Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Technology and Information are developing so fast, this has positive and negative impacts. One
negative impact that is becoming a phenomenon at the moment is Cyberbullying. Cyberbullying is intimidation
that is done by someone to someone else that is done through chatrooms, social media, email and websites in
forms such as slander, insults, threats or leaking disgrace about someone. Cyberbullying itself is now considered
a serious problem in the cyber media world. Today's virtual world is considered to be more cruel than the real
world even the impact caused by cyberbullying is more severe than bullying that occurs in the neighborhood of
residence or school. That is because social media can be accessed easily by all internet users in the world without
knowing space and time, people can comment for 24 hours because the internet network seems to never "rest",
messages in the form of photos, videos or writing cannot be with easily erased, and even possibly other social
media users have saved messages. However, due to lack of information and knowledge about cyberbullying itself,
the public, especially high school students, are not aware that they are the perpetrators or even victims of
cyberbullying.
This literature review was created to increase awareness of the continuing cyberbullying tendency
among teenagers, especially high school students. A complete literature search is currently carried out using
various databases including Google Scholar and Science Direct to gather relevant studies included in this review.
Articles are used to describe forms of cyberbullying in students, especially senior high school students. Future
research should investigate the use factors for further research, especially with diverse cultural backgrounds in
Indonesia.
Abstrak
Perkembangan Teknologi dan Informasi berkembang begitu cepat, hal ini memberikan dampak positif dan
negative. Salah satu dampak negative yang menjadi fenomena saat ini yaitu Cyberbullying. Cyberbullying
merupakan intimidasi yang dilakukan seseorang pada orang lain yang dilakukan melalui chatroom, media sosial,
email dan website dalam bentuk seperti fitnah, penghinaan, pengancaman atau dibocorkannya aib mengenai
sesorang. Cyberbullying sendiri kini dianggap sebagai masalah serius di dunia cyber media. Dunia maya saat ini
dianggap lebih kejam daripada dunia nyata bahkan dampak yang ditimbulkan melalui cyberbullying lebih berat
daripada bullying yang terjadi di lingkungan tempat tinggal atau sekolah. Hal tersebut disebabkan karena sosial
media dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pengguna internet di dunia tanpa mengenal ruang dan waktu,
orang-orang dapat berkomentar selama 24 jam karena jaringan internet seolah tidak pernah „beristirahat‟, pesan
berbentuk foto, video ataupun tulisan tidak dapat dengan mudah terhapus, bahkan berkemungkinan para pemakai
media sosial lain juga telah menyimpan pesan. Namun karena kurangnya informasi dan pengetahuan tentang
cyberbullying itu sendiri, masyarakat khususnya siswa SMA tidak sadar bahwa dirinya merupakan pelaku bahkan
korban dari cyberbullying.
Tinjauan pustaka ini dibuat untuk meningkatkan kesadaran akan kecendrungan cyberbullying yang terus
berlanjut di kalangan remaja khususnya siswa sekolah menengah atas. Pencarian lengkap literatur saat ini
dilakukan dengan menggunakan berbagai database termasuk Google Scholar dan Science Direct untuk
mengumpulkan studi yang relevan dimasukkan dalam ulasan ini. Artikel digunakan untuk menggambarkan
bentuk- bentuk cyberbullying pada siswa khususnya siswa menengah atas. Penelitian masa depan harus
menyelidiki faktor-faktor guna untuk penelitian selanjutnya khususnya dengan latar belakang budaya di indonesia
yang beragam.
Kata Kunci : cyberbullying, bentuk- bentuk cyberbullying pada siswa menengah atas ( SMA )
1
2
PENDAHULUAN
digantikan oleh mesin, sedangkan barang yang diproduksi mempunyai nilai tambah
(value added) yang komersial ( Suwardana, 2017). Fase pertama (1.0) bertempuh pada
penemuan mesin yang menitikberatkan (stressing) pada mekanisasi produksi. Fase
kedua (2.0) sudah beranjak pada etape produksi massal yang terintegrasi dengan quality
control dan standarisasi. Fase ketiga (3.0) memasuki tahapan keseragaman secara
massal yang bertumpu pada integrasi komputerisasi. Fase keempat (4.0) telah
menghadirkan digitalisasi dan otomatisasi perpaduan internet dengan manufaktur
(BKSTI 2017). Dengan berkembang pesatnya teknologi, hal ini berdampak juga pada
pengguna teknologi khususnya internet yaitu remaja, yang secara aktif menggunakan
internet dan media social untuk ajang mengaktualisasikan dirinya. Hal ini memiliki
dampat positif dan negative, namun fenomena yang terjadi saat ini justru lebih menyorot
pada dampak negatifnya yaitu Cyberbullying khususnya pada siswa SMA.
Cyberbullying merupakan intimidasi yang dilakukan seseorang pada orang lain
yang dilakukan melalui chatroom, media sosial, email dan website dalam bentuk seperti
fitnah, penghinaan, pengancaman atau dibocorkannya aib mengenai sesorang.
Cyberbullying sendiri kini dianggap sebagai masalah serius di dunia cyber media
(Shariff, 2008:131). Dunia maya saat ini dianggap lebih kejam daripada dunia nyata
bahkan dampak yang ditimbulkan melalui cyberbullying lebih berat daripada bullying
yang terjadi di lingkungan tempat tinggal atau sekolah. Hal tersebut disebabkan karena
sosial media dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pengguna internet di dunia tanpa
mengenal ruang dan waktu, orang-orang dapat berkomentar selama 24 jam karena
jaringan internet seolah tidak pernah „beristirahat‟, pesan berbentuk foto, video ataupun
tulisan tidak dapat dengan mudah terhapus, bahkan berkemungkinan para pemakai media
sosial lain juga telah menyimpan pesan tersebut (Hinduja, 2010: 5). Saat ini pengguna
smartphone pada remaja terus meningkat. Salah satu fitur yang paling banyak digunakan
dari gadget ini adalah fasilitas jejaring sosial, dan hal ini memungkinkan semakin
meningkatnya remaja melakukan cyberbullying.
Cyberbullying merupakan fenomena gunung es, karena belum adanya data yang
pasti mengenai prevalensi pelaku cyberbullying. Mengingat perilaku cyberbullying
semakin marak dan belum adanya instansi terkait (misal Dinas Pendidikan Nasional)
yang mempunyai strategi atau program pencegahan maka diperlukan gambaran yang
komprehensif mengenai cyberbullying pada remaja untuk mengembangkan program
pencegahan. Pentingnya program pencegahan cyberbullying diperkuat dengan
4
METODE
Cyberbullying adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja
dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia cyber atau internet. Cyberbullying
adalah kejadian manakala seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi, atau
dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau
telepon seluler. Dalam buku Patchin dan Hinduja (2012) yang berjudul Bullies Move
Beyond theSchoolyard: A Preliminary Look at Cyberbullying, mengatakan bahwa
cyberbullying secara singkat didefinisikan sebagai perbuatan yang berbahaya yang
dilakukan secara berulang-ulang melalui media elektronik. Menurut Satalina (2014:
291), salah satu dampak negatif yang saat ini sedang berkembang di Indonesia adalah
cyberbullying. Hasil survei global yang diadakan oleh Latitude News mengungkapkan
Indonesia memiliki kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang (Satalina,
2014: 291), dimana kasus ini lebih banyak dilakukan di jejaring sosial. Dengan
demikian, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa cyberbullying dengan
menggunakan jejaring sosial di Indonesia tergolong tinggi. Cyberbullying merupakan
bentuk baru dari bullying tradisional yang biasa terjadi di kalangan remaja.
trauma, takut, atau khawatir aktivitas online akan dibatasi (Willard dalam
Wahyuningtyas, 2013: 12
Denigration
Impersonation
berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak
baik. Prastiwi (2018) dalam penelitiannya menyebutkan lima dari enam subjek pernah
berpura-pura menjadi orang lain dengan mengirimkan pesan baik tulisan maupun
gambar atau status-status yang tidak baik yang dapat merugikan orang lain, dan
berpura- pura menjadi orang lain dan meminta mengirimkan foto yang kurang baik.
Bullying yang dilakukan dalam impersonation dapat terjadi karena pembully
termotivasi dari beberapa aspek yaitu keuntungan financial, seorang pembully akan
berusaha untuk melakukan impersonation untuk mendapatkan data pribadi seseorang
untuk mengambil alih identitas korbannya sehingga dapat melakukan penipuan untuk
mendapatkan keuntungan financial. Selain itu aspek selanjutnya adalah tantangan,
seorang pembully merasa tertantang untuk menunjukkan kepada korbannya bahwa
pembully memiliki kemampuan untuk melakukan apapun tanpa adanya batasan dari
hukum yang berlaku. Aspek lain dari impersonation adalah manipulasi, pembully
merasa mendapatkan kepuasan ketika korbanya merasa tidak berdaya hingga
menerima bahwa korban tidak dapat melakukan apapun terhadap pembully
(Faucher,jackson dan cassidy, 2014).
Bentuk outing dan trickery semua subjek subjek pernah menyebarkan rahasia
korban dengan menyebar luaskan foto orang lain padahal orang tersebut tidak ingin
fotonya di publikasi. Menurut Kowalski, Limber, dan Agaston (2008) menyatakan
bahwa outing dan trickery adalah menyebarkan rahasia pribadi dan penipuan. Outing
dan trickery mengacu pada membagi informasi pribadi yang memalukan kepada orang
lain. Outing dan trickery banyak dilakukan oleh pembully yang justru dapat terjadi
dari kedekatan antara korban dengan pembully. Pelaku outing dan trickery biasanya
justru adalah teman yang cukup dekat dengan korban. Faktor yang membuat
terjadinya outing dan trickery dapat dipicu dari perasaan rendah diri dari seorang
teman, iri terhadap teman dan hubungan pertemanan yang meregang. Korban ketika
mempercayai bahwa seorang pembully adalah teman, cenderung akan menceritakan
rahasia-rahasia dengan kepercayaan bahwa teman tersebut akan menyimpannya.
Dalam outing, serangan dari pembully dengan caramenyebarkan rahasia tersebut
melalui internet dapat terjadi dikarenakan hubungan pertemanan antara korban dan
pembully retak, yang menyebabkan pembully memilih untuk menyebarkan rahasia
8
pribadi korban ke public dengan tujuan untuk melukai korban (Peebles, 2014).
Trickery dilakukan ketika seorang pembully mampu membuat korban percaya bahwa
“teman” yang diajak berbicara melalui media sosial adalah teman dekat yang mampu
untuk menyimpan rahasia yang sensitive. Alasan pembully melakukan trickery
hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mempermalukan korban yang membuat
pembully merasa bahwa dirinya lebih penting, lebih besar dan lebih baik dibandingkan
korban (Beran dan Li, 2007).
Cyberstalking
Bentuk cyberstalking, lima dari enam subjek pernah mengikuti orang lain
dengan mengirim teks secara terus menerus sehingga orang tersebut merasa terganggu
(Prastiwi, 2018) lebih lanjut, Prastiwi (2018) menyebutkan Stalking bisa
dikarakteristikkan sebagai kegiatan berulang-ulang termasuk dengan menelepon pada
korban, mengirimi mereka bermacammacam surat, hadiah atau barang tertentu,
mengikuti dan memperhatikan serta mengintai korban, menyalahgunakan barang-
barang korban, berkeliaran di sekitar dan mendekati korban, menghubungi dan
mendekati keluarga, teman dan orang sekitar korban. Cyberstalking biasanya banyak
dilakukan oleh pembully yang mengenal korbannya, sering bertemu korban, dan
mengetahui kehidupan pribadi korban. Pembully melakukan cyberstalking dengan
tujuan mendapatkan kepuasan dengan cara mengintimidasi korban. Pembully merasa
puas ketika korban merasa bahwa pembully dapat melakukan semua hal yang
dikatakannya di media sosial dan menyakiti korban di kehidupan nyata. Pembully yang
melakukan cyberstalking biasanya merupakan orang yang tidak memiliki kepercayaan
diri dalam berbicara dengan korban di dunia nyata sehingga dengan melakukan
cyberstalking, pembully merasa sebagai orang yang lebih mendominasi dalam
hubungan antara korban dan pembully (Short, guppy, hart dan barnes, 2015).
Flaming
Yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang penuh
amarah dan frontal. Istilah “flame” ini pun merujuk pada katakata di pesan yang berapi-
api. erkelahian online menggunakan pesan elektronik dengan bahasa marah dan vulgar.
9
Contoh: kasus Marrisa Haque dengan Kevin Aprillio yang berselisih dengan
menggunakan twitter.
Harassment
Ketika seseorang mengirimkan pesan yang berisi gangguan pada email, sms,
maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan secara terus menerus, berulang kali
mengirimkan pesan jahat, kejam, dan menghina. Contoh: kasus penyiletan bibir oleh
seorang siswi di Makassar. CB yang menjadi korban cyberbullying terus-terusan
dikatakan seorang gadis yang jelek dan berbibir sumbing oleh KP.
10
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, diketahui bahwa dari beberapa
penelitian terdahulu didapatkan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat
6 bentuk cyberbullying yaitu denigration, impersonation, cyberstalking, exclusion, dan
flaming. Untuk siswa Sekolah Menengah Atas Sendiri, paling banyak terjadi pada yaitu
penipuan (outing dan trickery) semua informan melakukan bentuk cyberbullying
tersebut, kemudian peniruan (impersonation) dan penguntitan di dunia maya
(cyberstalking) pengeluaran (exclusion) yaitu kebencian (flaming) dan pencemaran
nama baik (denigration) dan yang paling sedikit yaitu pelecehan (harrasement) hanya
satu informan yang melakukan. Pada hasil review ini ada temuan di luar tujuan
penelitian yaitu ternyata perempuan lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk
cyberbullying dari pada laki-laki. Diketahui bahwa bentuk cyberbullying yang sering
dilakukan pada laki-laki adalah bentuk penipuan (outing dan trickery), sedangkan pada
perempuan adalah bentuk peniruan (impersonation) dan penipuan (outing dan trickery).
Namun sekali lagi harus dilihat juga dari factor- factor yang melatarbelakangi, termasuk
budaya, dan lokasi terjadinya cyberbullying.
11
DAFTAR PUSTAKA
Barlett, C. P., Gentile, D. A., & Chew, C. (2016). Predicting cyberbullying from
anonymity. Pychology of Popular Media Culture, 5(2), 171–180.https://doi.
org/10.1037/ppm0000055
Beran, T. dan Li, Q. (2007). The Relationship between Cyberbullying and School
Bullying. Journal of Student Wellbeing, Vol. 1(2), 15-33. Chadwick, S. (2014).
Impacts of Cyberbullying, Building Social and Emotional Resilence. North Ryde
Australia : Springer.
Faucher, C., Jackson, M. & Cassidy, W. (2014). Cyberbullying among University
Students: Gendered Experiences, Impacts, and Perspectives. Hindawi Publishing
Corporation Education Research International.
Guo, S. (2016). A meta-analysis of the predictors of cyberbullying perpetration and
victimization. Psychology in the Schools, 53(4), 432–453. https://doi. org/10.1002
/pits.21914
Hemphill, S. A., Tollit, M., Kotevski, A., & Heerde, J. A. (2014). Predictors of
Traditional and Cyber-Bullying Victimization: A Longitudinal Study of Australian
Secondary School Students. Journal of Interpersonal Violence, 30(15), 2567–2590.
https://doi.org/10.1177/0886260514553636.
Lee, C., & Shin, N. (2017). Prevalence of cyberbullying and predictors of cyberbullying
perpetration among Korean adolescents. Computers in Human Behavior, 68, 352–
358. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.11.047
Peebles, E. (2014). Cyberbullying: Hiding behind the screen. Paediatr Child Health vol,
19, no.10.
12
Shariff, S. (2008). Cyber- Bullying. Issues and Solutions for the School, the Classroom
and the Home. USA: Routldge.