Minyak, lemak berperanan dalam
pembentukan susunan didalam memperbaiki penampilan dan memberikan cita
rasa (Giese, 1996). Minyak dan lemak menghasilkan energi yang lebih tinggi dari
pada karbohidrat dan protein.

Minyak Ikan

Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang
telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Minyak ikan mempunyai jenis asam
lemak yang lebih beragam dibandingkan dengan jenis minyak yang lain, dengan
kandungan asam lemak omega 3 yaitu EPA dan DHA yang umum dijumpai pada
minyak ikan (Estiasih 2009).
Proses untuk mendapatkan minyak ikan dengan kualitas yang baik ada 2
tahap penting yang harus diperhatikan yaitu proses ekstraksi minyak dan proses
pemurnian minyak. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau
lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pemurnian
(refining) adalah suatu proses yang bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau
yang tidak enak, warna tidak menarik dan untuk memperpanjang umur simpan
sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri
(Ketaren 1986). Menurut Estiasih (2009), untuk menjadikan minyak ikan kasar
yang dihasilkan layak konsumsi maka perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian ini
perlu dilakukan karena minyak atau lemak yang dihasilkan dalam proses
14

ekstraksi umumnya mengandung kotoran yang ikut terekstraksi dan kotoran


tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan kualitas minyak
yang dihasilkan akan menurun.
Minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping dari pengolahan
tepung ikan dan ikan kaleng sering mengandung banyak kotoran. Kotoran pada
minyak ikan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu pertama adalah kotoran
yang tidak larut dalam minyak (kotoran fisik, air dan protein), kedua adalah
kotoran yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak (fosfatida dan karbohidrat)
dan ketiga adalah kotoran yang terlarut dalam minyak, yaitu asam lemak bebas,
pigmen, mono dan digliserida, senyawa hasil oksidasi, logam dan bahan-bahan
yang tak tersabunkan (Irianto 2002). Minyak ikan tersebut dapat ditingkatkan
mutunya agar layak dikonsumsi manusia dengan memurnikannya dengan
beberapa macam metode.
Penelitian mengenai pemanfaatan limbah hasil pengolahan ikan Salmon
untuk minyak telah dilakukan oleh Wu et al. (2008), dimana diketahui ikan
Salmon banyak mengandung asam lemak omega 3 yang sangat berguna bagi
kesehatan tubuh. Penelitian Sathivel et al. (2009) adalah membandingkan sifat
fisika dan kimia minyak ikan lele dari proses ekstraksi yang berbeda. Sebagian
besar minyak dari ikan lele terdapat pada isi perutnya, dimana mengandung
sekitar 33% lipid. Limbah ikan lele terutama isi perutnya dapat digunakan untuk
menghasilkan minyak ikan yang bisa dikonversi menjadi edible oil ataupun
produk biodiesel.

Pemurnian Minyak Ikan

Pemurnian minyak ikan dilakukan untuk menghilangkan komponen yang


tidak dikehendaki ataupun pengotor karena mengakibatkan efek yang merugikan
bagi kualitas minyak secara keseluruhan (Estiasih 2009). Proses pemurnian
minyak ikan dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan proses penghilangan
gum, penghilangan asam lemak bebas, pemucatan, dan deodorisasi ataupun
memilih diantaranya untuk kemudian dikombinasikan agar mendapatkan hasil
yang terbaik. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tahapan proses pemurnian
tersebut.

Penghilangan gum merupakan proses pemisahan getah dan lender yang terdiri
dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah
15

asam lemak bebas dalam minyak. Penghilangan gum dilakukan dengan


penambahan NaCl 8% kedalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit.
Larutan NaCl yang ditambahkan sebanyak 40% dari volume minyak yang
dimurnikan dan selama degumming dilakukan pengadukan.

Penghilangan asam lemak bebas adalah suatu proses untuk memisahkan


asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam
lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun
(soap stock).
Netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 1N ke dalam minyak
yang sudah mengalami proses degumming. Larutan NaOH 1N ditambahkan
dalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Jumlah NaOH yang
ditambahkan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

%NaOH = %FFA x 0,142

Selanjutnya minyak yang telah dinetralkan dibiarkan beberapa saat supaya


terjadi pemisahan sabun yang terbentuk. Lapisan sabun berada pada lapisan
bawah dan lapisan minyak pada bagian atas. Kemudian sabun tersebut diambil.
Untuk menghilangkan sabun-sabun yang masih tersisa, pada minyak ikan
ditambahkan air panas sambil diaduk dan kemudian dibiarkan supaya terjadi
pemisahan minyak dan air. Setelah itu air yang terpisah dibuang.

Pemucatan ialah suatu proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk


menghilangkan atau memucatkan warna yang tidak disukai (Windsor dan Barlow
1981). Pemucatan dilakukan dengan penambahan adsorben, umumnya
dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat penghampa
udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Adsorben
ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80 ºC sebanyak 1-1,5% dari berat
minyak. Selain warna, diserap pula suspensi koloid dan hasil degradasi minyak
seperti peroksida.

Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk
menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses
deodorasi, yaitu penyulingan minyak dengan uap panas pada tekanan atmosfer
16

atau pada keadaan hampa. Proses deodorasi dilakukan dengan cara memompa
minyak ke dalam ketelen deodorasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada
suhu 200-250 ºC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah
(kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk
mengangkut senyawa yang dapat menguap. Setelah proses deodorisasi selesai,
minyak ikan kemudian didinginkan sehingga suhu menjadi kurang lebih 84 ºC
dan selanjutnya minyak ikan dikeluarkan

Karakterisasi Minyak Ikan


Menurut Bimbo (1998), minyak ikan yang akan dikonsumsi harus
memenuhi standar food gade. Standar tersebut berdasarkan pada karakteristik
minyak ikan yang dihasilkan, disesuaikan dengan metode pengolahan dan
sumber minyak ikan itu berasal. Beberapa hal yang mempengaruhi kualitas
minyak ikan yang dihasilkan adalah jenis ikan apakah liar atau budidaya, musim
saat ikan ditangkap ataupun umur ikan.
Analisa minyak ikan lele menggunakan alat DSC (Differensial Scanning
Calorimetry) disajikan pada Gambar 5 yang merupakan hasil penelitian dari
Sathivel et al. (2008). Termogram yang dihasilkan merupakan hasil analisa titik
cair dari minyak isi perut ikan lele.

Gambar 5 Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari


minyak visera ikan lele (Sathivel et al. 2008)
(A,B,C,D,E,F adalah puncak-puncak titik cair)
17

Berdasarkan penelitian Sathivel et al. (2008), melting point dari minyak isi
perut ikan lele berkisar antara -46.2 – 21.2 ºC untuk minyak kasarnya. Tren titik
cair dari minyak ikan isi perut lele ini menggambarkan kandungan asam
lemaknya, dimana memiliki total kandungan asam lemak tidak jenuh diatas 68%.
Titik cair yang memiliki nilai negatif berkaitan dengan kandungan asam lemak
tidak jenuhnya. Sedangkan untuk hasil analisa DSC asam lemak Palmitat dan
DHA pada Gambar 6.

Gambar 6 Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA
(Sathivel et al. 2008)

Termogram pada gambar diatas merupakan puncak titik cair dari asam
lemak palmitat dan DHA, dimana alat DSC dipanaskan dari suhu -75 hingga 120
ºC. Puncak titik cair ini sangat tajam, menggambarkan hanya satu asam lemak
yang dianalisa, dibandingkan dengan termogram pada Gambar 5 yang
menggambarkan Trigliserida dengan kandungan asam lemak yang bervariasi
sehingga puncak titik cairnya berbentuk landai dan tidak tajam (Sathivel et al.
2008),
18

Asam Lemak

Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak
jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom
karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit
satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Semakin panjang
rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut.
Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan
ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah
teroksidasi).
Asam lemak, bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun
utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida
pada makhluk hidup. Asam lemak ini mudah dijumpai dalam minyak masak
(goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan nilai gizinya. Secara
alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis)
maupun terikat sebagai gliserida. Sejumlah studi menunjukkan bahwa profil
asam lemak sangat bergantung pada komposisi lemak pada makanan yang
dikonsumsi ikan (Sargent et al. 1995). Penelitian Waagbo et al. (1993) mengenai
pemberian pakan ikan Salmon dengan 3 tingkat kandungan omega 3 yang
berbeda memberikan hasil bahwa terjadi kenaikan pada kandungan asam lemak
omega 3 dari ikan Salmon tersebut.
Penelitian mengenai profil dan komposisi asam lemak pada daging filet
ikan lele dan bagian – bagian limbah ikan lele yaitu isi perut, saluran pencernaan,
hati, gallbladder, lemak simpanan perut dan daging belly flap telah dilakukan
Sathivel et al. (2002) dengan hasil tampak pada Tabel 3.
Pada hasil penelitian tersebut tampak bahwa minyak yang didapatkan
dari masing – masing bagian limbah ikan lele dan daging filetnya menunjukkan
profil dan komposisi asam lemak yang berbeda. Hal ini menjadi dasar bagi
penelitian lebih lanjut bahwa bagian – bagian limbah yang berbeda sangat
berpengaruh terhadap minyak ikan yang dihasilkan terutama dalam profil asam
lemaknya.
19

Tabel 3 Profil dan Komposisi Asam Lemak Ikan Lele dari Bagian – bagian
Limbah yang Berbeda (mg/g)

Asam Isi Saluran Hati Empedu Lemak Filet Daging


Lemak perut pencernaan simpanan belly
flap
C14:0 9.5 1.4 0.3 0.3 5.2 6.8 10.4
C16:0 76.2 43.2 7.2 5.3 33.9 70.4 83.6
C16:1 10.9 3.7 1.1 1.3 5.1 14.0 10.8
C18:0 32.9 10.9 6.7 13.9 13.1 29.7 35.6
C18:1 145.7 62.0 12.2 3.1 52.7 149.5 175.7
C18:2 73.1 1.5 2.8 0.4 29.5 65.6 81.2
C18:3 7.5 17.3 0.3 0.2 4.3 6.0 8.3
C20:0 1.9 0.6 0.2 0.5 0.9 1.5 1.9
C20:1 11.9 1.9 1.0 0.9 4.6 7.9 10.9
C20:2 3.5 1.3 0.2 2.1 2.2 2.3 3.6
C22:4 4.5 3.0 6.4 2.8 1.9 4.7 6.4
C22:6 4.2 3.6 4.0 9.2 1.8 9.3 10.7
Jenuh 121.0 56.2 14.4 25.0 53.0 108.4 131.5
Tak 261.3 94.7 28.0 79.4 102.1 259.3 307.5
jenuh
Sumber : Sathivel et al (2002)

Perbedaan jenis ikan juga sangat mempengaruhi profil asam lemak dari
minyak ikan yang dihasilkan seperti tampak pada Tabel 4 yang menunjukkan
hasil penelitian dari Sathivel et al (2002).
Hasil penelitian Sathivel menunjukkan bahwa total PUFA dari isi perut
ikan lele lebih tinggi dibandingkan dari daging filetnya, demikian pula dari ikan
salmon dan tuna sedangkan asam lemak omega 3 (C18:3 dan C22:6) yang
terdeteksi dari isi perut ikan lele adalah sebesar 12.4% dari total PUFA.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa limbah dari ikan lele
yang berupa isi perut merupakan sumber potensial untuk dibuat menjadi minyak
ikan yang kemudian dapat dimurnikan menjadi edible oil. Minyak ikan yang
didapatkan dari isi perut ikan lele juga bisa dimanfaatkan sebagai flavor untuk
pangan dan dapat dijadikan pangan fungsional (Prinyawiwatkul et al. 2002).
20

Tabel 4 Perbandingan Profil Asam Lemak Isi perut Ikan lele dengan Daging Filet
Beberapa Jenis Ikan Lainnya (g/100g)

Asam lemak Ikan lele Ikan lele Salmon Tuna Isi perut
(g/100g bahan) liar budidaya budidaya Sirip biru Ikan lele
Jenuh
C14:0 0.06 0.09 0.49 0.14 0.42
C16:0 0.44 1.23 1.30 0.81 3.35
C18:0 1.5 0.35 0.28 0.31 1.44
Tak jenuh tunggal
C16:1 0.18 0.28 0.67 0.16 0.48
C18:1 0.59 3.17 1.78 0.92 6.40
C20:1 0.02 0.07 1.19 0.28 0.55
Tak jenuh jamak
C18:2 0.10 0.88 0.59 0.05 3.21
C18:3 0.07 0.10 0.09 0.00 0.33
C20:4 0.15 0.09 1.15 0.04 0.20
C22:6 0.23 0.21 1.29 0.89 0.18
Omega 3 0.30 0.31 1.38 0.89 0.51
Sumber : Sathivel et al. (2002)

Asam Lemak Omega 3

Asam lemak omega-3 adalah asam lemak poli tak jenuh yang mempunyai
ikatan rangkap banyak, ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ketiga
dari gugus metil. Ikatan ketiga dari ikatan rangkap sebelumnya. Gugus metil
adalah gugus terakhir dari rantai asam lemak. Contoh asam lemak omega-3
adalah asam lemak eikosapentaenoat EPA (C 20: 5, ω-3), dan asam lemak
dokosaheksaenoat DHA (C 22: 6, ω-3). Struktur Omega-3 EPA dan DHA adalah
sebagai berikut:

Gambar 7 Struktur EPA dan DHA ( http://www.psr.org )


21

Asam lemak Omega-3 EPA sangat bermanfaat untuk kesehatan


diantaranya mengurangi resiko penyakit jantung dan menghambat penyempitan
pembuluh darah. Selain itu, Omega-3 juga berkhasiat untuk memperbaiki
tekanan darah pada penderita hipertensi serta penyakit diabetes. Sedangkan
DHA merupakan komponen yang penting untuk pertumbuhan otak, pertumbuhan
retina mata (penglihatan) yang baik serta pembentukan saraf-saraf yang baik.
Kekurangan asam lemak Omega-3 dapat mengakibatkan gangguan saraf dan
penglihatan. Pada bayi kekurangan asam lemak Omega-3 dapat mengakibatkan
proses pembentukan sel neuronnya terhambat sehingga bayi bisa cacat,
kualitasnya rendah serta proses tumbuh kembang sel otak tidak normal atau di
bawah optimal (Almatsier 2003).
Asam lemak rantai panjang omega-3 yang ditemukan pada minyak ikan
bisa dimanfaatkan untuk mengurangi resiko penyakit jantung, stroke,
menlarutkan kolesterol dalam darah dan mempertahankan kinerja dari otak dan
sistem syaraf. Pada temuan lain juga dijumpai bahwa suplementasi minyak ikan
dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi resiko penyumbatan pembuluh
darah dan dapat mengurangi tekanan jantung yang tidak beraturan (Wang et al.,
2004).
Pada minyak ikan dan hewan laut, PUFA dalam konsentrasi tinggi
ditemukan di posisi sn-2 dan sebagian di posisi sn-3, asam miristat, palmitat dan
palmitoleat di posisi sn-3, asam oleat dan MUFA terutama di posisi sn-1 dengan
kecendrungan semakin panjang rantainya akan terdapat pada posisi sn-3
(Christie 1989).
Jumlah PUFA (polyunsaturated fatty acids) yang optimum untuk
dikonsumsi adalah 6-10 % dari total energi yang dibutuhkan setiap hari.
Kekurangan PUFA dapat menyebabkan risiko terkena kanker, menurunkan
kekebalan tubuh, meningkatkan risiko arteriosklerosis, meningkatkan jumlah
peroksida sehingga mempercepat proses penuaan dan meningkatkan risiko
terkena batu empedu (Nurjanah 2002).
Ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat tinggi
sehingga oksidasi lemak sangat mungkin terjadi selama proses pengolahan.
Menurut Nair dan Gopakumar (1978) kandungan asam eikosapentanoat (EPA)
ikan lele air tawar, air laut dan air payau adalah 3.78%, 5.54% dan 4.36%
sedangkan kandungan asam dokosaheksanoat (DHA) masing – masing adalah
0.28%, 4.83% dan 1.59%.
22

Asam lemak omega-3 yang dikenal dengan asam eikosapentanoat (EPA)


dan asam dokosaheksanoat (DHA) merupakan asam lemak tidak jenuh tinggi
(Polyunsaturated Fatty Acid /PUFA) yang banyak terdapat dalam minyak ikan.
Pada orang dewasa EPA dan DHA berperanan dalam pencegahan
atherosklerosis, pertumbuhan tumor, thrombosis, hipergliseridemia dan tekanan
darah tinggi. Asam lemak omega-3 dan omega-6 bermanfaat bagi kesehatan,
yaitu dapat mencegah penyakit jantung, hipertensi dan radang sendi, serta DHA
penting untuk perkembangan otak (Pak 2005).
Asam lemak omega 3 (EPA dan DHA) secara alami dapat diperoleh dari
lemak ikan terutama ikan laut, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terdapat
pada lemak ikan air tawar. Kedua asam lemak ini tidak dapat disintesis oleh
tubuh ikan tetapi disintesis oleh plankton yang merupakan pakan utama dari ikan
(Hadipranoto 2005). Pada umumnya komposisi asam lemak dari minyak ikan
bervariasi tergantung dari kebiasaan makan, kondisi lingkungan, umur,
kematangan gonad dan species (Haliloglu et al. 2004).

Komposisi dan Distribusi Asam Lemak pada Trigliserida

Minyak dan lemak merupakan trigliserida dimana tiga asam lemak


diesterkan pada gliserol. Lemak dan minyak dalam makanan normal terdiri dari
trigliserida rantai panjang (Long Chain Triglycerides/LCT) dengan panjang rantai
asam lemak dari 14 atom C ke atas, trigliserida rantai sedang (Medium Chain
Triglyserides /MCT) dengan panjang rantai asam lemak dari 8-12 atom C, dan
trigliserida rantai pendek (Short Chain Triglyserides/SCT) dengan panjang rantai
asam lemak lebih kecil dari 8 (Gunstone dan Norris 1983).
Minyak dan lemak dari sumber tertentu mempunyai ciri khas yang
berbeda dari sumber lainnya dimana tergantung pada komposisi dan distribusi
asam lemak pada molekul trigliseridanya. Komposisi termasuk panjang rantai,
kejenuhan dan ketidak jenuhan serta distribusi asam lemak pada molekul gliserol
akan sangat mempengaruhi sifat-sifat lemak dan minyak baik fisik maupun kimia
serta metabolismenya (Kritchevsky 1995).
Suatu lemak tertentu biasanya mengandung campuran dari trigliserida
yang berbeda panjang dan derajat ketidakjenuhan asam-asam lemaknya.
Disamping adanya komposisi asam lemak yang spesifik untuk setiap sumber
lemak dan minyak, juga terdapat perbedaan distribusi posisi asam-asam lemak
23

dalam molekul gliserol pada triasilgliserolnya. Untuk menggambarkan distribusi


asam lemak dalam molekul triasilgliserol, setiap atom karbon dalam molekul
gliserol diberi nomor -1, -2 dan -3 atau α,β dan α . Posisi setiap asam lemak
dalam molekul gliserol dinyatakan sesuai dengan tempatnya. Karena gliserol
mengandung dua gugus hidroksil primer, dua asam lemak yang berbeda akan
dapat diesterkan pada masing-masing posisi tersebut. Kemudian pusat asimetri
terbentuk dan trigliserida yang terbentuk dari digliserida ini akan menunjukkan
bentuk enentiomorpik. Posisi asam lemak dalam triasilgliserol dinyatakan dengan
penomoran spesifik (Stereospesicific numbering /sn) yaitu sn-1, sn-2, sn-3
dimana pusatnya adalah gugus hidroksil sekunder yang selalu menunjukkan
posisi 2, sedangkan atom karbon C-1 dan C-3 berada pada posisi 1 dan 3
(Gambar 8).

Gambar 8 Struktur Trigliserida (Christie 1987; Gunstone dan Norris


1983)

Distribusi posisi asam-asam lemak ini dapat diketahui dengan melakukan


hidrolisis asam-asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 oleh lipase pankreatik
sehingga tinggal 2-monoasilgliserol yang dapat diisolasi dan ditransesterifikasi
untuk penentuan asam lemaknya pada posisi sn-2 dengan kromatografi gas.
Untuk penentuan asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 dilakukan hidrolisis
triasilgliserol dengan reagen Gignard (EtMgBr) sehingga dihasilkan diasilgliserol
(isomer sn-1,2 dan sn-2,3). Diasilgliserol disintesa hingga menjadi fosfolipid yang
kemudian dihidrolisis dengan fosfolipase A yang spesifik terhadap 1,2-
diasilgliserofosfatida hingga menghasilkan lisofosfotida yang mengandung asam
lemak pada posisi sn-1. Selanjutnya dilakukan transesterifikasi untuk penentuan
24

asam lemak pada posisi sn-1 dengan kromatografi gas. Asam lemak pada posisi
sn-3 ditentukan dengan menganalisa 2,3-diasilgliserofosfatida (Christie 1987).

Peranan dan Manfaat Nutrisi Lemak berdasarkan Komposisi Asam Lemak

Susunan lemak adalah trigliserida yang terdapat campuran dari asam-


asam lemak dengan rantai pendek, sedang dan panjang yang terikat pada
molekul gliserol dibuat untuk pemakaian khusus. Susunan lemak banyak
dikembangkan untuk pemakaian dalam bidang produksi pangan dan kesehatan
(Haumann 1997). Dari segi nutrisi, komposisi dan distribusi asam-asam lemak
dalam molekul gliserol sangat mempengaruhi pencernaan, penyerapan dan
transportasi di dalam tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam
lemak jenuh rantai panjang sangat sedikit diserap dari saluran pencernaan bila
dibandingkan dengan asam-asam lemak tak jenuh atau asam lemak dengan
rantai yang lebih pendek.
Trigliserida di dalam tubuh manusia hanya terhidrolisa oleh enzim
pankreas pada posisi C1 dan C3 sedangkan C2 tetap dalam bentuk esternya.
Ester yang masih terikat dengan gliserol pada posisi C2 biar bagaimanapun
panjang rantainya tetap dapat diserap oleh tubuh sebagai sumber energi,
sedangkan asam lemak bebas hasil hidrolisa pada posisi C1 dan C3 apabila
berantai panjang sulit terabsorbsi oleh tubuh (Juliati 2002).
Variasi profil asam lemak pada minyak ikan akan mempengaruhi nilai gizi
seperti halnya sifat organoleptik dan tekstur ikan (Palmeri; Turchini dan De Silva
2007). Lemak dan minyak memegang peranan penting dalam penentuan sifat
fungsional dan cita rasa (flavor) produk-produk pangan. Peranan lemak dan
minyak dalam bahan pangan anatara lain adalah merupakan komponen
pembawa flavor dengan perbedaan titik leleh yang akan menentukan
kelembutan, sifat pembentukan krim dan rasa dalam mulut dan juga dalam
pembentukan struktur remah dari roti. Disamping sifat fungsionalnya, lemak dan
minyak mempunyai aspek gizi yang penting seperti telah disebutkan yaitu
sebagai sumber energi (9 kkal/gam) ; sumber dan pembawa asam lemak
essensial dan vitamin A,D,E dan K ; prekursor dari prostaglandin, senyawa
seperti hormon yang mengatur berbagai fungsi fisiologis dan juga penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Giese 1996).
25

Trigliserida juga banyak diubah menjadi monogliserida dan digliserida,


karena baik monogliserida dan digliserida luas penggunaannya sebagai bahan
pengemulsi. Oleh karena itu trigliserida melalui reaksi transesterifikasi dengan
gliserol diubah menjadi monogliserida dan digliserida dengan bantuan katalis
seperti natrium metoksida dan basa Lewis lainnya. Hanya saja proses ini
menghasilkan campuran yang terdiri atas 40 - 80% monogliserida, 30 - 40%
digliserida, 5 - 10% trigliserida, 0,2 - 9% asam lemak bebas dan 4 - 8% gliserol.
Untuk mendapatkan monogliserida yang murni yang akan digunakan dalam
bahan makanan, farmasi dan kosmetika maka harus dilakukan destilasi
molekuler. Dalam hubungan untuk meningkatkan perolehan hasil monogliserida
maka dilakukan reaksi bertingkat secara transesterifikasi dengan gliserol yang
kemudian diikuti dengan reaksi interesterifikasi dengan metil ester asam lemak,
sehingga monogliserida yang diperoleh dapat mencapai 60 - 70% (Juliati 2002).

Manfaat Minyak Ikan dalam Bidang Pangan dan Kesehatan

Minyak ikan mempunyai nilai manfaat kesehatan, pengobatan dan gizi.


Dengan demikian, minyak ikan dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri
farmasi dan pangan. Minyak ikan dapat diolah menjadi kapsul konsentrat asam
lemak omega 3 dengan teknik mikroenkapsulasi atau minyak ikan dapat diproses
menjadi tepung minyak ikan yang memudahkan dalam penanganan,
penyimpanan dan pemanfaatannya. Pemanfaatan minyak ikan dalam industri
pangan dilakukan dengan tujuan untuk menggantikan fungsi minyak
industri/lemak hewani dan memperkaya nilai gizi makanan dalam rangka
mendapatkan makanan sehat. Minyak ikan dikembangkan pemakaiannya pada
produk margarine, table spread, hard fat, shortening, pastry fat, adonan biskuit
dan emulsi untuk roti, adonan roti, minyak goreng, emulsifier, fish spread,
mayonaise, salami dan sosis (Irianto 1995).
Minyak ikan merupakan minyak yang memiliki kandungan asam lemak
tak jenuh paling tinggi dibandingkan dengan jenis minyak lainnya. Ditinjau dari
segi kesehatan, hal ini sangat menguntungkan terutama kandungan asam lemak
omega 3 nya. Minyak ikan pada umumnya merupakan sumber asam lemak
omega 3. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan untuk
mengkonsumsi minyak ikan rata – rata 200 – 500 mg per minggu
(Caceres et al. 2008).
26

Minyak ikan dengan merk dagang “Omega pure‟ telah dikenal luas di
pasaran Amerika dimana memiliki karakteristik sebagai berikut : kaya asam
lemak EPA dan DHA; tidak memiliki bau dan rasa; memiliki kestabilan oksidatif,
dapat diaplikasikan secara luas pada bidang pangan (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah maksimum penggunaan ingredien pangan Omega pure

Jumlah maksimum (%) minyak


Kategori Menhaden murni dalam pangan
yang diijinkan
Produk-produk bakery 5%
Produk-produk keju 5%
Permen karet 3%
Condiments 5%
Produk-produk permen 5%
Produk-produk analog 5%
Produk-produk telur 5%
Lemak dan Minyak 12%
Produk-produk perikanan 5%
Produk-produk kering beku 5%
Puding dan gelatin 1%
Saus dan saus gavis 5%
Permen 10%
Selai dan jelly 7%
Produk-produk daging 5%
Produk-produk susu 5%
Minuman-minuman non alkohol 5%
Produk-produk kacang 5%
Pasta 2%
Produk-produk berbasis protein 5%
Poultry Products 3%
Jus buah 1%
Jus sayuran 1%
Snack Foods 5%
Permen lunak 4%
Sup campuran 3%
Gula alternatif 10%
Sirup, topping dan saus manis 5%
Sumber: www.omegapure.com

Saat ini konsentrat asam lemak omega 3 dalam bentuk kapsul banyak
digunakan sebagai suplemen makanan. Sebagian besar sumber asam lemak
omega 3 tersebut berasal dari ikan laut seperti lemuru ataupun tuna, sedangkan
yang berasal dari sumber ikan air tawar masih jarang ditemukan. Berdasarkan
27

hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap minyak ikan yang
bersumber dari ikan air tawar seperti ikan mujahir, ditemukan pula kandungan
asam lemak omega 3 didalamnya, walaupun jumlahnya tidak setinggi seperti
pada ikan air laut (Setha 1997). Hal ini menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya
terhadap minyak ikan yang bersumber dari ikan air tawar, karena selain dapat
dimanfaatkan sebagai suplemen makanan, diharapkan minyak yang dihasilkan
dapat menjadi ingredien pangan yang bisa diaplikasikan secara luas pada
industri pangan, terutama untuk produk – produk pangan emulsi.

Aplikasi Minyak Ikan pada Produk Pangan

Ingredien pangan didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang


dapat dikonsumsi secara langsung maupun tidak langsung dimana bentuknya
dapat berupa padat, cair, atau gas. Ingedien pangan dapat berasal dari sintetis
atau secara alami. Ingredien pangan sering digunakan karena mempunyai
komponen aktif yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Ingredien pangan
biasanya tidak tahan lama atau mudah rusak, khususnya dari bahan alami
sehingga dibutuhkan teknologi yang dapat menghasilkan ingredien dengan
kualitas yang lebih baik.
Sampai saat ini aplikasi minyak ikan sebagai ingredian pangan belum
banyak dijumpai. Minyak ikan (khususnya yang mengandung omega 3 (EPA,
DHA, ALA) atau omega 6 (AA) lebih banyak dikomersialisasikan sebagai produk
suplemen ataupun di bidang farmasi. Umumnya asam lemak tersebut difortifikasi
pada dairy foods (susu, keju ataupun yogurt) sebagai pangan fungsional
(Martini et al. 2009).
28

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan
bulan Mei 2012 di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jl. Petamburan VI, Slipi
Jakarta dan Laboratorium Technopark di Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah


pengolahan filet ikan patin (Pangasius sp). Limbah tersebut didapatkan dari 2
(dua) jenis ikan patin yaitu patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin
jambal (Pangasius djambal) ukuran konsumsi dengan berat ±450-500 g.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis meliputi larutan Wijs, asam
asetat, kloroform, metanol, KI, KCl, Petroleum eter, Natrium thiosulfat, asam
sulfat pekat, larutan NaCl jenuh, heksan, NaOH, katalis BF3, standar asam
lemak, CaCl2, HCl, dietil eter dan lain - lain.

Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan gelas
seperti labu erlenmeyer, corong pemisah, batang pengaduk, beker glass dan lain
– lain. Alat lainnya yaitu, penangas air, waterbath shaker, sentrifuge, GC (Gas
Chromatography) (Shimadzu Co.Japan), Brookfield viscometer, Chromameter
Minolta CR-300, DSC (Differensial Scanning Calorimetry) tipe 821 Mettler
Toledo, FTIR (Fourier Transform Infrarred) model IRPrestige-21 (Shimadzu
Co.Japan), HPLC fase terbalik (Reversed Phase High Performance Liquid
Chomatography) dengan detektor Refractive Index (RID) (Shimadzu Co.Japan).

METODE

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi karakterisasi


bahan baku limbah filet ikan patin, ekstraksi minyak ikan, pemurnian minyak ikan
dan karakterisasi minyak ikan murni. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 9.
29

Ikan Patin

Tahap I Proses Pemfiletan

Analisis :
Bagian – bagian Tubuh Kadar lemak
Ikan Patin Profil asam lemak

Tahap II Ekstraksi Minyak Ikan

Tahap IV
Minyak Ikan Kasar

Analisis :
Fisik (titik leleh, warna,
Tahap III Pemurnian viskositas)
Kimia (angka asam, angka
peroksida, bilangan iod,
bilangan penyabunan, FTIR)
Profil dan komposisi asam
Minyak Ikan Murni lemak
Profil Gliserida

Gambar 9 Tahapan Umum Penelitian

Tahap I: Karakterisasi Bahan Baku Limbah Filet Ikan Patin

Karakterisasi bahan baku dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan


data mengenai kadar lemak dan profil asam lemak dari bagian – bagian limbah
filet ikan patin yang meliputi kepala, isi perut dan daging belly flap (bagian perut).
Tahap ini diawali dengan proses pengolahan filet ikan patin yang
dilakukan dengan standar proses mengikuti standar pabrik pengolahan filet ikan.
Tahapan proses filet meliputi penimbangan, pencucian, pemfiletan, penyiangan,
pengeratan/perapian filet (trimming), pelepasan kulit, pencucian, penimbangan.
Hasil proses pengolahan filet ikan patin berupa daging filet ikan patin yang pada
umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk olahan ikan patin
ataupun diproses beku sebagai produk filet skinless. Hasil penyiangan berupa
limbah yang meliputi kepala, kulit, tulang-ekor, daging belly flap, daging sisa
pengeratan/perapian dan isi perut.
30

Pengamatan dilakukan terhadap yield yang didapatkan pada proses filet


ini dengan melakukan perhitungan nilai rendemen daging filet dan masing –
masing bagian limbah ikan patin yang didapatkan. Limbah kemudian ditimbang
dan dilakukan pencucian hingga bersih dari kotoran yang menempel. Setelah
dicuci kemudian limbah ditiriskan dan ditimbang kembali sehingga siap
digunakan sebagai bahan baku dalam ekstraksi minyak ikan patin. Parameter
yang diukur adalah kadar lemak dari masing – masing bagian tubuh ikan patin
yang didapatkan.

Tahap II: Ekstraksi Minyak Ikan

Pada tahap ini dilakukan proses ekstraksi minyak ikan patin (Gambar 10)
dengan metode yang digunakan adalah metode Sathivel et al. (2008) yang
dimodifikasi. Proses ekstraksi minyak ikan menggunakan 2 macam perlakuan
yaitu jenis ikan patin yang digunakan (2 jenis ikan patin) dan bagian – bagian
limbah hasil karakterisasi tahap awal.
Ekstraksi minyak ikan dilakukan dari masing – masing limbah yang telah
dicuci dan ditiriskan. Limbah dilumatkan kemudian ditambah air dengan
perbandingan 1 : 3 (limbah : air) dan direbus pada suhu sekitar 70 ºC selama 30
menit. Setelah dilakukan perebusan, limbah disaring dengan kain hingga
didapatkan yield berupa cairan. Cairan yang didapatkan masih dalam bentuk
emulsi yaitu campuran antara minyak, air dan padatan, sehingga dilakukan
proses pemisahan untuk memisahkan minyak dari bahan – bahan lainnya.
Padatan yang didapat dari hasil penyaringan di press, kemudian cairan yang
didapatkan dicampurkan dalam proses pemisahan. Proses pemisahan dilakukan
menggunakan corong pisah hingga minyak dengan air terpisah sempurna. Hasil
yang didapatkan berupa minyak ikan patin kasar.
Minyak ikan patin kasar yang didapatkan disimpan didalam botol
berwarna gelap dan selanjutnya dilakukan tahap pemurnian untuk mendapatkan
minyak ikan patin murni.
31

Limbah Ikan Patin

Pencucian

Pelumatan

Pencampuran dengan air


(1 : 3)

Pemanasan
(suhu 70 ºC; 15 menit)

Penyaringan

Pengepresan padatan

Pemisahan minyak
dengan corong pisah

Minyak Ikan Patin Kasar

Gambar 10 Diagam Alir Proses Ekstraksi Minyak Ikan Patin


Metode Sathivel et al. 2008 yang dimodifikasi
32

Tahap III. Pemurnian Minyak Ikan

Minyak ikan patin kasar yang diperoleh kemudian diproses lebih lanjut
untuk mendapatkan minyak ikan patin murni. Tahapan pemurnian pada minyak
yang dilakukan adalah sebagai berikut : minyak ikan kasar ditempatkan didalam
wadah alat pemurnian yang dirangkaikan dengan saringan vakum, dipanaskan
hingga mencapai suhu 60ºC kemudian ditambahkan adsorben sebanyak 1%
dari berat minyak yang dimurnikan. Proses pemurnian dilanjutkan hingga
mencapai suhu 80ºC, selama 30 menit. Selanjutnya minyak disaring
menggunakan penyaring vakum dan berat minyak yang dihasilkan ditimbang
sebagai rendemen minyak minyak ikan patin murni.
Setelah melalui tahap pemurnian, minyak ikan patin murni yang
didapatkan kemudian disimpan didalam botol gelap dan disimpan pada suhu
-18 ºC hingga digunakan untuk tahap selanjutnya.

Tahap IV: Karakterisasi Minyak Ikan Patin Murni

Pada tahap penelitian ini dilakukan karakterisasi minyak ikan patin murni
untuk mengetahui sifat – sifat minyak yang dihasilkan. Karakterisasi yang
dilakukan meliputi : profil dan komposisi asam lemak, penentuan posisi asam
lemak dalam trigliserida (profil gliserida) serta sifat – sifat minyak secara kimia
dan fisik.
1. Profil dan komposisi asam lemak
Analisa profil dan komposisi asam lemak dilakukan terhadap masing –
masing minyak ikan patin murni yang dihasilkan dengan menggunakan
alat Gas Chromatogaphy (GC). Tahapan analisa yang dilakukan adalah
proses metilasi dan identifikasi asam lemak dari minyak.
2. Profil Gliserida Minyak Ikan
Analisa profil gliserida dilakukan untuk mengetahui posisi asam lemak
dalam trigliserida (sn-1, sn-2 dan sn-3) dengan tahapan analisa yang
diawali dengan reaksi hidrolisis secara enzimatis kemudian dirangkaikan
dengan analisa profil gliseridanya menggunakan HPLC fase terbalik.
3. Sifat – sifat minyak secara fisik dan kimia
Analisa sifat minyak secara kimia dengan melakukan analisa angka
asam, angka peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan
menggunakan metode AOAC (2000); sifat fisik minyak yaitu melakukan
analisa warna dengan Chromameter, titik cair dengan menggunakan alat
33

DSC (Differential Scanning Calorimetry), viskositas menggunakan


viscometer dan analisa gugus fungsional menggunakan alat FTIR

PROSEDUR ANALISIS

a. Kadar lemak (AOAC 2006)


Sebanyak 2 gram contoh dikeringkan dalam oven (105ºC) terlebih dahulu
selama kurang lebih 2 jam diatas kertas saring bebas lemak. Selanjutnya contoh
yang sudah kering dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam
labu soxhlet (labu sochlet sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke
dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian
dilakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil reflux dipanaskan dalam
oven dengan suhu 1050C hingga menguap. Setelah itu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus :
berat lemak
Kadar lemak (%) = x 100%
berat sampel

b. Kadar iodine (AOAC 2006)

Angka Iod adalah jumlah gam iod yang dapat diikat oleh 100 gam lemak
atau minyak. Untuk mengetahui angka iod menimbang kurang lebih 0,1 g minyak
hasil ekstraksi dalam botol timbang, kemudian dipindahkan pada erlenmeyer 300
ml dengan menambahkan eter sebanyak 3 ml, lalu ditambah 20 ml larutan iodine
monoklorida (reagent wijs), tutup dan kocok selama 1 menit. Setelah itu
ditambah larutan KI 10% sebanyak 10 ml dan ditambah aquades sebanyak 50
ml. Kemudian dititrasi dengan larutan standar thio-sulfat 0,1 N sampai warna
kuning muda, lalu diberi larutan amilum 1% sebanyak 1-2 ml kemudian dititrasi
lagi hingga warna biru hilang. Dilakukan juga terhadap blanko.

ml titrasi (blanko – sampel)


Perhitungan = x N Thio x 12,691
Berat sampel (g)
34

c. Angka Asam (AOAC 2006)

Angka asam adalah banyaknya miligram KOH yang diperlukan untuk


menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram minyak atau lemak. Untuk
mengetahui angka asam minyak/lemak sebanyak ± 5 g masukkan dalam
erlenmeyer dan ditambah 50 mL alkohol netral 95% kemudian dipanaskan dalam
penangas air sambil diaduk dan ditutup pendingin balik. Alkohol berfungsi untuk
melarutkan asam lemak. Setelah didinginkan kemudian dititrasi dengan KOH 0,1
N menggunakan indikator PP sampai tepat berwarna merah jambu.

ml KOH x N KOH x BM KOH


Perhitungan =
Berat sampel (g)

d. Bilangan penyabunan (AOCS 2005)

Angka penyabunan adalah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan


untuk menyabunkan 1 gram minyak atau lemak. Untuk mengetahui angka
penyabunan minyak yang telah diekstraksi seperti di atas + 2 g ditimbang dalam
botol timbang kemudian pindahkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml
KOH 0,5 N dalam alkohol serta beberapa butir batu didih. Setelah ditutup dengan
pendingin balik, dididihkan dengan hati-hati selama 1 jam sehingga minyak dan
KOH bercampur homogen. Setelah dingin ditambahkan beberapa tetes indikator
PP dan titrasi kelebihan KOH dengan larutan standar 0,5 N HCl sampai menjadi
tidak berwarna. Hal ini dilakukan terhadap blanko (titrasi tanpa menggunakan
sampel).
28,05 x (titrasi blanko – titrasi sampel)
Perhitungan =
Berat sampel (g)

e. Bilangan Peroksida (AOCS 2005)

Contoh ditimbang sebanyak 5 ± 0.005 g dalam erlenmeyer 250 ml


bertutup dan tambahkan 30 ml larutan asam asetat : kloroform (3 : 2).
Erlenmeyer dikocok hingga bahan semua terlarut. Kemudian ditambahkan 0,5 ml
larutan KI jenuh dan didiamkan di tempat gelap selama 1 menit dengan kadang
kala mengocoknya. Ditambahkan aquades sebanyak 30 ml kemudian dititrasi
35

dengan Na2S2O3 0,1N sampai warna kuning hampir hilang. Ditambahkan 0,5 ml
larutan pati 1% dan lanjutkan titrasi sampai warna biru tepat menghilang.
Bilangan peroksida dinyatakan dalam nilai equivalen dari peroksida
dalam setiap 100 g contoh.

ml Na2S2O3 x N Thio x 1000


Bilangan peroksida =
Berat contoh (g)

f. Profil asam lemak (AOAC 2006)

Analisis profil dan komposisi asam lemak terdiri dari 2 tahap yaitu tahap
metilasi dan identifikasi. Tahap metilasi adalah sebagai berikut : Sebanyak
kurang lebih 20 – 40 mg minyak ikan ditimbang dan ditambahkan 1 ml NaOH 0.5
N dalam Metanol kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit.
Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 20% panaskan lagi selama 2 menit.
Ditambahkan 5 ml heptana dan didihkan selama 1 menit. Ditambahkan larutan
NaCl jenuh untuk menguapkan larutan heptana hingga leher tabung. Selanjutnya
1 ml lapisan heptana dipindahkan dengan bantuan pipet tetes kedalam tabung
kemudian ditambahkan ± 0.1 g Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan air,
biarkan 15 menit. Fasa cair selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas.
Tahap identifikasi asam lemak dilakukan dengan cara menginjeksikan
1 µl methyl ester pada kromatogafi gas (GC) dengan spesifikasi sebagai berikut :
Kolom : Cyanopropil methyl sil (capilary coloumn)
Dimensi kolom : p=60 m, diameter dalam= 0.25 mm, 0.25 µm film
thickness
Suhu Kolom : Suhu terprogam yaitu 125 ºC (suhu awal) selama 5
menit, kemudian dinaikkan dengan kecepatan
10 ºC /menit sampai 185 ºC. Selanjutnya dinaikkan
dengan kecepatan 5 ºC/menit sampai suhu 205 ºC
dipertahankan selama 10 menit dan dinaikkan kembali
dengan kecepatan 3 ºC/menit sampai suhu 225 ºC
dipertahankan selama 7 menit.
Detektor : FID
Suhu detektor : 240 ºC
Suhu injektor : 220 ºC
36

Gas pembawa : Helium 30 ml/menit


Gas pembakar : Hidrogen (40 ml/menit) dan udara (400 ml/menit)

Untuk identifikasi asam lemak dalam sampel dilakukan dengan


mencocokkan waktu retensi peak asam lemak sampel dengan waktu retensi
peak standar FAME murni yang terdiri dari : C4:0, C6:0, C8:0, C10:0, C11:0,
C12:0, C13:0, C14:0, C14:1, C15:0, C15:1, C16:0, C16:1, C17:0, C17:1, C18:0,
C18:1n9t, C18:1n9c, C18:2n6t, C18:2n6c, 18:3n3, 18:3n6, C20:0, C20:1, C20:2,
C20:3n6, C20:3n3, C20:4n6, C20:5n3, C21:0, C22:0, C22:1n9, C22:2, C22:6n3,
C23:0, C24:0 dan C24:1.

Untuk menghitung jumlah asam lemak jenuh maupun tidak jenuh dilakukan
dengan dua tahap yaitu:
Membandingkan waktu retensi (RT) asam lemak yang terdapat dalam
sampel dengan waktu retensi asam lemak dalam standar eksternal.
Menghitung asam lemak yang teridentifikasi dalam sampel (% b/b)
dengan rumus sebagai berikut :
Ax/As x C standar x V contoh/100 x 100%
Gram contoh

Di mana :
V contoh = volume contoh
Cs = Konsentrasi standar
Ax = Luas puncak komponen x
As = Luas puncak standar

g. Analisa Gugus Fungsi


Gugus fungsi dalam komponen ditentukan secara spektroskopi FTIR
Prinsip FTIR adalah identifikasi gugus fungsi sampel berdasarkan penyerapan
gelombang infra merah vibrasi rotasi. Besarnya energi vibrasi dan vibrasi rotasi
bersifat khas untuk tiap jenis ikatan. Sistem pengukuran yang digunakan adalah
Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS). Bubuk KBr sebanyak 200 mg
ditambahkan dengan sampel minyak dan dihomogenasi. Campuran dimasukkan
kedalam tempat sampel dan di analisis pada panjang gelombang 400 – 5000
cm-1
37

h. Penentuan Profil Gliserida (Jennings dan Akoh, 2001)

Penentuan profil gliserida dilakukan melalui tahap (1) Hidrolisis secara


enzimatis (2) Analisa profil gliserida menggunakan reversed phase HPLC

(1) Hidrolisis secara enzimatis


Pertama-tama dibuat campuran yang terdiri dari minyak ikan 1 ml, 1 ml bufer tris
(hidroksimetil) aminomethane 1.0 M, pH 8, 0.2 ml larutan kalsium klorida 2.2 %
dan enzim lipase dari kapang Thermomyces lanuginosa spesifik 1,3 sebanyak
10% dari berat minyak. Campuran tersebut kemudian diinkubasikan didalam
waterbath shaker pada suhu 55 ºC selama 12,18 dan 48 jam. Pada akhir waktu
hidrolisis, ditambahkan etanol sebanyak 1 ml dan larutan asam hidroklorida
sebanyak 1 ml. Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan dietil eter
sebanyak 1 ml. Campuran kemudian divortex dan disentrifuge pada suhu 5 ºC
dengan kecepatan 2185 g selama 15 menit.

(2) Profil gliserida menggunakan sistem NARP-HPLC (non aqueous reversed-


phase HPLC)

Larutan dari tahap persiapan sampel diinjeksikan 20 μL ke dalam HPLC dengan


menggunakan syringe. HPLC yang digunakan memiliki tipe pompa isokratik
dengan laju aliran fase bergerak yang terdiri dari aseton: asetonitril (85:15 v/v).
Kolom yang digunakan adalah dua kolom C-18. Waktu retensi dari pelarut dan
puncak trigliserida, juga persentase dari tiap trigliserida.
Spesifikasi alat HPLC yang digunakan adalah: Pump Hewlett Packard Series
1100, Detector RID Agilent Technologies 1100 Series, Injector Rheodyne 20 μL,
Column C-18 phase; ZORBAX Eclipse XDB (4,6 x 250 mm), Mobile phase
aseton : asetonitril = 85 : 15, dan kecepatan elusi 0.8 ml/min (isokratik).

i. Warna
Pengukuran warna minyak dilakukan menggunakan alat Chromameter
Minolta CR 300. Sampel minyak diteteskan pada tempat sampel pada alat
kemudian ditutup dan alat dijalankan. Notasi – notasi yang muncul dari hasil
pengukuran yaitu L*, a* dan b*. Notasi L* menyatakan nilai kecerahan dengan
kisaran angka dari 0 – 100 (paling cerah). Notasi a* menyatakan warna
38

kehijauan (positif) dan kemerahan (negatif). Notasi b* menyatakan warna kuning


(positif) dan biru (negatif).

j. Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viscometer Brookfield.
Sampel minyak yang telah disimpan beku dithawing terlebih dahulu dengan cara
botol minyak direndam air di sekelilingnya dan dipanaskan diatas penangas air
pada suhu 30 ºC hingga minyak mencair sempurna. Minyak kemudian diukur
viskositasnya menggunakan spindel 1 dengan kecepatan 30 rpm.

k. Titik leleh (Melting Point) dengan alat DSC (Sathivel et al. 2008)
Minyak ditimbang sebanyak 0.5 – 1 mg dan diletakkan dalam pan sampel
aluminium (crucible) pada alat DSC. Pan aluminium kosong diletakkan sebagai
referensi. Penentuan titik leleh minyak dilakukan dengan cara mengatur suhu
pemanasan -75 ºC hingga 125 ºC dengan kenaikan suhu sebesar 5 ºC/menit.

ANALISIS DATA

Rancangan percobaan yang digunakan pada proses ekstraksi minyak


ikan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan perlakuan dua macam
jenis ikan patin yaitu patin siam dan patin jambal serta bagian - bagian limbah
ikan patin. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Analisis data untuk karakteristik
minyak ikan dilakukan menggunakan analisis sidik ragam. Jika hasil analisis
berbeda nyata, dilanjutkan uji lanjut menggunakan Wilayah Ganda Duncan.
39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Bahan Baku Ikan Patin

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin yang
dikenal dengan sebutan catfish. Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna
putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan
relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini
merupakan ciri khas golongan catfish (Djarijah, 2001). Pada sudut mulutnya
terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba
(Susanto dan Amri, 1998). Kedua jenis ikan patin yang digunakan sebagai bahan
baku pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.

(A)

(B)

Gambar 11 Bahan Baku Ikan Patin (A) Siam (Pangasius hypopthalmus)


dan (B) Jambal (Pangasius djambal)
40

Perbedaan antara ikan patin Siam dan Jambal terletak pada warna
punggungnya dimana ikan patin jenis Jambal memiliki warna abu – abu
keperakan sedangkan ikan patin Siam cenderung kebiruan. Bagian kepala ikan
patin jambal berbentuk padat, membulat sedangkan ikan patin siam cenderung
pipih memanjang. Ekor ikan patin Siam pendek dan membulat sedangkan ikan
patin jambal lebih runcing dan memanjang.
Ikan patin termasuk golongan omnivora yang masuk dalam keluarga
Genus Pangasius. Ikan Patin Siam merupakan ikan introduksi dari Thailand yang
sudah berhasil di budidayakan sebagai ikan konsumsi di Indonesia. Kolam –
kolam budidaya ikan patin Siam tersebar di sepanjang daerah Parung dan Jawa
Barat juga di daerah Sumatera dan Kalimantan. Daging filet ikan patin Siam
berwarna kuning kemerahan sehingga menimbulkan permasalahan pada saat
masuk industri pengolahan filet skala ekspor karena para importir umumnya
mendapatkan daging filet patin yang berwarna putih dari Vietnam.
Permasalahan ini sebenarnya teratasi dengan mulai dikembangkannya ikan patin
Jambal (Pangasius djambal). Ikan patin Jambal merupakan ikan patin lokal
Indonesia yang telah mulai dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir ini,
berkaitan dengan dagingnya yang berwarna lebih putih dan rasa yang lebih gurih
karena kandungan lemaknya yang tinggi. Kelemahan dari ikan patin Jambal ini
adalah sifatnya yang rentan terhadap kondisi budidaya sehingga bersifat tidak
stabil dan mempengaruhi hasil produksi budidaya.
Pada penelitian ini, ikan patin Siam didapatkan dari kolam budidaya di
daerah Parung, Bogor. Ikan patin Siam diberikan pakan buatan jenis pelet
dengan kandungan lemak berkisar 3-5%. Tahap pemanenan dilakukan
menggunakan jala yang diletakkan di sekeliling kolam untuk menjaga ikan patin
tidak melompat keluar kolam. Ikan patin ditangkap dalam keadaan hidup dan
dimasukkan kedalam blong – blong plastik yang berisi air dan telah didesain
terbuka di bagian atas sehingga masih terdapat udara terbuka. Blong ikan
kemudian diangkut menggunakan mobil pick up terbuka dengan bagian atas
ditutup jaring secara keseluruhan sehingga menghindari terjadinya loncatan ikan
patin selama transportasi. Waktu yang dibutuhkan dari kolam hingga sampai
laboratorium sekitar 2 jam perjalanan. Setelah sampai di tempat, ikan patin
dimasukkan kedalam bak – bak penampungan yang telah disiapkan kemudian
dibiarkan semalam dalam keadaan diberok (dipuasakan). Hal ini dilakukan untuk
41

mengembalikan kondisi ikan agar stabil setelah melalui transportasi dalam


keadaan hidup. Proses pemfiletan dilakukan pada keesokan harinya.
Ikan patin Jambal didapatkan dari kolam budidaya Balai Budidaya Air
Tawar dan Payau, Kelautan dan Perikanan di Sukamandi, Jawa Barat. Pada
umumnya ikan patin Jambal hanya dapat dibudidayakan di sekitar luar pulau
Jawa seperti Palembang, Jambi, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Barat yang merupakan habitat aslinya. Ikan patin Jambal yang
dibudidayakan di Sukamandi ini merupakan hasil dari pembenihan induk ikan
patin Jambal yang didapatkan dari habitat aslinya di daerah Sumatera. Kondisi
budidaya terkontrol dengan baik disesuaikan dengan kondisi budidaya yang
dibutuhkan ikan patin Jambal. Jenis pakan buatan yang diberikan untuk ikan
patin Jambal adalah bentuk pelet dengan pemberian dilakukan sebanyak dua
kali sehari (pagi dan sore hari). Pakan buatan yang diberikan mengandung kadar
lemak sebesar 6-8%, sedikit lebih tinggi dibandingkan kadar lemak pakan ikan
patin Siam. Pemanenan ikan patin Jambal dari kolam budidaya menggunakan
jala yang dibentangkan di pinggir kolam kemudian ikan patin dimasukkan
kedalamnya untuk selanjutnya dikumpulkan. Ikan patin Jambal dimasukkan
kedalam air es untuk shock terapi suhu dingin sehingga ikan mati dan
dimasukkan ke dalam coolbox yang diisi es dengan perbandingan ikan : es
adalah 1 : 3. Ikan patin Jambal diangkut ke Jakarta menggunakan kendaraan
tertutup dengan waktu tempuh selama 3-4 jam perjalanan. Setelah sampai di
laboratorium, langsung dilakukan proses pemfiletan ikan patin Jambal.
Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin ukuran
konsumsi yang berukuran 450 – 550 g per ekornya baik jenis Siam maupun
Jambal.

Proses Pemfiletan Ikan Patin

Ikan patin sebagai bahan baku penelitian ini difilet untuk mendapatkan
hasil berupa daging filet dan sisanya yang tidak dapat dimakan berupa limbah.
Proses pengolahan filet ikan patin dilakukan melalui beberapa tahapan yang
meliputi penimbangan, pencucian, pemfiletan, penyiangan, perapian/pengeratan
filet (trimming), pelepasan kulit, pencucian, penimbangan. Proses pemfiletan ikan
patin dapat dilihat pada Gambar 12.
42

(A)

(B)

Gambar 12 Proses Pemfiletan Ikan Patin (A) Penyayatan awal daging ikan
dan (B) Pemotongan filet.

Ikan patin yang telah dimatikan dengan menggunakan es diproses filet


menggunakan pisau filet dan kondisi pemfiletan dipertahankan dalam kondisi
suhu dingin untuk menghindari terjadinya kemunduran mutu ikan. Ikan patin
disayat dari bagian ekor kemudian menyusuri sepanjang tulang badan hingga
pangkal leher. Daging filet yang dihasilkan masih menyambung dengan daging
bagian belly flap sehingga harus dirapikan untuk mendapatkan daging filet yang
berbentuk seragam dan memenuhi kualitas bentuk filet skala industri. Hasil
perapian daging filet setelah bagian daging belly flap dipotong disebut dengan
daging sisa trimming. Daging filet yang didapatkan kemudian dicuci, ditiriskan
dan dikelompokkan untuk kemudian dikemas dalam plastik vakum hingga
43

digunakan. Bagian – bagian tubuh ikan patin lainnya yang didapatkan pada saat
proses pengolahan filet selain daging filet, dikategorikan limbah dan
dikelompokkan masing – masing sehingga mudah dalam penanganannya.
Hasil proses pengolahan fillet ikan patin berupa daging fillet ikan patin
dengan yield sebesar 32.69% dan 31.10% berturut – turut untuk patin Siam dan
Jambal. Yield didapatkan dari berat filet yang didapatkan dibagi dengan berat
ikan awal. Besarnya rendemen ini bervariasi tergantung pada jenis ikan dan
bentuk filet yang diinginkan pada saat diproses. Hasil penelitian Sathivel (2002)
mendapatkan yield fillet catfish sebesar 45%. Daging filet sebagai yield yang
didapatkan pada proses pengolahan filet ikan patin pada umumnya diproses
beku sebagai produk fillet skinless yang kemudian diekspor atau dijual lokal,
akan tetapi terkadang juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk
olahan ikan patin seperti bakso, nugget, otak – otak dan sosis.
Daging filet skinless merupakan bagian terbesar dari ikan patin. Pada
umumnya daging filet ini digunakan sebagai bahan baku produk – produk olahan
ataupun dikonsumsi dalam keadaan fresh ataupun frozen. Pada industri
pengolahan patin, daging filet skinless ini merupakan produk ekspor yang pada
umumnya dikemas dalam kemasan individual vacuum packed (IVP) kemudian
disimpan beku. Industri pengolahan filet patin semakin meningkat di Indonesia
dengan terbentuknya 75 unit usaha yang terdiri dari 13 usaha skala besar dan
sisanya adalah pengolahan ikan asap, abon, keripik kulit patin dan olahan
lainnya. Beberapa unit pengolahan patin fillet di Indonesia di antaranya adalah di
Jambi, Karawang, Purwakarta, Tulung Agung, Banjar dan Riau (Kap 2012).
Semakin meningkatnya industri pengolahan ikan patin ini harus dibarengi pula
dengan teknologi pemanfaatan limbah yang dihasilkan sehingga akan
mendapatkan produk yang memiliki nilai tambah tinggi.

Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin

Pada proses pengolahan filet ikan patin, selain daging filet sebagai hasil
utama, didapatkan bagian tubuh lainnya sebagai sisa ataupun limbah sebanyak
enam (6) bagian. Keenam bagian limbah tersebut meliputi kepala, tulang-ekor
(bagian tulang badan yang bersambungan dengan ekor), kulit, daging belly flap
(daging pada bagian perut), daging sisa trimming (daging sisa pengeratan filet)
dan isi perut. Pada Tabel 6 dapat dilihat bagian - bagian tubuh patin pada saat
44

proses pengolahan filet dengan persentase yield yang didapatkan masing –


masing bagian berdasarkan perhitungan per berat ikan awal.

Tabel 6 Bagian – bagian tubuh ikan patin

Yield (%)
No Bagian tubuh Ikan Patin
Patin Siam Patin Jambal

Daging Filet
1. 32.69±0.30 31.10±0.41
skinless

2. Kepala 23.05±0.17 26.16±0.10

3. Tulang-ekor 15.06±0.15 14.38±0.22

4. Daging belly flap 6.98±0.05 7.67±0.36

Daging sisa
5. 5.28±0.61 5.83±0.90
trimming

6. Kulit 6.14±0.12 5.12±0.27

7. Isi perut 10.8±0.16 9.74±0.11


45

Limbah yang dihasilkan secara keseluruhan dari proses pengolahan filet


ikan patin ini sebesar 67.31% dan 68.9% berturut – turut untuk ikan patin Siam
dan Jambal, jumlah yang relatif cukup besar dalam kategori limbah, walaupun
beberapa bagian masih bisa dimanfaatkan dagingnya seperti daging sisa
trimming dan daging belly flap untuk keperluan pembuatan produk olahan lokal.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sathivel et al.
(2002) yang mendapatkan hasil bahwa bagian selebihnya dari proses
pengolahan fillet yaitu termasuk isi perut, lemak abdomen, tulang, kulit dan hasil
perapian (trimming) sebesar 55% belum dimanfaatkan secara optimal.
Bagian terbesar yang kedua setelah daging filet adalah bagian kepala
yaitu sebesar 23.05% dan 26.16% berturut – turut untuk jenis Siam dan Jambal.
Tampak pada Gambar 11. bagian kepala ikan patin Siam berbentuk lebih kecil
dan memanjang dibandingkan dengan ikan patin Jambal. Pada umumnya bagian
kepala ini merupakan limbah yang terbuang bersama dengan bagian tubuh
lainnya seperti daging belly flap (daging bagian perut), tulang-ekor, kulit dan isi
perut. Hasil pengeratan daging filet pada umumnya didapatkan pada saat
membentuk daging filet yang seragam bentuknya sehingga didapatkan sisa
daging yang disebut dengan daging sisa trimming. Daging sisa trimming ini
merupakan limbah akan tetapi terkadang masih digunakan sebagai bahan baku
produk – produk olahan ikan untuk konsumsi lokal. Menurut Zaitzev et al. 1969,
bagian tubuh yang tidak dapat dimakan umumnya dinamakan limbah hasil
pengolahan perikanan dimana pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan
ikan ataupun hewan ternak lainnya. Proses pengolahan ikan umumnya
menghasilkan limbah hingga diatas 50% dari keseluruhan berat ikan yang diolah
(Zuta et al. 2003).
Besarnya prosentase limbah yang dihasilkan tidak ditunjang dengan
pemanfaatan yang maksimal sehingga limbah proses pengolahan filet ikan patin
tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Pada beberapa perusahaan pengolahan filet,
limbah dijual pada pengumpul dengan harga seribu rupiah per kilo, harga yang
sangat rendah mengingat potensi limbah yang besar untuk dimanfaatkan dalam
bidang pangan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fiori et al. (2012) terhadap limbah hasil pengolahan filet ikan Rainbow Trout yang
meliputi kepala, sirip-tulang dan isi perut dimana kesemua bagian limbah
tersebut dapat dijadikan sebagai sumber potensial asam lemak omega 3 yaitu
46

berkisar 6.0% hingga 8.7% serta merupakan sumber alternatif asam lemak tak
jenuh yang berkisar antara 72.6% hingga 75.3%.
Limbah hasil proses pengolahan filet ikan patin kemudian ditimbang dan
dilakukan pencucian hingga bersih dari kotoran yang menempel. Setelah dicuci
kemudian limbah ditiriskan dan dikemas vakum sehingga siap digunakan
sebagai bahan baku dalam ekstraksi minyak ikan patin setelah dilakukan analisa
kadar lemaknya.

Kadar Lemak Limbah Ikan Patin

Kadar lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin baik jenis Siam
maupun Jambal tampak pada Tabel 7. Analisa kadar lemak ini dilakukan
menggunakan metode soxhlet sebanyak 3 kali ulangan. Masing – masing bagian
tubuh ikan patin baik daging filet maupun limbahnya memiliki kandungan lemak
yang bervariasi, dimana bagian yang berdekatan dengan bagian perut umumnya
memiliki kadar lemak yang lebih besar terkait dengan jaringan penimbunan
lemak di bagian adiposa ikan patin.
Bagian isi perut yang berkisar 10% dari total ikan patin memiliki kadar
lemak yang tinggi bahkan mencapai 35.32% untuk ikan patin Jambal. Hal ini
dikarenakan ikan patin memiliki bagian lemak abdomen yang tersimpan di bagian
isi perut sehingga menyumbang kadar lemak yang cukup tinggi untuk bagian
tersebut. Kadar lemak bagian isi perut ikan patin Siam dan Jambal berbeda
sangat nyata hal ini dikarenakan perbedaan dalam konsumsi pakan yang
diberikan. Pada ikan patin Siam, pakan yang diberikan mengandung lemak
sebesar 3-5% berdasarkan komposisi pakannya, sedangkan pakan ikan patin
Jambal mengandung kadar lemak sebesar 6-8% yang ditunjang dari ingredien
tepung ikan yang menyusunnya. Menurut penelitian Hwang et al. (2004), bagian
isi perut catfish termasuk didalamnya seperti saluran pencernaan, hati, empedu
dan lemak simpanan (lemak abdomen) merupakan sumber lemak yang potensial
dengan kandungan omega 3 yang tinggi.
47

Tabel 7 Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin Siam dan Jambal

Bagian tubuh Kadar Lemak (%)


Patin Siam Patin Jambal
a a
Daging Filet skinless 2.72±0.09 2.89±0.19
a b
Kepala 11.20±0.66 10.85±0.12
a b
Tulang-ekor 13.10±0.6 11.90±0.63
b b
Daging belly flap 36.21±0.59 36.50±0.31
a b
Daging sisa trimming 6.63±0.50 10.75±0.98
a b
Kulit 7.90±1.03 6.61±0.84
a b
Isi perut 26.51±0.55 35.32±0.65

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0.05).

Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin berkisar antara 2.72%
hingga 35.32%. Bagian yang terendah kadar lemaknya adalah daging fillet
skinless yaitu 2.72% untuk ikan patin Siam dan 2.89% untuk Jambal. Hal ini
terkait dengan proses pengeratan pada daging fillet saat proses pemfiletan
sehingga bagian berlemak yang menempel pada daging filet sudah dibuang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ho dan Paul (2009) yang
mendapatkan kadar lemak daging fillet untuk ikan patin „Tra‟ (Pangasius
hypopthalmus) sebesar 2.55%. Hasil penelitian Ozogul et al. (2007) terhadap
beberapa jenis daging ikan air tawar mendapatkan kadar lemak berkisar 0.39%
untuk ikan Zander hingga 3.21% untuk ikan lele Afrika. Bagian daging belly flap
memiliki kandungan lemak yang tertinggi yaitu sebesar 36.21% untuk ikan patin
Siam dan 36.50% untuk Jambal. Bagian daging belly flap ini merupakan bagian
bawah dekat perut sehingga tampak membesar karena timbunan lemaknya
cukup besar. Penelitian Sathivel et al. (2002) mendapatkan hasil analisa kadar
lemak pada bagian isi perut ikan lele sebesar 33.6%, daging filet 9% dan daging
belly flap 14.7%. Perbedaan kandungan lemak ini disebabkan karena beberapa
faktor diantaranya adalah perbedaan spesies, jenis kelamin, habitat, geografi dan
makanannya (Rasoarahona et al. 2005).

Profil Asam Lemak Minyak Limbah Ikan Patin

Analisa profil asam lemak minyak ikan patin diawali dengan proses
ekstraksi minyak ikan patin jenis Siam dan Jambal. Proses ekstraksi minyak ikan
yang dilakukan menggunakan metode wet rendering mengacu pada metode
Sathivel et al. (2008) yang dimodifikasi. Bahan baku yang berupa daging filet
48

ikan patin dan limbahnya dilumatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan


ekstraksi. Proses ekstraksi minyak ikan patin dilakukan pada suhu 70ºC selama
15 menit kemudian disaring dan dilakukan proses pemisahan menggunakan
corong pisah (Gambar 13). Minyak ikan kasar yang dihasilkan dari proses
ekstraksi bagian – bagian tubuh ikan patin kemudian disimpan didalam botol
berwarna gelap dan disimpan pada suhu -18ºC hingga dianalisa.

(A) (B)

Gambar 13 Ekstraksi minyak ikan patin pada suhu 70 ºC (A) dan pemisahan
menggunakan corong pemisah (B).

Minyak ikan kasar kemudian dianalisa profil asam lemaknya


menggunakan kromatografi gas dengan standar asam lemak yang digunakan
adalah mix FAME standart dari Sigma Co. Analisa profil asam lemak dilakukan
dengan melalui tahapan metilasi dan identifikasi asam lemak. Metilasi dilakukan
untuk menjadikan asam lemak dalam bentuk metil esternya sehingga bersifat
lebih mudah menguap. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan
membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang
sama. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada contoh dapat diidentifikasi
dengan membandingkan puncak kromatogram contoh dengan puncak
kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis dan
konsentrasinya.Hasil analisa profil asam lemak dari bagian – bagian tubuh ikan
patin jenis Siam dan Jambal dengan jumlah masing – masing jumlah asam
lemak jenuh (Saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh tunggal
(Monounsaturated fatty acid, MUFA) dan asam lemak tak jenuh jamak
(Polyunsaturated fatty acid, PUFA) ditunjukkan pada Tabel 8.
49

Tabel 8 Profil asam lemak dari bagian – bagian tubuh ikan patin Siam dan
Jambal

Jenis Asam Lemak Isi Kepala belly fillet sisa Tulang- Kulit
patin perut flap trimming ekor
Siam 5.42 4.83 5.04 4.91 4.56 4.80 5.18
Jambal C14:0 (miristat) 1.64 1.56 1.58 2.05 1.51 1.54 1.45
Siam 33.50 34.44 35.15 35.36 34.88 35.52 35.12
Jambal C16:0 (palmitat) 31.01 30.04 29.57 32.34 29.98 29.86 29.84
Siam 10.03 9.60 9.22 9.33 9.21 9.18 9.65
Jambal C18:0 (stearat) 8.98 8.40 8.50 9.22 8.92 8.70 9.16
Siam 0.17 0.20 0.19 0.20 0.19 0.21 0.20
Jambal C20:0 (arakhidat) 0.18 0.18 0.17 0.19 0.18 0.17 0.18
Siam 49.12 49.07 49.60 49.81 48.84 49.72 50.16
Jambal ∑ SFA 41.80 40.19 39.81 43.80 40.59 40.27 40.63
Siam 3.16 3.13 2.88 2.77 2.48 2.65 2.79
Jambal C16:1 (palmitoleat) 1.90 1.92 1.91 1.97 1.86 1.88 1.82
Siam 35.85 34.27 34.09 33.97 34.75 33.95 34.31
Jambal C18:1 (oleat) 33.59 32.96 34.23 33.27 34.24 33.53 34.72
Siam 0.82 0.85 0.86 0.88 0.86 0.86 0.86
Jambal C20:1 (eikosanoat) 0.57 0.60 0.61 0.61 0.59 0.59 0.61
Siam 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
Jambal C24:1 (nervonat) 0.04 0.04 0.04 0.05 0.04 0.03 0.04
Siam 39.85 38.28 37.86 37.65 38.12 37.49 38.00
Jambal ∑ MUFA 36.11 35.52 36.78 35.90 36.74 36.03 37.19
Siam 7.75 8.39 8.75 8.76 9.30 9.37 8.54
Jambal C18:2 (linoleat) 16.04 17.22 16.93 14.81 16.23 16.56 15.91
Siam 0.65 0.84 0.77 0.76 0.80 0.33 0.28
Jambal C18:3 (linolenat) 1.17 1.26 1.27 1.10 1.20 1.22 1.24
Siam C20:2 0.42 0.51 0.49 0.52 0.48 0.47 0.48
Jambal (eikosadienoat) 0.66 0.71 0.70 0.69 0.68 0.70 0.68
Siam C20:3 (homo-g- 0.50 0.61 0.53 0.54 0.51 0.57 0.53
Jambal linolenat) 0.70 0.79 0.72 0.63 0.73 0.75 0.67
Siam 0.53 0.83 0.56 0.55 0.55 0.58 0.60
Jambal C20:4 (arakidonat) 0.60 0.72 0.59 0.57 0.61 0.72 0.56
Siam C20:5 0.34 0.43 0.43 0.40 0.41 0.43 0.40
Jambal (eikosapentaenoat) 0.67 0.78 0.72 0.63 0.70 0.77 0.68
Siam C22:6 0.83 1.04 1.02 1.02 0.99 1.03 1.01
Jambal (dokosaheksaenoat) 2.24 2.82 2.47 1.86 2.53 2.97 2.43
Siam 11.02 12.65 12.54 12.55 13.04 12.79 11.85
Jambal ∑ PUFA 22.09 24.29 23.41 20.29 22.67 23.70 22.18
Siam 1.82 2.31 2.21 2.18 2.20 1.79 1.69
Jambal Omega 3 4.09 4.86 4.46 3.60 4.43 4.96 3.80
*satuan (% relatif)
50

Profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam menunjukkan hasil bahwa
terdapat tren yang sama untuk semua bagian – bagian tubuh, hanya berbeda
secara kuantifikasinya. Asam lemak yang mendominasi untuk semua perlakuan
yaitu asam lemak palmitat dan oleat yang besarnya berkisar antara 33.95%
hingga 35.85%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sathivel et al. (2003) pada minyak isi perut ikan lele dimana asam lemak
dominan yang diperoleh yaitu jenis palmitat dan oleat. Pada minyak ikan patin
Siam kandungan asam lemak palmitat dan oleat lebih tinggi dibandingkan
dengan Jambal.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Wibawa et al. (2006)
yang mendapatkan asam lemak penyusun ekstrak minyak ikan Kembung
didominasi oleh asam stearat (22.19%), oleat (21.99%), palmitat (20.16%),
palmitoleat (19.96%) dan miristat (17.86%).
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Thammapat et al.
(2010) yang mendapatkan hasil bahwa asam lemak oleat mendominasi pada
semua bagian tubuh Asian catfish yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala,
badan dan ekor. Sedangkan kandungan asam lemak omega 3 nya relatif lebih
rendah jika dibandingkan dengan ikan air laut yaitu hanya berkisar antara 1.63%
hingga 1.95% pada semua bagian tubuh ikan.
Asam lemak omega 3 yang meliputi linolenat, EPA dan DHA terdeteksi
untuk semua perlakuan dengan jumlah berkisar antara 1.69% hingga 4.96% dari
total keseluruhan asam lemak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minyak
ikan patin Jambal memiliki kandungan asam lemak omega 3 yang lebih tinggi
dibandingkan minyak ikan patin Siam pada semua bagian tubuh. Hal ini
berkaitan dengan jenis pakan yang dikonsumsi berbeda secara jenis dan
kualitasnya. Kandungan asam lemak omega 3 pada ikan bervariasi berdasarkan
jenis, musim, habitat, pakan dan beberapa faktor lainnya. Penelitian Ozogul et al.
(2007) memberikan hasil bahwa komposisi asam lemak ikan dipengaruhi oleh
kandungan PUFA (asam lemak tak jenuh rantai panjang) dari pakan yang
diberikan. Asam lemak tak jenuh rantai panjang yang dikenal dengan omega 3
pada minyak ikan terutama EPA dan DHA, memiliki fungsi bagi kesehatan tubuh,
EPA merupakan prekusor prostaglandin, thromboxanes dan leukotrienes sedang
DHA merupakan komponen pada membran phospholipid sel otak dan retina
sehingga sangat essensial bagi tubuh (Zhong et al. 2007). Minyak ikan
mengandung PUFA seperti EPA (C20:5 n-3), DHA (C22:6 n-3) dan asam
51

arakidonat (C20:4 n-6) yang tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan tetapi
kebutuhannya sangat essensial bagi tubuh (Alasalvar et al. 2002; Kolanowski &
Laufenberg, 2006).
Minyak ikan kasar yang dihasilkan dari proses ekstraksi minyak ikan
dihitung rendemennya dengan menghitung perbandingan antara minyak ikan
yang didapatkan dengan berat bahan baku yang digunakan pada masing –
masing perlakuan. Rendemen minyak ikan patin kasar yang didapatkan baik
untuk jenis ikan patin Siam maupun Jambal dapat dilihat pada Gambar 14.
Berdasarkan rendemen minyak ikan kasar yang dihasilkan menunjukkan
bahwa terdapat tiga bagian tubuh ikan patin yang potensial sebagai bahan baku
minyak ikan yaitu bagian kepala, daging belly flap dan isi perut, masing – masing
sebesar 9.84%; 28.52% dan 20.34% untuk jenis ikan patin siam dan 9.54%;
25.60% dan 30.05% untuk jenis ikan patin jambal. Bagian tubuh ikan patin
lainnya memiliki rendemen yang kecil dalam menghasilkan minyak ikan kasar
terutama bagian daging filet yaitu sebesar 1.98% untuk Siam dan 1.02% untuk
Jambal.

Gambar 14 Rendemen minyak ikan kasar ikan patin Siam dan


Jambal
52

Berdasarkan data rendemen yang didapatkan dan dikaitkan dengan yield


bagian tubuh ikan patin (Tabel 6) serta kandungan lemaknya (Tabel 7) maka
bagian yang potensial untuk dilanjutkan pada tahapan pemurnian minyak ikan
patin adalah bagian kepala, daging belly flap dan isi perut.

Pemurnian Minyak Ikan Patin

Minyak ikan patin kasar yang diperoleh memiliki warna kuning keruh dan
berbau sedikit amis terutama yang diekstrak dari bagian isi perut (Gambar 15 A).
Hal ini disebabkan karena minyak ikan patin kasar masih mengandung beberapa
komponen pengotor yang tidak dikehendaki seperti asam lemak bebas, produk
hasik oksidasi, fosfatida, logam dan sebagainya yang dapat mempengaruhi
warna dan aroma minyak. Untuk menjadikan minyak ikan yang dihasilkan layak
konsumsi maka komponen yang tidak dikehendaki tersebut harus dihilangkan
dengan cara dilakukan tahap pemurnian. Proses pemurnian dapat dilakukan
dengan beberapa cara, seperti penghilangan gum (degumming), penghilangan
asam lemak bebas (refining), pemucatan (bleaching), penghilangan aroma
(deodorisasi) ataupun kombinasi diantaranya. Pada penelitian ini, proses
pemurnian yang dilakukan adalah proses pemucatan yang dikombinasikan
dengan pemanasan dan pengadukan (Gambar 15 ).

(A) (B)

(C)
Gambar 15 Pemurnian minyak ikan patin (A) Alat pemurnian (B) Alat penyaring
vakum (C) Minyak ikan patin murni
53

Minyak ikan patin kasar dimurnikan dalam satu rangkaian proses


menggunakan alat pemurnian yang disambungkan dengan alat penyaring
vakum. Tabel 9 menunjukkan bahwa rendemen minyak ikan murni pada masing
– masing bagian tubuh berbeda nyata (P<0.05). Minyak ikan patin murni yang
dihasilkan berkurang sekitar 8.14% - 17.45% dari berat minyak awal. Hal ini
disebabkan karena adanya tahapan proses pemanasan, pengadukan hingga
penyaringan vakum yang memungkinkan terjadinya kehilangan berat minyak.
Selain itu, karena proses pemurnian ini menghilangkan komponen – komponen
pengotor yang sebelumnya terdapat pada minyak ikan patin kasar, maka terjadi
penurunan berat minyak dibandingkan minyak awal.

Tabel 9 Rendemen Minyak Ikan Patin Murni


Jenis Ikan Patin Rendemen Minyak Ikan Patin Murni (%)
Kepala Daging belly flap Isi perut
Patin Siam 85.42±0.65a 88.65±0.96b 91.86±1.29c
Patin Jambal 82.55±1.04a 85.35±0.63b 89.20±0.38c

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0.05).

Proses pemurnian ini meliputi tahapan proses pemanasan, penambahan


adsorben dan penyaringan vakum Proses pemucatan dilakukan dengan
menambahkan adsorben (bentonit) sebesar 1% dari berat minyak pada saat
suhu mencapai 55 – 60 ºC kemudian pemanasan dilanjutkan hingga mencapai
suhu 80ºC selama 30 menit. Penambahan adsorben ini adalah selain untuk
memperbaiki warna minyak juga berperan mengurangi komponen minor lainnya
seperti aroma, logam berat, produk hasil oksidasi lemak seperti peroksida,
aldehid dan keton, asam lemak bebas, juga dapat mengurangi kadar fosfatida
dalam minyak ikan (Estiasih 2009). Setelah proses pemucatan selesai, minyak
ikan disaring vakum untuk memisahkan adsorben dari minyak sehingga
didapatkan minyak ikan patin murni dengan warna yang jernih.

Karakteristik Minyak Ikan Patin

Karakterisasi minyak ikan patin murni dilakukan untuk mengetahui sifat –


sifat minyak yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi : sifat – sifat
54

minyak secara kimia, profil dan komposisi asam lemak, penentuan posisi asam
lemak dalam trigliserida (profil gliserida) serta sifat – sifat minyak secara fisik.

Karakteristik Kimia Minyak Ikan Patin

Minyak ikan patin dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut baik
jenis Siam maupun Jambal kemudian dianalisa secara kimia yang meliputi angka
asam lemak bebas, angka peroksida, bilangan iod dan bilangan penyabunan
(Tabel 10). Analisa ini dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
Angka asam lemak bebas yang menyatakan kerusakan awal minyak
terdeteksi sangat rendah pada minyak ikan patin baik Siam maupun Jambal
pada semua perlakuan yaitu berkisar antara 0.22 – 0.84%. Hal ini menunjukkan
bahwa minyak ikan patin yang dihasilkan masih memiliki mutu yang bagus.
Berkaitan pula dengan masih rendahnya angka peroksida yang didapatkan yang
menunjukkan nilai maksimal sebesar 3.93 meq/kg untuk minyak ikan patin Siam
pada bagian isi perut dan 7.77 meq/kg untuk minyak ikan patin Jambal juga pada
bagian isi perut.
Menurut Bimbo (1998) standar minyak ikan yang ditetapkan International
Association of Fish Meal Manufacturers untuk angka peroksida sebesar 3-20
meq/kg dan kadar asam lemak bebas dibawah 7%. Berdasarkan hasil penelitian,
minyak ikan patin murni yang dihasilkan masih masuk dalam standar minyak ikan
yang ditetapkan untuk semua perlakuan dari jenis patin Siam maupun Jambal.

Tabel 10 Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Murni

Ikan Bagian tubuh


Parameter
Patin Kepala Daging belly flap Isi perut
Angka asam lemak bebas
0.22±0.02 0.26±0.04 0.61±0.08
(%)
Patin Angka peroksida (meq/kg) 2.19±0.54 2.88±0.10 3.93±0.19
Siam
Bilangan Iod 104.82±0.21 124.16±2.42 86.82±0.46
Bilangan penyabunan 143.05±0.71 143.74±1.41 144.66±0.39
Angka asam lemak bebas
0.55±0.02 0.32±0.01 0.84±0.05
(%)
Patin Angka peroksida (meq/kg) 6.82±0.53 5.89±0.53 7.77±0.51
Jambal
Bilangan Iod 136.49±0.62 153.13±0.73 103.18±3.48
Bilangan penyabunan 161.95±1.18 160.22±0.38 163.13±0.75
55

Analisa angka iod dilakukan untuk menentukan derajat ketidakjenuhan


asam lemak penyusun minyak ikan patin. Prinsip angka iod adalah adisi iod
terhadap asam lemak tidak jenuh membentuk senyawa yang jenuh. Banyaknya
iod yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap yang terdapat didalam
minyak. Pada penelitian ini dihasilkan angka iod dari minyak ikan patin Siam
lebih rendah dibandingkan dengan minyak ikan patin Jambal pada semua
perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh dari
minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam. Pada
Tabel 8 mengenai profil asam lemak minyak ikan patin Jambal terbukti memiliki
kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan
minyak ikan patin Siam.

Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Murni

Profil asam lemak minyak ikan patin murni dari bagian kepala, daging
belly flap dan isi perut dianalisa menggunakan alat kromatografi gas Shimadzu
dengan detektor FID. Profil asam lemak dari minyak ikan patin murni dari jenis
Siam dan Jambal dengan jumlah masing – masing jumlah asam lemak jenuh
(Saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated
fatty acid, MUFA) dan asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated fatty acid,
PUFA) ditunjukkan pada Tabel 11.
Profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam menunjukkan hasil bahwa
terdapat tren yang sama untuk semua perlakuan, hanya berbeda secara
kuantifikasinya. Asam lemak yang mendominasi untuk semua perlakuan yaitu
asam lemak palmitat dan oleat yang besarnya berkisar antara 25.78% hingga
39.15%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sathivel et al. (2003) pada catfish viscera oil dimana asam lemak dominan yang
diperoleh yaitu jenis palmitat dan oleat.
Asam lemak linoleat pada minyak ikan patin Jambal lebih tinggi
dibandingkan pada minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan baik dari
bagian kepala, daging belly flap maupun isi perut yaitu berturut – turut sebesar
16.24%, 16.11% dan 15.56%. Sedangkan kandungan asam lemak linoleat
(C18:2) yang merupakan omega-6 dari minyak jeroan/kepala ikan lele dumbo
pada hasil penelitian Kaban dan Daniel (2005) adalah sebesar 8.68 %.
56

Tabel 11 Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Murni

Asam Lemak Kepala Daging belly flap Isi perut


Siam Jambal Siam Jambal Siam Jambal
C14:0 (miristat) 4.23 1.60 4.07 1.59 4.69 1.67
C16:0 (palmitat) 34.61 26.11 33.08 25.78 34.19 26.48
C18:0 (stearat) 7.61 9.39 8.24 9.52 8.12 9.69
C20:0 (aracidat) 0.31 0.19 0.22 0.19 0.26 0.20
∑ SFA 46.76 37.30 45.62 37.08 47.26 38.03
C16:1 (palmitoleat) 1.12 1.73 2.64 1.70 2.99 1.72
C18:1 (oleat) 33.64 38.41 32.83 39.15 35.97 38.89
C20:1 (eikosanoat) 0.81 0.82 0.85 0.84 0.75 0.82
C24:1 (nervonat) 0.03 0.04 0.03 0.04 0.03 0.03
∑ MUFA 35.60 41.00 36.35 41.73 39.74 41.46
C18:2 (linoleat) 12.81 16.24 13.61 16.11 10.18 15.56
C18:3 (linolenat) 0.88 1.27 0.73 1.30 0.49 1.24
C20:2 (eikosadienoat) 0.68 0.65 0.44 0.63 0.53 0.64
C20:3 (homo-g-linolenat) 0.97 0.77 1.06 0.72 0.55 0.72
C20:4 (aracidonat) 0.89 0.69 0.81 0.58 0.29 0.63
C20:5 (eikosapentaenoat) 0.45 0.41 0.46 0.39 0.17 0.37
C22:6
(dokosaheksaenoat) 0.95 1.66 0.92 1.46 0.79 1.34
∑ PUFA 17.65 21.70 18.03 21.19 13.00 20.51
Jenuh 46.76 37.30 45.62 37.08 47.26 38.03
Tak Jenuh 53.24 62.70 54.38 62.92 52.74 61.97
Omega 3 2.28 3.35 2.11 3.15 1.45 2.95
*satuan (% relatif)

Profil asam lemak dari minyak ikan patin Jambal memiliki trend yang
serupa dengan profil asam lemak dari minyak ikan patin Siam, hanya terdapat
perbedaan secara kuantifikasi. Asam lemak dominan adalah palmitat dan oleat
untuk semua jenis perlakuan. Asam lemak omega 3 yang meliputi linolenat, EPA
dan DHA mendapatkan hasil dengan jumlah berkisar antara 1.45% hingga 3.35%
dari total keseluruhan asam lemak untuk semua perlakuan. Kandungan asam
lemak omega 3 pada minyak ikan patin patin ini mengalami sedikit penurunan
setelah melalui tahap pemurnian, hal ini disebabkan karena terjadi proses
57

pemanasan selama pemurnian sehingga menurunkan kandungan omega 3 nya.


Pada minyak ikan patin Jambal, kandungan asam lemak omega 3 sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam dimana berkisar antara
2.95% hingga 3.35% dari total keseluruhan asam lemak.

Hasil penelitian Elizabeth (1997) mengenai profil asam lemak minyak ikan
Tuna adalah bahwa distribusi asam lemaknya sangat bervariasi karena
kandungan asam lemaknya yang beragam dan kandungan asam lemak tidak
jenuhnya lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Komposisi asam
lemak pada minyak ikan tuna adalah asam lemak miristat (14:0) 1.82%, palmitat
(C16:0) 9.78%, stearat (C18:0) 3.18%, oleat (C18:1) 6.36%, linoleat (C18:2)
0.68%, linolenat (C18:3) 0.37%, EPA (C20:5) 2.40% dan DHA (C22:6) 12.23%.

Perbedaan kandungan asam lemak omega 3 ini kemungkinan berasal


dari jenis pakan yang diberikan. Penelitian Ozogul et al. (2007) memberikan
hasil bahwa komposisi asam lemak ikan dipengaruhi oleh kandungan PUFA
(asam lemak tak jenuh rantai panjang) dari pakan yang diberikan.

Profil Spektra FTIR Minyak Ikan Patin

Spetrum FTIR yang diperoleh dari minyak ikan patin dalam penelitian ini,
memberikan informasi yang unik tentang trigliserida yang dikandungnya,
termasuk tentang ketidakjenuhan dari gugusan asil dan panjang rantainya.
Umumnya perbedaan spektra utama secara nyata terlihat pada wilayah bilangan
gelombang (wavenumber) 3050 – 2800 cm-1 terkait dengan vibrasi stretching dari
ikatan rangkap cis olefin =C-H (sekitar 3010 cm-1) dan vibrasi simetrik dan
asimetrik metilen (2950 – 2845 cm-1) serta pada wilayah 1120 – 1000 cm-1
sebagai akibat dari vibrasi stretching gugusan –C-O ester turunan alkohol primer
dan sekunder (Maurer, 2012).
Spektra FTIR minyak ikan patin Siam maupun Jambal yang diperoleh dari
penelitian ini masing-masing ditunjukkan pada Gambar 16 dan Gambar 17.
Setiap gambar menunjukkan 3 profil spektra FTIR minyak ikan patin yang
berasal dari bagian kepala, belly flap, dan isi perut. Profil spektra FTIR minyak
ikan patin yang diperoleh ketiga bagian tubuh ikan patin tersebut umumnya sama
baik pada minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Namun, jika dibandingkan
antara profil FTIR minyak ikan patin Siam dengan yang berasal dari minyak ikan
patin Jambal, ada perbedaan dalam ketajaman penyerapan FTIR. Khususnya
58

pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 penyerapan FTIR pada minyak ikan patin Jambal
lebih besar dan tajam.

Gambar 16. Profil spektra FTIR minyak ikan Patin Siam.

Gambar 17. Profil spektra FTIR minyak ikan Patin Jambal


Ket gambar 16 dan 17. a=kepala; b=daging belly flap; c=isi perut

Untuk melihat kesamaan dan perbedaan profil spektra FTIR dari minyak
ikan patin Siam dan Jambal telah dibuat Tabel 12 yang menunjukkan serapan
59

pada bilangan gelombang tertentu. Selanjutnya data tersebut dibandingkan


dengan dengan profil FTIR dari produk suplemen minyak ikan MaxEPA yang
dilaporkan oleh Jun (2009). Adanya kandungan EPA (C20:5)dan DHA (C22:6) pada
produk MaxEPA ditunjukkan dengan penyerapan pada bilangan gelombang
3012.27 cm-1. Meskipun minyak patin Siam maupun Jambal mengandung EPA
dan DHA (Tabel 11), tetapi jumlahnya tidak cukup besar untuk bisa keluar dalam
profil spektra FTIR.

Tabel 12 Korelasi pola FTIR minyak ikan Patin Siam, dan Jambal
dibandingkan dengan minyak ikan MaxEPA (Jun 2009)

-1
Wavenumber (cm ) Karakteristik serapan infra
Siam Jambal Jun (2009) merah
3468.01 3471.87
3012.27 =C-H (ikatan rangkap jamak
seperti C20:5 dan C22:6)
3005.10 3005.10 =C-H (ikatan rangkap tunggal
seperti C18:1)
2935.66 2924.09 2921.63 -C-H (gugusan CH2)
2858.51 2850.79 2852.20 -C-H (gugusan CH2dan CH3 )
2731.20 2731.20
2677.20 2677.20
2152.56 2152.56
2025.26 2029.11
1751.36 1743.65 1743.33 -C=O (ester)
1654.92 1658.78
1465.90 1465.90 1457.92 -C-H (CH2)
1415.75
1377.17 1377.17 1376.93 -C-H (CH3)
1242.10 1238.30
1176.58 1165.00 1145.51 -C-O
1099.43 1099.43 1097.30 -C-O
1033.85 1033.85
968.27 968.27
921.97 914.26 914.09 =C-H
875.68 894.97
844.82 871.82
721.38 721.38 719.318 - (CH2)n,
582.50 586.36 586.25
459.06 451.34 455.12
60

Pada kedua profil spektra FTIR minyak ikan patin Siam dan Jambal
terlihat dengan jelas penyerapan tajam pada bilangan gelombang sekitar 1750
cm-1 yang menunjukkan adanya penyeraan oleh gugusan –C=O dari ester asam
lemaknya. Data ini diperkuat dengan adanya penyerapan pada wilayah bilangan
gelombang 1120 – 1000 cm-1karena gugusan –C-O. Dengan data spektra FTIR
ini maka minyak ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal mempunyai profil
FTIR spesifik yang menjadi karakteristik utamanya.

Profil Gliserida Minyak Ikan Patin

Penggunaan sistem NARP-HPLC (non-aqueous reversed-phase high-


performance liquid chromatography) telah umum digunakan untuk pemisahan
sampel lipida alami yang kompleks. Pada prinsipnya waktu retensi dalam sistem
NARP-HPLC naik dengan naiknya ECN (equivalent carbon number). ECN
adalah jumlah karbon total (CN) dalam semua rantai asil dikurangi dua kali
jumlah ikatan rangkap (ECN = CN-2db). Sistem NARP-HPLC dalam penelitian
ini menggunakan HPLC fase terbalik (reversed-phase) dengan kolom C-18,
panjang 25 cm dan diameter 4.6 mm, dengan fase bergerak campuran aseton-
asetonitril (85:15). Dengan kecepatan elusi 0.8 ml per menit dan detektor RID,
beberapa jenis TAG dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal dapat dipisahkan
dengan baik.
Dengan kondisi NARP-HPLC yang digunakan dapat dipisahkan sebanyak
19 jenis TAG baik dari minyak ikan patin Siam maupun Jambal sebagaimana
ditunjukkan pada kromatogram Gambar 18. Dengan keterbatasan standar TGA
yang ada, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TAG, berturut-turut menurut
ECN dan waktu retensinya OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS,
PPS dan LaPP/MMP. Dengan singkatan O untuk oleat, L untuk linoleat, P untuk
palmitat, S untuk stearat, La untuk linoleat dan M untuk miristat terlihat bahwa
posisi sn-2 dari TAG cenderung lebih banyak diduduki oleh asam lemak oleat.
Hal ini sesuai dengan kandungan asam lemak oleat yang tertinggi yang terdapat
dalam minyak ikan patin Siam maupun Jambal, seperti terlihat pada Tabel 8.
Demikian juga asam lemak palmitat sebagai asam lemak kedua tertinggi
sesudah oleat cenderung banyak menduduki posisi sn-1 atau sn-3.
61

Gambar 18 Profil TAG utama dalam minyak ikan patin Siam (atas)
dan Jambal (bawah).

Secara umum, kedua minyak ikan patin Siam maupun Jambal memiliki
trend kromatogram yang serupa, dengan 19 puncak kromatogram terdeteksi.
Perbedaan antara patin Siam dengan Jambal terdapat pada persentase puncak
area terutama pada puncak - puncak nomor 8 dan 9 dimana TAG yang terdeteksi
adalah kombinasi asam lemak palmitat, oleat dan linoleat berdasarkan nilai ECN
dan standar yang dimiliki. Persentase puncak area dari minyak ikan patin Jambal
lebih tinggi dibandingkan dengan patin Siam. Hasil ini diperkuat dengan hasil
analisa asam lemak minyak ikan patin murni dari bagian isi perut (Tabel 11)
dimana jumlah asam lemak palmitat, oleat dan linoleat untuk Siam dan Jambal
berturut – turut adalah 34.19%, 35.97%, 10.18% dan 26.48%, 38.89%, 15.56%.
62

Tabel 13 di bawah menunjukkan TAG yang teridentifikasi beserta ECN


dan persentasenya dalam minyak ikan patin Siam maupun Jambal. Ada satu
jenis TAG yang membedakan minyak ikan patin Jambal dari Siam adalah
kandungan PLO minyak ikan patin Jambal yang sekitar tiga kali lebih besar.

Tabel 13 Jenis TAG yang Teridentifikasi.

No TGA ECN* %
Puncak
Siam Jambal

1 MML/LaOM 42 1.03 1.1

2 MMM/LaPM 42 1.83 1.5

3 LMO/LaOO 44 3.95 4.3

4 tt 44 1.81 1.3

5 MPL/LaOP/MMO 44 1.44 3.5

6 tt 44 2.17 2.5

7 LaPP/MMP 44 5.25 2.5

8 OLO 46 8.37 7.1

9 PLO 46 4.97 13.1

10 tt 46 2.88 2.1

11 PLP 46 5.92 5.1

12 tt 48 3.73 2.2

13 OOO 48 6.98 6.1

14 POO 48 15.77 17.2

15 POP 48 13.32 13.0

16 PPP 48 5.38 3.2

17 SOO 50 5.12 4.2

18 POS 50 6.91 7.3

19 PPS 50 3.17 2.6

* ECN = CN-2db (ECN = Equivalent Carbon Number,


CN = Carbon Number, db = double bond)
tt = tidak teridentifikasi
63

Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin

Pola hidrolisis oleh enzim lipase terhadap TAG minyak ikan patin telah
dipelajari dalam penelitian ini dengan menggunakan enzim lipase amobil
komersial spesisik 1,3 (Lipozyme TL IM). Enzim lipase yang diperoleh dari
kapang Thermomyces lanuginosa ini mampu menghidrolisis secara spesifk
posisi sn-1 dan sn-3 dari TAG. Dengan menggunakan konsentrasi lipase
sebanyak 10% dan inkubasi optimum pada suhu 55 oC seperti yang disarankan
oleh Huei (2003), telah dapat dihidrolisis TAG menjadi DAG dan MAG yang
kemudian dapat dipisahkan dengan sistem NARP-HPLC. Hidrolisis TAG oleh
lipase ini dilakukan selama 12, 18, dan 48 jam inkubasi pada suhu 55 oC. Contoh
kromatogram pemisahan produk hidrolisis TAG dari minyak ikan patin Siam
ditunjukkan pada Gambar 19.

RID1 A, Refractive Index Signal (24-05-12\S-180000.D)


8.272

nRIU

80000

60000
8.436

40000
7.717

13.190
12.842

20000
11.681
9.902

11.386

36.797
7.440

13.579
7.238

10.229
6.898

38.749
9.301

13.818
12.034

15.529

30.302
10.479

15.053

35.149
31.008

32.540
28.946

31.895
15.854

25.642

10 15 20 25 30 35 min

Gambar 19 Contoh kromatogram minyak ikan patin Siam setelah hidrolisis


dengan lipase (Lipozyme, TL IM) selama 12 jam pada suhu 55 oC

Pada kromatogram terlihat bahwa komponen TAG terpisah setelah elusi


20 menit pada sistem NARP-HPLC yang digunakan. Puncak-puncak
kromatogram yang keluar dari kolom kurang dari 20 menit kemungkinan besar
adalah komponen DAG dan MAG. Sedangkan yang keluar lebih cepat, yaitu
kurang dari 8 menit kemungkinan besar adalah MAG. Dari kromatogram tersebut
di atas dapat dibuktikan bahwa telah terjadi hidrolisis pada TAG minyak ikan
patin oleh lipase setelah inkubasi 12 jam pada suhu 55 oC, yaitu kandungan TAG
turun dan kandungan DAG dan MAG naik. Tabel 14 menunjukkan dengan lebih
jelas bagaimana hidrolisis telah terjadi dengan turunnya kandungan TAG dan
naiknya kandungan MAG. Secara gradual kandungan MAG meningkat setelah
64

hidrolisis selama 12, 18 dan 48 jam sejalan dengan menghilangnya kandungan


TAG. Meskipun pola hidrolisis hampir sama di antara minyak ikan patin Siam
dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal
masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO, dan POP.

Tabel 14 Pola hidrolisis TAG minyak ikan patin oleh lipase (Lipozyme TL IM)
setelah hidrolisis selama 12, 18, dan 48 jam pada inkubasi suhu 55 oC.

No TAG Patin Siam Patin Jambal


Peak

TAG TAG, TAG, TAG, TAG TAG, TAG, TAG,


Awal MAG dan MAG dan MAG dan Awal MAG MAG dan MAG dan
(%) DAG DAG DAG (%) dan DAG DAG
Setelah Setelah Setelah DAG Setelah Setelah
hidrolisis hidrolisis hidrolisis Setelah hidrolisis hidrolisis
12 jam 18 jam 48 jam hidrolisis 18 jam 48 jam
(%) (%) (%) 12 jam (%) (%)
(%)
i MAG - 9.25 11.53 13.02 - 4.24 7.52 12.29
ii MAG - 12.62 17.08 27.32 - 9.60 16.53 36.82
iii MAG - 10.83 12.60 21.08 - 4.80 7.16 -
iv - 3.02 3.82 7.11 - 2.05 2.90 4.65
v - 2.39 3.23 4.24 - 1.58 2.78 3.01
vi - 1.86 4.46 4.76 - 4.22 7.63 -
1 1.03 TT* TT* TT* 1.1 TT* TT* TT*
2 1.83 TT* TT* TT* 1.5 TT* TT* TT*
3 3.95 TT* TT* TT* 4.3 2.79 TT* TT*
4 1.81 TT* TT* TT* 1.3 TT* TT* TT*
5 1.44 TT* TT* TT* 3.5 2.43 TT* TT*
6 2.17 TT* TT* TT* 2.5 1.70 TT* TT*
7 LaPP/ 5.25 TT* TT* TT* 2.5 TT* TT* TT*
MMP
8 OLO 8.37 TT* TT* TT* 7.1 5.6 4.48 3.11
9 PLO 4.97 TT* TT* TT* 13.1 11.06 8.33 4.19
10 - 2.88 TT* TT* TT* 2.1 1.75 TT* TT*
11 PLP 5.92 TT* TT* TT* 5.1 4.02 3.06 TT*
12 - 3.73 TT* TT* TT* 2.2 TT* TT* TT*
13 OOO 6.98 TT* 1.9 TT* 6.1 5.2 3.64 TT*
14 POO 15.77 5.0 0.8 TT* 17.2 15.43 10.65 5.26
15 POP 13.32 2.9 TT* TT* 13.0 11.43 7.69 4.63
16 PPP 5.38 3.5 0.9 TT* 3.2 TT* TT* TT*
17 SOO 5.12 4.1 1.1 TT* 4.2 3.46 TT* TT*
18 POS 6.91 9.5 1.3 TT* 7.3 6.53 4.40 TT*
19 PPS 3.17 7.9 1.4 TT* 2.6 TT* TT* TT*
* TT = tidak terdeteksi
65

Kemampuan hidrolisis TAG oleh lipase telah dimanfaatkan oleh Jennings


dan Akoh (2001) untuk memodifikasi minyak ikan agar mengandung asam kaprat
(C10:0) sebagai asam lemak berantai medium (MCFA). Dengan menggunakan
biokatalis lipase amobil IM60 yang berasal dari Rhizomucor miehei, telah dapat
diikatkan asam kaprat pada TAG sehingga diperoleh TAG berantai asam lemak
berantai medium (MCT). Dalam metabolisme tubuh, MCT dibakar dengan cepat
menjadi energi dan tidak ditimbun dalam jaringan adipose (Megremis, 1991).
Mengingat minyak ikan patin mengandung juga EPA dan DHA dalam jumlah
terbatas, maka proses-proses modifikasi dengan memasukkan asam-asam
lemak yang bermanfaat dapat meningkatkan daya guna minyak ikan patin
sebagai ingredien pangan maupun suplemen.

Karakteristik Fisik Minyak Ikan Patin

Warna Minyak Ikan Patin

Minyak ikan patin yang dihasilkan dianalisa warnanya menggunakan


instrumen fisik (Chromameter Minolta CR 300). Sistem notasi warna dicirikan
dengan tiga parameter warna yang dinyatakan dengan notasi L*, a* dan b*. Nilai
L* menyatakan kecerahan (kisaran nilai 0=hitam dan 100=putih), +a*
menyatakan warna kemerahan dan –a* menyatakan warna kehijauan, +b*
menyatakan warna kuning dan –b* menyatakan warna biru. Hasil analisa warna
minyak ikan patin dari bagian kepala, daging belly flap dan isi perut yang telah
dimurnikan tampak pada Tabel 15.

Tabel 15 Hasil Analisa Warna Minyak Ikan Patin

Minyak ikan
Bagian limbah L* a* b*
murni

Siam Kepala 68.70 -3.00 39.40

Belly flap 69.80 -7.70 41.54

Isi perut 52.50 -1.32 38.40

Jambal Kepala 65.96 -4.22 33.72

Belly flap 66.96 -5.12 39.73

Isi perut 60.18 -0.05 26.65


66

Berdasarkan hasil analisa warna yang dilakukan menunjukkan bahwa


minyak ikan patin yang diekstrak dari bagian daging belly flap memiliki nilai
kecerahan tertinggi dan intensitas warna kuning yang paling tinggi baik dari patin
jenis Siam maupun Jambal. Hal ini disebabkan karena bagian daging belly flap
masih banyak mengandung daging yang berwarna putih kekuningan sehingga
warna minyak yang dihasilkan menjadi kuning jernih sedangkan bagian kepala
banyak terdapat tulang dan bagian isi perut mengandung jeroan serta limpa,
usus yang penuh dengan kotoran sehingga warna minyak yang dihasilkan pun
menjadi lebih keruh (cenderung lebih kemerahan).
Secara keseluruhan, warna minyak ikan yang dihasilkan berwarna kuning
jernih hingga sedikit kuning gelap pada semua perlakuan dengan urutan bagian
yang berwarna kuning jernih adalah bagian daging belly flap>kepala>isi perut.
Nilai kecerahan yang tinggi ini disebabkan karena minyak ikan limbah patin telah
melalui tahapan proses pemurnian yang merupakan proses pemucatan dengan
menggunakan adsorben. Selama proses pemucatan, adsorben akan menyerap
zat warna, air, mineral dan bahan – bahan tak tersabunkan sehingga warna dari
minyak yang dihasilkan menjadi lebih jernih. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Sathivel et al. (2003) yang menganalisa warna minyak ikan dari
isi perut ikan lele didapatkan bahwa minyak ikan seluruh perlakuan memiliki nilai
a* negatif yang mengindikasikan warna ke arah kehijauan dan nilai b* positif
yang mengindikasikan warna kuning.

Viskositas Minyak Ikan Patin

Analisa viskositas minyak ikan patin dilakukan dengan menggunakan


viskometer. Hasil analisa viskositas ditunjukkan pada Tabel 16. Minyak ikan patin
Jambal memiliki nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak
ikan patin Siam pada semua perlakuan. Semakin tinggi kandungan asam lemak
tidak jenuh dalam minyak maka akan semakin cair. Hal ini sejalan dengan hasil
analisa asam lemak pada Tabel 11. yang menunjukkan bahwa patin Jambal
memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dari patin Siam
sehingga nilai viskositas yang didapatkan lebih rendah pada semua perlakuan.
67

Tabel 16 Viskositas Minyak Ikan Patin Murni

Bagian limbah Viskositas (mPa.s)


Siam Jambal
Kepala 72.00±0.21 56.50±0.29
Daging belly flap 69.20±0.29 53.80±0.15
Isi perut 70.50±0.12 58.00±0.52

Perbandingan antara minyak patin Siam dan Jambal dari bagian isi perut
berdasarkan viskositas, angka Iod dan derajad ketidakjenuhan asam lemak
tampak pada Tabel 17. Minyak ikan patin Siam memiliki nilai viskositas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Jambal. Hal ini berkaitan
dengan kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Siam yang
lebih rendah dibandingkan dengan Jambal sehingga minyak menjadi lebih kental.

Tabel 17 Perbandingan Minyak Ikan Patin dari Bagian Isi Perut Berdasarkan Nilai
Viskositas, Bilangan Iod dan Kandungan Asam Lemak Tidak Jenuh

Bagian limbah Minyak ikan patin


Siam Jambal
Viskositas 70.50 58.00
Bilangan Iod 86.82 103.18
Asam lemak tidak jenuh 52.74% 61.97%

Derajad ketidakjenuhan minyak dinyatakan sebagai bilangan Iod dimana


semakin besar nilainya maka semakin tinggi ketidakjenuhan minyak tersebut.
Pada minyak ikan patin Jambal dari bagian isi perut tampak bahwa nilai bilangan
Iod lebih besar dibandingkan dengan patin Siam yaitu sebesar 103.18, hal ini
menunjukkan bahwa derajat ketidakjenuhan minyak ikan patin Jambal jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan Siam.

Karakteristik Termal Minyak Ikan Patin

Karakteristik termal suatu minyak atau lemak, khususnya titik cair sangat
penting untuk mempelajari pola kristalisasi atau pencairan karena perubahan
suhu. Sebagai contoh, pola kristalisasi lemak kakao sudah sejak lama dilakukan
dengan menggunakan DSC untuk melihat fraksi-fraksi yang cair pada suhu
rendah maupun tinggi. Nassu dan Goncalves (1999) menggunakan berbagai
68

jenis minyak dan lemak nabati dengan berbagai profil asam lemak yang berbeda
untuk mempelajari pola pencairannya termasuk suhu pada saat proses
pencairan dimulainya (onset temperature), suhu puncak, dan titik cair. Metode
yang sama diterapkan dalam penelitian ini dengan mempelajari karakteristik
termal atau pola pencairan minyak ikan patin dari suhu - 75 oC sampai suhu
125 oC. Karakteristik termal minyak patin Siam yang digambarkan sebagai profil
DSC ditunjukkan pada Gambar 20.

Gambar 20 Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Siam.

Dari termogram DSC terlihat bahwa ada tiga kisaran zona pencairan
minyak yang terdeteksi, adalah pada kisaran suhu – 30 oC sampai – 16 oC,
kisaran suhu – 16 oC sampai 25 oC dan kisaran suhu 25 oC sampai dengan
46 oC. Puncak-puncak titik cair dari ketiga zona itu adalah berturut-turut pada
suhu – 23.61 oC, 8.15 oC, dan 37.72 oC.
Terbentuknya tiga zona titik cair tersebut menggambarkan bahwa
terdapat keragaman pada asam – asam lemak penyusun TAG dalam minyak
ikan patin, dimana asam lemak tidak jenuh akan mencair terlebih dahulu
kemudian disusul oleh asam lemak jenuh hingga mencair pada suhu tinggi.
Menurut Sathivel et al (2008) terdapat hubungan antara struktur kimia asam
69

lemak dengan titik cairnya, dimana titik cair asam lemak jenuh akan semakin
meningkat dengan meningkatnya panjang rantai. Sedangkan untuk asam lemak
tidak jenuh, semakin meningkat ikatan rangkap asam lemak maka akan semakin
rendah titik cairnya. Pada Gambar 6. tampak bahwa hasil penelitian Sathivel et
al. (2008) titik cair untuk DHA adalah pada suhu -47.4 oC, tetapi pada penelitian
ini tidak terdeteksi pada suhu tersebut kemungkinan karena jumlah DHA yang
relatif kecil.
Puncak titik cair pertama pada suhu – 23.61 oC kemungkinan karena
adanya asam-asam lemak tidak jenuh yang terikat pada TAG (triasilgliseril).
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11, sekitar 52% asam lemak dari TAG
adalah asam lemak tidak jenuh untuk minyak ikan patin Siam, sedangkan untuk
minyak ikan patin Jambal kandungan asam lemak tidak jenuhnya sekitar 61%.
Menurut Sathivel et al. (2009), titik – titik cair yang berkisar antara – 4 oC sampai
-21 oC berhubungan dengan adanya kandungan asam lemak linoleat (C18:2) dan
linolenat (C18:3).
Perbedaan utama antara karakteristik termogram minyak ikan patin Siam
dan Jambal adalah pada patin Jambal pencairan minyak terdeteksi lebih awal
yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai dengan 42 oC, seperti
terlihat pada termogram Gambar 21 di bawah ini. Hal ini berkaitan dengan
kandungan asam lemak tidak jenuh minyak patin Jambal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan patin Siam sehingga menurunkan titik cairnya.
Berdasarkan Tabel 10. tampak bahwa bilangan Iod minyak ikan patin Jambal
lebih tinggi dibandingkan patin Siam dimana menunjukkan besarnya kandungan
asam lemak tidak jenuh yang dimiliki.
70

Gambar 21 Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Jambal.

Jika ditinjau lebih spesifik, ternyata ada sedikit perbedaan pola


karakteristik termal minyak yang diperoleh dari bagian kepala dibandingkan
dengan yang diperoleh dari bagian belly flap dan bagian isi perut. Minyak yang
diperoleh dari bagian kepala mencair seluruhnya pada suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan minyak yang diperoleh dari kedua bagian lainnya, seperti
ditunjukkan dengan garis vertikal pada Gambar 22. Sesungguhnya komposisi
asam lemak jenuh dan tidak jenuh di antara ketiga bagian ikan patin Siam ini
tidak berbeda. Dengan demikian mungkin saja perbedaan karakteristik termal ini
karena perbedaan posisi asam lemak dalam trigliseridanya.
71

(A)

(B)

(C)

Gambar 22 Perbedaan Pola Karakteristik Termal Minyak Bagian Limbah


Ikan Patin, yaitu bagian (A) kepala (B) bagian belly flap, dan
(C) isi perut.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh


Sathivel et al. (2008) dimana titik cair dari minyak viscera ikan lele berkisar
antara -46.2 ºC sampai 21.2 ºC. Perbedaan pada titik awal titik cair minyak
berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dari
minyak viscera ikan lele yaitu berkisar diatas 68%. Titik cair minyak ikan patin
yang bernilai negatif berkaitan dengan karakteristik asam lemak ikan patin yang
memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih besar dibandingkan asam lemak
jenuhnya. Penelitian Sathivel et al. (2005) mengenai titik cair dari minyak ikan
Salmon red dan pink mendapatkan hasil bahwa titik cair diawali lebih rendah lagi
yaitu pada -69.6 ºC – (-0.36 ºC) dan -64.7 ºC – (20.8 ºC). Nilai negatif pada titik
cair ini berhubungan dengan kandungan asam lemak tidak jenuhnya.
72

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Profil asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis Siam maupun
Jambal menunjukkan bahwa asam lemak dominan adalah asam palmitat dan
oleat. Persentase kelompok asam lemak tak jenuh rantai panjang memiliki
jumlah yang lebih tinggi secara total keseluruhan yaitu sebesar 53.24%, 54.38%,
52.74% dan 62.70%, 62.92%, 61.97% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam
dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Asam lemak omega 3
yaitu linolenat, EPA dan DHA terdeteksi pada penelitian ini baik minyak ikan dari
limbah ikan Patin jenis Siam maupun Jambal. Kandungan asam lemak omega 3
minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin Siam lebih rendah
dibandingkan dengan dari ikan patin Jambal yaitu 2.28%, 2.11%, 1.45% dan
3.35%, 3.15%, 2.95% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal
bagian kepala, daging belly flap dan isi perut.
Profil spektra FTIR minyak ikan patin yang diperoleh dari bagian kepala,
belly flap, dan isi perut umumnya sama, namun ada perbedaan dalam ketajaman
penyerapan FTIR khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 dimana pada
minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam karena terkait dengan
kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak ikan patin Jambal yang relatif
lebih besar dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam.
Profil gliserida menghasilkan 19 jenis TAG baik pada minyak ikan limbah
patin Siam maupun Jambal. Berdasarkan standar, dapat diidentifikasi sebanyak
11 jenis TGA, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya adalah OLO,
PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPP/MMP.
Hidrolisis menggunakan enzim lipase yang diperoleh dari kapang
Thermomyces lanuginosa mampu menghidrolisis secara spesifik posisi sn-1 dan
sn-3 dari TAG menjadi DAG dan MAG. Pola hidrolisis hampir sama di antara
minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada
minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO, dan
POP. Hasil Analisa DSC menunjukkan bahwa terdapat tiga zona titik pencairan
minyak pada patin Siam yaitu – 30 sampai – 16 oC, kisaran suhu – 16 sampai
25 oC, dan kisaran suhu 25 sampai 46 oC. Sedangkan pada patin Jambal, titik
cair terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai
dengan 42 oC.
73

SARAN
Pada penelitian ini telah didapatkan profil gliserida minyak ikan patin
Siam maupun Jambal hasil hidrolisis menggunakan enzim Lipase, untuk
melengkapinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi
fraksi MAG dan DAG dari minyak ikan patin tersebut dan mengidentifikasi
asam lemak pada posisi sn-2
Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini maka perlu
dilakukan modifikasi minyak ikan patin Siam maupun Jambal untuk lebih
berdaya guna dari segi gizi, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
dengan esterifikasi. Sebagai contoh, dapat dilakukan modifikasi TAG agar
mengandung asam kaprat (C10:0) sebagai asam lemak berantai medium
(MCFA) dimana dalam metabolisme tubuh, TAG berantai asam lemak
medium dibakar dengan cepat menjadi energi dan tidak ditimbun dalam
jaringan adipose. Proses modifikasi ini hendaknya dilakukan dengan tetap
mempertahankan kandungan asam lemak omega 3 terutama EPA dan
DHA yang terdapat didalam minyak ikan patin
74

DAFTAR PUSTAKA

Alasalvar C, Taylor KDA, Oksüz A, Shahidi F, Alexis M. 2002. Comparison of


freshness quality of cultured and wild sea bass (Dicentrarchus labrax). J
Food Science. 67: 3220-3226.

Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta

AOCS. 2005. Official methods and recommended practices of the AOCS, 5th
edition 2nd printing. American Oil Chemist‟ Society.

AOAC-Association of Official Analytical Chemistry. 2006. Edisi revisi. Edisi 18


2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical
Chemistry, Inc. Washington DC.

Bimbo AP. 1998. Guidelines for characterizing food-gade fish oil. INFORM.
International News on Fats, Oils and Related Material. Vol 9,number 5.pp
473 – 483.

Caceres E, Garcia ML, Selgas MD. 2008. Effect of pre-emulsified fish oil – as
source of PUFA n-3- on microstructure and sensory properties of
mortadella, a Spanish bologna-type sausage. Journal of Meat Science
(80) 183-193.

Christie WW. 1987. A Stable silver - loaded column for the separation of lipids by
high performance liquid chromatrogaphy, J High Resol. Chromatog.
Chromatog. Commun. 10: 148-150

Christie WW dan Breckenridge GHM. 1989. Separation of cis and trans Isomers
of unsaturated fatty acids by high-performance liquids chromatogaphy in
the silver ion mode, J Chromatog. 4(39:261-269)

Djarijah. 2001. Budidaya ikan patin. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Elizabeth, J. 1997. Studi Inkoporasi Enzimatik EPA dan DHA pada Trigliserida
Mnyak Ikan Tuna dan Crude Palm Oil. Disertasi. IPB. Bogor.

Estiasih T. 2009. Minyak ikan. Teknologi dan penerapannya untuk pangan dan
kesehatan. Edisi pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta

Ferinaldy. 2009. Produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama (2005-


2009). http://en.wordpress.com/tag/data-perikanan/

Fiori L, Solana M, Tosi P, Manfrini M, Strim C, Guella G. 2012. Lipid profiles of oil
from Trout (Oncorhynchus mykiss) heads, spines and viscera: Trout by-
products as a possible source of omega-3 lipids?. Food Chemistry. Article
in Press.

Giese J. 1996. Antioxidants: tools for preventing lipid oxidation. Food


Technology. 50 : 73-81.
75

Gunstone FD dan Norris 1993. Fatty acid and lipid chemistry. The Lipid
Handbook 2nd edition. Chapman & Hall. London.

Hadipranoto N. 2005. Study on the thermal stability of EPA and DHA in mujahir
(Oreochromis mossambicus) fish oil. Indonesian Journal of Chemistry. Vol
5. No 2. Department of Chemistry. Gajah Mada University. Yogyakarta.

Hadiwiyoto. 1993. Teknologi pengolahan hasil perikanan. Liberty. Yogayakarta.

Haliloglu H, Bayir A, Sirkecioglu AN, Aras NM, Atamanalap M. 2004. Comparison


of fatty acid composition in some tissues of rainbow trout (Oncorhyncus
mykiss) living in seawater and freshwater. J Food Chemistry, 86: 55-59.

Haumann BF. 1997. Nutritional aspects of n-3 fatty acids. INFORM 8. 428-447.

Ho BT dan Paul BR. 2009. Fatty acid profile of Tra Catfish (Pangasius
hypophthalmus) compared to Atlantic Salmon (Salmo solar) and Asian
Seabass (Lates calcarifer). International Food Research Journal 16: 501-
506 (2009)

Huei KW, Lin SW, Yoo CK. 2003. Structural modification of palm stearin by
enzymatic interesterfikasi-the selection of lipases. Di dalam: Palm Oil: The
Power-House for The Global Oils & Fats Economy. Proceedings of the
PIPOC 2003 International Palm Oil Congress; Malaysia, 24- 28 August
2003. Malaysia: Malaysian Palm Oil Board.

Hwang KT, Kim JE, Kang SG, Jung ST, Park HJ, Welleer CL. 2004. Fatty acid
composition and oxidation of lipids in Korean catfish. J American Oil
Chem. Soc. 81 : 123-127.

Irianto HE. 1995. Pemanfaatan minyak ikan untuk industri farmasi, pangan,
pakan dan non-pangan. Warta Perikanan Laut. Vol 2. No.1. Balai
Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Jennings BH dan Akoh CC. 2001. Lipase catalyzed modification of fish oil to
incorporate capric acid. Food Chemistry 72: 273-278.
www.elsevier.com/locate/foodchem

Juliati BT. 2002. Ester asam lemak. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Jurusan Kimia. Universitas Sumatera Utara. USU digital library.

Jun Z. 2009. Analysis and characterization of consumer products by FTIR,


raman, chemometrics and two dimensional ATR-FTIR correlation
spectroscopy. Dissertation. Rutgers, the State University f new Jersey.
New brunswick, New Jersey. http://mss3.libraries.rutgers.edu

Kaban J dan Daniel. 2005. Sintesis n-6 etil ester asam lemak dari beberapa
minyak ikan air tawar. Jurnal Komunikasi Penelitian. Vol 17 (2)

Kap. 2012. KKP dorong pengembangan filet patin. Politik Indonesia. (disadur
tanggal 17 juni 2012).
76

Ketaren. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta

Khairuman dan Sudenda D .2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agromedia


Pustaka. Jakarta

Kolanowski W, Laufenberg G. 2006. Enrichment of food products with


polyunsaturated fatty acids by fish oil addition. European Food Research
Technology, 222: 472-477

Kritchevsky D et al. 2000. Influence of conjugated linoleic acid (CLA) on


establishment and progression of atherosclerosis in rabbits. J of the
American College of Nutrition vol 19 (4) : 472S-477S

Martini S, Thurgood JE, Brothersen C, Ward R, McMahon DJ. 2009. J. Dairy


Science, 92:1876–1884

Maurer NE, Sakoda BH, Pascual-Chagman G, Rodriguez-Saona LE. 2012.


Characterization and authentication of a novel vegetable source of
omega-3fatty acids, sacha inchi (Plukenetia volubilis L.) oil. Food
Chemistry 134: 1173–1180.

Megremis CJ. 1991. Medium chain triglycerides: a nonconventional fat. Food


Technology 45: 108-110.

Nair PGV dan Gopakumar. 1978. Fatty acid compotitions of 15 species of fish
from tropical water. J Food Science. Vol 43, 24: 1162-1164.

Nassu RT dan Goncalves LAG. 1999. Determination of melting point of


vegetable oils and fats by differential scanning calorimetry (DSC)
technique. Grasas y Aceites. Vol.50. Fsc.1 (1999): 16-22.
http://grasasyaceites.revistas.csic.es

Nurdjanah. 2002. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor,


Bogor

Ozogul Y, Ozogul F, Alagoz S. 2007. Fatty acid profiles and fat contents of
commercially important seawater and freshwater fish species of turkey : A
comparative study. Food Chemistry 103 (217-223).

Pak SC. 2005. Stability and quality of fish oil during typical domestic application.
Wonsan University of Fisheries. Kangwon Province. Korea.

Palmeri G, Turchini GM, De Silva SS. 2007. Lipid characterisation and


distribution in the fillet of the farmed Australian native fish, Murray cod
(Maccullochella peelii peelii). Food Chemistry (102). 796-807.

Prinyawiwatkul W, Suvanich V, Harrison RW, King JM, Sathivel S, Pacheco K,


Rout S, Nadarajah K, Sonti S. 2002. Value-Added from Crawfish and
Catfish. Louisiana Agriculture. Fall issue. 20-21(2002).

Pusdatin KKP. 2011. Produksi perikanan budidaya patin. Kelautan dan


Perikanan. http://www.kkp.go.id/index.php
77

Rasoarahona JRE, Barnathan G, Bianchini J, Gaydou EM. 2005. Influence of


season on the lipid content and fatty acid profiles of three tilapia species
(Oreochromis niloticus, O. Macrochir and Tilapia rendalli) from
Madagascar. Food Chemistry. 91 : 683-694.

Ratna. 1998. Ekstraksi dan Analisis Lemak dalam Daging Ikan. Paradigma, Vol.
II No.1, 35-43.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Penerbit Bina Cipta.
Jakarta.

Sargent JR, Bell MV, Henderson RJ, Tocher DR. 1995. Origins and function of n-
3 polyunsaturated fatty acids in marine organism. In Phospholipid:
Characterization, metabolism and novel biological applications (ed. Ceve
G, Paltauf F) 248-258. AOCS Press. Champaign. Illinois.

Sathivel S, Yin H, Prinyawiwatkul W, King JM, Xu Z. 2002. Economical methods


to extract and purify catfish oil. Published Article in the Louisiana
Agiculture, LSU AgCenter, Department of Food Science. Baton Rouge La.

Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Gimm CC, King JM, Lloyd S. 2002. Fatty acid
composition of crude oil recovered from catfish viscera. J American Oil
Chem. Soc. 79 : 989-992.

Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Gimm CC, King JM, Lloyd S. 2003. Oil production
from catfish viscera. J American Oil Chem. Soc. 80 : 377-382.

Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Negulescu JI, King JM. 2008. Determination of


Melting Points, Spesific Heat Capacity and Enthalphy of Catfish Visceral
Oil During the Purification Process. J of American Oil Chem Soc. 85:291-
296.

Sathivel S, Yin H, Prinyawiwatkul W dan King JM. 2009. Comparison of chemical


and physical properties of fish oils prepared from different extracting
processes. J of food Science vol.74 no.2 : E70-76.

Setha B. 1997. Isolasi Asam Lemak Omega 3 dari Limbah Minyak Hasil
Penepungan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Blkr): Pengaruh Rasio
Urea/Minyak dan Lama Kristalisasi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Vol 2. Hal 10 – 13. Univesitas Pattimura. Ambon.

Susanto dan Amri K. 1998. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science.
Japan.

Thammapat P, Raviyan P, Siriamornpun S. 2010. Proximate and Fatty Acids


Composition of The Muscles and Viscera of Asian Catfish (Pangasius
bocourti). Food Chemistry 122 (223-227).
78

Thuy NT, Loc NT, Linberg JE, Ogle B. 2002. Survey of the production,
processing and nutritive value of catfish by-product meals in the Mekong
Delta of Vietnam. Publish in Louisiana Agiculture.

Waagbo R, Sandnes K, Torrisen OJ, Sandvin A, Lie O. 1993. Chemical and


sensory evaluation of fillets from Atlantic Salmon (Salmo salar) fed three
levels of n-3 polyunsaturated dfatty acids at two levels of vitamin E. J
Food Chemistry, 46: 361-366.

Wang C, Chung M, Lichtenstrein A, Balk E, Kupelnick B, Devine D, Lawrence A,


Lau J. 2004. Effect of Omega-3 Fatty Acids on Cardiovascular Disease.
Agency for Healthcare and Quality Pub. No. 04-E009-2.

Wibawa PJ, Listiyorini D dan Fachriyah E. 2006. Penentuan komposisi asam


lemak ekstrak minyak ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dengan GC-
MS dan uji toksisitasnya menggunakan metode Bslt. Jurnal Sains &
Matematika (JSM) Volume14, Nomor 4. Hal 169-174

Windsor dan Barlow S. 1981. Introduction to fishery by product. Fishing news


Books Ltd. Surrey. England.

Wu TH dan Bechtel PJ. 2008. Salmon by-product storage and oil extraction.
Journal of Food Chemistry 111:868-871.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969.


Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moscow.

Zhong Y, Madhujithn T, Mahfouz N, Shahidi. 2007. Compositional characteristics


of muscle and visceral oil from steelhead trout and their oxidaive stability.
Food Chemistry. 104 : 602-608.

Zuta CP, Simpson BK, Chan HM, Philips L. 2003. Concentrating PUFA from
mackerel processing waste. J American Oil Chem. Soc. 80 : 933-936.
79

LAMPIRAN
80

Lampiran 1. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian
Kepala
81

Lampiran 2. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian
Daging Belly Flap
82

Lampiran 3. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam Bagian Isi
Perut
83

Lampiran 4. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian
Kepala
84

Lampiran 5. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian
Daging Belly Flap
85

Lampiran 6. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal Bagian
Isi Perut
86

Lampiran 7. Analisa Statistik Kadar Lemak Ikan patin Siam dan Jambal

Data Kadar Lemak

Ikan Bagian Tubuh Kadar Lemak Ln Kadar Lemak


Siam 1 FS 1 2.63 0.97
Siam 1 FS 1 2.8 1.03
Siam 1 FS 1 2.73 1
Siam 1 KP 2 11.8 2.47
Siam 1 KP 2 10.5 2.35
Siam 1 KP 2 11.3 2.42
Siam 1 TE 3 12.65 2.54
Siam 1 TE 3 13.8 2.62
Siam 1 TE 3 12.85 2.55
Siam 1 BE 4 36.8 3.61
Siam 1 BE 4 35.62 3.57
Siam 1 BE 4 36.21 3.59
Siam 1 TR 5 6.5 1.87
Siam 1 TR 5 6.21 1.83
Siam 1 TR 5 7.18 1.97
Siam 1 KU 6 7.52 2.02
Siam 1 KU 6 7.11 1.96
Siam 1 KU 6 9.07 2.2
Siam 1 VS 7 25.88 3.25
Siam 1 VS 7 26.92 3.29
Siam 1 VS 7 26.73 3.29
Jambal 2 FS 1 2.82 1.04
Jambal 2 FS 1 2.75 1.01
Jambal 2 FS 1 3.1 1.13
Jambal 2 KP 2 10.82 2.38
Jambal 2 KP 2 10.75 2.37
Jambal 2 KP 2 10.98 2.4
Jambal 2 TE 3 11.23 2.42
Jambal 2 TE 3 11.98 2.48
Jambal 2 TE 3 12.49 2.52
Jambal 2 BE 4 36.25 3.59
Jambal 2 BE 4 36.41 3.59
Jambal 2 BE 4 36.84 3.61
Jambal 2 TR 5 10.26 2.33
Jambal 2 TR 5 10.11 2.31
Jambal 2 TR 5 11.88 2.47
Jambal 2 KU 6 6.28 1.84
Jambal 2 KU 6 5.98 1.79
Jambal 2 KU 6 7.57 2.02
Jambal 2 VS 7 35.21 3.56
Jambal 2 VS 7 36.02 3.58
Jambal 2 VS 7 34.73 3.55

FS= filet, KP= kepala, TE= tulang-ekor, BE= daging belly flap, TR= daging trimming, KU=
kulit, VS= isi perut
87

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Kadar_Lemak Ln_Lemak

N 42 42

Normal Mean 15.6493 2.4387


Parameters(a,b)
Std. Deviation 12.11672 .83048

Most Extreme Absolute .282 .136


Differences
Positive .282 .136

Negative -.157 -.123

Kolmogorov-Smirnov Z 1.826 .879

Asymp. Sig. (2-tailed) .003 .423

a Test distribution is Normal.

Hasilnya untuk data kadar lemak adalah berbeda secara signifikan terhadap
model kurva distribusi data normal (p = 0.003 < dari batas 0.05). Data di
transformasi menggunakan fungsi Ln dan hasil mengujian menunjukkan pola
distribusi data tidak berbeda secara signifikan terhadap kurva normal (p = 0.423
> dari batas 0.05).

Dependent Variable: Ln_Lemak

Type III Sum Mean


Source of Squares df Square F Sig.

Corrected Model 28.157(a) 13 2.166 506.040 .000

Intercept 58356.95
249.780 1 249.780 .000
4

Ikan .061 1 .061 14.176 .001

Bagian_Tubuh 27.616 6 4.603 1075.356 .000

Ikan *
.480 6 .080 18.701 .000
Bagian_Tubuh

Error .120 28 .004

Total 278.057 42

Corrected Total 28.277 41

a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .994)


88

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Duncan

Bagian_Tubu
h N Subset

1 2 3 4 5 6 7 1

FS 6 1.0301

KU 6 1.9723

TR 6 2.1310

KP 6 2.3994

TE 6 2.5237

VS 6 3.4209

BE 6 3.5933

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of
Squares, The error term is Mean Square(Error) = .004. a Uses Harmonic Mean Sample
Size = 6.000. b Alpha = .05.
89

Lampiran 8. Analisa Statistik Rendemen Minyak Murni dan Hasil Analisa Kimia
Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal

Data Hasil Analisa Kimia

Ikan Bagian Tubuh Minyak Murni As. Lmk Bbs Peroksida IOD Penyabunan Viscositas
Siam 1 KP1 1 84.86 0.2 1.87 104.94 143.76 72.05
Siam 1 KP2 1 85.26 0.23 2.81 104.58 142.34 72.15
Siam 1 KP3 1 86.14 0.23 1.88 104.94 143.06 71.8
Siam 1 BE1 2 88.21 0.26 2.81 126.9 145.16 69.35
Siam 1 BE2 2 87.99 0.23 2.81 123.31 142.33 69
Siam 1 BE3 2 89.75 0.31 2.99 122.29 143.74 69.25
Siam 1 VS1 3 91.56 0.69 3.75 87.09 145.11 70.65
Siam 1 VS2 3 90.75 0.59 3.92 86.29 144.44 70.35
Siam 1 VS3 3 93.27 0.54 4.13 87.09 144.44 70.5
Jambal 2 KP1 1 84.5 0.56 6.54 136.85 162.58 56.45
Jambal 2 KP2 1 81.35 0.54 7.43 135.78 160.59 56.55
Jambal 2 KP3 1 81.8 0.56 6.5 136.85 162.69 56.5
Jambal 2 BE1 2 85.2 0.31 5.56 152.28 160.38 53.7
Jambal 2 BE2 2 86.25 0.32 6.5 153.55 159.79 53.75
Jambal 2 BE3 2 84.6 0.32 5.61 153.55 160.49 53.95
Jambal 2 VS1 3 89.5 0.89 7.47 104.58 163.86 58.1
Jambal 2 VS2 3 88.75 0.79 8.36 99.21 162.36 58
Jambal 2 VS3 3 89.35 0.82 7.47 105.75 163.16 57.9
90

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

MInyak_ As_Lem
ak_Beba Peroksid Penyabuna Viscosita
Murni s a IOD n s

N 18 18 18 18 18 18

Normal Mean 118.


87.1717 .4661 4.9117 152.7933 63.3333
Parameters(a,b) 1017

Std. 22.9
3.26841 .22698 2.14557 9.31676 7.59634
Deviation 7818

Most Extreme Absolute


.111 .240 .159 .205 .294 .272
Differences

Positive .111 .240 .148 .205 .294 .255

Negative -
-.099 -.128 -.159 -.274 -.272
.112

Kolmogorov-Smirnov Z .471 1.019 .676 .868 1.246 1.155

Asymp. Sig. (2-tailed) .980 .250 .751 .439 .090 .139

a Test distribution is Normal.

b Calculated from data.

Dependent Variable: MInyak_Murni

Type III
Sum of Mean
Source Squares df Square F Sig.

Corrected Model 168.080(a) 5 33.616 29.832 .000

Intercept 121384.5
136780.190 1 136780.190 .000
80

Ikan 38.984 1 38.984 34.596 .000

Bagian_Tubuh 128.776 2 64.388 57.141 .000

Ikan *
.319 2 .160 .142 .869
Bagian_Tubuh

Error 13.522 12 1.127

Total 136961.792 18

Corrected Total 181.602 17

a R Squared = .926 (Adjusted R Squared = .895)


91

Duncan
N Subset

Bagian_Tubuh 1 2 3 1

KP 6 83.9850

BE 6 87.0000

VS 6 90.5300

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.127.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b Alpha = .05.

Hasil uji menunjukkan bahwa rendemen minyak murni berbeda secara signifikan
pada ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan
bagian tubuh yang berbeda menjadi 89.5% penyebab variasi data yang ada pada
minyak murni. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga
bagian ikan memiliki rendemen minyak murni yang berbeda.

Dependent Variable: Asam_Lemak_Bebas


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .855(a) 5 .171 97.063 .000

Intercept 3.911 1 3.911 2220.571 .000

Ikan .186 1 .186 105.644 .000

Bagian_Tubuh .607 2 .304 172.394 .000

Ikan * Bagian_Tubuh .061 2 .031 17.442 .000

Error .021 12 .002

Total 4.786 18

Corrected Total .876 17

a R Squared = .976 (Adjusted R Squared = .966)


92

Duncan

N Subset

Bagian_Tubuh 1 2 3 1

BE 6 .2917

KP 6 .3867

VS 6 .7200

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .002.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b Alpha = .05.

Hasil uji menunjukkan kadar asam lemak bebas berbeda secara signifikan pada
ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan
bagian tubuh yang berbeda menjadi 96.6% penyebab variasi data yang ada pada
kadar asam lemak bebas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara
keseluruhan, ke tiga bagian ikan memiliki kadar asam lemak bebas yang
berbeda.
93

Dependent Variable: Peroksida

Type III Sum Mean


Source of Squares df Square F Sig.

Corrected Model 75.941(a) 5 15.188 78.653 .000

Intercept 434.240 1 434.240 2248.721 .000

Ikan 66.010 1 66.010 341.834 .000

Bagian_Tubuh 7.971 2 3.986 20.639 .000

Ikan *
1.960 2 .980 5.076 .025
Bagian_Tubuh

Error 2.317 12 .193

Total 512.499 18

Corrected Total 78.259 17

a R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .958)

Duncan

N Subset

Bagian_Tubuh 1 2 1

BE 6 4.3800

KP 6 4.5050

VS 6 5.8500

Sig. .631 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .193.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b Alpha = .05.
94

Hasil uji menunjukkan bahwa kadar peroksida berbeda secara signifikan pada
ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan
bagian tubuh yang berbeda menjadi 95.8% penyebab variasi data yang ada pada
kadar asam lemak bebas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara
keseluruhan, BE dan KP memiliki nilai peroksida yang tidak berbeda nyata,
sementara kadar pada VS berbeda secara nyata terhadap BE dan KP.

Dependent Variable: Iod

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 8937.544(a) 5 1787.509 558.534 .000

Intercept 78448.80
251064.066 1 251064.066 .000
4

Ikan 2963.730 1 2963.730 926.063 .000

Bagian_Tubuh 5773.410 2 2886.705 901.995 .000

Ikan *
200.403 2 100.202 31.310 .000
Bagian_Tubuh

Error 38.404 12 3.200

Total 260040.014 18

Corrected Total 8975.948 17

a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .994)

Duncan

N Subset

Bagian_Tubuh 1 2 3 1

VS 6 95.0017

KP 6 120.6567

BE 6 138.6467

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


95

Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 3.200.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b Alpha = .05.

Hasil uji menunjukkan bahwa kadar Iod berbeda secara signifikan pada ikan
yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan bagian
tubuh yang berbeda menjadi 99.4% penyebab variasi data yang ada pada kadar
Iod. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan, ke tiga bagian ikan
memiliki kadar Iod yang berbeda.

Dependent Variable: Penyabunan

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1466.117(a) 5 293.223 369.760 .000

Intercept 529909.9
420224.449 1 420224.449 .000
13

Ikan 1449.373 1 1449.373 1827.683 .000

Bagian_Tubuh 11.739 2 5.870 7.402 .008

Ikan *
5.005 2 2.503 3.156 .079
Bagian_Tubuh

Error 9.516 12 .793

Total 421700.082 18

Corrected Total 1475.633 17

a R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .991)


96

Duncan

N Subset

Bagian_Tubuh 1 2 1

BE 6 151.9817

KP 6 152.5033

VS 6 153.8950

Sig. .330 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .793.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b Alpha = .05.

Hasil uji menunjukkan bahwa kadar penyabunan berbeda secara signifikan pada
ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan
bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.1% penyebab variasi data yang ada pada
kadar penyabunan. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan,
kadar penyabunan BE dan KP tidak berbeda secara nyata, namun VS berbeda
secara nyata terhadap kedua bagian tersebut.
97

Dependent Variable: Viskositas

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 980.740(a) 5 196.148 10016.068 .000

Intercept 3686808.5
72200.000 1 72200.000 .000
11

Ikan 941.780 1 941.780 48090.894 .000

Bagian_Tubuh 30.250 2 15.125 772.340 .000

Ikan * Bagian_Tubuh 8.710 2 4.355 222.383 .000

Error .235 12 .020

Total 73180.975 18

Corrected Total 980.975 17

a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan

N Subset

Bagian_Tubuh 1 2 1

BE 6 61.5000

KP 6 64.2500

VS 6 64.2500

Sig. 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .020.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b Alpha = .05.
98

Hasil uji menunjukkan bahwa kadar viskositas berbeda secara signifikan pada
ikan yang berbeda, juga pada bagian tubuh yang berbeda. Variasi ikan dan
bagian tubuh yang berbeda menjadi 99.99% penyebab variasi data yang ada
pada kadar viscositas. Uji Duncan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan,
kadar viskositas KP dan VS tidak berbeda secara nyata, namun BE berbeda
secara nyata terhadap kedua bagian tersebut.

You might also like