You are on page 1of 25

PENGELOLAAN DAMPAK LIMBAH PEMOTONGAN AYAM

DAN DAMPAKNYA TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR


Dila Cahya Erlita C2B606020
Prof. Drs. H. Waridin, MS., Ph.d

ABSTRACT

In an effort to overcome the problem of wastedisposal, PT. Charoen


Pokphand Indonesia using engine technology for wastewater before discarded into
landfills, that is using a scrapper machin to separate the liquid waste with fat and
feathers in the process of separation, mixing machine or aeration systems, and
incinerator at incineration process.

This study aims to determine whether, after the use of engine technology for
wastewater at the PT. Charoen Pokphand Indonesia, still have an impact on the
surrounding community or not, and to know te environmental economic valuation
received by by the surrounding community.

Based on the survey conducted, it is known that there are negative impacts on
surronding community. From data obtained, 69 respondents (86,25%) expressed little
distrubed by the process of sewage treatment PT. Charoen Pokphand Indonesia,
while the remaining 11 respondents (13,75%) declared distrubed.

Of any interference received, the total cost incurred to overcome the


interference caused by sewage treatment process PT. Charoend Pokphand Indoesia is
Rp 5.360.000,00 per year, or Rp 67.000,00 per family per year ( Rp 5.360.000,00 : 80
respondents = Rp 67.000,00 ). Can be see the avarage cost incurred is no too big, it
allow the impact received by the public is not to large.
In addition to the negative impact of the socially acceptable, there is also a
positive impact from waste treatment processes that can be utilized by the
community that is in the form of solid waste that can be resold as feathers,
claws chicken, liver, as well as the presence of the sewage treatment process,
opening jobs for surrounding community by being a laborer to supplement their
income.
Of the total sales of waste chicken scratch, liver, and feathers,
both companies and communities alike benefit. Received by the company's total
sales amounted to Rp 39.150.000,00 per day, whereas people can buy the waste with
the cheap price and can be resold at higher prices.

Keywords: Salatiga, Slaughter House, Waste, Environmental, Economic Valuation


PENDAHULUAN

Industri pemotongan ayam di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan


perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha
yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk unggas luar negeri.
Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi lebih murah sehingga
dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia. Namun seiring kemajuan
teknologi yang meningkat dan berkembangnya kegiatan industri pemotongan ayam
akan membawa dampak positif dan dampak negatif baik bagi lingkungan maupun
manusia. Tumbuh pesatnya industri juga berarti makin banyak limbah yang
dikeluarkan dan mengakibatkan permasalahan yang kompleks bagi lingkungan
sekitar. Masalah pencemaran semakin menarik perhatian masyarakat, dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir ini, hal ini dapat kita lihat dengan semakin banyaknya
kasus-kasus pencemaran yang terungkap ke permukaan.
Masalah pencemaran semakin menarik perhatian masyarakat, dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dapat kita lihat dengan semakin banyaknya
kasus-kasus pencemaran yang terungkap ke permukaan. Perkembangan industri yang
demikian cepat merupakan salah satu penyebab turunnya kualitas lingkungan.
Penanganan masalah pencemaran menjadi sangat penting dilakukan dalam kaitannya
dengan pembangunan berwawasan lingkungan terutama harus diimbangi dengan
teknologi pengendalian pencemaran yang tepat guna (Haryono, 1997 dalam Miftah
Fatmasari, 2010).
Industri Pemotongan Ayam PT. Charoen Pokphand Indonesia di Kecamatan
Tingkir, Salatiga baru berdiri pada tahun 2007. Kegiatan produksi di industri tersebut
tentunya menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan sekitarnya. Limbah
tersebut terdiri dari limbah cair dan padat. Limbah cair tersebut antara lain air bekas
cucian ayam, darah ayam, dan sludge (endapan lemak). Sedangkan limbah padat
seperti : bangkai ayam, isi perut (hati, ampela, usus), bulu ayam, dan kotoran ayam.
Dengan adanya proses pemotongan sebanyak kurang lebih 18.000 ekor ayam per hari,
dapat dipastikan limbah yang dihasilkan sangat banyak dan dapat menggangu
lingkungan sekitar, baik terhadap air, udara, tanah, maupun penduduk sekitar.
Pada awal berdirinya PT. Charoen Pokphand Indonesia di tahun 2007, pabrik
tersebut belum menggunakan teknologi mesin-mesin untuk pengolahan limbahnya,
sehingga dampak pencemaran yang ditimbulkan cukup besar. Oleh karena itu, PT.
Charoen Pokphand Indonesia berupaya untuk mengatasi masalah pembungan limbah
tersebut dengan menggunakan teknologi mesin untuk mengolah limbah sebelum
dibuang menuju tempat pembuangan akhir.
Namun dengan adanya penggunaan teknologi tersebut, perusahaan
mengeluarkan biaya yang cukup besar pula, serta belum dapat dipastikan apakah
dampak pencemarannya dapat berkurang atau tidak.
Dari penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pabrik pemotongan
ayam tersebut masih mempunyai beberapa permasalahan yang harus dipecahkan.
Antara lain masalah besarnya biaya yang digunakan untuk pengelolaan limbah, serta
dampak terhadap masyarakat sekitar. Hal tersebut memotivasi penulis untuk
melakukan penelitian lebih lanjut agar dapat mengetahui bagaimana proses
pengelolaan limbah tersebut serta memastikan perubahan dampak yang terjadi
sesudah adanya penggunaan teknologi tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak apa saja
yang ditimbulkan terhadap masyarakat sekitar setelah adanya pengelolaan limbah
tersebut, mengetahui biaya apa saja yang dikeluarkan oleh perusahaan maupun
masyarakat, serta mengetahui dampak positif apa yang ada.

TINJAUAN PUSTAKA

Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi (economic values) dalam paradigma neoklasik dapat dilihat
dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan
(profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi
(economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen
(consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS),
(Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003, dalam Luky Adrianto, 2007).
Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen
bayar lebih besar dari yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang
atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak
dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu,
surplus produser (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar
dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya valuation
merujuk pada kontribusi sebuah komoditas untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang
pemain sepakbola dinilai tinggi apabila kontribusi pemain tersebut tinggi pula untuk
kemenangan tim-nya. Dalam konteks ekologi, sebuah gen dianggap bernilai tinggi
apabila mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari individu yang memiliki
gen tersebut. Singkat kata, nilai sebuah komoditas tergantung dari tujuan spesifik dari
nilai itu sendiri.
Dalam pandangan neoklasik, nilai sebuah komoditas terkait dengan tujuan
maksimisasi utilitas/kesejahteraan individu. Dengan demikian apabila ada tujuan lain,
maka ada “nilai” yang lain pula. Berbeda dengan pandangan neoklasik, dalam
pandangan ecological economics, tujuan economic valuation tidak semata terkait
dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan
keberlanjutan dan keadilan distribusi (Constanza dan Folke, 1997). Bishop (1997)
pun menyatakan bahwa economic valuation berbasis pada kesejahteraan individu
semata tidak menjamin tercapainya tujuan keberlanjutan dan keadilan distribusi
tersebut. Dalam konteks ini, kemudian Constanza (2001) menyatakan bahwa perlu
ada ketiga nilai tersebut yang berasal dari tiga tujuan dari penilaian itu sendiri, yaitu
tujuan efisiensi, keadilan dan keberlanjutan.
Selanjutnya dikatakan bahwa Ilmu Ekonomi Lingkungan menerangkan bahwa
kerusakan lingkungan merupakan masalah ekternalitas yang akan mengarah pada
kegagalan pasar, karena tidak memungkinkan untuk membeli atau menjual aset
lingkungan dalam pasar karena tidak adanya harga pasar, sehingga barang dan jasa
lingkungan tidak diperdagangkan dalam pasar. Dengan demikian produser dan
konsumer mengesampingkan masalah lingkungan dalam membuat keputusannya.
Pengenyampingan aset lingkungan ini dalam keputusan mereka menyebabkan
terjadinya penggunaan sumberdaya lingkungan yang tidak efisien, sehingga
menimbulkan kerusakan. Untuk mengatasi tidak adanya nilai ini maka perlu adanya
valuasi melalui pemberian nilai moneter (monetizing), sehingga memiliki basis dalam
membandingkan antara perlindungan dan pemanfaatan lingkungan (Arianto A.
Patunru, LPM FEUI, 2004).

Teori Valuasi Ekonomi


Valuasi ekonomi adalah penjumlahan dari preferensi individu dalam
keinginannya untuk membayar (willingness to pay) dalam mengkonsumsi lingkungan
yang baik. Dengan demikian valuasi ekonomi adalah alat untuk mengukur keinginan
masyarakat untuk lingkungan yang baik melawan lingkungan yang buruk.
Apa yang dinilai dalam lingkungan terdiri dari dua kategori yang berbeda, yakni:
1. Nilai preferensi masyarakat terhadap perubahan lingkungan, sehingga
masyarakat memiliki preferensinya dalam tingkat risiko yang dihadapi dalam
hidupnya, sehingga memunculkan keinginan untuk membayar willingnes to pay
(WTP) agar lingkungan tidak terus memburuk. Hal ini termasuk dalam kategori
valuasi ekonomi (economic valuation), yang sering dinyatakan dalam kurva
permintaan (demand curve) terhadap lingkungan.
2. Sumberdaya alam dan lingkungan sebagai asset kehidupan memiliki nilai
intrinsic. Hal ini merupakan bentuk dari nilai ekonomi secara intrinsic (intrinsic
values) dari eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan (Rosalia Ena dalam
Achmad Fahrudin, 2009).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai ekonomi suatu komoditas (good)
atau jasa (service) lebih diartikan sebagai ”berapa yang harus dibayar” dibanding
”berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”.
Dengan demikian, apabila lingkungan dan sumberdayanya eksis serta menyediakan
barang dan jasa bagi manusia, maka ”kemampuan membayar” (willingness to pay)
merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa mempermasalahkan apakah
manusia secara nyata melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak.
Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh
pembeli untuk suatu produk dan kesediaan untuk membayar. Surplus konsumen
timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar
pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab munculnya surplus
konsumen karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir.
Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli
semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama (Samuelson dan Nordhaus,
1990). Pada pasar yang berfungsi dengan baik, harga pasar mencerminkan nilai
marginal, seperti unit terakhir produk yang diperdagangkan merefleksikan nilai dari
unit produk yang diperdagangkan (Pomeroy, 1992 dalam Djijono, 2002). Secara
sederhana surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva
permintaan dan garis harga (Samuelson dan Nordhaus, 1990).

Tujuan dari studi valuasi adalah untuk menentukan besarnya Total Economic
Value (TEV) pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Dimana nilai TEV,
merupakan jumlah dari Nilai Guna (Use Value), yaitu nilai yang diperoleh dari
pemakaian langsung atau yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan
yang dikaji atau diteliti. Nilai ini terdiri dari nilai yang berkaitan dengan kegiatan
komersial, subsistensi, leisure dan aktivitas lain yang bertautan dengan sumberdaya
alam yang ditelaah. Sedangkan Nilai Guna Tak Langsung (In Direct Use Value),
berkaitan dengan perlindungan atau dukungan terhadap kegiatan ekonomis dan harta
benda yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam dan Nilai Pilihan (Option Use
Value) nilai guna dari sumberdaya alam dan lingkungan di masa mendatang. Untuk
Nilai Guna Tak Langsung (In Direct Use Value) yaitu nilai-nilai yang tidak ada
kaitan langsung dengan kemungkinan pemakaian sumberdaya alam dan lingkungan
itu, biasanya berupa Existence Value dan Bequest Value yang merupakan total dari
Nilai Keberadaan (Existence Value) yaitu nilai yang diberikan (secara semata-mata)
karena keberadaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan, ditambah Nilai Pewarisan
(Bequest Value) yaitu nilai yang diberikan kepada anak cucu agar dapat diwariskan
suatu sumberdaya alam dan lingkungan tersebut (Diana Igunawati, 2010).
Untuk menyatakan bagaimana kelanjutan sumberdaya alam dan
lingkungannya dihitung, dikenal 2 (dua) konsep. Pertama, yaitu konsep strong
sustainability dan kedua, konsep weak sustainability. Parce & Babier (2000) dalam
A. Tutut (2004) menyatakan bahwa jika sumbrdaya capital (modal) dapat dibagi
menjadi capital sumberdaya alam dan lingkungan (KN, natural capital), capital fisik
(KP, physical capital), dan capital sumber daya manusia (KH, human capital). Maka
konsep Weak sustainability menganggap bahwa semua jenis (KN, natural capital),
dapat digantikan dengan jenis kapital lainnya (KP maupun KH). Dengan pendekatan
lain, konsep Weak sustainability beranggapan bahwa kapital sumberdaya alam dan
lingkungan tidak begitu esensial untuk dipertahankan keberadaannya, sepanjang
dapat digantikan dengan jenis kapital-kapital lainnya.
Sebaliknya, konsep strong sustainability beranggapan bahwa ada beberapa
kapital sumberdaya alam dan lingkungan (KN) yang tidak boleh berkurang. Alasan
yang mendasarinya adalah bahwa kapital fisik (KP) dan kapital manusia (KH) tidak
sepenuhnya dapat menggantikan peran kapital sumberdaya alam (imperfect
substitution). Dimana hilangnya suatu kapital sumberdaya alam dan lingkungan dapat
bersifat tidak terpulihkan (irreversible). San yang kemudian sangatlah sulit
menentukan besarnya nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang punah atau hilang.
Valuasi ekonomi merupakan suatu cara untuk memberikan nilai kuantitatif
terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan terlepas
dari apakah nilai pasar (market value) tersedia atau tidak.
Walaupun manfaat lingkungan sering tidak dapat dihitung dan tidak dapat
dinilai dengan harga, nilai yang sesungguhnya dari penggunaan barang secara
kolektif bisa lebih besar karena keunikannya, sehingga jika digunakan secara
berlebihan dapat menyebabkan kepunahan.

Analisis Manfaat dan Biaya


Manfaat merupakan nilai barang dan jasa bagi konsumen, sedangkan biaya
merupakan manfaat yang yang tidak diambil, atau lepas dan hilang (opportunity cost).
Biaya pencegahan polusi adalah biaya yang dikeluarkan baik oleh perusahaan,
perorangan dan/atau pemerintah untuk mencegah sebagian atau keseluruhan polusi
sebagai akibat kegiatan produksi.
Biaya polusi dibagi kedalam (a) biaya yang digunakan pemerintah atau swasta
untuk menghindari kerusakan akibat polusi, dan (b) kerusakan kesejahteraan
masyarakat sebagai akibat polusi. Apabila analisis tersebut diterapkan pada masalah
lingkungan, khususnya usaha menanggulangi pencemaran lingkungan, maka analisis
manfaat dan biaya merupakan penilaian sistematis terhadap keuntungan serta
kerugian segala perubahan dalam produksi dan konsumsi masyarakat
(Reksohadiprojo, 2000).

Teori Biaya
Dalam ilmu ekonomi biaya diartikan sebagai semua pengorbanan yang perlu
untuk suatu proses produksi, dinyatakan dalam uang menurut pasar yang berlaku.
Besarnya biaya produksi yang dihasilkan : dengan menambah jumlah barang yang
dihasilkan, biaya produksi akan ikut bertambah (T.Gilarso, 2003).
Biaya terdiri atas :
a. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya yang jumlahnya secara keseluruhan tetap, tidak berubah, jika ada
perubahan dalam besar kecilnya jumlah produk yang dihasilkan (sampai batas
tertentu), misalnya sewa tanah atau bangunan, penyusutan bangunan dan lain-
lain.
b. Biaya Variabel (Variable Cost)
Biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan (tergantung dari) besar
kecilnya jumlah produksi. Misalnya biaya bahan-bahan, upah buruh harian.
c. Biaya Total (Total Cost)
Jumlah biaya tetap dan biaya variabel : TC = FC + VC
d. Biaya Sosial (Social Cost)
Pentingnya mengukur biaya secara akurat sering diabaikan dalam analisis
manfaat dan biaya. Hasil suatu analisis menjadi kurang baik akibat
memperkirakan biaya yang terlalu besar atau memperkirakan manfaat yang
terlalu rendah.

Dampak Limbah Pemotongan Ayam


Dalam proses produksi Rumah Pemotongan Ayam dihasilkan limbah cair
yang berasal dari darah ayam, proses pencelupan, pencucian ayam dan peralatan
produksi. Limbah cair mengandung (Biological Oxygen Demand) BOD, (Chemical
Oxyge Demand) COD, (Total Suspended Solid) TSS, minyak dan lemak yang tinggi,
dengan komposisi berupa zat organik. Pembuangan air limbah (Efluen) yang
mengandung nutrien yang tinggi ke perairan akan menimbulkan eutrofikasi dan
mengancam ekosistem aquatik. Untuk mencegah hal itu maka diperlukan cara agar
komposisi padatan organik tersuspensi dapat dikurangi. (Moses Laksono, 2010).

Pengelolaan Limbah
Opsi dari manajemen penanganan limbah yang dapat dilaksanakan di industri
pangan antara lain adalah :
1. Pencegahan terbentuknya limbah yang berlimpah dengan cara
mempraktekkan teknologi proses yang lebih efisien
2. Pelaksanaan proses daur ulang limbah yang dihasilkan atau memanfaatkan
limbah sebagai bahan baku industri lainnya, dan
3. Perbaikan kualitas limbah yang dihasilkan melalui proses pengolahan
limbah yang sistematis (Winiati P. Rahayu, 2008).

METODE PENELITIAN

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah jenis kelamin responden, usia
responden, pendidikan yang ditamatkan oleh responden, pendapatan rata-rata per bulan yang
diperoleh responden, limbah asap yang muncul akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen
Pokphand Indonesia, variabel limbah air pencemaran air yang muncul akibat proses
pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, variabel gangguan bau yang muncul
akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, variabel gangguan suara
mesin yang muncul akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia, serta
variabel biaya yang dikeluarkan masyarakat akibat adanya proses pengolahan limbah.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang diambil adalah pada PT. Charoen Pokphand Indonesia.
Tepatnya di Jalan Patimura No.1, Desa Dukuh Canden, Kelurahan Kutowinangun,
Kecamatan Tingkir, Salatiga Jawa Tengah.
dalam penelitian ini populasinya adalah penduduk yang ditentukan dari suatu desa yang
paling dekat dengan PT. Charoen Pokphand Indonesia, yaitu Desa Dukuh Canden,
Kecamatan Tingkir, Salatiga yang berjumlah 405 kepala keluarga.

Populasi dan Sampel


Dalam penelitian ini populasinya adalah penduduk yang ditentukan dari suatu desa
yang paling dekat dengan PT. Charoen Pokphand Indonesia, yaitu Desa Dukuh Canden,
Kecamatan Tingkir, Salatiga yang berjumlah 405 kepala keluarga.
Penetapan besar kecilnya sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan rumus menurut pendapat slovin (Sudikin dan Mundir, 2005), dan dari
perhitungan 405 kepala keluarga, menghasilkan sampel sebesar 80 responden.

405
n=
1 + (405) (0,1)²

405
n=
5,05

n= 80,19

n= 80

Keterangan :

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = prosentase kelonggaran ketidaktelitian, dalam hal ini 10 persen karena kesalahan sampel
masih dapat ditolerir.

Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari
sumber aslinya tanpa melalui perantara.
2. Data sekunder merupakan data penelitian yang diperolah peneliti secara tidak
lansung. Data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan seperti buku-buku
literatur, buku diktat, dan jurnal-jurnal dari berbagai sumber yang terkait dengan
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Objek Penelitian


Keadaan Umum Kota Salatiga
Kota Salatiga terletak antara 1100.27'.56,81" - 1100.32'.4,64" Bujur Timur,
dan 0070.17'. - 0070.17'.23" Lintang Selatan. Kota Salatiga di kelilingi wilayah
Kabupaten Semarang, secara administrative Kota Salatiga terbagi menjadi 4
kecamatan dan 22 Kelurahan. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2006 tercatat
sebesar 5.678,110 hektar atau 56.781 km². Luas yang ada terdiri dari 802,297 hektar
(14,13%) lahan sawah dan 4.875,813 hektar atau 48.758 km² (85,87%) bukan lahan
sawah.

Keadaan Umum PT. Charoen Pokphand Indonesia


PT. Charoen Pokphand Indonesia adalah industri yang berdiri pada bulan
September tahun 2007 diatas lahan seluas ± 46.459 m2 dan bergerak dalam usaha
rumah potong ayam. Pada awal berdirinya, nama perusahaan tersebut adalah PT
Primafood International, kemudian pada bulan januari 2008 berganti nama menjadi
PT. Charoen Pokphand Indonesia.
PT. Charoend Pokphand Indonesia terletak di Kelurahan Kutowinangun,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Produk yang dihasilkan
PT. Charoend Pokphand Indonesia adalah ayam potong dengan kapasitas produksi ±
18.000 ekor ayam per hari atau 1.296 ton per hari.
Gambaran Umum Responden
Profil Sosial Demografi Frekuensi Persen
Responden
1. Jenis Kelamin
Pria 72 90.0
Wanita 8 10.0
Jumlah 80 100.00
2. Usia
25-30 th 0 0.0
31-35 th 21 26.25
36-40 th 58 72.5
41-45 th 1 1.25
> 45 th 0 0.0
Jumlah 80 100.0
3. Pendidikaan
SD 15 18.75
SLTP 15 18.75
SLTA 39 48.75
Sarjana 11 13.75
Jumlah 80 100

4. Pendapatan (rupiah)
< 499.999 2 2.5
500.000-999.999 26 32.5
1.000.000-1.499.999 16 20.0
1.500.000-1.999.999 22 27.5
2.000.000-2.499.999 3 3.75
>2.500.000 11 13.75
Jumlah 80 100.0
5. Pekerjaan
Buruh tani 8 10.0
Petani 21 26.25
Pedagang 26 32.50
PNS 8 10.0
Buruh Industri 17 21.25
Jumlah 80 100.0
6. Lama Tinggal
< 1 tahun 0 0.0
1-2 tahun 11 13.75
3-5 tahun 24 30.0
> 5 tahun 45 56.25
Jumlah 80 100.0
Analisis Data
Proses Separasi
Proses separasi adalah proses dimana sebelum limbah cair bekas cucian ayam
diolah, limbah cair tersebut dipisahkan terlebih dahulu antara cairan dan padatan
seperti bulu-bulu halus dan lemak. Agar padatan kecil terpisah dari larutan, air bekas
cucian diaduk dengan mesin yang memompa udara, sehingga menghasilkan
gelembung-gelembung.
Setelah air diaduk dengan gelembung, maka lemak dan padatan kecil akan
naik, dan padatan tersebut disebut dengan sludge. Kemudian limbah masuk kedalam
mesin scrapper, yaitu mesin pemisah sludge dengan cairan. Setelah sludge terpisah,
sludge dan darah ditampung di tanki penampungan sementara, kemudian sludge dan
darah di sedot ke dalam mobil tanki limbah berijin dan dibuang di IPLT, Tambak
Lorok, Semarang.

Sistem Aerasi
Setelah melalui proses separasi, dimana cairan telah dipisahkan dari sludge
dan darah, selanjutnya air masuk kedalam kolam yang dibuat di lahan kosong dekat
pabrik, dan telah dipasang alat pengaduk dan disebut sebagai kolam aerasi. Air yang
telah masuk dalam kolam aerasi diberi bakteri pengurai kemudian diaduk dengan
mesin pengaduk selama kurang lebih lima belas menit, hal tersebut dilakukan agar
bakteri tesebar merata ke dalam air. Setelah proses pengadukan selesai, air di alirkan
ke kolam pengendapan, lalu di uji dan di analisa setiap bulan di laboraturium. Apabila
lolos uji, air tersebut dibuang dengan cara dialirkan ke tanah.
Proses Insenerasi
Selain limbah cair berupa darah dan air bekas cucian ayam, terdapat pula
limbah padat seperti bangkai ayam, bulu, dan kotoran ayam. Untuk limbah bulu dapat
langsung dijual ke masyarakat yang memanfaatkannya sebagai bahan untuk
kemoceng, dan kerajinan lainnya. Sedangkan kotoran ayam, biasanya dimanfaatkan
oleh petani sekitar sebagai campuran pupuk. Namun limbah padat seperti bangkai
ayam tentunya tidak dapat dimanfaatkan kembali dan harus dibuang. Untuk
membuang bangkai ayam, pertama-tama bangkai ayam di letakkan pada tempat
penampungan sementara, kemudian di bakar dengan mesin insenerator. Selama
proses pembakaran, asap yang ada di dalam dibakar dengan api dan gas elpigi yang
dialirkan melalui selang, dengan tujuan agar asap yang keluar bersih. Namun hal ini
belum sepenuhnya berhasil karena dalam survey yang dilakukan, masih ada keluhan
dari msyarakat sekitar yang terganggu denga asap dari proses insenerasi ini.

Biaya Pengolahan Limbah


Dalam proses pengolahan limbah, pabrik pemotongan ayam mengeluarkan
biaya tambahan seperti biaya gas elpigi untuk proses insenerasi dan biaya
pengangkutan limbah cair ke tempat pembuangan akhir
Pada tabel 4.3 berikut dapat dilihat berapa banyak penggunaan gas elpigi
pada tahun 2009 dan 2010 :
Tabel 4.3
Jumlah Penggunaan Gas Elpigi Tahun 2009 – 2010

Bulan Jumlah (tabung 12kg)


2009 2010
Januari 30 46
Februari 31 39
Maret 28 31
April 30 38
Mei 42 25
Juni 25 25
Juli 20 28
Agustus 18 18
September 22 22
Oktober 35 15
November 45 16
Desember 38 22
Jumlah 364 325

Sumber : PT. Charoen Pokphand Indonesia

Dari data yang diperoleh, penggunaan gas elpigi yaitu sebesar 364 tabung (12
kg) elpigi pada tahun 2009 dan 325 tabung (12 kg) pada tahun 2010. Dengan
demikian dapat dihitung jumlah rata-rata penggunaan gas elpigi per tahun adalah
sebanyak 345 ( (364 + 325) : 2 = 344,5 = 345 ) tabung gas elpigi 12kg.
Melihat harga pasaran gas elpigi 12 kg saat ini sebesar Rp 77.000,00 maka
dapat disimpulkan bahwa rata-rata perusahaan mengeluarkan biaya tambhan untuk
gas elpigi sebesar Rp 26.565.000,00 per tahun (345 x Rp 77.000,00 = Rp
26.565.000,00).
Selain biaya gas elpigi, perusahaan jg mengeluarkan biaya tambahan untuk
membuang limbah cair berupa sludge dan darah ke instalasi pembuangan limbah
Tambak Lorok, Semarang dengan menggunakan mobil tanki limbah berijin. Biaya
pembuangan limbah adalah sebesar Rp 512.000 / rit, dan rata-rata pembuangan
limbah per hari sebanyak 2 rit.
Dengan demikian dapat diketahui biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
pembuangan limbah cair adalah sebesar Rp 30.720.000,00 per bulan ( (2 x Rp
512.000,00) x 30 = Rp 30.720.000,00 ) atau sebesar Rp 368.640.000,00 per tahun (Rp
30.720.000,00 x 12 = Rp 368.640.000,00).

Persentase Gangguan Berdasarkan Jenis Gangguan


Dalam proses pengolahan limbah, terdapat empat gangguan yang berdampak
terhadap masyarakat sekitar, yaitu gangguan asap, gangguan pencemaran air,
gangguan baud an gangguan suara. Berdasarkan hasil survey yang diperoleh,
persentase gangguan terhadap masyarakat berdasarkan jenis gangguan adalah :
1. Gangguan Asap
Diketahui bahwa 30 responden (37,5%) menyatakan asap dari proses
pengolahan limbah tidak mengganggu, 42 responden (52,5%) menyatakan
sedikit mengganggu, dan 8 responden (10%) menyatakan mengganggu.
2. Gangguan Pencemaran Air
Diketahui bahwa 32 responden (40%) menyatakan air dari proses
pengolahan limbah tidak mencemari air yang digunakan oleh responden, 35
responden (43,75%) menyatakan sedikit mencemari, dan 13 responden
(16,25%) menyatakan mencemari.
3. Gangguan Bau
Diketahui bahwa 35 responden (43,75%) menyatakan tidak terganggu
oleh bau dari proses pengolahan limbah, 44 responden (55%) menyatakan
sedikit tergganggu, dan hanya 1 responden (1,25%) menyatakan terganggu.
4. Gangguan Suara
Diketahui bahwa 42 responden (52,5%) menyatakan suara dari mesin
pengolahan limbah tidak mengganggu, 37 responden (46,25%) menyatakan
sedikit mengganggu, dan 1 responden (1,25%) menyatakan mengganggu.
Gangguan Kesehatan Akibat Asap
Dengan adanya asap dari proses pengolahan limbah, terdapat gangguan
kesehatan yang berdampak kepada masyarakat. Berdasarkan gambar 4.6 dapat
dikethui bahwa 11 responden (13,75%) menderita sesak nafas akibat asap pengolahan
limbah, 23 responden (28,75%) menderita batuk, sedangkan 46 responden (57,5%)
tidak mengalami gangguan kesehatan akibat asap pengolahan limbah.

Gangguan Akibat Pencemaran Air


Dengan adanya pembuangan air dari proses pengolahan limbah, terdapat
gangguan yang berdampak kepada masyarakat. Berdasarkan gambar 4.7 dapat
dikethui bahwa 18 responden (22,5%) menderitagatal-gatal akibat air yang tercemar,
15 responden (18,75%) menderita penyakit kulit, 14 responden (17,5%) mengalami
gangguan tanaman rusak akibat pencemaran air, dan 33 responden (41,25%) tidak
mengalami gangguan akibat pencemaran air.

Dampak Positif Proses Pengolahan Limbah


Selain dampak negatif, ada pula dampak positif yang muncul dengan adanya
proses pengolahan limbah yaitu menyediakan lapangan pekerjaan dan limbah yang
dapat dimanfaatkn. Berdasarkan gambar 4.8 dapat dikethui bahwa 10 responden
(12,5%) memperoleh keuntungan dengan menjadi buruh kasar, 43 responden
(53,75%) memanfaatkan limbah, dan 27 responden (33.75%) tidak memanfaatkan
dampak positif yang ada.

Pemanfaatan Limbah
Dalam proses pengolahan limbah pemotongan ayam, terdapat limbah yang
masih dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar. Berdasarkan gambar 4.9 dapat
dikethui bahwa 14 responden (17,5%) memanfaatkan limbah berupa hati ampela, 15
responden (18,75%) memanfaatkan limbah cakar ayam, 14 responden (17,5%)
memanfaatkan limbah bulu ayam, dan 37 responden (46,25%) tidak memanfaatkan
limbah yang ada.
Biaya yang Dikeluarkan Masyarakat
Gambar 4.10
Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Masyarakat per Tahun
Rp1,600,000.00 Akibat Gangguan Asap
Rp1,400,000.00 Rp1,340,000.00

Rp1,200,000.00

Rp1,000,000.00 Rp890,000.00

Rp800,000.00

Rp600,000.00

Rp400,000.00

Rp200,000.00

Rp0.00
Ba tuk Sesa k Na fa s

Ga nggua n Asa p

Berdasarkan gambar 4.10, dapat dilihat bahwa dari 34 responden yang terkena gangguan asap
akibat proses pengolahan limbah PT. Charoend Pokphand Indonesia, dalam mengatasi
gangguan tersebut, masyarakat mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.230.000,00 per tahun, atau
rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 65.600,00 (Rp 2.230.000,00 : 34 = Rp
65.588,00 = Rp 65.600,00).
Sedangkan untuk biaya akibat gangguan pencemaran air, dapat dilihat pada gambar
4.11 berikut :
Gambar 4.11
Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Masyarakat per Tahun
Akibat Gangguan Pencemaran Air
Rp1,400,000.00
Rp1,240,000.00
Rp1,200,000.00
Rp1,040,000.00
Rp1,000,000.00
Rp850,000.00
Rp800,000.00

Rp600,000.00

Rp400,000.00

Rp200,000.00

Rp-
Tanaman rusak Gatal-gatal Penyakit kulit

Gangguan Pencemaran Air


Berdasarkan gambar 4.11 tersebut, dapat dilihat bahwa dari 46 responden yang
terkena gangguan pencemaran air akibat proses pengolahan limbah PT. Charoend Pokphand
Indonesia, dalam mengatasi gangguan tersebut, masyarakat mengeluarkan biaya sebesar Rp
3.130.000,00 per tahun, atau rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 68.000,00
(Rp 3.130.000,00 : 46 = Rp 68.043,00 = Rp 68.000,00).

Interpretasi Hasil
Valuasi Ekonomi Lingkungan
Dari semua gangguan yang diterima oleh 80 responden, biaya total yang dikeluarkan
untuk mengatasi gangguan akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand
Indonesia adalah sebesar Rp 5.360.000,00 per tahun, atau sebesar Rp 67.000,00 per kepala
keluarga per tahun (Rp 5.360.000,00 : 80 responden = Rp 67.000,00).
Selain biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat, masyarakat sekitar juga memperoleh
manfaat dari adanya proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indoensia, yaitu
dengan memanfaatkan limbah yang ada untuk dijual kembali seperti cakar ayam, hati dan
ampela, bulu, serta menjadi buruh kasar pada proses pengolahan limbah, yang dapat
menambah pendapatan masyarakat tersebut.

1. Limbah Cakar Ayam


Limbah cakar ayam yang dihasilkan adalah kurang lebih 2.000 kg per hari.
Perusahaan menjual cakar ayam tersebut kepada masyarakat sekitar dengan harga yang cukup
murah, sehingga dapat dijual kembali. Sebagian besar masyarakat yang membeli adalah
pedagang lokal yang bertempat tinggal di Desa Dukuh Canden.
Limbah cakar dikemas dalam kemasan pack 5 kg, dengan harga Rp 30.000,00 per pack.
Dalam sehari perusahaan menjual kurang lebih 400 pack cakar ayam, sehingga dapat
diperoleh keuntungan sebesar Rp 12.000.000,00. Sedangkan pedagang lokal yang membeli
dengan harga murah, dapat memperoleh keuntungan dengan menjual kembali cakar ayam
tersebut setelah menaikkan harganya.
2. Limbah Hati dan Ampela
Limbah hati dan ampela ayam yang dihasilkan tiap harinya kurang lebih sebanyak
3.750 kg per hari. Sama hal nya dengan limbah cakar ayam, hati dan ampela juga dijual
kepada pedagang lokal sekitar dengan harga Rp 25.000,00 per pack (5 kg). Dalam satu hari
perusahaan menjual kurang lebih 750 pack hati dan ampela, dan memperoleh keuntungan
sebesar Rp 18.750.000,00 per hari. Pedagang yang membeli pun juga memperoleh
keuntungan dengan menjual kembali hati dan ampela tersebut.

3. Limbah Bulu Ayam


Selain limbah cakar ayam dan hati ampela, limbah padat lain yang dihasilkan adalah
limbah bulu ayam. Limbah bulu ayam yang telah dipisahkan dari proses pencabutan dan
pencucian ayam dihasilkan sebanyak kurang lebih 8.400 kg per hari. Limbah bulu tersebut
dijual pada masyarakat sekitar maupun diluar lokasi. Biasanya limbah bulu tersebut dijadikan
bahan untuk membuat kemoceng. Perusahaan menjual limbah bulu tersebut dengan harga Rp
25.000,00 per karung (25 kg). dalam sehari perusahaan menjual kurang lebih sebanyak 336
karung bulu ayam, dan memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.400.000,00.

KESIMPULAN, KETERBATAAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dalam upaya mengatasi masalah pembuangan limbah, PT. Charoen Pokphand
Indonesia menggunakan teknologi mesin untuk mengolah limbah sebelum dibuang
ke tempat pembuangan akhir, yaitu dengan menggunakan mesin scrapper untuk
memisahkan limbah cair dengan lemak dan bulu pada proses separasi, mesin
pengaduk pada sistem aerasi, dan insenerator pada proses insenerasi.
2. Pada proses pengplahan limbah, PT. Charoen Pokphand Indonesia mengeluarkan
biaya tambahan untuk mengangkut limbah cair berupa sludge dan darah menuju
instalasi pembuangan limbah Tambak Lorok Semarang dengan biaya sebesar Rp
512.000,00 / rit, dan rata-rata pembuangan limbah per hari sebanyak 2 rit, sehingga
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembuangan limbah cair adalah sebesar Rp
30.720.000,00 per bulan ( (2 x Rp 512.000,00) x 30 = Rp 30.720.000,00 ) atau
sebesar Rp 368.640.000,00 per tahun (Rp 30.720.000,00 x 12 = Rp 368.640.000,00).

3. Selain biaya pengangkutan limbah, perusahaan juga mengeluarkan biaya pembelian


gas elpigi untuk proses insenerasi dimana rata-rata per tahun penggunaan elpigi
adalah sebanyak 345 tabung gas elpigi 12 kg, sehingga rata-rata perusahaan
mengeluarkan biaya tambhan untuk gas elpigi sebesar Rp 26.565.000,00 per tahun
(345 x Rp 77.000,00 = Rp 26.565.000,00).
4. Dapat diketahui bahwa dengan adanya prosespengolahan limbah PT.
Charoend Pokphand Indoensia tersebut, masih menimbulkan dampak negatif
terhadap masyarakat sekitar. Dari data yang diperoleh, 69 responden (86,25%)
menyatakan sedikit terganggu dengan adanya proses pengolahan limbah PT.
Charoen Pokphand, sedangkan sisanya 11 responden (13,75%) menyatakan
terganggu.

5. Dari semua gangguan yang diterima, biaya total yang dikeluarkan untuk mengatasi
gangguan akibat proses pengolahan limbah PT. Charoen Pokphand Indonesia adalah
sebesar Rp 5.360.000,00 per tahun, atau sebesar Rp 67.000,00 per kepala keluarga
per tahun (Rp 5.360.000,00 : 80 responden = Rp 67.000,00). Dapat dilihat bahwa
biaya rata-rata yang dikeluarkan masyarakat tidak terlalu besar, hal tersebut
memungkinkan adanya dampak yang diterima masyarakat tidak terlalu besar.
6. Selain dampak negatif yang diterima masyarakat, ada pula dampak positif dari
proses pengolahan limbah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu berupa
limbah padat yang dapat dijual kembali seperti bulu, cakar ayam, hati dan ampela,
serta dengan adanya proses pengolahan limbah tersebut, membuka lapangan
pekerjaan bagi masyarakat sekitar dengan menjadi buruh kasar untuk menambah
pendapatan mereka.
7. Dari total penjualan limbah cakar ayam, hati ampela, dan bulu, baik perusahaan
maupun masyarakat sekitar sama-sama memperoleh keuntungan. Total penjualan
yang diterima perusahaan per hari adalah sebesar Rp 39.150.000,00 sedangkan
masyarakat dapat membeli limbah tersebut dengan harga yang murah dan dapat
dijual kembali dengan harga yang lebih mahal.
5.2 Keterbatasan
1. Pada penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sebagian besar gangguan yang
diterima masyarakat sekitar berasal dari gangguan asap dan pencemaran air seperti
batuk, sesak nafas, gatal-gatal dan tanaman rusak. Tidak menutup kemungkinan
masih terdapat gangguan lain yang diterima oleh masyarakat sekitar selain dari kedua
gangguan tersebut, dimana dalam penelitian ini belum terdapat informasi lebih lanjut
mengenai gangguan lain yang ada.
2. Pada penelitian ini telah dijelaskan beberapa limbah padat yang dapat diolah kembali
seperti cakar ayam, bulu, hati dan ampela. Dalam proses pengolahan limbah, masih
terdapat beberapa limbah padat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar,
dimana belum dijelaskan pada penelitian ini.
5.3 Saran
1. Dalam upaya mengatasi dampak limbah, PT. Charoen Pokphand Indonesia
menggunakan teknologi untuk memproses limbah terlebih dahulu sebelum dibuang,
hal tersebut sudah berjalan dengan baik dan dampak yang ditimbulkan berkurang,
namun melihat bahwa masih ada dampak yang ditimbulkan dari proses pengolahan
limbah tersebut, baiknya perusahaan lebih memperhatikan kembali proses
pengolahan limbah yang dilakukan agar kedepannya benar-benar tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap masyarakat sekitar.
2. Dengan adanya proses pengolahan limbah ini, perusahaan mengeluarkan biaya
tambahan yang cukup tinggi, maka untuk mengatasi masalah ini disarankan untuk
perusahaan agar lebih meningkatkan kualitas produksinya serta memanfaatkan
penjualan limbah dari proses pengolahan limbah tersebut.
3. Untuk peneliti selanjutnya, hendaknya dapat menggali informasi lebih banyak
mengenai dampak negatif dan positif lainnya yang diterima masyarakat, serta upaya-
upaya apa yang telah dilakukan perusahaan untuk mengatasi dampak yang masih
muncul setelah adanya proses pengolahan limbah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fahrudin.2009. “Menuju Kesamaan Standard dan Sistem Penilaian Ekonomi


Sumberdaya Tanah dan Aset Pertanahan Untuk Kepentingan Rakyat, Bangsa, dan
Negara”. Makalah Tidak Dipublikasikan

Akhmad Fauzi. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi).
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Arianto A. Patunru. 2004. “Valuasi Ekonomi : Umum”. Jakarta : LPEM-FEUI

Arifin dan Bustanul. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Jakarta : Erlangga

Badan Pusat Statistik. Jawa Tengah Dalam Angka berbagai edisi : Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Tengah

Diana Igunawati. 2010. “Analisis Permintaan Objek Wisata Tirta Waduk Cacaban,
Kabupaten Tegal”. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Diponegoro Semarang

Djijono. 2002. “Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di
Taman Wisata Wan AbdulRahman, Propinsi Lampung”. Makalah Pengantar Falsafah
Sains (PPS702).

Gilarso, T. 2003. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Gujarati Damodar. 2003. Basic Econometrics. New York : Mc Graw Hill

Heston dan Hermawan. “Valuasi Ekonomi Akibat Kerusakan Jalan Nasional di Pantai
Utara Jawa”

Imam Ghozali. 2005. Aplikasi Analisis Multivariete Dengan Program SPSS. Semarang :
Universitas Diponegoro

Iwan Berri Prima. 2002. “RPA Sebagai Bagian dari Kesmavet” . Jakarta : Majalah Poultry
Indonesia

Jamartin Sihite. 2005. “Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan : Studi Kasus di
Sub-Das Besai – Das Tulang Bawang, Lampung”. Jakarta : Universitas Trisakti

J. Supranto. 2000. Teknik Sampling untuk survey dan Eksperimen. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Juniadi dan Hatmanto. 2006. “Analisis Teknologi Pengolahan Limbah Cair Pada Industri
Tekstil (Studi kasus : PT. Iskandar Indah Printing Textile, Surakarta). Jurnal
Presipitasi. Vol. 1 No. 1
Lina Warlina. 2004. “Pencemaran Air : Sumber, Dampak, dan Penanggulangannya”.
Makalah Pribadi. Institut Pertanian Bogor

Luky Adrianto. 2007. “Konsepsi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Modul Pusat Kajian Sumberdaya pesisir, Institut Pertanian Bogor

Miftah Fatmasari. 2010. “Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Farmasi Formulasi”.
Tugas Akhir TIdak Dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor

Moses Laksono S. dan Mera Kariana. 2010. “Peningkatan Produktivitas dan Kinerja
Lingkungan dengan Pendekatan Green Productivity Pada Rumah Pemotongan Ayam”.
Jurnal Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

M. Zainal Abidin. 2010. “Pengertian dan Pengelompokan Limbah Lingkungan”. Personal


Site, http://www.masbied.com/2010/01/14/pengertian-dan-pengelompokkan-limbah-
lingkungan/

Nurimansjah Hasibuan. 1994. Ekonomi Industri Persaingan Monopoli dan Regulasi. Jakarta :
LP3ES

Nurtjahya, E. 2003. “Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk Mengurangi


Pencemaran Lingkungan”. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

Reksohadiprojo. 2000. Ekonomika Publik. Yogyakarta : BPFE

Salvatore, Domonick. 1993. Teori Mikroekonomi. Jakarta : Erlangga. Terjemahan : Rudy


Sitompul

Sevilla, Consuelo, Ochave. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press.


Terjemahan : Alimuddin Tuwu

Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta : PT. Pustaka
LP3ES, anggota IKAPI

Sjamsul Bahri. 2002. “Keamanan Pangan Asal Ternak : Suatu Tuntutan di Era Perdagangan
Bebas” WARTAZOA, Vol. 12, No.2

Sugiharto. 1987. Dasar-dasar pengelolaan air limbah. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Suparmoko, M dan Suparmoko, R. 2000. Ekonomika Lingkungan. Yogyakarta : BPFE

Winiati P. Rahayu. 2008. “Penanganan Limbah Industri Pangan”. http://www.


foodreview.biz/login/preview.php?view&id=33362

You might also like