You are on page 1of 18

Tugas Individu

Mata Kuliah Analisa Kebijakan Agrobisnis


Dosen Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

ANALISIS REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA)


TERHADAP PELARANAGAN TRANSHIPMENT IKAN DI
PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA

MEI EDI PRAYITNO


NIM: K16170018-DMB 12

DOKTOR MANAJEMEN DAN BISNIS


PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
i
Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

ABSTRACT

The importance of the analysis of regulations by using Regulatory Impact Assessment


(RIA), as a result of the implementation of a series of government policies to fight IUU fishing,
including the Permen KP number 57 / PERMEN-KP / 2014 concerning the prohibition of
transhipment at sea since the end of 2014, fisheries exports in the first quarter 2015 fell 16.5
percent compared to the same period the previous year. While the value of fishery exports fell 9
percent compared to the same period last year. Export volume in the first quarter of 2015 was
recorded at 245,084.9 tons, while in the same period last year amounted to 293.6244.4 tons. On
the value side, the first quarter 2015 fisheries exports amounted to US $ 969 million, while in the
same period last year amounted to US $ 1.068 billion. The impact of the decline in export value
due to law enforcement against illegal fishing is only short-term due to the non-operation of some
fishing vessels illegal. Because, after the theft of fish resources can be suppressed, then in the
long run the stock of fish in the Indonesian sea will be more abundant which results can be
utilized for the maximum welfare of the people both for increasing domestic food security and for
export. This indication can be seen from the growth of gross domestic product in the fisheries
sector in the first quarter of 2015 of 8.64 percent. This growth is above the national economic
growth of 4.71 percent. The policy of prohibiting transshipment at sea and other anti-illegal
fishing policies in the long term will not interfere with fishery product exports. Although the
amount is reduced for fish caught in the sea, but for aquaculture products it is even greater

Keyword : Regulatory Impact Assessment (RIA), Transshipment, Fisheries.

Mei Edi Prayitno ii


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

ANALISIS REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA) TERHADAP PELARANGAN


TRANSHIPMENT IKAN DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA

1. PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Dalam penyusunan suatu aturan pemerintah, memerlukan langkah-langkah yang


dipersiapkan dengan baik. Selain memperhitungkan berbagai alternatif dalam menyusun suatu
aturan, perlu juga diperhitungkan manfaat dan biaya yang mungkin timbul dari aturan tersebut.
Komunikasi dengan pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat juga sangat diperlukan,
untuk mendapatkan masukan yang penting bagi penyusunan aturan sehingga pada saat
penerapannya tidak menimbulkan resistensi yang besar. Menurut Suska (2016) Regulatory
Impact Assessment, atau disebut juga Regulatory Impact Analysis (RIA), merupakan suatu
metode yang digunakan dalam penyusunan suatu aturan yang secara prinsip dapat
mengakomodasi langkah-langkah yang harus dijalankan dalam penyusunan suatu aturan.
Metode ini mulai popular di awal tahun 2000-an, dan banyak digunakan di negara-negara maju.
Dalam hal penyusunan peraturan perundangan, pada tahun 2011 telah terbit Undang-undang
(UU) Nomor 12 tahun 2011 yang merupakan pedoman dalam penyusunan dan pengajuan
undang-undang maupun peraturan daerah. Dalam undang-undang tersebut dijabarkan mengenai
tata cara penyusunan Undang-undang mulai dari tahap penyusunan rencana hingga
pengesahannya. Hal tersebut dapat untuk menguji apakah kebijakan dalam pelarangan
transhipment hasil produk tangkapan ikan di perairan yurisdiksi nasional telah memenuhi
metode RIA. Menurut Analisis OECD (2018), menunjukkan bahwa melakukan RIA dalam
kerangka kerja sistematis yang tepat dapat mendukung kapasitas pemerintah untuk memastikan
bahwa peraturan tersebut efisien dan efektif dalam dunia yang berubah dan kompleks. Beberapa
bentuk RIA kini telah diadopsi oleh hampir semua anggota OECD, tetapi mereka semua tetap
menemukan keberhasilan implementasi RIA secara administratif dan teknis.

Gambar 1. Dampak Penerapan RIA dalam penyusunan Peraturan


Sumber http://www.oecd.org/gov/regulatory-policy/ria.htm

Mei Edi Prayitno 1


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

Dalam peningkatan pendapatan nasional (Product Domestic Brutto), perikanan memiliki


salah satu peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan
kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti 2011). Sejak tahun
2005 hingga 2010 rata-rata 58,3 % dari total produksi perikanan di Indonesia berasal dari
perikanan tangkap (Badan Pusat Statistik Indonesia 2012). Kegiatan penangkapan banyak terjadi
di wilayah pesisir, karena daerah tersebut merupakan wilayah subur dan memiliki kelimpahan
sumberdaya tinggi (Nybaken, 1988). Karakteristik sumberdaya ikan adalah common property
resources dan open access (Gordon 1954 dalam Hiariey 2013) sehingga perlu ada pengelolaan
berorientasi jangka panjang untuk perikanan tangkap (Noviyanti 2011). Pengelolaan perikanan
tangkap seyogianya didasarkan pada kajian biologis, ekonomis dan sosial, sedangkan aspek
teknis dikembangkan mengikuti ketiga aspek tersebut (Sitanggang 2008).
Kasus pencurian ikan (illegal fishing) yang terjadi di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) Indonesia sampai saat ini masih berlanjut dan menimbulkan kerugian yang besar bagi
negara Indonesia. Tindakan tegas Pemerintah diperlukan untuk memberikan efek jera bagi
pencuri ikan yang masuk ke wilayah Indonesia. Menyikapi terjadinya Ilegal,Unreported and
Unregulated (IUU) fishing yang menyebabkan terjadinya kerugian bagi Indonesia, Maka
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: 56/PERMEN-KP/2014 tanggal 3 November 2014 tentang Penghentian
Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia. Dengan Moratorium tersebut, KKP akan melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap administrasi seluruh kapal yang beroperasi di wilayah Indonesia, meliputi:
Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI). Selain penghentian sementara (Moratorium) kapal buatan luar negeri,
KKP juga menerbitkan Permen KP Nomor: 57/PERMEN-KP/2014 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor: Per.30/Men/2012 tentang Usaha
Perikanan tangkap di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, dimana
Permen ini mengatur tentang Pelarangan Pendaratan Ikan Hasil Tangkapan dari Kapal
Penangkap Ikan yang Melalui Alih Muatan di Laut.
Transhipment sendiri harus dilakukan dengan beberapa ketentuan, diantaranya
mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama, pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau
kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer), transmitter VMS dalam kondisi
aktif dan dapat dipantau secara online, melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan
sebagaimana tercantum dalam SIPI dan SIKPI, melaporkan kepada pengawas perikanan di
pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI, dan mengisi pernyataan
pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nahkoda kapal dan
disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan.
Karena dianggap penting, moratorium yang seharusnya berakhir pada tanggal April 2015
ini kemudian diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Oktober 2015 dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan

Mei Edi Prayitno 2


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 Penghentian


Sementara (moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia. Semua hal tersebut diatas bertujuan kesejahteraan rakyat Indonesia
dan juga untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

1.2 Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini, diantaranya:


a. Apa implikasi penerapan undang-undang larangan transhipment terhadap
perdagangan internasional khususnya ekspor produk perikanan dari Indonesia?
b. Bagaimana kebijakan larangan transhipment di laut mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan menekan adanya IUU fishing di Indonesia?
c. Bagaimana analisa Regulatory Impact Assessment (RIA) terhadap peraturan
larangan transhipment tentang perdagangan internasional khususnya ekspor produk
perikanan dari Indonesia?

1.3 Tujuann Penelitian.

Adapun tujuan dari penelitian tentang analisis RIA terhadap peraturan pelarangan
transshipment ikan di perairan yurisdiksi nasional adalah:
a. Untuk menganalisis bagaimana implikasi penerapan undang-undang larangan
transhipment terhadap perdagangan internasional khususnya ekspor produk perikanan
dari Indonesia.
b. Untuk menganalisis kebijakan larangan transhipment di laut mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menekan adanya IUU fishing di Indonesia
c. Untuk menganalisis penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA) terhadap
undang-undang larangan transhipment tentang perdagangan internasional khususnya
ekspor produk perikanan dari Indonesia.

1.4 Manfaat Penyusunan Makalah

Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah:


a. Bagi Tim Penyusun sendiri, dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai pengaruh kebijakan larangan transhipment bagi perdagangan internasional
Indonesia.
b. Bagi pembaca, makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam
melakukan studi lanjutan, pembuatan karya ilmiah dan juga diharapkan dapat menjadi
sumber informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi tentang pengaruh
kebijakan larang transhipment bagi perdagangan internasional Indonesia.

Mei Edi Prayitno 3


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

2. STUDI LITERATUR

2.1 Transhipment

Transhipment merupakan suatu masalah transportasi dimana sebagian atau seluruh


barang yang diangkut dari tempat asal tidak langsung dikirim ke tempat tujuan tetapi melalui
tempat transit (transhipment nodes) (Camille Garcia, 2015) . Hal ini sering terjadi di dalam
dunia nyata. Jadi, sebelum didistribusikan ke tempat tujuan akhir, disimpan dahulu di suatu
lokasi (tempat penyimpanan sementara). Tujuan utama masalah transhipment adalah untuk
menentukan jumlah unit barang yang akan dikirim dari tempat asal ke tempat tujuan akhir
meskipun melalui tempat transit (dengan ketentuan bahwa seluruh permintaaan di tempat tujuan
akhir dapat terpenuhi) dengan total biaya angkutan yang dikeluarkan seminimal mungkin.
Secara sederhana transhipment adalah proses pemindahan muatan dari satu kapal ke kapal
lainnya yang dilakukan di tengah laut. Dalam hal operasi penangkapan ikan, transhipment
berarti proses pemindahan muatan ikan dari kapal-kapal penangkap ikan ke kapal pengumpul
(collecting ship). Kapal collecting ini selanjutnya akan membawa seluruh ikan yang
dikumpulkannya ke darat untuk diproses lebih lanjut.
Dari sisi bisnis, transhipment sangat menguntungkan. Melalui transhipment, kapal
penangkap tidak perlu lagi kembali ke pangkalan setelah muatan ikan dalam palkah penuh. Ia
tinggal menunggu kapal pengumpul untuk mengambil ikan hasil tangkapan, dan pada saat itu
pula kapal pengumpul menyuplai bahan bakar, bahan makanan, serta kebutuhan lainnya kepada
kapal penangkap ikan tersebut. Dari pola sepenrti diatas, maka jelas bahwa transhipment dapat
mengefektifkan operasi penangkapan dan mengefisiensikan biaya operasional penangkapan. Jika
tanpa transhipment, maka perbandingan ongkos bahan bakar dengan muatan hasil tangkapan
adalah 1:1. Artinya bahwa ketika kapal kembali ke pangkalan, maka kapal tersebut hanya dapat
membawa satu paket muatan, yaitu sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Sementara
melalui transhipment, maka perbandingannya bisa 1:2, 1:3, atau bahkan mungkin lebih jika
musim ikan sedang berlangsung. Ini artinya bahwa ketika kapal kembali ke pangkalan, maka
sebetulnya dia sudah melakukan 2 hingga 3 kali pendaratan muatan ikan melalui bantuan kapal
pengumpul. Dapat dibayangkan, berapa biaya bahan bakar yang dapat dihemat melalui metode
transhipment ini. Selanjutnya dari sisi operasi penangkapan, maka transhipment memungkinkan
kapal untuk tidak mengalami kehilangan kesempatan untuk menguasai fishing ground. Misalnya
saja pada saat musim ikan tiba, atau kapal mendapatkan fishing ground yang berlimpah, ketika
muatan kapal sudah penuh maka kapal tidak perlu meninggalkan tempat berpotensi tersebut.
Jika ia kembali ke pangkalan, maka bisa jadi fishing ground ini akan diambil kapal lain.

2.2 Ekspor

Ekspor adalah kegiatan mengirimkan atau memperdagangkan barang atau jasa ke luar
negeri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Orang atau badan yang melakukan

Mei Edi Prayitno 4


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

kegiatan ekspor disebut eksportir. Melalui kegiatan ekspor ini suatu Negara akan memperoleh
devisa (alat pembayaran luar negeri) yang sangat diperlukan untuk membiayai proses
pembangunan bangsa. Kegiatan ekspor memegang peranan yang cukup penting dalam rangka
pengendalian inflasi dan mendorong produksi dalam negeri, khususnya komoditi yang akan
diekspor. Ekspor adalah kebalikan dari impor. Negara pada umumnya akan sangat mendorong
agar ekspor meningkat. Banyak cara atau kebijakan yang ditempuh oleh suatu Negara dalam
rangka mendorong ekspor antara lain:
a. Perbaikan atau rehabilitasi kapasitas produksi, khususnya komoditi ekspor.
b. Diversifikasi dalam komposisi ekspor, yaitu mengadakan perubahan-perubahan
susunan barang-barang ekspor dengan jalan meningkatkan barang-barang ekspor lama
ataupun menambah jenis hasil ekspor baru.
c. Peningkatan mutu barang yang akan diekspor sehingga menambah nilai.
Perluasan daerah pemasaran di luar negeri.
d. Memperkuat lembaga-lembaga pemasaran seperti penyempurnaan tata niaga
komoditi ekspor nonmigas.
e. Pengolahan lebih lanjut serta perbaikan pola pemasaran hasil produksinya.

Suatu kegiatan ekspor dapat berkembang jika barang-barang adalah barang-barang yang
laku di luar negeri serta mendatangkan keuntungan bagi yang menjual (eksportir). Di sisi lain
kegiatan ekspor juga harus mendatangkan manfaat bagi si pembeli (importir).

2.3 Kebijakan Transhipment di Indonesia

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan aturan pelarangan
bongkar muat ikan di tengah laut atau transhipment diatur dalam Permen KP No. 57/2014 sejak
12 November 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 57/2014 tentang larangan
transshipment tujuannya untuk mencegah kapal bisa mengirim langsung ikan keluar negeri.
Larangan ini mendorong agar kapal-kapal harus bersandar dahulu di pelabuhan Indonesia
sebelum melakukan ekspor, di pelabuhan para kapal harus membayar berbagai Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga retribusi dan lainnya. Secara detail, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 57/2014 khususnya pasal 37 ayat 5, 6, dan ayat 9 yang mengatur
tentang pelarangan transhipment adalah sebagai berikut:

Ayat 5 berbunyi “Setiap kapal pengangkut ikan buatan luar negeri diberikan 2 (dua)
pelabuhan pangkalan dan untuk kapal pengangkut ikan buatan luar negeri untuk tujuan
ekspor diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan”.

Ayat 6 berbunyi “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan wajib
mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum
dalam SIPI atau SIKPI”.

Mei Edi Prayitno 5


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

Ayat 9 berbunyi “Setiap kapal yang tidak mendaratkan ikan hasil tangkapan di
pelabuhan pangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) diberikan sanksi pencabutan SIPI atau SIKPI.

2.4 Undang-undang Internasional tentang Transhipment / Illegal, Unreported and


Unregulated Fishing (IUU)

Transhipment di laut kadang-kadang sah secara hukum, tetapi dalam banyak kasus
mereka melakukan secara ilegal atau tanpa setiap izin. Apakah resmi atau tidak resmi,
transhipment di laut sering memfasilitasi IUU karena ketidakmampuan pemerintah pesisir dan
negara untuk memantau bagaimana, oleh siapa dan di mana ikan ditangkap. Transhipment di
laut adalah penyebab utama dari kurangnya transparansi dalam perikanan global yang
memungkinkan IUU fishing. Serta memfasilitasi bajak laut dalam hal penangkapan ikan,
Enviromental Justice Foundation mendokumentasikan bahwa kru di kapal yang memindahkan
satu alat pengangkutan ke alat pengangkutan yg lain di laut sering menjadi korban pelanggaran
HAM dan pelanggaran tenaga kerja karena mereka sering tinggal di laut untuk waktu yang lama
dan jarang pergi ke pelabuhan.
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, meskipun
undang-undang ini tidak mengatur tentang IUU Fishing dan transhipment. Undang-undang ini
hanya mengatur secara umum tentang penegakan hukum dilaut teritorial maupun ZEE suatu
negara. Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut
teritorial ataupun perairan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh
pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan aturan peraturan hukum pidananya
terhadap kapal tersebut, akan tetapi hanya apabila pelaanggaran tersevut membawa dampak bagi
negara pantai atau mengganggu keamanan negara pantai.
International plan of Action (IPOA). IPOA – IUU merupakan instrument sukarela
(voluntary instrument) yang dapat diberlakukan pada seluruh negara. Mekanisme ini
memfokuskan pada tanggung jawab serta peran seluruh negara di dunia. Negara pantai, negara
pelabuhan, organisasi penelitian serta Regional Fisheries Management Organization (REMOs).
Code of Conduct for Responsile Fisheries (CCRF). Efektifitas Code of Conduct for Responsile
Fisheries dilakukan dengan cara mewajibkan negara-negara anggota untuk memberikan laporan
perkembangan kemajuan (progress report) setiap dua tahun kepada FAO. Laporan negara-negara
anggota akan menjadi rujukan dalam penentuan kasus kepatuhan negara terhadap praktek
penangkapan ikan secara bertanggung jawab dan pada gilirannya menghindari suatu negara dari
tuduhan melakukan praktek IUU Fishing.

Mei Edi Prayitno 6


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

2.4 Regulatory Impact Assessment (RIA)

2.4.1 Konsep RIA berdasarkan OECD

Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu social terapan adalah disiplin ilmu social terapan
yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argument untuk mengasilkan dan
memindahkan informasi relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaakan di tingkat politik
dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (William N. Dunn, 2003). RIA pertama
kali diterapkan sebagai suatu proses dalam pemerintahan Amerika pada tahun 1970-an2. Namun
mulai popular setelah OECD mulai menerapkan ide dan mempublikasikan RIA pada bulan
Maret 1995 dalam bentuk pedoman penerapan RIA. Penggunaan RIA untuk pengajuan
peraturan baru telah diwajibkan di pemerintah pusat Inggris sejak tahun 1998 dan pedoman RIA
diperkenalkan pada tahun 2000 untuk departemen pemerintahan di Inggris. Pada tahun 2001, 20
negara anggota OECD mengklaim telah menerapkan RIA. Selain itu organisasi donor
internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank telah berinisiatif untuk
menyebarkan konsep RIA ke negara berkembang, sedangkan Komisi Eropa memperkenalkan
system Impact assessment pada tahun 2003. Perkembangan berikutnya semakin banyak anggota
OECD yang menggunakan konsep RIA.

Gambar 2. Analisis Dampak Resiko Tidak Menerapkan Ria


Sumber: Nuri Andrawaulan IPB, 2015.

Dalam salah satu panduan yang diterbitkan Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD), RIA dijelaskan sebagai suatu proses yang secara sistematik
mengidentifikasi dan menilai dampak yang diinginkan dari suatu pengajuan undang-undang
dengan metode analisia yang konsisten seperti benefit-cost analysis. RIA merupakan proses
komparasi yang didasarkan tujuan pengaturan yang telah ditetapkan dan mengidentifikasi semua
kemungkinan kebijakan yang mmempengaruhi dalam mencapai tujuan kebijakan. Semua
alternatif yang tersedia harus dinilai dengan metode yang sama dalam rangka menginformasikan

Mei Edi Prayitno 7


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

pengambil keputusan akan pilihan-pilihan yang efektif dan efisien sehingga dapat memilih
secara sistematis pilihan yang paling efektif dan efisien. Menurut OECD pengertian RIA: “RIA’s
most important contribution to the quality of decisions is not the precision of the calculations
used, but the action of analyzing – questioning, understanding real-world impacts and exploring
assumptions”
Menurut OECD dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan ataupun
kebijakan didasarkan dengan RIA diperlukan beberapa tahan yang meliputi::
a. Mendefinisikan konteks kebijakan dan tujuan khususnya mengidentifikasi secara
sistemik masalah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan oleh pemerintah.
b. Mengidentifikasi dan mendefinisikan semua opsi peraturan dan kebijakan lain
untuk mencapai tujuan kebijakan yang akan ditetapkan.
c. Mengidentifikasi dan mengkuantifisir dampak dari opsi yang dipertimbangkan,
termasuk efek biaya, manfaat dan pendistribusian.
d. Membangun strategi penegakan hukum dan kepatuhan dari setiap opsi, termasuk
mengevaluasi efektivitas dan efisisensi tiap pilihan,
e. Membangun mekanisme monitoring untuk mengevaluasi keberhasilan kebijakan
yang dipilih dan member masukan informasi untuk respon pengaturan di masa
mendatang.
f. Konsultasi public secara sistematis untuk member kesempatan kepada semua
pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan. Tahap
ini memberikan informasi yang penting akan biaya dan manfaat dari semua alternatif
termasuk efektifitasnya.

2.4.2 Implementasi RIA di Indonesia

Metode Regulatory Impact Assessment/analysis di Indonesia dikembangkan terutama


oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Sejak tahun 2003, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian
PPN/Bappenas) telah berperan aktif dalam mengembangkan dan mensosialisasikan metode RIA.
Salah satul angkah paling penting yang dilakukan adalah menyusun dan meluncurkan buku
panduan pelaksanaan metode RIA pada tahun 2009 dengan dukungan beberapa lembaga donor
melalui The Asia Foundation. Dalam penerapan kebijakan RIA menurut Kirkpatric dan Parker
(2012) secara tipikal, diperlukan beberapan tahapan yang melibatkan beberapa tugas yang
dilakukan dalam setiap tahap yaitu: deskripsi masalah dan tujuan dari proposal kebijakan,
deskripsi dari pilihan peraturan dan non-peraturan untuk mencapai tujuan, dan penilaian
terhadap dampak positif dan negatif yang siginifikan termasuk penilaian terhadap manfaat dan
biaya terhadap dunia bisnis dan yang berkepentingan lainnya.
Dalam penerapan kebijakan RIA diperlukan panduan agar dapat menjadi pedoman bagi
pemerintah maupun pemerintah daerah. Dengan adanya buku panduan tersebut, berbagai pihak

Mei Edi Prayitno 8


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

dapat mengenal lebih jauh metode RIA. Meskipun demikian, hingga saat ini secara kelembagaan
metode RIA belum diterapkan di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas. Di
kementerian/lembaga lain juga demikian, penggunaan metode RIA baru sebatas uji coba yang
tidak berkelanjutan. Regulatory Impact Analysis (RIA) menurut Bappenas merupakan proses
analisis dan pengkomunikasian secara sistematis terhadap kebijakan, baik kebijakan baru
maupun kebijakan yang sudah ada. Butir penting dari definisi ini yaitu:
a. Metode RIA mencakup kegiatan analisis dan pengkomunikasian.
b. Obyek metode RIA adalah kebijakan, baik berbentuk peraturan ataupun
nonperaturan.
c. Metode RIA dapat diterapkan untuk kebijakan baru maupun untuk kebijakan
yang sudah ada , bersama dengan beberapa kementerian/lembaga lain.

3 PEMBAHASAN

3.1 Ekspor produk perikanan Indonesia

Pada 2013 seluruh ekspor produk perikanan Indonesia senilai US$ 4,2 miliar, sebanyak
US$ 1,65 miliar berasal dari komoditas udang. Pada 2014 meningkat menjadi US$ 4,6 miliar,
sebanyak US$ 2,1 miliar berasal dari ekspor udang. Sisanya disumbangkan oleh kerapu, kakap,
tuna, dan nila. Komoditas lain yang dapat menjadi andalan ekspor adalah rajungan dan kepiting.
Namun bea masuk yang dikenakan oleh negara Eropa bagi produk tuna cukup besar, 24 persen
untuk bea masuk tuna kaleng, sedangkan tuna mentah 14 persen, (transformasi, 2015a). Selain
udang, sumbangan devisa ekspor perikanan Indonesia berasal dari tuna serta rajungan atau
kepiting (transformasi, 2015b). Sedangkan target ekspor 2015 yang diharapkan yaitu US$ 5,4
miliar (Neraca, 2015)

3.2 Transhipment dan Ilegal Fishing

Illegal, Unreported and Unregulated fishing (IUU Fishing) adalah kegiatan


penangkapan ikan yang Ilegal/ tidak sah, Unreported/ tidak dilaporkan, Unregulated/ tidak
sesuai aturan. Kegiatan IUU fishing mencakup pelanggaran terkait pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya perikanan di perairan nasional maupun internasional. Bila illegal fishing bisa
ditanggulangi, hasil perikanan Indonesia bisa tumbuh jauh lebih besar dari angka di atas karena
adanya permintaan demand jauh lebih besar dari supply. Namun rupanya hal itulah yang juga
mendorong makin tingginya Illegal fishing dan merajalelanya mafia perikanan. Salah satu
penyebab utamanya adalah masih adanya insentif ekonomi yang tinggi jika dilakukan dengan
cara illegal. Sebagai gambaran harga ikan di pasaran Indonesia untuk jenis ikan tertentu Rp
20.000 per Kg, di negara-negara seperti Thailand, Korsel, Taiwan, Tiongkok harganya bisa
mencapai 2 sampai 3 kali lipat. Artinya selisih harga tersebut dapat menutupi biaya operasional

Mei Edi Prayitno 9


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

jika dilakukan dengan cara ilegal. Sementara Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai
habis, di Indonesia masih menjanjikan. (Ajisularso, 2015)
Alasan Pemerintah Menerapkan Kebijakan Larangan Transhipment adalah:
a. Indonesia memiliki luas pantai terpanjang nomor dua di dunia, tetapi ekspor hasil
laut nomor lima di dunia, maka pantas jika hasil perikanan laut dimaksimalkan.
b. Untuk menghindari kecurangan sebagian pengusaha perikanan, dimana kapal
pengangkut ikan tidak mendaratkan muatannya di pelabuhan, melainkan langsung
membawa ke luar negeri (tranformasi, 2015). Dengan kebijakan ini, penataan laut lebih
baik, hasil perikanan laut bisa semuanya didaratkan di pelabuhan Indonesia dan tidak lari
ke negara lain. Sehingga dapat menekan jumlah ekspor ikan yang tidak tercatat oleh
pemerintah (Neraca, 2015). Secara keseluruhan larangan transhipment tidak akan
mengganggu ekspor produk perikanan. Walaupun jumlah berkurang untuk ikan hasil
tangkapan di laut, tapi untuk ikan budidaya malah lebih besar. Dari sekitar 6.000 kapal di
atas 30 Gross Tonnage (GT), dan yang bermasalah hanya 1.200 kapal yaitu kapal eks
asing yang 4.200 kapal masih tetap bisa melaut dan menangkap ikan. Dari 1.200 kapal
tersebut bisa jadi yang memang dulu tidak mendaratkan ikannya di Indonesia karena
memang kapal-kapal eks asing inilah yang banyak bermasalah dengan izin (Neraca,
2015).
c. Adanya kapal asing yang melakukan transhipment seperti dari Tiongkok,
Thailand, dan Filipina Kebijakan larangan transhipment juga sejalan dengan kebijakan
KKP untuk menyepakati inisiatif Kementerian Perdagangan dalam mencapai target
peningkatan ekspor hasil laut serta untuk mewujudkan basis produksi hasil Kelautan dan
Perikanan secara berkelanjutan (Dirjen Perikanan Tangkap, KKP, 2015).

3.3 Analisis RIA terhadap Kebijakan Pelarangan Transhipment Hasil Perikanan di


Perairan ZEEI.

Selain sebagai proses, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai alat. Dalam hal ini,
metode RIA merupakan alat untuk menghasilkan kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang
lebih baik. Ada dua kunci dalam penerapan metode RIA yang dianggap mampu memenuhi
harapan tersebut, yaitu: adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi,
kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko sebuah kebijakan, serta menemukan opsi/pilihan
yang paling efektif dan efesien sehingga dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah
dan biaya transaksi bagi masyarakat.
Di samping sebagai proses dan alat, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai sebuah
logika berfikir. Metode RIA dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir logis,
mulai dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah, serta memilih
satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua pilihan. Metode RIA mendorong pengambil

Mei Edi Prayitno 10


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

kebijakan untuk berfikir terbuka dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang
terkait dengan kebijakan yang hendak diambil. Proses yang dilakukan dalam RIA adalah:
a. Identifikasi dan analisis masalah terkait kebijakan. Langkah ini dilakukan agar
semua pihak, khususnya pengambil kebijakan, dapat melihat dengan jelas masalah apa
sebenarnya yang dihadapi dan hendak dipecahkan dengan kebijakan tersebut. Pada tahap
ini, sangat penting untuk membedakan antara masalah (problem) dengan gejala
(symptom), karena yang hendak dipecahkan adalah masalah, bukan gejalanya.
b. Penetapan tujuan. Setelah masalah teridentifikasi, selanjutnya perlu ditetapkan
apa sebenarnya tujuan kebijakan yang hendak diambil. Tujuan ini menjadi satu
komponen yang sangat penting, karena ketika suatu saat dilakukan penilaian terhadap
efektivitas sebuah kebijakan, maka yang dimaksud dengan “efektivitas” adalah apakah
tujuan kebijakan tersebut tercapai ataukah tidak.
c. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.
Setelah masalah yang hendak dipecahkan dan tujuan kebijakan sudah jelas, langkah
berikutnya adalah melihat pilihan apa saja yang ada atau bisa diambil untuk memecahkan
masalah tersebut. Dalam metode RIA, pilihan atau alternatif pertama adalah “do
nothing” atau tidak melakukan apa-apa, yang pada tahap berikutnya akan dianggap
sebagai kondisi awal (baseline) untuk dibandingkan dengan berbagai opsi/pilihan yang
ada. Pada tahap ini, penting untuk melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang
dan kepentingan guna mendapatkan gambaran seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa
saja yang tersedia.
d. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, baik dari sisi legalitas maupun
biaya (cost) dan manfaat (benefit)-nya. Proses seleksi diawali dengan penilaian dari
aspek legalitas, karena setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan analisis terhadap biaya
(cost) dan manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan. Secara sederhana, “biaya”
adalah hal-hal negatif atau merugikan suatu pihak jika pilihan tersebut diambil,
sedangkan “manfaat” adalah hal-hal positif atau menguntungkan suatu pihak. Biaya atau
manfaat dalam hal ini tidak selalu diartikan “uang”. Dalam konteks identifikasi biaya dan
manfaat sebuah kebijakan, perlu dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang terkena
dampak dan siapa saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu pilihan kebijakan
(termasuk kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan apa-apa atau do
nothing).
e. Pemilihan kebijakan terbaik. Analisis Biaya-Manfaat kemudian dijadikan dasar
untuk mengambil keputusan tentang opsi/pilihan apa yang akan diambil. Opsi/pilihan
yang diambil adalah yang mempunyai manfaat bersih (net benefit), yaitu jumlah semua
manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.

Mei Edi Prayitno 11


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

f. Penyusunan strategi implementasi. Langkah ini diambil berdasarkan kesadaran


bahwa sebuah kebijakan tidak bisa berjalan secara otomatis setelah kebijakan tersebut
ditetapkan atau diambil. dengan demikian, pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak
hanya tahu mengenai apa yang akan dilakukan, tetapi juga bagaimana akan
melakukannya.
g. Partisipasi masyarakat di semua proses. Semua tahapan tersebut di atas harus
dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen yang terkait, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan kebijakan yang disusun. Komponen masyarakat yang
mutlak harus didengar suaranya adalah mereka yang akan menerima dampak adanya
kebijakan tersebut (key stakeholder).

Gambar 4. Tahapan Analisa RI


Sumber: Idqan Fahmi, (2018)

3.4 Dampak Kebijakan Larangan Transhipment

Penerapan larangan transhipment di laut bagi kapal-kapal perikanan tentunya membawa


dampak bagi pelaku usaha perikanan Indonesia antara lain :

a. Dampak Positif.

Target devisa dari ekspor hasil perikanan tahun 2014 mencapai US$ 5,1 milyar
dibandingkan tahun 2013 sebesar US$ 4,2 Milyar. US$ 1,65 milyar diantaranya (39%)
berasal dari ekspor udang (beritasatu, 2015). Pertumbuhan produk domestik bruto di
sektor perikanan pada kuartal I 2015 sebesar 8,64 persen, diatas pertumbuhan ekonomi
nasional sebesar 4,71 persen (BPS dalam tempo.co. 2015). Pertumbuhan sektor

Mei Edi Prayitno 12


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

perikanan disumbang oleh aturan moratorium eks kapal asing yang diberlakukan sejak 3
November 2014, larangan transhipment di laut, serta larangan penggunaan alat tangkap
tak ramah lingkungan.
Kebijakan larangan transhipment dan juga kebijakan moratorium telah
menyelamatkan nelayan lokal karena hasil tangkapan menjadi meningkat
(kompas.economics.com, 2015). Akibat naiknya tangkapan nelayan lokal, harga ikan di
dalam negeri bisa turun 5-10% sehingga konsumsi ikan penduduk Indonesia per kapita
menjadi 35 kg per kapita per tahun. Indikator penurunan harga (deflasi) hasil laut di
dalam negeri itu dilihat dari dua komoditas yaitu adalah bandeng dan kembung, karena
kedua ikan itulah yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kita.
(finance.detik.com, 2015 dan BPS dalam tempo.co, 2015b) Kebijakan larangan
transhipment dan moratorium, dapat menekan impor bahan bakar minyak yang turun
hingga 30 persen karena kapal-kapal ilegal yang mencuri ikan di perairan Indonesia
berkurang. Selama ini kapal-kapal itu melakukan ilegal fishing dengan memakai BBM
Indonesia (tempo.co. 2015b)

b. Dampak Negatif.

Di lain hal, sejak diterapkannya larangan transhipment kebijakan baru ini banyak
kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang mengeluh dan melakukan protes
kepada pemerintah karena, kebijakan juga menimbulkan kerugian, antara lain:

1) Larangan transhipment melemahkan ekspor hasil Perikanan Indonesia


(terutama dalam jangka pendek) karena banyak kapal angkut ikan tidak bisa
beroperasi, sehingga kapal-kapal angkut yang beroperasi sulit mendaratkan ikan
dalam kondisi segar. Akibat dari hal diatas, industri perikanan Indonesia
mengalami kekurangan bahan baku, sehingga, momentum untuk meraup
keuntungan besar dari ekspor tidak bisa dimanfaatkan. Ekspor perikanan pada
kuartal I 2015 turun 16,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu. Sedangkan nilai ekspor perikanan turun 9 persen dibandingkan dengan
periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan data dari KKP, volume ekspor kuartal
I 2015 ini tercatat 245.084,9 ton, sedangkan di periode yang sama tahun lalu
sebesar 293.6244,4 ton. Pada sisi nilai, ekspor perikanan kuartal I 2015 ini
sebesar US$ 969 juta, sedangkan pada periode yang sama tahun lalu sebesar US$
1,068 miliar (BPS dalam tempo.co, 2015). Menurut Amelia Hudayana (2017),
bahwa adanya kebijakan larangan transshipment telah menurunkan produk
perikanan. Dijelaskan bahwa komoditas tuna sirip kuning pada tahun 2014
didapatkan volume ikan sebanyak 20.617 puluh ribu ton. Pada tahun 2015
mengalami penurunan sebesar 8.645 ribu ton menjadi 11.972 puluh ribu ton atau
terjadi penurunan sebesar 27%. Untuk komoditas tuna mata besar pada tahun

Mei Edi Prayitno 13


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

2014 didapatkan volume ikan sebanyak 16.839 puluh ribu ton. Pada tahun 2015
mengalami penurunan sebesar 8.292 ribu ton menjadi 8.547 ton atau terjadi
penurunan sebesar 33%. Penurunan produksi kedua komoditas tuna yaitu pada
tahun 2014 – 2015 terjadi akibat sedikitnya kapal yang melakukan kegiatan
penangkapan dan melakukan aktivitas bongkar hasil tangkapan di Pelabuhan
Perikanan Samudera Nizam Zachman. Pada tahun 2014 – 2015 terjadi penurunan
sebesar 206 unit kapal yang tidak melakukan kegiatan bongkar.

Gambar 1. Produksi Perikanan Tuna di Pelabuhan Nizam Zachman


Sumber: Amelia Hudayana (2017)

2) Kebijakan larangan transhipment membuat biaya operasional kapal naik


karena harus melakukan bongkar muat di pelabuhan (jokowinomics, 2015)

4. PENUTUP

4.1 Simpulan

Dari analisis penerapan RIA terhadap kebijakan pelarangan transshipment hasil


penangkapan ikan di perairan yusrisdiksi nasional dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Sebagai akibat dari diterapkannya rangkaian kebijakan pemerintah untuk


melawan IUU fishing, termasuk Permen KP nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang
larangan transhipment di laut sejak akhir tahun 2014, ekspor perikanan pada kuartal I
2015 turun 16,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sedangkan nilai ekspor perikanan turun 9 persen dibandingkan dengan periode yang
sama tahun lalu. Volume ekspor kuartal I 2015 ini tercatat 245.084,9 ton, sedangkan di
periode yang sama tahun lalu sebesar 293.6244,4 ton. Pada sisi nilai, ekspor perikanan
kuartal I 2015 ini sebesar US$ 969 juta, sedangkan pada periode yang sama tahun lalu
sebesar US$ 1,068 miliar.
b. Dampak menurunnya nilai ekspor yang disebabkan penegakan hukum melawan
illegal fishing hanya bersifat jangka pendek karena tidak beroperasinya sebagian kapal
ikan ilegal. Karena, setelah pencurian sumber daya ikan dapat ditekan, maka dalam
jangka panjang stock ikan di laut Indonesia akan makin melimpah yang hasilnya dapat di
manfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat baik untuk peningkatan
ketahanan pangan dalam negeri maupun untuk diekspor. Indikasi ini bisa dilihat dari
pertumbuhan produk domestik bruto di sektor perikanan pada kuartal I 2015 sebesar 8,64
persen. Pertumbuhan ini di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,71 persen.

Mei Edi Prayitno 14


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

c. Kebijakan larangan transhipment di laut beserta kebijakan anti ilegal fishing


lainnya dalam jangka panjang tidak akan mengganggu ekspor produk perikanan.
Walaupun jumlah berkurang untuk ikan hasil tangkapan di laut, tapi untuk hasil
perikanan budidaya malah lebih besar.

4.1 Saran

Dengan adanya dampak negative terhadap kebijakan pelarangan transshipment hasil


penangkapan perikanan di perairan yurisdiksi nasional dapat disaranan sebagai berikut:
a. Dalam melakukan upaya perbaikan terhadap pelaksanaan selama kebijakan
larangan transshipment maupun moratorium, peran setiap stakeholder harus dipertegas
mengingat moratorium adalah upaya recovery stakeholder.
b. Dalam masa pelaksanaan kebijakan itu KKP sebagai pihak yang bertanggung
jawab terhadap kelautan dan perikanan Indonesia harus melakukan analisis dan evaluasi
terhadap kapal eks-asing di Indonesia
c. Sistem perizinan seperti SIPI maupun SIKPI harus ditingkatkan pelayanan dan
akuntabilitasnya serta menghilangkan praktek-praktek korupsidan kolusi didalamnya
d. Melakukan sinergi dengan aparatur Negara lain (Polri, TNI-AL, Bea cukai)
dalam pemberantasan illegal, unreported and unregulated fishing serta memberdayakan
peran aktif nelayan lokal dan pemerintah daerah dalam pencegahannya.

Daftar Pustaka

Ajisularso, 2015, Konsep Perikanan Terpadu dengan Pendekatan Cluster, KKP, Jakarta
Amelia Hudayana, 2017, Analisis Kebijakan Larangan Transhipment (Alih Muat) Tangkapan
Perikanan Terhadap Kinerja Usaha Penangkapan Ikan Kapal Long Line, (Studi Kasus
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman DKI Jakarta), Journal of Economic and
Social of Fisheries and Marine. 2017. 05(01): 78 - 89 e-ISSN: 2528-5939
Camille Garcia Guimarães Andrade Coyac, 2015, Analysis and Improvement of Transshipment
Operations in Jerónimo Martins, Department of Engineering and Management, Instituto
Superior Técnico.
Idqan Fahmi, 2018, Analisis Kebijakan Agrobisnis, IPB, Bogor
M. Sitanggang dan B. Sarwono, 2011, Budi Daya Gurami. Jakarta :Penebar Swadaya
Noviyanti, Rinda. 2011. Kondisi Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) Indonesia. Universitas Terbuka, Jakarta.
Suska, 2016, Prinsip Regulatory Impact Assessment dalam Proses Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, Jakarta.
William N. Dunn, 2003, Analisis Kebijakan Publik,Jakarta: Hanindita Graha Widya.
Yayan Hikmayan, 2015, Efektivitas Pemberlakuan Kebijakan Moratorium Kapal Eks Asing Dan
Transhipment Terhadap Kinerja Usaha Penangkapan Ikan, Kebijakan Sosek KP Vol. 5
No. 2 Tahun 2015.

Mei Edi Prayitno 15


Tugas Individu
Tugas Mata Kuliah AKA - Dr. Ir. Idqan Fahmi M.Ec

Sumber Internet.

https://www.u-cursos.cl/derecho/2011/1/D123A0632/3material_docente/
bajar?id_material=339966

Mei Edi Prayitno 16

You might also like