You are on page 1of 26

TUGAS :Kelompok

MATA KULIAH :Sistem Pencernaan


DOSEN :Ns. Saharullah, S.Kep., M.Kes

“Peritonitis & Ileus”

DISUSUN OLEH:
1. Emi

B2 002 17 001

2. Nita Utari Mokodompit

B2 002 17 002

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BARAMULI PINRANG


TAHUN AKADEMIK 2018/2019
DAFTAR ISI
Sampul
Daftar Isi
BAB I KONSEP MEDIS
A. Peritonitis···········································································1
1. Definisi·········································································1
2. Etiologi·········································································1
3. Patofisiologi···································································2
4. Menifestasi Kliniks··························································3
5. Penatalaksanaan····························································4
6. Pemeriksaan Penunjang··················································5
7. Terapi···········································································6
B. Ileus Obstruktif····································································7
1. Definisi·········································································7
2. Etiologi·········································································8
3. Patofisiologi·································································10
4. Menifestasi Kliniks·························································11
5. Penatalaksanaan··························································13
6. Pemeriksaan Penunjang·················································14
7. Terapi·········································································14
BAB II KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian········································································16
B. Penyimpanan KDM·····························································17
C. Diagnosa Keperawatan·······················································18
D. Perencanaan/Intervensi·······················································18
E. Evaluasi···········································································20
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan·······································································22
B. Saran··············································································22
Daftar Pustaka············································································24
BAB I
KONSEP MEDIS
A. PERITONITIS
1. DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa
yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di
dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus
bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui
proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur
appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya
akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya
asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada wanita
peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur
ovarium.

2. ETIOLOGI
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal,
antara lain:
a. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma,
kehamilan ektopik terganggu
b. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal
sebab obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
c. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh
corpus alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat
operasi, perforasi, radang, trauma
d. Radang, yaitu pada peritonitis
e. Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik,
misalnya kuman tuberkulosa.
f. Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
g. Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal
atau traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya
pada : perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh
divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
h. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke
peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam
empedu akibat trauma pada traktus biliaris.

3. PATOFISIOLOGI
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi
dari organ-organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus
abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata.
Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh
yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir
sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang
tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi
peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra
abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke
dalam pembuluh darah.

4. MENIFESTASI KLINIS
Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen.
Nyeri dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat
hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan
makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
a. Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
b. Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau
akibat iritasi peritoneum
c. Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong
diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang
didahului dengan hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan
lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.
d. Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak
terdengar bising usus
e. Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi
akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen
ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
f. Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
g. Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi Tidak dapat
BAB/buang angin.
5. PENATALAKSANAAN
Management peritonitis tergantung dari diagnosis
penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan
tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan :
a. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang
meluas, nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa
yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda
sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
b. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum,
distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena
atau arteri mesenterika.
c. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
d. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
a. Mengeliminasi sumber infeksi.
b. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
c. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Terapi bedah pada peritonitis :
a. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi.
Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar
penyakit dan keparahan infeksinya.
b. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis.
c. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
d. Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi :
a. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan
nutrisi.
b. Pemberian antibiotic
c. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal,
peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium didapat:
a. lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/L ) dengan pergeseran ke kiri
pada hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien
imunokompromais dapat terjasi lekopenia.
b. Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.
Pada foto polos abdomen didapatkan:
a. Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
b. Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda
dengan gambaran ileus obstruksi
c. Penebalan dinding usus akibat edema
d. Tampak gambaran udara bebas
e. Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga
pasien perlu dikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya agar
tidak terjadi syok hipovolemik
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan
USG abdomen, CT scan, dan MRI.

7. TERAPI
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang
memerlukan pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama
terapi pada infeksi intra abdomen adalah:
a. mengkontrol sumber infeksi
b. mengeliminasi bakteri dan toksin
c. mempertahankan fungsi sistem organ
d. mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi menjadi:


1) Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan
hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk
mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan ikkeadaan
metabolik, pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis
(misalnya insufisiensi respiratorik atau ginjal), serta terapi
terhadap inflamasi yang terjadi.
2) Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan percutaneus and endoscopic stent placement.
3) Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi
sumber infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen
Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah
dilaksanakan, pemberian suplemen, antara lain glutamine, arginine,
asam lemak omega-3 dan omega-6, vitamin A, E dan C, Zinc dapat
digunakan sebagai tambahan untuk mempercepat proses
penyembuhan.

B. ILEUS OBSTRUKTIF
1. DEFINISI
Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang
merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera
membutuhkan pertolongan atau tindakan. Ileus ada 2 macam, yaitu
ileus obstruktif dan ileus paralitik.
a. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau
trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus.
Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi
tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.
b. Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan
ekstrinsik. Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi
mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung
tertutup (paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak
dapat didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat,
mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark
(strangulasi) sehingga menimbulkan obstruksi strangulate yang
disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini
mengganggu suplai darah, kematian jaringan dan menyebabkan
gangren dinding usus.
(Sabara, 2007 dikutip dari (http://www.Files-of-DrsMed.tk)

2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain :
a. Hernia inkarserata : usus masuk dan terjepit di dalam pintu
hernia. Pada anak dapat dikelola secara konservatif dengan
posisi tidur Trendelenburg. Namun, jika percobaan reduksi gaya
berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus diadakan
herniotomi segera.
b. Non hernia inkarserata, antara lain :
1) Adhesi atau perlekatan usus
Di mana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. Dapat
berupa perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal maupun
multiple, bisa setempat atau luas. Umunya berasal dari
rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat atau
umum. Ileus karena adhesi biasanya tidak disertai
strangulasi.
2) Invaginasi
Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan
agak jarang pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada
anak sering bersifat idiopatik karena tidak diketahui
penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa intususepsi
ileosekal yang masuk naik ke kolon ascendens dan mungkin
terus sampai keluar dari rektum. Hal ini dapat
mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang
masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis.
Diagnosis invaginasi dapat diduga atas pemeriksaan fisik,
dan dipastikan dengan pemeriksaan Roentgen dengan
pemberian enema barium. Invaginasi pada orang muda dan
dewasa jarang idiopatik, umumnya ujung invaginatum
merupakan polip atau tumor lain di usus halus. Pada anak,
apabila keadaan umumnya mengizinkan, maka dapat
dilakukan reposisi hidrostatik yang dapat dilakukan sekaligus
sewaktu diagnosis Roentgen ditegakkan. Namun, apabila
tidak berhasil, harus dilakukan reposisi operarif. Sedangkan
pada orang dewasa, terapi reposisi hidrostatik umumnya
tidak mungkin dilakukan karena jarang merupakan
invaginasi ileosekal.
3) Askariasis
Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum,
biasanya jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi
bisa terjadi di mana-mana di usus halus, tetapi biasanya di
ileum terminal yang merupakan tempat lumen paling sempit.
Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat
terdiri atas sisa makanan dan puluhan ekor cacing yang mati
atau hampir mati akibat pemberian obat cacing. Segmen
usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi untuk
mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi.
4) Volvulus
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus
yang abnormal dari segmen usus sepanjang aksis
longitudinal usus sendiri, maupun pemuntiran terhadap aksis
radii mesenterii sehingga pasase makanan terganggu. Pada
usus halus agak jarang ditemukan kasusnya. Kebanyakan
volvulus didapat di bagian ileum dan mudah mengalami
strangulasi. Gambaran klinisnya berupa gambaran ileus
obstruksi tinggi dengan atau tanpa gejala dan tanda
strangulasi.
5) Tumor
Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus,
kecuali jika ia menimbulkan invaginasi. Proses keganasan,
terutama karsinoma ovarium dan karsinoma kolon, dapat
menyebabkan obstruksi usus. Hal ini terutama disebabkan
oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di
mesenterium yang menekan usus.
6) Batu empedu yang masuk ke ileus.
Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan
fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus
yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus
gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di
usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup
ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.
Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah
karsinoma, terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri
distal. Selain itu, obstruksi dapat pula disebabkan oleh
divertikulitis, striktur rektum, stenosis anus, volvulus sigmoid,
dan penyakit Hirschprung.

3. PATOFISIOLOGI
Ileus non mekanis dapat disebabkan oleh manipulasi organ
abdomen, peritonitis, sepsis dll, sedang ileus mekanis disebabkan
oleh perlengketan neoplasma, benda asing, striktur dll. Adanya
penyebab tersebut dapat mengakibatkan passage usus terganggu
sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan dlm lumen usus. Adanya
akumulasi isi usus dapat menyebabkan gangguan absorbsi H 20 dan
elektrolit pada lumen usus yang mengakibatkan kehilangan H 20 dan
natrium, selanjutnya akan terjadi penurunan volume cairan
ekstraseluler sehingga terjadi syok hipovolemik, penurunan curah
jantung, penurunan perfusi jaringan dan hipotensi.
Akumulasi cairan juga mengakibatkan distensi dinding usus
sehingga timbul nyeri, kram dan kolik. Selain itu juga distensi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Selanjutnya terjadi
iskemik dinding usus, kemudian terjadi nekrosis, ruptur dan
perforasi sehingga terjadi pelepasan bakteri dan toksin dari usus
yang nekrotik ke dalam peritoneum dan sirkulasi sistem. Pelepasan
bakteri dan toksin ke peritoneum akan menyebabkan peritonitis
septikemia.
Akumulasi gas dan cairan dalam lumen usus juga dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi komplet sehingga gelombang
peristaltik dapat berbalik arah dan menyebabkan isi usus terdorong
ke mulut, keadaan ini akan menimbulkan muntah-muntah yang akan
mengakibatkan dehidrasi. Muntah-muntah yang berlebihan dapat
menyebabkan kehilangan ion hidrogen & kalium dari lambung serta
penurunan klorida dan kalium dalam darah, hal ini merupakan tanda
dan gejala alkalosis metabolik.

4. MANIFESTASI KLINIS
a. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna
tinggi, artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan
elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi,
maupun oleh muntah. Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri
kram pada perut, disertai kembung. Pada obstruksi usus halus
proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang jarang
menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama.
Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan
sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin
distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin
fekulen.
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan
berlanjut dengan dehidrasi akibat kehilangan cairan dan
elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam. Distensi
abdomen dapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi
proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal.
Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar
sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal.
b. Obstruksi disertai proses strangulasi
Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata
dan disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai
tanda-tanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang
sangat hebat, menetap dan tidak menyurut, maka dilakukan
tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya nekrosis
usus.
c. Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri
akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang
hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau
peritonitis. Borborygmus dapat keras dan timbul sesuai dengan
nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah gambaran umum
obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan
usus besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila katup
ileosekal mampu mencegah refluks. Bila akibat refluks isi kolon
terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada
usus halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan
valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat dan sering
mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi
dan dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan
menunjukkan distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan
tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar metallic
sound pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya
massa menunjukkan adanya strangulasi.
a. Persiapan
5. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian
yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan
operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab
obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus
di rawat di rumah sakit.
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah,
mencegah aspirasi dan mengurangi distensi abdomen
(dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga
resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum.
Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi.
Pada obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen dengan
pemantauan dan konservatif.
b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan
organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang
paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin.
Tindakan bedah dilakukan bila :
1) Strangulasi
2) Obstruksi lengkap
3) Hernia inkarserata
4) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan
pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter)
c. Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam
hal cairan dan elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal
ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat
bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik.
.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium.
Peningkatan kadar Haemoglobin (indikasi dari dehidrasi),
leukositosis.
b. Rontgen abdomen
c. Sigmoidescopy
d. Colonoscopy
e. Radiogram barium

7. THERAPHY
Pengobatan obstruksi usus adalah dasar pengobatan koreksi
keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan
dan muntah dengan melakukan instubasi dan dekompresi,
memperbaiki peritonitis dan syok (bila ada) dan menghilangkan
obstruksi untuk memulihkan komunitas dan fungsi usus kembali
normal.
Banyak kasus ileus adinamik yang dapat sembuh hanya
dengan kompresi intubasi saja. Obstruksi usus halus juga jauh lebih
berbahaya dan jauh lebih cepat berkembang dibandingkan dengan
obstruksi kolon. Mortalitas obstruksi 8% asalkan dapat segera
dilakukan oprerasi. Keterlambatan pembedahan atau timbulnya
stragulasi atau penyulit lain akan meningkatkan mortalitas sampai
sekitar 35% atau 40%.
(Sylvia A. Price, 2006)
a. Pengobatan dan Terapi Medis
1) Pemberian anti obat antibiotik, analgetika,anti inflamasi
2) Obat-obatan narkose diperlukan setelah fase akut
3) Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
4) Bedrest
b. Konservatif
Laparatomi adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal
peritonitis sepertitakikardia, pireksia (demam), lokal tenderness
dan guarding, rebound tenderness. Nyeri lokal, hilangnya suara
usus lokal, untuk mengetahui secara pasti hanya dengan
tindakan laparatomi.
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien Ileus adalah
sebagai
berikut :
1. Identitas pasien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, alamat, status perkawinan, suku bangsa.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang Meliputi apa yang dirasakan klien saat
pengkajian
b. Riwayat kesehatan masa lalu Meliputi penyakit yang diderita,
apakah sebelumnya pernah sakit sama.
c. Riwayat kesehatan keluarga Meliputi apakah dari keluarga ada yang
menderita penyakit yang sama.
3. Riwayat psikososial dan spiritual Meliputi pola interaksi, pola
pertahanan diri, pola kognitif, pola emosi dan nilai kepercayaan klien.
4. Kondisi lingkungan Meliputi bagaimana kondisi lingkungan yang
mendukung kesehatan klien
5. Pola aktivitas sebelum dan di rumah sakit Meliputi pola nutrisi, pola
eliminasi, personal hygiene, pola aktivitas sehari – hari dan pola
aktivitas tidur.
6. Pengkajian fisik Dilakukan secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi
B. PENYIMPANGAN KDM
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan ileus obstruktif:
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak
adekuat
3. Gangguan istirahat tidur berhubngan dengan REM menurun akibat
nyeri.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh akibat
obstruksi

D. PERENCANAAN/INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Hasil : wajah klien tidak meringis lagi Skala nyeri 2(0-10)
Intervensi
a. Kaji keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas.
b. Pantau tanda-tanda vital.
c. Ajarkan pada pasien teknik nafas dalam
d. Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase
e. Penatalaksanaan pemberian obat analgetik.
Rasional.
a. Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan,
meningkatnya nyeri secara bertahap pasca operasi,
menunjukkan melambatnya penyembuhan.
b. Peningkatan TTV menandakan adanya peningkatan skala nyeri
c. Meningkatkan relaksasi kenyamanan dan menurunkan nyeri.
d. Menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri berkurang.
e. Memblokir rangsangan lmpuls nyeri ke otak sehingga nyeri tidak
dipersepsikan.

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang


tidak adekuat
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Hasil : keadaan umum baik dan berat badan sesuai dengan umur.
Intervensi :
a. Kaji pola makan klien.
b. Jelaskan pada klien bahwa pentingnya kebutuhan nutrisi.
c. Anjurkan pada klien untuk memakan makanan dalam keadaan
hangat.
Rasional:
a. Menentukan intake yang dikonsumsi klien sebagai dasar dalam
menentukan tindakan selanjutnya.
b. Diharapkan dapat memenuhi informasi yg dibutuhkan klien.
c. Dapat meningkatkan nafsu makan klien dengan baik.

3. Gangguan istirahat tidur berhubngan dengan REM menurun akibat


nyeri.
Tujuan : klien dapat tidur pulas dengan baik
Hasil : 7 – 8 jam tidur perhari
Intervensi:
a. Kaji pola tidur klien
b. Beri posisi tidur yang nyaman pada klien.
c. Batasi jumlah pengunjung pada jam istirahat.
d. Anjurkan pada keluarga klien untuk menciptakan suasana tenang
dan nyaman terutama bila klien sedang tidur.
Rasional:
a. Mengetahui apakah kebutuhan istirahat tidur klien terpenuhi
b. Untuk memberikan rasa nyaman pada klien saat tidur.
c. Memberikan kesempatan bagi klien dan pasien lain untuk
beristirahat.
d. Mengurangi rangsangan yang mengganggu tidur klien.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.


Tujuan : klien dapat beraktifitas kembali
Hasil: klien tidak merasa lemas lagi , keadaan umum baik.
Intervensi :
a. Kaji respon klien terhadap aktivitas
b. Instruksikan pada klien untuk menghemat energy
c. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan klien.
d. Libatkan keluarga dalam mengambil kebutuhan.
e. Anjurkan dan ajarkan pada klien untuk latihan gerak secara
bertahap.
Rasional:
a. Untuk menunjukkan respon klien terhadap aktivitas.
b. Membantu keseimbangan antara suplay O2
c. Agar klien mudah mengambil alat – alat yang dibutuhkan.
d. Membantu klien untuk memenuhi kebutuhan.
e. Mencegah terjadinya artropi otot.

E. Evaluasi
Evaluasi terdiri dari 2 jenis, yaitu : evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif disebut juga evaluasi berjalan, dimana evaluasi
dilakukan sampai tujuan tercapai.Sedangkan evaluasi sumatif bisa
disebut evaluasi hasil, evaluasi akhir.Evaluasi ini dilakukan pada akhir
tindakan dan menjadi metode dalam memonitor kualitas dan efisien
tindakan yang dilakukan. Bentuk evaluasi menggunakan format SOAP
(Nursalam, 2011)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Obstruksi ileus adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus
yang disebabkan oleh sumbatan mekanik.
Etiologi Ileus dibagi menjadi dua bagian menurut jenis obstruksi
usus, yaitu: Mekanis dan fungsional/ non-mekanis.
Peristiwa patofisiologi yang terjadi setelah obstruksi usus itu
sama, tanpa memandang apakah obstruksi usus tersebut diakibatkan
oleh penyebab mekanik atau funsional.
Manifestasi klinis pada ileus Nyeri tekan pada
abdomen, Muntah, Konstipasi (sulit BAB), Distensi abdomen, BAB
darah dan lendir tapi tidak ada feces dan flatus.
Pemeriksaan diagnostik meliputi: rontgen thorax, Rontgen
Abdomen, Pemeriksaan sinar x, Pemeriksaan laboratorium (misalnya
pemeriksaan elektrolit dan jumlah darah lengkap), Pemeriksaan
radiogram abdomen sangat penting untuk menegakkan diagnosa
obstruksi usus.
Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan
cairan dan elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan
intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta
menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi
usus kembali normal serta dilakukan tindakan kolostomi dan stent.

B. Saran
Ada beberapa saran yang penulis tuliskan bagi pembaca, yakni
sebagai berikut :
a. Gaya hidup (life style) memberikan pengaruh yang sangat besar
dalam menjaga kesehatan, maka jika kita ingin mendapatkan
kehidupan yang sehat harus dimulai dari gaya hidup yang sehat
pula.
b. Makanan yang mengandung nilai gizi seimbang akan memeperkecil
resiko terjangkitnya penyakit pada system pencernaan.
c. Kita harus memperhatikan kebersihan makanan yang akan kita
makan, karena jika makanan yang dikonsumsi telah terkontaminasi
oleh bakteri, akan menimbulkan berbagai jenis penyakit pada tubuh
kita.
d. Bagi penderita hernia, disarankan agar jangan terlalu kelelahan
dalam beraktifitas dan bekerja.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Volume Kedua. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
pasien. Penerbit Buku Kedokteran, EGC: Jakarta
Harrison. 2000. Prinsip-prinsip Penyakit Dalam, edisi XIII,
EGC: Jakarta.
Zwani. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Obstruksi
Usus
Nettina, Sandra M. (2001) Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa
Setiawan dkk. Ed. 1. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. (2005) Patofisiologi : Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume Pertama. Edisi Keenam.
Jakarta : EGC.
Joanne&Gloria. 2004. Nursing Intervension Classification Fourth
Edition, USA : Mosby Elsevier
Kowalak, Welsh, Mayer. 2011. Buku Ajar PATOFISIOLOGI, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Zwani. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Obstruksi
Usus

You might also like