You are on page 1of 97

KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum

annuum L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KOSMETIK

SKRIPSI

KHANIA TRIA TIFANI


F14080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
CHARACTERISTIC OF CHILI DRYING (Capsicum annuum L.) AS A
NATURAL DYEING COSMETIC

Khania Tria Tifani1, *, Nanik Purwanti1 and Dhiah Nuraini2

1
Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and
Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia
Phone 62 857 10374945
2
Department Indusrial Facility Development in Region I, Industrial Ministry, Jl. Jendral Gatot
Subroto Kav 52 – 53, 13th Floor, South Jakarta 12950
*
Corresponding author, e-mail: khaniatifani@gmail.com

ABSTRACT

Chilli (Capsicum sp.) contains carotenoids, which are a group of natural pigments consist of
red, orange or yellow color. Carotenoids can be dissolved in lipid so that they can be applied to oil-
based cosmetic ingredients. Therefore, chilli is potential to be developed as cosmetic colorants.
However, pungency of red chili needs to be removed because it is irritating and it provides stinging
sensation to skin. Red chilli was investigated as a potent material for a cosmetic colourant in this
research because it has a nice uniform red color and has a pungency level less than cayenne pepper.
The purpose of this research was to investigate the influence of blanching on drying characteristics of
red chilli using a tray dryer, determine the proper time of chili blanching in sodium bisulfite solution,
examine color changes stability of red chili powder as a cosmetic dye, and analyze the effect of
oleoresin extraction on color and pungency level of red chili powder. The results showed that
blanching could affect the drying characteristics. Blanching the chilli for 9 minutes prior drying could
speed up the drying rate of chilli and thus the drying time, therefore, the chilli achieved the desired
moisture content fast. Sodium bisulfite solution of 0.2%, used as the blanching media, could maintain
the color well. However, longer time of blanching might cause several pigments soluble in the
blanching media. Blanching the chilli for 9 minutes was able to maintain red color after the stability
tested and after extraction of oleoresin. Therefore, blanching red chilli in a solution of 0.2% sodium
bisulfite for 9 minutes prior drying is concluded as the best treatment to retain the color of red chilli
powder.

Keywords : chilli, tray drying, natural dyeing, cosmetics.


Khania Tria Tifani. F14000126. Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
sebagai Pewarna Alami Kosmetik. Di bawah bimbingan Nanik Purwanti dan Dhiah Nuraini. 2013.

RINGKASAN

Kosmetik merupakan kebutuhan kaum hawa di era modern seperti sekarang. Menurut
kegunaan bagi kulit, kosmetik dapat digolongkan menjadi kosmetik perawatan kulit dan kosmetik
dekoratif. Dalam kosmetik dekoratif, peran zat pewarna sangat penting. Zat pewarna dalam kosmetik
dekoratif ini dapat berasal dari pewarna alami dan sintetis. Pewarna sintetis dapat menimbulkan
bahaya seperti neurotoksisitas, gangguan organ reproduksi, kanker, iritasi kuit, ruam dan
hiperpigmentasi. Oleh karena itu, pewarna alami kosmetik yang berasal dari tumbuhan telah banyak
dikembangkan seperti beras ketan hitam, buah rasberi dan bunga mawar.
Cabai (Capsicum sp.) memiliki zat warna karotenoid. Karotenoid adalah kelompok pigmen
alami yang berwarna merah, orange atau kuning yang larut dalam lipid sehingga dapat diaplikasikan
untuk pewarna kosmetik dengan bahan dasar minyak. Untuk tujuan pewarna kosmetik, cabai perlu
dihilangkan zat pedasnya (kapsaisin) karena dapat menimbulkan iritasi kulit dan kulit terasa panas.
Cabai merah besar dipilih dalam penelitian ini karena memiliki keseragaman warna merah yang baik
serta memiliki tingkat kepedasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan cabai rawit. Penelitian ini
dilakukan untuk mengembangkan potensi cabai merah untuk pewarna alami kosmetik sehingga
penggunaan zat pewarna sintetik pada dapat dikurangi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh blanching terhadap karakteristik pengeringan cabai merah dengan pengering tipe rak,
menentukan waktu blanching cabai merah dalam natrium bisulfit yang dapat mempertahankan warna
merah dengan baik, mengkaji kestabilan warna bubuk cabai merah sebagai pewarna kosmetik, dan
mengkaji pengaruh ekstraksi oleoresin terhadap warna dan tingkat kepedasan bubuk cabai merah.
Secara garis besar, penelitian ini mencakup proses persiapan, pengeringan, penggilingan,
analisis warna, uji kestabilan warna, ekstraksi oleoresin, analisis warna setelah ekstraksi oleoresin dan
analisis tingkat kepedasan bubuk cabai merah. Proses persiapan meliputi proses blanching cabai
merah dengan natrium bisulfit 0.2% selama 3, 5, 7 dan 9 menit dan bahan yang tidak di-blanching
adalah perlakuan kontrol. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 75 oC menggunakan alat pengering
tipe rak Sunbeam Food Dehidrator. Sebelum pengeringan berlangsung, uji performansi alat pengering
dilakukan. Selama proses pengeringan dapat diketahui karakteristik pengeringan. Setelah proses
pengeringan dilakukan penggilingan untuk mendapatkan bubuk cabai merah. Selanjutnya, warna
dianalisis dengan menggunakan chromameter. Bubuk cabai ini kemudian diuji kestabilan warnanya
akibat pengaruh suhu, kondisi penyimpanan, pengaruh sinar matahari dan pengaruh sinar lampu.
Tahap berikutnya adalah ekstraksi oleoresin untuk menghilangkan zat pedas cabai dan analisis warna
setelah ekstraksi menggunakan chromameter. Untuk mengetahui keberhasilan ekstraksi dilakukan
analisis tingkat kepedasan dengan menggunakan uji organoleptik pada panelis terlatih.
Hasil pengeringan menunjukkan bahwa perlakuan blanching dapat mempengaruhi
karakteristik pengeringan. Perlakuan blanching selama 9 menit menunjukkan bahawa laju
pengeringan dan waktu pengeringan menjadi lebih cepat dibandingkan perlakuan lain dan kontrol
sehingga kadar air yang diinginkan lebih cepat tercapai. Blanching dengan natrium bisulfit 0.2%
sebelum pengeringan dapat mempertahankan warna bubuk cabai merah dengan baik namun proses
blanching yang terlalu lama akan menyebabkan banyak komponen warna yang larut dalam media
blanching. Blanching selama 7 menit sebelum pengeringan memberikan warna bubuk yang paling
baik setelah pengeringan dibandingkan perlakuan blanching yang lain dan kontrol. Dari hasil analisis
statistik didapatkan bahwa perlakuan 9 menit memiliki tingkat kecerahan paling tinggi namun
memiliki intensitas warna merah yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun bila
dilihat secara nominal perbedaan nilai warna merah pada perlakuan ini dengan nilai warna merah
tertinggi (perlakuan blanching 7 menit) hanya sebesar 0.64 dari range nilai warna merah 0 – 50.
Sehingga perlakuan 9 menit ini dapat dikatakan perlakuan terbaik. Blanching selama 9 menit
merupakan perlakuan yang terbaik untuk dapat mempertahankan warna setelah pengujian kestabilan
warna dan ekstraksi oleoresin. Warna merah yang baik merupakan hal penting ketika bahan telah
diaplikasikan untuk pewarna kosmetik, namun kestabilan warna merupakan hal terpenting ketika
kosmetik tersebut telah digunakan ke kulit pemakai.
KARAKTERISTIK PENGERINGAN CABAI MERAH (Capsicum
annuum L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI KOSMETIK

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
KHANIA TRIA TIFANI
F14080126

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) Sebagai Pewarna
Alami Kosmetik
Nama : Khania Tria Tifani
NIM : F14080126

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Nanik Purwanti, S.TP, M.Sc) (Ir. Dhiah Nuraini, M.Si)


NIP. 19810108 200501 2 004 NIP. 090012851

Mengetahui :
Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Desrial, M.Eng)


NIP. 19661201 199103 1 004

Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Pengeringan
Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) sebagai Pewarna Alami Kosmetik adalah hasil karya sendiri
dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013


Yang membuat pernyataan

Khania Tria Tifani


F14080126
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak maupun fotokopi,
mikrofilm dan sebagainya.
BIODATA PENULIS

Khania Tria Tifani, lahir di Magetan, 16 Juli 1990 dari ayah Latif dan ibu
Sulastri, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan
SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 3 Madiun dan pada tahun yang
sama diterima di IPB melalui jalur SNMPTN tulis. Penulis memilih Mayor
Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas
Teknologi Pertanian. Pada tahun 2011, penulis memilih Bagian Teknik
Biosistem. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai
kegiatan yaitu sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Madiun
(Pasmad) pada periode tahun 2008 – sekarang, panitia Salam Perkenalan
Angkatan2009 (SAPA) pada periode tahun 2010, sekretaris Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian
Indonesia (IMATETANI) pada periode tahun 2011/2012. Selain itu, penulis juga aktif menjadi asisten
mata kuliah Teknik Pengolahan Pangan pada tahun 2012 dan mata kuliah Motor dan Tenaga
Penggerak pada tahun 2012. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2011 di PG
Poerwodadie, Magetan, Jawa Timur dengan judul Teknik Pengolahan Gula di PG Poerwodadie PTPN
XI, Magetan, Jawa Timur.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan pertolongan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Karakteristik
Pengeringan Cabai Merah (Capsicum Annuum L.) sebagai Pewarna Alami Kosmetik. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan pada
saat penelitian maupun pada saat penyusunan skripsi ini, yaitu:
1. Orangtua, keluarga, dan saudara-saudara yang sudah mendukung secara moril dan materiil, atas
doa yang selalu terucap setiap harinya, tanpa kalian entah darimana semangat ini terus ada.
2. Almh. Ir. Putiati Mahdar, M. App. Sc., Dr. Nanik Purwanti, S.TP, M.Sc. dan Ir. Dhiah Nuraini,
M.Si. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan dukungan serta Dr. Ir.
Emmy Darmawati, M.Si. sebagai dosen penguji yang telah memberikan arahan dalam perbaikan
skripsi.
3. Dosen-dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas didikan dan bimbingannya
4. Pak Sulyaden yang banyak membantu di Laboratorium.
5. Ibu Mar (UPT) yang selalu membantu urusan akademik saya.
6. Bintarjo Agus Priyadi atas bantuan dan dukungan selama penelitian.
7. Teman sebimbingan Anggi Tri Granita atas kerjasama, semangat dan bantuannya.
8. Teman-teman Magenta 45 khususnya kepada Bhekti Ayu, Harli, Yuliani, Nurul Fuadah, Fiki,
Soleh dan Aulia atas dorongan semangatnya.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Oleh karena itu, segala bentuk masukan baik berupa kritik maupun saran sangat penulis harapkan agar
dapat menjadi sebuah bahan pembelajaran serta proses perbaikan selanjutnya. Atas perhatiannya,
penulis mengucapkan terimakasih.

Bogor, Januari 2013


Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................................ vii
I. PENDAHULUAN ...............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................................3
2.1 Keadaan Umum Cabai ..................................................................................................................... 3
2.2 Blanching ......................................................................................................................................... 6
2.3 Perubahan Warna ............................................................................................................................. 7
2.5 Teori Pengeringan ............................................................................................................................ 7
2.6 Pengering Tipe Rak .......................................................................................................................... 8
2.7 Karakteristik Pengeringan ................................................................................................................ 9
2.8 Analisis Performansi Alat Pengering ............................................................................................. 10
2.9 Ekstraksi Oleoresin ........................................................................................................................ 11
2.10 Kosmetik ...................................................................................................................................... 12
2.11 Analisis Warna ............................................................................................................................. 13
III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................................................17
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................................................................... 17
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................................................... 17
3.3 Metode Penelitian........................................................................................................................... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................................27
4.1 Performa Alat Pengering ................................................................................................................ 27
4.2 Efisiensi Pengeringan ..................................................................................................................... 34
4.3 Karakteristik Pengeringan Cabe Merah.......................................................................................... 34
4.4 Produk Hasil Pengeringan .............................................................................................................. 39
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................................48
5.1 Kesimpulan .................................................................................................................................... 48
5.2 Saran............................................................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................50
LAMPIRAN ..........................................................................................................................................52

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kandungan zat gizi buah cabai segar dan kering setiap 100 gram bahan ................................. 5
Tabel 2. Standar mutu cabai merah ........................................................................................................ 5
Tabel 3. Persentase komponen pigmen karatenoid pada cabai merah .................................................... 6
Tabel 4. Spesifikasi alat pengering....................................................................................................... 17
Tabel 5. Alat-alat produksi ................................................................................................................... 18
Tabel 6. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pengeringan ............................... 18
Tabel 7. Uji organoleptik bubuk cabai pada perlakuan blanching yang berbeda ................................. 20
Tabel 8. Tingkat pengenceran dan nilai SHU pada uji kepedasan ....................................................... 25
Tabel 9. Tingkat kepedasan dan nilai SHU pada uji kepedasan ........................................................... 25
Tabel 10. Efisiensi alat pengering pada pengeringan cabai merah ....................................................... 34
Tabel 11. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 1. .............................................................. 35
Tabel 12. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 2. .............................................................. 35
Tabel 13. Data hasil perhitungan dengan metode oven ........................................................................ 35
Tabel 14. Kadar air cabai kering dan kadar air bubuk cabai ................................................................ 39
Tabel 15. Persentase penurunan intensitas warna merah pada uji stabilitas warna. ............................. 44
Tabel 16. Persentase penurunan intensitas warna merah ..................................................................... 46
Tabel 17. Tingkat kepedasan bubuk ..................................................................................................... 47

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Cabai merah .......................................................................................................................... 3
Gambar 2. (a) Kurva perubahan kadar air terhadap waktu pengeringan, (b) Kurva laju pengeringan
terhadap kadar air (Heldman dan Singh 1981). .............................................................................. 8
Gambar 3. Peta warna sistem notasi I.C.I. (Andarwulan et al. 2011). ................................................. 14
Gambar 4. Bola warna Munsel (Andarwulan et al. 2011).................................................................... 15
Gambar 5. Diagram warna Hunter (Andarwulan et al. 2011). ............................................................. 16
Gambar 6. Alat pengering Sunbeam DT5600 ...................................................................................... 18
Gambar 7. Diagram alir penelitian Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
sebagai Pewarna Alami Kosmetik ................................................................................................ 19
Gambar 8. Penempatan termokopel pada alat pengering. .................................................................... 21
Gambar 9. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 35 oC (set I) ..................... 27
Gambar 10. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 55 oC (set II) .................. 27
Gambar 11. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 75 oC (set III) ................. 28
Gambar 12. Sebaran suhu pada irisan penampang alat pengering (Soleh 2012) .................................. 28
Gambar 13. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan kontrol. ............................................................................................. 29
Gambar 14. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 3 menit. ............................................................................ 30
Gambar 15. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 5 menit. ............................................................................ 31
Gambar 16. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 7 menit. ............................................................................ 32
Gambar 17. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 9 menit. ............................................................................ 33
Gambar 18. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1. .................................... 36
Gambar 19. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1. .................................... 36
Gambar 20. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 1. ......................................... 37
Gambar 21. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 2. ......................................... 37
Gambar 22. Grafik laju pengeringan menurun tetap (titik A-B) dan menurun lambat (titik B-C). ...... 38
Gambar 23. Grafik hubungan antara nilai L* dengan lama blanching. ................................................ 40
Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai a* dengan lama blanching. ................................................ 40
Gambar 25. Perubahan intensitas warna akibat suhu penyimpanan. .................................................... 41
Gambar 26. Perubahan intensitas warna akibat kondisi penyimpanan. ................................................ 42
Gambar 27. Perubahan intensitas warna akibat sinar matahari. ........................................................... 42
Gambar 28. Perubahan intensitas warna akibat sinar lampu. ............................................................... 43
Gambar 29. Perubahan nilai L* setelah ekstraksi oleoresin. ................................................................ 45
Gambar 30. Perubahan a* setelah ekstraksi oleoresin. ......................................................................... 46

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Dimensi alat pengering (Soleh 2012) .............................................................................. 53
Lampiran 2. Susunan rak dalam alat pengering (Soleh 2012) .............................................................. 54
Lampiran 3. Posisi fan dalam alat pengering (Soleh 2012) .................................................................. 55
Lampiran 4. Nilai panas laten penguapan air pada suhu tertentu (Heldman dan Singh 1981) ............. 56
Lampiran 5. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban.......................................................... 57
Lampiran 6. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan) ......................................... 58
Lampiran 7. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan). ........................................ 59
Lampiran 8. Sebaran suhu pada perlakuan kontrol .............................................................................. 60
Lampiran 9. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 3 menit ................................................. 61
Lampiran 10. Sebaran suhu pada perlakuanblanching selama 5 menit ................................................ 62
Lampiran 11. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 7 menit ............................................... 63
Lampiran 12. Sebaran suhu padaperlakuan blanching selama 9 menit ................................................ 64
Lampiran 13. Perhitungan efisiensi pengering pada tiap perlakuan ..................................................... 65
Lampiran 14. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 1 ............................... 66
Lampiran 15. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 2 ............................... 67
Lampiran 16. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 1 ............. 68
Lampiran 17. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 2 ............. 69
Lampiran 18. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 1 ............. 70
Lampiran 19. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 2 ............. 71
Lampiran 20. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 1 ............. 72
Lampiran 21. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 2 ............. 73
Lampiran 22. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1 ............. 74
Lampiran 23. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1 ............. 75
Lampiran 24. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan suhu penyimpanan ...................................... 76
Lampiran 25. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar matahari ............................................. 77
Lampiran 26. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar lampu ................................................. 78
Lampiran 27. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan kondisi simpan ............................................ 79
Lampiran 28. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna .......................................... 80
Lampiran 29. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna (lanjutan) .......................... 81
Lampiran 30. Warna produk secara visual ........................................................................................... 82
Lampiran 31. Hasil analisis sidik ragam menggunakan SPSS………………………………...………83

vii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kosmetik adalah bahan yang diaplikasikan secara topikal yang digunakan untuk
memperbaiki penampilan, menghilangkan kotoran kulit, meningkatkan rasa percaya diri,
mempertahankan komposisi cairan kulit, melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet, dan
memperlambat timbulnya kerutan (Wasitaatmadja 1997). Menurut kegunaan bagi kulit, kosmetik
dapat digolongkan menjadi kosmetik perawatan kulit dan kosmetik dekoratif. Kosmetik dekoratif atau
riasan adalah kosmetik yang diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga
menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti
percaya diri. Dalam kosmetik riasan, peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar. Zat pewarna
dalam kosmetik dekoratif ini dapat berasal dari pewarna alami dan sintetis. Pewarna sintetis banyak
digunakan karena dapat membuat sabun, lotion, cream dan produk kecantikan lainnya terlihat sangat
menarik. Tetapi pewarna sintetis dapat menimbulkan bahaya seperti neurotoksisitas, gangguan organ
reproduksi, kanker, iritasi kuit, ruam dan hiperpigmentasi. Oleh karena itu telah banyak
dikembangkan pewarna alami kosmetik yang berasal dari tumbuhan. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai pewarna alami kosmetik adalah pembuatan pewarna lipstik oleh Farima (2009)
dengan bahan dasar ekstrak bunga mawar merah, Trinanda (2012) dengan bahan dasar ekstrak buah
rasberi dan Utami (2011) dengan bahan dasar beras ketan hitam.
Cabai (Capsicum sp.) merupakan tanaman yang memiliki prospek yang baik untuk
digunakan sebagai pewarna kosmetik. Hal ini karena cabai memiliki zat warna karotenoid. Karotenoid
adalah kelompok pigmen alami yang berwarna merah, orange atau kuning yang larut dalam lipid
sehingga dapat diaplikasikan pada kosmetik dengan bahan dasar minyak. Untuk tujuan pewarna
kosmetik, cabai perlu dihilangkan zat pedasnya (kapsaisin) karena dapat menimbulkan iritasi kulit dan
kulit terasa panas. Dari studi pustaka yang dilakukan, penelitian nasional ataupun internasional yang
mengulas potensi cabai merah sebagai pewarna kosmetik belum ditemukan. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan potensi cabai merah sebagai pewarna alami kosmetik.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan cabai untuk pewarna kosmetik,
antara lain keseragaman warna merah dan kandungan zat pedas atau kapsaisin. Keseragaman warna
merah perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kualitas dari zat pewarna tersebut. Kandungan
zat pedas harus seminimal mungkin agar mudah dihilangkan sehingga kosmetik dengan pewarna dari
cabai aman untuk diaplikasikan pada kulit wajah. Menurut Udin dan Mochtar (1993), cabai besar
memiliki tingkat kepedasan 500,000 SHU (Scoville Heat Unit) dan kandungan kapsaisin sebesar
0.35%, sedangkan cabai kecil (cabai rawit) memiliki tingkat kepedasan 980,000 SHU dan kandungan
kapsaisin sebesar 0.66%. Berdasarkan hal tersebut, cabai merah besar dipilih dalam penelitian ini
karena memiliki keseragaman warna merah yang baik serta memiliki tingkat kepedasan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan cabai rawit.
Untuk mendapatkan warna dari cabai merah, cabai merah dikeringkan terlebih dahulu.
Pengeringan cabai merah besar (Capsicum annuum L.) dapat dilakukan secara alami menggunakan
sinar matahari atau dapat menggunakan alat pengering. Pengeringan alami memiliki banyak kendala
yaitu membutuhkan luas pengeringan lebih besar dibanding dengan pengeringan mekanis. Adanya
kontaminasi yang berasal dari debu, insekta, burung, dan rodensia serta bahan yang terus mengalami
respirasi jaringan dan adanya proses fermentasi (bila bahan mengandung kadar gula tinggi)
menyebabkan kualitas pengeringan mekanis lebih baik dari pengeringan alami. Namun, warna produk

1
hasil pengeringan alami lebih baik dan pengeringan alami lebih ekonomis dibanding pengeringan
mekanis (Desrosier 2008). Setelah dikeringkan, cabai merah dikecilkan ukurannya hingga 30 – 40
mesh untuk dihilangkan kandungan kapsaisinnya dengan cara ekstraksi oleoresin. Oleoresin adalah
campuran minyak dan resin yang diperoleh dari ekstraksi, pemekatan dan standarisasi minyak atsiri
dan komponen non volatile dari rempah-rempah (anonim 2009). Oleoresin dari proses ekstraksi ini
dapat digunakan untuk obat oles untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan encok.
Sehingga didapatkan nilai tambah cabai selain digunakan untuk pewarna kosmetik.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :


1. Mengetahui pengaruh blanching terhadap karakteristik pengeringan cabai merah dengan
pengering tipe rak.
2. Menentukan waktu blanching cabai merah dalam natrium bisulfit yang dapat mempertahankan
warna merah dengan baik.
3. Mengkaji kestabilan warna bubuk cabai merah sebagai pewarna kosmetik.
4. Mengkaji pengaruh ekstraksi oleoresin terhadap warna dan tingkat kepedasan bubuk cabai
merah.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah


1. Memperoleh karakteristik pengeringan cabai merah dengan menggunakan alat pengering tipe
rak.
2. Mengetahui lama blanching cabai merah dengan natrium bisulfit yang dapat mempertahankan
warna merah dengan baik.
3. Meningkatkan nilai tambah olahan cabai merah sebagai bahan pewarna kosmetik.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Cabai

2.1.1 Botani Cabai

Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk dalam famili Solanaceae, genus Capsicum,
ordo Solanales, subkelas Dicotyledoneae, kelas Angiospermae (Susila 1989). Cabai merah merupakan
tanaman semusim (annual) berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang berkayu dan memiliki
banyak cabang. Perakaran tanaman cabai merupakan akar tunggang. Daun berwarna hijau muda
sampai hijau gelap, tulang daun menyirip dengan bentuk daun lonjong dan ujung daun meruncing.
Bunga cabai berbentuk seperti terompet dan tergolong bunga lengkap (Prajnanta 2007).

Gambar 1. Cabai merah

Cabai (Capsicum sp.) pada dasarnya terdiri atas 2 golongan utama, yaitu cabai besar (C.
Annuum L.) dan cabai rawit (C. Frutescens L.). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper/cabai
pedas), cabai hijau dan paprika (sweet pepper/cabai manis). Contoh salah satu varietas cabai dapat
dilihat pada Gambar 1.
Tanaman cabai merah adalah tanaman sayur buah yang dibudidayakan secara intensif di
”tegalan”, kebun, di pekarangan rumah atau bahkan di pot. Budidaya cabai merah dimulai dengan
mempersiapkan benih unggul yang diperoleh dari biji buah cabai merah yang telah tua, mengolah
tanah kemudian dibuat bedengan-bedengan dan dibuat alur untuk tempat menyemai. Wadah, pot dan
kantung plastik kecil diisi media semai. Benih cabai disemai di polybag kecil, di wadah, atau di
bedengan. Jika digunakan kantung plastik kecil, masing-masing plastik diisi satu benih. Namun, jika
disemai di media pot, wadah atau bedengan diperlukan benih dalam jumlah banyak. Benih disemai
dengan cara ditebar merata. Tempat yang akan digunakan untuk menanam cabai di beri pupuk
kompos. Bibit yang telah memiliki 3 – 4 daun siap ditanam. Jarak tanam di bedengan sekitar 60 – 70
cm dan di pot ditanam 1 – 2 bibit. Tanaman cabai merah diberi ajir, diikat untuk menopang tegaknya
tanaman dan kuat untuk menopang beban berat buah. Musim tanam yang baik untuk bertanam cabai
merah adalah menjelang akhir musim hujan atau di musim kemarau bila tersedia air untuk penyiraman
atau pengairannya. Pemeliharaan tanaman, penyiraman, penyulaman, pemupukan susulan dan
pengendalian terhadap serangan organisme pengganggu tanaman dilakukan secara intensif atau sesuai
kebutuhan (Pitojo dan Zumiati 2009).

3
Cabai dapat dipanen pada saat buah memiliki bobot maksimal, bentuknya padat, dan
warnanya tepat merah menyala dengan sedikit garis hitam (90% masak). Umur panen cabai ditentukan
oleh tiga hal, yaitu varietas, lokasi penanaman dan kombinasi pemupukan yang digunakan. Cara
pemanenan cabai dengan dipetik dan disertakan tangkai buahnya. Cabai yang dipanen tanpa tangkai
buah akan cepat busuk. Waktu panen yang baik pada pagi hari karena bobot buah dalam keadaan
optimal sebagai hasil penimbunan zat-zat makanan pada malam harinya dan belum banyak mengalami
penguapan (Prajnanta 2007).

2.1.2 Komposisi Kimia Cabai

Secara umum buah cabai mempunyai banyak kandungan gizi yang masing-masing jenisnya
akan berlainan. Tabel 1 menunjukkan kandungan gizi buah dari beberapa jenis cabai, baik bentuk
segar maupun kering.
Pengeringan cabai biasa dilakukan untuk mengawetkan pada saat panen raya serta untuk
memperpanjang umur simpan dari cabai tersebut. Di Indonesia cabai kering biasanya digunakan
sebagai bumbu penyedap dan pewarna masakan. Namun penggunaan cabai tidak terbatas hanya untuk
penyedap masakan saja. Menurut Wiryanta (2002), cabai juga digunakan sebagai penggugah selera
makan (appetizer) selain sebagai penyedap makanan. Cabai banyak digunakan untuk terapi kesehatan.
Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung serta dapat digunakan sebagai
obat oles untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan encok. Khasiat cabai yang
begitu banyak tersebut disebabkan oleh senyawa kapsaisin (C18H27NO3). Cabai juga mengandung
senyawa kapsikidin yang berfungsi untuk memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah infeksi
sistem pencernaan. Cabai yang akan dikeringkan harus memenuhi standar mutu tertentu untuk
memperoleh produk yang seragam. Tabel 2 menunjukkan syarat mutu cabai merah sesuai dengan SNI
01-4480-1998.
Hasil penelitian Komara (1991) menunjukkan bahwa komponen pemberi rasa pedas pada
cabai dapat diekstrak menggunakan pelarut organik. Komponen pemberi rasa pedas ini kemudian
diidentifikasi sebagai kapsaisin. Ekstraksi ini dapat menggunakan pelarut ethanol atau eter. Ethanol
memberikan rendemen oleoresin yang baik sedangkan eter merupakan pelarut yang mempunyai
kemampuan mengekstrak kapsaisin terbaik. Masih menurut Komara (1991), ekstraksi 100 gram bubuk
cabai (ukuran 30 – 40 mesh) dengan metode perkolasi, menggunakan pelarut ethanol 96% pada suhu
40oC, dan dengan perbandingan jumlah bahan dan pelarut 1:6 (b/v) selama 120 menit, memberikan
hasil oleoresin yang optimal.
Menurut Udin dan Mochtar 1993, cabai besar memiliki tingkat kepedasan 500,000 SHU.
Menurut Guci (2012), tingkat kepedasan cabai dapat diukur menggunakan Scoville Organoleptic Test.
Pengukuran ini dilakukan oleh seorang kimiawan bernama Wilbur Scoville pada tahun 1912. Prinsip
Scoville Organoleptic Test adalah ekstrak cabai dicairkan dengan sirup gula sehingga rasa pedasnya
tidak terasa lagi. Derajat pencairan cabai ini dinilai di Scoville Scale dan hasil pengukuran dapat
dinyatakan dengan satuan Scoville Heat Unit (SHU). Gula atau cabai manis (paprika) akan mendapat
nilai 0 SHU, ini menandakan tidak adanya kandungan zat kapsaisin sebagai pendeteksi rasa pedas.
Pada percobaan lain, cabai “bhut jolokias” mempunyai tingkat kepedasan 1,000,000 SHU. Ini
menunjukkan ekstrak cabai ini perlu dicairkan sejuta kali supaya kapsaisin tidak terasa lagi. Pada saat
percobaan pertama yang dilakukan Wilbur, pengukuran ini menunjukkan hasil yang tidak tepat. Hal
ini terjadi karena panelis yang melakukan organoleptik belum terbiasa dengan pengenalan rasa pedas.
Agar hasil pengukuran yang dilakukan tepat, maka dilakukan pengujian pada panelis yang telah
terlatih.

4
Tabel 1. Kandungan zat gizi buah cabai segar dan kering setiap 100 gram bahan
Segar Kering
Cabai Cabai Cabai Cabai Cabai Cabai
Kandungan
Hijau Besar Merah Besar Rawit Hijau Besar Merah Besar Rawit
Kalori (kal) 23 31 103 - 311 -
Protein (g) 0.7 1 4.7 - 15.9 15
Lemak (g) 0.3 0.3 2.4 - 6.2 11
Karbohidrat (g) 5.2 7.3 19.9 - 61.8 33
Kalsium (mg) 14 29 45 - 160 150
Fosfor (mg) 23 24 85 - 370 -
Besi (mg) 0.4 0.5 2.5 - 2.3 9
Vit. A (SI) 260 470 11,050 - 576 1,000
Vit. B1 (mg) 0.05 0.05 0.05 - 0.04 0.5
Vit. C (mg) 84 18 70 - 50 10
Air (g) 93.4 90.9 71.2 - 10 8 ml
b. d. d *) (%) 82 85 85 - 85 -
Catatan : b.d.d = bagian yang dapat dimakan (Susila, 1989)

Tabel 2. Standar mutu cabai merah


Persyaratan
Jenis Uji Mutu I Mutu II Mutu III
Keseragaman warna merah (%) ≥ 95 ≥ 95 ≥ 95
Keseragaman
- Bentuk (% normal) 98 96 95
Keseragaman ukuran (cm)
a. Cabai merah besar
- Panjang buah 12 – 14 9 – 11 <9
- Garis tengah pangkal 1.5 – 1.7 1.3 – <1.5 < 1.3
b. Cabai merah kering
- Panjang buah >12 – 17 10 – <12 < 10
- Garis tengah pangkal 1.5 – 1.7 1.3 – <1.5 < 1.3
Kadar kotoran (%) 1 2 5
Tingkat kerusakan dan busuk (%)
a. Cabai merah besar 0 1 2
b. Cabai merah kering 0 1 2
Sumber : SNI no. 01-4480-1998 (Deptan)

Menurut Purseglove, Brown, Green, dan Robbins (1981), pigmen yang menyebabkan cabai
berwarna merah atau merah menyala bila telah masak adalah pigmen karotenoid. Karotenoid yang
terdapat dalam cabai merah sebanyak 0.1 – 0.5% yang terdiri dari capsanthin, capsorubin, β-caroten,
zeaxanthin, cryptoxanthin, violaxanthin, anteraxanthin, cryptocapsin dan lutein. Persentase komponen
pigmen karotenoid pada cabai merah dapat dilihat pada Tabel 3.

5
Tabel 3. Persentase komponen pigmen karatenoid pada cabai merah
besar dan yang masih hijau
Pigmen Merah (%) Hijau (%)
Capsanthin 35 -
Capsorubin 6 -
β-caroten 10 13
Zeaxanthin 2 1
Cryptoxanthin 6 1
Violaxanthin 10 15
Neoxanthin 1 15
Anteraxanthin 2 -
Cryptocapsin 4 -
Lutein - 41
Sumber : Purseglove et al., (1981)

Warna cabai merah yang berpotensi untuk digunakan sebagai pewarna tergantung pada
beberapa faktor, antara lain kematangan dan suhu yang digunakan selama proses pengeringan atau
proses lainnya dalam kondisi penyimpanan terutama kontak udara dan cahaya.

2.2 Blanching

Proses blanching merupakan perlakuan pendahuluan untuk beberapa jenis sayuran dan buah-
buahan yang akan dikeringkan, dikalengkan dan dibekukan dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas
produk akhir yang baik. Proses blanching merupakan salah satu proses termal dan umumnya
membutuhkan suhu berkisar 75 – 95 oC selama 1 – 10 menit. Pada dasarnya, proses blanching
bertujuan untuk menonaktifkan enzim-enzim yang menyebabkan perubahan kualitas pangan. Aktifitas
enzim perlu dinonaktifkan karena dapat mempengaruhi warna, bau, cita rasa dan kandungan gizi dari
bahan pangan. Fungsi blanching yang lain adalah mengurangi gas antarsel. Pengurangan kadar
oksigen antarsel penting dilakukan untuk mengurangi perubahan oksidatif dan mendapatkan kondisi
headspace yang vakum pada proses pengalengan (Estiasih dan Ahmadi 2011).
Peralatan yang digunakan dalam proses blanching adalah steam blancher, hot water blancher
dan microwave blancher. Faktor - faktor yang mempengaruhi waktu blanching adalah tipe buah dan
sayur, ukuran dan jumlah bahan, suhu blanching, dan metode pemanasan. Proses blanching dapat
menurunkan berat bahan dan kandungan zat gizi, memudahkan pelarutan senyawa toksik,
menurunkan kadar mikroorganisme kontaminan, merubah warna, menghilangkan cita rasa yang
volatile, dan merubah struktur dan tekstur bahan pangan (Estiasih dan Ahmadi 2011).
Menurut Muchtadi, Sugiyono, dan Ayustaningwarno (2010), sayuran memerlukan waktu
blanching sekitar 2 – 4 menit pada suhu 98.9 – 100 oC, jika dalam bentuk irisan kecil atau tipis. Jika
irisan berukuran besar atau tebal maka diperlukan waktu blanching 5 – 15 menit. Proses blanching ini
dapat dilakukan secara batch atau kontinyu sesuai dengan jumlah bahan yang akan di-blanching.
Blanching dapat dilakukan dengan sulfit, fosfat atau karbonat. Penambahan bahan kimia ini terutama
untuk mempertahankan warna produk ketika nantinya produk diproses dengan pengeringan.

6
2.3 Perubahan Warna

Menurut Muchtadi et al. (2010), jika sayuran atau buah – buahan terpotong atau terluka,
maka biasanya pada bagian yang terpotong atau terluka tersebut permukaannya akan berubah
warnanya menjadi coklat. Reaksi perubahan ini disebut sebagai reaksi browning. Browning sendiri
bisa dikategorikan kedalam browning enzimatik dan non-enzimatik. Reaksi browning enzimatik
disebabkan oleh oksidasi phenol atau poliphenol karena adanya enzim phenol oksidase (phenolase)
atau poliphenol oksidase (poliphenolase). Menurut Desrosier (2008), interaksi asam amino dan gula
reduksi (reaksi Maillard) adalah reaksi pencoklatan secara non-enzimatik dan dapat dicegah dengan
menggunakan sulfit.
Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya, dan diduga dapat
mengubah warna bahan pangan. Karotenoid dan antosianin diketahui berubah selama proses
pengeringan. Makin tinggi suhu dan makin lama waktu pengeringan yang diberikan, makin banyak zat
warna yang berubah. Untuk menghindari proses browning dan perubahan warna akibat pengeringan
maka digunakan bahan sulfit, fosfat atau karbonat pada medium blanching (Muchtadi et al. 2010).
Metode penambahan bahan kimia yang berbeda untuk mempertahankan warna produk
diungkapkan oleh Setiadi (2008). Cabai merah yang sudah di-blanching pada suhu 90 oC selama 6
menit lalu direndam dalam larutan kalium metabisulfat 0.2% (setiap 2 gram bahan dicampur 1 liter
air). Menurut Wiryanta (2002), supaya warna cabai tidak pudar, pada pengeringan cabai yang dibelah
dahulu, buah cabai dapat direndam di dalam larutan natrium bisulfit 0.2% selama lima menit.
Berdasarkan (Marsudi 1993), bahan rendaman yang memiki tingkat kecerahan dan warna yang baik
adalah perendaman menggunakan natrium bisulfit. Metode lain untuk mempertahankan warna produk,
menghambat pertumbuhan bakteri, khamir dan kapang sebelum dikeringkan adalah dengan
pencelupan terhadap bahan kimia berupa larutan dipsol, natrium bisulfit dan magnesium hidroksida.

2.4 Teori Pengeringan

Menurut Heldman dan Singh (1981), pengeringan pada umumnya adalah menghilangkan
sebagian kandungan air dalam produk dengan menggunakan panas pada suhu di bawah titik didih.
Mekanisme pengeringan dapat dipengaruhi oleh karakteristik produk, kontak antara udara panas dan
permukaan produk, dan karakteristik pindah panas dan pindah massa dari luar produk ke bagian dalam
produk atau sebaliknya. Laju pengeringan, pada awalnya, akan tergantung pada laju perpindahan
panas dan massa dari permukaan produk ke udara sekitarnya. Saat produk mencapai kadar air kritis di
mana kadar air bebas telah diuapkan, maka tingkat pengeringan akan ditentukan oleh laju pergerakan
air dari dalam ke permukaan produk, dan jarak panas tersebut melewati bagian dalam bahan.
Kurva karakteristik pengeringan umumnya digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan
mekanisme pindah panas dan pindah massa selama proses pengeringan dan untuk membandingkan
karakteristik produk pada metode pengeringan yang digunakan. Kurva karakteristik pengeringan
diperoleh dari plotting laju pengeringan dengan kadar air basis basah seperti yang digambarkan pada
Gambar 2 di bawah ini :

7
(a)
(b)
Decreasing Constant
Drying Rate Drying Rate

Drying Rate (g H2O/m2 hr)


C B

A
Critical Moisture Content

D
Bound Free Moisture Content
Moisture
Content

E
Moisture Content (g H2O/g solid)

Gambar 2. (a) Kurva perubahan kadar air terhadap waktu pengeringan, (b) Kurva laju pengeringan
terhadap kadar air (Heldman dan Singh 1981).

Menurut Henderson dan Perry (1976), proses pengeringan dibagi menjadi dua periode, yaitu
periode laju pengeringan tetap dan periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan tetap terjadi
sampai saat bahan mencapai kadar air kritis. Laju pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi bentuk, ukuran dan susunan bahan saat dikeringkan. Faktor
eksternal meliputi suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara pengeringan.
Air yang diuapkan selama proses pengeringan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas
adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan yang dipergunakan oleh mikroba untuk
pertumbuhan dan sebagai media reaksi kimiawi. Air ini yang pertama menguap pada saat
pengeringan. Air terikat terbagi menjadi dua macam, yaitu air terikat secara fisik dan air terikat secara
kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air bahan yang terdapat dalam jaringan
matriks bahan karena adanya ikatan fisik. Bila kandungan air terikat diuapkan maka pertumbuhan
mikroba, reaksi pencoklatan, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi. Air yang terikat secara
kimiawi adalah air yang terikat dengan protein, lemak dan karbohidrat yang terkandung dalam bahan
pangan (Henderson dan Perry 1976).

2.5 Pengering Tipe Rak

Pengeringan kabinet atau disebut juga pengeringan tipe rak adalah pengering dengan sistem
batch dimana proses pengeringan dilakukan pada suhu yang konstan dan di dalamnya terdapat rak-rak
yang berfungsi untuk meletakkan bahan yang akan dikeringkan. Alat ini terdiri dari alat pemanas,
kipas untuk sirkulasi udara, alat pengatur kecepatan udara serta bagian inlet dan outlet udara. Alat
pengering ini biasanya digunakan untuk pengembangan produk baru sebelum diproduksi skala besar
(Estiasih dan Ahmadi 2011).
Menurut Henderson dan Perry (1976), sayuran dan buah-buahan cocok dikeringkan dengan
menggunakan pengering rak. Bahan diletakkan di atas rak yang dipasangkan pada kereta untuk
memudahkan pemindahannya. Pengering rak merupakan pengering yang paling murah pembuatannya,
mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya (Desrosier, 2008).
Menurut Heldman dan Singh (1981), ada dua kekurangan atau permasalahan yang dimiliki
alat pengering ini. Masalah pertama adalah ketidakseragaman tingkat kekeringan produk akibat letak

8
rak yang bervariasi (bertingkat-tingkat). Permasalahan kedua adalah kecepatan pengeringan produk
tidak sama, dimana produk akan lebih cepat kering jika dekat dengan sumber panas masuk ruang
pengering. Namun masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan cara memindahkan atau memutar
letak rak. Selain itu dapat diatasi juga dengan pembalikan arah aliran udara.

2.6 Karakteristik Pengeringan

2.6.1 Kadar Air

Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap banyaknya air yang diuapkan dan lamanya
proses pengeringan. Menurut Henderson dan Perry (1976) kadar air dari suatu bahan biasanya
dinyatakan dalam persentase berat dalam basis basah. Kadar air basis basah adalah perbandingan berat
air per 100 gram bahan.

Dimana m adalah kadar air basis basah dalam persen, Wm adalah berat air sedangkan Wd adalah berat
bahan kering. Kadar air dapat pula dinyatakan dalam basis kering sebagai berikut :

Metode yang digunakan untuk mengukur kadar air dapat secara langsung atau tidak
langsung. Metode secara langsung dilakukan dengan pengovenan, sedangkan metode tidak langsung
dapat menggunakan alat yang menggunakan prinsip tahanan elektrik.

2.6.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya kadar air yang diuapkan (satuan berat) per satuan
tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan adalah 1) bentuk bahan, ukuran, volume
dan luas permukaan, 2) sifat termofisik bahan seperti panas laten, panas jenis spesifik, konduktivitas
termal dan emisivitas termal, 3) komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal bahan, dan 4)
keadaan di luar bahan, seperti suhu, kelembaban dan laju aliran udara.
Proses pengeringan dapat dibedakan atas dua periode utama, yaitu periode dengan laju
pengeringan tetap dan periode dengan laju pengeringan menurun. Kedua periode ini dibatasi oleh
kadar air kritis (titik C pada Gambar 2b). Air yang diuapkan dalam pengeringan terdiri atas air bebas
dan air terikat. Laju pengeringan tetap bila konsentrasi air bebas pada permukaan bahan cukup besar.
Penguapan ini dapat disamakan dengan laju penguapan pada permukaan air bebas.

9
2.7 Analisis Performansi Alat Pengering

2.7.1 Laju Aliran Udara Pengering

Laju aliran udara pengering yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan dapat dihitung
dengan persamaan berikut (Rokhani 1989) :

dimana Q = laju aliran udara, m3/jam


Wa = jumlah uap air yang dikeluarkan bahan, kg
v = volume spesifik udara, m3/kg uk (udara kering)
Ha = kelembaban mutlak udara keluar alat pengering, kg air/kg uk.
Hd = kelembaban mutlak udara pengering, kg air/kg uk.
t = waktu pengeringan, jam
M1 = kadar air awal, %bb (basis basah)
M2 = kadar air akhir, %bb
Wd = berat bahan kering, kg

2.7.2 Energi Untuk Memanaskan Udara Pengering

Energi panas yang digunakan untuk memanaskan udara pengering dapat dihitung dengan
persamaan berikut (Rokhani 1989) :

dimana q1 = energi yang dibutuhkan untuk memanaskan udara pengering, kJ/jam


Q = laju aliran udara, m3/jam
Hd = entalpi udara pengering, kJ/kg uk.
Ho = entalpi udara lingkungan, kJ/kg uk.
v = volume spesifik udara, m3/kg uk.

2.7.3 Energi Untuk Menguapkan Air Bahan

Energi untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan dihitung dengan persamaan (6)
dengan asumsi panas laten yang dikandung bahan sama dengan panas laten penguapan dari air bebas
(Rokhani 1989).

10
Dimana q2 = energi yang dibutuhkan untuk menguapkan air dari bahan, kJ/jam
w = laju penguapan air dari bahan, kJ/kg
hfg = panas laten penguapan air, kJ/kg (dari tabel pada Lampiran 4)

2.7.4 Efisiensi Pengeringan

Efisinsi dapat dibedakan atas efisiensi penggunaan panas, efisiensi pemanasan dan efisiensi
pengeringan total. Efisiensi penggunaan panas adalah nilai perbandingan antara jumlah energi panas
yang digunakan untuk menguapkan air dari bahan yang dikeringkan dengan jumlah energi panas
efektif yang digunakan untuk memanaskan udara pengering. Efisiensi pemanasan adalah nilai
perbandingan antara jumlah energi yang digunakan untuk memanaskan udara pengering dengan
jumlah energi panas yang dihasilkan bahan bakar. Sedangkan efisiensi pengeringan total adalah
adalah nilai perbandingan antara jumlah energi panas yang digunakan untuk menguapkan air dari
bahan yang dikeringkan dengan jumlah energi panas yang dihasilkan bahan bakar (Rokhani 1989).
Rumus perhitungan tiap-tiap efisiensi dituliskan dalam persamaan 7, 8, dan 9.

dimana Eg = efisiensi penggunaan panas, %


Ep = efisiensi pemanasan, %
Ek = efisiensi pengeringan total, %
q1 = energi yang digunakan untuk memanaskan udara pengering, kJ/jam
q2 = energi untuk penguapan air bahan, kJ/jam
qm = energi yang dihasilkan bahan bakar, kJ/jam
p = daya yang digunakan, Watt
t = lama pengeringan, jam

2.8 Ekstraksi Oleoresin

Oleoresin berasal dari kata oleo yang berarti minyak dan resin yang berarti gum. Jadi
oleoresin adalah campuran minyak dan resin yang diperoleh dari ekstraksi, pemekatan dan
standarisasi minyak atsiri dan komponen non volatile dari rempah-rempah (anonim 2009). Oleoresin

11
dihasilkan dengan mengekstrak rempah-rempah yang sudah digiling halus agar minyak dan komponen
flavornya larut. Larutan yang dihasilkan dipisahkan dari ampasnya dengan penyaringan dan
pelarutnya didestilasi. Ekstraksi oleoresin dipengaruhi oleh jenis bahan, jenis pelarut dan kondisi
ekstraksi. Kondisi ekstraksi meliputi metode ekstraksi, waktu ekstraksi, jenis pelarut, perbandingan
bahan dengan pelarut, suhu ekstraksi dan derajat kehalusan bahan.
Untuk memperoleh oleoresin cabai rawit yang optimal dilakukan dengan cara mengekstrak
bubuk cabai (ukuran 30-40 mesh) menggunakan pelarut ethanol (96.5%) dengan perbandingan bahan
dan pelarut 1:6, suhu 40 oC, selama 110 menit menggunakan metode perkolasi dengan kecepatan
putaran pengaduk 300 rpm (Komara 1991).

2.9 Kosmetik

Kosmetik adalah bahan yang diaplikasikan secara topikal yang digunakan untuk
memperbaiki penampilan, menghilangkan kotoran kulit, meningkatkan rasa percaya diri,
mempertahankan komposisi cairan kulit, melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet dan
memperlambat timbulnya kerutan (Wasitaatmaja, 1997). Secara umum kosmetik dibagi menjadi 13
kelompok antara lain :

1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi dan bedak bayi.


2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi dan bath capsule.
3. Preparat untuk mata, misalnya maskara dan eye shadow.
4. Preparat untuk wangi-wangian, misalnya parfum dan toilet water.
5. Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut dan hair spray.
6. Preparat pewarna rambut, misalnya cat rambut.
7. Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak dan lipstick.
8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi dan mouthwhashes.
9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant.
10. Preparat kuku, misalnya cat kuku dan lotion kuku
11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih, pelembab dan pelindung.
12. Preparat cukur, misalnya sabun cukur.
13. Preparat untuk sunscreen, misalnya sunscreen foundation.

Kosmetik dapat pula digolongkan menurut sifat dan cara pembuatan yaitu kosmetik modern dan
kosmetik tradisional. Kosmetik modern adalah kosmetik yang diramu dari bahan kimia dan diolah
secara modern. Sedangkan kosmetik tradisional adalah kosmetik yang terbuat dari bahan alam dan
diolah menurut resep dan cara yang turun temurun, misalnya mangir dan lulur. Menurut kegunaan
bagi kulit, kosmetik digolongkan menjadi kosmetik perawatan kulit dan kosmetik dekoratif.
Kosmetik dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang terdapat di alam. Sekarang kosmetik
dibuat tidak hanya dari bahan alami tetapi juga bahan buatan. Bahan buatan yang digunakan ternyata
dapat menimbulkan banyak masalah seperti iritasi kulit, ruam bahkan dapat memicu timbulnya
kanker. Kosmetik bahan alami adalah solusi untuk menghindari bahaya toksik bagi kesehatan
manusia. Kosmetik bahan alami adalah kosmetik yang sebagian atau seluruhnya berbahan dasar
herbal atau alami. Kosmetik ini cenderung lebih aman digunakan manusia.
Zat warna adalah hal yang paling penting dalam kosmetik untuk tujuan riasan dekoratif. Zat
warna yang lazim digunakan adalah zat warna yang berasal dari tumbuhan dan zat pewarna sintetis.
Zat pewarna sintetis yang banyak digunakan dapat mengandung bahan yang berbahaya bagi tubuh.

12
Untuk itu pengembangan bahan pewarna dari tumbuhan sangat diperlukan untuk mengurangi
penggunaan pewarna sintetik yang berbahaya bagi tubuh. Zat pewarna yang berasal dari cabai merah
ini dapat digunakan dalam preparat mata, preparat pewarna rambut dan preparat make up (kecuali
mata).

2.10 Analisis Warna

Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada kosmetik. Peran warna
sangat nyata karena umumnya konsumen akan mendapat kesan pertama, baik suka atau tidak suka
terhadap produk yang ditawarkan. Pewarna alami dibentuk oleh adanya pigmen yang secara alami
terdapat dalam bahan. Pigmen alami yang sering ditemui adalah karotenoid, klorofil, betalain,
antosianin, melanoidin, dan mioglobin. Antosianin merupakan pigmen berwarna merah, biru dan
violet. Betalain merupakan pigmen berwarna violet-merah atau kuning. Karotenoid merupakan
pigmen berwarna kuning-orange. Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau. Mioglobin merupakan
pigmen berwarna merah (Andarwulan, Kusnandar, dan Herawati 2011)
Warna merupakan sifat yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (objektif) dan sifat
organoleptik (subjektif). Karena memiliki dua sifat tersebut, warna dapat diukur secara objektif
menggunakan instrumen atau dengan organoleptik. Namun pengukuran warna menggunakan
organoleptik cenderung tidak seragam hasilnya. Hal ini karena selera atau tingkat kesukaan yang
berbeda pada panelis. Untuk mengetahui hasil secara pasti warna dari suatu bahan tertentu maka
digunakan instrumen dengan sistem notasi warna (Andarwulan et al. 2011).
Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik dan objektif untuk menyatakan atau
mendeskripsikan suatu jenis warna. Dalam sistem notasi warna ini, suatu produk dinyatakan dengan
notasi huruf dan atau angka. Dengan sistem notasi warna ini, maka warna yang diinginkan dapat
dinyatakan dengan bahasa kuantitatif dan dapat dipahami secara konsisten oleh semua pihak. Sistem
notasi warna yang banyak digunakan adalah sitem notasi I.C.I. (International Commission on
Illumination), sistem notasi Munsel dan sistem notasi Hunter (Andarwulan et al. 2011).
Sistem notasi warna I.C.I. didasarkan pada prinsip bahwa semua jenis warna dapat dibentuk
dari 3 warna dasar, yaitu merah (λ = 720 nm), hijau (λ = 520 nm) dan biru (λ = 380 nm). Masing-
masing warna dasar ini dinyatakan dengan besaran X untuk merah, Y untuk hijau dan Z untuk biru.
Dengan memilih filter warna dasar tersebut, sinar pantul dapat dicatat sebagai besaran X, Y dan Z
yang berkaitan dengan warna dasar. Tiap warna dapat disajikan dengan 2 parameter yang berkaitan
dengan nilai X, Y dan Z. Dalam praktiknya, sistem notasi warna I.C.I menggunakan peta warna di
bawah ini.

13
Gambar 3. Peta warna sistem notasi I.C.I. (Andarwulan et al. 2011).

Cara pengukuran dengan sistem ini adalah nilai x dan y pada peta warna dihitung dengan persamaan
di bawah ini :

X, Y dan Z adalah nilai reflektan total dari pengukuran warna produk yang dianalisis dengan alat
scanning spektrofotometer menggunakan filter merah (X), hijau (Y) dan biru (Z). Dalam mengukur
warna berdasarkan sistem I.C.I., warna produk diukur dengan alat tersebut dan di-scanning pada
urutan panjang gelombang dari 380 nm hingga 770 nm pada selang 10 nm.
Sistem notasi Munsel dikembangkan pertama kali oleh Munsel pada tahun 1900-an.
Pengukuran warna didasarkan pada 3 atribut warna yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value) dan
intensitas warna (chroma atau saturation). Warna kromatik meliputi warna monokromatik yang terdiri
dari warna pelangi dan warna campurannya. Kecerahan menyatakan warna akromatik yang berkisar
dari warna hitam pekat sampai putih bersih. Nilai intensitas warna berkisar dari nilai tidak berwarna
sampai warna penuh. Sistem notasi warna Munsel, warna kromatik, intensitas warna dan kecerahan
disusun dalam suatu susunan konstruksi berbentuk bola imajiner. Susunan bola imajiner ini disebut
bola warna Munsel seperti pada gambar di bawah ini :

14
Gambar 4. Bola warna Munsel (Andarwulan et al. 2011).

Keliling garis ekuator dan garis-garis meridian menyatakan warna kromatik (hue) yang
dinyatakan dengan notasi huruf dan angka. Notasi huruf adalah R dan Yr (red, yellow red), Y dan Gy
(Yellow, green yellow), G dan GB (green, green blue), B dan Pb (blue, purple blue), P dan RP (purple,
red purple). Notasi angka adalah skor 0 sampai 10 dengan 5 menyatakan nilai tengah dari jenis warna
yang bersangkutan. Sebagai contoh, warna benda dengan notasi 5R 4/12 memiliki nilai hue 5R
(artinya berwarna merah cerah), nilai value 4 (artinya kecerahannya abu-abu) dan nilai chroma 12
(artinya intensitas warna merahnya sangat kuat atau tajam). Warna benda dengan notasi 10 RP 8/10
memiliki nilai hue 10 RP (artinya berwarna antara merah dan merah ungu), nilai value 8 (artinya cerah
cemerlang), dan chroma 10 (artinya warnanya tajam sekali).Warna benda dengan notasi 5R 3/14 :
merah, value 3, chroma 14 artinya merah, tidak terlalu terang tetapi tajam.
Sistem notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter tahun 1952. Sistem ini dicirikan dengan 3
parameter warna yaitu warna kromatik (hue) a*, intensitas warna (chroma) b*, kecerahan (value) L*.
Keuntungan menggunakan notasi Hunter adalah pengukuran dapat dilakukan secara obyektif,
prosedur pengukuran cepat dan mudah, notasinya dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan
sistem notasi lain, seperti I.C.I, alat pengukur warna relatif sederhana sehingga harganya relatif
rendah.
Sistem notasi Hunter adalah sebagai berikut
1. Notasi L* (0 (hitam); 100 (putih)) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna
akromatik putih, abu-abu dan hitam.
2. Notasi a* warna kromatik campuran merah-hijau, dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80
untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau.
3. Notasi b* warna kromatik campuran biru-kuning, dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70
untuk warna kuning dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru

15
Gambar 5. Diagram warna Hunter (Andarwulan et al. 2011).

Pengukuran warna dengan sistem Hunter dapat dilakukan dengan menggunakan chromameter yang
ditembakkan pada bahan. Hasil pengukuran dapat diplotkan pada Gambar 5 untuk mengetahui warna
produk yang diuji (Andarwulan et al, 2011).

16
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai September 2012 di Laboratorium
TPPHP (Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Balittro (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah)
serta Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Laboratorium TPPHP meliputi pengeringan, pengecilan
ukuran, analisis warna, dan persiapan sebelum dilakukan uji organoleptik tingkat kepedasan. Ekstraksi
oleoresin bubuk cabai merah dilakukan di Laboratorium Balittro, sedangkan uji organoleptik tingkat
kepedasan dilakukan di Laboratorium PAU.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan adalah cabai merah besar (Capsicum annuum L.) yang telah berwarna
merah diseluruh kulit buah yang berasal dari Pasar Ciluar, Bogor Utara. Waktu pengambilan cabai
merah ini pada bulan Maret 2012. Technical-grade natrium bisulfit (Na2S2O5) 0.2% untuk proses
blanching, technical-grade ethanol (C2H5OH) 96% untuk proses ekstraksi oleoresin, dan technical-
grade ethanol 95% serta analytical-grade sukrosa (C12H22O11) (Merck, Jerman) untuk uji kepedasan
bubuk cabai merah.

3.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan meliputi :


a. Sunbeam Food Dehydrator Tipe DT5600 (Sunbeam Corporation, China)
Alat ini merupakan alat pengering tipe rak berskala rumah tangga dengan dehumidifier
menggunakan tenaga listrik (Gambar 6). Spesifikasi alat pengering ini tertera pada Tabel 4
sedangkan gambar alat secara lebih terperinci ada pada Lampiran 1 – 3.

Tabel 4. Spesifikasi alat pengering


Spesifikasi Keterangan
Merk Sunbeam
Model Food dryer DT5600
Dimensi (p x l x t), cm 218 x 338 x 339
Bobot, kg 2.4
Jumlah rak 5
Luas rak total, cm2 707
Daya yang dibutuhkan, watt 250
Thermostat Ada

17
Gambar 6. Alat pengering Sunbeam DT5600

b. Alat-alat yang digunakan untuk persiapan bahan yang akan dikeringkan (alat-alat produksi)
Alat-alat produksi digunakan untuk mempersiapkan bahan yang akan dikeringkan serta untuk
mempersiapkan larutan yang akan digunakan untuk blanching cabai merah. Alat-alat yang digunakan
meliputi :

Tabel 5. Alat-alat produksi


Nama alat Merk/Produsen Keterangan
Pisau - Alat untuk membelah cabai
Talenan kayu - Alas untuk membelah cabai
Tray - Wadah untuk meniriskan cabai setelah
direndam
Hot water blancher Vonavex, Hamburg Alat untuk blanching cabai merah
Blender Miyako, Indonesia Untuk menggiling bubuk cabai

c. Peralatan ukur yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pengeringan cabai merah
Alat-alat ini digunakan untuk mengukur parameter-parameter yang diperlukan untuk
mengetahui karakteristik pengeringan cabai merah. Alat-alat yang digunakan meliputi :

Tabel 6. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui karakteristik pengeringan


Nama alat Merk/Produsen Keterangan
Termokopel - mengukur suhu
Anemometer Intel Instrumen AR836, India mengukur kecepatan angin
Termometer - mengukur suhu
Stopwatch - mengukur waktu
Hybrid recorder Yokogawa MV1000, Jepang merekan data dari termokopel
Timbangan digital Adam PW 184, UK mengukur berat
Drying oven Isuzu 2-2120, Jepang mengeringkan bahan
Desikator - meletakkan cawan dari sebelum
Cawan aluminum - ditimbang
meletakkan bahan pada oven
Gelas ukur - mengukur volume larutan
Chromameter Konica Minolta CR-400, Jepang mengukur warna bahan

d. Alat-alat lain
Peralatan lain yang digunakan untuk analisis data pengukuran dan pengamatan selama penelitian
meliputi kalkulator, alat tulis, personal computer (PC), dan kamera digital.

18
3.3 Metode Penelitian
Secara ringkas, diagram alir penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

Persiapan

Perlakuan (Blanching 90o C dengan kontrol

natrium bisulfit 0.2% selama 3, 5, 7 dan 9 menit) (blanching 0 menit atau tanpa blanching)

Karakteristik pengeringan Pengeringan Uji performa alat pengering

1. Kadar air 1. Suhu tanpa beban

2. Laju pengeringan Penggilingan 2. Suhu dengan beban

3. Lama pengeringan 3. Karakteristik udara pengering

4. Rendemen pengeringan Bubuk cabai merah 4. Efisiensi pengeringan

Analisis warna

Kontrol

Uji kestabilan warna

Perlakuan

1. pengaruh suhu penyimpanan

2. pengaruh kondisi penyimpanan

3. pengaruh sinar matahari

4. pengaruh sinar lampu

Ekstraksi oleoresin

Kontrol Tanpa kontrol


(sebelum ekstraksi)

Analisis warna Analisis tingkat kepedasan

Perlakuan Perlakuan
(setelah ekstraksi oleoresin) (setelah ekstraksi oleoresin)

Gambar 7. Diagram alir penelitian Karakteristik Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
sebagai Pewarna Alami Kosmetik

19
3.3.1 Persiapan Pengeringan

Pada tahap persiapan pengeringan, cabai merah disortasi, dibuang tangkainya, lalu
ditimbang. Cabai merah dicuci bersih, dibelah dua dan dihilangkan biji serta urat putih cabai,
ditimbang kembali kemudian di-blanching pada suhu 90 oC selama 3, 5, 7 dan 9 menit dan ditiriskan.
Iswari, Aswardi, dan Artati (2004) telah melakukan penelitian pengaruh beberapa larutan
yang digunakan untuk blanching cabai merah terhadap warna pada produk hasil pengeringan. Hasil
pengeringan cabai merah yang telah di-blanching dengan menggunakan beberapa larutan tersebut
kemudian diuji menggunakan uji organoleptik untuk mendapatkan larutan terbaik yang dapat
memberikan warna yang baik dan dapat diterima oleh konsumen. Hasil penelitian tersebut dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji organoleptik bubuk cabai pada perlakuan blanching yang berbeda
(Iswari et al. 2004)
Perlakuan Warna Aroma Kecerahan
Natrium bisulfit 0.1% 4.20 4.02 4.36
Natrium bisulfit 0.2% 5.80 5.87 6.00
Natrium bisulfit 0.3% 5.32 4.56 5.45
Garam dapur 0.5% 3.80 4.88 3.56
Garam dapur 1% 4.87 5.84 5.31
Garam dapur 1.5% 5.43 5.66 5.89
Asam sitrat 0.1% 4.67 5.65 6.00
Asam sitrat 0.2% 4.73 5.78 6.00
Asam sitrat 0.3% 4.00 4.01 4.00
Tanpa blanching (kontrol) 2.35 3.24 2.14

Keterangan :
Warna Aroma Kecerahan
1 = sangat tidak suka 1 = sangat tidak suka 1 = sangat tidak cerah
2 = tidak suka 2 = tidak suka 2 = tidak cerah
3 = agak suka 3 = agak suka 3 = agak cerah
4 = hampir suka 4 = hampir suka 4 = hampir cerah
5 = suka 5 = suka 5 = cerah
6 = sangat suka 6 = sangat suka 6 = sangat cerah

Hasil penelitian yang dilakukan Iswari et al. (2004) menunjukkan bahwa natrium bisulfit
0.2% dapat mempertahankan warna dengan baik selama pengeringan. Iswari et al (2004) menyatakan
bahwa penambahan natrium bisulfit 0.2% pada saaat blanching dapat mempertahankan warna merah
pada bubuk cabai selama penyimpanan 6 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit mampu
memberikan lingkungan yang cukup alkalis untuk mempertahankan warna, aroma dan kecerahan.
Menurut Desrosier (1988), lingkungan alkalis saat blanching sayuran sebelum dikeringkan dapat
mempertahankan pigmen sayuran.
Oleh karena itu, penambahan natrium bisulfit 0.2% pada media blanching untuk
mempertahankan warna produk selama pengeringan dilakukan dalam penelitian ini. Setelah dilakukan
blanching dengan natrium bisulfit 0.2%, bahan diletakkan di atas rak untuk dikeringkan. Penggunaan
natrium bisulfit bertujuan untuk memepertahankan warna produk selama pengeringan.

20
3.3.2 Pengeringan

3.3.2.1 Uji performansi alat pengering

Pada tahap awal dilakukan uji performansi dari alat pengering. Pengujian ini meliputi
pengukuran suhu pengeringan tanpa beban, suhu pengeringan dengan beban, karakteristik udara
pengeringan dan perhitungan efisiensi pengeringan.
Suhu pengeringan tanpa beban dilakukan dengan meletakkan termokopel pada masing-
masing rak sebanyak 2 buah dan pada tempat dimana keluar hembusan udara panas dari fan (suhu
plenum) seperti yang ditunjukkan oleh titik-titik pada Gambar 8. Keterangan lebih lengkap dari
Gambar 8 bisa dilihat dalam Lampiran 1 – 3. Pengukuran suhu bola basah dan suhu bola kering pada
udara yang keluar pengering dan udara di lingkungan sekitar pengering dilakukan menggunakan
termometer alkohol. Pengukuran suhu tanpa beban ini dilakukan setiap 5 menit sekali. Setting alat
pengering pada saat pengujian tanpa beban adalah 35oC (set I), 55oC (set II) dan 75oC (set III). Tujuan
dari uji ini adalah untuk mengetahui sebaran suhu pada rak-rak pengering, suhu udara keluar
pengering dan suhu di lingkungan sekitar pengering sebagai dasar untuk melakukan setting suhu alat
yang direkomendasikan oleh literatur.

Keterangan :
: termokopel
Gambar 8. Penempatan termokopel pada alat pengering.

Pada saat pengeringan berlangsung, setting alat pengering yang digunakan adalah 75 oC (set
III) berdasarkan analisa data yang diperoleh dari pengujian alat pengering tanpa beban. Selama
pengeringan dilakukan juga pengukuran suhu dalam pengering, suhu udara keluar pengering dan suhu
di lingkungan sekitar pengering seperti pada pengukuran tanpa beban. Pengukuran ini dilakukan
setiap 30 menit sekali.
Setelah suhu bola basah dan suhu bola kering terukur, data suhu diplotkan dalam
psychrometric chart untuk mengetahui karakteristik udara pengering. Hal ini bertujuan untuk
menghitung efisiensi pengeringan yang meliputi efisiensi penggunaan panas (Eg) (Persamaan 7) ,
efisiensi pemanasan (Ep) (Persamaan 8) dan efisiensi pengeringan total (Ek) (Persamaan 9).

21
3.3.2.2 Karakteristik pengeringan

Cabai yang telah di-blanching pada tahap persiapan, kemudian ditimbang dan diletakkan
pada masing-masing tray, lalu proses pengeringan dimulai. Berat bahan dimonitor selama
pengeringan. Pengukuran berat dilakukan pada saat awal, selama proses dan pada saat akhir
pengeringan. Berat bahan diukur setiap 15 menit sekali pada dua jam pertama, setiap 30 menit sekali
untuk tiga jam hingga tujuh jam pengeringan dan 60 menit sekali hingga berat bahan konstan. Dari
perubahan data berat bahan dapat dihitung karakteristik pengeringan bahan yang meliputi kadar air,
laju pengeringan, lama pengeringan dan rendemen pengeringan.

3.3.2.2.1 Kadar Air

Pengukuran kadar air awal bahan dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cabai di
ambil sebanyak 15 buah kemudian masing-masing buah ditimbang sebagai berat awal bahan. Sampel
cabai ini dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC. Berat bahan sampel dimonitor selama
pengeringan dengan frekuensi seperti yang sudah dijelaskan di 3.3.2.2. Sampel di keluarkan dari oven,
diletakkan di dalam desikator untuk pendinginan selama kurang lebih 30 menit, lalu ditimbang dengan
timbangan digital. Setelah ditimbang, sampel dikeringkan kembali di dalam oven sampai berat bahan
konstan (kurang lebih selama 36 jam). Kadar air dihitung menggunakan Persamaan (1).

3.3.2.2.2 Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya kadar air (satuan berat) yang diuapkan per satuan
tertentu. Dari berat bahan yang dimonitor secara berkala, berat air yang diuapkan dapat diketahui
beserta waktu yang dibutuhkan untuk penguapan. Laju pengeringan pada penelitian ini dihitung
dengan rumus

3.3.2.2.3 Rendemen

Rendemen adalah persentase hasil atau berat akhir suatu produk dan dibandingkan dengan
berat awal bahan tersebut. Perhitungan rendemen dapat dilihat pada persamaan berikut :

3.3.3 Penggilingan

Penggilingan cabai merah kering dilakukan dengan blender yang biasa digunakan untuk
menghaluskan bumbu. Hasilnya diayak menggunakan ayakan Tyler berukuran 30 mesh. Bagian yang

22
masih kasar dan tertahan pada ayakan digiling kembali hingga berukuran 30 mesh. Hasil ayakan ini
menghasilkan bubuk cabe dengan ukuran diameter sekitar 0.6 mm. Pengayakan dilakukan agar bubuk
cabai merah berukuran seragam sehingga memudahkan pada saat analisis warna dan ekstraksi
oleoresin. Proses penggilingan ini dilakukan satu kali untuk setiap sampel.

3.3.4 Analisis Warna

Analisis warna dilakukan menggunakan chromameter. Bahan yang telah digiling dan
berukuran seragam diletakkan pada cawan petri dan ditembak dengan menggunakan chromameter.
Hasil pengukuran dinyatakan dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L*, a* dan b*.
Pengukuran ini dilakukan sekali untuk setiap sampel.

3.3.5 Uji Stabilitas Warna

Warna bubuk cabai merah diuji stabilitasnya dalam beberapa kondisi. Bubuk cabai merah
diletakkan dalam cawan petri dan stabilitasnya karena hal-hal sebagai berikut diuji (Samsudin dan
Khoirudin 2008) :
a. Pengaruh sinar matahari
Bubuk dijemur di bawah sinar matahari mulai pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang. Pengukuran
warna menggunakan chromameter dilakukan dengan interval 3 jam sekali. Pengukuran ini
dilakukan untuk mengetahui kestabilan warna kosmetik pada saat digunakan oleh konsumen
yang berada diluar ruangan.
b. Pengaruh sinar lampu
Bubuk disinari lampu TL dengan kekuatan 20 watt (560 lumen) selama 48 jam dan pengukuran
warna dilakukan setiap 12 jam sekali. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan
warna kosmetik ketika digunakan oleh konsumen yang berada di dalam kotak hitam berukuran
50 x 50 cm yang diberi lampu sebagai sumber cahaya.
c. Pengaruh kondisi penyimpanan
Bubuk disimpan dalam suhu kamar (25 – 27 oC) dan pada suhu dingin ( 8 – 10 oC). Setelah 2
hari, warnanya diukur menggunakan chromameter. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan
perilaku sebagian konsumen yang menyimpan produk kosmetiknya dalam lemari pendingin.
d. Pengaruh oksidasi
Bubuk dimasukkan kedalam wadah tertutup rapat dan warnanya diukur setelah 2 hari
penyimpanan. Sementara, bubuk lainnya dibiarkan dalam wadah terbuka.

3.3.6 Ekstraksi Oleoresin

Ekstraksi oleoresin bertujuan untuk menghilangkan zat pedas (kapsaisin) dari bubuk cabai
agar aman untuk diaplikasikan pada kulit. Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut :
1. Bubuk cabai merah (bahan) ditimbang.
2. Bahan dimasukkan kedalam wadah berbahan stainless steel.
3. Bahan kemudian ditambah pelarut ethanol 96% dengan perbandingan 1 bagian bahan dengan
5 bagian pelarut.
4. Bahan dan pelarut kemudian dicampur dengan menggunakan pengaduk dengan kecepatan
putar 200 rpm selama kurang lebih 3 jam.

23
5. Bahan diendapkan semalam.
6. Bahan kemudian disaring untuk memisahkan ampas dan hasil ekstraksi dengan menggunakan
kertas saring.
7. Hasil ekstraksi yang masih mengandung pelarut diuapkan pada suhu 50 oC selama 1 – 5 jam.
8. Hasil ekstraksi ditimbang untuk mengetahui rendemen oleoresin.
Ekstraksi ini dilakukan sekali untuk setiap sampel.

3.3.7 Analisis Warna (setelah ekstraksi oleoresin)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstraksi oleoresin terhadap warna dari
bubuk cabai. Setelah bubuk cabai diekstraksi oleoresinnya, pengukuran warna dilakukan kembali
untuk mengetahui perubahan warna yang terjadi pada saat ekstraksi. Hasil pengukuran dinyatakan
dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L*, a* dan b*. Warna bubuk cabai sebelum
diekstraksi digunakan sebagai kontrol. Analisis warna ini dilakukan satu kali untuk setiap sampel.

3.3.8 Analisis Tingkat Kepedasan

Analisis tingkat kepedasan dilakukan untuk memastikan apakah bubuk cabai merah masih
mengandung zat pedas atau tidak. Tingkat kepedasan dinyatakan dalam Scoville Heat Unit (SHU)
yang ditentukan dengan Metoda Official FCC (Farrel, 1985). Prosedur untuk menguji tingkat
kepedasan adalah sebagai berikut:
A. Bubuk cabai ditimbang sebanyak 200 mg dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml. Ethanol
95% ditambahkan sampai tanda tera, dihomogenisasi selama 12 jam untuk memastikan kapsaisin
larut dalam alkohol. Larutan ini kemudian didiamkan hingga bagian padatan mengendap.
B. Larutan sukrosa. Larutan sukrosa dibuat dengan melarutkan sukrosa bubuk sebanyak 100 gram
ke dalam air sebanyak 1 liter sehingga konsentrasi larutan sukrosa adalah 10% (b/v).
C. Larutan standar. Larutan standar dibuat dengan mencampur 140 ml larutan sukrosa yang dibuat
pada langkah B dengan 0.15 ml filtrat dari larutan A.
Larutan standar diencerkan dengan menggunakan larutan sukrosa 10%. Tingkat
pengencerannya yaitu 20 ml larutan standar masing-masing ditambah larutan sukrosa 0 ml, 20 ml dan
seterusnya seperti terlihat pada Tabel 8.
Larutan standar yang telah diencerkan dengan pengenceran tertentu tersebut diuji secara
organoleptik oleh 5 panelis terlatih yang telah memiliki sertifikat uji organoleptik. Pengujian ini
dilakukan dari tingkat pengenceran terendah. Pedas di sini dianalogikan dengan sensasi panans di
mulut. Setiap panelis mendapatkan 5 ml larutan uji untuk dirasakan rasa panasnya. Jika 3 dari 5
panelis menyetujui adanya rasa panas, maka pada tingkat pengenceran tersebut dilihat nilai Scoville
Heat Unit (SHU) pada Tabel 8.
Jika tingkat kepedasan bahan kurang dari 240,000 SHU, maka penentuan tingkat kepedasan
adalah sebagai berikut : 0.15 larutan filtrat yang diperoleh dari langkah 1 diencerkan dengan larutan
sukrosa 10% berturut-turut 60 ml, 70 ml, 100 ml dan 120 ml. Prosedur yang dilakukan sama dengan
penentuan sebelumnya. Penentuan tingkat kepedasan bahan dilakukan dengan menggunakan Tabel 9.

24
Tabel 8. Tingkat pengenceran dan nilai SHU pada uji kepedasan
Larutan Larutan Total volume
SHU
standar (ml) sukrosa (ml) larutan uji (ml)
20 0 20 240,000
20 10 30 360,000
20 20 40 480,000
20 30 50 600,000
20 40 60 720,000
20 50 70 840,000
20 60 80 960.000
20 70 90 1,080,000
20 80 100 1,200,000
20 90 110 1,320,000
20 100 120 1,440,000
20 110 130 1,560,000
20 120 140 1,680,000
20 130 150 1,800,000
20 140 160 1,920,000

Tabel 9. Tingkat kepedasan dan nilai SHU pada uji kepedasan


bahan di bawah 240,000 SHU
Larutan filtrat (ml) Larutan sukrosa (ml) SHU
0.15 60 100,000
0.15 70 117,000
0.15 100 170,000
0.15 120 205,000

3.3.9 Metode Pengolahan Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak lengkap
(RAL) dengan model linier aditif dengan rumus sebagai berikut :

Dimana :
i = 1,2, …, t dan j = 1,2, …, r
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i = µi - µ
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

bentuk hipotesis
H0 : τ1 = … = τ6 = 0
(perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

25
H1 : paling sedikit ada satu i dimana τi ≠ 0
atau
H0 : µ 1 = … = µ 6 = µ
(semua perlakuan memberikan respon yang sama)
H1 : paling sedikit ada sepasang perlakuan (i, i’) dimana µi ≠ µi’
Tolak H0 jika p-value < alpha 5%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap respon yang diamati.
Perlakuan dalam penelitian ini adalah lama blanching cabai merah dengan menggunakan
natrium bisulfit. Penamaan sampel sesuai dengan perlakuan pada proses blanching. Penamaan sampel
adalah sebagai berikut :
N0U1 = kontrol (tidak di-blanching) ulangan 1
N1U1 = di-blanching selama 3 menit ulangan 1
N2U1 = di-blanching selama 5 menit ulangan 1
N3U1 = di-blanching selama 7 menit ulangan 1
N4U1 = di-blanching selama 9 menit ulangan 1
N0U2 = kontrol (tidak di-blanching) ulangan 2
N1U2 = di-blanching selama 3 menit ulangan 2
N2U2 = di-blanching selama 5 menit ulangan 2
N3U2 = di-blanching selama 7 menit ulangan 2
N4U2 = di-blanching selama 9 menit ulangan 2
Analisis data dilakukan dengan analisis sidik ragam menggunakan ANOVA yang dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan bila hasilnya menyatakan ada pengaruh perlakuan terhadap respon
(intensitas warna bubuk cabai merah). Hasil analisa ragam yang akan dihasilkan oleh uji Duncan
menggunakan software SPSS (Statistical Product and Service Solutions) terhadap intensitas warna
dari bubuk cabai merah tersebut.

26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Performa Alat Pengering

4.1.1 Performa Alat Pengering Tanpa Beban

Uji performa tanpa beban alat pengering ini dilakukan karena alat pengering ini merupakan
alat yang baru digunakan untuk penelitian di Laboratorium TPPHP. Alat ini merupakan alat pengering
berskala rumah tangga yang menggunakan tenaga listrik. Hasil pengujian alat pengering tanpa beban
pada 35 °C (set I), 55 °C (set II), dan 75 °C (set III) berupa sebaran suhu di dalam ruang pengering.
Ruang pengering dan gambar alat secara lengkap terdapat pada Lampiran 2. Grafik hasil pengujian
tersebut disajikan pada Gambar 9, 10 dan 11, sedangkan data hasil pengujian tersaji dalam Lampiran 5
– 7.

Gambar 9. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 35 oC (set I)

Gambar 10. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 55 oC (set II)

27
Gambar 11. Grafik hubungan waktu dan suhu pada pengujian tanpa beban 75 oC (set III)

Dari hasil pengukuran tersebut dapat terlihat bahwa pada pengujian tanpa beban suhu yang
terukur tidak pernah mencapai suhu set pada alat pengering dan menunjukkan bahwa udara panas
mengalir dari plenum kemudian dihembuskan hingga membentur dinding rak dasar menuju rak di
atasnya yaitu rak 5 – rak 4 – rak 3 – rak 2 dan rak 1. Suhu dalam ruang pengering tidak seragam. Suhu
pada rak 5 merupakan suhu paling tinggi dan suhu pada rak 1 merupakan suhu yang paling rendah
karena udara pengering mengalami penurunan suhu selama melewati rak-rak pengering. Hal ini tentu
berpengaruh terhadap produk hasil pengeringan. Produk yang diletakkan pada rak 5 akan lebih cepat
kering dibandingkan pada rak 1. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan rotasi rak pada saat
pengeringan dengan beban.
Pada set suhu 75oC terlihat bahwa sebaran suhu masing-masing rak cukup seragam dan
cukup stabil mulai menit ke 140. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Soleh (2012) yang melakukan
simulasi sebaran suhu menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) untuk mengetahui
sebaran suhu dalam alat pengering Sunbeam Food Dehidrator. Hasil simulasi tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran suhu pada irisan penampang alat pengering (Soleh 2012)
Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 12 diketahui bahwa sebaran suhu pada ruang
pengering cukup beragam. Hal ini terlihat dari perbedaan suhu yang cukup besar antara suhu plenum,
suhu pada rak pengering dan suhu udara keluar pengering. Mula-mula udara pengering yang

28
dihembuskan dari plenum memiliki suhu 70 – 75 oC, kemudian dihembuskan hingga membentur
dinding rak dasar dan akhirnya menyebar menuju rak-rak pengering yang berada di atasnya. Udara
pengering mengalami penurunan suhu selama melewati rak-rak pengering. Penurunan suhu ini
disebabkan oleh adanya kehilangan panas melalui dinding serta material rak dari alat pengering.
Namun pada rak-rak pengering memiliki suhu yang cukup seragam yaitu sekitar 60 – 65 oC.
Menurut Purseglove et al. (1981), suhu optimum untuk pengeringan cabai pada pengeringan
mekanis adalah 60 – 75 oC, dimana perubahan warna tidak terjadi selama pengeringan hingga 72 jam
pada suhu ini. Dilihat dari keseragaman suhu dari grafik hubungan waktu dan suhu pada set III (75 oC)
dan hasil simulasi Soleh (2012) serta berdasarkan Purseglove et al. (1981), maka pengeringan cabai
merah dalam penelitian ini menggunakan suhu 75 oC (set III).

4.1.2 Performa Alat Pengering dengan Beban

Pengukuran sebaran suhu pada saat pengeringan cabai merah dilakukan pada setiap
perlakuan bahan yang meliputi pengukuran suhu udara pengering, bahan tiap rak dan suhu plenum.
Grafik hasil pengukuran sebaran suhu dapat dilihat pada Gambar 13 – 17 sedangkan data pengukuran
tersaji pada Lampiran 8 – 12.

Gambar 13. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan kontrol.

29
Gambar 14. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 3 menit.

30
Gambar 15. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 5 menit.

31
Gambar 16. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 7 menit.

32
Gambar 17. (a) Grafik hubungan waktu – suhu ruang pengering dan (b) Grafik hubungan waktu –
suhu bahan pada perlakuan blanching 9 menit.

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa suhu bahan relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu
ruang pengering. Hal ini terjadi karena perambatan suhu dalam bahan relatif lebih lambat
dibandingkan perambatan suhu udara dalam ruang pengering. Perkembangan suhu udara pengering
dan suhu bahan selama proses pengeringan menunjukkan adanya fluktuasi. Hal ini disebabkan jarak
antar rak dari sumber panas yang tidak sama, ketebalan bahan yang berbeda sehingga terjadi
perbedaan laju penguapan air, serta adanya pembukaan penutup pengering untuk pengambilan sampel
yang akan diukur kadar airnya.

33
4.2 Efisiensi Pengeringan

Selain pengukuran suhu dalam ruang pengering, dilakukan juga pengukuran suhu udara
keluar alat pengering serta suhu lingkungan. Suhu yang diukur meliputi suhu bola basah dan suhu
bola kering. Data kemudian diplotkan dalam psychrometric chart untuk mengetahui karakteristik
udara pengeringan dan udara lingkungan. Data karakteristik udara ini digunakan untuk menghitung
efisiensi pengeringan. Hasil perhitungan efisiensi pengeringan disajikan pada Tabel 10 sedangkan
contoh perhitungan efisiensi ini yang meliputi efisiensi penggunaan panas (Eg), efisiensi pemanasan
(Ep) dan efisiensi pengeringan total (Ek) tersaji dalam Lampiran 13.

Tabel 10. Efisiensi alat pengering pada pengeringan cabai merah


Efisiensi (%)
Uraian
Eg Ep Ek
Kontrol 56.91 29.82 16.97
Blanching 3 menit 57.18 36.01 20.59
Blanching 5 menit 56.57 33.91 19.18
Blanching 7 menit 56.14 54.78 30.75
Blanching 9 menit 64.26 60.12 38.63

Efisiensi pemanasan relatif rendah jika dibandingkan dengan efisiensi penggunaan panas. Efisiensi
pemanasan yang rendah menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil energi panas dari sumber pemanas
dapat digunakan untuk memanaskan udara pengering. Hal ini disebabkan oleh konsep pindah panas
yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya, terjadi kehilangan panas baik secara konduksi dan
konveksi ke dinding plenum dan dinding pengering.
Efisiensi penggunaan panas tertinggi pada perlakuan blanching selama 9 menit. Hal ini
terjadi karena waktu pengeringan yang lebih singkat dan cabai merah mengering cukup seragam di
setiap raknya, sehingga rak yang seluruh cabai merah telah kering diangkat. Hal ini menyebabkan
tidak banyak ruang kosong setelah bahan mengalami penyusutan.
Beberapa faktor yang disebutkan di atas, secara keseluruhan dapat mempengaruhi efisiensi
pengeringan total. Efisiensi pengeringan total menunjukkan besarnya energi panas dari sumber
pemanas yang dapat digunakan untuk menguapkan air pada bahan yang dikeringkan.

4.3 Karakteristik Pengeringan Cabe Merah

Selama proses pengeringan, karakteristik produk selama pengeringan perlu diketahui.


Karakteristik pengeringan cabai merah dapat dilihat pada Tabel 11 untuk ulangan 1 dan Tabel 12
untuk ulangan 2.
Pada Tabel 11 dan 12 terlihat bahwa kadar air awal bahan rata-rata sebesar 85 %bb dan kadar
air cabai merah kering sekitar 7 – 8 %bb. Pada tabel di atas, nilai kadar air akhir didapat dari hasil
perhitungan. Untuk membuktikan kebenaran data hasil perhitungan maka dilakukan pengukuran kadar
air dengan menggunakan metode oven. Perbedaan data hasil perhitungan dengan data dari metode
oven disajikan pada Tabel 13.

34
Tabel 11. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 1.
Ulangan 1
No. Parameter
N0U1 N1U1 N2U1 N3U1 N4U1
1 Berat bahan awal (g) 1274.12 10071.10 1043.95 1022.07 1024.53
2 Berat bahan tanpa biji (g) 739.42 895.50 887.40 859.56 842.86
Berat bahan setelah blanching
3 739.42 736.64 807.23 867.53 830.70
(g)
4 Berat kering bahan total (g) 78.08 75.23 92.01 97.50 94.94
5 Berat bubuk total (g) 77.61 72.18 90.10 96.47 93.22
6 Rendemen pengeringan (%) 10.56 10.21 11.40 11.24 11.43
7 Kadar air awal (%bb) 84.65 84.89 85.40 84.88 85.30
8 Kadar air akhir (%bb) 8.59 7.04 7.51 7.51 8.34
Laju pengeringan (gram air
9 10.87 11.12 15.58 15.47 19.24
yang diuapkan/menit)
Kecepatan udara pengering
10 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9
(m/det)
11 Lama pengeringan (jam) 7 7 5 5 4

Tabel 12. Karakteristik pengeringan cabai merah ulangan 2.


Ulangan 2
No. Parameter
N0U2 N1U2 N2U2 N3U2 N4U2
1 Berat bahan awal (g) 1003.45 1346.60 1302.80 1544.37 1508.80
2 Berat bahan tanpa biji (g) 716.92 1032.80 1082.90 1045.47 1056.94
Berat bahan setelah blanching
3 716.92 1020.80 1071.61 1011.10 1049.10
(g)
4 Berat kering bahan total (g) 94.05 130.70 124.88 125.04 112.75
5 Berat bubuk total (g) 92.64 128.97 123.17 117.33 105.70
6 Rendemen pengeringan (%) 13.12 12.80 11.65 12.37 10.75
7 Kadar air awal (%bb) 84.65 84.89 85.40 84.88 85.30
8 Kadar air akhir (%bb) 8.33 7.25 8.34 7.86 7.13
Laju pengeringan (gram air
9 10.90 11.09 15.41 15.40 19.54
yang diuapkan/menit)
Kecepatan udara pengering
10 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9
(m/det)
11 Lama pengeringan (jam) 7 7 5 5 4

Tabel 13. Data hasil perhitungan dengan metode oven


Kadar air akhir (%bb)
Perlakuan
Perhitungan Oven
kontrol 8.46 ± 0.13 8.26 ± 0.15
blanching 3 menit 7.15 ± 0.11 9.15 ± 0.13
blanching 5 menit 7.93 ± 0.42 9.07 ± 0.33
blanching 7 menit 7.69 ± 0.18 8.42 ± 0.17
blanching 9 menit 7.74 ± 0.61 8.79 ± 0.13

Pada Tabel 13 terlihat bahwa kadar air yang diukur dengan metode oven berbeda dari kadar
air dari hasil perhitungan. Perbedaan ini karena untuk mendapatkan data kadar air dilakukan sampling
pada masing-masing rak. Menurut Purseglove et al. (1981), pengeringan cabai dilakukan hingga kadar
air 6 – 8 %bb untuk memperpanjang umur simpan cabai kering tersebut. Hasil pengeringan pada
Tabel 13 menunjukkan bahwa kadar air akhir cabai merah kering dari metode oven berada pada

35
rentang 8 – 9 %bb. Hal ini mungkin saja terjadi karena pada cabai merah selain sampel, yang tidak
diukur kadar airnya selama proses pengeringan, memiliki kadar air di atas 8%bb.
Rendemen pengeringan berkisar 10 – 13%. Banyaknya beban pengeringan tidak
mempengaruhi besar kecilnya rendemen pada saat pengeringan. Dari data berat bahan dapat terlihat
bahwa perlakuan blanching dapat menurunkan berat dari cabai merah yang akan dikeringkan. Namun
hal sebaliknya terjadi pada waktu blanching 7 menit pada ulangan 1 karena cabai merah belum
ditiriskan secara sempurna yang mengakibatkan air dipermukaan cabai ikut tertimbang. Blanching
dapat pula mempengaruhi laju pengeringan. Semakin lama proses blanching maka akan semakin cepat
laju pengeringannya, sehingga mempercepat proses pengeringan cabai merah. Menurut Aristiawati
(1990), perlakuan blanching selain berfungsi untuk menginaktifkan enzim, mencegah perubahan bau,
rasa dan warna juga dapat menjadikan membran sel lebih permeabel sehingga cairan akan lebih
mudah keluar selama proses pengeringan. Apabila cairan dalam bahan lebih mudah keluar, maka
proses pengeringan akan lebih cepat.
Pada penelitian ini, penurunan kadar air diukur selama proses pengeringan. Pengukuran ini
dimaksudkan untuk melihat perubahan kadar air akhir bahan selama proses pengeringan. Dari hasil
pengukuran, diperoleh data penurunan kadar air bahan untuk setiap perlakuan (Lampiran 14 – 23).

Gambar 18. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1.

Gambar 19. Grafik perubahan kadar air selama pengeringan pada ulangan 1.

36
Dari Gambar 18 dan 19, penurunan kadar air yang paling cepat pada perlakuan blanching
selama 9 menit. Namun pada proses penurunan kadar airnya, blanching 5 menit lebih cepat kemudian
melambat ketika hampir mencapai kadar air yang diinginkan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh laju
pengeringan. Laju pengeringan menunjukkan seberapa cepat air dalam bahan menguap. Grafik laju
pengeringan cabai merah terhadap waktu disajikan pada Gambar 20 dan 21.

Gambar 20. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 1.

Gambar 21. Grafik laju pengeringan selama pengeringan pada ulangan 2.

Grafik pada Gambar 20 dan 21 di atas menunjukkan bahwa laju pengeringan pada bubuk cabai merah
yang di-blanching 5 menit lebih tinggi dari perlakuan blanching 9 menit selama proses mencapai
kadar air yang diinginkan. Namun ketika hampir mencapai kadar air yang diinginkan atau akhir waktu
pengeringan, laju pengeringan menurun kemudian konstan dan lajunya paling lambat dibandingkan
laju pengeringan bubuk cabai dengan perlakuan yang lain. Pada blanching 9 menit, laju pengeringan

37
lebih rendah dari perlakuan blanching 5 menit hingga mencapai titik puncak, kemudian lebih cepat
dari perlakuan lainnya ketika hampir mencapai kadar air yang diinginkan atau waktu akhir
pengeringan. Hal inilah yang menyebabkan perlakuan blanching 9 menit paling cepat mencapai kadar
air yang diinginkan. Namun bila dilihat dari grafik perubahan kadar air pada ulangan 1 dan ulangan 2
serta grafik laju pengeringan ulangan 1 dan ulangan 2, ada perbedaan perubahan kadar air dan laju
pengeringan. Hal ini terjadi karena ketebalan daging dan ukuran cabai merah yang tidak sama.
Dari Gambar 20 dan 21, dapat dilihat juga bahwa laju pengeringan terhadap waktu
menunjukkan grafik yang fluktuatif. Tingginya tingkat fluktuasi laju pengeringan ini kemungkinan
besar dipengaruhi oleh tingkat intensitas udara panas yang diterima bahan dan juga dipengaruhi oleh
pembukaan rak pengering pada saat pengambilan sampel bahan untuk diketahui penurunan beratnya.
Fluktuasi ini mungkin juga disebabkan oleh faktor eskternal seperti suhu dan kelembaban,
karakteristik fisik dan kimiawi bahan, kadar air awal dan ikatan air dalam bahan.
Di dalam proses pengeringan terdapat dua periode utama, yaitu periode pengeringan dengan
laju pengeringan tetap dan periode pengeringan dengan laju pengeringan menurun. Periode ini
dibatasi oleh kadar air kritis (Henderson dan Perry 1955). Pada awal pengeringan dapat terlihat dari
grafik bahwa laju pengeringan naik cukup signifikan dan cenderung tetap kenaikannya, hal ini sejalan
dengan kenaikan suhu pengering. Pada tahap ini, hanya air bebas yang diuapkan oleh udara panas
pengering. Pada titik tertentu, laju pengeringan mencapai puncaknya dan kemudian cenderung turun.
Laju pengeringan menurun ini terbagi menjadi dua yaitu laju pengeringan menurun cepat dan laju
pengeringan menurun lambat. Menurut identifikasi dari data penelitian pada perlakuan blanching
selama 5 menit ulangan 1, diperoleh grafik laju pengeringan menurun cepat dan menurun lambat
seperti yang disajikan pada (Gambar 22)

Gambar 22. Grafik laju pengeringan menurun tetap (titik A-B) dan menurun lambat (titik B-C).

Laju pengeringan menurun cepat terjadi pada saat air bebas masih terdapat dalam bahan,
sedangkan laju pengeringan menurun lambat terjadi pada saat air bebas telah menguap semua dan
hanya tinggal air terikat yang relatif lebih sulit untuk diuapkan. Laju pengeringan menurun sesuai

38
dengan penurunan kadar air dan lama waktu pengeringan. Jumlah air yang terkandung dalam bahan
akan terus menurun hingga mencapai kondisi setimbang.
Laju pengeringan ini dapat dipengaruhi oleh perlakuan blanching. Perlakuan blanching
dapat mempercepat laju pengeringan. Blanching dapat mempengaruhi tekstur dan struktur bahan
pangan menjadi lebih lunak sehingga terjadi rongga antar sel yang menyebabkan air di dalam sel
mudah menguap.

4.4 Produk Hasil Pengeringan

4.4.1 Proses Penggilingan Cabai Merah Kering

Dari hasil pengeringan didapatkan cabai merah kering dengan kadar air sekitar 7 – 8 %bb.
Cabai kering ini kemudian dikecilkan ukurannya menggunakan blender yang biasa digunakan untuk
menghaluskan bumbu kering. Kadar air selama proses pengecilan ukuran berkurang. Pengurangan
kadar air bubuk dapat dilihat pada Tabel 14. Pada Tabel 14, terlihat bahwa kadar air selama proses
pengecilan ukuran berkurang sekitar 3 – 4% (diukur dengan metode oven). Hal ini terjadi akibat
gesekan antara bahan dengan pisau pencacah, gesekan antara bahan dengan bahan dalam blender,
lama proses pengecilan ukuran serta luas permukaan bahan meningkat sehingga air dari dalam bahan
mudah menguap. Gesekan antar bahan dan pisau pencacah dapat menimbulkan panas yang dapat
menguapkan air yang terkandung dalam bubuk. Setelah proses pengecilan ukuran, dilakukan
pengayakan dengan ayakan Tyler berukuran 30 mesh (ukuran setara dengan 0.6 mm) untuk
mempermudah proses analisis warna dan ekstraksi oleoresin.

Tabel 14. Kadar air cabai kering dan kadar air bubuk cabai
KA cabai kering KA bubuk
Perlakuan
(%bb) (%bb)
Kontrol 8.46 ± 0.18 5.14 ± 0.66
blanching 3 menit 7.15 ± 0.15 4.21 ± 0.18
blanching 5 menit 7.93 ± 0.59 4.18 ± 0.06
blanching 7 menit 7.69 ± 0.25 4.48 ± 0.18
blanching 9 menit 7.74 ± 0.86 4.50 ± 0.38

4.4.2 Analisis Warna

Pengukuran warna bubuk cabai merah yang telah kering menggunakan Chromameter
ditampilkan hasilnya pada Gambar 23 dan 24. Warna produk secara visual disajikan pada Lampiran
30.

39
Gambar 23. Grafik hubungan antara nilai L* dengan lama blanching.

Dari analisa sidik ragam berdasarkan nilai L* diketahui bahwa p value 0.008 < alpha 5%
artinya lama blanching berpengaruh nyata terhadap kecerahan warna. Selanjutnya dilakukan uji
Duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan blanching dengan natrium bisulfit selama 9 menit
memberikan tingkat kecerahan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Sementara
perlakuan kontrol memberikan tingkat kecerahan paling rendah. Tingkat kecerahan pada perlakuan
blanching dengan natrium bisulfit selama 5 dan 7 menit tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan
blanching dengan natrium bisulfit selama 3 menit sama dengan tingkat kecerahan perlakuan blanching
dengan natrium bisulfit selama 5 dan 7 menit serta 9 menit.

Gambar 24. Grafik hubungan antara nilai a* dengan lama blanching.

Dari analisa sidik ragam berdasarkan nilai a* diketahui bahwa p-value 0.032 < alpha 5%,
artinya lama blanching berpengaruh nyata terhadap warna merah. Selanjutnya dilakukan uji Duncan
yang menunjukkan bahwa rata-rata warna merah yang paling tinggi yaitu pada perlakuan blanching
dengan natrium bisulfit selama 7 menit sedangkan yang terendah pada perlakuan blanching dengan
natrium bisulfit selama 9 menit. Perlakuan kontrol, blanching dengan natrium bisulfit selama 5 menit,
dan perlakuan blanching dengan natrium bisulfit selama 7 menit tidak berbeda nyata, sedangkan
perlakuan blanching dengan natrium bisulfit selama 3 menit sama dengan perlakuan kontrol,
blanching dengan natrium bisulfit selama 5 menit, blanching dengan natrium bisulfit selama 7 menit
dan blanching dengan natrium bisulfit selama 9 menit. Perlakuan blanching dengan natrium bisulfit
selama 9 menit berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.
Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa perlakuan 9 menit memiliki tingkat kecerahan
paling tinggi namun memiliki intensitas warna merah yang paling rendah dibandingkan dengan
perlakuan lain. Namun bila dilihat secara nominal perbedaan nilai warna merah pada perlakuan ini

40
dengan nilai warna merah tertinggi (perlakuan blanching 7 menit) hanya sebesar 0.64 dari range nilai
warna merah 0 – 50. Sehingga perlakuan 9 menit ini dapat dikatakan perlakuan terbaik.

4.4.3 Uji Stabilitas Warna Produk

Warna merah hingga kuning pada cabai merah dikarenakan kandungan karotenoid.
Karotenoid ini sebagian besar berupa hidrokarbon serta berikatan dengan senyawa yang strukturnya
mirip dengan lemak. Karotenoid dapat larut dalam lemak, ethanol dan methanol tetapi sukar larut
dalam air. Karotenoid mempunyai ikatan rangkap yang menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi
serta dapat mengalami auto oksidasi. Karotenoid dapat mengabsorbsi sinar UV dan sinar tampak yang
kemudian ditransmisi atau diabsorbsi sehingga dapat mempengaruhi penampakan warnanya.
Karotenoid juga dapat terdegradasi secara termal pada suhu 190 – 220 oC. Perubahan struktur pigmen
karotenoid dari trans menjadi cis akibat suhu, pH, pengoksidasi dan cahaya dapat mengakibatkan
warna menjadi lebih terang (Gross 1991).
Uji stabilitas warna yang dilakukan meliputi pengukuran perubahan warna akibat pengaruh
suhu penyimpanan, pengaruh kondisi penyimpanan, pengaruh sinar matahari dan pengaruh sinar
lampu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya nilai a*, yang menjadi indikasi warna merah, yang
mengalami perubahan yang dapat ditarik kesimpulan pada tiap perlakuan uji stabilitas warna.
Sedangkan nilai L* menunjukkan bahwa nilai perubahannya berbeda-beda pada tiap perlakuan uji
stabilitas warna sehingga sulit untuk menarik kesimpulan. Data penurunan intensitas warna tersaji
pada Lampiran 24 – 27.
Untuk mengetahui stabilitas warna pada suhu penyimpanan yang berbeda, bubuk cabai
merah disimpan pada suhu ruang (25 – 27 oC) dan pada suhu dingin (8 – 10 oC). Penyimpanan ini
berlangsung selama 2 hari. Hasil pengujian dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 25. Perubahan intensitas warna akibat suhu penyimpanan.

Grafik pada Gambar 25 menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan penurunan
intensitas warna yang lebih besar dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu dingin.

41
Gambar 26. Perubahan intensitas warna akibat kondisi penyimpanan.

Pada Gambar 26, penurunan intensitas warna pada bubuk cabai merah yang disimpan dengan terbuka
lebih besar dibandingkan dengan yang disimpan dalam kondisi tertutup. Pada kondisi bahan yang
dibiarkan terbuka pada suhu ruang, maka yang terjadi adalah bubuk cabai merah mengalami oksidasi.
Menurut Erawati (2006), pengaruh oksidasi lebih dominan jika dibandingkan dengan pengaruh suhu
pada penurunan pigmen karotenoid. Hal ini terjadi karena ikatan rangkap yang dimiliki oleh pigmen
karotenoid.
Untuk uji stabilitas warna akibat pengaruh sinar matahari, bubuk cabai merah diletakkan di
bawah sinar matahari selama 6 jam pada saat intensitas cahaya matahari paling tinggi yaitu pada pukul
8 hingga pukul 2 siang. Perubahan intensitas warnanya diukur setiap 3 jam. Hasil pengukuran tersaji
pada Gambar 27.

Gambar 27. Perubahan intensitas warna akibat sinar matahari.

42
Sinar matahari ternyata dapat menurunkan intensitas warna dari bubuk cabai. Penurunan ini
diakibatkan oleh pigmen karotenoid dapat mengabsorbsi sinar UV matahari dan mengubah struktur
trans karotenoid menjadi cis karotenoid. Semakin banyak struktur cis maka warna merah akan
semakin pudar (Erawati 2006).
Pada uji stabilitas warna akibat pengaruh sinar lampu, bubuk cabai merah diletakkan di
bawah sinar lampu TL berdaya 20 Watt selama 2 hari. Perubahan intensitasnya diukur setiap 12 jam.

Gambar 28. Perubahan intensitas warna akibat sinar lampu.

Hasil pengukuran pada Gambar 28 menunjukkan bahwa semakin lama berada di bawah sinar lampu
maka intensitas warna bubuk cabai merah akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan pigmen
karotenoid dapat mengalami photoxidasi, yaitu oksidasi akibat sinar lampu (Gross 1991).
Uji stabilitas warna akibat pengaruh sinar matahari dan sinar lampu ini penting untuk bubuk
cabai yang telah digunakan untuk pewarna kosmetik dan telah diaplikasikan ke kulit pemakai. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui degradasi warna pada saat pemakai berada di luar ruangan atau di dalam
ruangan yang diberi penerangan lampu. Namun hasil ini juga bergantung kepada faktor internal
pemakai seperti jenis dan kondisi kulit pemakai yang dapat pula mempengaruhi kestabilan warna
kosmetik tersebut.
Dari semua uji stabilitas warna yang dilakukan, perlakuan blanching selama 9 menit
menunjukkan kestabilan warna bubuk cabai merah yang baik. Hal ini dibuktikan dari persentase
penurunan intensitas warna merah pada tabel berikut :

43
Tabel 15. Persentase penurunan intensitas warna merah pada uji stabilitas warna.
Lama Kontrol Suhu penyimpanan (%) Kondisi penyimpanan (%) Sinar matahari (%) Sinar lampu (%)
o o
blanching (%) 25 - 27 C 8 - 10 C terbuka tertutup 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam
0 100 -8.54 -3.28 -8.52 -5.19 -6.64 -8.45 -1.94 -2.95 -4.25 -4.61
3 100 -5.14 -4.24 -6.27 -1.71 -1.09 -3.05 -2.47 -3.53 -3.68 -5.81
5 100 -6.12 -3.23 -5.31 -3.89 -2.01 -3.58 -1.14 -1.23 -1.72 -3.26
7 100 -3.52 -1.38 -3.62 -2.11 -1.46 -4.53 -1.40 -2.67 -4.68 -6.04
9 100 -1.17 -0.56 -3.13 -1.06 -0.29 -0.89 -0.20 -0.74 -1.53 -3.06

44
Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa dari semua perlakuan uji kestabilan warna yang diberikan pada
bubuk cabai dengan perlakuan pendahuluan blanching selama 9 menit memiliki penurunan intensitas
warna merah paling kecil dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini terjadi akibat pengaruh
natrium bisulfit yang ditambahkan pada air sebagai medium blanching dan lama perendaman dalam
larutan blanching tersebut. Iswari et al (2004) menyatakan bahwa penambahan natrium bisulfit 0.2%
pada saaat blanching dapat mempertahankan warna merah pada bubuk cabai selama penyimpanan 6
bulan. Hal ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit mampu memberikan lingkungan yang cukup
alkalis untuk mempertahankan warna, aroma dan kecerahan. Menurut Desrosier (1988), lingkungan
alkalis saat blanching sayuran sebelum dikeringkan dapat mempertahankan pigmen sayuran. Lama
blanching juga berpengaruh terhadap perubahan warna pada bubuk cabai merah. Hal ini dikarenakan
pada bubuk cabai merah dengan perlakuan pendahuluan blanching yang lebih lama dapat
menonaktifkan enzim-enzim yang dapat menyebabkan browning pada bubuk cabai merah dengan
optimal.

4.4.4 Analisis Warna Setelah Ekstraksi Oleoresin

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi oleoresin bubuk cabai untuk menghilangkan kepedasan
bubuk cabai. Jika bahan masih memiliki tingkat kepedasan yang tinggi maka akan menimbulkan
iritasi kulit dan kulit akan terasa panas. Bubuk yang telah diekstrak oleoresinnya kemudian dilakukan
analisis warna untuk mengetahui apakah ekstraksi oleoresin berpengaruh terhadap warna produk.

Gambar 29. Perubahan nilai L* setelah ekstraksi oleoresin.

45
Gambar 30. Perubahan a* setelah ekstraksi oleoresin.

Hasil yang tersaji pada Gambar 29 dan 30 menunjukkan bahwa ekstraksi oleoresin dapat menurunkan
intensitas warna bubuk cabai merah. Nilai a* dari grafik pada Gambar 30 di atas terlihat menurun
pada kondisi setelah ekstraksi. Hal ini terjadi karena sebagian warna merah ikut larut bersama
oleoresin. Pelarutan ini juga mengakibatkan perubahan pada nilai L*. Nilai L* meningkat setelah
ekstraksi pada perlakuan kontrol, dan perlakuan blanching 5 menit. Untuk perlakuan blanching 3
menit, perlakuan blanching 7 menit dan perlakuan blanching 9 menit nilai L* menurun.

Tabel 16. Persentase penurunan intensitas warna merah


Setelah ekstraksi oleoresin

lama blanching Sebelum (%) Setelah (%)

0 100 -9.90
3 100 -10.51
5 100 -3.60
7 100 -9.28
9 100 -3.51

Untuk bubuk cabai merah dengan perlakuan blanching 9 menit dapat mempertahankan warna merah
dengan baik. Hal ini terlihat pada Tabel 16 dimana penurunan intensitas warna merah paling kecil
dibandingkan perlakuan lain.
Setelah dilakukan analisis warna tidak dilakukan kembali uji stabilitas warna. Hal ini terjadi
karena hanya pada bubuk cabai merah dengan perlakuan pendahuluan blanching 9 menit saja yang
masih berwarna merah sedangkan pada bubuk cabai dengan perlakuan lain berwarna kuning pucat.

4.4.5 Analisis Tingkat Kepedasan

Ekstraksi oleoresin bertujuan untuk menghilangkan kepedasan pada bubuk cabai. Oleh
karena itu dilakukan analisis tingkat kepedasan untuk mengetahui apakah ekstraksi berlangsung secara
sempurna atau tidak. Analisis ini dilakukan dengan uji organoleptik pada panelis terlatih sebanyak 5

46
orang. Awalnya analisis ini dilakukan dengan mengoleskan bahan yang telah dilakukan proses
pengenceran seperti pada prosedur penelitian (Bagian 3.3.8) ke kulit panelis selama 5 menit. Namun
semua panelis tidak merasakan efek apapun pada kulit mereka. Kemudian pengujian ini dilakukan
dengan merasakan pedas bubuk cabai yang telah diencerkan pada rongga mulut. Pengujian ini akan
valid bila 3 dari 5 panelis dapat mengenali rangsangan pada satu tingkat kepedasan tertentu.
Kepedasan di sini dianalogikan dengan rasa panas di rongga mulut. Namun setelah dilakukan uji
kepedasan, panelis mengatakan bahwa rasa panas tersebut terasa pada sudut bibir saja sedangkan pada
rongga mulut terasa seperti ada sensasi menusuk.
Pada sampel pertama dengan perlakuan kontrol, semua panelis setuju bahwa bubuk cabai
sudah tidak terasa panas dimulut. Sampel kedua yaitu ulangan dari sampel pertama, semua panelis
menyetujui bahwa bubuk cabai tersebut masih memiliki tingkat kepedasan sebesar 117,000 SHU.
Sampel ketiga dengan perlakuan blanching selama 3 menit, 4 dari 5 panelis setuju bahwa bubuk cabai
tersebut masih memiliki tingkat kepedasan sebesar 170,000 SHU. Pada sampel keempat yaitu ulangan
dari sampel ketiga, 4 dari 5 panelis setuju bahwa bubuk cabai masih sudah tidak pedas lagi. Pada
sampel kelima yaitu perlakuan blanching selama 5 menit, semua panelis setuju bubuk cabai memiliki
tingkat kepedasan sebesar 117,000 SHU. Sempel keenam yaitu sampel ulangan dari sampel 5, semua
panelis setuju bahwa tingkat kepedasan bubuk cabai sama dengan sampel 5. Pada sampel ketujuh
yaitu perlakuan blanching selama 7 menit, semua panelis setuju bahwa tingkat kepedasan bubuk cabai
ini adalah 100,000 SHU. Begitu pula dengan sampel kedelapan yang merupakan ulangan dari sampel
ketujuh. Pada sampel kesembilan yaitu perlakuan blanching selama 9 menit, semua panelis
menyetujui tingkat kepedasan bubuk cabai merah ini sebesar 100,000 SHU. Begitu pula pada sampel
kesepuluh yang merupakan ulangan dari sampel kesembilan. Tabel 17 menunjukkan tingkat
kepedasan pada tiap perlakuan blanching.

Tabel 17. Tingkat kepedasan bubuk


cabai merah
Kode Tingkat
sampel kepedasan (SHU)
N0U1 0
N0U2 117,000
N1U1 170,000
N1U2 0
N2U1 117,000
N2U2 117,000
N3U1 100,000
N3U2 100,000
N4U1 100,000
N4U2 100,000

Nilai SHU pada Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa bubuk cabai merah masih pedas.
Tingkat kepedasan bubuk cabai merah ini tidak seragam. Bubuk cabai merah dengan tingkat
kepedasan 170,000 SHU lebih terasa panas bila dibandingkan dengan bubuk cabai merah dengan
tingkat kepedasan 117,000 SHU dan 100,000 SHU. Bubuk cabai merah yang masih tinggi tingkat
kepedasannya tidak aman jika digunakan untuk pewarna kosmetik karena kulit akan terasa panas dan
mungkin dapat terjadi iritasi atau ruam pada kulit. Perbedaan tingkat kepedasan pada masing – masing
ulangan mungkin diakibatkan oleh tingkat kepedasan awal dari bubuk cabai merah yang berbeda.

47
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada saat uji performansi alat pengering tanpa beban dengan setting suhu 75oC memiliki sebaran
suhu yang seragam pada masing-masing rak dibandingkan dengan setting suhu 35oC dan 55oC.
2. Pada saat uji performansi alat menggunakan beban pengeringan suhu ruang pengering lebih
tinggi dibandingkan dengan suhu bahan. Hal ini terjadi karena perambatan panas dalam bahan
lebih lambat dibandingkan dengan perambatan panas pada udara pengering.
3. Efisiensi pengeringan paling tinggi pada perlakuan blanching selama 9 menit yaitu sebesar
38.63%. Hal ini terjadi karena waktu pengeringan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan
lain dan dinding sel menjadi lebih permeabel sehingga air yang terdapat dalam bahan lebih cepat
diuapkan.
4. Perlakuan blanching selama waktu tertentu pada pengeringan cabai merah dapat mempengaruhi
karakteristik pengeringan cabai merah. Semakin lama waktu blanching maka waktu yang
dibutuhkan untuk mengeringkan cabai merah akan semakin cepat. Perlakuan ini berpengaruh
terhadap berat bahan yang akan di keringkan. Berat bahan akan menyusut setelah proses
blanching. Perlakuan blanching ini mampu mempercepat laju pengeringan. Semakin lama waktu
blanching maka laju pengeringan akan semakin meningkat. Namun, perlakuan blanching tidak
mempengaruhi kadar air akhir dari cabai merah yang dikeringkan. Rendemen pengeringan pada
penelitian ini sekitar 10 – 13 % dengan kadar air akhir 8 – 9 %bb
5. Perlakuan blanching menggunakan natrium bisulfit 0.2% dapat mempertahankan warna merah
akibat pengaruh suhu, kondisi penyimpanan, pengaruh sinar matahari dan sinar lampu.
6. Bubuk cabai merah dengan perlakuan blanching selama 9 menit adalah perlakuan yang terbaik.
Hal ini karena pada perlakuan ini memiliki efisiensi paling tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lain. Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa perlakuan 9 menit memiliki tingkat
kecerahan paling tinggi namun memiliki intensitas warna merah yang paling rendah
dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun bila dilihat secara nominal perbedaan nilai warna
merah pada perlakuan ini dengan nilai warna merah tertinggi (perlakuan blanching 7 menit)
hanya sebesar 0.64 dari range nilai warna merah 0 – 50 sehingga masih dapat diterima sebagai
perlakuan terbaik. Warna merah pada perlakuan ini paling stabil setelah mendapat pengaruh
eksternal yaitu suhu penyimpanan, kondisi penyimpanan, sinar matahari, sinar lampu dan
ekstraksi oleoresin.
7. Ekstraksi ini juga berpengaruh terhadap warna bubuk. Warna merah pada bubuk cabai merah
dapat larut dalam pelarut beserta oleoresin yang dihasilkan sehingga bubuk akan berubah
warnanya menjadi orange hingga kuning cerah. Setelah ekstraksi oleoresin tidak dilakukan uji
stabilitas warna kembali, hal ini karena hanya bubuk cabai dengan perlakuan pendahuluan
blanching selama 9 menit saja yang masih berwarna merah.
8. Ekstraksi oleoresin dapat menurunkan tingkat kepedasan bubuk cabai merah. Namun perlu
diketahui tingkat kepedasan awal dari bubuk cabai merah yang akan diekstraksi untuk
menghilangkan kepedasan yang optimal. Bubuk cabai merah hasil penelitian ini masih memiliki
tingkat kepedasan bubuk sekitar 100,000 - 170,000 SHU. Jika bubuk cabai merah masih

48
memiliki tingkat kepedasan tertentu maka dapat menimbulkan iritasi kulit dan menimbulkan rasa
panas pada kulit.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan analisis tingkat kepedasan bubuk cabai merah sebelum dilakukan ekstraksi
oleoresin untuk memastikan tingkat kepedasan dari bubuk cabai tersebut.
2. Metode ekstraksi karotenoid langsung dapat dilakukan agar warna dapat terekstrak dengan
baik sehingga tidak perlu melakukan ekstraksi oleoresin.
3. Perlu dilakukan analisis kestabilan warna bubuk cabai merah ketika telah digunakan sebagai
pewarna kosmetik.

49
DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan N, Kusnandar F dan Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Anonim. 2009. Teknologi pengolahan oleoresin. www.teknologipertanian.com [13 September 2012].

Anonim. 2012. Standar Nasional Indonesia No. 01 – 4480 – 1998 Cabai Merah Segar.
pphp.deptan.go.id [17 Juli 2012]

Aristiawati PL. 1990. Karakteristik pengeringan beberapa komoditas pertanian [skripsi]. Bogor :
Fakultas Teknologi Pertania, IPB

Desrosier NW. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press.

Estiasih T dan Ahmadi KGS. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara.

Erawati CM. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar(Ipomea
batatas L.) [thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB

Farima D. 2009. Karakterisasi dan Ekstraksi Simplisia Tumbuhan Bunga Mawar (Rosa hybrida L.)
serta Formulasinya dalam Sediaan Pewarna Bibir [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi,
Universitas Sumatera Utara.

Farrel KT. 1985. Spices, Condiments and Seasoning. AVI Publishing Co. Inc. Westport.
Connecticut.

Gross J. 1991. Pigments in Vegetables. New York : AVI Publ.

Heldman DR dan Singh RP. 1981. Food Process Engineering. Second Edition.AVI Publishing Co.
Inc. Westport. Connecticut.

Henderson SM dan Perry ME. 1976. Agricultural Process Engineering. Third Edition. AVI
Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.

Iswari K, Aswardi dan Artati F. 2004. Kajian Pengolahan Tepung Cabai Merah. Makalah pada
seminar Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian ,
2004, Sumatera Barat.

Komara A. 1991. Mempelajari Ekstraksi Oleoresin dan Karakteristik Mutu Oleoresin Dari Bagian
Cabe rawit (Capsicum frustecens L.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Marsudi F. 1993. Pengaruh Cara Pengeringan dan Pencelupan dalam Dipsol, Natrium Metabisulfit
dan Magnesium Hidroksida Terhadap Kualitas Bubuk Cabe Kering Giling [makalah].
Yogyakarta : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Yogyakarta

50
Muchtadi T, Sugiyono dan Ayustaningwarno F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : CV.
Alfabeta.

Pitojo S dan Zumiati. 2009. Pewarna Nabati Makanan. Yogyakarta : Kanisius.

Prajnanta F. 2007. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta :Penebar Swadaya

Purseglove JW, Brown EG, Green CL dan Robbins SRJ. 1981. Spices. London : Longman.

Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Jakarta : Penebar Swadaya.

Soleh, M. 2012. Uji Performansi Alat Pengering Tipe Rak dan Pengaruh Perlakuan Awal Terhadap
Mutu Jahe Kering (Zingiber officinale Rosc.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB.

Susila. 1989. Capsicum spp. Bogor : Jurusan budidaya pertanian, Fakutas pertanian, IPB.

Trinanda W. 2012. Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Buah Rasberi (Rubus rosifolius
J. E. Smith) sebagai Pewarna [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

Udin F dan Mochtar E. 1993. Kajian pengaruh bahan pengisi dan konsentrasi natrium benzoat
terhadap mutu produk pasta cabai merah hot beauty (Capsicum annuum L. Var Hot Beauty). J.
Tek.Ind. Pert. Vol 10 (3) : 109 – 117.

Utami R. 2011. Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Beras Ketan Hitam (Oryza sativa L.
Var. Forma glutinosa) sebagai Pewarna [skripsi]. Medan : Fakultas Farmasi, Universitas
Sumatera Utara.

Wasitaatmaja. 1997. Ilmu Pengetahuan Kosmetik Medik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Wiryanta BTW. 2002. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Jakarta : AgroMedia Pustaka

51
LAMPIRAN

52
Lampiran 1. Dimensi alat pengering (Soleh 2012)

53
Lampiran 2. Susunan rak dalam alat pengering (Soleh 2012)

54
Lampiran 3. Posisi fan dalam alat pengering (Soleh 2012)

55
Lampiran 4. Nilai panas laten penguapan air pada suhu tertentu (Heldman dan Singh 1981)

Panas laten penguapan (hfg)


Suhu
(kJ/kg)
0.01 2501.40
3 2494.33
6 2487.20
15 2465.91
21 2451.76
30 2430.51
40 2406.73
45 2394.75
50 2382.77
55 2370.67
60 2358.77
65 2346.24
70 2333.82
75 2321.37
80 2308.79
85 2296.00

56
Lampiran 5. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban

Menit T set Rak 1 Rak 2 Rak 3 Rak 4 Rak 5 Rak dasar Plenum
ke (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC)
0 35 20.1 22.2 24.4 23.4 23.9 25.1 28.7
5 35 19.5 23.3 27.1 25.5 26.2 26.3 30.1
10 35 20.3 24.1 28.0 26.1 26.9 27.0 30.8
15 35 20.2 24.4 28.6 26.7 26.9 27.2 31.4
20 35 21.3 24.9 28.6 26.7 27.5 27.5 31.2
25 35 21.0 24.9 28.8 27.1 27.6 27.6 31.5
30 35 21.1 25.2 29.3 27.4 28.0 27.9 31.9
35 35 21.0 25.1 29.2 27.6 28.2 27.7 32.0
40 35 21.5 25.6 29.8 27.3 28.1 28.4 32.2
45 35 21.6 25.8 30.0 27.5 28.2 28.5 32.3
50 35 21.7 25.7 29.7 27.6 28.7 28.3 31.8
55 35 21.1 25.6 30.2 27.9 28.4 28.2 32.2
60 35 20.8 25.5 30.2 28.0 28.6 28.3 32.2
65 35 20.9 25.4 29.9 27.6 28.2 27.4 31.9
70 35 21.3 25.7 30.1 27.9 28.5 27.8 32.1
75 35 21.4 25.8 30.2 28.0 28.6 28.1 32.4
80 35 21.6 26.0 30.5 28.2 28.9 28.3 32.4
85 35 21.2 25.9 30.7 28.3 28.9 28.3 32.6
90 35 21.8 26.1 30.4 28.2 28.8 28.4 32.2
95 35 21.4 25.9 30.4 28.3 29.1 28.3 32.2
100 35 21.5 26.1 30.8 28.6 29.2 28.7 32.5
105 35 21.2 26.1 31.0 28.6 29.3 28.8 32.6
110 35 21.3 26.1 30.9 28.4 29.5 29.7 32.3
115 35 21.1 26.0 30.9 28.7 29.6 29.5 32.3
120 35 21.2 26.1 31.0 28.8 29.7 29.7 32.4
125 35 21.2 26.2 31.2 28.9 29.8 29.9 32.7
130 35 21.4 26.4 31.5 28.9 30.2 30.3 32.9
135 35 21.1 26.5 31.9 29.3 30.5 30.7 33.2
140 35 20.7 26.2 31.8 29.5 30.3 30.2 33.0
145 35 21.2 26.6 32.0 29.2 30.5 30.8 32.9
150 35 20.7 26.5 32.3 29.6 30.6 30.9 33.5
155 35 21.4 26.5 31.6 28.7 29.8 30.5 32.5
160 35 22.2 27.3 32.5 29.4 30.4 31.1 33.2
165 35 23.4 28.1 32.8 29.6 30.5 31.6 33.4
170 35 23.8 28.4 33.0 29.7 31.0 31.8 33.4
175 35 23.6 28.5 33.5 30.1 31.0 32.1 33.8
180 35 23.7 28.5 33.3 30.2 31.3 31.9 33.5

57
Lampiran 6. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan)

menit T set T rak 1 T rak 2 T rak 3 T rak 4 T rak 5 T rak dasar Plenum
ke (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC)
0 55 24.6 27.1 29.6 30.2 32.3 33.6 42.6
5 55 24.2 27.6 31.0 31.6 33.4 35.3 43.5
10 55 24.2 28.1 32.0 32.7 35.1 36.3 44.2
15 55 24.8 28.7 32.6 33.4 35.5 36.7 44.3
20 55 25.2 29.1 33.0 33.9 35.7 37.1 44.7
25 55 27.2 30.7 34.2 35.0 37.1 38.0 44.9
30 55 30.3 32.5 34.7 35.5 37.6 38.4 45.0
35 55 30.7 32.8 34.9 35.6 37.8 38.6 45.1
40 55 31.0 33.0 35.0 35.9 38.0 38.9 45.9
45 55 29.0 32.2 35.4 36.6 37.9 39.2 45.8
50 55 30.5 33.3 36.1 37.2 38.4 39.4 45.7
55 55 31.7 34.6 37.5 38.6 39.2 40.1 45.8
60 55 31.6 34.6 37.6 38.6 39.3 40.1 45.9
65 55 31.8 34.8 37.8 38.9 39.4 40.3 46.0
70 55 31.7 34.3 36.9 37.9 38.8 39.8 47.0
75 55 33.7 35.9 38.1 39.0 39.7 40.4 47.0
80 55 33.8 36.1 38.4 39.2 39.8 40.6 47.1
85 55 34.0 36.2 38.4 39.3 40.0 40.7 47.3
90 55 33.8 36.2 38.6 39.3 40.0 40.7 47.1
95 55 34.1 36.3 38.5 39.4 40.0 40.6 47.0
100 55 34.1 36.3 38.5 39.3 39.9 40.6 47.1
105 55 34.2 36.4 38.6 39.3 39.9 40.6 47.3
110 55 34.3 36.6 38.9 39.6 40.1 40.7 47.3
115 55 34.3 36.6 38.9 39.6 40.1 40.9 47.4
120 55 34.3 36.6 38.9 39.6 40.2 40.9 47.6
125 55 34.2 36.7 39.2 39.8 40.4 41.1 47.8
130 55 34.2 36.7 39.2 40.0 40.5 41.3 48.0
135 55 34.0 36.7 39.4 40.1 40.6 41.3 47.9
140 55 34.3 36.9 39.5 40.1 40.1 41.1 48.1
145 55 34.4 37.0 39.6 40.2 40.2 41.1 48.2
150 55 34.7 37.3 39.9 40.5 40.2 41.4 48.3
155 55 34.8 37.4 40.0 40.6 40.3 41.5 48.4
160 55 35.0 37.5 40.0 40.6 40.3 41.5 48.8
165 55 35.1 37.6 40.1 40.7 40.4 41.6 48.6
170 55 35.0 37.6 40.2 40.9 40.5 41.8 48.8
175 55 35.3 37.9 40.5 41.1 40.7 41.9 49.0
180 55 35.3 37.9 40.5 41.1 40.8 41.9 49.0

58
Lampiran 7. Data pengujian suhu ruang pengering tanpa beban (lanjutan).

T set T rak 1 T rak 2 T rak 3 T rak 4 T rak 5 T rak dasar Plenum


menit ke
(oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC) (oC)
0 75 23.7 24.7 25.4 25.7 26.1 26.5 46.1
5 75 25.4 26.8 28.2 30.9 32.1 34.1 52.8
10 75 26.2 28.6 31.0 34.3 35.7 37.0 54.5
15 75 27.6 30.3 33.0 36.4 38.0 38.9 55.1
20 75 30.9 33.3 35.7 38.9 40.8 41.4 56.7
25 75 34.8 36.7 38.6 41.3 43.4 43.8 57.8
30 75 36.0 38.4 40.8 42.8 45.4 45.0 59.3
35 75 36.6 38.6 41.6 43.5 46.1 46.5 60.6
40 75 37.3 39.6 41.9 44.0 46.3 45.9 60.0
45 75 39.8 41.3 39.8 44.9 48.3 49.9 61.7
50 75 40.2 42.0 40.2 45.3 48.8 50.2 62.1
55 75 44.2 46.7 49.2 50.5 52.0 53.6 63.5
60 75 47.2 47.7 48.2 47.6 48.9 51.2 63.9
65 75 51.7 52.8 53.9 55.1 54.5 55.5 64.6
70 75 45.7 47.9 50.1 51.9 52.8 54.1 64.0
75 75 46.0 48.3 50.6 52.6 53.6 54.9 65.1
80 75 52.7 54.5 56.3 58.4 56.6 57.0 65.2
85 75 48.8 51.0 53.2 54.8 55.3 56.0 66.0
90 75 53.7 55.5 57.3 59.3 57.6 58.4 66.8
95 75 53.4 55.3 57.2 58.7 57.6 58.4 66.9
100 75 54.0 54.7 55.4 58.2 55.9 56.3 67.0
105 75 54.3 54.9 55.5 58.5 55.9 56.4 67.0
110 75 54.5 55.1 55.7 58.8 56.2 56.6 67.2
115 75 54.1 55.9 57.7 59.7 58.0 58.7 67.2
120 75 50.8 52.6 54.4 55.5 55.8 57.0 67.1
125 75 51.3 52.3 53.3 55.8 54.4 57.1 68.3
130 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.4 57.1 67.9
135 75 54.5 55.3 56.1 59.2 56.5 56.8 67.3
140 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.3 56.9 67.3
145 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.4 57.0 67.8
150 75 51.4 52.4 53.4 55.9 54.5 57.0 67.8
155 75 51.4 52.4 53.4 55.9 54.3 56.9 67.5
160 75 51.4 52.4 53.4 55.9 54.4 57.0 67.2
165 75 51.4 52.4 53.4 55.8 54.4 57.0 67.5
170 75 51.5 52.4 53.3 55.9 54.4 57.0 67.6
175 75 51.6 52.5 53.4 55.9 54.4 57.0 67.8
180 75 51.6 52.5 53.4 55.9 54.3 56.9 67.5

59
Lampiran 8. Sebaran suhu pada perlakuan kontrol

suhu pengering (oC) suhu bahan (oC)


menit ke suhu plenum
rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1
0 60.8 50.7 49.2 46.3 45.9 44.3 42.7 47.6 47.9 44.9 40.5 40.6
30 59.0 48.7 46.7 45.3 45.1 42.6 40.1 47.6 46.3 42.7 40.8 39.6
60 60.0 51.9 50.8 49.7 49.6 48.5 47.3 50.8 50.6 47.2 46.6 43.8
90 61.3 52.5 51.8 51.0 51.0 49.1 47.3 51.6 51.1 48.9 47.6 44.7
120 62.0 52.4 51.1 50.7 51.1 47.5 43.9 51.6 50.7 49.3 47.5 44.0
150 63.6 54.3 53.7 53.3 53.5 51.5 49.5 53.5 52.9 52.2 50.3 47.8
180 63.1 52.5 52.4 52.3 52.3 51.8 51.4 51.6 50.8 51.0 49.6 47.8
210 64.4 55.5 54.7 54.2 53.6 53.9 54.2 53.7 53.1 53.6 51.2 48.8
240 66.8 57.6 57.5 57.1 57.2 56.6 56.0 56.5 55.9 55.7 54.5 52.8
270 64.3 52.2 51.0 50.4 48.2 50.9 53.6 51.7 50.5 49.7 48.0 43.9
300 67.0 56.5 56.0 55.6 56.7 55.9 55.1 54.2 53.9 55.4 52.7 51.9
330 67.6 56.9 56.4 56.0 57.2 56.4 55.5 54.8 54.3 55.8 53.3 52.4
360 69.6 57.6 56.6 56.2 57.6 56.2 54.8 55.4 55.0 56.0 53.5 51.2
390 73.6 60.6 60.0 59.8 61.4 60.7 60.0 58.5 58.3 59.6 57.4 55.3
420 75.5 62.0 60.5 59.3 61.2 61.7 62.2 60.7 58.6 59.4 57.2 56.4

60
Lampiran 9. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 3 menit

suhu pengering (oC) suhu bahan (oC)


menit ke suhu plenum
rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1
0 60.7 51.0 49.7 47.0 46.4 44.8 41.8 48.2 48.3 45.7 40.9 41.3
30 59.5 49.9 47.8 46.9 46.1 43.9 43.0 48.2 47.7 44.9 41.8 40.3
60 60.1 52.2 51.0 50.5 49.4 48.7 47.7 50.6 50.9 48.8 46.9 44.1
90 61.4 52.7 51.9 52.0 50.5 49.4 47.6 51.9 51.5 49.8 47.9 45.1
120 62.5 52.9 51.7 52.3 50.8 48.4 49.2 52.3 51.6 50.1 48.1 44.8
150 64.2 54.7 54.0 54.4 52.9 51.7 50.6 53.1 53.5 52.3 50.5 48.1
180 64.5 54.6 53.9 54.3 52.6 52.8 55.3 53.0 53.1 52.4 50.5 48.5
210 63.4 56.1 55.4 55.1 54.2 50.1 57.0 54.7 54.2 53.6 51.0 48.5
240 66.9 58.1 57.6 58.3 56.3 56.8 59.0 56.7 56.2 55.6 54.7 52.8
270 65.6 54.7 53.5 52.7 52.1 53.4 58.4 53.8 53.3 52.0 50.4 46.7
300 67.1 56.6 56.1 57.2 55.3 56.0 57.8 55.4 54.1 54.4 52.8 51.9
330 64.0 56.7 56.3 54.8 55.0 55.7 58.2 55.6 54.5 54.7 52.7 49.7
360 72.6 59.6 59.1 60.6 58.5 59.5 61.9 58.5 57.3 57.6 56.2 54.6
390 73.3 60.8 60.3 62.0 59.8 61.0 63.8 59.8 58.8 59.1 57.7 55.6
420 75.4 61.1 60.8 61.7 59.3 61.7 64.7 61.8 60.0 58.9 57.1 56.8

61
Lampiran 10. Sebaran suhu pada perlakuanblanching selama 5 menit

suhu pengering (oC) suhu bahan (oC)


menit ke suhu plenum
rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1
0 61.0 52.6 50.9 49.4 48.3 47.3 46.2 50.0 49.8 46.9 46.2 43.4
30 61.2 52.5 51.0 50.2 49.3 47.4 45.5 51.4 51.2 48.1 47.2 43.6
60 62.8 54.2 53.3 52.8 51.2 51.6 51.0 53.0 53.0 51.1 49.9 47.4
90 64.8 55.6 54.9 54.6 54.0 52.7 51.3 54.6 53.5 53.3 52.0 49.3
120 64.3 55.8 55.2 54.8 54.9 53.2 51.4 54.1 53.7 53.8 52.1 50.2
150 66.1 57.5 56.7 56.1 56.4 54.4 52.4 55.8 55.4 55.0 54.2 51.3
180 67.0 58.6 57.9 57.6 59.0 55.8 52.6 56.7 56.7 56.2 55.9 53.1
210 66.0 55.1 54.1 53.6 54.4 53.0 51.5 53.3 53.8 53.5 51.3 48.5
240 67.4 56.7 56.2 55.9 57.4 55.1 52.8 54.5 55.3 55.6 54.1 52.3
270 70.9 58.3 57.7 57.4 59.2 56.7 54.2 56.3 57.1 57.2 55.6 53.1
300 73.7 60.6 60.6 59.9 62.2 60.4 58.5 60.3 60.0 59.9 59.5 56.4

62
Lampiran 11. Sebaran suhu pada perlakuan blanching selama 7 menit

suhu pengering (oC) suhu bahan (oC)


menit ke suhu plenum
rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1
0 61.2 52.5 50.6 49.1 48.5 47.7 47.0 49.9 49.7 46.8 45.8 43.0
30 61.8 53.1 52.0 51.3 50.7 49.4 48.1 51.8 51.4 49.3 47.8 45.0
60 63.6 55.1 54.2 53.7 54.4 52.3 50.2 54.0 53.4 52.1 51.0 48.6
90 64.7 55.7 55.1 54.7 55.7 53.2 50.8 54.0 53.7 53.5 51.8 49.9
120 66.2 57.4 56.8 56.4 57.8 54.6 51.4 56.1 55.4 55.1 54.0 51.8
150 66.1 57.8 57.3 56.9 58.9 55.2 51.5 55.6 55.4 55.8 55.0 52.7
180 67.0 57.3 56.8 56.3 57.9 55.0 52.2 55.4 54.8 55.4 54.4 52.3
210 67.4 57.8 57.3 56.9 58.6 55.6 52.5 55.7 55.3 56.0 55.1 52.8
240 67.0 56.2 55.7 55.3 57.4 54.6 51.8 54.2 53.7 55.1 53.5 51.0
270 69.9 58.7 58.3 58.0 60.8 57.4 54.0 56.7 56.3 57.8 56.5 54.0
300 73.8 61.2 60.3 59.7 62.4 60.1 57.7 59.5 58.4 59.4 59.1 56.2

63
Lampiran 12. Sebaran suhu padaperlakuan blanching selama 9 menit

suhu pengering (oC) suhu bahan (oC)


menit ke suhu plenum
rak dasar rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1 rak 5 rak 4 rak 3 rak 2 rak 1

0 61.0 52.1 50.3 48.6 47.5 45.2 43.0 49.5 49.6 45.8 43.3 42.7

30 61.3 53.3 52.1 51.3 50.0 47.4 45.5 51.8 51.4 49.0 48.0 44.8

60 62.9 53.5 52.5 52.0 50.8 47.5 45.9 52.5 52.3 50.4 48.8 44.1

90 63.7 54.7 54.0 53.7 53.0 49.4 48.4 53.9 53.7 52.6 50.7 45.8

120 65.1 56.6 55.9 55.4 54.0 51.6 50.4 54.6 54.0 54.6 52.3 49.1

150 67.1 58.5 57.8 57.5 57.2 52.0 53.1 56.7 56.5 56.0 54.8 46.8

180 66.8 57.4 56.9 56.6 56.5 52.0 52.5 55.3 55.4 55.8 53.9 47.6

210 67.8 56.9 56.4 56.0 56.3 51.6 51.9 54.8 55.4 55.7 53.2 46.8

240 73.3 60.3 59.9 59.6 60.6 55.2 55.1 58.4 59.2 59.5 57.2 49.8

64
Lampiran 13. Perhitungan efisiensi pengering pada tiap perlakuan

Blanching Blanching Blanching Blanching


Keterangan Satuan Kontrol
3 menit 5 menit 7 menit 9 menit
Udara lingkungan
o
Bk C 24.50 25.30 24.70 26.10 26.00
o
Bb C 21.00 22.00 22.00 22.50 24.30
o
Dew point C 19.06 20.23 20.48 20.63 23.27
h1 kJ/kg 60.76 64.38 64.40 66.23 73.33
V m3/kg 0.8626 0.8664 0.865 0.8693 0.8729
Density kg/m3 1.1593 1.1542 1.156 1.1504 1.1457
RH % 73.48 75.33 79.32 73.68 87.09
H g/kg 0.0142 0.0153 0.0155 0.0157 0.0182
Udara pengering
o
Bk C 65.35 65.31 65.46 65.39 65.70
o
Bb C 30.90 31.50 31.60 31.70 32.80
o
Dew point C 19.06 20.23 20.48 20.63 22.95
h2=h3 kJ/kg 102.91 105.73 106.54 106.87 113.65
V m3/kg 0.9810 0.9826 0.9834 0.9834 0.9881
Density kg/m3 1.0194 1.0177 1.0169 1.0168 1.0120
RH % 8.89 9.57 9.66 9.78 11.12
H g/kg 0.0142 0.0153 0.0155 0.0157 0.0182
Udara keluar pengering
o
Bk C 43.37 43.61 43.64 44.39 42.01
o
Bb C 30.70 31.30 31.40 31.50 32.60
o
Dew point C 26.76 27.45 27.66 27.54 29.83
h2=h3 kJ/kg 102.91 105.73 106.54 102.91 105.73
V M3/kg 0.9300 0.9321 0.9327 0.9346 0.9328
Density kg/m3 1.0753 1.0728 1.0722 1.0700 1.0721
RH % 40.95 42.13 42.57 40.66 52.61
H g/kg 0.0230 0.0240 0.0243 0.0241 0.0277
ma kg 0.73 0.88 0.58 0.94 0.94
M1 %bb 84.65 84.89 85.4 84.88 85.3
M2 %bb 8.46 7.14 7.92 7.69 8.39
Wd kg 0.11 0.13 0.08 0.14 0.14
T jam 7 7 5 5 4
P watt 340 340 340 340 340
h2 kJ/kg 102.91 105.73 106.54 106.87 113.65
h1 kJ/kg 60.76 64.38 64.4 66.23 73.33
Ha g/kg 0.0230 0.0240 0.0243 0.0241 0.0277
Hd g/kg 0.0142 0.0153 0.0155 0.0157 0.0182
Hfg kJ/kg 2398.82 2398.08 2398 2396.21 2397.12
Wa kg 0.61 0.74 0.49 0.79 0.79
Q m3/jam 8.49 10.47 9.69 16.23 18.03
q1 kJ 2554.65 3085.53 2075.20 3352.59 2943.36
q2 kJ 1453.84 1764.35 1173.96 1882.12 1891.52
Qm kJ 8568.00 8568.00 6120.00 6120.00 4896.00
Eg % 56.91 57.18 56.57 56.14 64.26
Ep % 29.82 36.01 33.91 54.78 60.12
Ek % 16.97 20.59 19.18 30.75 38.63

65
Lampiran 14. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 1

Berat bahan (gram) Rata-rata Berat kering Berat air Kadar air Kadar air Laju pengeringan
Menit ke
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0 4.06 3.41 3.62 3.69 4.00 3.75 0.56 3.19 84.65 566.67 0.00
15 3.82 3.12 3.31 3.35 3.56 3.43 0.56 2.87 83.59 509.25 0.03
30 3.51 2.82 2.92 2.95 2.92 3.02 0.56 2.46 81.37 436.79 0.02
45 3.24 2.55 2.63 2.66 2.50 2.72 0.56 2.15 79.26 382.21 0.02
60 2.98 2.31 2.33 2.37 2.16 2.43 0.56 1.87 76.85 331.89 0.01
75 2.65 2.19 2.18 2.18 1.99 2.24 0.56 1.68 74.85 297.68 0.01
90 2.30 2.06 2.00 1.96 1.82 2.03 0.56 1.47 72.24 260.27 0.01
105 2.07 1.94 1.85 1.76 1.71 1.87 0.56 1.30 69.81 231.26 0.01
120 1.89 1.82 1.70 1.59 1.56 1.71 0.56 1.15 67.10 203.91 0.01
150 1.57 1.62 1.44 1.33 1.32 1.46 0.56 0.89 61.38 158.92 0.01
180 1.33 1.35 1.23 1.15 1.14 1.24 0.56 0.68 54.64 120.45 0.01
240 0.87 0.91 0.94 0.83 0.82 0.87 0.56 0.31 35.57 55.21 0.00
300 0.69 0.65 0.71 0.70 0.71 0.69 0.56 0.13 18.63 22.89 0.00
420 0.66 0.55 0.59 0.62 0.65 0.62 0.56 0.05 8.59 9.39 0.00

66
Lampiran 15. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan kontrol ulangan 2

Berat bahan (gram) Rata-rata Berat kering Berat air Kadar air Kadar air Laju pengeringan
Menit ke
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0 4.85 5.45 4.55 4.82 4.85 4.91 0.74 4.17 84.65 566.67 0.00
15 4.16 5.00 3.65 4.06 3.56 4.09 0.74 3.35 82.00 455.40 0.03
30 3.82 4.52 3.12 3.44 2.92 3.56 0.74 2.83 79.34 384.10 0.03
45 3.48 4.10 2.63 2.95 2.35 3.10 0.74 2.37 76.30 321.85 0.03
60 3.08 3.61 2.23 2.48 1.95 2.67 0.74 1.93 72.45 262.96 0.02
75 2.53 3.33 2.02 2.25 1.77 2.38 0.74 1.64 69.08 223.46 0.02
90 2.07 3.06 1.81 2.04 1.60 2.12 0.74 1.38 65.24 187.67 0.01
105 1.72 2.84 1.64 1.87 1.44 1.90 0.74 1.16 61.27 158.22 0.01
120 1.49 2.62 1.46 1.71 1.32 1.72 0.74 0.98 57.20 133.67 0.01
150 1.17 1.86 1.21 1.40 1.18 1.36 0.74 0.63 46.06 85.38 0.01
180 0.96 1.41 1.05 1.19 1.09 1.14 0.74 0.40 35.46 54.93 0.00
240 0.88 0.88 0.81 0.94 0.88 0.88 0.74 0.14 16.26 19.42 0.00
300 0.82 0.88 0.77 0.87 0.86 0.84 0.74 0.10 12.34 14.07 0.00
420 0.78 0.88 0.77 0.79 0.80 0.80 0.74 0.07 8.33 9.09 0.00

67
Lampiran 16. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 1

Berat bahan (gram) Rata-rata Berat kering Berat air Kadar air Kadar air Laju pengeringan
Menit ke
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (gram) (%bb) (%bk) (%bk/menit)
0 4.93 3.35 3.99 4.29 4.16 4.14 0.62 3.52 84.89 566.67 0.00
15 4.67 3.04 3.60 3.69 2.71 3.54 0.62 2.92 82.45 469.71 0.01
30 4.42 2.71 3.21 3.18 3.18 3.34 0.62 2.72 81.38 437.11 0.03
45 4.15 2.43 2.84 2.75 2.38 2.91 0.62 2.29 78.64 368.15 0.02
60 3.86 2.11 2.48 2.38 2.07 2.58 0.62 1.96 75.93 315.49 0.02
75 3.57 1.82 2.16 2.07 1.77 2.28 0.62 1.66 72.74 266.80 0.02
90 3.27 1.54 1.88 1.84 1.54 2.02 0.62 1.39 69.16 224.22 0.01
105 2.98 1.34 1.68 1.65 1.35 1.80 0.62 1.18 65.47 189.58 0.02
120 2.46 1.04 1.34 1.34 1.09 1.45 0.62 0.83 57.23 133.81 0.01
150 2.11 0.85 1.09 1.12 0.92 1.22 0.62 0.60 49.02 96.16 0.01
180 1.71 0.63 0.85 0.91 0.81 0.98 0.62 0.36 36.61 57.76 0.00
240 1.27 0.54 0.71 0.71 0.70 0.79 0.62 0.17 21.18 26.88 0.00
300 0.90 0.52 0.65 0.71 0.67 0.69 0.62 0.07 10.00 11.11 0.00
420 0.81 0.52 0.65 0.70 0.67 0.67 0.62 0.05 7.04 7.57 0.00

68
Lampiran 17. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 3 menit ulangan 2

Berat bahan (gram) Rata-rata Berat kering Berat air Kadar air Kadar air Laju pengeringan
Menit ke
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0 2.67 3.05 2.58 2.66 3.08 2.81 0.42 0.01 84.89 566.67 0.00
15 2.49 2.85 2.35 2.34 2.63 2.53 0.42 0.02 83.37 501.44 0.01
30 2.39 2.69 2.14 2.09 2.28 2.32 0.42 0.01 81.83 450.30 0.02
45 2.28 2.49 1.92 1.78 1.89 2.07 0.42 0.01 79.69 392.36 0.01
60 2.16 2.33 1.72 1.56 1.59 1.87 0.42 0.01 77.51 344.55 0.01
75 1.77 2.22 1.57 1.41 1.42 1.68 0.42 0.01 74.89 298.32 0.01
90 1.47 2.08 1.44 1.28 1.26 1.51 0.42 0.01 72.05 257.79 0.01
105 1.19 1.92 1.30 1.14 1.13 1.34 0.42 0.01 68.51 217.58 0.01
120 0.99 1.79 1.18 1.00 0.99 1.19 0.42 0.01 64.57 182.28 0.01
150 0.78 1.06 1.01 0.83 0.82 0.90 0.42 0.00 53.25 113.88 0.01
180 0.56 0.75 0.84 0.68 0.69 0.70 0.42 0.00 40.01 66.71 0.00
240 0.44 0.63 0.71 0.49 0.51 0.56 0.42 0.00 24.17 31.88 0.00
300 0.44 0.53 0.53 0.45 0.51 0.49 0.42 0.00 14.29 16.68 0.00
420 0.44 0.50 0.41 0.44 0.49 0.45 0.42 0.03 7.25 7.81 0.00

69
Lampiran 18. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 1

Berat bahan (gram) Berat air Laju pengeringan


Rata-rata Berat kering Kadar air Kadar air
Menit ke (gram)
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0.00
0 5.02 4.09 4.34 4.75 4.79 4.60 0.69 0.05 85.40 566.67 0.00
15 4.61 3.59 3.59 3.85 3.68 3.86 0.69 0.04 82.14 459.90 0.05
30 4.06 2.92 2.46 2.99 2.99 3.08 0.69 0.03 77.61 346.67 0.04
45 3.29 2.34 1.83 2.57 2.44 2.49 0.69 0.03 72.32 261.26 0.03
60 2.64 1.93 1.46 2.10 2.03 2.03 0.69 0.02 66.02 194.30 0.03
75 2.18 1.47 1.17 1.73 1.55 1.62 0.69 0.01 57.44 134.98 0.02
90 1.81 1.16 1.02 1.39 1.28 1.33 0.69 0.01 48.15 92.85 0.01
105 1.49 0.97 0.84 1.20 1.08 1.12 0.69 0.00 38.17 61.74 0.01
120 1.25 0.84 0.74 0.97 0.93 0.95 0.69 0.00 27.11 37.20 0.00
150 1.08 0.75 0.71 0.84 0.87 0.85 0.69 0.00 18.82 23.19 0.00
180 0.95 0.70 0.70 0.79 0.83 0.79 0.69 0.00 13.10 15.07 0.00
240 0.85 0.65 0.70 0.78 0.81 0.76 0.69 0.00 9.21 10.14 0.00
300 0.82 0.65 0.70 0.78 0.78 0.75 0.69 0.06 8.00 8.70 0.00

70
Lampiran 19. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 5 menit ulangan 2

Berat bahan (gram) Berat air Laju pengeringan


Rata-rata Berat kering Kadar air Kadar air
Menit ke (gram)
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0.00
0 3.63 2.59 2.39 2.71 4.13 3.09 0.46 0.03 85.40 566.67 0.00
15 3.40 2.33 2.09 2.14 3.15 2.62 0.46 0.03 82.33 465.84 0.03
30 3.11 1.98 1.78 1.68 2.32 2.17 0.46 0.02 78.67 368.90 0.03
45 2.79 1.63 1.50 1.31 1.69 1.78 0.46 0.02 73.99 284.47 0.02
60 2.48 1.31 1.31 1.06 1.28 1.49 0.46 0.01 68.86 221.18 0.02
75 2.16 1.03 1.12 0.87 1.02 1.24 0.46 0.01 62.60 167.39 0.01
90 1.83 0.78 0.93 0.72 0.82 1.02 0.46 0.01 54.44 119.49 0.01
105 1.58 0.64 0.81 0.65 0.74 0.88 0.46 0.00 47.45 90.29 0.01
120 1.36 0.54 0.70 0.59 0.71 0.78 0.46 0.00 40.63 68.43 0.00
150 1.04 0.45 0.57 0.49 0.67 0.64 0.46 0.00 28.10 39.09 0.00
180 0.81 0.45 0.46 0.45 0.67 0.57 0.46 0.00 18.30 22.40 0.00
240 0.62 0.44 0.39 0.45 0.67 0.51 0.46 0.00 9.94 11.04 0.00
300 0.59 0.43 0.39 0.44 0.67 0.51 0.46 0.04 8.34 9.10 0.00

71
Lampiran 20. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 1

Berat bahan (gram) Berat air Laju pengeringan


Rata-rata Berat kering Kadar air Kadar air
Menit ke (gram)
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0.00
0 4.25 5.30 4.19 4.42 4.53 4.54 0.68 0.03 84.88 566.67 0.00
15 3.59 4.63 3.66 4.01 4.24 4.02 0.68 0.03 83.08 491.16 0.03
30 2.92 3.93 3.19 3.60 3.89 3.50 0.68 0.03 80.58 414.86 0.03
45 2.49 3.33 2.75 3.46 3.55 3.11 0.68 0.02 78.14 357.47 0.03
60 2.12 2.86 2.35 2.68 3.22 2.64 0.68 0.02 74.26 288.52 0.02
75 1.86 2.54 2.04 2.35 2.84 2.33 0.68 0.02 70.74 241.71 0.02
90 1.62 2.23 1.76 2.09 2.32 2.00 0.68 0.02 66.02 194.30 0.02
105 1.37 1.90 1.47 1.79 1.83 1.67 0.68 0.01 59.32 145.83 0.02
120 1.19 1.63 1.24 1.54 1.49 1.42 0.68 0.01 52.02 108.41 0.01
150 0.91 1.34 0.97 0.91 1.03 1.03 0.68 0.00 34.04 51.61 0.01
180 0.78 1.13 0.82 0.76 0.72 0.84 0.68 0.00 18.96 23.40 0.00
240 0.71 0.97 0.76 0.69 0.68 0.76 0.68 0.00 10.59 11.85 0.00
300 0.71 0.84 0.76 0.69 0.68 0.74 0.68 0.06 7.51 8.12 0.00

72
Lampiran 21. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 7 menit ulangan 2

Berat bahan (gram) Rata-rata Berat kering Berat air Kadar air Kadar air Laju pengeringan
Menit ke
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0 3.58 3.43 3.14 2.82 3.51 3.30 0.49 0.02 84.88 566.67 0.00
15 3.47 3.30 2.94 2.48 3.27 3.09 0.49 0.02 84.00 525.14 0.02
30 3.31 3.17 2.73 2.16 2.41 2.76 0.49 0.02 82.07 457.60 0.02
45 3.13 3.01 2.51 1.85 1.94 2.49 0.49 0.02 80.12 403.13 0.02
60 2.90 2.82 2.30 1.57 1.57 2.23 0.49 0.02 77.84 351.37 0.02
75 2.32 2.67 2.22 1.37 1.42 2.00 0.49 0.01 75.26 304.18 0.02
90 1.84 2.51 1.97 1.17 1.26 1.75 0.49 0.01 71.72 253.62 0.01
105 1.44 2.31 1.77 1.00 1.12 1.53 0.49 0.01 67.61 208.73 0.01
120 1.20 2.12 1.64 0.87 0.99 1.36 0.49 0.01 63.76 175.97 0.01
150 0.92 1.40 1.45 0.69 0.86 1.06 0.49 0.00 53.50 115.03 0.01
180 0.70 1.01 1.22 0.57 0.67 0.83 0.49 0.00 40.56 68.25 0.00
240 0.58 0.61 0.59 0.44 0.58 0.56 0.49 0.00 11.80 13.38 0.00
300 0.58 0.56 0.53 0.44 0.58 0.54 0.49 0.04 7.86 8.53 0.00

73
Lampiran 22. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1

Berat bahan (gram) Rata-rata Berat kering Berat air Kadar air Kadar air Laju pengeringan
Menit ke
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0 4.83 4.60 5.20 5.19 4.06 4.77 0.72 0.03 85.30 566.67 0.00
15 4.45 4.30 4.78 4.65 3.40 4.32 0.72 0.03 83.41 502.62 0.03
30 4.05 3.88 4.28 4.10 2.76 3.82 0.72 0.04 81.23 432.91 0.03
45 3.66 3.42 3.76 3.63 2.19 3.33 0.72 0.02 78.52 365.51 0.04
60 3.12 2.91 3.07 3.11 1.64 2.77 0.72 0.02 74.15 286.86 0.02
75 2.33 2.63 2.90 2.80 1.35 2.40 0.72 0.02 70.17 235.20 0.02
90 1.95 2.40 2.64 2.50 1.20 2.14 0.72 0.02 66.51 198.61 0.02
105 1.58 2.17 2.37 2.22 0.98 1.86 0.72 0.01 61.59 160.36 0.02
120 1.08 1.96 2.10 1.90 0.80 1.57 0.72 0.01 54.36 119.12 0.01
150 0.90 1.48 1.76 1.61 0.69 1.29 0.72 0.00 44.34 79.65 0.01
180 0.72 0.89 1.53 1.30 0.66 1.02 0.72 0.00 29.78 42.42 0.00
240 0.66 0.74 0.89 0.95 0.66 0.78 0.72 0.07 8.34 9.09 0.00

74
Lampiran 23. Data perubahan kadar air bahan pada perlakuan blanching 9 menit ulangan 1

Berat bahan (gram) Berat air Laju pengeringan


Rata-rata Berat kering Kadar air Kadar air
Menit ke (gram)
rak 1 rak 2 rak 3 rak 4 rak 5 (gram) (gram) (%bb) (%bk) (gram air/menit)
0.00
0 2.89 2.54 2.86 2.57 2.96 2.77 0.41 0.01 85.30 566.67 0.00
15 2.78 2.45 2.66 2.18 2.53 2.52 0.41 0.02 83.55 507.84 0.01
30 2.71 2.30 2.46 1.92 2.14 2.31 0.41 0.01 82.02 456.09 0.02
45 2.59 2.14 2.23 1.60 1.72 2.05 0.41 0.01 79.81 395.34 0.01
60 2.41 1.93 1.97 1.25 1.67 1.85 0.41 0.02 77.52 344.87 0.01
75 2.21 1.70 1.75 0.97 1.58 1.64 0.41 0.01 74.74 295.85 0.02
90 1.87 1.39 1.39 0.65 1.46 1.35 0.41 0.01 69.32 225.94 0.01
105 1.63 1.17 1.21 0.52 1.36 1.18 0.41 0.01 64.83 184.31 0.01
120 1.41 1.01 1.07 0.44 1.27 1.04 0.41 0.01 60.12 150.72 0.01
150 1.03 0.78 0.74 0.43 1.04 0.80 0.41 0.00 48.37 93.67 0.01
180 0.68 0.58 0.54 0.42 0.87 0.62 0.41 0.00 32.66 48.51 0.00
240 0.47 0.41 0.45 0.42 0.48 0.45 0.41 0.03 7.13 7.68 0.00

75
Lampiran 24. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan suhu penyimpanan

76
Lampiran 25. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar matahari

77
Lampiran 26. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan sinar lampu

78
Lampiran 27. Grafik perubahan nilai L* pada perlakuan kondisi simpan

79
Lampiran 28. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna

Pengaruh suhu penyimpanan


lama blanching awal suhu ruang % penurunan suhu dingin % penurunan
0 33.51 30.65 8.54 32.41 3.28
3 33.57 31.85 5.14 32.15 4.24
5 33.64 31.58 6.12 32.55 3.23
7 33.67 32.49 3.52 33.21 1.38
9 33.04 32.65 1.17 32.85 0.56

Pengaruh sinar matahari


lama blanching awal 3 jam % penurunan 6 jam % penurunan
0 33.51 31.28 6.64 30.68 8.45
3 33.57 33.21 1.09 32.55 3.05
5 33.64 32.96 2.01 32.43 3.58
7 33.67 33.18 1.46 32.15 4.53
9 33.04 32.94 0.29 32.74 0.89

Pengaruh sinar lampu


lama blanching awal 12 jam % penurunan 24 jam % penurunan 36 jam % penurunan 48 jam % penurunan
0 33.51 32.86 1.94 32.52 2.95 32.08 4.25 31.96 4.61
3 33.57 32.74 2.47 32.39 3.53 32.34 3.68 31.62 5.81
5 33.64 33.25 1.14 33.22 1.23 33.06 1.72 32.54 3.26
7 33.67 33.20 1.40 32.77 2.67 32.10 4.68 31.64 6.04
9 33.04 32.97 0.20 32.79 0.74 32.53 1.53 32.03 3.06

80
Lampiran 29. Data perubahan intensitas warna pada uji kestabilan warna (lanjutan)

Pengaruh kondisi simpan


lama blanching awal terbuka % penurunan tertutup % penurunan
0 33.51 30.65 8.52 31.77 5.19
3 33.57 31.47 6.27 33.00 1.71
5 33.64 31.85 5.31 32.33 3.89
7 33.67 32.45 3.62 32.96 2.11
9 33.04 32.00 3.13 32.69 1.06

Pengaruh ekstraksi oleoresin


lama blanching sebelum setelah % penurunan
0 31.20 28.11 9.90
3 31.03 27.77 10.51
5 30.68 29.57 3.60
7 32.02 29.05 9.28
9 31.45 30.35 3.51

81
Lampiran 30. Warna produk secara visual

82
Lampiran 31. Hasil analisa sidik ragam menggunakan SPSS

Kecerahan (L*) awal:


Tabel ANOVA
Source Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.999a 4 0.500 12.569 0.008
Intercept 27331.984 1 27331.984 687424.145 0.000
Lama_blanching 1.999 4 0.500 12.569 0.008
Error .199 5 0.040
Total 27334.182 10
Corrected Total 2.198 9

Tabel Uji Duncan Perlakuan


Lama Blanching Mean Duncan Grouping
N0 51.5550 A
N2 52.1750 B
N3 52.2350 B
N1 52.5200 BC
N4 52.9150 C

Merah (a*) awal:


Tabel ANOVA
Source Sum of Squares df Mean Square F Sig.
a
Corrected Model 0.528 4 0.132 6.539 0.032
Intercept 11184.342 1 11184.342 553954.556 0.000
Lama_blanching 0.528 4 0.132 6.539 0.032
Error 0.101 5 0.020
Total 11184.972 10
Corrected Total 0.629 9

Tabel Uji Duncan Perlakuan


Lama_blanching Mean Duncan Grouping
N4 33.0350 A
N1 33.3700 AB
N0 33.5050 B
N2 33.6350 B
N3 33.6700 B

83

You might also like