You are on page 1of 10

Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No.

1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KATARAK (STUDI KASUS KONTROL DI POLI KLINIK
MATA RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2017)

NANDA SAPUTRA, MYRNAWATI CRIE HANDINI, TARULI ROHANA SINAGA


Universitas Sari Mutiara Indonesia

ABSTRAK

Cataract disease is a disease that has been widespread throughout the world with a tendency rate to increase
from year to year. The incidence of cataracts in dominance is in poor and developing countries, namely Asia and Africa, with
a 10-fold risk of blindness. compared with the population in developed countries, while the risk of blindness in developed
countries is only about 4 million people at risk of blindness. The purpose of this study to determine the Risk Factors that
Affect the Evidence of Cataracts in the Polyclinic Eye Hospital Dr. Hospital. Pirngadi Medan in 2017. The type of research
used is analytical research with case control method. Samples in this study were all patients diagnosed with cataracts at DR
Pirngadi General Hospital Medan in August 2016 to August 2017 recorded in the medical record of 189 samples. Case
samples were taken using consecutive sampling and control samples using simple random sampling. The result of univariate
analysis showed that the number of cataract incidence was higher in respondents did not consume alcohol as much as 103
people (54,5%), not smoking as much as 108 people (57,1%), not tobacco 132 people (69,8%), work outdoors as many as
118 people (62.4%), did not suffer diabetes melitus as many as 104 people (55.0%). There was no significant relationship
between alcohol consumption (p value 0.063) and chewing tobacco (p value 0.740) with cataract incidence. There was a
significant correlation between smoking habit (p value 0,001 OR 2,934), job (p value 0,002 OR 2,981), history of diabetes
mellitus (p value 0,003 OR 2,555) with cataract incidence. As well as diabetes mellitus factors most at risk to the incidence of
katara (B 2,815; 95% CI 3,227-5,862; Exp B 3,443)

Keywords: Cataract, Risk Factors

PENDAHULUAN
Katarak merupakan penyakit tidak menular yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Menurut Tritias (2012), Faktor internal yang mempengaruhi katarak adalah riwayat penyakit seperti: umur,
jenis kelamin dan diabetes melitus. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi katarak yaitu : pekerjaan, pendidikan,
penghasilan, kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol dan mengunyah tembakau. “Stage Of The Arts”.Menurut
Mamantha (2015) ditemukan factor demografi untuk katarak termasuk factor usia yang lebih tua dan status social ekonomi
yang lebih rendah. Katarak dikaitkan dengan diabetes mellitus (OR=6,34;95% CI: 2,34-8,29%), mengunyah tembakau (OR=
4,62), merokok (OR=1,87), dan hipertensi (OR=1,56;95% CI: 1,25-2,78%). Asupan makanan lutein / zaexanthin yang lebih
tinggi (L/Z) dan betha karoten dikaitkan (P,<0,001) dengan risiko katarak nuklir dan kortikal yang lebih rendah. “Stage Of The
Arts”Menurut Sedaghat (2016) analisis menunjukan bahwa pola docosahexaenoic asam (DHA) dan asam eicosapentaenoic
(EPA) (omega-3 pola). Dalam analisis mentah dan multivariate, natrium pola itu dikaitkan dengan meningkatnya risiko
katarak (OR= 1,97;95% CI:1,09-3,93). Pola asam lemaknya tinggi risiko katarak (OR=1,94; 95% CI: 1,13-3,86). Antioksidan
pola itu dikaitkan dengan penurunan risiko 79% yang signifikan. Pola omega-3 itu secara signifikan berhubungan negative
denagn risiki katarak. “Stage Of The Arts”Menurut Junpark (2015), sebanyak 20.419 subyek yang memenuhi syarat berusia

104
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

> 40 tahun (8.777 pria dan 11.642 perempuan) berpartisipasi dalam KNHANES selama masa studi. Dari peserta tersebut ,
19.953 peserta memiliki data pemeriksaan lampu gores berkenaan dengan keadaan katarak minimal satu mata.
Perbandingan antara peserta dengan dan tanpa data pemeriksaan disediakan secara Supplementary. “Stage Of The
Arts”.Menurut Chua (2016) diantara 925 peserta dengan katarak visual signifikan 636 (68,8%) tidak menyadari status
katarak mereka. Prevalensi standarisasi usia bervariasi menurut etnisitas, dengan orang Melayu memiliki tingkat yang lebih
tinggi dari pada orang Cina dan India. Faktor risiko yang terkait secara independen dengan memiliki katarak visual yang
tidak terdiagnosis secara signifikan adalah : etnis Melayu, pendidikan, pekerjaan, dan tanpa riwayat diabetes mellitus
(semua P<0,05). Dalam hal ini dengan katarak visual yang tidak terdiagnosis secara signifikan, setengahnya memiliki
gangguan penglihatan bilateral, yang secara signifikan berhubungan dengan 24,8% fungsi visual yang kurang baik
dibandingkan dengan gangguan penglihatan unilateral (P <0,001). “Stage Of The Arts”Gangguan penglihatan dan kebutaan
masih menjadi masalah sosial yang cukup besar di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun 2014 terdapat 45 juta
penderita kebutaan di dunia, dimana sepertiganya berada di Asia Tenggara. Dengan pertambahan jumlah penduduk dunia
dan peningkatan umur harapan hidup maka jumlah kebutaan akan meningkat paling sedikit 1 juta orang pertahun. (WHO,
2014)Penyakit Katarak merupakan penyakit yang sudah tersebar luas di seluruh dunia dengan tingkat kecenderungan
mengalami peningkatan dari tahun Setahun. Angka kejadian Katarak di dominasi berada dinegara miskin dan berkembang,
yaitu Asia dan Afrika, dengan besar risiko 10 kali lipat mengalami kebutaan dibandingkan dengan penduduk dinegara maju,
sedangkan risiko kebutaan dinegara maju hanya sekitar 4 juta orang yang berisiko mengalami kebutaan dengan penyebab
utamanya adalah kemunduran maskular yang berhubungan dengan faktor Usia, dapat terlihat bahwa negara miskin dan
berkembang mengambil andil terbesar dalam peningkatan kasus kebutaan didunia (Vaughan,2011).Prevalensi kebutaan di
Indonesia mencapai 1,5% dari jumlah penduduk di Indonesia menurut hasil rvey pada tahun 2014. Berdasarkan angka
tersebut, katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dengan presentase sebesar 0,78% walaupun katarak
umumnya adalah penyakit usia lanjut, namun 16-20% buta katarak telah dialami oleh penduduk Indonesia pada usia 40-54
tahun. Terjadinya katarak diduga karena proses multi faktor, yang terdiri dari faktor intrinsik dan faktor ektrinsik. Faktor
intrinsik seperti jenis kelamin dan umur sedangkan faktor ektrinsik seperti diabetes mellitus, kekurangan nutrisi, penggunaan
obat, rokok, alkohol, sinar matahari (Riskesdas, 2013).Tingginya angka kebutaan di Indonesia menempatkan Indonesia
pada urutan pertama di Asia dengan tingkat kebutaan yang tertinggi, dengan perbandingan angka kebutaan 3 juta orang
buta diantara 210 juta penduduk Indonesia, sedangkan didunia Indonesia menempatkan diri pada posisi kedua setelah
negara-negara di Afrika Tengah dan sekitar Gurun Sahara yang masalah utama kasus kebutaan disebabkan oleh
Katarak.Berdasarkan data survei kesehatan indera penglihatan tahun 2009-2014 menunjukkan bahwa di Indonesia angka
kebutaan mencapai 1,5% penyebab kebutaan di Indonesia adalah katarak yaitu memberikan andil terbesar 0,78%
diakibatkan oleh katarak dan akan terus meningkat angka kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1 % atau
(sekitar 210.000/ tahun).Data prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan menurut penduduk dipropinsi Sumatera Utara
menunjukkan bahwa jumlah penderita mata yang mengalami kebutaan sebanyak 193.344 orang, katarak sebanyak 100.539
orang, glaucoma sebanyak 25.779 orang, kelainan refraksi sebanyak 18.045 orang, dan xeroptalmia sebanyak 38.669
orang. (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2016).Berdasarkan data yang didapat dari rekam medis Rumah Sakit UmumDR.
Pirngadi Medan bahwa angka penderita katarak pada tahun 2015 adalah sebesar 2615 orang dan pada tahun 2016
cenderung meningkat sebesar 2947 orang. (Rekam Medis RSUD Dr Pirngadi Medan, 2016).Kejadian Katarak yang setiap
tahunnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti yang dijelaskan, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
katarak dan faktor yang mempengaruhinya di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

LANDASAN TEORI
Definisi Katarak
Definisi lensa adalah suatu struktur transparan (jernih). Kejernihannya dapat terganggu oleh karena proses
degenerasi yang menyebabkan kekeruhan serabut lensa (Khurana AK, 2010). Terjadinya kekeruhan pada lensa disebut
katarak. Katarak adalah perubahan lensa mata yang sebelumnya jernih dan tembus cahaya menjadi keruh. Katarak
menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan
akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Istilah katarak dalam dunia kedokteran diartikan sebagai suatu “
kekeruhan dari lensa mata” istilah ini sudah ada sejak dulu kala dan telah di pergunakan serta ditemukan dalam buku liber
105
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

de oculis karangan pendeta dari cartasginia bernama constantinus africanus (1018-1885). Buku tersebut merupakan suatu
terjemahan dari sebuah buku kedokteran arab, yang didalamnya terdapat istilah nuzul el ma yang berarti air mengalir ke
bawah. Kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai carakta yang mengalir ke bawah seperti air terjun atau
portcullis (Soediro, et al, 2011).Katarak merupakan keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut ataubahan lensa
didalam kapsul lensa. Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa
atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolism normal lensa yang dapat timbul pada
berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan
telah memulai proses degenerasi (Ilyas, 2014).Keadaan lensa seperti ini bukan tumor atau pertumbuhan jaringan didalam
mata, akan tetapi merupakan keadaan lensa menjadi berkabut. Bila kekeruhan katarak bertambah tebal, penglihatan akan
menjadi keruh seperti melihat melalui kaca jendela yang berkabut. Berat ringannya gangguan tajam penglihatan pada
penderita katarak tergantung dari derajat kekeruhan lensa matanya. Gangguan tajam penglihatan bervariasi dari mulai
kesulitan melihat benda benda yang kecil sampai kebutaan. Katarak tidak menular ke mata sebelahnya tetapi dapat
mengenai kedua lensa mata. Katarak bukan disebabkan karena mata yang terlalu lama dipakai dan mata yang dipakai tidak
akan memperberat katarak. (Ilyas , 2014).

Gambar Katarak (Ilyas , 2014).


Klasifikasi Katarak
Menurut penelitian Ilyas, katarak dapat diklasifikasikan ke dalam golongan sebagai berikut:
1. Katarak perkembangannya (developmental) dan degenerative.
2. Katarak congenital, juvenile dan senile.
3. Katarak komplikata.
4. Katarak traumatic.
Penyebab terjadinya kekeruhan lensa dapat di golongkan sebagai berikut:
1. primer, berdasarkan gangguan perkembangan dan metabolism.
2. Sekunder, akibat tindakan pembedahan lensa.
3. Komplikasi penyakit.
Berdasarkan usia pasien, katarak dapat dibagi dalam golongan berikut:
1. Katarak congenital yaitu katarak yang terlihat pada usia dibawah 1 tahun.
2. Juvenile yaitu katarak yang terlihat pada usia 1 tahun dan dibawah usia 40 tahun.
3. Katarak persenil yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun.
4. Katarak senile yaitu katarak yang mulai terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. (Ilyas,2014)

Etiologi
Katarak dapat disebabkan oleh bermacam- macam faktor seperti kelainan bawaan sejak lahir, penyakit, trauma, efek
samping obat, dan radiasi sinar matahari. Tetapi, umumnya penyebab terbesar adalah proses ketuaan/ faktor usia.
Berdasarkan faktor resiko penyebabnya. Katarak dapat di golongkan ke dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut:
1. Katarak kongenital

106
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

Adalah katarak yang ditemukan pada anak - anak. Biasanya dalah katarak yang di temukan pada bayi ketika waktu
lahir yang disebabkan oleh virus rubella pada ibu yang hamil muda.
2. Katarak komplikata
Adalah katarak yang disebabkan oleh beberapa jenis infeksi dan penyakit tertentu seperti diabetes mellitus, hipertensi,
glaucoma, lepasnya retina atau ablasi retina dan penyakit umum tertentu lainnya.
3. Katarak trauma
Adalah katarak yang diakibatkan oleh cedera mata seperti: pukulan keras, luka tembus, luka menyayat, panas tinggi
atau bahan kimia dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa. Katarak trauma dapat terjadi pada semua usia.
4. Katarak senilis
Adalah katarak yang disebabkan oleh proses ketuaan/ faktor usia sehingga lensa mata menjadi keras dan keruh.
Katarak seilis merupakan tipe katarak yang paling banyak ditemukan. Biasanya ditemukan pada golongan usia diatas
40 tahun ketas (ilyas,2014).
Terdapat dua bentuk katarak senilis yaitu:
1. Tipe kortikal: proses kekaburan mulai pada bagian superficial dari konteks lensa
mata.
2. Tipe nuclear: proses kekaburan mulai pada bagian nucleus (inti) lensa mata.
Terjadiya katarak senilis berlangsung dalam 4 stadium yaitu:
1. Stadium insipien
Stadium ini adalah awal proses degenerasi lensa. Kekeruhan lensa terbentuk bercak bercak. Kekeruhan yang tidak
teratur. Pasien akan mengeluh gangguan penglihatan seperti melihat ganda dengan satu matanya. Pada stadium ini
proses degenerasi belum menyerap cairan mata ke dalam lensa sehingga akan terlihat bilik mata depan dengan
kedalaman yang normal. Iris dalam posisi biasa disertai dengan kekeruhan ringan pada lensa. Tajam penglihatan
belum terganggu.
2. Stadium imatur
Pada stadium ini, lensa yang degenerative mulai menyerap cairan ke dalam lensa sehingga lensa menjadi cembung.
Pada stadium ini terjadi pembengkakan yang disebut katarak imatur. Pada stadium ini dapat dapat terjadi miopisasi
akibat lensa mata menjadi cembung, sehingga pasien tidak menyatakan tidak perlu kacamata sewaktu membaca
dekat. Akibat lensa mata yang bengkak, iris terdorong kedepan bilik mata dangkal dan sudut bilik mata akan sempit
atau tertutup. Pada stadium ini dapat terjadi glaucoma sekunder. Pada pemeriksaan uji bayangan iris atau shadow test
akan terliha bayangan iris pada lensa. Uji bayangan iris positif.
3. Stadium matur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa. Pada stadium ini terjadi kekeruhan seluruh lensa. Tekanan cairan didalam
lensa sudah dalam keadaan seimbang. Dengan cairan dalam mata sehingga ukuran ukuran lensa akan menjadi
normal kembali. Pada pemeriksaan terlihat iris dalam posisi normal, bilik mata depan normal, sudut bilik mata depan
terbuka normal, dan uji bayangan iris negative. Tajam penglihatan menurun dan dapat hanya tinggal proyeksi sinar
positif. Stadium ini tepat untuk melakukan operasi Karena kekaburan lensa sudah lebih padat dan lebih mudah
dipisahkan dari kapsulnya.
4. Stadium hipermatur
Pada stadium ini terjadi proses degenerasi lanjut dari korteks lensa dapat mencair sehingga nucleus lensa tenggelam
didalam korteks lensa (katarak morgagni). Pada stadium ini juga terjadi degenerasi kapsul lensa sehingga bahan lensa
ataupun korteks lensa yang cair keluar adan masuk kedalam bilik mata depan. Lensa terlihat lebih kecil daripada
normal, yang akan mengakibatkan iris tremulans, dan bilik mata terbuka. Pada uji bayangan iris terlihat positif
walaupun seluruh lensa telah keruh sehingga stadium ini disebut uji bayangan iris pseudopositif. Akibat bahan lensa
keluar dari kapsul, maka akan timbul reaksi pada jaringan uvea berupa uveitis. Bahan lensa juga dapat menutup jalan
keluar cairan bilik mata sehingga timbul glaucoma fakolitik.(Ilyas,2014).

METODE PENELITIAN
Jenis dan rancangan Penelitian
107
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan metode


Case Control. Penentuan subyek penelitian terhadap kasus dengan efek positif. Efek adalah suatu akibat dari adanya faktor
resiko yang merupakan respon umum/ efek terhadap paparan. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah suatu faktor
resiko tertentu benar berpengaruh terhadap kejadian efek (katarak) yang diteliti dengan membandingkan kekerapan pajanan
faktor resiko tersebut pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Bhisma,2014).

Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Poli Klinik Mata RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Waktu Penelitian
Waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan penelitian adalah dimulai pada bulan Agustus 2016 sampai Agustus
2017.

Metode Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer dengan proses pengolahan data
melalui kegiatan-kegiatan berikut:
1) Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data dari hasil pengumpulan data. Dalam
melakukan kegiatan memeriksa data ini meliputi hal-hal seperti perhitungan dan penjumlahan lembaran-lembaran kuesioner
yang telah diisi dan dikembalikan untuk mengetahui jumlahnya telah sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Kemudian
kegiatan koreksi untuk memeriksa kelengkapan, kesinambungan, dan keseragaman data yang mana apabila data belum
lengkap ataupun ada kesalahan data dilengkapi dengan mengobservasi ulang.
2) Coding
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian di klarifikasikan dan diberi kode
oleh peneliti secara manual sebelum di olah dengan computer.
3) Data Entry atau Processing
Data yakni jawaban dari masing-masing responden dalam bentuk kode dimasukan kedalam program perangkat
lunak computer dengan teliti.
4) Cleaning
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukan kedalam computer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam
pemasukan data, kesalahan kode, ketidaklengkapan, kemudian dilakukan koreksi agar data yang kemudian di olah tidak
bias. (Sastroasmoro,2011).

Metode Analisis Data


Analisa data dilakukan dengan bantuan komputer dengan menggunakan program perangkat lunak komputer.
Analisis Univarat
Analisis Univariat digunakan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variable yang diteliti yaitu, kebiasaan
merokok, pekerjaan, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, diabetes mellitus, menguyah tembakau dan ditampilkan dalam
distribusi frekuensi.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui besar hubungan masing-masing faktor risiko tehadap kejadian Katarak
antara masing-masing variabel independen. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-Square (X2) untuk
mengetahui pengaruh setiap variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk menginterpretasikan besar hubungan dinyatakan
dengan Odds Ratio (OR) dengan menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95%.
Apabila nilai p ≤ α (0,05)  hipotesa diterima artinya ada hubungan variabel independen terhadap variable
dependen. Apabila nilai p ≥α (0,05)  hipotesa ditolak artinya tidak ada hubungan variabel independen terhadap variable
dependen.Dalam penelitian ini, variabel bebasnya antara lain kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol,
pekerjaan, menguyah tembakau dan diabetes melitus, dimana dari masing-masing variabel tersebut ditentukan seberapa
besar hubungan terhadap variabel terikatnya, dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah kejadian katarak.
108
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

Analisis Multivariat
Analisis yang berhubungan antara beberapa variabel dengan satu variabel dependen. Analisis multivariat
menggunakan regresi logistik berganda untuk mengetahui seberapa besar pengaruh keeratan antara variabel independen
dengan variabel dependen setelah mengontrol variabel lain yang bermakna. Selain itu regresi logistik berganda ini bertujuan
untuk menemukan model regresi yang paling sesuai dengan menggambarkan pengaruh antara variabel independen dengan
variabel dependen yang dikontrol variabel lain. (Hastono,2007).
Dalam penelitian ini, variabel independennya antara lain kebiasaan merokok, kebiasaan mengkonsumsi alkohol,
kebiasaan menguyah tembakau, pekerjaan, diabetes mellitus, dimana dari masing-masing variabel tersebut ditentukan
seberapa besar pengaruh keeratan antara variabel independen dengan variabel dependen setelah mengontrol variabel lain
yang bermakna.

PEMBAHASAN
Keterbatan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian, antara lain adalah :
1. Bias informasi terjadi pada saat wawancara dengan responden mengenai masa lalu responden yang mungkin
ada yang tidak ingat. Perbandingan sampel kasus dengan kontrol belum optimal, karena hanya mengambil
perbandingan antara kasus : kontrol 1:1. Dalam hal ini tidak mudah memastikan hubungan temporal antara
paparan dengan penyakit serta sulit memastikan apakah kasus dan kontrol benar-benar setara.
2. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol (case control) yang tidak berpadanan, sangat rawan terhadap
bias seleksi dan bias informasi. Bias seleksi ketika memilih kasus dan kontrol dimana terjadi perbedaan
perlakuan dalam memilih kasus dan kontrol
3. Ketebatasan variabel penelitian penyakit katarak melibatkan berbagai aspek pada variabel host (manusia),
lingkungan dan prilaku karena itu faktor yang berhubungan dengan penyakit katarak sangat kompleks. Karena
keterbatasan tersebut, peneliti hanya bisa menganalisis lima variabel independen dan melihat hubungan nya
dengan penyakit katarak.
4. Keterbatasan pelaksanaan penelitian dan survei dalam penelitian ini dilaksanakan hanya berdasarkan data
rekam medik dan kunjungan pasien yang berobat ke Poliklinik Mata RSU Dr. Pirngadi Medan dan waktu penelitian
yang terbatas

Kejadian Katarak
Katarak adalah kekeruhan pada lensamata yang menyebabkan gangguan penglihatan. Katarak ditandai dengan
adanya lensa mata yang berangsur-angsur menjadi buram yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan total. Penyakit
katarak terutama disebabkan oleh proses degenerasi yang berkaitan dengan usia. Katarak kini masih menjadi penyakit
paling dominan pada mata dan merupakan penyebab utama dari kebutaan di seluruh dunia. Paling sedikit 50% dari
semua kebutaan disebabkan oleh katarak, dan 90% diantaranya terdapat di negara berkembang tidak terkecuali di
Indonesia (Tana.L, 2007).
Terjadinya katarak diduga karena proses multifaktor, yang terdiri dari faktor intrinsik dan ektrinsik. Faktor
intrinsik seperti jenis kelamin dan umur sedangkan faktor ekstrinsik seperti penyakit Diabetes Mellitus, Kekurangan
Nutrisi,Penggunaan Obat, Rokok, Alkohol, Sinar matahari, dan ruda paksa pada bola mata, terjadi secara akumulatif
pada common biochemical molecular pathway sehingga menganggu kejernihan lensa Pada Umumnya buta katarak
akan terjadi setelah 10-20 tahun sejak dimulainya proses kekeruhan lensa (Kupfer C & Taylor H, 2008).
Katarak yang merupakan penyebab utama berkurangnya penglihatan di dunia diperkirakan jumlah penderita
kebutaan katarak di dunia saat ini sebesar 17 juta orang dan akan meningkat menjadi 40 juta pada tahun 2020.
Katarak terjadi 10% orang Amerika Serikat dan prevalensi ini meningkat sampai sekitar 50% untuk mereka yang berusia
antara 65 dan 74 tahun. Dan sampai sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun (Soehardjo, 2004).
Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga Survei Kesehatan Nasional (SKRT – SURKESNAS), prevalensi katarak di
Indonesia sebesar 4,99%. Berdasarkan data pada tahun 2008, terdapat 5658 kasus katarak yang terdiri dari 3775 kasus
109
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

rawat jalan dan 1883 kasus rawat inap di RS Mata ”Dr. YAP” Yogyakarta (Mawati, 2009). Hal ini sesuai dengan data
prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan menurut penduduk di propinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa jumlah
penderita mata yang mengalami kebutaan sebanyak 193.344 orang, katarak sebanyak 100.539 orang, glaucoma sebanyak
25.779 orang, kelainan refraksi sebanyak 18.045 orang, dan xeroptalmia sebanyak 38.669 orang. (Profil Kesehatan
Sumatera Utara, 2016).
Berdasarkan data yang didapat dari rekam medis Rumah Sakit Umum DR. Pirngadi Medan bahwa angka penderita
katarak pada tahun 2015 adalah sebesar 2615 orang dan pada tahun 2016 cenderung meningkat sebesar 2947 orang.
(Rekam Medis RSUD Dr Pirngadi Medan, 2016).

Mengkonsumsi Alkohol
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan responden yang mengkonsumsi alkohol dengan
timbulnya katarak sebanyak 35 responden (40,7%) dan tidak katarak sebanyak 51 respnden (59,5%). Sedangkan responden
yang tidak konsumsi alkohol dengan timbulnya katarak sebanyak 28 orang (42,9%) dan tidak katarak sebanyak 75
responden (72,8%). Setelah dilakukan analisis dengan mengunakan Uji Chi Square, didapatkan nilai P-value sebesar 0,063,
artinya tidak terdapat hubungan mengkonsumsi alkohol dengan kejadian katarak di RSU DR.Pirngadi Medan, dan didapati
nilai OR 0,814 < 1, artinya mengkonsumsi alkohol tidak mempunyai peluang berisiko timbulnya kejadian katarak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Trithias (2012), dengan didapati hasil perhitungan OR = 0,8, dapat
dikatakan bahwa responden pada kategori pernah konsumsi alkohol untuk menderita penyakit katarak sebanyak 0,8
kali dibandingkan dengan responden kategori yang tidak pernah, namun secara statistik hal tersebut tidak bermakna
dengan nilai p value = 0,79 (p>0,05), sehingga disimpulkan bahwa faktor konsumsi alkohol tidak berhubungan secara
bermakna dengan penyakit katarak. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat (Herna, 2009) bahwa Peminum
alkohol kronis mempunyai resiko tinggi terkena penyakit mata termasuk katarak. Dalam banyak penelitian alkohol
berperan dalam terjadinya katarak. Alkohol secara langsung bekerja pada protein lensa dan secara tidak langsung
dengan cara mempengaruhi penyerapan nutrisi penting pada lensa.
Kebiasaan Merokok
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan responden dengan kebiasaan merokok
timbulnya katarak sebanyak 38 responden (46,9%) dan tidak katarak sebanyak 43 respnden (53,1%). Sedangkan responden
yang tidak merokok dengan timbulnya katarak sebanyak 25 orang (23,1%) dan tidak katarak sebanyak 83 responden
(76,9%). Setelah dilakukan analisis dengan mengunakan Uji Chi Square, didapatkan nilai P-value sebesar 0,001, artinya
terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian katarak di RSU Dr.Pirngadi Medan, dan didapati nilai OR 2,934 >
1, artinya kebiasaan merokok mempunyai peluang 2,934 kali berisiko timbulnya kejadian katarak.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Astria (2015) dengan didapati hasil analisis hubungan kebiasaan
merokok dengan kejadian penyakit katarak di poli Mata RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado diperoleh nilai Odds Ratio
sebesar 5.286. Hal ini menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko terhadap kejadian katarak. Seseorang
dengan kebiasaan merokok berisiko 5.286 kali lebih tinggi untuk menderita katarak dibandingkan dengan seseorang
yang tidak merokok. Sedangkan analisis dengan nilai signifikasi diperoleh nilai p < 0,05 (0,010) yang berarti Ho
ditolak dan Ha diterima menyimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
katarak. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Pujiyanto (2014), dimana faktor kebiasaan merokok berhubungan dengan
penyakit katarak dengan nilai OR sebesar 2,9 dengan 95% IK (1,4-5,7) p value = 0,002 artinya kebiasaan merokok
secara statistik berhubungan dengan penyakit katarak.
Adanya hubungan rokok dengan terjadinya katarak yaitu karena rokok berperan dalam pembentukan katarak
melalui dua cara yaitu, pertama paparan asap rokok yang berasal dari tembakau dapat merusak membrane sel dan serat-
serat yang ada pada mata. Ke dua yaitu, merokok dapat menyebabkan antioksidan dan enzim-enzim di dalam tubuh
mengalami gangguan sehingga dapat merusak mata (United For Sigth, 2014 )

Kebiasaan Mengunyah Tembakau


Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan responden dengan kebiasaan mengunyah
tembakau timbulnya katarak sebanyak 20 responden (35,1%) dan tidak katarak sebanyak 37 responden (64,9%).
110
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

Sedangkan responden yang tidak mengunyah tembakau dengan timbulnya katarak sebanyak 43 orang (32,6%) dan tidak
katarak sebanyak 89 responden (67,9%). Setelah dilakukan analisis dengan mengunakan Uji Chi Square, didapatkan nilai P-
value sebesar 0,740, artinya tidak terdapat hubungan mengunyah dengan kejadian katarak di RSU Dr.Pirngadi Medan, dan
didapati nilai OR 0,963 < 1, artinya kebiasaan mengunyah tembakau tidak mempunyai peluang berisiko timbulnya kejadian
katarak.
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori (Taylor, 2004) yang menyatakan adanya hubungan mengunyah
tembakau dengan terjadinya katarak, hal ini karena mengunyah tembakau dapat menginduksi stres oksidatif dan
dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karotenoid. Mengunyah tembakau dapat
menyebabkan penumpukan molekul berpigmen 3- hydroxikhynurinine dan chromophores yang menyebabkan
terjadinya penguningan warna lensa.Sianat dalam tembakau juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi
protein (Khurana, 2007).

Pekerjaan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan respondens dengan pekerjaan luar ruangan
timbulnya katarak sebanyak 49 responden (41,5%) dan tidak katarak sebanyak 69 responden (58,5%). Sedangkan
responden pekerjaan dalam ruangan dengan timbulnya katarak sebanyak 14 orang (19,7%) dan tidak katarak sebanyak 57
responden (80,3%). Setelah dilakukan analisis dengan mengunakan Uji Chi Square, didapatkan nilai P-value sebesar 0,002,
artinya terdapat hubungan pekerjaan dengan kejadian katarak di RSU Dr.Pirmgadi, dan didapati nilai OR 2,891 > 1, artinya
pekerjaan mempunyai peluang berisiko 2,891 kali timbulnya kejadian katarak.
Pekerjaan dalam hal ini berhubungan dengan paparan sinar ultraviolet, dimana sinar uv merupakan faktor
resiko terjadinya katarak. Sinar ultraviolet yang berasal dari matahari akan diserap oleh protein lensa dan kemudian akan
menimbulkan reaksi fotokimia sehingga terbent uk radikal bebas atau spesies oksigen yang bersifat sangat reaktif. Reaksi
tersebut akan mempengaruhi struktur protein lensa, selanjutnya menyebabkan kekeruhan lensa yang disebut katarak. Pada
suatu studi oleh Neale et al. Melaporkan adanya hubungan positif yang kuat antara pekerja yang terpapar sinar matahari
dengan terjadinya katarak (Sinha et al, 2009).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyudi (2013), dengan didapati hasil uji statistik diketahui ada
hubungan yang bermakna antara katarak dengan pekerjaan responden di rumah sakit William Booth Semarang. Dapat
disampaikan bahwa pekerjaan responden yang berada di luar ruangan (lapangan) terlihat meningkat. Responden pada
kelompok pekerja lapangan dengan persentasenya lebih tinggi (62%) dibanding dengan responden pada kelompok pekerja
dalam ruangan (41.9%). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Pujiyanto, 2004) faktor pekerjaan
sangat mempengaruhi kejadian katarak dengan OR sebesar 7,3 dengan 95% IK (3,4 -15,7) dan p-value sebesar 0,001
artinya faktor pekerjaan berhubungan secara statistik bermakna dengan kejadian katarak. Hasil penelitian Leske et all (2002)
yang dilakukan pada Barbados Eye Studies Group juga mendapatkan orang yang bekerja diluar rumah mempunyai risiko
1,47 kali lebih besar terkena katarak dibandingkan kelompok kontrol (Leske et al, 2002).

Diabetes Mellitus
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan respondens dengan riwayat DM timbulnya
katarak sebanyak 38 responden (44,7%) dan tidak katarak sebanyak 47 responden (55,3%). Sedangkan responden tidak
DM dengan timbulnya katarak sebanyak 25 orang (24,0%) dan tidak katarak sebanyak 79 responden (76,0%). Setelah
dilakukan analisis dengan mengunakan Uji Chi Square, didapatkan nilai P-value sebesar 0,003, artinya pada tingkat
kemaknaan 5% terdapat hubungan riwayat DM dengan kejadian katarak di RSU Dr.Pirngadi, dan didapati OR 2,555 > 1,
artinya riwayat DM mempunyai peluang berisiko 2,555 kali timbulnya kejadian katarak.
Diabetes melitus merupakan suatu kelainan metabolik dimana ditemukan ketidakmampuan untuk mengoksidasi
karbohidrat akibat gangguan pada mekanisme insulin yang normal. Penderita diabetes melitus akan memiliki kadar gula
darah yang lebih tinggi dibanding orang normal. Salah satu komplikasi dari diabetes melitus adalah komplikasi kronik
mikrovaskular yang dapat menyerang mata. Komplikasi mikrovaskular seperti katarak sering ditemukan saat diagnosis
diabetes melitus ditegakkan (PERKENI, 2012).

111
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rizkawati (2012), dengan didapati hasil perhitungan statistik uji
Korelasi Lambda dengan nilai p=0,033, dimana p<0,05, yang menunjukkan bahwa diabetes melitus (variabel bebas)
mempunyai korelasi yang signifikan dalam terjadinya katarak (variabel terikat), dan nilai r (kekuatan korelasi) 0,400,
menunjukkan korelasi sedang. Selain itu, nilai Odds Rasio (OR) didapatkan 7,125 (>1) yang berarti bahwa penderita
diabetes melitus berisiko tujuh kali lebih besar untuk menderita katarak dibanding penderita non-diabetes melitus.
Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan (Seong ; Kim, 2006) dari Department of
Ophthalmology, Eulji University School of Medicine, Seoul, Korea telah melakukan penelitian yang berjudul Prevalensi
dan Faktor Risiko Katarak pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa lamanya
mengalami diabetes melitus merupakan faktor resiko yang paling signifikan dalam menimbulkan katarak. Selain itu,
Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy juga telah melakukan penelitian mengenai katarak dan
menemukan insiden katarak pada penderita diabetes melitus. Studi kohort oleh Beaver Dam Eye Study juga menemukan
adanya hubungan antara diabetes melitus dengan pembentukan katarak. Studi ini menyatakan bahwa insiden dan
perjalanan penyakit katarak posterior subkapsular dan kortikal berhubungan dengan diabetes (Pollreisz, 2010). Prospektive
Diabetes Study Group menyatakan bahwa katarak diderita oleh sekitar 15% individu yang menderita diabetes melitus tipe 2
dan sering ditemukan pada saat diagnosis ditegakkan ( Schwartz, 2010).
Penelitian kohort oleh Rotimi et al tahun 2005 di Ghana, Nigeria dan Afrika Barat menyatakan bahwa katarak
memiliki peranan yang lebih penting dalam menimbulkan gangguan penglihatan dibanding retinopati diabetik. Penelitian
ini juga menyatakan bahwa prevalensi katarak pada penderita diabetes melitus lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dibanding
orang yang tidak menderita diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa diabetes melitus merupakan faktor resiko yang
penting dalam pembentukan katarak. Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi positif antara kadar gula darah
puasa dan lamanya menderita diabetes melitus dengan resiko terjadinya katarak. Dengan pengontrolan kadar gula
darah yang intensif dimungkinkan dapat menurunkan risiko berkembangnya katarak.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mencari Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian
Katarak di Poli Klinik Mata Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan tahun 2017. Maka dapat diambil beberapa kesimpulan,
yaitu:
1. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara mengkonsumsi alkohol terhadap kejadian katarak di Poli Klinik Mata
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan tahun 2017.
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok terhadap kejadian katarak di Poli Klinik Mata Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan tahun 2017.
3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara mengunyah tembakau terhadap kejadian katarak di Poli Klinik Mata
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan tahun 2017.
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan terhadap kejadian katarak di Poli Klinik Mata Rumah Sakit Umum
Dr. Pirngadi Medan tahun 2017.
5. Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat diabetes mellitus terhadap kejadian katarak di Poli Klinik Mata
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan tahun 2017.
6. Faktor riwayat diabetes mellitus lebih berisiko terhadap peningkatan angka kejadian katarak dibandingkan dengan faktor
kebiasaan merokok dan pekerjaan.
Kesimpulan dari lima variabel yang diteliti, terdapat satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian katarak
di di Poli Klinik Mata Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan tahun 2017 yaitu riwayat diabetes mellitus dan terdapat dua
faktor yang tidak terdapat hubungan bermakna, yaitu mengkonsumsi alkohol dan mengunyah tembakau.

Saran
1 Bagi Rumah Sakit

112
Jurnal Ilmiah Simantek Vol. 2, No. 1
ISSN: 2550-0414 Januari 2018

Rumah Sakit dapat memberikan informasi kepada pasien yang bertujuan untuk menambah pengetahuan pasien
mengenai penyakit katarak dan operasi katarak. Pemberian informasi dapat dilakukan dengan menempatkan leaflet
tentang katarak serta poster maupun media lain yang mudah dilihat oleh pasien. Penempatan yang sesuai bisa
dilakukan di lobi ruang tunggu antrian pasien dan di bagian customer servis.
2 Bagi Mayarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui seminar kesehatan tentang upaya preventif / pencegahan penyakit
katarak di RSU Dr. Pirngadi Medan.
3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan referensi untuk mengembangkan penelitian-penelitian
selanjutnya, dan penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan penambahan variabel indenpenden yang lebih
banyak serta melakukan penelitian yang berbeda seperti meto

DAFTAR PUSTAKA

American Academy Of Ophthalmology Biochemistry : Lens And Cataract, Basic And Clinical Science, Section 11;1997-1998
11-15.
Ausman LM And Russel RM. Nutrition In The Elderly In Modern Nutrition In Health And Disease, Lea & Febiger Philadephia,
8 Ed.2011,770-8
Bhisma Murti, Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2014.
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas. Pedoman Kesehatan Mata Dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas,
Depkes RI, 2015,5-6.
Handini, Myrnawati Crie. Metodologi Penelitian Untuk Pemula. Jakarta: FIP Press. 2012.
Hutasoit H, 2014. Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak Di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2014. Pasca Sarjana Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.2014
Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2014.
Imron, Mochammad. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto. 2015: 75-156.
Khurana AK. Community Ophthalmology In Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. Chapter 8. New Delhi. New Age
International Limited Publisher;2014.167-179.
Klinik Mata Nusantara. Teknik Operasi Katarak di unduh dari: http://www.klinikmatautama.com (23 oktober 2016).
Kupfer C, The Conquest Of Cataract; A Global Challenge. Trans Ophthalmologic Social UK 1994; 104;1-10.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2015, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2015.
NN. Klasifikasi Katarak Diunduh Dari Http://Www.New-Medical.Net/Health/Cataract (23 Oktober 2016).
NN. Definisi Katarak Dari Http://Www.Republika.Co.Id (20 Oktober 2016).
Pujiyanto Ismu T. Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Terhadap Kejadian Katarak Senilis Di Kota Semarang Tahun
2013. Pasca Sarjana Department Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang,2013.
Sinha R Et Al, Etiopathogenesis Of Cataract: Journal Review. Indian Journal Of Ophthalmology Vol.57 No.3; Mai-June 2014.
Sirlan F, Blindness Patern In Indonesia, Sub Directorate Community Eye Health, Ministry Of Healthy,2014Soehardjo,
Kebutaan Katarak. Factor-Faktor Resiko, Penanganan Klinis Dan Pengendalian. Program Doctoral (Disertasi).
Universitas Gajah Mada.2014.
Sperduto RD. Epidemiologic Aspects Of Age- Related Cataract In Duane’s Clinical Ophthalmology. Volume 1. Chapter 73A
Revised Edition. Lippincot Williams&Wilkins;2014.
Taylor A. Nutritional And Environmental Influence On Risk For Cataract In Duane’s Clinical Of Ophthalmology Volume 1,
Chapter 27C. Lippincot Williams And Wilkins;2014.
Vitale S, Plasma Antioxidant And Risk Of Cortical And Nuclear Cataract, Epidemical 2013:4;195-203.
World Health Organization, Global Inititive For The Elimination Of Avoidable Blindness, Geneva.2014.
Yogiantoro M, Suparjadi J, Dkk. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Ilmu Penyakit Mata RSUP Dr. Soetomo, Eds1,
Surabaya,2013:42-6.
113

You might also like