You are on page 1of 38

PENILAIAN TINGKAT KERENTANAN SUMBER DAYA

AIR TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI DAS


AESESA, PULAU FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR
(Vulnerability Assessment of Water Resources to Climate Variability in
Aesesa Watershed, Flores Island, Nusa Tenggara Timur)

Eko Pujiono & Retno Setyowati


Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Jln. Untung Suropati No. 7 (Belakang)
P.O BOX 69 Kupang 85115 NTT, Indonesia
e-mail: ekopujiono78@gmail.com
Diterima 18 Desember 2014, direvisi 15 Juli 2015, disetujui 13 Agustus 2015

ABSTRACT
This study aimed to assess the level of vulnerability of water resources on the
climate variability of Aesesa Watershed, NTT Province. Vulnerability assessments using
IPCC concept, where the vulnerability as a function of exposure, sensitivity and adaptive
capacity. Criteria and indicators of those function were obtained from previous studies,
then given a score and weighting in accordance with the degree of importance, spatially
display and overlay, to produce vulnerability map. The results showed that the trend of
annual temperature in the upper watershed in recent years is decreased, while in the
middle and lower areas are increased. The annual precipitation showed an increasing
trend in the upper area, while in the middle and lower areas showed a declining trend.
Related to water resources, the river's stream flows are relatively stable in the last five
years. Water quality assessment in the river is categorized as lightly polluted in the
upstream and moderately polluted in the downstream. Based on vulnerability map, the
watershed is classified into highly vulnerable (54%), moderately vulnerable (13%) and
lowly vulnerable (33%). Such results could be useful for the Watershed Authority and
other stakeholders to establish strategies, plans and actions for addressing problems on
vulnerability of water resource.
Keywords: Vulnerability assessment, water resources, climate variability, watershed

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air
terhadap variabilitas iklim di DAS Aesesa Provinsi NTT. Penaksiran kerentanan
menggunakan konsep IPCC, dimana kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan,
sensitivitas dan kapasitas adaptif. Kriteria dan indikator keterpaparan,
sensitivitasdan kapasitas adaptif didapatkan dari kajian terdahulu. Kriteria dan
indikator kemudian diberikan skor dan bobot sesuai derajat kepentingannya dan
disajikan secara spasial serta dilakukan overlay untuk mendapatkan peta kerentanan.
Hasil menunjukkan bahwa tren suhu tahunan di hulu DAS dalam beberapa tahun
terakhir mengalami penurunan, sedangkan di bagian hilir mengalami kenaikan.
Sementara indikator curah hujan tahunan, di daerah hulu DAS menunjukkan tren
kenaikan, sedangkan di daerah tengah dan hilir tren menurun.Terkait dengan
kuantitas air, Sungai Aesesa, sungai utama di DAS Aesesa mempunyai debit yang
relatif sama selama lima tahun terakhir. Kualitas air di Sungai Aesesa dikategorikan
cemar ringan di hulu dan cemar sedang di hilir dalam beberapa tahun terakhir . Peta
kerentanan menunjukkan bahwa sekitar 54% wilayah DAS memiliki tingkat
kerentanan tinggi, 13% diklasifikasikan ke tingkat kerentanan sedang dan 33%
dikategorikan ke tingkat kerentanan rendah. Hasil kajian ini bisa bermanfaat bagi
pengelola DAS, atau pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun strategi,
rencana dan aksi dalam menanggulangi masalah kerentanan sumber daya air.
Kata kunci: penilaian kerentanan, sumber daya air, variabilitas iklim, DAS.
I. PENDAHULUAN
Kajian yang dilakukan oleh Faqih
(2011) menyatakan bahwa berdasarkan
analisis data suhu udara selama sekitar variabilitas iklim memperkirakan
40 tahun terakhir, suhu udara tahunan bahwa temperatur akan terus
o
rata-rata di Provinsi Nusa Tenggara meningkat antara 1,30 C sampai
Timur (NTT) cenderung naik sebesar dengan 4,60oC pada tahun 2100
dengan tren sebesar 0,10oC –0,40oC
0,200C. Skenario
per tahun (Intergovernmental Panel on
Climate Change-IPCC, 2007).
Peningkatan suhu ini akan diikuti oleh
peningkatan evapotranspirasi dan
memberikan efek langsung terhadap
keseimbangan

177
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
siklus hidrologi dan ketersediaan air 2000, tanah longsor di pulau Flores
(Gain et al., 2012; Swandayani, 2010; pada tahun 2006 (Sakeng, 2008;
The Energy and Resources Institute- Putro, 2007) dan terendamnya
TERI, 2009). Meningkatnya suhu beberapa desa di Kabupaten Malaka
global akan menyebabkan pada tahun 2013 sebagai akibat dari
intensifikasi siklus hidrologi, sehingga intensitas hujan yang tinggi di bulan
musim kering menjadi semakin kering Juni yang harusnya sudah memasuki
dan musim hujan menjadi semakin musim kemarau (Tempo, 2013;
basah, yang kemudian meningkatkan Kompas, 2013).
risiko terjadinya banjir dan Dalam rangka menambah dan
kekeringan (Water aid, 2007). melengkapi informasi terkait dampak
Secara umum wilayah NTT dan risiko bencana yang disebabkan
termasuk ke dalam kategori iklim oleh perubahan/variabilitas iklim dan
semiarid, dimana periode hujan hanya cuaca ekstrem, perlu dilakukan
berlangsung 3-4 bulan dan periode kajian kerentanan terhadap
kering 8-9 bulan (Badan Perencanaan variabilitas iklim. Penilaian
Pembangunan Daerah-Bappeda NTT, kerentanan
2009). Potensi hidrologi di wilayah
propinsi NTT, terutama air 178
permukaan, tergolong kecil. Disisi
lain, laju pertumbuhan penduduk NTT
sebesar 2% (pada periode 2000
-2010) mengindikasikan bahwa
permintaan akan air akan semakin
meningkat. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas)
dalam laporannya menyebutkan
bahwa bahwa neraca keseimbangan
air di region Nusa Tenggara
diklasifikasikan pada tingkat kritis
(Bappenas, 2010).
Dokumen Roadmap Perubahan
Iklim (Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap-ICCSR) sektor
sumber daya air yang disusun oleh
Bappenas menyatakan bahwa
terdapat beberapa risiko/ bahaya
pada sektor sumber daya air yang
disebabkan oleh variabilitas iklim,
yaitu: penurunan ketersediaan air
(PKA), banjir, kekeringan, tanah
longsor dan kenaikan permukaan laut
(Bappenas, 2010). Dokumen
Bappenas ini sejalan dengan fakta
yang terjadi di NTT, dimana pada
tahun 2012, Badan Ketahanan Pangan
NTT menyatakan bahwa, sebanyak
403 desa yang tersebar di 136
kecamatan di 11 kabupaten di NTT
dilanda kekeringan sehingga
terancam rawan pangan (Tempo,
2012; Kompas, 2012). Bencana
lainnya adalah banjir bandang di
Bena Kabupaten Belu pada tahun
dapat dimanfaatkan sebagai: (1) alat kerentanan sumber daya air terhadap
untuk memahami masalah dan faktor variabilitas iklim belum pernah
penyebab kerentanan: (2) alat dilakukan.
perencanaan sebagai dasar penetapan Kajian ini bertujuan untuk
prioritas kegiatan; (3) alat untuk mengetahui tingkat kerentanan
pengukuran risiko; (4) alat untuk sumber daya air terhadap variabilitas
pemberdayaan dan mobilisasi iklim. Secara rinci kajian akan
kelompok masyarakat yang rentan difokuskan kepada
(Benson et.al., 2007). Penilaian (1) gambaran mengenai fenomena
kerentanan sebenarnya sudah banyak perubahan/ variabilitas iklim dari
dipublikasikan oleh beberapa peneliti analisis data klimatologis (suhu dan
dengan variasi metode dan lokasi curah hujan); (2) gambaran
kajian. Swandayani (2010), melakukan mengenai kondisi sumber daya air;
penelitian tentang kerentanan (3) gambaran mengenai tingkat
masyarakat terhadap variabilitas iklim kerentanan sumber daya air akibat
di Daerah Aliran Sungai (DAS) perubahan/variabilitas iklim.
Ciliwung dengan menggunakan kriteria
paparan indeks penggunaan air.
II. METODE PENELITIAN
Selanjutnya Rositasari et al. (2011)
melakukan penelitian kerentanan
A. Kerangka Teori, Konsep dan
terhadap variabilitas iklim di pesisir
Pendekatan
Cirebon dengan menggunakan
teknologi penginderaan jauh. Kerangka teori yang mendasari
Sementara Effendi (2012), melakukan penelitian ini adalah hasil kajian para
penelitian berbasis DAS tentang kajian peneliti IPCC yang memperkirakan
tingkat kerentanan masyarakat bahwa perubahan/variabilitas iklim
terhadap variabilitas iklim di DAS yang ditandai dengan peningkatan
Garang, Jawa Tengah dengan suhu akan memberikan efek
pendekatan sistem informasi geografis langsung siklus hidrologi dan
(SIG). Untuk lingkup NTT, ada ketersediaan air. Perubahan ini pada
beberapa kajian tentang variabilitas gilirannya akan menciptakan
iklim (Faqih, 2011; Balai Pengelolaan dampak/efek lain dengan tingkat
Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina yang lebih tinggi yang ditunjukkan
- BPDAS BN, 2011; Bappeda NTT, pada Gambar 1.
2010), namun yang menyangkut
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
Sumber (Source) : Gain et al.(2012)

Gambar 1. Efek bertingkat/berurutan variabilitas iklim


terhadap sumber daya air Figure 1. Different stage/order
climate variability effect on water resources.

Untuk mengetahui sampai sejauh mendefinisikan kerentanan sebagai


mana risiko/bahaya dampak perubahan kondisi dimana alam dan sistem
iklim terhadap sumber daya air perlu sosial rawan terhadap kerusakan
dilakukan penilaian kerentanan. Adger yang ditimbulkan oleh
(2006) menyatakan bahwa konsep perubahan/variabilitas iklim.
kerentanan, adaptasi dan resiliensi Penilaian kerentanan dalam
diawali dengan pemikiran tentang penelitian ini menggunakan konsep
bahaya yang diakibatkan oleh alam kerentanan dari IPCC dengan alasan
(natural hazard) dan penyelidikan fokus kajian lebih kepada kerentanan
berbagai interaksi antara manusia- yang disebabkan oleh perubahan/
lingkungan (human/ political ecology). variabilitas iklim. Lebih lanjut
Sementara Bryant dan Bailey (1997) dinyatakan bahwa kerentanan,
menyatakan bahwa kerentanan sebagaimana diformulasikan pada
merupakan salah satu bentuk persamaan 1, merupakan fungsi dari
pendekatan dalam ekologi politik, tiga aspek: keterpaparan/exposure,
dimana kerentanan diklasifikasikan sensitivitas/sensitivity dan kapasitas
sebagai salah satu bentuk pendekatan adaptif/adaptive capacity (IPCC,
berdasarkan konsep (Gambar 2). Lebih 2001). Keterpaparan dimaksudkan
lanjut, IPCC (2007), sebagai derajat suatu

Sumber (Source) : Bryant dan Bailey (1997)


Gambar 2. Beberapa pendekatan dalam ekologi politik
Figure 2. Different approaches to political ecology

179
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
sistem secara alamiah rentan terhadap kuantitatif dan spasial. Masing-
variabilitas iklim. Sensitivitas masing komponen yang
dimaksudkan sebagai derajat atau memengaruhi kerentanan, yaitu
tingkat suatu sistem terkena dampak exposure, sensitivity dan adaptive
sebagai akibat dari semua elemen capacity kemudian secara
variabilitas iklim. Kapasitas adaptif diterjemahkan dalam beberapa
didefinisikan sebagai kemampuan satu variabel dan indikator kerentanan
sistem untuk menanggulangi sumber daya air yang didapatkan
konsekuensi dari variabilitas iklim atau secara kualitatif dari observasi di
menyesuaikan diri pada variabilitas lapangan, pendapat para ahli dan
iklim, mengurangi potensi kerusakan, hasil kajian terdahulu. Kriteria dan
atau mengambil keuntungan dari indikator ini kemudian
kondisi yang disediakan iklim yang dikuantifikasikan dalam bentuk bobot
berubah tersebut. dan skor untuk dihitung indeks
kerentanannya. Indeks kerentanan
Vulnerability = f
pada masing-masing komponen
(Exposure+Sensitivity- kemudian di-overlay (pendekatan
Adaptive spasial) untuk menghasilkan peta
Capacity) ......................... kerentanan. Pendekatan penelitian
..............(1) secara rinci disajikan dalam
Sampai sejauh ini, konsep IPCC prosedur/ tahap penelitian.
inilah yang paling banyak digunakan di
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
seluruh dunia dalam penilaian
kerentanan, baik untuk publikasi ilmiah Kajian ini dilakukan di DAS Aesesa,
ataupun laporan kegiatan lembaga Pulau Flores (Gambar 3). Beberapa
(Hamouda, 2006; Swandayani, 2010; alasan yang mendasari pemilihan
Bappenas, 2010; Rositasari et al.,2010; lokasi: (1) DAS Aesesa merupakan
Effendi, 2012; Gain et al., 2012). salah satu DAS Prioritas I yang ada
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Provinsi NTT, selain DAS Noelmina
yang meluncurkan Sistem Inventarisasi dan DAS Kambaneru, (2) Di daerah
Data Indeks Kerentanan (SIDIK) pada hulu, terdapat kawasan Cagar Alam
Juli 2014, pada dasarnya juga Watu Ata dan hutan bambu yang
menggunakan konsep dan pendekatan merupakan water catchment area
IPCC untuk mendapatkan indeks utama di Kabupaten Ngada dan
kerentanan di suatu wilayah Kabupaten Nagekeo. Penelitian
administrasi (KLH, 2014). dilaksanakan pada bulan April
Terkait dengan penilaian sampai Nopember 2013.
kerentanan sumber daya air,
pendekatan yang dilakukan adalah
gabungan dari pendekatan secara
kualitatif,
Sumber: Peta DAS - BPDAS Benain Noelmina (2012) dan Peta Batas Administrasi - Bappeda NTT
(2010)
Sources: Watershed Map - BPDAS Benain Noelmina (2012) and Administration Map -
Bappeda NTT (2010)

Gambar 3. Peta lokasi penelitian (DAS Aesesa).


Figure 3. Map of study area (Aesesa Watershed).

180
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
C. Rancangan Penelitian selama kurang lebih 30 tahun terakhir.
Data ini dikumpulkan dari berbagai
Penelitian ini menggunakan DAS
sumber yaitu Badan Meteorologi
sebagai unit analisis. Alasan
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTT
digunakannya DAS sebagai unit
(terkait suhu udara ) dan Dinas
analisis: (a) Pendekatan DAS lebih
Pertanian Kabupaten (terkait data
holistik dan dapat digunakan untuk
curah hujan) serta beberapa stasiun
mengevaluasi hubungan antara faktor
pengamat cuaca atau curah hujan yang
biofisik dan sosial ekonomi lebih cepat
terdekat dengan lokasi kajian. Trend
dan lebih mudah, (b) DAS mempunyai
perubahan suhu udara dan curah hujan
batas alam yang jelas di lapangan, (c) rata-rata di analisis dengan analisis
DAS mempunyai keterkaitan statistik (regresi) dengan mengacu
biogeofisik yang sangat kuat antara kepada data time series. Sebagai alat
hulu dan hilir sehingga mampu verifikasi/
menggambarkan perilaku air akibat
perubahan karakteristik lanskap,
(d) adanya suatu outlet dimana air
akan terakumulasi, sehingga aliran
air dapat ditelusuri.
Wilayah unit analisis DAS dibagi
menjadi tiga region yakni hulu, tengah,
dan hilir yang dibedakan berdasarkan
tingkat kelerengan, fungsi kawasan dan
kerapatan drainase (Asdak, 1997). Pada
setiap region dipilih sampel penelitian
berbasis desa untuk mengambil data
yang berkaitan dengan aspek sosial
ekonomi masyarakat, ketersediaan
sumber daya air dan variabilitas iklim.
Distribusi desa sampel didasarkan pada
2 karakteristik, yaitu: kedekatan
dengan garis sungai dan kedekatan
dengan fungsi hutan. Jumlah responden
pada setiap desa berjumlah sekitar 10
orang informan kunci yang meliputi
tokoh masyarakat dan petani yang
mewakili mata pencaharian mayoritas
di desa tersebut. Informan tersebut
teridentifikasi sebagai local knowledge
expert menurut Davis dan Wagner
(2003).

D. Prosedur Penelitian
1. Pengamatan kecenderungan
(trend) perubahan suhu udara dan
curah hujan
Perubahan pola maupun trend suhu
dan curah hujan akan dijadikan
indikator untuk menilai terjadinya
kejadian perubahan/variabilitas iklim di
lokasi kajian. Data yang dikumpulkan
adalah data numerik time series,
berupa data suhu dan curah hujan
validasi hasil analisis trend suhu dan 3. Penaksiran tingkat kerentanan
curah hujan, dilakukan wawancara sumber daya air terhadap
dan pengisian kuisioner terhadap variabilitas iklim
masyarakat pada masing-masing Tingkat kerentanan akan diukur
region DAS terkait kecenderungan dengan
perubahan suhu dan curah hujan pendekatan berbasis spasial, dimana
pada beberapa tahun terakhir. kriteria dan indikator variabilitas
2. Pengamatan kondisi sumber daya iklim disusun dalam bentuk spasial
dengan bantuan sistem informasi
air di DAS Aesesa
geografis (SIG) untuk mendapatkan
Terkait dengan kondisi sumber daya
peta kerentanan. Tahap-tahap
air, dilakukan pengamatan dan
penyusunan peta kerentanan adalah
pengumpulan data kuantitas dan
sebagai berikut:
kualitas sumber daya air secara time
a. Penentuan kriteria dan indikator
series. Data kuantitas (debit) dan
Kriteria dan indikator paparan
kualitas air dikumpulkan dari pihak-
diperoleh dari
pihak yang terkait, seperti:
beberapa referensi, terutama dari
Kementerian Pekerjaan Umum
Bappenas (2010) tentang Road map
(Kementerian PU), Dinas Pekerjaan
Umum (Dinas PU), Balai Pengelolaan
variabilitas iklim Indonesia,
Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan
Kementerian Lingkungan Hidup
Badan Lingkungan Hidup Daerah (2010) dan Effendi (2012) tentang
(BLHD). Data tentang kualitas dan kajian kerentanan masyarakat
kuantitas air secara time series ini terhadap variabilitas iklim berbasis
akan dianalisis secara deskriptif untuk DAS di Jawa Tengah. Kriteria dan
menggambarkan sampai sejauh mana indikator yang digunakan dalam
dampak variabilitas/variabilitas iklim pendekatan spasial disajikan pada
terhadap sumber daya air. Sebagai alat Tabel 1. Hasil akhir pada tahap ini
verifikasi/validasi hasil analisis kondisi adalah beberapa kriteria dan
sumber daya air, dilakukan wawancara indikator yang semuanya dirubah
dan pengisian kuisioner terhadap dalam bentuk data spasial (peta).
masyarakat pada masing-masing Dalam kajian ini data peta dirubah
region DAS terkait ketersedian dan dalam bentuk raster data (raster-
kebutuhan sumber daya air pada based analysis).
beberapa tahun terakhir.

181
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
b. Pembobotan dan Skoring terhadap kerentanan sumber daya air.
Pemberian bobot dan skor Sebagai contoh untuk variabel
(weighting and scoring) keterpaparan dengan indikator
pada kriteria dan indikator yang telah kekritisan lahan, skor tertinggi
ditetapkan dilakukan berdasarkan studi diberikan untuk lahan yang sangat
literatur/kajian ter-dahulu, pendapat kritis, dan yang terendah diberikan
para ahli dan wawancara dengan untuk lahan yang tidak kritis. Hasil
masyarakat. Bobot dan skor diberikan akhir pada tahap ini adalah skor pada
berdasarkan derajat kepentingan masing-masing variabel, kriteria dan
kriteria dan indikator tersebut indikator lainnya (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria dan indikator penaksiran tingkat kerentanan sumber daya air
terhadap variabilitas iklim Table 1. Criteria and indicator used in vunerability
assessment water resources to climate variability
182
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
Tabel 1. Lanjutan
Table 1. Continued

Sumber (Source) : Bappenas (2010), KLH (2010), Effendi (2012), Gain et al.(2012)
Nilai indeks kerentanan kemudian
diklasifikasi-kan ke dalam 5 (lima)
c. Penentuan indeks dan peta tingkat/kelas kerentanan, yaitu:
kerentanan Penentuan indeks tinggi, agak tinggi, sedang, agak
kerentanan dilakukan sesuai rendah dan rendah (Swandayani,
persamaan 2, yaitu dengan 2010). Penentuan skala interval
mengurangi indeks paparan dan untuk kelas kerentanan dihitung
kepekaan dengan indeks kemampuan dengan persamaan 3. Tingkat
adaptasi (Swandayani, 2010; Gain et kerentanan akan dianalisis secara
al., 2012). Tahap ini dibantu dengan deskriptif per-region, berdasarkan
bantuan fitur raster calculator pada variabel
software ArcGIS 9.3. Hasil akhir
ditampilkan dalam bentuk peta
paparan, kepekaan, kapasitas adaptif,
dan kerentanan.

.. (2)
Dimana:
K = indeks kerentanan
Wie = bobot indikator ke-i
pada variabel
keterpaparan
Xie = skor indikator ke-i pada
variabel keterpaparan
Wis = bobot indikator ke-i pada
variabel sensitivitas
Xies = skor indikator ke-i pada
variabel sensitivitas
Wiac = bobot indikator ke-i pada
variabel kapasitas
adaptif
Xiac = skor indikator ke-i pada
variabel kapasitas
adaptif
overlay peta kerentanan dengan peta
kejadian bencana. Asumsi yang
keterpaparan, tingkat sensitivitas dan dibangun, jika suatu daerah memiliki
kapasitas adaptif. Dari hasil tingkat kerentanan yang tinggi
penjelasan tingkat kerentanan pada berarti daerah tersebut sering
setiap region maka akan didapatkan dilanda bencana.
gambaran tingkat kerentanan sumber
daya air terhadap variabilitas iklim
pada lingkup DAS. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
..............................................
A. Gambaran Umum Kondisi DAS
............... (2)
Aesesa
Dimana :
i = skala interval 1. Kondisi Biofisik DAS Aesesa
= selisih skor maksimum DAS Aesesa merupakan salah satu
R dan minimum DAS Prioritas I yang ada di Provinsi
banyaknya kelas penilaian NTT, selain DAS Benain, Noelmina dan
n = yang dibentuk Kambaniru. Prioritas DAS disusun
berdasarkan sistem skoring seperti
Untuk mengetahui sampai sejauh luasnya lahan kritis, tingginya erosi
mana tingkat akurasi/kebenaran peta sedimentasi, tekanan
kerentanan terhadap variabilitas
iklim, dilakukan penilaian akurasi
(accuracy assessment) dengan meng- 183
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
penduduk yang besar, pengamanan berdasarkan data time series curah
bendungan vital, daerah miskin dan hujan 1985-2012 dan klasifikasi iklim
desa tertinggal (IDT), rawan banjir, Scmidt - Fergusson, DAS Aesesa
daerah tangkapan air (DTA) bawah memiliki tipe iklim sedang (tipe D) di
tanah, pengamanan hutan lindung. daerah hulu (Kec. Bajawa dan
DAS Aesesa memiliki luas 122.995,85 sekitarnya) dengan lama musim hujan
ha yang terletak di dua kabupaten rata-rata sekitar 6 bulan (November-
yaitu Kabupaten Ngada seluas April), agak kering (tipe
46.915,53 ha dan Kabupaten Nagekeo E) di bagian tengah (kec.Boawae dan
seluas 76.080,32 ha (Gambar 2). sekitarnya) dengan lama musim
Berdasarkan bentuknya, DAS Aesesa hujan rata-rata sekitar 5 bulan
memiliki bentuk membulat. Bentuk DAS (November-Maret) dan iklim kering
yang membulat ini menyebabkan (tipe F) di bagian hilir (Kec.Aesesa
bagian hujan yang menjadi limpasan dan sekitarnya) dengan lama musim
akan terkumpul secara cepat dan hujan tercatat sekitar 4 bulan
mencapai outlet dalam waktu yang
cepat juga. Lebih lanjut dikatakan 184
bahwa bentuk DAS membulat ini akan
memberikan debit puncak yang tinggi
dan mengakibatkan meningkatnya
sedimen yang terbawa aliran tersebut
(BPDAS Benain Noelmina, 2013).
DAS Aesesa memiliki kondisi
topografi yang bervariasi, mulai dari
datar sampai terjal. Sebagian besar
wilayah DAS didominasi oleh
kemiringan curam (32%) dan terjal
(41%). Dengan dominasi topografi
terjal, maka wilayah DAS Aesesa
menjadi peka terhadap erosi dan hanya
sedikit lahan yang bisa digunakan
sebagai lahan pertanian semusim.
Untuk bisa memanfaatkan lahan-lahan
tersebut diperlukan upaya-upaya
konservasi tanah dan air yang tepat
(BPDAS Benain Noelmina, 2013).
Berdasarkan peta tanah, sebaran
jenis tanah di DAS Aesesa terdiri dari
tanah Alluvial, Andosol, Kambisol,
Podsolik dan Regosol. Jenis tanah
yang mendominasi adalah tanah
Kambisol Distrik (63%), jenis tanah
yang terbentuk dari lereng-lereng
vulkanik bagian tengah dan bagian
bawah yang mudah lapuk. Jenis tanah
ini mempunyai tekstur berkisar dari
lempung remah sampai geluh
berlempung. Kambisol mempunyai
potensi untuk pertanian dan dapat
dipakai untuk penanaman palawija
tadah hujan, tanaman keras dan juga
untuk budidaya tanaman padi (BPDAS
Benain Noelmina, 2013).
BPDAS Benain Noelmina (2013)
dalam laporannya menyebutkan bahwa,
(Desember-Maret). akan sumber daya sehingga tekanan
Laporan BPDAS Benain Noelmina terhadap sumber daya alam juga
(2012) menyebutkan bahwa sebagian meningkat. Mayoritas tingkat
besar wilayah DAS Aesesa (sekitar pendidikan masyarakat di DAS Aesesa
80%) didominasi oleh fungsi kawasan adalah pada tingkat Sekolah Dasar
Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan (sekitar 68% dari masyarakat di DAS
kawasan hutan, sisanya sekitar 20%, Aesesa). Kondisi ini berakibat pada
terdiri atas cagar alam, hutan lindung lemahnya atau lambatnya adopsi
dan hutan produksi. Sementara untuk teknologi dan pengetahuan dalam
penutupan lahan, wilayah DAS Aesesa pengelolaan DAS. Berkaitan dengan
didominasi oleh savana/padang rumput mata pencaharian, sekitar 50% dari
(41%) dan sebagian lainnya berupa jumlah penduduk di DAS Aesesa
hutan primer (5%), hutan sekunder bermatapencaharian utama sebagai
(21%), semak belukar (12%), pertanian petani. Terkait dengan tingkat
lahan kering (19%), sawah (1%), hutan pendapatan masyarakat, sekitar 50%
mangrove (1%) dan tanah terbuka dari jumlah penduduk di DAS Aesesa
(kurang dari 1%). Berdasarkan tingkat memiliki tingkat pendapatan rata-rata
kekritisan lahan, wilayah DAS sekitar Rp. 300.000/ bulan (BPDAS
dikategorikan agak kritis (42% dari Benain Noelmina, 2013).
total wilayah DAS), kritis (45%) dan
sangat kritis (13%).
B. Kecenderungan (Trend)
2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Perubahan Suhu Udara dan
di DAS Aesesa
Pada tahun 2011, jumlah penduduk Curah Hujan
di DAS Aesesa tercatat 157.302 jiwa, Pengamatan kecenderungan
yang terdiri dari laki-laki 77.589 jiwa perubahan suhu udara di DAS Aesesa
dan perempuan 79.713 jiwa, dengan terhambat oleh tidak adanya stasiun
kepadatan penduduk 92 jiwa/km2 dan meteorologi yang melakukan
jumlah kepala keluarga sebanyak pengukuran terhadap suhu udara di
22.652 KK. Salah satu permasalahan sekitar Kabupaten Ngada dan
kependudukan di DAS Aesesa adalah Nagekeo. Kendala lainnya, data atau
tekanan penduduk terhadap sumber peta tentang isotherm sulit untuk
daya alam. Makin besar jumlah didapatkan. Sebagai antisipasinya,
penduduk, makin besar pula kebutuhan
digunakan data pengamatan suhu
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
udara di Ruteng, Kabupaten minimum 17,300C dan suhu maksimum
Manggarai sebagai representasi dari 22,100C. Sedangkan di bagian hilir
suhu udara rata-rata di Bajawa, DAS, yang direpresentasikan oleh data
Kabupaten Ngada (Hulu DAS Aesesa) suhu di Maumere pada tahun 1983-
dan data pengamatan suhu udara di 2011, didapatkan suhu bulanan rata-
Maumere, Kabupaten Sikka sebagai rata sekitar 27,440C dengan suhu
representasi dari Mbay, Kabupaten minimum 25,000C dan suhu maksimum
Nagekeo (Hilir DAS Aesesa). 30,400C. Pola suhu bulanan rata-rata
Antisipasi dan pendekatan yang baik di Ruteng maupun di Maumere
dilakukan ini didasarkan atas hampir sama pada setiap tahunnya,
pertimbangan kemiripan dalam hal: dimana suhu maksimum terjadi pada
(a) ketinggian dari permukaan laut, musim hujan (awal musim hujan,
(b) tipe bentang lahan (landscape). Oktober-November) dan suhu
Hulu DAS Aesesa, Bajawa mempunyai minimum terjadi pada musim kemarau
ketinggian rata-rata sekitar 1.547 m (puncak musim kemarau, Juli-Agustus).
dan Ruteng memiliki ketinggian rata- Suhu rata-rata tahunan di Ruteng
rata sekitar 1.177 m dan (BPS (representasi Hulu DAS Aesesa)
Provinsi NTT, 2012). Kedua wilayah selama periode 1996-2012 cenderung
ini memiliki tipe landscape berbukit- menurun sekitar 0,45OC, sebaliknya
bukit bahkan bergunung-gunung hasil analisa suhu tahunan rata-rata di
dengan dicirikan topografi yang Maumere (representasi Hilir DAS
terjal/curam. Sedangkan Hilir DAS Aesesa) selama 1983-2011
Aesesa, Mbay memiliki ketinggian menunjukkan kecenderungan kenaikan
rata-rata sekitar 55 m, hampir sama sekitar 0,12 OC (Gambar 4a). Terkait
dengan ketinggian kota Maumere dengan suhu, sebanyak 94%
yaitu sekitar 35 m (BPS Provinsi NTT, responden di daerah hulu menyatakan
2012). Kedua daerah ini merupakan bahwa suhu udara dalam 5 atau 10
tipe kota pantai dengan topografi tahun terakhir cenderung lebih dingin,
datar sampai landai. sementara 70% responden di daerah
Berdasarkan data suhu selama hilir me-nyatakan bahwa suhu udara
periode 1996-2012 di Stasiun cenderung lebih panas. Jadi persepsi
Meteorologi Ruteng, yang masyarakat tentang perubahan suhu
merepresentasikan hulu DAS Aesesa, ini sesuai dengan hasil analisis data
didapatkan suhu rata-rata bulanan suhu udara.
sekitar 19,990C dengan suhu
Sumber: Data Pengukuran Suhu di Stasiun Meteorologi Ruteng 1996-2012 dan Data
Pengukuran Suhu di Stasiun Meteorologi Maumere 1983-2011
Sources: Temperature Data in Meteorological Station of Ruteng during 1996-2012 and
Temperature Data in Meteorological Station of Maumere during 1983-2011

Gambar 4.(a) Tren suhu tahunan rata-rata(b) Tren curah hujan tahunan di DAS
Aesesa.
Figure 4.(a)Trend of mean annual temperature and (b) trend of annual
precipitation in Aesesa Watershed.

18
5
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
Bagaimana dengan kecenderungan menunjukkan bahwa berdasarkan
perubahan curah hujan? Pengamatan indikator lama periode musim hujan,
kecenderungan perubahan curah 64% responden di bagian tengah dan
hujan dilakukan pada tiga stasiun 67% responden di bagian hilir
pengamat curah hujan yang mewakili menyatakan bahwa periode musim
tiga region DAS, yaitu di: Bajawa hujan dalam beberapa tahun terakhir
(hulu DAS), Boawae (tengah DAS) semakin pendek, hal ini sesuai dengan
dan Danga (hilir DAS). Curah hujan hasil analisis data curah hujan yang
tahunan rata-rata di sekitar Bajawa menyebutkan bahwa pada region hilir
tercatat sebesar 2.530 mm/tahun, dan tengah terjadi kecenderungan
sedangkan di Boawae dan Danga penurunan curah hujan.
masing-masing sebesar 1.362 Analisis regresi suhu tahunan rata-
mm/tahun dan 541 mm/tahun. Seperti rata dan curah hujan tahunan rata-
suhu udara, curah hujan bulanan dari rata pada Gambar 4 menunjukkan
tahun ke tahun juga menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang
pola yang hampir sama. Pola curah
hujan dapat diklasifikasikan menjadi 186
3 pola, yaitu: monsunal (monsoon),
ekuatorial (equator) dan lokal
(Tjasyono, 2004; Aldrian dan Susanto,
2003; Sipayung et al., 2010). Pola
curah hujan di DAS Aesesa dapat
diklasifikasikan sebagai pola hujan
monsoon, karena memiliki grafik
berbentuk huruf “V”, dimana terjadi
perbedaan yang jelas antara musim
hujan dan musim kemarau. Musim
kemarau yang ditandai dengan hujan
minimum terjadi pada saat bulan Juni,
Juli dan Agustus atau pada saat
terjadinya angin monsoon timur, yaitu
pada saat matahari berada di garis
balik utara. Sebaliknya pada saat
terjadinya angin monsoon barat
(November-Januari), terjadi hujan
yang berlimpah (Sipayung et al.,
2010).
Hasil analisa tren curah hujan
tahunan menunjukkan kenaikan pada
region hulu dan penurunan pada region
tengah dan hilir (Gambar 4b). Pada
region hulu terjadi kecenderungan
kenaikan curah hujan tahunan sebesar
938 mm selama periode 1973-2010 (37
tahun), sebaliknya di region tengah
terjadi kecenderungan penurunan
curah hujan tahunan sebesar 175 mm
selama 1976-2004 (28 tahun). Serupa
dengan region tengah, di region hilir
juga terjadi kecenderungan penurunan
curah hujan tahunan sebesar 359 mm
selama 1972-2002 (30 tahun). Terkait
dengan perubahan curah hujan, hasil
wawancara dengan masyarakat
relatif kecil. Sebagai contoh nilai R2= Pekerjaan Umum pada tahun 2010
0,24 (koefisien determinasi suhu udara menyebutkan bahwa Sungai Aesesa
di daerah hulu - Gambar 4a), memiliki debit minimum 0,6 m3/detik
mengindikasikan bahwa sekitar 24% dan debit maksimum 62,3 m3/detik.
variasi peubah suhu rata-rata dapat BP DAS Benain Noelmina (2012)
dijelaskan oleh variasi peubah tahun, menyatakan bahwa salah satu
sedangkan 76% sisanya dijelaskan oleh indikator untuk menilai debit air
faktor-faktor lain. Persamaan regresi sungai adalah nilai parameter
dengan nilai R2yang relatif rendah ini Koefisien Regim Sungai (KRS). KRS
masih dapat digunakan karena hanya merupakan perbandingan antara
sebagai alat untuk menjelaskan, bukan debit maksimum dan debit minimum,
untuk memprediksi (Maletta, 2009 semakin besar nilainya, debit air
dalam Adiyoga et al., 2012). sungai diklasifikasikan jelek. Nilai
KRS DAS Aesesa yang didapatkan
C. Kondisi Sumber Daya Air sekitar 103, yang diklasifikasikan
Indikator yang biasanya digunakan sedang (klasifikasi nilai KRS: < 50
untuk menggambarkan kondisi baik, 50-120 sedang, >120 jelek).
sumber daya air adalah kuantitas Meski dikategorikan sedang, namun
(debit air) dan kualitas air. Dinas nilai KRS ini mendekati ambang
Pekerjaan Umum Kabupaten Nagekeo batas kelas jelek (120), artinya jika
yang mengelola Bendungan Sutami- tidak dilakukan upaya-upaya untuk
bendungan sungai Aesesa (sungai menjaga daerah resapan air, maka
utama di DAS Aesesa), menyatakan pada musim kemarau daerah di
bahwa debit air rata-rata di Sungai sekitar DAS akan mengalami
Aesesa adalah 7,5 m3/detik pada kekurangan air.
Selain KRS, indikator lain yang
musim hujan dan 4,5 m3/detik pada
digunakan untuk menilai kondisi
musim kemarau pada tahun 2013.
sumber daya air adalah Indeks
Lebih lanjut Dinas PU menyatakan
Penggunaan Air (IPA). IPA dapat
bahwa debit air dalam lima tahun
dihitung dengan membandingkan
terakhir relatif sama dan tidak
antara kebutuhan air dengan
mengalami perubahan yang berarti.
persediaan air di DAS. BP DAS Benain
Data lain yang dikeluarkan oleh
Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Noelmina (2012) menyatakan bahwa
kebutuhan air rata-rata
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
Tabel 2. Hasil pemantauan kualitas air di DAS Aesesa
tahun 2010-2012 Table 2. Water quality assessments
in Aesesa Watershed 2010-2012

Keterangan(Remarks):
- MH : Musim Hujan(Rainy season)
- MK : Musim Kemarau (Dry season)
- Kelas mutu air (Water Quality Class): A (memenuhi baku mutu/ meets standard quality), B
(cemar ringan/ lightly polutted), C (cemar sedang/ moderately polluted)
Sumber (Sources):
- Laporan Pemantauan Kualitas Air BLHD Ngada 2009-2012 (Water Quality Assessment
Report BLHD Ngada 2009-2012)
- Laporan Pemantauan Kualitas Air BLHD Nagekeo 2011-2012 (Water Quality Assessment
Report BLHD Nagekeo 2011-2012)
43% responden menyatakan air yang
tersedia masih bisa mencukupi untuk
di DAS Aesesa untuk hutan, pertanian kebutuhan mereka.
dan non pertanian adalah sebesar Terkait dengan kualitas air di DAS
3.057 mm/tahun, sedangkan Aesesa, Badan Lingkungan Hidup
ketersediaan air yang diestimasi dari Daerah (BLHD) Kabupaten Ngada dan
curah hujan rata-rata adalah sebesar Nagekeo melaporkan bahwa kondisi
1.195 mm/ tahun. Perbandingan mutu air sungai di DAS Aesesa
kebutuhan dan ketersediaan air ini bervariasi, mulai dari kelas A
menghasilkan nilai IPA sebesar 3, (memenuhi baku mutu), kelas B (cemar
yang diinterpretasikan buruk
(klasifikasi nilai IPA: < 0,5 baik, 0,6-
0,9 sedang, >1 buruk).
Dari indikator kuantitas atau debit
air di DAS Aesesa, dikatakan bahwa
secara umum kuantitas air tidak
mengalami perubahan yang berarti
dalam lima tahun terakhir. Namun
begitu, nilai KRS yang mendekati
ambang batas jelek dan nilai IPA yang
masuk kategori buruk menunjukkan
bahwa kondisi sumber daya air di
DAS Aesesa dalam keadaan kritis. Hal
ini sesuai dengan hasil kajian
Bappenas (2010) yang menyatakan
bahwa neraca air di Region Nusa
Tenggara dikaterikan kritis.
Sementara hasil wawancara dengan
masyarakat menyebutkan bahwa
sekitar 48% responden menyatakan
mereka merasa kekurangan air dan
kategori cemar ringan, sementara
sungai sampel di hilir DAS masuk
ringan) dan kelas C (cemar sedang). kategori cemar sedang (Tabel 2).
Penentuan status mutu air Persepsi masyarakat terhadap
menggunakan metode Storet dan kualitas air, 61% total responden di
parameter yang digunakan adalah: semua region, 63% reponden di hulu
suhu air, pH, daya hantar listrik, DAS dan 50% responden di hilir DAS
salinitas, turbiditas dan total padatan menyatakan bahwa kualitas air tidak
terlarut (BLHD Ngada, 2012; BLHD berubah.
Nagekeo, 2012). Parameter-
parameter ini kemudian diskoring D. Kerentanan Sumber Daya Air
dan dibandingkan dengan kriteria
terhadap
mutu air kelas I (sesuai Peraturan
Pemerintah - PP 82 tahun 2001), Perubahan/Variabilitas Iklim
sehingga dapat diketahui parameter emetaan variabel keterpaparan
yang memenuhi baku mutu air. sumber daya air merupakan hasil
Selanjutnya ditetapkan kelas mutu air tumpang tindih (overlay) peta curah
sebagai hasil akhirnya. Hasil hujan, peta penutupan lahan dan peta
pemantauan terakhir tahun 2012 tingkat kekritisan lahan di wilayah
menyebutkan bahwa, sungai sampel DAS Aesesa. Dari hasil kajian spasial,
di hulu DAS Aesesa masuk dalam didapatkan bahwa region hulu

18
7
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
memiliki tingkat keterpaparan paling Kemampuan adaptif pada sektor
tinggi dibandingkan daerah tengah sumber daya air dikaji dengan kriteria
tengah dan hilir (Gambar 5a). dan indikator: kualitas SDM (indeks
Tingginya curah hujan di region hulu, pendidikan, perilaku konservasi);
terbatasnya penutupan lahan berupa sosial ekonomi masyarakat (tingkat
hutan dan banyaknya lahan kritis kesejahteraan masyarakat, konflik dan
menjadikan region ini memiliki indeks dukungan pemerintah), fasilitas
exposure tertinggi. kesehatan dan daerah resapan air.
Pemetaan kepekaan (sensitivitas) Daerah hilir memiliki indeks tertinggi,
sumber daya air terhadap variabilitas diikuti daerah tengah dan hulu
iklim dipengaruhi oleh tingkat (Gambar 5c). Sebagaimana diuraikan
permintaan air (direpresentasikan di metodologi penelitian bahwa,
secara spasial dengan tingkat tingkat pendidikan yang relatif lebih
kepadatan penduduk dan akses tinggi pada masyarakat di daerah hilir
terhadap air bersih) dan jika dibanding dengan daerah hulu dan
ketergantungan masyarakat terhadap tengah menjadikan region hilir
lahan (proporsi masyarakat yang memiliki indeks kemampuan adaptif
bergantung pada sektor pertanian). tertinggi, diikuti region tengah dan
Tingginya kepadatan penduduk di hulu. Setelah melewati tahap
daerah hulu dan banyaknya pemberian bobot, skoring dan overlay,
masyarakat yang bergantung pada kombinasi dari ketiga variabel, yaitu
sektor pertanian menjadikan region keterpaparan, sensitivitas dan
ini memiliki indek sensitivitas lebih kapasitas adaptif, menghasilkan peta
tinggi daripada daerah tengah dan kerentanan (Gambar 5d). Indeks
hilir (Gambar 5b). kerentanan

Sumber: Pengolahan data primer, 2013


Sources: Primary data analysis, 2013
Gambar 5. Peta tingkat keterpaparan (a), sensitivitas (b), kapasitas adaptif (c) dan
tingkat kerentanan (d) di
DAS Aesesa.
Figure Map of exposure (a), sensitivity (b), adaptive capacity (c) and
5. vulnerability in Aesesa Watershed.

188
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
Tabel 3. Distribusi tingkat kerentanan pada
masing-masing region Table 3. Distribution of
vulnerability area by watershed region
yang terdampak, region tengah
merupakan region yang paling
banyak bencana (42%) diikuti region
hulu (30%) dan region hilir (28%).
Jika peta bencana ini dikaitkan
dengan peta kerentanan terdapat
kesesuaian dimana pada daerah
dengan tingkat kerentanan lebih
tinggi (region hulu dan tengah)
memiliki jumlah kejadian bencana
Sumber: Pengolahan data primer, 2013 lebih banyak daripada daerah dengan
Sources: Primary data analysis, 2013 tingkat kerentanan rendah (region
hilir).
daerah di region hulu DAS relatif
lebih tinggi jika dibandingkan dengan
daerah tengah dan hilir (Gambar 5d;
Tabel 3). Dari hasil analisis
didapatkan bahwa sekitar 60%
wilayah region hulu masuk dalam
tingkat kerentanan agak tinggi
sampai tinggi, sedangkan untuk
wilayah region tengah, 50%
wilayahnya diklasifikasikan ke tingkat
kerentanan agak tinggi. Sementara
pada region hilir, tingkat kerentanan
sumber daya air sebagian besar
(sekitar 80%) dikategorikan rendah.
Sampai sejauh mana tingkat
kebenaran atau validasi peta
kerentanan di atas? Pada kajian ini,
penilaian tingkat kebenaran/validasi
peta kerentanan dilakukan dengan
meng-overlay peta kerentanan
dengan peta bencana. Terkait dengan
kejadian bencana, data bencana yang
dikumpulkan dari berbagai sumber
(Badan Penanggulangan Bencana
Daerah/BPBD Kabupaten Ngada dan
Nagekeo tahun 2011-2013 serta data
kebencanaan BPDAS Benain
Noelmina tahun 2008-2010)
menyebutkan bahwa telah terjadi
kurang lebih 50 bencana yang
terdistribusi di seluruh Region DAS
dari hulu sampai hilir (Gambar 6).
Jenis bencana alam yang paling
sering terjadi adalah banjir (52%
terhadap total bencana), angin (34%),
longsor (12) dan abrasi (2%).
Berdasarkan region atau wilayah DAS
kerentanan tetap merupakan cost-
effective tools (Harter dan Walker,
2001) bagi lembaga terkait untuk
keperluan perencanaan tata ruang
atau penyusunan rencana adaptasi
terhadap variabilitas iklim.
Hasil penilaian kerentanan ini juga
bisa dijadikan dasar dalam
penyusunan strategi penanganan
kerentanan. Alternatif strategi yang
diusulkan : (1) Penghijauan/reboisasi
pada daerah hulu DAS, terutama di
sekitar Cagar Alam Watuata, yang
Salah satu kelemahan peta terancam oleh perambahan
kerentanan adalah sumber data yang masyarakat untuk perkebunan kopi;
dipakai, dimana kebanyakan data (2) manajemen tata guna lahan pada
spasial berasal dari data sekunder. region tengah, terutama terkait
Berdasarkan review terhadap 45 banyaknya alih fungsi lahan dimana
publikasi ilmiah yang terbit di jurnal savana yang mendominasi tutupan
terkait dengan peta kerentanan, lahan di region tengah (sekitar 70%
Preston et al. (2012), menyatakan dari total region tengah) terancam
bahwa hanya sekitar 9% dari publikasi oleh ekspansi lahan pertanian oleh
tersebut yang menggunakan data masyarakat; (3) perlindungan terhadap
primer, sehingga tingkat bencana di semua region DAS,
kepercayaannya masih diragukan. terutama untuk daerah-daerah dengan
Lebih lanjut dinyatakan bahwa tingkat kerentanan tinggi dan selama
kelebihan pemetaan kerentanan adalah ini menjadi daerah langganan
dalam hal mampu menampilkannya bencana. Strategi-strategi ini dapat
informasi spasial (Preston et al., 2012). dijadikan alternatif usulan
Terlepas dari segala kelebihan dan kegiatan/program oleh para pemangku
kekurangan tersebut, pemetaan kepentingan/lembaga terkait

18
9
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
Sumber: Laporan Kejadian Bencana di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo 2011-2013
(BPBD Kab. Ngada dan Kab, Nagekeo, 2013) dan Data Kebencanaan 2008-2010
(BPDAS Benain Noelmina, 2012)
Sources : Report of Disaster Events in Ngada & Nagekeo District during 2011-2013 (BPBD
Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo, 2013) and Disaster Events during 2008-2010 (BPDAS
Benain Noelmina, 2012)

Gambar 6. Peta persebaran bencana berdasarkan jenis bencana dan tahun


terjadinya bencana di DAS Aesesa.
Figure 6. Map of disaster distribution by types and times in Aesesa Watershed.
di Kabupaten Nagekeo (Pemerintah
Provinsi NTT, 2015; Kompas, 2015; Pos
pengelolaan sumber daya air dan Kupang,
antisipasi dampak variabilitas iklim.

E. Kelembagaan terkait Dampak


Perubahan/ Variabilitas Iklim
pada Sektor Sumber Daya Air
Pemerintah, melalui presiden Joko
Widodo menyatakan bahwa masalah
utama di Provinsi NTT adalah air
(Kompas, 2015), untuk itu dalam
periode waktu lima tahun kedepan
(2014–2019), Provinsi NTT mendapat
kucuran dana sebesar Rp. 5,6 triliun
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) untuk membangun
enam bendungan raksasa(Pemerintah
Provinsi NTT, 2015). Enam bendungan
raksasa tersebut adalah yaitu
Bendungan Raknamo di Kabupaten
Kupang, Bendungan Temef di
Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS), Bendungan Noktilot di
Kabupaten Belu, Bendungan Napung–
Gete di Kabupaten Sikka, Bendungan
Kolhua, dan Bendungan Lambo (Mbay)
Tenggara II menyatakan bahwa
pemanfaatan bendungan-bendungan
2015). Bendungan Lambo inilah yang ini adalah untuk persediaan air baku,
berada di sekitar lokasi kajian, DAS irigasi pertanian, tenaga listrik dan
Aesesa. pariwisata (Pos Kupang, 2015).
Kementerian Pekerjaan Umum Beberapa rencana strategi yang
melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) terkait dengan sumber daya air adalah
Nusa Tenggara II, menyatakan bahwa adanya upaya konservasi dan
kebutuhan air bagi masyarakat NTT rehabilitasi mata air, khususnya di
adalah 1,3 miliar m3/tahun. daerah hulu (dilaksanakan oleh
Sementara potensi air di NTT yang Kementerian Kehutanan dan Dinas
belum dimaksimalkan dan terbuang Kehutanan setempat) dan optimalisasi
adalah 16,7 miliar m3 (Pemerintah pemanfaatan sumber daya air
Provinsi NTT, 2015). Potensi air yang (Kementerian PU, Kementerian
terbuang inilah yang akan Pertanian). BMKG Provinsi NTT, selaku
dimaksimalkan melalui pembangunan perwakilan dari pemerintah yang
bendungan-bendungan. BWS Nusa berurusan

190
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
dengan iklim dan cuaca, sudah sudah melakukan beberapa upaya
menganalisis data iklim dan cuaca untuk meminimalisir terjadinya
serta memberikan informasi tentang bencana/cuaca ekstrem dan
perkiraan datangnya musim hujan menanggulangi kekritisan sumber
dan musim kemarau untuk daya air sebagai dampak dari
mengantisipasi bencana banjir, tanah variabilitas iklim. BP DAS Benain
longsor dan kekeringan. Balai Noelmina tahun 2011 melakukan
Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) monitoring dan evaluasi sampai
Pertanian NTT bekerjasama dengan sejauh mana tingkat koordinasi dan
Universitas Nusa Cendana Kupang sinergitas lembaga-lembaga terkait.
sudah melakukan kajian dan Hasilnya menyatakan bahwa tingkat
penelitian tentang varietas tanaman konflik antar lembaga pengelola DAS
yang tahan kekeringan, sebagai Aesesa tergolong sedang. Persoalan
antisipasi kemarau panjang dan yang masih dijumpai adalah belum
minimnya curah hujan di NTT. adanya keterpaduan kegiatan, terjadi
Selain pemerintah, beberapa overlapping program dan pendekatan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) keproyekan
juga berkontribusi dalam upaya
penanganan dampak variabilitas iklim
pada sektor sumber daya air.
Beberapa LSM di wilayah DAS Aesesa
yang teridentifikasi memiliki program
terkait konservasi dan optimalisasi
sumber daya air adalah Plan
International dan Yayasan Mitra Tani
Mandiri (YMTM). Plan International
memiliki program penyediaan sarana
dan prasarana air bersih, sedangkan
YMTM dengan program konservasi
mata air.
Beberapa badan usaha yang
bergerak dalam usaha yang terkait
sumber daya air juga sudah
dilibatkan dalam upaya kelestarian
sumber daya air. Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Bajawa
(Kabupaten Ngada) dan Mbay
(Kabupaten Nagekeo) yang
merupakan badan usaha milik daerah
yang memberikan jasa penyediaan air
bersih di perkotaan memiliki program
pelestarian sumber air baku dan
perbaikan instalasi perpipaan demi
menjamin ketersediaan air bagi
masyarakat. Perusahaan PT Kharisma
di Bajawa, produsen air mineral
kemasan, bekerjasama dengan BLHD
dan Dinas Kehutanan juga terlibat
dalam kegiatan konservasi dan
optimalisasi pemanfaatan sumber
mata air.
Dari paparan sebelumnya dapat
dinyatakan bahwa para pemangku
kepentingan di sekitar DAS Aesesa
dalam pelaksanaan program. Selain terakhir, di DAS Aesesa telah terjadi
itu dasar pelaksanaan proyek yang fenomena variabilitas iklim, dimana
menggunakan unit wilayah terjadi kecenderungan kenaikan
administrasi terkadang menjadi suhu udara rata-rata tahunan di
permasalahan tersendiri pada bagian hilir DAS dan kecenderungan
pengelolaan DAS Aesesa yang penurunan curah hujan pada bagian
terletak di dua wilayah administrasi tengah dan hilir DAS pada sekitar 30
(kabupaten). tahun terakhir. Hasil observasi dalam
Permasalahan-permasalahan diatas lima tahun terakhir menunjukkan
diharapkan bisa teratasi dengan bahwa variabilitas iklim belum
terbentuknya Forum DAS NTT dan berdampak nyata terhadap kuantitas
tersusunnya Rencana Pengelolaan dan kualitas air. Meski demikian,
DAS (RPDAS) Terpadu pada beberapa beberapa indikator berupa KRS, IPA
DAS Prioritas di NTT, termasuk DAS dan neraca air menunjukkan bahwa
Aesesa. Forum DAS NTT, yang kondisi sumber daya air di DAS
merupakan forum gabungan antara Aesesa dalam keadaan kritis/rentan.
pemerintah, LSM dan masyarakat, Perpaduan antara konsep kerentanan
diharapkan bisa mengakomodir IPCC dan pendekatan spasial yang
semua kepentingan (lintas sektoral). digunakan untuk menilai sampai
Sementara RP DAS Terpadu yang sejauh mana kerentanan sumber
disusun pada tahun 2012, yang daya air menghasilkan peta
didalamnya berisi tentang pembagian kerentanan sumber daya air, dimana
peran para pemangku kepentingan sekitar 54% dari total wilayah DAS
dalam mengelola DAS dan sumber Aesesa teridentifikasi memiliki
daya air diharapkan bisa memadukan tingkat kerentanan tinggi, 13%
kegiatan dan meminimalisir diklasifikasikan ke tingkat
overlapping program terkait kerentanan sedang dan 33%
pengelolaan sumber daya air. dikategorikan ke tingkat kerentanan
rendah. Berdasarkan region DAS,
urutan tingkat kerentanan berturut-
IV. KESIMPULAN DAN SARAN turut dari yang tertinggi ke

A. Kesimpulan
191
Berdasarkan data-data klimatologis
selama beberapa puluh tahun
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
yang terendah adalah region hulu, tetap memper-timbangkan kelestarian
tengah dan hilir. Disamping lingkungan. Sementara itu, untuk
kelebihannya dalam menampilkan kegiatan optimalisasi manajemen
informasi kerentanan secara spasial, bencana di semua region DAS, pelaku
peta kerentanan juga memiliki utamanya adalah Badan
kekurangan yaitu dalam Penanggulangan Bencana Daerah
penyusunannya banyak menggunakan (BPBD) melalui penyusunan database
data sekunder yang masih diragukan daerah rawan bencana, pe-rencanaan
kebenarannya. Terlepas dari segala daerah evakuasi bencana,
kelebihan dan kekurangan tersebut, pengembang-an early warning system
peta kerentanan tetap merupakan alat (peringatan dini) serta men-dorong
yang efektif dan berbiaya rendah yang masyarakat untuk membentuk
bermanfaat bagi lembaga terkait untuk kelompok masyarakat tanggap
menyusun strategi, rencana dan aksi bencana.
dalam menanggulangi masalah dampak Sementara itu terkait aspek
variabilitas iklim terhadap sumber daya kelembagaan,
air.

B. Saran 192

Rekomendasi yang ditawarkan


terkait hasil kajian meliputi
rekomendasi pada aspek teknis dan
aspek kelembagaan/kebijakan.
Berdasarkan peta kerentanan dan
terkait dengan aspek teknis, beberapa
hal yang bisa dilakukan yaitu:
optimalisasi kegiatan reboisasi di
region hulu, optimalisasi tata guna
lahan di region tengah dan optimalisasi
manajemen bencana di semua region
DAS. Pelaku utama dalam optimalisasi
kegiatan reboisasi di region hulu yaitu:
Kementerian Kehutanan, melalui Balai
Besar KSDA NTT Seksi Wilayah Flores,
selaku pemangku utama di wilayah
hulu DAS serta BPDAS Benain
Noelmina yang memiliki kegiatan
reboisasi sebagai tupoksinya. Kegiatan
ini diharapkan juga didukung oleh
pihak terkait lainnya yaitu pemerintah
daerah (Dinas Kehutanan dan BLHD
Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo); PDAM
melalui kegiatan Corporate Social
Responsibility (CSR) dan pemerintah
desa atau masyarakat di sekitar hulu
DAS. Untuk kegiatan optimalisasi tata
guna lahan di region tengah, pelaku
utamanya adalah Bappeda Provinsi
NTT/Kabupaten Ngada dan Kabupaten
Nagekeo melalui kegiatan monitoring
dan review Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi/Kabupaten yang
memastikan bahwa tata guna lahan
sesuai dengan perencanaan dengan
beberapa hal yang direkomendasikan
adalah percepatan dan monitoring
kebijakan pembangunan bendungan DAFTAR PUSTAKA
di NTT dan implementasi kebijakan
pengelolaan DAS yang berkelanjutan - Adger, W.N.
RPDAS terpadu yang telah tersusun. (2006).Vulnerability.Global
Pelaku utama percepatan dan Environmental Change, 16, 268-
monitoring kebijakan pembangunan 281.
bendungan adalah Kementerian PU Adiyoga, W., Basuki, R.S., Djuariah,
yang tujuan utamanya adalah D., dan Safaruddin. (2012).
memastikan bahwa pembangunan
Persepsi Petani dan adaptasi
bendungan sesuai rencana dan
terhadap perubahan iklim: Studi
spesifikasi teknis yang ditetapkan.
Sementara itu, Forum DAS NTT kasus sayuran dataran tinggi
selaku koordinator stakeholder terkait dan rendah di Sulawesi Selatan.
pengelolaan DAS, diharapkan menjadi Laporan Akhir Insentif
pelaku utama dalam mengawal Peningkatan Kemampuan
RPDAS Aesesa yang telah tersusun Peneliti dan Perekayasa,
agar tepat sasaran. Kementerian Riset dan
Teknologi. Bandung: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
UCAPAN TERIMA KASIH
Aldrian, E. dan Susanto, R.D. (2003).
Ucapan terima kasih disampaikan
Identification of three dominant
kepada Kepala Balai Penelitian
rainfall regions within Indonesia
Kehutanan Kupang, Pemerintah
Daerah Kabupaten Ngada dan and their relationship to
Kabupaten Nagekeo serta warga seasurface temperature. Int. J.
masyarakat pada desa-desa sampel di Climatol, 23:1435–1452.
DAS Aesesa atas segala Asdak, C. (1997). Hidrologi dan
kontribusinya, baik berupa dana/ pengelolaan daerah aliran
anggaran, ijin, sharing data/ informasi
sungai. Yogyakarta: Gadjah
dan bantuan teknis selama kegiatan
penelitian. Mada University Press.
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
Bappeda NTT. (2009). Rencana BPDAS [Balai Pengelolaan Daerah
pembangunan jangka menengah Aliran Sungai]
daerah provinsi NTT tahun 2009- Benain Noelmina. (2011).
2013. Kupang: Bappeda NTT. Buku II data
lapangan: Optimalisasi
Bappenas [Badan Perencanaan pengelolaan DAS dalam
Pembangunan
rangka
Nasional]. (2010). Indonesia pemberdayaan
climate change masyarakat DAS
sectoral roadmap ICCSR: Sektor Kambaniru. Kupang: Balai
sumber daya air. Pengelolaan
Jakarta: Bappenas. Daerah Aliran Sungai Benain
Benson, C., Twigg, J., and Rosetto, T. Noelmina.
(2007). Tools BPDAS Benain Noelmina. (2012).
for mainstreaming disaster risk Laporan akhir karakteristik DAS
(Guidance Notes for
Aesesa. Kupang: BPDAS Benain
Development Or
ganisations) . Noelmina.
Geneva, BPDAS Benain Noelmina. (2013).
Switzerland: Provention Rencana
Consortium pengelolaan DAS terpadu DAS
Secretariat. Aesesa provinsi
BLHD [Badan Lingkungan Hidup NTT. Kupang: BPDAS Benain
Noelmina.
Daerah] Kabupaten Nagekeo.
(2012). Laporan pemantauan BPS [Badan Pusat Statistik] Provinsi
kualitas air tahun 2011-2012. NTT. (2012).
Mbay: BLHD Kabupaten NTT dalam angka tahun 2012.
Nagekeo. Kupang: BPS
Provinsi NTT.
BLHD Kabupaten Ngada.(2012).
Laporan
pemantauan kualitas air tahun
2009-2012.
Bajawa: BLHD Kabupaten
Ngada.
BPBD [Badan Penanggulangan
Bencana Daerah]
Kabupaten Ngada. (2013).
Laporan kejadian
bencana 2011-2013.
Bajawa: BPBD
Kabupaten Ngada.
BPBD [Badan Penanggulangan
Bencana Daerah]
Kabupaten Nagekeo. (2013).
Laporan kejadian
bencana 2011-2013. Mbay: BPBD
Kabupaten
Nagekeo.
BP Kabupat Nagake Kabupa (Studi kasus: Sub Das Garang
S en o. (2011). ten Hulu). (Tesis Program Studi
Nage dala angk 2011 Mba BP Ilmu Lingkungan), Semarang:
keo m a . y: S Universitas Dipnegoro.
Kabupaten
Nagekeo. Faqih, A. (2011). Kajian ilmiah
BP Kabupat Nagake Kabupa perubahan iklim dan
S en o. (2012). ten hubungannya dengan kejadian
Nage dala angk 2012 Mba BP iklim ekstrim di Indonesia.
keo m a . y: S Simposium Penelitian
Kabupaten Nagekeo. Perubahan Iklim dan launching
BPS Kabupaten Ngada. IPCC Indonesia. Bogor: IPB
(2011).Kabupaten Nagekeo International Convention
dalam angka 2011. Bajawa: BPS Center.
Kabupaten Gain, A.K., Giupponi, C., and Renaud,
Ngada. F.G. (2012). Climate change
adaptation and vulnerability
BPS Kabupaten Ngada. assessment of water resources
(2012).Kabupaten Nagekeo systems in developing countries:
dalam angka 2012. Bajawa: BPS a generalized framework and a
Kabupaten feasibility study in Bangladesh.
Ngada. Water 2012, 4(2), 345-366;
Bryant, R. L. and Bailey, S. (1997). doi:10.3390/w4020345.
Third world political ecology. Hamouda, M.A.A. (2006).
London: Routledge. Vulnerability assessment of
Davis, A. and Wagner. J. (2003). Who water resources systems in the
eastern Nile Basin to
knows? On the importance of
environmental factors. (Thesis,
identifying 'experts' when
Department of Natural
researching local ecological Resources, Institute of African
knowledge. Human Ecology Research and Studies). Cairo:
31(3):463-489. Cairo University.
Effendi, M. (2012). Kajian tingkat
kerentanan masyarakat 19
terhadap perubahan iklim dan 3
strategi adaptasi berbasis DAS
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)
Harter, T., and Walker.F.G. (2001). D i u n d u h d a r i
Assessing vulnerability of http://regional.kompas.com/rea
ground water. Davis: University d/2013/
of Carolina & Caroline 06/09/23014635/7.Desa.di.NTT.
Department of Health Science. Terenda m.Banjir. (15 Juni
IPCC [Intergovernmental Panel on 2013)
Climate Change]. (2001): Kompas. (2015). Pemerintah akan
Impacts, adaptation bangun 7 waduk & 100 Embung di
vulnerability. Contribution of NTT . Diunduh dari
Working Group http://nasional.kontan.co.id/ne
II to the Third Assessment ws/pemer intah-akan-bangun-7-
Report of the waduk-100-embung-di-ntt/. (20
Intergovernmental Panel on Agustus 2015)
Climate Change. Geneva: Pemerintah Provinsi NTT. (2015).
UNEP/WMO. NTT dapat 6 bendungan raksasa.
IPCC. (2007). Summary for policy Diunduh dari
makers: Impacts, adaptation http://nttprov.go.id/ntt/ntt-
and vulnerability. Contribution dapat-6-bendungan-raksasa/.
of Working Group II to the (20 Agustus 2015)
Fourth A s s e s m e n t R e p o r
t o f t h e Intergovernmental 194
Panel of Climate Change. In
Parry, M.L. Canziani, O.F.,
Palukof, J.P., van der Linden, P.J.,
and Hanson, C.E. (Eds).
Cambridge: Cambridge
University.
KLH [Kementerian Lingkungan Hidup]
RI. (2010). Kajian resiko dan
adaptasi terhadap variabilitas
iklim Pulau Lombok Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Laporan
Penelitian - Kerjasama antara
Kementerian Lingkungan Hidup
RI, Kerjasama antara RI dengan
Republik Federal Jerman, GTZ,
WWF dan Pemda NTB. Mataram:
NTB.
KLH RI. (2014).Peluncuran sistem
inventarisasi data indeks
kerentanan (SIDIK) perubahan
iklim.
D i u n d u h d a r i
http://adaptasi.menlh.go.id/?
p=1008. (20 januari 2015)
Kompas. (2012). NTT rawan pangan.
Diunduh dari
http://cetak.kompas.com/read/2
012/08/
15/05004499/ntt.rawan.pangan.
(10 Mei 2013)
Kompas. (2013). 7 desa di NTT
terendam banjir.
Pos Kupang. (2015). NTT dapat enam Sipayung, B.S., Avia, L.Q.,dan Dasanto
bendungan raksasa tahun 2014- B.D. (2010). Analisis pola curah
2019. Diunduh dari hujan indonesia berbasis luaran
http://kupang.tribunnews.com/2 model sirkulasi global
015/06 /21/ntt-dapat-enam- (GCM). Jurnal Sains &
bendungan-raksasa-tahun-2014- Digantara 4 (2). Swandayani, T.H.
2019. (20 Agustus 2015) (2010). Pemetaan kerentanan
Preston, B.L., Yuen, E.J. and masyarakat terhadap
Westaway, R.M. (2011). Putting perubahan iklim dan adaptasi
vulnerability to climate change berbasis ekosistem hutan (studi
on the map: a review of kasus DAS Ciliwung). (Tesis)
approaches, benefits and risks. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana
Sustainability Science. IPB.
Springer. DOI 10.1007/s11625- Tempo. (2013). Banjir genangi ratusan
011-0129-1 rumah di NTT.
Putro, Dwi. (2007). Fenomena Alam D i u n d u h d a r i
Tidak Bisa D i t e b a k . D i u n http://www.tempo.co/read/news
duhdarihttp://www.s /2013/ 06/09/058486851/Banjir-
u a r a k a r y a - Genangi-Ratusan-Rumah-di-
online.com/news.html? NTT. (15 Juni 2013).
id=176970. (23 Mei 2008) Tempo. (2012). 403 Desa di NTT
Rositasari, R., Wahyu, B., Indarto, Terancam Rawan P a n g a n . D
H.S., Hasanuddin dan Bayu, P., i u n d u h d a r i
(2011). Kajian dan prediksi http://www.tempo.co/read/news
kerentanan pesisir terhadap /2012/ 08/10/173422590/403-
perubahan iklim: Studi kasus di Desa-di-NTT-Terancam-Rawan-
pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Pangan. (10 Mei 2013).
Teknologi Kelautan Tropis, TERI [The Energy and Resources
Vol.3, No.2, Hal. 52-64. Institute]. (2009). Climate
Sakeng, K. (2008). NTT Rentan change and water vulnerability:
Bencana. Diunduh dari strategies and practices for
http://www.beritabumi.or.id emerging water management
diakses.( 23 Mei 2008) and governance challenges -
executive summary. The
Energy and Resources Institute
JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 3 Desember
2015, Hal. 177-195
TERI in collaboration with Yale University to be Tjasyono, B. (2004).
Klimatologi (Cetakan Ke-2).
released during the15th Conference of Parties to the Bogor: IPB Press.
United Nations Framework Convention on Water Aid. (2007).
Climate Change and Water
Climate Change UNFCCC, 7–18 December Resources. London: Water
Aid..
2009, Copenhagen, Denmark.
195
Penilaian Tingkat Kerentanan Sumber Daya Air terhadap Variabilitas ..... (Eko Pujiono & Retno Setyowati)

You might also like