Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
1. PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Adapun tujuan dari penelitian tentang analisis RIA terhadap peraturan pelarangan
transshipment ikan di perairan yurisdiksi nasional adalah:
a. Untuk menganalisis bagaimana implikasi penerapan undang-undang larangan
transhipment terhadap perdagangan internasional khususnya ekspor produk perikanan
dari Indonesia.
b. Untuk menganalisis kebijakan larangan transhipment di laut mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menekan adanya IUU fishing di Indonesia
c. Untuk menganalisis penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA) terhadap
undang-undang larangan transhipment tentang perdagangan internasional khususnya
ekspor produk perikanan dari Indonesia.
2. STUDI LITERATUR
2.1 Transhipment
2.2 Ekspor
Ekspor adalah kegiatan mengirimkan atau memperdagangkan barang atau jasa ke luar
negeri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Orang atau badan yang melakukan
kegiatan ekspor disebut eksportir. Melalui kegiatan ekspor ini suatu Negara akan memperoleh
devisa (alat pembayaran luar negeri) yang sangat diperlukan untuk membiayai proses
pembangunan bangsa. Kegiatan ekspor memegang peranan yang cukup penting dalam rangka
pengendalian inflasi dan mendorong produksi dalam negeri, khususnya komoditi yang akan
diekspor. Ekspor adalah kebalikan dari impor. Negara pada umumnya akan sangat mendorong
agar ekspor meningkat. Banyak cara atau kebijakan yang ditempuh oleh suatu Negara dalam
rangka mendorong ekspor antara lain:
a. Perbaikan atau rehabilitasi kapasitas produksi, khususnya komoditi ekspor.
b. Diversifikasi dalam komposisi ekspor, yaitu mengadakan perubahan-perubahan
susunan barang-barang ekspor dengan jalan meningkatkan barang-barang ekspor lama
ataupun menambah jenis hasil ekspor baru.
c. Peningkatan mutu barang yang akan diekspor sehingga menambah nilai.
Perluasan daerah pemasaran di luar negeri.
d. Memperkuat lembaga-lembaga pemasaran seperti penyempurnaan tata niaga
komoditi ekspor nonmigas.
e. Pengolahan lebih lanjut serta perbaikan pola pemasaran hasil produksinya.
Suatu kegiatan ekspor dapat berkembang jika barang-barang adalah barang-barang yang
laku di luar negeri serta mendatangkan keuntungan bagi yang menjual (eksportir). Di sisi lain
kegiatan ekspor juga harus mendatangkan manfaat bagi si pembeli (importir).
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan aturan pelarangan
bongkar muat ikan di tengah laut atau transhipment diatur dalam Permen KP No. 57/2014 sejak
12 November 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 57/2014 tentang larangan
transshipment tujuannya untuk mencegah kapal bisa mengirim langsung ikan keluar negeri.
Larangan ini mendorong agar kapal-kapal harus bersandar dahulu di pelabuhan Indonesia
sebelum melakukan ekspor, di pelabuhan para kapal harus membayar berbagai Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga retribusi dan lainnya. Secara detail, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 57/2014 khususnya pasal 37 ayat 5, 6, dan ayat 9 yang mengatur
tentang pelarangan transhipment adalah sebagai berikut:
Ayat 5 berbunyi “Setiap kapal pengangkut ikan buatan luar negeri diberikan 2 (dua)
pelabuhan pangkalan dan untuk kapal pengangkut ikan buatan luar negeri untuk tujuan
ekspor diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan”.
Ayat 6 berbunyi “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan wajib
mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum
dalam SIPI atau SIKPI”.
Ayat 9 berbunyi “Setiap kapal yang tidak mendaratkan ikan hasil tangkapan di
pelabuhan pangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) diberikan sanksi pencabutan SIPI atau SIKPI.
Transhipment di laut kadang-kadang sah secara hukum, tetapi dalam banyak kasus
mereka melakukan secara ilegal atau tanpa setiap izin. Apakah resmi atau tidak resmi,
transhipment di laut sering memfasilitasi IUU karena ketidakmampuan pemerintah pesisir dan
negara untuk memantau bagaimana, oleh siapa dan di mana ikan ditangkap. Transhipment di
laut adalah penyebab utama dari kurangnya transparansi dalam perikanan global yang
memungkinkan IUU fishing. Serta memfasilitasi bajak laut dalam hal penangkapan ikan,
Enviromental Justice Foundation mendokumentasikan bahwa kru di kapal yang memindahkan
satu alat pengangkutan ke alat pengangkutan yg lain di laut sering menjadi korban pelanggaran
HAM dan pelanggaran tenaga kerja karena mereka sering tinggal di laut untuk waktu yang lama
dan jarang pergi ke pelabuhan.
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, meskipun
undang-undang ini tidak mengatur tentang IUU Fishing dan transhipment. Undang-undang ini
hanya mengatur secara umum tentang penegakan hukum dilaut teritorial maupun ZEE suatu
negara. Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut
teritorial ataupun perairan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh
pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan aturan peraturan hukum pidananya
terhadap kapal tersebut, akan tetapi hanya apabila pelaanggaran tersevut membawa dampak bagi
negara pantai atau mengganggu keamanan negara pantai.
International plan of Action (IPOA). IPOA – IUU merupakan instrument sukarela
(voluntary instrument) yang dapat diberlakukan pada seluruh negara. Mekanisme ini
memfokuskan pada tanggung jawab serta peran seluruh negara di dunia. Negara pantai, negara
pelabuhan, organisasi penelitian serta Regional Fisheries Management Organization (REMOs).
Code of Conduct for Responsile Fisheries (CCRF). Efektifitas Code of Conduct for Responsile
Fisheries dilakukan dengan cara mewajibkan negara-negara anggota untuk memberikan laporan
perkembangan kemajuan (progress report) setiap dua tahun kepada FAO. Laporan negara-negara
anggota akan menjadi rujukan dalam penentuan kasus kepatuhan negara terhadap praktek
penangkapan ikan secara bertanggung jawab dan pada gilirannya menghindari suatu negara dari
tuduhan melakukan praktek IUU Fishing.
Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu social terapan adalah disiplin ilmu social terapan
yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argument untuk mengasilkan dan
memindahkan informasi relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaakan di tingkat politik
dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (William N. Dunn, 2003). RIA pertama
kali diterapkan sebagai suatu proses dalam pemerintahan Amerika pada tahun 1970-an2. Namun
mulai popular setelah OECD mulai menerapkan ide dan mempublikasikan RIA pada bulan
Maret 1995 dalam bentuk pedoman penerapan RIA. Penggunaan RIA untuk pengajuan
peraturan baru telah diwajibkan di pemerintah pusat Inggris sejak tahun 1998 dan pedoman RIA
diperkenalkan pada tahun 2000 untuk departemen pemerintahan di Inggris. Pada tahun 2001, 20
negara anggota OECD mengklaim telah menerapkan RIA. Selain itu organisasi donor
internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank telah berinisiatif untuk
menyebarkan konsep RIA ke negara berkembang, sedangkan Komisi Eropa memperkenalkan
system Impact assessment pada tahun 2003. Perkembangan berikutnya semakin banyak anggota
OECD yang menggunakan konsep RIA.
Dalam salah satu panduan yang diterbitkan Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD), RIA dijelaskan sebagai suatu proses yang secara sistematik
mengidentifikasi dan menilai dampak yang diinginkan dari suatu pengajuan undang-undang
dengan metode analisia yang konsisten seperti benefit-cost analysis. RIA merupakan proses
komparasi yang didasarkan tujuan pengaturan yang telah ditetapkan dan mengidentifikasi semua
kemungkinan kebijakan yang mmempengaruhi dalam mencapai tujuan kebijakan. Semua
alternatif yang tersedia harus dinilai dengan metode yang sama dalam rangka menginformasikan
pengambil keputusan akan pilihan-pilihan yang efektif dan efisien sehingga dapat memilih
secara sistematis pilihan yang paling efektif dan efisien. Menurut OECD pengertian RIA: “RIA’s
most important contribution to the quality of decisions is not the precision of the calculations
used, but the action of analyzing – questioning, understanding real-world impacts and exploring
assumptions”
Menurut OECD dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan ataupun
kebijakan didasarkan dengan RIA diperlukan beberapa tahan yang meliputi::
a. Mendefinisikan konteks kebijakan dan tujuan khususnya mengidentifikasi secara
sistemik masalah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan oleh pemerintah.
b. Mengidentifikasi dan mendefinisikan semua opsi peraturan dan kebijakan lain
untuk mencapai tujuan kebijakan yang akan ditetapkan.
c. Mengidentifikasi dan mengkuantifisir dampak dari opsi yang dipertimbangkan,
termasuk efek biaya, manfaat dan pendistribusian.
d. Membangun strategi penegakan hukum dan kepatuhan dari setiap opsi, termasuk
mengevaluasi efektivitas dan efisisensi tiap pilihan,
e. Membangun mekanisme monitoring untuk mengevaluasi keberhasilan kebijakan
yang dipilih dan member masukan informasi untuk respon pengaturan di masa
mendatang.
f. Konsultasi public secara sistematis untuk member kesempatan kepada semua
pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan. Tahap
ini memberikan informasi yang penting akan biaya dan manfaat dari semua alternatif
termasuk efektifitasnya.
dapat mengenal lebih jauh metode RIA. Meskipun demikian, hingga saat ini secara kelembagaan
metode RIA belum diterapkan di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas. Di
kementerian/lembaga lain juga demikian, penggunaan metode RIA baru sebatas uji coba yang
tidak berkelanjutan. Regulatory Impact Analysis (RIA) menurut Bappenas merupakan proses
analisis dan pengkomunikasian secara sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan baru
maupun kebijakan yang sudah ada. Butir penting dari definisi ini yaitu:
a. Metode RIA mencakup kegiatan analisis dan pengkomunikasian.
b. Obyek metode RIA adalah kebijakan, baik berbentuk peraturan ataupun
nonperaturan.
c. Metode RIA dapat diterapkan untuk kebijakan baru maupun untuk kebijakan
yang sudah ada , bersama dengan beberapa kementerian/lembaga lain.
3 PEMBAHASAN
Pada 2013 seluruh ekspor produk perikanan Indonesia senilai US$ 4,2 miliar, sebanyak
US$ 1,65 miliar berasal dari komoditas udang. Pada 2014 meningkat menjadi US$ 4,6 miliar,
sebanyak US$ 2,1 miliar berasal dari ekspor udang. Sisanya disumbangkan oleh kerapu, kakap,
tuna, dan nila. Komoditas lain yang dapat menjadi andalan ekspor adalah rajungan dan kepiting.
Namun bea masuk yang dikenakan oleh negara Eropa bagi produk tuna cukup besar, 24 persen
untuk bea masuk tuna kaleng, sedangkan tuna mentah 14 persen, (transformasi, 2015a). Selain
udang, sumbangan devisa ekspor perikanan Indonesia berasal dari tuna serta rajungan atau
kepiting (transformasi, 2015b). Sedangkan target ekspor 2015 yang diharapkan yaitu US$ 5,4
miliar (Neraca, 2015)
jika dilakukan dengan cara ilegal. Sementara Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai
habis, di Indonesia masih menjanjikan. (Ajisularso, 2015)
Alasan Pemerintah Menerapkan Kebijakan Larangan Transhipment adalah:
a. Indonesia memiliki luas pantai terpanjang nomor dua di dunia, tetapi ekspor hasil
laut nomor lima di dunia, maka pantas jika hasil perikanan laut dimaksimalkan.
b. Untuk menghindari kecurangan sebagian pengusaha perikanan, dimana kapal
pengangkut ikan tidak mendaratkan muatannya di pelabuhan, melainkan langsung
membawa ke luar negeri (tranformasi, 2015). Dengan kebijakan ini, penataan laut lebih
baik, hasil perikanan laut bisa semuanya didaratkan di pelabuhan Indonesia dan tidak lari
ke negara lain. Sehingga dapat menekan jumlah ekspor ikan yang tidak tercatat oleh
pemerintah (Neraca, 2015). Secara keseluruhan larangan transhipment tidak akan
mengganggu ekspor produk perikanan. Walaupun jumlah berkurang untuk ikan hasil
tangkapan di laut, tapi untuk ikan budidaya malah lebih besar. Dari sekitar 6.000 kapal di
atas 30 Gross Tonnage (GT), dan yang bermasalah hanya 1.200 kapal yaitu kapal eks
asing yang 4.200 kapal masih tetap bisa melaut dan menangkap ikan. Dari 1.200 kapal
tersebut bisa jadi yang memang dulu tidak mendaratkan ikannya di Indonesia karena
memang kapal-kapal eks asing inilah yang banyak bermasalah dengan izin (Neraca,
2015).
c. Adanya kapal asing yang melakukan transhipment seperti dari Tiongkok,
Thailand, dan Filipina Kebijakan larangan transhipment juga sejalan dengan kebijakan
KKP untuk menyepakati inisiatif Kementerian Perdagangan dalam mencapai target
peningkatan ekspor hasil laut serta untuk mewujudkan basis produksi hasil Kelautan dan
Perikanan secara berkelanjutan (Dirjen Perikanan Tangkap, KKP, 2015).
Selain sebagai proses, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai alat. Dalam hal ini,
metode RIA merupakan alat untuk menghasilkan kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang
lebih baik. Ada dua kunci dalam penerapan metode RIA yang dianggap mampu memenuhi
harapan tersebut, yaitu: adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi,
kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko sebuah kebijakan, serta menemukan opsi/pilihan
yang paling efektif dan efesien sehingga dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah
dan biaya transaksi bagi masyarakat.
Di samping sebagai proses dan alat, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai sebuah
logika berfikir. Metode RIA dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir logis,
mulai dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah, serta memilih
satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua pilihan. Metode RIA mendorong pengambil
kebijakan untuk berfikir terbuka dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang
terkait dengan kebijakan yang hendak diambil. Proses yang dilakukan dalam RIA adalah:
a. Identifikasi dan analisis masalah terkait kebijakan. Langkah ini dilakukan agar
semua pihak, khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas masalah apa
sebenarnya yang dihadapi dan hendak dipecahkan dengan kebijakan tersebut. Pada tahap
ini, sangat penting untuk membedakan antara masalah (problem) dengan gejala
(symptom), karena yang hendak dipecahkan adalah masalah, bukan gejalanya.
b. Penetapan tujuan. Setelah masalah teridentifikasi, selanjutnya perlu ditetapkan
apa sebenarnya tujuan kebijakan yang hendak diambil. Tujuan ini menjadi satu
komponen yang sangat penting, karena ketika suatu saat dilakukan penilaian terhadap
efektivitas sebuah kebijakan, maka yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah apakah
tujuan kebijakan tersebut tercapai ataukah tidak.
c. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.
Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan kebijakan sudah jelas, langkah
berikutnya adalah melihat pilihan apa saja yang ada atau bisa diambil untuk memecahkan
masalah tersebut. Dalam metode RIA, pilihan atau alternatif pertama adalah “do
nothing” atau tidak melakukan apa-apa, yang pada tahap berikutnya akan dianggap
sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan dengan berbagai opsi/pilihan yang
ada. Pada tahap ini, penting untuk melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang
dan kepentingan guna mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa
saja yang tersedia.
d. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, baik dari sisi legalitas maupun
biaya (cost) dan manfaat (benefit)-nya. Proses seleksi diawali dengan penilaian dari
aspek legalitas, karena setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan analisis terhadap biaya
(cost) dan manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan. Secara sederhana, “biaya”
adalah hal-hal negatif atau merugikan suatu pihak jika pilihan tersebut diambil,
sedangkan “manfaat” adalah hal-hal positif atau menguntungkan suatu pihak. Biaya atau
manfaat dalam hal ini tidak selalu diartikan “uang”. Dalam konteks identifikasi biaya dan
manfaat sebuah kebijakan, perlu dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang terkena
dampak dan siapa saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu pilihan kebijakan
(termasuk kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan apa-apa atau do
nothing).
e. Pemilihan kebijakan terbaik. Analisis Biaya-Manfaat kemudian dijadikan dasar
untuk mengambil keputusan tentang opsi/pilihan apa yang akan diambil. Opsi/pilihan
yang diambil adalah yang mempunyai manfaat bersih (net benefit), yaitu jumlah semua
manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.
a. Dampak Positif.
Target devisa dari ekspor hasil perikanan tahun 2014 mencapai US$ 5,1 milyar
dibandingkan tahun 2013 sebesar US$ 4,2 Milyar. US$ 1,65 milyar diantaranya (39%)
berasal dari ekspor udang (beritasatu, 2015). Pertumbuhan produk domestik bruto di
sektor perikanan pada kuartal I 2015 sebesar 8,64 persen, diatas pertumbuhan ekonomi
nasional sebesar 4,71 persen (BPS dalam tempo.co. 2015). Pertumbuhan sektor
perikanan disumbang oleh aturan moratorium eks kapal asing yang diberlakukan sejak 3
November 2014, larangan transhipment di laut, serta larangan penggunaan alat tangkap
tak ramah lingkungan.
Kebijakan larangan transhipment dan juga kebijakan moratorium telah
menyelamatkan nelayan lokal karena hasil tangkapan menjadi meningkat
(kompas.economics.com, 2015). Akibat naiknya tangkapan nelayan lokal, harga ikan di
dalam negeri bisa turun 5-10% sehingga konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita
menjadi 35 kg per kapita per tahun. Indikator penurunan harga (deflasi) hasil laut di
dalam negeri itu dilihat dari dua komoditas yaitu adalah bandeng dan kembung, karena
kedua ikan itulah yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kita.
(finance.detik.com, 2015 dan BPS dalam tempo.co, 2015b) Kebijakan larangan
transhipment dan moratorium, dapat menekan impor bahan bakar minyak yang turun
hingga 30 persen karena kapal-kapal ilegal yang mencuri ikan di perairan Indonesia
berkurang. Selama ini kapal-kapal itu melakukan ilegal fishing dengan memakai BBM
Indonesia (tempo.co. 2015b)
b. Dampak Negatif.
Di lain hal, sejak diterapkannya larangan transhipment kebijakan baru ini banyak
kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang mengeluh dan melakukan protes
kepada pemerintah karena, kebijakan juga menimbulkan kerugian, antara lain:
2014 didapatkan volume ikan sebanyak 16.839 puluh ribu ton. Pada tahun 2015
mengalami penurunan sebesar 8.292 ribu ton menjadi 8.547 ton atau terjadi
penurunan sebesar 33%. Penurunan produksi kedua komoditas tuna yaitu pada
tahun 2014 – 2015 terjadi akibat sedikitnya kapal yang melakukan kegiatan
penangkapan dan melakukan aktivitas bongkar hasil tangkapan di Pelabuhan
Perikanan Samudera Nizam Zachman. Pada tahun 2014 – 2015 terjadi penurunan
sebesar 206 unit kapal yang tidak melakukan kegiatan bongkar.
4. PENUTUP
4.1 Simpulan
4.1 Saran
Daftar Pustaka
Ajisularso, 2015, Konsep Perikanan Terpadu dengan Pendekatan Cluster, KKP, Jakarta
Amelia Hudayana, 2017, Analisis Kebijakan Larangan Transhipment (Alih Muat) Tangkapan
Perikanan Terhadap Kinerja Usaha Penangkapan Ikan Kapal Long Line, (Studi Kasus
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman DKI Jakarta), Journal of Economic and
Social of Fisheries and Marine. 2017. 05(01): 78 - 89 e-ISSN: 2528-5939
Camille Garcia Guimarães Andrade Coyac, 2015, Analysis and Improvement of Transshipment
Operations in Jerónimo Martins, Department of Engineering and Management, Instituto
Superior Técnico.
Idqan Fahmi, 2018, Analisis Kebijakan Agrobisnis, IPB, Bogor
M. Sitanggang dan B. Sarwono, 2011, Budi Daya Gurami. Jakarta :Penebar Swadaya
Noviyanti, Rinda. 2011. Kondisi Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) Indonesia. Universitas Terbuka, Jakarta.
Suska, 2016, Prinsip Regulatory Impact Assessment dalam Proses Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, Jakarta.
William N. Dunn, 2003, Analisis Kebijakan Publik,Jakarta: Hanindita Graha Widya.
Yayan Hikmayan, 2015, Efektivitas Pemberlakuan Kebijakan Moratorium Kapal Eks Asing Dan
Transhipment Terhadap Kinerja Usaha Penangkapan Ikan, Kebijakan Sosek KP Vol. 5
No. 2 Tahun 2015.
Sumber Internet.
https://www.u-cursos.cl/derecho/2011/1/D123A0632/3material_docente/
bajar?id_material=339966