You are on page 1of 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/317388843

Sketsa Pariwisata di Aceh: Dari Regulasi Berbasis Syar'i Hingga Resistensi


Masyarakat dalam Apologi Rekreasi (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe)

Conference Paper · October 2016

CITATIONS READS

0 386

2 authors:

Pangeran Nasution Andry Ruida Hasi


Universitas Malikussaleh 1 PUBLICATION   0 CITATIONS   
9 PUBLICATIONS   1 CITATION   
SEE PROFILE
SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Gender Studies View project

Food Securities View project

All content following this page was uploaded by Pangeran Nasution on 07 June 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Sketsa Pariwisata di Aceh: Dari Regulasi Berbasis Syar’i
Hingga Resistensi Masyarakat dalam Apologi Rekreasi
(Studi Kasus di Kota Lhokseumawe)

Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A., Andry Ruida Hasi, S.H.


Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. (Program Studi Antropologi, FISIP, Universitas Malikussaleh)
Andry Ruida Hasi, S.H. (Program Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada)

Email: pangeran9688@gmail.com, arruida@gmail.com

Abstract - Tourism as an industry arena certainly contribute to Abstrak - Pariwisata sebagai arena industri tentu berkontribusi
the government and public life. The benefits of tourism can be bagi pemerintah maupun kehidupan masyarakat. Manfaat
felt directly by the community, as economic, social, cultural, kepariwisataan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,
and even though in educational, within the scope of the national secara ekonomi, sosial budaya, bahkan pendidikan sekalipun,
and local levels. Aceh province is one of the provinces in dalam lingkup nasional maupun daerah. Provinsi Aceh
Indonesia that actually have the potential of tourism so merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sesungguhnya
abundant. Not only has the natural attractions along the memiliki potensi pariwisata begitu berlimpah. Tidak hanya
coastline of Aceh with fascination of Malacca Strait is so memiliki daya tarik wisata alam di sepanjang garis pantai aceh
beautiful, but the socio-religious life (Islam) of the Acehnese dengan pesona (selat) malaka yang begitu indah, kehidupan
people is a potential that requires the industrial creation. sosio-religi masyarakat Aceh yang Islami merupakan potensi
However, the reality of tourism in Aceh seemed to tire in geliat wisata yang membutuhkan kreasi indsutri. Namun begitu,
determine the identity to contribute as an icon of tourism in kenyataannya pariwisata di Aceh seolah lelah menentukan
Indonesia. Assumptions study of the issue in this paper includes identitasnya untuk andil sebagai ikon pariwisata di Indonesia.
two main aspects were considered to be an obstacle for the Asumsi telaah isu dalam tulisan ini meliputi dua aspek utama
tourism boom in Aceh. First, talk about regulation, particularly yang dianggap menjadi kendala bagi melesatnya
local government regulations Aceh Islamic dimension (Qanun) kepariwisataan di Aceh. Pertama, berbicara tentang regulasi,
were impressed halt development of tourism throughout the khususnya peraturan pemerintah daerah Aceh berdimensi
province. Secondly, there should not be ignored that the trend Islami (Qanun) yang terkesan menahan laju perkembangan
of tourism aspiration on the part of Acehnese society has pariwisata di aceh. Kedua, tidak patut diabaikan bahwa tren
changed. Therefore, this article will address how to regulate aspirasi kepariwisataan pada sebagian masyarakat Aceh telah
tourism in the spirit of Islami which promoted by the Provincial mengalami perubahan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan
Administration in fact get people's resistance through the mengemukakan bagaimana regulasi kepariwisataan dengan
different cultural aspirations of tourism, –in 'apology of semangat syariat yang diusung oleh Pemerintah Provinsi Aceh
recreation'. This article is presented based on the data obtained dimaksud, mendapatkan resistensi masyarakat dengan aspirasi
by the method of qualitative research. Primary data were budaya kepariwisataan yang berbeda, –dalam ‘apologi
obtained from field research via interviews (depth) with the rekreasi’. Tulisan ini disajikan berdasarkan data yang diperoleh
informant categories: tourists, business people around tourist dengan metode penelitian kualitatif. Data primer diperoleh dari
sites, and the relevant government authorities. The study was penelitian lapangan via wawancara (indepth) dengan kategori
conducted in several popular tourism locations in the city of informan: wisatawan, pelaku usaha di sekitar lokasi wisata, dan
Lhokseumawe. In addition, secondary data obtained from the pihak pemerintah terkait. Penelitian dilakukan di beberapa
relevant literature, including regulation/Qanun by the Aceh lokasi wisata populer di Kota Lhokseumawe. Selain itu, data
administration in the field of tourism. The idea of narrative in sekunder diperoleh dari literatur terkait, termasuk
this article refers to the approach in the pop culture and the regulasi/qanun oleh Pemerintah Aceh di bidang pariwisata.
social body study as a pivot node analytic, with the equivalent Gagasan naratif dalam tulisan ini mengacu pendekatan budaya
of representation and on the development of tourism in Aceh at pop dan studi tubuh sosial sebagai poros simpul analitik,
the end of the text. dengan padanan representasi dan rekomendasi pengembangan
Keywords: Tourism, Qanun, Cultural Aspiration, Resistence, kepariwisataan di Aceh pada bagian akhir tulisan.
Apology of Recreation. Kata kunci: Pariwisata, Qanun, Aspirasi Budaya, Resistensi,
Apologi Rekreasi

1
I. PENDAHULUAN Jika merunut narasi historis tentang kehidupan
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia sosial-politik di Aceh, akan ditemukan proyektil
dengan kawasan perniagaan strategis yang berada di sejarah mengapa ada perasaan bahwa status Aceh
Pulau Sumatera, terletak di antara Samudera Hindia berbeda dari wilayah suku bangsa atau provinsi lain
dan Selat Malaka. Hikayat sejarah mengabarkan di Indonesia. Pertama, Aceh menolak penjajahan
bahwa sebelum pemerintah kolonial Belanda lebih lama dari hampir seluruh wilayah lainnya di
mengalahkan Aceh pada tahun 1903, Aceh Indonesia, dan penjajahan di Aceh berakhir dalam
merupakan entitas politik yang independen. Selama periode relatif sangat singkat. Kedua, revolusi sosial
berabad-abad, Aceh dipimpin dan dikendalikan oleh yang terjadi pada Desember 1945 hingga Maret 1946
para suksesi Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri secara permanen mengubah struktur sosial pada
Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16. Selama rakyat Aceh dengan dalih dominasi pemimpin agama
pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada abad ke- dan sadar kelas yang menyertainya. Ketiga, selama
19, Aceh mengalami kemajuan signifikan di bidang revolusi kemerdekaan, diklaim bahwa pihak kolonial
politik dan ekonomi. Aceh menjadi salah satu pusat Belanda yang meninggalkan wilayah Aceh, dan
perdagangan besar di Asia Tenggara dan Aceh menetapkan dirinya dengan status independen
mengendalikan pelabuhan-pelabuhan besar di yang dimiliki sejak masa pra-kolonial. Tidak hanya
seluruh wilayah Sumatera Utara dan Semenanjung itu, pada tahun 1947, Presiden Soekarno membujuk
Melayu (Reid, 1969:3).1 Namun bagaimanapun, Aceh untuk bergabung dengan Republik Indonesia,
kekuatan Aceh secara bertahap menurun sebagai menjanjikan bahwa Aceh akan diberikan otonomi
akibat dari konflik internal dan persaingan antara dalam Indonesia, dan memungkinkan untuk
kekuatan kolonial Inggris dengan Belanda untuk menerapkan Hukum Islam. Keempat, atas dasar
menguasai sumber daya Aceh yang berlimpah. bujuk-janji tersebut, Aceh memberi kontribusi besar
Periode kolonial Belanda luruh dalam garis edar untuk Republik Indonesia yang masih berusia sangat
sejarah, berganti oleh masa kolonial Jepang di Aceh muda kala itu. Dapat dikatakan, rakyat Aceh
yang berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945. membiayai pembelian pesawat pertama bagi
Sebagaimana pendahulunya (Belanda), pihak Jepang Indonesia, mendanai pembentukan pos diplomatik di
juga memerintah wilayah Aceh melalui bangsawan Singapura, India dan PBB, dan memberikan
lokal. Ketika Jepang kalah, revolusi sosial pecah kontribusi keuangan bagi kas Indonesia ketika
antara bangsawan tradisional yang mendukung republik baru ini hampir bangkrut (Ricklefs, 1993).3
kembalinya Belanda dengan para pemimpin agama Aceh merupakan provinsi dengan sumberdaya
yang pro-kemerdekaan Republik Indonesia. Akar alam yang berlimpah, namun ironis, wilayah bangsa
perpecahan antara para pemimpin rakyat Aceh ini tidak luput dari catatan sejarah konflik yang
berhubungan dengan pertikaian panjang dalam menyertainya. Pemberontakan oleh kelompok
kepentingan penguasaan tanah, peradilan dan pasukan bersenjata lokal (indigenous armed milition)
otoritas administratif yang telah dimulai selama terhadap pemerintah Republik Indonesia merupakan
Perang Aceh, dan terus berlangsung selama masa benih konflik yang ditaburkan sejak awal periode
penjajahan. Selama periode revolusi sosial, banyak kemerdekaan, pada tahun 1940-an dan 1950-an.
bangsawan tradisional dan keluarga mereka yang Pada periode pemerintahan selanjutnya, masa
terbunuh maupun dipenjara oleh pasukan pro- kepemimpinan Soeharto, wilayah Aceh
kemerdekaan yang dipimpin oleh para pemimpin dikembangkan dari provinsi yang dianggap ‘miskin’
agama, dan kemudian menciptakan struktur sosial menjadi provinsi dengan pertumbuhan
baru di Aceh berdasarkan kesatuan dalam Islam di perekonomian tercepat di Indonesia. Namun,
bawah kepemimpinan para pemimpin agama (Kell, sebagian besar elit pemimpin masyarakat Aceh
1995:9).2 percaya bahwa mereka tidak mendapatkan bagian
proporsional dari pertumbuhan ekonomi tersebut.

1 2
Reid, A. 1969. The Contest for North Sumatra, Atjeh, the Kell, T. 1995. The Roots of Acehnese Rebellion (1989–1992).
Netherlands and Britain 1858–1898. Kuala Lumpur: Ithaca, NY: Cornell University. Hlm. 9.
3
University of Malaya Press. Hlm.3. Ricklefs, M.C. 1993. A History of Modern Indonesia since
C1300. London: Macmillan. Hlm. 220.
2
Pandangan tersebut memicu perasaan anti-Jakarta keleluasaan masyarakat dalam berpariwisata. Ada
dan juga meningkatkan popularitas Gerakan Aceh persepsi oleh masyarakat bahwa regulasi tersebut
Merdeka (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh. Selama menghambat pariwisata di Aceh. Tidak hanya itu,
periode Soeharto (1966-1998), ada tiga isu politik masyarakat memiliki tren aspirasi budaya
dan ekonomi yang penting dan berkontribusi kepariwisataan sebagai leisure time yang tidak
terhadap kerusakan hubungan antara Aceh dan membutuhkan kehendak religitas sebagaimana
Pemerintah Indonesia di masa Orde Baru: eksploitasi dipatutkan oleh pemerintah Aceh dalam Qanun
ekonomi, persaingan yang sedang berlangsung di kepariwisataan di Aceh.
Aceh antara pemimpin agama dan kaum bangsawan Dari uraian tersebut, maka tulisan ini akan
tradisional, dan perubahan politik serta ekonomi memaparkan tentang gambaran (sketsa) pariwisata di
secara cepat yang terjadi di Indonesia pada masa Aceh, terutama di Kota Lhokseumawe, berkaitan
Orde Baru (lihat Sugiarti dan Purwadi, 2010). dengan keberadaan qanun kepariwisataan di Aceh
Pasca runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto yang mendapatkan resistensi dari masyarakat dengan
disertai bergulirnya bandul reformasi dengan tren aspirasi wisata dalam apologi rekreasi sebagai
dinamikanya tersendiri mengantarkan Aceh pada imaji budaya populer yang berkembang.
momentum perdamaian yang digelar dalam MOU-
Helsinki di tahun 2005. Pada level tertentu, II. METODE
gelombang damai di Aceh membawa kehendak Metode pengumpulan data yang digunakan
Islamisasi dengan anatomi, batas-batas, dan geliat dalam studi ini adalah penelitian kepustakaan,
kekuasaan di Aceh pasca MOU-Helsinki. Tercipta
wawancara, pengamatan non-partisipan, dan
elit pemerintahan baru di Aceh yang mengaku
otonom dan mendesak independensi dengan dokumentasi. Penelitian pustaka dilakukan untuk
arsitektur pemerintahan yang mencitrakan memperoleh informasi awal serta referensi yang
ketakwaan melalui UUPA (Undang-Undang mendukung pemahaman terhadap fokus kajian, dan
Pemerintahan Aceh), dan juga berbagai peraturan juga untuk memperkuat analisis data yang diperoleh
daerah (Perda) bermetomini Islami yang dikenal dari penelitian lapangan. Berbagai sumber informasi
dengan istilah Qanun. Regulasi berbasis syariah ini awal ini diperoleh dari buku, jurnal, artikel, thesis
merevitalisasi dan mendikte masyarakat Aceh pada
maupun disertasi, berbagai hasil laporan penelitian,
gaya hidup Islami yang meliputi cara pandang,
penampilan, dan berbagai selebrasi terhadap dokumen pemerintah, dan berbagai informasi dari
beraneka aspek material dan praktik kehidupan yang berbagai media berita (cetak maupun elektronik).
mengandung nilai-nilai Islami atau ‘peng-Islam-an Selanjutnya, konstruksi data diperoleh dari
(lihat Kokoschka, 2009:226). wawancara terhadap informan biasa (pangkal) dan
Bercerita tentang Pariwisata Beregulasi Syar’i informan kunci (key informants). Pemilihan
Regulasi berbasis syariah ini tidak luput dalam informan kunci ditentukan dengan konteks informasi
menentukan masa depan kepariwisataan di Aceh. yang hendak digali. Sebagaimana dikemukakan oleh
Perkembangan pariwisata yang berkontribusi secara
Spradley (2007), bahwa para informan ditentukan
ekonomi, membutuhkan partisipasi dan tanggung
jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. berdasarkan beberapa syarat minimal: enkulturasi
Pemerintah memiliki peran penting terhadap penuh, keterlibatan langsung informan dengan
perkembangan dan pengelolaan kepariwisataan. suasana budayanya, latar belakang budaya yang
Pemerintah Aceh sebagai regulator tidak terlepas berbeda dengan peneliti, ketercukupan waktu, dan
dari kewajibannya untuk memajukan pariwisata non analitik.
dengan mengeluarkan produk regulasi yang Wawancara ditujukan untuk mengungkap
mendukung dan membangun pariwisata
informasi yang terkait dengan kejadian, sejarah dan
Ironisnya, qanun tetang kepariwisataan di Aceh
yang berazaskan syariah juga tidak luput dari persepsi. Oleh karenanya, wawancara juga dilakukan
penolakan oleh masyarakat dalam beragam bentuk untuk merekam informasi yang dianggap mampu
resistensi. Qanun pariwisata seakan mengekang memberi gambaran historis atas fenomena yang

3
berlangsung selama beberapa kurun waktu. Dalam hubungannya dengan pariwisata, motivasi
Pengamatan terlibat (partisipant observation) juga wisatawan terbagi ke dalam empat kategori (Pitana
menjadi metode pengumpulan data yang digunakan, dan Gayatri, 2005:58):
terutama untuk mengamati berbagai perilaku, 1. Motivasi fisik, yaitu motivasi yang berkaitan
tindakan, dan peristiwa lainnya yang terkait dengan dengan aktifitas fisik, misalnya olah raga, rekreasi
aktivitas kepariwisataan. Terakhir, metode pantai, hiburan yang menyegarkan, dan motivasi
dokumentasi di sini dimaksudkan kepada perolehan lainnya yang secara langsung berhubungan
data (visual) dengan penggunaan peralatan (bantu) dengan kesehatan.
kamera dan berbagai peralatan bantu lainnya. 2. Motivasi budaya, yaitu motivasi yang dapat
Peralatan kamera digunakan untuk diidentifikasikan melalui hasrat untuk mengetahui
mendokumentasikan perilaku atau berbagai praktik tentang budaya, adat, tradisi, dan kesenian daerah
budaya yang relevan dengan fokus kajian. lain. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai
objek peninggalan budaya (monumen bersejarah).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3. Motivasi interpersonal/motivasi yang bersifat
Pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan, sosial, motivasi yang berkaitan dengan hasrat
yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, untuk menemui orang baru, mengunjungi teman
organisasi, kebudayaan, dan sebagainya yang atau keluarga, menjauhkan diri dari rutinitas atau
dipandang sebagai kegiatan ekonomi dan tujuan mencari pengalaman baru yang berbeda.
utama pengembangan pariwisata adalah untuk 4. Motivasi karena fantasi, yaitu adanya fantasi
mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi bahwa di daerah lain seseorang akan bisa lepas
masyarakat maupun daerah/negara (Pitana & dari rutinitas keseharian yang menjemukan dan
Gayatri, 2005:31). ego-enhancement yang memberikan kepuasan
Selanjutnya, pariwisata merupakan suatu kegiatan psikologis.
yang secara langsung menyentuh dan melibatkan Keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan
masyarakat sehingga membawa berbagai dampak wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor-faktor
terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata pendorong (push factor) dan faktor-faktor penarik
dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, (pull factor).Faktor pendorong dan penarik ini
membuat masyarakat setempat mengalami sesungguhnya merupakan faktor internal dan
metamorfosa dalam berbagai aspeknya. Dampak eksternal yang memotivasi wisatawan untuk
pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan.
banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, Menurut Sharpley (1994) dan Wahab (1975; dalam
terutama dampak terhadap masyarakat lokal (Pitana Pitana dan Gayatri, 2005:58) menekankan bahwa
& Gayatri, 2005:109). motivasi merupakan hal yang sangat mendasar
Smith dan Eadington (1992:xiii; dalam Pitana & dalam studi tentang wisatawan dan pariwisata
Gayatri, 2005:7) juga memaparkan bahwa pariwisata karena merupakan pemicu dari proses perjalanan
adalah institusi sosial yang sangat penting dalam wisata, dan motivasi ini acapkali tidak disadari
kehidupan dunia modern yang dapat dipelajari. secara penuh oleh wisatawan itu sendiri. Dengan
Pariwisata mempunyai sejarah dan literatur, demikian, kepariwisataan Indonesia semestinya
mempunyai struktur internal dengan prinsip-prinsip dikelola dalam semangat populis dan berbasis
operasinya, dan sangat sensitif terhadap pengaruh budaya. Kepariwisataan dibangun dengan
eksternal, baik kejadian alam maupun budaya. berlandaskan prinsip dari masyarakat, oleh
Semua itu dapat dianalisis secara ekonomi maupun masyarakat dan untuk masyarakat. Betapa tidak,
transaksi sosial. pariwisata merupakan salah satu aktivitas sosial-

4
ekonomi manusia yang dominan sepanjang dalam tulisan ini, terlebih karena tulisan ini berupaya
peradaban manusia. Kepariwisataan telah menjadi memahami suatu fenomena kepariwisataan melalui
satu mata rantai industri dengan beragam perspektif antropologi, sebagai pendekatan keilmuan
yang menawarkan sudut pandang berbeda. Tidak
permalahan yang menyertainya: sosial, politik,
seperti bidang ilmu ekonomi misalnya, lebih sering
ekonomi, keamananan, ketertiban, keramah- membicarakan tentang kepariwisataan dalam
tamahan, budaya, kesehatan, dan berbagai persoalan kaitannya dengan penguatan sumber daya ekonomi
lainnya. negara, dan cenderung melihatnya dengan
Berbicara tentang kepariwisataan di Aceh, Kota pendekatan maupun analisis yang lebih bersifat
Lhokseumawe merupakan kota terbesar kedua di makro.
Aceh yang memiliki potensi lokasi pariwisata yang Hikayat Pariwisata yang Ter-Islam-kan
meliputi garis pantai hingga pebukitan. Beberapa di Regulasi terkini yang mengatur kepariwisataan di
antaranya adalah Waduk pusong, Taman Wisata Aceh mewujud dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2013.
Bukit Guha Jepang, Pantai Ujong Blang, Pulau Beberapa pasal tertentu dalam qanun tersebut
Semadu, dan Pantai Rancong. Beragam destinasi menjadi perhatian utama sebagai latar telaah atas
wisata tersebut terus bergeliat dan hendak berbenah. resistensi budaya kepariwisataan yang sekaligus
Lhokseumawe ditetapkan statusnya menjadi kota merupakan aspirasi masyarakat terhadap pariwisata
yang otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 di Aceh. Pasal 2 dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2013
Tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001. Secara geografis, menyebutkan bahwa penyelenggaraan
wilayah Kota Lhokseumawe mempunyai luas kepariwisataan Aceh harus berazaskan: a) Iman dan
wilayah 181,06 km2 dengan batas-batas sebagai Islam, bahwa penyelenggaraan kepariwisataan di
berikut: Aceh harus sesuai dengan tuntunan agama Islam; b)
- Batas Utara : Selat Malaka kenyamanan; c) keadilan; d) kerakyatan; e)
- Batas Selatan : Kabupaten Aceh Utara kebersamaan; f) kelestarian; g) keterbukaan; dan h)
- Batas Timur : Kabupaten Aceh Utara adat, budaya dan kearifan lokal. Selanjutnya pada
- Batas Barat : Kabupaten Aceh Utara Pasal 3, penyelenggaraan kepariwisataan Aceh
Penduduk Kota Lhokseumawe yang berjumlah bertujuan: a) melestarikan, mempromosikan,
148.301 jiwa tersebar di 3 (tiga) kecamatan, yaitu mendayagunakan, dan meningkatkan mutu objek
Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Banda Sakti, dan dan daya tarik wisata; b) mengangkat nilai-nilai
Kecamatan Blang Mangat. Kecamatan dengan luas sejarah dan budaya Aceh yang islami sebagai daya
wilayah terbesar adalah Kecamatan Muara Dua tarik wisata; c) memperluas lapangan kerja dan
(113,7 km2) sedangkan kecamatan dengan luas memeratakan kesempatan berusaha; dan d)
wilayah terkecil yaitu Kecamatan Banda Sakti (11,24 meningkatkan Pendapatan Asli Aceh menuju
km2). Ibukota Lhokseumawe berada di Kecamatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Fungsi
Banda Sakti yang ditandai dengan kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan Aceh kemudian
perdagangan yang sangat menonjol di daerah ini diatur dalam Pasal 4: a) mensyukuri nikmat Allah
sedangkan kegiatan industri berada di Kecamatan SWT; b) meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan
Muara Dua. Selain itu, Kecamatan Blang Mangat terhadap tanah air; c) meningkatkan taraf hidup
memiliki potensi pertanian dan sumber daya alam. jasmani dan rohani; d) menambah pengetahuan dan
Dinamika pariwisata di Kota Lhokseumawe pengalaman; dan e) membangun jiwa
menawarkan ketakjuban kemajuan ekonomi dan kewirausahaan.
keeksotisannya menjadi rangkaian daya tarik dengan Jenis usaha jasa pariwisata yang diatur dalam
suguhan berbagai cawan persoalan yang tidak akan Qanun Nomor 8 Tahun 2013, Pasal 13 meliputi: a)
dengan mudah dapat terselesaikan. Patut untuk lebih jasa wisata syariat, seperti wisata tarikat dan zikir,
berhati-hati dalam menentukan posisi kita ketika atraksi seni sufistik, pengobatan tradisional, dan
hendak menyatakan bahwa kepariwisataan ini wisata syariat Islam lainnya; b) jasa biro perjalanan
membawa dampak negatif, atau justru kehadirannya wisata; c) jasa pramuwisata; d) jasa konvensi,
memberikan kontribusi positif bagi kehidupan perjalanan insentif dan pameran; e) jasa
masyarakat. Sikap mawas dimaksud akan hadir penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; f)

5
jasa konsultan pariwisata; g) jasa informasi Pariwisata sebagai Budaya Massa: Resistensi
pariwisata; h) jasa makanan dan minuman; i) jasa Masyarakat dalam Apologi Rekreasi
penyediaan akomodasi; j) jasa spa; dan k) jasa wisata Regulasi kepariwisataan berbasis syariah (syar’i)
kesehatan. Selanjutnya terkait dengan objek dan ini dapat dikatakan sebagai representasi aspirasi
daya tarik wisata, dalam pasal 17 disebutkan bahwa kepariwisataan oleh para elit pemerintah Aceh
pengusahaan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan kehendak Islamisasi, –bukan sebagai pilihan
dengan memperhatikan: a) nilai-nilai Islam; b) adat- bagi wisata populer melainkan kepatutan (ketertiban
istiadat, serta kearifan lokal; c) kehidupan ekonomi moral; keimanan) bagi masyarakat dalam berwisata.
dan sosial budaya; d) kelestarian budaya dan mutu Wisata populer yang dulu (secara historis) dan kini
lingkungan hidup; dan e) kelangsungan usaha (dalam konteks sosial tertentu) dapat sangat berbeda
pariwisata. pada masa dan tempat yang berbeda. Wisata menjadi
Semakin besar bilangan pasal yang mengatur ikonik ketika meraih popularitas melalui karya dan
ternyata menegaskan Islamisasi kepariwisataan di praktik haruslah relatif mudah dan menarik perhatian
Aceh. Pasal 82 dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2013 pelaku wisata lintas ras, asal, usia, gender, bahkan
tentang ‘larangan di tempat-tempat wisata’ mengatur paham keagamaan sekalipun. Kehadiran wisata
bahwa setiap orang dilarang: a) meminum minuman populer semestinya dapat diterima secara kolektif
keras dan mengkonsumsi barang yang memabukkan dari berbagai latar individu dalam menikmati,
lainnya; b) melakukan perbuatan asusila; c) menggunakan, berperan serta, mereproduksi, atau
berjudi/maisir; dan/atau d) merusak sebagian atau mendistribusi ulang pengalaman kewisataan kepada
seluruh fisik objek dan daya tarik wisata. Qanun yang lain.
Nomor 8 Tahun 2013 juga mengatur tentang Pemerintah Kota Lhokseumawe sebagai
ketentuan pidana dalam industri kepariwisataan di representasi Pemerintah Aceh merupakan bagian
Aceh, yakni pada Pasal 84: 1) Pelanggaran terhadap dari kelompok politis yang berorientasi elitis dan
ketentuan mengenai penyelenggaraan
memandang rendah terhadap budaya wisata populer.
kepariwisataan Aceh yang meliputi kegiatan usaha
jasa pariwisata, pengusahaan objek dan daya tarik Pemerintah Aceh dengan Qanun kepariwisataan
wisata dan usaha sarana pariwisata sebagaimana terkesan was-was dan gamang dalam mengelola
diatur dalam qanun ini, dikenakan Sanksi kepariwisataan di Aceh sementara masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang sebagai pelaku wisata bersikap mendua, sebagian
Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan berkeinginan mengekskalasi diri (sosial) dengan
peraturan perundang-undangan lainnya; 2) mengikuti perkembangan terbaru dalam imaji wisata
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai
populer; sementara kelompok lainnya merasa
penyelenggaraan kepariwisataan Aceh yang meliputi
kegiatan usaha jasa pariwisata, pengusahaan objek sungkan bahkan tersinggung oleh hiruk-pikuk wisata
dan daya tarik wisata, dan usaha sarana pariwisata syariah. Sepintas dapat dikatakan kepariwisataan
sebagaimana diatur dalam qanun ini, yang sanksinya telah berwatak politis. Wisata populer sulit
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun mendapatkan status terhormat dari kelompok elit
2009 tentang Kepariwisataan, dipidana dengan (pemerintah) dengan beragam karakter politiknya.
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan Wisata populer dianggap sebagai aspirasi budaya
dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00
massa yang ‘tak santun' melalui imaji industri
(lima puluh juta rupiah); 3) Selain sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, hiburan. Dianggap hanya hendak mengejar laba
pelanggaran terhadap ketentuan mengenai wisata, kaum elite atau Pemerintah Aceh terkesan
penyelenggaraan kepariwisataan dapat dikenakan cenderung merendahkan wisata sebagai ‘budaya
sanksi administrasi yang berupa pencabutan izin pop’ (lihat Macdonald, 1998:22; Strinati, 1995:10),
usaha yang didahului dengan peringatan tertulis. –budaya rendahan, massif, dangkal, imitatif, dan
Terakhir pada Pasal 85, bahwa Setiap orang yang
seragam (Strinati, 1995:21). Wisata sebagai budaya
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 diancam pidana dan/atau denda sesuai populer selalu dianggap bermasalah oleh para
dengan Peraturan Perundang-undangan. pemimpin politik, pendisiplin moralitas dan sosial.
6
Mereka berpandangan bahwa seharusnya kepada kaum perempuan. Artinya, upaya penertiban
masyarakat memperhatikan ihwal yang lebih lebih dimaksudkan kepada perempuan yang
mencerahkan dan bermanfaat ketimbang berwisata dianggap sumber problem kesusilaan dalam
kepariwisataan. Perlakuan kepariwisataan berbias
dengan imaji budaya populer (lihat Strinati, 1995:41)
gender/termaskulinkan menambah dominasi lelaki
Wisata dengan imaji budaya populer dianggap bahwa gender di luar mereka dinilai lebih rendah.
bermasalah, realita yang tak dikehendaki atau ekses Kenyataan pariwisata di Lhokseumawe
modernisasi yang sering dianggap sebagai tanggung cenderung tidak kondusif. Pada tahun 2015 sempat
jawab negara (Foulcher, 1990). Pemerintah Kota terjadi insiden pengrusakan bahkan hingga
Lhokseumawe dengan Qanun No. 8 Tahun 2013, pembakaran tempat hiburan wisata di Kota
memuat pandangan tentang wisata oleh masyarakat Lhokseumawe. Sebagian masyarakat dan pemimpin
Aceh sebagai imaji budaya populer merupakan masyarakat setempat melakukan pembakaran
tiruan buruk berselera-rendah yang merujuk budaya terhadap salah cafe di lokasi wisata Rancong,
populer kaum Eropa dan Amerika. Sebagaimana pengrusakan dan pembakaran usaha karoke yang
diungkap dalam kajian Gerke (2000), bahwa berada di lokasi wisata di Kota Lhokseumawe, dan
umumnya orang Indonesia dianggap cenderung penggusuran warung-warung penjual makanan di
lokasi wisata Pusong Lama. Khusus untuk
menyerupai gaya hidup sebagai tiruan murahan dari
penggusuran di Pusong Lama, ada pihak yang
gaya hidup ‘sesungguhnya’ pada masyarakat kelas
berkeberatan penggusuran tersebut dan melakukan
sosial atas di Eropa dan Amerika. Gerke (2000) juga
gugatan ke Pengadilan Negeri lhokseumawe dengan
mengatakan bahwa hanya relatif sedikit masyarakat nomor gugatan 29/PDT-G/2016/PN-LSM.
kelas menengah di Indonesia yang dapat menjalani Pembakaran yang terjadi di cafe di lokasi wisata
gaya hidup kaum perkotaan di Eropa dan Amerika. Pusong menjadi semacam ketidakpastian
Sebagian besar tidak dapat mengonsumsi barang- kondusifnya pariwisata di Kota Lhokseumawe,
barang yang tergolong pantas bagi kelas menengah. antara mengembangkan suatu destinasi wisata atau
Qanun Nomor 8 Tahun 2013 yang mengatur membiarkan kehendak suatu golongan tertentu yang
tentang kepariwisataan oleh sebagian masyarakat terkesan dipaksakan. Terjadi kesimpangsiuran atas
juga dianggap bias maskulin. Aspek material dan insiden tersebut dengan opini dan isu-isu keagamaan
konseptual seputar wisata dengan imaji budaya (moral dan asusila) yang merangsek kondusifnya
populer merupakan ekses modernisasi, ekonomi, dan kepariwisataan di Kota Lhokseumawe. Begitu pula
agama yang dianggap sebagai kegiatan tentang dan
yang terjadi pada insiden pengrusakan dan
untuk para lelaki. “Ter-gender-kan-nya pariwisata”
pembakaran tempat karoke di Kota Lhokseumawe.
di Aceh dapat dilihat dalam Pasal 83, bahwa: 1) Bagi
wisatawan nusantara dan wisatawan manca negara Dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2013, pasal 82, ada
diwajibkan berbusana sopan di tempat-tempat diatur mengenai larangan yang dilakukan oleh para
wisata; 2) Bagi wisatawan muslim diwajibkan wisatawan di lokasi usaha jasa pariwisata: di tempat-
berbusana sesuai dengan syariat Islam; 3) Pemandian tempat wisata setiap orang dilarang meminum
di tempat umum dipisahkan antara laki-laki dan minuman keras dan mengonsumsi barang yang
perempuan; 4) Bagi masyarakat yang menonton memabukkan lainnya; melakukan perbuatan asusila;
pertunjukan/hiburan, dipisahkan antara laki-laki dan berjudi/maisir; dan/atau merusak sebagian atau
perempuan; 5) Bagi pengusaha, kelompok seluruh fisik objek dan daya tarik wisata.
masyarakat atau aparatur pemerintah dan badan Ironisnya, pasal 82 sepertinya menjadi
usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/ ‘rasionalisasi instrumental’ oleh sekelompok orang
atau melindungi orang untuk melakukan mesum,
dengan mengatasnamakan masyarakat dan
khamar/ mabuk-mabukan dan maisir/judi; 6) Setiap
orang, baik sendiri maupun kelompok berkewajiban kepentingan agama tertentu membunyikan dugaan
mencegah terjadinya perbuatan maksiat. Pengaturan pelanggaran oleh para pelaku usaha pariwisata. Apa
tentang busana muslim dimaksud lebih ditujukan yang dikecam sebagai pelanggaran oleh sekelompok

7
orang tersebut belumlah terbukti kebenarannya, identias wisata (budaya pop). Keterlibatan teknologi
namun dengan semena-mena terjadi tindakan media terkini (media sosial dan lainnya), orientasi
kekerasan, pengrusakan dan bahkan pembakaran. gaya wisata yang sedang menjadi tren (lihat Gerke,
Insiden itu tentu dapat mengakibatkan kemunduran 2000; Heryanto, 1999b; Van Leeuwen, 2011).
industri pariwisata di Aceh, terutama di Pandangan ini dapat dipahami lebih jauh dari
Lhokseumawe. Para pelaku usaha bidang jasa gagasan Nordholt (2011: 435), bahwa semenjak
pariwisata ragu untuk membuka atau akhir masa penjajahan, bagi mayoritas penduduk asli
mengembangkan usahanya, dan membuat investor kelas menengah di Indonesia, menjadi populer dan
juga mengalami kondisi yang serupa. kekinian merupakan gaya hidup yang
Apa yang dianggap bermasalah bisa bersumber menggairahkan. Di Indonesia kini, imaji populer dan
dari wawasan yang dipilih, dan juga berasal dari kekinian dalam kehidupan sehari-hari berperan
tekanan orang lain. Banyak orang bersempadan pada membedakan seseorang dari masyarakat tradisional
ceruk pemikiran dalam menampung atau (sebagai ‘yang lain’ bagi kaum modern). Imaji itu
mendamaikan berbagai gairah, cita-cita, tekad, dan juga membedakan pandangan umum tentang sesama
pantangan yang bisa namun tidak selalu saling warga yang masih ‘terbelakang’ di masa kolonial
bertentangan. Insiden kepariwisataan yang terjadi di maupun pasca kolonial. Imaji dimaksud menjadi
Lhokseumawe memperlihatkan paranoia akut atribut penanda yang memisahkan kelas menengah
tentang keberadaan perempuan dan ke-maksiat-an dari status sebagai warga negara yang dulu tertindas
yang bertentangan dengan kehendak ke-syariat-an. di era Orde Baru, dari mayoritas bangsa ini yang
Dunia wisata di Aceh pun terbelah dalam kurang beruntung (kaum miskin perkotaan dan
dikotomi gender yang merupakan pembagian usang rakyat pedesaan), secara nyata maupun yang
antara ‘kehendak maskulin dan kepatuhan feminin’. dibayangkan, –menjadi anggota masyarakat yang
Politik identitas yang termaktub dalam Qanun berorientasi Islami pada masa pasca Orde Baru, dan
kepariwisataan di Aceh semakin sulit menengahi berlanjut hingga kini.
tuntutan massa atas kegembiraan dan hiburan Dalam konteks kepariwisataan di Aceh, orientasi
dimiliki oleh kaum lelaki yang melegitimasi Islamisasi dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2013
kenikmatan pariwisata yang bersifat feminin. muncul dengan pertentangan antara ketakwaan
Rangkaian pariwisata berlatar maskulin itu tampil moral berbasis agama dan daya rusak industri
dan berdamai dengan bangkitnya Islamisasi rekreasi. Beberapa pandangan yang dapat dirujuk
kepariwisataan di Aceh. Perempuan sebagai pelaku dalam menjelaskan Islamisasi kepariwisataan di
wisata merupakan penikmat jasa wisata kelas kedua Aceh, memperlihatkan kecenderungan penjelasan
di Aceh, bersifat ‘privat’ ataupun ‘domestik’, dan gejala ini sebagai peristiwa komersialisasi kehidupan
membutuhkan ruang wisata tertutup selayaknya kaum Muslim dan komodifikasi simbol-simbol
tuduhan oleh para elit (pemerintah) terhadap wisata agama (Hew, 2013; Murray, 1991; Muzakki, 2007;
sebagai budaya massa itu sendiri (lihat Pambudy, Suryakusuma, 2008). Kesan pemikiran yang dapat
2003; O'Connor dan Klaus, 2000:379-82). dikembangkan selanjutnya, bahwa gerakan
Resistensi hegemoni Qanun Nomor 8 Tahun 2013 Islamisasi pariwisata berupaya menjinakkan industri
oleh masyarakat secara umum tampil melalui rekreasi/hiburan dan menjadikannya sebagai kendali
rentetan apologi rekreasi. ‘Menjadi lebih populer’ pemanjaan diri para penikmat wisata di Aceh.
merupakan alih rupa dari rekreasi yang dalam Pandangan tentang kejayaan Islamisasi dalam
konteks pariwisata menyiratkan pengertian tentang menaklukkan dunia yang sekuler, termasuk terhadap
peluang khusus maupun keterampilan baru, guna industri hiburan yang secara global didominasi oleh
menikmati kesenangan dengan mengonsumsi gaya rekreasi Eropa dan Amerika.

8
lstilah Islamisasi memang tidaklah dapat society) (lihat Bayat, 2007b:435). Melalui poros
digunakan sesederhana itu, dan tidak didefinisikan analitik Bayat yang menemukan gerakan ‘post-
sekadar proses perubahan sosial yang diusung dan Islami’ sebagai kondisi dan proyek tematik,
didukung oleh suatu gerakan tunggal di antara Islamisasi merupakan fase eksperimen atas energi
komunitas Muslim yang taat. Gerakan yang dan sumber daya yang terkuras habis. Menanggapi
bertujuan untuk memperoleh ruang lebih luas bagi kondisi semacam itu, kalangan Muslim terlibat
pelaksanaan agama atau pernyataan keimanan dalam dalam proyek post-Islami yang ‘bukan anti Islam,
urusan- urusan kehidupan sosial budaya, dan bukan non-Islami, namun tidak juga sekuler’ (Bayat
menjadi agenda politik berkelanjutan. 2007a:19). Mewakili upaya menyatukan religiusitas
Dalam gerakan Islamisasi tersebut, semakin atas hak-hak keimanan dan kebebasan dalam praktik
problematis ketika berbagai pihak yang tidak kehidupan. Islam dan kemerdekaan menekankan hak
memiliki motivasi religius, dan entitas budaya massa daripada kewajiban, keragaman sebagai pengganti
lainnya (ekspansi kapitalisme global terhadap suara otoritas tunggal, kesejarahan ketimbang teks
barang dan jasa, perkembangan dalam teknologi keagamaan, serta masa depan ketimbang masa lalu.
media), –turut mengambil peran dalam proses Proyek ini hendak menyatukan pilihan individu dan
Islamisasi yang kompleks. Ciri khas utama berbagai kebebasan, antara Islami dan Budaya Populis (Bayat,
proses Islamisasi yang kompleks adalah terjadinya 2002)
perluasan cara pandang, penampilan, dan perayaan Kondisi dan proyek merupakan aspirasi-aspirasi
secara massif terhadap unsur-unsur material dan budaya yang dapat diperbandingkan, bukan berkutat
beragam praktik yang mudah dipahami, sebagai penyebab. Apapun istilah yang diminati,
mengandung nilai-nilai Islami atau ‘ter-Islam-kan’. ketakwaan religius populer di Lhokseumawe,
Bagi masyarakat di Propinsi Aceh dengan merepresentasikan masyarakat Aceh dalam
kehidupan sosio-religi Islam yang dominan, mengartikulasikan komitmen korektif terhadap
sepertinya kini ketaatan beragama dan bergaya gagasan utopia Islam yang berlandaskan syariah.
dalam wisata populer sama menariknya dan tidak Mereka dengan ketakwaan seperti ini tidak pernah
selalu saling bertentangan. Ketaatan beragama dan memberikan kepercayaan mereka sepenuhnya secara
kesenangan dalam berwisata lebih tersedia sebagai berlebihan kepada elit politik/pemerintah, dan terus
pilihan ketimbang menjadi fanatik dengan berpihak bereaksi terhadap dogma dan retorika kepentingan
dan mengabaikan salah satunya. Tidak seperti elit pemerintah.
pandangan di masa lalu yang memandang ketaatan Dalam banyak peristiwa, adopsi hukum syariah di
dan rekreasi dalam bingkai paradoksal. Muslim Aceh Aceh cenderung bersifat simbolis, tanpa penegakan
terus berupaya menemukan cara (meskipun tidak yang serius dan konsisten di sisi pemerintah daerah.
ayal dangkal) dalam mendamaikan pandangan tradisi Lemahnya penegakan hukum ini telah membuat
yang seringkali ditentang dengan agama dan budaya frustrasi kelompok Islamis yang lebih aktif dan telah
populer. Agama dan kapitalisrne tidak hanya dapat mendorong kelompok-kelompok untuk main hakim
hidup berdampingan dan memiliki keterkaitan, sendiri. Beberapa anggota dari kelompok yang sama,
bahkan dalam risalah tertentu beraliansi hingga atau kelompok Islami lain, diketahui telah
mendukung tindakan-tindakan kolektif yang mengambil manfaat dari situasi ini untuk melakukan
berkelanjutan. pemerasan dengan dalih perlindungan. Kelompok-
Selanjutnya, masyarakat Aceh melakukan kelompok milisi ini kerap tampil sebagai Muslim
perlawanan senyap terhadap pemerintahan yang yang taat, mengumandangkan teriakan-teriakan
‘fundamentalisme’ agar permisif terhadap kehendak Islami, terkadang secara fisik mengintimidasi
masyarakat yang gandrung kesenangan (fun-loving

9
komunitas muslim lain yang dianggap bagian dari dengan tren aspirasi budaya kepariwisataan sebagai
musuh politik mereka. leisure time, tidak membutuhkan kehendak religitas
Mengingat bahwa konflik yang terjadi secara sebagaimana dipatutkan oleh pemerintah Aceh
dalam qanun kepariwisataan di Aceh. Sementara itu,
fundamental bukan merupakan persoalan agama,
pemerintah Aceh cenderung memandang aspirasi
melainkan persoalan politik, kemakmuran, dan wisata populer pada masyarakat sebagai budaya
moralitas, maka kemungkinan besar faktor-faktor massa dengan imaji industri hiburan yang ‘tidak
non-religius akan menentukan bagaimana konflik santun’ dan mendukung ragam kemaksiatan.
tersebut akan terselesaikan.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Di Aceh kini, sebagaimana di berbagai tempat
lain, benturan besar antara kapitalisme dan Penulis mengucapkan terima kasih kepada sivitas
akademika pada Program Studi Antropologi, FISIP,
komitmen terhadap ketakwaan beragama tidaklah
Universitas Malikussaleh, atas dukungannya
kentara. Agama dapat menawarkan keteduhan bagi terhadap keikutsertaan penulis dalam kegiatan ilmiah
orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi dan ini. Penulis juga berterima kasih kepada saudara
politik serta tanpa perwakilan atau kuasa dalam Mochammad Wahyu Ghani, S.IIP., M.I.Kom., atas
meraih keadilan. Bagi orang kaya urban yang kritis diskusinya yang bermanfaat dalam pengayaan ‘halal
terhadap keajegan pemerintah, agama dapat berperan dan haramnya’ kepariwisataan di Aceh.
sebagai titik berangkat bagi pembangkangan ketika
DAFTAR PUSTAKA
seluruh kran politik resmi telah ditutup. Bagi mereka
(Paper)
yang sedang berkuasa, dikelilingi oleh kemiskinan,
[1] Bayat, Asef. 2002. What is Post-Islamism. ISIM
korupsi, dan kekerasan yang disponsori oleh negara, Newsletter (16):5.
ketakwaan dapat membantu memulihkan kecemasan [2] __________ 2007a. Islam and Democracy: What
tentang status mereka, mengurangi rasa bersalah, is the Real Question?. ISIM Papers, 8.
atau menetralkan persepsi publik tentang kerakusan Amsterdam: Amsterdam University Press.
diri. Apakah usaha-usaha itu sukses atau tidak, itu [3] __________ 2007b. Islamism and the Politics of
Fun. Public Culture, 19(3/Fall): 433-459.
persoalan lain.
[4] Murray, Alison. 1991. “Kampung Culture and
Radical Chic in Jakarta”. Review of Indonesian
IV. SIMPULAN
and Malayan Affairs, 25(Winter): 1-16.
Kenyataan parisata yang terjadi Aceh, regulasi [5] O’Connor, B. dan Klaus, E. 2000. “Pleasure dan
Qanun Nomor 8 Tahun 2013 belum tersampaikan Meaningful Discourse: An Overview of
dengan baik dan menyeluruh kepada masyarakat. Research Issues”, International Journal of
Minimnya informasi dan sosialisasi yang dilakukan Cultural Studies, 3 (3): 369-387.
oleh Pemerintah Aceh, dan keengganan masyarakat [6] Pambudy, Ninuk. 2003. “Inul di Dalam Budaya
untuk mencari tahu mengenai regulasi menyebabkan Pop”, Kompas, 5 Mei.
tidak terlaksananya semua tujuan dan hasil yang [7] Suryakusuma, Julia. 2008. “Interest in a Jilbab?”,
diharapkan oleh Pemerintah Aceh melalui qanun Tempo, 3 (IX), 16-22. September.
tersebut.
Makna Islamisasi pariwisata di Aceh tidak (Buku)
bersifat beku ataupun tunggal, dan tak seorang pun [8] Foulcher, Keith. 1990. “The Construction of an
dapat mengendalikan maknanya yang beragam dan Indonesian National Culture: Patterns of
kadang bertolak belakang. Lebih dari sekadar Hegemony and Resistance”, dalam A.
menggambarkan ketegangan antara hasrat untuk Budiman (ed.) State and Civil Society in
meraih kemakmuran dan penghargaan moral selama Indonesia. (p. 301-320. Clayton: Center of
proses Islamisasi dalam kepariwisataan, juga penting Southeast Asian Studies.
memahami potensi insiden, konflik, hingga negosiasi [9] Gerke, Solvay. 2000. “Global Lifestyles under
dan upaya-upaya rekonsiliasi terhadap pihak-pihak Local Conditions: the New Indonesian Middle
dengan ideologi yang bertentangan. Masyarakat
10
Class”, dalam Chua Beng-Huat (ed.) [21] Van Leuween, Lizzy. 2011. Lost in Mall: an
Consumption in Asia: Lifestyles and Identities. Ethnography of Middle-class Jakarta in the
(p. 135-158). London: Routledge. 1990s. Leiden: KITLV Press.
[10] Heryanto, Ariel. 1999. “The Years of Living
Luxuriously”, dalam Culture and Privilege in
Capitalist Asia. (p. 159-87). London dan
Newyork: Routledge.
[11] Hew, Wai-Weng. 2013. “Expressing Chinese
Muslim Preachers”, dalam SM Sai dan CY
Hoon (ed.), Chinese Indonessian Reassessed;
History, Religion and Beloging. (p. 178-199).
London: Routledge.
[12] Kokoschka, Alina. 2009. “Islamizing the
Market? Advertising, Products, and
Consumption in an Islamic Framework in
Syria”, dalam J. Pink (ed.), Muslim Societies in
the Age of Mass Consumption. (p. 225-240).
Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars.
[13] Macdonald, Dwight. 1998. “A Theory of Mass
Culture”, dalam J. Storey (ed.), Cultural
Theory and Popular Culture. (p. 22-36).
Athens: The University of Georgia Press.
[14] Muzakki, Akh. 2007. “Islam as Symbolic
Commodity: Transmitting and Consuming
Islam through Public Sermons in Indonesia”,
dalam P. Kitiarsa (ed.). Religious
Commodifications in Asia: Marketing Gods.
(p. 205-219). London: Routledge
[15] Pitana, I.G., dan Gayatri, Putu G. 2005.
Sosiologi Pariwisata, Kajian Sosiologis
Terhadap Struktur, Sistem dan Dampak-
dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.
[16] Reid, A. 1969. The Contest for North Sumatra,
Atjeh, the Netherlands and Britain 1858–1898.
Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
[17] Ricklefs, M.C. 1993. A History of Modern
Indonesia since C1300. London: Macmillan.
[18] Strinati, Dominic 2004. An Introduction to
Theories of Popular Culture. London:
Routledge.
[19] Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi.
Diterjemahkan oleh M. Zulfa Elizabeth.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
[20] Sugiarti, E., dan Purwadi, B. 2010. “Anak
Keluarga Korban Konflik Aceh: Collective
Memory Masyarakat Aceh”. Laporan Hibah
Penelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi
(Hibah Pekerti). Tahun Anggaran 2010.
Universitas Airlangga, Surabaya.

11
View publication stats

You might also like